Tinjuan Pustaka PCOS

Embed Size (px)

Citation preview

BAB I PENDAHULUAN Sindroma ovarium polikistik (SOPK) merupakan kelainan kompleks endokrin dan metabolik yang ditandai dengan adanya anovulasi kronik dan atau hiperandrogenisme yang diakibatkan oleh kelainan dari fungsi ovarium dan bukan oleh sebab lain. Pertama kali diperkenalkan oleh Stein dan Leventhal (1935) dalam bentuk penyakit ovarium polikistik (polycyctic ovary disease/ PCOS/ Stein-Leventhal Syndrome), di mana gambaran dari sindroma ini terdiri dari polikistik ovarium bilateral dan terdapat gejala ketidakteraturan menstruasi sampai amenorea, riwayat infertil, hirsutisme, retardasi pertumbuhan payudara dan kegemukan. Sindroma ini dicirikan dengan sekresi gonadotropin yang tidak sesuai, hiperandrogenemia, peningkatan konversi perifer dari androgen menjadi estrogen, anovulasi kronik, dan ovarium yang skerokistik dengan demikian sindroma ini merupakan satu dari penyebab paling umum dari infertilitas. Dalam perkembangannya manifestasi dari sindroma ini menjadi lebih kompleks. Sindroma ini dapat disertai atau tanpa adanya kelainan morfologi di ovarium. Stephen dkk mendapatkan sebanyak 75% wanita dengan ovarium polikistik mengalami menstruasi yang tidak teratur. Peneliti lain mendapatkan dari 350 wanita dengan hirsutisme hanya 50% memiliki ovarium polikistik dengan siklus tidak teratur. Sebaliknya Fox mendapatkan 14% wanita dengan hirsutisme dan oligomenorea tidak dijumpai adanya peningkatan jumlah folikel pada pemeriksaan USG. Sementara dengan Pache dkk mendapatkan 50% wanita dengan SOPK secara klinis mempunyai ovarium yang normal. Kenyataan ini menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang tetap antara gambaran klinis dan perubahan histologis ovarium. Dengan demikian maka sindroma Stein-Leventhal hanya merupakan bagian dari spektrum yang luas dengan kondisi klinik berbeda yang berhubungan dengan kista ovarium, yang mempunyai konotasi sedikit terbatas. Penelitian Burghen dkk (1980) menunjukkan korelasi linear positif antara hiperandrogenisme dan hiperinsulinemia pada wanita obese dengan SOPK dan jangka panjang wanita dengan SOPK mempunyai resiko yang meningkat menderita hipertensi, diabetes maupun penyakit kardiovaskuler. Kenyataan ini menunjukkan bahwa saat ini spektrum klinik dari OPK lebih luas dari pada saat pertama kali diperkenalkan oleh Stein dan Leventhal pada tahun 1935. Kelainan dari patofisiologi yang mendasari hingga saat ini masih

1

belum diketahui, akan tetapi sindroma ini berhubungan dengan keadaan resistensi insulin, hiperandrogenisme dan perubahan dinamis dari hormon gonadotropin. Oleh karena SOPK sering menunjukkan beragam manifestasi klinis maka pemahaman gejala klinis sangat penting sehingga diagnosis dapat ditegakkan seakurat mungkin, dengan demikian penatalaksanaan yang diberikan dapat serasional mungkin dan bermanfaat baik secara medikamentosa ataupun operatif.

.

2

BAB II ANATOMI DAN EMBRIOLOGI ANATOMI DAN EMBRIOLOGI OVARIUM

Gambar 1: Anatomi Ovarium

3

Ovarium adalah sepasang organ yang terletak disamping uterus. Mereka melekat pada permukaan posterior dan legamentum latum dalam fosa peritoneal yang dangkal, terletak antara a. iliaka eksterna dan ureter. Ovarium berasal dari 3 sumber, yaitu: (1) epitel soelomik, (2) sel mesenkim pada mesonephric ridge, (3) sel-sel primordial. Sel-sel germinal ini dapat dikenali sejak usia kehamilan 4 minggu, dimana akan tertanam didorsal epitel yolk sac. Sel-sel tersebut akan mulai bermigrasi menuju lokasi primordial gonad sejak kehamilan 5 minggu. Dalam perjalanan menuju lokasi tersebut sel-sel germinal primordial tersebut akan mengalami multipikasi mitosis yang akan terus berlanjut meski sel-sel tersebut sudah mencapai lokasi yang dituju. Dari proses multipikasi ini akan dihasilkan oogonia, yang berjumlah kurang lebih 6-7 juta. Pada hari ke-40, ovarium dan testis secara histologis sudah berbeda. Menuju ketrimester III dari kehidupan janin, germ sel akan berhenti bermultiplikasi dan melanjutkan perkembangan meiosis. Satu juta folikel primordial akan tampak pada saat kelahiran, hanya 70 % menetap pada saat pubertas, dan 15 % menetap sampai usia 25 tahun. Hanya 450 sel telur yang tersisa selama masa reproduktif sampai usia 35tahun.

4

Gambar 2: Perkembangan folikel primer menjadi ovum dalam ovarium Perkembangan gonad menjadi ovarium diawali dengan terbentuknya folikel primordial. Sel-sel germinal wanita memiliki sifat yang berbeda dibandingkan dengan pria. Sel-sel germinal wanita tampaknya didistribusikan melalui pita-pita dari sel yang terdapat pada korteks. Pada usia kehamilan 20 minggu oogonia akan mengalami transformasi menjadi oosit. Folikel dini ini terdiri dari oosit yang perkembangnnya berhenti pada tahap profase dari proses poembelahan meiosis fase pertama dan dikelilingi selapis sel mirip sel-sel sequamosa serta dipisahkan dari stroma dengan suatu membran basalis. Perubahan dari folikel primordial menjadi folikel yang dikelilingi berlapis-lapis sel. Sel-sel kuboid ini akan menjadi granulosa yang akan dapat dibedakan dengan sel-sel epiteloid di perifer yang memanjang disebut sebagai sel teka interna. Lapisan mesenkim dan kortek ovarium terdiri dari bentuk kumparan sel seperti fibroblas, yang mirip dengan sel granulosa dan sel teka yang bentuk unit fungsional sama untuk setiap ovum. Komplek dari germ sel dan sel granulosa diketahui pertama kali sebagai folikel primordial. Selama periode reproduksi folikel yang dominan berkembang setiap bulan menjadi folikel De graaf, yang kemudian ruptur selama ovulasi. Ovulasi itu sendiri sering berhubungan dengan nyeri kram yang ringan, dan jika berat disebut mittelschmerz. Ini tidak jarang dibinggungkan dengan appendisitis. Mengikuti ovulasi sel granulosa dari folikel luteinizing, terjadi perubahan yang karakteristik dengan hipertropi dan akumulasi lemak, dan mensekresikan progesteron sebagai tambahan estrogen. Folikel yang kolaps akan menjadi kuning terang dan menjadi korpus luteum (yellow body). Sel dari stroma ovarium yang asli termasuk hilus sel dan menyerupai sel luteinizing dari teka interna, di mana keduanya

5

berespon terhadap hormon hipofisis. Sel yang khusus ini mensintesis dan mensekresi baik hormon androgen dan estrogen, yang menstimulasi proliferasi target organ, seperti uterus. Mereka menghambat fungsi hipotalamus dengan arus balik negatif.

BAB III SINDROMA OVARIUM POLIKISTIK A. DEFINISI Sindroma ovarium polikistik merupakan serangkaian gejala yang dihubungkan dengan hiperandrogenisme dan anovulasi kronik yang berhubungan dengan kelainan endokrin dan metabolik pada wanita tanpa adanya penyakit primer pada kelenjar hipofise

6

atau adrenal yang mendasari. Anovulasi kronik terjadi akibat kelainan sekresi gonadotropin sebagai akibat dari kelainan sentral dimana terjadi peningkatan frekuensi dan amplitudo pulsasi GnRH dengan akibat terjadi peningkatan kadar LH serum dan peningkatan rasio LH/ FSH serta androgen. Hiperandrogenisme secara klinis dapat ditandai dengan hirsutisme, timbulnya jerawat (akne), alopesia akibat androgen dan naiknya konsentrasi serum androgen khususnya testosteron dan androstenedion. Sedangkan kelainan metabolik berhubungan dengan timbulnya keadaan hiperandrogenisme dan anovulasi kronik. Setiap keadaan yang menyebabkan anovulasi persisten dapat menyebabkan perubahan bentuk polikistik pada ovarium. Pada keadaan anovulasi yang terus menerus, terjadi perubahan kadar hormon yang sebelumnya fluktuaktif menjadi relatif menetap atau steady state. B. EPIDEMIOLOGI Prevalensi sindroma ovarium polikistik diperkirakan sebanyak 5-10%. Pada suatu penelitian terhadap 175 wanita yang mengalami anovulasi yang datang ke klinik reproduksi, 30% wanita amenore dan 75% wanita dengan oligomenorea menunjukkan gambaran ovarium polikistik. Lebih dari 60% dari wanita-wanita ini hirsutisme dan 90% mempunyai konsentrasi LH atau androgen yang meningkat.4 Data epidemiologis SOPK sangat variabel karena kriteria diagnosis yang dapat diterima bervariasi. Studi berdasarkan ultrasonografi untuk mengidentifikasi adanya ovarium polikistik melaporkan bahwa SOPK mempunyai prevalensi 21-22% diantara wanita yang dipilih secara acak. Dua buah studi mendapatkan prevalen SOPK dengan berdasarkan oligomenore dan hiperandrogen sebesar 4,6% dengan rentang sekitar 3,4-11,2%. Penelitian oleh Knochenhauer dkk yang mendasarkan pada etnisitas menemukan tidak adanya perbedaan yang bermakna pada ras kulit hitam dan putih di Amerika Serikat, dengan prevalensi sekitar 4%.5 Demikian pula Diamanti-Kandarkis menemukan prevalensi 6,8% dan 6,5% di pulau Greek Lesbos dan diantara wanita kaukasian di Madrid Spanyol. 6 Gejala klinis, frekuensi obesitas, resistensi insulin dan insiden diabetes mellitus pada SOPK juga terbukti bervariasi secara bermakna di antara kelompok etnis.7,8,9 Data-data yang terbaru menunjukkan SOPK berakibat risiko penyakit jangka panjang. Kondisikondisi yang dihubungkan dengan SOPK termasuk diabetes mellitus tipe 2, hiperkolesterolemia, hipertensi, penyakit jantung, diabetes melitus gestasional, hipertensi yang ditimbulkan oleh kehamilan, dan kanker endometrial. Data penelitian terbaru

7

menunjukkan adanya hubungan antara SOPK dengan kanker payudara dan kanker ovarium.2,10 Sindroma ovarium polikistik (SOPK) merupakan kelainan endokrin yang paling sering terjadi pada wanita usia reproduktif. Definisi klinis dari SOPK yang paling banyak disetujui adalah terdapatnya hiperandrogenisme yang berhubungan dengan anovulasi kronik pada wanita tanpa adanya kelainan dasar spesifik pada adrenal atau kelenjar hipofisa. Gejala klinis yang terdapat pada syndroma ini adalah siklus menstruasi yang iregular (oligomenore dan amenore) dan gejala kelebihan androgen (hirsutisme, jerawat dan alopesia).1,2 Beberapa gejala lain yang timbul dengan berbagai frekuensi adalah obesitas, akantosis nigrikan dan ovarium polikistik. Lebih dari 65% wanita dengan SOPK mempunyai indek masa tubuh lebih dari 27. Distribusi lemak sama dengan kelainan metabolik seperti hipertensi, dislipidemia, resistensi insulin, atau intoleransi glukosa. Hampir seluruh wanita tersebut menyatakan pertambahan berat badan yang bermakna muncul pada pertengahan belasan tahun dan awal usia 20 tahun. Obesitas nampaknya mengakibatkan kelainan metabolik lain, hal ini dibuktikan dengan terjadinya penurunan resistensi insulin dan penyembuhan siklus menstruasi setelah pengurangan berat badan. Sebuah studi lain membuktikan pengurangan berat badan 10-15 % akan menyebabkan konsepsi spontan pada 75% kasus SOPK. Akantosis nigrikan timbul oleh karenan stimulasi insulin pada lapisan basal epidermis, dan terjadi 2-5 % wanita dengan hirsutisme. Ovarium polikistik, adalah ovarium dengan folikular kista yang multipel dan kecil ( 25) atau obesitas (BMI > 27). Lemak abdominal adalah sering, dengan peningkatan rasio pinggang-pinggul (waist hip ratio). Obesitas meningkatkan risiko untuk mendapat diabetes tipe 2 dan lebih dari 30% wanita dgn SOPK yang obesitas mempunyai toleransi glukosa terganggu dan selanjutnya 7,5% akan berkembang menjadi diabetes yang menetap setelah usia 40 tahun. Obesitas sentral dipikirkan merupakan faktor yang signifikan mempengaruhi peningkatan risiko 7 kali untuk infark miokard pada pasien SOPK. Keuntungan dari penurunan berat badan secara konsisten diperlihatkan, dengan memperbaiki frekuensi siklus haid, mengembalikan ovulasi dan menormalkan indeks biokimiawi, khususnya resistensi insulin. Hubungan antara obesitas dengan SOPK tidak secara jelas dimengerti, meskipun hal ini diketahui bahwa meningkatkan kadar insulin serum, LH dan androgen, endorfin hipotalamik dan leptin meningkat pada wanita obesitas yang anovulasi. Hirsutisme

Hirsutisme pada wanita digambarkan dengan pertumbuhan rambut yang terjadi pada pria. Gambaran yang umum adalah kelebihan rambut pada wajah, rambut pada dada diantara payudara dan rambut pada abdomen. Pada pasien dengan SOPK insidens terjadinya hirsutisme sebesar 70%. Hirsutisme pada SOPK mengambarkan kelebihan produksi androgen, umumnya akibat dihidrotestosteron lokal. Papila kulit mengekspresikan reseptor androgen yang secara langsung mempengaruhi ukuran dari folikel rambut dan juga produksi rambut. Penurunan berat badan telah memperlihatkan perbaikan pada hirsutisme. Estrogen eksogen (seperti pada pil kontrasepsi kombinasi oral) akan menekan produksi androgen 16

ovarium dan menstimulasi sex-hormone binding globulin (SHBG), yang akan menurunkan testosteron yang bebas di sirkulasi. Aloplesia androgenik

Digambarkan dengan pola kehilangan rambut kepala yang progresif yang sering pada pria dan jarang terjadi pada wanita. Untuk menampakkan aloplesia membutuhkan faktor predisposisi keluarga dan dihubungkan juga dengan peningkatan androgen di sirkulasi, akibatnya tidak semua wanita dengan kelebihan androgen akan menjadi aloplesia. Pada wanita dengan aloplesia androgenik, 21% juga hirsutisme, dibandingkan dengan 4% pada kontrol. Wanita dengan aloplesia mempunyai kadar testosteron, androstenedion dan androgen bebas yang lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol. Jerawat (Acne)

Jerawat adalah penyakit inflamasi dari folikel rambut dan dihubungkan dengan kelenjar sebaseus dan apokrin. Terdapat pada lebih dari sepertiga wanita dengan SOPK. Masalah utama pada wanita dengan jerawat adalah peningkatan sekresi sel sebaseus dan kadar androgen serum yang sering tidak meningkat, tidak seperti pada hirsutisme dan aloplesia. Acanthosis nigricans

Adalah suatu erupsi mukokutaneus yang terjadi lebih sering pada axilla, lipatan kulit, dan leher. Bermanifestasi dengan peningkatan pigmen dan piplomatosis. Ini merupakan tanda resistensi insulin dan kompensasi dari peningkatan sekresi insulin. Dapat ditemukan pada wanita dengan SOPK antara 1-3% kasus dan lebih sering terjadi pada orang dewasa. F. DIAGNOSIS Heterogenitas tampilan klinis pasien SOPK menyebabkan belum adanya satupun kriteria yang disepakati untuk meneggakkan diagnosis SOPK sampai saat ini. Meskipun demikian, secara umum diagnostik SOPK dapat digolongkan menjadi kriteria klinis, ultrasonografis, dan laboratorium. Kriteria klinis: Meliputi gangguan haid berupa oligomenorhea hingga ammenorhea sekunder, obesitas, hirsutism, acne, alopesia androgenik, achantosis nigricans.

17

Kriteria Ultrasonografi: Kriteria diagnostik jika memakai USG transabdominal: 1. Penebalan stroma 2. Lebih dari 10 folikel berdiameter 2-8 mm di subkorteks dalam satu bidang. Kriteria diagnostik jika memakai USG transvaginal: 1. Penebalan stroma 50% 2. Volume ovarium lebih dari 8 cm3 3. Lebih dari 15 folikel dengan diameter 2-10 mm dalam satu bidang Kriteria Laboratorium: Pemeriksaan kadar hormon androgen, insulin, dan LH/FSH (Luteinizing Hormone/Follicle-Stimulating Hormone). Kadar androgen yang dapat diperiksa adalah: testosteron, androstenedion, testosteron bebas, dehidroepiandrosteron (DHEA) atau dehidroepiandrosteron sulfat (DHEAS), dan dehidrotestosteron (DHT). Konsensus Diagnostik menurut konferensi National Institute of Health (NIH) di Amerika Serikat: a. Gambaran ovarium polikistik tidak harus ada. b. Kriteria mayor: Anovulasi kronis dan hiperandrogenemia. c. Kriteria minor: Adanya resistensi insulin, hirsutisme, obesitas, rasio LH/FSH lebih dari 2,5 dan gmbaran ovrium polikistik pada USG. Diagnosis SOPK ditegakkan jika memenuhi SATU kriteria mayor dan sekurangnya DUA kriteria minor, dengan menyingkirkan penyebab lain hiperandrogenemi. Disisi lain Negara Eropa menetapkan Konsesus Diagnostik lain, Konsensus Diagnostik menurut negara di Eropa: a. Harus didapatkan gambaran ovarium polikistik dengan USG b. Gangguan menstruasi (oligomenore atau amenore), dan atau c. Gambaran klinis hiperandrogenemia (hirsutisme, akne) d. Tidak diperlukan pemeriksaan laboratorium untuk menegakkan diagnosis SOPK.

18

Untuk mencapai kesepakatan antara kedua pendapat besar itu, Homburg mengajukan proposal yang bersifat praktis dan menyatukan kedua pendapat tersebut. Kriteria praktis dari Homburg (2002): 1. Kriteria awal yang harus ada: a. Gangguan menstruasi b. Hirsutisme c. Akne d. Infertilitas anovulasi 2. Diagnosis ditegakkan cukup dengan memperoleh gambaran ovarium polikistik pada USG. 3. Jika tidak ditemukan gambaran ovarium polikistik pada USG, maka dilakukan pemeriksaan laboratorium. Diagnosis SOPK dapat ditegakkan jika ditemukan satu/lebih abnormalitas: peningkatan testosteron serum, peningkatan LH (luteinizing hormone), peningkatan testosteron bebas (dengan menyingkirkan hiperplasi adrenal), perbandingan glukosa puasa: insulin puasa kurang dari 4,5. G. DIAGNOSIS BANDING Diagnosis banding termasuk variasi yang luas dari sejumlah gangguan lain yang berakibat pada abnormalitas pelepasan gonadotropin, anovulasi kronik, dan ovarium yang sklerokistik. Ovarium yang sklerokistik merupakan ekspresi morfologi yang nonspesifik dari anovulasi kronik pada pasien-pasie premenopause, dan dapat disertai: a. Lesi adrenal, misalnya sindroma Cushing, hiperplasia adrenal kongenital, dan tumor-tumor adrenal virilisasi. b. Gangguan hipotalamus-pituitari primer c. Lesi-lesi ovarium yang memproduksi jumlah yang berlebihan dari estrogen atau androgen, termasuk tumor-tumor sex-cord stromal, tumor-tumor sel steroid dan beberapa lesi nonneoplastik seperti hiperplasia sel Leydig dan hipertekosis troma.

19

Ovarium sklerokistik juga terjadi pada pasien-pasien dengan ooforitis autoimun, setelah penggunaan kontrasepsi oral jangka panjang, berhubungan dengan adhesi periovarium, setelah terapi androgen jangka panjang pada wanita agar menjadi pria transeksual dan ditemukan normal pada individu-indivudi prespubertas. H. PENATALAKSANAAN Manajemen: 1. Medikamentosa 2. Pembedahan I. Medikamentosa Tujuan utama pengobatan meliputi penurunan kadar androgen untuk memperbaiki hirsutisme, melindungi endometrium, mengoptimalkan fungsi reproduksi mereka yang ingin kesuburan, dan mengurangi sequelae jangka panjang resistensi insulin. Strategi terapi awal dalam pengelolaan PCOS diarahkan pada pengelolaan dengan medikamentosa. Obesitas Jika pasien kelebihan berat badan atau obesitas (BMI 26 kg / m 2), khususnya dengan obesitas perut (yakni, lingkar pinggang> 35 inci), modifikasi gaya hidup dalam bentuk moderat pembatasan kalori dan olahraga sangat penting tidak peduli apa intervensi lain dipilih. Satu studi menunjukkan bahwa pembatasan kalori moderat yang menghasilkan 2% sampai 5% berat badan menghasilkan 21% penurunan testosteron bebas; 9 dari 18 wanita dengan siklus yang tidak teratur kembali ovulasi teratur dan 2 dari 18 perempuan menjadi hamil. Telah menunjukkan bahwa metformin (glucophage), sebuah biguanide antihyperglycemic, bersama-sama dengan diet rendah kalori, terkait dengan penurunan berat badan lebih rendah daripada kalori makanan saja. Hirsutisme Pilihan pengobatan untuk pasien dengan hirsutisme mencakup langkah-langkah lokal, seperti bercukur, pemutih, depilatories, elektrolisis, dan terapi laser serta terapi farmakologi. Berat badan harus didorong pada perempuan datang dengan hirsutisme karena penurunan berat badan akan mengakibatkan peningkatan tingkat hormon seks pengikat globulin, sehingga mengurangi kadar testosteron bebas.. Pengobatan farmakologi ditujukan untuk 20

menghalangi tindakan androgen pada folikel rambut atau menekan produksi androgen. Penting untuk dicatat bahwa respons terhadap agen farmakologi lambat, terjadi selama berbulan-bulan, dan bahwa terapi medis membatasi pertumbuhan rambut baru tapi tidak mempengaruhi rambut yang ada. Eflornithine (vaniqa) krim topikal disetujui untuk digunakan dalam perawatan wajah hirsutisme. Harus diterapkan dua kali sehari minimal 8 jam. Daerah yang dirawat tidak boleh dicuci setidaknya selama 4 jam setelah aplikasi obat. Tindakan utamanya adalah bahwa hambatan pertumbuhan rambut, tetapi bukan merupakan obat menghilangkan rambut. Vaniqa dapat digunakan bersama dengan metode lain hair removal (misalnya, mencabut, waxing, elektrolisis, atau laser). Setelah Eflornithine (vaniqa) tersebut akan terhenti, pertumbuhan rambut biasanya kembali ke tingkat perlakuan pendahuluan dalam waktu sekitar 8 minggu. Kontrasepsi oral (OCS), meskipun tidak disetujui oleh US Food and Drug Administration untuk pengobatan hirsutisme, telah terbukti juga meningkatkan hormon seks pengikat globulin produksi dalam hati, sehingga mengurangi gratis, atau terikat, tingkat testosteron yang beredar. Meskipun tidak ada OCS tertentu telah terbukti menjadi perlakuan yang lebih baik untuk hirsutisme, Yasmin, sebuah pil Monophasic ethinyl mengandung 30 mcg estradiol dan 3 mg drospirenone (analog dari spironolactone) telah ditunjukkan untuk menekan kedua ovarium dan androgen adrenal produksi. antiandrogen dapat dikombinasikan dengan OCS, meskipun data belum menunjukkan bahwa terapi kombinasi secara signifikan lebih baik untuk pengobatan hirsutisme dari agen tunggal saja. Pasien yang menggunakan antiandrogen sendiri cenderung mengalami pendarahan rahim yang tidak teratur dan dapat manfaat dari penggunaan OCS karena alasan ini. Yang paling umum digunakan antiandrogen adalah spironolactone (aldactone) dan flutamide (Eulexin). Seperti dengan OCS, obat-obat ini belum disetujui untuk pengobatan hirsutisme. Spironolactone yang paling sering digunakan karena aman, tersedia, dan lebih murah daripada antiandrogen lain. Flutamide telah terbukti seefektif spironolactone tetapi, obat ini dapat hepatotoxik, dan fungsi hati harus dimonitor secara teratur. Dianjurkan agar Spironolakton dihentikan 3 bulan sebelum konsepsi karena hubungannya dengan menstruasi dan mungkin efek teratogenik. Untuk wanita dengan SOPK yang hirsutisme tidak berkurang secara signifikan dengan antiandrogen terapi, pengobatan dengan agen kepekaan insulin, seperti metformin (glucophage) atau thiazolidinedione (Actos) dapat digunakan.

21

Terapi farmakologi yang tidak ditunjukkan dalam pengobatan hirsutisme meliputi panjang bertindak gonadotropin-releasing hormone terapi agonis (Lupron) karena hypoestrogenic menginduksi sebuah negara bagian, dan Glukokortikoid, seperti deksametason, karena hiperandrogenisme SOPK adalah hasil dari tidak ovarium dan androgen adrenal produksi. Di samping itu, Glukokortikoid cenderung meningkatkan resistensi insulin, yang akan efek samping yang tidak diinginkan pada populasi pasien ini. Irreguler Menstruasi Kontrasepsi oral memiliki manfaat yang jelas dalam pengobatan disfungsi menstruasi berhubungan dengan SOPK. Ini termasuk: 1. Induksi penarikan reguler pendarahan 2. Perlindungan endometrium dari dilawan estrogen 3. Penurunan sekresi LH dan konsekuensinya pengurangan sekresi androgen ovarium 4. Peningkatan tingkat hormon seks pengikat globulin dan karenanya bebas pengurangan testosterone 5. Peningkatan dalam hirsutisme dan jerawat. Sebuah uji klinis acak membandingkan OCS dan metformin (glucophage) pada wanita gemuk dengan SOPK menemukan bahwa menstruasi teratur terjadi lebih sering dengan penggunaan OCS daripada dengan metformin (glucophage). Sebuah alternatif lain OCS untuk melindungi siklik endometrium adalah administrasi dari progestin, seperti medroksiprogesteron asetat (Provera) 5-10 mg PO setiap hari selama 5 sampai 10 hari atau micronized progesteron (prometrium) 400 mg PO setiap hari selama 10 hari untuk mempromosikan penarikan pendarahan. Infertilitas Sebuah alasan umum bahwa wanita dengan SOPK mencari perawatan

ketidaksuburan. Setelah anovulasi telah didiagnosis dan masalah lain seperti oklusi tuba telah dikecualikan, pengobatan induksi ovulasi. Pendekatan terapi awal pada infertilitas pada wanita dengan SOPK adalah penurunan berat badan melalui diet dan olahraga. HuberBuchholz et al.21 mengamati bahwa modifikasi gaya hidup adalah manajemen awal terbaik untuk wanita gemuk ingin meningkatkan fungsi reproduksi mereka. Jika pasien terus menjadi anovulatoir, langkah berikutnya adalah farmakoterapi. Clomiphene citrate (Clomid) adalah obat pilihan untuk merangsang ovulasi induksi untuk wanita dengan SOPK. Strategi adalah menggunakan dosis terendah mungkin untuk memulai 22

ovulasi. Dosis awal adalah 50 mg / hari, selama 5 hari (biasanya hari 5-9). Jika tidak ada perkembangan folikel dengan dosis ini, dosis dan / atau durasi pengobatan dapat ditingkatkan. Secara keseluruhan, sekitar 80% dari wanita yang diobati dengan clomiphene sitrat akan ovulasi. Jika pasien terus menjadi anovulatoir, metformin (glucophage) dapat ditambahkan ke rejimen pengobatan.5,11,18 Dalam sebuah kelompok kecil wanita dengan PCOS yang gagal berovulasi sebagai jawaban atas 150 mg / hari clomiphene sitrat, 8 dari 11 perempuan berovulasi memakai rejimen clomiphene citrate plus metformin (glucophage) yang diberikan 500 mg TID, dibandingkan dengan hanya 3 dari 14 wanita yang berovulasi memakai rejimen ditambah plasebo clomiphene sitrat. Jangka panjang Risiko Kesehatan Beberapa wanita dengan SOPK dapat mencari perawatan kesehatan karena kekhawatiran tentang kesehatan jangka panjang risiko. Sebagaimana dicatat di atas, jika pasien kelebihan berat badan, konseling tentang nutrisi dan olahraga harus ditekankan, dan penyaringan untuk diabetes, dislipidemia, dan hipertensi harus dilakukan. Tergantung pada hasil tes ini, pengobatan farmakologi spesifik untuk kondisi ini harus dimulai dalam hubungannya dengan dokter perawatan utama mereka Karena dampak baik pada tingkat insulin dan lipid, metformin mungkin berguna dalam keseluruhan manajemen dari wanita ini, walaupun jangka panjang data mengenai penggunaan metformin pada SOPK tidak tersedia. Sensitivitas insulin juga telah ditunjukkan untuk memperbaiki dengan modifikasi diet seperti diet glisemik rendah. The glisemik indeks dari karbohidrat adalah ukuran tertentu postprandial item makanan berpengaruh pada kadar glukosa darah. Semakin rendah indeks glisemik, semakin sedikit mempengaruhi karbohidrat telah di postprandial glukosa dan insulin. Diet serat, minyak ikan, D-chiro-inositol, dan kromium semua telah ditunjukkan untuk meningkatkan sensitivitas insulin, meskipun data terbatas. Latihan fisik tambahan yang penting dalam perbaikan sensitivitas insulin dan keseluruhan homeostasis glukosa. Latihan nyata dapat meningkatkan sensitivitas insulinstimulasi pengambilan glukosa di otot rangka, meskipun beberapa penelitian telah dievaluasi pada pasien SOPK.

23

II. Pembedahan (surgery) Tindakan pembedahan merupakan alternatif pengobatan SOPK apabila pengobatan medikamentosa belum dapat menyelesaikan masalah pasien. a. EBOB (Eksisi Baji Ovarium Bilateral) b. TEKO (Tusukan ElektroKauter pada Ovarium) Terapi TEKO dengan laparoskopi lebih baik dibandingkan dengan EBOB karena angka perlekatan pascoperasi yang lebih rendah.

24

BAB IV KESIMPULAN KESIMPULAN SOPK merupakan salah satu gangguan yang paling umum yang mempengaruhi wanita usia subur. Sebagai sindrom, ia memiliki beberapa komponen, termasuk reproduksi, metabolik, dan kardiovaskular, dengan jangka panjang masalah kesehatan yang melintasi hidup. Walaupun tidak dipahami dengan baik, resistensi insulin tampaknya mendasari banyak manifestasi klinis SOPK. Resistensi insulin juga tampaknya meningkatkan risiko intoleransi glukosa, diabetes tipe 2, dan abnormalitas lipid. Pengobatan gangguan ini harus fokus pada pengurangan gejala-gejala terkait androgen, perlindungan endometrium, dan pengurangan risiko jangka panjang dari diabetes dan komplikasi kardiovaskular. Bagi banyak wanita dengan sindrom ini, memperbaiki kemandulan adalah tujuan utama terapi Tujuh puluh lima persen penderita SOPK akan mengalami anovulasi dan bisa menyebabkan infertilitas. Mekanisme anovulasi ini sangat kompleks. Hal-hal yang terlibat adalah modulator intraovarium dan hormon baik hormon gonadotropin dan hormon steroid.

25

DAFTAR PUSTAKA 1. Speroff L, Glass RH, Kase NG. Anovulation and the Polycystic Ovary, in: Clinical Gynecologic Endocrinology and Infertility fifth edition 1994; 13: 457-82. 2. Richardson MR. Current perspectives in polycystic ovary syndrome. Am Fam Physician 2003; 68:697-704. 3. Lord JM, Flight IHK, Norman RJ. Metformin in polycystic ovary syndrome: systematic review and meta-analysis. BMJ 2003; 327: 951. 4. Frank S. Polycystic ovary syndrome. N Engl J Med 1995; 333(13):853-861. 5. Chang RJ. Polycystic ovary syndrome and hiperandrogenic states, in: Yen and Javes Reproductive Endrocrinology fifth edition 2004; 19: 597-632. 6. Diamanti-Kandarakis E, Kouli CR, Bergiele AT, Filandra FA,Tsianateli C, Spina GG et al. A survey of the polycystic ovary syndrome in the Greek island of Lesbos: hormonal and metabolic profile. Journal of Clinical Endocrinology and Metabolism 1999; 84: 40064011. 7. Asuncion M, Calvo RM, San Millan JL, Sancho J, Avila S &Escobar-Morreale HF. A prospective study of the prevalence of the polycystic ovary syndrome in unselected Caucasian women from Spain. Journal of Clinical Endocrinology and Metabolism 2000; 85: 4342438. 8. Carmina E, Koyama T, Chang L, Stanczyk FZ & Lobo RA. Doesethnicity influence the prevalence of adrenal hyperandrogenism and insulin resistance in polycystic ovary syndrome? American Journal of Obstetrics and Gynecology 1992; 167: 18071812. 9. Dunaif A, Sorbara L, Delson R & Green G. Ethnicity and polycystic ovary syndrome are associated with independent and additive decreases in insulin action in CaribbeanHispanic women. Diabetes 1993; 42: 14621468. 10. Xita N, Georgiou I, Tsatsoulis. The genetic basis of polycystic ovary syndrome. European Journal of Endocrinology 2002; 147: 717-25. 11. Hadisaputra W, Situmorang H. Sindrom ovarium polikistik. Puspa Swara. Jakarta. 2003 12. Hopkinson ZEC, Sattar N, Fleming R, Greer IA. Polycystic ovarian syndrome: the metabolic syndrome comes to gynaecology. BMJ 1998;317:329-332. 13. Schroeder BM. ACOG releases guidelines on diagnosis and management of polycystic ovary syndrome. Am Fam Physician 2002;67(7):1619-1620,1622. 14. Abbott DH, Dumesic DA, Franks S. Developmental origin of polycystic ovary syndrome a hypothesis. Journal of endocrinology 2002;174:1-5.

26

15. Govind A, Obhrai MS, Clayton RN. Polycystic Ovaries Are Inherited as an Autosomal Dominant Trait: Analysis of 29 Polycystic Ovary Syndrome and 10 Control Families. J Clin Endocrinol Metab 1999;84:38-43. 16. Strauss JF, Dunaif A. Molecular mysteries of polycystic ovary syndrome. Mol Endo 1999; 13(6): 800-05 17. Waterworth DM, Bennett ST, Gharani N, McCarthy MI, Hague S, Batty S et al. Linkage and association of insulin gene VNTR regulatory polymorphism with polycystic ovary syndrome. Lancet 1997 349 986990. 18. Goodarzi MO, Korenman SG. The importance of insulin resistance in polycystic ovary syndrome. Fertility and sterility 2003; 80(2):255-8. 19. Taylor AE. Understanding the underlying metabolic abnormalities of polycystic ovary syndrome and their implications. Am J Obstet Gynecol 1998;179:S94-100. 20. Gharani N, et al. Association of the steroid synthesis gene CYP11a with polycystic ovary syndrome and hyperandrogenism. Human molecular genetics 1997;6(3):397402. 21. Nestler JE, Jakubowicz DJ. Decreases in ovarian cytochrome p450c17a activity and serum free testosterone after reduction of insulin secretion in polycystic ovary syndrome. N Engl J Med 1996;335:617-23. 22. Urbanek M, et al. Thirty-seven candidate genes for polycystic ovary syndrome: Strongest evidence for linkage is with follistatin. Proc Natl Acad Sci USA 1999;96:8573-8. 23. Tapanainen JS, Koivunen R, Fauser BC, Taylor AE, Clayton RN, Rajkowa M et al. A new contributing factor to polycystic ovary syndrome: the genetic variant of luteinizing hormone. Journal of Clinical Endocrinology and Metabolism 1999; 84: 171115. 24. Misfud A, Ramirez S & Yong EL. Androgen receptor gene CAG trinucleotide repeats in anovulatory infertility and polycystic ovaries. Journal of Clinical Endocrinology and Metabolism 2000; 85: 34843488.

27