115
i TOLERANSI DALAM TRADISI KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT BUGIS SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S.Ag) Oleh Firdaus NIM: 1110032100022 JURUSAN STUDI AGAMA AGAMA FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1438 H./2017 M.

TOLERANSI DALAM TRADISI KEARIFAN LOKAL …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35722/1/FIRDAUS... · (Gus Dur) yang menurut penulis beliau merupakan tokoh-tokoh yang

  • Upload
    lequynh

  • View
    243

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: TOLERANSI DALAM TRADISI KEARIFAN LOKAL …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35722/1/FIRDAUS... · (Gus Dur) yang menurut penulis beliau merupakan tokoh-tokoh yang

i

TOLERANSI DALAM TRADISI KEARIFAN LOKAL

MASYARAKAT BUGIS

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Agama (S.Ag)

Oleh

Firdaus

NIM: 1110032100022

JURUSAN STUDI AGAMA AGAMA

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1438 H./2017 M.

Page 2: TOLERANSI DALAM TRADISI KEARIFAN LOKAL …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35722/1/FIRDAUS... · (Gus Dur) yang menurut penulis beliau merupakan tokoh-tokoh yang

TOLERANST trALAIW TRAI}ISiI KEARIFAFI LOKAL

JI{ASYARAI(AT BUGIS

SKRITS_i

Diajr*aa Ur&ft Mernenrrhi Persymatan Memperctetr

Gel.r Sejffi, ^&gffiE Iski €S-r+g)

Oleh:

F€EftEEffigffffi

Pembimbi4g:

z*%4I)w'Hil)*rmdlMA

ritB- 1ffi39' 1gl5&3 t g&'t

JURUSA1T STUDI AGAMA AGAMAFAI(IILTAS ffiffULIMI}M{

{TNTYERSITAS ISI,AIVI NEGERISYARIS'trIIBAYATI}LLAII

JAKARTA1438 lf,.J20t7 t{"

Page 3: TOLERANSI DALAM TRADISI KEARIFAN LOKAL …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35722/1/FIRDAUS... · (Gus Dur) yang menurut penulis beliau merupakan tokoh-tokoh yang

LEMBAR PENGESAIIAN PANITIA UJIAN SIDANG

Skripsi berjudul "TOLERANSI DALAM TRADISI KEARIFAN LOKAL

MASYARAKAT BUGIS)" telah diujikan dalam sidang munaqosah Fakultas

Ushuluddin UIN Syarif hidayatullah Jakarta, pada 8 Mei 2Afi. Skripsi ini telah

diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Agama (S.Ag.) pada

Program Studi Agama-Agama.

Jakarta,8 Mei 2017

Sidang Munaqosah,

Sekretaris Anggota,

!vr

MA

NrP. 19s90413 t99603 2 001

Angggta,

Penguji I

/hc.9"*Dr. M. Amin Nurdin" MA

NrP. 19550303 198703 I 003

Pembimbing,

NIP. 19690707 199503 1 001

NIP.

u

Ketua Merangkap Aqggota,

1975t019 200312 1

198603 2001

Drs.Dadi Darffi

Page 4: TOLERANSI DALAM TRADISI KEARIFAN LOKAL …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35722/1/FIRDAUS... · (Gus Dur) yang menurut penulis beliau merupakan tokoh-tokoh yang

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk mernenuhi

salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata I di Universitas Islam

Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya

cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam

Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jika ditemukan kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya

asli saya atau merupakan hasil plagiat dari karya orang lain maka saya

bersedia menerima sanksi yang berlaku di universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta.

Jakarta,2T Maret2}l7

3.

lll

irtt

iit:ilii'i,

i19r)

Firdaus

Page 5: TOLERANSI DALAM TRADISI KEARIFAN LOKAL …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35722/1/FIRDAUS... · (Gus Dur) yang menurut penulis beliau merupakan tokoh-tokoh yang

iii

KUTIPAN

“Jangan pernah berbicara tentang ketuhanan kalau kau masih menghujat

perbedaan, jangan pernah mengklaim kebenaran bila sikapmu tak manusiawi, dan

jangan pernah mengaku baik jika lisanmu tak terkontrol.

Penulis : Firdaus

Page 6: TOLERANSI DALAM TRADISI KEARIFAN LOKAL …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35722/1/FIRDAUS... · (Gus Dur) yang menurut penulis beliau merupakan tokoh-tokoh yang

iv

ABSTRAK

Firdaus

1110032100022

Toleransi Dalam Kearifan Lokal Masyarakat Bugis

Toleransi merupakan hal sangat mendasar untuk menuju kemajuan bangsa

Indonesia. Keragaman suku, budaya, ras, kelompok dan agama yang ada sangat

rentan untuk dibenturkan dengan isu-isu yang sangat mudah menyulut konflik

dikalangan masyarakat. Pencegahan sikap intoleransi sampai resolusi konflik telah

ditawarkan oleh para ahli dari berbagai kajian keilmuan. Dalam hal ini penulis

fokus pada hasil pemikiran Mukti Ali, Alwi Shihab, dan juga Abdurahman Wahid

(Gus Dur) yang menurut penulis beliau merupakan tokoh-tokoh yang toleran dan

juga sekaligus pernah menjadi pejabat tinggi dalam struktur pemerintahan

tertinggi di Indonesia.

Dengan buah pemikiran para tokoh di atas tentang toleransi. Penulis,

menilai bahwa hakikat nilai toleransi adalah suatu sikap yang memanuisakan

manusia tanpa melihat latar belakang perbedaan yang ada. Dari nilai toleransi itu

sangat tanpak jelas dalam kearifan lokal masyarakat Indonesia, yang menjunjung

nilai-nilai moral dalam bersikap dan berperilaku sehari-hari.

Dalam skripsi ini penulis mencoba menggali nilai toleransi kearifan lokal

masyarakat Bugis. Dimana masyarakat Bugis menekankan prinsip siri’ dan pesse

yang pada hakikatnya menjunjung nilai tau sipakatau, sepakalebbi, dan

sipakainge’, selain dari pada itu terdapat pula pedoman-pedoman kehidupan yang

terdapat dalam pangederreng, dan juga konsep assimellereng sebagai konsep

kesetiakawana sosial dalam masyarakat Bugis.

Kata Kunci : Pluralisme, Toleransi, Kearifan Lokal, Siri’, Pesse,

Pangederreng, Bugis.

Page 7: TOLERANSI DALAM TRADISI KEARIFAN LOKAL …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35722/1/FIRDAUS... · (Gus Dur) yang menurut penulis beliau merupakan tokoh-tokoh yang

v

KATA PENGANTAR

بسم هللا الر حمن الرحيم

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah

memberikan rahmat dan hidayah-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat

menyelesaikan skripsi ini. Shalawat beserta salam penulis panjatkan kepada

junjungan kita yakni Nabi Muhammad SAW, keluarga, sahabat dan para

pengikutnya yang senantiasa berkorban menyebarkan dakwah Islam kepada

seluruh umat sampai hari kiamat.

Skripsi ini merupakan salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Strata

1 (S.1) di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Membahas

dan menyusun skripsi ini bukan hal yang mudah, dibutuhkan semangat,

kesungguh-sungguhan dan kerja keras serta keikhlasan dalam menjalani setiap

rintangannya.

Di samping itu, penulis juga banyak mendapatkan motivasi, petunjuk dan

bimbingan dari berbagai pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung

sehingga penyelesaian skripsi ini dapat berjalan dengan baik dan lancar sesuai

dengan apa yang diharapkan. Oleh karena itu, penulis senantiasa mengucapkan

terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Masri Mansoer, M.Ag selaku Dekan Fakultas Ushuluddin

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Page 8: TOLERANSI DALAM TRADISI KEARIFAN LOKAL …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35722/1/FIRDAUS... · (Gus Dur) yang menurut penulis beliau merupakan tokoh-tokoh yang

vi

2. Bapak Dr. Media Zainul Bahri MA. Selaku Ketua Program Studi, Studi

Agama-Agama dan Ibu Dra. Halimah Mahmudy, MA. Selaku Sekretaris

Program Studi Studi Agama-Agama, dan Bapak Hakim, MA.

3. Bapak Dr. Dadi Darmadi, M.A, selaku dosen pembimbing skripsi yang

senantiasa meluangkan waktunya untuk memberikan arahan dan bimbingan

serta koreksi yang sangat berarti dalam kelancaran penulisan skripsi ini.

4. Para dosen-dosen Fakultas Ushuluddin Jurusan Studi Agama-Agama yang

telah memberikan ilmunya kepada penulis, semoga ilmu yang diberikan

bermanfaat serta menjadi berkah bagi penulis, serta para pimpinan dan staf

perpustakaan baik Perpustakaan Utama maupun Perpustakaan Fakultas

Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan

fasilitas untuk mengadakan studi perpustakaan guna menyelesaikan skripsi

ini.

5. Kepada kedua orang tua penulis yang tercinta, Ayahanda H. Abd. Gaffar

dan Ibunda Hj. Syarifah, yang telah bersusah payah mengasuh dan mendidik

penulis dengan kasih sayang, semoga sehat selalu dan panjang umur.

Kemudian untuk saudara-saudara penulis tersayang, Masna, Zulkifli,

Zulkarnain, Abdul Hadi dan kakak ipar penulis Anas Anda Ganesa, serta

keponakanku tercinta Nurul Mekka Shidqia. Juga kepada sepupu penulis

Kolonel Inf. Bahman dan om Letkol. Rasli, ST. Terimakasih telah

menyemangati penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

6. Kepada keluarga besar Pondok Pesantren Awaluddin Kuo. Terkhusus para

dewan pengajar dan staff, Serta kepada kawan-kawan alumni 2010. Menjadi

Page 9: TOLERANSI DALAM TRADISI KEARIFAN LOKAL …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35722/1/FIRDAUS... · (Gus Dur) yang menurut penulis beliau merupakan tokoh-tokoh yang

vii

santri merupakan pengalaman terbesar dan penuh pelajaran yang berharga

yang sekaligus menjadi modal utama penulis untuk bertahan dan

menyelesaikan studi di Jakarta.

7. Teruntuk senior-senior yang telah membimbing dan berbagi pengalaman

dengan penulis diantaranya, Prof. Dr. Mashadi Said, M. Saleh Mude, Nur

Amin Syam, Dr. Saifuddin Zuhri MA. Adli Bahrun, Arjan Sila, Andika Ulil

Amri, Awaluddin Jenne, Amiruddin Wata. Terima kasih atas segala atas

kerendahan hatinya mau membantu penulis.

8. Kepada kewan-kawan Jurusan Studi Agama-agama angkatan 2010

khususnya Bang Iman Abdulrahman, Bang Tauhid, Bang Faiz Ramadhan

dan Kang Yusuf Ambar Firdausy, serta Daeng Kurniawan. Dan tak terlupa

kepada kawan ku Kacung Arisma dan Reza Nata Suhandi. Terimakasih

telah menjadi patner yang baik selama ini.

9. Senior-senior Alumni dan Saudara-saudara seperjuangan Pengurus IKAMI

Sul-Sel Cab. Ciputat. terkhusus IKAMI Sul-Sel Cab. Ciputat periode 2013

terlebih Fahri Husain, Andi Firman, M. Sapril, dan juga Inggrit Pratiwi.

Terimakasih telah mengajarkan menjadi team yang komplit.

10. Teman-teman seperjuangan I.C.I (Insan Cendekia Indonesia), ada bang

Muamar Midan dan bang H. Muslim selaku senior yang selalu memberikan

arahan dalam setiap perjalanan I.C.I, kanda Moh. Farid Chair, Rizal Mampa,

Laila Nihayati, Abdullah el Sahar, Firman Faisal, M. Sapril, Arif Hidayat,

Ceceng Holilullah, Anis Fahmi, Abdul Khalid, M. Ihsan, Nur Muhaimin, M.

Fauzan Chair, M. Fadli Imam, Hifdzil Farazdaq, Al Ghazali, M. Amar, dll.

Page 10: TOLERANSI DALAM TRADISI KEARIFAN LOKAL …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35722/1/FIRDAUS... · (Gus Dur) yang menurut penulis beliau merupakan tokoh-tokoh yang

viii

11. Kawan-kawan Pengurus Besar IKAMI SUL-SEL periode 2016.

12. Kepada Senior-senior Kerukunan Keluarga Sulawesi Selatan (BPD KKSS

TANGSEL), bapak Andi Djalal Latif, Kakanda Saifuddin Zurhi, bapak

Mudatsir, bapak Hasanuddin, dan lain-lainnya. Serta BPW KKSS

BANTEN, dan BPP KKSS.

13. Kawan-kawan Sandeq Sul-Bar, Ketum Arwin, Mabrur, Rosita, Asrul,

Samad, Abangda Aco. Dan lain-lain.

14. Saudara-saudara seperjuangan FKPM Mamuju, ada Siswadi, Ocit, Lita,

Wahyu, Aksin, Rahman, Najam, Ulin, UU’, Amrin, Dul’, Rijal, Irda, Tika,

dan Ila.

Demikianlah ucapan terima kasih yang penulis haturkan atas semua bantuan

baik itu moril maupun materil, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan

skripsi ini. Mudah- mudahan Allah SWT membalas semua kebaikan yang telah

diberikan. Amin.

Jakarta, 5 Maret 2017

Penulis

Page 11: TOLERANSI DALAM TRADISI KEARIFAN LOKAL …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35722/1/FIRDAUS... · (Gus Dur) yang menurut penulis beliau merupakan tokoh-tokoh yang

ix

DAFTAR ISI

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING .............................................. i

LEMBAR PERNYATAAN ........................................................................... ii

KUTIPAN ....................................................................................................... iii

ABSTRAK ..................................................................................................... iv

KATA PENGANTAR ................................................................................... v

DAFTAR ISI ................................................................................................... x

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah .......................................................... 1

B. Identifikasi Masalah ............................................................... 15

C. Batasan Masalah ..................................................................... 15

D. Rumusan Masalah .................................................................. 15

E. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ............................................ 16

F. Metode Penelitian ................................................................... 17

1. Sumber Data ..................................................................... 17

2. Jenis Penelitian .................................................................. 17

3. Teknik Pengumpulan Data ............................................... 17

4. Teknik Penulisan ............................................................... 18

G. Sistematika Penulisan ............................................................. 18

BAB II TOLERANSI BERAGAMA

A. Pengertian Toleransi Beragama ............................................. 21

B. Perkembangan dan Teori Toleransi Agama di Indonesia ...... 24

Page 12: TOLERANSI DALAM TRADISI KEARIFAN LOKAL …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35722/1/FIRDAUS... · (Gus Dur) yang menurut penulis beliau merupakan tokoh-tokoh yang

x

1. Pluralisme ......................................................................... 26

2. Inklusifisme ...................................................................... 27

3. Dialog ............................................................................... 28

C. Pendapat Para Tokoh ............................................................. 28

1. Mukti Ali ........................................................................... 29

a. Singkretisme ............................................................... 29

b. Rekonsepsi ................................................................. 30

c. Sintesis ...................................................................... 31

d. Penggantian ............................................................... 32

e. Agree in Disagreement .............................................. 33

2. Alwi Shihab ...................................................................... 34

a. Saling Mengenal .. ...................................................... 34

b. Keberaganaman Keyakinan ........................................ 34

c. Keberaganaman Etnis ................................................ 35

3. Abdurahman Wahid ......................................................... 36

a. Pribumisasi Islam ....................................................... 36

d. Humanisme dan Demokrasi ....................................... 38

e. Pluralisme dan Toleransi ............................................. 41

BAB III KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT BUGIS

A. Perkembangan Masyarakat Bugis .......................................... 43

B. Siri’ Dan Pesse Prinsip Kehidupan Masyarakat Bugis .......... 44

1. Siri’ .................................................................................... 45

2. Pesse ................................................................................. 52

Page 13: TOLERANSI DALAM TRADISI KEARIFAN LOKAL …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35722/1/FIRDAUS... · (Gus Dur) yang menurut penulis beliau merupakan tokoh-tokoh yang

xi

C. Pangederreng Masyarakat Bugis’.......................................... 55

1. Ade’ ................................................................................... 59

2. Bicara ............................................................................... 60

3. Rapang .............................................................................. 65

4. Wari ................................................................................... 67

D. Assimellereng sebagai Konsep Kesetiakawan Masyarakat

Bugis ..................................................................................... 69

BAB IV ANALISA

A. Pandangan Umum Toleransi .................................................. 75

B. Analisa Toleransi dalam Kearifan Lokal Masyarakat Bugis 79

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ........................................................................... 92

B. Saran-saran ............................................................................ 94

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 96

Page 14: TOLERANSI DALAM TRADISI KEARIFAN LOKAL …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35722/1/FIRDAUS... · (Gus Dur) yang menurut penulis beliau merupakan tokoh-tokoh yang

DAFTAR ISI

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING .............................................. i

LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SIDANG ........................... ii

LEMBAR PERNYATAAN ........................................................................... iii

KUTIPAN ....................................................................................................... iv

ABSTRAK ..................................................................................................... v

KATA PENGANTAR ................................................................................... vi

DAFTAR ISI................................................................................................... x

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah .......................................................... 1

B. Identifikasi Masalah ............................................................... 15

C. Batasan Masalah .................................................................... 16

D. Rumusan Masalah .................................................................. 16

E. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ........................................... 16

F. Metode Penelitian .................................................................. 17

1. Sumber Data ..................................................................... 17

2. Jenis Penelitian .................................................................. 18

3. Teknik Pengumpulan Data ............................................... 18

4. Teknik Penulisan ............................................................... 18

G. Sistematika Penulisan ............................................................ 19

BAB II TOLERANSI BERAGAMA

A. Pengertian Toleransi Beragama ............................................. 22

B. Perkembangan dan Teori Toleransi Agama di Indonesia ...... 25

1. Pluralisme ......................................................................... 27

Page 15: TOLERANSI DALAM TRADISI KEARIFAN LOKAL …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35722/1/FIRDAUS... · (Gus Dur) yang menurut penulis beliau merupakan tokoh-tokoh yang

2. Inklusivisme ..................................................................... 28

3. Dialog ............................................................................... 29

C. Pendapat Para Tokoh ............................................................ 29

1. Mukti Ali ........................................................................... 30

a. Sinkretisme ................................................................ 30

b. Rekonsepsi ................................................................. 31

c. Sintesis ...................................................................... 32

d. Penggantian ............................................................... 33

e. Agree in Disagreement .............................................. 34

2. Alwi Shihab ................................... 35

a. Saling Mengenal ........................................................ 35

b. Keberagaman Keyakinan ........................................... 35

c. Keberagaman Etnis ................................................... 36

3. Abdurahman Wahid ......................................................... 37

a. Pribumisasi Islam ....................................................... 37

d. Humanisme dan Demokrasi ....................................... 39

e. Pluralisme dan Toleransi ............................................. 42

BAB III KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT BUGIS

A. Perkembangan Masyarakat Bugis .......................................... 44

B. Siri’ Dan Pesse Prinsip Kehidupan Masyarakat Bugis .......... 45

1. Siri’.................................................................................... 46

2. Pesse ................................................................................. 53

C. Pangederreng Masyarakat Bugis’ ......................................... 56

1. Ade’ ................................................................................... 60

2. Bicara ............................................................................... 61

Page 16: TOLERANSI DALAM TRADISI KEARIFAN LOKAL …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35722/1/FIRDAUS... · (Gus Dur) yang menurut penulis beliau merupakan tokoh-tokoh yang

3. Rapang ............................................................................. 66

4. Wari ................................................................................... 68

D. Assimellereng sebagai Konsep Kesetiakawan Masyarakat

Bugis ..................................................................................... 70

BAB IV ANALISA

A. Pandangan Umum Toleransi .................................................. 76

B. Analisa Toleransi dalam Kearifan Lokal Masyarakat Bugis . 80

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ........................................................................... 93

B. Saran-saran ............................................................................ 95

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 97

Page 17: TOLERANSI DALAM TRADISI KEARIFAN LOKAL …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35722/1/FIRDAUS... · (Gus Dur) yang menurut penulis beliau merupakan tokoh-tokoh yang

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sebagai negara yang terdiri dari beragam suku, bangsa, dan budaya.,

Indonesia dapat diketegorikan sebagai negara majemuk. Kemajemukan ini

menjadi titik perhatian dari founding fathers kita, sehingga dirumuskanlah konsep

yang menaungi segala bentuk kemajemukan itu yang dikenal dengan semboyan

“Bhineka Tunggal Ika”. Konsep ini merupakan tata nilai moral yang hidup jauh

sebelum adanya Indonesia. Konsep kemajemukan ini kemudian diperkokoh

dengan sumpah pemuda, yang dicirikan sebagai alat persatuan dalam menghadapi

penjajah.

Kemajukan masyarakat seyogyanya menjadi kekuatan yang disadari oleh

masyarakat itu sendiri. Dengan begitu, segala bentuk keanekaragaman bisa

menjadi kekayaan yang bisa digunakan sebagai kontribusi pembangunan negara

apabila dikelola dengan baik.

Namun demikian, seringkali timbul ancaman yang dapat mengganggu

stabilitas dan keutuhan NKRI. Dapat dilihat dari sejarah negara Indonesia, yaitu

pasca jatuhnya Orde Baru dari tampuk kekuasaannya, mulai bermunculan kasus

yang berbau etnis dan agama di berbagai wilayah Indonesia. Seperti kasus

Ambon, Poso, Sampit, dan Aceh. Kesemuanya ini bukan persoalan yang remeh,

sebab bila tidak segera ditanggulangi, akan mewabah ke daerah lain. Padahal,

pada kasus-kasus tersebut, agama hanyalah menjadi objek tertuduh mendalangi

1

Page 18: TOLERANSI DALAM TRADISI KEARIFAN LOKAL …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35722/1/FIRDAUS... · (Gus Dur) yang menurut penulis beliau merupakan tokoh-tokoh yang

2

semua permusuhan itu, dan bila dirunut jauh, pada hakikatnya kejadian tersebut

dilatarbelakangi oleh kepentingan sosial, politik dan ekonomi. Inilah yang

menjadi bukti, bahwa perhatian terhadap kesadaran perbedaan haruslah

diperhatikan dengan seksama.

Pemerintah memang telah memberikan perhatian terhadap tata kelola

kehidupan keagamaan di Indonesia. Salah satunya melalui UU Pasal 29 ayat (2)

bahwa: “Negara menjamin kemerdekaan tipa-tiap penduduk untuk memeluk

agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan

kepercayaannya itu.”1 Aturan ini sebagai upaya dari pemerintah untuk

menciptakan suasana kondusif dan toleransi antar umat beragama di Indonesia.

Namun demikian, tetap saja konflik-konflik keagamaan masih terjadi di

Indonesia.

Melihat fenomena itu, Mukti Ali, Alwi Shihab, Abdurahman Wahib,

Ahmad Wahib dan lainnya, menawarkan beberapa jalan alternatif yang bisa

ditempuh terkait dengan konflik-konflik yang terjadi. Diantaranya adalah wacana

pluralisme dan menyegarkan ulang ingatan kita tentang multikulturalisme bangsa

Indonesia yang pernah menjadi payung kokoh dalam sejarah bangsa Indonesia.

Dengan memahami pluralisme serta multikultaralisme, diharapkan akan

mereduksi gejolak dan konflik-konflik yang terjadi serta membawa dampak yang

lebih baik bagi bangsa. Bahkan ada juga yang berpendapat pluralitas itu menjadi

prasyarat bagi tumbuhnya demokrasi dalam masyarakat modern. 2

1UU Pasal 29 ayat 2

2Asep Syaefullah, Kerukunan Umat Beragama (studi Pemikiran Tarmizi Taher tentang

Kerukunan Umat Beragama (Jakarta: Penerbit Gragindo Khazanah Ilmu, 2007), h. 142.

Page 19: TOLERANSI DALAM TRADISI KEARIFAN LOKAL …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35722/1/FIRDAUS... · (Gus Dur) yang menurut penulis beliau merupakan tokoh-tokoh yang

3

Pemahaman akan pluralisme pada hakikatnya adalah membiarkan mereka

yang berpikir lain atau berpandangan lain tanpa menghalang-halangi. Pluralisme

menurut filsafat agama, sering diartikan sebagai keyakinan akan kebenaran semua

agama yang ada. Istilah pluralisme sudah dikembangkan dibeberapa ruang

lingkup seperti pluralisme sosial, pluralisme budaya, dan pluralisme etika dan

kemudian muncullah pluralime agama.

Gunawan Adnan yang dikutip dalam buku Pluralitas Agama

menyebutkan ada dua macam bentuk pluralisme agama. Pertama pluralisme

eksternal agama adalah keyakinan akan kebenaran semua agama, baik dalam

kapasitas yang sama maupun dengan kapasitas kebenaran yang berbeda-beda.

Kedua, pluralisme internal agama adalah keyakinan akan kebenaran semua sekte

atau mazhab dalam satu agama tertentu, dimana letak perbedaan sekte atau

mazhab adalah disebabkan perbedaan perbedaan penafsiran (heurmeneutika)

terhadap konteks agama.3

Selain itu istilah pluralisme ada beberapa tokoh yang mengguankan istilah

toleransi merupakan konsep memahami perbedaan itu, dengan mengambil contoh

satu agama misalnya Islam memandang toleransi sebagai persamaan hak manusia,

semua manusia mempunyai hak yang sama, tidak membedakan antara orang kulit

putih, berkulit hitam, berkulit kuning, dan kulit merah atau antara si kaya dan si

miskin.4

3Y.B. Mangunwijaya dkk., Pluralitas Agama Kerukunan dalam Keragaman (Jakarta:

Kompas, 2001), h. 24. 4Musthafa Muhammad Syak’ah, Islam Tanpa Mazhab (Solo: Tiga Serangkai, 2008), h.

24.

Page 20: TOLERANSI DALAM TRADISI KEARIFAN LOKAL …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35722/1/FIRDAUS... · (Gus Dur) yang menurut penulis beliau merupakan tokoh-tokoh yang

4

Kemudian apabila toleransi ditinjau dari kacamata sejarah, toleransi

dibedakan antara toleransi formal dan toleransi material. Toleransi formal berarti

membiarkan pandangan-pandangan dan praktik-praktik politik atau agama yang

tidak sesuai dengan pandangan umum sejauh itu tidak mengganggu hak orang

lain.

Toleransi material bermakna suatu pengakuan terhadap nilai-nilai positif

yang mungkin terkandung dalam pemahaman yang berbeda itu.5 Kedua bentuk

toleransi di atas dengan jelas memberikan gambaran toleransi yang semestinya

digunakan di Indonesia, sehingga apabila terjadi konflik tidak lagi mengangkat isu

yang mengandung SARA.

Selain itu penyadaran kembali atas keragaman masyarakat Indonesia ini

diharapkan bisa menghindari konflik dan menyadarkan kita bahwa Negara

Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) terbentuk dari perbedaan yang ada. Aksi

radikalisme agama atau apapun bentuknya hanya akan menggerogoti nafas

pluralisme yang telah menjadi perekat bangsa kita dan pada gilirannya akan

mengancam integritas nasioal. Inilah arti pentingnya menumbuhkan kembali dan

memupuk multikulturalisme sebagai bagian dari kerja membangun Indonesia

yang lebih baik.

Multikulturalisme pada hakikatnya merupakan mekanisme kerjasama dan

reciprocity (saling memberi) dengan mana setiap individu dan komponen

masyarakat sanggup memberikan tempat, merenggangkan perbedaan dan bahkan

5Elza Peldi Taher, ed., Merayakan Kebebasan Beragama Bunga Rampai 70 Tahun

Djohan Effendi (Jakarta: ICRP & Buku Kompas, 2009), h. 81.

Page 21: TOLERANSI DALAM TRADISI KEARIFAN LOKAL …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35722/1/FIRDAUS... · (Gus Dur) yang menurut penulis beliau merupakan tokoh-tokoh yang

5

membantu individu dan kelompok yang lainnya yang ada dalam masyarakat

tersebut.

Nilai-nilai toleransi, keterbukaan, inklusivitas, kerjasama dan

penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia merupakan mekanisme yang

terpenting bagi pendidikan demokrasi dan perlindungan hak-hak minoritas. Ia

mencegah adanya individu atau kelompok masyarakat yang merasa diri paling

benar, dan dengan mengatasnamakan kebenaran, mengembangkan prilaku ekslusif

yang mengabaikan hak-hak orang lain.

Dengan demikian multikulturalisme berperan menjaga harmoni sosial,

yang didefinisikan sebagai kemampuan sebuah masyarakat untuk mengatur

sumber daya dan memproduksi serta mereproduksi tatanan sosial dan lainnya

yang ia butuhkan untuk eksis.6 Ini tidak akan mungkin terjadi apabila faham

radikalisme menjadi tembok yang kokoh untuk menghadang dan menutup ruang

dialog dan juga penghargaan terhadap perbedaan. Dimana radikalisme yang

menghambat tumbuhnya harmoni sosial dan saling percaya (trust) dalam

kehidupan bermasyarakat.

Radikalisme agama merupakan cerminan dari lemahnya hubungan sosial.

Dari sudut pandang sosiologis, gejala semacam ini berhubungnan dengan ekspansi

meodernisasi yang menciptakan kondisi dunia modern yang sangat paradoksal

dan ini menimbulkan tekanan terhadap sistem disposisi berkelanjutan individual

6Taher, Merayakan Kebebasan Beragama, h. 81.

Page 22: TOLERANSI DALAM TRADISI KEARIFAN LOKAL …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35722/1/FIRDAUS... · (Gus Dur) yang menurut penulis beliau merupakan tokoh-tokoh yang

6

yang mengintegrasikan pengalam-pengalaman masa lalu dan berfungsi sebagai

matriks persepsi dan tindakan.

Sampai di sini, dapat dilihat bahwa substansi dari multikulturalisme adalah

adanya penghayatan akan kesadaran setiap indivindu di dalam masyarakat.

Setidaknya itulah pendapat para pakar yang bisa disimpulkan saat ini.

Pengahayatan tersebut sebenarnya telah ada jauh sebelum terbentuknya Indonesia

seperti saat ini. Dalam artian bahwa, kesadaran akan nilai keragaman telah

dipahami oleh para pendahulu bangsa Indonesia.

Menerapkan konsep toleransi dan multikultural dari beberapa pendapat

tokoh setelah Mukti Ali. Tetapi konsep pluralisme dan multikultural yang

mengakui atas perbedaan sebenarnya sudah ada dalam adat dari suku masyarakat

jauh sebelum kemerdekaan Indonesia.

Modernisasi yang telah membawa arus informasi demikian begitu cepat,

sehingga menimbulkan kompleksitas yang tidak terkontrol, dimana suatu

pemahaman akan budaya-budaya luar begitu cepat bertrasnformasi dan merubah

pemahaman budaya lokal. Sehingga, menimbulkan pembauran nilai budaya yang

tidak terstruktur bahkan kadang rancu.

Pandangan masyarakat luar tentang multikulturalisme seperti pengalaman

negara-negara Eropa Barat, Australia, dan Selandia Baru, bahwa

multikulturalisme baru akan tumbuh dalam suatu tatanan masyrakat apabila

ditunjang oleh syarat-syarat berikut:

1. Tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan.

Page 23: TOLERANSI DALAM TRADISI KEARIFAN LOKAL …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35722/1/FIRDAUS... · (Gus Dur) yang menurut penulis beliau merupakan tokoh-tokoh yang

7

2. Negara dengan pengamanan sosial yang kuat dan redistribusi kekayaan

secara baik melalui sistem pajak yang progresif.

3. Tidak ada kelas bawah terpingkirkan atas garis etnisitas.

4. Negara netral yang tidak berpihak pada kelompok dominan tertentu.

5. Perkawinan antar-ras dan etnik serta agama yang bebas.

6. Akses pendidikan yang merata termasuk bagi perempuan.

7. Kebijakan pemerintah yang berpihak pada nilai kosmopolitanisme dan

keragaman budaya.

8. Legislasi yang efektif unutk menghukum provokator yang menebar

kebencian antar- agama dan golongan.

9. Pengalaman bersama dalam aktifvittas-aktivitas sosial dan olahraga.

10. Ideologi patriotik yang menghadang loyalitas kedaerahan dan etnis. Akses

terbuka untuk naturalisasi.

11. Rule of law dan jaminan kesamaan didepan hukum.

12. Agama berfungsi menciptakan solidareitas, sosial, bukan perpecahan.7

Uraian di atas adalah hasil dari pengalaman-pengalaman “budaya luar”

yang tidak selalu tepat jika dipraktekkan di wilayah Indonesia. Sebab suatu

budaya merupakan suatu kekayaan nilai yang dimiliki oleh suatu daerah dan

apabila budaya yang berkembang di suatu daerah dipaksa diterapkan ke suatu

daerah yang lain maka tentunya tidak akan menghasilkan suatu yang baik secara

maksimal. Bukannya hendak mengucilkan atau meremehkan nilai “budaya luar”,

namun betapa tidak adilnya jika hanya melihat sesuatu hanya dari beberapa bagian

7Taher, Merayakan Kebebasan Beragama, hal. 203.

Page 24: TOLERANSI DALAM TRADISI KEARIFAN LOKAL …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35722/1/FIRDAUS... · (Gus Dur) yang menurut penulis beliau merupakan tokoh-tokoh yang

8

kecil aspek saja. Terlebih bila dihadapakan pada konteks keindonesian yang mana

lebih banyak memiliki ragam budaya yang ada.

Sering kali budaya luar diterima oleh masyarakat yang secara mentah-

mentah menimbulkan problematika yang baru dalam kehidupan bangsa kita saat

ini misalnya globalisasi, liberalisasi dan hedonisme, yang mana mendorong

masyarakat menjadi individualistis, tidak lagi peduli terhadap individu lainnya.

Indonesia yang dulunya menjunjung tinggi nilai “gotong royong” dan rasa

empati terhadap orang lain sudah mulai tergerus sehingga dengan tidak disadari

ini dapat menggerus identitas bangsa, sehingga nantinya Indonesia tidak lagi

menjadi sebuah bangsa seperti apa yang telah diwariskan dan dicita-citakan oleh

para founding fathers kita dulu.

Masuknya budaya luar dalam kehidupan masyarakt Indonesia begitu

menghebohkan masyarakat, sehingga tanpa tersadari masyarakat melupakan

budaya leluhurnya. Bahkan dalam beberapa hal budaya yang menjadi identias ke-

Indonesiaan dilupakan karena dianggap tradisional dan kolot.

Mengikuti budaya barat yang tanpa mempertimbangkan apakah budaya

yang datang dan dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari sesuai dengan konteks

Indonesia saat ini. Semestinya kita bisa mensinergikan antara budaya yang datang

dari luar dengan budaya Indonesia sendiri, sehingga Indonesia tetap mempunyai

identitas yang kuat dalam bersaing dengan negara modern lainnya, apalagi

Indonesia kaya keanekaragama budaya, sumber daya manusia, dan sumber daya

alam yang dimilikinya.

Page 25: TOLERANSI DALAM TRADISI KEARIFAN LOKAL …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35722/1/FIRDAUS... · (Gus Dur) yang menurut penulis beliau merupakan tokoh-tokoh yang

9

Kita bisa lihat kemajuan bangsa Jepang misalnya yang mana dalam

pandangan umum sejajar dengan bangsa modern lainnya yang sampai saat ini

mereka tetap mempertahankan kebudayaan nenek moyang yang diwariskan

kepada mereka yang pekerja keras dan mempertahankan budaya malu. Walaupun

mereka tetap menjaga tradisinya tapi mereka juga tetap melaju menuju bangsa

modern lain yang tetap menonjolkan identitas sebagai bangsa Jepang.

Dalam konteks Indonesia yang tergolong dalam negara berkembang saat

ini sangat rentan dengan pola ikut-ikutan (follower) dari bangsa yang maju yang

tanpa filterasi dengan baik dalam masyarakat yang semestinya mengambil nilai

positif dan meninggalkan budaya negatif dari budaya bangsa luar yang maju,

Sejalan dengan itu, Prof. Dr. Ridwan Lubis menjelaskan bagaimana tujuan

pesantren pada awal didirikan oleh para ulama yaitu, “meninggalkan yang tidak

baik dan melanjutkan yang baik”, ini bisa menjadi contoh dalam mengadopsi pola

kehidupan dari budaya luar, bagaimana mengadopsi budaya dari luar tanpa

menghilangkan budaya sendiri yang baik dalam masyarkat kita.8

Melihat dari kondisi di atas ada dua macam respon terhadap budaya luar

yang akan beredar dikalangan masyarakat kita seperti yang digambarkan Fuad

Hasan yaitu, pertama budaya-tandingan (counter culture) budaya ini biasanya

tampil melalui perilaku dan penampilan, gaya berujar, penggunaan kata sandi, dan

lain sebagainya; sedangkan yang disebut budaya tandingan tampil dengan ciri

negativisme, sikap protes, ungkapan pembangkan, dan sebagainya. Kedua, budaya

8Penjelasan Prof. Dr. Ridwan Lubis pada mata kuliah Islam dan Kristen di Indonesia,

pada tahun 2013 di Fakultas Ushuluddin.

Page 26: TOLERANSI DALAM TRADISI KEARIFAN LOKAL …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35722/1/FIRDAUS... · (Gus Dur) yang menurut penulis beliau merupakan tokoh-tokoh yang

10

sandingan (sub-culture) berbeda dengan budaya-tandingan yang budaya

sandingan mengarahkan untuk bagaimana kita bisa mensinergikan dan bisa

berjalan beriringan dengan budaya realitas tersebut.9

Dari kedua macam respon yang akan terjadi dalam masyarakat kita

terlebih karena kondisi Indonesia yang bergerak manuju negara maju, budaya

sandingan menjadi alternatif yang untuk menerima budaya kuar yang akan

berpengaruh positif di kalangan masyarakat Indonesia, kemudian budaya

tandingan yang positif (bukan dengan sikap pembangkang yang arogan) akan

tetapi menawarkan suatu konsep budaya yang positif dalam kehidupan

bertoleransi masyarakat yaitu prulalisme yang selama ini para pakar tawarkan

berdasarkan pada teori yang bermunculan di negara-negara Eropa yang selama ini

diterapkan Indonesia.

Ada beberapa pakar pluralisme menggunakan dalil-dalil agama sebagai

dasar dalam teorinya, yang mana hasilnya belum begitu signifikan dalam

mewujudkan toleransi sebagai bangsa yang multikultur. Padahal sebelum

kemerdekaan permasalahan multikulturalitas, pluralitas, dan toleransi sudah

terwujud dalam bingkai “Bhinneka Tunggal Ika” yang selalu didengungkan dari

Sabang sampai Merauke

Dalam hal ini penulis merasa bahwa untuk menciptakan kesadaran dan

penghayatan yang mendalam dalam masyakat Indonesia dibutuhkan aspek budaya

yang dimiliki oleh bangsa Indonesia sendiri. Mengingat akan kesadaran

9Fuad Hasan, Renungan Budaya (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), Cet..I, h .85.

Page 27: TOLERANSI DALAM TRADISI KEARIFAN LOKAL …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35722/1/FIRDAUS... · (Gus Dur) yang menurut penulis beliau merupakan tokoh-tokoh yang

11

multikulturalitas, pluralitas, dan toleransi telah terbungkus dengan rapi dari nilai-

nilai kearifan lokal masing-masing suku sebelum Indonesia menjadi sebuah

negara yang utuh.

Saling menghargai, saling menghormati, saling mengasihi dalam intern

suatu suku bahkan bagaimana hidup rukun dari sekian banyak perbedaan dari

masing suku di suatu daerah seperti hidup rukunnya suku atau masyarakat Minang

yang diidentikan Islam dengan masyarakat Melayu yang juga diidentikan Islam,

dan dengan masyarakat Batak yang diidentikan dengan Kristen yang ada di pulau

Sumatera dimana pertemuan dan pergesekan yang akan berakibat fatal dalam

masyarakat meskipun begitu bisa diredam dan terselesaikan dengan baik.

Kemudian perbedaan yang sama antara masyarakat suku Makassar, Bugis,

Mandar yang diidentikan dengan Islam, dan sementara Toraja yang diidentikan

dengan Kristen yang mana demikian ini melihat dari perbedaan-perbedaan yang

begitu menonjol dari masing-masing suku, baik itu dari segi adat-istiadat, nilai-

nilai budaya, dan kepercayaan (agama) akan tetapi semua dari semua perbedaan

itu mereka bisa bekerja sama dan bersanding dengan baik, hidup rukun.

Bagaimana dulu budaya dan tradisi mengatur kehidupan manusia yang

mengutakan keharmonisan hubungan manusia, baik hubungan manusia dengan

penciptanya, lingkungan, kehidupan sosial, maupun dirinya sendiri,10

sehingga

dapat membuat sebuah peradaban yang besar.

10

Mashadi Said, Jati Diri Manusia Bugis (Jakarta: Pro leader, 2016), h. 3.

Page 28: TOLERANSI DALAM TRADISI KEARIFAN LOKAL …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35722/1/FIRDAUS... · (Gus Dur) yang menurut penulis beliau merupakan tokoh-tokoh yang

12

Apabila kita mengingat kondisi saat itu teori normatif tentang

multikulturalisme dan pluralisme belum pernah terdengar dan diketahui oleh

suku-suku tersebut, melainkan sebuah kearifan lokal yang dimiliki oleh masing-

masing suku tersebut melihat perbedaan yang ada. Kehidupan yang toleran dalam

masyakat bangsa Indonesia sudah terletak sejak lama dalam nilai-nilai budaya kita

sendiri.

Masyarakat Bugis mempunyai peradaban yang tinggi dalam tataran

masyarakat Sulawesi Selatan yang bisa membuat masyarakat Bugis dikenal yang

cepat menyesuaikan dan pantang menyerah akan cita-citanya. kekayaan sumber

daya alamnya saat itu sehingga banyak neraga yang melakukan perdagangan

dengan masyarakat Bugis, baik itu dari pedangan Nusantara, Cina, India, serta

banyak negara samudra Hindia lainnya11

, begitu pulat kapal pedagang Wajo

sampai ke Singapura.12

Menurut penelitian antropologi yang dikemukakan oleh A. Mattulada

dalam disertasinya berjudul “Latoa, suatu lukisan analisis terhadap antropologi

politik orang Bugis” yang juga dikutip oleh Laica Marzuki mengatakan bahwa

manuskrip lontara karya klasik gubahan La Mellong membuktikan bahwa siri

mendinamisasi serta menjadi kekuatan pendorong terhadap pangederreng sebagai

wujud totalitas kebudayaan beserta dengan isinya.13

Pangederreng menjadi

sebuah budaya yang tinggi dalam masyarakat Bugis selama ini dengan beberapa

11

Cristian Pelras, Manusia Bugis (Jakarta: Forum Jakarta-Paris, 2006), h. 356. 12

Pelras, Manusia Bugis h. 362. 13

M. Laica Marzuki, Siri: Sebagai Kesadaran Hukum Rakyat Bugis-Makassar sebuah

telaah filsafat hukum (Ujung Pandang: Hasanuddin University Press, 1995), h. 25.

Page 29: TOLERANSI DALAM TRADISI KEARIFAN LOKAL …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35722/1/FIRDAUS... · (Gus Dur) yang menurut penulis beliau merupakan tokoh-tokoh yang

13

unsurnya yaitu, Ade’ (kaedah hukum, adat-istiadat, kebiasaan), Bicara (Peradilan,

putusan hakim atau raja), Rapang (rujukan, yurisprudinsil), Wari’ (aturan

kekerabatan, protokoler, pengaturan silsilah menurut garis keturunan), dan Sara’

(syariat). Dari pengederreng bagaimana kehidupan orang Bugis diatur sedemikian

rupa agar mencapai kemajuan dalam hidupnya, dari pangederreng itu terangkum

dalam “Siri na Pesse”.

Siri na Pesse adalah dua suku kata yang terdiri dari kata “Siri”dan kata

“Pesse”. Siri diartikan sebagai malu, harga diri atau martabat diri seseorang,

peneliti Auckland University, Selandia Baru Leonard Y Andaya. yang dikutip oleh

Mashadi Said, bahwa Siri’ itu dua makna yang kontradiktif, pertama Siri’

diartikan sebagai shame (malu) kedua yaitu makna self respect, self esteem, self-

worth (harga diri).14

Seseorang Bugis akan menyerahkan segalanya bahkan nyawanya

sekalipun untuk menegakkan Siri’-nya dan dianggap mulia dan terhormat apabila

seseorang bisa menegakkan siri’-nya meskipun dia membunuh sekalipun, dalam

hal ini masyarakat Bugis banyak yang menggangap bahwa logika orang Bugis itu

tidak baik dan salah karena menghargai dan memuliakan pembunuh. Akan tetapi

di lain sisi kondisi psikologis masyarakat Bugis “sangat peka” dimana sikap

saling mengormati dan saling menghargai begitu dijunjung tinggi yang mana akan

berakibat fatal bagi pribadi yang tidak menghormati dan menghargai orang lain

sebagai manusia.

14

Said, Jati Diri Manusia Bugis, hal. 38.

Page 30: TOLERANSI DALAM TRADISI KEARIFAN LOKAL …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35722/1/FIRDAUS... · (Gus Dur) yang menurut penulis beliau merupakan tokoh-tokoh yang

14

Kemudian kata “Pesse” yang berarti pedas seperti cabe atau merica yang

menganding rasa pedas yang mengigit. Pesse juga bisa diartiakan, pesse perru’

atau bebbua contoh dalam ungkapan mapesse perru’na (perih hatinya) maka

artinya adalah perasaan kasihan, iba hati atau rasa empati terhadap orang lain yang

juga merupakan suatu panggilan hati.15

Ini menunjukan kepekaan masyarakat

Bugis untuk memanusiakan manusia lainnya.

Untuk menciptakan kondisi yang toleran dan solidaritas dalam masyarakat

Bugis pada Zaman dahulu dikenal dengan istilah Assimellereng yang terdapat

dalam Pangaderreng yang kini menjadi prinsip paling dijunjung dalam kehidupan

sehari-hari. Assimellereng mengadung makna kesehatian, kerukunan,

kesatupaduan antara satu keluarga dengan yang lainnya, antara suatu masyarakat

dengan masyarakat lainnya.16

Realisasi dari Assimellereng ini terdapat dalam tiga (3) sipa’ (sifat) yaitu,

Sipakatau (saling menghormati), sipakalebbi’ (saling menghargai), dan

sipakainge’ (saling mengingatkan) yang kemudian dikenal dengan falsafah 3-S

dalam masyarakat Bugis.

Sehubungan itu penulis ingin menjadikan budaya lokal sebagai salah sudut

pandang untuk menciptakan kesadaran dan penghayatan menuju masyarakat

Indonesia yang toleran dalam skiripsi penulis dengan judul “Toleransi dalam

Kearifan Lokal Masyarakat Bugis”. Sebagaimana yang telah ada tergambar dalam

nilai-nilai budaya dan kearifan lokal masyarakat Bugis secara idea.

15

Marzuki, Siri Bagian Kesadaran Hukum Rakyat Bugis Makassar, h. 135. 16

Said, Jati Diri Manusia Bugis, h. 204.

Page 31: TOLERANSI DALAM TRADISI KEARIFAN LOKAL …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35722/1/FIRDAUS... · (Gus Dur) yang menurut penulis beliau merupakan tokoh-tokoh yang

15

B. Identifikasi Masalah

1. Selama ini masalah intoleransi di Indonesia kebanyakan timbul dari sudut

pandang agama dan selalu diselesaikan menggunakan teori toleransi yang

diambil dari dalil agama-agama, dalil filsafat Timur dan Barat yang

tentunya berbeda dari segi history dan budaya yang ada di Indonesia.

2. Memberikan ruang kepada kearifan lokal di Indonesia untuk berbicara

dalam permasalahan intoleransi khususnya kearifan lokal masyarakat

Bugis.

3. Indonesia menuju masyarakat yang unggul dan berperadaban memiliki

masalah yang kompleks termasuk perbedaan itu bisa terselesaikan dan

membentuk peradabannya baru.

C. Batasan Masalah

Dalam proposal ini penulis membatasi penelitian secara merinci pada isu-

isu intoleransi baik daerah dan nasional yang solusinya sudah diwariskan oleh

leluhur masyarakat Bugis:

1. Bagaimana kearifan lokal masyarakat Bugis Menyikapi perbedaan-

perbedaan yang ada, baik itu di internal masyarakat Bugis dan

masyarakat di luar dari masyarakat Bugis.

D. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dalam pembahasan skripsi dengan judul

“toleransi dalam kearifan lokal masyarakat Bugis” sebagai berikut:

1. Bagaimana pesan toleransi dalam kearifan lokal masyarakat Bugis ?

E. Tujuan dan Manfaat penelitian

Page 32: TOLERANSI DALAM TRADISI KEARIFAN LOKAL …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35722/1/FIRDAUS... · (Gus Dur) yang menurut penulis beliau merupakan tokoh-tokoh yang

16

1. Tujuan dari penelitian ini adalah:

1) Untuk mengetahui dan mendalami konsep toleransi dalam masyarakat

Bugis.

2) Melestarikan warisan budaya dan kearifan lokal masyarakat Indonesia.

3) Setidaknya menjadi sebuah kontribusi kecil untuk mewujudkan bangsa

Indonesia yang toleran.

4) Dan menjadikan budaya lokal salah satu unsur untuk mewujudkan

bangsa Indonesia yang toleran.

2. Manfaat Akademis

Untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam meraih gelar kesarjanaan

strata satu (S1) Fakultas Ushuluddin dan Filsafat pada Universitas Islam

Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Manfaat Praktis

Menambah wawasan mahasiswa pada umumnya, dan bagi penulis pribadi

pada khususnya bahwa ada sebuah etika toleransi yang wariskan para

leluhur kita khususnya masyarakat Bugis kepada kita masih eksis dan

dapat diterapkan dengan baik sesuai cita-cita bangsa yaitu masyarakat

yang toleran. Dan diharapkan memberi sumbangan wacana civitas

akademika bagi jurusan Perbandingan Agama dan Fakultas Ushuluddin.

F. Metode Penelitian

1. Sumber Data

Page 33: TOLERANSI DALAM TRADISI KEARIFAN LOKAL …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35722/1/FIRDAUS... · (Gus Dur) yang menurut penulis beliau merupakan tokoh-tokoh yang

17

Penelitian ini menggunakan referensi utama buku-buku yang berkaitan

dengan kehidupan masyarakat Bugis di antaranya: Manusia Bugis17

, Jati Diri

Manusia Bugis18

, I La Galigo19

, Nilai-Nilai Utama Kebudayaan Bugis20

, dan

Siri’ Bagian Kesadaran Hukum Rakyat Bugis Makassa.,21

Adapun data sekunder yang digunaka mungkin dari Jurnal-jurnal, Majalah,

atikel dan koran-koran yang kiranya berhubungan dengan pembahasan etika

secara umum dan toleransi secara umum pula yang bisa memperlancar

pembahasan toleransi dalam kearifan lokal masyarakat Bugis.

2. Jenis Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif-analisis yaitu dengan mendeskripsikan

secara terperinci terkait dengan masalah yang hendak diteliti kemudian

menganalisis setiap masalah untuk memperoleh pemahaman secara komprehensif.

3. Teknik Pengumpulan Data

Karena penelitian ini termasuk penelitian library research, maka teknik

pengumpulan data dilakukan di sebagian besar perpustakaan, baik perpustakaan

Utama UIN Jakarta, Perpustakaan Fakultas Ushuluddin, Perpustakaan Freedom

Institute, Perpustakaan Universitas Indonesia, Perpustakaan Nasional, maupun

perpustakaan pribadi yang menyediakan literatur berkaitan dengan tema pada

penelitian ini. Semua buku yang berkaitan dengan pembahasan penelitian ini

17

Cristian Pelras, Manusia Bugis, Jakarta: Forum Jakarta-Paris.2006. 18

Marhadi Said, Jati Diri Manusia Bugis, Jakarta: Pro leader, 2016. 19

R.A. Kern, I LA GALIGO Cerita Bugis Kuno Edisi Indonesia, (Jogja: Gadjah Mada

University Press, cetakan pertama, 1989). 20

Rahman Rahim, Nilai-Nilai Utama Kebudayaan Bugis, (Ujung Pandang: Hasanuddin

Universitas Press, 1992). 21

M. Laica Marzuki. Siri: Sebagai Kesadaran Hukum Rakyat Bugis-Makassar (sebuah

telaah filsafat hukum) (Ujung Pandang: Hasanuddin University Press, 1995).

Page 34: TOLERANSI DALAM TRADISI KEARIFAN LOKAL …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35722/1/FIRDAUS... · (Gus Dur) yang menurut penulis beliau merupakan tokoh-tokoh yang

18

dikumpulkan dan diklasifikasi berdasarkan relevansi terhadap pembahasan

penelitian ini. Setelah semua buku telah diklasifikasi maka langkah selanjutnya

adalah dibaca dan diteliti dan pada akhirnya dimasukkan pada pembahasan

penelitian yang diangkat.

4. Teknik Penulisan

Teknik penulisan pada penelitian ini mengacu pada buku “Pedoman

Akademik Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta”

tahun 2010-201122

.

G. Sistematika Penulisan

Pembahasan penelitian ini disusun dalam lima BAB, BAB I adalah

pendahuluan. Di dalamnya menjelaskan tentang latar belakang masalah dan

rumusan masalah yang diangkat dalam penelitian ini. Di dalam bagian ini juga

dikemukakan secara umum tentang toleransi dalam kearifan lokal masyarakat

Bugis.

Pada BAB II, diuraikan toleransi agama meliputi pengertian toleransi

agama yang memberikan definisi-definisi toleransi yang selama ini berkembang.

Perkembangan dan teori toleransi di Indonesia, menjelaskan bagaimana proses

toleransi berkembang dan beberapa teori toleransi yang berkembang di Indonesia

pendapat tokoh-tokoh muslim tentang toleransi: 1. Mukti Ali, beliau sebagai

peletak batu pertama toleransi dalam institusi perguruan tinggi di Indonesia. 2.

Alwi Shihab merupakan tokoh yang cukup diperhitungkan dengan 2 kali menjadi

kabinet pemerintah, selain itu beliau juga menulis beberapa karya tentang

22

Jamhari, dkk., Pedoman Akademik Program Strata 1, 2010/2011 (Jakarta: UIN Syarif

Hiduatullah Jakarta, 2010.

Page 35: TOLERANSI DALAM TRADISI KEARIFAN LOKAL …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35722/1/FIRDAUS... · (Gus Dur) yang menurut penulis beliau merupakan tokoh-tokoh yang

19

toleransi sehingga penulis merasa tertarik meneliti karya beliau. 3. Abdurahman

Wahid, beliau adalah satu-satunya presiden ke-4 Republik Indonesia yang

bergelar Kiyai Haji yang mempuanyai pemikiran yang cerdas dengan argumentasi

sederhana dan rasional serta dilengkapi oleh rasa humanisme yang kuat di setiap

sikapnya terhadap perbedaan.

Pada BAB III, pada bab ini pembahasannya mengenai Perkembangan

mayarakat Bugis meliputi sejarah tentang Bugis kemudian perkembangan

masyarakat Bugis sampai sekarang, kearifan lokal masyarakat Bugis, membahas

bagaimana masyarakat Bugis bisa mengendalikan dan menyelesasikan masalah

yang terjadi dalam masyarakt. Siri na Pesse prinsip hidup masyarakat Bugis,

Prinsip yang menjadi pegangan pokok dalam masyarakat Bugis dalam menyikapi

segala bentuk persoalan.

Pangederreng masyarakat Bugis adalah suatu identitas yang sudah

ditanamkan kepada masyarakt Bugis, meliputi: 1. Ade’, ade’ merupakan

kebiasaan-kebiasaan masyarakat Bugis di semua ruang lingkup kehidupan. 2.

Bicara, bicara adalah aturan-aturan peradilan yang normatif yang mengatur

kehidupan masyarakat Bugis, sama hal Pengadilan Negeri yang ada sekarang ini.

3. Rapang, rapang perumpamaan, contoh, kesamaan, atau sebagai

yurisprudensial, suatu ketentuan yang diambil berdasarkan ketentuan-ketentuan

atau kejadian-kejadian yang pernah dilakukan pada waktu yang lalu.23

4. Wari,

wari Wari merupakan suatu sistem yang mengatur tentang batas-batas

23

Mattulada, LATOA : Satu Lukisan Analisis Terhadap Antropologi Politik Orang Bugis,

(Ujung Pandang: Hasanuddin University Press, 1995), h.334.

Page 36: TOLERANSI DALAM TRADISI KEARIFAN LOKAL …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35722/1/FIRDAUS... · (Gus Dur) yang menurut penulis beliau merupakan tokoh-tokoh yang

20

kewenangan dalam masyarakat, membedakan antara satu dengan yang lainnya

dengan ruang lingkup penataan sistem kemasyarakatan

5. Assimellereng merupakan konsep sehatian, kerukunan, kesatupaduan,

solidaritas antara satu dan lainnya, antara satu keluarga dengan keluarga lain dan

antara manusia sesama manusia yang lainnya.

Pada BAB IV, analisis toleransi dalam masyarakat Bugis, bagaimana

masyarakat menyikapi atas perberdaan yang terdapat dalam kehidupan sehari-hari

masyarakat sesuai dengan konsep kearifan lokal masyarakat Bugis.

Pada BAB V, merupakan bagian terakhir dari penulisan skripsi ini yang

berisikan Kesimpulan dan Saran penulis yang dianggap penting terhadap toleransi

dalam kearifan lokal masyarakat Bugis ini.

Page 37: TOLERANSI DALAM TRADISI KEARIFAN LOKAL …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35722/1/FIRDAUS... · (Gus Dur) yang menurut penulis beliau merupakan tokoh-tokoh yang

21

BAB II

TOLERANSI BERAGAMA

A. Pengertian Toleransi Beragama

Toleransi berasal dari bahasa Latin “tolerantia” yang artinya menahan.

Ketika seseorang memiliki “toleransi yang tinggi pada rasa sakit”, berarti dia bisa

“menahan rasa sakit”. Dengan demikian toleransi adalah istilah sebuah sikap

untuk menahan dari hal-hal yang dinilai negatif, khususnya dalam hal perbedaan

sikap dan tingkah laku dalam suatu intraksi dalam kehidupan bermasyarakat.1

Menurut definisi Gerald O’Colins SJ dan Edward JFarrugia SJ toleransi

adalah membiarkan dalam damai orang-orang yang mempunyai keyakinan dan

praktik hidup yang lain.2 Menurut Soejorno Soekanto bahwa toleransi adalah

suatu sikap yang merupakan perwujudan pemahaman diri terhadap sikap pihak

lain yang tidak disetujui.3

Dalam kamus umum bahasa Indonesia, toleransi berasal dari kata toleran,

secara etimologi, toleransi adalah kesabaran, ketahanan emosional dan kelapangan

dada. Sedangkan secara terminologi, toleransi yaitu bersifat atau bersikap

menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat,

1Abd Muqsith Ghazali, Argumen Pluralisme Agama: Membangun Toleransi Berbasis al-

Quran (Depok: Katakita, 2009), h. 5. 2Gerald O’ Collins SJ dan Edward G. Farrugia SJ, Kamus Teologi (Yogyakarta: Kanisius,

1996), h. 335. 3Soerjono Soekanto, Kamus Sosiologi (Jakarta: Royandi, 1985), h. 518.

21

Page 38: TOLERANSI DALAM TRADISI KEARIFAN LOKAL …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35722/1/FIRDAUS... · (Gus Dur) yang menurut penulis beliau merupakan tokoh-tokoh yang

22

pandangan, kepercayaan, kebiasaan) yang berbeda dan atau bertentangan dengan

pendiriannya.4

Dalam istilah agama-agama seperti dalam agama Islam (bahasa Arab)

toleransi biasanya dikatakan ikhtimal, tamaamukh yang artinya, sikap

membiarkan, lapang dada, samakha-tasaamakha: lunak berhati ringan atau ada

yang memberi arti tolerantie itu dengan kesabaran atau membiarkan, dalam arti

menahan diri walaupun diperlakukan senonoh.5

Dalam bahasa Inggris toleransi berasal dari kata tolerate yang berarti

memperkenankan atau sabar tanpa protes terhadap perilaku orang atau kelompok

lain. Ia juga berarti saling menghormati, melindungi, dan kerja sama terhadap

yang lain.6 Bahasa Yunani toleransi disebutkan dengan istilah sophrosyne yang

artinya adalah moderasi atau mengambil jalan tengah.

Dari semua penjelasan di atas toleransi dimaksudkan adalah adanya sikap

untuk saling menghasgai dan menghormanti orang lain, dan menjaga sikap dalam

memutuskan langkah yang dilakukan setelah adanya suatu tindakan yang

menuinggung perasaan dari kelompok yang berbeda.

Jadi, apabila toleransi yang telah dikemukakan di atas, ditimbahkan

dengan kata “beragama” maka yang terpikirkan adalah sikap sabar dan menahan

diri untuk tidak menganggu dan tidak melecehkan agama atau sistem keyakinan

4Binsar A. Hutabarat, Kebebasan Beragama VS Toleransi Beragama,

http://www.toleran.com, di akses pada tanggal 28 Oktober 2016. 5Djohan Efendi & Ismet Natsir, ed., Pergolakan Pemikiran Islam, Catatan Harian Ahmad

Wahib (Jakarta: LP3ES, 2003), h. 55. 6Sufa’at Mansur, Toleransi dalam agama Islam (Yogyakarta: Harapan Kita, 2012), h. 1.

Page 39: TOLERANSI DALAM TRADISI KEARIFAN LOKAL …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35722/1/FIRDAUS... · (Gus Dur) yang menurut penulis beliau merupakan tokoh-tokoh yang

23

dan ibadah penganut agama-agama lain. Toleransi berarti sikap lunak,

membiarkan dan memberi keleluasaan kepada penganut agama lain untuk

memenuhi hak dan kewajiban atas agama yang dianutnya.

Dalam hubungan antar agama, toleransi dapat berupa toleransi ajaran atau

toleransi dogmatis dan toleransi bukan ajaran praksis.7 Dengan toleransi dogmatis

maka pemeluk agama tidak menonjolkan keunggulan ajaran agamanya masing-

masing. Toleransi praksis maka pemeluk agama akan membiarkan pemeluk

agama yang lain melaksanakan keyakinan mereka masing-masing. Pemahaman

demikian ini akan melahirkan konsep damai dalam kehidupan manusia.

Menurut Thogir senada dengan M. Natsir yang mengatakan man is born as

social being (manusia dilahirkan sebagai makhluk sosial). Sebagai akhluk sosial

manusia tidak bisa melepaskan komunikasi dan hubungan pergaulan terhadap

sesama. Pada tataran ini akan terjadi proses pembaruan yang tidak mungkin

dihindari.8

Toleransi dalam beragama bukan berarti seseorang boleh dengan bebas

menganut agama tertentu dan esok harinya berpindah atau menganut agama yang

lain. Sehingga nantinya seseorang itu dengan bebasnya mengikuti ibadah dan

ritualitas semua agama tanpa adanya peraturan yang mengikat. Akan tetapi,

toleransi beragama harus dipahami sebagai bentuk pengakuan dan saling hormat

terhadap perbedaan yang ada.

7A.M Hardjana, Penghayatan Agama: Yang Otentik dan Tidak Otentik (Yogyakarta:

Kanisius, 1993), h. 115. 8Thohir Luth, Masyarakat Madani: Solusi Damai dalam Perbedaan (Jakarta: Mediacita,

2006), h.76.

Page 40: TOLERANSI DALAM TRADISI KEARIFAN LOKAL …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35722/1/FIRDAUS... · (Gus Dur) yang menurut penulis beliau merupakan tokoh-tokoh yang

24

B. Perkembangan dan Teori Toleransi Agama di Indonesia

Perkembangan tentang toleransi diikuti oleh perkembangan globalisasi dan

modernitas yang ada, tidak bisa lagi memaksakan kehendak pribadi dan suatu

kelompok yang tentunya akan menghambat suatu kemajuan. Sehingga bisa

dikatakan bahwa apabila suatu kelompok yang intoleran maka akan mengalami

stagnansi dari segala sendi kehidupan. Kemudian toleransi dalam keagamaam

mulai dilirik dan dikembangkan melalui doktrin yang tentunya belandaskan kitab

suci.

Toleransi agama-agama yang diakui di Indonesia berjalan sesuai dengan

pemahaman keagamaan dalam setiap agama itu sendiri. Misalnya dalam Gereja

katolik Roma, beberapa keputusan Konsili Vatikan II telah menumbuhkan sikap

yang lebih positif terhadap keberadaan agama-agama lain. Sedangkan dalam

kalangan Protestan selama tahun 1970-an Dewan Gereja-Gereja dunia

menganggap semakin penting artinya dalam upaya menggalakkan dialog yang

sekarang tetap menjadi pembahasan dalam setiap Gereja yang menjadi

anggotanya, kemudian umat Kristen mulai meninggalkan sikap eksklusifnya9

Dalam ajaran Protestan diajarkan hidup yang rukun beragama adalah

seperti yang diajarkan dalam Alkitab yaitu hukum cinta kasih. hukum kasih yang

mengajarkan untuk mengasihi sesama manusia seperti mengasihi diri sendiri, bagi

Kristen Protestan adalah hukum utama di dalam kehidupan orang Kristen.

Sedangkan dalam Kristen Katolik seperti yang telah dikatakan sebelumnya,

9Norbert Ama Ngongu, “Pluralisme Dalam Perspektif Agama Katolik”artikel diakses

pada tanggal 4 September 2016 dari http://norbertang.blogspot.co.id/2008/03/pluralisme-dalam-

perspektif-agama.html

Page 41: TOLERANSI DALAM TRADISI KEARIFAN LOKAL …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35722/1/FIRDAUS... · (Gus Dur) yang menurut penulis beliau merupakan tokoh-tokoh yang

25

bahwa kerukunan antar umat beragama terkandung dalam konsili Vatikan II

tentang sikap gereja terhadap agama lain.

Perkembangan yang ada memaksa setiap manusia untuk hidup toleran dan

makin hari makin erat bersatu, hubungan antar bangsa menjadi kokoh, gereja

lebih seksama mempertimbangkan bagaimana hubungannya dengan agama-agama

dan karena tugasnya memelihara persatuan dan perdamaian di antara manusia dan

juga di antara para bangsa, maka di dalam deklarasi ini gereja mempertimbangkan

secara istimewa apakah kesamaan manusia dan apa yang menarik mereka untuk

hidup berkawanan.10

Toleransi agama bukan sekedar wacana yang berkembang pada saat ini,

tetapi sudah terbentuk dalam berbagai formulasi yang terus berkembang. Semua

agama pada dasarnya menjunjung tinggi nilai toleransi ini, Islam mengajarkan

(amar ma’ruf nahi mungkar), Kristen mengajarkan cinta kasih, Hindu

mengajarkan dharma dan Budha mengajarkan jalan kebenaran yang semuanya

menuntut pemeluknya untuk menebarkan perdamaian dan sikap toleran kepada

pemeluk agama lain. Dalam perkembangan toleransi beragam memuat beberapa

konsep yaitu:

1. Pluralisme

Pluralitas yang berarti majemuk atau berbeda identitas. Sebagaimana

dinyatakan Alwi Shibab pluralisme tidak semata menunjuk pada kenyataan

10

Wijaya, Spiritualitas Baru, h. 9.

Page 42: TOLERANSI DALAM TRADISI KEARIFAN LOKAL …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35722/1/FIRDAUS... · (Gus Dur) yang menurut penulis beliau merupakan tokoh-tokoh yang

26

adanya kemajemukan, namun yang terpenting adalah keterlibatan aktif menyikapi

fakta pluralitas itu. Dengan kata lain, pluralisme agama berarti setiap pemeluk

agama dituntut untuk mengakui keberadaan dan hak agama lain, tetapi turut serta

dalam usaha memahami perbedaan ajaran masing-masing dan persamaan

kedudukan pemeluknya dalam pergaulan kehidupan di masyarakat demi

tercapainya kerukunan dalam kebhinekaan.11

Dari sikap yang aktif untuk memahami perbedaan akan tumbuh

kesadaraan dan akan menjunjung nilai-nilai yang perbedaan. Bila komunitas

agama menjunjung tinggi nilai-nilai pluralisme maka akan menghasilkan potensi

besar yang membangun toleransi dalam kehiduapan sehari. Sebaliknya potensi

destruktif akan dominan jika komunitas agama tidak mau menghargai perbedaan

bahkan menganggap superior agamanya dan memandang inferior agama lain.12

Menurut Muhaimin pluralistik adalah Sikap pluralistik (kemajemukan)

dalam hidup bukan berarti mengajak seseorang untuk beragama dengan jalan

sinkretisme, yakni semua agama adalah sama, dan mencampurbaurkan segala

agama menjadi satu.13

Demikian juga bukan mengajak seseorang untuk melakukan sintesis

(campuran) dalam beragama, yaitu menciptakan agama baru yang elemen-

elemennya diambilkan dari berbagai agama, supaya dengan demikian tiap-tiap

pemeluk agama merasa bahwa dalam agama sintesis (campuran) itu menjadi

11

Alwi Shihab, Islam Inklusif Menuju Sikap Terbuka (Bandung: Mizan, 1999), h. 34. 12

Said Agil Husin Al Munawar, Aktualisasi Nilai – Nilai Al-Qur’an dalam Pendidikan

Islam (Jakarta: Ciputat Press, 2005), h. 122. 13

Muhaimin, Rekonstruksi Pendidikan Islam: Dari Paradigma Pengembangan,

Manajemen Kelembagaan, Kurikulum hingga Strategi Pembelajaran (Jakarta: Rajawali Press,

2009), h. 317.

Page 43: TOLERANSI DALAM TRADISI KEARIFAN LOKAL …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35722/1/FIRDAUS... · (Gus Dur) yang menurut penulis beliau merupakan tokoh-tokoh yang

27

solusi dari permasalahan agama-agama yang ada sebelumnya. Agama sintesis

tidak mungkin dapat diciptakan, karena tiap-tiap agama mempunyai latar

belakang sejarahnya sendiri yang tidak begitu saja diputuskan dan tiap-tiap agama

terikat kepada hukum-hukum sejarahnya sendiri.

2. Inklusivisme

Inklusivisme yaitu pemikiran atau sikap yang memandang bahwa

kebenaran yang di anut oleh suatu agama adalah juga dianut oleh agama lain.

Oleh karena itu inklusivisme memandang kebenaran yang universal yaitu

memandang bahwa dalam agama terdapat nilai-nilai universal yang bisa diakui

dan dianut oleh siapa saja dan dari pemeluk mana saja. Dalam pemikiran ini

terdapat titik temu antara agama-agama yang ada dalam aspek tertentu dari ajaran-

ajarannya.

Menurut Amin Abdullah membagi wilayah sosial keberagamaan umat manusia,

ada wilayah yang disebut normatifitas dan sakralitas, dan pada saat yang sama

juga ada wilayah historitas dan profanitas.14

3. Dialog

Dialog agama sangat diperlukan di era keterbukaan ini. Dialog agama

bukanlah untuk mencari kebenaran agama masing-masing, tetapi menjembatani

segala perbedaan yang ada dan memuaskan semua komunitas yang berdialog.

Oleh karena itu hendaknya bahasa yang didialogkan adalah bahasa-bahasa sosial,

14

Ahmad Norma Permata, ed., Metodologi Studi Agama (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,

2000), h. 5.

Page 44: TOLERANSI DALAM TRADISI KEARIFAN LOKAL …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35722/1/FIRDAUS... · (Gus Dur) yang menurut penulis beliau merupakan tokoh-tokoh yang

28

kepentingan bersamaan nilai-nilai profan yang ada dalam agama bukan

sebaliknya mendialogkan hal-hal yang normatif dan dogmatif yang memang

sebenarnya dimiliki dan diakui oleh penganutnya masing-masing. W.C. Smith.15

Keduanya harus terkadang bercampur aduk dan sangat erat kaitannya. Oleh

karena itu inklusif sangat dibutuhkan sehingga meminimalisir bias keagamaan

dengan menonjolkan emosi keagamaan dan simbol-simbol keagamaan yang

destruktif.

C. Pendapat Tokoh-Tokoh Muslim tentang Toleransi

Melihat penomena intoleran yang semakin membesar dan meluas

dikalangan masyarakat Indonesia para tokoh intelektual muslim khususnya

Indonesia sendiri mencari jalan keluar dari keresahan ini. Adapun solusi yang

ditawarkan oleh para tokoh di Indonesia antara lain sebagai berikut :

1. Mukti Ali

Mukti Ali adalah tokoh Indonesia pertama yang membawa Ilmu

Perbandingan Agama untuk dipelajari dikalangan Mahasiswa. Menurut beliau

bahwa alasan paling pokok untuk melibatkan diri dalam studi Ilmu Perbandingan

Agama adalah untuk meningkatkan hubungan antara pemeluk agama, keterbukaan

terhadap agama-agama lain, juga menumbuhkan toleransi aktif dalam menyikapi

perbedaan.16

Dalam penelitian agama-agama Mukti Ali memberikan pendekatan

baru yang menggabungkan pendekatan lintas disiplin dan interdisiplin yang

15

Permata, Metodologi Studi Agama, h. 91. 16

Singgih Basuki, Pemikiran keagamaan Mukti Ali (Yogyakarta: Suka Press, 2013), h.

242.

Page 45: TOLERANSI DALAM TRADISI KEARIFAN LOKAL …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35722/1/FIRDAUS... · (Gus Dur) yang menurut penulis beliau merupakan tokoh-tokoh yang

29

disebut dengan pendekatan sintetis.17

Ada 4 hal yang diprioritaskan dalam upaya

para ahli lainnya merumuskan formulasi sehingga diharapkan akan mencapi

masyarakat toleran.

a. Sinkretisme

Paham ini berkeyakinan bahwa pada dasarnya semua agama itu adalah

sama. Sinkretisme berbendapat bahwa semua tindak laku harus dilihat sebagai

wujud dan manifestasi dari keberadaan azali (zat), sebagai pancaran dari terang

azali yang satu, sebagai ungkapan dari subtansi yang satu, dan sebagai ombak dari

samudra yang satu.18

Paham ini secara tidak langsung menyatukan semua unsur-

unsur yang ada pada tiap-tiap agama.

Mukti Ali bagaimana mengkaji agama tanpa hanya melihat dari satu sudut

pandang saja akan tetapi melihat suatu penomena agama yang timbul dalam

masyarakat akan keliru apabila hanya menggunakan satu sudut pandang saja

seperti hal para orientalis memandang Islam hanya dari ajarannya saja, atau juga

para ulama menggunakan pendekatan doktriner yang dihubungkan dalam

kehidupan sehari-hari masyarakat.19

Melihat agama yang hanya dari satu sudut

pandang saja menurut Mukti Ali akan menghasilkan kesimpulan yang keliru dan

tidak utuh pada suatu agama, sehingga dibutuhkan ilmu pengetahuan yang

lainnya.20

b. Rekonsepsi

17

Basuki, Pemikiran keagamaan Mukti Ali, h. 243. 18

Mukti Ali, Agama dan Keagamaan di Indonesia (Jakarta: Biro Humas Departemen

Agama RI, 1972), h. 118. 19

Singgih, Pemikiran Keagamaan A. Mukti Ali, h. 244. 20

Mukti Ali. Alam Pemikiran Islam Modern di Indonesia (Yogyakarta: Jajasan Nida,

1971), h. 76.

Page 46: TOLERANSI DALAM TRADISI KEARIFAN LOKAL …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35722/1/FIRDAUS... · (Gus Dur) yang menurut penulis beliau merupakan tokoh-tokoh yang

30

Agama adalah suatu keyakinan mengenai cara hidup yang benar, kegiatan

ini adalah desakan atau tuntutan alam semesta. Keinginan yang timbul menjadi

inti dari agama yang bersifat pribadi dan universal, artinya agama merupakan

pengalaman seseorang tetapi sesuai dengan kebutuhan dan keinginan umum dari

hati manusia. Untuk itu disusun agama universal yang memenuhi segala

kebutuhan dengan merekonsepsi, menata, dan meninjau ulang agama masing-

masing dalam konfrontasi dengan agama-agama lain.21

Ini menjadi sebuah konsep yang akan berkembang dari kondisi paham

keagamaan yang terus menerus menimbulkan konflik dikalagan pemeluk agama.

Dimana paham ini memandang bahwa masing-masing agama harus mempunyai

celah yang rasioanal untuk meredam dan mengasilkan sebuah terobosan solutif

dari konflik-konflik agama yang ada. Sehingga dari semua agama menghasilkan

pandangan yang sama dari semua unsur agama yang berbeda.

Agama adalah seperangkat doktrin, kepercayaan, atau sekumpulan norma

dan ajaran Tuhan yang bersifat universal dan mutlak kebenaranya. Adapun

kebeagamaan adalah penyikapan atau pemahaman para penganut agama terhadap

doktrin, kepercayaan atau ajaran-ajaran Tuhan itu, yang tentu saja menjadi relatif

dan sudah pasti kebenarannya menjadi bernilai relatif pula.22

c. Sintesis

21

Khairah Husin, “Peran Mukti Ali dalam Pengembangan Toleransi Agama di

Indonesia,” Jurnal Ushuluddin UIN RIAU, Vol. XXI, No.1 (Januari 2014), h. 109. 22

Adeng Muchtar Ghazali, Ilmu Studi Agama (Bandung: Pustaka Setia, 2005), h. 20.

Page 47: TOLERANSI DALAM TRADISI KEARIFAN LOKAL …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35722/1/FIRDAUS... · (Gus Dur) yang menurut penulis beliau merupakan tokoh-tokoh yang

31

Sintesis yakni membuat agama baru dengan formulasi yang diambil dari

berbagai pada setiap agama-agama yang ada. Sehingga pemeluk dari suatu agama

merasa bahwa sebagian dari ajaran agamanya telah diambil dan dimasukkan ke

dalam agama sintesis tadi, dari agama sintesis ini orang-orang akan menganggap

bahwa toleransi dan kerukunan antar umat beragama akan tercipta dengan baik.

dalam hal ini Mukti Ali berpandangan seperti berikut :

“Agama sintesis sendiri tidak bisa diciptakan karena setiap agama

memiliki latar belakang historis masing-masing yang tidak secara mudah dapat

diputuskan begitu saja. Dengan kata lain, tiap-tiap agama terikat secara kental dan

kuat kepada nilai-nilai dan hukum-hukum sejarahnya sendiri.”23

Mukti Ali menawarkan sintesis yang berusaha menggabungkan kedua

kecenderungan melalui gagasan yang menggunakan pendekatan religio-scientific

(ilmiah-agamais) atau scientific-cumdoktrinair dalam studi agama.

Jadi metode sintesis merupakan cara memahami agama yang memadukan

antara metode ilmiah dengan segala cirinya yang rasional, objektif, kritis, dengan

metode teologis normatif. Metode ilmiah digunakan untuk memahami agama

yang tampak dalam kenyataan historis, empiris, dan sosiologis, sedangkan metode

normatif digunakan untuk memahami agama yang terkandung dalam kitab suci.

Melalui metode teologis normatif ini seseorang memulainya dengan memahami

agama sebagai agama yang mutlak benar. Setelah itu dilanjutkan dengan melihat

agama sebagaimana norma ajaran yang berkaitan dengan berbagai aspek

kehidupan manusia yang secara keseluruhan diyakini amat ideal.

23

Mukti Ali, “Setuju dalam perbedaan,” Majalah Mawas Diri, no. 1 (Maret 1972), hal. 6.

liat juga Faisal Ismail, Republik Bhineka Tunggal Ika:Mengurai Isu-isu Konflik Multikulturalisme,

Agama, Sosial, dan Budaya (Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keragamaan, 2012), h. 9.

Page 48: TOLERANSI DALAM TRADISI KEARIFAN LOKAL …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35722/1/FIRDAUS... · (Gus Dur) yang menurut penulis beliau merupakan tokoh-tokoh yang

32

Dari metode ilmiah religius ini memungkin terjadinya sikap fanatik radikal

dari suatu kelompok agama disebabkan oleh kebenaran yang dianggapnya mutlak,

dimana suatu ajaran agama atau dogma secara ilmu pengetahuan telah

membuktikan kebenarannya. Metode ini rawan untuk diterapka dalam

menciptakan kondisi rukun bagi pemeluk antar umat agama.

d. Penggantian

Pandangan ini menyatakan bahwa untuk mewujudkan toleransi maka

semua agama akan melebur menjadi satu, dan agama itulah yang benar. Seraya

berupaya keras agama para pengikut agama-agama lain memeluk agamanya, Ia

tidak rela melihat orang lain memeluk agama dan kepercayaan lain yang berbeda

dengan agama yang dianutnya. Oleh karena itu, agama-agama lain itu haruslah

diganti dengan agama yang dia peluk. Dengan jalan ini ia menduga bahwa

kerukunan hidup umat beragama dapat tercipta dan dikembangkan. 24

e. Agree in Disagreement

Dalam mewujudkan kondisi kehidupan toleransi, dialog antaragama,

damai dan harmoni dalam masyarakat yang berbeda-beda Mukti Ali memberikan

konsep berupa bentuk prinsip setuju dalam ketidaksetujuan “agree in

disagreement” yang mana ketidaksepahaman yang terjadi dalam masyarakat,

karena kondisinya yang majemuk semua setuju dalam perbedaan itu dan

mengesampingkan perbedaan yang ada sehingga tercipta kehidupan yang

harmonis antar umat beragama.

24

Ali, “Setuju dalam perbedaan,” Majalah Mawas Diri, no. 1 (Maret 1972), h. 9.

Page 49: TOLERANSI DALAM TRADISI KEARIFAN LOKAL …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35722/1/FIRDAUS... · (Gus Dur) yang menurut penulis beliau merupakan tokoh-tokoh yang

33

Prinsip ini menekankan pengakuan dari para pemeluk agama, pengakuan

bahwa ada hal dasar yang menjadikan agama memiliki persamaan dan

perbedaan.25

Dari pengakuan ini yang dapat menumbuhkan sikap saling

menghargai dan saling menghormati, sehinga harmonisasi lebih mudah untuk

diwujudkan antar agama, suku, ras, dan kelompok.

Dari kelima konsep di atas tepat dikembangkan untuk membina dan

mengembangkan toleransi di Indonesia, karena tercermin beberapa sikap yang

rela untuk meluangkan dan juga kesadaran yang ditimbulkan apabila dari kelima

konsep diatas di pegang teguh setiap masyarakat dan kelompok agama. Dari

konsep sinkretisme yang notabenenya dibutuhkan sikap rendah hati untuk

mengatakan bahwa semua agama berangkat dari asali yang satu.

2. Alwi Shihab

a. Saling Mengenal

Sebagaimana dikatakan oleh Alwi Shihab, bahwa umat Islam dihadapkan

kepada serangkaian tantangan baru yang tidak terlalu berbeda dengan apa yang

pernah dialami sebelumnya. Pluralisme agama, konflik internal atau antar agama

25

Mukti Ali, Agama dan Pembangunan di Indonesia (Jakarta: Biro Humas Departemen

Agama RI, 1972), h. 118.

Page 50: TOLERANSI DALAM TRADISI KEARIFAN LOKAL …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35722/1/FIRDAUS... · (Gus Dur) yang menurut penulis beliau merupakan tokoh-tokoh yang

34

adalah fenomena nyata. 26

Sebagaimana ketentuan dalam firman Allah yakni QS.

al-Hujurat ayat 13, Alwi Shihab mengemukakan ayat Al-Quran yang berbunyi:

كم عند يا أيها الناس إنا خلقناكم من ذكر وأنثى وجعلناكم شعىبا وقبائل لتعارفىا إن أكرم للا

عليم خبير أتقاكم إن للا

Artinya: “Hai manusia sesungguhnya kami menciptakan kamu dari

seorang laki-laki dan perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan

bersuku suku supaya kamu saling kenal-menganal. Sesungguhnya orang yang

paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di

antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.27

b. Keberagamaan Keyakinan

Keberagamaan keyakinan menurut Alwi Shihab adalah sebagai peristiwa-

peristiwa kekerasan baik terhadap individu maupun terhadap kelompok.

Penyerangan dilakukan oleh sekelompok organisasi massa keagamaan dengan

mengatasnamakan agama ataupun Tuhan. Fenomena intoleransi anatara umat

beragama tersebut masih terus berlangsung sampai detik ini. Padahal kalau kita

perlu meyakini, Alwi Shihab tidak mengajarkan sesuatu yang berbau kekerasan

yang mengatasnamakan agama.

Alwi sendiri memaknai keberagamaan keyakinan adalah sikap pasrah dan

tunduk kepada Tuhan Yang Maha Esa. Orang yang patuh dan tunduk kepada

Tuhan disebut Muslim, bentuk jamaknya adalah “muslimin”. Dalam kepasrahan

ini terkandung keyakinan bahwa hanya Tuhanlah satu-satunya yang harus

disembah, dipuja, dan diagungkan. Ajaran ini dalam Islam disebut Tauhid. Ini

26

Shihab, Islam Inklusif Menuju Sikap Terbuka, h. 39. 27

QS. Al-Hujurat, Ayat 13.

Page 51: TOLERANSI DALAM TRADISI KEARIFAN LOKAL …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35722/1/FIRDAUS... · (Gus Dur) yang menurut penulis beliau merupakan tokoh-tokoh yang

35

adalah inti dan prinsip tertinggi serta ajaran utama bukan hanya bagi agama yang

dibawa Oleh Rasulullah SAW, tetapi juga dalam semua agama yang ada.

c. Keberagamaan Etnis

Keberagamaan etnis menurut Alwi Shihab adalah kebudayaan sebagai

sesuatu yang mandiri, utuh dan statis sesungguhnya mereduksi makna kebudayaan

sebagai proses kemanusiaan. Artinya, sebagai proses kemanusiaan, kebudayaan

dimanapun, kapanpun selalu mengalami perubahan dan perkembangan secara

terbaru. Bahkan bisa jadi ia menjadi sekedar fosil pada saatnya. Itulah sebabnya,

keinginan untuk menyatukan kebudayaan tanpa dibarengi dengan kesadaran

multikultural sifatnya tidak permanen. Karena yang terjadi kemudian adalah (kita)

hanya seolah menghimpun kebudayaan dalam satu simbol kebudayaan nasional.28

3. Abdurrahman wahid

a. Pribumisasi Islam

Islam pertama kali diturunkan kepada Nabi Muhammad di Jazirah Arab

dan dilanjutkan para sahabat-sahabat nabi beserta para tabi’in sampai saat ini

tersebar di seluruh dunia, akan tetapi dengan datang Islam di Jazirah Arab tidak

serta merta menolak semua tradisi Arab pra-Islam (tradisi masyarakat Arab pra-

Islam). Inti budaya, tradisi dan adat setempat tidak bertentangan secara diametral

dengan Islam sehingga itu menjadi ciri khas dari fenonema Islam di tempat

28

Listiyono Santoso, Mewacanakan Nalar Agama yang Inklusif dalam konteks Kemanusiaan dan

Kemajemukan Indonesia, diakses pada 15 November 2016 dari

https://www.academia.edu/8554403/Mewacanakan_Nalar_Agama_yang_Inklusif_dalam_konteks

_Kemanusiaan_dan_Kemajemukan_Indonesia,

Page 52: TOLERANSI DALAM TRADISI KEARIFAN LOKAL …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35722/1/FIRDAUS... · (Gus Dur) yang menurut penulis beliau merupakan tokoh-tokoh yang

36

tertentu.29

Demikian juga proses pertumbuhan Islam di Indonesia, tidak serta

merta menghapus semua tradisi, budaya dan adat masyarakat setempat yaitu

masyarakat Nusantara pada saat itu.

Mayoritas masyarakat menganggap bahwa agama dan budaya bagaikan

satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Agama Islam bersumberkan al-Qur’an,

wahyu yang bersifat normatif maka cenderung permanen. Sedangkan budaya

ciptaan manusia, dimana budaya sendiri dalam perkembangannya mengikuti

zaman dan cenderung untuk selalu berubah. Perbedaan ini tidak menghalangi

kemungkinan manifestasi kehidupan beragama dalam bentuk budaya.30

Sederhananya bahwa Islam mengandung nilai normatif dan universal, sedangkan

budaya atau tradisi akan selalu mengalami perubahan mengikuti perkembangan

struktur masyarakat dan juga perkembangan zaman.

Tumpang tindih antara agama dan budaya akan terjadi terus menerus

sebagai suatu proses yang akan memperkaya kehidupan dan membuatnya tidak

gersang. Kekayaan budaya memungkinkan adanya hubungan antar berbagai

kelompok atas dasar persamaan. Dalam hal ini Gus Dur membedah antara agama

dan budaya menambah kreatifitas manusia dalam memahami apa yang diberikan

oleh Allah.

Selanjutnya Gus Dur lebih menawarkan bahwa pribumisasi bukan

merupakan suatu upaya yang kalah dari kuat suatu kebudayaan di suatu daerah

akan tetapi bagaimana hukum Islam bisa menjadi solusi dari permasalahan

29

Umarudin Masdar, Membaca Pememikiran Gusdur dan Amin Rais tentang Demokrasi

(Yogyakarta Pustaka Pelajar), h. 141. 30

Abdurrahman Wahid, Pergulatan Negara, Agama, dan Kebudayaan (Jakarta:

Desantara, 2001), h. 117.

Page 53: TOLERANSI DALAM TRADISI KEARIFAN LOKAL …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35722/1/FIRDAUS... · (Gus Dur) yang menurut penulis beliau merupakan tokoh-tokoh yang

37

kontemporer dalam masyarakat Islam. pribumisasi Islam dilakukan agar kita tidak

tercabut dari akar budaya.31

Sebaliknya, kecenderungan “Arabisasi” bukan saja

membuat kita jadi terasing dengan budaya sekitar, tetapi dalam banyak hal sering

tidak bersesuaian bahkan bertentangan dengan keperluan masyarakat di Indonesia.

Pribumisasi juga bukan upaya untuk menghindarkan timbulnya

perlawanan dari kekuatan budaya setempat, tetapi justeru agar budaya itu tidak

hilang. Lalu, bagaimanakah proses pribumisasi berlangsung dan dapat dikawal,

Gus Dur menawarkan pola yang cukup sederhana, yaitu dengan mempergunakan

variasi pemahaman nash dengan tetap memberikan peranan kepada usul fiqh dan

qaidah fiqhiyah.32

Qaidah fiqhiyah seperti al- cadat al-muhakkamah (adat istiadat menjadi

hukum) dan al-muhafazatu bi qadimi al- sahih wa akhazu bi al-jadid al-aslah

(memelihara yang lama yang baik dan mengambil hal baru yang lebih baik).33

misalnya boleh menjadi petunjuk untuk mendorong, mengawal, dan sekaligus

mengevaluasi gerak pribumisasi ini.

Dalam upaya mewujudkan pribumisasi Islam ini, menurut Gus Dur bahwa

umat Islam tidak perlu melihat budaya Arab, tapi Islam yang dilihat dari sisi

agamanya bukan berkembang dari budaya Arab karena Islam diturunkan pertama

kali di Arab. Sehingga Islam bisa menjadi ways of life dengan kondisi budaya

yang jauh berbeda dengan budaya Arab, konsep Islam yang dinamis sangat

31

Abdurahman Wahid, Islam Ku, Islam Anda, Islam Kita: Agama Masyarakat Negara

Demokrasi (Jakarta: The Wahid Institute, 2006), h. 245. 32

Wahid, Islam Ku, Islam Anda, Islam Kita, h. 246. 33

Muhammad Bakir dan M. Zaid Mahyudi, Gus Dur: Santri Par Exellence (Teladan Sang

Guru Bangsa “Abdurahman Wahid Ketegaran Pluralisme Akar Rumput) (Jakarta: Kompas, 2010),

h. 200.

Page 54: TOLERANSI DALAM TRADISI KEARIFAN LOKAL …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35722/1/FIRDAUS... · (Gus Dur) yang menurut penulis beliau merupakan tokoh-tokoh yang

38

dibutuhkan sekarang ini melihat bahwa konteks keberagamaan seseorang

kebanyaka hanya sebagai formalitas semata.

b. Humanisme dan Demokrasi Gus Dur

Gus Dur dikenal sebagai seorang tokoh humanis dikalangan masyarakat,

apa yang diperjuangkannya merupakan nilai kemanusiaan tanpa adanya embel-

embel yang menjadi dinding pembatas untuk menegakkan hak kemanusiaan yang

dimiliki oleh seseorang. Gus Dur dalam praktik keagamaannya sering kali

melebih batasan dalil-dalil agama yang statis, menengakkan nilai-nilai

kemanusiaan yang universal adalah intisari dari semua ajaran agama yang mana

toleransi dan hidup damai merupakan tujuan semua agama.34

Masuknya Islam di Nusantara secara historis pada saat itu mayoritas

masyarakatnya telah berkembang kepercayaan Hindu, Budha dan ajaran agama-

agama lokal di setiap daerah, akan tetapi penyebaran Islam pada saat itu masih

diberi tempat sehingga Islam bisa menjadi agama mayoritas dianut masyarakat

Indonesia. Dengan ini Gus Dur menganggap bahwa sangat ironi ketika sekarang

ini penganut agama Islam yang mayoritas menjadikan Islam yang tidak toleran

atas hak-hak kemanusia orang lain yang minoritas.35

Kaum minoritas hakikatnya hanya ingin diperlakukan selayak manusia

yang bebas untuk memperoleh hak sebagai manusia dan warga negara Indonesia

tanpa harus membedakan kelompok, agama, etnis ataupun budayanya.

Demokrasi merupakan salah satu tema besar yang perlu digaris bawahi

dari perjuangan dan pemikiran Gus Dur. Baginya konsep demokrasi adalah

34

Ali Masykur Musa, Pemikiran dan Sikap Politik Gusdur (Jakarta: Penerbit Erlangga,

2002), h. 120. 35

Musa, Pemikiran dan Sikap Politik Gusdur, h. 121.

Page 55: TOLERANSI DALAM TRADISI KEARIFAN LOKAL …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35722/1/FIRDAUS... · (Gus Dur) yang menurut penulis beliau merupakan tokoh-tokoh yang

39

konsekuensi logis yang dianggapnya sebagai salah satu dimensi dalam ajaran

Islam. Alasan Gus Dur mengapa Islam dikatakan agama demokrasi. Pertama,

Islam adalah agama hukum, dengan pengertian bahwa agama Islam yang

mempunyai nilai hukum dimana dalam hal ini hukum berlaku bagi semua orang

tanpa memandang ras, suku, kelompok minoritas maupun kelompok mayoritas.

Terkait dengan kaum minorits Gus Dur menganggap bahwa dengan

penerapan demokrasi yang sehat dan baik akan memberikan tempat bagi para

kaum minoritas untuk bernaung, memperoleh hak dan juga berekspresi

sebagaimana masyarakat lainnya, secara sederhanya dikenal dengan prinsip

kesetaraaan.36

Kedua, Islam memiliki asas permusyawaratan (amruhum syuraa

bainahum), artinya adanya tradisi bersama membahas dan mengajukan pemikiran

secara terbuka dan pada akhirnya diakhiri dengan kesepakatan. Ketiga, Islam

selalu berpandangan memperbaiki kehidupan, menguatkan inspirasi dan juga

sekaligus menjadi kekuatan moral dalam masyarakat37

Ide demokratisasi Gus Dur muncul karena ia melihat ada kecenderungan

umat Islam Indonesia menjadikan Islam sebagai “alternatif” bukannya sebagai

“inspirasi” bagi kehidupan masyarakat. Maksudnya bahwa selama ini Islam selalu

dijadikan sebagai alternatif dari permasalahan yang ada dalam masyarakat dimana

pada praktiknya juga tidak berjalan baik, sehingga menurut Gus Dur agama

semestinya menjadi inspirasi.

36

Listiono Santoso, Teologi Politik Gus Dur (Jogjakarta: Ar-Ruszz Media, 2004), h.190. 37

Santoso, Teologi Politik Gus Dur, h.199.

Page 56: TOLERANSI DALAM TRADISI KEARIFAN LOKAL …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35722/1/FIRDAUS... · (Gus Dur) yang menurut penulis beliau merupakan tokoh-tokoh yang

40

Dalam proses demokratisasi ada sesuatu keharusan yang tidak boleh

dilupakan dan diabaikan yaitu tentang “kemanusiaan”. Pada dasarnya hakekat

demokrasi itu adalah menempatkan manusia sebagai subjek demokrasi itu sendiri.

“dari sekarang sebenarnya telah dituntut dari kesediaan untuk memperjuangkan

kebebasan dan menyempurnakan demokrasi yang hidup di negeri kita. Perjuangan

itu haruslah dimulai kesediaan menumbuhkan moralitas dalam kehidupan bangsa

dan negara dalam kehidupan bangsa, yaitu moralitas yang terlibat dengan

penderitaan rakyat di bawah”.38

Berangkat dari kedua alasan ini bahwa dengan humanisme dan

demoktatisme yang dimilikinya tergambar dari ide untuk mencabut ketetapan

MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 yang baginya substansi gagasan itu merangkum

nilai cinta yang universal non-diskriminasi terhadap suatu kelompok yang telah

dihilangkan hak demokrasinya.39

c. Pluralisme dan Toleransi

Pluralisme dalam pandangan Gus Dur menjadi sebuah keniscayaan dalam

sebuah negara yang dianugrahkan dari Tuhan Yang Maha Esa yang akan terus

menghiasi kemajemukan Indonesia sampai kapan pun.40

Menurut pendapat Gus

Dur bahwa UUD 1945 dan Pancasila bentuk jaminan atas sikap toleransi dan juga

mengandung nilai Islam “kekuatan inspratif”.

38

Abdurrahman Wahid, Tuhan Tidak Perlu Dibela (Yogyakarta: LKiS, 1999), h.

190. 39

Limas Susanto, Gus Dur: Santri Par Exellence, h. 165. 40

Bakir dan Mahyudi, Gus Dur: Santri Par Exellence, h.199.

Page 57: TOLERANSI DALAM TRADISI KEARIFAN LOKAL …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35722/1/FIRDAUS... · (Gus Dur) yang menurut penulis beliau merupakan tokoh-tokoh yang

41

Selain itu nilai toleransi yang beliau dapatkan melihat bahwa dari sekian

banyak perbedaan pendapat dalam tradisi keilmuannya bahwa perbedaan itu tidak

sedikit pun mengurangi penghormatan terhadap pendapat lain, dan juga dari

penghormatan itu tidak mengurangi sedikit pun keyakinan atas pendapat yang lain

meskipun jelas berbeda. Bahkan sejak dari kecil Gus Dur sudah menadapatkan

pembelajaran tentang kesetaraan (semua agama dipandang sama dan harus

dihormati) dari semua pemeluk agama saat ayahnya menjadi Menteri.41

pandangan Gus Dur tentang kemanusiaan ini muncul karena dipengaruhi

beberapa faktor di antaranya adalah konflik berkepanjangan yang terus terjadi dari

hari ke hari sampai sekarang ini baik atas nama suku, ras, golongan maupun yang

mengatasnamakan agama di berbagai daerah di Indonesia.

Konflik berkepanjangan ini menunjukkan bahwa belum adanya

penghargaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan mudahnya orang dengan main

hakim sendiri. Sehingga situasi yang seperti ini perlunya melibatkan tokoh agama,

birokrat, penegak hukum, pendidik, dan tokoh masyarakat berperan dalam

menegakkan nilai-nilai kemanusiaan dengan cara menanamkan nilai-nilai agama

yang berkaitan dengan moralitas guna menyadarkan pluralitas masyarakat.

Khususnya adalah kelompok minoritas agama, etnis dan gender lainnya,

karena ia memang telah mengkampanyekan toleransi agama dan kerukunan hidup

sejak lama. Bahkan, Gus Dur memasukkan beberapa anggota kabinet dari

kelompok Kristen, Katolik, Hindu dan Buddha. Dalam kapasitasnya sebagai

presiden, Gus Dur melanjutkan aktifitasnya dalam mempromosikan toleransi dan

menunjukan komitmennya terhadap kebebasan beragama dengan memanggil para

pemuka agama Hindu, Buddha, Shikh dan lainnya dalam festival agama-agama.

41

Abdurahman Wahid dan Daisaku Ikeda, Dialog Peradaban untuk Toleransi dan

Perdamaian (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2010), h. 44.

Page 58: TOLERANSI DALAM TRADISI KEARIFAN LOKAL …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35722/1/FIRDAUS... · (Gus Dur) yang menurut penulis beliau merupakan tokoh-tokoh yang

42

Page 59: TOLERANSI DALAM TRADISI KEARIFAN LOKAL …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35722/1/FIRDAUS... · (Gus Dur) yang menurut penulis beliau merupakan tokoh-tokoh yang

43

43

BAB III

KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT BUGIS

A. Perkembangan Masyarakat Bugis

Masyarakat Bugis merupakan masyarakat yang menempati bagian selatan

pulau Sulawesi. Masyarakat Bugis di Sulawesi Selatan biasanya disebut dengan to

Ogi, to Bugi atau to Ugi, yang kebanyakan menurut beberapa ahli kata ugi atau

ogi diambil dari kata La Sempugi. La Sempugi sendiri adalah sebuah nama dari

bapak La Wicudai yang kemudian menjadi mertua dari Sawirigading.1

Dalam perkembangannya, komunitas ini berkembang dan membentuk

beberapa kerajaan dan kemudian mengembangkan kebudayaan, bahasa, aksara,

dan pemerintahan mereka sendiri. Beberapa kerajaan Bugis klasik antara lain

Luwu, Bone, Wajo, Soppeng, Suppa, Sawitto, Sidenreng dan Rappang.

Suku Makassar dan Mandar terdapat hubungan melalui proses pernikahan

oleh Keturunan raja-raja Bugis sehingga adanya pertalian darah suku terdekat dari

pemukiman masyarakat Bugis. Saat ini orang Bugis tersebar dalam beberapa

Kabupaten yaitu: Luwu, Bone, Wajo, Soppeng, Sidrap, Pinrang, Sinjai dan

Barru.2

Daerah peralihan antara Bugis dengan Makassar adalah Bulukumba,

Sinjai, Maros, Pangkajene Kepulauan. Daerah peralihan Bugis dengan Mandar

adalah Kabupaten Polmas dan Pinrang. Seiring berjalannya waktu dan terjadinya

1Sawirigading merupakan tokoh yang menjadi manusia pertama di dalam Lontara’ suku

Bugis. 2Hamid Abudullah, Manusia Bugis Makassar (Jakarta: PT Inti Idayu Press, 1985), h. 12.

Page 60: TOLERANSI DALAM TRADISI KEARIFAN LOKAL …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35722/1/FIRDAUS... · (Gus Dur) yang menurut penulis beliau merupakan tokoh-tokoh yang

44

beberapa perang diantara perang melawan penjajah dan juga perang saudara yang

memaksa beberapa masyarakat Bugis harus meninggalkan kampung halamannya

(ri akkanropangi tanah) dan pergi ke beberapa daerah seperti di Kalimantan,

Jawa, dan Sumatera.3

B. Siri Na Pesse Prinsip Hidup Masyarakat Bugis

Dalam kebudayaan masyarakat Bugis perbuatan seseorang tidak bisa

dipisahkan oleh seseorang yang lainnya, ini disebabkan karena masyarakat Bugis

dilandasi pada suatu prinsip pemuliaan harkat dan martabat seseorang sebagai

manusia, disebutkan dalam bahasa Bugis “tau-sipakatau” yang bisa

diterjemahkan dengan “memanusiakan manusia sebagai layaknya manusia yang

sesungguhnya”.

Mashadi Said dalam bukunya “Jati Diri Manusia Bugis” menyebutkan

bahwa “manusia secara individual harus memiliki dua keutamaan yaitu siri’ dan

pesse. Siri’ dan pesse yang menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia dan

dijadikan sebagai prinsip bagi masyarakat Bugis”.4 Kedua prinsip ini merupakan

pola hidup yang menentukan bentuk perilaku dan semua intraksi dalam praktik

hidup bermasyarakat. Tuntutan prinsip itu selalu didasari oleh masyarakat Bugis

sebagai suatu hal yang menjadi landasan dalam bertingkah laku. Siri’ merupakan

adat kebiasaan yang melembaga dan masih besar pengaruhnya dalam kehidupan

masyarakat Sulawesi Selatan (Bugis).5

3Mashadi Said, Jati Diri Manusia Bugis (Jakarta: Prodeleader, 2016), h. 36.

4Said, Jati Diri Manusia Bugis, h. 98.

5Rahman Rahim, Nilai-Nilai Utama Kebudayaan Bugis (Ujung Pandang: Hasanuddin

Universitas Press, 1992), h. 168.

Page 61: TOLERANSI DALAM TRADISI KEARIFAN LOKAL …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35722/1/FIRDAUS... · (Gus Dur) yang menurut penulis beliau merupakan tokoh-tokoh yang

45

1. Siri’

Ada banyak pendapat tentang siri’ dalam pembahasan ini Mattulada yang

dikutip oleh Laica Marzuki menyebutkan bahwa siri’ adalah “kesadaran tentang

nilai martabat yang didukung oleh tiap-tiap orang dalam tradisi kehidupan

masyarakat Bugis” dikatatan, siri’ juga merupakan kesadaran kolektif yang amat

peka, dibebankan kepada tiap-tiap orang anggota persekutuan hidup untuk

membangunya, untuk mempertahakan dan menegakkannya.6

Nilai siri’ dapat dipandang sebagai suatu konsep kultural yang

memberikan implikasi terhadap segenap tingkah laku yang nyata. Tingkah laku

itu dapat diamati sebagai pernyataan ataupun wujud kehidupan masyarakat Bugis.

Apabila kita mengamati pernyataan nilai siri’ ini atau lebih konkritnya

mengamati kejadian-kejadiannya berupa tindakan, perbuatan atau tingkah laku

yang katanya dimotivasi oleh siri’, maka akan timbul kesan bahwa nilai siri’ itu

pada bagian terbesar unsurnya dibangun oleh perasaan sentimental atau

sejenisnya. Cara pandang seperti ini jelas merupakan sebuah cara pandang yang

kurang lengkap terutama apabila hendak mengamatinya dari sudut pandang

kebudayaan. Sebab hal tersebut merupakan sebuah nilai yang bukan hanya

6M. Laica Marzuki. Siri: Sebagai Kesadaran Hukum Rakyat Bugis-Makassar (sebuah

telaah filsafat hukum) (Ujung Pandang: Hasanuddin University Press, 1995), h. 36.

Page 62: TOLERANSI DALAM TRADISI KEARIFAN LOKAL …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35722/1/FIRDAUS... · (Gus Dur) yang menurut penulis beliau merupakan tokoh-tokoh yang

46

sekedar memiliki nilai kebudayaan akan tetapi juga merupakan sebuah prinsip

atau falsafah hidup manusia.7

Kemudian, hakikat kebenaran dari falsafah inilah yang mulai surut dalam

setiap tingkah laku maupun tindakan kolektif masyarakat Bugis Sebagai seorang

masyarakat Sulawesi Selatan, penulis melihat, missinterpretasi semacam ini sudah

lama terjadi.

Bagaimana rasa malu yang tidak ditempatkan pada tempat semestinya,

mendahulukan rasa amarah ketimbang sikap rasional dalam memahami suatu

permasalahan. Jika berkaca pada peristiwa-peristiwa yang terjadi di daerah saat

ini, mulai dari demonstrasi yang selalu berakhir dengan kerusuhan, sampai kepada

perilaku bermasyarakat yang kebanyakan berujung pada konflik yang

menimbulkan korban jiwa. Ini disebabkan karena siri yang sekarang dipahami

masyarakat mengalami pergeseran makna.

Disintegrasi seperti inilah yang kemudian berpotensi melahirkan

ketidakstabilan dalam kehidupan sosial masyarakat sehingga seringkali

menimbulkan konflik. Dimana siri’ pun harus timbul pada diri seorang yang telah

berbuat zalim, khianat dan curang atau yang berakibat akan merugikan orang lain

dalam suatu kelompok masyarakat.8 Maksudnya siri’ juga harus timbul dari dalam

diri seseorang untuk menjaga siri’ orang lain dalam bentuk berbuat baik, amanah,

dan menghargai orang lain.

7Mattulada, LATOA : Satu Lukisan Analisis Terhadap Antropologi Politik Orang Bugis

(Ujung Pandang: Hasanuddin University Press, 1995), h. 62. 8Nurhayati Rahman, Suara-Suara dalam Lokalitas (Makassar: La Galigo Press, 2012), h.

175.

Page 63: TOLERANSI DALAM TRADISI KEARIFAN LOKAL …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35722/1/FIRDAUS... · (Gus Dur) yang menurut penulis beliau merupakan tokoh-tokoh yang

47

Apabila kita ingin mendalami makna siri’ dengan segenap

permasalahannya, antara lain dapat diketahui dari lontara‟ La Toa, Dimana dalam

lontara ini berisi paseng (pesan atau amanat) dan pappanngaja (nasehat-nasehat)

yang merupakn kumpulan petuah untuk dijadikan sebagai suri tauladan.9

Kata Latoa sendiri sejatinya memiliki arti petuah-petuah, dimana juga

memiliki hubungan yang erat dengan peranan siri’ dalam pola hidup atau adat

istiadat masyarakat Bugis. Misalnya dapat dilihat pada beberapa point dalam

lontara‟ tersebut: Siri’ sebagai harga diri atau pun kehormatan, mapappakasiri’

artinya menodai kehormatannya, ritaroang siri’ yang artinya ditegakkan

kehormatannya, passampo siri’ yang artinya penutup malu, siri’ sebagai

perwujudan sikap tegas demi sebuah kehormatan hidup.10

Ungkapan sikap yang mencerminkan siri’ yang harus dijaga masyarakat

Bugis yang termanifestasikan lewat kata-kata taro ada’ taro gau (selarasnya kata

dengan perbuatan), merupakan tekad atau cita-cita dan janji yang telah diucapkan

pastilah dipenuhi dan dibuktikan dalam perbuatan nyata. Hal tersebut juga sejalan

dengan prinsip-prinsip abattireng ripolipukku (asal usul leluhur senantiasa

dijunjung tinggi, semuanya ku abadikan demi keagungan leluhurku).11

Pada

pernyataan di atas tergambar bahwa siri’ bukan hanya tercermin dari sikap

masyarakat Bugis semata tapi juga melalui ucapan yang harus dibuktikan melalui

perbuatan. Karena membuktikan perbuatan selama apapun itu menandakan bahwa

seseorang itu mempunyai harga diri dan naluri kebaikan.

9Mattulada, LATOA, h. 85.

10Mattulada, LATOA, h. 64.

11Said, Jati Diri Manusia Bugis, h. 95.

Page 64: TOLERANSI DALAM TRADISI KEARIFAN LOKAL …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35722/1/FIRDAUS... · (Gus Dur) yang menurut penulis beliau merupakan tokoh-tokoh yang

48

Pembagian makna siri’, Mattulada memamaparkan hal yang sependapat

dengan C.H. Salam Basjah dan Sappena Mustaring yang memberikan penjelasan

atas kata siri’ dalam tiga golongan pengertian yaitu:12

1. Siri’ sama artinya dengan malu, isin (Jawa), shame (Inggris)

2. Siri’merupakan daya pendorong untuk melenyapkan (membunuh,

mengasingkan, mengusir dan hukuman lainnya terhadap apa atau siapa

saja yang telah menghilangkan kehormatan diri orang lain, atau

melakukan hal yang salah dalam masyarakat. Hal ini merupakan

kewajiban adat, kewajiban yang mempunyai sanksi adat, yaitu berupa

hukuman dari norma-norma jika tidak dilaksaanakan.

3. Siri’ sebagai penyemangat atau daya pendorong yang bisa juga ditujukan

kearah pembangkitan tenaga untuk suatu pekerjaan atau usaha.

Adapun makna siri’ menurut La Side budayawan Bugis dalam buku

Mashadi Said mengatakan bahwa konsep siri’ mengandung tujuh makna yaitu:13

1. Siri’ dalam makna malu-malu, dapat dilihat dari kalimat “ adeppeki’ mai,

aja’ na tu masiri’, nasaba tania ki tau laing” yang berarti mendekatlah

kemari, janganlah malu, karena anda bukan orang lain (yang sudah kenal

maupun yang sudah akrab).

2. Siri’ bermakna malu dapat dilihat dari kalimat berikut ini “de’na

kuissenggi siri’ku nasaba risenge ri tenggana tau maegae” artinya “tak

terkira maluku karena saya ditagih ditengah orang banyak”, kata siri’

12

Mattulada, LATOA, h. 62. 13

Said, Jati Diri Manusia Bugis, h. 101.

Page 65: TOLERANSI DALAM TRADISI KEARIFAN LOKAL …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35722/1/FIRDAUS... · (Gus Dur) yang menurut penulis beliau merupakan tokoh-tokoh yang

49

diatas menunjukan malu seseorang karena ditagih utangnya diantara

orang banyak.

3. Siri’ dalam makna takut dapat dilihat dari kalimat berikut “temmasiriki

matti ri Nabitta na de’ta turussiewi panggaja’na” artinya tidakkah anda

merasa takut kepada Nabi Muhammad SAW, sehingga tidak menuruti

nasehat dan ajarannya” kata siri’ di atas menujukan kata takut.

4. Siri’ dalam makna hina atau aib, dapat dilihat dari kalimat “ Masseroa”

napakasiri naleppa’ riolo na tau maegae” artinya betapa ia menghina

saya, menampar saya di depan orang banyak. Siri’ di sini bermakna

penghinaan atau aib.

5. Siri’ dalam makna iri hati atau dengki terlihat dari kalimat berikut ini “

masiri ati wi ri iyya, na saba ubettai menre pangka’” artinya dia iri hati

terhadap saya karena mendahuluinya naik pangkat. Siri’ di sini bermakna

iri hati.

6. Siri’ dalam makna harga diri atau kehormatan, dilihat dari kalimat “ na ia

tau matanre e siri’ na tenna pojiwi minreng tenna poji mellau” artinya

orang mempunyai harga diri adalah orang tidak suka berhutang dan tidak

suka meminta.

7. Siri’ dalam makna kesusilaan bisa dilihat dari kalimat „ ia pasilainggi tau

na olo’ kolo’ e iana ritu siri’e” artinya yang membedakan manusia

dengan binatang ialah kesusilaan.

Dari tulisan di atas dapat disederhanakan menjadi dua macam sikap reaktif

dari siri’ yaitu pertama, Siri Ripakasiri bersifat eksternal reaktif, yang disebabkan

Page 66: TOLERANSI DALAM TRADISI KEARIFAN LOKAL …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35722/1/FIRDAUS... · (Gus Dur) yang menurut penulis beliau merupakan tokoh-tokoh yang

50

oleh penyerangan kehormatan (martabat) yang datang dari luar pribadi seseorang

pihak yang mengalami perlakuan penyerangan kehormatan berkewajiban untuk

melakukan tindakan pemulihan, karena orang telah diserang kehormatannya

disebut dengan mate siri’, orang yang mate siri‟nya tidak lagi dianggap sebagai

manusia, melainkan binatang (olokolok) yang menyerupai manusia (rupa tau).

sehingga harkat kemanusiaan yang telah Mate Siri’ pulih kembali seperti semula,

siri’ ripakasiri terjadi apabila orang lain di hina atau dipermalukan.14

Siri’ yang

dimaksudkan di sini adalah siri’ yang datang dari luar diri seseorang.

Kedua, itu Siri’ Masiri terjadi karena adanya reaksi siri’ datang dari dalam

diri pribadi seseorang, yang dilandasi kehendak untuk mencapai prestasi yang

lebih baik dalam kehidupannya. Siri’ masiri bersifat internal, bertujuan mencapai

serta meningkatkan prestasi demi siri pribadi, siri keluarga, dan siri masyarakat.15

Tidak hanya itu tapi juga harus ditanamkan siri’ mappakasiri maksudnya

seseorang harus mempunyai kesadaran siri’ untuk menjaga dan menegakkan siri’

yang timbul karena kesadaran ingin mamanusiakan manusia yang lainnya.

Layaknya sebuah tradisi, maka secara turun temurun konsep nilai ini

senantiasa akan menjadi pegangan serta pedoman dalam kehidupan masyarakat

Bugis. Bilamana pada suatu generasi penafsirannya meleset, maka akan

berdampak ke generasi berikutnya. Jika terjadi disintegrasi terhadap penafsiran

tentang nilai Siri’ ini, maka tentunya akan berdampak kepada kelanjutan

eksistensi kepada generasi yang akan datang.

14

Marzuki, Siri’ Sebagai Kesadaran Hukum Rakyat Bugis Makassar, h. 53. 15

Marzuki, Siri’ Sebagai Kesadaran Hukum Rakyat Bugis Makassar, h. 54.

Page 67: TOLERANSI DALAM TRADISI KEARIFAN LOKAL …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35722/1/FIRDAUS... · (Gus Dur) yang menurut penulis beliau merupakan tokoh-tokoh yang

51

Dasar falsafah hidup yang menjiwai dan menjadi pegangan masyarakat

Bugis untuk senantiasa hidup baik di negeri sendiri atau negeri orang lain adalah

menjadi manusia yang perkasa dalam menjalani kehidupan. Setiap manusia

keturunan Bugis dituntut harus memiliki keberanian, pantang menyerah

menghadapi tantangan ataupun ujian hidup. Itulah sebabnya maka setiap orang

yang mengaku sebagai masyarakat Bugis memiliki orientasi yang mampu

menghadapi apapun.

Hakekat prinsip tersebut bersumber pada leluhur masyarakat Bugis yang

tersimpul dengan “duai temmallaiseng, tellui temmasarang” (dua bagian yang tak

terpisahkan dan tiga bagian yang tak terceraikan). Yaitu siri na pesse dan tiga

sifat sipakatau, sipakainge, dan sipakalebbi (yaitu siri’ dan pesse serta tiga

sifatnya yaitu saling memanusiakan, saling mengingatkan atau menyeru pada

kebaikan, dan saling menghormati juga menghargai.16

dengan demikian konsep

siri’ memberikan pengarahan yang cukup jelas bagi kehidupan masyarakat Bugis

lebih baik.

Siri’ adalah sebuah kesadaran yang muncul dari dalam diri manusia yang

tidak terjadi secara sepintas sehingga secara langsung akan bereaksi apabila

terjadi sesuatu, siri‟ disejajarkan dengan akal pikiran yang baik karena bukan

timbul dari kemarahan, dengan peradilan yang bersih karena tidak dilakukan

16

Rahman, Suara-Suara dalam Lokalitas, h.154.

Page 68: TOLERANSI DALAM TRADISI KEARIFAN LOKAL …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35722/1/FIRDAUS... · (Gus Dur) yang menurut penulis beliau merupakan tokoh-tokoh yang

52

secara sewenang-wenang, dengan perbuatan kebijakan yang tidak menjengkelkan

sesama manusia secara tak patut.17

2. Pesse

Kata pesse secara harfiah dapat berarti pedih, yang menyerap dalam kalbu

seseorang, karena melihat penderitaan orang lain.18

Pesse yang lengkapnya pesse

bebbua yang berarti ikut merasakan penderitaan orang lain dalam perut sendiri,

mengindikasikan adanya perasaan haru (empati) yang dalam terhadap tetangga,

kerabat, atau sesama kelompok sosial.19

Sehingga ini dimaknai sebagai rasa

solidaritas yang dimiliki masyarakat Bugis dalam berbagai hal, baik suka maupun

duka. Lebih luas lagi, ungkapan pesse ini menunjukkan rasa simpati yang

mendalam, atau perasaan empati terhadap sesama anggota kelompok komunitas

masyarakat.20

Kata pesse juga selalu disandingkan dengan siri’, sebagaimana Laica

Marzuki kemukakan pesse merupakan sesuatu yang tidak terpisahkan oleh siri’.

Pesse juga menurut dalam sebuah panggilan nurani untuk menyatakan sikap

untuk melarutkan diri setiap pribadi pendukung siri’ guna kepentingan bersama.

Pesse berfungsi sebagai pemersatu, penggalang solidaritas, kebersamaan serta

pemuliaan manusia (sipakatau).21

sehingga mendorong seseorang untuk saling

tolong menolong, saling menghormati, dan turut membela harkat dan martabat

17

Rahman, Suara-Suara dalam Lokalitas, h.169. 18

Marzuki, Siri’ Sebagai Kesadaran Hukum Rakyat Bugis Makassar, h. 132. 19

Cristian Pelras, Manusia Bugis, Jakarta: Forum Jakarta-Paris.2006, h. 252. 20

Rahmawati, “Integrasi Nilai Budaya Siri’ dan Pesse Masyarakat Bugis Makassar

dalam Pelajaran IPA, Jurnal Pendidikan Nusantara Indonesia, vol.1, 2015, (Unismuh Makassar),

hal. 92. 21

Marzuki, Siri’ Sebagai Kesadaran Hukum Rakyat Bugis Makassar, h. 132.

Page 69: TOLERANSI DALAM TRADISI KEARIFAN LOKAL …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35722/1/FIRDAUS... · (Gus Dur) yang menurut penulis beliau merupakan tokoh-tokoh yang

53

orang lain untuk menegakkan kembali siri’ (martabat seseorang). Pesse menjadi

hal yang tidak terpisahkan dari manusia seperti disebutkan dalam Lontara:

“Iya sempugi’ku, rekkua de’na siri’na, engka messa pessena”

Artinya “Kalaupun saudaraku sesama Bugis (sempugi’ku) tidak menaruh

siri’ atasku, paling tidak, dia pasti masih menyisakan pesse.”

Maksudnya dari pernyataan di atas adalah apabila seseorang tidak

mempunyai rasa hormat terhadap orang lain tapi orang Bugis pasti memiliki rasa

empati atau rasa kasihan terhadap orang lain.22

Dengan kata lain bahwa pesse

adalah panggilan hati untuk merasakan penderitaan orang lain dalam hati nurani

masyarakat Bugis.

Pesse mengajarkan rasa kesetiakawanan dan kepedulian sosial tanpa

mementingkan diri sendiri dan golongan inil adalah salah satu konsep yang

membuat suku Bugis mampu bertahan dan disegani diperantauan, pesse

mengeskpresikan sifat belas kasih dan perasaan menanggung beban dan

penderitaan orang lain, orang lain di sini meliputi semua orang yang di luar dari

diri orang yang bersangkutan. tepatnya, siapapun yang menjadikan dirinya larut

oleh endapan perasaan pesse.

Perasaan pesse dikala melihat orang lain menderita karena diperlakukan

(ripakasiri) menjadikan konsep pesse selalu tampil berpadanan, bagi orang Bugis

manusia tanpa siri’ dipandang sebagai sama dengan binatang, tapi apabila

manusia tanpa endapan pesse menjadikan dirinya lebih rendah derajatnya dari

22

Pelras, Manusia Bugis, h. 253.

Page 70: TOLERANSI DALAM TRADISI KEARIFAN LOKAL …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35722/1/FIRDAUS... · (Gus Dur) yang menurut penulis beliau merupakan tokoh-tokoh yang

54

binatang. Sehingga pesse yang timbul dari dalam diri sesorang inilah yang akan

membantu baik secara langsung dan tidak langsung dalam mengembalikan dirinya

menjadi Tau (manusia yang semestinya).23

Maksudnya menjadi makhluk yang

paling biadaplah apabila ada seseorang yang tidak mempunyai sebuah pesse

dalam hati nuraninya, karena binatang sekali sekalipun masih mempunyai rasi

kasihan dan empati terhadap sesamanya binatang.

Tidak hanya dalam hal orang lain yang telah diperlakukan tidak terhormat

(mate siri’) tetapi pesse dijadikan sumber yang mengeratkan anggota kelompok

sosial.24

Misalnya penderitaan siapa saja dalam kelompok sosial yang sedang

dalam keadaan serba kekurangan, berduka, mengalami musibah, atau menderita

sakit. Maka diwajibkan untuk membantu sekuat dan semampunya kita sebagai

manusia.

Bahkan pesse dijadikan sebagai hutang budi pada seorang yang telah

berbuat baik kepadanya, tentunya tidak hanya ditunjukan dalam ucapan

“terimakasih” saja melainkan ditunjukan dengan sesuatu perbuatan yang setara

atau lebih dari apa yang telah diterimanya.25

Dalam pesse bertumpuhnya sebuah solidaritas yang menunjukan

persaudaraan di kalangan masyarakat Bugis dan di sebutkan dalam lontara bahwa

: Iya padecengi assijingeng: 1. Sianrasa-ranggange na sipammase-mase, 2.

23

Said, Jati Diri Manusia Bugis, h. 131. 24

Pelras, Manusia Bugis, h. 252. 25

Said, Jati Diri Manusia Bugis, h. 136.

Page 71: TOLERANSI DALAM TRADISI KEARIFAN LOKAL …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35722/1/FIRDAUS... · (Gus Dur) yang menurut penulis beliau merupakan tokoh-tokoh yang

55

Sipakario-rio, 3. Tessicarinnainggeng ri sitinajae, 4. Sipakainge’ ri gau patujue,

na siaddampengeng pulanae.26

Artinya, yang melestarikan hubungan kekeluargaan dalam masyarakat

yaiu: 1. sependeritaan dan saling mengasihi, 2. Saling menggembirakan, 3. Rela

merelakan harta dalam batas sepantasnya, 4. Saling memperingati dalam

kebaikan, dan 5. saling memaafkan dengan penuh keikhlasan.

Inti budaya siri' na pesse mencakup seluruh aspek kehidupan masyarakat

Bugis, karena siri' na pesse merupakan jati diri dari orang-orang Bugis. Dengan

adanya falsafah dan ideologi siri' na pesse maka keterikatan antar sesama dan

kesetiakawanan menjadi lebih kuat baik dengan sesama suku, maupun dengan

suku yang lain.

Konsep siri' na pesse bukan hanya menjadi prinsip oleh kedua suku ini

(Bugis dan Makassar), tetapi juga dianut oleh suku-suku lain yang mendiami

daratan Sulawesi seperti, suku Mandar dan Toraja, hanya kosakata dan

penyebutannya saja yang berbeda, tetapi falsafah ideologinya memilikii kesamaan

dalam berinteraksi dengan sesama.

C. Pangederreng Masyarakat bugis

Pangaderreng menurut La Tadamperreng Puang ri Manggalatung27

(arung

Matoa Wajo) dalam Lontara Sau Wae (LSW) bahwa “ Naia riaseng e

26

Said, Jati Diri Manusia Bugis, h. 133.

Page 72: TOLERANSI DALAM TRADISI KEARIFAN LOKAL …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35722/1/FIRDAUS... · (Gus Dur) yang menurut penulis beliau merupakan tokoh-tokoh yang

56

pangaderreng tellu toi: seuani, allelengeng elempu’, madduanna to mappalaleng

malempu’, mattellunna to mallaleng malempu’ aga ennassarang pura onro, pura

llaloe” adapun yang disebut pangederreng ada tiga: pertama, tempat berjalan

(peraturan Hukum) yang lurus; kedua, orang yang menyuruh untuk menjalani

(penguasa pemerintah pelaksana hukum) yang lurus dan orang yang disuruh

menaati yang lurus maka ia tidak akan dipisahkan dari peraturan yang telah

diterapkan lebih dahulu, yang tak boleh diubah lagi”.28

Panngaderreng menurut Mattulada mengatakan bahwa panngaderreng

bukan hanya meliputi aspek-aspek yang disebut sistem norma dan aturan-aturan

adat, yaitu hal-hal yang ideal yang mengandung nilai-nilai normatif, juga meliputi

hal-hal dimana seseorang dalam tingkah lakunya dan dalam memperlakukan diri

dalam kegiatan sosial, bukan saja merasa “harus” melakukannya, melainkan lebih

jauh daripada itu, ialah adanya semacam perasaan bahwa seseorang adalah bagian

integral dari pangederreng29

.

S.H. Alatas dan Nurhayati Rahman mendefinisikan pangederreng sebagai

keseluruhan falsafah sosial dan budaya masyarakat Bugis, mencakup hidup

politik, keadilan, ekonomi, adat, keluarga, dan lain-lainnya.30

Sehingga bisa dikatakan pangederreng adalah suatu bagian yang tidak

terpisahkan dari personal seseorang dalam keterlibatannya secara total dalam

27

La Tadamperreng Puang ri Manggalatung adalah raja dari kerajaan Wajo di kabupaten

Wajo, Sulawesi Selatan. 28

A. Zainal Abidin Farid, dkk., Siri’ Filosofi Suku Bugis, Makassar, Toraja, Mandar:

“Siri, Pesse Dan Were’ Pandangan Hidup Orang Bugis” (Makassar: Arus Timur, 2014), h. 37. 29

Mattulada, LATOA, h. 339. 30

Rahman, Suara-Suara dalam Lokalitas, h. 175.

Page 73: TOLERANSI DALAM TRADISI KEARIFAN LOKAL …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35722/1/FIRDAUS... · (Gus Dur) yang menurut penulis beliau merupakan tokoh-tokoh yang

57

kehidupan bermasyarakat yang tentunya memiliki tolak ukur baik dan buruknya

perilaku manusia dalam kehidupan masyarakatnya.

Pangedereng meliputi semua pikiran-pikiran yang baik, perbuatan-

perbuatan atau tingkah laku yang baik.31

Lebih lanjut pangederreng menunjukan

nilai-nilai dari kebiasaan yang terdapat dari perilaku seseorang, masyarakat dan

juga pemerintah (Kerajaan) yang akan mengharmoniskan serta akan memberikan

manfaat bagi harkat dan martabat manusia.

Secara rinci pangederreng berbeda dengan adat yang dimaksudkan dalam

konsep kebudayaan, adat mengandung pengertian umum sedangkan pangederreng

mengandung pengertian terbatas. Adat meliputi adat makan-minum dengan

keluarganya, atau yang adat yang melembaga dalam suatu keluarga seperti, tidur,

bangun, berpakaian dan sebagainya. Semua contoh yang disebutkan diatas tidak

masuk dalam ruang lingkup pangederreng, namun pangederreng berbicara boleh

atau tidak boleh, baik dan buruknya sesuatu dalam kehidupan masyarakat.32

Apabila pangederreng adalah kebiasaaan atau aturan-aturan yang sudah

dibiasakan saja maka akan menghilangkan satu aspek terdapat dari hakikat

pengederreng, yaitu memelihara dan menumbuhkan harkat dan nilai-nilai

kebaikan yang justru menjadi tulang punggung untuk tegaknya pangederreng.

Sehingga apabila suatu masyarakat menerima kebiasaan atau aturan-aturan

yang diadatkan berupa kekerasan dan penindasan sebagai satu aspek sosial, selaku

adat kebiasaan, aturan yang dibiasakan, tentu dapat disebut adat tapi bukan

31

Mattulada, LATOA, h. 128. 32

Rahman, Suara-Suara dalam Lokalitas, h.137.

Page 74: TOLERANSI DALAM TRADISI KEARIFAN LOKAL …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35722/1/FIRDAUS... · (Gus Dur) yang menurut penulis beliau merupakan tokoh-tokoh yang

58

pangederreng dalam arti essensial. Adat yang demikian akan ditentang oleh

pangederreng, karena pangederreng membangun harkat dan martabat manusia.33

Dan unsur pangederreng memberi tempat yang sangat tinggi kepada 1) Hak-hak

asasi manusia, 2) kedaulatan rakyat, dan 3) pejabat sebagai abdi rakyat.34

Mattulada mengidentifikasi bahwa aspek-aspek panngederreng mengandung 4

azas yang menjadi latar belakang yaitu:

1. Azas mappasilasa’e, diwujudkan dalam manifestasi ade‟ agar terjadi

keserasian dalam sikap dan tingkah laku manusia di dalam

memperilakukan dirinya dalam pangederreng. Dalam tindakan-tindakan

operasionalnya ia menyatakan diri dalam usaha-usaha pencegahan

(preventif) sebagai tindakan-tindakan penyelamat.

2. Azas mappasisaue, diwujudkan dalam manifestasi ade’ untuk hukuman

deraan pada tiap-tiap pelanggaran ade’ yang diyatakan dalam bicara.

3. Azas mappasenrupae, diwujudkan dalam manifestasi untuk memelihara

kelangsungan aturan-aturan dahulu yang sudah ada.

4. Azas mappallaiseng, diwujudkan dalam manifestasi ade untuk

memberikan batas-batas yang jelas tentang hubungan antara manusia dan

lembaga-lembaga sosialnya, dimana ini adalah upaya agar manusia

terhindar dari hal negatif dalam masyarakat.

33

Mattulada, LATOA, h. 141. 34

Rahman, Suara-Suara dalam Lokalitas, h. 176.

Page 75: TOLERANSI DALAM TRADISI KEARIFAN LOKAL …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35722/1/FIRDAUS... · (Gus Dur) yang menurut penulis beliau merupakan tokoh-tokoh yang

59

Para ahli kebudayaan Bugis menjelaskan ada empat unsur yang terkait

kelangsungan kehidupan moral manusia Bugis, yaitu ade’, rapang, bicara, wari.35

ini berdasarkan apa yang telah diwariskan oleh Kajao La Liddo dari tanah Bone

sekitar abad ke 16 M. Aspek ideal dalam pangederreng juga terbagi dalam

beberapa kategori dibawah ini.

1. Ade’

Ade’ merupakan salah satu aspek pangaderreng menurut Kajao La Liddo36

yang dikutip Anwar Ibrahim bahwa ade’ yang memperkuat kebesaran raja,

menjadi pagar dalam perbuatan orang-orang berbuat semaunya dan sandaran bagi

orang-orang lemah.37

Ade’ bisa dikatakan sebuah norma adat dalam bahasa

Indonesia yang juga dimiliki semua suku-suku dimana adat berisi tentang aturan-

aturan bermasyarakat.

Ade’ adalah penjelmaan sesuatu aspek kebudayaan, baik dalam bentuk

nilai-nilai ideal berupa perilaku. Adat dan lain-lain disebut singkeruang,

kelakuan-kelakuan yang disebut barangkau‟, maupun dalam bentuk fisik yang

disebut abbaramparangeng38

. Sehingga bisa dikatakan bahwa ade’ merupakan

nilai kebaikan secara konsep dan juga sekaligus menjadi sebuah nilai

implementasi dari konsep di atas.

35

Said, Jati Diri Manusia Bugis, h. 69. 36

Kajao La Liddo atau Kajao berarti orang pintar dan La Liddo adalah nama desa

asalnya. Nama sebenarnya La Mellong, dia salah satu penasehat kerajaan Bone pada abad XVI

yang terkenal dengan kecerdasannya. 37

Anwar Ibrahim, Sulesana: Kumpulan Esai Tentang Demokrasi dan Kearifan Lokal

(Makassar: Lembaga penerbit Universitas Hasanuddin, 2003), h.12. 38

Mattulada, LATOA : Satu Lukisan Analisis Terhadap Antropologi Politik Orang Bugis,

h. 340.

Page 76: TOLERANSI DALAM TRADISI KEARIFAN LOKAL …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35722/1/FIRDAUS... · (Gus Dur) yang menurut penulis beliau merupakan tokoh-tokoh yang

60

Ade’ diucapkan Arung Bila39

terbagi dalam beberapa jenis yaitu:40

a. Ade’ pura Onro, yaitu norma yang bersifat permanen atau menetap

dengan sukar untuk diubah.

b. Ade’ Abiasang, yaitu sistem kebiasaan yang berlaku dalam suatu

masyarakat yang dianggap tidak bertentangan dengan hak-hak asasi

manusia.

c. Ade’Maraja, yaitu norma baru, apabila ada fenomena yang belum

pernah ada dalam pranata sosial masyakarat maka parewa ade’41

berhak

menentukan seperti apa solusi yang terhadap fenomena tersebut.

Dari ketiga Jenis ade’ ini adalah kerangka yang menata kehidupan

masyarakat dimana ade’ maraja adalah sebuah ketetapan yang dibuat oleh yang

sedang menjabat untuk memperlancar urusan untuk menciptakan keadilan dan

ketentraman bagi rakyatnya.

2. Bicara

Bicara adalah aturan-aturan peradilan yang normatif dalam arti luas.

Dengan demikian maka bicara itu adalah aspek pangederreng yang

mempersoalkan hak dan kewajiban setiap orang atau badan hukum dalam

interaksi kehidupan bermasyarakat. Tujuan bicara adalah menyelesaikan

persengketaan orang yang berselisih.42

Memberikan jaminan hukum bagi

masyarakat atas perselisihan yang terjadi dalam masyarakat.

39

Arung Bila adalah raja dari kerajaan bila yang terdapat di kabupaten Pinrang, Sulawesi

Selatan. 40

Anwar Ibrahim, Sulesana: Kumpulan Essay Demokrasi dan Kearifan Lokal (Makassar:

Lembaga Penerbit universitas Hasanuddin 2003), h.110. 41

Parewa ade‟ merupakan seperangkat pemangku adat. 42

Ibrahim, Sulesana, h. 12.

Page 77: TOLERANSI DALAM TRADISI KEARIFAN LOKAL …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35722/1/FIRDAUS... · (Gus Dur) yang menurut penulis beliau merupakan tokoh-tokoh yang

61

Dalam Lontara’ Latoa, Mattulada menjelaskan secara spesifik tentang

makna adil seperti yang biasa kita pahami dalam bahasa Indonesia, akan tetapi

keadilan atau adil dalam bahasa Bugis lebih dikenal dengan istilah tongeng atau

tongengge, bila diartikan secara harfiah (tongeng) berarti “benar” dan (tongengge)

diartikan “kebenaran” Bicara lebih bersifat refresif, menyelesaikan sengketa yang

mengarah kepada keadilan dalam arti peradilan bicara senantiasa berpijak kepada

objektivitas, tidak berat sebelah.

Apabila kita memandangnya dari sudut hukum adat, maka akan lebih

memudahkan pemahaman, bicara mempersoalkan masalah hukum, sebagai

hukum ada, yang lazim kita kenal dalam gelanggang ilmu pengetahuan hukum di

Indonesia.43

Kini bicara menjadi sebuah disiplin yang jelas sebagai aspek

pangederreng yang berfungsi representatif terhadap pelanggaran tata tertib dalam

masyarakat, bicara memberikan batasan bagi anggota masyarakat dan juga

menentukan baik buruknya perbuatan dan hukuman apa yang akan diberikan

kepada si pelanggar ade’ dan pangederreng. Bicara sekaligus menjadi

mappasisaue (memulihkan atau penyembuhan agar seseorang bisa kembali

menjadi tau tongeng (orang yang benar).44

Dalam penetapan hukum Tomabbicara45

tidak semena-mena dalam

menetapkan hukuman seperti apa yang akan dijalani oleh seseorang yang

melanggar aturan karena dalam pangederreng menganggap bahwa manusia pada

43

Mattulada, LATOA, h. 359. 44

Mattulada, LATOA, h. 363. 45

Tomabbicara adalah orang yang bertugas menangani perkara atau peradilan, lihat

Nurhayati Rahman, Suara-Suara dalam Lokalitas, h. 131.

Page 78: TOLERANSI DALAM TRADISI KEARIFAN LOKAL …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35722/1/FIRDAUS... · (Gus Dur) yang menurut penulis beliau merupakan tokoh-tokoh yang

62

dasarnya tau tongeng, sehingga membutuh kejelasan akar atas suatu permasalahan

yang terjadi.

Dalam ade’ mengajarkan bahwa untuk menetapkan hukuman atas

kesalahan seseorang adalah tomabbicara dan pakketenni ade’ mempunyai

pertimbangan dan kebijaksanaan terhadap pelaku, kemudian tomabbicara

diupayakan memperhatikan bila hukuman itu diberikan kepada dirinya sebelum

menentukan hukuman yang diberikan (bagamana aku terhadap dia, dan begitu

pula dia terhadapku) dalam Lontara’ disebutkan dalam landasan dalam

menetapkan hukuman.46

“takaranku kupakai menakar, timbanganku ku pakai menimbang, yang

rendah kutempatkan di bawah, yang tengah kutempatkan di tengah, yang tinggi

ku tempatkan di atas”.

Jadi dalam menetapkan hukuman pada terdakwa maka pabbicara harus

mempertimbangkan bila hukuman itu terjdi pada diri pabbicara. Apakah

pabbicara sanggup untuk menjalankan hukuman itu bila dia menjadi terdakwa.

sehingga dibutuhkan musyawarah dalam menentukan hukuman seseorang.

memusyawarakan hukuman itu menjadi sangat sangat penting sebagaimana

dijelas pula dalam Lontara’47

:

“tentang bicara yang paling dipuji oleh dewata (Sang pencipta), untuk

menetepkan bicara, yang mengambil contoh pada dirinya, artinya apabila engkau

sudi memlalui (sesuatu jalan), barulah engkau menyuruh orang lain melaluinya,

46

Mattulada, LATOA, h. 363. 47

Mattulada, LATOA, h. 363.

Page 79: TOLERANSI DALAM TRADISI KEARIFAN LOKAL …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35722/1/FIRDAUS... · (Gus Dur) yang menurut penulis beliau merupakan tokoh-tokoh yang

63

karena itulah to-riolo berkata, bersepakatlah engkau sanggup melaluinya,

barulah engkau menjajak orang lain untuk melaluinya”.

Maksdunya dalam menjalankan ketentuan-ketentuan bicara pangederreng

menekankan adanya kesadaran dari pelaksana kekuasaan peradilan, bahwa apa

yang ditetapkan akan berguna bagi penerima hukuman tapi juga berguna bagi

orang lain, oleh karena itu pelaksana peradilan (tomabbicara) harus sanggup

membebaskan diri perasaan senang, perasaan marah dan perasaan segan dalam

melaksanakan peradilan terhadap siapa pun, sekalipun yang dihukum itu raja yang

bersalah.

Dalam penetapan hukum selain yang di atas pabbicara juga harus pegang

teguh pada48

:

a. Bicara tongengtellue (tiga kebenaran hukum)

1. Pengakuan kesalahan dan kebenaran kedua belah pihak

2. Pengakuan kesalahan dan kebenaran menurut ade’

3. Kenyataan-kenyataan yang sesungguhnya (bukti-bukti kongkrit)

b. Melepaskan diri dari :

1. Kemarahan

2. Kegirangan

3. Keseganan

4. Maksud-maksud yang mengadung tujuan lain, dan

5. Keharuan.

Penjelasan ini telah pernah terjadi sebagai mana dicontohkan dalam Lontara’

48

Mattulada, LATOA, h. 365.

Page 80: TOLERANSI DALAM TRADISI KEARIFAN LOKAL …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35722/1/FIRDAUS... · (Gus Dur) yang menurut penulis beliau merupakan tokoh-tokoh yang

64

“karena adapun ade’ itu, sedangkan raja pun harus diturunkan dari

tahtanya apabila ia tak mau berjalan menurut pangederreng dan jadikanlah

Arungpone Matinroe ri-addenenna, yang berani melakukan perbuatan-perbuatan

yang tidak menurut pangederreng sebagai rapang, sehingga orang pun

bersepakat membunuhnya di atas tangganya, dan disebut Arungpone yang berada

di atas tangganya”.

Ini menjadi contoh bahwa apabila pangederreng dilanggar maka pelaku

harus mengakui kesalahnya sesuai dengan ketentuan ade’ dan juga ikut sertakan

bukti-bukti dari kesalahannya dalam hal ini raja sekalipun. Dari contoh di atas

juga menunjukan bahwa dalam penetapan hukum tidak semesternya seorang

pabbicara terinterpensi oleh rasa kasihan, rasa marah, dan rasa bahagia, sehingga

dalam kesepakatannya Arungpone yang melanggar pangederreng harus dibunuh di

bawah tangga rumah kerajaan.

Bagian terpenting dalam pelaksanaan bicara adalah sanksi hukuman yang

bertujuan untuk menegakkan hukum tanpa menunda-nunda, sebagai pembelajaran

kepada masyarakat lainnya bahwa ade’ tidak hanya tajam ke bawah dan tumpul

ke atas. Adapun jenis-jenis hukuman yang telah ada dalam lontara sebagai

berikut49

:

1. Dibunuh (Ri uno)

2. Hukuman pengasingan (Pali‟)

3. Hukuman deraan badan (Calla)

4. Hukuman sita (Rappa)

5. Hukuman tawanan (Ri reppung)

6. Hukum jual (Ri balu).

49

Mattulada, LATOA, h. 65.

Page 81: TOLERANSI DALAM TRADISI KEARIFAN LOKAL …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35722/1/FIRDAUS... · (Gus Dur) yang menurut penulis beliau merupakan tokoh-tokoh yang

65

3. Rapang

Rapang secara istilah bisa disebut juga dengan perumpamaan, contoh,

kesamaan, atau sebagai yurisprudensial, suatu ketentuan yang diambil

berdasarkan ketentuan-ketentuan atau kejadian-kejadian yang pernah dilakukan

pada waktu yang lalu.50

Rapang juga diartikan sebagai contoh, perumpamaan,

ibarat, kias, atau juga perumpamaan yang dapat mengokohkan negara atau yang

ditetapkan setelah membandingkan dengan keputusan-keputusan terdahulu atau

membandingkan dengan keputusan adat yang berlaku di negeri tetangga.51

Pada

salinan Lontara’ misalnya yang dikutip Fredericy (1933) dan ditetapkan sebagai

kata pembukaan dari Erste Hoofdstuk dari buku De Standen bij De Boegineesen

en Makassaren, kata rapang itu digantikan dengan “oendang”52

.

Abdul Razak Daeng Patunru juga dalam bukunya Sejarah Gowa yang

dikutip Mattulada tidak menyebutkan rapang, tetapi menyebutnya undang-

undang.53

Sementara menurut Mattulada penggantian rapang menjadi undang-

undang menunjukan bahwa undang-undang yang disebutkan oleh Daeng Patunru

adalah kata yang bisa menggambarkan rapang secara singkat, Akan tetapi

undang-undang dalam bahasa Indonesia yang tertentunya mempunyai batasan

sebagaimana pengertiannya, yakni hukum tertulis, sedangkan rapang lingkupnya

sangat luas daripada undang-undang.

50

Mattulada, LATOA, h. 334. 51

Mattulada, LATOA, h. 377. 52

Oendang yang dimaksudkan adalah kata undang-undang dalam bahasa Indonesia. 53

Mattulada, LATOA, h. 378.

Page 82: TOLERANSI DALAM TRADISI KEARIFAN LOKAL …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35722/1/FIRDAUS... · (Gus Dur) yang menurut penulis beliau merupakan tokoh-tokoh yang

66

Menurut fungsinya rapang sebagai: 1. Stabilisator; seperti undang-undang

yang ketetapan, keseragaman, dan konstintensi kebijakan atas suatu permasalahan

dalam masyarakat dari masa ke masa. 2. Bahan perbandingan suatu (tidak ada

atau belum adanya norma-norma dan undang-undang yang mengatur

permasalahan baru, berdasarkan ketetapan di masa lampau), 3. Alat pelindung dari

pamali, yang berfungsi untuk melindungi milik umum dan seseorang dari mara

bahaya.54

Sehubungan dengan fungsi rapang untuk memberikan penguatan bagi

negara atau kerajaan. Sehingga dibutuhkan sikap magetteng ri rapangnge (sikap

keras terhadap masyarakat untuk menegakkan rapang sebagai undang-undang

negeri, dimana rapang adalah suatu hukum yang objektif dan konkrit di masa lalu

yang mana rapang mengandung makna mappasenrupa yaitu memberi hukuman

yang sama atas permasalahan yang sama berdasarkan masa lalu.

Rapang memberikan kejelasan atas sanksi yang sesuai dengan apa yang

telah dijadikan sanksi di masa lalu, juga sekaligus menjadi perbandingan atas

suatu sanksi yang belum pernah ada sanksi dari permasalahan baru didapatkan

dalam masyarakat. Sehingga pabbicara bisa mengambil sebuah kebijakan yang

tidak merugikan bagi kerajaan dan masyarakat yang ada. Contohnya apabila

rapang tidak ditegakkan maka akan terjadi banyak mala petaka, meluasnya

perselisihan pada masyarakat. Sehingga dengan ini negara akan maju.

4. Wari

54

Mattulada, LATOA, h. 378.

Page 83: TOLERANSI DALAM TRADISI KEARIFAN LOKAL …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35722/1/FIRDAUS... · (Gus Dur) yang menurut penulis beliau merupakan tokoh-tokoh yang

67

Wari adalah perbuatan mappalaisengge (yang tau membedakan) atau

pengelompokan jenis, yang membedakan satu yang lain dengan yang lainnya.

Wari merupakan suatu sistem yang mengatur tentang batas-batas kewenangan

dalam masyarakat, membedakan antara satu dengan yang lainnya dengan ruang

lingkup penataan sistem kemasyarakatan, hak, dan kewajiban setiap orang.

Menurut friedericy menerjemahkan wari dengan “de indeeling in standen”

berfungsi mengatur tata susunan dan jenjang-jenjang keturunan serta menentukan

hubungan kekerabatan.55

Lebih dari pada itu wari tidak hanya menjelaskan

masalah keturunan dan pelapisan masyarakat semata-mata, melainkan mempunyai

fungsi-fungsi lain yang cakupan lebih luas.

Dengan demikian umumnya wari’ berfungsi :

a. Menjaga jalur dan garis keturunan yang membentuk pelapisan masyarakat

atau mengatur tentang tata keturunan melalui hubungan perkawinan.

b. Menjaga atau memelihara tata susunan atau tata penempatan sesuatu

menurut urutan semestinya.

c. Memelihara tata susunan hubungan kekeluargaan antara raja suatu negeri

dengan negeri lainnya, sehingga dapat ditentukan mana yang lebih tua,

mana yang muda dalam tata pengederreng.

Dalam kegunaannya wari bertujuan untuk penataan pangederreng dan

penertibannya meliputi: 1. Wari’tana ialah tata kekuasaan dan tata pemerintahan

dalam hal mengenal dasar-dasarnya, bagaimana raja bersikap kepada

55

Mattulada, LATOA, h. 380.

Page 84: TOLERANSI DALAM TRADISI KEARIFAN LOKAL …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35722/1/FIRDAUS... · (Gus Dur) yang menurut penulis beliau merupakan tokoh-tokoh yang

68

masyarakatnya dan bagaimana sikap rakyat kepada rajanya, 2. Wari asseajingeng,

ialah tata tertip yang menentukan garis keturunan dan kekeluargaan sehingga bisa

dibedakan mana keturunan raja-raja (anakarung), masyarakat biasa (maradeka)

dan mana yang termasuk dalam budak (ata), atau dalam bahasa Jawa kita kenal

dengan kata “abdi dalem”, 3. Wari’ pangoriseng ialah mengenai tata urutan dari

hukum yang belaku dalam sistem hukum. Inilah yang menjadi tolak ukur berlaku

atau tidaknya suatu rapang atau undang-undang.56

Selain itu wari berfungsi sebagai suatu pedoman yang mengatur sikap

manusia dari sekian banyak perbedaan yang ada dalam masyarakat, mangajarkan

bagaimana layaknya seorang masyarakat berhubungan dengan kerajaan,

tomabbicara dengan raja. Bagaimana hubungan suatu kerajaan dengan kerajaan

lainnya yang tentunya mengedepankan nilai kebaikan selayaknya fitrah

manusia.57

Demikian lah wari memberikan antara oposisi-oposisi yang

berlawanan dengan pangederreng dan kerajaan dalam masyarakat.

D. Assimellereng sebagai Konsep Kesetiakawanan Masyarakat Bugis

Assimellereng secara istilah memiliki arti yang hampir sama dengan

konsep pesse di awal pembahasan bab ini, akan tetapi assimellereng diambil dari

kata melle’ yang berarti “keterikatan” sesuatu dengan yang lainnya, kata melle’

juga kebanyakan selalu disandingkan dengan kata perru berarti usus atau isi

dalam perut seorang manusia. sebagaimana ungkapan melle’ perru ri padanna

rupa tau artinya memiliki rasa keterikatan kepada sesama manusia. Secara

56

Mattulada, LATOA, h. 380. 57

Mattulada, LATOA, h. 382.

Page 85: TOLERANSI DALAM TRADISI KEARIFAN LOKAL …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35722/1/FIRDAUS... · (Gus Dur) yang menurut penulis beliau merupakan tokoh-tokoh yang

69

mendalam melle‟ perru dimaksudkan bahwa adanya rasa kasih yang besar kepada

orang lain.

Menurut Mashadi Said Assimellereng merupakan konsep sehatian,

kerukunan, kesatupaduan antara satu dan lainnya, antara satu keluarga dengan

keluarga lain dan antara manusia sesama manusia yang lainnya dalam masyarakat

Bugis.58

Memiliki rasa kekeluargaan yang tinggi, kesetiakawanan, cepat

marasakan penderitaan orang lain, dan tidak tega membiarkan kesulitan

saudaranya yang lain yang berada dalam penderitaan dan cepat dalam mengambil

tindakan untuk membantu saudaranya yang terkena musibah.

Dalam assimellereng terdapat konsep yang dikenal dengan “sipa’depu-

repu” yaitu (saling memelihara, saling kasih mengasihi). Dan bette’ perru (tega)

yang dimaksudkan adalah orang yang tidak memperdulikan kesulitan sanak

keluarganya, tetangganya, atau orang lain, ini ada antitesa dari assimellereng yang

peka terhadap orang lain.59

Selain itu dalam bahasa Bugis lain yang sepadan

dengan bette perru yaitu pettu perru yang juga berarti sikap seseorang tidak lagi

ada rasa welas kasih dan tidak lagi memiliki empati terhadap orang lain, sekalipun

itu kepada keluarganya.

Dalam kehidupan sehari hari penerapan assimellereng atau melle disebut

dalam ungkapan Bugis “tejjalli tettappere banna mase-mase” artinya tanpa tikar

dan permadani kecuali kasih sayang. ungkapan ini biasanya diucapkan ketika tuan

rumah kedatangan tamu, karena keinginan menjamu tamunya dengan baik, tuan

58

Said, Jati Diri Manusia Bugis, h. 204. 59

Said, Jati Diri Manusia Bugis, hal. 204.

Page 86: TOLERANSI DALAM TRADISI KEARIFAN LOKAL …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35722/1/FIRDAUS... · (Gus Dur) yang menurut penulis beliau merupakan tokoh-tokoh yang

70

rumah menunjukan kepada tamunya layanan sebaik-baiknya, bahwa apabila

seorang tamu sudah berada di dalam rumah maka sang tamu akan merasa aman,

tentram, terlindungi dan kasih sayang dari tuan rumah.60

Dengan penuh kerendahan hati tuan rumah akan menatakan “kami tidak

mempunyai apapun untuk kami suguhkan kepada tuan. Kami tidak mempunyai

permadani atau sofa yang empuk untuk tuan duduki, kami tidak memiliki

makanan yang enak untuk kami suguhkan. Yang kami miliki hanyalah kasih

sayang”. Dengan demikian bukan berarti tuan rumah tidak mempunyai apa-apa

yang bisa di hidangkan atau tidak menjamu tamunya, akan tetapi hanya memberi

informasi kepada tamu bahwa tuan rumah kemungkinan tidak mempunyai sesuatu

yang sama apabila bertamu di tempat lain.

Dikalangan masyarakat Bugis menghargai dan melayani tamu sebaik-baiknya

adalah sebuah kewajiban dan juga adalah untuk menunjukan solidaritas yang

tinggi terhadap sesama manusia.61

Dalam lontara‟ dijelaskan untuk memperoleh hubungan baik kepada sesama

manusia, masyarakat Bugis harus berpegang pada 5 syarat berikut yaitu62

:

a. Sianrasa-rasang na si ammase-masei (Sependeritaan dan saling

mengasihi). Maksudnya adalah apabila ada anggota keluarga yang

mengalami penderitaan maka anggota keluarga yang lainnya harus

membantunya dengan ketulus-ikhlasan dan kasih sayang.

60

Said, Jati Diri Manusia Bugis, hal. 204. 61

Said, Jati Diri Manusia Bugis, h. 205. 62

Said, Jati Diri Manusia Bugis, h. 206.

Page 87: TOLERANSI DALAM TRADISI KEARIFAN LOKAL …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35722/1/FIRDAUS... · (Gus Dur) yang menurut penulis beliau merupakan tokoh-tokoh yang

71

b. Sipakario-rio (sama-sama bergembira) apabila kita merasakan

kegembiraan, kita patut berbagi kepada orang lain atas kegembiraan yang

kita rasakan. Misalnya dalam keseharian leluhur orang Bugis apabila

pulang dari melaut maka hasi tangkapannya akan dibagikan kepada

tetangganya yang lain. Ini yang dimaksudkan berbagi kegembiraan.

c. Tensicarinnainggeng ri sitinajae (kerelaan berkorban yang semestinya)

maksudnya kalau ada keluarga atau kawan yang memerlukan bantuan

maka kita berkewajiban dalam untuk membantu sesuai dengan kemanpuan

kita.

Contohnya dalam pernikahan masyarakat Bugis apabila keluarga lelaki

belum memncukupi atas permintaan pinangan (Sompa atau Panaik) keluarga

perempuan, maka semua keluarga perempuan berkewajiban dalam memenuhi

sompa tersebut sesuai dengan kemampuan masing-masing.

d. Sipakainge ri gau patujue (saling mengingatkan kepada kebaikan) saling

mengingatkan kepada kebaikan, disini menjadi kewajiban apabila melihat

keluarga atau orang lain sebelum dan setelah melakukan kesalahan. Juga

disebutkan Malilu Sipakainge “saling mengingatkan tak kala sedang lupa”

e. Siaddampengeng pulanae (selalu saling memaafkan) memberi maaf atas

kesalahan yang orang lain pernah lakukan kepada kita.

Dari kelima syarat di atas bahwa menunjukan hubungan yang semestinya

dimiliki oleh sebuah keluarga atau kelompok masyarakat sehingga keharmonisan

dalam masyarakat semakin melekat.

Page 88: TOLERANSI DALAM TRADISI KEARIFAN LOKAL …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35722/1/FIRDAUS... · (Gus Dur) yang menurut penulis beliau merupakan tokoh-tokoh yang

72

Soal kesetiakawanan orang Bugis selalu akan membuka diri untuk

menegakkan persahabatan. Orang Bugis rela mengorbankan apa yang dia miliki

termasuk nyawanya sendiri untuk mempertahankan kesetiakawanan tersebut

sebagaimana ungkapan dalam Lontara’ disebutkan.63

Tessiakkakeng tigerro

tessicalekeng tange (LPT: 12)

Artinya :

Tidak saling mencekik leher

Tidak saling menutupkan pintu.

Dalam hal tolong menolong dalam tradisi masyarakat Bugis selalu

membuka diri, bahkan tak dimintai pertolongan dan dilakukannya secara dengan

sukaria sebagaimana penyataan di atas.

Artinya apabila seseorang memerlukan bantuan dan diri kita terasa sanggup

untuk membantunya maka kewajiban untuk membuka diri untuk membantu.

Dalam Lontara’ juga disebutkan64

:

Tessisampoang uring loa,

tessipaopangeng pamuttu (LPT:10)

Artinya :

tidak saling menutup belanga,

tidak saling menutupkan kuali.

Selain daripada itu belanga dan kuali dalam masyarakat Bugis merupakan

simbol kesejateraan keluarga. Untuk membantu dalam suatu kebajikan, saling

63

Said, Jati Diri Manusia Bugis, h. 205. 64

Said, Jati Diri Manusia Bugis, h. 206.

Page 89: TOLERANSI DALAM TRADISI KEARIFAN LOKAL …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35722/1/FIRDAUS... · (Gus Dur) yang menurut penulis beliau merupakan tokoh-tokoh yang

73

membukakan jalan dalam kesempitan, rasa solidaritas ditandai dengan saling

membantu dalam permasalahan yang ada, saling mengingatkan agar terhindar dari

sesuatu yang tidak diinginkan yang bisa menghambat kebajikan. Dalam

mempertahankan hubungan masyarakat Bugis berpegang pada hal berikut ini.

Rebba sipatokkong

Mali siparappe

Siwata’menre tessirui no’

Malilu sipakainge

Mainge’ pi mu paja

Artinya :

Rebah, saling menegakkan

Hanyut saling mendamparkan

Saling menarik ke atas bukan saling menarik turun

Hilaf, saling mengigatkan

Tak henti sampai ia menyadarinya.

Inilah gambaran kesetiakawanan dalam masyarakat Bugis yang dipegang

teguh sehingga kemudian mampu untuk memberikan hidup yang baik dalam

bermasyarakat. Dengan demikian secara otomatis bahwa toleransi yang

sebagaimana cita-cita oleh para semua agama dan pemerintah untuk hidup damai

dan berdampingan.

Page 90: TOLERANSI DALAM TRADISI KEARIFAN LOKAL …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35722/1/FIRDAUS... · (Gus Dur) yang menurut penulis beliau merupakan tokoh-tokoh yang

75

BAB IV

ANALISA

A. Pandangan Umum Toleransi

Toleransi menjadi hal yang penting pada masa sekarang. Mengingat

semakin melebarnya jurang perdebatan yang mencari-cari perbedaan dalam

keyakinan, hingga yang terparah adalah adanya perang fisik yang diakibatkan oleh

dorongan membela kebenaran agama, maka toleransi sudah menjadi perihal

mutlak dikedepankan. Karena itu, tidak sedikit para tokoh memberikan argumen

dan pendepatnya untuk merealisasikan toleransi antar umat beragama saat ini.

Dalam hal ini penulis akan memberikan gambaran sedikit dari tiga tokoh yaitu:

Mukti Ali, Alwi Sihab, dan Gus Dur.

Mukti Ali memberikan dua argumen mendasar dalam hal toleransi.

Pertama, dengan menawarkan sintesis. Metode ini menggabungkan dua

kecenderungan melalui gagasan pendekatan. Lebih jelasnya, metode ini berusaha

memadukan antara metode ilmiah dengan segala cirinya seperti rasional, objektif,

kritis, dengan metode teologis normatif.

Metode ilmiah digunakan memahami agama dari sisi historis, empiris,

sosiologis. Sedangkan metode normatif digunakan untuk memahami agama

sebagaimana yang terkandung dalam kitab sucinya masing-masing, dengan

membawa dogma awal bahwa agamanya sudah mutlak kebenarannya. Barulah

setelah itu agama dilihat sebagai norma ajaran yang amat terkait dengan aspek

75

Page 91: TOLERANSI DALAM TRADISI KEARIFAN LOKAL …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35722/1/FIRDAUS... · (Gus Dur) yang menurut penulis beliau merupakan tokoh-tokoh yang

76

kehidupan sosial, yang mana dengan kaca mata agama, arahan yang bersentuhan

dengan aspek sosial adalah ideal sebab telah tercantum dalam kitab sucinya.1

Kedua, Mukti Ali memaparkan konsep agree in disagreement. Konsep ini

dapat diartikan dengan setuju dalam ketidaksetujuan. Konsep ini ideal

menurutnya, bila diterapkan dalam tatanan masyarakat yang majemuk dan plural.

Masyarakat yang dalam kondisi seperti ini, tentu terdapat setuju dan

ketidaksetujuan dalam memandang suatu hal. Maka ketidaksetujuan atau

perbedaan ini disepakati dan diakui oleh masing-masing pemeluk agama. Dengan

adanya pengakuan perbedaan maka diharapkan akan terciptanya kondisi yang

harmonis antara umat beragama, sebab semua hal tidak harus sama.2

Setelah Mukti Ali, adalah Alwi Sihab. Tokoh ini memberikan

pandangannya berkenaan realisasi toleransi dalam masyarakat. Berbeda dengan

Mukti Ali, Alwi Sihab berangkat dari ajaran agama Islam. Menurutnya, sebuah

masyarakat majemuk dan plural adalah pasti dalam sebuah kebudayaan. Sebab,

tidak ada satu kebudayaan pun yang luput dari sebuah perubahan, dan perubahan

itu mengandaikan adanya kemajemukan. Dia menyebutnya dengan “proses

kemanusiaan”. Lantas bila terjadi pristiwa kekerasan yang mengatasnamakan

agama dan keyakinan, misalnya agama Islam, maka sudah keluar dari garis ajaran

agama Islam. Dalam ajaran agama Islam, diajarkan kepatuhan dan tunduk kepada

Tuhan Yang Maha Esa. Sikap kepatuhan itu dilalui dengan jalan menaati

11

Mukti Ali, “Setuju dalam perbedaan,” Majalah Mawas Diri, no. 1 (Maret 1972), hal. 6

liat juga Faisal Ismail, Republik Bhineka Tunggal Ika:Mengurai Isu-isu Konflik Multikulturalisme,

Faisal Ismail, Paving The War For Interreligion Dialogue, Tolerance, and Harmoni Following, h.

Agama, Sosial, dan Budaya (Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keragamaan, 2012), h. 174. 2Mukti Ali, Agama dan Pembangunan di Indonesia (Jakarta: Biro Humas Departemen

Agama RI, 1972), h. 118.

Page 92: TOLERANSI DALAM TRADISI KEARIFAN LOKAL …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35722/1/FIRDAUS... · (Gus Dur) yang menurut penulis beliau merupakan tokoh-tokoh yang

77

ajarannya, dimana ajaran agama Islam tidak melegalkan kekerasan atas nama

agama.

Tokoh terakhir adalah Gus Dur. Tokoh ini merupakan sosok yang

dipandang sebagai orang yang sangat mengerti konsep toleransi. Berbagai

kebijakan yang dikeluarkan pada masa kepemimpinannya, merupakan bukti nyata

bahwa beliau adalah sosok yang kosmopolit yang mendalami keberagaman.

Landasan awalnya dalam meneguhkan toleransi antara umat beragama di

Indonesia, dengan melihat bahwa keberagaman dalam negara adalah suatu

kenyataan sosial. Menolak salah satunya merupakan bukti mengesampingkan

nilai-nilai kemanusiaan. Padahal, bila kita mencermati, jauh hari dalam peradaban

umat manusia, mengutamakan nilai kemanusiaan adalah tujuan yang hendak

dicapai sehingga kadang menimbulkan perang fisik.

Demokrasi lahir bertujuan untuk meningkatkan nilai-nilai kemanusiaan,

dengan menempatkan manusia sebagai subjek dari demokrasi itu. Begitu pula

dengan ajaran Islam memiliki asas permusyawaratan, adalah instrumen untuk

menempatkan nilai kemanusiaan sebagai tujuan.3 Sehingga, instrumen-intrumen

pengantar menuju nilai kemanusiaan ini akan menempatkan manusia memiliki

derajat yang sama, serta tidak memandang ada yang lebih tinggi dan ada yang

lebih rendah.

Demikianlah pendapat para tokoh dalam memberikan pandangannya.

Partisipasi mereka dalam memberikan pandangannya, mengingat

pengejawantahan dari toleransi adalah sebuah keharusan. Bila tidak, sungguh

3Abdurrahman Wahid, Membangun Demokrasi, h. 85.

Page 93: TOLERANSI DALAM TRADISI KEARIFAN LOKAL …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35722/1/FIRDAUS... · (Gus Dur) yang menurut penulis beliau merupakan tokoh-tokoh yang

78

situasi yang harmonis dan tentram tidak akan pernah tercapai. Terlebih lagi, akan

menghambat sebuah kebudayaan dan kemajuan bangsa.

Penulis melihat pandangan para tokoh di atas sikap penuh pendewasaan

dalam melihat keragaman dan juga keuniversalitasan suatu agama, suku, ras,

maupun kelompok bahwa dengan menunjukan sikap yang ramah, saling

menghormati, dan saling menghargai karena melihat seseorang sebagai manusia

yang memiliki hak-hak dasar.

Oleh karena itu, penulis berusaha mengeneralisir secara terperinci

bagaimana sikap atau pun cara mendasari terciptanya toleransi dalam masyarakat

dari beberapa pandangan para tokoh di atas sebagai berikut:

1. Pluralisme

Pluralisme sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa suatu sikap untuk

mengakui eksistensi dan hak-hak atas agama, suku, ras, maupun kelompok

lain sebagai bagian dari masyarakat. Dalam hal ini menurut penulis untuk

melihat pluralisme dibutuhkan suatu sikap sikap empati dan rasa memiliki satu

sama lain guna melihat perbedaan yang ada dalam masyarakat.

2. Inklusivisme

Inklusivisme yaitu pemikiran atau sikap yang memandang bahwa

kebenaran yang di anut oleh suatu agama adalah juga dianut oleh agama lain.

Dalam hal ini mengindikasikan bahwa masyarakat harus mempunyai sikap

terbuka secara aktif oleh setiap pribadi masyarakat, bahwa kebenaran

sesungguhnya tidak harus mengabaikan atau mengesamping norma-norma

kemanusiaan.

Page 94: TOLERANSI DALAM TRADISI KEARIFAN LOKAL …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35722/1/FIRDAUS... · (Gus Dur) yang menurut penulis beliau merupakan tokoh-tokoh yang

79

3. Dialog

Dialog agama sangat diperlukan di era keterbukaan ini. Dialog agama

bukanlah untuk mencari kebenaran agama masing-masing, tetapi menjembatani

segala perbedaan yang ada dan memberikan ruang kepada semua komunitas yang

berdialog.

B. Analisa Toleransi Dalam Kearifan Lokal Masyarakat Bugis

Meskipun demikian, di samping pandangan para tokoh yang telah

disebutkan sebelumnya, sebenarnya terdapat konsep toleransi dalam masyarakat

Bugis yang sudah lama dipraktikkan dan terpelihara dan terlembaga dalam

kehidupan masyarakat Sulawesi Selatan (Bugis). Lebih jauh, sebenarnya toleransi

dalam masyarakat Sulawesi Selatan adalah bentuk luar yang bersifat empiris dan

dapat diamati, namun sebenarnya mempunyai landasan filosofis yang

mendorongnya dari dalam.4 Landasan filosofis tersebut tidak empiris, melainkan

sesuatu sifat sentimental dan perasaan yang sangat dalam. Dengan kata lain,

landasan tersebut menjadi prinsip hidup yang begitu sangat kuat mengakar dalam

pribadi masing-masing masyarakat Sulawesi Selatan.

Landasan hidup yang termanifestasi menjadi filosofi inilah yang penulis

coba uraikan dengan hati-hati. Disebut dengan “hati-hati” karena dalam mengurai

prinsip hidup ini, penulis sendiri merupakan generasi belakangan yang sudah

dilanda misinterpretasi dalam memahami prinsip tersebut.

4Mattulada, LATOA: Satu Lukisan Analisis Terhadap Antropologi Politik Orang Bugis,

(Ujung Pandang: Hasanuddin University Press, 1995), h. 62.

Page 95: TOLERANSI DALAM TRADISI KEARIFAN LOKAL …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35722/1/FIRDAUS... · (Gus Dur) yang menurut penulis beliau merupakan tokoh-tokoh yang

80

Prinsip hidup masyarakat suku Bugis adalah siri’ dan pesse’. Memaknai

kata siri’, sungguh telah banyak budayawan baik lokal maupun luar, memberi

batasan pengertian tentang siri’. Siri’ dapat diartikan dengan kehormatan. Bagi

Mattulada, siri’ dimaknai dengan kesadaran tentang nilai martabat yang didukung

oleh tiap-tiap orang dalam tradisi kehidupan masyarakat Bugis.5 Artinya, dengan

kehormatan yang tegak, merupakan sikap hidup yang harus dan mesti dijaga.

Selain permaknaan itu, pada bab sebelumnya dijelaskan siri’ tidak lain

akibat yang kemudian timbul jika salah satu nilai kemanusia dilanggar. Seseorang

tidak hanya merasa masiri’ karena telah diperlakukan tidak jujur, dipandang

enteng, dan diperlakukan secara tidak manusiawi. Tetapi siri’ juga sekaligus harus

sebab yang timbul dari dalam diri seorang manusia untuk selalu menjaga sikap,

saling mengormati, saling menghargai, memperaktekkan panggederreng, dan juga

menjadi semangat untuk meraih kesuksesan.6 Nilai siri’ harus menjadi tingkah

laku nyata dalam kehidupan sehari-hari.

Jadi, siri’ juga sebagai sikap aktif untuk menjaga harkat dan martabat

orang lain karena masyarakat Bugis sebagaimana dijelaskan pada bab sebelumnya

bahwa apabila seseorang tidak mempunyai siri’ maka hanya dianggap sebagai

mayat hidup dan juga binatang. Seperti yang dijelaskan dalam Lontara’:

Siri’e tu ri aseng tau, na rekko de’i siri’na,

tania i tau, rupa tau mani

Artinya:

Kerena siri’lah seseorang disebut sebagai manusia,

5M Laica Marzuki, Siri Bagian Kesadaran Hukum Rakyat Bugis Makassar (Sebuah

Telaah Filsafat Hukum) (Ujung Pandang, Hasanuddin University Press, 1995), h. 36. 6Rahman Rahim, Nilai-Nilai Utama Kebudayaan Bugis (Ujung Pandang: Hasanuddin

Universitas Press, 1992), h. 174.

Page 96: TOLERANSI DALAM TRADISI KEARIFAN LOKAL …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35722/1/FIRDAUS... · (Gus Dur) yang menurut penulis beliau merupakan tokoh-tokoh yang

81

manakala seseorang tidak mempunyai siri’,

maka bukan lagi manusia tetapi menyerupai manusia.

Ungkapan lainnya:

Naia tau de’e siri’na,

de’i laenna olok-kolok

Artinya: Jikalau manusia tidak mempunyai siri’,

mereka itu tidak lain dari pada binatang.

Pesan dari ungkapan Bugis di atas memberikan tanda bahwa selain

perbuatan melanggar siri’ akan menghilangkan nilai atau hak-hak kemanusiaan

seseorang dalam suatu kelompok sosial, tetapi Si pelanggar juga akan dianggap

bersikap paling menjengkelkan, menjijikan seperti sikap binatang karena tidak

lagi memperlakukan seorang manusia yang selayaknya.

Rahman Rahim menyebutkan si pelanggar siri’ adalah orang yang telah

tertelanjangi dari moralitas dan dalam Lontara’ binatang itu seperti binatang tikus,

dimana kerusakan yang ditimbulkannya, tidak terbatas pada sawah, tetapi juga

pada padi yang sudah di simpan di lumbung akan digerogoti juga. Bahkan setelah

menjadi beras tikus tetap saja menggerogotinya dan sampai sudah menjadi nasi

tikus masih saja memperetelinya. Begitu lah ungkapan kekejian seseorang yang

tidak mempunyai siri’ dalam dirinya.7

Lebih dari pada tikus yang menjijikan di atas sikap yang dianggap

melebihi binatang apabila dalam hati seseorang tidak terdapat nilai pesse. Dimana

pesse merupakan rasa empati yang timbul dari dalam hati seorang manusia, ibah

hati, rasa yang menyatuh antara seseorang dengan orang yang lainnya, rasa untuk

peduli akan kesulitan yang orang lain alami.

7Rahman Rahim, Nilai-Nilai Kebudayaan Bugis, h. 170.

Page 97: TOLERANSI DALAM TRADISI KEARIFAN LOKAL …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35722/1/FIRDAUS... · (Gus Dur) yang menurut penulis beliau merupakan tokoh-tokoh yang

82

Pesse’ dapat diartikan sebagai “obbi”, yaitu panggilan hati nurani untuk

ikut merasakan penderitaan orang lain dalam perut sendiri. Ini mengindikasikan

adanya perasaan haru atau empati yang dalam terhadap tetangga, kerabat, atau

sesama kelompok sosial. Disebutkan dalam Lontara’ bahwa setiap manusia harus

mempunyai rasa pesse dalam dirinya jika menjadi lebih mulia dibandingkan

orang-orang lainnya, dan agar tidak dianggap keji melebihi binatang.8

Selain dari pada itu, hakikat siri’ dan pesse adalah menitik-beratkan sikap

sipakatau, sipakalebbi, dan sipakainge’. Sipakatau adalah sikap saling

menghormati sesama manusia yang notabene sesama makhluk Tuhan, sipakalebbi

adalah sikap saling memuliakan dari semua kelompok masyarakat yang ada, dan

sipakainge’ menekankan sikap pesse untuk saling mengingatkan dalam hal

kebaikan, saling memperingati untuk menjauhi hal-hal yang bisa merugikan diri

peribadi dan orang lain. tentunya dilakukan dengan cara yang baik dari hati nurani

manusia. Sebagaimana yang disebutkan dalam Lontara’ sebagai berikut:

“akkita tau mu madeceng kalawing ati, apak iya sininna deceng enrengge

upe’ e, kumanenggi pole riatau madeceng kalawing ati e. Apa’ iyyanaritu

tau rilalenna tauwe. Aja iya mualai pompola tomapperumae, apa’ iyatu

mata e, dauccilie. Lilae, inge’e, majeppu tomapperuma ritu. Majeppu iyana

ritu tau pole ri lalenna tauwe. Iyatona pakkita matae, iya tona

perengkalingae dauccilie, iya tona pakedo lilae, iyamuto parimmau. Iyato

makkita tekkemata-mata, iya muto maringkalinga tekkeculing-culing.

Iyamuto makkeda takkelessuk-lessuk, iyatona maremmau tekke emammau-

8M Laica Marzuki, Siri’ Sebagai Kesadaran Hukum Rakyat Bugis Makassar, h. 134.

Page 98: TOLERANSI DALAM TRADISI KEARIFAN LOKAL …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35722/1/FIRDAUS... · (Gus Dur) yang menurut penulis beliau merupakan tokoh-tokoh yang

83

emmau. Makkedai namatane’ to; makkitai nasellempik. Maringkalinga ri

sillalennae. Mainge’i pua na pugau’. Enrengge pura napoadae, kuaettopa

pura naegkalingae. Aga nainge;e ritu naonroi lampek paringgerrang.

Nariaseng tau to mainge’”.

artinya: Berpandanganlah sebagai manusia dan perbaiki sikap hatimu.

Sebab, semua kebaikan dan keberuntungan sumbernya berasal dari orang

yang baik dari dalam hati, itulah yang disebut kemanusiawian yang dimiliki

seseorang. Jangan jadikan perioritas, penghuni rumah yang menumpang

padamu. Sebab, adapun mata, telinga, lidah, hidung itu adalah hanya

menumpang. Sesungguhnya ia adalah tamu dalam diri manusia. Itulah yang

menjadikan mata melihat. Menjadikan telinga mendengar, ia menjadikan

lidah bergerak. Ia juga penciuman. Ia yang tidak melihat sembarangan,

mendengar sembarangan, tidak sembarangan berkata-kata, menjaga

penciuman, ia juga tidak sembarangan bergerak. Bergeraknya ia sepatutnya

dan mendengar sewajarnya. Sadar akan apa yang dilakukakan, dikatakan

disertai pendengaran. Kesadaran itu tempatnya ingatan. Maka disebutlah

orang itu adalah orang yang penuh kesadaran.

Ini menunjukan sikap yang baik dan akan membuat manusia lebih

beruntuk dari manusia yang lainnya apabila memiliki bawaan hati nurani yang

baik, dengan bawaan hati yang baik ini menjadikan seseorang mempunyai nilai

kemanusiaan dalam dirinya, nilai kemanusiaan yang tidak mengikuti hawa nafsu

karena nilai pokok dari manusia adalah nilai kebaikan.

Page 99: TOLERANSI DALAM TRADISI KEARIFAN LOKAL …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35722/1/FIRDAUS... · (Gus Dur) yang menurut penulis beliau merupakan tokoh-tokoh yang

84

Manusia yang madeceng kalawing ati dan ininnawa tau, disertai nilai

paramata mattappa’: yaitu lempu’, ada tongeng, sibawa tette’, siri’ sibawa

getteng, yang terwujud dalam perilaku (barang-kau’), hati (ati), lidah (lila), dan

usaha atau jerih- payah (reso).9 Maksudnya adalah orang yang mempunyai

bawaan hati nurani dan rasa kemanusiaan harus disertai dengan sikap “permata

yang terlihat” yaitu, kejujuran, perkataan benar yang konsisten, harga diri dengan

keteguhan hati, dan harus terbukti lewat perilaku, hati, lidah untuk selalu berkata

benar dan baik, serta dari usaha-usaha yang seorang manusia kerjakan.

Selain dari pada itu kejujuran dan kesucian hati menjadi hal utama yang

diajarkan para pendahulu orang Bugis yang diabadikan dan karya sastra klasik

atau yang dikenal dengan istilah elong-kelong, berikut ini:

Dua kuala sappo,

Unganna panasae, na belo kanuku

Artinya : Dua hal ku jadikan pagar,

yaitu bunga nangka (kejujuran) dan hiasan kuku (hati yang penuh kesucian)

Ungkapan di atas mempunyai makna yang sangat dalam karya sastra orang

Bugis, dua hal yang dijadikan pagar atau pelindung dari kehidupan. Kejujuran

diumpamakan dengan bunga nangka, karena bunga nangka tidak perna

membengkok dan selalu lurus. Itulah mengapa bunga nangka yang lurus itu

diartikan kejujuran. Kemudian hiasan kuku dalam masyarakat Bugis dikenal

dengan istilah pacci atau paccing, yang berarti bersih dan tak bernoda. Sehingga

diartikan sebagai kesucian.

9Anwar Ibrahim, Sulesana: Kumpulan Essai Tentang Demokrasi Dan Kearifan Lokal, h.

104.

Page 100: TOLERANSI DALAM TRADISI KEARIFAN LOKAL …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35722/1/FIRDAUS... · (Gus Dur) yang menurut penulis beliau merupakan tokoh-tokoh yang

85

Dengan semua penjelasan diatas tadi bahwa dari siri dan pesse yang

menjadi prinsip masyarakat Bugis yang menekankan sikap sipakatau, sipakalebbi

dan sipakainge’ guna untuk menjaga harga diri atau hak kemanusiaan dari hati

nurani yang suci dari seseorang sehingga terciptanya kehidupan yang harmonis

dalam masyarakat. Dalam masyarakat Bugis Seseorang tidak dapat dipisahkan

dengan individu lainnya, karena prinsip harkat dan martabat manusia (manusia

saling memanusiakan), seseorang dikatakan manusia apabila menempatkan

dirinya dan orang lain sebagai tau “pesona”, yang berarti bahwa hati, ucapan, dan

perilaku mempraktikan manusia yang sesungguhnya.

Beranjak kekonsep berikutnya bahwa pangederreng memberikan pesan-

pesan untuk hidup yang tentram, damai, dan kemajuan dalam masyarakat.

Menurut Mattulada, Pangedderreng bukan hanya meliputi aspek-aspek yang

disebut sistem norma dan aturan-aturan adat, yaitu hal-hal dimana seorang dalam

tingkah lakunya dan dalam memperlakukan diri dalam kegiatan sosial, bukan saja

merasa “harus” melakukannya, melainkan lebih jauh dari itu, yaitu adanya

semacam perasaan bahwa seseorang adalah bagian internal dari pangedderreng’.10

Penekanan pada kata harus berarti pengedderreng adalah sesuatu yang sangat

dihayati dan didalami. Adanya semacam ikatan yang bila ditinggalkan selain

terkena sanksi, juga perasaan penyesalan yang amat mendalam.

Pangedderreng merupakan kebiasaan berbentuk peraturan yang terdapat

dalam perilaku seseorang, masyarakat dan juga pemerintah. Kebiasaan tersebut

10

Mattulada, LATOA, h. 339.

Page 101: TOLERANSI DALAM TRADISI KEARIFAN LOKAL …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35722/1/FIRDAUS... · (Gus Dur) yang menurut penulis beliau merupakan tokoh-tokoh yang

86

mencakup hanya pada perbuatan atau prilaku yang mengharmoniskan serta

memberikan manfaat bagi harkat dan martabat manusia.11

Selain pangederreng memberikan panduan yang bersifat normatif dalam

bentuk petunjuk dan arahan menuju ke jalan yang benar guna mendapatkan

ketenangan dan kebahagiaan hidup bagi setiap manusia dalam masyarakat,12

juga

mengandung tiga tujuan utama dalam kehidupan masyarakat. Pertama, Tuhan

titik sentral bagi manusia. Kedua, sikap jujur. Ketiga, sebagai unsur keadilan dan

kebijaksanaan. Ini terlihat dari Pangederreg pada hakikatnya mengandung 4 azas

dasar yaitu:13

Pertama, Azas Mappasilasa’e terangkum dalam Ade’, sebagian maknanya

adalah adat. Namun adat di sini, sebagaimana yang telah diterangkan, memiliki

aspek yang mengangkat harkat dan martabat manusia. Ade’ adalah aturan yang

diberikan oleh raja dan juga harus dipatuhi oleh raja.

Kedua, Azas mappasisau e diwujudkan dalam bicara yang konkritnya saat

ini, adalah lembaga peradilan. Bedanya, bicara yang dalam porsinya memberikan

keadilan dan kebenaran kepada masing-masing pihak yang bersengketa,

menggunakan pijakan objektivitas, dimana tomabbicara (hakim) tidak semena-

mena dalam memberikan sanksi. Karena pada dasarnya manusia dianggap sebagai

tau tongeng (orang yang baik), sehingga tomabbicara terlebih dahulu akan

menanyakan kepada dirinya, apakah sanksi yang diberikan kepada orang lain,

dapatkah ia tanggung, dalam artian, apabila seorang pabbicara melanggar hukum

11

Nurhayati Rahman, Suara-Suara dalam Lokalitas (Makassar: La Galigo Press, 2012), h.

137. 12

Mashadi Said, Jati Diri Manusia Bugis (Jakarta: Prodeleader, 2016), h. 73. 13

Said, Jati Diri Manusia Bugis, h. 69.

Page 102: TOLERANSI DALAM TRADISI KEARIFAN LOKAL …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35722/1/FIRDAUS... · (Gus Dur) yang menurut penulis beliau merupakan tokoh-tokoh yang

87

dan dihukum seperti yang akan dihukumkan kepada seseorang pabbicara

dianggap sanggup, maka hukuman itu boleh dijalankan.

Ini merupakan landasan objektif yang dalam Lontara’ disebut sebagai

pijakan hukum. Selain itu, penegak hukum juga harus berpegang pada tiga hal

yaitu, Bicara tongengetellue (tiga kebenaran hukum): pengakuan kesalahan dan

kebenaran kepada kedua belah pihak, pengakuan kesalahan menurut ade’ (adat

atau hukum), kenyataan-kenyataan yang sesungguhnya atau bukti-bukti kongkrit.

Setelah ketiganya tercapai, raja sekalipun dijatuhkan hukuman, bila perbuatannya

melanggar ade’ dan proses penjatuhan hukumannya dilaksanakan dengan Bicara.

Ketiga, azas mappasenrupae yang diwujudkan dalam rapang. Dalam istilah

disebut dengan perumpamaan. Rapang dalam dunia hukum saat ini dapat

diartikan dengan yurisprudensi, yaitu suatu ketentuan yang diambil dari

ketentuan-ketentuan dan kejadian-kejadian yang pernah dilakukan di waktu yang

lalu. Dengan rapang, suatu keputusan negara tetangga dapat dibandingkan dengan

keputusan berdasarkan ade’.14

Sementara menurut pendapat yang lain, lebih

mendefenisikan rapang masuk dalam kategori undang-undang.

Hal ini yang perlu diluruskan, sebab makna rapang lebih luas dari hanya

sekedar undang-undang. Adapun fungsi rapang antara lain: sebagai stabilisator,

sebagai bahan pembanding terhadap norma yang belum terdapat aturannya, dan

sebagai alat pelindung dari pamali-pamali.

Keempat, azas mappallaiseng e diwujudkan dalam wari yaitu suatu sistem

yang mengatur tentang batas-batas kewenangan. Fridericy mengartikan wari

14

Mattulada, LATOA, h. 334.

Page 103: TOLERANSI DALAM TRADISI KEARIFAN LOKAL …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35722/1/FIRDAUS... · (Gus Dur) yang menurut penulis beliau merupakan tokoh-tokoh yang

88

sebagai fungsi yang mengatur tata susunan dan jenjang-jenjang keturunan serta

menentukan kekerabatan. Jenjang atau lapisan yang terdapat dalam masyarakat

suku Bugis, menimbulkan mana yang menjadi hak dan kewajibannya diukur

sesuai hirarkinya.15

Kekerabatan yang dimaksud di sini, dimana raja yang

menikahkan anaknya dengan raja lain, yang berada dalam satu koalisi. Hubungan

kekerabatan ini, dapat dirujuk pada pangedderreng, sehingga dapat ditentukan

mana yang lebih tua dan mana yang lebih muda. Klasifikasi ini, memudahkan

dalam menentukan tata pengedderreng yang berlaku.

Dari keempat azas ini memiliki tugas-tugas tersendiri seperti yang

disebutkan dalam Lontara’ dari percakapan antara La Kajao La liddo dengan raja

Bone yang dikutip oleh Anwar Ibrahim sebagai berikut.16

Iyanaritu adek-e, Arumpone, peesseriwi arajanna arung-mangkauk-e iyatona

sappoipangkaukenna topegaubawannge, iyatona nasanresi tomadodonnge; naiya

bicarae, iyana passaranngi assisalangenna tomangkagaek-e; naiya rapang, iyana

passiajinngi tana-masseajinnge. Nakko marusakni, Arumpone, adek-e,

temmassekni,rituarajangna arung-mangkauk-e, masolang-toni tanae; narekko

temmagettengni bicarae, masolang ritu jemma-tebbek-e; narekko temagettengni

rapange, iyanaritu, Arumpone, mancaji assisalangeng, gagaenna ritu mancaji

musuk. Musuk-ena ritu mancaji assiuno-unong: Sabak makkuanna naro,

Arumpone, rieloreng riyatututi adek-e, kuwaetopa bicarae, enrennge rapannge,

sibawa warik-e.

15

Matuulada, LATOA, h. 380. 16

Ibrahim, Sulesana, h. 31.

Page 104: TOLERANSI DALAM TRADISI KEARIFAN LOKAL …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35722/1/FIRDAUS... · (Gus Dur) yang menurut penulis beliau merupakan tokoh-tokoh yang

89

Artinya: Adapun ade’ itu, Arumpone, akan memperkuat kebesaran Arung

Mangkau’17

; itulah juga yang memagari perbuatan orang yang berbuat semena-

mena; itulah juga yang menjadi sandaran orang lemah. Adapun bicara itu ialah

menyelesaikan perselisihan orang yang bertengkar. Adapun rapang itu, ialah yang

membina kerukunan kekeluargaan negeri yang sekeluarga. Kalau menjadi rusak,

Arumpone, ade’ itu, tak kuatlah sebesaran Arung Mangkau’, rusak pulalah negeri;

kalau tak tegas bicara itu, akan rusaklah rakyat banyak; dan kalau tak tegas

rapang itu, itulah Arumpone, menjadi perselisihan. Dan perselisihan itulah,

menjadi permusuhan; dan permusuhan itu yang menjadi penyebab saling bunuh-

membunuh. Oleh karena itulah Arumpone, maka dikehendaki terpeliharanya ade’

itu, demikian juga bicara, beserta rapang dan wari’.

Dari kutipan di atas bisa disimpulkan bahwa apabila ade’, bicara, rapang,

dan wari tidak tegakkan dalam masyarakat, maka akan menimbulkan kekacauan

dan saling membunuh antar masyarakat karena tidak ada lagi becci18

atau ukuran

dalam bersikap dan berperilaku.19

Seperti yang telah diterangkan sebelumnya, paseng dan pappaseng para

leluhur mengajarkan agar apa yang telah dijanjikan, harus direalisasikan. Bila

tidak, derajatnya tidak lebih dari hewan. Begitu pula paseng dan pappaseng yang

ditulis dalam lontara’ yaitu: Tessiakkekeng tigoro,Tessicalekeng tange, yang

artinya, tidak saling mencekek leher, tidak saling menutupkan pintu.

17

Arung Mangkau’ adalah sebutan bagi seorang raja yang sedang menjabat pada kerajaan

Bugis di Sulawesi Selatan. 18

Becci secara harifiah adalah alat pengukur, yang digunakan untuk melihat lurus atau

tidaknya suatu tanaman dengan menggunakan tali, akan tetapi becci dalam hal di atas bermakna

aturan-aturan atau pedoman yang telah diatur dalam kehidupan masyarakat Bugis. 19

Ibrahim, Sulesana, h. 13.

Page 105: TOLERANSI DALAM TRADISI KEARIFAN LOKAL …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35722/1/FIRDAUS... · (Gus Dur) yang menurut penulis beliau merupakan tokoh-tokoh yang

90

Konsep ini sangat sepadan dengan konsep assimellereng

(kesetiakawanan), dimana mengajarkan saling membantu, saling membukakan

jalan dalam kesempitan, dan saling membantu dalam menghadapi permasalahan

yang ada. Bila kemudian rasa kesetiakawanan ini hilang dari lubuk hati orang

Bugis, maka dikatakan, Siri’-nya sudah hilang, bersamaan dengan hilangnya

kehormatannya. Dengan demikian, siri’ sebenarnya adalah instrumen pendorong

untuk melakukan perbuatan-perbuatan terpuji, saling menghargai, dan saling

mengasihi, dimana pada ujungnya akan menciptakan kondisi, dimana

penghargaan manusia ditempatkan sebagai manusia, dengan cara mengajukan

sikap toleran antar sesama manusia. Sebab, manusia pada sifat asalnya melekat

kebaikan (tau tongeng).

Assimellereng (kesetiakawanan) adalah untuk mewujudkan persatuan

masyarakat (masseuwani tauwe) dalam masyarakat apabila seluruh komponen

dalam masyarakat bersatu maka kedamaian dan keharmonisan. Sehingga

kemudian kehidupan masyarakat tercipta kehidupan yang sejahtera. Dalam

mewujudkan persatuan (masseuwani tauwe) menurut Anwar Ibrahim mengutip

pemikiran To Maccae ri Luwu20

sebagai berikut.21

Delapan sifat yang perlu dipelihara untuk menciptakan persatuan, yaitu:

1. Massituru’i ri lalempanua, seiya-sekatanya masyarakat dalam suatu

negeri.

20

To Maccae ri Luwu adalah orang yang bijak sekaligus penasehat kerajaan Luwu,

Sulawesi Selatan. Beliau hidup sekitar tahun 1530 an, sekitar 50 setelah lahirnya Kajao La

Mellong penasehat kerajaan Bone. Lihat Anwar Ibrahim, Sulesana: Kumpulan Essai Tentang

Demokrasi Dan Kearifan Lokal, h. 33. 21

Ibrahim, Sulesana, h. 41.

Page 106: TOLERANSI DALAM TRADISI KEARIFAN LOKAL …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35722/1/FIRDAUS... · (Gus Dur) yang menurut penulis beliau merupakan tokoh-tokoh yang

91

2. Siallempurenggi, kejujuran kepada sesama masyarakat.

3. Siakkeda tongenggi, saling berkata benar diantara masyarakat.

4. Sia-sirikenggi, Saling memelihara siri’.

5. Ja’ na uru’, deceng na uru’, bersatu dalam duka dan bersatu dalam suka.

6. Sitereng ri bulu’e, tessinoreng ri lompo’e, ke gunung sama mendaki, tidak

saling menurunkan ke lembah.

7. Tessicarinnaianggi ri silasanae, tidak segan-segan membantu sesama

masyarakat.

8. Sipatonggi ri akkunae, saling membenarkan dengan apa adanya.

Dari cerita di atas menjelaskan bagaimana masyarakat akan mendapatkan

kesejahteraan dengan mengedapankan persatuan melalui sikap konsistennya

perkataan dan perbuatan, berkata jujur dan benar, saling menghargai, bersatu

dalam suka dan duka, saling menyanjung dan tidak saling menjatuhkan, menghina

seta menjelek-jelekan, tidak segan dalam membantu atas kesusahan yang dialami

oleh orang lain dan juga membenarkan apa yang memang pantas untuk

dibenarkan.

Dalam toleransi dalam masyarakat berdasarkan apa yang telah dijelaskan

oleh para tokoh sebelumnya bahwa selalu dibutuhkan dialog untuk melihat

dengan jelas permasalahan yang terjadi dalam masyarakat. Berdialog dengan

mengedepankan rasa hormat dan saling menghargai. Dalam masyarakat Bugis

berdialog dikenal dengan istilah tudang sipulung atau bermusyawarah untuk

memperjelas persoalan yang terjadi dalam masyarakat.22

Adapun hasil dialog atau

hasil musyawarah tidak boleh dilanggar oleh raja karena ketetapan itu adalah hasil

dari ketetapan masyarakat banyak.

22

Ibrahim, Sulesana, h.156.

Page 107: TOLERANSI DALAM TRADISI KEARIFAN LOKAL …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35722/1/FIRDAUS... · (Gus Dur) yang menurut penulis beliau merupakan tokoh-tokoh yang

1

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Toleransi dan keharmonisan sangat dibutuhkan dalam masyarakat guna

untuk mewujudkan kehidupan yang sejahtera dan berkemajuan dalam suatu

negeri. Indonesia yang kondisi masyarakat yang beragam dan kekayaan alam yang

berlimpah, mempunyai potensi besar untuk menjadi negara adidaya diantara

negara-negara lainnya apabila masyarakatnya bersatu dengan mengesampingkan

perbedaan yang ada.

Konflik yang selama ini terjadi, terlebih lagi konflik yang benuansa SARA

kebanyakan berangkat dari kepentingan kelompok yang mempropokasi

masyarakat. Kemudian dibumbuhi dengan anggapan isu-isu yang subjektif tanpa

mempertimbangkan benar dan baiknya. Dalam hal ini penulis melihat konflik

yang sudah perna terjadi khusus konflik yang membawa isu perbedaan agama

sesungguhnya menghancurkan harapan para founding fathers dan batang tubuh

dari dasar negara kita yaitu Pancasila.

Para tokoh telah menawarkan konsep toleransi dalam masyarakat. dalam

hal ini, penulis membahas toleransi menurut Mukti Ali, Alwi Shihab, dan

Abdurahman Wahid (Gus Dur). Dimana dari hasil analisis menulis yang secara

hati-hati menganggap bahwa Mukti Ali lebih menekankan penerimaan perbedaan

pendapat atas perbedaan yang ada dalam masyarakat. Alwi Shihab menekankan

keterbukaan dalam kehidupan beragama tanpa harus mempermasalahkan klaim

92

Page 108: TOLERANSI DALAM TRADISI KEARIFAN LOKAL …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35722/1/FIRDAUS... · (Gus Dur) yang menurut penulis beliau merupakan tokoh-tokoh yang

93

kebenaran suatu agama, maksudnya setiap orang akan mengatakan agama yang

dianutnya adalah agama yang paling benar dan tidak harus menghakimi

ketidakbenaran agama orang lain. Kemudian Abdurahman Wahid (Gus Dur)

menitik-beratkan toleransi dari sisi kemanusiaannya, bahwa setiap orang

mempunyai hak-hak dalam kehidupannya, terlebih lagi undang-undang telah

mengatur hak-hak masyarakat untuk bebas memilih agama dan menjalankan

ajaran agama yang dianutnya.

Dari ketiga tokoh tersebut secara umum penulis memandang bahwa

toleransi menempatkan hak-hak kemanusiaan sebagai objek tertinggi. Ini sejalan

dengan konsep karifan lokal masyarakat Indonesia dalam hal ini penulis

mengambil objek toleransi yang terdapat dalam kearifan lokal masyarakat Bugis.

Dalam masyarakat Bugis bahwa prinsip siri’ adalah bagaimana seseorang

manusiakan seseorang yang lainnya (tau sipakatau), saling menghormati dan

saling menghargai (sipakalebbi), dan saling mengingatkan (sipakainge’).

Kemudian pesse yang menenkankan empaty atau jiwa sosial yang harus ada

dalam hati setiap orang. Karena seseorang akan dianggap lebih hina daripada

binatang (olok-kolok) apabila tidak terdapat pesse di dalam dirinya.

Begitu pula dengan panggederreng yang secara sederhana merupakan

serangkaian pedoman hidup masyarakat Bugis yang terdiri dari ade’, bicara,

rapang, dan wari. Dari keempat pedoman itu menjadi acuan masyarakat untuk

membedakan yang pantas atau tidak pantas seorang manusia lakukan. Niat,

perkataan dan perbuatan harus selalu dikontrol sehingga sesaui dengan ajaran

Page 109: TOLERANSI DALAM TRADISI KEARIFAN LOKAL …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35722/1/FIRDAUS... · (Gus Dur) yang menurut penulis beliau merupakan tokoh-tokoh yang

94

panggederreng, yang hakikatnya menjaga dan melestarikan siri’ dalam seseorang,

masyarakat, dan negara.

Kemudian yang terakhir konsep assimellereng (kesetiakawanan sosial)

dalam masyarakat bugis yang secara harfiah diambil dari kata “melle” yang berarti

bersambung atau terhubung. Masyarakat Bugis juga biasanya mengganti

assimellereng dengan kata “melle perru” yang bermakna rasa yang menyatuh

dengan orang lainnya, yang secara kongkrit berupa rasa kasihan, dimana itu

menjadi keharusan.

Demikian kesimpulan penulis melihat kearifan lokal masyarakat Bugis

yang mengandung nilai-nilai toleransi dan keharmonisan sebagaimana apa yang

telah penulis analisis dari teori Mukti Ali, Alwi Shihab, dan Abdurahman Wahid

(Gus Dur).

B. Saran-saran

Penulis menyadari bahwa penelitian ini tidak lepas dari berbagai

keterbatasan dan kekurangan, meskipun penulis sudah berusaha semaksimal

mungkin. Toleransi merupakan pendukung terbesar untuk menciptakan Indonesia

negara yang maju. Mempermasalahkan perbedaan hanya membuang waktu saja.

Maka dari itu mari hidup damai dalam perbedaan, pada hakikatnya semua agama

mengajarkan kebaikan.

Semoga kajian toleransi dalam nilai-nilai kearifan lokal menjadi salah

satu aspek tinjauan dalam mewujudkan toleransi di Indonesia dan semoga

menambah luas peranan jurusan Studi Agama-Agama dalam menciptakan

Page 110: TOLERANSI DALAM TRADISI KEARIFAN LOKAL …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35722/1/FIRDAUS... · (Gus Dur) yang menurut penulis beliau merupakan tokoh-tokoh yang

95

akademisi yang toleran, serta bisa terjun langsung dalam masyarakat banyak. Ini

merupakan langkah awal dari penelitian yang telah penulis kaji. Oleh karena itu,

penulis berharap agar dapat melanjutkan penelitian ini, yang masih memiliki

banyak kekurangan dalam segi khasana keilmuan.

Page 111: TOLERANSI DALAM TRADISI KEARIFAN LOKAL …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35722/1/FIRDAUS... · (Gus Dur) yang menurut penulis beliau merupakan tokoh-tokoh yang

1

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Amin dan Norma Permata, Ahmad. (ed), Metodologi Studi Agama,

Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2000.

Abudullah, Hamid. Manusia Bugis Makassar, Jakarta: PT Inti Idayu Press, Cet. I.

1985.

Agil Husin Al Munawar, Said. Aktualisasi Nilai – Nilai Al-Qur’an dalam

Pendidikan Islam, Jakarta, 2005.

Ali, Mukti. Agama dan Keagamaan di Indonesia, Jakarta: Biro Humas

Departemen Agama RI, 1972.

Ali, Mukti. Alam Pemikiran Islam Modern di Indonesia, Yogyakarta: Jajasan

Nida, 1971.

Ali, Mukti “Setuju dalam perbedaan” dalam Majalah Mawas Diri No. 1 TH. 1

Maret 1972, hal.6. liat juga Faisal Ismail, Republik Bhineka Tunggal

Ika:Mengurai Isu-isu Konflik Multikulturalisme, Agama, Sosial, dan

Budaya, Jakarta: Puslitbang Kehidupan keragamaan, 2012.

Ali, Mukti. Agama dan Pembangunan di Indonesia, Jakarta: Biro Humas

Departemen Agama RI, 1972.

Bakir, Muhammad dan Zaid Mahyudi, M. Gus Dur: Santri Par Exellence

(Teladan Sang Guru Bangsa “Abdurahman Wahid Ketegaran Pluralisme

Akar Rumput), Jakarta: Kompas, Cet. I, 2010.

Basuki, Singgih. Pemikiran keagamaan Mukti Ali, Yogyakarta: Suka Press, 2013.

Page 112: TOLERANSI DALAM TRADISI KEARIFAN LOKAL …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35722/1/FIRDAUS... · (Gus Dur) yang menurut penulis beliau merupakan tokoh-tokoh yang

93

Ghofur, Abdul. Demokratisasi dan Prospek Hukum Islam di Indonesia : Studi

Pemikiran Gus Dur, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002.

Hardjana, A.M. Penghayatan Agama: Yang Otentik dan Tidak Otentik,

Yogyakarta, Kanisius, 1993.

Hasan, Fuad. Renungan Budaya, Jakarta: Balai Pustaka, Cet. ke-I, 1989.

Husin, Khairah. Peran Mukti Ali dalam Pengembangan Toleransi Agama di

Indonesia, RIAU: jurnal Ushuluddin UIN RIAU, Vol. XXI, No.1 Januari

2014.

Ismail, Faisal. Paving the War For Interreligion Dialogue, Tolerance, and

Harmony Following, Mukti Ali’s Path, hal. 174Mukti Ali, “Setuju dalam

perbedaan” Majalah Mawas Diri No. 1 TH. 1 Maret 1972

Ibrahim, Anwar. Sulesana: Kumpulan Esai Tentang Demokrasi dan Kearifan

Lokal, Makassar: Lembaga penerbit Universitas Hasanuddin, 2003.

Kern, R.A. I LA GALIGO Cerita Bugis Kuno Edisi Indonesia, Jogja: Gadjah

Mada University Press, 1989, Cet.I.

Laica Marzuki, M. Siri Bagian Kesadaran Hukum Rakyat Bugis Makassar

(Sebuah Telaah Filsafat Hukum), Ujung Pandang, Hasanuddin University

Press, Cet. I, 1995.

Luth, Thohir. Masyarakat Madani: Solusi Damai dalam Perbedaan, Jakarta:

Mediacita, 2006.

Mangunwijaya, Y.B, dkk. Pluralitas Agama Kerukunan dalam Keragaman,

Jakarta: Kompas, 2001.

Mansur, Sufa’at. Toleransi dalam agama Islam, Yogyakarta; Harapan Kita, 2012.

Page 113: TOLERANSI DALAM TRADISI KEARIFAN LOKAL …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35722/1/FIRDAUS... · (Gus Dur) yang menurut penulis beliau merupakan tokoh-tokoh yang

94

Masdar, Umarudin. Membaca Pemikiran Gusdur dan Amin Rais tentang

Demokrasi Yogyakarta: Pustaka Pelajar,

Masykur Musa, Ali. Pemikiran dan Sikap Politik Gusdur, Jakarta: Penerbit

Erlangga, 2002.

Mattulada, LATOA : Satu Lukisan Analisis Terhadap Antropologi Politik Orang

Bugis, Ujung Pandang: Hasanuddin University Press Cet.II, 1995.

Muchtar Ghazali, Adeng. Ilmu Studi Agama, Bandung: Pustaka Setia, 2005.

Muhaimin, Rekonstruksi Pendidikan Islam: Dari Paradigma Pengembangan,

Manajemen Kelembagaan, Kurikulum hingga Strategi Pembelajaran,

Jakarta: Rajawali Pres, 2009

Muhammad Syak’ah, Musthafa. Islam Tanpa Mazhab, Solo: Tiga Serangkai

2008.

Muqsith Ghazali, Abd Argumen Pluralisme Agama: Membangun Toleransi

Berbasis al-Quran, Depok: Katakita, 2009,

Norma Permata, Ahmad (Ed.), Metodologi, Yogyakarta: UII Press, 2003.

O’ Collins SJ, Gerald dan G. Farrugia SJ, Edward. Kamus Teologi, Yogyakarta:

Kanisius, 1996.

Pelras, Cristian. Manusia Bugis, Jakarta: Forum Jakarta-Paris, Cet. I,2006.

Peldi Taher, Elza., ed., Merayakan Kebebasan Beragama Bunga Rampai 70 tahun

Djohan Effendi, Jakarta: ICRP & Buku Kompas, 2009.

Rahim, Rahman. Nilai-Nilai Utama Kebudayaan Bugis, Ujung Pandang:

Hasanuddin Universitas Press, 1992.

Page 114: TOLERANSI DALAM TRADISI KEARIFAN LOKAL …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35722/1/FIRDAUS... · (Gus Dur) yang menurut penulis beliau merupakan tokoh-tokoh yang

95

Rahmawati, Jurnal Pendidikan Nusantara Indonesia “Integrasi Nilai Budaya Siri’

dan Pesse Masyarakat Bugis Makassar dalam Pelajaran IPA Vol.1.No,

2015, (Unismuh Makassar)

Rahman, Nurhayati. Suara-Suara dalam Lokalitas, Makassar: La Galigo Press,

2012

Said, Marhadi. Jati Diri Manusia Bugis, Jakarta: Pro leader, 2016.

Santoso, Listiono. Teologi Politik Gus Dur, Jogjakarta: Ar-Ruszz Media, 2004.

Santoso, Listiyono. Mewacanakan Nalar Agama yang Inklusif dalam konteks

Kemanusiaan dan Kemajemukan Indonesia

Susanto, Limas. Dkk. Gus Dur: Santri Par Exellence “Psikoterapi Abdurahman

Wahid”, Jakarta: Kompas, Cet. I, 2010.

Shihab, Alwi. Islam Inklusif Menuju Sikap Terbuka, Bandung: Mizan, 1999.

Soekanto, Soerjono. Kamus Sosiologi, Jakarta: Royandi, 1985.

Syaefullah, Asep. Kerukunan Umat Beragama (studi Pemikiran Tarmizi Taher

tentang Kerukunan Umat Beragama, Jakarta: Penerbit Gragindo Khazanah

Ilmu. 2007.

Wahid, Abdurahman. dan Ikeda, Daisaku. Dialog Peradaban untuk Toleransi dan

Perdamaian, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2010.

Wahid, Abdurrahman. Tuhan Tidak Perlu Dibela, Yogyakarta: LKiS, Cet. 1,1999.

Wahid, Abdurrahman. Pergulatan Negara, Agama, dan Kebudayaan, Jakarta:

Desantara, Cet.I, 2001.

Wahid, Abdurahman. Islam Ku, Islam Anda, Islam Kita (Agama Masyarakat

Negara Demokrasi), Jakarta: The Wahid Institute, Cet. I, 2006.

Page 115: TOLERANSI DALAM TRADISI KEARIFAN LOKAL …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/35722/1/FIRDAUS... · (Gus Dur) yang menurut penulis beliau merupakan tokoh-tokoh yang

96

Wahib, Ahmad. Pergolakan Pemikiran Islam, Catatan Harian Ahmad Wahib,

Jakarta: LP3ES, 1981.

Zainal Abidin Farid, A. dkk, Siri’ Filosofi Suku Bugis, Makassar, Toraja, mandar

“Siri, Pesse Dan Were’ Pandangan Hidup Orang Bugis”, Makassar: Arus

Timur, 2014.

Sumber Internet

Norbert Ama Ngongu, “Pluralisme Dalam Perspektif Agama Katolik”artikel

diakses pada tanggal 4 September 2016,

http://norbertang.blogspot.co.id/2008/03/pluralisme-dalam-perspektif-agama.html

Listiyono Santoso, Mewacanakan Nalar Agama yang Inklusif dalam konteks

Kemanusiaan dan Kemajemukan Indonesia, diakses pada 15 November 2016 ,

https://www.academia.edu/8554403/Mewacanakan_Nalar_Agama_yang_Inklusif

_dalam_konteks_Kemanusiaan_dan_Kemajemukan_Indonesia,