34
DEMAM DEFINISI Demam adalah peninggian suhu tubuh dari variasi suhu normal sehari-hari yang berhubungan dengan peningkatan titik patokan suhu di hipotalamus. Suhu tubuh normal berkisar antara 36,5- 37,2°C. Derajat suhu yang dapat dikatakan demam adalah rectal temperature ≥38,0°C atau oral temperature ≥37,5°C atau axillary temperature ≥37,2°C. Istilah lain yang berhubungan dengan demam adalah hiperpireksia. Hiperpireksia adalah suatu keadaan demam dengan suhu >41,5°C yang dapat terjadi pada pasien dengan infeksi yang parah tetapi paling sering terjadi pada pasien dengan perdarahan sistem saraf pusat. Demam terjadi bila berbagai proses infeksi dan noninfeksi berinteraksi dengan mekanisme pertahanan hospes. Pada kebanyakan anak demam disebabkan oleh agen mikrobiologi yang dapat dikenali dan demam hilang sesudah masa yang pendek. Tempat pengukuran Jenis thermometer Rentang; rerata suhu normal ( o C) Demam ( o C) Aksila Air raksa, elektronik 34,7 37,3; 36,4 37,4 Sublingual Air raksa, elektronik 35,5 37,5; 36,6 37,6 Rektal Air raksa, 36,6 38 1

Tipus Demam

Embed Size (px)

DESCRIPTION

tinjauan pustaka demam

Citation preview

Page 1: Tipus Demam

DEMAM

DEFINISI

Demam adalah peninggian suhu tubuh dari variasi suhu normal sehari-hari yang berhubungan

dengan peningkatan titik patokan suhu di hipotalamus. Suhu tubuh normal berkisar antara

36,5-37,2°C. Derajat suhu yang dapat dikatakan demam adalah rectal temperature ≥38,0°C

atau oral temperature ≥37,5°C atau axillary temperature ≥37,2°C.

Istilah lain yang berhubungan dengan demam adalah hiperpireksia. Hiperpireksia adalah

suatu keadaan demam dengan suhu >41,5°C yang dapat terjadi pada pasien dengan infeksi

yang parah tetapi paling sering terjadi pada pasien dengan perdarahan sistem saraf pusat.

Demam terjadi bila berbagai proses infeksi dan noninfeksi berinteraksi dengan mekanisme

pertahanan hospes. Pada kebanyakan anak demam disebabkan oleh agen mikrobiologi yang

dapat dikenali dan demam hilang sesudah masa yang pendek.

Tempat

pengukuran

Jenis

thermometer

Rentang; rerata

suhu normal (oC)

Demam (oC)

Aksila Air raksa,

elektronik

34,7 – 37,3; 36,4 37,4

Sublingual Air raksa,

elektronik

35,5 – 37,5; 36,6 37,6

Rektal Air raksa,

elektronik

36,6 – 37,9; 37,0 38

Telinga Emisi infra

merah

35,7 – 37,5; 36,6 37,6

DEMAM PADA ANAK

Demam pada anak dapat digolongkan sebagai (1) demam yang singkat dengan tanda-tanda

yang khas terhadap suatu penyakit sehingga diagnosis dapat ditegakkan melalui riwayat

klinis dan pemeriksaan fisik, dengan atau tanpa uji laboratorium; (2) demam tanpa tanda-

tanda yang khas terhadap suatu penyakit, sehingga riwayat dan pemeriksaan fisik tidak

1

Page 2: Tipus Demam

memberi kesan diagnosis tetapi uji laboratorium dapat menegakkan etiologi; dan (3) demam

yang tidak diketahui sebabnya (Fever of Unknown Origin = FUO).

ETIOLOGI

Demam dapat disebabkan oleh faktor infeksi ataupun faktor non infeksi. Demam akibat

infeksi bisa disebabkan oleh infeksi bakteri, virus, jamur, ataupun parasit. Infeksi bakteri

yang pada umumnya menimbulkan demam pada anak-anak antara lain pneumonia, bronkitis,

osteomyelitis, appendisitis, tuberculosis, bakteremia, sepsis, bakterial gastroenteritis,

meningitis, ensefalitis, selulitis, otitis media, infeksi saluran kemih, dan lain-lain. Infeksi

virus yang pada umumnya menimbulkan demam antara lain viral pneumonia, influenza,

demam berdarah dengue, demam chikungunya, dan virus-virus umum seperti H1N1. Infeksi

jamur yang pada umumnya menimbulkan demam antara lain coccidioides imitis,

criptococcosis, dan lain-lain. Infeksi parasit yang pada umumnya menimbulkan demam

antara lain malaria, toksoplasmosis, dan helmintiasis.

Demam akibat faktor non infeksi dapat disebabkan oleh beberapa hal antara lain faktor

lingkungan (suhu lingkungan yang eksternal yang terlalu tinggi, keadaan tumbuh gigi, dll),

penyakit autoimun (arthritis, systemic lupus erythematosus, vaskulitis, dll), keganasan

(Penyakit Hodgkin, Limfoma non-hodgkin, leukemia, dll), dan pemakaian obat-obatan

(antibiotik, difenilhidantoin, dan antihistamin). Selain itu anak-anak juga dapat mengalami

demam sebagai akibat efek samping dari pemberian imunisasi selama ±1-10 hari. Hal lain

yang juga berperan sebagai faktor non infeksi penyebab demam adalah gangguan sistem saraf

pusat seperti perdarahan otak, status epileptikus, koma, cedera hipotalamus, atau gangguan

lainnya.

PATOGENESIS

Jalur akhir penyebab demam yang paling sering adalah adanya pirogen, yang kemudian

secara langsung mengubahset-point di hipotalamus, menghasilkan pembentukan panas dan

konversi panas.

Pirogen adalah suatu zat yang menyebabkan demam, terdapat 2 jenis pirogen yaitu pirogen

eksogen dan pirogen endogen.

2

Page 3: Tipus Demam

Pirogen eksogen berasal dari luar tubuh seperti toksin, produk-produk bakteri dan bakteri itu

sendiri mempunyai kemampuan untuk merangsang pelepasan pirogen endogen yang disebut

dengan sitokin yang diantaranya yaitu interleukin-1 (IL-1), Tumor Necrosis Factor (TNF),

interferon (INF), interleukin-6 (IL-6) dan interleukin-11 (IL-11). Sebagian besar sitokin ini

dihasilkan oleh makrofag yang merupakan akibat reaksi terhadap pirogen eksogen. Dimana

sitokin-sitokin ini merangsang hipotalamus untuk meningkatkan sekresi prostaglandin, yang

kemudian dapat menyebabkan peningkatan suhu tubuh.

o Pirogen eksogen

Pirogen eksogen biasanya merangsang demam dalam 2 jam setelah terpapar. Umumnya,

pirogen berinteraksi dengan sel fagosit, makrofag atau monosit, untuk merangsang sintesis

interleukin-1 (IL-1). Mekanisme lain yang mungkin berperan sebagai pirogen eksogen,

misalnya endotoksin, bekerja langsung pada hipotalamus untuk mengubah pengatur suhu.

Radiasi, racun DDT dan racun kalajengking dapat pula menghasilkan demam dengan efek

langsung terhadap hipotalamus. Beberapa bakteri memproduksi eksotoksin yang akan

merangsang secara langsung makrofag dan monosit untuk melepas IL-1. Mekanisme ini

dijumpai pada scarlet feverdan toxin shock syndrome. Pirogen eksogen dapat berasal dari

mikroba dan non-mikroba.

a. Pirogen Mikrobial

Bakteri Gram Negatif

Pirogenitas bakteri Gram-negatif (misalnya Escherichia coli, Salmonela) disebabkan adanya

heat-stable factor yaitu endotoksin, yaitu suatu pirogen eksogen yang pertama kali

ditemukan. Komponen aktif endotoksin berupa lapisan luar bakteri yaitu lipopolisakarida

(LPS). Endotoksin menyebabkan peningkatan suhu yang progresif tergantung dari dosis

(dose-related). Apabila bakteri atau hasil pemecahan bakteri terdapat dalam jaringan atau

dalam darah, keduanya akan difagositosis oleh leukosit, makrofag jaringan dan natural killer

cell (NK cell). Seluruh sel ini selanjutnya mencerna hasil pemecahan bakteri dan melepaskan

interleukin-1, kemudian interleukin-1 tersebut mencapai hipotalamus sehingga segera

menimbulkan demam. Endotoksin juga dapat mengaktifkan sistem komplemen dan aktifasi

faktor hageman, seperti yang terdapat pada gambar 1.4 dan gambar 1.5

3

Page 4: Tipus Demam

Bakteri Gram Positif

Pirogen utama bakteri gram-positif (misalnya Stafilokokus) adalah peptidoglikan dinding sel.

Bakteri gram-positif mengeluarkan eksotoksin, dimana eksotoksin ini dapat menyebabkan

pelepasan daripada sitokin yang berasal dari T-helper dan makrofag yang dapat menginduksi

demam. Per unit berat, endotoksin lebih aktif daripada peptidoglikan. Hal ini menerangkan

perbedaan prognosis yang lebih buruk berhubungan dengan infeksi bakteri gram-negatif.

Mekanisme yang bertanggung jawab terjadinya demam yang disebabkan infeksi

pneumokokus diduga proses imunologik. Penyakit yang melibatkan produksi eksotoksin oleh

basil gram-positif (misalnya difteri, tetanus, dan botulinum) pada umumnya demam yang

ditimbulkan tidak begitu tinggi dibandingkan dengan gram-positif piogenik atau bakteri

gram-negatif lainnya.

Virus

Telah diketahui secara klinis bahwa virus dapat menyebabkan demam. Pada tahun 1958,

dibuktikan adanya pirogen yang beredar dalam serum kelinci yang mengalami demam setelah

disuntik virus influenza. Mekanisme virus memproduksi demam antara lain dengan cara

melakukan invasi secara langsung ke dalam makrofag, reaksi imunologis terjadi terhadap

komponen virus yang termasuk diantaranya yaitu pembentukan antibodi, induksi oleh

interferon dan nekrosis sel akibat virus.

Jamur

Produk jamur baik yang mati maupun yang hidup, memproduksi pirogen eksogen yang akan

merangsang terjadinya demam. Demam pada umumnya timbul ketika produk jamur berada

dalam peredaran darah. Anak yang menderita penyakit keganasan (misalnya leukemia)

disertai demam yang berhubungan dengan neutropenia sehingga mempunyai resiko tnggi

untuk terserang infeksi jamur invasif.

b. Pirogen Non-Mikrobial

Fagositosis

Fagositosis antigen non-mikrobial kemungkinan sangat bertanggung jawab untuk terjadinya

demam, seperti dalam proses transfusi darah dan anemia hemolitik imun (immune hemolytic

anemia).

4

Page 5: Tipus Demam

Kompleks Antigen-antibodi

Demam yang disebabkan oleh reaksi hipersensitif dapat timbul baik sebagai akibat reaksi

antigen terhadap antibodi yang beredar, yang tersensitisasi (immune fever) atau oleh antigen

yang teraktivasi sel-T untuk memproduksi limfokin, dan kemudian akan merangsang monosit

dan makrofag untuk melepas interleukin-1 (IL-1). Contoh demam yang disebabkan oleh

immunologically mediated diantaranya lupus eritematosus sistemik (SLE) dan reaksi obat

yang berat. Demam yang berhubungan dengan hipersensitif terhadap penisilin lebih mungkin

disebabkan oleh akibat interaksi kompleks antigen-antibodi dengan leukosit dibandingkan

dengan pelepasan IL-1.

Steroid

Steroid tertentu bersifat pirogenik bagi manusia. Ethiocholanolon dan metabolik androgen

diketahui sebagai perangsang pelepasan interleukin-1 (IL-1). Ethiocholanolon dapat

menyebabkan demam hanya bila disuntikan secara intramuskular (IM), maka diduga demam

tersebut disebabkan oleh pelepasan interleukin-1 (IL-1) oleh jaringan subkutis pada tempat

suntikan. Steroid ini diduga bertanggung jawab terhadap terjadinya demam pada pasien

dengan sindrom adrogenital dan demam yang tidak diketahui sebabnya (fever of unknown

origin = FUO).

Sistem Monosit-Makrofag

Sel mononuklear bertanggung jawab terhadap produksi interleukin-1 (IL-1) dan terjadinya

demam. Granulosit polimorfonuklear tidak lagi diduga sebagai penanggung jawab dalam

memproduksi interleukin-1 (IL-1) oleh karena demam dapat timbul dalam keadaan

agranulositosis. Sel mononuklear selain merupakan monosit yang beredar dalam darah perifer

juga tersebar di dalam organ seperti paru (makrofag alveolar), nodus limfatik, plasenta,

rongga peritoneum dan jaringan subkutan. Monosit dan makrofag berasal dari granulocyte-

monocyte colony-forming unit (GM-CFU) dalam sumsum tulang, kemudian memasuki

peredaran darah untuk tinggal selama beberapa hari sebagai monosit yang beredar atau

bermigrasi ke jaringan yang akan berubah fungsi dan morfologi menjadi makrofag yang

berumur beberapa bulan. Sel-sel ini berperan penting dalam pertahanan tubuh termasuk

diantaranya merusak dan mengeliminasi mikroba, mengenal antigen dan

mempresentasikannya untuk menempel pada limfosit, aktivasi limfosit-T dan destruksi sel

tumor (Tabel 1.1). Keadaan yang berhubungan dengan perubahan fungsi sistem monosit-

makrofag diantaranya bayi baru lahir, kortikosteroid dan terapi imunosupresif lain, lupus

5

Page 6: Tipus Demam

eritematosus sistemik (SLE), sindrom Wiskott-Aldrich dan penyakit granulomatosus kronik.

Dua produk utama monosit-makrofag adalah interleukin-1 (IL-1) dan Tumor necroting factor

(TNF).

o Pirogen Endogen

a Interleukin-1 (IL-1)

Interleukin-1 (IL-1) disimpan dalam bentuk inaktif dalam sitoplasma sel sekretori, dengan

bantuan enzim diubah menjadi bentuk aktif sebelum dilepas melalui membran sel kedalam

sirkulasi. Interleukin-1 (IL-1) dianggap sebagai hormon oleh karena mempengaruhi organ-

organ yang jauh. Penghancuran interleukin-1 (IL-1) terutama dilakukan di ginjal.

Interleukin-1 (IL-1) terdiri atas 3 struktur polipeptida yang saling berhubungan, yaitu 2

agonis (IL-1α dan IL-1β) dan sebuah antagonis (IL-1 reseptor antagonis). Reseptor antagonis

IL-1 ini berkompetisi dengan IL-1α dan IL-1β untuk berikatan dengan reseptor IL-1. Jumlah

relatif IL-1 dan reseptor antagonis IL-1 dalam suatu keadaan sakit akan mempengaruhi reaksi

inflamasi menjadi aktif atau ditekan. Selain makrofag sebagai sumber utama produksi IL-1,

sel kupfer di hati, keratinosit, sel langerhans pankreas serta astrosit juga memproduksi IL-1.

Pada jaringan otak, produksi IL-1 oleh astrosit diduga berperan dalam respon imun dalam

susunan saraf pusat (SSP) dan demam sekunder terhadap perdarahan SSP.

Fagositosis Antigen Mikrobial dan Non-mikrobial

Memproses dan

mempresentasikan

Peran utama mekanisme pertahanan sebelum antigen

antigen dipresentasikan pada sel-T

Aktivasi sel-T Sel-T menjadi aktif hanya setelah kontak antigen pada

permukaan monosit-makrofag

Tumorisidal Umumnya disebabkan oleh TNF

Sekresi dari :

Interferon α dan β Mempengaruhi respon imun, anti virus, anti proliferatif

IL-1 Efek primer pada hipotalamus untuk mengindusi demam,

aktivasi sel-T dan produksi antibodi oleh sel-B

IL-6 Induksi demam dan hepatic acute phase proteins,

aktivasi

sel-B dan stem cell, resistensi non spesifik pada infeksi

IL-8 Aktivasi neutrofil dan sintesis IgE

6

Page 7: Tipus Demam

IL-11 Efek pada sel limfopoetik dan mieloid/eritroid,

perangsangan

sekresi T-cell dependent B-cell

Tumor necrosis factor Aktivasi selular, aktivasi anti tumor

Prostaglandin Beraksi sebagai supresi imun, mengurangi IL-1

Lisozim Zat penting bagi proses peradangan

Interleukin-1 mempunyai banyak fungsi, fungsi primernya yaitu menginduksi demam pada

hipotalamus untuk menaikkan suhu. Peran IL-1 diperlukan untuk proliferasi sel-T serta

aktivasi sel-B, maka sebelumnya IL-1 dikenal sebagai lymphocyte activating factor (LAF)

dan B-cell activating factor(BAF). Interleukin-1 merangsang beberapa protein tertentu di hati,

seperti protein fase akut misalnya fibrinogen, haptoglobin, seruloplasmin dan CRP,

sedangkan sintesis albumin dan transferin menurun. Secara karakteristik akan terlihat

penurunan konsentrasi zat besi (Fe) serta seng (Zn) dan peningkatan konsentrasi tembaga

(Cu). Keadaan hipoferimia terjadi sebagai akibat penurunan asimilasi zat besi pada usus dan

peningkatan cadangan zat besi dalam hati. Perubahan ini mempengaruhi daya tahan tubuh

hospes oleh karena menurunkan daya serang mikroorganisme dengan mengurangi nutrisi

esensialnya, seperti zat besi dan seng. Dapat timbul leukositosis, peningkatan kortisol dan

laju endap darah.

b. Tumor Necrosis Factor (TNF)

Tumor necrosis factor ditemukan pada tahun 1968. Sitokin ini selain dihasilkan oleh monosit

dan makrofag, limfosit, natural killer cells (sel NK), sel kupffer juga oleh astrosit otak,

sebagai respon tubuh terhadap rangsang atau luka yang invasif. Sitokin dalam jumlah yang

sedikit mempunyai efek biologik yang menguntungkan. Berbeda dengan IL-1 yang

mempunyai aktivitas anti tumor yang rendah, TNF mempunyai efek langsung terhadap sel

tumor. Ia mengubah pertahanan tubuh terhadap infeksi dan merangsang pemulihan jaringan

menjadi normal, termasuk penyembuhan luka. Tumor necrosis factor juga mempunyai efek

untuk merangsang produksi IL-1, menambah aktivitas kemotaksis makrofag dan neutrofil

serta meningkatkan fagositosis dan sitotoksik.

Meskipun TNF mempunyai efek biologis yang serupa dengan IL-1, TNF tidak mempunyai

efek langsung pada aktivasi stem cell dan limfosit. Seperti IL-1, TNF dianggap sebagai

pirogen endogen oleh karena efeknya pada hipotalamus dalam menginduksi demam. Tumor

necrosis factor identik dengan cachectin, yang menghambat aktivitas lipase lipoprotein dan

7

Page 8: Tipus Demam

menyebabkan hipertrigliseridemia serta cachexia, petanda adanya hubungan dengan infeksi

kronik. Tingginya kadar TNF dalam serum mempunyai hubungan dengan aktivitas atau

prognosis berbagai penyakit infeksi, seperti meningitis bakterialis, leismaniasis, infeksi virus

HIV, malaria dan penyakit peradangan usus. Tumor necrosis factor juga diduga berperan

dalam kelainan klinis lain, seperti artritis reumatoid, autoimmune disease, dan graft-versus-

host disease.

c. Limfosit yang Teraktivasi

Dalam sistem imun, limfosit merupakan sel antigen spesifik dan terdiri atas 2 jenis yaitu sel-

B yang bertanggung jawab terhadap produksi antibodi dan sel-T yang mengatur sintesis

antibodi dan secara tidak langsung berfungsi sebagai sitotoksik, serta memproduksi respon

inflamasi hipersensitivit tipe lambat. Interleukin-1 berperan penting dalam aktivasi limfosit

(dahulu disebut sebagai LAF). Sel limfosit hanya mengenal antigen dan menjadi aktif setelah

antigen diproses dan dipresentasikan kepadanya oleh makrofag. Efek stimulasi IL-1 pada

hipotalamus (seperti pirogen endogen menginduksi demam) dan pada limfosit-T (sebagai

LAF) merupakan bukti kuat dari manfaat demam. Sebagai jawaban stimulasi IL-1, limfosit-T

menghasilkan berbagai zat seperti yang terdapat dalam tabel 1.2

d. Interferon

Interferon dikenal oleh karena kemampuan untuk menekan replikasi virus di dalam sel yang

terinfeksi. Berbeda dengan IL-1 dan TNF, interferon diproduksi oleh limfosit-T yang

teraktivasi. Terdapat 3 jenis molekul yang berbeda dalam aktivitas biologik dan urutan asam

aminonya, yaitu interferon-α (INF alfa), interferon-β (INF beta) dan interferon-gama (ITNF

gama). Interferon alfa dan beta diproduksi oleh hampir semua sel (seperti leukosit, fibroblas

dan makrofag) sebagai respon terhadap infeksi virus, sedangkan sintesis interferon gama

dibatasi oleh limfosit-T. Meski fungsi sel limfosit-T pada neonatus normal sama efektifnya

dengan dewasa, namun interferon (khususnya interferon gama) fungsinya belum memadai,

sehingga diduga menyababkan makin beratnya infeksi virus pada bayi baru lahir.

Interferon gama dikenal sebagai penginduksi makrofag yang poten dan menstimulasi sel-B

untuk meningkatkan produksi antibodi. Fungsi interferon gama sebagai pirogen endogen

dapat secara tidak langsung merangsang makrofag untuk melepaskan interleukin-1

(macrophage-activating factor) atau secara langsung pada pusat pengatur suhu di

hipotalamus. Interferon mungkin mempengaruhi aktivitas antivirus dan sitolitik TNF, serta

meningkatkan efisiensi natural killer cell. Aktivitas antivirus disebabkan penyesuaian dari

8

Page 9: Tipus Demam

sistem interferon dengan berbagai jalur biokimia yang mempunyai efek anti virus dan beraksi

pada berbagai fase siklus replekasi virus. Interferon juga memperlihatkan aktivitas antitumor

baik secara langsung dengan cara mencegah pembelahan sel melalui pemanjangan jalur

siklus multiplikasi sel atau secara tidak langsung dengan mengubah respon imun. Aktivitas

antivirus dan antitumor interferon terpengaruhi oleh meningkatnya suhu. Interleukin-4 (IL-4),

yang menginduksi sintesis imunoglobulin IgE dan IgG4 oleh sel polimorfonuklear, tonsil atau

sel limpa dari manusia sehat dan pasien alergi, dihalangi oleh interferon gama dan interferon

alfa, berarti limfokin ini beraksi sebagai antagonis IL-4.

Interferon melalui kemampuan biologiknya, dapat digunakan sebagai obat pada berbagai

penyakit. Interferon alfa semakin sering dipakai dalam pengobatan berbagai infeksi virus,

seperti hepatitis B, C dan delta. Efek toksik preparat interferon diantaranya demam, rasa

dingin, nyeri sendi, nyeri otot, nyeri kepala yang berat, somnolen dan muntah. Demam dapat

muncul pada separuh pasien yang mendapat interferon, dan dapat mencapai 40˚C. Efek

samping ini dapat diatasi dengan pemberian parasetamol dan prednisolon. Efek samping berat

diantaranya gagal hati, gagal jantung, neuropati dan pansitopenia.

e. Interleukin-2 (IL-2)

Interleukin-2 merupakan limfokin penting kedua (setelah interferon) yang dilepas oleh

limfosit-T yang terakivasi sebagai respons stimulasi IL-1. Interleukin-2 mempunyai efek

penting pada pertumbuhan dan fungsi sel-T,Natural killer cell (sel NK) dan sel-B. Telah

dilaporkan adanya kasus defisiensi imun kongenital berat disertai dengan defek spesifik dari

produksi IL-2. Interleukin-2 memperlihatkan efek sitotoksik antitumor (terhadap melanoma

ginjal, usus besar dan paru) sebagai hasil aktivasi spesifik darinatural killer cell (lymphokine-

activated killer cell atau LAK), yang memiliki aktivitas sototoksik terhadap proliferasi sel

tumor. Uji klinis dengan IL-2 sedang dilakukan saat ini pada tumor tertentu pada anak.

Respon neuroblastoma tampak cukup baik terhadap terapi imun dengan IL-2. Sayangnya,

terapi imun dengan IL-2 dapat menyebabkan defek kemotaksis neutrofil yang reversibel,

diikuti peningkatan kerentanan terhadap infeksi pada pasien yang menerimanya. Efek

samping lainnya diantaranya lemah badan, demam, anoreksia dan nyeri otot. Gejala ini dapat

dikontrol dengan parasetamol. Interleukin-2 menstimulasi pelepasan sitokin lain, seperti IL-1,

TNF dan INF alfa, yang akan menginduksi aktivitas sel endotel, mendahului bocornya

pembuluh darah, sehingga dapat menyebabkan oedem paru dan resistensi cairan yang hebat.

9

Page 10: Tipus Demam

Titik ambang naik ke tingkat demam

Prostaglandin E2

Pusat termoregulator hipotalamus

Monosit, makrofagSel endotelLimfosit BSel MesangiumKeratinositSel EpitelSel Glia

Sitokin PirogenikEndogen:IL-1, TNF, IL-6, IFN

Penyakit yang berhubungan dengan defisiensi IL-2 diantaranya SLE (Systemic Lupus

Erytematosus), diabetes melitus (DM), luka bakar dan beberapa bentuk keganasan.

f. Granulocyte-macrophage colony-stimulating factor (GM-CSF)

Dari empat hemopoetic colony-stimulating factor yang berpotensi tinggi menguntungkan

adalah eritropoetin, granulocyte colony-stimulating factor(G-CSF), dan macrophage colony-

stimulating factor (M-CSF).Granulocyte-macrophage colony-stimulating factor (GM-CSF)

adalah limfokin lain yang diproduksi terutama oleh limfosit, meskipun makrofag dan sel mast

juga mempunyai kemampuan untuk memproduksinya. Fungsi utama GM-CSF adalah

menstimulasi sel progenitor hemopoetik untuk berproliferasi dan berdeferensiasi menjadi

granulosit dan makrofag serta mengatur kematangan fungsinya. Penggunaan dalam

pengobatan diantaranya digunakan untuk pengobatan mielodisplasia, anemia aplastik dan

efek mielotoksik pada pengobatan keganasan serta transplantasi. Pemberian GM-CSF dapat

disertai dengan terjadinya demam, yang dapat dihambat dengan pemberian obat anti

inflamasi non steroid (Non Steriod Anti Inflamation Drug = NSAID) seperti ibuprofen.

Bagan 1. Patogenesis demam

10

Infeksi, toksin, dan pengimbas lain sitokin-sitokin pirogenik endogen

Demam

Konservasi panas

Produksi panas

Page 11: Tipus Demam

2.5 PATOFISIOLOGI

Pengaturan suhu tubuh seluruhnya diatur di hipotalamus. Segala substansi pemicu

demam (pirogen) akan menyebabkan pelepasan mediator demam yaitu prostaglandin E2

(PGE2). PGE2 kemudian mempengaruhi set-point di hipotalamus, yang menyebabkan

perubahan respon secara sistemik, membentuk efek pembentukan panas tubuh untuk

menyesuaikan dengan level suhu yang telah diatur di hipotalamus.

PGE2 dilepaskan dari jalur sintesis asam arakidonat. Jalur tersebut dimediasi oleh

enzim fosfolipase A2 (PLA2), siklooksigenase (COX-2), dan prostaglandin E2 sintase.

Enzim tersebut seluruhnya menyebabkan sintesis dan pelepasan dari PGE2. PGE2 merupakan

mediator utama dalam respon demam. Pengaturan suhu tubuh akan tetap tinggi sampai PGE2

hilang dari peredaran sistemik. PGE2 mempengaruhi neuron pada daerah pre-optik (POA)

melalui reseptor-3 prostaglandin E (EP3). Neuron yang mengekspresikan EP3 di POA akan

menginervasi dorsomedial hipotalamus (DMH), nukleus rostral raphe pallidus di medula

oblongata (rRPa), dan nukleus paraventrikular (PVN) dari hipotalamus. Sinyal demam

dikirim ke DMH dan rRPa menyebabkan stimulasi dari sistem simpatis, yang kemudian akan

mencetuskan pembentukan panas tubuh dan vasokontriksi untuk menurunkan kehilangan

panas tubuh melalui kulit. Inervasi dari POA ke PVN 9 akan memediasi efek neuroendokrin

dari demam melalui jalur yang melibatkan kelenjar hipofisis dan organ endokrin lainnya.

Sebagai perumpamaan, hipotalamus di otak berfungsi mirip dengan termostat pada

lemari pendingin. Ketika set-point suhu tubuh ditingkatkan, maka tubuh akan

mengkompensasi peningkatan tersebut dengan secara aktif memproduksi panas dan menahan

panas dalam tubuh agar tidak keluar dari tubuh. Vasokontriksi pembuluh darah akan

menurunkan proses kehilangan panas melalui kulit dan menyebabkan seseorang merasakan

dingin bahkan hingga menggigil. Jika proses penyesuaian tersebut tidak cukup untuk

menyebabkan suhu darah sesuai dengan setingan suhu di hipotalamus, maka proses

menggigil dimulai dengan tujuan menggerakkan otot-otot untuk menghasilkan lebih banyak

panas. Ketika demam berhenti, dan setingan suhu di hipotalamus menjadi lebih rendah, maka

akan terjadi proses kebalikan dari proses sebelumnya, dengan tujuan menyesuaikan suhu

tubuh dengan setingan termostat yang baru. Proses tersebut meliputi vasodilatasi pembuluh

11

Page 12: Tipus Demam

darah untuk meningkatkan pengeluaran panas melalui kulit, dan berkeringat sebagai upaya

pendinginan tubuh dalam menyesuaikan setingan suhu yang baru.

2.5 POLA DEMAM

1. Demam kontinyu

Merupakan demam yang terus-menerus tinggi dan memiliki toleransi fluktuasi yang

tidak lebih dari 1º C. Contoh penyakitnya antara lain; demam dengue, demam tifoid,

pneumonia, infeksi respiratorik, keadaan penurunan sistem imun, infeksi virus, sepsis,

gangguan sistem saraf pusat, malaria falciparum, dan lain-lain.

2. Demam intermiten

Demam yang peningkatan suhunya terjadi pada waktu tertentu dan kemudian kembali

ke suhu normal, kemudian meningkat kembali. Siklus tersebut berulang-ulang hingga

akhirnya demam teratasi, dengan variasi suhu diurnal > 1º C. Contoh penyakitnya

antara lain; demam tifoid, malaria, septikemia, kala-azar, pyaemia. Ada beberapa

subtipe dari demam intermiten, yaitu :

a) Demam quotidian

Demam dengan periodisitas siklus setiap 24 jam, khas pada malaria falciparum dan

demam tifoid

12

Page 13: Tipus Demam

b) Demam tertian

Demam dengan periodisitas siklus setiap 48 jam, khas pada malaria tertiana

(Plasmodium vivax)

c) Demam quartan

Demam dengan periodisitas siklus setiap 72 jam, khas pada malaria kuartana

(Plasmodium malariae)

13

Page 14: Tipus Demam

3. Demam remiten

Demam terus menerus, terkadang turun namun tidak pernah mencapai suhu normal,

fluktuasi suhu yang terjadi lebih dari 10 C. Contoh penyakitnya antara lain; infeksi

virus, demam tifoid fase awal, endokarditis infektif, infeksi tuberkulosis paru.

4. Demam berjenjang (step ladder fever)

Demam yang naik secara perlahan setiap harinya, kemudian bertahan suhu selama

beberapa hari, hingga akhirnya turun mencapai suhu normal kembali. Contohnya pada

demam tifoid

14

Page 15: Tipus Demam

5. Demam bifasik (pelana kuda/ saddleback)

Demam yang tinggi dalam beberapa hari kemudian disusul oleh penurunan suhu,

kurang lebih satu sampai dua hari, kemudian timbul demam tinggi kembali. Tipe ini

didapatkan pada beberapa penyakit, seperti demam dengue, yellow fever, Colorado

tick fever, Rit valley fever, dan infeksi virus seperti; influenza, poliomielitis, dan

koriomeningitis limfositik.

6. Demam Pel-Ebstein atau undulasi

Suatu jenis demam yang spesifik pada penyakit limfoma hodgkin, dimana terjadi

peningkatan suhu selama satu minggu dan turun pada minggu berikutnya, dan seperti

itu seterusnya. Demam tipe ini ditemukan juga pada kasus penyakit kolesistitis

bruselosis, dan pielonefritis kronik.

7. Demam kebalikan pola demam diurnal (typhus inversus)

Demam dengan kenaikan temperatur tertinggi pada pagi hari bukan selama senja atau

di awal malam. Kadang-kadang ditemukan pada tuberkulosis milier, salmonelosis,

abses hepatik, dan endokarditis bakterial.

15

Page 16: Tipus Demam

PENATALAKSANAAN DEMAM

Demam merupakan mekanisme pertahanan diri atau reaksi fisiologis terhadap perubahan titik

patokan di hipotalamus. Penatalaksanaan demam bertujuan untuk merendahkan suhu tubuh

yang terlalu tinggi bukan untuk menghilangkan demam. Penatalaksanaan demam dapat

dibagi menjadi dua garis besar yaitu: non-farmakologi dan farmakologi. Akan tetapi,

diperlukan penanganan demam secara langsung oleh dokter apabila penderita dengan umur

<3 bulan dengan suhu rektal >38°C, penderita dengan umur 3-12 bulan dengan suhu >39°C,

penderita dengan suhu >40,5°C, dan demam dengan suhu yang tidak turun dalam 48-72 jam

o Terapi non-farmakologi

Adapun yang termasuk dalam terapi non-farmakologi dari penatalaksanaan demam:

1. Pemberian cairan dalam jumlah banyak untuk mencegah dehidrasi dan beristirahat yang

cukup.

2. Tidak memberikan penderita pakaian panas yang berlebihan pada saat menggigil. Kita

lepaskan pakaian dan selimut yang terlalu berlebihan. Memakai satu lapis pakaian dan satu

lapis selimut sudah dapat memberikan rasa nyaman kepada penderita.

3. Memberikan kompres hangat pada penderita. Pemberian kompres hangat efektif terutama

setelah pemberian obat. Jangan berikan kompres dingin karena akan menyebabkan keadaan

menggigil dan meningkatkan kembali suhu inti.

o Terapi farmakologi

Obat-obatan yang dipakai dalam mengatasi demam (antipiretik) adalah parasetamol

(asetaminofen) dan ibuprofen. Parasetamol cepat bereaksi dalam menurunkan panas

sedangkan ibuprofen memiliki efek kerja yang lama. Pada anak-anak, dianjurkan untuk

pemberian parasetamol sebagai antipiretik. Penggunaan OAINS tidak dianjurkan dikarenakan

oleh fungsi antikoagulan dan resiko sindrom Reye pada anak-anak. Dosis parasetamol juga

dapat disederhanakan menjadi:

Tabel 2.2. Dosis parasetamol menurut kelompok umur Umur (tahun)

Dosis Parasetamol tiap pemberian (mg)

< 1 601-3 60-1254-6 125-2506-12 250-500

16

Page 17: Tipus Demam

Pada umumnya antipiretik digunakan bila suhu tubuh anak lebih dari 38º C. Orang tua

dan sebagian besar dokter memberikan antipiretik pada setiap keadaan demam. Seharusnya

antipiretik tidak diberikan secara otomatis, tetapi memerlukan pertimbangan. Pemberian

antipiretik harus berdasarkan kenyamanan anak, bukan dari suhu yang tertera pada angka

termometer saja. Saat ini pemberian resep antipiretik terlalu berlebihan, antipiretik diberikan

untuk keuntungan orang tua daripada si anak. Meski tidak ada efek samping antipiretik pada

perjalanan penyakit, namun terdapat beberapa bukti yang memperlihatkan efek yang

merugikan.

Indikasi pemberian antipiretik, antara lain :

1. Demam lebih dari 39º C yang berhubungan dengan gejala nyeri atau tidak nyaman,

biasa timbul pada keadaan otitis media atau mialgia.

2. Demam lebih dari 40,5º C

3. Demam berhubungan dengan peningkatan kebutuhan metabolisme. Keadaan gizi

kurang, penyakit jantung, luka bakar, atau pasca operasi, memerlukan antipiretik.

4. Anak dengan riwayat kejang atau delirium yang disebabkan demam.

Klasifikasi Antipiretik

Obat antipiretik dalam dikelompokkan dalam empat golongan; yaitu para aminofenol

(parasetamol), derivat asam propionat (ibuprofen dan naproksen), salisilat (aspirin,

salisilamid), dan asam asetik (indometasin). Namun yang akan dibahas pada bagian ini ialah

antipiretik yang sering dipakai pada penatalaksanaan demam pada anak; yaitu parasetamol,

ibuprofen, dan aspirin.

1. Parasetamol (Asetaminofen)

Parasetamol merupakan metabolit aktif asetanilid dan fenasetin. Saat ini parasetamol

merupakan antipiretik yang biasa dipakai sebagai antipiretik dan analgesik dalam pengobatan

demam pada anak. Keuntungannya, terdapat dalam sediaan sirup, tablet, infus, dan

supositoria. Cara terakhir ini merupakan alternatif bila obat tidak dapat diberikan per oral;

misalnya anak muntah, menolak pemberian cairan, mengantuk, atau tidak sadar. Beberapa

penelitian menunjukkan efektivitas yang setara antara parasetamol oral dan supositoria.

Dengan dosis yang sama daya terapeutik antipiretiknya setara dengan aspirin, hanya

parasetamol tidak mempunyai daya antiinflamasi, oleh karena itu tidak digunakan pada

17

Page 18: Tipus Demam

penyakit jaringan ikat seperti artritis reumatodi. Parasetamol juga efektif menurunkan suhu

dan efek samping lain yang berasal dari pengobatan dengan sitokin, seperti interferon dan

pada pasien keganasan yang menderita infeksi. Dosis parasetamol lazim yang digunakan

untuk menurunkan suhu ialah 10-15 mg/kgBB per dosis, maka akan tercapai konsentrasi efek

antipiretik dan direkomendasikan diberikan setiap 4 jam. Dosis parasetamol 20 mg/kgBB

tidak akan menambah daya penurunan suhu tetapi memperpanjang efek antipiretik sampai 6-

8 jam.

Setelah pemberian dosis terapeutik, penurunan demam terjadi setelah 30 menit,

puncaknya sekitar 3 jam, dan demam akan rekuren dalam 3-4 jam setelah pemberian. Kadar

puncak plasma dicapai dalam waktu 30 menit. Makanan yang mengandung karbohidrat tinggi

akan mengurangi absorpsi sehingga menghalangi penurunan demam.

Parasetamol mempunyai efek samping ringan bila diberikan dalam dosis biasa. Tidak

akan timbul perdarahan saluran cerna, nefropati, maupun koagulopati. Obat yang dilaporkan

mempunyai interaksi dengan parasetamol, diantaranya adalah warfarin, metoklopramid, beta

bloker, dan klopromazin.

2. Ibuprofen

Ibuprofen ialah suatu derivat asam propionat yang mempunyai kemampuan

antipiretik, analgesik, dan antiinflamasi. Seperti antipiretik lain dan NSAID (Non Steroid Anti

Inflammatory Drug), ibuprofen beraksi dengan memblokade sintesis PGE-2 melalui

penghambatan siklooksigenasi. Sejak tahun 1984 satu-satunya NSAID yang

direkomendasikan sebagai antipiretik di Amerika Serikat adalah ibuprofen, sedangkan di

Inggris sejak tahun 1990. Obat ini diserap dengan baik oleh saluran cerna, mencapai puncak

konsentrasi serum dalam 1 jam. Kadar efek maksimal untuk antipiretik (sekitar 10 mg/L)

18

Page 19: Tipus Demam

dapat dicapai dengan dosis 5 mg/kgBB, yang akan menurunkan suhu tubuh 2º C selama 3-4

jam. Dosis 10 mg/kgBB/hari dilaporkan lebih poten dan mempunyai efek supresi demam

lebih lama dibandingkan dengan dosis setara parasetamol. Awitan antipiretik tampak lebih

dini dan efek lebih besar pada bayi daripada anak yang lebih tua. Ibuprofen merupakan obat

antipiretik kedua yang paling banyak dipakai setelah parasetamol.

Efek antiinflamasi serta analgesik ibuprofen menambah keunggulan dibandingkan

dengan parasetamol dalam pengobatan beberapa penyakit infeksi yang berhubungan dengan

demam. Indikasi kedua pemakaian ibuprofen adalah artritis reumatoid. Dengan dosis 20-40

mg/kgBB/hari, efeknya sama dengan dosis aspirin 60-80 mg/kgBB/hari disertai efek samping

yang lebih rendah. Pemberian sitokin (misalnya GM-CSF) seringkali menyebabkan demam

dan mialgia, ibuprofen ternyata obat yang efektif untuk mengatasi efek samping tersebut.

Ibuprofen mempunyai keuntungan pengobatan dengan efek samping ringan dalam

penggunaan yang luas. Beberapa efek samping yang dilaporkan disebabkan adanya penyakit

yang sebelumnya telah ada pada anak tersebut dan bukan disebabkan oleh pengobatannya. Di

pihak lain efek samping biasanya berhubungan dengan dosis dan sedikit lebih sering

dibandingkan dengan parasetamol dalam dosis antipiretik. Reaksi samping ibuprofen lebih

rendah daripada aspirin. Anak yang menelan 100 mg/kgBB tidak menunjukkan gejala,

bahkan sampai dosis 300 mg/kgBB seringkali asimptomatik. Tatalaksana kasus keracunan

ibuprofen, dilakukan pengeluaran obat dengan muntah (kumbah lambung), arang aktif, dan

perawatan suportif secara umum. Tidak ada antidotum spesifik terhadap keracunan ibuprofen.

19

Page 20: Tipus Demam

3. Salisilat

Aspirin sampai dengan tahun 1980 merupakan antipiretik-analgetik yang luas dipakai

dalam bidang kesehatan anak. Di Amerika Serikat pangsa pasar salisilat mencapai 70%

sedangkan parasetamol hanya mencapai 30%, di Inggris kecenderungannya terbalik. Dalam

penelitian perbandingan antara aspirin dan parasetamol dengan dosis setara terbukti kedua

kelompok mempunyai efektivitas antipiretik yang sama tetapi aspirin lebih efektif sebagai

analgesik. Setelah dilaporkan adanya hubungan antara sindrom Reye dan aspirin, Committee

on Infectious Diseases of the American Academy of Pediatrics, berkesimpulan pada

laporannya tahun 1982, bahwa aspirin tidak dapat diberikan pada anak dengan cacar air atau

dengan kemungkinan influenza. Walaupun demikian, aspirin masih digunakan secara luas di

berbagai tempat di dunia, terutama di negara berkembang. Kekurangan utama aspirin adalah

tidak stabil dalam bentuk larutan (oleh karena itu hanya tersedia dalam bentuk tablet), dan

efek samping lebih tinggi daripada parasetamol dan ibuprofen. Adapula peningkatan

insidensi interaksi dengan obat lain, termasuk antikoagulan oral (menyebabkan peningkatan

resiko perdarahan), metoklopramid dan kafein, serta natrium valproat (menyebabkan

terhambatnya metabolisme natrium valproat).

20

Page 21: Tipus Demam

Adapun indikasi pemakaian aspirin ialah sebagai berikut :

1. Sebagai antipiretik/ analgetik, aspirin tidak lagi direkomendasikan. Dosis 10-15

mg/kgBB memberikan efek antipiretik yang efektif. Dapat diberikan 4-5 kali per hari,

oleh karena waktu paruh di dalam darah sekitar 3-4 jam.

2. Pada penyakit jaringan ikat seperti artritis reumatoid dan demam reumatik, dosis

awal ialah 80 mg/kgBB/hari dibagi 3-4 dosis. Dosis ini kemudian disesuaikan untuk

mempertahankan kadar salisilat dalam darah sekitar 20-30 mg/dL. Oleh karena akhir-

akhir dilaporkan adanya sindrom Reye pada kasus artrtis reumatoid yang mendapat

aspirin, maka aspirin tidak lagi dipakai pada pengobatan artritis reumatoid.

3. Thromboxane A2 merupakan vasokonstriktor poten dan sebagai platelet

aggregation agent yang terbentuk dari asam arakidonat melalui siklus

siklooksigenase. Aspirin menghambat siklooksigenase sehingga mempunyai aktivitas

antitrombosit dan fibrinolitik rendah, direkomendasikan bagi anak dengan penyakit

kawasaki, penyakit jantung bawaan sianotik, dan penyakit jantung koroner.

Kontraindikasi pemberian aspirin antara lain sebagai berikut :

1. Infeksi virus, khususnya infeksi saluran napas bagian atas atau cacar air. Aspirin

dapat menyebabkan sindrom Reye.

2. Defisiensi glukosa-6-fosfat dehidrogenase (G6PD), pada keadaan ini aspirin dapat

menyebabkan anemia hemolitik.

3. Anak yang menderita asma, dapat menginduksi hipersensitifitas karena penggunaan

aspirin (aspirin-induced hypersensitivity), berupa urtikaria, angioedema, rhinitis, dan

hiperreaktivitas bronkus. Aspirin dapat menghambat sintesis, yang mempengaruhi

efek dilatasi bronkus. Akhir-akhir ini terbukti adanya peningkatan pembentukan

leukotrien pada keadaan asma yang diinduksi aspirin. Leukotrien merupakan

vasokonstriktor poten terhadap otot-otot polos saluran napas.

4. Pada pasien yang akan mengalami pembedahan atau pasien yang memiliki

kecenderungan untuk mengalami perdarahan, aspirin dapat menghambat agregasi

trombosit yang bersifat reversibel.

21

Page 22: Tipus Demam

Efek samping yang timbul pada kadar salisilat darah < 20 mg/100 mL, umumnya

dianggap sebagai efek samping sedangkan gejala yang timbul pada kadar yang lebih tinggi

disebut keracunan. Gambaran yang saling tumpang tindih timbul diantara kedua kelompok

tersebut. Efek samping berasal dari efek langsung terhadap berbagai organ atau menghambat

sintesis prostaglandin pada organ-organ terkena. Pada anak besar gambaran klinis

menunjukkan alkalosis respiratorik, sedangkan pada anak yang lebih muda fase alkalosis

respiratorik terjadi singkat dan ketika anak tiba di rumah sakit sudah terjadi asidosis

metabolik bercampur dengan alkalosis respiratorik.

Pada bayi atau keracunan salisilat berat, keseimbangan asam-basa sangat terganggu

ditandai dengan penurunan pH (dapat kurang dari 7,0). Alkalosis respiratorik menunjukkan

adanya keracunan ringan atau tanda awal keracunan berat. Pemeriksaan laboratorium yang

harus dilakukan adalah; darah perifer lengkap, kadar salisilat, gula dalam darah, enzim hati,

waktu protrombin, analisis gas darah, bikarbonat serum, ureum dan elektrolit.

22

Page 23: Tipus Demam

DAFTAR PUSTAKA

1. Powel R.K. 2004. Fever. In : Richard E.B., Robert M.K., Hal B.J. Nelson Textbook of

Pediatrics. Volume 2. 17th edition. Philadelpia. Saunders. 839-841.

2. Ganong F.W. 2003. Temperature Regulation. Review of Medical Physiology. 21st

edition. San Francisco. Lange Medical Book Mc Graw Hill. 254-259.

3. Brahmer J., Sande A.M. 2001. Fever of Unknown Origin. In : Walter R.W., Merle

S.A. Current Diagnosis & Treatment in Infectious Disease. 7thedition. San Francisco.

Lange Medical Book Mc Graw Hill. 240-246.

4. Bellig L.L. 2005. Fever. http://www.eMedicine.com.Inc/fever/topic359.htm

5. Dale C.D. 2004. The Febrile Patient. In : Lee Goldman., Dennis Ausiello.Cecil

Textbook of Medicine. Volume 2. 22nd edition. Philadelpia. Saunders. 1729-1733.

6. Dinarello A.C., Gelfan A.J. 2001. Fever and

Hypertermia.http://www.harrisononline.com.

7. Guyton C.A., Hall E.J. 1997. Pengaturan Suhu. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran.

Jakarta. EGC. 1141-1155.

8. Hariyanto W. 1995. Mengapa Kita Demam. Jakarta. Penerbit Arcan. 1-23.

9. Jawetz E. 2003. Toxin Production. In : Warren L., Ernest J. Medical Microbiology &

Immunology. 7th edition. San Francisco. Lange Medical Book Mc Graw Hill. 35-44.

10. Kaiser E.G. 2001. Microbiology Home Page. http://www.cat.cc.md.us.

11. Kirana S., Widjaja T. 2004. Pemeriksaan Keadaan Umum. Dalam : Edhiwan P., J

Teguh W. Buku Panduan Diagnosis Fisik di Klinik. Bandung. Concept Publishers.

28-29.

12. Peterson J.C. 2002. Interleukin-1. http:/www.rndsystem.com/imag.

13. Sumarno S.P.S., Herry G., Sri Rezeki S.H. 2002. Demam, Patogenesis dan

Pengobatan. Buku Ajar Kesehatan Anak Infeksi & Penyakit Tropis. IDAI. Edisi 1.

Jakarta. Balai Penerbit FKUI. 27-38.

23