52
BAB 1 PENDAHULUAN Organisasi Kesehatan Dunia mengutip malnutrisi sebagai ancaman tunggal terbesar bagi kesehatan masyarakat dunia. Memang, prevalensi pelaporan pasien malnutrisi di rumah sakit dalam rentang penerimaan naik hingga 50%. Bukti peningkatan telah terakumulasi selama beberapa tahun terakhir bahwa skrining gizi dan terapi merupakan tambahan penting dalam terapi bedah modern karena sampai 40% dari pasien berada pada resiko gizi preoperasi. Malnutrisi sebelum operasi gastrointestinal (GI) disebabkan oleh penurunan asupan makanan oral, yang sudah ada sebelum penyakit kronis, tumor cachexia, gangguan penyerapan karena obstruksi usus, dan reseksi bedah usus sebelumnya. Selain itu, status sosial- ekonomi yang rendah seperti yang sering terlihat pada pasien lanjut usia dan caca, merupakan tambahan faktor resiko. Nutrisi memiliki peran yang penting dan tidak dapat dipisahkan dengan persiapan pra operasi dan pasca operasi pada pasien yang menjalani prosedur utama bedah umum dan tindakan suportif pada pasien yang luka parah. Secara umum, ketika dokter memutuskan kepada pasiennya untuk menjalani prosedur operasi besar, nutrisi suportif telah menunjukkan pengurangan komplikasi luka utama seperti luka terbuka dan kebocoran anastomosis 1

Titi Nutrisi Perioperatif

Embed Size (px)

DESCRIPTION

aaaa

Citation preview

Page 1: Titi Nutrisi Perioperatif

BAB 1 PENDAHULUAN

Organisasi Kesehatan Dunia mengutip malnutrisi sebagai ancaman tunggal

terbesar bagi kesehatan masyarakat dunia. Memang, prevalensi pelaporan pasien

malnutrisi di rumah sakit dalam rentang penerimaan naik hingga 50%. Bukti

peningkatan telah terakumulasi selama beberapa tahun terakhir bahwa skrining

gizi dan terapi merupakan tambahan penting dalam terapi bedah modern karena

sampai 40% dari pasien berada pada resiko gizi preoperasi. Malnutrisi sebelum

operasi gastrointestinal (GI) disebabkan oleh penurunan asupan makanan oral,

yang sudah ada sebelum penyakit kronis, tumor cachexia, gangguan penyerapan

karena obstruksi usus, dan reseksi bedah usus sebelumnya. Selain itu, status

sosial-ekonomi yang rendah seperti yang sering terlihat pada pasien lanjut usia

dan caca, merupakan tambahan faktor resiko.

Nutrisi memiliki peran yang penting dan tidak dapat dipisahkan dengan

persiapan pra operasi dan pasca operasi pada pasien yang menjalani prosedur

utama bedah umum dan tindakan suportif pada pasien yang luka parah. Secara

umum, ketika dokter memutuskan kepada pasiennya untuk menjalani prosedur

operasi besar, nutrisi suportif telah menunjukkan pengurangan komplikasi luka

utama seperti luka terbuka dan kebocoran anastomosis luka. Pasien yang

menjalani operasi, menghadapi tantangan secara metabolik dan fisiologi yang

dapat membahayakan status gizi. Gejala pascaoperasi seperti mual, muntah, nyeri,

dan anoreksia dapat terjadi pada pasien, bahkan hal ini juga dapat terjadi pada

pasien yang menjalani operasi kecil, padahal katabolisme, infeksi, dan proses

penyembuhan luka menjadi faktor peyulit pada pasien setelah operasi besar. Hal-

hal ini menjadi masalah yang jauh lebih besar pada pasien operasi dengan gizi

yang kurang. Deplesi nutrisi telah ditunjuk menjadi penentu utama dari

perkembangan komplikasi pasca operasi. Pasien bedah gastrointestinal

mempunyai resiko terjadi deplesi nutrisi dari asupan gizi yang tidak memadai,

stres bedah dan peningkatan tingkat metabolisme pascaoperasi. Banyak pasien

tidak dapat bertahan terhadap penyakitnya tanpa bantuan nutrisi suportif yang

khusus. Seperti pada pasien dengan kehilangan usus total atau hampir total yang

1

Page 2: Titi Nutrisi Perioperatif

mungkin disebabkan infark atau reseksi multipel, pasien malnutrisi dengan

penyakit inflamasi mukosa usus kronis yang mempengaruhi penyerapan, atau

pasien dengan fistula yang menghalangi pencernaan nutrisi secara oral, dan lain

sebagainya.

Kekhawatiran terjadinya ileus pasca operasi dan integritas dari pembuatan

anastomosis baru menyebabkan terjadinya kelaparan, sehingga pemberian nutrisi

menggunakan cairan intravena selalu diberikan sampai terjadinya kentut. Namun,

sejak saat itu telah menunjukkan bahwa pemberian makanan enteral secepatnya

pasca operasi ialah efektif dan dapat ditoleransi dengan baik. Pemberian makanan

secara enteral juga berhubungan dengan manfaat klinis tertentu seperti

menurunnya insiden komplikasi infeksi pascaoperasi dan peningkatan respon

penyembuhan luka. Namun penelitian lebih lanjut masih diperlukan untuk

menentukan hubungan antara nutrisi enteral dengan terjadinya modulasi fungsi

usus (Pilori, 2014).

Pasien dengan kekurangan gizi pra operasi memiliki risiko yang jauh lebih

tinggi terjadinya komplikasi pasca operasi dan kematian daripada pasien yang

memiliki gizi baik sebelum operasi. Status gizi buruk dapat membahayakan fungsi

sistem organ, termasuk jantung, paru-paru, ginjal, dan saluran gastrointestinal

(GIT). Fungsi kekebalan tubuh dan kekuatan otot juga dapat berpengaruh, pasien

seperti ini lebih rentan terhadap terjadinya komplikasi infeksi dan biasanya

memerlukan untuk reintubasi pascaoperasi. Penyembuhan luka yang tertunda,

seperti tertundanya kemajuan dalam mobilitas pasien, sehingga dapat

memperpanjang pemulihan pasien operasi. Semua faktor ini dapat berkontribusi

terhadap lamanya perawatan di rumah sakit, dan meningkatkan biaya perawatan

kesehatan. Seperti yang dijelaskan oleh Meguid dan Laviano, setiap dokter bedah

secara intuitif mengetahui bahwa operasi pada pasien dengan kurang gizi dapat

menjadi menyedihkan (rueful) dan mahal. Bahkan pasien dengan gizi yang cukup

saja dapat mengalami hasil yang kurang baik jika gizi pasca operasi tertunda

secara signifikan. Kurangnya gizi untuk 10-14 hari, khususnya selama periode

meningkatnya kebutuhan (demand) metabolik dengan pemulihan pasca operasi,

2

Page 3: Titi Nutrisi Perioperatif

dapat mengakibatkan komplikasi dan tingkat kematian yang lebih buruk daripada

mereka yang menerima nutrisi suportif. Sejalan dengan ini, pedoman yang

disediakan oleh American Society for Parenteral dan Nutrisi Enteral (ASPEN)

merekomendasikan bahwa nutrisi suportif diberikan pada pasien yang tidak

mampu mengambil nutrisi oral yang cukup selama 7-14 hari. organisasi medis

lainnya juga telah membuat rekomendasi yang sama.

Dasar dari nutrisi suportif merupakan pemberian nutrisi pada pasien yang

tidak dapat melakukan intake secara per oral. Nutrisi suportif diberikan baik

secara intravena menggunakan kateter vena dengan infus formula yang

mengandung makronutrisi dan mikronutrisi maupun secara enteral menggunakan

tube yang ditempatkan pada perut atau usus halus seperti pada pascaoperasi

bypass atonia gaster atau ileus usus halus dalam periode praoperatif maupun

postoperatif. Meskipun tekhnik pemberian makanan intragastik telah diketahui

selama ratusan tahun, namun nutrisi parenteral terbilang relatif baru, memiliki

dasar tekhnik yang tinggi, dan maju pesat sejak tahun 1970-an. Tujuan dari nutrisi

suportif ialah untuk mencegah perburukan status nutrisi, untuk memperbaiki

keadaan klinis, dan sebagai terapi adjuntive, yang mungkin terjadi pada pasien

malnutrisi.

3

Page 4: Titi Nutrisi Perioperatif

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Status Gizi

Status gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan

penggunaan zat-zat gizi. Status gizi ini menjadi penting karena merupakan salah

satu faktor risiko untuk terjadinya kesakitan dan kematian. Status gizi yang baik

bagi seseorang akan berkontribusi terhadap kesehatannya dan juga terhadap

kemampuan dalam proses pemulihan. Status gizi masyarakat dapat diketahui

melalui penilaian konsumsi pangannya berdasarkan data kuantitatif maupun

kualitatif (Supariasa, 2001).

Status gizi merupakan tanda-tanda penampilan seseorang akibat

keseimbangan antara pemasukan dan pengeluaran zat gizi yang berasal dari

pangan yang dikonsumsi pada suatu saat berdasarkan pada kategori dan indikator

yang digunakan (DepKes,2002).

Dalam menetukan klasifikasi status gizi harus ada ukuran baku yang

sering disebut reference. Baku antropometri yang sering digunakan di Indonesia

adalah World Health Organization – National Centre for Health Statistik

(WHONCHS). Berdasarkan baku WHO - NCHS status gizi dibagi menjadi empat:

Pertama, gizi lebih untuk over weight, termasuk kegemukan dan obesitas. Kedua,

Gizi baik untuk well nourished. Ketiga, Gizi kurang untuk under weight yang

mencakup mild dan moderat, PCM (Protein Calori Malnutrition). Keempat, Gizi

buruk untuk severe PCM, termasuk marasmus, marasmik-kwasiorkor dan

kwashiorkor (Supariasa, 2002). Status gizi merupakan faktor yang terdapat dalam

level individu (level yang paling mikro). Faktor yang mempengaruhi secara

langsung adalah asupan makanan dan infeksi. Pengaruh tidak langsung dari status

gizi ada tiga faktor yaitu ketahanan pangan di keluarga, pola pengasuhan anak,

dan lingkungan kesehatan yang tepat, termasuk akses terhadap pelayanan

kesehatan (Riyadi, 2001 yang dikutip oleh Simarmata, 2009).

Status gizi ditentukan oleh ketersediaan semua zat gizi dalam jumlah dan

kombinasi yang cukup serta waktu yang tepat. Dua hal yang penting adalah

4

Page 5: Titi Nutrisi Perioperatif

terpenuhi semua zat gizi yang dibutuhkan tubuh dan faktor-faktor yang

menentukan kebutuhan, penyerapan dan penggunaan zat gizi tersebut.

2.2. Pengukuran Status Gizi

Peran dan kedudukan Penilaian Status Gizi (PSG) di dalam ilmu gizi

adalah untuk mengetahui status gizi, yaitu ada tidaknya malnutrisi pada individu

atau masyarakat. Definisi PSG adalah interprestasi dari data yang didapatkan

dengan menggunakan berbagai metode untuk mengidentifikasi populasi atau

individu yang berisiko atau dengan status gizi buruk (Hartriyanti, 2007).

Kelompok rentan gizi adalah suatu kelompok di dalam masyarakat yang

paling mudah menderita gangguan kesehatannya atau rentan karena kekurangan

gizi. Kelompok-kelompok rentan gizi ini terdiri dari :

a. Kelompok bayi, umur 0-1 tahun.

b. Kelompok di bawah lima tahun (balita): 1-5 tahun.

c. Kelompok anak sekolah, umur 6-12 tahun.

d. Kelompok remaja, umur 13-20 tahun.

e. Kelompok ibu hanil dan menyusui.

f. Kelompok usia (usia lanjut). (Notoatmodjo, 2003)

2.2.1 Pengukuran Status Gizi Secara Langsung

1. Antropometri

Antropometri merupakan salah satu cara penilaian status gizi yang

berhubungan dengan ukuran tubuh yang disesuaikan dengan umur dan tingkat

gizi seseorang. Pada umumnya antropometri mengukur dimensi dan komposisi

tubuh seseorang (Supariasa,2001). Metode antropometri sangat berguna untuk

melihat ketidakseimbangan energi dan protein. Akan tetapi, antropometri tidak

dapat digunakan untuk mengidentifikasi zat-zat gizi yang spesifik (Gibson,

2005).

Indeks antropometri adalah pengukuran dari beberapa parameter. Indeks

antropometri bisa merupakan rasio dari satu pengukuran terhadap satu atau

5

Page 6: Titi Nutrisi Perioperatif

lebih pengukuran atau yang dihubungkan dengan umur dan tingkat gizi. Salah

satu contoh dari indeks antropometri adalah Indeks Massa Tubuh (IMT) atau

yang disebut dengan Body Mass Index (Supariasa, 2001).

IMT merupakan alat sederhana untuk memantau status gizi orang dewasa

khususnya yang berkaitan dengan kekurangan dan kelebihan berat badan, maka

mempertahankan berat badan normal memungkinkan seseorang dapat

mencapai usia harapan hidup yang lebih panjang. IMT hanya dapat digunakan

untuk orang dewasa yang berumur diatas 18 tahun.

Dua parameter yang berkaitan dengan pengukuran Indeks Massa Tubuh,

terdiri dari :

A. Berat Badan

Berat badan merupakan salah satu parameter massa tubuh yang paling

sering digunakan yang dapat mencerminkan jumlah dari beberapa zat gizi

seperti protein, lemak, air dan mineral. Untuk mengukur Indeks Massa Tubuh,

berat badan dihubungkan dengan tinggi badan (Gibson, 2005).

B. Tinggi Badan

Tinggi badan merupakan parameter ukuran panjang dan dapat

merefleksikan pertumbuhan skeletal (tulang) (Hartriyanti dan Triyanti, 2007).

Indeks Massa Tubuh diukur dengan cara membagi berat badan dalam

satuan kilogram dengan tinggi badan dalam satuan meter kuadrat (Gibson,

2005).

Berat badan (kg)

IMT =

Tinggi badan (m) x Tinggi badan (m)

Untuk mengetahui status gizi seseorang maka ada kategori ambang batas

IMT yang digunakan, seperti yang terlihat pada tabel 2.1 yang merupakan

ambang batas IMT untuk Indonesia.

6

Page 7: Titi Nutrisi Perioperatif

Tabel 2.1. Kategori Batas Ambang IMT untuk Indonesia

Kategori IMT

(Kg/m2)

Kurus Kekurangan berat badan tingkat berat < 17,0

Kekurangan berat badan tingkat ringan 17,1 – 18,4

Normal Normal 18,5 – 25,0

Gemuk Kelebihan berat badan tingkat ringan 25,1 – 27,0

Kelebihan berat badan tingkat berat ≥27,0

Sumber : Depkes, 2003

Pada tabel 2.2, dapat dilihat kategori IMT berdasarkan klasifikasi yang

telah ditetapkan oleh WHO

Kategori IMT (Kg/m2)

Underweight < 18,5

Normal 18,5 – 24,99

Overweight ≥25,00

Preobese 25,00 – 29,99

Obesitas tingkat 1 30,00 – 34,99

Obesitas tingkat 2 35,00 – 39,9

Obesitas tingkat 3 ≥40,0

Sumber : WHO (2000) dalam Gibson (2005)

2. Klinis

Pemeriksaan klinis merupakan carapenilaian status gizi berdasarkan

perubahan yang terjadi yang berhubungan erat dengan kekurangan maupun

kelebihan asupan zat gizi. Pemeriksaan klinis dapat dilihat pada jaringan epitel

yang terdapat di mata, kulit, rambut, mukosa mulut, dan organ yang dekat

dengan permukaan tubuh (kelenjar tiroid) (Hartriyanti dan Triyanti, 2007).

7

Page 8: Titi Nutrisi Perioperatif

3. Biokimia

Pemeriksaan biokimia disebut juga cara laboratorium. Pemeriksaan

biokimia pemeriksaan yang digunakan untuk mendeteksi adanya defisiensi zat

gizi pada kasus yang lebih parah lagi, dimana dilakukan pemeriksaan dalam

suatu bahan biopsi sehingga dapat diketahui kadar zat gizi atau adanya

simpanan di jaringan yang paling sensitif terhadap deplesi, uji ini disebut uji

biokimia statis. Cara lain adalah dengan menggunakan uji gangguan fungsional

yang berfungsi untuk mengukurbesarnya konsekuensi fungsional dari suatu zat

gizi yang spesifik Untuk pemeriksaan biokimia sebaiknya digunakan

perpaduan antara uji biokimiastatis dan uji gangguan fungsional (Baliwati,

2004).

4. Biofisik

Pemeriksaan biofisik merupakan salah satu penilaian status gizi dengan

melihat kemampuan fungsi jaringan dan melihat perubahan struktur jaringan

yang dapat digunakan dalam keadaan tertentu, seperti kejadian buta senja

(Supariasa, 2001).

2.2.2. Pengukran Status Gizi Secara Tidak Langsung

1. Survei Konsumsi Makanan

Survei konsumsi makanan merupakan salah satu penilaian status gizi

dengan melihat jumlah dan jenis makanan yang dikonsumsi oleh individu

maupun keluarga. Data yang didapat dapat berupa data kuantitatif maupun

kualitatif. Data kuantitatif dapat mengetahui jumlah dan jenis pangan yang

dikonsumsi, sedangkan data kualitatif dapat diketahui frekuensi makan dan

cara seseorang maupun keluarga dalam memperoleh pangan sesuai dengan

kebutuhan gizi (Baliwati, 2004).

8

Page 9: Titi Nutrisi Perioperatif

2. Statistik Vital

Statistik vital merupakan salah satu metode penilaian status gizi melalui

data-data mengenai statistik kesehatan yang berhubungan dengan gizi, seperti

angka kematian menurutumur tertentu, angka penyebab kesakitan dan

kematian, statistik pelayanan kesehatan, dan angka penyakit infeksi yang

berkaitan dengan kekurangan gizi (Hartriyanti dan Triyanti, 2007).

3. Faktor Ekologi

Penilaian status gizi dengan menggunakan faktor ekologi karena masalah

gizi dapat terjadi karena interaksi beberapa faktor ekologi, seperti faktor

biologis, faktor fisik, dan lingkungan budaya. Penilaian berdasarkan faktor

ekologi digunakan untuk mengetahui penyebab kejadian gizi salah

(malnutrition) di suatu masyarakat yang nantinya akan sangat berguna untuk

melakukan intervensi gizi (Supariasa, 2001).

2.3 Malnutrisi

Konsumsi makanan berpengaruh terhadap status gizi seseorang. Status gizi

baik atau status gizi optimal terjadi bila tubuh memperoleh cukup zat-zat gizi

yang digunakan secara efisien, sehingga memungkinkan pertumbuhan fisik,

perkembangan otak, kemampuan kerja, dan kesehatan secara umum pada tingkat

setinggi mungkin. Gizi kurang (malnutrisi) merupakan suatu keadaan yang terjadi

akibat tidak terpenuhinya asupan makanan (Sampoerno, 1992). Gizi kurang dapat

terjadi karena seseorang mengalami kekurangan salah satu zat gizi atau lebih di

dalam tubuh (Almatsier, 2001).

Malnutrisi berat mempengaruhi morbiditas karena terganggunya

penyembuhan luka dan menurunnya daya tahan tubuh terhadap infeksi. Namun,

malnutrisi protein-kalori yang ringan tidak banyak memengaruhi hasil operasi.

Berbeda dengan malnutrisi akibat kelaparan, pada penderita bedah terdapat

beberapa faktor lain yang menyebabkan malnutrisi. Dua faktor utama adalah

kurangnya asupan makanan dan proses radang yang mengakibatkan katabolisme

9

Page 10: Titi Nutrisi Perioperatif

meningkat dan anabolisme menurun. Keadaan ini dapat langsung tampak pada

penurunan kadar serum albumin dan hipotrofi otot.

Asupan nutrisi yang faali adalah melalui makanan dan minuman. Ini dapat

berupa diet yang dapat diberikan secara oral, melalui sonde hidung, atau secara

intravena. Diet juga dibedakan atas diet biasa dan diet khusus, misalnya pada

penderita diabetes. Penderita kolelitiasis juga memerlukan diet khusus yang

kurang mengandung lemak. Contoh lain adalah diet tinggi serat untuk penderita

obstipasi dan diet rendah kalori untuk penderita obesitas. Diet khusus kalori dan

protein telur tinggi dibutuhkan oleh penderita malnutrisi kronik yang mampu

makan secara normal. Makanan biasa yang dicairkan diberikan kepada penderita

dengan obstruksi esofagus atau pada orang yang tidak dapat mengunyah, seperti

pada patah tulang rahang. Kadang penderita begitu lemah dan mengalami

anoreksia, atau terdapat gangguan mekanik dan obstruksi saluran cerna yang

mengakibatkan proses faali itu tak dapat berlangsung. Fungsi saluran cerna bisa

sangat terganggu sehingga proses pencernaan dan penyerapan sedemikian

terganggu dan kebutuhan nutrisinya tidak terpenuhi. Keadaan ini disebut

kegagalan intestinal. Keadaan ini terdapat pada sindrom usus pendek akibat

reseksi sebagian besar ileum dan yeyunum, fistel usus, gangguan motilitas usus

misalnya pada paralisis usus dan pada peradangan usus yang luas seperti pada

penyakit Crohn dan kolitis ulserosa. Pada kasus khusus dan sulit ini diperlukan

tambahan nutrisi secara enteral atau parenteral.

2.4. Perubahan Fisiologi dan metabolik pada pasien Bedah

Perubahan fisiologis pada pasien bedah telah dibuktikan bahwa

permeabiltas usus meningkat 2 sampai 4 kali pada periode segera pascaoperasi,

dan normalnya berlangsung selama 5 hari. Akhir-akhir ini kurangnya nutrisi

berhubungan dengan peningkatan permeabilitas dan menurunnya tinggi dari

villus. Penemuan ini mengarah ke investigasi dari penatalaksanaan yang bertujuan

menjaga barrier mukosa yang intak. Meningkatnya permeabilitas usus

mengindikasikan kegagalan dari fungsi barrier usus untuk mengeluarkan bakteri

10

Page 11: Titi Nutrisi Perioperatif

dan toksin endogen. Hal ini menjadi salah satu agen penyebab dalam systemic

inflammatory response syndrome, sepsis dan gagal organ multipel. Meskipun,

terdapat kegagalan untuk menunjukan bahwa terdapat korelasi antara rusaknya

fungsi barrier usus dan komplikasi sepsis setelah kegagalan gastrointestinal

bagian atas.

Perubahan metabolik pada pasien bedah tubuh memproduksi respon khas

terhadap luka karena trauma, operasi elektif, atau inflamasi. Semakin ringan

cedera, responnya akan semakin tumpul dan cepat hilang, sedangkan semakin

besar luka yang didapat, maka respon yang muncul akan semakin lama dan parah

khususnya jika komplikasinya muncul. Respon tersebut akan meningkatkan

tingkat metabolisme, sekresi glukokortikoid dan katekolamin, produksi sitokin

proinflamasi, dan retensi cairan. Retensi cairan dan output urin yang rendah

disebabkan bertambahnya sekresi vasopresin dan mineralokortikoid sebagaimana

meningkatnya edema usus disebabkan meningkatnya permeabilitas. Pemulihan

pascaoperasi tanpa komplikasi mempunyai hasil diuresis cairan ini pada hari

ketiga dan keempat pascaoperasi sejalan dengan menurunnya respon endokrin.

Hiperglikemia terjadi disebabkan oleh supresi katekolamin dari sekresi insulin

oleh pankreas (efek sentral) dan inhibisi uptake glukosa oleh jaringan perifer

dalam responnya terhadap kadar sirkulasi insulin (efek perifer). Setiap respon

tersebut memiliki manfaat yang khusus seperti retensi garam dan air yaitu untuk

menjaga volume darah, meningkatnya produksi glukosa hepar yaitu untuk

menyediakan "tenaga" yang cukup, dan mobilisasi dari asam amino untuk

glukoneogenesis, produksi protein hepar, proliferasi fibroblas, dan regulasi

imunologi.

Perubahan kecepatan katabolisme protein, khususnya pretein otot.

Katekolamin menstimulasi glikogenolisis dan glukoneogenesis hepar. Kortisol

merangsang glikogenolisis, glukoneogenesis, dan proteolisis protein dan efek

potensial katekolamin pada hepar. Hormon lain disekresi sebagai respon terhadap

luka. Arginine vasopresin (yang awalnya diketahui sebagai antidiuretik hormon

(ADH)), meningkatkan absorpsi air dan stimulasi glikogenesis hepar dan

11

Page 12: Titi Nutrisi Perioperatif

glukoneogenesis. Kadar glukagon meningkatkan glikolisis, lipolisis, dan

glukoneogenesis. Insulin like growth factor-I (IGF-I) dan Growth Hormone (GH)

menurun, dan hal ini menginduksi ketidakseimbangan dalam regulasi hormon

mengarah penurunan hormon anabolik dan percepatan kehilangan jaringan.

Respon stress berbeda dengan kelaparan tanpa luka. Kelaparan

mengurangi pengeluaran energi dan meningkatkan lipogenesis dan produksi keton

bodies. Namun tidak berkembang menjadi respon protein fase akut. Stress

meningkatkan pengeluaran energi, mempercepat produksi protein hepar,

merangsang respon protein fase akut, dan mempercepat proteolisis tanpa produksi

keton bodies. Asam lemak, keton bodies, dan gliserol merupakan substrat energi

utama dalam kelaparan dan terjadi pada 95% kebutuhan awal. Dalam keadaan

stres, asam amino merupakan sumber yang penting dari produksi glukosa melalui

glukoneogenesis hepar. Protein menyediakan 15-20 % energi, padahal lemak

menyediakan energi sampai 80-85%.

Kondisi hipermetabolik yang lebih lama dapat berhubungan dengan

keseimbangan nitrogen yang negatif yang muncul kemudian. Tingkat metabolik

biasanya meningkat sekitar 10% pasca operasi. Jika dukungan gizi yang memadai

tidak ada pada tahap ini akan terjadi proteolisis dari otot rangka yang berlebihan

dan terjadi depresi metabolisme yang lebih lanjut. Peningkatan pengeluaran energi

dikaitkan dengan berbagai tanggapan hormonal yang terjadi sebagai akibat dari

trauma bedah. Sitokin, termasuk Tumor Necrotizing Factor (TNF) dan interleukin

(IL-1 dan IL-6) memiliki peran penting dalam menentukan perubahan metabolik

jangka panjang. Perubahan ini tidak relevan secara klinis, kecuali terjadinya sepsis

pasca bedah atau trauma setelah operasi tetapi dalam hubungannya dengan

kelaparan preoperatif sering mengakibatkan keseimbangan nitrogen negatif secara

signifikan.

Peran usus dalam pertahanan tubuh sebagian besar konsensus menyatakan

bahwa nutrisi harus diberikan melalui saluran gastrointestinal daripada parenteral

bila memungkinkan. Konsensus ini dihasilkan dari berbagai percobaan klinis

prospektif acak pada pasien trauma dan pasien bedah umum. Hasil eksperimental

12

Page 13: Titi Nutrisi Perioperatif

yang signifikan telah mendokumentasikan bahwa terjadi perubahan dalam

histologi pencernaan serta imunitas mukosa ketika saluran pencernaan tidak

diberikan makanan. Perlindungan sistemik dan intraperitoneal juga dipengaruhi

oleh rute pemberian gizi. Nutrisi enteral akan mengurangi kematian bakteri

intraperitoneal dibandingkan dengan hewan yang diberi makan diet parenteral

isonitrogen dan isokalorik. Studi-studi awal telah dikonfirmasi oleh Lin dan

rekan-rekannya, yang menunjukkan bahwa makanan enteral pada tikus

menghasilkan peningkatan TNF intraperitoneal dan inhibisi proliferasi bakteri.

Hal ini menghasilkan respon sistemik TNF yang tumpul terhadap sepsis

intraperitoneal. Temuan ini telah dikonfirmasi oleh Fong dan rekan pada subyek

manusia. Ketika nutrisi parenteral diberikan secara infus maka sebenarnya

diberikan pula endotoksin, respon TNF ditingkatkan pada individu yang diberikan

nutrisi secara parenteral dibandingkan dengan mereka yang makan secara enteral.

Sehingga pada beberapa aspek, rute pemberian nutrisi secara enteral lebih tetap

disukai.

2.5. Kebutuhan Nutrisi Pasien Bedah

Tujuan utama dari nutrisi suportif adalah untuk memenuhi kebutuhan

energi untuk proses metabolisme, pemeliharaan suhu basal, dan perbaikan

jaringan. Kegagalan untuk menyediakan sumber energi nonprotein yang memadai

akan menyebabkan penggunaan cadangan jaringan tubuh. Kebutuhan untuk energi

dapat diukur dengan kalorimetri secara langsung atau diperkirakan dari ekskresi

nitrogen urin, yang sebanding dengan pengeluaran energi selama istirahat.

Namun, penggunaan kalorimetri secara tidak langsung, terutama pada pasien yang

sakit kritis, sering mengarah kepada perhitungan yang terlalu tinggi dari

kebutuhan kalori. Untuk menentukan kebutuhan kalori harus diketahui

metabolisme basal, sedangkan untuk menentukan basal energy expenditure (BEE)

ini digunakan suatu rumus Harris-Benedict.

13

Page 14: Titi Nutrisi Perioperatif

BEE (Laki-laki) = 66,47 + 13,75 (Berat badan/Kg) + 5,0 (Tinggi

Badan/Cm) - 6,76 (Usia/tahun) Kkal/hari

BEE (Perempuan) = 655,1 + 9,56 (Berat badan/Kg) + 1,85 (Tinggi

badan/Cm) - 4,68 (Usia/tahun) Kkal/hari

Persamaan ini, disesuaikan dengan jenis stres bedah, yang cocok untuk

memperkirakan kebutuhan energi pada lebih dari 80% pasien rawat inap. Telah

terbukti bahwa penyediaan 30 kkal / kg per hari akan cukup memenuhi kebutuhan

energi pada sebagian besar pasien pascaoperasi, dengan risiko rendah kelebihan

makan. Pada trauma atau sepsis, kebutuhan substrat energi meningkat,

memerlukan kalori yang lebih besar melebihi pengeluaran energi nonprotein yang

dihitung (Tabel 2.3). Kebutuhan tambahan kalori nonprotein ini diberikan setelah

luka biasanya 1,2-2,0 kali lebih besar daripada resting energy expenditure (REE)

yang dihitung, tergantung pada jenis cedera. Untuk mengoreksi katabolisme yang

tinggi seperti yang terjadi pascatrauma, pascabedah, pada infeksi atau sepsis,

harus ditambahkan 50% atau lebih dari BEE, tetapi jangan melebihi 150% BEE.

Tabel 2.3 Penyesuaian kalori di atas Pengeluaran Energi Basal (BEE) pada kondisi

hipermetabolik

Kondisi Kkal/kg

per day

Perhitungan

di atas BEE

Gram

Protein/kg

per day

Kalori

non

protein:

Nitrogen

Normal/moderate

malnutrition

25–30 1.1 1 150:1

Mild stress 25–30 1.2 1.2 150:1

Top of

Form

Moderate stress 30 1.4 1.5 120:1

14

Page 15: Titi Nutrisi Perioperatif

Severe stress 30-35 1.6 2 90-120:1

Burns 35-40 2 2.5 90-100:1

Bottom

of Form

Tujuan kedua dari nutrisi suportif adalah untuk memenuhi kebutuhan

substrat untuk sintesis protein. Kalori nonprotein yang sesuai: rasio nitrogen 150:1

(misalnya, 1 g N = 6,25 g protein), harus dipertahankan, yang merupakan

kebutuhan kalori basal yang diberikan untuk mencegah penggunaan protein

sebagai sumber energi. Sekarang terdapat bukti yang lebih besar yang

menunjukkan bahwa asupan protein meningkat, dan kalori lebih rendah: nitrogen

rasio 80:1 untuk 100:1, yang mungkin memiliki manfaat penyembuhan pada

pasien dengan hipermetabolik dan sakit kritis. Dengan tidak adanya disfungsi

ginjal atau gangguan hati yang berat dapat dugunakan rejimen gizi standar, sekitar

0,25-0,35 g nitrogen per kilogram berat badan harus disediakan setiap hari.

Kebutuhan kalori harus dirinci. Karbohidrat sebagai sumber kalori diberikan tidak

lebih dari 6 g/kgBB/hari, bila berlebihan, terjadi hipermetabolisme. Oleh karena

pembatasan penggunaan karbohidrat seperti di atas, lemak digunakan juga sebagai

sumber kalori, sekaligus sebagai sumber asam lemak esensial. Penderita dengan

katabolisme berat, seperti trauma ganda dan luka bakar, memerlukan nutrisi tinggi

protein dan asam amino untuk mengatasi keseimbangan nitrogen yang negatif.

Umumnya diperlukan 1,2-1,5 g protein/kgBB/hari. Elektrolit dibutuhkan untuk

menjaga keseimbangan elektrolit dan asam basa, juga untuk metabolisme sel.

Unsur Na+, K+, Mg+, Ca+, P+, Cl- sama pentingnya seperti protein dan kalori

dalam proses penggantian sel yang rusak. Vitamin dan unsur runut {trace element)

juga esensial untuk proses metabolisme. Dosis tinggi vitamin tertentu, seperti

vitamin C atau vitamin E, memainkan peranan penting dalam pertahanan tubuh

sebagai antioksidan. Konsentrasi plasma vitamin C dan E telah ditunjukkan dapat

mengurangi pasien sakit berat dengan Acute Respiratory Distress Syndrome

15

Page 16: Titi Nutrisi Perioperatif

(ARDS) dibandingkan dengan sukarelawan yang sehat. Kebutuhan nutrisi

dlperkirakan atas dasar kondisi klinis pasien. Penentuan status metabolik yang

lebih tepat dapat didasarkan pada keselmbangan nitrogen.

2.6. Kelebihan Nutrisi (Overfeeding)

Kelebihan memberikan nutrisi biasanya disebabkan oleh kelebihan

perhitungan kebutuhan kalori yang terlalu tinggi, seperti yang terjadi ketika berat

badan aktual digunakan untuk menghitung BEE dalam populasi pasien seperti

pasien yang sakit kritis dengan cairan overload yang signifikan dan gemuk.

Kalorimetri langsung dapat digunakan untuk menghitung kebutuhan energi, tetapi

sering melebihi BEE dari 10% hingga 15% pada pasien stres, terutama jika pasien

sedang menggunakan ventilator. Dalam hal ini, berat kering (dry weight) yang

diperkirakan harus diperoleh dari anggota keluarga atau anamnesis sebelum

cedera. Secara klinis, peningkatan konsumsi oksigen, peningkatan produksi

CO2, lemak hati, penekanan fungsi leukosit, dan meningkatkan risiko infeksi

semuanya telah didokumentasikan dengan adanya kelebihan pemberian makan

(overfeeding).

2.7. Rute Pemberian Nutrisi Supportif

2.7.1. Enteral

Nutrisi enteral memberi hasil lebih baik karena prosesnya

berlangsung faali. Nutrisi enteral lebih disukai daripada nutrisi parenteral

atas dasar kurangnya biaya yang harus dikeluarkan dan risiko yang

terdapat jika diberikan secara intravena. Pemberian nutrisi secara enteral

telah menghasilkan beberapa manfaat klinis yang spesifik, termasuk

mengurangi kejadian komplikasi infeksi pasca operasi dan peningkatan

respon penyembuhan luka. Nutrisi enteral dapat memiliki efek

menguntungkan lain, termasuk mengubah eksposur antigen dan

mempengaruhi oksigenasi dari mukosa usus. Penelitian lebih lanjut

16

Page 17: Titi Nutrisi Perioperatif

diperlukan pada hal ini untuk menjelaskan apakah nutrisi enteral benar-

benar memodulasi fungsi usus atau apakah indikasi pemberian gizi enteral

tergantung oleh bahwa pasien telah memiliki fungsi organ tubuh yang

sehat kembali. Pengobatan konvensional setelah reseksi usus biasanya

diperlukan puasa dengan pemberian cairan intravena sampai terjadinya

flatus, terutama karena kekhawatiran terjadinya ileus pasca operasi. Ini

didasarkan pada asumsi bahwa makanan per oral tidak dapat ditoleransi

pada ileus dan integritas dari anastomosis yang baru dibangun dapat

mempengaruhinya juga. Namun demikian, motilitas usus kecil pulih 6-8

jam setelah trauma bedah dan absoprsi tetap ada bahkan ketika tidak

adanya gerak peristaltik normal. Sejak itu telah menunjukkan bahwa

pemberian makan enteral pascaoperasi pada pasien yang menjalani reseksi

gastrointestinal aman dan dapat ditoleransi dengan baik bahkan ketika

dimulai dalam waktu 12 jam dari operasi.

Pilihan diet cairan encer untuk diet pertama pascaoperasi

berdasarkan teori bahwa cairan encer lebih mudah ditoleransi daripada

cairan yang kental atau makanan padat pada periode dini pascaoperasi.

Alasan lainnya yaitu cairan encer menyediakan rehidrasi oral dan

meminimalkan sekresi pankreas dan gastrointestinal dibandingkan

makanan biasa. Studi prospektif acak untuk pasien dengan status gizi yang

baik (albumin 4 g / dL) dan menjalani operasi pencernaan tidak

menunjukkan perbedaan dalam hasil dan komplikasi bila diberikan nutrisi

enteral dibandingkan dengan pemberian pemeliharaan infus sendiri pada

hari-hari pertama setelah operasi. Selanjutnya, pada studi permeabilitas

usus pada pasien gizi baik yang menjalani operasi kanker gastrointestinal

bagian atas menunjukkan normalisasi permeabilitas usus pada hari kelima

pasca operasi. Pada kasus ekstrem yang lain, meta-analisis terbaru pada

pasien sakit kritis menunjukkan penurunan 44% komplikasi infeksi pada

mereka yang menerima dukungan nutrisi enteral lebih dari mereka yang

menerima nutrisi parenteral.

17

Page 18: Titi Nutrisi Perioperatif

Kebanyakan studi prospektif acak untuk trauma abdomen dan

toraks yang parah menunjukkan penurunan yang signifikan terjadinya

komplikasi infeksi untuk pasien yang diberi nutrisi enteral awal bila

dibandingkan dengan mereka yang tidak diberi makan atau menerima

nutrisi parenteral. Selain itu, pemberian makanan ke lambung sejak awal

setelah cedera kepala tertutup sering dihubungkan dengan makan yang

kurang dan defisiensi kalori karena kesulitan mengatasi gastroparesis dan

risiko tinggi terjadinya aspirasi. (1) Rekomendasi nutrisi enteral dini untuk

pasien bedah dengan malnutrisi sedang (albumin = 2,9-3,5 g / dL) hanya

dapat dilakukan oleh penarikan kesimpulan karena kurangnya data secara

langsung berkaitan dengan populasi ini. Untuk pasien ini, pemberian

nutrisi enteral diukur berdasarkan pengeluaran energi dari pemulihan

pasien, atau jika timbul komplikasi yang dapat mengubah rencana

pemulihan (misalnya, kebocoran anastomotic, operasi kembali, sepsis, atau

kegagalan untuk disapih saat menggunakan ventilator).

Keadaan klinis lain yang memperkuat nutrisi suportif enteral dapat

digunakan pada penurunan neurologis permanen, disfungsi orofaringeal,

short bowel syndrome, dan pasien transplantasi sumsum tulang. Diet

lengkap berbentuk cairan yang menghasilkan ampas terbatas, biasanya

diberikan melalui pipa lambung, duodenum, atau yeyunum. Makanan dan

minuman yang sudah separuh dicerna ini digunakan untuk orang yang

keadaannya payah karena malnutrisi berat, koma lama, penderita yang

sedang menggunakan respirator, dan penderita sakit berat di ruang rawat

intensif. Diet dasar (elemental diet) mulai dipakai di penerbangan ruang

angkasa karena hampir tidak menghasilkan ampas. Diet ini terdiri atas

campuran asam amino, glukosa, dan trigliserida yang hampir tidak usah

dicerna dan langsung diserap. Diet itu juga dapat diberikan melalui pipa

lambung halus pada penderita sindrom usus pendek, fistel usus, atau

penderita radang usus yang parah seperti kolitis ulserosa atau penyakit

Crohn.

18

Page 19: Titi Nutrisi Perioperatif

Terdapat beberapa teknik yang tersedia untuk akses enteral. Saat ini

digunakan metode dan indikasi pilihan dirangkum dalam tabel 2.4.

Tabel 2.4 Beberapa pilihan untuk akses pemberian makan secara

enteral

Pilihan Akses Komentar

Nasogastric Tube Penggunaan jangka pendek; risiko aspirasi;

trauma nasofaring; sering menyangkut.

Nasoduodenal/nasojejunal Penggunaan jangka pendek; risiko aspirasi

rendah pada jejunum; adanya tantangan

dalam menempatkannya (bantuan

radiografi sering diperlukan).

Percutaneous endoscopic

gastrostomy (PEG)

Diperlukan keterampilan endoskopi; dapat

digunakan untuk dekompresi lambung atau

bolus feed; risiko aspirasi; bisa bertahan

12-24 bulan; tingkat komplikasi sedikit

lebih tinggi yaitu disebabkan cara

penempatan dan kebocoran pada lokasi

penempatan.

Operasi gastrostomi Membutuhkan anestesi umum dan

laparotomi kecil; mungkin dapat dibuat

penempatan feeding port duodenum

jejunum yang diperpanjang ; dapat

ditempatkan secara laparoskopik.

Gastrostomi fluoroskopi Penempatan jarum dan garpu T sebagai

jangkar ke perut; dapat menyisipkan

kateter kecil melalui gastrostomy ke

duodenum / jejunum menggunakan

fluoroskopi.

19

Page 20: Titi Nutrisi Perioperatif

PEG-jejunal tube Ditempatkan pada jejunum dengan

endoskopi biasa yang tergantung pada

keahlian operator; jejunum sering

tersangkut retrograde; prosedur dua tahap

dengan penempatan PEG, diikuti dengan

konversi fluoroskopi dengan tabung

pengisi jejunum melalui PEG.

Direct percutaneous

endoscopic jejunostomy

(DPEJ)

Menempatkan melalui endoskopik

langsung dengan enteroscope; adanya

tantangan dalam penempatan; risiko cedera

lebih besar.

Operasi Jejunostomi Umumnya diterapkan saat laparotomi;

anestesi umum; penempatan ilaparoskopi

biasanya membutuhkan asisten untuk

penyisipan kateter.

Fluoroscopic jejunostomy Pendekatannya sulit dengan risiko cedera;

tidak umum dilakukan.

2.7.2. Parenteral

Nutrisi parenteral hanya diberikan bila nutrisi enteral tak dapat

dilakukan, misalnya karena kelainan gastrointestinal sedemikian berat

sehingga fungsi digesti dan absorbsi terganggu.

Tabel. 2.4 Diet dan Nutrisi Khusus

Nutrisi Cara Pemberian Contoh Indikasi

Makanan

Cair

Diet khusus

Tinggi kalori

Oral

Oral

Oral/Parenteral

Oral/enteral

Obstruksi

esophagus, patah

tulang rahang

Diabetes,

20

Page 21: Titi Nutrisi Perioperatif

protein

Lengkap cair

Diet dasar

Parenteral total

Oral/Parenteral

Parenteral

kolelitiasis,

obstipasi, obesitas Malnutrisi kronis Malnutrisi, respirasi buatan, koma yang lama, perawatan intensif Penerbangan ruang angkasa, fistel usus, ileus, morbus Crohn, colitis Fistel, short bowel syndrome, kolitis

Nutrisi parenteral total terdiri atas nutrisi intravena yang

mengandung semua nutrien yang diperlukan. Nutrisi ini dipakai pada

penderita dengan ileus lama atau fistel usus. Nutrisi parenteral total ini

melalui vena sentral, sebaiknya ujung kateter berada di v.kava superior.

Pada ketiga cara khusus di atas, yaitu diet lengkap cair, diet dasar, dan diet

parenteral total, diperlukan formula nutrisi khusus sehingga pencernaan

dapat berlangsung sempurna.

Sebuah uji klinis besar multicentre tidak menunjukkan penurunan

yang signifikan dalam morbiditas atau kematian ketika Total Parenteral

Nutrition (TPN) perioperatif diberikan kepada sekelompok pasien bedah

yang heterogen. Stratifikasi pasien dalam percobaan ini yang disesuaikan

dengan status gizi menunjukkan bahwa pasien dengan gizi buruk ringan

tidak memiliki manfaat dari pemberian TPN tetapi lebih banyak terjadi

komplikasi infeksi. Hal ini menyebabkan para peneliti menyimpulkan

bahwa TPN perioperatif harus dibatasi pada pasien dengan malnutrisi berat

tanpa adanya indikasi spesifik lainnya. Studi berikutnya difokuskan

terutama pada pasien malnutrisi parah dengan keganasan gastrointestinal.

Pasien ini telah ditunjukkan secara klinis mengalami penurunan yang

signifikan, baik pada komplikasi infeksi maupun noninfeksi ketika diberi

makan secara parenteral selama minimal sepuluh hari sebelum dioperasi.

21

Page 22: Titi Nutrisi Perioperatif

Sebuah meta-analisis terbaru dari 27 percobaan acak terkontrol

menyimpulkan bahwa TPN tidak memiliki pengaruh yang signifikan

secara statistik secara keseluruhan pada morbiditas dan mortalitas pasien

bedah. Penelitian terbaru yang dianalisa dengan kualitas metodologi yang

lebih baik hanya menunjukkan manfaat sedikit daripada studi sebelumnya.

Studi tersebut hanya menunjukkan kecenderungan penurunan angka

komplikasi pada pasien malnutrisi.

Di bawah ini merupakan situasi di mana nutrisi parenteral telah

digunakan dalam upaya untuk mencapai tujuannya:

1. Bayi baru lahir dengan anomali pencernaan gastrointestinal, seperti

fistula trakeoesofagus, gastroschisis, omphalocele atau atresia usus

besar.

2. Bayi yang gagal berkembang karena kekurangan pencernaan

disebabkan dengan short bowel syndrome, malabsorpsi, defisiensi

enzim, ileus mekonium, atau diare idiopatik.

3. Pasien dewasa dengan short bowel syndrome sekunder disebabkan

reseksi usus halus yang luas (<100>

4. Enteroenteric, enterocolic, enterovesical, atau fistula enterocutaneous

dengan output yang tinggi (> 500 mL/hari).

5. Pasien operasi dengan ileus paralitik berkepanjangan setelah operasi

besar (> 7 - 10 hari), luka multipel, trauma tumpul atau perut terbuka,

atau pasien dengan refleks ileus yang rumit dengan berbagai penyakit

medis.

6. Pasien dengan panjang usus normal, tetapi terdapat malabsorpsi

sekunder meliputi sariawan, hypoproteinemia, insufisiensi enzim atau

pankreas, enteritis regional, atau kolitis ulserativa.

7. Dewasa pasien dengan gangguan pencernaan fungsional seperti

esofageal diskinesia setelah kecelakaan serebrovaskular, diare

idiopatik, muntah psikogenik, atau anorexia nervosa.

22

Page 23: Titi Nutrisi Perioperatif

8. Pasien dengan kolitis granulomatosa, kolitis ulseratif, dan enteritis TB,

di mana bagian-bagian utama dari mukosa absorptif terserang

penyakit.

9. Pasien dengan keganasan, dengan atau tanpa cachexia, di antaranya

gizi buruk mungkin membahayakan keberhasilan cara pemberian

pilihan terapeutik.

10. Gagal untuk mencoba memberikan kalori yang memadai dengan

tabung enteral atau terdapat sisa residu yang tinggi.

11. Pasien sakit kritis yang hipermetabolik selama lebih dari 5 hari.

Kondisi kontraindikasi diberikannya nutrisi parenteral meliputi:

1. Kurangnya tujuan khusus dari manajemen pasien, atau pada kasus

yang bukan untuk memperpanjang hidup yang bermakna.

2. Periode ketidakstabilan hemodinamik atau kekacauan metabolis yang

parah (misalnya, hiperglikemia berat, azotemia, ensefalopati,

hyperosmolality, dan gangguan cairan elektrolit) membutuhkan

kontrol atau koreksi terlebih dahulu sebelum mencoba pemberian

infus yang hipertonik.

3. Pasien layak untuk makan melalui saluran pencernaan, pada sebagian

besar kasus, ini adalah jalan terbaik yang digunakan untuk

memberikan gizi.

4. Pasien dengan status gizi yang baik.

5. Bayi dengan usus halus kurang dari 8 cm, ketika bayi tidak mampu

beradaptasi meskipun dengan pemberian gizi parenteral.

6. Pasien yang dengan cara berfikir yang ireversibel atau tidak

manusiawi.

2.7.3. Enteral banding parenteral

Setiap rute pemberian nutrisi suportif berhubungan dengan

komplikasi yang berbeda-beda. Umumnya, komplikasi yang terkait dengan

nutrisi parenteral berhubungan dengan morbiditas yang lebih besar

23

Page 24: Titi Nutrisi Perioperatif

daripada nutrisi enteral karena sifat invasif dari cara pemberiannya. Rute

cara pemberian juga memiliki efek pada fungsi organ, terutama saluran

usus. Substrat makanan yang diberikan oleh rute enteral lebih baik

dimanfaatkan oleh usus daripada diberikan pemberian nutrisi secara

parenteral. Selain itu, pemberian nutrisi secara enteral bila dibandingkan

dengan solusi TPN dapat mencegah atrofi mukosa gastrointestinal,

melemahkan respon trauma stres, menjaga imunokompetensi dan

melestarikan flora usus normal.

Sebuah penelitian meta-analisis yang membandingkan kemanjuran

gizi nutrisi enteral dan parenteral awal pada pasien bedah berisiko tinggi

menemukan bahwa pemberian nutrisi enteral dini pasca operasi ialah

efektif dan dapat mengurangi tingkat morbiditas septik dibandingkan

dengan mereka yang dikelola TPN bahkan ketika kateter yang

menyebabkan sepsis telah dikeluarkan dari analisis. Nutrisi enteral juga

merupakan pilihan yang sangat efektif pada pasien malnutrisi dengan

kanker gastrointestinal dan memiliki komplikasi yang lebih sedikit,

perawatan pascaoperasi di rumah sakit yang lebih singkat dan mengurangi

biaya dibandingkan dengan TPN.

Kesimpulan utama dari penelitian ini adalah bahwa rute enteral harus

digunakan sedapat mungkin, tetapi jika rute pemberian secara enteral tidak

dapat dilakukan lebih dari 1 (satu) minggu maka pemberian TPN yang dini

harus dipertimbangkan. Jadi, pertama-tama harus diusahakan agar pasien

bisa makan melalui mulut dalam bentuk makanan lunak atau makanan cair.

Bila ini tidak berhasil, nutrisi enteral dapat diberikan melalui pipa lambung

melalui hidung (nasogastric tube), atau bila perlu, sonde dapat dimasukkan

lebih dalam lagi sampai ke duodenum, bahkan bagian proksimal yeyunum.

Kadang-kadang makanan ini perlu diberikan melalui sonde gastrostomi

atau yeyunostomi. Nutrisi parenteral dapat diberikan sebagai tambahan

bila nutrisi enteral tidak memenuhi kebutuhan nutrisi pasien.

24

Page 25: Titi Nutrisi Perioperatif

Dalam memberikan nutrisi enteral maupun parenteral, perhitungan

kebutuhan protein dan kalori sama seperti yang telah dibahas di atas.

Komplikasi nutrisi enteral, antara lain aspirasi, muntah, diare, salah letak

pipa, sedangkan komplikasi nutrisi parenteral serupa dengan masalah

kateter vena, seperti salah letak, menembus vena, atau tersumbat. Penyulit

lain ialah tromboflebitis, infeksi dan sepsis umum, serta gangguan

metabolikyang bisa terjadi karena pemberian cairan terlalu cepat.

2.8. Nutrisi Perioperatif

Banyak penelitian meneliti nutrisi suportif preoperatif dan postoperatif,

meskipun hasilnya terdapat banyak konflik. Masalah utama dari data-data tersebut

ialah pengambilan pasien yang tidak mempunyai resiko terhadap komplikasi yang

berkaitan dengan nutrisi. Terutama ketika nutrisi perenteral pada lengan

dimasukkan, hasil sering menunjukkan peningkatan komplikasi septik pada pasien

yang mendapatkan nutrisi parenteral yang seharusnya tidak peru mendapatkan

keadaan yang penyulit seperti ini. Contoh klasik adalah Veterans Affairs

Cooperive study, yang secara acak memilih pasien pra operasi bedah untuk

diberikan nutrisi parenteral selama 7 sampai 15 hari sebelum operasi atau untuk

kelompok kontrol dengan akses gratis untuk diet. Jumlah nutrisi parenteral yang

diberikan dalam studi melebihi rekomendasi saat ini, dan ini memperburuk efek

negatif. Secara keseluruhan, saat itu terjadi pengurangan komplikasi

penyembuhan (luka terbuka, anastomosis luka yang tidak adekuat, pembentukan

fistula) pada kelompok nutrisi parenteral, tetapi terjadi peningkatan komplikasi

infeksi secara signifikan, terutama pneumonia. Setelah stratifikasi disesuaikan

dengan tingkat gizi buruk yang sudah ada sebelumnya, sangat jelas manfaat

nutrisi parenteral pada pasien gizi buruk, dengan pengurangan yang signifikan

dalam penyembuhan komplikasi dan tidak ada kenaikan (dan penurunan

beberapa) pada komplikasi infeksi.

Dalam percobaan gizi perioperatif, hampir semua percobaan dengan hasil

negatif atau efek negatif dari gizi terjadi pada sebagian besar pasien dengan gizi

25

Page 26: Titi Nutrisi Perioperatif

yang baik. Namun, percobaan yang menyertakan sejumlah besar pasien malnutrisi

menunjukkan manfaat yang signifikan dengan nutrisi perioperatif (Jesus, 2003).

Orang bisa menyimpulkan bahwa pasien dengan gizi yang baik-yang

teridentifikasi setelah anamnesis riwayat dan pemeriksaan fisik-tidak mungkin

untuk mendapatkan manfaat preoperatif baik menggunakan nutrisi parenteral

meupun makanan enteral. Namun, jika pasien memiliki defisiensi gizi yang sudah

ada sebelumnya, terdapat data-data yang mendukung penggunaan nutrisi suportif

di awal sebelum operasi dan/atau periode pasca operasi.

2.9 Monitoring Terapi Nutrisi Supportif

Terapi Nutrisi Suportif Status cairan harus dievaluasi setiap hari pada

pasien sakit kritis. Formulasi nutrisi parenteral harus terkonsentrasi dan natrium

harus dikurangi saat berat badan pasien tiba-tiba meningkat 1-2 kg dalam 24 jam.

Laboratorium untuk pengukuran glukosa, natrium, kalium, status asam-basa, dan

fungsi ginjal harus dilakukan setiap hari, sedangkan pengukuran untuk kalsium,

fosfor, dan magnesium harus dilakukan setidaknya tiga kali seminggu.

Konsentrasi trigliserida, tes fungsi hati, hitung darah lengkap dengan diferensial,

waktu prothrombin, dan waktu tromboplastin harus dinilai mingguan selama fase

akut cedera pada populasi pasien ini.

Keseimbangan nitrogen dapat dihitung setelah pengumpulan urin 24 jam

untuk volume dan urea nitrogen yang digunakan untuk menentukan beratnya

katabolisme. Keseimbangan nitrogen didefinisikan sebagai perbedaan antara

asupan nitrogen dan ekskresi nitrogen. Pasien yang memiliki cedera tulang

belakang atau kepala berat akan tetap berada dalam keseimbangan nitrogen

negatif bahkan ketika diberikan dosis protein 2 g/kg/hari disebabkan atrofi disuse.

Keseimbangan nitrogen, atau keseimbangan nol nitrogen, dapat terjadi pada

pasien stress, sehat sebelumnya, dan pasien bedah yang muda.

Konsentrasi protein serum dapat digunakan sebagai ukuran status gizi

karena kenaikan konsentrasi protein tertentu dapat mencerminkan terjadinya

anabolisme protein. Konsentrasi serum albumin merupakan penanda protein yang

26

Page 27: Titi Nutrisi Perioperatif

paling umum digunakan untuk menilai status gizi. Namun, albumin merupakan

penanda yang buruk untuk menilai status gizi pada pasien sakit kritis karena

konsentrasinya cepat menurun jika terjadi stres atau luka akibat redistribusi dari

ruang intravaskuler ke ruang interstisial, dan karena waktu paruh hidupnya yang

panjang (<21 style="">C Reactive Protein (CRP) dapat dipertimbangkan karena

protein ini merupakan protein serum jangka pendek. CRP diakui sebagai protein

fase akut yang positif, dan sintesisnya meningkat selama inflamasi dan stres. Jika

terjadi peningkatan konsentrasi CRP dan serum prealbumin tiba-tiba menurun, ini

mungkin menandakan adanya suatu kondisi inflamasi yang mendasari daripada

terjadinya penurunan status gizi. Namun, gabungan prealbumin rendah dan

konsentrasi CRP dapat mencerminkan kalori atau protein yang tersedia tidak

memadai. Hal-hal ini merupakan prinsip-prinsip dasar yang bisa digunakan untuk

membantu klinisi dalam membuat penyesuaian yang diperlukan dalam membuat

rejimen gizi pasien.

2.10 Imunonutrisi

Selain penelitian yang sedang berlangsung memastikan manfaat spesifik

dari rute pemberian untuk nutrisi suportif, penelitian terbaru juga difokuskan pada

komposisi rejimen gizi. Secara khusus, banyak perhatian telah dibayarkan kepada

potensi nutrisi khusus yang dapat mempengaruhi respons metabolik terhadap

penyakit. Salah satu hal yang kontroversi atas pemberian nutrisi suportif dalam

beberapa tahun terakhir ialah nutrisi yang memodulasi kekebalan (imunonutrisi),

termasuk glutamin, arginin, omega-3 asam lemak, dan nukleotida. Sejumlah

percobaan telah dilakukan untuk menilai dampak dari produk yang mengandung

bahan-bahan tersebut pada pasien. Namun, banyak dari percobaan telah dikritik

cacat desain, dan hasilnya masih menjadi konflik.

Glutamin adalah asam amino bebas terbanyak yang terdapat dalam

kompartemen ekstra dan intraseluler. Hal ini memainkan peran penting dalam

transportasi nitrogen dan homeostasis asam basa dan merupakan bahan bakar

untuk mempercepat pembelahan diri sel-sel seperti enterosit, limfosit dan

27

Page 28: Titi Nutrisi Perioperatif

fibroblast. Glutamin juga terlibat dalam mekanisme pertahanan antioksidan

dengan mempengaruhi sintesis glutathione. Dalam situasi stres berat atau

penurunan gizi, permintaan glutamin dapat melebihi kapasitas tubuh untuk

mensintesisnya. Studi telah mengeksplorasi manfaat rejimen nutrisi parenteral

yang diperkaya glutamin, terutama pada usus dan sistem kekebalan tubuh. Telah

terbukti bahwa penambahan glutamin untuk rejimen nutrisi parenteral yang

diberikan kepada pasien setelah operasi elektif perut menghasilkan pengurangan

panjang lama waktu rawat inap di rumah sakit dan mengurangi biayanya. Hal ini

juga disertai dengan perbaikan keseimbangan nitrogen dan pemulihan limfosit

yang lebih cepat. Glutamin juga telah ditunjukkan untuk mempertahankan

permeabilitas usus pada pasien pasca operasi.

Seperti halnya glutamin, arginin adalah asam amino nonesensial yang

penting dalam kondisi stres metabolik. Asam amino ini, salah satu yang tertinggi

dalam nitrogen, telah dikaitkan dengan perbaikan keseimbangan nitrogen dan

penyembuhan luka. Arginine diyakini meningkatkan imunitas melalui promosi

makrofag dan sitotoksisitas natural killer tumor, serta proliferasi dan aktivasi sel

T. Selain itu, arginin merupakan prekursor untuk nitrat oksida, yang terlibat dalam

pengaturan irama vaskular dan fungsi kekebalan tubuh. Ciri-ciri ini telah

membuat potensi arginin menarik untuk digunakan pada pasien bedah.

Tabel 2.5 Manfaat eksperimental suplemen Glutamine dan Arginine

Glutamine Arginine

1. Meningkatkan kapasitas absorpsi

usus setelah reseksi usus

2. Mengurangi permeabilitas usus

3. Resolusi dini eksperimental

pankreatitis

4. Menjaga keseimbangan nitrogen

5. Meningkatkan regenerasi hati

1. Meminimalkan iskemia /

reperfusi cedera hati

2. Mengurangi translokasi bakteri

usus

3. Meningkatkan fungsi natural

killer dan lymphokine-activated

28

Page 29: Titi Nutrisi Perioperatif

setelah hepatektomi

6. Mengembalikan fungsi

imunoglobulin mukosa

7. Meningkatkan clearance pada

peritonitis bakteri

8. Melindungi viabilitas enterosit

pascaradiasi

9. Mengembalikan tingkat

glutathione intraselular

10. Memfasilitasi sensitivitas tumor

terhadap kemoterapi dan terapi

radiasi

11. Meningkatkan fungsi natural

killer dan lymphokine-activated

killer cell

killer cell

4. Meningkatkan retensi nitrogen

dan sintesis protein

Dua asam amino, alanin dan glutamin, adalah karier untuk pertukaran

nitrogen pada organ. Secara keseluruhan skema dari respon metabolik terhadap

penyakit. Skema ini meliputi hubungan metabolisme antara organ. Fitur ini

sampai sekarang masih belum jelas namun saat ini mendapatkan perhatian lebih.

Salah satu artikel adalah bahwa tanggapan tersebut terjadi sebagai respon terhadap

cedera dan secara teleologis benar dan menguntungkan. Dengan demikian, luka

membutuhkan glukosa, bisa glutamin, dan juga arginin yang berhubungan dengan

elemen selular tertentu. Gerakan asam amino dari perifer (otot) menuju hati

mungkin mengakibatkan sekresi protein fase akut, yang memiliki tujuan, pada

gilirannya, adalah untuk melawan infeksi. Glutamin dikeluarkan otot yang sebagai

energi yang berguna untuk banyak sel. Glutamin diambil ginjal untuk menjadi

prekursor untuk membentuk amoniak. Usus halus dapat mengambil dan

mematabolisme glutamin, yang kemudian akan mengeluarkan sejumlah alanin.

29

Page 30: Titi Nutrisi Perioperatif

Hepar kemudian menggunakan alanin yang dilepaskan untuk memproduksi

glukosa. Proses yang kompleks ini memainkan peran penting dalam

glukoneogenesis dan mengubahnya menjadi glutamin di otot.

Asam lemak omega-3, terutama yang berasal dari minyak ikan, bersaing

dengan asam lemak lainnya untuk digunakan ke dalam membran sel. Berbeda

dengan asam lemak omega-6 yang biasanya disediakan sebagai lipid intravena,

asam lemak ini menimbulkan antiinflamasi, dan anti-trombotik. Di antara

percobaan terbatas yang mengevaluasi asam lemak omega-3 dan pengaruh mereka

pada hasil pasien, percobaan kontrol acak baru-baru ini menilai dampaknya

terhadap pasien pasca operasi dengan hasil memanjangnya waktu pembedahan

perut. Dua puluh empat pasien gizi baik yang diterima baik infus 10 g minyak

ikan (Omegaven, Fresenius AG, Bad Homburg, Jerman) maupun tanpa infus

minyak ikan pada hari 1-5 perioperatif. Kedua kelompok menerima nutrisi

suportif yang sama pada hari ke-4 dan 5. Tidak ada perbedaan yang signifikan

yang khas pada kedua kelompok. Hasil penelitian menunjukkan kecenderungan

tingkat infeksi pascaoperasi yang lebih rendah dan lama tinggal di rumah sakit

yang lebih pendek untuk pasien yang makan asam lemak omega-3.

Nukleotida adalah unit dari struktur DNA dan RNA. Meskipun diketahui

memiliki efek potensial meningkatkan imunitas yang berkaitan dengan natural

killer cells dan limfosit T, ada penelitian manusia telah menunjukkan efek yang

menguntungkan dari suplementasi nukleotida.

Imunonutrisi dapat meningkatkan perbaikan hasil pada pasien bedah

elektif tapi berpotensi merugikan pada pasien sakit kritis. Hal ini didukung oleh

penelitian kontrol acak baru-baru ini yang menunjukkan bahwa pasien sepsis yang

diberi nutrisi enteral untuk meningkatkan imunitas terjadi kematian lebih besar

daripada yang didapat oleh nutrisi parenteral. Produk ini sebaiknya tidak

direkomendasikan secara rutin untuk semua pasien pascaoperasi, sampai

penelitian lebih lanjut menjelaskan bahwa pasien dapat mengambil manfaat dari

nutrisi suportif yang memodulasi imunitas (Osland, 2013).

BAB 3. KESIMPULAN

30

Page 31: Titi Nutrisi Perioperatif

Pengukuran status gizi pasien dimulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik

sampai uji laboratorium. Pada pasien dengan kurang gizi dapat mempengaruhi

morbiditas karena terganggunya penyembuhan luka dan menurunnya daya tahan

tubuh terhadap infeksi. Dibandingkan dengan nutrisi parenteral, nutrisi enteral

lebih baik ditoleransi dan dapat mengurangi morbiditas terjadinya sepsis, biaya

dan lama tinggal di rumah sakit. Imunonutrisi dapat meningkatkan perbaikan hasil

pada pasien bedah elektif tapi berpotensi merugikan pada pasien sakit kritis,

sehingga produk ini sebaiknya tidak direkomendasikan secara rutin untuk semua

pasien pascaoperasi karena masih memerlukan penelitian lebih lanjut.

DAFTAR PUSTAKA

31

Page 32: Titi Nutrisi Perioperatif

Atmarita. 2005. Nutrition Problems in Indonesia, in Integrated International Seminar and Workshop on Lifestyle – Related Diseases. Yogyakarta, 19-20 March. Gajah Mada University, Yogyakarta

Depkes, 2003a . Pedoman Umum Gizi Seimbang (Panduan Untuk Petugas). Departemen Kesehatan RI, Jakarta.

Gibson, R. S. 2005. Principles of Nutritional Assessment. Second Edition. Oxford University Press Inc, New York.

Hartriyanti, Y., & Triyanti. 2007. Penilaian Status Gizi, dalam Gizi dan Kesehatan Masyarakat. PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Jason et all. 2015. Oxidative Stress Biomarkers and Incidence of Postoperative AtrialFibrillation in the Omega-3 Fatty Acids for Prevention of Postoperative Atrial Fibrillation (OPERA) Trial. J Am Heart Assoc. 2015;4: JAHA.

Kim et all. 2014. Preoperative assessment of the older surgical patient: honing in on geriatric syndrome. USA : Department of Hospital Medicine.

Liu et all. 2015. The role of perioperative oral nutritional supplementation in elderly patients after hip surgery. Department of Orthopedics, west China Hospital, Sichuan University, Chengdu, Sichuan Province.

Manuel, jesus et al. 2013. Perioperative Nutritional Support. Espana : Elsevier Doyma.

Notoatmodjo, 2003, Pendidikan Dan Perilaku Kesehatan. Penerbit Rineka Cipta. Jakarta

Osland. 2013. Effect Of Timming Of Pharmaconutrion (Imunonutrion) Administration On Outcomes Of Elective Surgery Of Gastrointestinal Malignancies. American Society of enteral and parenteral Nutrition.

32

Page 33: Titi Nutrisi Perioperatif

Pironi, Loris et all. 2014. Definition and Clasification of intestinal Failure in Adult. Department of Gastroenterology, St. Orsola-Malpighi Hospital, University of Bologna.

Purwati, S. 2001. Perencanaan Menu Untuk Penderita Kegemukan. Penerbit. PT. Swadaya. Jakarta.

Supariasa, dkk. 2001. Penilaian Status Gizi. Buku Kedokteran EGC. Jakarta.

WHO. 1995. Physical Status : The Use and Interpretation of Anthropometry. WHO Technical Series Report. Geneva.

Xu et all. 2015. Laparoscopic surgery contributes more to nutritional and immunologic recovery than fast-track care in colorectal cancer. World Journal of Surgical Oncology (2015) 13:18.

33