27

Click here to load reader

Tinjauan Yuridis Tentang Terhambatnya Perwujudan Tujuan Negara Dari Segi Politik Hukum

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Tinjauan Yuridis Tentang Terhambatnya Perwujudan Tujuan Negara Dari Segi Politik Hukum

1

BAB I

PERMASALAHAN

A. Pengertian Tujuan Nasional

Sebagaimana yang telah kita ketahui bersama bahwa Negara Kesatuan Republik

Indonesia telah memasuki usia yang ke-64 Tahun. Di umurnya yang kesekian tersebut

tentu kita bertanya-tanya sudahkah tujuan Nasional yang dicita-citakan oleh para

Founding Fathers dan termaktub dalam Alinea Ke-4 Undang-Undang Dasar 1945

terwujud? Atau minimal sudah tercapai lima puluh persen saja dari apa yang dicita-

citakan.

Ternyata jawaban dari semua pertanyaan tersebut adalah belum, bahkan untuk

menyentuh angka lima puluh persen saja masih jauh panggang dari api. Untuk

mengetahui sebab terhambatnya pencapaian tujuan nasional Negara Indonesia sudah

barang tentu kita harus mengetahui apa-apa saja Tujuan Nasional dari Negara Republik

Indonesia. Berikut Uraiannya yang terdapat pada Alinea Keempat Undang-Undang Dasar

1945 :

1. Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.

2. Memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.

3. Ikut melaksanakan ketertiban dunia.

Dari ketiga point di atas maka dapat kita simpulkan bahwa negara Indonesia melindungi

negara tanah air dan seluruh warga negara indonesia baik yang berada di dalam maupun

Page 2: Tinjauan Yuridis Tentang Terhambatnya Perwujudan Tujuan Negara Dari Segi Politik Hukum

2

di luar negeri. Selain itu negara kita menginginkan situasi dan kondisi rakyat yang

bahagia, makmur, adil, sentosa, dan lain sebagainya. Di samping itu negara indonesia

turut berperan aktif dalam menjaga perdamaian dunia untuk kepentingan bersama serta

tunduk pada perserikatan bangsa-bangsa atau disingkat PBB.

B. Permasalahan

Untuk mencapai Tujuan Negara tersebut Penulis mencoba menganalisa apa saja

faktor penghambat terutama dari segi Tinjauan Yuridis, mengapa di umurnya yang ke-64

tahun ini Negara Indonesia belum dapat mewujudkan minimal lima puluh persen saja

dari apa yang dicita-citakan sejak Negara ini berdiri.

Page 3: Tinjauan Yuridis Tentang Terhambatnya Perwujudan Tujuan Negara Dari Segi Politik Hukum

3

BAB II

PEMBAHASAN

A. Dampak Amandemen UUD 1945 terhadap Pencapaian Tujuan Nasional

Setelah MPR mengesahkan amandemen ketiga dan keempat UUD 1945, system

pemerintahan negara Indonesia berubah menjadi sistem presidensial. Perubahan tersebut

ditetapkan dengan Pasal 1 ayat (2) UUD baru. MPR tidak lagi merupakan perwujudan

dari rakyat dan bukan locus of power, lembaga pemegang kedaulatan negara tertinggi.

Pasal 6A ayat (1) menetapkan “Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan

secara langsung oleh rakyat”. Dua pasal tersebut menunjukkan karakteristik system

presidensial yang jelas berbeda dengan staats fundamental norm yang tercantum dalam

Pembukaan dan diuraikan lebih lanjut dalam Penjelasan UUD 1945.

Sistem presidensial tidak mengenal adanya lembaga pemegang supremasi

tertinggi. Kedaulatan negara dipisahkan (separation of power) ke 3 cabang yakni

legislatif, eksekutif dan yudikatif, yang secara ideal diformulasikan sebagai trias politica

oleh Montesquieu. Presiden dan wakil presiden dipilih langsung oleh rakyat untuk masa

kerja yang lamanya ditentukan oleh konstitusi. Konsentrasi kekuasaan berada pada

Presiden sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan. Dalam sistem presidensial

para menteri adalah pembantu-pembantu presiden yang diangkat dan bertanggungjawab

kepada Presiden.

Arsip AG-AK-P yang selama hampir 56 tahun hilang baru-baru ini diungkapkan

kembali oleh R.M. Ananda B. Kusuma, dosen Sejarah Ketatanegaraan Fakultas Hukum

Page 4: Tinjauan Yuridis Tentang Terhambatnya Perwujudan Tujuan Negara Dari Segi Politik Hukum

4

U.I., dalam sebuah monograf berjudul “Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945” terbitan

Fakultas Hukum U.I. (2004). Kumpulan notulen otentik tersebut memberikan gambaran

bagaimana sesungguhnya sistem pemerintahan demokratis yang dicita-citakan para

perancang Konstitusi Indonesia.

Notulen rapat-rapat BPUPKI dan PPKI mulai pertengahan Mei sampai Juli 1945

memberikan gambaran betapa mendalam dan tinggi mutu diskusi para Bapak Bangsa

tentang sistem pemerintahan. Pada sidang-sidang tersebut, Prof. Soepomo, Mr. Maramis,

Bung Karno dan Bung Hatta mengajukan pertimbangan-pertimbangan filosofis dan hasil

kajian empiris untuk mendukung keyakinan mereka bahwa Trias Politica a la

Montesqieue bukanlah sistem pembagian kekuasaan yang paling cocok untuk

melaksanakan kedaulatan rakyat. Bahkan, Supomo-Iin dan Sukarno-Iin, Iin artinya

Anggota yang Terhormat, menganggap trias politica sudah kolot dan tidak dipraktekkan

lagi di negara Eropa Barat.

Pada rapat Panitia Hukum Dasar, bentukan BPUPKI, tanggal 11 Juli 1945 dicapai

kesepakatan bahwa Republik Indonesia tidak akan menggunakan sistem parlementer

seperti di Inggris karena merupakan penerapan dari pandangan individualisme. Sistem

tersebut dipandang tidak mengenal pemisahan kekuasaan secara tegas. Antara cabang

legisltatif dan eksekutif terdapat fusion of power karena kekuasaan eksekutif sebenarnya

adalah „bagian“ dari kekuasaan legislatif. Perdana Menteri dan para menteri sebagai

kabinet yang kolektif adalah anggota parlemen.

Sebaliknya, sistem Presidensial dipandang tidak cocok untuk Indonesia yang baru

merdeka karena sistem tersebut mempunyai tiga kelemahan. Pertama, sistem presidensial

mengandung resiko konflik berkepanjangan antara legislatif – eksekutif. Kedua, sangat

Page 5: Tinjauan Yuridis Tentang Terhambatnya Perwujudan Tujuan Negara Dari Segi Politik Hukum

5

kaku karena presiden tidak dapat diturunkan sebelum masa jabatannya berahir. Ketiga,

cara pemilihan “winner takes all” seperti dipraktekkan di Amerika Serikat bertentangan

dengan semangat demokrasi.

Indonesia yang baru merdeka akan menggunakan „Sistem Sendiri“ sesuai usulan

Dr. Soekiman, anggota BPUPKI dari Yogyakarta dan Prof. Soepomo, Ketua Panitia

Kecil BPUPKI. Para ahli Indonesia menggunakan terminologi yang berbeda untuk

menamakan sistem khas Indonesia tersebut. Ismail Suny menyebutnya Sistem

Quasipresidensial, Padmo Wahono menamakannya Sistem Mandataris, dan Azhary

menamakannya Sistem MPR. Dalam klasifikasi Verney, sistem yang mengandung

karakteristik sistem presidensial dan parlementer disebut sistem semi-presidensial.

Sistim pemerintahan demokratis yang dirumuskan oleh para perancang UUD

1945 mengandung beberapa ciri sistem presidensial dan sistem parlementer. “Sistem

Sendiri” tersebut mengenal adanya pembagian kekuasaan (division of power) antara

legislatif dan eksekutif, karena masing-masing tidak boleh saling menjatuhkan, Presiden

adalah eksekutif tunggal yang memegang jabatan selama lima tahun dan dapat

diperpanjang kembali, serta para menteri adalah pembantu yang diangkat dan

bertanggungjawab kepada Presiden. Ini merupakan ciri sistem presidensial. Sistem

pemerintahan khas Indonesia juga mengandung karakteristik sistem parlementer. MPR

ditetapkan sebagai locus of power yang memegang supremasi kedaulatan Negara

tertinggi, seperti halnya Parlemen dalam sistem parlementer. Kedaulatan negara ada pada

rakyat dan dilaksanakan oleh MPR sebagai perwujudan seluruh rakyat. Pada masa-masa

awal negara Indonesia, para perancang memandang pemilihan Presiden dan Wakil

Presiden secara langsung masih belum dapat dilakukan mengingat tingkat pendidikan

Page 6: Tinjauan Yuridis Tentang Terhambatnya Perwujudan Tujuan Negara Dari Segi Politik Hukum

6

masih rendah serta infrastruktur pemerintahan belum tersedia. Karena itu ditetapkan

Presiden dan Wakil Presiden dipilih secara tidak langsung oleh lembaga perwujudan

seluruh rakyat yaitu MPR.

Presiden yang menjalankan kekuasaan eksekutif adalah mandataris MPR,

sedangkan DPR adalah unsur dari MPR yang menjalankan kekuasaan legislative

(legislative councils). Presiden tidak dapat menjatuhkan DPR, sebaliknya DPR tidak

dapat menjatuhkan Presiden. Bersama-sama Presiden dan DPR menyusun undang-

undang.

Pada notulen rapat tanggal 11-15 Juli BPUPKI dan rapat PPKI tanggal 18

Agustus 1945 dapat kita ikuti perkembangan pemikiran tentang kedaulatan rakyat yang

dilaksanakan oleh Majelis Permusyawartan Rakyat sebagai penjelmaaan dari seluruh

rakyat Indonesia yang memiliki konfigurasi sosial, ekonomi dan geografis yang amat

kompleks. Karena itu MPR harus mencakup wakil-wakil rakyat yang dipilih, DPR,

wakil-wakil daerah, serta utusan-utusan golongan dalam masyarakat. Dengan kata lain,

MPR harus merupakan wadah multi-unsur, bukan lembaga bi-kameral.

Bentuk MPR sebagai majelis permusyawaratan-perwakilan dipandang lebih

sesuai dengan corak hidup kekeluargaan bangsa Indonesia dan lebih menjamin

pelaksanaan demokrasi politik dan ekonomi untuk terciptanya keadilan sosial, Bung

Hatta menyebutnya sebagai ciri demokrasi Indonesia. Dalam struktur pemerintahan

negara, MPR berkedudukan sebagai supreme power dan penyelenggara negara yang

tertinggi. DPR adalah bagian dari MPR yang berfungsi sebagai legislative councils atau

assembly. Presiden adalah yang menjalankan tugas MPR sebagai kekuasaan eksekutif

tertinggi, sebagai mandataris MPR.

Page 7: Tinjauan Yuridis Tentang Terhambatnya Perwujudan Tujuan Negara Dari Segi Politik Hukum

7

Konfigurasi MPR sebagai pemegang kekuasaan tertinggi tersebut dipandang para

Bapak Bangsa sebagai ciri khas Indonesia dan dirumuskan setelah mempelajari

keunggulan dan kelemahan dari sistem-sistem yang ada. Sistem majelis yang tidak

bicameral dipilih karena dipandang lebih sesuai dengan budaya bangsa dan lebih

mewadahi fungsinya sebagai lembaga permusyawaratan perwakilan.

Karena Arsip AG-AK-P yang merupakan sumber otentik tentang system

pemerintahan negara baru saja terungkap, mungkin saja Panja MPR ketika mengadakan

amandemen UUD 1945, tidak memiliki referensi yang jelas tentang sistem pemerintahan

sebagaimana ditetapkan dalam UUD 1945. Kalau pemikiran para perancang konstitusi

tentang kaidah dasar dan sistem pemerintahan negara sebagaimana tercatat pada notulen

otentik tersebut dijadikan referensi, saya yakin bangsa Indonesia tidak akan melakukan

penyimpangan konstitusional untuk ketiga kalinya. Susunan pemerintahan negara yang

mewujudkan kedaulatan rakyat pada suatu Majelis Permusyawaratan Rakyat dalam

pandangan Bung Karno adalah satu-satunya sistem yang dapat menjamin terlaksananya

politiek economische democratie yang mampu mendatangkan kesejahteraan sosial.

Sebagai penjelmaan rakyat dan merupakan pemegaang supremasi kedaulatan,

MPR adalah penyelenggara pemerintahan negara tertinggi, “pemegang” kekuasaan

eksekutif dan legislatif. DPR adalah bagian dari MPR yang menjalankan kekuasaan

legislatif sedangkan Presiden adalah mandataris yang bertugas menjalankan kekuasaan

eksekutif. Bersama-sama, DPR dan Presiden menyusun undang-undang. DPR dan

Presiden tidak dapat saling menjatuhkan seperti pada sistem parlementer maupun

presidensial. Sistem semi-presidensial tersebut yang mengandung keunggulan system

Page 8: Tinjauan Yuridis Tentang Terhambatnya Perwujudan Tujuan Negara Dari Segi Politik Hukum

8

parlementer dan sistem presidensial dipandang mampu menciptakan pemerintahan

Negara berasaskan kekeluargaan dengan stabilitas dan efektifitas yang tinggi.

Berbeda dengan pemikiran BPUPKI dan PPKI sebagai perancang konstitusi, para

perumus amandemen UUD 1945, karena tidak menggunakan sumber-sumber otentik,

serta merta menetapkan pemerintahan negara Indonesia adalah sistem presidensial.

Padahal pilihan para founding fathers tidak dilakukan secara gegabah, tetapi didukung

secara empiris oleh penelitian Riggs di 76 negara Dunia Ketiga, yang menyimpulkan

bahwa pelaksanaan sistem presidensial sering gagal karena konflik eksekutif – legislative

kemudian berkembang menjadi constitutional deadlock. Karenanya sistem presidensial

kurang dianjurkan untuk negara baru. Notulen otentik rapat BPUPKI dan PPKI

menunjukkan betapa teliti pertimbangan para Pendiri Negara dalam menetapkan system

pemerintahan negara. Pemahaman mereka terhadap berbagai sistem pemerintahan

ternyata sangat mendalam dan didukung oleh referensi yang luas, mencakup sebagian

besar negara-negara di dunia.

Para perancang konstitusi seperti Prof. Soepomo sudah mengingatkan kita semua,

untuk memahami konsitusi tidak cukup hanya dibaca dari yang tertulis pada pasal-

pasalnya, tapi harus diselami dan difahami jalan fikiran para perancangnya serta konteks

sejarah yang melingkunginya. Sejalan dengan itu Edwin Meese III mengingatkan, satu-

satunya cara yang legitimate untuk menafsirkan konstitusi adalah dengan memahami

keinginan yang sesungguhnya dari mereka yang merancang dan mengesahkan hukum

dasar tersebut. Nampaknya peringatan-peringatan tersebut diabaikan ketika amandemen

UUD 1945 dilakukan.

Page 9: Tinjauan Yuridis Tentang Terhambatnya Perwujudan Tujuan Negara Dari Segi Politik Hukum

9

Hal ini menyebabkan perubahan system Negara menjadi Presidensial, yang baru

dapat dikatakan efektif apabila eksekutif dan legislative dikuasai mayoritas oleh Partai

yang sama, hal ini diharapkan terwujud pada fase kedua pemeintahan Presiden Susilo

Bambang Yudhoyono (Dimana Partai Demokrat menguasai mayoritas Parlemen), namun

pada fase pertama dimana Presiden berasal dari partai minoritas maka system

Presidensial tidak akan terwujud yang ada malah kekacauan di pemerintahan (disiasati

dengan memilih menteri yang berasal dari partai-partai mayoritas yang duduk di

parlemen) sehingga tujuan Negara agak terabaikan. Hal ini pernah terjadi di Prancis dan

pada abad 21 ini oleh beberapa Negara Eropa Timur yang menggunakan system

pemerintahan Cohabition atau Sistem Pemerintahan Koalisi diamana jabatan Wakil

Presiden ditiadakan dan Kepala Pemerintahan dipegang oleh Perdana Menteri yang

dipilih oleh Parlemen (biasanya pimpinan partai mayoritas di lembaga tersebut). Sistem

ini diterapkan pada era Presiden De Gaulle dan Mitterand di Perancis sedang pada era

Chirac sudah semi Presidensial karena Presiden dan Perdana Menteri berasal dari Partai

yang sama.

B. Pengaruh Otonomi Daerah dalam Pencapaian Tujuan Negara

Pada fase reformasi terjadi dua kali perubahan dalam peraturan yang mengatur

otonomi daerah, yaitu UU No 22 1999 diubah dengan UU No 32 tahun 2004. Otonomi

daerah mengenal tiga asas yaitu :

1. Asas Dekonsentrasi

Indonesia sebagaimana tercantum dalam pasal 1 ayat 1 UUD 1945 dinyatakan

bahwa Indonesia adalah Negara kesatuan yang berbentuk republik dan sekaligus Bentuk

Page 10: Tinjauan Yuridis Tentang Terhambatnya Perwujudan Tujuan Negara Dari Segi Politik Hukum

10

Negara kesatuan adalah bentuk negara yang bersifat final yang diharapkan oleh rakyat

Indonesia secara menyeluruh, disamping bentuk-bentuk Negara alternatif lain. Hal ini

diatur secara rigit dalam pasal 37 ayat 5 UUD 19451. Hubungan yang muncul dalam

Negara kesatuan adalah hubungan yang bersifat hirarkis-vertical antara pemerintah pusat

dengan pemerintah daerah baik propinsi maupun kabupaten/kota. Sehingga, otonomi

daerah yang yang dilaksanakan tidak boleh keluar dari pakem tersebut.

Agar tidak keluar dari pakem maka otonomi daerah menganut asas dekonsentrasi. Asas

Dekonsentrasi ini mengandung pengertian pelimpahan wewenang pemerintahan oleh

Pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal

di wilayah tertentu. Jadi gubernur adalah sebagai mandatris pemerintah pusat untuk

melaksanakan tugas-tugas dan fungsi-fungsi yang diberikan. Sehingga kekuasaan

memberikan dan mencabut tugas dan fungsi tetap berada dipemerintah pusat. Akan tetapi

kemudian asas ini menjadi tidak berfungsi karena terjadinya pembagian urusan yang

diatur kemudian dalam UU No 32 tahun 2004.

Pembagian urusan tersebut bisa dilihat dari bab III pasal 10 UU No 32 tahun 2004. klausa

yang ada dalam pasal 1 tersebut mengatakan bahwa Pemerintahan daerah

menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan

pemerintahan yang oleh Undang-Undang ini ditentukan menjadi urusan Pemerintah.

Kemudian pada pasal selanjutnya Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang

menjadi kewenangan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemerintahan daerah

menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan

pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan.

Dari klausa “Pemerintahan daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi

Page 11: Tinjauan Yuridis Tentang Terhambatnya Perwujudan Tujuan Negara Dari Segi Politik Hukum

11

kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh Undang-Undang ini ditentukan

menjadi urusan Pemerintah”. Secara substansial klausa ini mengatakan bahwa

kewenangan yang dimiliki pemerintah pusat dan pemerintah daerah sudah diatur secara

jelas dan rigid. Pembagian tersebut memang terbukti demikian dengan meninjau pasal

selanjutnya maka akan terlihat betapa kewenangan pemerintah dan pemerintah daerah

menjadi sejajar dalam mengelelola daerah. Pasal 10 ayat 4 megatur kewenangan

pemerintah pusat tersebut sebagai berikut:

a. politik luar negeri;

b. pertahanan;

c. keamanan;

d. yustisi;

e. moneter dan fiskal nasional; dan

f. agama.

Dan kewenangan pemerintah diluar 6 poin tersebut dilaksanakan dengan,

menyelenggarakan sendiri sebagian urusan pemerintahan;

a. melimpahkan sebagian urusan pemerintahan kepada Gubernur selaku wakil

Pemerintah; atau

b. menugaskan sebagian urusan kepada pemerintahan daerah dan/atau

pemerintahan desa berdasarkan asas tugas pembantuan.

Sedangkan klausa yang mengatur mengenai kewenangan daerah diatur dalam

pasal 13 ayat 1 dan pasal 14 ayat 1 UU No 32 tahun 2004. Dari penjelasan diatas

susunan, komposisi peraturan menurut penulis bertentangan satu sama lain dengan asas

dekonsentrasi. Asas dekonsentrasi menyatakan bahwa keberadaan kewenangan berada

dipemerintah pusat kemudian kewengan tersebut didistribusikan keperintah daerah.

Page 12: Tinjauan Yuridis Tentang Terhambatnya Perwujudan Tujuan Negara Dari Segi Politik Hukum

12

Sedangkan pada klausa-klausa aturan diatas tidak demikian adanya pengaturan-

pengaturan secara jelas hak dan wewenang baik pemerintah pusat maupun daerah

membuktikan bahwa keberadaan asas dekonsentrasi tidak bermakna, itu yang pertama.

Yang kedua, asas dekonsentrasi merupakan asas perekat bentuk negara kesatuan akan

tetapi akibat pembagian kewenangan tersebut akhirnya konsep kesatuan diciderai.

Karena, Pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dengan daerah secara ketat

merupakan sebuah konsep negara ferderal, dan ini sejak semula tidak diinginkan oleh

masyarakat indonesia..

2. Asas Desentralisasi

Asas desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah

kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam Sistem

Negara Kesatuan Republik Indonesia. Asas ini memiliki semangat bahwa pemerintah

daerah dianggap mampu untuk melaksanakan pemerintahan sendiri, ini terbukti dari kata

penyerahan. Kata ini juga membuktikan bahwa kewenangan pemerintah pusat dan

pemerintah daerah harus dibagi karena daerah sudah dianggap mampu untuk

melaksanakan pemerintahan sendiri. Secara pengertian antara dekonsentrasi dan

desentralisasi seakan-akan tidak ada masalah akan tetapi apabila ditinjau lebih mendalam

kepada peraturan yang mengatur persoalan tersebut, maka akan terlihat betapa benturan

tersebut terjadi. Benturan tersebut berasal dari tujuan dasar keberadaan asas desentralisasi

dan dekonsentrasi. Asas desentralisasi lebih bermuatan federalistik sedangkan asas

dekonsentrasi lebih bermuatan keasatuan. Hal ini bisa dilihat dari pemebagian-pembagian

Page 13: Tinjauan Yuridis Tentang Terhambatnya Perwujudan Tujuan Negara Dari Segi Politik Hukum

13

kewenangan yang ada dalam UU otonomi daerah lebih mendekati kepada prinsip

desentralisasi.

3.Asas Tugas Pembantu

Mengiringi kedua asas diatas terdapat satu asas lagi yaitu asas tugas pembantu.

Asas ini mengandung pengertian, adanya penugasan dari Pemerintah kepada daerah

dan/atau desa dari pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota dan/atau desa serta dari

pemerintah kabupaten/kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu. Asas ini

dalam UU 32 tahun 2004 ditempatkan pada pasal 10 ayat 5 poin c, dalam sebuah klausal

“menugaskan sebagian urusan kepada pemerintahan daerah dan/atau pemerintahan desa

berdasarkan asas tugas pembantuan”. Ketentuan ini dilaksanakan untuk mengatisipasi

pabila terjadi hal-hal yang tidak di inginkan dalam sebuah pemerintahan, sedangkan

penangananya harus segera dilaksanakan. keberadaan ketentuan ini sangat minim dalam

peratuaran, akan tetapi dibandingkan dengan asas desentralisasi, asas ini lebih dapat

diterima oleh prinsip pemrintahan daerah dalam negara kesatuan. karena asas ini tetap

menempatkan pemerintah pusat sebagai tolak ukur dalam sebuah kebijakan. Dan

pemerintah daerah merupakan subdivisi dari pemerintah pusat untuk melaksanakan

fungsi-fungsi dan kebijakan-kebijkan yang dibuat oleh pemerintah pusat.

Menurut Penulis ketiga asas tersebut menyebabkan daerah dapat menentukan arah

kebijakannya yang berkaitan erat dengan terwujudnya Tujuan Nasional, namun hal ini

tidak didukung oleh keadaan daerah yang mempunyai kondisi berbeda-beda sehingga

perwujudan dari tujuan Nasional tidak dapat tercapai secara utuh dan bersamaan,

dibutuhkan satu peraturan yang dapat membimbing arah pembangunan agar berjalan pada

Page 14: Tinjauan Yuridis Tentang Terhambatnya Perwujudan Tujuan Negara Dari Segi Politik Hukum

14

rel dengan hasil akhir terwujudnya Tujuan Nasional yang merata di semua wilayah

Republik Indonesia. Bila melihat kebelakang maka di era orde lama dan orde baru

terutama di orde baru dimana Indonesia menganut system pemerintahan terpusat yang

segala kebijakan pembangunan berkiblat kepusat keadaan pembangunan hanya

terkonsentrasi di wilayah seputaran pusat pemerintahan yaitu Pulau Jawa dan hasil dari

daerah banyak yang tersedot ke Pusat sehingga pembangunan tidak merata.

Keadaan ini berlangsung cukup lama kurang lebih selama 32 tahun Orde Baru

berkuasa, namun perlu diingat bahwa Pembangunan terarah secara sistematis dikarenakan

adanya GBHN atau Garis-garis Besar Haluan Negara, tetapi sayangnya hanya banyak

terpusat di sekitar Pusat Kekuasaan di Pulau Jawa sehingga daerah-daerah lain

terlupakan.

C. Undang-Undang No 17 Tahun 2007 tentang RJPN 2005-2025 sebagai Elemen

Pendukung dalam Tercapainya Tujuan Nasional

RPJPN adalah dokumen perencanaan pembangunan nasional yang merupakan

jabaran dari tujuan dibentuknya Pemerintah Republik Indonesia yang tercantum dalam

Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dalambentuk Visi, Misi dan Arah Pembangunan

Nasional untuk masa 20 tahun kedepan, yakni kurun waktu 2005 hingga 2025. Bertitik

tolak dari pengertian di atas maka Visi dan Misi RPJPN tersebut harus sejalan, selaras

dan seirama dengan amanat yang terkandung dalam pembukaan Undang-Undang Dasar

1945.

Page 15: Tinjauan Yuridis Tentang Terhambatnya Perwujudan Tujuan Negara Dari Segi Politik Hukum

15

Disini akan dilakukan pengkajian terhadap Visi dan Misi RPJPN dan apakah telah

mencerminkan penjabaran dari pembukaan Undang-Undang 1945 yang merupakan cita-

cita, harapan dan tujuan para pendiri bangsa (founding fathers).

Disamping itu guna lebih memperjelas muatan yang terkandung dalam RPJPN

2005-2025 maka akan dibahas pula secara garis besar pengaruh penetapan visi dan misi

tersebut beserta tujuan dan sasaran pokok yang diambil bila ditinjau dari kaidah-kaidah

perencanaan dan prinsip-prinsip pembangunan yang dijalankan.

Undang-undang ini dibuat dengan menimbang bahwa perubahan Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah mengakibatkan terjadinya perubahan

dalam pengelolaan pembangunan, yaitu dengan tidak dibuatnya lagi Garis-Garis Besar

Haluan Negara (GBHN) sebagai pedoman penyusunan rencana pembangunan nasional

karena terdapat kevakuman atau kekosongan dalam pembangunan daerah dikarenakan

tidak terarahnya pembangunan nasional, bahwa Indonesia memerlukan perencanaan

pembangunan jangka panjang sebagai arah dan prioritas pembangunan secara

menyeluruh yang akan dilakukan secara bertahap untuk mewujudkan masyarakat adil dan

makmur sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945, bahwa Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004

tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional mengamanatkan Rencana

Pembangunan Jangka Panjang Nasional yang ditetapkan dengan Undang-undang.

Dalam Pasal 3 Undang-undang ini juga menyatakan RPJP Nasional merupakan

penjabaran dari tujuan dibentuknya Pemerintahan Negara Indonesia yang tercantum

dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yaitu

untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan

Page 16: Tinjauan Yuridis Tentang Terhambatnya Perwujudan Tujuan Negara Dari Segi Politik Hukum

16

kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban

dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan ocial dalam

bentuk rumusan visi, misi dan arah Pembangunan Nasional.

Untuk perwujudannya dituangkan dalam Empat periode Rencana Pembangunan

Jangka Menengah (RPJM) terdiri dari tahap pertama tahun 2005-2009, tahap kedua 2010

2014, tahap ketiga 2015-2019 dan tahap keempat 2020-2024. Adapun tahapan skala

prioritas utama dan strategi RPJM itu, meliputi RPJM ke-1, diarahkan untuk menata

kembali dan membangun Indonesia di segala bidang, yang ditujukan menciptakan

Indonesia aman dan damai, yang adil dan demokratis, dan yang tingkat kesejahteraan

rakyatnya meningkat.

RPJM ke-2, ditujukan untuk lebih memantapkan penataan kembali Indonesia di

segala bidang. Menekankan pada upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia,

termasuk pengembangan kemampuan ilmu pengetahuan serta penguatan daya saing

perekonomian.

RPJM ke-3 ditujukan untuk lebih memantapkan pembangunan secara menyeluruh

di berbagai bidang. Ini dilakukan dengan menekankan pencapaian daya saing kompetitif,

perekonomian berlandaskan keunggulan sumber daya alam, dan sumber daya manusia

berkualitas, serta kemampuan iptek yang terus meningkat.

Sedangkan RPJM ke-4, ditujukan untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang

mandiri, maju, adil dan makmur. Melalui percepatan pembangunan di berbagai bidang,

dengan menekankan terbangunnya struktur perekonomian yang kokoh, berlandaskan

keunggulan kompetitif di berbagai wilayah yang didukung oleh sumberdaya manusia

berkualitas dan berdaya saing.

Page 17: Tinjauan Yuridis Tentang Terhambatnya Perwujudan Tujuan Negara Dari Segi Politik Hukum

17

BAB III

KESIMPULAN

A. Kesimpulan

Penulis berkesimpulan bahwa mengapa di umurnya yang sudah 64 tahun ini

Indonesia belum mencapai Tujuan Nasional (bahkan lima puluh persen saja belum)

adalah karena :

1. Selama Era Pemerintahan Orde Lama terjadi fluktuasi politik yang

menyebabkan tidak berjalan maksimal pembangunan untuk mencapai Tujuan

Negara, meskipun para Founding Fathers telah meletakkan dasar pada UUD

1945

2. Selama Era Pemerintahan Orde Baru, sudah terdapat rel untuk menuju

pencapaian Tujuan Negara yaitu GBHN, tetapi dalam pelaksanaannya banyak

terpusat di Pemerintahan Pusat sehingga Pembangunan Dearah agak

terabaikan menyebabkan Tujuan Negara tidak tercapai secara merata di

Indonesia.

3. Pada Era Reformasi sampai sekarang terjadi miss persepsi terhadap UUD

1945 sehingga diadakan Amandemen yang tidak sesuai dengan hakikat

Pemerintahan yang cocok di Indonesia ditambah lagi dengan sempat terjadi

kekosongan peraturan sebagai Rel yang membimbing Bangsa Indonesia untuk

mencapai Tujuan Negara.

4. Rel untuk mencapai Tujuan Negara telah ada melalui UU No. 17 Tahun 2007

tentang RJPN 2005-2025, sekarang tinggal bagaimana pelaksanaannya

melalui RJPM yang terbagi dalam 4 fase.

Page 18: Tinjauan Yuridis Tentang Terhambatnya Perwujudan Tujuan Negara Dari Segi Politik Hukum

18

Literatur

1. Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen 1 sampai 4

2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2007 Tentang

Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005 – 2025

3. http://fathulmuin19.wordpress.com/2009/03/07/benturan-antar-asas-

otonomi-daerah-dalam-uu-no-32-tahun-2004/

4. Analisa RPJPN 2005-2025 Kesesuaian visi, misi dan arah pembangunan nasional

Dengan pembukaan uud 1945

5. Dampak Perubahan UUD 1945 terhadap Pencapaian Tujuan Nasional

Prof. Dr. Sofian Effendi (2007)