35
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. MIOMA UTERI 1. Definisi Mioma Uteri Secara umum, uterus mempunyai 3 lapisan jaringan yaitu lapisan terluar perimetrium, lapisan tengah miometrium dan yang paling dalam adalah endometrium (Tortora dan Derrickson, 2006). Miometrium adalah lapisan yang paling tebal dan merupakan otot polos berlapis tiga, sebelah luar longitudinal, sebelah dalam sirkuler, antara kedua lapisan ini beranyaman. Miometrium dapat berkontraksi dan berelaksasi (Prawirohardjo, 2007). Tumor jinak yang berasal dari sel otot polos miometrium disebut leiomioma. Tetapi karena tumor ini berbatas tegas, maka sering juga disebut sebagai fibroid (Kumar et al., 2007). Mioma uteri berbentuk bulat, berbatas tegas, warna putih hingga merah jambu pucat, bersifat jinak dan terdiri dari otot polos dengan jaringan penghubung fibrosa. Sebanyak 95% mioma uteri berasal dari corpus uteri dan 5% berasal dari serviks. Mioma uteri adalah tumor pelvis yang sering terjadi dan diperkirakan sebanyak 10% dari kasus ginekologi umumnya

tipus miom

Embed Size (px)

DESCRIPTION

mioma uteri

Citation preview

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. MIOMA UTERI

1. Definisi Mioma Uteri

Secara umum, uterus mempunyai 3 lapisan jaringan yaitu lapisan terluar perimetrium,

lapisan tengah miometrium dan yang paling dalam adalah endometrium (Tortora dan

Derrickson, 2006). Miometrium adalah lapisan yang paling tebal dan merupakan otot polos

berlapis tiga, sebelah luar longitudinal, sebelah dalam sirkuler, antara kedua lapisan ini

beranyaman. Miometrium dapat berkontraksi dan berelaksasi (Prawirohardjo, 2007). Tumor

jinak yang berasal dari sel otot polos miometrium disebut leiomioma. Tetapi karena tumor

ini berbatas tegas, maka sering juga disebut sebagai fibroid (Kumar et al., 2007). Mioma

uteri berbentuk bulat, berbatas tegas, warna putih hingga merah jambu pucat, bersifat jinak

dan terdiri dari otot polos dengan jaringan penghubung fibrosa. Sebanyak 95% mioma uteri

berasal dari corpus uteri dan 5% berasal dari serviks. Mioma uteri adalah tumor pelvis yang

sering terjadi dan diperkirakan sebanyak 10% dari kasus ginekologi umumnya (Martin L,

2001). Neoplasma jinak ini mempunyai banyak nama sehingga dalam kepustakaan dikenal

juga istilah fibromioma, leiomioma, fibroid ataupun mioma uteri (Prawirohardjo, 2007).

2. Klasifikasi

Pembagian mioma uteri menurut letaknya adalah sebagai berikut:

a. Mioma Submukosum: berada di bawah endometrium dan menonjol ke dalam rongga

uterus. Mioma submukosum dapat tumbuh bertangkai menjadi polip, kemudian

dilahirkan melalui saluran serviks dan disebut myomgeburt (Prawirohardjo, 2007).

b. Mioma Intramural: mioma terdapat di dinding uterus di antara serabut miometrium

(Prawirohardjo, 2007).

c. Mioma Subserosum: apabila tumbuh keluar dinding uterus sehingga menonjol pada

permukaan uterus, diliputi oleh serosa. Mioma subserosum dapat pula tumbuh

menempel pada jaringan lain misalnya ke ligamentum atau omentum dan kemudian

lepas dari uterus, sehingga disebut wandering/parasitic fibroid (Prawirohardjo, 2007).

d. Mioma Serviks : mioma yang terdapat di serviks atau segmen bawah uterus. Mioma

serviks dapat menghambat persalinan dan dapat disangka sebagai kepala janin

(Cunningham et al., 2006).

3. Epidemiologi

Berdasarkan hasil penelitian Coronado et al. (2000), 1,4% dari 6700 kehamilan

mengalami penyulit miomia. Martin L (2001) melaporkan bahwa 1 dari 500 wanita hamil

dirawat inap akibat penyulit yang berkaitan dengan mioma. Wanita dengan mioma

berukuran lebih dari 3 cm meningkatkan angka persalinan preterm, solusio plasenta, nyeri

panggul, dan seksio sesarea yang bermakna. Sedangkan tumor berukuran kurang dari 3 cm

tidak bermakna secara klinis. Seiring meningkatnya ukuran dan jumlah mioma, terjadi

peningkatan frekuensi retensi plasenta, malpresentasi janin dan kontraksi preterm yang

signifikan. Ukuran mioma lebih dari 6 cm dapat meningkatkan kemungkinan obstruksi

persalinan. Kemungkinan solusio plasenta meningkat apabila plasenta kontak atau menutupi

suatu mioma. Abortus dan perdarahan pasca partum tidak meningkat kecuali apabila

plasenta terletak di samping atau menutupi suatu mioma. Namun apabila terjadi perdarahan

dapat bersifat masif, sulit diatasi, dan hanya dapat ditangani dengan histerektomi.

Peningkatan insidensi retensi plasenta sering terjadi pada kasus mioma segmen bawah

uterus.

Mioma uteri adalah jenis penyakit yang melanda wanita. Dari 100 wanita yang

menjalani histerektomi, ditemukan 77% mempunyai mioma uteri termasuk yang berukuran

sekecil 2mm (Parker, 2007). Mioma uteri juga ditemukan pada wanita yang menjalani

histerektomi untuk indikasi yang lain walaupun tidak banyak kasusnya. Sebagian besar

teknik pemeriksaan imaging tidak mempunyai resolusi di bawah 1 cm, maka insidensi

kejadian mioma uteri yang sebenarnya tidak dapat dipastikan karena mioma uteri yang

berukuran kecil seringkali tidak memberikan gejala klinis (Parker, 2007).

Spesimen histerektomi dari wanita premenopaus dengan mioma uteri rata-rata adalah

7,6 sedangkan wanita postmenopaus adalah 4,2 (Parker, 2007). Random sampling pada

wanita berusia 35 - 49 tahun yang menjalani pemeriksaan rutin, hasil rekam medis dan

pemeriksaan sonografi didapatkan pada usia 35 tahun insidensi terjadinya mioma uteri

adalah sebanyak 60% untuk wanita Afrika-Amerika; insidensi ini meningkat sehingga 80%

pada usia 50 tahun. Wanita caucasia pula mempunyai insidensi setinggi 40% pada usia 35

tahun dan meningkat sehingga 70% pada usia 50 tahun (Parker, 2007). Keluhan utama

terbanyak pada penderita mioma uteri adalah perdarahan pervaginam abnormal (44,1%).

Mioma uteri tipe intramural adalah yang terbanyak dari tipe mioma uteri secara patologi

anatomi (51,3%).

4. Etiologi dan Patogenesis

Penyebab utama mioma uteri belum diketahui secara pasti sampai saat ini, tetapi telah

dilakukan beberapa penelitian untuk memahami keterlibatan faktor hormonal, faktor

genetik, growth factor, dan biologi molekular untuk tumor jinak ini (Parker, 2007). Faktor

yang diduga berperan untuk inisiasi pada perubahan genetik pada mioma uteri adalah

abnormalitas intrinsik pada miometrium, peningkatan reseptor estrogen secara kongenital

pada miometrium, perubahan hormonal, atau respon kepada kecederaan iskemik ketika haid.

Setelah terjadinya mioma uteri, perubahan-perubahan genetik ini akan dipengaruhi oleh

promoter (hormon) dan efektor (growth factors) (Parker, 2007)

Bagi Meyer dan De Snoo, mereka mengajukan teori Cell nest atau teori genitoblast.

Percobaan Lipschutz yang memberikan estrogen pada kelinci percobaan ternyata

menimbulkan tumor fibromatosa baik pada permukaan maupun pada tempat lain dalam

abdomen. Efek fibromatosa ini dapat dicegah dengan pemberian preparat progesteron atau

testosteron. Puukka et al. juga menyatakan bahwa reseptor estrogen lebih banyak ditemukan

pada mioma daripada miometrium normal. (Prawirohardjo, 2007).

Dari penelitian menggunakan glucose-6-phosphatase dihydrogenase diketahui bahwa

mioma berasal dari jaringan uniseluler. Transformasi neoplastik dari miometrium menjadi

mioma melibatkan mutasi somatik dari miometrium normal dan interaksi kompleks dari

hormon steroid seks dan growth factor lokal. Mutasi somatik ini merupakan peristiwa awal

dalam proses pertumbuhan tumor (Hadibroto, 2005).

Tidak dapat dibuktikan bahwa hormon estrogen berperan sebagai penyebab mioma,

namun diketahui estrogen berpengaruh dalam pertumbuhan mioma. Mioma terdiri dari

reseptor estrogen dengan konsentrasi yang lebih tinggi dibanding dari miometrium

sekitarnya, namun konsentrasinya lebih rendah dibanding endometrium. Hormon

progesteron meningkatkan aktifitas mitotik dari mioma pada wanita muda namun

mekanisme dan faktor pertumbuhan yang terlibat tidak diketahui secara pasti. Progesteron

memungkinkan pembesaran tumor dengan cara down-regulation apoptosis dari tumor.

Estrogen berperan dalam pembesaran tumor dengan meningkatkan produksi matriks

ekstraseluler (Hadibroto, 2005).

5. Faktor Risiko

a. Usia penderita

Wanita didiagnosa mioma uteri dalam usia 40-an pada sebagian besar kasus. Tetapi

masih belum diketahui pasti apakah mioma uteri yang terjadi disebabkan oleh

peningkatan formasi atau peningkatan pembesaran secara sekunder terhadap perubahan

hormon pada rentang usia ini (Parker, 2007). Berdasarkan otopsi, Novak menemukan

27% wanita berumur 25 tahun mempunyai sarang mioma. Mioma belum pernah

dilaporkan terjadi sebelum menarke, dan setelah menopause hanya 10% mioma yang

masih tumbuh (Prawirohardjo, 2007).

b. Hormon endogen (Endogenous Hormonal)

Telah dijelaskan di atas bahwa hormon estrogen berpengaruh dalam pertumbuhan

mioma. Mioma uteri sangat jarang ditemukan pada spesimen yang diambil dari hasil

histerektomi wanita yang telah menopause, hormon estrogen endogen pada wanita-wanita

menopause mempunyai kadar yang rendah atau. Awal menarke (usia di bawah 10 tahun)

dijumpai peningkatan resiko ( RR 1,24) dan menarke lewat (usia setelah 16 tahun)

menurunkan resiko (RR 0,68) untuk menderita mioma uteri sedikit (Parker, 2007).

c. Riwayat Keluarga

Wanita dengan garis keturunan tingkat pertama seorang penderita mioma uteri

mempunyai peningkatan 2,5 kali kemungkinan risiko untuk menderita mioma uteri

dibanding dengan wanita tanpa garis keturunan penderita mioma uteri. Penderita mioma

yang mempunyai riwayat keluarga penderita mioma uteri mempunyai 2 kali lipat

kekuatan ekspresi dari VEGF-α (a myoma-related growth factor) dibandingkan dengan

penderita mioma yang tidak mempunyai riwayat keluarga penderita mioma uteri (Parker,

2007).

d. Etnik

Dari beberapa penelitian mengenai mioma uteri meliputi rekam medis, dan

pemeriksaan sonografi menunjukkan golongan etnik Afrika-Amerika mempunyai

kemungkinan risiko menderita mioma uteri setinggi 2,9 kali berbanding wanita etnik

caucasia, dan risiko ini tidak mempunyai kaitan dengan faktor risiko yang lain. Didapati

juga wanita golongan Afrika-Amerika menderita mioma uteri dalam usia yang lebih

muda dan mempunyai mioma yang banyak dan lebih besar serta menunjukkan gejala

klinis. Namun masih belum diketahui jelas apakah perbedaan ini adalah karena masalah

genetik atau perbedaan pada kadar sirkulasi estrogen, metabolisme estrogen, diet, atau

peran faktor lingkungan. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa Val/Val genotype untuk

enzim essensial pada metabolisme estrogen, catechol-O-methyltransferase (COMT)

ditemukan sebanyak 47% pada wanita Afrika-Amerika berbanding hanya 19% pada

wanita kulit putih. Wanita dengan genotype ini lebih rentan untuk menderita mioma uteri.

Ini menjelaskan mengapa prevalensi yang tinggi untuk menderita mioma uteri dikalangan

wanita Afrika-Amerika lebih tinggi (Parker, 2007).

e. Berat Badan

Beberapa penelitian menemukan hubungan antara obesitas dan peningkatan insiden

mioma uteri. Suatu studi di Harvard yang dilakukan oleh Dr. Lynn Marshall menemukan

bahwa wanita yang mempunyai Indeks Massa Tubuh (IMT) di atas normal, mempunyai

kemungkinan 30,23% lebih sering menderita mioma uteri (Muzakir, 2008). Salah satu

hasil penelitian prospektif menunjukkan kemungkinan risiko menderita mioma uteri

adalah setinggi 21% untuk setiap kenaikan 10 kg berat badan dan dengan peningkatan

indeks massa tubuh.

Temuan yang sama juga turut dilaporkan untuk wanita dengan 30% kelebihan lemak

tubuh. Ini terjadi karena obesitas menyebabkan pemingkatan konversi androgen adrenal

kepada estrone dan menurunkan hormon sex-binding globulin. Hasilnya menyebabkan

peningkatan estrogen secara biologikal yang bisa menerangkan mengapa terjadi

peningkatan prevalensi mioma uteri dan pertumbuhannya (Parker, 2007).

f. Diet

Beberapa penelitian mengaitkan antara peningkatan terjadinya mioma uteri dengan

konsumsi makanan seperti daging sapi atau daging merah dapat meningkatkan insidensi

mioma uteri, sedangkan sayuran hijau dapat menurunkannya. Studi ini sangat sukar untuk

diintepretasikan karena studi ini tidak menghitung nilai kalori dan pengambilan lemak

tetapi sekadar informasi saja dan juga tidak diketahui dengan pasti apakah vitamin, serat

atau phytoestrogen berhubungan dengan mioma uteri (Parker, 2007).

g. Kehamilan dan paritas

Peningkatan paritas menurunkan insidensi terjadinya mioma uteri. Mioma uteri

menunjukkan karakteristik yang sama dengan miometrium yang normal ketika kehamilan

termasuk peningkatan produksi extracellular matrix dan peningkatan ekspresi reseptor

untuk peptida dan hormon steroid. Miometrium postpartum kembali kepada berat asal,

aliran darah dan ukuran asal melalui proses apoptosis dan diferensiasi. Proses remodeling

ini mempunyai kemungkinan bertanggungjawab dalam penurunan ukuran mioma uteri.

Teori yang lain pula mengatakan pembuluh darah di uterus kembali kepada keadaan atau

ukuran asal pada postpartum dan ini menyebabkan mioma uteri kekurangan suplai darah

dan kurangnya nutrisi untuk terus membesar. Didapati juga ketika kehamilan usia

midreproductive (25-29 tahun) memberikan perlindungan terhadap pembesaran mioma

(Parker, 2007).

h. Kebiasaan merokok

Merokok dapat mengurangi insidensi mioma uteri. Banyak faktor yang bisa

menurunkan bioavalibiltas hormon estrogen pada jaringan seperti: penurunan konversi

androgen kepada estrone dengan penghambatan enzim aromatase oleh nikotin (Parker,

2007).

6. Gambaran Klinis dan Keluhan

Kebanyakan kasus ditemui secara kebetulan karena tumor ini tidak mengganggu. Gejala

yang dikeluhkan sangat tergantung pada tempat sarang mioma ini berada, ukuran tumor,

perubahan dan komplikasi yang terjadi. Gejala yang terjadi dapat digolongkan seperti

berikut:

a. Perdarahan abnormal

Gangguan perdarahan yang terjadi umumnya adalah hipermenore, menoragia dan

dapat juga terjadi metroragia. Penyebab perdarahan ini antara lain adalah:

1) pengaruh ovarium sehingga terjadi hiperplasia endometrium sampai adenokarsinoma

endometrium

2) permukaan endometrium yang lebih luas dari biasa

3) atrofi endometrium di atas mioma submukosum

4) miometrium tidak dapat berkontraksi optimal karena adanya sarang mioma di antara

serabut miometrium, sehingga tidak dapat menjepit pembuluh darah yang melaluinya

dengan baik (Prawirohardjo, 2007). Disebabkan permukaan endometrium yang

menjadi lebih luas akibat pertumbuhan mioma, maka lebih banyak dinding

endometrium yang terkikis ketika menstruasi dan ini menyebabkan perdarahan

abnormal. Walaupun menstruasi berat sering terjadi tetapi siklusnya masih tetap

(Hart, 2001).

Perdarahan abnormal ini terjadi pada 30% pasien mioma uteri dan perdarahan

abnormal ini dapat menyebabkan anemia defisiensi besi (Hadibroto, 2005).

b. Nyeri

Rasa nyeri bukanlah gejala yang khas tetapi dapat timbul karena gangguan sirkulasi

darah pada sarang mioma, yang disertai nekrosis setempat dan peradangan

(Prawirohardjo, 2007). Nyeri panggul yang disebabkan mioma uteri bisa juga disebabkan

degenerasi akibat oklusi vaskuler, infeksi, torsi dari mioma yang bertangkai maupun

akibat kontraksi miometrium yang disebabkan mioma subserosum. Tumor yang besar

dapat mengisi rongga pelvik dan menekan bagian tulang pelvik yang dapat menekan saraf

sehingga menyebabkan rasa nyeri yang menyebar ke bagian punggung dan ekstremitas

posterior (Hadibroto, 2005).

c. Munculnya gejala dan tanda penekanan

Gangguan ini tergantung pada tempat dan ukuran mioma uteri. Penekanan pada

kandung kemih akan menyebabkan poliuri, pada uretra dapat menyebabkan retensio urin,

pada ureter dapat menyebabkan hidroureter dan hidronefrosis, pada rektum dapat

menyebabkan obstipasi dan tenesmia, pada pembuluh darah dan pembuluh limfe di

panggul dapat menyebabkan edema tungkai dan nyeri panggul (Prawirohardjo, 2007).

7. Diagnosa Mioma Uteri

Dapat ditegakkan dengan:

a. Anamnesis

Dari proses tanya jawab dokter dan pasien dapat ditemukan penderita seringkali

mengeluh rasa berat dan adanya benjolan pada perut bagian bawah, kadang mempunyai

gangguan haid dan ada nyeri.

b. Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan bimanual akan mengungkap tumor pada uterus, yang umumnya terletak

di garis tengah atau pun agak ke samping,seringkali teraba terbenjol-benjol. Mioma

subserosum dapat mempunyai tangkai yang berhubung dengan uterus (Prawirohardjo,

2007).

c. Pemeriksaan Penunjang

1) Ultra Sonografi (USG): mioma uteri yang besar paling bagus didiagnosis dengan

kombinasi transabdominal dan transvaginal sonografi. Gambaran sonografi mioma

kebiasaanya adalah simetrikal, berbatas tegas, hypoechoic dan degenerasi kistik

menunjukkan anechoic.

2) Magnetic Resonance Imagine (MRI): lebih baik daripada USG tetapi mahal. MRI

mampu menentukan ukuran, lokasi dan bilangan mioma uteri serta bisa

mengevaluasi jarak penembusan mioma submukosa di dalam dinding miometrium

(Parker, 2007).

8. Diagnosa Banding

Diagnosa banding yang perlu dipikirkan adalah tumor abdomen di bagian bawah atau

panggul ialah mioma subserosum dan kehamilan; mioma submukosum yang dilahirkan

harus dibedakan dengan inversio uteri; mioma intramural harus dibedakan dengan suatu

adenomiosis, khoriokarsinoma, karsinoma korporis uteri atau suatu sarkoma uteri

(Prawirohardjo, 2007).

9. Komplikasi Mioma Uteri

a. Degenerasi ganas

Mioma uteri yang menjadi leimiosarkoma ditemukan hanya 0,32-0,6% dari seluruh

mioma, serta merupakan 50-75% dari semua sarkoma uterus. Keganasan umumnya baru

ditemukan pada pemeriksaan histologi uterus yang telah dilakukan. Kecurigaan akan

keganasan uterus apabila mioma uteri cepat membesar dan apabila terjadi pembesaran

sarang mioma pada masa menopause (Prawirohardjo, 2007).

b. Torsi (Putaran Tangkai)

Sarang mioma yang bertangkai dapat mengalami torsi, timbul gangguan sirkulasi

akut sehingga mengalami nekrosis. Dengan demikian terjadilah sindrom abdomen akut.

Jika torsi terjadi perlahan-lahan, gangguan akut tidak terjadi. Hal ini hendaklah dibedakan

dengan suatu keadaan di mana terdapat banyak sarang mioma dalam rongga peritoneum

(Prawirohardjo, 2007). Sarang mioma dapat mengalami nekrosis dan infeksi oleh karena

gangguan sirkulasi darah (Prawirohardjo, 2007).

10. Penatalaksanaan Mioma Uteri

Tidak semua mioma uteri memerlukan pengobatan bedah, 55% dari semua mioma uteri

tidak membutuhkan suatu pengobatan dalam bentuk apa pun, terutama apabila mioma itu

masih kecil dan tidak menimbulkan gangguan. Walaupun demikian, mioma uteri

memerlukan pengamatan setiap 3-6 bulan.

Penanganan mioma uteri menurut usia, paritas, lokasi dan ukuran tumor terbagi kepada:

a. Terapi medisinal (hormonal)

Saat ini pemakaian Gonadotropin-releasing hormone (GnRH) agonis memberikan

hasil yang baik memperbaiki gejala klinis mioma uteri. Tujuan pemberian GnRH agonis

adalah mengurangi ukuran mioma dengan mengurangi produksi estrogen dari ovarium.

Pemberian GnRH agonis sebelum dilakukan tindakan pembedahan akan mengurangi

vaskularisasi pada tumor sehingga akan memudahkan tindakan pembedahan. Terapi

hormonal yang lainnya seperti kontrasepsi oral dan preparat progesteron akan

mengurangi gejala pendarahan tetapi tidak mengurangi ukuran mioma uteri (Hadibroto,

2005).

b. Terapi pembedahan

Indikasi terapi bedah untuk mioma uteri menurut American College of obstetricians and

Gyneclogist (ACOG) dan American Society of Reproductive Medicine (ASRM) adalah

1) Perdarahan uterus yang tidak respon terhadap terapi konservatif

2) Curiga adanya keganasan

3) Pertumbuhan mioma pada masa menopause

4) Infertilitas karena ganggaun pada cavum uteri maupun karena oklusi tuba

5) Nyeri dan penekanan yang sangat menganggu

6) Gangguan berkemih maupun obstruksi traktus urinarius

7) Anemia akibat perdarahan (Hadibroto,2005).

Tindakan pembedahan yang dilakukan adalah miomektomi atau histerektomi.

A. Miomektomi

Miomektomi adalah pengambilan sarang mioma saja tanpa pengangkatan uterus.

Miomektomi ini dilakukan pada wanita yang ingin mempertahankan fungsi

reproduksinya dan tidak ingin dilakukan histerektomi. Tindakan ini dapat dikerjakan

misalnya pada mioma submukosum dengan cara ekstirpasi lewat vagina

(Prawirohardjo, 2007).

Tindakan miomektomi dapat dilakukan dengan laparotomi, histeroskopi maupun

dengan laparoskopi. Pada laparotomi, dilakukan insisi pada dinding abdomen untuk

mengangkat mioma dari uterus. Keunggulan melakukan miomektomi adalah

lapangan pandang operasi yang lebih luas sehingga penanganan terhadap perdarahan

yang mungkin timbul pada pembedahan miomektomi dapat ditangani dengan segera.

Namun pada miomektomi secara laparotomi risiko terjadi perlengketan lebih besar,

sehingga akan mempengaruhi faktor fertilitas pada pasien, disamping masa

penyembuhan paska operasi lebih lama, sekitar 4-6 minggu.

Pada miomektomi secara histeroskopi dilakukan terhadap mioma submukosum

yang terletak pada kavum uteri.Keunggulan tehnik ini adalah masa penyembuhan

paska operasi sekitar 2 hari. Komplikasi yang serius jarang terjadi namun dapat

timbul perlukaan pada dinding uterus, ketidakseimbangan elektrolit dan perdarahan.

Miomektomi juga dapat dilakukan dengan menggunakan laparoskopi. Mioma yang

bertangkai diluar kavum uteri dapat diangkat dengan mudah secara laparoskopi.

Mioma subserosum yang terletak didaerah permukaan uterus juga dapat diangkat

dengan tehnik ini. Keunggulan laparoskopi adalah masa penyembuhan paska operasi

sekitar 2-7 hari. Resiko yang terjadi pada pembedahan ini termasuk perlengketan,

trauma terhadap organ sekitar seperti usus, ovarium,rektum serta perdarahan. Sampai

saat ini miomektomi dengan laparoskopi merupakan prosedur standar bagi wanita

dengan mioma uteri yang masih ingin mempertahankan fungsi reproduksinya

(Hadibroto, 2005).

B. Histerektomi

Histerektomi adalah pengangkatan uterus, yang umumnya adalah tindakan

terpilih (Prawirohardjo, 2007).Tindakan histerektomi pada mioma uteri sebesar 30%

dari seluruh kasus. Histerektomi dijalankan apabila didapati keluhan menorrhagia,

metrorrhagia, keluhan obstruksi pada traktus urinarius dan ukuran uterus sebesar usia

kehamilan 12-14 minggu (Hadibroto, 2005).

Tindakan histerektomi dapat dilakukan secara abdominal (laparotomi), vaginal

dan pada beberapa kasus dilakukan laparoskopi. Histerektomi perabdominal dapat

dilakukan dengan 2 cara yaitu total abdominal hysterectomy (TAH) dan subtotal

abdominal histerectomy (STAH). Masing-masing prosedur ini memiliki kelebihan

dan kekurangan. STAH dilakukan untuk menghindari resiko operasi yang lebih besar

seperti perdarahan yang banyak, trauma operasi pada ureter, kandung kemih dan

rektum. Namun dengan melakukan STAH kita meninggalkan serviks, di mana

kemungkinan timbulnya karsinoma serviks dapat terjadi. Pada TAH, jaringan

granulasi yang timbul pada tungkul vagina dapat menjadi sumber timbulnya sekret

vagina dan perdaraahn paska operasi di mana keadaan ini tidak terjadi pada pasien

yang menjalani STAH.

Histerektomi juga dapat dilakukan pervaginam, dimana tindakan operasi tidak

melalui insisi pada abdomen. Secara umum histerektomi vaginal hampir seluruhnya

merupakan prosedur operasi ekstraperitoneal, dimana peritoneum yang dibuka sangat

minimal sehingga trauma yang mungkin timbul pada usus dapat diminimalisasi.

Maka histerektomi pervaginam tidak terlihat parut bekas operasi sehingga

memuaskan pasien dari segi kosmetik. Selain itu kemungkinan terjadinya

perlengketan paska operasi lebih minimal dan masa penyembuhan lebih cepat

dibandng histerektomi abdominal.

Histerektomi laparoskopi ada bermacam-macam tehnik. Tetapi yang dijelaskan

hanya 2 iaitu; histerektomi vaginal dengan bantuan laparoskopi (Laparoscopically

assisted vaginal histerectomy / LAVH) dan classic intrafascial serrated edged

macromorcellated hysterectomy (CISH) tanpa colpotomy. Pada LAVH dilakukan

dengan cara memisahkan adneksa dari dinding pelvik dengan memotong mesosalfing

kearah ligamentum kardinale dibagian bawah, pemisahan pembuluh darah uterina

dilakukan dari vagina. CISH pula merupakan modifikasi dari STAH, di mana lapisan

dalam dari serviks dan uterus direseksi menggunakan morselator. Dengan prosedur

ini diharapkan dapat mempertahankan integritas lantai pelvik dan mempertahankan

aliran darah pada pelvik untuk mencegah terjadinya prolapsus. Keunggulan CISH

adalah mengurangi resiko trauma pada ureter dan kandung kemih, perdarahan yang

lebih minimal,waktu operasi yang lebih cepat, resiko infeksi yang lebih minimal dan

masa penyembuhan yang cepat. Jadi terapi mioma uteri yang terbaik adalah

melakukan histerektomi. Dari berbagai pendekatan, prosedur histerektomi

laparoskopi memiliki kelebihan karena masa penyembuhan yang singkat dan angka

morbiditas yang rendah dibanding prosedur histerektomi abdominal (Hadibroto,

2005).

B. Mioma Uteri

Definisi

Mioma adalah suatu pertumbuhan jinak dari sel-sel otat polos, sedangkan untuk otot-otot

rahim disebut dengan mioma uteri.3 Mioma uteri tersebut berbatas tegas, tidak berkapsul, yang

berasal dari otot polos dan jaringan ikat fibrous. Biasanya juga disebut fibromioma uteri,

leiomioma uteri atau uterine fibroid. Ukurannya bervariasi mulai dari sebesar kepala jarum

hingga sebesar melon, sedangkan beratnya pernah dilaporkan mencapai 20 pon.6

Epidemiologi

Di Indonesia mioma uteri ditemukan 2,39-11,7% pada semua penderita ginekologik yang

dirawat. Selain itu dilaporkan juga ditemukan pada kurang lebih 20-25% wanita usia reproduksi

dan meningkat 40% pada usia lebih dari 35 tahun.

Mioma uteri belum pernah dilaporkan terjadi sebelum menarche, sedangkan setelah

menopause hanya kira-kira 10% mioma yang masih bertumbuh.6

Etiologi

Etiologi pasti belum diketahui, tetapi terdapat korelasi antara pertumbuhan tumor dengan

peningkatan reseptor estrogen-progesteron pada jaringan mioma uteri. Hal tersebut tampak pada

mioma yang biasanya membesar pada saat kehamilan dan mengecil setelah menopause. Selain

itu, adanya faktor predisposisi yang bersifat herediter, factor hormon pertumbuhan dan Human

Placental Lactogen ikut mempengaruhi pertumbuhan dari mioma.6

Faktor-faktor yang meningkatkan angka kejadian mioma yaitu :

Wanita ras afrika-karibia

Peningkatan usia, nuligravida

Obesitas

Faktor-faktor yang menurunkan angka kejadian mioma antara lain :

Merokok

Penggunaan pil kombinasi kontrasepsi oral

Kehamilan aterm.6

Patofisiologi

Meskipun mioma cukup umum ditemukan, tidak begitu banyak yang bergejala. Timbulnya

gejala tergantung terutama pada kombinasi ukuran, jumlah dan letak mioma. Secara umum,

pertumbuhan mioma merupakan akibat stimulasi estrogen, yang ada hingga menopause. Seiring

berjalannya waktu, mioma yang awalnya asimtomatik dapat tumbuh dan menjadi bergejala.

Sebaliknya, banyak mioma yang menyusut seiring menopause dimana stimulasi estrogen

menghilang dan banyak gejala yang berkaitan dengan mioma hilang segera setelah menopause.6

Meyer dan De Snoo mengajukan teori Cell Nest atau teori genioblast. Percobaan Lipschultz

yang memberikan estrogen kepada kelinci percobaan ternyata menimbulkan tumor fibromatosa

baik pada permukaan maupun pada tempat lain dalam abdomen. Efek fibromatosa ini dapat

dicegah dengan pemberian preparat progesterone atau testosterone. Pukka dan kawan-kawan

menyatakan bahwa reseptor estrogen pada mioma lebih banyak didapati daripada miometrium

normal. Menurut Meyer, asal mioma adalah sel imatur, bukan dari selaput otot yang matur.1

Klasifikasi

Mioma digolongkan berdasarkan lokasi dan ke arah mana mereka tumbuh. Mioma

memiliki pseudokapsul yang berasal dari sel otot polos uterus yang terkompresi dan hanya

memiliki beberapa pembuluh darah dan pembuluh limfe.

Ada tiga kategori mioma pada rahim:

1. Mioma submukosa

Mioma yang tumbuh dari dinding uterus paling dalam sehingga menonjol ke dalam uterus.

Jenis ini juga dapat bertangkai atau berdasar lebar.

Mioma submukosa dapat tumbuh bertangkai menjadi polip, kemudian dilahirkan melalui

saluran serviks disebut mioma geburt. Hal ini dapat menyebabkan dismenore, namun ketika

telah dikeluarkan dari serviks dan menjadi nekrotik, akan memberikan gejala pelepasan

darah yang tidak regular.

2. Mioma intramural

Mioma intramural merupakan mioma yang paling banyak ditemukan. Jenis mioma ini

seluruhnya atau sebagian besar tumbuh diantara lapisan uterus yang paling tebal dan paling

tengah yaitu miometrium.

3. Mioma subserosa

Mioma subserosa tumbuh keluar dari lapisan tipis uterus yang paling luar yaitu serosa.

Jenis mioma ini dapat bertangkai (pedunculated) atau memiliki dasar lebar. Jenis mioma ini

merupakan kedua terbanyak ditemukan.6

Peningkatan jumlah perdarahan menstrual pada penderita mioma dihubungkan dengan:

1. Peningkatan luas permukaan endometrium

2. Produksi prostaglandin.6

Gejala dan Tanda

Hampir separuh kasus mioma uteri ditemukan secara kebetulan pada pemeriksaan

ginekologik karena tumor ini tidak mengganggu. Gejala yang timbul sangat tergantung pada

tempat sarang mioma ini berada, besarnya tumor, perubahan dan komplikasi yang terjadi. Gejala

yang mungkin timbul yaitu:

1. Perdarahan abnormal, yaitu dapat berupa hipermenore, menoragia dan dapat juga

metroragia merupakan yang paling banyak terjadi.

Beberapa faktor yang menjadi penyebab perdarahan ini, antara lain adalah:

a. Pengaruh ovarium sehingga terjadilah hyperplasia endometrium sampai

adenokarsinoma endometrium

b. Permukaan endometrium yang lebih luas daripada biasa

c. Atrofi endometrium di atas mioma submukosum

d. Miometrium tidak dapat berkontraksi optimal karena adanya sarang mioma di antara

serabut miometrium, sehingga tidak dapat menjepit pembuluh darah yang melaluinya

dengan baik.

2. Rasa nyeri yang mungkin timbul karena gangguan sirkulasi darah pada sarang mioma, yang

disertai nekrosis setempat dan peradangan. Pada mioma submukosum yang akan

dilahirkan, pula pertumbuhannya yang menyempitkan kanalis servikalis dapat juga

menyebabkan dismenore. Namun gejala-gejala tersebut bukanlah gejala khas pada mioma

uteri.

3. Gejala dan tanda penekanan yang tergantung pada besar dan tempat mioma uteri. Gejala

yang timbul dapat berupa poliuri, retention uteri, obstipasi serta edema tungkai dan nyeri

panggul.1

Pada mioma geburt, gejala yang menonjol berupa perdarahn pervaginam di antara siklus

haid yang bervariasi mulai dari perdarahan bercak hingga perdarahan masif. Darah yang keluar

berupa darah segar dan kadng disertai nyeri sehingga dapat diduga sebagai haid yang

memanjang. Selain itu, mioma submukosa juga dapat menyebabkan perdarahan intermenstrual,

perdarahan post coital, perdarahan vaginal terus-menerus atau dismenore.6

Kriteria Diagnosis

1. Pembesaran rahim (bisa simetris ataupun berbenjol-benjol)

2. Umumnya disertai dengan perdarahan (menometroragia)

3. Sering kali membesar pada saat kehamilan3

Diagnosis mioma geburt ditegakkan atas beberapa hal, yaitu :

1. Anamnesis, teraba massa menonjol keluar dari jalan lahir yang dirasakan bertambah panjang

serta adanya riwayat perdarahan pervaginam terutama pada perempuan di usia 40an, kadang

dikeluhkan juga perdarahan kontak.

2. Pemeriksaan fisik

a. Pada pemeriksaan abdomen luar kemungkinan tidak didapatkan kelainan, namun dapat

juga ditemukan pada palpasi bimanual uterus yang bentuknya tidak regular, tidak lunak

atau penonjolan yang berbenjol-benjol yang keras pada palpasi.

b. Pada pemeriksaan ginekologik teraba massa yang keluar dari OUE (kanalis servikalis),

lunak, mudah digerakkan, bertangkai, serta mudah berdarah. Melalui pemeriksaan

inspekulo terlihat massa keluar OUE (kanalis servikalis) berwarna pucat.

3. Pemeriksaan penunjang

a. USG ginekologik untuk menentukan jenis tumor dalam rongga pelvis.

b. Histerografi untuk menilai pasien mioma submukosa dengan infertilitas.

c. Laboratorium : darah lengkap, urine lengkap, tes kehamilan.6

Diagnosis Diferensial

1. Kehamilan

2. Neoplasma ovarium

3. Adenomiosis

4. Kanker/ Karsinoma uterus6

Informed Consent

Pada tindakan pembedahan harus dibuat informed consent, khususnya menyangkut beberapa hal

di bawah ini:

1. Pada tindakan miomektomi bisa terjadi kekambuhan ataupun kemungkinan kerobekan

rahim bila penderita hamil/melahirkan

2. Kemungkinan mengangkat rahim (histerektomi) selalu ada, walaupun pada awalnya

hanya direncanakan miomektomi saja

3. Walaupun hanya dilakukan miomektomi, kemungkinan infertilitas pasca tindakan sangat

mungkin terjadi

4. Bila dilakukan histerektomi, perlu penjelasan bahwa penderita tidak lagi mengalami haid

dan tidak mungkin hamil.6

Perawatan Rumah Sakit

1. Perbaikan keadaan umum (misalnya keadaan anemis gravis atau perdarahan hebat)

2. Persiapan pembedahan3

Penatalaksanaan

Penanganan mioma uteri tergantung pada umur, status fertilitas, paritas, lokasi dan ukuran

tumor, sehingga biasanya mioma yang ditangani yaitu yang membesar secara cepat dan bergejala

serta mioma yang diduga menyebabkan fertillitas. Secara umum, penanganan mioma uteri

terbagi atas penanganan mioma uteri terbagi atas penanganan konservatif dan operatif.

Penanganan konservatif bila mioma berukuran kecil pada pra dan post menopause tanpa

gejala. Cara penanganan konservatif adalah sebagai berikut :

Observasi dengan pemeriksaan pelvis secara periodik setiap 3-6 bulan.

Bila anemi (Hb < 8 gr/dl) → transfusi PRC

Pemberian zat besi

Pemberian agonis hormon pelepas gonadotropin (GnRHa) yaitu Leuprolid asetat 3,75 mg

intramuskular pada hari 1-3 menstruasi setiap minggu sebanyak 3 kali.

Manajemen simtomatik mioma uteri biasanya diberikan demi kenyamanan pasien dan

menunda pengobatan bisa dimengerti pada pasien yag tidak bergejala atau dengan gejala ringan

yang dapat ditoleransi. Meskipun pengobatan non-operatif biasanya tidak memberikan

kesembuhan permanen, namun terapi dengan obat-obatan seperti NSAID, pil kontrasepsi oral,

progestin, androgen dan analog GnRH biasanya diberikan.

Analog GnRH menyebabkan keadaaan hipogonadotropik-hipogonadal; jadi obat-obatan ini

menghasilkan menopause kimiawi yang temporer dan reversibel yang dapat mengecilkan volume

mioma hingga 50% dengan cara menurunkan konsentrasi estrogen yang beredar dalam darah

dengan hasil maksimal setelah tiga bulan terapi. Analog GnRH juga memiliki beberapa

kegunaan sebelum tindakan operatif dilakukan :

Mengurangi jumlah darah yang terbuang pada saat operasi dan perlunya transfusi darah.

Meningkatkan kemungkinan operasi dengan cara insisi suprapubik transversal dibandingkan

insisi midline

Mengurangi resiko histerektomi ketika miomektomi direncanakan.

Penanganan operatif bila:

Ukuran tumor lebih besar dari ukuran uterus pada kehamilan 12-14 minggu

Pertumbuhan tumor cepat

Mioma subserosa bertangkai dan torsi

Bisa dapat menjadi penyulit pada kehamilan berikutnya.

Hipermenorea pada mioma submukosa

Penekanan pada organ sekitarnya

Jenis operasi yang dilakukan berupa:

1. Miomektomi, dilakukan pada penderita infertil atau yang masih menginginkan anak.

Pendekatan pada tumor dilakukan melalui dinding uterus dimana mioma dibuka dengan

diseksi tajam dan tumpul, pseudokapsul dapat mengakibatkan diseksi sulit untuk dilakukan.

Mioma diangkat dengan bantuan obeng mioma, rongga yang terbentuk akibat mioma

kemudian dijahit dan dinding uterus dilipat untuk membawa garis jahitan serendah mungkin

sehingga mengurangi resiko perlekatan dengan vesika urinaria.

2. Histerektomi, dilakukan pada pasien yang tidak menginginkan anak lagi, terbagi atas dua

macam, yaitu :

a. Histerektomi abdominal, dilakukan bila tumor besar terutama mioma intraligamenter,

torsi dan akan dilakukan ooferektomi

b. Histereketomi vaginal, dilakukan bila tumor kecil (ukuran < uterus gravid 12 minggu)

atau disertai dengan kelainan di vagina misalnya rektotel, sistokel, atau enterokel.

Embolisasi arteri uterus kini semakin banyak digunakan untuk menangani mioma dengan

pendekatan yang kurang invasif. Tujuannya adalah untuk mengurangi suplai darah ke mioma

sehingga menyebabkan degenerasi dan nekrosis.6

Terapi

1. Observasi

Bila ukuran uterus lebih kecil dari ukuruan uterus kehamilan 12 minggu, tanpa disertai

penyulit lain

2. Ekstirpasi

Biasanya untuk mioma submukosa bertangkai atau mioma lahir/geburt, umumnya

dilanjutkan dengan tindakan dilatasi/kuretase.

3. Laparatomi/Miomektomi

Bila fungsi reproduksi masih diperlukan dan secara teknis memungkinkan untuk dilakukan

tindakan tersebut. Biasanya untuk mioma intramural, subserosa dan subserosa bertangkai,

tindakan ini telah cukup memadai

4. Laparatomi/Histerektomi

Dilakukan apabila:

a. Fungsi reproduksi tak diperlukan lagi

b. Pertumbuhan tumor sangat cepat

c. Sebagai tindakan hemostasis, yakni dimana terjadi perdarahan yang terus-

menerus dan banyak serta tidak membaik dengan pengobatan.

Histerektomi yang diupayakan untuk dilakukan adalah histerektomi totalis tanpa ooforektomi

(kastrasi). Histerektomi subtotalis dilakukan bila terdapat kesulitan untuk melakukan

histerektomi totalis

Untuk wanita yang berusia > 50 tahun dapat dilakukan ooforektomi bilateral, kemudian

pasien dipersiapkan untuk mendapat substitusi hormonal. Sebelum melakukan pembedahan,

dianjurkan untuk melakukan penilaian terhadap serviks dengan pemeriksaan Pap’s smear.3

Komplikasi

1. Perdarahan

2. Anemia

3. Infeksi atau degenerasi (kistik maupun merah)

4. Mioma subserosa bertangkai kadang-kadang terpuntir (twisted) yang mengakibatkan

abdomen akut

5. Perlekatan pascamiomektomi

6. Terjadinya ruptura/kerobekan rahim, apabila penderita hamil setelah tindakan miomektomi.3

Komplikasi yang dapat terjadi pada mioma uteri secara umum, yaitu:

1. Degenerasi ganas

Mioma uteri yang menjadi leiomiosarkoma ditemukan hanya 0,32-0,6% dari seluruh mioma;

serta merupakan 50-75% dari semua sarkoma uterus. Keganasan umumnya baru ditemukan

pada pemeriksaan histopatologi uterus yang telah diangkat. Kecurigaan akan keganasan

uterus apabila mioma uteri cepat membesar dan apabila terjadi pembesaran sarang mioma

dalam menopause.

2. Torsi (putaran tangkai)

Sarang mioma yang bertangkaindapat mengalami torsi, timbul gangguan sirkulasi akut

sehingga mengalami nekrosis. Dengan demikian terjadi sindrom abdomen akut. Jika torsi

terjadi perlahan-lahan, gangguan akut tidak terjadi. Hal ini hendaknya dibedakan dengan

suatu keadaan dimana terdapat banyak sarang mioma dalam rongga peritoneum. Sarang

mioma dapat mengalami nekrosis dan infeksi yang diperkirakan karena gangguan sirkulasi

darah padanya. Misalnya terjadi pada mioma yang dilahirkan hingga perdarahan berupa

metroragia atau menoragia disertai leukore dan gangguan-gangguan yang disebabkan oleh

infeksi uterus sendiri.1