Click here to load reader
Upload
kassa-anusirwan-karman
View
519
Download
2
Embed Size (px)
Citation preview
1
BAB I
PERMASALAHAN
A. Pengertian Tujuan Nasional
Sebagaimana yang telah kita ketahui bersama bahwa Negara Kesatuan Republik
Indonesia telah memasuki usia yang ke-64 Tahun. Di umurnya yang kesekian tersebut
tentu kita bertanya-tanya sudahkah tujuan Nasional yang dicita-citakan oleh para
Founding Fathers dan termaktub dalam Alinea Ke-4 Undang-Undang Dasar 1945
terwujud? Atau minimal sudah tercapai lima puluh persen saja dari apa yang dicita-
citakan.
Ternyata jawaban dari semua pertanyaan tersebut adalah belum, bahkan untuk
menyentuh angka lima puluh persen saja masih jauh panggang dari api. Untuk
mengetahui sebab terhambatnya pencapaian tujuan nasional Negara Indonesia sudah
barang tentu kita harus mengetahui apa-apa saja Tujuan Nasional dari Negara Republik
Indonesia. Berikut Uraiannya yang terdapat pada Alinea Keempat Undang-Undang Dasar
1945 :
1. Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.
2. Memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
3. Ikut melaksanakan ketertiban dunia.
Dari ketiga point di atas maka dapat kita simpulkan bahwa negara Indonesia melindungi
negara tanah air dan seluruh warga negara indonesia baik yang berada di dalam maupun
2
di luar negeri. Selain itu negara kita menginginkan situasi dan kondisi rakyat yang
bahagia, makmur, adil, sentosa, dan lain sebagainya. Di samping itu negara indonesia
turut berperan aktif dalam menjaga perdamaian dunia untuk kepentingan bersama serta
tunduk pada perserikatan bangsa-bangsa atau disingkat PBB.
B. Permasalahan
Untuk mencapai Tujuan Negara tersebut Penulis mencoba menganalisa apa saja
faktor penghambat terutama dari segi Tinjauan Yuridis, mengapa di umurnya yang ke-64
tahun ini Negara Indonesia belum dapat mewujudkan minimal lima puluh persen saja
dari apa yang dicita-citakan sejak Negara ini berdiri.
3
BAB II
PEMBAHASAN
A. Dampak Amandemen UUD 1945 terhadap Pencapaian Tujuan Nasional
Setelah MPR mengesahkan amandemen ketiga dan keempat UUD 1945, system
pemerintahan negara Indonesia berubah menjadi sistem presidensial. Perubahan tersebut
ditetapkan dengan Pasal 1 ayat (2) UUD baru. MPR tidak lagi merupakan perwujudan
dari rakyat dan bukan locus of power, lembaga pemegang kedaulatan negara tertinggi.
Pasal 6A ayat (1) menetapkan “Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan
secara langsung oleh rakyat”. Dua pasal tersebut menunjukkan karakteristik system
presidensial yang jelas berbeda dengan staats fundamental norm yang tercantum dalam
Pembukaan dan diuraikan lebih lanjut dalam Penjelasan UUD 1945.
Sistem presidensial tidak mengenal adanya lembaga pemegang supremasi
tertinggi. Kedaulatan negara dipisahkan (separation of power) ke 3 cabang yakni
legislatif, eksekutif dan yudikatif, yang secara ideal diformulasikan sebagai trias politica
oleh Montesquieu. Presiden dan wakil presiden dipilih langsung oleh rakyat untuk masa
kerja yang lamanya ditentukan oleh konstitusi. Konsentrasi kekuasaan berada pada
Presiden sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan. Dalam sistem presidensial
para menteri adalah pembantu-pembantu presiden yang diangkat dan bertanggungjawab
kepada Presiden.
Arsip AG-AK-P yang selama hampir 56 tahun hilang baru-baru ini diungkapkan
kembali oleh R.M. Ananda B. Kusuma, dosen Sejarah Ketatanegaraan Fakultas Hukum
4
U.I., dalam sebuah monograf berjudul “Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945” terbitan
Fakultas Hukum U.I. (2004). Kumpulan notulen otentik tersebut memberikan gambaran
bagaimana sesungguhnya sistem pemerintahan demokratis yang dicita-citakan para
perancang Konstitusi Indonesia.
Notulen rapat-rapat BPUPKI dan PPKI mulai pertengahan Mei sampai Juli 1945
memberikan gambaran betapa mendalam dan tinggi mutu diskusi para Bapak Bangsa
tentang sistem pemerintahan. Pada sidang-sidang tersebut, Prof. Soepomo, Mr. Maramis,
Bung Karno dan Bung Hatta mengajukan pertimbangan-pertimbangan filosofis dan hasil
kajian empiris untuk mendukung keyakinan mereka bahwa Trias Politica a la
Montesqieue bukanlah sistem pembagian kekuasaan yang paling cocok untuk
melaksanakan kedaulatan rakyat. Bahkan, Supomo-Iin dan Sukarno-Iin, Iin artinya
Anggota yang Terhormat, menganggap trias politica sudah kolot dan tidak dipraktekkan
lagi di negara Eropa Barat.
Pada rapat Panitia Hukum Dasar, bentukan BPUPKI, tanggal 11 Juli 1945 dicapai
kesepakatan bahwa Republik Indonesia tidak akan menggunakan sistem parlementer
seperti di Inggris karena merupakan penerapan dari pandangan individualisme. Sistem
tersebut dipandang tidak mengenal pemisahan kekuasaan secara tegas. Antara cabang
legisltatif dan eksekutif terdapat fusion of power karena kekuasaan eksekutif sebenarnya
adalah „bagian“ dari kekuasaan legislatif. Perdana Menteri dan para menteri sebagai
kabinet yang kolektif adalah anggota parlemen.
Sebaliknya, sistem Presidensial dipandang tidak cocok untuk Indonesia yang baru
merdeka karena sistem tersebut mempunyai tiga kelemahan. Pertama, sistem presidensial
mengandung resiko konflik berkepanjangan antara legislatif – eksekutif. Kedua, sangat
5
kaku karena presiden tidak dapat diturunkan sebelum masa jabatannya berahir. Ketiga,
cara pemilihan “winner takes all” seperti dipraktekkan di Amerika Serikat bertentangan
dengan semangat demokrasi.
Indonesia yang baru merdeka akan menggunakan „Sistem Sendiri“ sesuai usulan
Dr. Soekiman, anggota BPUPKI dari Yogyakarta dan Prof. Soepomo, Ketua Panitia
Kecil BPUPKI. Para ahli Indonesia menggunakan terminologi yang berbeda untuk
menamakan sistem khas Indonesia tersebut. Ismail Suny menyebutnya Sistem
Quasipresidensial, Padmo Wahono menamakannya Sistem Mandataris, dan Azhary
menamakannya Sistem MPR. Dalam klasifikasi Verney, sistem yang mengandung
karakteristik sistem presidensial dan parlementer disebut sistem semi-presidensial.
Sistim pemerintahan demokratis yang dirumuskan oleh para perancang UUD
1945 mengandung beberapa ciri sistem presidensial dan sistem parlementer. “Sistem
Sendiri” tersebut mengenal adanya pembagian kekuasaan (division of power) antara
legislatif dan eksekutif, karena masing-masing tidak boleh saling menjatuhkan, Presiden
adalah eksekutif tunggal yang memegang jabatan selama lima tahun dan dapat
diperpanjang kembali, serta para menteri adalah pembantu yang diangkat dan
bertanggungjawab kepada Presiden. Ini merupakan ciri sistem presidensial. Sistem
pemerintahan khas Indonesia juga mengandung karakteristik sistem parlementer. MPR
ditetapkan sebagai locus of power yang memegang supremasi kedaulatan Negara
tertinggi, seperti halnya Parlemen dalam sistem parlementer. Kedaulatan negara ada pada
rakyat dan dilaksanakan oleh MPR sebagai perwujudan seluruh rakyat. Pada masa-masa
awal negara Indonesia, para perancang memandang pemilihan Presiden dan Wakil
Presiden secara langsung masih belum dapat dilakukan mengingat tingkat pendidikan
6
masih rendah serta infrastruktur pemerintahan belum tersedia. Karena itu ditetapkan
Presiden dan Wakil Presiden dipilih secara tidak langsung oleh lembaga perwujudan
seluruh rakyat yaitu MPR.
Presiden yang menjalankan kekuasaan eksekutif adalah mandataris MPR,
sedangkan DPR adalah unsur dari MPR yang menjalankan kekuasaan legislative
(legislative councils). Presiden tidak dapat menjatuhkan DPR, sebaliknya DPR tidak
dapat menjatuhkan Presiden. Bersama-sama Presiden dan DPR menyusun undang-
undang.
Pada notulen rapat tanggal 11-15 Juli BPUPKI dan rapat PPKI tanggal 18
Agustus 1945 dapat kita ikuti perkembangan pemikiran tentang kedaulatan rakyat yang
dilaksanakan oleh Majelis Permusyawartan Rakyat sebagai penjelmaaan dari seluruh
rakyat Indonesia yang memiliki konfigurasi sosial, ekonomi dan geografis yang amat
kompleks. Karena itu MPR harus mencakup wakil-wakil rakyat yang dipilih, DPR,
wakil-wakil daerah, serta utusan-utusan golongan dalam masyarakat. Dengan kata lain,
MPR harus merupakan wadah multi-unsur, bukan lembaga bi-kameral.
Bentuk MPR sebagai majelis permusyawaratan-perwakilan dipandang lebih
sesuai dengan corak hidup kekeluargaan bangsa Indonesia dan lebih menjamin
pelaksanaan demokrasi politik dan ekonomi untuk terciptanya keadilan sosial, Bung
Hatta menyebutnya sebagai ciri demokrasi Indonesia. Dalam struktur pemerintahan
negara, MPR berkedudukan sebagai supreme power dan penyelenggara negara yang
tertinggi. DPR adalah bagian dari MPR yang berfungsi sebagai legislative councils atau
assembly. Presiden adalah yang menjalankan tugas MPR sebagai kekuasaan eksekutif
tertinggi, sebagai mandataris MPR.
7
Konfigurasi MPR sebagai pemegang kekuasaan tertinggi tersebut dipandang para
Bapak Bangsa sebagai ciri khas Indonesia dan dirumuskan setelah mempelajari
keunggulan dan kelemahan dari sistem-sistem yang ada. Sistem majelis yang tidak
bicameral dipilih karena dipandang lebih sesuai dengan budaya bangsa dan lebih
mewadahi fungsinya sebagai lembaga permusyawaratan perwakilan.
Karena Arsip AG-AK-P yang merupakan sumber otentik tentang system
pemerintahan negara baru saja terungkap, mungkin saja Panja MPR ketika mengadakan
amandemen UUD 1945, tidak memiliki referensi yang jelas tentang sistem pemerintahan
sebagaimana ditetapkan dalam UUD 1945. Kalau pemikiran para perancang konstitusi
tentang kaidah dasar dan sistem pemerintahan negara sebagaimana tercatat pada notulen
otentik tersebut dijadikan referensi, saya yakin bangsa Indonesia tidak akan melakukan
penyimpangan konstitusional untuk ketiga kalinya. Susunan pemerintahan negara yang
mewujudkan kedaulatan rakyat pada suatu Majelis Permusyawaratan Rakyat dalam
pandangan Bung Karno adalah satu-satunya sistem yang dapat menjamin terlaksananya
politiek economische democratie yang mampu mendatangkan kesejahteraan sosial.
Sebagai penjelmaan rakyat dan merupakan pemegaang supremasi kedaulatan,
MPR adalah penyelenggara pemerintahan negara tertinggi, “pemegang” kekuasaan
eksekutif dan legislatif. DPR adalah bagian dari MPR yang menjalankan kekuasaan
legislatif sedangkan Presiden adalah mandataris yang bertugas menjalankan kekuasaan
eksekutif. Bersama-sama, DPR dan Presiden menyusun undang-undang. DPR dan
Presiden tidak dapat saling menjatuhkan seperti pada sistem parlementer maupun
presidensial. Sistem semi-presidensial tersebut yang mengandung keunggulan system
8
parlementer dan sistem presidensial dipandang mampu menciptakan pemerintahan
Negara berasaskan kekeluargaan dengan stabilitas dan efektifitas yang tinggi.
Berbeda dengan pemikiran BPUPKI dan PPKI sebagai perancang konstitusi, para
perumus amandemen UUD 1945, karena tidak menggunakan sumber-sumber otentik,
serta merta menetapkan pemerintahan negara Indonesia adalah sistem presidensial.
Padahal pilihan para founding fathers tidak dilakukan secara gegabah, tetapi didukung
secara empiris oleh penelitian Riggs di 76 negara Dunia Ketiga, yang menyimpulkan
bahwa pelaksanaan sistem presidensial sering gagal karena konflik eksekutif – legislative
kemudian berkembang menjadi constitutional deadlock. Karenanya sistem presidensial
kurang dianjurkan untuk negara baru. Notulen otentik rapat BPUPKI dan PPKI
menunjukkan betapa teliti pertimbangan para Pendiri Negara dalam menetapkan system
pemerintahan negara. Pemahaman mereka terhadap berbagai sistem pemerintahan
ternyata sangat mendalam dan didukung oleh referensi yang luas, mencakup sebagian
besar negara-negara di dunia.
Para perancang konstitusi seperti Prof. Soepomo sudah mengingatkan kita semua,
untuk memahami konsitusi tidak cukup hanya dibaca dari yang tertulis pada pasal-
pasalnya, tapi harus diselami dan difahami jalan fikiran para perancangnya serta konteks
sejarah yang melingkunginya. Sejalan dengan itu Edwin Meese III mengingatkan, satu-
satunya cara yang legitimate untuk menafsirkan konstitusi adalah dengan memahami
keinginan yang sesungguhnya dari mereka yang merancang dan mengesahkan hukum
dasar tersebut. Nampaknya peringatan-peringatan tersebut diabaikan ketika amandemen
UUD 1945 dilakukan.
9
Hal ini menyebabkan perubahan system Negara menjadi Presidensial, yang baru
dapat dikatakan efektif apabila eksekutif dan legislative dikuasai mayoritas oleh Partai
yang sama, hal ini diharapkan terwujud pada fase kedua pemeintahan Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono (Dimana Partai Demokrat menguasai mayoritas Parlemen), namun
pada fase pertama dimana Presiden berasal dari partai minoritas maka system
Presidensial tidak akan terwujud yang ada malah kekacauan di pemerintahan (disiasati
dengan memilih menteri yang berasal dari partai-partai mayoritas yang duduk di
parlemen) sehingga tujuan Negara agak terabaikan. Hal ini pernah terjadi di Prancis dan
pada abad 21 ini oleh beberapa Negara Eropa Timur yang menggunakan system
pemerintahan Cohabition atau Sistem Pemerintahan Koalisi diamana jabatan Wakil
Presiden ditiadakan dan Kepala Pemerintahan dipegang oleh Perdana Menteri yang
dipilih oleh Parlemen (biasanya pimpinan partai mayoritas di lembaga tersebut). Sistem
ini diterapkan pada era Presiden De Gaulle dan Mitterand di Perancis sedang pada era
Chirac sudah semi Presidensial karena Presiden dan Perdana Menteri berasal dari Partai
yang sama.
B. Pengaruh Otonomi Daerah dalam Pencapaian Tujuan Negara
Pada fase reformasi terjadi dua kali perubahan dalam peraturan yang mengatur
otonomi daerah, yaitu UU No 22 1999 diubah dengan UU No 32 tahun 2004. Otonomi
daerah mengenal tiga asas yaitu :
1. Asas Dekonsentrasi
Indonesia sebagaimana tercantum dalam pasal 1 ayat 1 UUD 1945 dinyatakan
bahwa Indonesia adalah Negara kesatuan yang berbentuk republik dan sekaligus Bentuk
10
Negara kesatuan adalah bentuk negara yang bersifat final yang diharapkan oleh rakyat
Indonesia secara menyeluruh, disamping bentuk-bentuk Negara alternatif lain. Hal ini
diatur secara rigit dalam pasal 37 ayat 5 UUD 19451. Hubungan yang muncul dalam
Negara kesatuan adalah hubungan yang bersifat hirarkis-vertical antara pemerintah pusat
dengan pemerintah daerah baik propinsi maupun kabupaten/kota. Sehingga, otonomi
daerah yang yang dilaksanakan tidak boleh keluar dari pakem tersebut.
Agar tidak keluar dari pakem maka otonomi daerah menganut asas dekonsentrasi. Asas
Dekonsentrasi ini mengandung pengertian pelimpahan wewenang pemerintahan oleh
Pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal
di wilayah tertentu. Jadi gubernur adalah sebagai mandatris pemerintah pusat untuk
melaksanakan tugas-tugas dan fungsi-fungsi yang diberikan. Sehingga kekuasaan
memberikan dan mencabut tugas dan fungsi tetap berada dipemerintah pusat. Akan tetapi
kemudian asas ini menjadi tidak berfungsi karena terjadinya pembagian urusan yang
diatur kemudian dalam UU No 32 tahun 2004.
Pembagian urusan tersebut bisa dilihat dari bab III pasal 10 UU No 32 tahun 2004. klausa
yang ada dalam pasal 1 tersebut mengatakan bahwa Pemerintahan daerah
menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan
pemerintahan yang oleh Undang-Undang ini ditentukan menjadi urusan Pemerintah.
Kemudian pada pasal selanjutnya Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang
menjadi kewenangan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemerintahan daerah
menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan
pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan.
Dari klausa “Pemerintahan daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi
11
kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh Undang-Undang ini ditentukan
menjadi urusan Pemerintah”. Secara substansial klausa ini mengatakan bahwa
kewenangan yang dimiliki pemerintah pusat dan pemerintah daerah sudah diatur secara
jelas dan rigid. Pembagian tersebut memang terbukti demikian dengan meninjau pasal
selanjutnya maka akan terlihat betapa kewenangan pemerintah dan pemerintah daerah
menjadi sejajar dalam mengelelola daerah. Pasal 10 ayat 4 megatur kewenangan
pemerintah pusat tersebut sebagai berikut:
a. politik luar negeri;
b. pertahanan;
c. keamanan;
d. yustisi;
e. moneter dan fiskal nasional; dan
f. agama.
Dan kewenangan pemerintah diluar 6 poin tersebut dilaksanakan dengan,
menyelenggarakan sendiri sebagian urusan pemerintahan;
a. melimpahkan sebagian urusan pemerintahan kepada Gubernur selaku wakil
Pemerintah; atau
b. menugaskan sebagian urusan kepada pemerintahan daerah dan/atau
pemerintahan desa berdasarkan asas tugas pembantuan.
Sedangkan klausa yang mengatur mengenai kewenangan daerah diatur dalam
pasal 13 ayat 1 dan pasal 14 ayat 1 UU No 32 tahun 2004. Dari penjelasan diatas
susunan, komposisi peraturan menurut penulis bertentangan satu sama lain dengan asas
dekonsentrasi. Asas dekonsentrasi menyatakan bahwa keberadaan kewenangan berada
dipemerintah pusat kemudian kewengan tersebut didistribusikan keperintah daerah.
12
Sedangkan pada klausa-klausa aturan diatas tidak demikian adanya pengaturan-
pengaturan secara jelas hak dan wewenang baik pemerintah pusat maupun daerah
membuktikan bahwa keberadaan asas dekonsentrasi tidak bermakna, itu yang pertama.
Yang kedua, asas dekonsentrasi merupakan asas perekat bentuk negara kesatuan akan
tetapi akibat pembagian kewenangan tersebut akhirnya konsep kesatuan diciderai.
Karena, Pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dengan daerah secara ketat
merupakan sebuah konsep negara ferderal, dan ini sejak semula tidak diinginkan oleh
masyarakat indonesia..
2. Asas Desentralisasi
Asas desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah
kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam Sistem
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Asas ini memiliki semangat bahwa pemerintah
daerah dianggap mampu untuk melaksanakan pemerintahan sendiri, ini terbukti dari kata
penyerahan. Kata ini juga membuktikan bahwa kewenangan pemerintah pusat dan
pemerintah daerah harus dibagi karena daerah sudah dianggap mampu untuk
melaksanakan pemerintahan sendiri. Secara pengertian antara dekonsentrasi dan
desentralisasi seakan-akan tidak ada masalah akan tetapi apabila ditinjau lebih mendalam
kepada peraturan yang mengatur persoalan tersebut, maka akan terlihat betapa benturan
tersebut terjadi. Benturan tersebut berasal dari tujuan dasar keberadaan asas desentralisasi
dan dekonsentrasi. Asas desentralisasi lebih bermuatan federalistik sedangkan asas
dekonsentrasi lebih bermuatan keasatuan. Hal ini bisa dilihat dari pemebagian-pembagian
13
kewenangan yang ada dalam UU otonomi daerah lebih mendekati kepada prinsip
desentralisasi.
3.Asas Tugas Pembantu
Mengiringi kedua asas diatas terdapat satu asas lagi yaitu asas tugas pembantu.
Asas ini mengandung pengertian, adanya penugasan dari Pemerintah kepada daerah
dan/atau desa dari pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota dan/atau desa serta dari
pemerintah kabupaten/kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu. Asas ini
dalam UU 32 tahun 2004 ditempatkan pada pasal 10 ayat 5 poin c, dalam sebuah klausal
“menugaskan sebagian urusan kepada pemerintahan daerah dan/atau pemerintahan desa
berdasarkan asas tugas pembantuan”. Ketentuan ini dilaksanakan untuk mengatisipasi
pabila terjadi hal-hal yang tidak di inginkan dalam sebuah pemerintahan, sedangkan
penangananya harus segera dilaksanakan. keberadaan ketentuan ini sangat minim dalam
peratuaran, akan tetapi dibandingkan dengan asas desentralisasi, asas ini lebih dapat
diterima oleh prinsip pemrintahan daerah dalam negara kesatuan. karena asas ini tetap
menempatkan pemerintah pusat sebagai tolak ukur dalam sebuah kebijakan. Dan
pemerintah daerah merupakan subdivisi dari pemerintah pusat untuk melaksanakan
fungsi-fungsi dan kebijakan-kebijkan yang dibuat oleh pemerintah pusat.
Menurut Penulis ketiga asas tersebut menyebabkan daerah dapat menentukan arah
kebijakannya yang berkaitan erat dengan terwujudnya Tujuan Nasional, namun hal ini
tidak didukung oleh keadaan daerah yang mempunyai kondisi berbeda-beda sehingga
perwujudan dari tujuan Nasional tidak dapat tercapai secara utuh dan bersamaan,
dibutuhkan satu peraturan yang dapat membimbing arah pembangunan agar berjalan pada
14
rel dengan hasil akhir terwujudnya Tujuan Nasional yang merata di semua wilayah
Republik Indonesia. Bila melihat kebelakang maka di era orde lama dan orde baru
terutama di orde baru dimana Indonesia menganut system pemerintahan terpusat yang
segala kebijakan pembangunan berkiblat kepusat keadaan pembangunan hanya
terkonsentrasi di wilayah seputaran pusat pemerintahan yaitu Pulau Jawa dan hasil dari
daerah banyak yang tersedot ke Pusat sehingga pembangunan tidak merata.
Keadaan ini berlangsung cukup lama kurang lebih selama 32 tahun Orde Baru
berkuasa, namun perlu diingat bahwa Pembangunan terarah secara sistematis dikarenakan
adanya GBHN atau Garis-garis Besar Haluan Negara, tetapi sayangnya hanya banyak
terpusat di sekitar Pusat Kekuasaan di Pulau Jawa sehingga daerah-daerah lain
terlupakan.
C. Undang-Undang No 17 Tahun 2007 tentang RJPN 2005-2025 sebagai Elemen
Pendukung dalam Tercapainya Tujuan Nasional
RPJPN adalah dokumen perencanaan pembangunan nasional yang merupakan
jabaran dari tujuan dibentuknya Pemerintah Republik Indonesia yang tercantum dalam
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dalambentuk Visi, Misi dan Arah Pembangunan
Nasional untuk masa 20 tahun kedepan, yakni kurun waktu 2005 hingga 2025. Bertitik
tolak dari pengertian di atas maka Visi dan Misi RPJPN tersebut harus sejalan, selaras
dan seirama dengan amanat yang terkandung dalam pembukaan Undang-Undang Dasar
1945.
15
Disini akan dilakukan pengkajian terhadap Visi dan Misi RPJPN dan apakah telah
mencerminkan penjabaran dari pembukaan Undang-Undang 1945 yang merupakan cita-
cita, harapan dan tujuan para pendiri bangsa (founding fathers).
Disamping itu guna lebih memperjelas muatan yang terkandung dalam RPJPN
2005-2025 maka akan dibahas pula secara garis besar pengaruh penetapan visi dan misi
tersebut beserta tujuan dan sasaran pokok yang diambil bila ditinjau dari kaidah-kaidah
perencanaan dan prinsip-prinsip pembangunan yang dijalankan.
Undang-undang ini dibuat dengan menimbang bahwa perubahan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah mengakibatkan terjadinya perubahan
dalam pengelolaan pembangunan, yaitu dengan tidak dibuatnya lagi Garis-Garis Besar
Haluan Negara (GBHN) sebagai pedoman penyusunan rencana pembangunan nasional
karena terdapat kevakuman atau kekosongan dalam pembangunan daerah dikarenakan
tidak terarahnya pembangunan nasional, bahwa Indonesia memerlukan perencanaan
pembangunan jangka panjang sebagai arah dan prioritas pembangunan secara
menyeluruh yang akan dilakukan secara bertahap untuk mewujudkan masyarakat adil dan
makmur sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, bahwa Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004
tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional mengamanatkan Rencana
Pembangunan Jangka Panjang Nasional yang ditetapkan dengan Undang-undang.
Dalam Pasal 3 Undang-undang ini juga menyatakan RPJP Nasional merupakan
penjabaran dari tujuan dibentuknya Pemerintahan Negara Indonesia yang tercantum
dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yaitu
untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan
16
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban
dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan ocial dalam
bentuk rumusan visi, misi dan arah Pembangunan Nasional.
Untuk perwujudannya dituangkan dalam Empat periode Rencana Pembangunan
Jangka Menengah (RPJM) terdiri dari tahap pertama tahun 2005-2009, tahap kedua 2010
2014, tahap ketiga 2015-2019 dan tahap keempat 2020-2024. Adapun tahapan skala
prioritas utama dan strategi RPJM itu, meliputi RPJM ke-1, diarahkan untuk menata
kembali dan membangun Indonesia di segala bidang, yang ditujukan menciptakan
Indonesia aman dan damai, yang adil dan demokratis, dan yang tingkat kesejahteraan
rakyatnya meningkat.
RPJM ke-2, ditujukan untuk lebih memantapkan penataan kembali Indonesia di
segala bidang. Menekankan pada upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia,
termasuk pengembangan kemampuan ilmu pengetahuan serta penguatan daya saing
perekonomian.
RPJM ke-3 ditujukan untuk lebih memantapkan pembangunan secara menyeluruh
di berbagai bidang. Ini dilakukan dengan menekankan pencapaian daya saing kompetitif,
perekonomian berlandaskan keunggulan sumber daya alam, dan sumber daya manusia
berkualitas, serta kemampuan iptek yang terus meningkat.
Sedangkan RPJM ke-4, ditujukan untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang
mandiri, maju, adil dan makmur. Melalui percepatan pembangunan di berbagai bidang,
dengan menekankan terbangunnya struktur perekonomian yang kokoh, berlandaskan
keunggulan kompetitif di berbagai wilayah yang didukung oleh sumberdaya manusia
berkualitas dan berdaya saing.
17
BAB III
KESIMPULAN
A. Kesimpulan
Penulis berkesimpulan bahwa mengapa di umurnya yang sudah 64 tahun ini
Indonesia belum mencapai Tujuan Nasional (bahkan lima puluh persen saja belum)
adalah karena :
1. Selama Era Pemerintahan Orde Lama terjadi fluktuasi politik yang
menyebabkan tidak berjalan maksimal pembangunan untuk mencapai Tujuan
Negara, meskipun para Founding Fathers telah meletakkan dasar pada UUD
1945
2. Selama Era Pemerintahan Orde Baru, sudah terdapat rel untuk menuju
pencapaian Tujuan Negara yaitu GBHN, tetapi dalam pelaksanaannya banyak
terpusat di Pemerintahan Pusat sehingga Pembangunan Dearah agak
terabaikan menyebabkan Tujuan Negara tidak tercapai secara merata di
Indonesia.
3. Pada Era Reformasi sampai sekarang terjadi miss persepsi terhadap UUD
1945 sehingga diadakan Amandemen yang tidak sesuai dengan hakikat
Pemerintahan yang cocok di Indonesia ditambah lagi dengan sempat terjadi
kekosongan peraturan sebagai Rel yang membimbing Bangsa Indonesia untuk
mencapai Tujuan Negara.
4. Rel untuk mencapai Tujuan Negara telah ada melalui UU No. 17 Tahun 2007
tentang RJPN 2005-2025, sekarang tinggal bagaimana pelaksanaannya
melalui RJPM yang terbagi dalam 4 fase.
18
Literatur
1. Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen 1 sampai 4
2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2007 Tentang
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005 – 2025
3. http://fathulmuin19.wordpress.com/2009/03/07/benturan-antar-asas-
otonomi-daerah-dalam-uu-no-32-tahun-2004/
4. Analisa RPJPN 2005-2025 Kesesuaian visi, misi dan arah pembangunan nasional
Dengan pembukaan uud 1945
5. Dampak Perubahan UUD 1945 terhadap Pencapaian Tujuan Nasional
Prof. Dr. Sofian Effendi (2007)