43
i Tinjauan Teologis mengenai Pemahaman Umat Terhadap Inkulturasi dan Dampaknya di Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran Oleh: Ganesha Muharram Akbar 712014095 TUGAS AKHIR Diajukan kepada Fakultas Teologi untuk memenuhi persyaratan guna memperoleh gelar Sarjana Sains Teologi (S.Si. Teol) FAKULTAS TEOLOGI UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA 2019

Tinjauan Teologis mengenai Pemahaman Umat Terhadap

  • Upload
    others

  • View
    11

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Tinjauan Teologis mengenai Pemahaman Umat Terhadap

i

Tinjauan Teologis mengenai Pemahaman Umat Terhadap Inkulturasi dan

Dampaknya di Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran

Oleh:

Ganesha Muharram Akbar

712014095

TUGAS AKHIR

Diajukan kepada Fakultas Teologi untuk memenuhi persyaratan guna memperoleh

gelar Sarjana Sains Teologi (S.Si. Teol)

FAKULTAS TEOLOGI

UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA

SALATIGA

2019

Page 2: Tinjauan Teologis mengenai Pemahaman Umat Terhadap

ii

Page 3: Tinjauan Teologis mengenai Pemahaman Umat Terhadap

iii

Page 4: Tinjauan Teologis mengenai Pemahaman Umat Terhadap

iv

Page 5: Tinjauan Teologis mengenai Pemahaman Umat Terhadap

v

Page 6: Tinjauan Teologis mengenai Pemahaman Umat Terhadap

vi

KATA PENGANTAR

Pertama-tama izinkanlah penulis menghaturkan pujian dan syukur limpah

terima kasih kepada Tuhan Yesus yang senantiasa menjadi sumber kekuatan,

penghiburan kala duka, segala doa disandarkan dan disalurkan, yang senantiasa

penulis alami dan rasakan selama penulisan tugas akhir ini. Selesai dan

terselenggaranya tugas akhir ini bukan berasal dari kekuatan dan pikiran penulis

saja namun juga berasal daripada Dia yang selalu memberikan kekuatan dan terlibat

dalam setiap proses pengerjaan Tugas Akhir ini. Bagi Dia kemuliaan untuk selama-

lamanya.

Terselesaikannya tugas akhir ini juga tidak lepas dari pihak-pihak terkait

yang senantiasa memberikan dukungan moral dan spiritual, bimbingan dan arahan

kepada penulis sehingga menguatkan penulis dalam menyelesaikan tugas akhir ini.

Dalam hal ini ini penulis mengucapkan terima kasih kepada

• Kepada kedua orang tua yang terkasih, yang senantiasa memberikan

kasih sayang, dorongan serta gebrakan dan memberikan dukungan

doa serta spiritual kepada penulis untuk menyelesaikan tugas akhir

ini.

• Kepada segenap keluarga yang senantiasa memberikan kasih,

ketulusan serta dukungan dalam menyelesaikan tugas akhir ini.

• Kepada Pdt. Dr. Ebenhaezer I Nuban Timo, selaku pembimbing

tunggal penulis yang senantiasa memberikan bimbingan, arahan,

kritik, dan masukan kepada penulis untuk menyelesaikan tugas akhir

ini.

• Kepada Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran, yang menjadi

lokasi penelitian tugas akhir ini yang memberikan izin untuk

melakukan penelitian dan membantu mengarahkan penulis untuk

mencari responden.

• Kepada umat Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran yang

menjadi responden selama melakukan penelitian dan bersedia

memberikan waktu dan informasi untuk mencapai tujuan penelitian

penulis.

Page 7: Tinjauan Teologis mengenai Pemahaman Umat Terhadap

vii

• Kepada Fakultas Teologi UKSW, yang telah memberikan

kesempatan sebagai penulis untuk belajar dan menimba ilmu yang

berguna untuk masa depan penulis.

• Kepada Bapak Triyanto, pegawai Campus Ministry UKSW, yang

menjadi orang tua kedua penulis selama berkuliah di UKSW dan

senantiasa membimbing, memotivasi, dan memberikan dukungan

spiritual bagi penulis untuk penyeselesaian penyusunan Tugas Akhir.

• Michael, Rosario, Marco, Kak edo, Wira, Yehezkiel, dan Desfrian.

yang sudah menjadi sahabat dan keluarga bagi penulis, yang selalu

mendukung, menjadi penyemangat dan selalu menemani penulis

dalam suka maupun duka selama di tempat kos penulis.

• Bagas dan Jonathan, sahabat dan keluarga penulis yang senantiasa

menemani, mendukung, teman diskusi selama berkuliah di Fakultas

Teologi UKSW dan mitra sepelayanan dalam Campus Ministry

UKSW.

• Campus Ministry, yang telah menjadi wadah bagi penulis untuk

melayani dan mengembangkan karakter selama berkuliah di UKSW

serta menjadi rumah kedua bagi penulis.

Terselesaikannya tugas akhir ini bukan berarti tugas akhir ini tidak lepas

dari kekurangan. Penulis menyadari bahwa terdapat kekurangan dalam

penyusunan Tugas Akhir ini, oleh sebab itu kritik dan saran yang

membangun sangat penulis harapkan. Akhir kata, semoga Tugas Akhir ini

memberikan manfaat. Tuhan Yesus memberkati kita semua.

Semarang, 30 Agustus 2019

Ganesha Muharram Akbar

Page 8: Tinjauan Teologis mengenai Pemahaman Umat Terhadap

viii

DAFTAR ISI

Halaman Judul……………………………………………………………………………….i

Lembar Pengesahan…………………………………………………………………………ii

Pernyataan Tidak Plagiat…………………………………………………………………...iii

Pernyataan Persetujuan Akses……………………………………………………………...iv

Pernyataan Persetujuan Publikasi Tugas Akhir untuk Kepentingan Akademis……………v

Kata Pengantar……………………………………………………………………………...vi

Daftar Isi…………………………………………………………………………………...vii

Motto………………………………………………………………………………………...x

Abstrak……………………………………………………………………………………...xi

Latar Belakang ....................................................................................................................... 1

Rumusan Masalah .................................................................................................................. 4

Tujuan Penulisan .................................................................................................................... 4

Manfaat Penulisan .................................................................................................................. 4

Metodologi Penelitian ............................................................................................................ 5

Sistematika Penulisan ............................................................................................................ 5

Inkulturasi .............................................................................................................................. 6

Inkulturasi, Akulturasi, dan Enkulturasi ................................................................................ 8

Enkulturasi ......................................................................................................................... 8

Akulturasi ........................................................................................................................... 8

Inkulturasi, Enkulturasi, dan Akulturasi ............................................................................ 9

Dimensi Inkulturasi dari Peristiwa Inkarnasi ....................................................................... 10

Misteri Paskah dan Inkulturasi (A. Shorter) ........................................................................ 12

Tahapan-Tahapan Inkulturasi .............................................................................................. 15

Kristus dan Kebudayaan ...................................................................................................... 16

a. Kristus Lawan Kebudayaan ..................................................................................... 16

b. Kristus dari Kebudayaan .......................................................................................... 16

c. Kristus di atas Kebudayaan ...................................................................................... 17

d. Kristus dan Kebudayaan dalam Paradoks ................................................................ 17

e. Kristus Pengubah Kebudayaan ................................................................................ 17

Gambaran Umum Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran ............................................ 18

Sejarah Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran ............................................................. 18

Pemahaman umat terhadap Inkulturasi ................................................................................ 20

Page 9: Tinjauan Teologis mengenai Pemahaman Umat Terhadap

ix

Tanggapan Umat terhadap Inkulturasi di Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran ........ 21

Dampak Inkulturasi bagi Kehidupan Umat ......................................................................... 22

Analisis Pemahaman Umat Paroki Hati Kudus Yesus Ganjuran terhadap Inkulturasi dan

Dampaknya .......................................................................................................................... 24

Kesimpulan .......................................................................................................................... 28

Saran .................................................................................................................................... 28

Daftar Pustaka……………………………………………………………………………...30

Page 10: Tinjauan Teologis mengenai Pemahaman Umat Terhadap

x

Motto:

“Serahkanlah hidupmu kepada Tuhan dan percayalah kepada-nya,

dan Ia akan bertindak; Ia akan memunculkan kebenaranmu seperti

terang, dan hakmu seperti siang. Berdiam dirilah di hadapan Tuhan

dan nantikanlah Dia; jangan marah karena orang yang berhasil

dalam hidupnya, karena orang yang melakukan tipu daya.” (Mazmur

37: 5-7).

“Fate rarely calls upon us at a moment of our choosing.”- Optimus

Prime.

“Diam tanpa melakukan apa-apa, tidak akan merubah apapun.”-

Ultraman Geed.

Page 11: Tinjauan Teologis mengenai Pemahaman Umat Terhadap

xi

Abstrak

Tulisan ini membahas tentang pemahaman umat terhadap inkulturasi di Paroki Hati

Kudus Tuhan Yesus Ganjuran. Tujuan dari penulisan ini adalah untuk

mendeskripsikan pemahaman atau pandangan umat tentang inkulturasi. Selain itu

juga mendeskripsikan tanggapan umat terhadap inkulturasi di Paroki Hati Kudus

Tuhan Yesus Ganjuran. Penelitian dilakukan untuk mengukur bagaimana umat

memandang inkulturasi dan tanggapan umat terhadap inkulturasi di Paroki Hati

Kudus Tuhan Yesus Ganjuran. Penelitian ini diharapkan dapat digunakan kepada

Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran untuk melihat bagaimana umat

memandang dan menanggapi inkulturasi di Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus

Ganjuran. Data diperoleh dengan mendatangi langsung tempat penelitian dan

melakukan wawancara dengan umat di Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran.

Hasil Penelitian mendapatkan bahwa umat memahami inkulturasi sebagai

penyesuaian dan pengakaran Injil ke dalam suatu budaya setempat serta menanggapi

positif inkulturasi di Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran untuk membawa

umat menghayati pesan Injil dan iman Kristen serta memberikan dampak bagi

kehidupan umat.

Keyword: Inkulturasi, Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran

Page 12: Tinjauan Teologis mengenai Pemahaman Umat Terhadap

1

Latar Belakang

Pembicaraan tentang kaitan antara iman dan kebudayaan merupakan

pembicaraan yang selalu dibicarakan dalam kehidupan Gereja sebagai komunitas

kaum beriman. Pembicaraan itu berdasar karena pada dasarnya Gereja sebagai

tubuh Kristus yang hadir di dunia selalu berjumpa dengan kebudayaan di mana

Gereja itu diutus. Di tengah kenyataan tersebut, Gereja terdorong untuk menjawab

tantangan tentang bagaimana iman dan kebudayaan dapat bertemu dan selaras.

Salah satu upaya yang dilakukan Gereja untuk menyelaraskan iman dan

kebudayaan adalah melalui Inkulturasi.

Inkulturasi adalah istilah yang sekarang ini dibicarakan sebagai upaya yang

dilakukan Gereja untuk menyelaraskan antara iman dan kebudayaan. Istilah ini

digunakan oleh Gereja Katolik untuk menggambarkan upaya Gereja Katolik dalam

menghayati iman dan mencari keselarasannya dengan kebudayaan. Franz Magnis

Suseno bahkan menyatakan bahwa Inkulturasi adalah ciri khas Katolik. 1

Inkulturasi dipopulerkan sebagian besar oleh anggota Serikat Yesus.2 Menurut A.B

Sinaga, inkulturasi adalah sejenis penyesuaian dan adaptasi kepada masyarakat,

kelompok umat, kebiasaan, bahasa, dan perilaku yang biasa terdapat pada suatu

tempat3. Tujuan dari inkulturasi adalah mengakarkan iman-iman Kristen ke dalam

budaya setempat. Inkulturasi didasarkan pada inti iman Kristen itu sendiri yaitu

Inkarnasi Sabda Allah yang hadir ke dalam dunia dan menyapa manusia. Ketika

Sabda Allah menyapa manusia, Ia berinkulturasi dengan budaya manusia,

menggunakan bahasa manusia dan bukan bahasa langit atau bahasa surga, serta adat

dan istiadat, dalam mengekspresikan kebenaran dan cinta kasih Allah.4 Dengan

pendasaran itu kita bisa ambil kesimpulan bahwa proses Inkulturasi didasarkan

pada perjumpaan antara Kristus dan manusia sendiri.

Dalam proses inkulturasi, iman dan kebudayaan tidak dapat dipisahkan dan

saling berhubungan untuk mencapai kepenuhan proses dan tujuan dari inkulturasi.

1 Franz Magnis Suseno, Katolik itu Apa?: Sosok, Ajaran, dan Kesaksiannya (Yogyakarta: Penerbit PT Kanisius, 2017), 20. 2 Aylward Shorter, Toward a Theology of Inculturation, ( New York: Orbis Books, 1988), 10. 3 A.B Sinaga, Gereja dan Inkulturasi, (Yogyakarta: Penerbit PT Kanisius, 1984), hal. 8 4 Yunita Setyoningrum, “TINJAUAN INKULTURASI AGAMA KATOLIK DENGAN BUDAYA JAWA PADA BANGUNAN GEREJA KATOLIK DI MASA KOLONIAL BELANDA (STUDI KASUS : GEREJA HATI KUDUS YESUS, PUGERAN, YOGYAKARTA)”, Jurnal Ambiance 1, no. 1 (2009), 5-6.

Page 13: Tinjauan Teologis mengenai Pemahaman Umat Terhadap

2

Keduanya menyangkut dimensi paling dalam dan fundamental dalam hidup

manusia. Manusia memahami kebudayaan sebagai lingkup di mana mereka harus

hidup dan juga ukuran dalam hidup dan tingkah laku manusia. 5 Di dalam

kebudayaan, manusia belajar untuk memaknai hidup dan menjadi manusia

seutuhnya. Hal ini juga dijelaskan dalam Konsili Vatikan II Gaudium et Spes yang

menyatakan “ kebudayaan dimaksudkan segala sarana dan upaya manusia untuk

menyempurnakan dan mengembangkan pelbagai bakat-pembawaan-jiwa

raganya”. 6 Namun dalam prosesnya menjadi manusia sejati, manusia juga

menghayati relasinya dengan yang ilahi.7 Penghayatan manusia terkait relasinya

dengan yang ilahi itulah yang biasa disebut dengan iman. Dari penjelasan tersebut

dapat kita simpulkan bahwa hubungan antara iman dan kebudayaan terlihat sebagai

proses manusia menjadi seorang manusia yang sejati. Iman tidak dapat menemukan

implikasinya dalam kebudayaan. Pernyataan ini ditegaskan juga oleh Paus Yohanes

Paulus II yang menyatakan bahwa iman yang belum menjadi kebudayaan

merupakan iman yang belum menjadi kebudayaan dan dihidupi sepenuhnya.8

Gereja Katolik di Indonesia dalam dinamika hidup bergereja berusaha untuk

berinkulturisasi dengan budaya Indonesia. Hal ini ditunjukkan dengan di dalam

misa digunakanlah bahasa-bahasa daerah dan juga di beberapa gereja digunakanlah

musik-musik tradisional dalam liturgi. Semua itu merupakan bentuk Jawaban dari

tantangan umat Katolik di Indonesia terhadap hubungan iman dan kebudayaan.

Sehingga Gereja Katolik di Indonesia menjadi Gereja Katolik Indonesia. 9 Di

beberapa wilayah Indonesia proses inkulturisasi juga berlangsung di gereja-gereja

yang tersebar di wilayah Indonesia. Salah satu gereja lokal di Indonesia yang

merupakan contoh dari inkulturasi iman dan budaya adalah Paroki Hati Kudus

Tuhan Yesus Ganjuran. Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran adalah Gereja

5 Budiono Herusato, Simbolisme Jawa, (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2008), cetakan ke II, 10-11. 6 Konsili Vatikan II, Dokumen Konsili Vatikan II: Gaudium et Spes, terj. R. Hardawiryana, (Jakarta: Penerbit Obor, 2012), 594. 7 Yohanes Agung Hari Prastowo, Peranan Inkulturasi Budaya Jawa Terhadap Penghayatan Ekaristi di Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus GanjuranI. (Skripsi., Universitas Sanata Dharma, 2012), 1. 8 Anicetus B. Sinaga, Gereja dan Inkulturasi, (Yogyakarta: Penerbit PT Kanisius, Yogyakarta, 1984), 3. 9 Pernyataan ini sama seperti judul pada sampul buku Indonesianisasi: Dari Gereja Katolik di Indonesia Menjadi Gereja Katolik Indonesia karangan Dr. Huub J.W.M Boelaars, OFM Cap, (Yogyakarta: Kanisisus, 2005).

Page 14: Tinjauan Teologis mengenai Pemahaman Umat Terhadap

3

Katolik yang berada di naungan wilayah keuskupan agung Semarang. Gereja ini

terletak di dusun Ganjuran, desa Sumbermulyo, kecamatan Bambanglipuro, daerah

Bantul. Letak gereja ini berada sekitar 20 kilometer dari Yogyakarta. Gereja ini

dibangun pada tahun 1924 atas prakarsa dari keluarga Schutmazer. Banyak

wisatawan yang datang menganggap bahwa gereja ini berbeda dari gereja-gereja

umumnya. Hal itu dikarenakan nuansa Jawa yang kental di gereja ini. Nuansa Jawa

dalam gereja ini tidak lepas dari adanya proses inkulturasi yang terjadi di gereja

tersebut. Wujud inkulturisasi tersebut dapat dilihat dari beberapa segi. Pertama,

bentuk arsitektur dari gereja ini yang mengambil bentuk pendapa. Kedua, adanya

relief-relief dan arca-arca yang merupakan percampuran dari Injil dan budaya Jawa.

Ketiga, dan yang paling menarik adalah adanya candi yang berbentuk candi hindu

di salah satu pelataran di gereja ini. Candi ini yang menjadi tempat di mana para

peziarah dapat berdoa. Di dalam candi yang berada di gereja ini terdapat arca namun

bukan arca dewa-dewi hindu layaknya yang ada di candi-candi pada umumnya

melainkan arca Prabu Yesus yaitu gambaran Yesus Kristus dengan memakai atribut

budaya Jawa. Keempat, dalam merayakan Ekaristi di gereja ini, iringan musik

menggunakan alat musik tradisional Jawa gamelan, nyanyian-nyanyian yang

dikumandangkan di gereja ini juga menggunakan buku kidung adi Jawa sebagai

bentuk dari inkulturasi.10 Segala segi-segi yang dipaparkan tadi adalah buah dari

inkulturasi yang terjadi di gereja ini.

Proses inkulturisasi memang sangatlah baik bagi kehidupan bergereja

khususnya bagi Gereja Katolik di Indonesia. Dengan berinkulturasi gereja-Gereja

Katolik di Indonesia mencoba untuk menjadi gereja yang membudaya di Indonesia.

Namun tantangan atau ujian yang sesungguhnya dari proses inkulturisasi adalah

apakah Inkulturisasi itu memberikan makna bagi penghayatan umat. Tantangan dan

ujian ini juga menjadi pertanyaan Paus Yohanes Paulus II dalam anjuran Apostolik

paska sinodal di New Delhi tahun 1999.11 Pertanyaan dan tantangan inkulturasi ini

perlu untuk dipertimbangkan untuk mengetahui apakah segala upaya inkulturasi

10 Yohanes Agung Hari Prastowo,Peranan Inkulturasi Budaya Jawa Terhadap Penghayatan Ekaristi di Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus GanjuranI, ( Skripsi., Universitas Sanata Dharma, 2012), 17. 11 Paus Yohanes Paulus II, Gereja di Asia (Church in Asia) Anjuran Apostolik Pasca Sinodal, New Delhi, 6/11/1999, terj, R. Hardawiryana, SJ. (Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan Konferensi Waligereja Indonesia, 2010), 57.

Page 15: Tinjauan Teologis mengenai Pemahaman Umat Terhadap

4

tersebut memiliki makna serta dampak bagi iman terutama kepada umat beriman.

Hal ini bertujuan supaya segala upaya inkulturasi yang dilakukan oleh gereja

memberikan suatu makna di hati umat dan memberikan dampak agar penghayatan

iman mereka semakin bertumbuh. Pertanyaan tersebut juga bisa dipertanyakan

kepada Paroki Hati Kudus Yesus Ganjuran sebagai salah satu gereja yang

merupakan contoh inkulturasi Injil dan budaya Jawa. Apakah inkulturasi di gereja

ini benar-benar membangun pemahaman umat dan dengan begitu memberikan

dampak untuk penghayatan iman mereka atau tidak? Menimbang dari pertanyaan

tersebut maka penulis ingin melakukan penelitian tentang pemahaman dan dampak

inkulturisasi di Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran menurut umat.

Berdasarkan latar belakang tersebut penulis mengambil judul:

Tinjauan Teologis Mengenai Pemahaman Umat terhadap Inkulturasi dan

Dampaknya di Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran

Rumusan Masalah

Berdasarkan penjelasan dalam latar belakang maka, rumusan masalah penelitian ini

adalah:

1. Bagaimana pemahaman umat di Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran

tentang inkulturasi di gereja ini?

2. Apa dampak inkulturisasi di Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran

menurut umat?

Tujuan Penulisan

1. Mengetahui pandangan umat tentang Inkulturisasi di Paroki Hati Kudus

Yesus Ganjuran.

2. Mengetahui dampak inkulturasi di Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus

Ganjuran menurut umat.

Manfaat Penulisan

1. Teoritik: Untuk menambah dan melengkapi pengetahuan di Fakultas

Teologi Universitas Kristen Satya Wacana tentang inkulturasi.

Page 16: Tinjauan Teologis mengenai Pemahaman Umat Terhadap

5

2. Kepada pihak Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran: memberikan

gambaran tentang pemahaman umat tentang inkulturisasi serta mengetahui

dampak inkulturisasi menurut umat.

Metodologi Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan menggunakan dengan

jenis penelitian deskriptif. Metode kualitatif adalah metode penelitian yang

digunakan untuk meneliti pada kondisi obyek yang alamiah (sebagai lawannya

adalah eksperimen) di mana peneliti adalah instrumen kunci12. Penelitian deskriptif

bertujuan untuk mendeskripsikan sebab kejadian atau situasi sebagaimana

adanya.13 Adapun teknik pengumpulan data dilakukan dengan wawancara dengan

mendatangi langsung lokasi penelitian. Wawancara akan dilakukan kepada

beberapa umat Katolik di tempat ketika melakukan penelitian. Teknik wawancara

dilakukan dengan metode random purposive yaitu teknik pengambilan data dengan

tidak berdasarkan random, strata, atau daerah melainkan berdasarkan atas

pertimbangan yang berfokus pada tujuan tertentu14.

Sistematika Penulisan

Penulis akan membagi tulisan ini ke dalam lima bagian, yakni sebagai

berikut: bab I merupakan pendahuluan yang meliputi latar belakang, rumusan

masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metodologi penelitian, dan

sistematika penulisan. Bagian kedua adalah landasan teori yang membahas

mengenai definisi inkulturasi dengan menggunakan beberapa pandangan dari

beberapa tokoh yang memberikan definisi tentang Inkulturasi, dasar teologis dari

inkulturasi dengan memakai pandangan Aylward Shorter, tahap-tahap Inkulturasi,

serta teori hubungan Kristus dan kebudayaan oleh Richard Niebuhr. Bagian ketiga

adalah penelitian. Bagian keempat adalah analisa hasil penelitian tentang

pemahaman umat di paroki Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran terhadap inkulturasi

12 Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif, (Bandung: CV. Alfabeta, 2012), 1. 13 Deddy Mulyana, “Metodologi Penelitian Kualitatif “, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2001), 181. 14 Anwar Hidayat, “Penjelasan Teknik Purposive Sampling: Lengkap Detail.”, last modified 31 Juli 2017, diakses pada 4 September 2019, https://www.statistikian.com/2017/06/penjelasan-teknik-purposive-sampling.html

Page 17: Tinjauan Teologis mengenai Pemahaman Umat Terhadap

6

serta dampaknya bagi penghayatan iman mereka. Bagian kelima adalah penutup

yang meliputi kesimpulan dan saran.

Inkulturasi

Istilah inkulturasi sebenarnya adalah istilah yang baru dalam Gereja Katolik.

Istilah ini dipakai tahun 1973 oleh G.L Barney dalam bidang misiologi. Barney

mengatakan bahwa di tanah misi nilai-nilai Injil yang adibudaya dan mau

diwartakan kepada orang-orang setempat, haruslah diinkulturasikan ke dalam

budaya orang setempat sehingga menghasilkan budaya baru yang bersifat Kristen.15

Namun walaupun begitu Inkulturasi adalah proses yang telah lama dilakukan oleh

Gereja Katolik terutama di kalangan Serikat Jesuit.

Secara etimologi inkulturasi terdiri dari kata in dan cultura. In mengandung

makna masuk ke dalam. Sedangkan kata culture atau dalam bahasa latinnya adalah

kolere memiliki arti yang berarti mengolah tanah atau lebih lanjut mengandung arti

yaitu kebudayaan.16 Dari etimologi tersebut maka istilah inkulturasi berarti adalah

masuk ke dalam kebudayaan.

Menurut A.B Sinaga, inkulturasi memiliki arti yang sama dengan

penyesuaian, dan adaptasi kepada masyarakat, kelompok umat, kebiasaan, bahasa,

dan perilaku yang biasa terdapat pada suatu tempat.17 Definisi yang diberikan oleh

A.B Sinaga lebih mengarah ke dalam definisi dalam arti secara sosiologis. Menurut

A.B Sinaga, penyesuaian diperlukan agar Injil yang diwartakan dapat dimengerti

dan dipahami. Definisi dari A.B Sinaga juga memiliki kesamaan definisi inkulturasi

menurut A. Soenarja yang menyatakan bahwa Inkulturasi adalah “usaha masuk ke

dalam suatu kultur”, meresapi suatu kenudayaan dan menjadi senyawa dengan

suatu kultur.18

15 Boli Ujan SVD, “Penyesuaian dan Inkulturasi Liturgi”, last modified 6 Agustus 2010, diakses pada 7 Februari 2019 http://www.katolisitas.org/penyesuaian-dan-inkulturasi-liturgi/. 16 Lucia Esti Elihami, Sejarah Berdirinya Paroki Hati Kudus Yesus Ganjuran: Inkulturasi sebagai Landasan Tumbuh dan Berkembangnya Paroki Hati Kudus Yesus Ganjuran Yogyakarta (Skripsi, Universitas Sanata Dharma, 1995), 19. 17 A.B Sinaga, Gereja dan Inkulturasi, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1984), 8. 18 A. Soenarja, Inkulturisasi (Indonesianisasi): Kepemimpinan dan Kekeluargaan dalam Biara di Indonesia di masa sekarang, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1974), 5.

Page 18: Tinjauan Teologis mengenai Pemahaman Umat Terhadap

7

Definisi yang hampir sama dengan A.B Sinaga namun berbeda secara

perspektif dikemukakan oleh Fr Pedro Arrup SJ yang mendefinisikan inkulturasi

sebagai:

“The Incarnation of Christian life and of the Christian message in particular

context, in such a way that this experience not only finds expression through

elements proper to the culture in question but becomes a principle that animates,

directs and unifies the culture, transforming it and remakin it so as to bring about

a ‘ new creation’.19

Dari definisi yang diberikan oleh Fr Pedro Arrup SJ dapat disimpulkan

bahwa inkulturasi adalah penjelmaan pewartaan Kristen dalam budaya tertentu

secara dinamis dan kreatif. Proses dinamis dan kreatif antara Injil dan kebudayaan

tersebut membawanya kepada tujuan dan puncak dari proses inkulturasi yaitu

‘ciptaan baru’. Definisi pengertian inkulturasi yang diberikan oleh Fr Pedro Arrup

SJ memiliki kemiripan dengan definisi inkulturasi yang dipaparkan oleh Paus

Yohanes Paulus II. Menurut Paus Yohanes Paulus II, inkulturasi adalah inkarnasi

nilai-nilai Injil dalam pelbagai budaya yang otonom dan sekaligus memasukkan

budaya-budaya tersebut ke dalam kehidupan Gereja.20 Jadi menurut Paus Yohanes

Paulus II, inkulturasi adalah pemasukan budaya-budaya ke dalam kehidupan Gereja.

Dari etimologi dan definisi beberapa tokoh tentang inkulturasi yang telah

dipaparkan diatas dapat disimpulkan bahwa inkulturasi adalah sebuah proses

penyesuaian, penyelarasan atau penjelmaan Injil ke dalam suatu budaya tertentu.

Di Indonesia sendiri, Gereja Katolik di Indonesia melakukan inkulturasi ke dalam

budaya di Indonesia. Inkulturasi yang dilakukan Gereja Katolik di Indonesia dapat

dilihat dari dikembangkannya teologi yang sesuai dengan budaya di Indonesia dan

dalam liturgi di gereja-gereja lokal yang ada di Indonesia serta melalui simbol-

simbol budaya. Semua itu termasuk dalam sarana-sarana yang dipakai Gereja

Katolik Indonesia dalam proses berinkulturasi.

Tujuan dari inkulturasi yang dilakukan oleh Gereja Katolik adalah agar

pesan injil Kristus dapat langsung dimengerti dan aktif dihayati oleh umat karena

menggunakan bahasa-bahasa, simbol-simbol, aspek-aspek yang lain yang ada

19 Aylward Shorter, Toward a Theology of Inculturation, (New York: Orbis Books, 1988), 14. 20 Boli Ujan SVD, “Penyesuaian dan Inkulturasi Liturgi.”

Page 19: Tinjauan Teologis mengenai Pemahaman Umat Terhadap

8

dalam kebudayaan setempat. Di Indonesia, tujuan dari inkulturasi ini diperhatikan

agar umat semakin mudah dalam menghayati iman mereka.

Inkulturasi, Akulturasi, dan Enkulturasi

Inkulturasi dipahami sebagai proses penyesuaian, penyelarasan ke dalam

suatu budaya tertentu. Tetapi, dalam istilah sosiologis dan antropologis, terdapat

dua istilah yang memiliki persinggungan persamaan definisi dengan inkulturasi,

yaitu akulturasi dan enkulturasi. Apa yang membedakan inkulturasi dengan dua

istilah sosilogis tersebut?

Enkulturasi

Baik inkulturasi maupun enkulturasi sering dipahami sebagai dua istilah

yang sama. Namun menurut Aylward Shorter adalah baik untuk membedakan dua

istilah menurut konteksnya masing-masing, Enkulturasi untuk konteks sosiologis,

sedangkan inkulturasi untuk konteks teologis. Menurut Koentjaraningrat,

enkulturasi secara harafiah diartikan sebagai proses pembudayaan. Menurut Shorter,

enkulturasi didefinisikan sebagai proses belajar budaya dari individu, suatu proses

yang di mana seseorang dimasukkan atau diinisiasikan ke dalam budayanya.21 Dari

kedua definisi tersebut bisa diambil garis besar bahwa enkulturasi adalah proses

penginisiasian seseorang ke dalam suatu budaya. Tujuan dari enkulturasi adalah

mempelajari kebudayaan bukan mewarisi kebudayaan melalui proses belajar.

Proses belajar bisa dilakukan formal melalui pendidikan secara formal misalnya di

lembaga Pendidikan atau universitas, maupun secara informal melalui proses

belajar di masyarakat, atau melalui pengalaman.

Akulturasi

Menurut R.Refdield, R. Linton, dan M. Herskovits, akulturasi didefinisikan

sebagai sebuah fenomena yang dihasilkan ketika sekolompok atau beberapa

individu yang memiliki kebudayaan yang berbeda bertemu dalam suatu kontak

yang kontinu, dengan perubahan yang menyusul kemudian dalam pola kebudayaan

21 Suradi, “BENTUK KOMUNIKASI DALAM MENJALANKAN PROSES ENKULTURASI BUDAYA (Studi Pada Masyarakat Suku Dayak Kenyah di Desa Pampang, Kecamatan Samarinda Utara).”, eJournal Ilmu Komunikasi, no. 4 (2016):164, diakses April 11, 2019, https://ejournal.ilkom.fisip-unmul.ac.id/site/?p=2356.

Page 20: Tinjauan Teologis mengenai Pemahaman Umat Terhadap

9

yang asli dari salah satu kelompok atau dua kelompok tersebut.22 Secara sederhana

proses akulturasi terjadi apabila terjadi proses di mana dua kebudayaan bertemu,

lalu terdapat penerimaan dari nilai-nilai kebudayaan yang melakukan kontak, lalu

nilai baru tersebut dimasukkan ke dalam budaya lama.

Inkulturasi, Enkulturasi, dan Akulturasi

Dari definisi dari enkulturasi dan akulturasi yang telah dijelaskan jika

diperhatikan memiliki kemiripan definisi dengan inkulturasi. Enkulturasi

didefinisikan sebagai proses inisasi seseorang ke dalam suatu kebudayaan. Hal itu

juga sama dengan inkulturasi, inkulturasi dipahami sebagai penyisipan mendalam

ke dalam suatu kebudayaan. Jika dipahami seperti itu maka inkulturasi sama dengan

usaha inisiasi ke dalam suatu budaya atau lebih spesifik usaha Gereja untuk masuk

ke dalam budaya atau Gereja yang melakukan pembudayaan.

Hal yang sama juga bisa dilihat dan disandingkan antara pengertian

akulturasi dan inkulturasi. Baik akulturasi maupun inkulturasi secara proses

memiliki persamaan. Akulturasi pertama terjadi karena adanya kontak antara

budaya dengan budaya lain begitu juga dengan inkulturasi yang mungkin tidak akan

bisa dilakukan jika tidak pertama melakukan kontak terlebih dahulu. Ketika

bertemu terjadi proses yang kreatif dan dinamis dan menghasilkan suatu budaya

baru yang telah dielaborasikan dengan kebudayaan lama, hal tersebut juga sama

dengan inkulturasi. Menimbang dari persamaan tersebut, lantas apakah bisa

dikatakan bahwa inkulturasi yang dipahami selama ini dalam Gereja Katolik

sebenarnya hanya suatu ‘saingan’ dengan istilah sosiologis enkulturasi dan

akulturasi?

Menurut Schineller, inkulturasi merupakan gabungan dari rumusan

inkarnasi dalam teologi Gereja Katolik dengan rumusan antroplogis antara

enkulturasi dan akulturasi. Jadi menurut Schineller sebenarnya inkulturasi juga

memiliki padanan dengan kedua istilah antropologis tersebut. Akan tetapi

Schineller, juga melihat bahwa terdapat pergeseran makna dalam pemahaman

inkulturasi dalam Gereja Katolik. Enkulturasi dalam kajian antroplogi melibatkan

22 J.W.M Bakker, Filsafat Kebudayaan: Sebuah Pengantar (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1984), 115.

Page 21: Tinjauan Teologis mengenai Pemahaman Umat Terhadap

10

suatu kelompok budaya atau individu yang dimasukkan ke dalam sebuah kelompok

budaya dengan proses sosialisasi. Namun inkulturasi dalam pemahaman Gereja

Katolik, Gereja Katolik sebagai budaya yang dimasukkan tidak hadir dalam wujud

kosong/hampa, melainkan membawa nilai-nilai yang tidak dapat dihilangkan atau

diabaikan begitu saya. Sedangkan akulturasi mengacu pada kontak antara dua

budaya yang berbeda. Akan tetapi inkulturasi dalam pemahaman Gereja Katolik,

Gereja Katolik hadir bukan semata-mata sebagai ‘budaya lain yang mengakulturasi’

tapi merupakan misi khusus dalam kontak tersebut, yaitu pemasukan nilai-nilai

iman.23

Dimensi Inkulturasi dari Peristiwa Inkarnasi

Inkarnasi merupakan pusat dari iman Kristen. Inkarnasi adalah penjelmaan

Sabda Allah ke dalam wujud manusia. Inkarnasi sabda Allah yang datang ke dalam

dunia dan mengambil wujud manusia. Dalam melandaskan dasar teologis tentang

Inkulturasi, Gereja Katolik merefleksikan peristiwa inkarnasi sabda Allah ke dalam

dunia sebagai titik awal dari teologi Inkulturasi. Penggunaan analogi peristiwa

inkarnasi sebagai titik awal dari Inkulturasi digunakan dalam dokumen Konsili

Vatikan II Gaudium et Spes pasal 58 tentang hubungan antara warta gembira

tentang Kristus dan kebudayaan manusia.24

Inkarnasi sebagai dasar dari inkulturasi memiliki logikanya sendiri

sebagaimana dipahami dalam Gereja Katolik. Inkarnasi dipahami sebagai Allah

yang datang, menjelma, dan menyapa manusia lewat Yesus Kristus. Allah

menjelma menjadi manusia supaya Allah dapat merubah manusia yang jatuh ke

dalam dosa dan menyelamatkan dari dosa. Ketika Ia menjelma menjadi manusia, Ia

menghayati hidup manusia yang otentik, Ia berbicara dalam bahasa manusia, Ia

hidup dalam budaya manusia, bahkan Ia menggunakan budaya sebagai cara Ia

23 Yunita Setyoningrum, “TINJAUAN INKULTURASI AGAMA KATOLIK DENGAN BUDAYA JAWA PADA BANGUNAN GEREJA KATOLIK DI MASA KOLONIAL BELANDA (STUDI KASUS : GEREJA HATI KUDUS YESUS, PUGERAN, YOGYAKARTA): ANALYSIS OF CHRISTIAN INCULTURATION TO JAVANESE CULTURE ON CATHOLIC CHURCH BUILT ON THE DUTCH COLONIAL PERIOD (STUDI KASUS : THE CHURCH OF SACRED HEART, PUGERAN, YOGYAKARTA)”, Jurnal Ambiance 1, no. 1 (2009), 6. 24[ Ada bermacam-macam hubungan antara warta keselamatan dan kebudayaan. Sebab, Allah, yang mewahyukan diri-Nya sepenuhnya dalam Putra-Nya yang menjelma, telah bersabda menurut kebudayaan yang khas bagi pelbagai zaman…] R. Hardawiryana, diterjemahkan., Dokumen Konsili Vatikan II, (Jakarta: Penerbit OBOR, 2013, cetakan ke 12, 600.

Page 22: Tinjauan Teologis mengenai Pemahaman Umat Terhadap

11

mewartakan warta keselamatan Allah. 25 Pemahaman inkarnasi sebagai dasar

inkulturasi sebagaimana dipahami tadi menunjukkan dekatnya Allah dengan

manusia. Dalam kaitannya dengan budaya, inkarnasi menunjukkan bahwa Allah

menjelma ke dalam budaya dan memakai budaya untuk menyelamatkan dan

mengubah manusia yang jatuh ke dalam dosa. Implikasinya bagi gereja adalah sama

seperti Allah yang menjelma menjadi manusia, begitu juga Gereja harus

“berinkarnasi” dengan budaya di mana ia dipanggil dan diutus dan menjadi

senyawa dengan kultur-kultur lain dengan begitu pewartaan keselamatan yang

diwartakan gereja dapat menjadi bermakna dan hidup.26

Analogi inkarnasi yang digunakan sebagai dasar teologi inkulturasi

memiliki indikasi-indikasi. menurut Shorter, analogi Inkarnasi sebagai dasar dari

teologi inkulturasi, memiliki 3 indikasi. Pertama, mengindikasikan bahwa analogi

ini memenuhi tujuan dari Kristologi dari atas.27 Maksudnya adalah tujuan dari

inkulturasi disamakan dengan inkarnasi sabda Allah ke dalam tubuh manusia.

Sabda Allah berinkarnasi dan mengambil rupa manusia dan hidup di tengah-tengah

budaya. Kedua, analogi ini mengindikasikan bahwa Kristus membutuhkan budaya

untuk mewartakan Injil kerajaan Allah dan berbagi kehidupnnya dengan manusia.

Dengan kata lain, bahwa pelayanan Yesus yang membumi atau berkesan bagi

pendegarnya apabila dalam pelayananNya Yesus mengadopsi konsep budaya,

simbol, dan tingkah laku para pendengarnya. Ketiga, Pendidikan budaya yang

membumi dari Yesus, adopsiNya dari budaya manusia yang spesifik, menempatkan

Yesus ke dalam seluruh proses komunikasi antara budaya. Dengan mengadopsi

identitas budaya tertentu, Yesus menerima cara di mana budaya terpengaruh, dan

dipengaruhi oleh budaya lain.28 Maksud Shorter adalah Kristus juga terlibat ke

dalam komunikasi yang terjadi di dalam budaya. Implikasinya adalah seperti yang

25 Yunita Setyoningrum,”TINJAUAN INKULTURASI AGAMA KATOLIK DENGAN BUDAYA JAWA PADA BANGUNAN GEREJA KATOLIK DI MASA KOLONIAL BELANDA (STUDI KASUS : GEREJA HATI KUDUS YESUS, PUGERAN, YOGYAKARTA): ANALYSIS OF CHRISTIAN INCULTURATION TO JAVANESE CULTURE ON CATHOLIC CHURCH BUILT ON THE DUTCH COLONIAL PERIOD (STUDI KASUS : THE CHURCH OF SACRED HEART, PUGERAN, YOGYAKARTA)”, Jurnal Ambiance 1, no. 1 (2009), 5 26 A. Soenarja, Inkulturisasi (Indonesianisasi): Kepemimpinan dan Kekeluargaan dalam Biara di Indonesia di masa sekarang, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1974), 6. 27 Metode Kristologi yang mendekati dan menafsirkan Yesus Kristus sebagai sosok yang ilahi. Yusak B. Setyawan, Kristologi: Perkenalan, Pendalaman, dan Pergumulan (Bahan Kuliah dalam Progres), (Salatiga: Fakultas Teologi, Universitas Kristen Satya Wacana, 2015), 9. 28 Aylward Shorter, Toward a Theology of Inculturation, (New York: Orbis Books, 1988), 80.

Page 23: Tinjauan Teologis mengenai Pemahaman Umat Terhadap

12

telah dijelaskan Shorter bahwa Kristus terbawa dalam arus budaya di mana Ia

melaksanakan misiNya.

Walaupun istilah inkarnasi yang digunakan sebagai dasar dari teologi

inkulturasi memiliki indikasi-indikasi yang baik dan menarik sebagai dasar teologi

inkulturasi namun ada beberapa kekurangan dari istilah ini sebagai dasar dari

teologi inkulturasi. Pertama, Jika teologi Inkulturasi bertitik pangkal hanya dari

inkarnasi maka keseluruhan misteri Kristus dan kaitannya dengan kebudayaan tidak

diperhatikan. Dalam berinkulturasi, kita tidak boleh lupa untuk melibatkan

keseluruhan misteri Kristus yang meliputi inkarnasi, pengorbanan Kristus, dan

kebangkitanNya dalam kaitannya juga dengan kebudayaan. Hal ini juga

disampaikan oleh Frans Xavier Scheuerer yang menyatakan “untuk mendasarkan

inkulturasi hanya berpangkal pada misteri Inkarnasi tanpa menghubungkan kepada

keseluruhan misteri Kristus sangat tidak memadai”.29 Kedua, menurut Shorter,

Penggunaan Inkarnasi sebagai dasar dan model dari inkulturasi akan mendorong

pribadi seseorang untuk mengalah pada godaan kebudayaan.30Dengan memusatkan

diri pada enkulturasi yang dilakukan Yesus, kita mungkin akan lupa Yesus sendiri

menantang kultur yang Ia adopsi dan Dia menwarkan peninjauan radikal dari cara

di mana budayaNya mengerti saat itu.

Misteri Paskah dan Inkulturasi (A. Shorter)

Dalam usaha memahami dan mendasari Inkulturasi, Gereja harus juga

melihat keseluruhan misteri Kristus dalam kaitannya dengan budaya. Hal itu berarti

bahwa teologi inkulturasi yang selama ini hanya berlandaskan pada misteri

Inkarnasi belumlah cukup dalam mendasari usaha inkulturasi. Menurut Shorter,

gambaran inkulturasi yang lebih jelas dan akurat akan nampak apabila Misteri

Paskah digunakan sebagai analogi, daripada hanya dilandaskan pada peristiwa

inkarnasi.

Menurut Shorter, secara tujuannya, Misteri paskah dan inkarnasi tidak

terpisahkan. Inkarnasi mengambil bagian supaya kemanusiaan dapat diselamatkan

dan dibenarkan (1 Tim 2:4). Pekerjaan penyelamatan itu diselesaikan secara prinsip

29 Jose Pedro Angelico, Inculturation As Self Identification: An African in Research of Authentic Christian Identity. A Theological Enquiry Among The Ewe of Ghana (Diss., UNIVERSIDADE CATÓLICA PORTUGUESA, 2016), 18. 30 Aylward Shorther, Toward a Theology of Inculturation, 82.

Page 24: Tinjauan Teologis mengenai Pemahaman Umat Terhadap

13

melalui misteri paskah, pengurbanan penebusan Kristus di kayu salib dan

kebangkitanNya-Kenaikannya ke dalam kemuliaan sebagai Tuhan. Yesus mati,

seumpama semua manusia dipanggil untuk “mati”, tetapi kebangkitannya

memberikannya bentuk baru yang sepenuhnya dari eksistensi manusia.

Kebangkitan memungkinkan Kristus untuk melampaui batasan fisik

keduniawian yang dibatasi oleh waktu, ruang, dan budaya. Sebelum kebangkitan

Kristus, kontak antar budaya hanyalah tertentu dan terbatas. Setelah kebangkitan,

Kristus menjadi milik bagi setiap budaya pada waktu yang bersamaan. 31

Kebangkitan memungkinkan Kristus untuk secara eksplisit dikenal dengan budaya

di setiap waktu dan tempat, melalui proklamasi Injil kepada setiap bangsa.

Kebangkitan memungkinkan turunnys Roh Kudus untuk manusia dari berbagai

kebudayaan, dan peristiwa pentakosta adalah simbolisasi dari pernyataan ini, di

mana setiap orang dari berbagai bahasa dan budaya mendengarnya dan mengerti

satu bahasa dalam iman.32 Maka itu Peristiwa Paskah, secara intim berhubungan

dengan proses inkulturasi itu sendiri. Karena peristiwa kebangkitanlah, kita dapat

menjadi anggota tubuh Kristus.33

Terlepas dari hubungan kausal antara Misteri Paskah dan inkulturasi,

menurut Shorter, ada pertanyaan lebih lanjut dari penggunaan Misteri Paskah

sebagai analogi untuk Inkulturasi. Kristus mati dan bangkit lagi. Apakah itu berarti

bahwa setiap budaya harus mati dan bangkit kembali ketika dihadapkan dengan

kebangkitan Kristus?. 34 Proklamasi Injil tentang kebangkitan Kristus adalah

sebuah tantangan bagi tradisi manusia. Dengan kebangkitan Kristus, budaya diinjili

dan dibawa untuk bertobat atau berubah. Lalu apakah dengan begitu tetap saja Injil

mengatasi budaya? Atau apakah yang dimaksud Shorter bahwa dengan kebangkitan

budaya dibawa untuk bertobat atau berubah? Bertobat dan berubah dariapa? Shorter

menyatakan bahwa budaya tidak selamanya setia kepada nilai-nilai yang baik dan

paling benar. Artinya adalah di dalam budaya sendiri, terdapat nilai-nilai yang tidak

sesuai dengan nilai kemanusiaan. Budaya bisa saja destruktif dan berdosa.

Kebangkitan Kristus mengajak budaya untuk ‘mati’. Mereka harus ‘mati’ kepada

31 Aylward Shorter, Toward a Theology of Inculturation, 83. 32 Aylward Shorther, Toward a Theology of Inculturation, 83. 33 Aylward Shorter, Toward a Theology of Inculturation, 83. 34 Aylward Shorter, Toward a Theology of Inculturation, 83.

Page 25: Tinjauan Teologis mengenai Pemahaman Umat Terhadap

14

nilai-nilai dalam kebudayaan mereka yang tidak pantas bagi kemanusiaan, dan

semua yang merupakan konsekuensi dari kesalahan dan dosa sosial.35

Dari maksud kebangkitan Kristus menurut Shorter, menjadi jelas bahwa,

budaya dipanggil oleh Kristus untuk ‘mati’ untuk segala sesuatu yang bertentangan

dengan kemanusiaan. Kebangkitan Kristus tidak bermaksud untuk mengubah

kebudayaan, tetapi dengan kebangkitan Kristus, budaya dibersihkan dan dibawa

kepada ujian salib, tempat di mana nilai baru pada setiap aksi, setiap kejadian, setiap

kata atau pemikiran diangkat.36 Pernyataan Shorter ini hendak juga memberikan

suatu tujuan kepada Gereja dalam kaitannya dengan proses inkulturasi. Gereja

melakukan inkulturasi bukan berarti gereja hanya menyesuaikan diri dengan

budaya setempat. Di tempat dan budaya di mana Gereja hidup sebagai komunitas

kaum beriman, Gereja harus melihat dan peka kepada nilai-nilai dalam budaya yang

tidak sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan atau nilai dari Kristus sendiri dan

membawanya kepada ‘ciptaan’ baru.

Shorter menyatakan kembali bahwa penggunaan analogi Misteri Paskah

sebagai dasar Inkulturasi tidak boleh sampai kepada pandangan yang statis tentang

Inkulturasi. “Kristus bangkit dan tidak dapat lagi mati”. Menurut Shorter adalah

benar bahwa dalam misteri Paskah konflik antar manusia diselesaikan dan

kemuliaanNya kekal dan tidak berubah. Tetapi hal itu tidak untuk masa depan

evangilisasi atau dengan kata lain proses inkulturasi. Inkulturasi adalah proses

dinamika injil dan budaya yang terus berlangsung dan berlanjut.37 Proses dinamika

tersebut tidak bisa secara definitive selesai sampai akhir dari sejarah. Hal itu karena

budaya bukanlah suatu fenomena yang statis. Budaya adalah proses pengembangan

yang berkelanjutan dan berubah, saat ia bertindak dan bereaksi dalam komunikasi

yang terjadi di antara budaya. Dengan kata lain, Shorter mau menunjukkan bahwa

budaya bukanlah hal yang tetap tapi akan terus berubah sesuai dengan waktu dan

keadaan.

Jadi dari dasar teologis dari inkulturasi baik itu didasari dari peristiwa

inkranasi atau misteri Paskah tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Kedua analogi

itu mencakup dimensi kehadiran Kristus di dunia dan tujuannya hadir di tengah-

35 Aylward Shorter, Toward a Theology of Inculturation, 84. 36 Aylward Shorter, Toward a Theology of Inculturation, 84. 37 Aylward Shorter, Toward a Theology of Inculturation, 85.

Page 26: Tinjauan Teologis mengenai Pemahaman Umat Terhadap

15

tengah budaya. Keduanya juga saling melengkapi dan tidak bertentangan satu sama

lain. Kedua analogi itu juga memberikan dampak bagi dasar dari teologi dan praksis

inkulturisasi yang dipahami dan digiatkan Gereja.

Tahapan-Tahapan Inkulturasi

Menurut A.B Sinaga, inkulturasi Injil dalam budaya setempat mempunyai

tahap-tahap sebagai berikut. Tahap pertama yaitu, melakukan penyesuaian dan

adaptasi kepada masyarakat, kelompok umat, kelompok umat, kebiasaan, bahsa dan

perilaku yang biasa terdapat pada suatu tempat. Ini mengacu pada tahap pertama

ketika misionaris pertama kali datang ke suatu budaya. Pada tahap ini, Gereja

menyesuaikan diri dan melakukan adaptasi, serta belajar dengan budaya di mana Ia

hadir.

Tahap kedua, adalah yang disebut oleh A.B Sinaga sebagai ‘masa inkubasi’.

Pada tahap ini Injil yang ditaburkan dan diwartakan mulai jatuh dalam budaya dan

kebiasaan setempat. Pada tahap ini Injil mulai meragi, meresapi, dan bersenyawa

dengan kebudayaan setempat. Pada tahap ini Injil juga mulai untuk meneyentuh

hati dan jiwa pendengar, kemudian dihayati dan dijiwai. Inilah yang disebut sebagai

“incarnatio in actu secondo”. 38 Pada tahap ini juga hal-hal yang belum bisa

diperdamaikan dibiarkan dan ‘diragikan’ lebih dahulu.

Tahap ketiga, tahap ketiga ini akan tercapai apabila kesadaran akan Injil

seseorang mulai secara sengaja menata pola tindakan dan berprikirnya.39 Pada

tahap ini seseorang yang sadar dan dipengaruhi oleh Roh Kudus, mulai untuk

meninggalkan kebiasaan yang lama yang bertentangan dengan Injil. Hal-hal yang

kurang berpadanan dengan pesan Injil juga disingkirkan. Pada tahap ini

pengkhotbah dan pewarta bersama-sama dengan umat mencari ungkapan-ungkapan

yang lebih cocok dan lebih harmonis dan selaras dengan khazanah kebudayaan

setempat tetapi serentak lebih berwarna Kristen dalam mutu dan bobot.40

Tahap keempat, ialah secara sengaja dan mendalam menganalisa unsur-

unsur yang ada, baik yang berasal dari budaya lama dan diperbaharui maupun dari

khazanah permata-permata Injil, yang lebih bernas, untuk mengembangkan suatu

38 A.B Sinaga, Gereja dan Inkulturasi, 8. 39 A.B Sinaga, Gereja dan Inkulturasi, 8. 40 A.B Sinaga, Gereja dan Inkulturasi, 9.

Page 27: Tinjauan Teologis mengenai Pemahaman Umat Terhadap

16

teologi dan basis yang mantap untuk membangun keKristenan yang mantap dan

dewasa.41

Dari tahap-tahap inkulturasi yang dipaparkan oleh A.B Sinaga dapat

diambil kesimpulan bahwa persoalan Inkulturasi bukan hanya suatu

permasalahahan yang hanya dikerjakan oleh para teolog. Inkulturasi adalah proses

di mana antara teolog, pemimpin umat, dan umat itu sendiri bekerja supaya pesan

Injil yang mengakar dalam budaya itu benar-benar dihayati dan memberikan makna

sendiri bagi Gereja.

Kristus dan Kebudayaan

Sepanjang kehidupan Gereja, hubungan antara Gereja dengan kebudayaan

mendapat perhatian sejak awal Gereja bahkan terus dibahas sampai sekarang.

Menurut Richard Niebuhr setidaknya ada lima sikap keKristenan dalam

hubungannya dengan kebudayaan. Titik tolak dari kelima sikap itu dipusatkan

kepada Kristus yang adalah Anak Allah dan pusat dari iman Kristen.

a. Kristus Lawan Kebudayaan

Sikap pertama gereja yang dibahas oleh Richard Niebuhr adalah Kristus

melawan kebudayaan. Sikap gereja ini menentang kebudayaan, karena

kebudayaan merupakan realitas negatif yang berada di bawah kuasa jahat dan

didominasi oleh keinginan daging, dan kebanggaan diri.42 Kebudayaan juga

dianggap dalam sikap ini sebagai realitas yang bersifat temporal atau sementara.

Sifat-sifat dalam kebudayaan tersebut bertentangan dengan Kristus yang

bersifat kekal dan datang untuk menghancurkan pekerjaan Iblis. 43 Sifat ini

mewarnai kehidupan gereja pada awal gereja mula-mula44 dan tidak menutup

kemungkinan jika sikap ini masih juga mewarnai kehidupan gereja pada masa

sekarang ini.

b. Kristus dari Kebudayaan

Sikap kedua gereja yang dibahas oleh Niebuhr adalah Kristus dari

kebudayaan. Sikap gereja ini mengakomodasikan Kristus dengan kebudayaan.

Sikap ini memandang Kristus sebagai Mesias masyarakat, pemenuh harapan

41 A.B Sinaga, Gereja dan Inkulturasi, 9. 42 H. Richard Niebuhr, Christ and Culture, (New York: Harper Torchbooks, 1975), 48. 43 H. Richard Niebuhr, Christ and Culture, 48. 44 H. Richard Niebuhr, Christ and Culture, 45.

Page 28: Tinjauan Teologis mengenai Pemahaman Umat Terhadap

17

dan aspirasi oleh karena itu sikap ini mengganggap bahwa tidak ada penekanan

atau pembedaan yang besar antara gereja maupun kebudayaan.45 dalam sikap

ini kebudayaan ditafsir melalui Kristus, dengan menghormati elemen-elemen

yang penting yang sesuai dengan diri dan karyaNya. Di sisi lain Kristus

dipahami melalui kebudayaan, dengan memilih ajaran dan karya yang bisa

sesuai dan harmonis dengan system sosial dan kebudayaan mereka.46

c. Kristus di atas Kebudayaan

Sikap ketiga gereja yang dibahas oleh Niebuhr adalah Kristus di atas

kebudayaan. Sikap ini tidak mengambil posisi sikap anti terhadap budaya secara

radikal tetapi juga akomodator Kristus ke dalam kebudayaan.47 Permasalahan

utama bukan terletak antara Kristus dengan kebudayaan, tetapi permasalahan

yang penting adalah antara Tuhan dan manusia. Pandangan dari sikap ini tidak

memandang budaya sebagai sesuatu yang buruk sebab Kristus adalah yang

adalah Anak Allah pencipta langit dan bumi oleh karena itu budaya tetap

dianggap sebagai ciptaan yang baik dan benar yang dihadirkan Allah.48

d. Kristus dan Kebudayaan dalam Paradoks

Sikap keempat gereja yang dibahas oleh Niebuhr adalah Kristus dan

kebudayaan dalam paradoks. Gereja yang mengambil sikap ini berkeinginan

untuk mempertahankan kesetiaan mereka kepada Kristus dan di sisi lain ingin

mempertahankan tanggung Jawab terhadap budaya secara bersamaan. 49

Niebuhr memberikan julukan pada sikap ini sebagai dualis karena terdapat

paradoks antara kebenaran Allah dan kebenaran manusia. Manusia ada dalam

dosa, keberdosaan manusia tersebut masuk ke dalam pekerjaan manusia namun

di sisi lain terdapat anugerah pengampunan Allah terhadap dosa manusia.50

e. Kristus Pengubah Kebudayaan

Sikap kelima dari gereja yang dibahas oleh Niebuhr adalah Kristus

pengubah kebudayaan. Sikap ini memandang karya Yesus tidak hanya dilihat

sebagai aspek yang berada di luar manusia tetapi Kristus juga berkarya dengan

45 H. Richard Niebuhr, Christ and Culture, 83. 46 H. Richard Niebuhr, Christ and Culture, 83-84. 47 H. Richard Niebuhr, Christ and Culture, 117. 48 H. Richard Niebuhr, Christ and Culture, 117. 49 H. Richard Niebuhr, Christ and Culture, 149. 50 H. Richard Niebuhr, Christ and Culture, 117.

Page 29: Tinjauan Teologis mengenai Pemahaman Umat Terhadap

18

sesuatu yang mendalam dan fundamental dalam hidup manusia.51Karena telah

dibaharui oleh Kristus maka sikap ini menuntut Gereja atau keKristenan untuk

membawa pekerjaan budaya dalam kesetiaannya kepada Tuhan yang telah

mengubah dan membawa arah baru kepada hidup manusia.52

Gambaran Umum Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran

Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran merupakan Gereja Katolik yang

berada di bawah naungan keuskupan agung Semarang. Gereja yang umum dikenal

dengan sebutan Gereja Ganjuran ini terletak di dusun Ganjuran, desa Sumbermulyo,

kecamatan Bambang lipuro, Bantul. Gereja ini dikenal oleh umat Katolik, peziarah,

dan masyarakat umum sebagai tempat ibadah dan ziarah yang memiliki nuansa

Jawa. Nuansa Jawa itu terlihat dari bentuk arsitektur gereja yang mengambil konsep

pendopo yang ada di keraton Yogyakarta, selain itu terdapat juga ornament-

ornamen, relief-relief yang menggabungkan unsur-unsur keKristenan dengan

nuansa Jawa. Salah satu daya tarik di gereja ini adalah keberadaan candi yang

bernuansa Hindu-Jawa . Di dalam candi tersebut juga terdapat patung Yesus Kristus

dengan penggambaran sebagai seorang Prabu (raja Jawa). Selain itu musik yang

digunakan juga menggunakan alat musik Jawa. Nuansa Jawa yang ada di gereja ini

merupakan salah satu bentuk proses inkulturasi. Inkulturasi di gereja ini tidak

terlepas dari konteks historis yang mendahuluinya. Setiap harinya peziarah maupun

pengunjung datang ke tempat ini untuk melakukan ziarah atau untuk merasakan

suatu pengalaman yang berbeda dengan gereja-gereja pada umumnya,

Sejarah Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran

Sejarah awal dari paroki hati kudus Tuhan Yesus Ganjuran tidak terlepas

dari keberadaan pabrik gula dan perkebunan tebu di Ganjuran. Pemilik dari pabrik

gula ini awalnya adalah keluarga Barends dari Belanda yang datang pada tahun

1860. Sepeninggal bapak Stefanus Barends pada tahun 1887, usaha dilanjutkan oleh

Ferdinand Barends dan istri dari S. Barends, Ibu Wilhemina Kartaus menikah lagi

dengan Gottfried Schmutzer. Sepeninggal, ibu Wilhemina Kartaus pada tahun 1912,

51 H. Richard Niebuhr, Christ and Culture, 191. 52 H. Richard Niebuhr, Christ and Culture, 191.

Page 30: Tinjauan Teologis mengenai Pemahaman Umat Terhadap

19

usaha pabrik gula S.Barends dibeli dari dua anak dari perkawinan ibu Wilhemina

Kartaus dan Gottfried Schmutzer.53

Dalam menjalankan bisnis usaha perkebunan tebu dan pabrik gula di

Ganjuran, Schumutzer juga berkarya di bidang sosial, dan pengembangan iman.

Karya Schmutzer dalam bidang sosial dilakukan dengan membangun rumah sakit

bagi masyarakat sekitar serta mendirikan sekolah dasar untuk anak laki-laki dari

desa dan asrama untuk anak perempuan.54 Dalam bidang pengembangan iman,

Schmutzer mendirikan gereja kecil untuk karyawan dan masyarakat.,

Seiring berjalannya waktu gereja kecil yang dibangun Schmutzer tidak

mampu lagi menampung umat karena bertambahnya umat oleh karena itu

Schmutzer mengusahakan pendirian gedung permanen 55 Dalam membangun

gedung gereja, Schmutzer berkeinginan untuk membangun gedung gereja dengan

corak nuansa Jawa. Schmutzer ingin untuk menghidupi imannya dalam konteks di

mana mereka tinggal. Dasar inilah yang menjadi dasar pertama dari inkulturasi di

Gereja Ganjuran. Untuk melaksanakan niat tersebut ,Schmutzer meminta restu dari

Takhta Suci untuk membangun gereja dengan corak Jawa.56Namun pada saat itu

hanya patung altar Jawa dan patung Hati Kudus yang disetujui oleh Takhta Suci

sedangkan bentuk bangunan masih menggunakan gaya bangunan Belanda.

Pembangunan diselesaikan pada tahun 1924 dan altar diberkati pada tahun yang

sama dengan dihadiri Vicaris Apostolik Batavia, Mgr A. Van Velsen SJ.57

Pada tahun 1927, Schmutzer membangun sebuah candi. Candi tersebut

didirikan sebagai monument ungkapan syukur Schmutzer yang lolos dari krisis

keuangan yang melanda dunia. Maksud luhur dari pembangunan candi itu oleh

keluarga Schmutzer untuk mengingatkan peranan Kristus Raja di kalangan

53 Panitia 90 tahun Ganjuran, “Terpanggil Mengemban Berkat” (Ganjuran, Bantul; Gereja Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran, 2014), 28-29. 54 Panitia 90 tahun Ganjuran, “Terpanggil Mengemban Berkat”, 34-35. 55 Panitia 90 tahun Ganjuran, “Terpanggil Mengemban Berkat”, 39. 56 Gereja Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran, “Sejarah Gereja Ganjuran”, last modified 18 Juni 2019, diakses 31 Juli 2019, http://www.gerejaganjuran.org/gereja-ganjuran. 57 Panitia 90 tahun Ganjuran. “Terpanggil Mengemban Berkat”, 39-40.

Page 31: Tinjauan Teologis mengenai Pemahaman Umat Terhadap

20

perkebunan tebu di Ganjuran 58 Candi itu juga mempunyai maksud untuk

menyerahkan pulau Jawa kepada Hati Kudus Tuhan Yesus.59

Pada tahun 2006, gempa bumi melanda Yogyakarta dan meluluhlantahkan

Yogykarta. Efek dari gempa tersebut juga dirasakan oleh umat paroki Hati Kudus

Tuhan Yesus Ganjuran. Gedung gereja lama yang dibangun Schmutzer runtuh

namun candi hati kudus Tuhan Yesus tidak rusak akibat gempa. Walaupun begitu

umat tidak patah semangat, pada agustus 2006 di bangun gereja darurat beratapkan

daun kelapa di depan candi.60Pembangunan kembali gedung gereja dilakukan pada

tahun 2008 dan selesai pembangunan pada 31 Juli 2009 diberkati pada minggu 23

agustus 2009.61 Bentuk bangunan gereja yang baru berbentuk joglo pengrawit yang

terbuka melambangkan keterbukaan Allah kepada umatNya dan menjadi sebuah

ajakan agar Gereja membuka diri bagi siapa saja.62

Pemahaman umat terhadap Inkulturasi

Dalam melakukan penelitian, penulis mengambil sampel beberapa umat

yang berada di tempat ketika melakukan penelitian atau yang tinggal di sekitar

lokasi penelitian. Dari hasil wawancara terhadap beberapa informan, penulis

menemukan ada beberapa pandangan dari umat Gereja Ganjuran terhadap

inkulturasi. Responden pertama, memandang inkulturasi sebagai bentuk

penyesuaian dan pemasukan pesan-pesan injil ke dalam suatu budaya supaya pesan

Injil dan iman Kristen dapat mudah untuk dipahami dan dihayati. Responden

menambahkan bahwa usaha inkulturasi itu diprakarsai oleh keluarga Schmutzer

dari Belanda yang mempunyai pabrik gula (wilayah sekitar gereja) yang secara aktif

berkarya bagi kepentingan masyarakat sekitar dan juga concern terhadap

pengembangan injil di masyarakat Ganjuran. 63 Responden kedua, memandang

inkulturasi sebagai upaya pengakaran Injil ke dalam budaya setempat (budaya

Jawa). Inkulturasi di Gereja Ganjuran diprakarsai oleh Schmutzer yang cinta

58 Gereja Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran, “Sejarah Candi Ganjuran”, last modified 18 Juni 2019, diakses pada 31 Juli 2019, http://www.gerejaganjuran.org/candi-ganjuran. 59 Gereja Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran, “Sejarah Candi Ganjuran”, last modified 18 Juni 2019, diakses pada 31 Juli 2019, http://www.gerejaganjuran.org/candi-ganjuran. 60 Panitia 90 tahun Ganjuran, Terpanggil Mengemban Berkat, 74. 61 Panitia 90 tahun Ganjuran, Terpanggil Mengemban Berkat, 75-77. 62 Panitia 90 tahun Ganjuran, Terpanggil Mengemban Berkat, 78. 63 Responden D, wawancara, (Yogyakarta, Ganjuran: 26 Juli 2019).

Page 32: Tinjauan Teologis mengenai Pemahaman Umat Terhadap

21

dengan budaya Jawa yang berusaha untuk bagaimana menghayati iman dengan

berakar pada budaya setempat. 64 Responden ketiga, memandang inkulturasi

sebagai upaya untuk menyesuaikan diri dengan budaya setempat (budaya Jawa).65

Responden keempat memandang inkulturasi sebagai upaya untuk memahami

pewartaan Injil atau iman keKristenan dengan melihat unsur-unsur budaya setempat

supaya pewartaan Injil dan iman Kristen yang dilakukan gereja bukan sesuatu yang

asing dengan budaya setempat sehingga membantu untuk menghayati pesan

pewartaan iman.66 Responden kelima memandang inkulturasi sebagai pemasukan

budaya Jawa dalam liturgi misa. 67 Responden keenam memandang inkulturasi

sebagai cara penghayatan ibadah dengan memeasukkan unsur budaya Jawa. 68

Responden ketujuh memandang inkulturasi sebagai cara untuk meresapi iman

dengan memakai budaya setempat (budaya Jawa) sehingga penghayatan iman

semakin mantap. 69 Responden kedelapan memandang inkulturasi sebagai

pengangkatan budaya setempat dan diangkat ke dalam liturgi atau misa perayaan

Ekaristi. Responden juga menyatakan bahwa inkulturasi tidak ada dalam kamus-

kamus pada umumnya dan hanya ada dalam kamus Gereja.70

Tanggapan Umat terhadap Inkulturasi di Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus

Ganjuran

Penelitian yang dilakukan oleh penulis juga bermaksud untuk mengetahui

tanggapan responden terhadap inkulturasi di Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus

Ganjuran. Penulis kemudian menentukan dua pertanyaan untuk mengetahui

tanggapan atau respon dari responden, yaitu:

i) Apa tanggapan umat terhadap inkulturasi di Paroki Hati Kudus Tuhan

Yesus Ganjuran?

ii) Apakah inkulturasi di Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran

bertentangan dengan pesan Injil dan iman Kristen?

64 Responden T. wawancara, (Yogyakarta, Ganjuran: 26 Juli 2019). 65 Responden K, wawancara, (Yogyakarta, Ganjuran: 26 Juli 2019). 66 Responden A, wawancara, (Yogyakarta, Ganjuran: 26 Juli 2019). 67 Responden Ro, wawancara, (Yogykarta, Ganjuran: 26 Juli 2019). 68 Responden Ri, wawancara, (Yogykarta, Ganjuran: 26 Juli 2019). 69 Responden B, wawancara, (Yogykarta, Ganjuran: 27 Juli 2019). 70 Responden Bu, wawancara, (Yogakarta, Ganjuran: 27 Juli 2019).

Page 33: Tinjauan Teologis mengenai Pemahaman Umat Terhadap

22

Dari pertanyaan yang pertama, penulis menemukan bahwa tanggapan

responden terhadap inkulturasi di Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran adalah

positif. Ada tiga alasan yang diberikan oleh responden. Alasan pertama ialah

inkulturasi membantu responden untuk menghayati imannya di tengah budaya

mereka yang masih melekat sehingga penghayatan iman mereka dapat dihayati.71

Alasan kedua ialah responden melihat bahwa dengan inkulturasi mereka dapat

merasakan bahwa Kristus itu dekat dengan umat. 72 Ketiga, karena inkulturasi

membuat umat semakin menghayati makna misa Ekaristi.73

Dari pertanyaan kedua, penulis menemukan lima tanggapan umat terkait apakah

inkulturasi bertentangan dengan pesan Injil dan iman Kristen. Pertama, inkulturasi

di Gereja Ganjuran tidak bertentangan dengan iman Kristen selama inkulturasi yang

ada di Gereja Ganjuran tidak merusak pesan inti dari pewartaan injil dan iman

Kristen. 74 Kedua, inkulturasi yang ada di Gereja Ganjuran tidak bertentangan

dengan iman Kristen selama inkulturasi yang dilakukan tidak membawa umat

kepada praktik-praktik atau ritual-ritual negatif yang mengarah kepada

penyembahan berhala atau semacamnya.75 Ketiga, inkulturasi di Gereja Ganjuran

tidak bertentangan dengan iman Kristen dan membawa umat kepada penghayatan

yang mendalam terhadap misteri iman. Keempat, inkulturasi di Gereja Ganjuran

tidak bertentangan dengan iman Kristen selama inkulturasi tersebut tidak

menyimpang dari hakikat liturgi.76 Kelima, inkulturasi di Gereja Ganjuran tidak

bertentangan dengan pesan Injil dan iman Kristen karena setiap agama melekat

dengan simbol-simbol yang dipakai untuk membuat umat mampu menghayati nilai

dan makna suatu pesan.77

Dampak Inkulturasi bagi Kehidupan Umat

Dari penelitian terhadap para responden, penulis menemukan bahwa

inkulturasi di gereja ini memiliki dampak dan pengaruh bagi kehidupan umat.

71 Hasil Wawancara dengan responden, (Yogyakarta, Ganjuran: 26 s/d 27 Juli 2019). 72 Hasil wawancara dengan responden, (Yogyakarta, Ganjuran: 26 s/d 27 Juli 2019). 73 Hasil wawancara dnegan responden, (Yogyakarta, Ganjuran: 26 s/d 27 Juli 2019). 74 Hasil wawancara dengan responden, (Yogyakarta, Ganjuran: 26 s/d 27 Juli 2019). 75 Hasil wawancara dengan responden, (Yogyakarta, Ganjuran: 26 s/d 27 Juli 2019). 76 Hasil wawancara dengan responden, (Yogyakarta, Ganjuran: 26 s/d 27 Juli 2019). 77 Hasil wawancara dengan responden, (Yogyakarta, Ganjuran: 26 s/d 27 Juli 2019).

Page 34: Tinjauan Teologis mengenai Pemahaman Umat Terhadap

23

Responden pertama merasakan dampak atau pengaruh inkulturasi di Gereja

Ganjuran pada semangat untuk terus berdoa dan berdevosi. Responden melihat

bahwa umat yang berdoa dan berdevosi di Gereja Ganjuran benar-benar khusyuk

dalam berdoa dan berdevosi. Responden juga merasakan suatu pengalaman yang

berbeda ketika berdoa dan berdevosi di Gereja Ganjuran dibandingkan dengan

tempat lain. 78 Responden kedua merasakan pengaruh inkulturasi di Gereja

Ganjuran pada ibadatnya. Responden melihat bahwa walaupun misa berlangsung

cukup lama tetapi umat dapat begitu khusyuk dalam menghayati misa perayaan

ekaristi. 79 Responden ketiga merasakan dampak atau pengaruh inkulturasi di

Gereja Ganjuran dalam semangat untuk berdoa. Responden merasakan ada

perasaan damai dan tentram ketika berdoa dan membuatnya terdorong untuk terus

datang dan berdoa kepada Hati Kudus Yesus. Responden juga memberikan

pengalaman bahwa banyak doanya yang terkabulkan dan juga masalah dalam

kehidupannya dapat diselesaikan.80 Responden keempat merasakan dampak atau

pengaruh inkulturasi di Gereja Ganjuran di mana penghayatan iman dan pesan-

pesan injil mudah untuk dipahami dan dirasakan.81 Menurut responden kelima,

inkulturasi di Gereja Ganjuran memberikan ketenangan ketika menghayati makna

ibadah, berdoa, atau berdevosi,82 bahkan responden memberikan pengalaman ada

banyak permohonan yang dikabulkan. Responden keenam memiliki kesamaan

dengan responden kelima, di mana merasakan ketenangan batin ketika berdoa dan

berdevosi, dan mendorongnya untuk semakin belajar untuk menghayati pesan injil

dan iman keKristenan.83 Responden ketujuh merasakan dampak atau pengaruh

inkulturasi dalam menghayati misa dan perayaan ekaristi di mana responden dapat

merasakan kedamaian dan ketenangan terutama ketika beribadah dan berdoa.84

Responden kedelapan tidak memberikan apa dampak dan pengaruh inkulturasi bagi

kehidupan umat.

78 Responden D, Wawancara, (Yogyakarta, Ganjuran: 26 Juli 2019). 79 Responden T, Wawancara, (Yogyakarta, Ganjuran: 26 Juli 2019). 80 Responden K, Wawancara, (Yogyakarta, Ganjuran: 26 Juli 2019). 81 Responden A, Wawancara, (Yogyakarta: Ganjuran: 26 Juli 2019). 82 Responden Ro, Wawancara, (Yogyakarta, Ganjuran: 26 Juli 2019). 83 Responden Ri, Wawancara, (Yogyakarta, Ganjuran: 26 Juli 2019). 84 Responden B, Wawancara, (Yogyakarta, Ganjuran: 26 Juli 2019).

Page 35: Tinjauan Teologis mengenai Pemahaman Umat Terhadap

24

Analisis Pemahaman Umat Paroki Hati Kudus Yesus Ganjuran terhadap

Inkulturasi dan Dampaknya

Berdasarkan pada hasil temuan yang diperoleh di lapangan, penulis

menemukan bahwa umat paroki Hati Kudus Yesus Ganjuran memiliki pemahaman

atau pandangan terhadap inkulturasi. Umat memandang bahwa inkulturasi

merupakan suatu upaya untuk menyesuaikan dan mengakarkan pesan-pesan Injil

ke dalam suatu budaya setempat sehingga pewartaan Injil bisa diterima dan dihayati

secara mendalam dan menumbuhkan pengalaman iman umat. Pandangan umat

terhadap inkulturasi ini sesuai dengan definisi A.B Sinaga dan A. Soenarja. A.B

Sinaga dan A. B Sinaga memandang dan memberikan definisi inkulturasi sebagai

penyesuaian dan adaptasi kepada suatu masyarakat tertentu sehingga Injil yang

diwartakan dapat dimengerti dan dipahami.85 A. Soenarja juga memberikan definisi

yang sama seperti A.B Sinaga bahwa inkulturasi adalah usaha untuk masuk ke

dalam suatu kultur, dan menjadi senyawa dengan suatu kultur.86 Usaha inkulturasi

digiatkan dalam Gereja Katolik sehingga pesan Injil yang diwartakan gereja dapat

membawa umat untuk menghayati pesan Injil dan menghidupinya.

Dari pandangan umat terhadap Inkulturasi, penulis menemukan kesimpulan

bahwa inkulturasi menurut pandangan umat Gereja Ganjuran.87didasarkan pada

analogi misteri inkarnasi Allah yaitu penjelmaan Sabda Allah ke dalam dunia. Hal

ini karena umat memandang dan memahami inkulturasi sebagai sebagai upaya

untuk menyesuaikan dan mengakarkan Injil ke dalam suatu budaya. Peristiwa

Inkarnasi dipahami sebagai Allah yang datang, menjelma, dan menyapa manusia.

Ketika Allah menjelma menjadi manusia, Ia menghidupi hidup manusia, Ia

berbicara dalam bahasa manusia, Ia hidup dalam budaya manusia dan

menggunakan budaya sebagai cara Allah mewartakan keselamatan Allah.88 Dalam

teologi Konsili Vatikan II penggunaan inkulturasi digunakan sebagai dasar awal

85 A.B Sinaga, “Gereja dan Inkulturasi”, 8. 86 A. Soenarja, “Inkulturisasi (Indonesianisasi): Kepemimpinan dan Kekeluargaan dalam Biara di Indonesia di masa sekarang “, 5. 87 Untuk selanjutnya penulis akan menggunakan istilah Gereja Ganjuran 88 Yunita Setyoningrum, “TINJAUAN INKULTURASI AGAMA KATOLIK DENGAN BUDAYA JAWA PADA BANGUNAN GEREJA KATOLIK DI MASA KOLONIAL BELANDA (STUDI KASUS: GEREJA HATI KUDUS YESUS, PUGERAN, YOGYAKARTA): ANALYSIS OF CHRISTIAN INCULTURATION TO JAVANESE CULTURE ON CATHOLIC CHURCH BUILT ON THE DUTCH COLONIAL PERIOD (STUDI KASUS : THE CHURCH OF SACRED HEART, PUGERAN, YOGYAKARTA)”, Jurnal Ambiance 1, no. 1, 5.

Page 36: Tinjauan Teologis mengenai Pemahaman Umat Terhadap

25

dalam inkulturasi. Implikasi dari penggunaan analogi inkarnasi dalam upaya

inkulturasi bagi Gereja adalah Gereja harus “berinkarnasi” dengan budaya di mana

Ia dipanggil dan diutus dan menjadi senyawa dengan kultur sehingga pewartaan

keselamatan yang diwartakan gereja dapat menjadi bermakna dan hidup. 89

Beberapa umat juga menjelaskan hal yang sama, mereka memandang bahwa upaya

inkulturasi dilakukan untuk menyesuaikan dengan kebudayaan setempat.

Terkait tanggapan umat terhadap inkulturasi di Gereja Ganjuran dan

tanggapan mereka terhadap apakah inkulturasi yang dilakukan di Gereja Ganjuran

bertentangan dengan iman kekistenan, penulis menemukan bahwa respon umat

terhadap inkulturasi bernilai positif karena dengan upaya inkulturasi membantu

umat menghayati pesan Injil dan membantu mereka untuk menghayati ibadah.

Terkait apakah inkulturasi di Gereja Ganjuran bertentangan dengan iman Kristen,

penulis menemukan dua respon utama. Pertama, umat memandang bahwa

inkulturasi di Gereja Ganjuran tidak bertentangan dengan iman Kristen dan

memandang ketika umat menggunakan budaya mereka (budaya Jawa) umat

semakin di bawa untuk menghidupi panggilan iman mereka. Umat juga

memandang bahwa dengan menggambarkan Kristus dengan penggambaran budaya

Jawa merasakan bahwa Kristus itu yang hadir dan dekat dengan umat yang masih

lekat dengan budaya Jawa mereka. Kedua, umat memandang inkulturasi di Gereja

Ganjuran tidak saling bertentangan akan tetapi walaupun umat menanggapi bahwa

inkulturasi tersebut tidak bertentangan dengan iman Kristen namun mereka

berpendapat bahwa jangan sampai inkulturasi yang dilakukan di Gereja Ganjuran

membawa umat kepada praktik-praktik negatif atau berhala yang akan merusak

maksud dari inkulturasi itu sendiri dan juga menggeser nilai-nilai iman Kristen.

Bila ditinjau dari teori hubungan Kristus dengan kebudayaan yang

dijelaskan oleh R. Niebuhr, penulis berkesimpulan bahwa dari dua sikap atau

respon utama umat Gereja Ganjuran terhadap inkulturasi dan hubungan antara iman

dengan kebudayaan adalah Kristus dari kebudayaan dan Kristus dan kebudayaan

dalam paradoks. Sikap pertama adalah Kristus dari kebudayaan. Menurut Niebuhr,

Gereja yang mengambil sikap ini mengakomodasikan Kristus dan kebudayaan.90

89 A. Soenarja, Inkulturisasi (Indonesianisasi): Kepemimpinan dan Kekeluargaan dalam Biara di Indonesia di masa sekarang, 6. 90 H. Richard Niebuhr, “Christ and Culture”, ( New Yorks: Harper Torchbooks, 1975), 83-84.

Page 37: Tinjauan Teologis mengenai Pemahaman Umat Terhadap

26

Pada sikap Gereja ini, Kristus dipahami melalui kebudayaan. Umat di Gereja

Ganjuran yang melekat dengan kebudayaan Jawanya dapat meresapi dan

menghayati pesan Injil melalui budaya mereka dan dengan begitu mereka dapat

menghidupi iman mereka melalui kebudayaan mereka. Sikap utama kedua dari

umat Gereja Ganjuran terhadap inkulturasi di Gereja Ganjuran dan tanggapan

mereka terhadap apakah inkulturasi itu bertentangan dengan iman Kristen, adalah

Kristus dan budaya dalam paradoks. Pada sikap ini, Gereja berkeinginan untuk

mempertahankan kesetiaan mereka kepada Kristus tetapi di sisi lain ingin

mempertahankan tanggung Jawab mereka terhadap budaya mereka secara

bersamaan.91 Niebuhr melihat adanya suatu paradoks. Tanggapan umat terhadap

inkulturasi memang bermakna positif karena dengan dapat memahami dan

menghayati pesan Injil dengan menggunakan budaya mereka (budaya Jawa).

Namun di sisi lain mereka juga melihat adanya suatu implikasi lain dari inkulturasi

di Gereja Ganjuran yang bisa bernilai negatif yang akan membawa umat kepada

suatu pemaknaan atau praktik-praktik yang menyimpang dari tujuan inkulturasi dan

inti iman Kristen itu sendiri.

Terkait dampak atau pengaruh inkulturasi bagi kehidupan umat, penulis

menemukan bahwa umat memberikan pengalaman akan dampak atau pengaruh

inkulturasi bagi kehidupan mereka namun kebanyakan umat/responden merasakan

dampak atau pengaruh inkulturasi tersebut dalam dua hal. Pertama, dalam liturgi

dan menghayati makna misa perayaan ekaristi. Ketika umat merayakan misa,

banyak umat yang secara khusyuk mendalami perayaan ekaristi walaupun misa

berlangsung hingga memakan waktu yang lama. Untuk masuk mengapa

kebanyakan umat merasakan dampak inkulturasi pertama dalam liturgi misa

Ekaristi perlu ditinjau terlebih dahulu hakikat liturgi. Penulis mengambil

pandangan dari Konsili Vatikan II. Menurut konsili Vatikan II, Kristus selalu

mendampingi GerejaNya terutama dalam kegiatan-kegiatan liturgis, Ia hadir dalam

rupa Ekaristi selain itu adalah puncak dan sumber kehidupan Gereja karena “liturgi

terutama dari Ekaristi, bagaikan dari sumber, mengalirlah rahmat kepada kita dan

dengan hasil guna yang amat besar diperoleh pengudusan manusia dan pemuliaan

91 H. Richard Niebuhr, “Christ and Culture”, 149.

Page 38: Tinjauan Teologis mengenai Pemahaman Umat Terhadap

27

Allah dalam Kristus, tujuan semua karya Gereja lainnya.”92 Menurut penulis, alasan

mengapa kebanyakan umat merasakan dampak atau pengaruh dari Inkulturasi dari

misa Ekaristi karena dalam perayaan Ekaristi, umat diajak untuk menghayati

kehadiran Kristus dalam ekaristi. Ekaristi berarti Kristus hadir, serta tinggal di

tengah umat-Nya.93 Ketika umat masuk kekhusyukan ke dalam kekhusyukan misa

Ekaristi, umat dibawa untuk menghayati kehadiran Kristus di tengah-tengah

umatNya. Inkulturasi membuat umat yang masih melekat dengan budaya Jawa

dapat merasakan makna Ekaristi dengan khidmat dan penghayatan penuh. Dampak

kedua dari inkulturasi di Gereja Ganjuran terlihat dari semangat untuk terus berdoa

dan berdevosi kepada Hati Kudus Yesus. Umat merasakan adanya rasa damai dan

tentram ketika berdoa dan berdevosi kepada Hati Kudus Yesus. Inkulturasi itu

mampu mendorong umat untuk terus mengobarkan semangatnya untuk berdoa dan

berdevosi sehingga banyak umat yang penulis tanyakan memberikan pengalaman

di mana banyak doanya yang terkabulkan. Dari tanggapan umat, penulis

menyimpulkan bahwa inkulturasi di Gereja Ganjuran memberikan dampak atau

pengaruh dalam kehidupan umat. Hal itu sesuai dengan tujuan dari inkulturasi itu

sendiri yaitu untuk membawa umat untuk menghayati iman mereka dengan budaya

mereka. Penulis juga menyimpulkan bahwa inkulturasi tidak hanya membawa

umat untuk menghayati pesan injil dengan budaya mereka tetapi juga mendorong

spiritual mereka untuk menghidupi pengalaman iman mereka dalam berdoa dan

berdevosi.

Dari penelitian yang penulis lakukan, penulis melihat bahwa dengan

inkulturasi di Gereja Ganjuran, membuat umat makin mampu untuk menghayati

pesan Injil dan iman.. Tetapi menurut penulis ada tantangan yang harus dihadapi

Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran terkait dengan inkulturasi di gereja ini.

Penulis melihat tantangan itu adalah zaman yang akan terus berganti, dan generasi

yang akan terus berganti, pemaknaan pun juga akan berganti, Apakah di kemudian

hari umat di masa depan dapat memaknai inkulturasi di gereja ini atau tidak.94 Ini

92 Konsili Vatikan II, diterjemahkan, “Dokumen Konsili Vatikan II”, (Jakarta: Penerbit OBOR, 2013), 5-7. 93 Emanuel Martasudjita, Ekaristi: Makna dan Kedalamannya bagi Perutusan di tengah Dunia, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2012), 40. 94 Tantangan itu juga disebutkan oleh Peter Schniller “…The older, more established churches in turn must renounce any superiority complex and must encourage and support the younger

Page 39: Tinjauan Teologis mengenai Pemahaman Umat Terhadap

28

merupakan tantangan yang harus dihadapi Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus

Ganjuran. Bagaimana Gereja Ganjuran akan tetap menanamkan nilai dan makna

inkulturasi di gereja ini di masa yang akan mendatang. Penulis yang bukan umat di

Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran hanya bisa menyarankan untuk

memberikan suatu pelajaran bagi umat di masa depan tentang sejarah dan makna

inkulturasi di gereja ini sehingga inkulturasi di gereja ini tidak hanya menyentuh

kulit luarnya saja tetapi juga benar-benar dimaknai dalam kehidupan beriman.

Kesimpulan

Dari penelitian yang telah penulis lakukan, penulis menyimpulkan bahwa

umat Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran memandang inkulturasi sebagai

usaha untuk menyesuaikan dan mengakarkan pesan Injil ke dalam suatu budaya

setempat yang mana dalam penelitian ini adalah budaya Jawa. Pandangan umat ini

menggunakan analogi Inkarnasi Sabda Allah ke dalam daging, yang menjelma

menjadi manusia. Umat di Paroki Hati Kudus Yesus Ganjuran memandang

inkulturasi di Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran memiliki nilai positif dan

tidak bertentangan dengan iman Kristen, karena membuat mereka mudah untuk

memahami, meresapi, dan menghayati pesan-pesan Injil dalam kehidupan mereka

selama tidak menyimpang dari tujuan dari inkulturasi dan pewartaan Injil. Umat

juga merasakan dampak atau pengaruh inkulturasi dalam kehidupan mereka di

mana mereka mampu untuk menghayati makna Ekaristi dan mendorong mereka

untuk terus semangat untuk berdoa dan berdevosi.

Saran

Terkait dengan saran penulis memberikan saran kepada pihak paroki Hati

Kudus Tuhan Yesus Ganjuran. Kepada, Paroki Hati Kudus Yesus Ganjuran, penulis

mempunyai saran untuk terus giat untuk memberikan pengajaran tentang makna

inkulturasi yang ada di Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran sehingga tujuan

dan makna inkulturasi yang ada di Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran tidak

hilang di masa mendatang.

churches in their search for authentic inculturation. The shape of these new churches may be quite different and surprising…”, dalam Peter Schineller, “Inculturation: a difficult and delicate task,” International Bulletin of Mission Research 20, (July 1996): 110.

Page 40: Tinjauan Teologis mengenai Pemahaman Umat Terhadap

29

Kepada peneliti selanjutnya, masih banyak hal yang masih bisa dibahas

untuk penelitian selanjutnya, oleh karena itu penulis memberikan saran untuk

melakukan penelitian selanjutnya untuk meneliti hal-hal yang jarang diteliti di

Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran seperti pandangan umat agama lain yang

datang ke gereja terhadap inkulturasi di Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran

sehingga dapat mengetahui pandangan umat agama lain terhadap inkulturasi di

Gereja Ganjuran , atau juga meneliti tentang kegiatan lintas iman Genduri, kegiatan

lintas iman yang merupakan agenda rutin di Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus

Ganjuran atau juga meneliti pandangan dan tanggapan umat Paroki Hati Kudus

Yesus Ganjuran yang berusia muda sehingga mendapatkan perspektif yang

dipahami dan dipandang oleh umat yang berusia muda.

Page 41: Tinjauan Teologis mengenai Pemahaman Umat Terhadap

30

DAFTAR PUSTAKA

Angelico, Jose Pedro. Inculturation as Self-Identification: An African Research in

Search of Authentic Christian Identity: A Theological Enquiry Amon The Ewe of

Ghana. Disertasi. Universidade Catolica Portoguesa, 2016.

Konsili Vatikan II. Diterjemahkan. Dokumen Konsili Vatikan II. Cetakan kesebelas.

Jakarta:Penerbit Obor, 2012.

Bakker, J.W.M. Filsafat Kebudayaan:Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Penerbit

Kanisius, 1984.

Herusatoto, Budiono. Simbolisme Jawa. Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2008.

Martasudjita, Emanuel. Ekaristi: Makna dan Kedalamannya bagi Perutusan di

tengah Dunia. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2012.

Mulyana, Deddy. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja

Rosdakarya, 2001.

Niebuhr, H. Richard. Christ and Culture. New York: Harper Tochbooks, 1975.

Paulus II, Yohanes. Gereja di Asia (Church in Asia): Anjuran Apostolik Pasca

Sinodal, New Delhi, 6/11/1999. Cetakan keempat. Jakarta: Departemen

Dokumentasi dan Penerangan, Konferensi WaliGereja Indonesia, 2010.

Prastowo, Yohanes Agung Hari. Peranan Inkulturasi Budaya Jawa terhadap

Penghayatan Ekaristi di Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran. Skripsi.

Universitas Sanata Dharma, 2012.

Prom, Rodney L. The Inculturation of the Gospel: Implication for the Methodist

Church the Gambia’s Quest for Church Leadership. Tesis., University of

Manchester, 2013.

Panitia 90 tahun Ganjuran. Terpanggil Mengemban Berkat. Bantul, Yogykarta:

Gereja Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran, 2014.

Schineller, Peter.1996. “Inculturation: A Difficult and Delicate Task.” International

Bulletin of Mission Research 20: (July 1996): 109-112.

Page 42: Tinjauan Teologis mengenai Pemahaman Umat Terhadap

31

Shorter, Aylward. Toward A Theology of Inculturation. New York: Orbis Books,

1988

Setyoningrum, Yunita. 2009. “TINJAUAN INKULTURASI AGAMA KATOLIK

DENGAN BUDAYA JAWA PADA BANGUNAN GEREJA KATOLIK DI MASA

KOLONIAL BELANDA (STUDI KASUS : GEREJA HATI KUDUS YESUS,

PUGERAN, YOGYAKARTA): ANALYSIS OF CHRISTIAN INCULTURATION TO

JAVANESE CULTURE ON CATHOLIC CHURCH BUILT ON THE DUTCH

COLONIAL PERIOD (STUDI KASUS : THE CHURCH OF SACRED HEART,

PUGERAN, YOGYAKARTA”, Jurnal Ambiance 1, no. 2 (2009): 1-23

Sinaga, Ancetus B. Gereja dan Inkulturasi. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1984

Soenarja, A. Inkulturasi (Indonesianisasi): Kepemimpinan dan Kekeluargaan

dalam Biara Indonesia di Masa Sekarang. Yogyakarta: Pemerbit Kanisius, 1977.

Suradi. “BENTUK KOMUNIKASI DALAM MENJALANKAN PROSES ENKULTURASI BUDAYA (Studi Pada Masyarakat Suku Dayak Kenyah di Desa Pampang, Kecamatan Samarinda Utara)”. eJournal Ilmu Komunikasi 4, no. 1 (2016):160-173, diakses April 11, 2019. https://ejournal.ilkom.fisip-unmul.ac.id/site/?p=2356.

Suseno, Franz Magnis. Katolik itu Apa?: Sosok, Ajaran, dan Kesaksiannya.

Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2017.

Sugiyono. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: CV. Alfabeta, 2012.

Elihami, Lucia Esti. Sejarah Berdirinya Paroki Hati Kudus Yesus Ganjuran:

Inkulturasi Sebagai Landasan Tumbuh dan Berkembangnya Paroki Hati Kudus

Yesus Ganjuran. Skripsi. Universitas Sanata Dharma: Yogyakarta, 1995.

Website:

Boli Ujan SVD, Penyesuaian dan Inkulturasi Liturgi,

http://www.katolisitas.org/penyesuaian-dan-inkulturasi-liturgi/.

Gereja Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran, Sejarah Gereja Ganjuran, diakses 31 Juli 2019, http://www.gerejaganjuran.org/gereja-ganjuran. Gereja Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran, Sejarah Candi Ganjuran, diakses 31 Juli 2019, http://www.gerejaganjuran.org/candi-ganjuran

Page 43: Tinjauan Teologis mengenai Pemahaman Umat Terhadap

32