Upload
others
View
11
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
i
Tinjauan Teologis mengenai Pemahaman Umat Terhadap Inkulturasi dan
Dampaknya di Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran
Oleh:
Ganesha Muharram Akbar
712014095
TUGAS AKHIR
Diajukan kepada Fakultas Teologi untuk memenuhi persyaratan guna memperoleh
gelar Sarjana Sains Teologi (S.Si. Teol)
FAKULTAS TEOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2019
ii
iii
iv
v
vi
KATA PENGANTAR
Pertama-tama izinkanlah penulis menghaturkan pujian dan syukur limpah
terima kasih kepada Tuhan Yesus yang senantiasa menjadi sumber kekuatan,
penghiburan kala duka, segala doa disandarkan dan disalurkan, yang senantiasa
penulis alami dan rasakan selama penulisan tugas akhir ini. Selesai dan
terselenggaranya tugas akhir ini bukan berasal dari kekuatan dan pikiran penulis
saja namun juga berasal daripada Dia yang selalu memberikan kekuatan dan terlibat
dalam setiap proses pengerjaan Tugas Akhir ini. Bagi Dia kemuliaan untuk selama-
lamanya.
Terselesaikannya tugas akhir ini juga tidak lepas dari pihak-pihak terkait
yang senantiasa memberikan dukungan moral dan spiritual, bimbingan dan arahan
kepada penulis sehingga menguatkan penulis dalam menyelesaikan tugas akhir ini.
Dalam hal ini ini penulis mengucapkan terima kasih kepada
• Kepada kedua orang tua yang terkasih, yang senantiasa memberikan
kasih sayang, dorongan serta gebrakan dan memberikan dukungan
doa serta spiritual kepada penulis untuk menyelesaikan tugas akhir
ini.
• Kepada segenap keluarga yang senantiasa memberikan kasih,
ketulusan serta dukungan dalam menyelesaikan tugas akhir ini.
• Kepada Pdt. Dr. Ebenhaezer I Nuban Timo, selaku pembimbing
tunggal penulis yang senantiasa memberikan bimbingan, arahan,
kritik, dan masukan kepada penulis untuk menyelesaikan tugas akhir
ini.
• Kepada Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran, yang menjadi
lokasi penelitian tugas akhir ini yang memberikan izin untuk
melakukan penelitian dan membantu mengarahkan penulis untuk
mencari responden.
• Kepada umat Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran yang
menjadi responden selama melakukan penelitian dan bersedia
memberikan waktu dan informasi untuk mencapai tujuan penelitian
penulis.
vii
• Kepada Fakultas Teologi UKSW, yang telah memberikan
kesempatan sebagai penulis untuk belajar dan menimba ilmu yang
berguna untuk masa depan penulis.
• Kepada Bapak Triyanto, pegawai Campus Ministry UKSW, yang
menjadi orang tua kedua penulis selama berkuliah di UKSW dan
senantiasa membimbing, memotivasi, dan memberikan dukungan
spiritual bagi penulis untuk penyeselesaian penyusunan Tugas Akhir.
• Michael, Rosario, Marco, Kak edo, Wira, Yehezkiel, dan Desfrian.
yang sudah menjadi sahabat dan keluarga bagi penulis, yang selalu
mendukung, menjadi penyemangat dan selalu menemani penulis
dalam suka maupun duka selama di tempat kos penulis.
• Bagas dan Jonathan, sahabat dan keluarga penulis yang senantiasa
menemani, mendukung, teman diskusi selama berkuliah di Fakultas
Teologi UKSW dan mitra sepelayanan dalam Campus Ministry
UKSW.
• Campus Ministry, yang telah menjadi wadah bagi penulis untuk
melayani dan mengembangkan karakter selama berkuliah di UKSW
serta menjadi rumah kedua bagi penulis.
Terselesaikannya tugas akhir ini bukan berarti tugas akhir ini tidak lepas
dari kekurangan. Penulis menyadari bahwa terdapat kekurangan dalam
penyusunan Tugas Akhir ini, oleh sebab itu kritik dan saran yang
membangun sangat penulis harapkan. Akhir kata, semoga Tugas Akhir ini
memberikan manfaat. Tuhan Yesus memberkati kita semua.
Semarang, 30 Agustus 2019
Ganesha Muharram Akbar
viii
DAFTAR ISI
Halaman Judul……………………………………………………………………………….i
Lembar Pengesahan…………………………………………………………………………ii
Pernyataan Tidak Plagiat…………………………………………………………………...iii
Pernyataan Persetujuan Akses……………………………………………………………...iv
Pernyataan Persetujuan Publikasi Tugas Akhir untuk Kepentingan Akademis……………v
Kata Pengantar……………………………………………………………………………...vi
Daftar Isi…………………………………………………………………………………...vii
Motto………………………………………………………………………………………...x
Abstrak……………………………………………………………………………………...xi
Latar Belakang ....................................................................................................................... 1
Rumusan Masalah .................................................................................................................. 4
Tujuan Penulisan .................................................................................................................... 4
Manfaat Penulisan .................................................................................................................. 4
Metodologi Penelitian ............................................................................................................ 5
Sistematika Penulisan ............................................................................................................ 5
Inkulturasi .............................................................................................................................. 6
Inkulturasi, Akulturasi, dan Enkulturasi ................................................................................ 8
Enkulturasi ......................................................................................................................... 8
Akulturasi ........................................................................................................................... 8
Inkulturasi, Enkulturasi, dan Akulturasi ............................................................................ 9
Dimensi Inkulturasi dari Peristiwa Inkarnasi ....................................................................... 10
Misteri Paskah dan Inkulturasi (A. Shorter) ........................................................................ 12
Tahapan-Tahapan Inkulturasi .............................................................................................. 15
Kristus dan Kebudayaan ...................................................................................................... 16
a. Kristus Lawan Kebudayaan ..................................................................................... 16
b. Kristus dari Kebudayaan .......................................................................................... 16
c. Kristus di atas Kebudayaan ...................................................................................... 17
d. Kristus dan Kebudayaan dalam Paradoks ................................................................ 17
e. Kristus Pengubah Kebudayaan ................................................................................ 17
Gambaran Umum Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran ............................................ 18
Sejarah Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran ............................................................. 18
Pemahaman umat terhadap Inkulturasi ................................................................................ 20
ix
Tanggapan Umat terhadap Inkulturasi di Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran ........ 21
Dampak Inkulturasi bagi Kehidupan Umat ......................................................................... 22
Analisis Pemahaman Umat Paroki Hati Kudus Yesus Ganjuran terhadap Inkulturasi dan
Dampaknya .......................................................................................................................... 24
Kesimpulan .......................................................................................................................... 28
Saran .................................................................................................................................... 28
Daftar Pustaka……………………………………………………………………………...30
x
Motto:
“Serahkanlah hidupmu kepada Tuhan dan percayalah kepada-nya,
dan Ia akan bertindak; Ia akan memunculkan kebenaranmu seperti
terang, dan hakmu seperti siang. Berdiam dirilah di hadapan Tuhan
dan nantikanlah Dia; jangan marah karena orang yang berhasil
dalam hidupnya, karena orang yang melakukan tipu daya.” (Mazmur
37: 5-7).
“Fate rarely calls upon us at a moment of our choosing.”- Optimus
Prime.
“Diam tanpa melakukan apa-apa, tidak akan merubah apapun.”-
Ultraman Geed.
xi
Abstrak
Tulisan ini membahas tentang pemahaman umat terhadap inkulturasi di Paroki Hati
Kudus Tuhan Yesus Ganjuran. Tujuan dari penulisan ini adalah untuk
mendeskripsikan pemahaman atau pandangan umat tentang inkulturasi. Selain itu
juga mendeskripsikan tanggapan umat terhadap inkulturasi di Paroki Hati Kudus
Tuhan Yesus Ganjuran. Penelitian dilakukan untuk mengukur bagaimana umat
memandang inkulturasi dan tanggapan umat terhadap inkulturasi di Paroki Hati
Kudus Tuhan Yesus Ganjuran. Penelitian ini diharapkan dapat digunakan kepada
Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran untuk melihat bagaimana umat
memandang dan menanggapi inkulturasi di Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus
Ganjuran. Data diperoleh dengan mendatangi langsung tempat penelitian dan
melakukan wawancara dengan umat di Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran.
Hasil Penelitian mendapatkan bahwa umat memahami inkulturasi sebagai
penyesuaian dan pengakaran Injil ke dalam suatu budaya setempat serta menanggapi
positif inkulturasi di Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran untuk membawa
umat menghayati pesan Injil dan iman Kristen serta memberikan dampak bagi
kehidupan umat.
Keyword: Inkulturasi, Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran
1
Latar Belakang
Pembicaraan tentang kaitan antara iman dan kebudayaan merupakan
pembicaraan yang selalu dibicarakan dalam kehidupan Gereja sebagai komunitas
kaum beriman. Pembicaraan itu berdasar karena pada dasarnya Gereja sebagai
tubuh Kristus yang hadir di dunia selalu berjumpa dengan kebudayaan di mana
Gereja itu diutus. Di tengah kenyataan tersebut, Gereja terdorong untuk menjawab
tantangan tentang bagaimana iman dan kebudayaan dapat bertemu dan selaras.
Salah satu upaya yang dilakukan Gereja untuk menyelaraskan iman dan
kebudayaan adalah melalui Inkulturasi.
Inkulturasi adalah istilah yang sekarang ini dibicarakan sebagai upaya yang
dilakukan Gereja untuk menyelaraskan antara iman dan kebudayaan. Istilah ini
digunakan oleh Gereja Katolik untuk menggambarkan upaya Gereja Katolik dalam
menghayati iman dan mencari keselarasannya dengan kebudayaan. Franz Magnis
Suseno bahkan menyatakan bahwa Inkulturasi adalah ciri khas Katolik. 1
Inkulturasi dipopulerkan sebagian besar oleh anggota Serikat Yesus.2 Menurut A.B
Sinaga, inkulturasi adalah sejenis penyesuaian dan adaptasi kepada masyarakat,
kelompok umat, kebiasaan, bahasa, dan perilaku yang biasa terdapat pada suatu
tempat3. Tujuan dari inkulturasi adalah mengakarkan iman-iman Kristen ke dalam
budaya setempat. Inkulturasi didasarkan pada inti iman Kristen itu sendiri yaitu
Inkarnasi Sabda Allah yang hadir ke dalam dunia dan menyapa manusia. Ketika
Sabda Allah menyapa manusia, Ia berinkulturasi dengan budaya manusia,
menggunakan bahasa manusia dan bukan bahasa langit atau bahasa surga, serta adat
dan istiadat, dalam mengekspresikan kebenaran dan cinta kasih Allah.4 Dengan
pendasaran itu kita bisa ambil kesimpulan bahwa proses Inkulturasi didasarkan
pada perjumpaan antara Kristus dan manusia sendiri.
Dalam proses inkulturasi, iman dan kebudayaan tidak dapat dipisahkan dan
saling berhubungan untuk mencapai kepenuhan proses dan tujuan dari inkulturasi.
1 Franz Magnis Suseno, Katolik itu Apa?: Sosok, Ajaran, dan Kesaksiannya (Yogyakarta: Penerbit PT Kanisius, 2017), 20. 2 Aylward Shorter, Toward a Theology of Inculturation, ( New York: Orbis Books, 1988), 10. 3 A.B Sinaga, Gereja dan Inkulturasi, (Yogyakarta: Penerbit PT Kanisius, 1984), hal. 8 4 Yunita Setyoningrum, “TINJAUAN INKULTURASI AGAMA KATOLIK DENGAN BUDAYA JAWA PADA BANGUNAN GEREJA KATOLIK DI MASA KOLONIAL BELANDA (STUDI KASUS : GEREJA HATI KUDUS YESUS, PUGERAN, YOGYAKARTA)”, Jurnal Ambiance 1, no. 1 (2009), 5-6.
2
Keduanya menyangkut dimensi paling dalam dan fundamental dalam hidup
manusia. Manusia memahami kebudayaan sebagai lingkup di mana mereka harus
hidup dan juga ukuran dalam hidup dan tingkah laku manusia. 5 Di dalam
kebudayaan, manusia belajar untuk memaknai hidup dan menjadi manusia
seutuhnya. Hal ini juga dijelaskan dalam Konsili Vatikan II Gaudium et Spes yang
menyatakan “ kebudayaan dimaksudkan segala sarana dan upaya manusia untuk
menyempurnakan dan mengembangkan pelbagai bakat-pembawaan-jiwa
raganya”. 6 Namun dalam prosesnya menjadi manusia sejati, manusia juga
menghayati relasinya dengan yang ilahi.7 Penghayatan manusia terkait relasinya
dengan yang ilahi itulah yang biasa disebut dengan iman. Dari penjelasan tersebut
dapat kita simpulkan bahwa hubungan antara iman dan kebudayaan terlihat sebagai
proses manusia menjadi seorang manusia yang sejati. Iman tidak dapat menemukan
implikasinya dalam kebudayaan. Pernyataan ini ditegaskan juga oleh Paus Yohanes
Paulus II yang menyatakan bahwa iman yang belum menjadi kebudayaan
merupakan iman yang belum menjadi kebudayaan dan dihidupi sepenuhnya.8
Gereja Katolik di Indonesia dalam dinamika hidup bergereja berusaha untuk
berinkulturisasi dengan budaya Indonesia. Hal ini ditunjukkan dengan di dalam
misa digunakanlah bahasa-bahasa daerah dan juga di beberapa gereja digunakanlah
musik-musik tradisional dalam liturgi. Semua itu merupakan bentuk Jawaban dari
tantangan umat Katolik di Indonesia terhadap hubungan iman dan kebudayaan.
Sehingga Gereja Katolik di Indonesia menjadi Gereja Katolik Indonesia. 9 Di
beberapa wilayah Indonesia proses inkulturisasi juga berlangsung di gereja-gereja
yang tersebar di wilayah Indonesia. Salah satu gereja lokal di Indonesia yang
merupakan contoh dari inkulturasi iman dan budaya adalah Paroki Hati Kudus
Tuhan Yesus Ganjuran. Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran adalah Gereja
5 Budiono Herusato, Simbolisme Jawa, (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2008), cetakan ke II, 10-11. 6 Konsili Vatikan II, Dokumen Konsili Vatikan II: Gaudium et Spes, terj. R. Hardawiryana, (Jakarta: Penerbit Obor, 2012), 594. 7 Yohanes Agung Hari Prastowo, Peranan Inkulturasi Budaya Jawa Terhadap Penghayatan Ekaristi di Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus GanjuranI. (Skripsi., Universitas Sanata Dharma, 2012), 1. 8 Anicetus B. Sinaga, Gereja dan Inkulturasi, (Yogyakarta: Penerbit PT Kanisius, Yogyakarta, 1984), 3. 9 Pernyataan ini sama seperti judul pada sampul buku Indonesianisasi: Dari Gereja Katolik di Indonesia Menjadi Gereja Katolik Indonesia karangan Dr. Huub J.W.M Boelaars, OFM Cap, (Yogyakarta: Kanisisus, 2005).
3
Katolik yang berada di naungan wilayah keuskupan agung Semarang. Gereja ini
terletak di dusun Ganjuran, desa Sumbermulyo, kecamatan Bambanglipuro, daerah
Bantul. Letak gereja ini berada sekitar 20 kilometer dari Yogyakarta. Gereja ini
dibangun pada tahun 1924 atas prakarsa dari keluarga Schutmazer. Banyak
wisatawan yang datang menganggap bahwa gereja ini berbeda dari gereja-gereja
umumnya. Hal itu dikarenakan nuansa Jawa yang kental di gereja ini. Nuansa Jawa
dalam gereja ini tidak lepas dari adanya proses inkulturasi yang terjadi di gereja
tersebut. Wujud inkulturisasi tersebut dapat dilihat dari beberapa segi. Pertama,
bentuk arsitektur dari gereja ini yang mengambil bentuk pendapa. Kedua, adanya
relief-relief dan arca-arca yang merupakan percampuran dari Injil dan budaya Jawa.
Ketiga, dan yang paling menarik adalah adanya candi yang berbentuk candi hindu
di salah satu pelataran di gereja ini. Candi ini yang menjadi tempat di mana para
peziarah dapat berdoa. Di dalam candi yang berada di gereja ini terdapat arca namun
bukan arca dewa-dewi hindu layaknya yang ada di candi-candi pada umumnya
melainkan arca Prabu Yesus yaitu gambaran Yesus Kristus dengan memakai atribut
budaya Jawa. Keempat, dalam merayakan Ekaristi di gereja ini, iringan musik
menggunakan alat musik tradisional Jawa gamelan, nyanyian-nyanyian yang
dikumandangkan di gereja ini juga menggunakan buku kidung adi Jawa sebagai
bentuk dari inkulturasi.10 Segala segi-segi yang dipaparkan tadi adalah buah dari
inkulturasi yang terjadi di gereja ini.
Proses inkulturisasi memang sangatlah baik bagi kehidupan bergereja
khususnya bagi Gereja Katolik di Indonesia. Dengan berinkulturasi gereja-Gereja
Katolik di Indonesia mencoba untuk menjadi gereja yang membudaya di Indonesia.
Namun tantangan atau ujian yang sesungguhnya dari proses inkulturisasi adalah
apakah Inkulturisasi itu memberikan makna bagi penghayatan umat. Tantangan dan
ujian ini juga menjadi pertanyaan Paus Yohanes Paulus II dalam anjuran Apostolik
paska sinodal di New Delhi tahun 1999.11 Pertanyaan dan tantangan inkulturasi ini
perlu untuk dipertimbangkan untuk mengetahui apakah segala upaya inkulturasi
10 Yohanes Agung Hari Prastowo,Peranan Inkulturasi Budaya Jawa Terhadap Penghayatan Ekaristi di Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus GanjuranI, ( Skripsi., Universitas Sanata Dharma, 2012), 17. 11 Paus Yohanes Paulus II, Gereja di Asia (Church in Asia) Anjuran Apostolik Pasca Sinodal, New Delhi, 6/11/1999, terj, R. Hardawiryana, SJ. (Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan Konferensi Waligereja Indonesia, 2010), 57.
4
tersebut memiliki makna serta dampak bagi iman terutama kepada umat beriman.
Hal ini bertujuan supaya segala upaya inkulturasi yang dilakukan oleh gereja
memberikan suatu makna di hati umat dan memberikan dampak agar penghayatan
iman mereka semakin bertumbuh. Pertanyaan tersebut juga bisa dipertanyakan
kepada Paroki Hati Kudus Yesus Ganjuran sebagai salah satu gereja yang
merupakan contoh inkulturasi Injil dan budaya Jawa. Apakah inkulturasi di gereja
ini benar-benar membangun pemahaman umat dan dengan begitu memberikan
dampak untuk penghayatan iman mereka atau tidak? Menimbang dari pertanyaan
tersebut maka penulis ingin melakukan penelitian tentang pemahaman dan dampak
inkulturisasi di Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran menurut umat.
Berdasarkan latar belakang tersebut penulis mengambil judul:
Tinjauan Teologis Mengenai Pemahaman Umat terhadap Inkulturasi dan
Dampaknya di Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran
Rumusan Masalah
Berdasarkan penjelasan dalam latar belakang maka, rumusan masalah penelitian ini
adalah:
1. Bagaimana pemahaman umat di Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran
tentang inkulturasi di gereja ini?
2. Apa dampak inkulturisasi di Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran
menurut umat?
Tujuan Penulisan
1. Mengetahui pandangan umat tentang Inkulturisasi di Paroki Hati Kudus
Yesus Ganjuran.
2. Mengetahui dampak inkulturasi di Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus
Ganjuran menurut umat.
Manfaat Penulisan
1. Teoritik: Untuk menambah dan melengkapi pengetahuan di Fakultas
Teologi Universitas Kristen Satya Wacana tentang inkulturasi.
5
2. Kepada pihak Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran: memberikan
gambaran tentang pemahaman umat tentang inkulturisasi serta mengetahui
dampak inkulturisasi menurut umat.
Metodologi Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan menggunakan dengan
jenis penelitian deskriptif. Metode kualitatif adalah metode penelitian yang
digunakan untuk meneliti pada kondisi obyek yang alamiah (sebagai lawannya
adalah eksperimen) di mana peneliti adalah instrumen kunci12. Penelitian deskriptif
bertujuan untuk mendeskripsikan sebab kejadian atau situasi sebagaimana
adanya.13 Adapun teknik pengumpulan data dilakukan dengan wawancara dengan
mendatangi langsung lokasi penelitian. Wawancara akan dilakukan kepada
beberapa umat Katolik di tempat ketika melakukan penelitian. Teknik wawancara
dilakukan dengan metode random purposive yaitu teknik pengambilan data dengan
tidak berdasarkan random, strata, atau daerah melainkan berdasarkan atas
pertimbangan yang berfokus pada tujuan tertentu14.
Sistematika Penulisan
Penulis akan membagi tulisan ini ke dalam lima bagian, yakni sebagai
berikut: bab I merupakan pendahuluan yang meliputi latar belakang, rumusan
masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metodologi penelitian, dan
sistematika penulisan. Bagian kedua adalah landasan teori yang membahas
mengenai definisi inkulturasi dengan menggunakan beberapa pandangan dari
beberapa tokoh yang memberikan definisi tentang Inkulturasi, dasar teologis dari
inkulturasi dengan memakai pandangan Aylward Shorter, tahap-tahap Inkulturasi,
serta teori hubungan Kristus dan kebudayaan oleh Richard Niebuhr. Bagian ketiga
adalah penelitian. Bagian keempat adalah analisa hasil penelitian tentang
pemahaman umat di paroki Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran terhadap inkulturasi
12 Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif, (Bandung: CV. Alfabeta, 2012), 1. 13 Deddy Mulyana, “Metodologi Penelitian Kualitatif “, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2001), 181. 14 Anwar Hidayat, “Penjelasan Teknik Purposive Sampling: Lengkap Detail.”, last modified 31 Juli 2017, diakses pada 4 September 2019, https://www.statistikian.com/2017/06/penjelasan-teknik-purposive-sampling.html
6
serta dampaknya bagi penghayatan iman mereka. Bagian kelima adalah penutup
yang meliputi kesimpulan dan saran.
Inkulturasi
Istilah inkulturasi sebenarnya adalah istilah yang baru dalam Gereja Katolik.
Istilah ini dipakai tahun 1973 oleh G.L Barney dalam bidang misiologi. Barney
mengatakan bahwa di tanah misi nilai-nilai Injil yang adibudaya dan mau
diwartakan kepada orang-orang setempat, haruslah diinkulturasikan ke dalam
budaya orang setempat sehingga menghasilkan budaya baru yang bersifat Kristen.15
Namun walaupun begitu Inkulturasi adalah proses yang telah lama dilakukan oleh
Gereja Katolik terutama di kalangan Serikat Jesuit.
Secara etimologi inkulturasi terdiri dari kata in dan cultura. In mengandung
makna masuk ke dalam. Sedangkan kata culture atau dalam bahasa latinnya adalah
kolere memiliki arti yang berarti mengolah tanah atau lebih lanjut mengandung arti
yaitu kebudayaan.16 Dari etimologi tersebut maka istilah inkulturasi berarti adalah
masuk ke dalam kebudayaan.
Menurut A.B Sinaga, inkulturasi memiliki arti yang sama dengan
penyesuaian, dan adaptasi kepada masyarakat, kelompok umat, kebiasaan, bahasa,
dan perilaku yang biasa terdapat pada suatu tempat.17 Definisi yang diberikan oleh
A.B Sinaga lebih mengarah ke dalam definisi dalam arti secara sosiologis. Menurut
A.B Sinaga, penyesuaian diperlukan agar Injil yang diwartakan dapat dimengerti
dan dipahami. Definisi dari A.B Sinaga juga memiliki kesamaan definisi inkulturasi
menurut A. Soenarja yang menyatakan bahwa Inkulturasi adalah “usaha masuk ke
dalam suatu kultur”, meresapi suatu kenudayaan dan menjadi senyawa dengan
suatu kultur.18
15 Boli Ujan SVD, “Penyesuaian dan Inkulturasi Liturgi”, last modified 6 Agustus 2010, diakses pada 7 Februari 2019 http://www.katolisitas.org/penyesuaian-dan-inkulturasi-liturgi/. 16 Lucia Esti Elihami, Sejarah Berdirinya Paroki Hati Kudus Yesus Ganjuran: Inkulturasi sebagai Landasan Tumbuh dan Berkembangnya Paroki Hati Kudus Yesus Ganjuran Yogyakarta (Skripsi, Universitas Sanata Dharma, 1995), 19. 17 A.B Sinaga, Gereja dan Inkulturasi, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1984), 8. 18 A. Soenarja, Inkulturisasi (Indonesianisasi): Kepemimpinan dan Kekeluargaan dalam Biara di Indonesia di masa sekarang, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1974), 5.
7
Definisi yang hampir sama dengan A.B Sinaga namun berbeda secara
perspektif dikemukakan oleh Fr Pedro Arrup SJ yang mendefinisikan inkulturasi
sebagai:
“The Incarnation of Christian life and of the Christian message in particular
context, in such a way that this experience not only finds expression through
elements proper to the culture in question but becomes a principle that animates,
directs and unifies the culture, transforming it and remakin it so as to bring about
a ‘ new creation’.19
Dari definisi yang diberikan oleh Fr Pedro Arrup SJ dapat disimpulkan
bahwa inkulturasi adalah penjelmaan pewartaan Kristen dalam budaya tertentu
secara dinamis dan kreatif. Proses dinamis dan kreatif antara Injil dan kebudayaan
tersebut membawanya kepada tujuan dan puncak dari proses inkulturasi yaitu
‘ciptaan baru’. Definisi pengertian inkulturasi yang diberikan oleh Fr Pedro Arrup
SJ memiliki kemiripan dengan definisi inkulturasi yang dipaparkan oleh Paus
Yohanes Paulus II. Menurut Paus Yohanes Paulus II, inkulturasi adalah inkarnasi
nilai-nilai Injil dalam pelbagai budaya yang otonom dan sekaligus memasukkan
budaya-budaya tersebut ke dalam kehidupan Gereja.20 Jadi menurut Paus Yohanes
Paulus II, inkulturasi adalah pemasukan budaya-budaya ke dalam kehidupan Gereja.
Dari etimologi dan definisi beberapa tokoh tentang inkulturasi yang telah
dipaparkan diatas dapat disimpulkan bahwa inkulturasi adalah sebuah proses
penyesuaian, penyelarasan atau penjelmaan Injil ke dalam suatu budaya tertentu.
Di Indonesia sendiri, Gereja Katolik di Indonesia melakukan inkulturasi ke dalam
budaya di Indonesia. Inkulturasi yang dilakukan Gereja Katolik di Indonesia dapat
dilihat dari dikembangkannya teologi yang sesuai dengan budaya di Indonesia dan
dalam liturgi di gereja-gereja lokal yang ada di Indonesia serta melalui simbol-
simbol budaya. Semua itu termasuk dalam sarana-sarana yang dipakai Gereja
Katolik Indonesia dalam proses berinkulturasi.
Tujuan dari inkulturasi yang dilakukan oleh Gereja Katolik adalah agar
pesan injil Kristus dapat langsung dimengerti dan aktif dihayati oleh umat karena
menggunakan bahasa-bahasa, simbol-simbol, aspek-aspek yang lain yang ada
19 Aylward Shorter, Toward a Theology of Inculturation, (New York: Orbis Books, 1988), 14. 20 Boli Ujan SVD, “Penyesuaian dan Inkulturasi Liturgi.”
8
dalam kebudayaan setempat. Di Indonesia, tujuan dari inkulturasi ini diperhatikan
agar umat semakin mudah dalam menghayati iman mereka.
Inkulturasi, Akulturasi, dan Enkulturasi
Inkulturasi dipahami sebagai proses penyesuaian, penyelarasan ke dalam
suatu budaya tertentu. Tetapi, dalam istilah sosiologis dan antropologis, terdapat
dua istilah yang memiliki persinggungan persamaan definisi dengan inkulturasi,
yaitu akulturasi dan enkulturasi. Apa yang membedakan inkulturasi dengan dua
istilah sosilogis tersebut?
Enkulturasi
Baik inkulturasi maupun enkulturasi sering dipahami sebagai dua istilah
yang sama. Namun menurut Aylward Shorter adalah baik untuk membedakan dua
istilah menurut konteksnya masing-masing, Enkulturasi untuk konteks sosiologis,
sedangkan inkulturasi untuk konteks teologis. Menurut Koentjaraningrat,
enkulturasi secara harafiah diartikan sebagai proses pembudayaan. Menurut Shorter,
enkulturasi didefinisikan sebagai proses belajar budaya dari individu, suatu proses
yang di mana seseorang dimasukkan atau diinisiasikan ke dalam budayanya.21 Dari
kedua definisi tersebut bisa diambil garis besar bahwa enkulturasi adalah proses
penginisiasian seseorang ke dalam suatu budaya. Tujuan dari enkulturasi adalah
mempelajari kebudayaan bukan mewarisi kebudayaan melalui proses belajar.
Proses belajar bisa dilakukan formal melalui pendidikan secara formal misalnya di
lembaga Pendidikan atau universitas, maupun secara informal melalui proses
belajar di masyarakat, atau melalui pengalaman.
Akulturasi
Menurut R.Refdield, R. Linton, dan M. Herskovits, akulturasi didefinisikan
sebagai sebuah fenomena yang dihasilkan ketika sekolompok atau beberapa
individu yang memiliki kebudayaan yang berbeda bertemu dalam suatu kontak
yang kontinu, dengan perubahan yang menyusul kemudian dalam pola kebudayaan
21 Suradi, “BENTUK KOMUNIKASI DALAM MENJALANKAN PROSES ENKULTURASI BUDAYA (Studi Pada Masyarakat Suku Dayak Kenyah di Desa Pampang, Kecamatan Samarinda Utara).”, eJournal Ilmu Komunikasi, no. 4 (2016):164, diakses April 11, 2019, https://ejournal.ilkom.fisip-unmul.ac.id/site/?p=2356.
9
yang asli dari salah satu kelompok atau dua kelompok tersebut.22 Secara sederhana
proses akulturasi terjadi apabila terjadi proses di mana dua kebudayaan bertemu,
lalu terdapat penerimaan dari nilai-nilai kebudayaan yang melakukan kontak, lalu
nilai baru tersebut dimasukkan ke dalam budaya lama.
Inkulturasi, Enkulturasi, dan Akulturasi
Dari definisi dari enkulturasi dan akulturasi yang telah dijelaskan jika
diperhatikan memiliki kemiripan definisi dengan inkulturasi. Enkulturasi
didefinisikan sebagai proses inisasi seseorang ke dalam suatu kebudayaan. Hal itu
juga sama dengan inkulturasi, inkulturasi dipahami sebagai penyisipan mendalam
ke dalam suatu kebudayaan. Jika dipahami seperti itu maka inkulturasi sama dengan
usaha inisiasi ke dalam suatu budaya atau lebih spesifik usaha Gereja untuk masuk
ke dalam budaya atau Gereja yang melakukan pembudayaan.
Hal yang sama juga bisa dilihat dan disandingkan antara pengertian
akulturasi dan inkulturasi. Baik akulturasi maupun inkulturasi secara proses
memiliki persamaan. Akulturasi pertama terjadi karena adanya kontak antara
budaya dengan budaya lain begitu juga dengan inkulturasi yang mungkin tidak akan
bisa dilakukan jika tidak pertama melakukan kontak terlebih dahulu. Ketika
bertemu terjadi proses yang kreatif dan dinamis dan menghasilkan suatu budaya
baru yang telah dielaborasikan dengan kebudayaan lama, hal tersebut juga sama
dengan inkulturasi. Menimbang dari persamaan tersebut, lantas apakah bisa
dikatakan bahwa inkulturasi yang dipahami selama ini dalam Gereja Katolik
sebenarnya hanya suatu ‘saingan’ dengan istilah sosiologis enkulturasi dan
akulturasi?
Menurut Schineller, inkulturasi merupakan gabungan dari rumusan
inkarnasi dalam teologi Gereja Katolik dengan rumusan antroplogis antara
enkulturasi dan akulturasi. Jadi menurut Schineller sebenarnya inkulturasi juga
memiliki padanan dengan kedua istilah antropologis tersebut. Akan tetapi
Schineller, juga melihat bahwa terdapat pergeseran makna dalam pemahaman
inkulturasi dalam Gereja Katolik. Enkulturasi dalam kajian antroplogi melibatkan
22 J.W.M Bakker, Filsafat Kebudayaan: Sebuah Pengantar (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1984), 115.
10
suatu kelompok budaya atau individu yang dimasukkan ke dalam sebuah kelompok
budaya dengan proses sosialisasi. Namun inkulturasi dalam pemahaman Gereja
Katolik, Gereja Katolik sebagai budaya yang dimasukkan tidak hadir dalam wujud
kosong/hampa, melainkan membawa nilai-nilai yang tidak dapat dihilangkan atau
diabaikan begitu saya. Sedangkan akulturasi mengacu pada kontak antara dua
budaya yang berbeda. Akan tetapi inkulturasi dalam pemahaman Gereja Katolik,
Gereja Katolik hadir bukan semata-mata sebagai ‘budaya lain yang mengakulturasi’
tapi merupakan misi khusus dalam kontak tersebut, yaitu pemasukan nilai-nilai
iman.23
Dimensi Inkulturasi dari Peristiwa Inkarnasi
Inkarnasi merupakan pusat dari iman Kristen. Inkarnasi adalah penjelmaan
Sabda Allah ke dalam wujud manusia. Inkarnasi sabda Allah yang datang ke dalam
dunia dan mengambil wujud manusia. Dalam melandaskan dasar teologis tentang
Inkulturasi, Gereja Katolik merefleksikan peristiwa inkarnasi sabda Allah ke dalam
dunia sebagai titik awal dari teologi Inkulturasi. Penggunaan analogi peristiwa
inkarnasi sebagai titik awal dari Inkulturasi digunakan dalam dokumen Konsili
Vatikan II Gaudium et Spes pasal 58 tentang hubungan antara warta gembira
tentang Kristus dan kebudayaan manusia.24
Inkarnasi sebagai dasar dari inkulturasi memiliki logikanya sendiri
sebagaimana dipahami dalam Gereja Katolik. Inkarnasi dipahami sebagai Allah
yang datang, menjelma, dan menyapa manusia lewat Yesus Kristus. Allah
menjelma menjadi manusia supaya Allah dapat merubah manusia yang jatuh ke
dalam dosa dan menyelamatkan dari dosa. Ketika Ia menjelma menjadi manusia, Ia
menghayati hidup manusia yang otentik, Ia berbicara dalam bahasa manusia, Ia
hidup dalam budaya manusia, bahkan Ia menggunakan budaya sebagai cara Ia
23 Yunita Setyoningrum, “TINJAUAN INKULTURASI AGAMA KATOLIK DENGAN BUDAYA JAWA PADA BANGUNAN GEREJA KATOLIK DI MASA KOLONIAL BELANDA (STUDI KASUS : GEREJA HATI KUDUS YESUS, PUGERAN, YOGYAKARTA): ANALYSIS OF CHRISTIAN INCULTURATION TO JAVANESE CULTURE ON CATHOLIC CHURCH BUILT ON THE DUTCH COLONIAL PERIOD (STUDI KASUS : THE CHURCH OF SACRED HEART, PUGERAN, YOGYAKARTA)”, Jurnal Ambiance 1, no. 1 (2009), 6. 24[ Ada bermacam-macam hubungan antara warta keselamatan dan kebudayaan. Sebab, Allah, yang mewahyukan diri-Nya sepenuhnya dalam Putra-Nya yang menjelma, telah bersabda menurut kebudayaan yang khas bagi pelbagai zaman…] R. Hardawiryana, diterjemahkan., Dokumen Konsili Vatikan II, (Jakarta: Penerbit OBOR, 2013, cetakan ke 12, 600.
11
mewartakan warta keselamatan Allah. 25 Pemahaman inkarnasi sebagai dasar
inkulturasi sebagaimana dipahami tadi menunjukkan dekatnya Allah dengan
manusia. Dalam kaitannya dengan budaya, inkarnasi menunjukkan bahwa Allah
menjelma ke dalam budaya dan memakai budaya untuk menyelamatkan dan
mengubah manusia yang jatuh ke dalam dosa. Implikasinya bagi gereja adalah sama
seperti Allah yang menjelma menjadi manusia, begitu juga Gereja harus
“berinkarnasi” dengan budaya di mana ia dipanggil dan diutus dan menjadi
senyawa dengan kultur-kultur lain dengan begitu pewartaan keselamatan yang
diwartakan gereja dapat menjadi bermakna dan hidup.26
Analogi inkarnasi yang digunakan sebagai dasar teologi inkulturasi
memiliki indikasi-indikasi. menurut Shorter, analogi Inkarnasi sebagai dasar dari
teologi inkulturasi, memiliki 3 indikasi. Pertama, mengindikasikan bahwa analogi
ini memenuhi tujuan dari Kristologi dari atas.27 Maksudnya adalah tujuan dari
inkulturasi disamakan dengan inkarnasi sabda Allah ke dalam tubuh manusia.
Sabda Allah berinkarnasi dan mengambil rupa manusia dan hidup di tengah-tengah
budaya. Kedua, analogi ini mengindikasikan bahwa Kristus membutuhkan budaya
untuk mewartakan Injil kerajaan Allah dan berbagi kehidupnnya dengan manusia.
Dengan kata lain, bahwa pelayanan Yesus yang membumi atau berkesan bagi
pendegarnya apabila dalam pelayananNya Yesus mengadopsi konsep budaya,
simbol, dan tingkah laku para pendengarnya. Ketiga, Pendidikan budaya yang
membumi dari Yesus, adopsiNya dari budaya manusia yang spesifik, menempatkan
Yesus ke dalam seluruh proses komunikasi antara budaya. Dengan mengadopsi
identitas budaya tertentu, Yesus menerima cara di mana budaya terpengaruh, dan
dipengaruhi oleh budaya lain.28 Maksud Shorter adalah Kristus juga terlibat ke
dalam komunikasi yang terjadi di dalam budaya. Implikasinya adalah seperti yang
25 Yunita Setyoningrum,”TINJAUAN INKULTURASI AGAMA KATOLIK DENGAN BUDAYA JAWA PADA BANGUNAN GEREJA KATOLIK DI MASA KOLONIAL BELANDA (STUDI KASUS : GEREJA HATI KUDUS YESUS, PUGERAN, YOGYAKARTA): ANALYSIS OF CHRISTIAN INCULTURATION TO JAVANESE CULTURE ON CATHOLIC CHURCH BUILT ON THE DUTCH COLONIAL PERIOD (STUDI KASUS : THE CHURCH OF SACRED HEART, PUGERAN, YOGYAKARTA)”, Jurnal Ambiance 1, no. 1 (2009), 5 26 A. Soenarja, Inkulturisasi (Indonesianisasi): Kepemimpinan dan Kekeluargaan dalam Biara di Indonesia di masa sekarang, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1974), 6. 27 Metode Kristologi yang mendekati dan menafsirkan Yesus Kristus sebagai sosok yang ilahi. Yusak B. Setyawan, Kristologi: Perkenalan, Pendalaman, dan Pergumulan (Bahan Kuliah dalam Progres), (Salatiga: Fakultas Teologi, Universitas Kristen Satya Wacana, 2015), 9. 28 Aylward Shorter, Toward a Theology of Inculturation, (New York: Orbis Books, 1988), 80.
12
telah dijelaskan Shorter bahwa Kristus terbawa dalam arus budaya di mana Ia
melaksanakan misiNya.
Walaupun istilah inkarnasi yang digunakan sebagai dasar dari teologi
inkulturasi memiliki indikasi-indikasi yang baik dan menarik sebagai dasar teologi
inkulturasi namun ada beberapa kekurangan dari istilah ini sebagai dasar dari
teologi inkulturasi. Pertama, Jika teologi Inkulturasi bertitik pangkal hanya dari
inkarnasi maka keseluruhan misteri Kristus dan kaitannya dengan kebudayaan tidak
diperhatikan. Dalam berinkulturasi, kita tidak boleh lupa untuk melibatkan
keseluruhan misteri Kristus yang meliputi inkarnasi, pengorbanan Kristus, dan
kebangkitanNya dalam kaitannya juga dengan kebudayaan. Hal ini juga
disampaikan oleh Frans Xavier Scheuerer yang menyatakan “untuk mendasarkan
inkulturasi hanya berpangkal pada misteri Inkarnasi tanpa menghubungkan kepada
keseluruhan misteri Kristus sangat tidak memadai”.29 Kedua, menurut Shorter,
Penggunaan Inkarnasi sebagai dasar dan model dari inkulturasi akan mendorong
pribadi seseorang untuk mengalah pada godaan kebudayaan.30Dengan memusatkan
diri pada enkulturasi yang dilakukan Yesus, kita mungkin akan lupa Yesus sendiri
menantang kultur yang Ia adopsi dan Dia menwarkan peninjauan radikal dari cara
di mana budayaNya mengerti saat itu.
Misteri Paskah dan Inkulturasi (A. Shorter)
Dalam usaha memahami dan mendasari Inkulturasi, Gereja harus juga
melihat keseluruhan misteri Kristus dalam kaitannya dengan budaya. Hal itu berarti
bahwa teologi inkulturasi yang selama ini hanya berlandaskan pada misteri
Inkarnasi belumlah cukup dalam mendasari usaha inkulturasi. Menurut Shorter,
gambaran inkulturasi yang lebih jelas dan akurat akan nampak apabila Misteri
Paskah digunakan sebagai analogi, daripada hanya dilandaskan pada peristiwa
inkarnasi.
Menurut Shorter, secara tujuannya, Misteri paskah dan inkarnasi tidak
terpisahkan. Inkarnasi mengambil bagian supaya kemanusiaan dapat diselamatkan
dan dibenarkan (1 Tim 2:4). Pekerjaan penyelamatan itu diselesaikan secara prinsip
29 Jose Pedro Angelico, Inculturation As Self Identification: An African in Research of Authentic Christian Identity. A Theological Enquiry Among The Ewe of Ghana (Diss., UNIVERSIDADE CATÓLICA PORTUGUESA, 2016), 18. 30 Aylward Shorther, Toward a Theology of Inculturation, 82.
13
melalui misteri paskah, pengurbanan penebusan Kristus di kayu salib dan
kebangkitanNya-Kenaikannya ke dalam kemuliaan sebagai Tuhan. Yesus mati,
seumpama semua manusia dipanggil untuk “mati”, tetapi kebangkitannya
memberikannya bentuk baru yang sepenuhnya dari eksistensi manusia.
Kebangkitan memungkinkan Kristus untuk melampaui batasan fisik
keduniawian yang dibatasi oleh waktu, ruang, dan budaya. Sebelum kebangkitan
Kristus, kontak antar budaya hanyalah tertentu dan terbatas. Setelah kebangkitan,
Kristus menjadi milik bagi setiap budaya pada waktu yang bersamaan. 31
Kebangkitan memungkinkan Kristus untuk secara eksplisit dikenal dengan budaya
di setiap waktu dan tempat, melalui proklamasi Injil kepada setiap bangsa.
Kebangkitan memungkinkan turunnys Roh Kudus untuk manusia dari berbagai
kebudayaan, dan peristiwa pentakosta adalah simbolisasi dari pernyataan ini, di
mana setiap orang dari berbagai bahasa dan budaya mendengarnya dan mengerti
satu bahasa dalam iman.32 Maka itu Peristiwa Paskah, secara intim berhubungan
dengan proses inkulturasi itu sendiri. Karena peristiwa kebangkitanlah, kita dapat
menjadi anggota tubuh Kristus.33
Terlepas dari hubungan kausal antara Misteri Paskah dan inkulturasi,
menurut Shorter, ada pertanyaan lebih lanjut dari penggunaan Misteri Paskah
sebagai analogi untuk Inkulturasi. Kristus mati dan bangkit lagi. Apakah itu berarti
bahwa setiap budaya harus mati dan bangkit kembali ketika dihadapkan dengan
kebangkitan Kristus?. 34 Proklamasi Injil tentang kebangkitan Kristus adalah
sebuah tantangan bagi tradisi manusia. Dengan kebangkitan Kristus, budaya diinjili
dan dibawa untuk bertobat atau berubah. Lalu apakah dengan begitu tetap saja Injil
mengatasi budaya? Atau apakah yang dimaksud Shorter bahwa dengan kebangkitan
budaya dibawa untuk bertobat atau berubah? Bertobat dan berubah dariapa? Shorter
menyatakan bahwa budaya tidak selamanya setia kepada nilai-nilai yang baik dan
paling benar. Artinya adalah di dalam budaya sendiri, terdapat nilai-nilai yang tidak
sesuai dengan nilai kemanusiaan. Budaya bisa saja destruktif dan berdosa.
Kebangkitan Kristus mengajak budaya untuk ‘mati’. Mereka harus ‘mati’ kepada
31 Aylward Shorter, Toward a Theology of Inculturation, 83. 32 Aylward Shorther, Toward a Theology of Inculturation, 83. 33 Aylward Shorter, Toward a Theology of Inculturation, 83. 34 Aylward Shorter, Toward a Theology of Inculturation, 83.
14
nilai-nilai dalam kebudayaan mereka yang tidak pantas bagi kemanusiaan, dan
semua yang merupakan konsekuensi dari kesalahan dan dosa sosial.35
Dari maksud kebangkitan Kristus menurut Shorter, menjadi jelas bahwa,
budaya dipanggil oleh Kristus untuk ‘mati’ untuk segala sesuatu yang bertentangan
dengan kemanusiaan. Kebangkitan Kristus tidak bermaksud untuk mengubah
kebudayaan, tetapi dengan kebangkitan Kristus, budaya dibersihkan dan dibawa
kepada ujian salib, tempat di mana nilai baru pada setiap aksi, setiap kejadian, setiap
kata atau pemikiran diangkat.36 Pernyataan Shorter ini hendak juga memberikan
suatu tujuan kepada Gereja dalam kaitannya dengan proses inkulturasi. Gereja
melakukan inkulturasi bukan berarti gereja hanya menyesuaikan diri dengan
budaya setempat. Di tempat dan budaya di mana Gereja hidup sebagai komunitas
kaum beriman, Gereja harus melihat dan peka kepada nilai-nilai dalam budaya yang
tidak sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan atau nilai dari Kristus sendiri dan
membawanya kepada ‘ciptaan’ baru.
Shorter menyatakan kembali bahwa penggunaan analogi Misteri Paskah
sebagai dasar Inkulturasi tidak boleh sampai kepada pandangan yang statis tentang
Inkulturasi. “Kristus bangkit dan tidak dapat lagi mati”. Menurut Shorter adalah
benar bahwa dalam misteri Paskah konflik antar manusia diselesaikan dan
kemuliaanNya kekal dan tidak berubah. Tetapi hal itu tidak untuk masa depan
evangilisasi atau dengan kata lain proses inkulturasi. Inkulturasi adalah proses
dinamika injil dan budaya yang terus berlangsung dan berlanjut.37 Proses dinamika
tersebut tidak bisa secara definitive selesai sampai akhir dari sejarah. Hal itu karena
budaya bukanlah suatu fenomena yang statis. Budaya adalah proses pengembangan
yang berkelanjutan dan berubah, saat ia bertindak dan bereaksi dalam komunikasi
yang terjadi di antara budaya. Dengan kata lain, Shorter mau menunjukkan bahwa
budaya bukanlah hal yang tetap tapi akan terus berubah sesuai dengan waktu dan
keadaan.
Jadi dari dasar teologis dari inkulturasi baik itu didasari dari peristiwa
inkranasi atau misteri Paskah tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Kedua analogi
itu mencakup dimensi kehadiran Kristus di dunia dan tujuannya hadir di tengah-
35 Aylward Shorter, Toward a Theology of Inculturation, 84. 36 Aylward Shorter, Toward a Theology of Inculturation, 84. 37 Aylward Shorter, Toward a Theology of Inculturation, 85.
15
tengah budaya. Keduanya juga saling melengkapi dan tidak bertentangan satu sama
lain. Kedua analogi itu juga memberikan dampak bagi dasar dari teologi dan praksis
inkulturisasi yang dipahami dan digiatkan Gereja.
Tahapan-Tahapan Inkulturasi
Menurut A.B Sinaga, inkulturasi Injil dalam budaya setempat mempunyai
tahap-tahap sebagai berikut. Tahap pertama yaitu, melakukan penyesuaian dan
adaptasi kepada masyarakat, kelompok umat, kelompok umat, kebiasaan, bahsa dan
perilaku yang biasa terdapat pada suatu tempat. Ini mengacu pada tahap pertama
ketika misionaris pertama kali datang ke suatu budaya. Pada tahap ini, Gereja
menyesuaikan diri dan melakukan adaptasi, serta belajar dengan budaya di mana Ia
hadir.
Tahap kedua, adalah yang disebut oleh A.B Sinaga sebagai ‘masa inkubasi’.
Pada tahap ini Injil yang ditaburkan dan diwartakan mulai jatuh dalam budaya dan
kebiasaan setempat. Pada tahap ini Injil mulai meragi, meresapi, dan bersenyawa
dengan kebudayaan setempat. Pada tahap ini Injil juga mulai untuk meneyentuh
hati dan jiwa pendengar, kemudian dihayati dan dijiwai. Inilah yang disebut sebagai
“incarnatio in actu secondo”. 38 Pada tahap ini juga hal-hal yang belum bisa
diperdamaikan dibiarkan dan ‘diragikan’ lebih dahulu.
Tahap ketiga, tahap ketiga ini akan tercapai apabila kesadaran akan Injil
seseorang mulai secara sengaja menata pola tindakan dan berprikirnya.39 Pada
tahap ini seseorang yang sadar dan dipengaruhi oleh Roh Kudus, mulai untuk
meninggalkan kebiasaan yang lama yang bertentangan dengan Injil. Hal-hal yang
kurang berpadanan dengan pesan Injil juga disingkirkan. Pada tahap ini
pengkhotbah dan pewarta bersama-sama dengan umat mencari ungkapan-ungkapan
yang lebih cocok dan lebih harmonis dan selaras dengan khazanah kebudayaan
setempat tetapi serentak lebih berwarna Kristen dalam mutu dan bobot.40
Tahap keempat, ialah secara sengaja dan mendalam menganalisa unsur-
unsur yang ada, baik yang berasal dari budaya lama dan diperbaharui maupun dari
khazanah permata-permata Injil, yang lebih bernas, untuk mengembangkan suatu
38 A.B Sinaga, Gereja dan Inkulturasi, 8. 39 A.B Sinaga, Gereja dan Inkulturasi, 8. 40 A.B Sinaga, Gereja dan Inkulturasi, 9.
16
teologi dan basis yang mantap untuk membangun keKristenan yang mantap dan
dewasa.41
Dari tahap-tahap inkulturasi yang dipaparkan oleh A.B Sinaga dapat
diambil kesimpulan bahwa persoalan Inkulturasi bukan hanya suatu
permasalahahan yang hanya dikerjakan oleh para teolog. Inkulturasi adalah proses
di mana antara teolog, pemimpin umat, dan umat itu sendiri bekerja supaya pesan
Injil yang mengakar dalam budaya itu benar-benar dihayati dan memberikan makna
sendiri bagi Gereja.
Kristus dan Kebudayaan
Sepanjang kehidupan Gereja, hubungan antara Gereja dengan kebudayaan
mendapat perhatian sejak awal Gereja bahkan terus dibahas sampai sekarang.
Menurut Richard Niebuhr setidaknya ada lima sikap keKristenan dalam
hubungannya dengan kebudayaan. Titik tolak dari kelima sikap itu dipusatkan
kepada Kristus yang adalah Anak Allah dan pusat dari iman Kristen.
a. Kristus Lawan Kebudayaan
Sikap pertama gereja yang dibahas oleh Richard Niebuhr adalah Kristus
melawan kebudayaan. Sikap gereja ini menentang kebudayaan, karena
kebudayaan merupakan realitas negatif yang berada di bawah kuasa jahat dan
didominasi oleh keinginan daging, dan kebanggaan diri.42 Kebudayaan juga
dianggap dalam sikap ini sebagai realitas yang bersifat temporal atau sementara.
Sifat-sifat dalam kebudayaan tersebut bertentangan dengan Kristus yang
bersifat kekal dan datang untuk menghancurkan pekerjaan Iblis. 43 Sifat ini
mewarnai kehidupan gereja pada awal gereja mula-mula44 dan tidak menutup
kemungkinan jika sikap ini masih juga mewarnai kehidupan gereja pada masa
sekarang ini.
b. Kristus dari Kebudayaan
Sikap kedua gereja yang dibahas oleh Niebuhr adalah Kristus dari
kebudayaan. Sikap gereja ini mengakomodasikan Kristus dengan kebudayaan.
Sikap ini memandang Kristus sebagai Mesias masyarakat, pemenuh harapan
41 A.B Sinaga, Gereja dan Inkulturasi, 9. 42 H. Richard Niebuhr, Christ and Culture, (New York: Harper Torchbooks, 1975), 48. 43 H. Richard Niebuhr, Christ and Culture, 48. 44 H. Richard Niebuhr, Christ and Culture, 45.
17
dan aspirasi oleh karena itu sikap ini mengganggap bahwa tidak ada penekanan
atau pembedaan yang besar antara gereja maupun kebudayaan.45 dalam sikap
ini kebudayaan ditafsir melalui Kristus, dengan menghormati elemen-elemen
yang penting yang sesuai dengan diri dan karyaNya. Di sisi lain Kristus
dipahami melalui kebudayaan, dengan memilih ajaran dan karya yang bisa
sesuai dan harmonis dengan system sosial dan kebudayaan mereka.46
c. Kristus di atas Kebudayaan
Sikap ketiga gereja yang dibahas oleh Niebuhr adalah Kristus di atas
kebudayaan. Sikap ini tidak mengambil posisi sikap anti terhadap budaya secara
radikal tetapi juga akomodator Kristus ke dalam kebudayaan.47 Permasalahan
utama bukan terletak antara Kristus dengan kebudayaan, tetapi permasalahan
yang penting adalah antara Tuhan dan manusia. Pandangan dari sikap ini tidak
memandang budaya sebagai sesuatu yang buruk sebab Kristus adalah yang
adalah Anak Allah pencipta langit dan bumi oleh karena itu budaya tetap
dianggap sebagai ciptaan yang baik dan benar yang dihadirkan Allah.48
d. Kristus dan Kebudayaan dalam Paradoks
Sikap keempat gereja yang dibahas oleh Niebuhr adalah Kristus dan
kebudayaan dalam paradoks. Gereja yang mengambil sikap ini berkeinginan
untuk mempertahankan kesetiaan mereka kepada Kristus dan di sisi lain ingin
mempertahankan tanggung Jawab terhadap budaya secara bersamaan. 49
Niebuhr memberikan julukan pada sikap ini sebagai dualis karena terdapat
paradoks antara kebenaran Allah dan kebenaran manusia. Manusia ada dalam
dosa, keberdosaan manusia tersebut masuk ke dalam pekerjaan manusia namun
di sisi lain terdapat anugerah pengampunan Allah terhadap dosa manusia.50
e. Kristus Pengubah Kebudayaan
Sikap kelima dari gereja yang dibahas oleh Niebuhr adalah Kristus
pengubah kebudayaan. Sikap ini memandang karya Yesus tidak hanya dilihat
sebagai aspek yang berada di luar manusia tetapi Kristus juga berkarya dengan
45 H. Richard Niebuhr, Christ and Culture, 83. 46 H. Richard Niebuhr, Christ and Culture, 83-84. 47 H. Richard Niebuhr, Christ and Culture, 117. 48 H. Richard Niebuhr, Christ and Culture, 117. 49 H. Richard Niebuhr, Christ and Culture, 149. 50 H. Richard Niebuhr, Christ and Culture, 117.
18
sesuatu yang mendalam dan fundamental dalam hidup manusia.51Karena telah
dibaharui oleh Kristus maka sikap ini menuntut Gereja atau keKristenan untuk
membawa pekerjaan budaya dalam kesetiaannya kepada Tuhan yang telah
mengubah dan membawa arah baru kepada hidup manusia.52
Gambaran Umum Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran
Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran merupakan Gereja Katolik yang
berada di bawah naungan keuskupan agung Semarang. Gereja yang umum dikenal
dengan sebutan Gereja Ganjuran ini terletak di dusun Ganjuran, desa Sumbermulyo,
kecamatan Bambang lipuro, Bantul. Gereja ini dikenal oleh umat Katolik, peziarah,
dan masyarakat umum sebagai tempat ibadah dan ziarah yang memiliki nuansa
Jawa. Nuansa Jawa itu terlihat dari bentuk arsitektur gereja yang mengambil konsep
pendopo yang ada di keraton Yogyakarta, selain itu terdapat juga ornament-
ornamen, relief-relief yang menggabungkan unsur-unsur keKristenan dengan
nuansa Jawa. Salah satu daya tarik di gereja ini adalah keberadaan candi yang
bernuansa Hindu-Jawa . Di dalam candi tersebut juga terdapat patung Yesus Kristus
dengan penggambaran sebagai seorang Prabu (raja Jawa). Selain itu musik yang
digunakan juga menggunakan alat musik Jawa. Nuansa Jawa yang ada di gereja ini
merupakan salah satu bentuk proses inkulturasi. Inkulturasi di gereja ini tidak
terlepas dari konteks historis yang mendahuluinya. Setiap harinya peziarah maupun
pengunjung datang ke tempat ini untuk melakukan ziarah atau untuk merasakan
suatu pengalaman yang berbeda dengan gereja-gereja pada umumnya,
Sejarah Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran
Sejarah awal dari paroki hati kudus Tuhan Yesus Ganjuran tidak terlepas
dari keberadaan pabrik gula dan perkebunan tebu di Ganjuran. Pemilik dari pabrik
gula ini awalnya adalah keluarga Barends dari Belanda yang datang pada tahun
1860. Sepeninggal bapak Stefanus Barends pada tahun 1887, usaha dilanjutkan oleh
Ferdinand Barends dan istri dari S. Barends, Ibu Wilhemina Kartaus menikah lagi
dengan Gottfried Schmutzer. Sepeninggal, ibu Wilhemina Kartaus pada tahun 1912,
51 H. Richard Niebuhr, Christ and Culture, 191. 52 H. Richard Niebuhr, Christ and Culture, 191.
19
usaha pabrik gula S.Barends dibeli dari dua anak dari perkawinan ibu Wilhemina
Kartaus dan Gottfried Schmutzer.53
Dalam menjalankan bisnis usaha perkebunan tebu dan pabrik gula di
Ganjuran, Schumutzer juga berkarya di bidang sosial, dan pengembangan iman.
Karya Schmutzer dalam bidang sosial dilakukan dengan membangun rumah sakit
bagi masyarakat sekitar serta mendirikan sekolah dasar untuk anak laki-laki dari
desa dan asrama untuk anak perempuan.54 Dalam bidang pengembangan iman,
Schmutzer mendirikan gereja kecil untuk karyawan dan masyarakat.,
Seiring berjalannya waktu gereja kecil yang dibangun Schmutzer tidak
mampu lagi menampung umat karena bertambahnya umat oleh karena itu
Schmutzer mengusahakan pendirian gedung permanen 55 Dalam membangun
gedung gereja, Schmutzer berkeinginan untuk membangun gedung gereja dengan
corak nuansa Jawa. Schmutzer ingin untuk menghidupi imannya dalam konteks di
mana mereka tinggal. Dasar inilah yang menjadi dasar pertama dari inkulturasi di
Gereja Ganjuran. Untuk melaksanakan niat tersebut ,Schmutzer meminta restu dari
Takhta Suci untuk membangun gereja dengan corak Jawa.56Namun pada saat itu
hanya patung altar Jawa dan patung Hati Kudus yang disetujui oleh Takhta Suci
sedangkan bentuk bangunan masih menggunakan gaya bangunan Belanda.
Pembangunan diselesaikan pada tahun 1924 dan altar diberkati pada tahun yang
sama dengan dihadiri Vicaris Apostolik Batavia, Mgr A. Van Velsen SJ.57
Pada tahun 1927, Schmutzer membangun sebuah candi. Candi tersebut
didirikan sebagai monument ungkapan syukur Schmutzer yang lolos dari krisis
keuangan yang melanda dunia. Maksud luhur dari pembangunan candi itu oleh
keluarga Schmutzer untuk mengingatkan peranan Kristus Raja di kalangan
53 Panitia 90 tahun Ganjuran, “Terpanggil Mengemban Berkat” (Ganjuran, Bantul; Gereja Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran, 2014), 28-29. 54 Panitia 90 tahun Ganjuran, “Terpanggil Mengemban Berkat”, 34-35. 55 Panitia 90 tahun Ganjuran, “Terpanggil Mengemban Berkat”, 39. 56 Gereja Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran, “Sejarah Gereja Ganjuran”, last modified 18 Juni 2019, diakses 31 Juli 2019, http://www.gerejaganjuran.org/gereja-ganjuran. 57 Panitia 90 tahun Ganjuran. “Terpanggil Mengemban Berkat”, 39-40.
20
perkebunan tebu di Ganjuran 58 Candi itu juga mempunyai maksud untuk
menyerahkan pulau Jawa kepada Hati Kudus Tuhan Yesus.59
Pada tahun 2006, gempa bumi melanda Yogyakarta dan meluluhlantahkan
Yogykarta. Efek dari gempa tersebut juga dirasakan oleh umat paroki Hati Kudus
Tuhan Yesus Ganjuran. Gedung gereja lama yang dibangun Schmutzer runtuh
namun candi hati kudus Tuhan Yesus tidak rusak akibat gempa. Walaupun begitu
umat tidak patah semangat, pada agustus 2006 di bangun gereja darurat beratapkan
daun kelapa di depan candi.60Pembangunan kembali gedung gereja dilakukan pada
tahun 2008 dan selesai pembangunan pada 31 Juli 2009 diberkati pada minggu 23
agustus 2009.61 Bentuk bangunan gereja yang baru berbentuk joglo pengrawit yang
terbuka melambangkan keterbukaan Allah kepada umatNya dan menjadi sebuah
ajakan agar Gereja membuka diri bagi siapa saja.62
Pemahaman umat terhadap Inkulturasi
Dalam melakukan penelitian, penulis mengambil sampel beberapa umat
yang berada di tempat ketika melakukan penelitian atau yang tinggal di sekitar
lokasi penelitian. Dari hasil wawancara terhadap beberapa informan, penulis
menemukan ada beberapa pandangan dari umat Gereja Ganjuran terhadap
inkulturasi. Responden pertama, memandang inkulturasi sebagai bentuk
penyesuaian dan pemasukan pesan-pesan injil ke dalam suatu budaya supaya pesan
Injil dan iman Kristen dapat mudah untuk dipahami dan dihayati. Responden
menambahkan bahwa usaha inkulturasi itu diprakarsai oleh keluarga Schmutzer
dari Belanda yang mempunyai pabrik gula (wilayah sekitar gereja) yang secara aktif
berkarya bagi kepentingan masyarakat sekitar dan juga concern terhadap
pengembangan injil di masyarakat Ganjuran. 63 Responden kedua, memandang
inkulturasi sebagai upaya pengakaran Injil ke dalam budaya setempat (budaya
Jawa). Inkulturasi di Gereja Ganjuran diprakarsai oleh Schmutzer yang cinta
58 Gereja Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran, “Sejarah Candi Ganjuran”, last modified 18 Juni 2019, diakses pada 31 Juli 2019, http://www.gerejaganjuran.org/candi-ganjuran. 59 Gereja Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran, “Sejarah Candi Ganjuran”, last modified 18 Juni 2019, diakses pada 31 Juli 2019, http://www.gerejaganjuran.org/candi-ganjuran. 60 Panitia 90 tahun Ganjuran, Terpanggil Mengemban Berkat, 74. 61 Panitia 90 tahun Ganjuran, Terpanggil Mengemban Berkat, 75-77. 62 Panitia 90 tahun Ganjuran, Terpanggil Mengemban Berkat, 78. 63 Responden D, wawancara, (Yogyakarta, Ganjuran: 26 Juli 2019).
21
dengan budaya Jawa yang berusaha untuk bagaimana menghayati iman dengan
berakar pada budaya setempat. 64 Responden ketiga, memandang inkulturasi
sebagai upaya untuk menyesuaikan diri dengan budaya setempat (budaya Jawa).65
Responden keempat memandang inkulturasi sebagai upaya untuk memahami
pewartaan Injil atau iman keKristenan dengan melihat unsur-unsur budaya setempat
supaya pewartaan Injil dan iman Kristen yang dilakukan gereja bukan sesuatu yang
asing dengan budaya setempat sehingga membantu untuk menghayati pesan
pewartaan iman.66 Responden kelima memandang inkulturasi sebagai pemasukan
budaya Jawa dalam liturgi misa. 67 Responden keenam memandang inkulturasi
sebagai cara penghayatan ibadah dengan memeasukkan unsur budaya Jawa. 68
Responden ketujuh memandang inkulturasi sebagai cara untuk meresapi iman
dengan memakai budaya setempat (budaya Jawa) sehingga penghayatan iman
semakin mantap. 69 Responden kedelapan memandang inkulturasi sebagai
pengangkatan budaya setempat dan diangkat ke dalam liturgi atau misa perayaan
Ekaristi. Responden juga menyatakan bahwa inkulturasi tidak ada dalam kamus-
kamus pada umumnya dan hanya ada dalam kamus Gereja.70
Tanggapan Umat terhadap Inkulturasi di Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus
Ganjuran
Penelitian yang dilakukan oleh penulis juga bermaksud untuk mengetahui
tanggapan responden terhadap inkulturasi di Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus
Ganjuran. Penulis kemudian menentukan dua pertanyaan untuk mengetahui
tanggapan atau respon dari responden, yaitu:
i) Apa tanggapan umat terhadap inkulturasi di Paroki Hati Kudus Tuhan
Yesus Ganjuran?
ii) Apakah inkulturasi di Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran
bertentangan dengan pesan Injil dan iman Kristen?
64 Responden T. wawancara, (Yogyakarta, Ganjuran: 26 Juli 2019). 65 Responden K, wawancara, (Yogyakarta, Ganjuran: 26 Juli 2019). 66 Responden A, wawancara, (Yogyakarta, Ganjuran: 26 Juli 2019). 67 Responden Ro, wawancara, (Yogykarta, Ganjuran: 26 Juli 2019). 68 Responden Ri, wawancara, (Yogykarta, Ganjuran: 26 Juli 2019). 69 Responden B, wawancara, (Yogykarta, Ganjuran: 27 Juli 2019). 70 Responden Bu, wawancara, (Yogakarta, Ganjuran: 27 Juli 2019).
22
Dari pertanyaan yang pertama, penulis menemukan bahwa tanggapan
responden terhadap inkulturasi di Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran adalah
positif. Ada tiga alasan yang diberikan oleh responden. Alasan pertama ialah
inkulturasi membantu responden untuk menghayati imannya di tengah budaya
mereka yang masih melekat sehingga penghayatan iman mereka dapat dihayati.71
Alasan kedua ialah responden melihat bahwa dengan inkulturasi mereka dapat
merasakan bahwa Kristus itu dekat dengan umat. 72 Ketiga, karena inkulturasi
membuat umat semakin menghayati makna misa Ekaristi.73
Dari pertanyaan kedua, penulis menemukan lima tanggapan umat terkait apakah
inkulturasi bertentangan dengan pesan Injil dan iman Kristen. Pertama, inkulturasi
di Gereja Ganjuran tidak bertentangan dengan iman Kristen selama inkulturasi yang
ada di Gereja Ganjuran tidak merusak pesan inti dari pewartaan injil dan iman
Kristen. 74 Kedua, inkulturasi yang ada di Gereja Ganjuran tidak bertentangan
dengan iman Kristen selama inkulturasi yang dilakukan tidak membawa umat
kepada praktik-praktik atau ritual-ritual negatif yang mengarah kepada
penyembahan berhala atau semacamnya.75 Ketiga, inkulturasi di Gereja Ganjuran
tidak bertentangan dengan iman Kristen dan membawa umat kepada penghayatan
yang mendalam terhadap misteri iman. Keempat, inkulturasi di Gereja Ganjuran
tidak bertentangan dengan iman Kristen selama inkulturasi tersebut tidak
menyimpang dari hakikat liturgi.76 Kelima, inkulturasi di Gereja Ganjuran tidak
bertentangan dengan pesan Injil dan iman Kristen karena setiap agama melekat
dengan simbol-simbol yang dipakai untuk membuat umat mampu menghayati nilai
dan makna suatu pesan.77
Dampak Inkulturasi bagi Kehidupan Umat
Dari penelitian terhadap para responden, penulis menemukan bahwa
inkulturasi di gereja ini memiliki dampak dan pengaruh bagi kehidupan umat.
71 Hasil Wawancara dengan responden, (Yogyakarta, Ganjuran: 26 s/d 27 Juli 2019). 72 Hasil wawancara dengan responden, (Yogyakarta, Ganjuran: 26 s/d 27 Juli 2019). 73 Hasil wawancara dnegan responden, (Yogyakarta, Ganjuran: 26 s/d 27 Juli 2019). 74 Hasil wawancara dengan responden, (Yogyakarta, Ganjuran: 26 s/d 27 Juli 2019). 75 Hasil wawancara dengan responden, (Yogyakarta, Ganjuran: 26 s/d 27 Juli 2019). 76 Hasil wawancara dengan responden, (Yogyakarta, Ganjuran: 26 s/d 27 Juli 2019). 77 Hasil wawancara dengan responden, (Yogyakarta, Ganjuran: 26 s/d 27 Juli 2019).
23
Responden pertama merasakan dampak atau pengaruh inkulturasi di Gereja
Ganjuran pada semangat untuk terus berdoa dan berdevosi. Responden melihat
bahwa umat yang berdoa dan berdevosi di Gereja Ganjuran benar-benar khusyuk
dalam berdoa dan berdevosi. Responden juga merasakan suatu pengalaman yang
berbeda ketika berdoa dan berdevosi di Gereja Ganjuran dibandingkan dengan
tempat lain. 78 Responden kedua merasakan pengaruh inkulturasi di Gereja
Ganjuran pada ibadatnya. Responden melihat bahwa walaupun misa berlangsung
cukup lama tetapi umat dapat begitu khusyuk dalam menghayati misa perayaan
ekaristi. 79 Responden ketiga merasakan dampak atau pengaruh inkulturasi di
Gereja Ganjuran dalam semangat untuk berdoa. Responden merasakan ada
perasaan damai dan tentram ketika berdoa dan membuatnya terdorong untuk terus
datang dan berdoa kepada Hati Kudus Yesus. Responden juga memberikan
pengalaman bahwa banyak doanya yang terkabulkan dan juga masalah dalam
kehidupannya dapat diselesaikan.80 Responden keempat merasakan dampak atau
pengaruh inkulturasi di Gereja Ganjuran di mana penghayatan iman dan pesan-
pesan injil mudah untuk dipahami dan dirasakan.81 Menurut responden kelima,
inkulturasi di Gereja Ganjuran memberikan ketenangan ketika menghayati makna
ibadah, berdoa, atau berdevosi,82 bahkan responden memberikan pengalaman ada
banyak permohonan yang dikabulkan. Responden keenam memiliki kesamaan
dengan responden kelima, di mana merasakan ketenangan batin ketika berdoa dan
berdevosi, dan mendorongnya untuk semakin belajar untuk menghayati pesan injil
dan iman keKristenan.83 Responden ketujuh merasakan dampak atau pengaruh
inkulturasi dalam menghayati misa dan perayaan ekaristi di mana responden dapat
merasakan kedamaian dan ketenangan terutama ketika beribadah dan berdoa.84
Responden kedelapan tidak memberikan apa dampak dan pengaruh inkulturasi bagi
kehidupan umat.
78 Responden D, Wawancara, (Yogyakarta, Ganjuran: 26 Juli 2019). 79 Responden T, Wawancara, (Yogyakarta, Ganjuran: 26 Juli 2019). 80 Responden K, Wawancara, (Yogyakarta, Ganjuran: 26 Juli 2019). 81 Responden A, Wawancara, (Yogyakarta: Ganjuran: 26 Juli 2019). 82 Responden Ro, Wawancara, (Yogyakarta, Ganjuran: 26 Juli 2019). 83 Responden Ri, Wawancara, (Yogyakarta, Ganjuran: 26 Juli 2019). 84 Responden B, Wawancara, (Yogyakarta, Ganjuran: 26 Juli 2019).
24
Analisis Pemahaman Umat Paroki Hati Kudus Yesus Ganjuran terhadap
Inkulturasi dan Dampaknya
Berdasarkan pada hasil temuan yang diperoleh di lapangan, penulis
menemukan bahwa umat paroki Hati Kudus Yesus Ganjuran memiliki pemahaman
atau pandangan terhadap inkulturasi. Umat memandang bahwa inkulturasi
merupakan suatu upaya untuk menyesuaikan dan mengakarkan pesan-pesan Injil
ke dalam suatu budaya setempat sehingga pewartaan Injil bisa diterima dan dihayati
secara mendalam dan menumbuhkan pengalaman iman umat. Pandangan umat
terhadap inkulturasi ini sesuai dengan definisi A.B Sinaga dan A. Soenarja. A.B
Sinaga dan A. B Sinaga memandang dan memberikan definisi inkulturasi sebagai
penyesuaian dan adaptasi kepada suatu masyarakat tertentu sehingga Injil yang
diwartakan dapat dimengerti dan dipahami.85 A. Soenarja juga memberikan definisi
yang sama seperti A.B Sinaga bahwa inkulturasi adalah usaha untuk masuk ke
dalam suatu kultur, dan menjadi senyawa dengan suatu kultur.86 Usaha inkulturasi
digiatkan dalam Gereja Katolik sehingga pesan Injil yang diwartakan gereja dapat
membawa umat untuk menghayati pesan Injil dan menghidupinya.
Dari pandangan umat terhadap Inkulturasi, penulis menemukan kesimpulan
bahwa inkulturasi menurut pandangan umat Gereja Ganjuran.87didasarkan pada
analogi misteri inkarnasi Allah yaitu penjelmaan Sabda Allah ke dalam dunia. Hal
ini karena umat memandang dan memahami inkulturasi sebagai sebagai upaya
untuk menyesuaikan dan mengakarkan Injil ke dalam suatu budaya. Peristiwa
Inkarnasi dipahami sebagai Allah yang datang, menjelma, dan menyapa manusia.
Ketika Allah menjelma menjadi manusia, Ia menghidupi hidup manusia, Ia
berbicara dalam bahasa manusia, Ia hidup dalam budaya manusia dan
menggunakan budaya sebagai cara Allah mewartakan keselamatan Allah.88 Dalam
teologi Konsili Vatikan II penggunaan inkulturasi digunakan sebagai dasar awal
85 A.B Sinaga, “Gereja dan Inkulturasi”, 8. 86 A. Soenarja, “Inkulturisasi (Indonesianisasi): Kepemimpinan dan Kekeluargaan dalam Biara di Indonesia di masa sekarang “, 5. 87 Untuk selanjutnya penulis akan menggunakan istilah Gereja Ganjuran 88 Yunita Setyoningrum, “TINJAUAN INKULTURASI AGAMA KATOLIK DENGAN BUDAYA JAWA PADA BANGUNAN GEREJA KATOLIK DI MASA KOLONIAL BELANDA (STUDI KASUS: GEREJA HATI KUDUS YESUS, PUGERAN, YOGYAKARTA): ANALYSIS OF CHRISTIAN INCULTURATION TO JAVANESE CULTURE ON CATHOLIC CHURCH BUILT ON THE DUTCH COLONIAL PERIOD (STUDI KASUS : THE CHURCH OF SACRED HEART, PUGERAN, YOGYAKARTA)”, Jurnal Ambiance 1, no. 1, 5.
25
dalam inkulturasi. Implikasi dari penggunaan analogi inkarnasi dalam upaya
inkulturasi bagi Gereja adalah Gereja harus “berinkarnasi” dengan budaya di mana
Ia dipanggil dan diutus dan menjadi senyawa dengan kultur sehingga pewartaan
keselamatan yang diwartakan gereja dapat menjadi bermakna dan hidup. 89
Beberapa umat juga menjelaskan hal yang sama, mereka memandang bahwa upaya
inkulturasi dilakukan untuk menyesuaikan dengan kebudayaan setempat.
Terkait tanggapan umat terhadap inkulturasi di Gereja Ganjuran dan
tanggapan mereka terhadap apakah inkulturasi yang dilakukan di Gereja Ganjuran
bertentangan dengan iman kekistenan, penulis menemukan bahwa respon umat
terhadap inkulturasi bernilai positif karena dengan upaya inkulturasi membantu
umat menghayati pesan Injil dan membantu mereka untuk menghayati ibadah.
Terkait apakah inkulturasi di Gereja Ganjuran bertentangan dengan iman Kristen,
penulis menemukan dua respon utama. Pertama, umat memandang bahwa
inkulturasi di Gereja Ganjuran tidak bertentangan dengan iman Kristen dan
memandang ketika umat menggunakan budaya mereka (budaya Jawa) umat
semakin di bawa untuk menghidupi panggilan iman mereka. Umat juga
memandang bahwa dengan menggambarkan Kristus dengan penggambaran budaya
Jawa merasakan bahwa Kristus itu yang hadir dan dekat dengan umat yang masih
lekat dengan budaya Jawa mereka. Kedua, umat memandang inkulturasi di Gereja
Ganjuran tidak saling bertentangan akan tetapi walaupun umat menanggapi bahwa
inkulturasi tersebut tidak bertentangan dengan iman Kristen namun mereka
berpendapat bahwa jangan sampai inkulturasi yang dilakukan di Gereja Ganjuran
membawa umat kepada praktik-praktik negatif atau berhala yang akan merusak
maksud dari inkulturasi itu sendiri dan juga menggeser nilai-nilai iman Kristen.
Bila ditinjau dari teori hubungan Kristus dengan kebudayaan yang
dijelaskan oleh R. Niebuhr, penulis berkesimpulan bahwa dari dua sikap atau
respon utama umat Gereja Ganjuran terhadap inkulturasi dan hubungan antara iman
dengan kebudayaan adalah Kristus dari kebudayaan dan Kristus dan kebudayaan
dalam paradoks. Sikap pertama adalah Kristus dari kebudayaan. Menurut Niebuhr,
Gereja yang mengambil sikap ini mengakomodasikan Kristus dan kebudayaan.90
89 A. Soenarja, Inkulturisasi (Indonesianisasi): Kepemimpinan dan Kekeluargaan dalam Biara di Indonesia di masa sekarang, 6. 90 H. Richard Niebuhr, “Christ and Culture”, ( New Yorks: Harper Torchbooks, 1975), 83-84.
26
Pada sikap Gereja ini, Kristus dipahami melalui kebudayaan. Umat di Gereja
Ganjuran yang melekat dengan kebudayaan Jawanya dapat meresapi dan
menghayati pesan Injil melalui budaya mereka dan dengan begitu mereka dapat
menghidupi iman mereka melalui kebudayaan mereka. Sikap utama kedua dari
umat Gereja Ganjuran terhadap inkulturasi di Gereja Ganjuran dan tanggapan
mereka terhadap apakah inkulturasi itu bertentangan dengan iman Kristen, adalah
Kristus dan budaya dalam paradoks. Pada sikap ini, Gereja berkeinginan untuk
mempertahankan kesetiaan mereka kepada Kristus tetapi di sisi lain ingin
mempertahankan tanggung Jawab mereka terhadap budaya mereka secara
bersamaan.91 Niebuhr melihat adanya suatu paradoks. Tanggapan umat terhadap
inkulturasi memang bermakna positif karena dengan dapat memahami dan
menghayati pesan Injil dengan menggunakan budaya mereka (budaya Jawa).
Namun di sisi lain mereka juga melihat adanya suatu implikasi lain dari inkulturasi
di Gereja Ganjuran yang bisa bernilai negatif yang akan membawa umat kepada
suatu pemaknaan atau praktik-praktik yang menyimpang dari tujuan inkulturasi dan
inti iman Kristen itu sendiri.
Terkait dampak atau pengaruh inkulturasi bagi kehidupan umat, penulis
menemukan bahwa umat memberikan pengalaman akan dampak atau pengaruh
inkulturasi bagi kehidupan mereka namun kebanyakan umat/responden merasakan
dampak atau pengaruh inkulturasi tersebut dalam dua hal. Pertama, dalam liturgi
dan menghayati makna misa perayaan ekaristi. Ketika umat merayakan misa,
banyak umat yang secara khusyuk mendalami perayaan ekaristi walaupun misa
berlangsung hingga memakan waktu yang lama. Untuk masuk mengapa
kebanyakan umat merasakan dampak inkulturasi pertama dalam liturgi misa
Ekaristi perlu ditinjau terlebih dahulu hakikat liturgi. Penulis mengambil
pandangan dari Konsili Vatikan II. Menurut konsili Vatikan II, Kristus selalu
mendampingi GerejaNya terutama dalam kegiatan-kegiatan liturgis, Ia hadir dalam
rupa Ekaristi selain itu adalah puncak dan sumber kehidupan Gereja karena “liturgi
terutama dari Ekaristi, bagaikan dari sumber, mengalirlah rahmat kepada kita dan
dengan hasil guna yang amat besar diperoleh pengudusan manusia dan pemuliaan
91 H. Richard Niebuhr, “Christ and Culture”, 149.
27
Allah dalam Kristus, tujuan semua karya Gereja lainnya.”92 Menurut penulis, alasan
mengapa kebanyakan umat merasakan dampak atau pengaruh dari Inkulturasi dari
misa Ekaristi karena dalam perayaan Ekaristi, umat diajak untuk menghayati
kehadiran Kristus dalam ekaristi. Ekaristi berarti Kristus hadir, serta tinggal di
tengah umat-Nya.93 Ketika umat masuk kekhusyukan ke dalam kekhusyukan misa
Ekaristi, umat dibawa untuk menghayati kehadiran Kristus di tengah-tengah
umatNya. Inkulturasi membuat umat yang masih melekat dengan budaya Jawa
dapat merasakan makna Ekaristi dengan khidmat dan penghayatan penuh. Dampak
kedua dari inkulturasi di Gereja Ganjuran terlihat dari semangat untuk terus berdoa
dan berdevosi kepada Hati Kudus Yesus. Umat merasakan adanya rasa damai dan
tentram ketika berdoa dan berdevosi kepada Hati Kudus Yesus. Inkulturasi itu
mampu mendorong umat untuk terus mengobarkan semangatnya untuk berdoa dan
berdevosi sehingga banyak umat yang penulis tanyakan memberikan pengalaman
di mana banyak doanya yang terkabulkan. Dari tanggapan umat, penulis
menyimpulkan bahwa inkulturasi di Gereja Ganjuran memberikan dampak atau
pengaruh dalam kehidupan umat. Hal itu sesuai dengan tujuan dari inkulturasi itu
sendiri yaitu untuk membawa umat untuk menghayati iman mereka dengan budaya
mereka. Penulis juga menyimpulkan bahwa inkulturasi tidak hanya membawa
umat untuk menghayati pesan injil dengan budaya mereka tetapi juga mendorong
spiritual mereka untuk menghidupi pengalaman iman mereka dalam berdoa dan
berdevosi.
Dari penelitian yang penulis lakukan, penulis melihat bahwa dengan
inkulturasi di Gereja Ganjuran, membuat umat makin mampu untuk menghayati
pesan Injil dan iman.. Tetapi menurut penulis ada tantangan yang harus dihadapi
Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran terkait dengan inkulturasi di gereja ini.
Penulis melihat tantangan itu adalah zaman yang akan terus berganti, dan generasi
yang akan terus berganti, pemaknaan pun juga akan berganti, Apakah di kemudian
hari umat di masa depan dapat memaknai inkulturasi di gereja ini atau tidak.94 Ini
92 Konsili Vatikan II, diterjemahkan, “Dokumen Konsili Vatikan II”, (Jakarta: Penerbit OBOR, 2013), 5-7. 93 Emanuel Martasudjita, Ekaristi: Makna dan Kedalamannya bagi Perutusan di tengah Dunia, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2012), 40. 94 Tantangan itu juga disebutkan oleh Peter Schniller “…The older, more established churches in turn must renounce any superiority complex and must encourage and support the younger
28
merupakan tantangan yang harus dihadapi Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus
Ganjuran. Bagaimana Gereja Ganjuran akan tetap menanamkan nilai dan makna
inkulturasi di gereja ini di masa yang akan mendatang. Penulis yang bukan umat di
Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran hanya bisa menyarankan untuk
memberikan suatu pelajaran bagi umat di masa depan tentang sejarah dan makna
inkulturasi di gereja ini sehingga inkulturasi di gereja ini tidak hanya menyentuh
kulit luarnya saja tetapi juga benar-benar dimaknai dalam kehidupan beriman.
Kesimpulan
Dari penelitian yang telah penulis lakukan, penulis menyimpulkan bahwa
umat Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran memandang inkulturasi sebagai
usaha untuk menyesuaikan dan mengakarkan pesan Injil ke dalam suatu budaya
setempat yang mana dalam penelitian ini adalah budaya Jawa. Pandangan umat ini
menggunakan analogi Inkarnasi Sabda Allah ke dalam daging, yang menjelma
menjadi manusia. Umat di Paroki Hati Kudus Yesus Ganjuran memandang
inkulturasi di Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran memiliki nilai positif dan
tidak bertentangan dengan iman Kristen, karena membuat mereka mudah untuk
memahami, meresapi, dan menghayati pesan-pesan Injil dalam kehidupan mereka
selama tidak menyimpang dari tujuan dari inkulturasi dan pewartaan Injil. Umat
juga merasakan dampak atau pengaruh inkulturasi dalam kehidupan mereka di
mana mereka mampu untuk menghayati makna Ekaristi dan mendorong mereka
untuk terus semangat untuk berdoa dan berdevosi.
Saran
Terkait dengan saran penulis memberikan saran kepada pihak paroki Hati
Kudus Tuhan Yesus Ganjuran. Kepada, Paroki Hati Kudus Yesus Ganjuran, penulis
mempunyai saran untuk terus giat untuk memberikan pengajaran tentang makna
inkulturasi yang ada di Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran sehingga tujuan
dan makna inkulturasi yang ada di Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran tidak
hilang di masa mendatang.
churches in their search for authentic inculturation. The shape of these new churches may be quite different and surprising…”, dalam Peter Schineller, “Inculturation: a difficult and delicate task,” International Bulletin of Mission Research 20, (July 1996): 110.
29
Kepada peneliti selanjutnya, masih banyak hal yang masih bisa dibahas
untuk penelitian selanjutnya, oleh karena itu penulis memberikan saran untuk
melakukan penelitian selanjutnya untuk meneliti hal-hal yang jarang diteliti di
Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran seperti pandangan umat agama lain yang
datang ke gereja terhadap inkulturasi di Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran
sehingga dapat mengetahui pandangan umat agama lain terhadap inkulturasi di
Gereja Ganjuran , atau juga meneliti tentang kegiatan lintas iman Genduri, kegiatan
lintas iman yang merupakan agenda rutin di Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus
Ganjuran atau juga meneliti pandangan dan tanggapan umat Paroki Hati Kudus
Yesus Ganjuran yang berusia muda sehingga mendapatkan perspektif yang
dipahami dan dipandang oleh umat yang berusia muda.
30
DAFTAR PUSTAKA
Angelico, Jose Pedro. Inculturation as Self-Identification: An African Research in
Search of Authentic Christian Identity: A Theological Enquiry Amon The Ewe of
Ghana. Disertasi. Universidade Catolica Portoguesa, 2016.
Konsili Vatikan II. Diterjemahkan. Dokumen Konsili Vatikan II. Cetakan kesebelas.
Jakarta:Penerbit Obor, 2012.
Bakker, J.W.M. Filsafat Kebudayaan:Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Penerbit
Kanisius, 1984.
Herusatoto, Budiono. Simbolisme Jawa. Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2008.
Martasudjita, Emanuel. Ekaristi: Makna dan Kedalamannya bagi Perutusan di
tengah Dunia. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2012.
Mulyana, Deddy. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2001.
Niebuhr, H. Richard. Christ and Culture. New York: Harper Tochbooks, 1975.
Paulus II, Yohanes. Gereja di Asia (Church in Asia): Anjuran Apostolik Pasca
Sinodal, New Delhi, 6/11/1999. Cetakan keempat. Jakarta: Departemen
Dokumentasi dan Penerangan, Konferensi WaliGereja Indonesia, 2010.
Prastowo, Yohanes Agung Hari. Peranan Inkulturasi Budaya Jawa terhadap
Penghayatan Ekaristi di Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran. Skripsi.
Universitas Sanata Dharma, 2012.
Prom, Rodney L. The Inculturation of the Gospel: Implication for the Methodist
Church the Gambia’s Quest for Church Leadership. Tesis., University of
Manchester, 2013.
Panitia 90 tahun Ganjuran. Terpanggil Mengemban Berkat. Bantul, Yogykarta:
Gereja Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran, 2014.
Schineller, Peter.1996. “Inculturation: A Difficult and Delicate Task.” International
Bulletin of Mission Research 20: (July 1996): 109-112.
31
Shorter, Aylward. Toward A Theology of Inculturation. New York: Orbis Books,
1988
Setyoningrum, Yunita. 2009. “TINJAUAN INKULTURASI AGAMA KATOLIK
DENGAN BUDAYA JAWA PADA BANGUNAN GEREJA KATOLIK DI MASA
KOLONIAL BELANDA (STUDI KASUS : GEREJA HATI KUDUS YESUS,
PUGERAN, YOGYAKARTA): ANALYSIS OF CHRISTIAN INCULTURATION TO
JAVANESE CULTURE ON CATHOLIC CHURCH BUILT ON THE DUTCH
COLONIAL PERIOD (STUDI KASUS : THE CHURCH OF SACRED HEART,
PUGERAN, YOGYAKARTA”, Jurnal Ambiance 1, no. 2 (2009): 1-23
Sinaga, Ancetus B. Gereja dan Inkulturasi. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1984
Soenarja, A. Inkulturasi (Indonesianisasi): Kepemimpinan dan Kekeluargaan
dalam Biara Indonesia di Masa Sekarang. Yogyakarta: Pemerbit Kanisius, 1977.
Suradi. “BENTUK KOMUNIKASI DALAM MENJALANKAN PROSES ENKULTURASI BUDAYA (Studi Pada Masyarakat Suku Dayak Kenyah di Desa Pampang, Kecamatan Samarinda Utara)”. eJournal Ilmu Komunikasi 4, no. 1 (2016):160-173, diakses April 11, 2019. https://ejournal.ilkom.fisip-unmul.ac.id/site/?p=2356.
Suseno, Franz Magnis. Katolik itu Apa?: Sosok, Ajaran, dan Kesaksiannya.
Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2017.
Sugiyono. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: CV. Alfabeta, 2012.
Elihami, Lucia Esti. Sejarah Berdirinya Paroki Hati Kudus Yesus Ganjuran:
Inkulturasi Sebagai Landasan Tumbuh dan Berkembangnya Paroki Hati Kudus
Yesus Ganjuran. Skripsi. Universitas Sanata Dharma: Yogyakarta, 1995.
Website:
Boli Ujan SVD, Penyesuaian dan Inkulturasi Liturgi,
http://www.katolisitas.org/penyesuaian-dan-inkulturasi-liturgi/.
Gereja Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran, Sejarah Gereja Ganjuran, diakses 31 Juli 2019, http://www.gerejaganjuran.org/gereja-ganjuran. Gereja Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran, Sejarah Candi Ganjuran, diakses 31 Juli 2019, http://www.gerejaganjuran.org/candi-ganjuran
32