21
9 BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN 2.1. Sistemik Lupus Eritematosus 2.1.1. Definisi. Sistemik Lupus Eritematosus (SLE) adalah penyakit autoimun yang kompleks ditandai oleh adanya autoantibodi terhadap inti sel dan melibatkan banyak system organ tubuh. (Suarjana, 2015). Lupus adalah penyakit inflamasi kronik sistemik yang disebabkan oleh system kekebalan yang keliru sehingga mulai menyerang jaringan dan organ tubuh sendiri. (Kemenkes, 2017). Lupus Eritematosus Sistemik (LES) adalah penyakit autoimun yang ditandai dengan produksi antibodi atas komponen inti sel tubuh sendiri yang berkaitan dengan manifestasi klinik yang sangat luas. (Harsono, 2016). Dapat disimpulkan Lupus Eritematosus Sistemik adalah penyakit autoimun dimana system kekebalan tubuh menyerang jaringan dan tubuh organ sendiri dengan manifestasi klinik yang luas. 2.1.2. Etiologi. Sehingga kini penyebab pasti SLE belum diketahui. Ada kemungkinan faktor genetik, kuman, virus. sinar ultraviolet, dan obat-obatan tertentu memainkan peranan. Penyakit SLE ini lebih kerap ditemui di kalangan kaum wanita. Beberapa faktor resiko SLE : (Suarjana, 2016)

TINJAUAN KEPUSTAKAAN Sistemik Lupus Eritematosus

  • Upload
    others

  • View
    14

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: TINJAUAN KEPUSTAKAAN Sistemik Lupus Eritematosus

9

BAB 2

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

2.1. Sistemik Lupus Eritematosus

2.1.1. Definisi.

Sistemik Lupus Eritematosus (SLE) adalah penyakit autoimun yang kompleks

ditandai oleh adanya autoantibodi terhadap inti sel dan melibatkan banyak

system organ tubuh. (Suarjana, 2015). Lupus adalah penyakit inflamasi kronik

sistemik yang disebabkan oleh system kekebalan yang keliru sehingga mulai

menyerang jaringan dan organ tubuh sendiri. (Kemenkes, 2017). Lupus

Eritematosus Sistemik (LES) adalah penyakit autoimun yang ditandai dengan

produksi antibodi atas komponen inti sel tubuh sendiri yang berkaitan dengan

manifestasi klinik yang sangat luas. (Harsono, 2016).

Dapat disimpulkan Lupus Eritematosus Sistemik adalah penyakit autoimun

dimana system kekebalan tubuh menyerang jaringan dan tubuh organ sendiri

dengan manifestasi klinik yang luas.

2.1.2. Etiologi.

Sehingga kini penyebab pasti SLE belum diketahui. Ada kemungkinan faktor

genetik, kuman, virus. sinar ultraviolet, dan obat-obatan tertentu

memainkan peranan. Penyakit SLE ini lebih kerap ditemui di kalangan kaum

wanita. Beberapa faktor resiko SLE : (Suarjana, 2016)

Page 2: TINJAUAN KEPUSTAKAAN Sistemik Lupus Eritematosus

11

2.1.2.1. Faktor genetik.

Kejadian SLE yang lebih tinggi pada kembar monozigotik (25%)

dibandingkan dizigotik (3%), peningkatan frekuensi SLE pada

keluarga penderita SLE dibandingkan dengan kontrol sehat dan

peningkatan prevalensi SLE pada kelompok etnik tertentu, menguatkan

dugaan bahwa faktor genetik berperan dalam pathogenesis SLE.

2.1.2.2. Hormonal.

Pada penderita SLE wanita lebih dominan bila dibanding pria. Serangan

pertama kali SLE jarang terjadi pada usia prapubertas dan setelah

menopause.

2.1.2.3. Disfungsi Imun.

Gangguan imunologis utama pada penderita SLE adalah produksi

autoantibodi. Antibody antinuclear (ANA) adalah antibody yang paling

banyak ditemukan pada penderita SLE (95%). Anti ds DNA dan

antibody-Sm antibody merupakan antibody yang spesifik untuk SLE.

2.1.2.4. Faktor lingkungan.

Faktor fisik/kimia, faktor makanan, agen infeksi, hormone estrogen

2.1.3. Klasifikasi.

Penyakit ini dikelompokkan dalam tiga jenis (kelompok), yaitu :

2.1.3.1. Sistemik Lupus Eritematosus.

Pada sekitar 10% pasien lupus diskoid, penyakitnya berkembang

menjadi lupus sistemik yang memengaruhi organ internal tubuh seperti

sendi, paru-paru, ginjal, darah, dan jantung. Lupus jenis ini sering

Page 3: TINJAUAN KEPUSTAKAAN Sistemik Lupus Eritematosus

12

ditandai dengan periode suar (ketika penyakit ini aktif) dan periode

remisi (ketika penyakit ini tidak aktif).

2.1.3.2. Lupus Eritematosus Kutaneus.

Cutaneus Lupus atau sering disebut dengan discoid, adalah penyakit

lupus yang terbatas pada kulit. Klien dengan lupus diskoid memiliki

versi penyakit yang terbatas pada kulit, ditandai dengan ruam yang

muncul pada wajah, leher, dan kulit kepala, tetapi tidak memengaruhi

organ internal. Penyakit ini biasanya lebih ringan biasanya sekitar 10%-

15% yang berkembang menjadi lupus sistemik.

2.1.3.3. Drug Induced Lupus (DIL)

DIL atau dikenal dengan nama Lupus karena pengaruh obat. Jenis lupus

ini disebabkan oleh reaksi terhadap obat resep tertentu dan

menyebabkan gejala sangat mirip lupus sistemik. Obat yang paling

sering menimbulkan reaksi lupus adalah obat hipertensi hydralazine dan

obat aritmia jantung procainamide, obat TBC Isoniazid, obat jerawat

Minocycline dan sekitar 400-an obat lain. Gejala penyakit lupus mereda

setelah pasien berhenti mengkonsumsi obat pemicunya.

Sindroma Overlap, Undifferentiated Connective Tissue Disease (UCTD), dan

Mixed Connective Tissue Disease (MCTD).

PUSDATIN (2017)

Kriteria klasifikasi SLE menurut SLICC (Systemic Lupus Internationla

Collaborating Clinics) tahun 2012 : Batasan : ≥ 4 kriteria (setidaknya 1 kriteria

Page 4: TINJAUAN KEPUSTAKAAN Sistemik Lupus Eritematosus

13

klinik dan 1 kriteria laboratory) atau hasil biopsi Lupus Nephritis dengan ANA

atau Anti DNA

Tabel 2.1

Kriteria klasifikasi SLE menurut SLICC

Kriteria Klinik Bercak Malar / Malar Rash (Butterfly rash) = Adanya

eritema berbatas tegas, datar, atau berelevasi pada

wilayah pipi sekitarhidung (wilayah malar)

Bercak diskoid (Ruam pada kulit) local atau

generalisata

Ulcer di mulut atau nasal

Non scarring alopecia

Arthritis

Serositis (Pleuritis atau pericarditis)

Kelainan Ginjal : Proteinuria > 0,5 g / 24 jam, sel darah

merah dalam urin

Kelainan saraf : Seizures, psikosis, mononeuritis

multiplex, myelitis, peripheral orcranial neuropathy,

kejang akut

Anemi Hemolitik

Leukopeni (<4000/mm³) or Lymphopenia

(<1000/mm³)

Thrombocytopenia (<100.000 /mm³)

Kriteria

Immunologik

Tes ANA diatas titer normal

Tes Anti ds DNA Anti dsDNA diatas titer normal

Anti Sm (Smith) diatas titer normal

Antiphospolipid antibody positif

Komplemen (C3, C4, atau CH50)

Coombs Direk tes positif

2.1.4. Manifestasi klinis

Menurut Suntoko (2015), gejala pada setiap penderita berlainan, serta ditandai

oleh masa bebas gejala (remisi) dan masa kekambuhan (eksaserbasi). Pada awal

penyakit, lupus hanya menyerang satu organ, tetapi di kemudian hari akan

melibatkan organ lainnya.

Page 5: TINJAUAN KEPUSTAKAAN Sistemik Lupus Eritematosus

14

2.1.4.1. Manifestasi umum.

Cepat lelah, nafsu makan menurun, demam dan menurunnya berat

badan

2.1.4.2. Sistem integumen.

Lesi akut pada kulit yang terdiri atas ruam berbentuk kupu-kupu yang

melintang pangkal hidung serta pipi, dan ulkus oral dapat mengenai

mukosa pipi atau palatum durum.

2.1.4.3. Sistem musculoskeletal.

Artralgia, Artritis, nyeri tekan dan rasa nyeri ketika bergerak, dan rasa

kaku pada pagi hari.

2.1.4.4. Sistem perkemihan.

Glomerulus renal yang biasanya terkena.

2.1.4.5. Sistem gastrointestinal.

Kelainan pada esophagus, vaskulitis mesentrika, radang pada usus,

pankreatitis, hepatitis dan peritonitis.

2.1.4.6. Sistem hematologi

Anemi, trombositopeni, limfofenia, leukopeni.

2.1.4.7. Sistem pernafasan.

Pleuritis atau efusi pleura.

2.1.4.8. Sistem kardiovaskuler.

Perikarditis dan gangguan miocardium.

2.1.4.9. Sistem vaskuler.

Page 6: TINJAUAN KEPUSTAKAAN Sistemik Lupus Eritematosus

15

Vaskulitis merupakan peradangan pembuluh daarah,suatu kondisi

dimana jaringan rusak oleh sel darah memasuki jaringan.

2.1.4.10. Sistem neuropsikiatrik.

Spektrum gangguan sistem saraf pusat sangat luas dan mencakup

seluruh bentuk penyakit neurologik, sering terjadi depresi dan psikosis.

2.1.5. Patofisiologi

Penyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang menyebabkan

peningkatan autoimun yang berlebihan. Gangguan imunoregulasi ini ditimbulkan

oleh kombinasi antara faktor-faktor genetik, hormonal (sebagaimana terbukti

oleh awitan penyakit yang biasanya terjadi selama usia reproduktif) dan

lingkungan (cahaya matahari, luka bakar termal). Obat-obat tertentu seperti

hidralazin, prokainamid, isoniazid, klorpromazin dan beberapa preparat

antikonvulsan di samping makanan seperti kecambah alfalfa turut terlibat dalam

penyakit SLE- akibat senyawa kimia atau obat-obatan.

Patofiologi penyakit SLE dihipotesiskan sebagai berikut : adanya satu atau

beberapa faktor pemicu yang tepat pada individu yang mempunyai predisposisi

genetik akan menghasilkan tenaga pendorong abnormal terhadap sel TCD 4+,

mengakibatkan hilangnya toleransi sel T terhadap sel-antigen. Sebagai akibatnya

munculah sel T autoreaktif yang akan menyebabkan induksi serta ekspansi sel B,

baik yangmemproduksi autoantibodi maupun yang berupa sel memori. Ujud

pemicu ini masih belum jelas. Sebagian dari yang diduga termasuk didalamnya

ialah hormon seks, sinar ultraviolet dan berbagai macam infeksi.

Page 7: TINJAUAN KEPUSTAKAAN Sistemik Lupus Eritematosus

16

Pada SLE, autoantibodi yang terbentuk ditujukan terhadap antigen yang terutama

terletak pada nukleoplasma. Antigen sasaran ini meliputi DNA, protein histon

dan non histon.Kebanyakan diantaranya dalam keadaan alamiah terdapat dalam

bentuk agregat protein dan atau kompleks protein RNA yang disebut partikel

ribonukleoprotein (RNA). Ciri khas autoantigen ini ialah bahwa mereka tidak

tissue-spesific dan merupakan komponen integral semua jenis sel.Antibodi ini

secara bersama-sama disebut ANA (anti-nuclear antibody). Dengan antigennya

yang spesifik, ANA membentuk kompleks imun yang beredar dalam sirkulasi.

Telah ditunjukkan bahwa penanganan kompleks imun pada SLE terganggu.

Dapat berupa gangguan klirens kompleks imun besar yang larut, gangguan

pemprosesan kompleks imun dalam hati, dan penurun Uptake kompleks imun

pada limpa. Gangguan-gangguan ini memungkinkan terbentuknya deposit

kompleks imun di luar sistem fagosit mononuklear. Kompleks imun ini akan

mengendap pada berbagai macam organ dengan akibat terjadinya fiksasi

komplemen pada organ tersebut. Peristiwa ini menyebabkan aktivasi komplemen

yang menghasilkan substansi penyebab timbulnya reaksi radang. Reaksi radang

inilah yang menyebabkan timbulnya keluhan/ gejala pada organ atau tempat yang

bersangkutan seperti ginjal, sendi, pleura, pleksus koroideus, kulit dan

sebagainya. Bagian yang penting dalam patofisiologi ini ialah terganggunya

mekanisme regulasi yang dalam keadaan normal mencegah autoimunitas

patologis pada individu yang resisten. Suarjana, (2015)

2.1.6. Pemeriksaan Penunjang.

2.1.6.1. Tes Anti ds-DNA.

Page 8: TINJAUAN KEPUSTAKAAN Sistemik Lupus Eritematosus

17

Batas normal: 70 – 200 IU/mL (Negatif : < 70 IU/mL, Positif : > 200

IU/mL).

Antibodi ini ditemukan pada 65% – 80% penderita dengan SLE aktif

dan jarang pada penderita dengan penyakit lain. Jumlah yang tinggi

merupakan spesifik untuk SLE sedangkan kadar rendah sampai sedang

dapat ditemukan pada penderita dengan penyakit reumatik yang lain,

hepatitis kronik, infeksi mononukleosis, dan sirosis bilier.

2.1.6.2. Tes Antinuclear antibodies (ANA).

Nilai normal : nol. ANA digunakan untuk diagnosa SLE dan penyakit

autoimun yang lain. ANA adalah sekelompok antibodi protein yang

bereaksi menyerang inti dari suatu sel. ANA cukup sensitif untuk

mendeteksi adanya SLE, hasil yang positif terjadi pada 95% penderita

SLE.

2.1.6.3. Tes Laboratorium lain.

Tes laboratorium lainnya yang digunakan untuk menunjang diagnosa

serta untuk monitoring terapi pada penyakit SLE antara lain adalah

antirribosomal P, antikardiolipin, lupus antikoagulan, Coombs test, anti-

histon, marker reaksi inflamasi (Erythrocyte Sedimentation Rate/ESR

atau C-Reactive Protein/CRP), kadar komplemen (C3 dan C4),

Complete Blood Count (CBC), urinalisis, serum kreatinin, tes fungsi

hepar, kreatinin kinase.

2.1.6.4. Rontgen dada.

2.1.6.5. Analisa air kemih.

Page 9: TINJAUAN KEPUSTAKAAN Sistemik Lupus Eritematosus

18

Menunjukkan adanya darah atau protein lebih dari 0,5 mg/hari atau

+++.

2.1.6.6. Hitung jenis darah

Menunjukkan adanya penurunan beberapa jenis sel darah.

2.1.6.7. Biopsi ginjal.

2.1.6.8. Biopsy kulit.

2.1.6.9. Pemeriksaan saraf.

2.1.7. Penatalaksanaan.

Menurut Kasjmir dkk (2015), pengelolaan SLE bertujuan untuk meningkatkan

kualitas hidup pasien SLE melalui pengenalan dini dan pengobatan yang

paipurna.

2.1.7.1. Edukasi/Konseling.

Pada dasarnya pasien SLE memerlukan informasi yang benar dan

dukungan dari sekitarnya dengan maksud agar dapat hidup mandiri.

Perlu dijelaskan akan perjalanan penyakit dan kompleksitasnya. Pasien

memerlukan pengetahuan akan masalah aktivitas fisik, mengurangi atau

mencegah kekambuhan.

2.1.7.2. Program rehabilitasi.

Terdapat berbagai modalitas yang dapat diberikan pada pasein SLE

tergantung maksud dan tujuan program ini. Berbagai latihan diperlukan

untuk mempertahankan kestabilan sendi. Secara garis besar, maka

tujuan, indikasi dan teknis pelaksanaan program rehabilitasi yang

melibatkan istirahat, terapi fisik, terapi modalitas, ortotik, dan lain-lain.

Page 10: TINJAUAN KEPUSTAKAAN Sistemik Lupus Eritematosus

19

2.1.7.3. Terapi Medikamentosa.

Terapi farmakologi untuk SLE ditujukan untuk menekan sistem imun

dan mengatasi inflamasi. Umumnya pengobatan SLE tergantung dari

tingkat keparahan dan lamanya pasien menderita SLE serta manifestasi

yang timbul pada setiap pasien.

2.1.7.4. NSAID.

Merupakan terapi utama untuk manifestasi SLE yang ringan termasuk

salisilat dan NSAID yang lain. Efek samping penggunaan NSAID

adalah perdarahan saluran cerna, ulser, nefrotoksik, kulit kemerahan,

dan alergi lainnya.

2.1.7.5. Antimalaria.

Antimalaria efektif digunakan untuk manifestasi ringan atau sedang

(demam, atralgia, lemas atau serositis) yang tidak menyebabkan

kerusakan organ-organ penting.

2.1.7.6. Kortikosteroid.

Kortikosteroid (KS) digunakan sebagai pengobatan utama pada pasien

SLE. Meski dihubungkan dengan munculnya banyak laporan efek

samping, KS tetap merupakan obat yang banyak dipakai sebagai

antiinflamasi dan imunosupresi.

Dosis KS yang digunakan juga bervariasi. Untuk meminimalkan

masalah interpretasi dari pembagian ini maka dilakukanlah standarisasi

berdasarkan patofisiologi dan farmakokinetiknya. Jenis kortikosteroid

berdasarkan farmakodinamik kerja pendek (kortison, kortisol), kerja

Page 11: TINJAUAN KEPUSTAKAAN Sistemik Lupus Eritematosus

20

menengah (metilprednisolon, prednisolone, prednisone, triamcinolone),

dan kerja panjang (deksametason, betametason)

Pembagian dosis KS membantu dalam penatalaksanaan kasus rematik.

Dosis rendah sampai sedang digunakan pada SLE yang relative tenang.

Dosis tinggi beguna untuk SLE yang aktif. Dosis sangat tinggi dan

terapi pulse diberikan untuk krisis akut yang berat seperti vaskulitis

luas, nefritis lupus dan lupus serebral.

Tabel 2.2

Dosis Kortikosteroid

Dosis rendah ≤ 7,5 mg prednisone atau setara sehari

Dosis sedang

> 7,5 mg, tetapi ≤ 30 mg prednisone atau

setara perhari

Dosis tinggi

> 30 mg, tetapi ≤ 100 mg prednisone atau

setara sehari

Dosis sangat

tinggi

> 100 mg prednisone atau setara per hari

Dosis pulse

≥ 250 mg prednisone atau setara perhari

untuk 1 hari atau beberapa hari

Efek samping

Efek amping kortikosteroid tergantung kepada dosis dan waktu, dengan

meminimalkan jumlah KS, akan meminimalkan juga risiko efek

samping.

Tabel 2.3

Efek samping Kortikosteroid

System Efek Samping

Skeletal Osteoporosis, osteonecrosis, miopati

Gastrointestinal Ulkus peptikum, pankreatitis, perlemakan hati

Immunologi Predisposisi infeksi, menekan hipersensitivitas tipe

lambat

Kardiovaskuler Retensi cairan, hipertensi, meningkatkan

aterosklerosis, aritmia

Ocular Glaucoma, katarak

Page 12: TINJAUAN KEPUSTAKAAN Sistemik Lupus Eritematosus

21

Kutaneous Atrofi kulit, striae, ekimosis, penyembuhan luka terganggu, jerawat, buffalo hump, hirsutism

Endokrin Penampilan cushingoid, DM, perubahan

metabolism lipid, perubahan nafsu makan dan

meningkatnya BB, gangguan elektrolit, supresi

HPA aksis, supresi hormone gonad

Tingkah laku Insomnia, psikosis, instabilitas emosional, efek

kognitif

Cara Pemberian Kortikosteroid

Pulse terapi KS digunakan untuk penyakit rematik yang mengancam

nyawa, induksi atau pada kekambuhan. Dosis tinggi ini biasanya

diberikan intravena dengan dosis 0,5-1 gram metilprednisolon.

Diberikan selama 3 hari berturut-turut.

Karena berpotensial mempunyai efek samping, maka dosis KS mulai

dikurangi segera setelah penyakitnya terkontrol. Tapering harus

dilakukan secara hati-hati untuk menghindari kembalinya aktivitas

penyakit, dan difesiensi kortisol yang muncul akibat penekanan aksis

HPA (hipotalamus pituitary adrenal) kronis. Tapering secara bertahap

memberikan pemulihan terhadap fungsi adrenal. Tapering

tergantungdari penyakit dan aktivitas penyakit, dosis dan lama terapi,

serta respon klinis.

Sebagai panduan, untuk tapering dosis prednisone lebih dari 40 mg

sehari maka dapat dilakukan penurunan 5-10 mg setiap 1-2 minggu.

Diikuti dengan penurunan 5 mg setiap 1-2 minggu pada dosis antara 40-

20 mg/hari. Selanjutnya diturunkan 1-2,5 mg/hari setiap 2-3 minggu

bila dosis prednisone < 20 mg/hari.

Page 13: TINJAUAN KEPUSTAKAAN Sistemik Lupus Eritematosus

22

2.1.7.7. Siklofosfamid.

Digunakan untuk pengobatan penyakit yang berat dan merupakan obat

sitotoksik bahan pengalkilasi. Obat ini bekerja dengan mengganggu

proliferasi sel, aktivitas mitotik, diferensiasi dan fungsi sel. Terapi dosis

tinggi dapat berfungsi sebagai imunosupresan yang meningkatkan

resiko terjadinya neutropenia dan infeksi.

2.1.7.8. Antiinfeksi /Antijamur /Antivirus.

Pemberian imunosupresan dapat menurunkan sistem imun sehingga

dapat menyebabkan tubuh mudah terserang infeksi.

2.2. Kepatuhan

2.2.1. Definisi.

Kepatuhan (adherence) adalah suatu bentuk perilaku yang timbul akibat adanya

interaksi antara petugas kesehatan dan pasien sehingga pasien mengerti rencana

dengan segala konsekwensinya dan menyetujui rencana tersebut serta

melaksanakannya. (Kemenkes R.I., 2011)

Kepatuhan adalah perilaku individu (misalnya: minum obat, mematuhi diet, atau

melakukan perubahan gaya hidup) sesuai anjuran terapi dan kesehatan. Tingkat

kepatuhan dapat dimulai dari tindak mengindahkan setiap aspek anjuran hingga

mematuhi rencana. (Kozier, 2010)

2.2.2. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kepatuhan

Menurut Green (1999) dalam Notoatmodjo (2012), faktor yang mempengaruhi

perilaku kepatuhan terbagi menjadi :

2.2.2.1. Faktor predisposisi (faktor pendorong).

Page 14: TINJAUAN KEPUSTAKAAN Sistemik Lupus Eritematosus

23

Faktor ini mencakup : kepercayaan atau agama yang dianut, faktor

geografis, sikap, pengetahuan, motivasi.

2.2.2.2. Faktor reinforcing (faktor penguat).

Antara lain dukungan petugas kesehatan dan dukungan keluarga.

2.2.2.3. Faktor enabling (faktor pemungkin).

Faktor-faktor ini mencakup ketersediaan sarana dan prasarana atau

fasilitas kesehatan bagi masyarakat seperti, puskesmas, rumah sakit,

poliklinik, posyandu, polindes, pos obat desa, dokter atau bidan praktek

swasta. Fasilitas ini pada hakikatnya mendukung atau memungkinkan

terwujudnya perilaku kesehatan.

2.2.3. Pengukuran Kepatuhan

Morisky Medication Adherence Scale (MMAS-8) adalah instrumen yang

digunakan untuk menilai kepatuhan terapi. Kuesioner dengan 8 pertanyaan ini

dapat mengukur ketidakpatuhan yang disengaja maupun yang tidak disengaja

antara lain lupa, kecerobohan, menghentikan pengobatan karena merasa kondisi

memburuk.

Morisky Medication Adherence Scale merupakan kuesioner yang memiliki

reliabilitas dan validitas yang tinggi. Tingkat kepatuhan penggunaan obat

berdasarkan self report pasien yang dinilai dengan kuesioner MMAS-8 lebih bisa

menangkap hambatan yang berhubungan dengan kebiasaan kepatuhan

penggunaan obat. Kuesioner ini tersusun atas 8 pertanyaan dan kategori respon

terdiri dari jawaban ya atau tidak. Nilai kepatuhan penggunaan obat MMAS-8

adalah 8 skala untuk mengukur kebiasaan penggunaan obat dengan 5 rentang 0

Page 15: TINJAUAN KEPUSTAKAAN Sistemik Lupus Eritematosus

24

sampai 8 dan dikategorikan menjadi 3 tingkatan kepatuhan yaitu kepatuhan

tinggi kepatuhan sedang dan kepatuhan rendah (Morisky dkk., 2008)

2.3. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kepatuhan Minum Obat Kortikosteroid Pada Pasien

Sistemik Lupus Eritematosus

Berdasarkan teori Green diatas, maka peneliti mengambil faktor-faktor yang

berhubungan dengan kepatuhan minum obat kortikosteroid pada pasien SLE yang akan

diteliti sebagai berikut :

2.3.1. Pengetahuan.

Pengetahuan merupakan suatu hasil dari tahu dan ini terjadi setelah orang

melakukan penginderaan terhadap suatu obyek tertentu. Sebagian besar

pengetahuan diperoleh melalui indera mata dan indera telinga. Tingkatan

pengetahuan dalam domain kognitif memiliki beberapa tingkatan meliputi :

2.3.1.1. Tahu (know).

Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari

sebelumnya. Pada tingkatan ini adalah recall (mengingat kembali)

terhadap suatu yang spesifik dan seluruh badan yang dipelajari atau

rangsangan yang telah diterima.

2.3.1.2. Memahami (coprehension).

Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan

secara benar tentang obyek yang diketahui dan dapat menginterpretasi

materi tersebut secara benar.

2.3.1.3. Aplikasi (application).

Page 16: TINJAUAN KEPUSTAKAAN Sistemik Lupus Eritematosus

25

Aplikasi diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menggunakan

materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi penggunaan

hukum-hukum, rumus, metode, prinsip dan sebagainya dalam konteks

dan situasi yang lain.

2.3.1.4. Analisis (analysis).

Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan suatu materi atau

suatu obyek ke dalam komponen – komponen tetapi masih dalam suatu

struktur organisasi tersebut dan masih ada kaitannya satu sama lain.

2.3.1.5. Sintesis (syntesis).

Sintesis menunjukkan kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau

menghubungkan bagian-bagian didalam suatu bentuk keseluruhan yang

baru.

2.3.1.6. Evaluasi (evaluation).

Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi

penelitian terhadap suatu materi atau obyek.

(Notoatmodjo, 2012)

Cara pengukuran pengetahuan dalam penelitian bisa menggunakan angket dan

biasanya dituliskan dalam prosentase. Baik = 76-100%; Cukup = 56-75%;

Kurang = 55% (Nursalam, 2003)

2.3.2. Motivasi.

Motivasi adalah dorongan dari dalam diri seseorang yang menyebabkan

seseorang tersebut melakukan kegiatan-kegiatan tertentu guna mencapai suatu

Page 17: TINJAUAN KEPUSTAKAAN Sistemik Lupus Eritematosus

26

tujuan. Yang dapat diamati adalah kegiatan atau mungkin alasan-alasan tindakan

tersebut (Noto Atmodjo, 2010)

2.3.2.1. Jenis – Jenis Motivasi.

Motivasi seseorang dapat timbul dan tumbuh berkembang melalui

dirinya sendiri, intrinsik dan dari lingkungan, ekstrinsik. Motivasi

intrinsik bermakna sebagai keinginan dari diri-sendiri untuk bertindak

tanpa adanya ransangan dari luar. Motivasi ekstrinsik dijabarkan

sebagai motivasi yang datang dari luar individu yang tidak dapat

dikendalikan oleh individu tersebut

2.3.2.2. Klasifikasi Motivasi.

Motivasi diklasifikasikan menjadi tiga yaitu motivasi kuat, motivasi

sedang dan motivasi lemah. Motivasi dikatakan kuat apabila dalam diri

seseorang dalam kegiatan-kegiatan sehari-hari memiliki harapan yang

positif, mempunyai harapan yang tinggi, dan memiliki keyakinan yang

tinggi bahwa penderita akan menyelesaikan pengobatannya tepat pada

waktu yang telah ditentukan.

Motivasi dilakukan sedang apabila dalam diri manusia memiliki

keinginan yang positif, mempunyai harapan yang tinggi, namun

memiliki keyakinan yang rendah bahwa dirinya dapat bersosialisasi dan

mampu menyelesaikan persoalan yang dihadapi.

Motivasi dikatakan lemah apabila di dalam diri manusia memiliki

harapan dan keyakinan yang rendah, bahwa dirinya dapat berprestasi.

2.3.2.3. Pengukuran motivasi.

Page 18: TINJAUAN KEPUSTAKAAN Sistemik Lupus Eritematosus

27

Motivasi tidak dapat diobservasi secara langsung namun harus diukur.

Pada umumnya, yang banyak diukur adalah motivasi sosial dan

motivasi biologis. (Notoadmodjo, 2010).

Salah satu cara untuk mengukur motivasi melalui kuesioner adalah

dengan meminta klien untuk mengisi kuesioner yang berisi pertanyaan-

pertanyaan yang dapat memancing motivasi klien.

Pengukuran motivasi menggunakan kuesioner dengan skala Likert yang

berisi pernyataan-pernyataan terpilih dan telah diuji validitas dan

realibilitas. Pernyataan positif (favorable) : Sangat setuju (SS) jika

responden sangat setuju dengan pernyataan kuesioner yang diberikan

melalui jawaban kuesioner diskor 4. Setuju (S) jika responden setuju

dengan pernyataan kuesioner yang diberikan melalui jawaban kuesioner

diskor 3. Tidak setuju (TS) jika responden tidak setuju dengan

pernyataan kuesioner yang diberikan melalui jawaban kuesioner diskor

2. Sangat tidak setuju (STS) jika responden sangat tidak setuju dengan

pernyataan kuesioner yang diberikan melalui jawaban kuesioner diskor

1. Pernyataan negatif (unfavorable): Sangat setuju (SS) jika responden

sangat setuju dengan pernyataan kuesioner yang diberikan melalui

jawaban kuesioner diskor 1. Setuju (S) jika responden setuju dengan

pernyataan kuesioner yang diberikan melalui jawaban kuesioner diskor

2. Tidak setuju (TS) jika responden tidak setuju dengan pernyataan

kuesioner yang diberikan melalui jawaban kuesioner diskor 3. Sangat

Page 19: TINJAUAN KEPUSTAKAAN Sistemik Lupus Eritematosus

28

tidak setuju (STS) jika responden sangat tidak setuju dengan pernyataan

kuesioner yang diberikan melalui jawaban kuesioner diskor 4.

Kriteria motivasi dikategorikan menjadi :

Motivasi Kuat : 67 – 100%

Motivasi Sedang : 34 – 66%

Motivasi Lemah : 0 – 33%)

2.3.3. Dukungan fasilitas dan petugas kesehatan.

Menurut Notoatmodjo (2007), sarana pelayanan kesehatan bagi masyarakat

terdiri dari rumah sakit, puskesmas, pustu, poliklinik, posyandu, polindes,

praktek dokter/bidan swasta, dan sebagainya. Untuk berperilaku sehat,

masyarakat memerlukan sarana dan prasarana pendukung. Odapus yang mau

berobat tidak hanya karena ia tahu dan sadar manfaat pengobatan, namun Odapus

dengan mudah dapat memperoleh tempat pengobatan.

Dukungan dari tenaga kesehatan profesional merupakan faktor lain yang dapat

mempengaruhi perilaku kepatuhan. Pelayanan yang baik dari petugas dapat

menyebabkan berperilaku positif. (Novian, 2013).

2.3.4. Dukungan keluarga

Dukungan keluarga adalah proses yang terjadi sepanjang hidup, dimana sumber

dan jenis dukungan keluarga berpengaruh terhadap tahap lingkaran kehidupan

keluarga. Menurut Stuart dan Sundeen (1995), ada tiga dimensi interaksi dalam

dukungan keluarga yaitu timbal balik (kebiasaan dan frekuensi hubungan timbal

balik), nasihat/umpan balik, dan keterlibatan emosional (meningkatkan intimasi

dan kepercayaan) di dalam hubungan sosial.

Page 20: TINJAUAN KEPUSTAKAAN Sistemik Lupus Eritematosus

29

Cara untuk meningkatkan efektivitas keberadaan atau sumber potensial

terdapatnya dukungan dari keluarga yang menjadi prioritas penelitian.

Komponen-komponen dukungan keluarga terdiri dari :

2.3.4.1. Dukungan pengharapan.

Dukungan pengharapan meliputi pertolongan pada individu untuk

memahami kejadian depresi dengan baik dan juga sumber depresi dan

strategi koping yang dapat digunakan dalam menghadapi stressor.

2.3.4.2. Dukungan nyata.

Dukungan ini meliputi penyediaan dukungan jasmaniah seperti

pelayanan, bantuan finansial dan material berupa bantuan nyata

(instrumental support material support), suatu kondisi dimana benda

atau jasa akan membantu memecahkan masalah praktis, termasuk di

dalamnya bantuan langsung, seperti saat seseorang memberi atau

meminjamkan uang, membantu pekerjaan sehari-hari, menyampaikan

pesan, menyediakan transportasi, menjaga dan merawat saat sakit

ataupun mengalami depresi yang dapat membantu memecahkan

masalah.

2.3.4.3. Dukungan informasi.

Keluarga dapat menyediakan informasi dengan menyarankan tentang

dokter, terapi yang baik bagi dirinya, dan tindakan spesifik bagi

individu untuk melawan stressor. Individu yang mengalami depresi

dapat keluar dari masalahnya dan memecahkan masalahnya dengan

Page 21: TINJAUAN KEPUSTAKAAN Sistemik Lupus Eritematosus

30

dukungan dari keluarga dengan menyediakan feed back (Sheiley,

1995).

2.3.4.4. Dukungan emosional.

Selama depresi berlangsung, individu sering menderita secara

emosional, sedih, cemas, dan kehilangan harga diri. Jika depresi

mengurangi perasaan seseorang akan hal dimiliki dan dicintai.

Dukungan emosional memberikan individu perasaan nyaman, merasa

dicintai saat mengalami depresi, bantuan dalam bentuk semangat,

empati, rasa percaya, perhatian sehingga individu yang menerimanya

merasa berharga.

2.4. Kerangka Teori

Skema 2.1.

Kerangka Teori

Kerangka Teori : Lawrence Green (1980) dalam Notoatmodjo (2012)

Kepatuhan

Minum Obat

Faktor-faktor yang

mempengaruhi Kepatuhan :

Pengetahuan

Motivasi

Fasilitas kesehatan

dan dukungan

petugas kesehatan

Dukungan keluarga

SLE

Pengobatan Medikamentosa Utama :

Kortikosteroid