44
TINJAUAN PUSTAKA GAGAL GINJAL KRONIK Definisi Gagal ginjal kronik (GKK) adalah suatu sindroma klinis yang disebabkan karena penurunan progresif fungsi ginjal yang ireversibel, dan di tandai oleh penurunan laju filtrasi glomerulus (LGF) kurang dari 60 mL/ menit/ 1,73 m 2 . Selama tiga bulan atau lebih. 1,3 GGK terjadi pada berbagai macam penyakit yang merusak massa nefron ginjal. Bila proses penyakit tidak di hambat, maka pada semua kasus seluruh nefron akhirnya hancur dan di gantikan dengan jaringan parut. Meskipun penyebabnya banyak, gambaran klinis GGK sangat mirip satu dengan lain, karena gagal ginjal progresif dapat didefinisikan secara sederhana sebagai defisiensi jumlah total nefron yang berfungsi dan dikombinasikan gangguan yang tidak dapat dielakkan lagi. 1 Gagal ginjal kronik sesuai tahapannya, dapat ringan, sedang, atau berat. Gagal ginjal tahap akhir (end stage) adalah tingkat gagal ginjal yang dapat mengakibatkan kematian kecuali dilakukan terapi penganti. 1 Anatomi Ginjal Ginjal merupakan organ yang berbentuk kacang yang terletak di kedua sisi koloumna vertebralis. Ginjal kanan

Tinjauan Pustaka ginjal kronik

Embed Size (px)

DESCRIPTION

tinjauan pustaka ginjal kronik

Citation preview

TINJAUAN PUSTAKA

GAGAL GINJAL KRONIK Definisi Gagal ginjal kronik (GKK) adalah suatu sindroma klinis yang disebabkan karena penurunan progresif fungsi ginjal yang ireversibel, dan di tandai oleh penurunan laju filtrasi glomerulus (LGF) kurang dari 60 mL/ menit/ 1,73 m2. Selama tiga bulan atau lebih. 1,3 GGK terjadi pada berbagai macam penyakit yang merusak massa nefron ginjal. Bila proses penyakit tidak di hambat, maka pada semua kasus seluruh nefron akhirnya hancur dan di gantikan dengan jaringan parut. Meskipun penyebabnya banyak, gambaran klinis GGK sangat mirip satu dengan lain, karena gagal ginjal progresif dapat didefinisikan secara sederhana sebagai defisiensi jumlah total nefron yang berfungsi dan dikombinasikan gangguan yang tidak dapat dielakkan lagi. 1Gagal ginjal kronik sesuai tahapannya, dapat ringan, sedang, atau berat. Gagal ginjal tahap akhir (end stage) adalah tingkat gagal ginjal yang dapat mengakibatkan kematian kecuali dilakukan terapi penganti. 1Anatomi Ginjal Ginjal merupakan organ yang berbentuk kacang yang terletak di kedua sisi koloumna vertebralis. Ginjal kanan sedikit lebih rendah daripada ginjal kiri karena tertekan ke bawah oleh liver. Kutub atas ginjal kanan setinggi iga ke 12, sedangkan kutub ginjal kiri setinggi iga ke 11. Permukaan anterior dan posterior kutub atas, bawah, dan tepi lateral ginjal berbentuk cembung, sedangkan tepi medialnya berbentuk cekung karena adanya hilus. Beberapa struktur yang masuk atau keluar dari ginjal melalui hilus diantaranya adalah arteri dan vena renalis, saraf, pembuluh limfatik, dan ureter. 1,2Gambar 1. Kidney ureter and bladder

Arteri renalis berasal dari aorta abdominalis ( setinggi vertebra lumbalis II). Aorta terletak disebelah kiri garis tengah, sehingga arteri renalis kanan lebih panjang dari arteri renalis kiri. Setiap arteri renalis bercabang sewaktu masuk ke dalam hilus ginjal. Vena renalis menyalurkan darah dari masing-masing ginjal ke dalam vena kava inferior yang terletak di sebalah kanan dari garis tengah. Vena renalis kiri kira-kira dua kali panjang dari vena renalis kanan. 1,2Gambar 2. Anatomi ginjal

Saat arteri renalis masuk kedalam hilus, arteri tersebut bercabang menjadi arteri interlobaris yang berjalan diantara piramid, selanjutnya membentuk percabangan arkuata yang melengkung melintasi basis piramid-piramid tersebut. Arteri arkuata lalu akan membentuk arteriol interlobularis yang tersusun pararel dalam korteks. Arteriol interlobularis ini selanjutnya membentuk arteriol aferen. Masing-masing arteriol aferen akan menyuplai ke rumbai-rumbai kapiler yang disebut glomerolus (jamak : glomeruli). Kapiler glomeruli bersatu membentuk arterior eferen yang kemudian bercabang-cabang membentuk sistem jaringan portal yang mengelilingi tubulus dan kadang disebut kapiler peritubular. 1,2Gambar 3. Artery supply of kidney

Medula terbagi-bagi menjadi baji segitiga yang disebut piramid. Piramid-piramid tersebut dikelilingi oleh korteks yang disebut kolumna Bertini. Piramid-piramid tersebut tampak bercorak karena tersusun oleh segmen-segmen tubulus dan duktus pengumpul nefron. Papilla (apeks) dari tiap piramid membentuk duktus papilaris Bellini yang terbentuk dari persatuan bagian terminal dari banyak duktus pengumpul. Setiap duktus papilaris masuk ke dalam suatu perluasan ujung pelvis ginjal berbentuk seperti cawan yang disebut kaliks minor. Beberapa kaliks minor bersatu membentuk kaliks mayor, yang selanjutnya bersatu sehingga membentuk pelvis ginjal. Pelvis ginjal merupakan reservoar utama sistem pengumpul ginjal. Ureter menghubungkan pelvis ginjal dengan vesika urinaria. 1,2Ureter berasal dari bagian bawah pelvis renalis pada ureteropelvic junction lalu turun ke bawah sepanjang kurang lebih 28 34 cm menuju kandung kemih. Dinding dari kaliks,pelvis dan urter mengandung otot polos yang berkontraksi secara teratur untuk mendorongvurine menuju kandung kemih. 1,2Struktur mikroskopik ginjal: 1,2,3a. NefronUnit kerja fungsional ginjal disebut sebagai nefron. Dalam setiap ginjal terdapat sekitar 1 juta nefron yang pada dasarnya mempunyai struktur dan fungsi yang sama. Setiap nefron terdiri dari kapsula Bowman, yang mengitari rumbai kapiler glomerulus, tubulus kontortus proksimal, lengkung henle, dan tubulus kontortus distal, yang mengosongkan diri ke duktus pengumpul.1,2b. Korpuskular ginjalKorpuskular ginjal terdiri dari kapsula bowman dan rumbai kapiler glomerulus. Kapsula bowman merupakan suatu invaginasi dari tubulus proksimal. Terdapat ruang yang mengandung urine antara rumbai kapiler dan sel-sel kapsula bowman, dan ruang yang mengandung urine ini dikenal dengan ruang Bowman atau ruang kapsular Kapsula Bowman dilapisi oleh sel-sel epitel. Sel epitel parietalis berbentuk gepeng dan membentuk bagian terluar dari kapsula; sel epitel visceralis jauh lebih besar dan membentuk bagian dalam kapsula dan juga bagian luar dari rumbai kapiler. Sel visceralis membentuk tonjolan yang disebut podosit, yang bersinggungan dengan membrana basalis pada jarak tertentu sehingga terdapat daerah yang bebas dari kontak antar sel epitel Membrana basalis membentuk lapisan tengah dinding kapiler, terjepit diantara sel-sel epitel pada satu sisi dan sel-sel endotel pada sisi yang lain. Membrana basalis membentuk lapisan tengah dinding kapiler menjadi membrana basalis tubulus dan terdiri dari gel hidrasi yang menjalin serat kolagen. Sel-sel endotel membentuk bagian terdalam dari rumbai kapiler. Sel endotel langsung berkontak dengan membrana basalis. Sel-sel endotel, membrana basalis, dan sel-sel epitel visceralis merupakan 3 lapisan yang membentuk membrane filtrasi glomerulus. Membran filtrasi glomerulus memungkinkan ultrafiltrasi darah melalui pemisahan unsur-unsur darah dan molekul protein besar. Membrana basalis glomerulus merupakan struktur yang membatasi lewatnya zat terlarut ke dalam ruang urine berdasarkan seleksi ukuran molekul. Komponen penting lainnya dari glomerulus adalah mesangium, yang terdiri dari sel mesangial dan matriks mesangial. Sel mesangial membentuk jaringan yang berlanjut antara lengkung kapiler dari glomerulus dan diduga berfungsi sebagai kerangka jaringan penyokong.Gambar 4. nefron

c. Aparatus JukstaglomerulusAparatus jukstaglomelurus (JGA) terdiri dari sekelompok sel khusus yang letaknya dekat dengan kutub vascular masing-masing glomelurus yang berperan penting dalam mengatur pelepasan rennin dan mengontrol volume cairan ekstraselular (ECF) dan tekanan darah. JGA terdiri dari 3 macam sel:1. Juksta glomelurus (JG) atau sel glanular (yang memproduksi dan menyimpan renin) pada dinding arteriol averen. 2. Makula densa tubulus distal.3. Mesangial ekstraglomerular atau sel lacis.Makula densa adalah sekelompok sel epitel tubulus distal yang diwarnai dengan pewarnaan khusus. Sel ini bersebelahan dengan ruangan yang berisi sel lacis dan sel JG yang menyekresi lenin. Secara umum, sekresi renin dikontrol oleh faktor ekstrarenal dan intrarenal. Dua mekanisme penting untuk mengontrol sekresi renin adalah sel JG dan makula densa. Setiap penurunan tegangan dinding arteriol aferen atau penurunan pengiriman Na ke makula densa dalam tubulus distal akan merangsang sel JG untuk melepaskan renin dari granula tempat renin tersebut disimpan didalam sel. Sel JG, yang sel mioepitelialnya secara khusus mengikat arteriol aferen, juga bertindaksebagai transducer tekanan perfusi ginjal. Volume ECF atau volume sirkulasi efektif (ECV) yang sangat menurun menyebabkan menurunnya tekanan perfusi ginjal, yang sirasakan sebagai penurunan regangan oleh sel JG. Sel JG kemudian melepaskan renin ke dalam sirkulasi, yang sebaliknya mengaktifkan mekanisme reninangiotensin-aldosteron. Mekanisme kontrol kedua untuk pelepasan berpusat didalam sel makula densa, yang dapat berfungsi sebagai kemoreseptor, mengawasi beban klorida yang terdapat pada tubulus distal. Dalam keadaan kontraksi volume, sedikit natrium klorida (NaCl) dialirkan ke tubulus distal (karena banyak yang di absorbsi ke dalam tubulus proximal) kemudian timbal balik dari sel makula densa ke sel JG menyebabkan peningkatan renin. Mekanisme sinyal klorida yang diartikan menjadi perubahan sekresi renin ini belum diketahui dengan pasti. Suatu peningkatan volume ECF yang menyebabkan peningkatan tekanan perfusi ginjal dan meningkatkan pengiriman NaCl ke tubulus distal memiliki efek yang berlawanan dari contoh yang diberikan oleh penurunan volume ECFyaitu menekan sekresi renin. Faktor lain yang mempengaruhi sekresi renin adalah saraf simpatis ginjal, yang merangsang pelepasan renin melalui reseptor beta1-adrenergik dalam JGA, angiotensin II yang menghambat pelepasan renin. Banyak faktor sirkulasi lain yang juga mengubah sekresi renin, termasuk elektrolit plasma (kalsium dan natrim) dan berbagai hormon, yaitu hormon natriuretik atrial, dopamin, hormone antidiuretik (ADH), hormon adrenokortikotropik (ACTH), dan nitrit oksida (dahulu dikenal sebagai faktor relaksasi yang berasal dari endothelium [EDRF] ), dan prostaglandin. Hal ini terjadi mungkin karena JGA adalah tempat integrasi berbagai input dan sekresi renin itu mencerminkan interaksi dari semua faktor.

Fungsi ginjalGinjal mengekresi bahan-bahan kimia asing tertentu, seperti obat-obatan, hormon, dan metabolit lain, tetapi fungsi ginjal paling utama adalah mempertahankan volume dan komposisi ECF dalam batas normal. Tentu saja ini dapat terlaksana dengan mengubah ekskresi air dan zat terlarut, kecepatan filtrasi yang tinggi memungkinkan pelaksanaan fungsi ini dengan ketepatan yang tinggi. Pembentukan renin dan eritropoietin serta metabolism vitamin D merupakan fungsi nonekskreator yang penting. Sekresi renin berlebihan yang mungkin penting pada etiologi beberapa bentuk hipertensi. Defisiensi eritropoietin dan pengaktifan vitamin D yang dianggap penting sebagai penyebab anemia dan penyakit tulang pada uremia. 4,5Ginjal juga berperan penting dalam degradasi insulin dan pembentukan sekelompok senyawa yang mempunyai makna endokrin yang berarti, yaitu prostaglandin. Sekitar 20% insulin yang dibentuk oleh pancreas didegradasi oleh sel-sel tubulus ginjal. Akibatnya, penderita diabetes yang menderita payah ginjal mungkin membutuhkan insulin yang jumlahnya lebih sedikit. Prostaglandin merupakan hormone asam lemak tak jenuh yang terdapat dalam banyak jaringan tubuh. Medula ginjal membentuk PGI dan PGE2 yang merupakan vasodilator potensial. Prostaglandin mungkin berperan penting dalam pengaturan aliran darah ginjal, pengeluaran renin, dan reabsorbsi Na+ . Kekurangan prostaglandin mungkin juga turut berperan dalam beberapa bentuk hipertensi ginjal sekunder, meskipun bukti-bukti yang ada sekarang ini masih kurang memadai.4,5Fungsi Utama Ginjal : 4,51. Fungsi ekskresi.a. Mempertahankan osmolalitas plasma sekitar 285 mOsmol dengan mengubah ekskresi air.b. Mempertahankan volume ECF dan tekanan darah dengan mengubah-ubah ekresi Na+. Mempertahankan konsentrasi plasma masing-masing elektrolit individu dalam rentang normal.d. Mempertahankan pH plasma sekitar 7,4 dengan mengeluarkan kelebihan H+ dan membentuk kembali HCO3e. Mengekresikan produk akhir nitrogen dari metabolisme protein (terutama urea, asam urat, dan kreatinin).f. Bekerja sebagai jalur ekskretori untuk sebagian besar obat.2. Fungsi non-ekskresi. a. Mensintesis dan mengaktifkan hormon. b. Renin: penting dalam pengaturan tekanan darah. c. Eritropoetin: merangsang produksi sel darah merah oleh sumsum tulang. d. 1,25 dihidroksivitamin D3: hidroksilasi akhir vitamin D3 menjadi bentuk paling kuat. e. Prostaglandin: sebagian besar adalah vasodilator, bekerja secara lokal, dan melindungi dari kerusakan iskemik ginjal.f. Degradasi hormon polipeptida. Insulin, glukagon, parathormon, prolaktin, hormon pertumbuhan, ADH, dan hormon gastrointestinal (gastrin,polipeptida intestinal vasoaktif [VIP]).Epidemiologi Diperkirakan bahwa sedikitnya 6% pada kumpulan populasi dewasa di Amerika Serikat telah menderita gagal ginjal kronik dengan LFG > 60 ml/mnt per 1,73 m2 (derajat 1 dan 2). Selain itu, 4,5% dari populasi Amerika Serikat telah berada pada derajat 3 dan 4. Data pada tahun 1995-1999, menyatakan bahwa di Amerika Serikat insiden penyakit ginjal kronik diperkirakan 100 kasus/juta penduduk/ tahun dan angka ini meningkat 8% setiap tahun.Di Malaysia dengan populasi 18 juta, diperkirakan terdapat 1800 kasus baru gagal ginjal per tahun.Di negara-negara berkembang lainnya, insiden ini diperkirakan sekitar 40-60 juta/tahun.5EtiologiPenyebab Gagal Ginjal Kronik dapat dibagi dua, yaitu : 5,61. Kelainan parenkim ginjal

- Penyakit ginjal primer Glomerulonefritis Pielonefritis Ginjal polikistik TBC ginjal

- Penyakit ginjal sekunder Nefritis lupus Nefropati analgesic Amiloidosis ginjal

2. Penyakit ginjal obstruktif- Pembesaran prostat batu- Batu saluran kencing, dll.PatofisiologiPatofisiologi dari penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada penyakit awal yang mendasarinya, tetapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi kurang lebih sama. Pengurangan masa ginjal menyebabkan hipertrofi struktur dan fungsi dari nefron yang sehat. Kompensasi hipertrofi ini diperantarai oleh molekul vasoaktif, sitokin, dan growth factor. Hal ini mengakibatkan terjadinya hiperfiltrasi, yang diikuti oleh peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus. Proses adaptasi ini berlangsung singkat, akhirnya diikuti oleh proses maladaptasi berupa sklerosis nefron yang masih tersisa. Proses ini akhirnya diikuti oleh penurunan fungsi nefron yang progresif, walaupun penyakit dasarnya sudah tidak aktif lagi. Adanya peningkatan aktivitas aksis renin-angiotensin-aldosteron intrarenal, ikut memberikan kontribusi tehadap terjadinya hiperfiltrasi sclerosis dan progresifitas penyakit tersebut. 4Aktivasi jangka panjang Aksis renin-angiotensin-aldosteron, sebagian diperantarai oleh Growth Factor, seperti Transforming Growth Factor (TGF-). Beberapa hal yang juga dianggap berperan terhadap progresifitas penyakit ginjal kronik adalah albuminuria, hipertensi, hiperglikemia, dan dislipidemia . Terdapat variabilitas inter individual untuk terjadinya sklerosis dan fibrosis glomerulus maupun tubulointerstisial. Pada stadium paling dini penyakit gagal ginjal kronik, terjadi kehilangan daya cadang ginjal, pada keadaan dimana basal LFG masih normal atau malah meningkat. Kemudian secara perlahan tapi pasti, akan terjadi penurunan fungsi nefron yang progresif, yang ditandai dengan peningkatan kadar ureadan kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar 60%, pasien masih belum merasakan keluhan (asimptomatik), tetapi sudah terjadi peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar 30%, mulai terjadi keluhan pada pasien seperti nokturia, badan lemah, mual, nafsu makan kurang, dan penurunan berat badan. Sampai pada LFG di bawah 30%, pasien memperlihatkan gejala dan tanda uremia yang nyata, seperti anemia, peningkatan tekanan darah, gangguan metabolisme fosfor dan kalsium, pruritus, mual, muntah, dan sebagainya. Pasien juga mudah terkena infeksi saluiran kemih, infeksi saluran napas, maupun infeksi saluran cerna. Juga akan terjadi gangguan keseimbangan air seperti hipo atau hipervolemia, gangguan keseimbangan elektrolit, antara lain Na+ dan K+. Pada LFG di bawah 15%, akan terjadi gejala dan komplikasi yang lebih serius, dan pasien sudah memerlukan terapi pengganti ginjal (Renal Replacement Therapy) antara lain dialisis atau transplantasi ginjal. Pada keadaan ini pasien dikatakan sampai pada stadium gagal ginjal. 4Azotemia adalah Retensi dari produk sisa nitrogen sebagai perkembangan insufisiensi ginjal. Uremia adalah tahap yang lebih berat dari progresivitas insufisiensi ginjal dimana berbagai sistem organ telah terganggu. Meskipun uremia bukan penyebab utama, urea dapat menimbulkan gejala klinis seperti anoreksia , malaise, muntah dan sakit kepala. Produk nitrogen lainnya seperti komponen guanido, urat dan hipurat , hasil akhir metabolisme asam nukleat, poliamin, mioinosital, fenol, benzoat dan indol dapat tertahan dalam tubuh pada penyakit ginjal kronik dalam hal ini dipercaya dapat meningkatkan angka kematian pada uremia. Uremia tidak hanya mempengaruhi kegagalan ekskresi renal saja tetapi dapat juga menyebabkan gangguan pada fungsi metabolik dan endokrin yang dapat menyebabkan anemia malnutrisi, gangguan metabolisme karbohidrat, lemak, protein, gangguan penggunaan energi, dan penyakit tulang metabolik. Lebih jauh lagi kadar plasma berbagai hormon polipeptida seperti paratiroid hormon (PTH), insulin, glukagon, luteinizing hormon, dan prolaktin akan meningkat pada gagal ginjal, bukan hanya karena gangguan katabolisme ginjal tetapi juga karena meningkatkan sekresi endokrin yang menimbulkan konsekuensi sekunder dari ekskresi primer atau gangguan sintetik renal. Dilain sisi , produksi eritropoetin (EPO) dan 1,25- dihidroksikolekalsiferol ginjal terganggu. Jadi patofisiologi dari sindrom uremia dapat dibagi menjadi dua bagian. Yang pertama merupakan akumulasi dari produk metabolisme protein , yang kedua merupakan akibat dari kehilangan dari fungsi ginjal seperti keseimbangan cairan dan elektrolit, kelainan hormon. 4Anemia adalah berkurangnya hingga di bawah nilai normal jumlah sel darah merah , kuantitas hemoglobin, dan volume packed red cells (hematokrit) per 100 ml darah. Anemia bukanlah suatu diagnosis, melainkan suatu cerminan perubahan patofisiologik yang mendasar yang diuraikan melalui anamnesis yang seksama, pemeriksaan fisik, dan konfirmasi laboratorium. Anemia merupakan satu dari gejala klinik pada gagal ginjal. Anemia pada penyakit ginjal kronik muncul ketika klirens kreatinin turun kira-kira 40 ml/mnt/1,73m2 dari permukaan tubuh, dan hal ini menjadi lebih parah dengan semakian memburuknya fungsi ekskresi ginjal. Terdapat variasi hematokrit pada pasien penurunan fungsi ginjal. Kadar nilai hematokrit dan klirens kreatinin memiliki hubungan yang kuat. Kadar hematokrit biasanya menurun, saat kreatinin klirens menurun sampai kurang dari 30 35 ml/menit. Anemia pada gagal ginjal merupakan tipe normositik normokrom apabila tidak ada faktor lain yang memperberat seperti defisiensi besi yang terjadi pada gagal ginjal. Anemia ini bersifat hiporegeneratif. Jumlah retikulosit yang nilai hematokrit nya dikoreksi menjadi normal, tidak adekuat. Terdapat 3 mekanisme utama yang terlibat pada patogenesis anemia pada gagal ginjal, yaitu: Hemolisis, produksi eritropoetin yang tidak adekuat, dan penghambatan respon dari sel prekursor eritrosit terhadap eritropoetin. Proses sekunder yang memperberat dapat terjadi seperti intoksikasi aluminium. 41. Hemolisis.Hemolisis pada gagal ginjal terminal adalah derajat sedang. Pada pasien hemodialisis kronik, masa hidup eritrosit diukur menggunakan 51Cr menunjukkan variasi dari sel darah merah normal yang hidup tetapi rata-rata waktu hidup berkurang 25-30%. Penyebab hemolisis terjadi di ekstraseluler karena sel darah merah normal yang ditransfusikan kepada pasien uremia memiliki waktu hidup yang memendek, ketika sel darah merah dari pasien dengan gagal ginjal ditransfusikan kepada resipien yang sehat memiliki waktu hidup yang normal. Efek faktor yang terkandung pada uremic plasma pada Na-ATPase membran dan enzim dari Pentosa phospat shunt pada eritrosit diperkirakan merupkan mekanisme yang menyebabkan terjadinya hemolisis. Kelainan fungsi dari Pentosa phospat shunt mengurangi ketersediaan dari glutation reduktase, dan oleh karena itu mengartikan kematian eritrosit menjadi oksidasi Hb dengan proses hemolisisis. Kerusakan ini menjadi semakin parah apabila oksidan dari luar masuk melalui dialisat atau sebagai obat-obatan. Peningkatan kadar hormon PTH pada darah akibat sekunder hiperparatioidsm juga menyebabkan penurunan sel darah merah yang hidup pada uremia, sejak PTH yang utuh atau normal terminal fragmen meningkatkan kerapuhan osmotik dari SDM manusia secara in vitro, kemungkinan oleh karena peningkatan kerapuhan seluler. Hyperparatiroidism dapat menekan produksi sel darah merah melalui 2 mekanisme.yang pertama, efek langsung penekanan sumsum tulang akibat peningkatan kadar PTH, telah banyak dibuktikan melalui percobaan pada hewan. Yang kedua, efek langsung pada osteitis fibrosa, yang mengurangi respon sumsum tulang terhadap eritropoetin asing. Terdapat laporan penelitian yang menyatakan adanya peningkatan Hb setelah dilakukan paratiroidektomi pada pasien dengan uremia. Mekanisme lainnya yang menyebabkan peningkatan rigiditas eritrosit yang mengakibatkan hemolisis pada gagal ginjal adalah penurunan fosfat intraseluler (hipofosfatemia) akibat pengobatan yang berlebihan dengan pengikat fosfat oral, dengan penurunan intracellular adenine nucleotides dan 2,3- diphosphoglycerate (DPG). Hemolisis dapat timbul akibat kompliksaidari prosedur dialisis atau dari interinsik imunologi dan kelainan eritrosit. Kemurnian air yang digunakan untuk menyiapkan dialisat dan kesalahan teknik selama proses rekonstitusi dapat menurunkan jumlah sel darah merah yang hidup, bahkan terjadi hemolisis. Filter karbon bebas kloramin yang tidak adekuat akibat saturasi filter dan ukuran filter yang tidak mencukupi, dapat mengakibatkan denaturasi hemoglobin, pemhambatan hexose monophosphate shunt, dan hemolisis kronik. Lisisnya sel juga dapat disebabkan tercemarnya dialisat oleh copper, nitrat, atau formaldehide. Autoimun dan kelainan biokomia dapat menyebabkan pemendekan waktu hidup eritrosit. Hipersplenism merupakan gejala sisa akibat transfusi, yang distimulasi oleh pembentukan antibodi, fibrosis sumsum tulang, penyakit reumatologi, penyakit hati kronis dapat mengurangi sel darah merah yang hidup sebanyak 75% pada pasien dengan gagal ginjal terminal. Ada beberapa mekanisme lainnya yang jarang , yang dapat menyebabkan hemolisis seperti kelebihan besi pada darah, Zn, dan formaldehid, atau karena pemanasan berlebih. Perburukan hemolisis pada gagal ginjal juga dapat disebabkan karena proses patologik lainnya seperti splenomegali atau mikroangiopati yang berhubungan dengan periarteritis nodosa, SLE, dan hipertensi maligna. 42. Defisiensi Eritropoetin

Hemolisis sedang yang disebabkan hanya karena gagal ginjal tanpa faktor lain yang memperberat seharusnya tidak menyebabkan anemia jika respon eritropoesis mencukupi tetapi proses eritropoesis pada gagal ginjal terganggu. Alasan yang paling utama dari fenomena ini adalah penurunan produksi eritropoetin pada pasien dengan gagal ginjal yang berat. Produksi eritropoetin yang inadekuat ini merupakan akibat kerusakan yang progresif dari bagian ginjal yang memproduksi eritropoetin. Peran penting defisiensi eritropoetin pada patogenesis anemia pada gagal ginjal dilihat dari semakin beratnya derajat anemia. Selanjutnya pada penelitian terdahulu menggunakan teknik bio-assay menunjukkan bahwa dalam perbandingan dengan pasien anemia tanpa penyakit ginjal, pasien anemia dengan penyakit ginjal menunjukkan peningkatan konsentrasi serum eritropoetin yang tidak adekuat.Inflamasi kronik, menurunkan produksi sel darah merah dengan efek tambahan terjadi defisiensi erotropoetin. Proses inflamasi seperti glomerulonefritis, penyakit reumatologi, dan pielonefritis kronik, yang biasanya merupakan akibat pada gagal ginjal terminal, pasien dialisis terancam inflamasi yang timbul akibat efek imunosupresif. 4

3. Penghambatan eritropoesis.

Dalam hal pengurangan jumlah eritropoetin, penghambatan respon sel prekursor eritrosit terhadap eritropoetin dianggap sebagai penyebab dari eritropoesis yang tidak adekuat pada pasien uremia. Terdapat toksin-toksin uremia yang menekan proses ertropoesis yang dapat dilihat pada proses hematologi pada pasien dengan gagal ginjal terminal setelah terapi reguler dialisis. Ht biasanya meningkat dan produksi sel darah merah yang diukur dengan kadar Fe yang meningkat pada eritrosit, karena penurunan kadar eritropetin serum. Substansi yang menghambat eritropoesis ini antara lain poliamin, spermin, spermidin, dan PTH hormon. Spermin dan spermidin yang kadar serumnya meningkat pada gagal ginjal kronik yang tidak hanya memberi efek penghambatan pada eritropoesis tetapi juga menghambat granulopoesis dan trombopoesis. Karena ketidakspesifikkan, leukopenia, dan trombositopenia bukan merupakan karakteristik dari uremia, telah disimpulkan bahwa spermin dan spermidin tidak memiliki fungsi yang signifikan pada patogenesis dari anemia pada penyakit ginjal kronik. Kadar PTH meningkat pada uremia karena hiperparatiroidsm sekunder tetapi hal ini masih kontroversi jika dikatakna bahwa PTH memberikan efek penghambatan pada eritropoesis. Walaupun menurut penelitian, dilaporkan paratiroidektomi menyebabkan peningkatan dari kadar Hb pada pasien uremia, peneliti lain mengatakan tidak ada hubungan antara kadar PTH dengan derajat anemia pada pasien uremia. Walaupun efek langsung penghambatan PTH pada eritropoesis belum dibuktikan secara final, akibat yang lain dari peningkatan PTH seperti fibrosis sum-sum tulang dan penurunan masa hidup eritrosit ikut bertanggung jawab dalam hubungan antara hiperparatiroidsm dan anemia pada gagal ginjal. 4

4.Mekanisme lain yang mempengaruhi eritropoesis pada pasien dengan gagal ginjal terminal dengan reguler hemodialisis adalah intoksikasi aluminium akibat terpapar oleh konsentrasi tinggi dialisat alumunium dan atau asupan pengikat fosfat yang mengandung aluminium. Aluminium menyebabkan anemia mikrositik yang kadar feritin serum nya meningkat atau normal pada pasien hemodialisis, menandakan anemia pada pasien tersebut kemungkinan diperparah oleh intoksikasi alumnium. Patogenesis nya belum sepenuhnya dimengerti tetapi terdapat bukti yang kuat yang menyatakan bahwa efek toksik aluminium pada eritropoesis menyebabkan hambatan sintesis dan ferrochelation hemoglobine. Akumulasi aluminium dapat mempengaruhi eritropoesis melalui penghambatan metabolisme besi normal dengan mengikat transferin, melalui terganggunya sintesis porfirin, melalui terganggunya sirkulasi besi antara prekursor sel darah merah pada sumsum tulang. 4Manifestasi GGK dan Uremia:

1. Gangguan keseimbangan cairan elektrolit dan asam basa4a. Homeostasis Natrium dan Air.Pada kebanyakan pasien dengan penyakit ginjal kronik yang stabil kandungan Natrium dan H2O pada seluruh tubuh meningkat secara perlahan penyebabnya adalah terganggunya keseimbangan glomerulotubular yang menyebabkan retensi natrium atau natrium dari proses pencernaan menyebabkan penambahan natrium yang menyebabkan ekspansi volume cairan ekstra seluler (CES) dimana ekspansi CES akan menimbulkan hipertensi yang menyebabkan kerusakkan ginjal lebih jauh. Pasien dengan penyakit ginjal kronik yang belum di dialisis tetapi terbukti terjadi ekspansi CES, pemberian loop diuretik bersama dengan pengurangan intake garam dapat digunakan sebagai terapi. Pasien dengan penyakit ginjal kronis juga memiliki gangguan mekanisme ginjal untuk menyimpan natrium dan H2O. Ketika penyebab ekstra renal pada kehilangan cairan terjadi seperti muntah, diare, berkeringat, demam, pasien akan mengalami kekurangan CES. 4 b. Homeostasis Kalium.Pada penyakit ginjal kronik, penurunan LFG tidak selalu disertai dengan penurunan ekskresi kalium urine. Walaupun demikian hiperkalemia dapat terjadi dengan gejala klinis berupa konstipasi, katabolisme protein, hemolisis, pendarahan , transfusion of stored redblood cells, augmented dietary intake, metabolik asidosis dan beberapa obat dapat menghambat kalium masuk ke dalam sel atau menghambat sekresi kalium di distal nefron. Hipokalemia jarang terdapat pada penyakit ginjal kronik. Biasanya merupakan tanda kurangnya intake kalium dalam kaitannya pada terapi diuretik atau kehilangan dari gastro intestinal.

c. Metabolik Asidosis. 4Dengan berlanjutnya gagal ginjal seluruh ekskresi asam sehari hari dan produksi penyangga jatuh dibawah kadar yang diperlukan untuk mempertahankan keseimbangan eksternal ion-ion hidrogen. Asidosis metabolik ialah akibat yang tidak dapt dihindarkan. Pada kebanyakan pasien dengan insufisiensi ginjal yang stabil, pemberian 20-30 mmol/hari natrium bikarbonat atau natrium sitrat memperbaiki asidosis. Namun dalam respons terhadap tantangan asam yang mendadak (apakah dari sumber endogen atau eksogen), pasien gagal ginjal kronik, rentan terhadap asidosis, yang dibutuhkan jumlah alkali yang besar utuk koreksi. Pemberian natrium harus dilaksanakan dengan perhatian yang seksama terhadap status volume.

2. Penyakit tulang dan kelainan metabolisme kalsium dan fosfat. 4Kelainan mayor dari penyakit tulang pada penyakit ginjal kronik dapat diklasifikasikan sebagai high bone turnover dengan tingginya kadar PTH atau low bone turnover dengan rendah atau normalnya PTH. Patofisiologi dari penyakit tulang akibat sekunder hiperparatiroidism berhubungan dengan metabolisme mineral yang abnormal yaitu :

(1). Penurunan LFG menyebabkan penurunan ekskresi inorganik fosfat (PO43-) dan menimbulkan retensi PO43-.(2). Tertahannya PO43- memiliki efek langsung terhadap sintesis PTH dan masa selkelenjar para tiroid.(3) Tertahannya PO43- juga menyebabkan terjadinya produksi yang berlebihan dan sekresi PTH melalui turunnya ion Ca2+ dan dengan supresi produksi kalsitriol (1,25 dihidroksi oleh kalsiferol).(4) Penurunan produksi kalsitriol merupakan hasil dari penurunan sintesis akibat pengurangan masa ginjal dan akibat hiperfosfatemia. Kadar kalsitriol yang rendah, pada akhirnya, menimbulkan hiperparatiroidism melalui mekanisme langsung dan tidak langsung. Kalsitriol diketahui memiliki efek supresi langsung pada transkripsi PTH. Oleh karena itu penurunan kalsitriol pada panyakit ginjal kronik menyebabkan peningkatan kadar PTH. Selain itu pengurangan kalsitriol menimbulkan gannguan absorbsi Ca2+ dari traktus gasrto interstinal, yang kemudian menimbulkan hipokalsemia, yang selanjutnyameningkatkan sekresi dan produksi PTH. Secara keseluruhan, hiperfosfatemia, hipokalsemia, dan penurunan sintesis kalsitriol, semuanya menyebabkan produksi PTHdan proliferasi dari paratiroid sel, yang menimbulkan hiperparatiroid sekunder. Low turn over bone disease dapat diklasifikasikan dalam 2 kategori, yaitu osteomalasia dan penyakit tulang adinamik. Keduanya memiliki karakteristik berupa penurunan jumlah osteoklas dan osteoblas dan dikemudian hari terjadi penurunan aktifitas. Pada osteomalasia, terdapat akumulasi matriks tulang yang tidak termineralisasi, atau peningkatan volume osteoid, yang dapat menyebabkan defisiensi vitamin D, peningkatan deposit aluminium, atau asidosis metabolik. Penyakit tulang adinamik dikenali sebagai kejadian lesi tulang hiperparatiroid pada pasien dengan penyakit ginjal kronik dan gagal ginjak kronik, dan ini biasanya terjadi pada pasien dengan diabetes. Penyakit tulang dinamik memiliki kriteria berupa pengurangan volume tulang dan mineralisasi dan merupakan hasil supresi produksi PTH denagn terapi kalsitriol. Osteodistrofi renal merupakan komplikasi penyakit ginjal kronik yang sering terjadi. Penatalaksaan osteodistrofi renal dilaksanakan dengan mengatasi hiperfosfatemia dan pemberian hormon kalsitriol (1,25(OH)2D3). Penatalaksanaan hiperfosfatemia meliputi pembatasanasupan fosfat, pemberian pengikat fosfat dengan tujuan menghambat absorpsi fosfat disaluran cerna. Dialisis yang dilakukan pada pasien dengan gagal ginjal juga ikut berperan dalam mengatasi hiperfosfatemia. 4

3. Kelainan kardiovaskuler.4 a. Penyakit Jantung Iskemik.

Peningkatan prevalensi penyakit jantung koroner merupakan akibat dari faktor resiko tradisional (klasik), yaitu hipertensi, hipervolemia, dislipidemi, overaktivitas simpatis, dan hiperhomosisteinemia. Dan faktor resiko nontradisional, yaitu anemia, hiperfosfatemia, hiperparatiroidisme, dan derajat mikroinflamasi yang dapat ditemukan dalam setiap derajat penyakit ginjal kronik. Derajat inflamasi meningkatkan reaktan fase akut, seperti interleukin 6 dan Creaktif protein, yang menyebabkan proses penyumbatan koroner dan meningkatkan resiko penyakit kardiovaskuler. Nitride oksida merupakan mediator yang penting dalam pada dilatasi vaskular. Keberadaan nitrit oksida, pada penyakit ginjal kronik menurun sebab terjadi prningkatan konsentrasi asimetris dimetil-1-arginin.

b. Gagal jantung kongestif. Kelainan fungsi jantung, seperti myocardial ischemic disease dan atau left ventricular hypertrophy, bersamaan dengan retensi air dan garam pada uremia, kadang menyebabkan gagal jantung kongestif dan edema pulmonal.

c. Hipertensi dan hipertrofi ventrikel kiri.Hipertensi merupakan komplikasi penyakit ginjal kronik yang paling sering. Hipertensi yang berkepanjangan menyebabkan terjaadinya hipertrofi ventrikel.

4. Kelainan hematologi.a. Anemia. 7Anemia terjadi pada 80 90 % pasien penyakit ginjal kronik terutama disebabkan oleh defisiensi eritropoetin. Hal-hal lain yang ikut berperan dalam terjadinya anemia adalah defisiensi besi, kehilangan darah (misal, perdarahan saluran cerna, hematuri), masa hidup eritrosit yang pendek akibat terjadinya hemolisis, defisiensi asam folat, penekanan sumsum tulang oleh substansi uremik, proses inflamasi akut maupun kronik, hirparatiroidisme yang berat, keracunan aluminium, dan keadaan umum lain seperti hemoglobinopaties. Anemia yang tidak diterapi akan berhubungan dengan beberapa kelainan fisiologis, seperti penurunan pengantaran dan penggunaan oksigen ke jaringan, meningkatkan cardiac output, pembesaran jantung, hipertrofi ventrikel, angina, gagal jantung kongestif, penurunan fungsi mental dan kognitif, gangguan siklus menstruasi, gangguan host untuk melawan infeksi. Selain itu anemia dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan pada anak dengan penyakit ginjal kronik. Evaluasi terhadap anemia dimulai saat kadar hemoglobin 10 g % atau hematokrit 30 %, meliputi evaluasi terhadap status besi (kadar besi serum/serum iron,kapasitas ikat besi total/total iron binding capacity, feritin serum), mencari sumber paerdarahan, morfologi eritrosit, kemungkinan adanya hemolisis dan lain sebagainya.

b. Gangguan pembekuan. 4Hal ini berhubungan dengan pemanjangan bleeding time, penurunan aktivitas faktor pembekuan III, kelainan platelet agregation, dan gangguan konsumsi protrombin. Gejala kliniknya berupa perdarahan yang abnormal, perdarahan dari luka operasi, perdarahan spontan dari traktus gastro intestinal,dll.

5. Kelainan neuromuskularNeuropati sentral, perifer, dan otonom, dengan gangguan komposisi dan fungsi otot, merupakan komplikasi yang sering pada penyakit ginjal kronik. Gejala awal pada sistem saraf pusat, seperti gangguan ingatan sedang, gangguan konsentrasi, dan gangguan tidur; iritabilitas neuromuskular, seperti hiccups, keram, fasikulasi atau twiching otot. Pada uremia terminal, didapatkan astherixis, mioklonus, chorea, bahkan sampai terjadi kejangdan koma. Neuropati perifer biasanya menyerang saraf sensoris lebih dari saraf motorik, ekstremitas bawah lebih dari ekstemitas atas, bagian distal lebih dari bagian proximal. 4

6. Kelainan gastrointestinal.Kelainan pada gastrointestinal antara lain uremic foetor ,sensasi pengecapan sepertimetal, gastritis, peptic disease, ulserasi mukosa pada saluran pencernaan yang dapatmenyababkan nyeri perut, mual, muntah, dan kehilangan darah,peningkatan insidenterjadinyadivertikulosis, pada pasien dengan penyakit ginjal polikistik, meningkatkanterjadinya pankreatitis. 4

7. Gangguan metabolik endokrinPada penyakit ginjal kronik terjadi gangguan metbolisme glukosa dan pada wanita terjadipenurunan hormon estrogen, sehingga terjadi amenorea, dan kemungkinan untuk menjadihamil menjadi sangat kecil. Pada laki-laki yang telah menjalani dialisis dalam waktu yang lama akan terjadi impotensi, oligospermia, displasia sel germinal, yang menurunkankadar testosteron plasma.

8. Kelainan dermatologi.Pada penyakit ginjal kronik terdapat pallor pada kulit akibat anemia, ekimosis dan hematoma akibat gannguan pembekuan, gatal dan ekskoriasi akibat deposisi calcium fosfat dan hiperparatiroid sekunder, diskolorasi berwarna kuning akibat deposisi pigmen metabolik dan urokrom, serta uremic frost akibat kadar urea itu sendiri.

Gambar 5. Manifestation chronik renal failure

Klasifikasi 4,5Klasifikasi penyakit ginjal kronik didasarkan atas 2 hal yaitu atas dasar derajat penyakit dan diagnostik etiologi. Klasifikasi atas dasar derajat penyakit dibuat atas satu dari dua persamaan berdasarkan konsntrasi kreatinin plasma, umur, jenis kelamin, etnik. Pertama, persamaan dari penelitian modifikasi diet pada penyakit ginjal yaitu:

Kedua, persamaan dari Kockcroft-Gault sebagai berikut : Klasifikasi menurut NICE 2008 8 1. Memeriksa adanya proteinuria saat menentukan stadium dari GGK2. Proteinuria:a. Urin ACR (albumin clearance ratio) 30mg/mmol atau lebih.b. Urin PCR 50 mg/mmol atau lebih. (dengan perkiraan urinary protein excreation 0,5 g/24jam atau lebih)

3. Stadium 3 dari GGK harus dibagi menjadi 2 subkategori:a. LFG 45 59 ml/min/1,73 m2 (stadium 3A)b. LFG 30 44 ml/min/1,73 m2 (stadium 3B)

Tabel 1. Stadium penyakit ginjal kronik.5. Penanganan pada GGK tidak boleh dipengaruhi oleh usia. Pada orang dengan usia > 70 tahun dengan LFG 45 59 ml/min/1,73 m2 , apabila keadaan tersebut stabil seiring dengan waktu tanda ada kemungkinan dari gagal ginjal, biasanya hal tersebut tidak berhubungan dengan komplikasi dari GGK.

Manifestasi klinis

Kardiovaskuler:

a. Hipertensib. Pembesaran vena leherc. Pitting edemad. Edema periorbitale. Friction rub pericardial

Pulmoner:

a. Nafas dangkalb. Krekelsc. Kusmauld. Sputum kental dan liat

Gastrointestinal:

a. Konstipasi / diareb. Anoreksia, mual dan muntahc. Nafas berbau ammoniad. Perdarahan saluran GIe. Ulserasi dan perdarahan pada mulut

Muskuloskeletal:

a. Kehilangan kekuatan ototb. Kram ototc. Fraktur tulang

Integumen:

a. Kulit kering, bersisikb. Warna kulit abu-abu mengkilatc. Kuku tipis dan rapuhd. Rambut tipis dan kasare. Pruritusf. Ekimosis

Reproduksi:

a. Atrofi testisb. Amenore

Sindrom uremia:

a. Lemah letargib. Anoreksiac. Mual dan muntahd. Nokturiae. Kelebihan volume cairan (volume overload).f. Neuropati periferg. Uremic frosth. Perikarditisi. Kejangj. Koma.

Pemeriksaan penunjang6A. Gambaran laboratorium Gambaran laboratorium penyakit ginjal kronik meliputi: sesuai dengan penyakit yang mendasari (diabetes militus, hipertensi, dll). Penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan kadar ureum dan kreatinin serum, dan penurunan LFG yang dihitung menggunakan rumus kockcroft-gault. Kadar kreatinin serum saja tidak bisa dipergunakan untuk memperkirakan fungsi ginjal. Kelainan biokimiawi darah meliputi penurunan kadar hemoglobin, peningkatan kadar asam urat, hiper atau hipokalemia, hiponatremia, hiper atau hipokloremia, hiperfosfatemia, hipokalsemia, asidosis metabolik. Kelainan urinalisis meliputi proteinuria, hematuri, leukosituria, cast, isosisteinuria.B. Gambaran radiologi 6Pemeriksaan radiologi Penyakit ginjal kronik meliputi:

Foto polos abdomen, bisa tampak batu radio-opaque. Pielografi intravena jarang dikerjakan, karena kontras sering tidak bisa melewati filter glomerulus, di samping kekhawatiran pasien terjadinya pengaruh toksik oleh kontras terhadap ginjal yang sudah mengalami kerusakkan. Pielografi antegrad atau retrograd dilakukan sesuai indikasi. USG ginjal memperlihatkan ukuran ginjal yang mengecil, korteks yang menipis, adanya hidronefrosis atau batu ginjal, kista, massa, kalsifikasi. Indikasi USG (NICE 2008): Progresif GGK (LFG turun > 5 ml.min.1,73m2 dalam 5 tahun). Adanya hematuria Ada gejala obstruksi saluran kencing Ada riwayat keluarga penyakit ginjal polikistik dan berusia lebih dari 20tahun. GGK stadium 4 dan 5. Memerlukan biopsi ginjal. Pemeriksaan pemindaian ginjal atau renogarfi dikerjakan bila ada indikasi.Diagnosis 5 Diagnosis GGK ditegakan apabila LFG < 60 ml/min/1,73m2 selama lebih dari 3 bulan, atau adanya bukti gagal ginjal (gambaran patologi yang abnormal atau adanya tanda kerusakan, termasuk abnormalitas dari pemeriksaan darah dan urin atau gambaran radiologi). Bila dar hasil pemeriksaan yang sudah dilakukan belum dapat menegakkan diagnosis, maka dapat dilakukan biopsy ginjal terutama pada pasien dengan ukuran ginjal mendekati normal. Tetapi prosedur ini dikontraindikasikan pada ginjal yang kecil bilateral, penyakit ginjal polikistik, hipertensi tidak terkontrol, infeksi traktur urinarius, kelainan perdarahan, gangguan pernapasan dan morbid obesity.Penatalaksanaan Farmakoterapi 8A. Kontrol tekanan darah Pada orang dengan GGK, harus mengkontrol tekanan sistolik < 140 mmHg (dengan kisaran target 120 139 mm Hg) dan tekanan diastolic < 90 mmHg. Pada orang dengan GGK dan Diabetes dan juga orang dengan ACR 70 mg/mmol atau lebih (kira-kira ekuivalent dengan PCR 100 mg/mmol atau lebih, atau proteinuria 1 gr/24jam atau lebih), diharuskan untuk menjaga tekanan sistolik < 130 mmHg (dengan kisaran target 120-129 mmHg) dan tekanan diastolik < 80 mmHg.B. Pemilihan agen antihipertensi: 81st line: ACEInhibitor/ARBs (apabila ACEInhibitor tidak dapat mentolerir).

ACE Inhibitor/ARBs diberikan pada: 8 Pada GGK dengan diabetes dan ACR lebih dari 2,5 mg/mmol (pria) atau lebih dari 3,5 mg/mmol (wanita), tanpa adanya hipertensi atau stadium GGK.Note: Perbedaan kedua batas ACR berbeda diberikan di sini untuk memulai pengobatan ACE Inhibitor pada orang dengan CKD dan proteinuria. Potensi manfaat ACE inhibitor dalam konteks ini sangat meningkat jika seseorang juga memiliki diabetes dan hipertensi dan dalam keadaan ini, sebuah batas yang lebih rendah diterapkan. GGK pada non-diabetik dengan hipertensi dan ACR 30 mg/mmol atau lebih (kira-kira ekuivalen dengan PCR 50 mg/mmol atau lebih, proteinuria 0,5 gr/24jam atau lebih). GGK pada non-diabetik dan ACR 70 mg/mmol atau lebih (kira-kira ekuivalen dengan PCR 100 mg/mmol atau lebih, proteinuria 1 gr/24jam atau lebih), tanpa adanya hipertensi atau penyakit kardivaskular. GGK pada non-diabetik dengan hipertensi dan ACR < 30 mg/mmol (kira-kira ekuivalen dengan PCR < 50 mg/mmol, atau proteinuria < 0,5 gr/24jam. Saat menggunakan ACE Inhibitor/ARBs, upayakan agar mencapai dosis terapi maksimal yang masih dapat ditoleransi sebelum menambahkan terapi 2nd line (spironolakton).

Hal-hal yang perlu diingat saat menggunakan ACE Inhibitor/ARBs: 8 Orang dengan GGK, harus mengetahui konsentrasi serum potassium dan perkiraan LFG sebelum memulai terapi ACE Inhibitor/ARBs. Pemeriksaan ini diulang antara 1 sampai 2 minggu setelah penggunaan obat, dan setelah peningkatan dosis. Terapi ACE Inhibitor/ARBs tidak boleh dimulai apabila konsentrasi serum potassium secara signifikan > 5,0 mmol/L. Keadaan hiperkalemia menghalangi dimulainya terapi tersebut, karena menurut hasil penelitian terapi tersebut dapat mencetuskan hiperkalemia. Obat-obat lain yang digunakan saat terapi ACE Inhibitor/ARBs yang dapat juga mencetuskan hiperkalemia, bukan kontraindikasi penggunaan terapi tersebut, tapi harus menjaga konsentrasi serum potassium. Stop terapi tersebut, bila konsentrasi serum potassium meningkat > 6,0 mmol/L atau lebih dan obat lain yang diketahui dapat meningkatkan hiperkalemia sudah tidak digunakan. Dosis terapi tidak boleh ditingkatkan bila batas LFG saat sebelum terapi kurang dari 25% atau kreatinin plasma meningkat dari batas awal kurang dari 30%: Investigasi adanya deplesi volume ataupun penggunaan NSAIDs. Apabila tidak ada penyebab (yang diatas), stop terapi atau dosis harus diturunkan dan alterlatif antihipertensi lain bisa digunakan.C. Pemilihan statins dan antiplatelet8 Terapi statin digunakan untuk pencegahan primer penyakit kardiovaskular.7 Pada orang dengan GGK, penggunaannya-pun tidak berbeda. Penggunaan statin pada orang dengan GGK merupakan pencegahan sekunder dari penyakit kardiovaskular, terlepas dari batas nilai lipid-nya. Penggunaan antiplatelet pada orang dengan GGK merupakan pencegahan sekunder dari penyakit kardiovaskular. GGK bukan merupakan kontraindikasi dari penggunaan aspirin dosis rendah, tetapi dokter harus memperhatikan adanya kemungkinan perdarahan minor pada orang dengan GGK yang diberikan antiplatelet multipel.D. Komplikasi lainnya8Metabolisme tulang dan osteoporosis - Melakukan pengukurang rutin untuk kalsium, fosfat, paratiroid hormone (PTH) dan level vitamin D pada orang dengan GGK stadium 1, 2, 3A/3B, tidak tirekomendasikan.- Melakukan pengukuran kalsium, fosfat, konsentrasi PTH pada orang dengan GGK stadium 4 dan 5 (LFG < 30 ml/min/1,73m2 ).- Memberikan bisphosphonate, apabila ada indikasi untuk mencegah dan mengobati osteoporosis pada orang dengan GGK stadium 1, 2, 3A/3B.- Pemberian suplemen vitamin D:o GGK stadium 1, 2, 3A/3B diberikan cholecalciferol atau ergocalciferol.o GGK stadium 4 dan 5 diberikan 1-alpha-hydroxycholecalciferol (alfacalcidol) atau 1,25 dihydroxycholecalciferol (calcitrol).- Monitor lonsentrasi serum kalsium dan fosfat pada orang yang mendapatkan terapi diberikan 1-alpha-hydroxycholecalciferol (alfacalcidol) atau 1,25-dihydroxycholecalciferol (calcitrol).

E. Anemia 9 Penanganan anemia pada GGK harus dilakukan saat Hb < 11 g/dl (atau 10 g/dl pada usia < 2 tahun). Menentukan apakah anemia disebabkan oleh GGK atau bukan. Dengan memperhatikan LFG < 60 ml/min/1.73m2 . Anemia defisiensi zat besi, biasanya pada:o Orang dengan GGK stadium 5 dengan level ferritin < 100 mikrogram/L.o Orang dengan GGK stadium 3 dan 4, dengan level ferritin < 100 mikrogram/L. Penanganan anemia1. Suplementasi eritropoetin Terapi yang sangat efektif dan menjanjikan telah tersedia menggunakan recombinant human eritropoetin yang telah diproduksi untuk aplikasi terapi. Seperti yang telah di demonstrasikan dengan plasma kambing uremia yang kaya eritropoetin, human recombinant eritropoetin diberikan intravena kepada pasien hemodialisa ,telah dibuktikan menyebabkan peningkatan eritropoetin yang drastis. Hal ini memungkinkan untuk mempertahankan kadar Hb normal setelah transfusi darah berakhir pada pasien bilateral nefrektomi yang membutuhkan transfusi reguler. Pada gambar.3, saat sejumlah erotropoetin diberikan IV 3x seminggu setelah setiap dialisa, pasien reguler hemodialisis merespon dengan peningkatan Ht dengan dosis tertentu dalam beberapa minggu. Percobaan menunjukkan bahwa AB yang melawan materirekombinan dan menghambat terhadap penggunaan eritropoetin tidak terjadi. Efek samping utamanya adalah meningkatkan tekanan darah dan memerlukan dosis Heparin yang tinggi untuk mencegah pembekuan pada sirkulasi ekstra korporial selama dialisis. Pada beberapa pasien, trombosis pada pembuluh darah dapat terlihat. Peningkatan tekanan darah bukan hanya akibat peningkatan viskositas darah tetapi juga peningkatan tonus vaskular perifer. Komplikasi trombosis juga berkaitan dengan tingginya viskositas darah bagaimanapun sedikitnya satu kelompok investigator terlihat peningkatan trombosit. Penelitian in vitro menunjukkan efek stimulasi human recombinant eritropoetin pada diferensiasi murine megakariosit. Lalu trombositosis mungkin mempengaruhi hiperkoagubilitas. Konsentrasi serum predialisis ureum kreatinin yang meningkat dan hiperkalemia dapat mengakibatkan berkurangnya efisiensi dializer karena tingginya Ht dan peningkatan nafsu makan karena peningkatan keadaan umum. Kecepatan eritropoesis yang dipengaruhi oleh eritropoetin dapat menimbulkan defisiensi besi khususnya pada pasien dengan peningkatan blood loss. Seluruh observasi ini mengindikasikan bahwa recombinant human eritropoetin harus digunakan dengan hati-hati. Hal ini juga memungkinkan bahwa kebanyakan efek samping ini dapat diminimalkan jika nilai Hematokrit tidak meningkat ke normal, tetapi pada nilai 30-35%. Produksi recombinant human eritropoetin merupakan manajemen yang utama pada pasien uremia. Indikasi dan Kontraindikasi terapi EPO: 10 1) Indikasi: Bila Hb < 10 g/dL, Ht < 30% pada beberapa kali pemeriksaan dan penyebab lain anemia sudah disingkirkan. Syarat pemberian adalah: a. Cadangan besi adekwat : feritin serum > 100 mcg/L, saturasi transferin > 20%. b. Tidak ada infeksi yang berat.2) Kontraindikasi: hipersensitivitas terhadap EPO.3) Keadaan yang perlu diperhatikan pada terapi EPO, hati-hati pada keadaan:a. Hipertensi tidak terkontrol.b. Hiperkoagulasi.c. Beban cairan berlebihan / fluid overload.Terapi Eritropoietin ini memerlukan syarat yaitu status besi yang cukup, terdapat beberapa kriteria pengkajian status besi pada GGK:10i. Anemia dengan status besi cukup.ii. Anemia defisiensi besi:a. Anemia defisiensi besi absolut : Feritin serum < 100 mcg/Lb. Anemia defisiensi besi fungsional: Feritin serum > 100 mcg/L Saturasi Transferin < 20 %Terapi Eritropoietin Fase koreksi: 10,11Tujuan: Untuk mengoreksi anemia renal sampai target Hb/Ht tercapai.a. Pada umumnya mulai dengan 2000-4000 IU subkutan, 2-3x seminggu selama 4 minggu.b. Target respon yang diharapkan : Hb naik 1-2 g/dL dalam 4 minggu atau Ht naik 2-4 % dalam 2-4 mingguc. Pantau Hb dan Ht tiap 4 minggu.d. Bila target respon tercapai: pertahankan dosis EPO sampai target Hb tercapai (> 10 g/dL).e. Bila terget respon belum tercapai naikkan dosis 50%.f. Bila Hb naik >2,5 g/dL atau Ht naik > 8% dalam 4 minggu, turunkan dosis 25%.g. Pemantauan status besi: Selama terapi Eritropoietin, pantau status besi, berikan suplemen sesuai dengan panduan terapi besi.

Terapi EPO fase pemeliharaan: 10,11a. Dilakukan bila target Hb sudah tercapai (>12 g/dL). Dosis 2 atau 1 kali 2000 IU/minggu. Pantau Hb dan Ht setiap bulan Periksa status besi setiap 3 bulan.b. Bila dengan terapi pemeliharaan Hb mencapai > 12 g/dL (dan status besi cukup) maka dosis EPO diturunkan 25% Pemberian eritropoetin ternyata dapat menimbulkan efek samping diantaranya: 10,11

- Hipertensi:i. tekanan darah harus dipantau ketat terutama selama terapi eritropoetin fase koreksi.ii. pasien mungkin membutuhkan terapi antihipertensi atau peningkatan dosis obat antihipertensi.iii. peningkatan tekanan darah pada pasien dengan terapi eritropoietin tidak berhubungan dengan kadar Hb.-Kejang:

i. Terutama terjadi pada masa terapi EPO fase koreksi.ii. Berhubungan dengan kenaikan Hb/Ht yang cepat dan tekanan darah yang tidak terkontrol. Terkadang pemberian EPO menghasilkan respon yang tidak adekwat. Respon EPO tidak adekuat bila pasien gagal mencapai kenaikan Hb/Ht yang dikehendaki setelah pemberian EPO selama 4-8 minggu.Terdapat beberapa penyebab respon EPO yang tidak adekwat yaitu: 10,11a. Defisiensi besi absolut dan fungsional (merupakan penyebab tersering).b. Infeksi/inflamasi (infeksi akses,inflamasi, TBC, SLE,AIDS).c. Kehilangan darah kronik.d. Malnutrisi.e. Dialisis tidak adekwat.f. Obat-obatan (dosis tinggi ACE inhibitor, AT 1 reseptor antagonis).g. Lain-lain (hiperparatiroidisme/osteitis fibrosa, intoksikasi alumunium, hemoglobinopati seperti talasemia beta dan sickle cell anemia, defisiensi asam folat dan vitamin B12, multiple mioloma, dan mielofibrosis, hemolisis, keganasan).Agar pemberian terapi Eritropoietin optimal, perlu diberikan terapi penunjang yang berupa pemberian:a. asam folat : 5 mg/harib. vitamin B6: 100-150 mgc. vitamin B12 : 0,25 mg/buland. vitamin C : 300 mg IV pasca HD, pada anemia defisiensi besi fungsional yang mendapat terapi EPO.e. vitamin D: mempunyai efek langsung terhadap prekursor eritroidf. vitamin E: 1200 IU ; mencegah efek induksi stres oksidatif yang diakibatkan terapi besi intravena.g. Preparat androgen (2-3 x/minggu): Dapat mengurangi kebutuhan EPO Obat ini bersifat hepatotoksik, hati-hati pada pasien dengan gangguan fungsi hati Tidak dianjurkan pada wanita2. Terapi transplantasi ginjal ekstra korporeal atau peritoneal dialisis. 10,11Seluruh terapi pengganti ginjal ekstra korporeal dan peritoneal dialisis pada dasarnya dapat juga mempengaruhi patogenesis anemia pada gagal ginjal, sejak prosedur ini dapat membuang toksin yang menyebabkan hemolisis dan menghambat eritropoesis. Selain itu, pengalaman klinis membuktikan bahwa perkembangannya lebih cepat daripada menggunakan terapi eritropoetin. Ketidakefektivan pada terapi pengganti ginjal merupakan akibat keterbatasan pengetahuan tentang toksin dan cara terbaik untuk menghilangkannya. pendekatan sederhana untuk meningkatkan terapi dtoksifikasi pada uremia dengan meningkatkan batas atas ukuran molekular yang dibuang dengan difusi dan atau transportasi konvektif tidak menghasilkan hasil yang memuaskan. Misalnya, tidak ada data yang membuktikan bahwa hemofiltrasi yang mencakup pembuangan jangkauan molekuler yang lebih besar dibanding hemodialisis dengan membaran selulosa yang kecil, merupakan dua terapi utama dalam mengkoreksi anemia pada gagal ginjal. Selain itu continious ambulatory peritoneal dialysis (CAPD) , juga merupakan terapi dengan pembuangan jangkauan molekuler yang besar, ini lebih baik dibandingkan dengan hemodialisis standar dengan membaran selulosa yang kecil. Hal ini masih tidak jelas jika keuntungan CAPD ini hanya karena pembuangan yang lebih baik dari inhibitor eritropoesis. Beberapa penelitian mengindikasikan CAPD meningkatkan produksi eritropoetin, mungkin juga diluar ginjal dan karena oleh itu meningkatkan eritropoesis. Walaupun mekanismenya belum diketahui terapi dialisis atau prosedur filtrasi. Efek samping utama adalah hipotensi, toksisitas okular, komplikasi neurologi seperti kejang dan mudah terkena infeksi jamur. Efek samping ini berespons terhadap pemberhentian terapi sementara waktu, pengurangan dosis atau pemberhentian terapi. Efek DFO pada anemia dapat berakibat drastis, yang menggambarkan perubahan nilai hemoglobine, feritin serum, dan konsentrasi aluminium, MCV, MCH pada pasien dengan ostemalasia yang berhubungan dengan aluminium. Pada permulaan terapi pasien mengalami anemia mikrositik peningkatan nilai aluminium serum dan feritin. Setelah beberapa bulan terapi dengan DFO, MCV dan MCH pada nilai diatas normal, hemoglobin meningkat secara signifikan dan feritin serum dan aluminium menurun.Prognosis 5Penyakit GGK tidak dapat disembuhkan sehingga prognosis jangka panjangnya buruk, kecuali dilakukan transplantasi ginjal. Penatalaksanaan yang dilakukan sekarang ini, bertujuan hanya untuk mencegah progesivitas dari GGK itu sendiri. Selain itu, biasanya GGK sering terjadi tanpa disadari sampai mencapai tingkat lanjut dan menimbulkan gejala, sehingga penanganannya seringkali terlambat.