Upload
others
View
0
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
14
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Dermatitis
2.1.1 Pengertian Dermatitis
Dermatitis adalah peradangan pada kulit (epidermis dan demis) yang pada
fase akut ditandai secara objektif adanya efloresensi polimorfi (missal eitem,
vesikel, erosi) dan keluhan subjektif gatal, sedangkan pada fase kronis efloresensi
yang dominan adalah skauma, fisura, kulit kering (xerosis) dan likenifikasi (Prakoso,
2017).
Dermatitis adalah peradangan kulit (epidermis dan dermis) sebagai respon
terhadap pengaruh faktor eksogen dan endogen, menimbulkan kelainan klinis
berupa efloresensi polimorfik dan ditandai oleh rasa gatal, dapat berupa penebalan
atau bintil kemerahan, multiple mengelompok atau tersebar, kadang bersisik, berair
dan lainnya (Retnoningsih, 2017).
Dermatitis kontak adalah dermatitis yang disebabkan oleh bahan (substansi)
yang menempel pada kulit (Cahyawati, 2010).
2.1.2 Jenis- Jenis Dermatitis Kontak
Dermatitis kontak berdasarkan penyebab dibagi menjadi 2 yaitu :
1. Dermatitis kontak iritan
a. Pengertian dermatitis kontak iritan
Dermatitis kontak iritan merupakan respon inflamasi yang tidak
berkaitan dengan reaksi imun dikarenakan paparan langsung dari agen
bahan iritan dengan kulit.
14
15
b. Etiologi dan patogenesis
Bahan iritan yang menjadi penyebab dermatitis kontak adalah
bahan yang pada kebanyakan orang dapat mengakibatkan kerusakan sel
bila dioleskan pada kulit dan untuk jangka waktu tertentu. Bahan iritan
dapat diklasifikasikan menjadi :
1) Iritan kulit
2) Rangsangan mekanik : serbuk kaca/serat, wol
3) Bahan kimia : air, sabun
4) Bahan biologi : dermatitis popok
Terdapat 4 mekanisme yang berhubungan dengan terjadinya
dermatitis kontak iritan, meliputi :
1) Hilangnya lapisan lipid disuperfisial dan substansi yang mengikat
air
2) Kerusakan dari membran sel
3) Denaturasi keratin pada epidermis
4) Secara langsung timbulkan efek sitotoksik
Gambar 2.1 menunjukkan penderita yang terkena dermatitis kontak iritan
dikarenakan menggunakan jam tangan dan kalung.
Gambar 2.1 Dermatitis Kontak Iritan Karena Jam Tangan dan Kalung Sumber : Afifah, 2012
16
c. Gejala Klinis
Dermatitis kontak iritan memiliki manifestasi klinis yang dapat
dibagi dalam beberapa kategori, berdasarkan bahan iritan dan pola
paparan. Ada 10 tipe klinis dermatitis kontak iritan yaitu :
1) Reaksi iritasi
2) Dermatitis kontak iritan akut
3) Iritasi akut tertunda
4) Dermatitis kontak iritan kronik kumulatif
5) Iritasi subjektif
6) Iritasi noneritematosus
7) Dermatitis gesekan
8) Reaksi traumatic
9) Reaksi pustular atau acneiform
10) Exsiccation eczematid
2. Dermatitis kontak alergi
a. Pengertian dermatitis kontak alergi
Dermatitis kontak Alergi, yang disebabkan oleh alergen. Alergen
yang paling sering menyebabkan dermatitis jenis ini adalah bahan kimia
dengan berat molekul kurang dari 500-1000 Da, yang juga disebut
sebagai bahan kimia sederhana. Dermatitis yang timbul dipengaruhi
oleh potensi sensitisasi alergen, derajat pajanan dan luasnya penetrasi
dikulit.
17
b. Etiologi dan patogenesis
Mekanisme terjadinya dermatitis kontak alergi mengikuti respon
imun yang diperantarai oleh sel atau reaksi imunologik tipe IV. Reaksi ini
terjadi melalui dua fase yaitu :
1) Fase sensitisasi : hapten yang masuk ke dalam epidermis akan
ditangkap oleh sel Langerhans dengan cara pinositosis dan
diproses secara kimiawi oleh enzim lisosom atau sitosol serta
dikonjugasikan pada molekul HLA-DR untuk menjadi antigen
lengkap. Didalam kelenjar limfe, sel Langerhans mempresentasikan
komplesks antingen. HLA-DR kepada sel T-penolong spesifik.
Setelah itu sel Langerhans mensekresi IL-1 yang menstimulasi sel T
untuk mensekresi IL-2 dan mengekspresi reseptor IL-2. Pada saat
tersebut individu menjadi tersentisasi. Fase ini rata-rata
berlangsung selama 2-3 minggu (Rahmatika, 2019).
2) Fase elistasi : fase ini terjadi pada saat terjadi pajanan ulang
allergen (hapten) yang sama atau serupa (pada reaksi silang).
Seperti pada fase sensitisasi, hapten akan ditangkap oleh sel
Langerhans dan diproses secara kimiawi menjadi antigen, diikat
oleh HLA-DR kemudian diekspresikan dipemukiman sel. Kompleks
HLA-DR antingen akan dipresentasikan kepada sel T yang telah
tersensitisasi baik dikulit maupun dikelenjar limfe sehingga terjadi
proses aktivasi (Rahmatika, 2019).
18
c. Gejala klinis
Pada umumnya penderita mengeluh gatal. Kelainan kulit yang timbul
bergantung pada keparahan dermatitis dan lokalisasinya. Kelainan kulit
yang timbul terbagi menjadi 2 fase yaitu :
1) Fase akut : dimulai dengan bercak eritematosa yang berbatas jelas
kemudian diikuti edema, papulovesikel, vesikel atau bula. Vesikel
atau bula ini dapat pecah sehingga menjadi erosi dan terdapat
eksudasi (basah), bila menjadi kering akan timbul kusta.
2) Fase krisis : kulit kering, berskuama, papul, likenifikasi dan mungkin
terbentuk fisur, batasnya tidak jelas, dapat pula terjadi
hiperpigmentasi.
Berdasarkan gambar 2.2 dibawah menjelaskan bahwa contoh penderita
yang terkena dermatitis kontak alergi
Menurut Afifah (2012), Dermatitis Kontak Iritan (DKI) dan Dermatitis
Kontak Alergi (DKA) keduanya mempunyai perbedaan sebagai berikut :
Gambar 2.2 Dermatitis Kontak Alergi Sumber : Afifah, 2012
19
Tabel 2.1 Perbedaan Dermatitis Kontak Iritan (DKI) dan Dermatitis Kontak Alergi (DKA)
No Variabel DKI DKA
1 Kejadian Dermatitis Amat sering Jarang
2 Terpajan sebelumnya Tidak perlu Harus
3 Tempat yang terkena Tempat dimana kontak, dengan sedikit terjadi perluasan
Tempat terjadinya kontak dan tempat lain (jauh) hanya sebagian orang
4 Kemungkinan terjadi Pada semua orang Hanya sebagian orang
5 Lesi Berbatas tegas sampai kabur
Tidak tegas
6 Gejala subjektif Gatal sampai sakit Gatal
7 Penyakit kulit yang terkait
Stigmata Atopi Penyakit kulit kronis atau pemakaian topical lama
8 Waktu 4-12 jam setelah kontak, lesi muncul pada pajanan pertama
24 jam atau lebih setelah pajanan ulang, tidak ada lesi pada pajanan pertama
Sumber : Afifah, 2012
1) Dermatitis Atopik
Dermatitis atopik ialah keadaan peradangan kulit kronis dan residif,
disertai gatal, yang berhubungan dengan atopi. Kata “atopi” yang pertama
kali diperkenalkan oleh Coca (1928), yaitu istilah yang dipakai untuk
sekelompok penyakit pada individu yang mempunyai riwayat kepekaan
dalam keluarganya, misalnya : asam bronkial, rhinitis alergi, dermatitis
atopic dan konjungtivitas alergi.
2) Liken Simpleks Kronis
Merupakan peradangan kulit kronis, gatal sekali, sirkumskrip,
ditandai dengan kulit tebal dan garis kulit tampak lebih menonjol
menyerupai kulit batang kayu akibat garukan atau gosokan yang berulang-
ulang.
20
3) Dermatitis Numularis
Dermatitis berupa lesi berbentuk mata uang (coin), berbatas
tegas dengan efloresensi berupa papulovesikel, biasanya mudah pecah
sehingga basah (oozing).
4) Dermatitis Statis
Dermatitis ini merupakan dermatitis sekunder akibat hipertensi
vena ekstremitas bawah.
2.1.3 Gambaran Klinis Dermatitis Kontak
Pada umumnya mengeluh gatal, kelainan bergantung pada keparahan
dermatitis. Dermatitis kontak alergi umumnya mempunyai gambaran klinis
dermatitis, yaitu terdapat efloresensi kulit yang bersifat polimorf dan berbatas
tegas. Dermatitis kontak iritan umumnya mempunyai ruam kulit yang lebih bersifat
monomorf dan berbatas lebih tegas dibandingkan dermatitis kontak alergi (Suryani,
2011).
1) Fase Akut
Pada dermatitis kontak iritan akut, satu kali kontak yang pendek
dengan suatu bahan kimiawi kadang-kadang sudah cukup untuk
mencetuskasn reaksi iritan. Jika lemah reaksinya akan menghilang secara
spontan dalam waktu singkat. Luka bakar kimia merupakan reaksi iritan
yang terutama terjadi ketika bekerja dengan zat-zat kimia yang bersifat
dalam kosentrasi yang cukup tinggi.
Pada dermatitis kontak alergi akut, kelainan kulit umumnya
muncul 24-48 jam setelah melalui proses sensititasi. Derajat kelainan
21
kulit yang timbul bervariasi ada yang ringan dan berat. Pada yang ringan
mungkin hanya berupa (kemerahan, bengkak), sedangkan pada yang
berat (kemerahan, bengkak, tonjolan berisi cairan) yang bila pecah akan
terjadi erosi dan eksudasi (cairan). Lesi cederung menyebar dan
batasanya kurang jelas dalam fase ini keluhan subjektif berupa gatal.
2) Fase Kronis
Pada dermatitis kontak iritan kronis disebabkan oleh kontak
dengan iritan lemah yang berulang-ulang dan mungkin bisa terjadi oleh
karena kerjasama berbagai macam faktor. Bisa jadi suatu bahan secara
sendiri tidak cukup kuat menyebabkan dermatitis kontak iritan, tetapi
bila bergabung dengan faktor lain baru mampu untuk menyebabkan
dermatitis kontak iritan.
Pada dermatitis kontak alergi kronik merupakan kelanjutan dari
fase akut yang akan hilang timbul karena kontak yang berulang-ulang.
Lesi cenderung simetris, batasnya kabur, kelainan kulit berpa likenifikasi,
papula, skuama, terlihat pula bekas garukan berupa erosi atau
ekskoriasi, krusta serta eritema ringan. Walaupun bahan yang dicurigai
telah dapat dihindari, bentuk kronis ini sulit sembuh spontan oleh karena
umumnya terjadi kontak dengan bahan lain yang tidak dikenal.
22
2.1.4 Penyebab Dermatitis
Penyebab dermatitis kadang-kadang tidak diketahui sebagian besar
merupakan kulit terhadap agen-agen, misalnya zat kimia, protein, bakteri dan
fungus, respon tersebut dapat berhubungan dengan alergi. Reaksi alergi terjadi atas
dasar interaksi antara intigen dan intibodi. Karena banyaknya agen penyebab ada
anggapan bahwa nama dermatitis digunakan sebagai “tong sampah”. Banyak
penyaki talergi yang disertai tanda-tanda polimorfi disebut dermatitis (Cahyawati,
2010).
2.1.5 Gejala Dermatitis
Menurut Cahyawati (2010) pada umumnya penderita dermatitis mengeluh
gatal pada stadium kelainan kulit dapat berupa Eritma, Edema, Vesikelat Aubula,
Erosi dan Eksudasi, sehingga tampak basah. Pada stadium subakut erit maber
kurang, eksiret mongering menjadi kusta. Sedangkan pada stadium kronis tampak
lesi kering, skuama, Hiperpigmentasi, Likenifikasi dan papul, mungkin juga terdapat
Erosi atau Ekskoriasi karena garukan. Stadium tersebut tidak perlu berurutan, bisa
saja sejak awal suatu dermatitis memberikan gambaran klinis berupa kelainan kulit
kronis. Demikian pula jenis-jenis efloresensinya tidak selalu harus polimori, mungkin
hanya oligomorfi (Cahyawati, 2010).
2.1.6 Faktor Yang Mempengaruhi Dermatitis Kontak
Dermatitis kontak merupakan penyakit kulit multifaktoral yang dipengaruhi
oleh faktor eksogen dan faktor endogen.
23
1. Faktor Eksogen
Faktor yang memperparah terjadinya dermatitis kontak sebenarnya sulit
diprediksi. Beberapa faktor berikut dianggap memiliki pengaruh terhadap terjadinya
dermatitis kontak (Afifah dkk, 2012).
a) Karakteristik bahan kimia
Meliputi pH bahan kimia (bahan kimia dengan Ph terlalu tinggi > 12
atau terlalu rendah < 3 dapat menimbulkan gejala iritasi segera setelah
terpapar, sedangkan pH yang sedikit lebih tinggi > 7 atau sedikit lebih rendah
< 7 memerlukan paparan ulang untuk mampu timbulkan gejala), jumlah dan
konsentrasi (semakin pekat konsentrasi bahan kimia maka semakin banyak
pula bahan kimia yang terpapar dan semakin poten untuk merusak lapisan
kulit).
b) Karakterstik paparan
Meliputi durasi yang dalam penelitian akan dinilai dari lama paparan
perhari dan lama bekerja karyawan binatu (semakin lama durasi paparan
dengan bahan kimia maka semakin banyak pula bahan yang mampu masuk
ke kulit sehingga semakin poten pula untuk timbulkan reaksi), tipe kontak
(kontak melalui udara maupun kontak langsung dengan kulit), paparan
dengan lebih dari satu jenis bahan kimia (adanya interaksi lebih dari satu
bahan kimia dapat bersifat sinergis ataupun antagonis, terkadang satu
bahan kimia saja tidak mampu memberikan gejala tetapi mampu timbulkan
gejala ketika bertemu dengan bahan lain.
24
c) Faktor lingkungan
Meliputi temperatur ruangan (kelembapan udara yang rendah serta
suhu yang dingin menurunkan komposisi air pada stratum korneum yang
membuat kulit lebih permeable terhadap bahan kimia) dan faktor mekanik
yang dapat berupa tekanan, gesekan atau lecet, juga dapat meningkatkan
permeabilitas kulit terhadap bahan kimia akibat kerusakan stratum korneum
pada kulit.
2. Faktor Endogen
Faktor endgen yang sangat berpengaruh terhadap terjadinya dermatitis
kontak meliputi (Afifah dkk, 2012) :
a) Faktor Genetik
Kemampuan untuk mereduksi radikal bebas, perubahan kadar enzim
antioksidan dan kemampuan melindungi protein dan trauma panas,
semuanya diatur oleh genetik.
b) Jenis kelamin
Mayoritas dari pasien yang ada merupakan pasien perempuan
dibandingkan laki-laki, hal ini bukan karena perempuan memiliki kulit
yang lebih rentan, tetapi karena perempuan lebih sering terpapar
dengan bahan iritan dan pekerjaan yang lembap.
c) Usia
Anak dengan usia kurang dari 8 tahun lebih rentan terhadap bahan
kimia, sedangkan pada orang yang lebih tua bentuk iritasi dengan gejala
kemerahan sering tidak tampak pada kulit.
25
d) Ras
Belum ada studi yang menjelaskan tipe kulit yang mana yang secara
signifikan mempengaruhi terjadinya dermatitis. Hasil studi baru yang
menggunakan adanya eritmen pada sebagai parameter menghasilkan
orang berkulit hitam lebih resisten terhadap dermatitis, akan tetapi hal
ini bisa jadi salah karena eritema pada kulit hitam sulit terlihat.
e) Lokasi kulit
Adanya perbedaan signifikan pada fungsi barrier kulit pada lokasi yang
berbeda, wajah, leher, skrotum dan punggung tangan lebih rentan
dermatitis.
f) Riwayat atopi
Dengan adanya riwayat atopi akan meningkatkan kerentanan
terjadinya dermatitis karena adanya penurunan ambang batas
terjadinya dermatitis akibat kerusakan fungsi barrier klit dan
perlambatan proses penyembuhan.
g) Perilaku
Kebersihan perorangan, hobi dan pekerjaan serta penggunaan alat
pelindung diri saat bekerja.
2.2 Pestisida
2.2.1 Pengertian Pestisida
Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 7 tahun 1973, tentang “ Pengawasan
atas Peredaran dan Penggunaan Pestisida”, Pestisida merupakan zat kimia dan
bahan lain serta jasad renik dan virus yang digunakan untuk memberantas atau
26
mencegah hama-hama serta penyakit-penyakit yang merusak tanaman,
memberantas rerumputan, mematikan daun dan mencegah pertumbuhan yang
tidak diinginkan, mengatur atau merangsang pertumbuhan tanaman atau bagian-
bagian tanaman tidak termasuk pupuk, serta memberantas atau mencegah hama-
hama air, binatang-binatang yang dapat menyebabkan penyakit pada manusia atau
binatang yang perlu dilindungi dengan penggunaan pada tanaman, tanah dan air”
(Luluk, 2014).
Bahwa yang tergolong pestisida adalah semua zat kimia dan bahan lain serta
jasad renik dan virus digunakan (Kadafi, 2017) :
1) Memberantas, mencegah hama dan penyakit yang merusak tanaman,
bagian tanaman, atau hasi pertanian
2) Memberantas gulma atau tanaman pengganggu
3) Memberanas atau mencegah serangan hama air
4) Memberantas atau mencegah hama luar pada hewan peliharaan
5) Memberantas atau mencegah binatang dan jasad renik dalam rumah
tangga, bangunan dan alat pengangkutan
6) Memberantas atau mencegah binatang yang menyebabkan penyakit pada
manusia atau binatang yang dilindungi dengan tanaman, tanah, atau air
7) Mengatur atau merangsang pertumbuhan tanaman atau bagian tanaman
2.2.2 Penggolongan pestisida berdasarkan struktur kimia
Menurut Rika (2013), penggolongan pestisida dapat dilakukan dengan
bermacam-macam cara. Berdasarkan susunan kimianya pestisida dapat
dikelompokkan menjadi beberapa golongan antara lain sebagai berikut:
27
1. Pestisida Golongan Organochlorin
Pestisida golongan Organoclhorin di Indonesia hanya digunakan
untuk memberantas vector malaria dan tidak digunakan untuk pertanian.
Contoh pestisida golongan Organochlorin adalah DDT, Dieldrin, Endrin dan
lain- lain. Pestisida ini merupakan senyawa tidak reaktif, bersifat stabil serta
persisten adapun gejala keracunan yang disebabkan oleh golongan
Organochlorin yaitu: sakit kepala, pusing, mual, muntah, mencret, badan
lemah, gugup, gemetar dan kesadaran hilang.
2. Pestisida Golongan Organophosfat
Sebagian besar Bahan aktif golongan ini sudah dilarang beredar di
Indonesia misalnya diazinon dan basudin Golongan ini mempunyai sifat-sifat
sebagai berikut: merupakan racun yang tidak selektif degradasinya
berlangsung dengan cepat dan kurang persisten di lingkungan, serta
menimbulkan resisten pada berbagai serangga dan memusnahkan populasi
predator dan serangga parasit, lebih toksik terhadap manusia daripada
Organokhlor. Pestisida golongan ini masuk ke dalam tubuh melalui mulut,
kulit 18 atau pernafasan. Gejala keracunan yaitu timbulnya gerakan otot-
otot tertentu sepertii : penglihatan mata terganggu, banyak keringat dan
otot-otot tidak bisa digerakkan.
3. Pestisida Golongan Carbamat
Adapun pestisisda golongan Carbamat termasuk Baygon, Bayrusil,
dan lain-lain. Bahan aktif yang termasuk dalam golongan ini adalah :
Karbaril, dan Methanol yang telah dilarang penggunaannya. Bahan aktif ini
28
masuk ke dalam tubuh melalui pernafasan atau termakan dan kemudian
akan menghambat enzim Kholinesterase seperti pada keracunan
Organofosfat.
4. Pestisida Pyretroid Sintetik
Pestisida Pytretroid Sinteik adalah campuran dari beberapa tester
yang disebut pyretrin yang diekstraksi dari bunga dari genus
Chrysanthemum. Adapun Jenis pyretroid yang relatif stabil terhadap sinar
matahari yaitu : Deltametrin, Permetrin, Fenvalerate.
5. Pestisida Fumigan
Fumigan adalah senyawa atau campuran yang menghasilkan gas, uap
sertaasap untuk membunuh serangga, cacing, bakteri, dan tikus (Rika, 2014).
Tabel 2.1 menunjukkan kriteria klasifikasi bahaya pestisida menurut WHO
yaitu :
Tabel 2.2 Kriteria Klafikasi Bahaya Pestisida menurut WHO
No
Klasifikasi LD 50 untuktikus mg/kg
Oral Oral Padat Dermal
Padat Cair Padat Cair
I Sangat berbahaya ≤ 5 ≤ 20 ≤ 10 ≤ 40
II Bahaya tinggi 5-50 20-200 10-100 40-400
III Bahaya sedang 50-500 200-2000 100-1000 400-4000
IV Bahaya rendah ≥ 501 ≥ 2001 ≥ 1001 ≥ 4001
Sumber : Marbun, 2015
2.2.3 Gangguan Kesehatan yang diakibatkan oleh Penggunaan Pestisida
Penggunaan pestisida yang berlebihan dapat menyebabkan gangguan
kesehatan, seperti penggunaan pestisida Herbisida merupakan asam kuat, amin,
ester atau fenol yang dapat menimbulkan iritasi pada kulit, bentuk merah pada kulit
29
dan dermatitis. Dari penggunaan insektisida petani penyemprot pestisida dapat
mengalami gangguan sistem saraf. Semua jenis insektisida baik Organoklorin,
Organofosfat, Carbamat dan Piretroid adalah racun saraf. Hal ini dapat terjadi pada
saraf perifer atau pada sistem saraf pusat melalui mekanisme yang berbeda.
Fungisida merupakan bahan yang digunakan secara ekstensif sebelum dan sesudah
panen, untuk mencegah terjadinya kerusakan pada tumbuhan akibat spora fungi,
pada kondisi di bawah optimum terutama kelembaban dan temperatur. Apabila
terpapar oleh fungisida melalui kulit maka akan terjadi iritasi dan dermatitis.
Kebanyakan fungisida akan menyebabkan iritasi pada saluran pernafasan, selaput
lendir, membrane mata, hidung. Semua fungisida bersifat sitotoksik dan karena
mutagenik, maka dapat menyebabkan mutasi, kanker dan teratogenik (Kurniadi,
2018).
Keracunan kronis dapat terjadi apabila seseorang terpapar pestisida dalam
dosis kecil, namun terjadi dalam jangka waktu yang terus menerus dan
memungkinkan seseorang dapat mengalami gangguan kepekaan ambang rasa pada
kulitnya. Kaki dan tangannya dapat mengalami kesemutan dan rasa kebas atau
mengalami kelemahan sensorik. Pada awalnya gangguan yang terjadi tidak terlihat,
namun efekatoksik yang terjadi semakin lama semakin menumpuk seiring dengan
penggunaan pestisida setiap harinya sehingga akhirnya timbul gangguan kepekaan
kulit petani (Hamidah, 2018).
Pestisida dapat mengganggu proses sintesis dan metabolisme hormon tiroid
melalui beberapa mekanisme yaitu (Marwanto, 2018) :
30
1. Mengganggu reseptor TSH (TSH-r) di kelenjar tiroid, sehingga TSH yang akan
memacu sintesis hormon tiroid tidak dapat masuk ke dalam kelenjar, dan
berdampak pada terhambatnya sintesis hormon tiroid.
2. Pestisida menghambat kerja enzim deyodinase tipe satu (D1) yang berfungsi
mengkatalis perubahan T4 menjadi T3 (bentuk aktif hormon dalam tubuh).
3. Kemiripan struktur kimia dari pestisida dengan hormon tiroid , hal ini
menyebabkan terjadinya persaingan dalam peningkatan oleh reseptor
hormon tiroid (TH-r) di sel target.
4. Memacu kerja dari enzim D3, yang berfungsi merubah T4 menjadi T3
(bentuk inaktif hormon tiroid), sehingga tubuh kekurangan bentuk aktif
hormon tiroid (T3).
4. Dampak Penggunaan Pestisida
Pemakaian pestisida secara berlebihan dapat menimbulkan berbagai
dampak negatif bagi manusia maupun lingkungan. Adapun akibat yang ditimbulkan
oleh penggunaan pestisida yang berlebihan yaitu : keracunan, baik akut maupun
kronis. Keracunan kronis yaitu lebih sulit dideteksi dikarenakan tidak segera terasa,
tetapi dalam jangka panjang dapat menimbulkan gangguan kesehatan. Serta kasus
keracunan kronis, pada korban dapat mengalami gangguan kepekaan ambang rasa
pada kulitnya, Kaki dan tangannya dapat mengalami kesemutan dan
merasakankebas atau mengalami kelemahan sensorik. Gangguan kepekaaan kulit
yang semakin parah karena sering terpapar oleh pestisida dalam jangka panjang
dapat menyebabkan penderita terkena penyakit lain yang lebih berbahaya dan sulit
dalam penanganannya (Dini dkk, 2016).
31
Menurut Djojosumarto (2008), Beberapa dampak negatif dari penggunaan
pestisida dapat dijelaskan sebagai berikut :
a. Dampak Bagi Keselamatan Pengguna
Keracunan terbagi menjadi 3 kelompok yaitu : keracunan akut ringan,
akut berat, dan kronis. Keracunan akut ringan dapat menimbulkan pusing,
sakit kepala, iritasi kulit ringan, badan terasa sakit, dan diare. Keracunan
akut berat dapat menimbulkan gejala seperti mual, menggigil, kejang, perut,
sulit bernapas, keluar air liur, pupil mata mengecil dan denyut nadi
meningkat. Selanjutnya, keracunan yang sangat berat dapat mengakibatkan
pingsan, kejang-kejang bahkan bisa mengakibatkan kematian.
Keracunan kronis sangat sulit di deteksi karena tidak menimbulkan
gejala serta tanda yang spesifik, namun keracunan kronis ini dalam jangka
waktu lama dapat menimbulkan gangguan kesehatan pada pekerja.
b. Dampak Bagi Konsumen
Dampak pestisida bagi konsumen umumnya berbentuk keracunan
kroinis yang tidak segera terasa. Dalam jangka waktu yang lama mungkin
dapat menimbulkan gangguan kesehatan. Sangat jarang penggunaan
pestisida dapat menyebabkan keracunan akut pada pekerja, misalnya dalam
hal konsumen mengkonsumsi produk pertanian yang mengandung residu
dalam jumah besar.
c. Dampak Bagi Kelestarian Lingkungan
Adapun dampak buruk penggunaan pestisida bagi kelestarian
lingkungan dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok kategori yaitu :
32
1) Bagi Lingkungan Umum
a) Pencemaran lingkungan (air, tanah dan udara)
b) Terbunuhnya organisme non-target karena terpapar secara
langsung
c) Terbunuhnya organisme non-target karena pestisida memasuki
rantai makanan
d) Menumpukkan pestisida dalam jaringan tubuh organisme melalui
rantai makanan (bioakumuasi)
e) Pada kasus pestisida yang persisten (bertahan lama), konsentrasi
pestisida dalam tingkat trofik rantai makanan semakin ke atas
akan semakin tinggi (biomagnifikasi)
f) Penyederhanaan rantai makanan alami
g) Menimbulkan efek negatif terhadap manusia secara tidak
langsung melalui rantai makanan
2) Bagi Lingkungan Pertanian (Agro-ekosistem)
a) OPT menjadi kebal terhadap suatu pestisida (timbul resistensi OPT
terhadap pestisida)
b) Meningkatkan populasi hama setelah penggunaan pestisida
(resurjensi hama)
c) Timbulnya hama baru, bisa hama yang selama ini dianggap tidak
penting maupun hama yang sama sekali baru
d) Perubahan flora, khusus pada penggunaan berbisida
e) Fitotoksik (meracuni tanaman)
33
d. Dampak Sosial Ekonomi
1) Penggunaan pestisida yang berlebihan atau tidak terkendali dapat
meningkatkan biaya produksi menjadi lebih tinggi
2) Timbulnya hambatan perdagangan, misalnya tidak bisa ekspor
karena residu pestisida tinggi
3) Timbulnya biaya sosial, misalnya : biaya pengobatan dan hilangnya
hari kerja jika terjadi keracunan
4) Publikasi negatif di media massa
2.2.4 Keracunan dan Toksisitas Pestisida
Menurut Raini (2007), Keracunan pestisida dapat terjadi apabila ada bahan
pestisida yang mengenai atau masuk ke dalam tubuh dengan jumlah tertentu.
Keracunan pestisida dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu:
a. Pemakaian Dosis yang berlebihan sangat berpengaruh langsung terhadap
bahaya keracunan pestisida, karena itu dalam melakukan pencampuran
pestisida untuk penyemprotan petani hendaknya memperhatikan takaran
atau dosis yang tertera pada label. Pemakaian dosis yang berlebihan akan
berdampak buruk bagi penyemprot itu sendiri.
b. Toksisitas senyawa pestisida, Kesanggupan pestisida untuk membunuh
sasarannya.
Pestisida mempunyai daya tingkatan bunuh tinggi dalam penggunaan
dengan kadar yang rendah menimbulkan gangguan lebih sedikit bila dibandingkan
dengan pestisida dengan daya bunuh rendah tetapi dengan kadar yang tinggi.
Toksisitas pestisida dapat diketahui dari LD 50 oral yaitu dosis yang diberikan dalam
34
makanan hewan-hewan percobaan yang menyebabkan 50% dari hewan-hewan
tersebut mati. Toksisitas pestisida secara insalasi juga dapat diketahui dari LC 50
yaitu konsentrasi pestisida di udara yang mengakibatkan 50% hewan percobaan
mati (Raini, 2007).
Menurut Assti (2008), Faktor-faktor yang mempengaruhi efek dan gejala
keracunan pada manusia, antara lain :
a. Bentuk dan cara masuk racun dalam bentuk larutan, Akan bekerja lebih
cepat dibandingkan dengan cara yag berbentuk padat. Sedangkan racun
yang masuk ke dalam tubuh secarav intravena dan intramuskular akan
memberikan efek lebih kuat dibandingkan dengan melalui mulut.
b. Usia, Pada umumnya anak-anak dan bayi lebih mudah terpengaruh oleh efek
racun dibandingkan dengan orang dewasa. Bertambahnya usia Seseorang
maka kadar rata-rata kolinesterase dalam darah akan semakin rendah
sehingga keracunan akibat pestisida akan semakin cepat terjadi.
c. Jenis Kelamin, sangat mempengaruhi aktivitas kolinesterase dalam darah
dan Jenis kelamin laki-laki memilki aktivitas koinesterase lebih rendah dari
perempuan dikarenakan kandungan kolinesterase dalam darah lebih banyak
pada perempuan.
d. Kebiasaan, Jika terbiasa berkontak langsung dengan racun dalam jumlah
kecil mungkin dapat terjadi toleransi terhadap racun yang sama dalam
jumlah relatif besar tanpa menimbulkan gejala keracunan.
e. Kondisi Kesehatan atau Status Gizi, Seseorang yang sedang menderita sakit
akan mudah terpengaruh oleh efek racun dibandingkan dengan orang yang
35
sehat. Buruknya keadaan gizi seseorang dapat mengakibatkan menurunnya
daya tahan tubuh dan meningkatnya kepekaan terhadap infeksi. Kondisi gizi
yang burukdapat menyebabkan protein yang ada didalam tubuh sangat
terbatas sehingga dapat mengganggu pembentukan enzim kolinesterase.
f. Tingkat Pendidikan, Semakin tinggin tingkat pendidkan seseorang maka akan
semakin kecil peluang terjadinya keracunan pada dirinya karena
pengetahuan mengenai racun termasuk cara penggunaan atau penanganan
racun secara aman dan tepat sasaran akan dapat menghindari keracunan itu
sendiri.
g. Dosis, Jumlah racun sangat berkaitan erat dengan efek yang ditimbulkannya.
Dosis racun yang berlebihan akan dapat menyebabkan kematian lebih cepat.
Pemakaian Dosis pestisida yang banyak akan semakin mempercepat
terjadinya keracunan pada pengguna pestisida. Penggunaan pestisida
golongan Organofosfat dosis yang dianjurkan adalah 0,5 – 1,5 kg/Ha.
2.2.5 Gejala Keracunan Pestisida
Penggunaan pestisida yang berlebihan dapat menimbulkan keracunan
pestisida, sesak nafas dan dermatitis. Adapun gejala-gejala Keracunan Pestisida di
bagi menjadi tiga golongan yaitu (Ansari, 2016) :
a. Keracunan tingkat pertama ini sering dijumpai gejala-gejala dan tanda-tanda
antara lain :
1) Kelelahan tubuh
2) Sakit kepala (Headache)
3) Pusing-pusing (Dizziness)
36
4) Pandangan kabur (Blurred Vission)
5) Banyak keluar keringat dingin dan air ludah (Sweating and Salivation)
6) Perut mual, muntah dan diare (Nausea and Fomating)
7) Kejang-kejang di perut dan diare (Stomach Cramps and Diarhae
b. Keracunan tingkat sedang ini, selain ditandai dengan tanda-tanda dan gejala-
gejala diatas biasanya juga dijumpai
1) Penderita tidak dapat berjalan (Unable To Walk)
2) Badan terasa lemah sekali (Weakness)
3) Terasa sesak di dada (Chest Disconfort)
4) Otot daging terkejat-kejat (Muscie Twitches)
5) Terjadi Konstriksi pupil mata (Pupil Constrrictio)
6) Gejala-gejala meningkat meluas
7) Keracunan kuat (Savera Poisoning)
c. Pada keracunan tingkat hebat/kuat ini terjadi hal-hal sebagai berikut :
1) Penderita tidak sadarkan diri (Unconscious Ness)
2) Kontraksi pupil mata lebih berat (Savera Pupil Constriction)
3) Kejatan-kejatan otot daging meningkat
4) Keluar sekresi dari mulut dan hidung (Mouth and Nose Secreions)
5) Susah bernafas (Breathing Difficulty)
6) Penderita bisa meninggal dunia jika tidak langsung ditolong
37
2.2.6 Cara Pencegahan Keracunan Pestisida
Pengetahuan petani tentang penggunaan pestisida serta praktek
penyemprotan akan dapat menghindari petani/penyemprot dari keracunan. Ada
beberapa cara untuk meghindari keracunan antara lain.
1. Pembelian pestisida
Dalam pembelian pestisida harus selalu dalam kemasan yang asli, masih
utuh dan ada label petunjuknya.
2. Perlakuan sisa kemasan
Bekas kemasan sebaiknya dikubur atau dibakar yang jauh dari sumber mata
air untuk menghindari pencemaran ke badan air dan juga jangan sekali-kali
bekas kemasan pestisida untuk tempat makanan dan minuman.
3. Penyimpanan
Setelah menggunakan pestisida apabila berlebih hendaknya di simpan yang
aman seperti jauh dari jangkauan anak-anak, tidak bercampur dengan bahan
makanan dan sediakan tempat khusus yang terkunci dan terhindar dari sinar
matahari langsung.
4. Penatalaksanaan
Pelaksanaan penyemprotan ini dapat menyebabkan keracunan maka dari itu
itu petani di wajibkan memakai alat pelindung diri yang lengkap setiap
melakukan penyemprotan, jika melakukan penyemprotan tidak boleh
melawan arah angin, agar terhindar dari keracunan sebaiknya menghindari
kebiasaan makan-minum dan merokok pada saat melakukan penyemprotan,
setiap selesai menyemprot dianjurkan untuk mandi pakai sabun dan
38
berganti pakaian serta pemakain alat semprot yang baik akan menghindari
terjadinya keracunan.
2.2.7 Faktor Yang Mempengaruhi Terjadinya Keracunan Pestisida
Terdapa banyak faktor yang menyebabkan tenaga kerja tidak patuh dalam
menggunakan APD (Alat Pelindung Diri) meskipun ditempat kerja telah
menyediakann APDdan memberikan peraturan bagi pekerjanya tetapi para pekerja
masih tidak patuh untuk menggunakan APD tersebut (Dewi, 2017).
Berdasarkan Penelitian dari Achmadi (2012), ada beberapa faktor yang
mempengaruhi terjadinya keracunan pestisida adalah faktor dari dalam tubuh
(internal) dan dari luar tubuh (eksternal).
1) Faktor dari dalam tubuh antara lain
a. Umur
b. Jenis Kelamin
c. Genetik
d. Status Gizi
e. Kadar Hemoglobin
f. Tingkat Pengetahuan
g. Status Kesehatan
2) Faktor Dari Luar Tubuh Antara Lain
a. Banyaknya Jenis Pestisida Yang Digunakan
b. Jenis Pestisida
c. Dosis Pestisida
d. Frekuensi Penyemprotan
39
e. Masa Kerja Menjadi Penyemprot
f. Lama Kontak
g. Pemakaian Alat Pelindung Diri
h. Cara Penanganan Pestisida
i. Kontak Terakhir Dengan Pestisida
j. Ketinggian Tanaman
k. Suhu Lingkungan
l. Waktu Menyemprot Dan Tindakan Terhadap Arah Angin
Hal-hal tersebutlah yang masih banyak diabaikan oleh para petani Indonesia
terutama didaerah pedesaan (Maranata dkk, 2014).
2.3 Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Dermatitis
2.3.1 Hubungan Penggunaan APD dengan Kejadian Dermatitis
Faktor yang paling utama mempengaruhi terjadinya dermatitis
akibat kerja karena kontak dengan bahan kimia adalah pemakaian APD
berupa sarung tangan yang tidak sesuai untuk jenis bahan kimia yang digunakan.
Faktor faktor lain yang mempengaruhi dermatitis kontak akibat kerja adalah
adanya kontak dengan bahan kimia, lama kontak, dan frekuensi kontak
(Garmini, 2018).
Pemakaian APD dapat menghindarkan pekerja terhadap kontak langsung
dengan bahan kimia atau substansi yang bisa menimbulkan trauma pada kulit, hal
ini yang membuat penggunaan APD memiliki hubungan dengan kejadian dermatitis(
(Putri, 2019).
40
2.3.2 Hubungan Lama Kontak dengan Kejadian Dermatitis
Lama kontak adalah lamanya waktu pekerja kontak dengan bahan
allergen/iritan dengan hitungan jam/hari. Lama kontak dengan bahan kimia akan
meningkatkan terjadinya dermatitis kontak. Semakin lama kontak dengan bahan
kimia maka peradangan atau iritasi kulit dapat terjadi sehingga menimbulkan
kelainan kulit. Lamanya petani bekerja ≥ 8 jam perhari dan < 8 tahun perhari (Nini,
2019).
2.3.3 Hubungan Pengetahuan dengan Kejadian Dermatitis
Pengetahuan dapat berpengaruh terhadap terjadinya dermatitis kontak
iritan, karena semakin rendahnya pengetahuan pekerja mengenai penyakit akibat
kerja, pentingnya penggunaan APD dalam bekerja serta berperilaku hidup bersih
dan sehat, akan menimbulkan potensi-potensi untuk terjadinya bahaya di tempat
kerja. Rendahnya pengetahuan pekerja tersebut disebabkan karena tidak pernah
dilakukannya penyuluhan mengenai bahaya-bahaya serta penyakit akibat kerja
pada saat melakukan pekerjaan (Garmini, 2018).
Pengetahuan sangat penting dimiliki oleh pekerja, karena mengenali dan
memahami substansi-substansi yang dapat membahayakan kesehatan pekerja dan
merupakan upaya menghilangkan atau mengurangi risiko timbulnya penyakit akibat
kerja (Noviyanti dkk, 2019).
Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang
melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu Pengetahuan pada
penelitian ini dikategorikan menjadi dua kelompok yaitu baik dan tidak baik
(Wahyu, 2019).
41
2.3.4 Hubungan Masa Kerja dengan Kejadian Dermatitis
Masa kerja adalah lamanya responden bekerja sebagai petani, dihitung sejak
pertama kali bekerja sampai pada saat penelitian berlangsung. Pekerja lebih lama
terpanjang dan berkontak dengan bahan iritan dapat merusak sel kulit bagian luar,
semakin lama terpanjan maka akan merusak sel kulit hingga bagian dalam dan akan
memudahkan untuk terjadinya dermatitis kontak (Rahmatika dkk, 2020).
Masa kerja juga dapat berpengaruh pada terjadinya dermatitis. Hal ini
berhubungan dengan pengalaman bekerja, sehingga pekerja yang lebih lama
bekerja lebih jarang terkena dermatitis dibandingkan dengan pekerja yang sedikit
pengalamannya. Namun, pekerja yang telah lebih lama bekerja akan meningkatkan
risiko terkena dermatitis karena lebih banyak terpajan bahan kimia (Garmini,
2018).
Lama kerja antar pekerja berbeda, sesuai dengan proses pekerjaannya. Lama
kerja mempengaruhi keterpaparan dan dapat menyebabkan kejadian dermatitis
kontak akibat kerja. Semakin lama terpapar dengan pekerjaanya maka peradangan
atau iritasi kulit dapat terjadi sehingga menimbulkan kelainan kulit (Wahyu, 2019).
Masa kerja adalah suatu kurun waktu atau lamanya tenaga kerja itu bekerja
di suatu tempat. Semakin lama orang bekerja maka semakin besar pula risiko
terkena penyakit akibat kerja . Masa kerja pada penelitian ini dikategorikan menjadi
dua kelompok yaitu lama ≥ 5 tahun dan baru < 5 tahun (Wahyu, 2019).
2.3.5 Hubungan Jenis Pestisida dengan Kejadian Dermatitis
Pestisida merupakan bahan kimia yang dapat menjadi salah satu penyebab
penyakit kulit, pestisida mengandung lebih dari 2 pon bahan aktif. Beberapa
42
penelitian diseluruh dunia mengatakan bahwa dermatitis kontak pada pekerja
agrikultural seperti di India, Panama, Taiwan, California berhubungan dengan
penggunaan pestisida. Dalam penelitian ini dikategorikan menjadi 2 kelompok yaitu
menggunakan 1 jenis pestisida dan > 1 jenis pestisida (Rahmatika, 2019).
2.3.6 Hubungan Umur dengan Kejadian Dermatitis
Umur adalah salah satu faktor resiko yang dapat memperparah terjadinya
dermatitis kontak, Karena kulit manusia mengalami degenarasii seiring
bertambahnya usia, terutama dari sisi ketebalan lapisan kulit, fungsi kelenjar ekrin
dan holokrin (Evy, 2015).
Umur merupakan salah satu faktor internal yang mempengaruhi kejadian
dermatitis. Usia responden dengan kejadian dermatitis dikategorikan menjadi dua,
yaitu usia < 25 dan ≥ 25 tahun. Usia dengan risiko tinggi dermatitis adalah pasien
yang berusia ≥ 25 tahun (Wahyu, 2019).
2.3.7 Hubungan Sikap dengan Kejadian Dermatitis
Sikap adalah bentuk reaksi atau respon seseorang yang masih tertutup
terhadap suatu objek. Sikap secara kenyataan menunjukkan adanya kesesuain
reaksi antara stimulus tertentu, sikap bukan merupakan tindakan atau aktifitas
tetapi merupakan predisposisi tindakan atau prilaku (Noviandry, 2013).
Kebiasaan memakai Alat Pelindung Diri (APD) diperlukan untuk melindungi
petani dari kontak dengan dengan air, mikroorganisme patogen, paparan sinar
matahari. Petani yang selalu menggunakan APD dengan tepat akan menurunkan
terjadinya dermatitis kontak akibat kerja baik jumlah maupun lama perjalanan
dermatitis kontak. Akan tetapi pada saat bekerja, banyak petani yang tidak
43
mempraktikannya, karena menurut para petani penggunaan APD dapat
mengganggu dan menimbulkan rasa tidak nyaman.
Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang
terhadap stimulus atau objek. Sikap merupakan kesiapan atau kesedian untuk
bertindak dan bukan pelaksanaan motif tertentu. Sikap pada penelitian ini
dikategorikan menjadi dua kelompok yaitu setuju dan tidak setuju (Wahyu, 2019).
2.3.8 Hubungan Jenis Kelamin dengan Kejadian Dermatitis
Menurut Suryani (2011), jenis kelamin merupakan salah satu faktor yang
dapat menyebabkan terjadinya dermatitis kontak. Terdapat perbedaan antara kulit
pria dengan wanita, perbedaan tersebut terlihat dari jumlah folikel rambut, kelenjar
teringat dengan hormon. Kulit wanita memproduksi lebih sedikit minyak untuk
melindungi dan menjaga kelembapan kulit sehingga lebih kering dari pada pria,
selaain itu juga kulit wanita lebih tipis dari pada kulit pria sehingga lebih rentan
untuk menderita penyakit dermatitis.
44
2.4 Kerangka Teori
Faktor dari dalam tubuh antara lain (Achmadi, 2012) 1. Umur 2. Jenis Kelamin 3. Genetik 4. Status Gizi 5. Kadar Hemoglobin 6. Tingkat Pengetahuan 7. Status Kesehatan
Faktor Dari Luar Tubuh Antara Lain 1. Banyaknya Jenis Pestisida Yang Digunakan 2. Jenis Pestisida 3. Dosis Pestisida 4. Frekuensi Penyemprotan 5. Masa Kerja 6. Lama kontak 7. Pemakaian APD 8. Cara Penanganan Pestisida 9. Kontak Terakhir Dengan Pestisida 10. Ketinggian Tanaman 11. Suhu Lingkungan 12. Waktu Menyemprot
Kejadian
Dermatitis
Nanda (2018)
1. Umur
Putri dan Denny (2014)
1. Pendidikan
2. Pengetahuan
3. Pelatihan
4. Masa Kerja
Wismaningsih dan Oktaviasari (2015)
1. Ketersedian APD
Noviandry (2013)
1. Sikap
Faktor Endogen (Adilah, 2012) 1. Karakteristikbahankimia 2. Karekteritikpaparan 3. Faktorlingkungan
FaktorEksogen 1. Faktor genetik 2. Jenis kelamin 3. Usia 4. Ras 5. Lokasi kulit 6. Riwayat atopi 7. Perilaku
Gambar 2.5 Kerangka Teoritis