Upload
others
View
16
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
TINJAUAN HUKUM ISLAM TENTANG PRINSIP PERJANJIAN
PENANAMAN MODAL USAHA
(Studi kasus pada Cafe D’ngkringan di Jln. Pagar Alam No. 73, Kedaton, Tj.
Karang Barat, Kota Bandar Lampung)
Skripsi
Oleh
RIZKY JOKO SAPUTRA
FAKULTASHUKUM
UNIVERSITASLAMPUNG
BANDARLAMPUNG
2020
ABSTRAK
TINJAUAN HUKUM ISLAM TENTANG PRINSIP PERJANJIAN
PENANAMAN MODAL USAHA
(Studi kasus pada Cafe D’ngkringan di Jln. Pagar Alam No. 73, Kedaton, Tj.
Karang Barat, Kota Bandar Lampung)
Oleh :
RIZKY JOKO SAPUTRA
Istilah Mudharabah adalah bahasa yang digunakan oleh penduduk Irak, sedangk
an penduduk Hijaz menyebut mudharabah dengan istilah mudharabah atau
qiradh, sehingga dalam perkembangan lebih lanjut mudharabah dan qiradh juga
mengacu pada makna yang sama. Secara lughowi mudharabah berasal dari
kataad-dharb (برضلا) derivasi dari wazan fi’il ضرب –برض ا itrareb –ی ضرب
memukul dan berjalan. Selain ad-dharb ada juga qiradh (ضارقلا) dari kata
yang berarti pinjaman atau pemberian modal untuk berdagang dengan (ضرقلا)
memperoleh laba. Penelitian ini mengkaji tentang Bagaimanakah pelaksanaan
perjanjian bagi hasil di Cafe, Bagaimanakah akibat hukum perjanjian yang tidak
memenuhi prinsip bagi hasil.
Jenis penelitian skripsi ini adalah penelitian lapangan (field research) dengan
metode deskriptif kualitatif yaitu penelitian yang dimaksudkan untuk
menggambarkan (mendeskripsikan) mengenai suatu masalah. Data yang
digunakan adalah data primer yang terdiri atas bahan hukum primer, bahan hukum
sekunder dan bahan hukum tersier yang kemudian dianalisis secara kualitatif.
Metode pengumpulan data menggunakan studi pustaka, studi dokumen dan
wawancara.
Berdasarkan hasil penelitian dalam pembahasan ini adalah bahwa Kompilasi
Hukum Islam (Analisa Kepatuhan Syariah) adalah terdapat 2 jenis akad yang
diterapkan pada akad mudharabah yaitu muqayyadah dan mutlaqah, yang sering
digunakan pada akad pembiayaan mudharabah yaitu mudharabah mutlaqah. Pada
sistem bagi hasil yang diterapkanya itu menggunakan sistem profit sharing. Dalam
pengembalian modal menggunakan akad mudharabah adalah dengan pengembalian
diakhir kontrak ditambah dengan investasi mudharabah pada jangka waktu sama
dengan jangka waktu pembaiayaan.
Kata Kunci: Mudharabah, Perjanjian, Hukum Islam
TINJAUAN HUKUM ISLAM TENTANG PRINSIP PERJANJIAN
PENANAMAN MODAL USAHA
(Studi kasus pada Cafe D’ngkringan di Jln. Pagar Alam No. 73, Kedaton, Tj.
Karang Barat, Kota Bandar Lampung)
Oleh
RIZKY JOKO SAPUTRA
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar
SARJANA HUKUM
Pada
Program Studi Ilmu Hukum Jurusan Hukum Keperdataan
Fakultas Hukum Universitas Lampung
FAKULTASHUKUM
UNIVERSITASLAMPUNG
BANDARLAMPUNG
2020
PERNYATAAN
Saya yang bertanda tangan dibawah ini:
Nama : Rizky Joko Saputra
Npm : 1542011094
Jurusan : Perdata
Fakultas : Hukum
Menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul “Tinjauan Hukum Islam tentang
Prinsip Perjanjian Penanaman Modal Usaha” (Studi kasus pada Cafe D’ngkringan
di Jln. Pagar Alam No. 73, Kedaton, Tj. Karang Barat, Kota Bandar Lampung)”
adalah benar-benar hasil karya sendiri, dan bukan hasil plagiat sebagaimana diatur
dalam Pasal 27 Peraturan Akademik Universitas Lampung dengan Surat
Keputusan Rektor No. 3187/H26/DT/2010.
Bandar Lampung, Februari 2020
Rizky Joko Saputra
NPM 1542011094
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Rizky Joko Saputra dilahirkan di Metro pada
tanggal 27 Juli 1997 , sebagai anak Pertama dari 2 bersaudara,
putra dari pasangan Bapak Hi. Renan Joko Sajarwo, S.IP.,M.M.
dan Hj. Ir. Ermawati, M.M. Jenjang pendidikan formal yang
penulis tempuh dan selesaikan adalah pada Sekolah Dasar (SD)
Pertiwi Teladan Metro lulus pada tahun 2009, Sekolah Menengah Pertama (SMP)
Negeri 3 Metro lulus pada tahun 2012, Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 4
Metro lulus pada tahun 2015. Selanjutnya pada tahun 2015 penulis diterima
sebagai mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung, program pendidikan
Strata 1 (S1) dan pada pertengahan Juni 2016, penulis memfokuskan diri dengan
mengambil bagian Hukum Perdata.
Pada bulan Januari-Februari 2019 selama 40 (Empat Puluh) hari, penulis
melaksanakan Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Desa Karang Agung, Kecamatan
Pakuan Ratu, Kabupaten Way kanan. Kemudian di Tahun 2020 penulis
menyelesaikan skripsi sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana
Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Lampung.
MOTTO
“Allah tidak membebani seorang hambanya melainkan sesuai dengan
kemampuannya”…
(Al Qur’an Surat Al-Baqarah: 286)
“Ketika kamu berhenti mengeluh, itu tandanya kamu sudah belajar sebuah
hal sederhana, yaitu Kesabaran”
PERSEMBAHAN
حيمبســــــــــــــــــم حمنالر اللهالر
Segala puji dan syukur penulis kehadirat Allah SWT atas segala rahmat,
nikmatnya serta pertolongan-Nya yang tiada terhingga kepada semua
makhluknya, khususnya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi ini dengan baik.
Penulis persembahkan Skripsi ini kepada :
Kedua Orang Tua Tercinta,
Bapak Hi. Renan Joko Sajarwo, S.IP., M.M. dan Ibu Hj. Ir. Ermawati, M.M.
Yang senantiasa berdoa untuk penulis, berkorban untuk penulis dan selalu
mendukung, terimakasih untuk semua kasih sayang dan cinta luar biasa sehingga
aku bisa menjadi seorang yang kuat dan konsisten dalam meraih cita-cita.
SANWACANA
Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT karena atas rahmat dan
hidayahnya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul:
“Tinjauan Hukum Islam tentang Prinsip Perjanjian Penanaman Modal
Usaha” (Studi kasus pada Cafe D’ngkringan di Jln. Pagar Alam No. 73, Kedaton,
Tj. Karang Barat, Kota Bandar Lampung). Skripsi ini disusun sebagai salah satu
syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas
Lampung.
Penulis menyadari masih banyak terdapat kekurangan dalam penulisan skripsi ini,
untuk itu saran dan kritik yang membangun dari semua pihak sangat diharapkan
untuk pengembangan dan kesempurnaan skripsi ini. Pada penulisan skripsi ini
penulis mendapatkan bimbingan, arahan serta dukungan dari berbagai pihak
sehingga penyusunan skripsi ini dapat berjalan dengan baik. Pada kesempatan kali
ini, penulis ingin menyampaikan rasa hormat dan terima kasih yang sebesar-
besarnya terhadap :
1. Bapak Prof. Dr. Maroni, S.H., M.H., selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Lampung.
2. Bapak Dr. Sunaryo, S.H., M.Hum., selaku Ketua Bagian Hukum Perdata
Fakultas Hukum Universitas Lampung.
3. Ibu Dr. Amnawati, S.H., M.H., selaku Pembimbing I, atas bimbingan dan
saran yang diberikan dalam proses penyusunan hingga selesainya skripsi ini.
4. Ibu Elly Nurlaili, S.H., M.H., selaku Pembimbing II, atas bimbingan dan
saran yang diberikan dalam proses penyusunan hingga selesainya skripsi ini.
5. Ibu Wati Rahmi Ria, S.H., M.H., selaku Penguji Utama, atas masukan dan
saran yang diberikan dalam proses perbaikan skripsi ini.
6. Bapak Harsa Wahyu Ramadhan, S.H., M.H., selaku Dosen Pembahas II, atas
masukan dan saran yang diberikan dalam proses perbaikan skripsi ini.
7. Bapak Damanhuri Warganegara, S.H., M.H., selaku Dosen Pembimbing
Akademik yang memberikan dukungan moril, nasihat dan ilmu yang
bermanfaat bagi penulis selama ini dalam perkuliahan.
8. Para narasumber dalam penulisan skripsi ini Bapak Agil Patria Putra dan
Bapak Anwar Rifa’i selaku pemilik cafe D’ngkringan atas bantuan dan
informasi serta kebaikan yang diberikan demi keberhasilan pelaksanaan
penelitian ini.
9. Seluruh Dosen Pengajar, Staf dan Karyawan di Fakultas Hukum Universitas
Lampung, khususnya bagian Hukum Perdata yang telah memberikan ilmu
yang bermanfaat kepada penulis.
10. Kedua Orang Tuaku yang sangat teristimewa yang selalu menjadi inspirasi
dan motivasi terbesar bagi penulis, Bapak Hi. Renan Joko Sajarwo, S.IP.,
M.M. dan Ibu Hj. Ir. Ermawati, M.M., yang telah memberikan perhatian,
kasih sayang, cinta, semangat, dan doa serta dukungan yang tak terhingga
selama ini diberikan kepada anakmu ini, Terima Kasih teramat dalam atas
segalanya semoga dapat membahagiakan, membanggakan, dan menjadi anak
yang selalu berbakti kepada kedua orang tuanya.
11. Adik dan Saudara sepupuku yang juga sangat istimewa yang selalu
mendukung penulis, Minda Tuwaring Putri dan Galuh Saputra.
12. Terimakasih kepada Squad HIMJAL (Himpunan Mahasiswa jalan-jalan) tapi
jarang jalan-jalan, I Made Raam Govinda, Ajie Abdan S, I Gede Ezra Wijaya,
Irfan Adi Saputra, Wayan Tirte Yase, Khrisna Geka Pratama, Aron Fiero
Seregar, Hafis Abdul Aziz, kadek Candra, yang selalu menemani, membantu,
dan menyemangati penulis dalam masa perkuliahan dan penyusunan skripsi
ini.
13. Terimakasih kepada teman seperjuangan di masa perkuliahanku, Krisna
Hardyanto, M.Faris, Muhammad Yusuf, Afrialdi, Pepy, faris Raya Guna,
yang telah memberikan semangat dan dukungan untukku.
14. Terimakasih kepada teman seperjuangan skripsi, Ajie Abdan S, I Made Raam
Govinda, I Gede Ezra, Vitrianne,Wayan Tirte, Mayang, Farisraya Guna, Faris
Rafsanjani, Prasetyo Budi Wibowo dan Krisna Hardyanto.
15. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah membantu
dalam penyelesaian skripsi ini, terimakasih atas semua bantuan dan
dukungannya.
Akhir kata penulis mendoakan semoga kebaikan yang telah diberikan kepada
penulis akan mendapatkan balasan kebaikan yang lebih besar dari Allah SWT dan
mohon maaf apabila ada yang salah dalam penulisan skripsi ini dan semoga
skripsi ini dapat bermanfaat dan menambah wawasan keilmuan pada umumnya
dan ilmu hukum khususnya hukum perdata.
Bandar Lampung, Februari 2020
Rizky Joko Saputra
DAFTAR ISI
Halaman
I. PENDAHULUAN ........................................................................................... 1
A. Latar Belakang ............................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ........................................................................................ 6
C. Ruang Lingkup ............................................................................................. 7
D. Tujuan Penelitian ......................................................................................... 7
E. Kegunaan Penelitian..................................................................................... 8
II. TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................. 9
A. Tinjauan Mengenai Perjanjian ..................................................................... 9
B. Dasar Hukum Mudharabah ........................................................................ 27
C.Sistem Bagi Hasil Usaha ............................................................................36
D.KerangkaPikir.............................................................................................39
III. METODE PENELITIAN ............................................................................ 41
A. Jenis Penelitian ........................................................................................... 41
B. Tipe Penelitian ........................................................................................... 41
C. Pendekatan Masalah ................................................................................... 42
D. Jenis Data ................................................................................................... 42
E. Pengumpulan data dan Pengolahan Data ................................................... 43
F. Analisis Data .............................................................................................. 44
IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ........................................... 45
A. Prinsip Bagi Hasil dalam Perjanjian Kerjasama Usaha Café D’ngkringan
................................................................................................................... 45
1. Prinsip Bagi Hasil dalam Kerjasama Usaha…………………………...45
2. Prinsip Bagi Hasil Dalam Kerjasama Usaha di Café D'ngkringan….…52
B. Akibat Hukum Dalam Pelaksanaan Perjanjian Kerjasama Bagi Hasil
Dalam Mengelola Bersama ....................................................................... 55
1. Ganti Rugi Dalam Hukum Islam .......................................................... 55
2. Perjanjian Batal Dalam Hukum Islam .................................................. 61
V. PENUTUP ..................................................................................................... 64
A. Kesimpulan ................................................................................................ 64
B. Saran ........................................................................................................... 66
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
1
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Islam telah mengajarkan kepada seluruh umat manusia untuk hidup saling tolong-
menolong dengan berdasar pada rasa tanggung jawab bersama. Islam juga mengajarkan
agar dalam hidup bermasyarakat dapat ditegakkan nilai-nilai keadilan dan dihindarkan
praktik-praktik penindasan dan pemerasan. Agama Islam mempunyai dua sumber
hukum yang utama yaitu Al-Qur’an dan Al-Hadits. Salah satu segi hukum yang terdapat
di dalamnya adalah masalah-masalah Hukum Islam yang membolehkan seorang muslim
berdagang secara perseorangan, dan membolehkan juga menggabungkan modal dan
tenaga dalam bentuk perkongsian (serikat dagang) secara kegotongroyongan yang
memungkinkan usaha dapat berjalan dengan lancar. Namun disisi lain, Islam memberi
ketentuan atau aturan usaha yang dilakukan baik secara perorangan maupun kelompok,
yaitu dikategorikan halal dan mengandung kebaikan.1
Salah satu serikat dagang yang diperbolehkan adalah mudharabah. Secara teknik, bagi
hasil (Mudharabah) adalah akad kerjasama usaha antara dua pihak di mana pihak
pertama (shahibul Maal) menyediakan seluruh (100%) modal, sedangkan pihak lainnya
menjadi pengelola usaha (Mudharib). Keuntungan usaha secara mudharabah dibagi
menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak sedangkan kerugian juga
1Kusuma wardani, Tria.2018. Tinjauan Hukum Islam tentang Bagi hasil dalam Kerja Sama
Pengembangbiakan Ternak Sapi.http://repository.radenintan.ac.id/4921/1/SKRIPSI.pdf. Akses tanggal 09
April 2019.
2
ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian itu bukan akibat kelalaian si pengelola,
pengelola harus bertanggung jawab atas kerugian tersebut.2
Sistem bagi hasil merupakan bagian dari bentuk kerjasama antara pihak penyedia dana
menyertakan modal dan pihak lain sebagai pengelola yang memiliki keahlian (skill) dan
manajemen sehingga tercapai tujuan perekonomian, dan apabila terdapat keuntungan
maka hal ini akan dibagi sesuai dengan kesepakatan. Sesungguhnya Agama Islam telah
mengajarkan bagaimana kerjasama (berserikat) secara benar dengan tidak memberatkan
salah satu pihak dengan saling menguntungkan serta terhindar dari riba. Berserikat
dapat dilakukan denganlembaga ataupun perorangan.
Bagi hasil sebagaimana telah dijelaskan diatas adalah suatu istilah yang sering
digunakan oleh orang-orang dalam melakukan usaha bersama untuk mencari
keuntungan antara kedua belah pihak yang mengikatkan dirinya dalam suatu perjanjian.
Adapun bagi hasil menurut Islam, salah satunya adalah mudharabah. Mudharabah
adalah akad kerja sama usaha antara dua pihak di mana pihak pertama (shahibul maal)
menyediakan seluruh modal, sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola usaha
(Mudharib), keuntungan usaha secara mudharabah dibagi menurut kesepakatan yang
dituangkan dalam kontrak, sedangkan apabila rugi ditanggung oleh pemilik modal
selama kerugian itu bukan karena kecurangan atau kelalaian si pengelola.3
Bila bersandar kepada wahyu, tidak satupun ayat al-Qur’an yang mengatur tentang
mekanisme bagi hasil di perbankan Syariah, semuanya dalil tersebut menjelaskan
2Muhammad Syafi’I, Bank Syariah dari Teori Kepraktik, Jakarta : Gema Insani Press, 2002.
hlm. 4. 3Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, Jakarta: Rajawali Pers, 2011, hlm. 135.
3
prinsip-prinsip umum mengenai cara berbisnis yang diperbolehkan dan yang dilarang
untuk dilaksanakan. Prinsip bagi hasil yang ditawarkan oleh Pembagian Syariah, adalah
merupakan solusi dari sebuah mekanisme berbagi dalam keuntungan apabila
mendapatkan untung dari kegiatan usaha yang dilaksanakan dan berbagi pula resiko
kerugian apabila mendapatkan kerugian antara shahib al maal (Pemilik Modal) dengan
mudhariab (Pelaku Usaha).
Berpegang kepada kesepakatan yang telah ditandatangani oleh kedua belah pihak ketika
akad, besaran bagi hasil bervariasi antara 50% berbanding 50%, atau 60% berbading
40%, atau 70% berbanding 30% setelah kedua belah pihak meyakini dan sepakat bahwa
pada besaran nisbah yang telah disepakati diperkirakan masing-masing pihak memiliki
keyakinan akan mendapatkan keuntungan. Sistem pembiyaan dengan prinsip bagi hasil
juga mendorong dan merangsang para nasabah untuk berbisnis dengan berpijak pada
rambu-rambu syariah yang telah ditetapkan dalam Al-Quran dan Sunnah melalui
kepanjangan tangan pakar fatwa dibindang syariah yaitu Dewan Syarah Nasional
(DSN).4
Dasar hukum tentang kebolehan untuk kerja sama bagi hasil ini adalah berdasarkan Al-
Qur’an, hadist dan Ijma’. Sebagaimana yang difirmankan Allah SWT dalam Al-Qur’an
Surat An-nisa ayat 29:
ها الذين آمنوا ل تأكلوا أموالكم بينكم بالباطل إل أن تكون تجارة عن تراض منكم يا أي
4Suherman., “Penterapan Prinsip Bagi Hasil pada Perbankan Syariah Sebuah Pendekatan AL-
Maqasidu Al-Syariah”. Al-Mashlahah Jurnal Hukum dan Perdata Sosial Islam, 2018, Hal. 298.
4
Artinya: Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan jalan yang batil (tidak benar), kecuali dalam perdagangan
yang Berlaku atas dasar suka sama suka di antaramu...5
Para ahli hukum Islam sepakat mengakui keabsahan mudharabah ditinjau dari segi
manfaat dan dari segi ajaran dan tujuan syari’ah. Cara penghitungan keuntungan dalam
bagi hasil mudharabah yaitu dalam pembagian keuntungan harus dinyatakan dalam
bentuk persentasi antara kedua belah pihak. Bagi untung dan rugi bila laba besar, maka
kedua belah pihak mendapatkan keuntungan yangbesar dan sebaliknya. Menentukan
besarnya keuntungan ditentukan berdasarkan kesepakatan masing-masing pihak yang
berkontrak.6
Risiko kerugian dalam mudharabah, menurut ulama fiqh apabila di dalam transaksi
tersebut mengalami kegagalan, yang mengakibatkan sebagian atau seluruh modal yang
ditanamkan pemilik modal habis, maka yang menanggung kerugian hanya pemilik
modal sendiri. Sedangkan penerima modal sama sekali tidak menanggung atau tidak
harus mengganti kerugian atas modal yang hilang dalam catatan pengelola modal dalam
menjalankan usahanya sesuai dengan aturan yang telah mereka setujui dalam Surat
Perjanjian Kerja Sama Usaha Café dalam Pasal 7 Yaitu kegagalan usaha isinya yaitu
telah disepakati bahwa jika di kemudian hari terjadi pailit atau bangkrut, maka resiko
yang timbul akan menjadi tanggung jawab bersama antara pihak pertama dan pihak
kedua, sepanjang tidak menyalahgunakan modal yang dipercayakan kepadanya.
Abdurrahman Al-Jaziri mengatakan mudharabah berarti ungkapan terhadap pemberian
5Depertemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, Bandung: CV Diponegoro, 2008, hlm.
83. 6 Harun Nasrun, Fiqh Muamalah, Jakarta: Gaya Medika Pratama, 2007, hlm. 231.
5
modal dari seseorang kepada kepada orang lain sebagai modal usaha di mana
keuntungan yang diperoleh akan dibagi dua di antara mereka berdua, dan bila terjadi
kerugian yang disebabkan bukan karena kesalahan yang menjalankan modal, dia berhak
mendapatkan upah yang wajar disebut ujratul-mitsil.7
Dalam pelaksanaan usaha Café D’ngkringan ini pemilik bersama melakukan kerja sama
antara pemilik pertama dan pemilik kedua dengan cara memberi modal 50% rata, untuk
mengelola Cafe dengan modal sepenuhnya dalam mengelola Café tersebut. Hasil dibagi
dua secara rata dalam mengelola bersama café. Praktek kerja sama antara pihak
pengelola bersama bahwa hasil yang didapat dalam mengelola café tersebut dibagi sama
rata dalam perjanjian café telah di tentukan dalam surat perjanjian kerja sama usaha cafe
dan sisa dari keuntungan akan digunakan untuk membeli kebutuhan yang di perlukan
dalam usaha café tersebut, barulah dibagi pemilik bersama 50% dan pengelola bersama
50%. Apabila modal sudah kembali maka hasil tetap dibagi sepenuhnya kepada pemilik
kedua belah pihak dalam mengelola cafe. Pembagiannya dilakukan dengan surat
perjanjian kerja sama usaha cafe secara tertulis di atas matrai apabila pemilik pemilik
kedua belah pihak mendapat bagian keuntungan yang sama sedangkan kerugian akan
ditanggung bersama oleh pemilik modal oleh kedua belah pihak yang sudah tercantum
dalam Pasal 7 Yaitu kegagalan usaha isinya yaitu telah disepakati bahwa jika di
kemudian hari terjadi pailit atau bangkrut, maka resiko yang timbul akan menjadi
tanggung jawab bersama antara pihak pertama dan pihak kedua.
7Muslih Abdullah, Fikih Keuangan Ekonomi Islam, Jakarta: Darul Haq, 2008, hlm. 302.
6
Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimanakah pelaksanaan perjanjian bagi
hasil di Cafe D’ngkringan, serta Bagaimanakah akibat hukum perjanjian yang tidak
memenuhi prinsip bagi hasil ditinjau menurut konsep mudharabah. Tujuan dari
penelitian ini adalah untuk Proses perjanjian bagi hasil di Cafe D’ngkringan dan untuk
mengetahui Proses akibat hukum perjanjian yang tidak memenuhi prinsip bagi hasil di
Café D’ngkringan di Jln. Pagar Alam No. 73, Kedaton, Tj. Karang Barat, Kota Bandar
Lampung.
Berdasarkan dari uraian latar belakang di atas, maka penulis tertarik untuk mengkaji
mengenai proses terjadinya hubungan hukum antara kedua belah pihak dalam Tinjauan
Hukum Islam tentang Prinsip Perjanjian dalam Penanaman Modal Usaha, pemenuhan
hak dan kewajiban dalam Tinjauan Hukum Islam tentang Prinsip Perjanjian dalam
Penanaman Modal Usaha.akibat hukum islam jika hak dan kewajiban para pihak dalam
perjanjian antara kedua belah pihak tidak dipenuhi. Untuk itu perlu dilakukan penelitian
lebih mendalam, penelitian ini dituliskan dalam skripsi berjudul:“Tinjauan Hukum
Islam Tentang Prinsip Perjanjian Penanaman Modal Usaha”.
B. Rumusan masalah dan Ruang Lingkup
1. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan maka dapat dirumuskan
pokok permasalahannya yangakan menjadi kajian selanjutnya yaitu: identifikasi
masalah dan batasan masalah, maka penulis merumuskan masalah yaitu:
a. Bagaimanakah pelaksanaan perjanjian bagi hasil di Café D’ngkringan ?
7
b. bagaimanakah akibat hukum perjanjian yang tidak memenuhi prinsip bagi hasil
?
2. Ruang Lingkup
Ruang lingkup kajian materi penelitian ini adalah proses terjadinya hubungan hukum
islam para pihak pemilik, pelaksanaan Tinjauan Hukum Islam tentang Prinsip Perjanjian
dalam Penanaman Modal Usaha dalam bentuk pemenuhan hak dan kewajiban, serta
hukum islam yang apabila hak dan kewajiban dalam Penanaman Modal Usaha tidak
terpenuhi, yang mana termasuk ke dalam kajian Ilmu Hukum Keperdataan, yaitu hukum
perjanjian dalam hukum islam,Tinjauan Hukum Islam tentang Prinsip Perjanjian dalam
Penanaman Modal Usaha.
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan pada rumusan masalah di atas, maka tujuan dari kegiatan ini adalah hal-hal
sebagai berikut:
a. Proses Bagaimanakah pelaksanaan perjanjian bagi hasil di Café.
b. Proses akibat hukum perjanjian yang tidak memenuhi prinsip bagi hasil.
D. Kegunaan penelitian
a. Kegunaan Teoritis
Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat menunjang pengembangan ilmu
pengetahuan di bidang hukum lebih khususnya dalam lingkup hukum perjanjian
kerjasama bagi hasil pada penanaman modal usaha.
8
b. Kegunaan Praktis
a) Sebagai upaya pengembangan kemampuan dan penambah pengetahuan hukum bagi
penulis mengenai ilmu hukum islam.
b) Memberikan gambaran kepada pembaca mengenai proses terjadinya hubungan
hukum para pihak, pelaksanaan prinsip perjanjian penanaman modal usaha dalam
bentuk pemenuhan hak dan kewajiban serta hambatan yang ditemui dan upaya yang
dilakukan, serta akibat hukum yang terjadi apabila hak dan kewajiban dalam prinsip
perjanjian penanaman modal usaha tidak terpenuhi.
c) Sumbangan pemikiran, bahan bacaan dan sumber informasi serta bahan kajian bagi
yang memerlukan.
9
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Mengenai perjanjian
1. Perjanjian Kerjasama Bagi hasil
Istilah mudharabah adalah bahasa yang digunakan oleh penduduk Irak, sedangkan
penduduk Hijaz menyebut mudharabah dengan istilah mudharabah atau qiradh,
sehingga dalam perkembangan lebih lanjut mudharabah dan qiradh juga mengacu pada
makna yang sama. Secara lughowi mudharabah berasal dari kataad-dharb (برضلا)
derivasi dari wazan fi’il ضرب ضرب – ا nialeS .nalajreb nad lukumem itrareb ض –ی رب
ad-dharbada juga qiradh (ضارقلا) dari kata (ضرقلا) yang berarti pinjaman atau
pemberian modal untuk berdagang dengan memperoleh laba. Muhammad Syafi’I
Antonio dalam bukunya Bank Syariah dari Teori Ke Praktek, menuliskan bahwa
pengertian berjalan lebih tepatnya adalah proses seseorang dalam menjalankan usaha.8
Dari sini dapat dipahami bahwa mudharabah secara lughowi adalah proses seseorang
menggerakkan kakinya dalam menjalankan usahanya dengan berdagang untuk
memperoleh laba.
Secara istilah mudharabah adalah menyerahkan modal kepada orang yang berniaga
sehingga ia mendapatkan presentasi keuntungan.9 Definisi mudharabah menurut Sayyid
Sabiqa dalah:
8Muhammad Syafi’I Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktek, (Jakarta: Gema Insani), 2001.
hlm. 95. 9Abdullah Al-Muslih, Fikih Ekonomi Keuangan Islam, (Jakarta : Darul Haq), 2004, hlm. 168.
10
“Akad antara dua pihak dimana salah satu pihak mengeluarkan sejumlah uang (sebagai
modal) kepada lainnya untuk diperdagangkan. Laba dibagi sesuai dengan kesepakatan”.
Adapun definisi mudharabah menurut Wahbah Az-Zuhailiadalah:
“Akad didalamnya pemilik modal memberikan modal (harta) pada‘amil (pengelola)
untuk mengelolanya, dan keuntungannya menjadi milik bersama sesuai dengan apa
yang mereka sepakati. Sedangkan, kerugiannya hanya menjadi tanggungan pemilik
modal saja, ‘amil tidak menanggung kerugian apa pun kecuali usaha dan kerjanya
saja”.10
Sedangkan definisi mudharabah menurut fatwa DSN No.07/DSN-MUI/IV/2000 adalah:
“Mudharabah adalah pembiayaan yang disalurkan oleh LKS kepada pihak lain untuk
suatu usaha yang produktif. Dalam pembiayaan ini LKS sebagai shahibul maal (pemilik
dana) membiayai 100% kebutuhan suatu proyek (usaha), sedangkan pengusaha
(nasabah) bertindak sebagai mudharib atau pengelola usaha”.11
Dari definisi diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa pengertian mudharabah yaitu akad
yang dilakukan oleh shahibul maal dengan mudharib untuk usaha tertentu dengan
pembagian keuntungan sesuai kesepakatan. Keuntungan yang dituangkan dalam kontrak
ditentukan dalam bentuk nisbah. Jika usaha yang dijalankan mengalami kerugian, maka
kerugian itu ditanggung oleh shahibul maal sepanjang kerugian itu bukan akibat
10Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah Jilid 4, (Jakarta : Darul Fath), 2004, hlm. 217. 11Fatwa DSN Indonesia No. 07/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Mudharabah (Qiradh).
11
kelalaian mudharib. Namun jika kerugian itu diakibatkan karena kelalaian mudharib,
maka mudharib harus bertanggung jawab atas kerugian tersebut.
Prinsip Bagi Hasil merupakan bagian yang sangat esensial dalam kegiatan oprasional
perbankan syariah, prinsip bagi hasil merupakan implementasi dari prinsip keadilan,
persamaan, dalam transaksi ekonomi syari’ah, bahkan bank syariah sendiri sebenarnya
sangat lekat dengan sebutan bank bagi hasil. Dengan dukungan konstitusi yang
memadai baik berupa peraturan perundang-undangan yang telah tersedia, Peraaturan
Bank Indonesia (PBI) dan Fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh Dewan Syariah nasional
(DSN), perbankan Syariah yang dalam kegiatan oprasionalnya harus selalu berpijak
kepada prinsip-prinsip syariah.
Dalam prakteknya, Bank Syariah menerapkan prinsip tersebut pada produk-produk
pembiayaan yang berbasis Natural Umcertanty Contracts (NUC), yakni akad bisnis
yang tidak memberikan kepastian pendapatan (returan), baik dari segi jumlah (amount)
maupun waktu (timing), seperti pembiayaan mudharabah dan musyarakah.12 Penerapan
bagi hasil itu sendiri sebagai realisasi dari amanat yang termaksud dalam Undang-
Undang Perbankan Syariah No 7 Tahun 1992 Pasal 6 huruf (m) yang menyebutkan
bahwa bank umum dapat menyediakan pembiayaan bagi nasabah berdasarkan prinsip
bagi hasil sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah.13
Bahwa sistem bagi hasil merupakan sistem di mana dilakukannya perjanjian atau ikatan
bersama di dalam melakukan kegiatan usaha. Di dalam usaha tersebut diperjanjikan
adanya pembagian hasil atas keuntungan yang akan di dapat antara kedua belah pihak
12Adiwarman A. Karim. Bank Islam Analisis Fiqh dan Keuangan. (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2009). Cet. Ke-3 hlm. 286. 13Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan.
12
atau lebih. Bagi hasil dalam sistem perbankan syari’ah merupakan ciri khusus yang
ditawarkan kapada masyarakat, dan di dalam aturan syari’ah yang berkaitan dengan
pembagian hasil usaha harus ditentukan terlebih dahulu pada awal terjadinya kontrak
(akad). Besarnya penentuan porsi bagi hasil antara kedua belah pihak ditentukan sesuai
kesepakatan bersama, dan harus terjadi dengan adanya kerelaan (An-Tarodhin) di
masing-masing pihak tanpa adanya unsur paksaan. Melainkan atas dasar ridha diantara
kedua belah pihak dengan apa yang telah mereka sepakati dalam rencana kegiatan usaha
yang dijalani.14
Pengertian hukum perjanjian syariah terdapat 2 arti, baik secara etimologi maupun
secara istilah. Dalam bahasa Arab perjanjian itu diartikan sebagai Mu’ahadah Ittifa’.
Akan tetapi di dalam Bahasa Indonesia, perjanjian itu dikenal sebagai kontrak. Yang
mana dengan hal ini, perjanjian merupakan suatu perbuatan yang dilakukan oleh
seseorang atau kelompok dengan yang lainnya sehingga untuk mengikat antara
keduanya baik dirinya sendiri maupun orang lain.
Istilah itu dalam al-Quran terdapat 2 macam yang berhubungan dengan perjanjian yaitu
akad dan ‘ahdu (al-‘ahdu). Akad itu hubungannya dengan perjanjian. Sedangkan ‘ahdu
merupakan pesan, masa, penyempurnaan dan janji. Dalam hal ini, akad itu disamakan
dengan seperti halnya perikatan, sedangkan kata Al-‘Ahdu disamakan dengan perjanjian.
Maka dari itu, perjanjian juga dapat diartikan yaitu pernyataan dari seseorang untuk
14Suherman., “Penterapan Prinsip Bagi Hasil pada Perbankan Syariah Sebuah Pendekatan AL-
Maqasidu Al-Syariah”. Al-Mashlahah Jurnal Hukum dan Perdata Sosial Islam, 2018, hlm. 298.
13
melakukan ataupun tidak melakukan apa-apa dan tidak berkaitan dengan kemauan
orang lain.
Dalam pengertian diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa kedudukan antara para pihak
yang mengadakan perjanjian adalah sama dan seimbang. Di dalam melakukan suatu
perjanjian itu harus ada kesepakatan antara kedua belah pihak. Yang mana terdapat ijab
qabul. Agar perjanjian yang telah disepakati dapat berjalan dengan lancar sesuai dengan
tujuan. Dengan adanya ijab qabul ini, suatu perjanjian dapat dinyatakan sebagai
perjanjian yang sah sesuai dengan syariat islam. Yang mana terjadi pemindahan suatu
kepemilikan antara orang yang satu kepada orang yang lain yang manfaatnya bisa
dirasakan oleh kedua belah pihak yang melakukan suatu perjanjian.Terdapat beberapa
pendapat antara lain, menurut Ahmad Azhar Basyir, dia mengatakan akad merupakan
perikatan antara ijab dan qabul, yang mana keduanya dapat menetapkan adanya akibat-
akibat hukum yang ada yang mengacu kepada obyeknya.
Dalam hal ini setelah pemaparan di atas, maka dapat dikatakan bahwasannya akad
adalah suatu perjanjian yang menimbulkan kewajiban untuk berprestasi antara pihak
yang satu dengan pihak yang lainnya, yang mana antara keduanya terdapat hubungan
timbal balik.15
Perjanjian merupakan suatu perbuatan yang berkaitan dengan hukum dan perbuatan
yang berkaitan dengan akibat hukum. Perjanjian juga bisa disebut sebagai perbuatan
untuk memperoleh seperangkat hak dan kewajiban yaitu akibat-akibat hukum yang
15https://insertpoin.blogspot.com/2016/05/hukum-perjanjian-dalam-prespektif-
hukum.html.Akses tanggal 26 November 2019.
14
merupakan konsekuensi. Perbuatan hukum dalam perjanjian merupakan perbuatan-
perbuatan untuk melaksanakan sesuatu yaitu memperoleh seperangkat hak dan
kewajiban yang disebut prestasi.
2. Rukun dan Syarat Pembiayaan Mudharabah
a. Rukun Mudharabah
Akad mudharabah memiliki beberapa rukun yang telah digariskan oleh ulama guna
menentukan sahnya akad tersebut, tetapi para ulama berbeda pendapat tentang rukun
mudharabah adalah ijab dan qabul yakni lafad yang menunjukkan ijab dan qabul
dengan menggunakan mudharabah, muqaridhah, muamalah, atau kata-kata searti
dengannya. Para ulama berbeda pendapat mengenai rukun mudharabah, menurut ulama
Malikiyah bahwa rukun mudharabah terdiri dari : 1. Ra’sul mal (modal), 2. al-‘amal
(bentuk usaha), 3. keuntungan, 4. ‘aqidain (pihak yang berakad). Adapun menurut
ulama Hanafiyah, rukun mudharabah adalah ijab dan qabul dengan lafal yang
menunjukkan makna ijab dan qabul itu. Sedangkan menurut ulama Syafi’iyah rukun
mudharabah ada enam yaitu :
a. Pemilik dana (shahibul mal)
b. Pengelola (mudharib)
c. Ijab qabul (sighat)
d. Modal (ra’sul mal)
e. Pekerjaan (amal)
f. Keuntungan atau nisbah16
16 Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010) hlm. 139.
15
Menurut jumhur ulama berpendapat bahwa rukun mudharabah ada tiga, yaitu :
a. Dua orang yang melakukan akad (al-aqidani)
b. Modal (ma’qud alaih)
c. Shighat (ijab dan qabul)17
Dari perbedaan para ulama diatas dipahami bahwa rukun pada akad mudharabah pada
dasarnya adalah :
a. Pelaku (shahibul mal dan mudharib)
Dalam akad mudharabah harus ada dua pelaku, dimana ada yang bertindak
sebagai pemilik modal (shahibul maal) dan yang lainnya menjadi pelaksana
usaha (mudharib).
b. Obyek mudharabah ( modal dan kerja)
Obyek mudharabah merupakan konsekuensi logis dari tindakan yang dilakukan
oleh para pelaku. Pemilik modal menyertakan modalnya sebagai obyek
mudharabah, sedangkan pelaksana usaha menyerahkan kerjanya sebagai obyek
mudharabah. Modal yang diserahkan bisa bentuk uang atau barang yang dirinci
berapa nilai uangnya. Sedangkan kerja yang diserahkan bisa berbentuk keahlian,
ketrampilan, selling skill, management skill, dan lain-lain.
Para fuqaha (seorang ahli fiqih) sebenarnya tidak memperbolehkan modal
mudharabah berbentuk barang. Modal harus uang tunai karena barang tidak
dapat dipastikan taksiran harganya dan mengakibatkan ketidakpastian (gharar)
17 Rachmat Syafei, Fiqh Muamalah, (Bandung : CV Pustaka Setia, 2001), hlm. 226.
16
besarnya modal mudharabah.18 Namun para ulama mazhab Hanafi
membolehkannya dan nilai barang yang dijadikan setoran modal harus
disepakati pada saat akad oleh mudharib dan shahibul maal.
Para fuqaha telah sepakat tidak bolehnya mudharabah dengan hutang, tanpa
adanya setoran modal berarti shahibul maal tidak memberikan kontribusi apa
pun padahal mudharib telah bekerja. Para ulama Syafi’i dan Maliki melarang itu
karena merusak sahnya akad.
c. Persetujuan kedua belah pihak (ijab dan qabul)
Persetujuan kedua belah pihak, merupakan konsekuensi dari prinsip an-taraddin
minkum (saling rela). Di sini kedua belah pihak harus secara rela bersepakat
untuk mengikatkan diri dalam akad mudharabah. Pemilik dana setuju dengan
perannya untuk mengkontribusikan dana, sementara si pelaksana usaha pun
setuju dengan perannnya untuk mengkontribusikan kerja.
d. Nisbah keuntungan
Nisbah yakni rukun yang menjadi ciri khusus dalam akad mudharabah. Nisbah
ini merupakan imbalan yang berhak diterima oleh shahibul maal ataupun
mudharib. Shahibul maal mendapatkan imbalan dari penyertaan modalnya,
sedangkan mudharib mendapatkan imbalan dari kerjanya.19
b. Syarat Mudharabah
18Adiwarman A. Karim, Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan, (Jakarta : PT Raja Grafino
Persada, 2014), hlm. 205. 19Ibid, hlm. 205.
17
Syarat-syarat sah mudharabah berhubungan dengan rukun-rukun mudharabah itu
sendiri. Syarat-syarat sah mudharabah yang harus dipenuhi adalah sebagai berikut :
a. Shahibul mal dan mudharib
Syarat keduanya adalah harus mampu bertindak layaknya sebagai majikan dan
wakil.20 Hal itu karena mudharib berkerja atas perintah dari pemilik modal dan itu
mengandung unsur wakalah yang mengandung arti mewakilkan. Syarat bagi
keduanya juga harus orang yang cakap untuk melakukan perbuatan hukum, dan
tidak ada unsur yang menggangu kecapakan, seperti gila, sakit dan lain-lain. Selain
itu, jumhur ulama juga tidak mensyaratkan bahwa keduanya harus beragama Islam,
karena itu akad mudharabah dapat dilaksanakan oleh siapapun termasuk non-
muslim.
b. Sighat ijab dan qabul
Sighat (ijab dan qabul) harus diucapkan oleh kedua pihak untuk menunjukkan
kemauan mereka, dan terdapat kejelasan tujuan mereka dalam melakukan sebuah
kontrak.21 Lafadz-lafadz ijab, yaitu dengan menggunakan asal kata dan derivasi
mudharabah, muqaradhah dan muamalah serta lafadz-lafadz yang menunjukkan
makna-makna lafadz tersebut. Sedangkan lafadz-lafadz qabul adalah dengan
perkataan ‘amil (pengelola), “saya setuju,” atau, “saya terima,” dan sebagainya.
Apabila telah terpenuhi ijab dan qabul, maka akad mudharabah-nya telag sah.
c. Modal
20 Dimyauddin Djuwaini, Pengantar…, hlm. 228. 21 Ismali Nawawi, Fikih Muamalah Klasik dan Kontemporer (Hukum Perjanjian, Ekonomi,
Bisnis dan sosial), (Bogor : Ghalia Indonesia, 2012), hlm 143.
18
Modal adalah sejumlah uang yang diberikan oleh shahibul maal kepada mudharib
untuk tujuan investasi dalam akad mudharabah. Syarat yang berkaitan dengan
modal, yaitu :
1) Modal harus berupa uang
2) Modal harus jelas dan diketahui jumlahnya
3) Modal harus tunai bukan utang
4) Modal harus diserahkan kepada mitra kerja22
Sebagaimana dikutip dari M. Ali Hasan bahwa menurut Mazhab Hanafi, Maliki dan
Syafi’i apabila modal itu dipegang sebagiannya oleh pemilik modal, maka akad itu
tidak dibenarkan. Namun, menurut Mazhab Hanbali, boleh saja sebagian modal itu
berada ditangan pemilik modal, asal saja tidak menganggu kelancaran jalan
perusahaan tersebut.
d. Nisbah Keuntungan
Keuntungan atau nisbah adalah jumlah yang didapat sebagai kelebihan dari modal.
Keuntungan harus dibagi secara proporsional kepada kedua belah pihak, dan
proporsi (nisbah) keduanya harus dijelaskan pada waktu melakukan kontrak.
Pembagian keuntungan harus jelas dan dinyatakan dalam bentuk presentase seperti
50:50, 60:40, 70:30, atau bahkan 99:1 menurut kesepakatan bersama.23 Biasanya,
dicantumkan dalam surat perjanjian yang dibuat dihadapan notaris. Dengan
demikian, apabila terjadi persengketaan, maka penyelesaiannya tidak begitu rumit.
Karakteristik dari akad mudharabah adalah pembagian untung dan bagi rugi atau
22 Ascarya, Akad & Produk Bank Syariah, (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2014), hlm. 62. 23 Adiwarman A. Karim, Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan, (Jakarta : PT Raja Grafino
Persada, 2014), hlm. 206.
19
profit and loss sharring (PLS), dalam akad ini return dan timing cash flow
tergantung kepada kinerja riilnya. Apabila laba dari usahanya besar maka kedua
belah pihak akan mendapatkan bagian yang besar pula. Tapi apabila labanya kecil
maka keduanya akan mendapatkan bagian yang kecil pula. Besarnya nisbah
ditentukan berdasarkan kesepakatan masing-masing pihak yang melakukan kontrak,
jadi angka besaran nisbah ini muncul dari hasil tawar menawar antara shahibul
maal dengan mudharib, dengan demikian angka nisbah ini bervariasi seperti yang
sudah disebutkan diatas, namun para fuqaha sepakat bahwa nisbah 100:0 tidak
diperbolehkan.24
Apabila pembagian keuntungan tidak jelas, maka menurut ulama mazhab Hanafi
akad itu fasid (rusak). Demikian juga halnya, apabila pemilik modal mensyaratkan
bahwa kerugian harus ditanggung bersama, maka akad itu batal menurut mazhab
Hanafi, sebab kerugian tetap ditanggung sendiri oleh pemilik modal, oleh sebab itu
mazhab Hanafi menyatakan bahwa mudharabah itu ada dua bentuk, yaitu
mudharabah shahihah dan mudharabah faasidah. Jika mudharabah itu fasid, maka
para pekerja (pelaksana) hanya menerima upah kerja saja sesuai dengan upah yang
berlaku dikalangan pedagang didaerah tersebut. Sedangkan keuntungan menjadi
milik pemilik modal (mazhab Hanafi, Syafi’i dan Hambali). Sedangkan ulama
mazhab Maliki menyatakan, bahwa dalam mudharabah faasidah, status pekerja
tetap seperti dalam mudharabah shahihah yaitu tetap mendapat bagian keuntungan
yang telah disepakati bersama.25
24 Adiwarman A. Karim, Bank…, hlm. 209. 25M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam (Fiqh Muamalat), (Jakarta : PT Raja
Grafindo Persada, 2003), hlm. 172.
20
e. Pekerjaan atau usaha
Pekerjaan atau usaha perdagangan merupakan kontribusi pengelola (mudharib)
dalam kontrak mudharabah yang disediakan oleh pemilik modal. Pekerjaan dalam
kaitan ini berhubungan dengan manajemen kontrak mudharabah dan ketentuan-
ketentuan yang telah ditetapkan oleh kedua belah pihak dalam transaksi.26
3. Berakhirnya Akad Mudharabah
Lamanya kerja sama dalam akad mudharabah tidak tentu dan tidak terbatas, tetapi
semua pihak berhak untuk menentukan jangka waktu kontrak kerja sama dengan
memberitahukan pihak lainnya. Namun, akad mudharabah dapat berakhir karena hal-
hal sebagai berikut :
a. Dalam hal mudharabah tersebut dibatasi waktunya, maka mudharabah berakhir
pada waktu yang telah ditentukan.
b. Salah satu pihak memutuskan mengundurkan diri.
c. Salah satu pihak meninggal dunia atau hilang akal.
d. Pengelola dana tidak menjalankan amanahnya sebagai pengelola usaha untuk
mencapai tujuan sebagaimana dituangkan dalam akad. Sebagai pihak yang
mengemban amanah ia harus beritikad baik dan hati-hati.
e. Modal sudah tidak ada.27
4. Prinsip–prinsip bagi hasil
26Ismali Nawawi, Fikih Muamalah Klasik dan Kontemporer (Hukum Perjanjian, Ekonomi,
Bisnis dan sosial), Bogor : Ghalia Indonesia, 2012, hlm. 143. 27Sri Nurhayati dan Wasilah, Akuntansi Syariah di Indonesia, Jakarta: Salemba Empat, 2012, hlm.125-
126.
21
Islam sebagai rahmat bagi semesta alam, ajarannya sudah jelas mencakup semua lini
kehidupan manusia. Dalam permasalaham hubungan manusia dengan hajat hidupnya
sehari-hari (ekonomi), Islam memiliki sistem yang membimbing manusia kedalam
kehidupan yang maslahat dan berkeadilan, yaitu prinsip-prinsip dasar yang harus
dipegang dalam kegiatan perekonomian.
Prinsip-prinsip dasar ekonomi Islam dimaksud tersebut, yaitu :
1. Muslim tidak boleh berurusan dengan riba (larangan Riba). Al-Qur’an surat Al-
Baqarah: 276,277. Dan Surat Ali Imran: ayat 130. Larangan ini semua adalah
semua transaksi bunga, baik memberi atau menerima, baik berhubungan dengan
sesama muslim maupun non muslim. Nabi Muhammad mengutuk orang-orang
yang membayar bunga, mereka yang menerimanya, mereka yang menulis
kontrak, dan mereka yang menyaksikan kontrak.
2. Larangan untuk mendapatkan property atau kekayaan dengan penipuan,
pencurian, atau kebohongan lainnya (Al-Quran Al-‘Araf: 85).
3. Dibenci wali yang mengambil harta anak dengan cara batil (Al-Quran surat an
Nisaa’: 2).
4. Larangan berpenghasilan dari judi, lotere dan juga dari produksi atau penjualan
atau pendistribusian dari khamar (barang yang memabukan) Al-Quran surat Al-
Maaidah: 90.
5. Larangan menimbun makanan dan kebutuhan dasar lainnya. (Al-Quran Ali
Imran: 180).
22
6. Seorang Muslim harus bertanggung jawab dalam membelanjakan hartanya (Al-
Quran surat Al ‘Araaf: 31).
7. Seorang Muslim harus membayar zakat (Al-Quran surat Al Bayyinah: 5).
Bila bersandar kepada wahyu tersebut di atas, tidak satupun ayat al-Qur’an yang
mengatur tentang mekanisme bagi hasil, semuanya dalil tersebut menjelaskan prinsip-
prinsip umum mengenai cara berbisnis yang diperbolehkan dan yang dilarang untuk
dilaksanakan. Prinsip bagi hasil yang ditawarkan, adalah merupakan solusi dari sebuah
mekanisme berbagi dalam keuntungan apabila mendapatkan untung dari kegiatan usaha
yang dilaksanakan dan berbagi pula resiko kerugian apabila mendapatkan kerugian
antara shahib al maal (Pemilik Modal) dengan mudhariab (Pelaku Usaha).
berpegang kepada kesepakatan yang telah ditandatangani oleh kedua belah pihak ketika
ketika akad, besaranya berpariasi antara 50% berbanding 50%, atau 60% berbading
40%, atau 70% berbanding 30% setelah kedua belah pihak meyakini dan sepakat bahwa
pada besaran nisbah yang telah disepakati diperkirakan masing-masing pihak memiliki
keyakinan akan mendapatkan keuntungan. Sistem pembiyaan dengan prinsip bagi hasil
juga mendorong dan merangsang para nasabah untuk berbisnis dengan berpijak pada
rambu-rambu syariah yang telah ditetapkan dalam Al-Quran dan Sunnah melalui
kepanjangan tangan pakar fatwa dibindang syariah yaitu Dewan Syarah Nasional
(DSN).
5. Manfaat Mudharabah
23
Transaksi pembiayaan dengan skema mudharabah, sangat strategis dalam upaya
mengembangkan ekonomi Nasional. Manfaat dan kerjasama mudharabah dapat
dirasakan oleh kedua belah pihak secara adil. Kemanfaatan mudharabah meliputi :
1. Bagi mudharib
a. Mudharib tidak harus memiliki modal dalam bentuk uang atau barang, mudharib
cukup memiliki keahlian dan kepiawaian dalam berusaha dan dapat menguasai
peluang pasar saja sudah dapat berusaha. Mudharib tidak harus menyediakan
modal.
b. Mudharib lebih terpacu untuk berusaha. BMT (yang berperan sebagai pemilik
modal yaitu nasabah atau deposan) akan memberikan kepercayaan penuh kepada
mudharib untuk mengembangkan usahanya. BMT hanya akan menerima laporan
secara periodik terhadap perkembangan usaha.
c. Mudharib tidak akan membayar bagi hasil jika usahanya mengalami kerugian.
Bahkan dengan bunga, yang tidak memandang usaha anggota yang dibiayai. Bagi
hasil hanya akan dibayarkan jika metode perhitungan yang digunakan
menggunakan pendekatan untung-rugi, maka jika usahanya merugi, mudharib tidak
akan membayar bagi hasil.
2. Bagi shahib al-maal berperan sebagai pemilik modal yaitu nasabah (BMT).
a. BMT akan menikmati pendapatan bagi hasil seiring dengan meningkatnya
pendapatan mudharaib.
b. BMT tidak akan membayar biaya bagi hasil kepada anggota penabungnya, jika
usaha yang dibiayai dengan akad mudharabah muqayyadah dalam kondisi merugi.
c. BMT akan lebih selektif dalam memberikan pembiayaan.
24
d. BMT akan mendapatkan anggota yang lebih loyal.
6. Mudharabah dalam Fiqih
Mudharabah adalah kontrak antara dua pihak dimana satu pihak disebut rabal-mal
(investor) mempercayakan uang kepada pihak kedua, yang disebut mudharib, untuk
tujuan menjalankan usaha dagang. Mudharib menyumbangkan tenaga dan waktunya
dan mengelola kongsi mereka sesuai dengan syarat-syarat kontrak. Salah satu ciri utama
dari kontrak ini adalah bahwa keuntungan, jika ada akan dibagi antara investor dan
mudharib berdasarkan proporsi yang telah disepakati sebelumnya. Jika terdapat
kerugian maka akan ditanggung sendirioleh investor.
Al-Qur’an tidak pernah berbicara langsung mengenai Mudharabah, meskipun
menggunakan akar kata dh-r-b, yang darinya kata mudharabah diambil, sebanyak lima
puluh delapan kali. Ayat-ayat al-Qur’an yang mungkin memiliki kaitan dengan
mudharabah, meski diakui sebagai kaitan yang jauh, menunjukkan arti “perjalanan”
atau “perjalanan untuk tujuan dagang”. Dapat dikatakan bahwa Nabi dan beberapa
sahabat terlibat dalam kongsi-kongsi mudharabah. Menurut Ibn Taimiyah, para fuqaha
menyatakan kehalalan mudharabah, berdasarkan riwayat-riwayat tertentu yang
dinisbatkan kepada beberapa Sahabat tetapi tidak ada hadis sahih mengenai
mudharabah yang dinisbatkan kepada Nabi.
Menurut ahli Fiqih dari Mazhab Hanafi, mudharabah diizinkan karena orang
memerlukan kontrak ini.Sedangkan Mazhab Maliki, menganggap kebolehannya
sebagaisuatu kelonggaran yang khusus. Meskipun mudharabah tidak secara langsung
disebutkan oleh al-Qur’an dan Sunnah, akan tetapi merupakan sebuah kebiasaan yang
25
diakui dan dipraktikkan oleh umat Islam, dan bentuk kongsi dagang semacam ini
tampaknya terus hidup sepanjang periode awal era Islam sebagai tulang punggung
perdagangan karavan dan perdagangan jarak jauh.
Kontrak mudharabah harus merinci dengan jelas jumlah modalnya. Ini dapat
diwujudkan jika jumlah modal dinyatakan dalam satuan mata uang. Modal mudharabah
tidak boleh berupa satuan hutang yang dipinjam mudarib pada saat dilangsungkannya
kontrak mudharabah. Mudharib harus memiliki kebebasan yang diperlukan dalam
pengelolaan kongsi dan dalam pembuatan semua keputusan terkait. Kontrak
mudharabah tidak boleh berisi syarat yang menetapkan jangka waktu tertentu bagi
kongsi. Syarat semacam ini dapat membuat kontrak tersebut batal, demikian menurut
Mazhab Maliki dan Syafi’I.
Mudharabah pada dasarnya adalah suatu serikat laba, dan komponen dasarnya adalah
penggabungan kerja dan modal. Laba bagi masing-masing pihak dibenarkan berdasar
kedua komponen tersebut.Risiko yang terkandung juga menjadi pembenar laba dalam
mudharabah. Dalam kasus yang kongsinya tidak menghasilkan laba sama sekali, risiko
investor adalah kehilangan sebagian atau seluruh modal, sementara risiko mudharib
adalah tidak mendapatkan upah ataskerja dan usahanya.
Kontrak mudharabah harus menetapkan suku laba bagi masing-masing pihak. Suku
laba harus berupa rasio dan bukan jumlah tertentu. Penetapan jumlah tertentu, misalnya
seratus satuan mata uang, bagi salah satu pihak membatalkan mudharabah karena
adanya kemungkinan bahwa keuntungan tidak akan mencapai jumlah yang ditetapkan
ini. Sebelum sampai kepada suatu angka laba, kongsi mudharabah harus dikonversikan
26
menjadi uang dan modal harus disisihkan. Mudharib berhak memotong seluruh biaya
yang terkait dengan bisnisdari modal mudharabah. Investor hanya bertanggung jawab
atas jumlah modal yang telah ditanamkan dalam kongsi. Jadi, mudharib tidak diizinkan
mengikat kongsi mudharabah dengan suatu jumlah yang melebihi modal yang telah
ditanamkan oleh investor dalam kongsi tersebut.
7. Hikmah Mudharabah
Islam mensyariatkan dan membolehkan bagi hasi demi memberikan kemudahan kepada
manusia. Terkadang sebagian dari mereka memiliki harta, tetapi tidak mampu
mengembangkannya dan sebagian yang lain tidak memiliki harta tetapi memiliki
kemampuan untuk mengembangkannya. Karenanya syari’at membolehkan muamalah
ini agar masing-masing dari keduanya mendapatkan manfaat. Pemilik modal
memanfaatkan keahlian mudharib (pengelola) dan mudharib memanfaatkan harta,
dengan demikian terwujudlah kerja sama harta dan amal. Allah SWT tidak
mensyariatkan satu akad kecuali untuk mewujudkan kemaslahatan dan menolak
kerusakan.28 Jadi hikmah disyari’atkan mudharabah adalah agar manusia dapat
melakukan kerja sama dengan masalah perdagangan, karena hal ini termasuk juga saling
tolong-menolong.
Berdasarkan hikmah di atas dapat dipahami bahwa ajaran agama Islam selalu
menganjurkan untuk berbuat kebajikan di muka bumi, yang tujuannya tidak lain untuk
kemaslahatan untuk umat manusia di dunia dan akhirat. Mudharabah mengandung
hikmah yang besar dalam masyarakat, karena memupuk terhadap individu agar selalu
28 Briefcase Book, Konsep dan Implementasi Bank Syari‟ah, Jakarta: Renaisan, 2005, hlm. 39.
27
memiliki sifat tolong-menolong dan jiwa gotong royong sesama anggota masyarakat.
Selain itu, hikmah disyari’atkannya mudharabah yang dikehendaki syar’i yang maha
bijaksana adalah untuk menghilangkan kefakiran dan untuk menjalin kasih sayang
antara sesama manusia.
Hikmah lain diperbolehkannya kerja sama dengan menggunakan system bagi hasil atau
mudharabah ini adalah terciptanya rasa persaudaraan (khuwah) dan rasa tolong-
menolong (ta’awun) yang erat diantara kaum muslimin yang memiliki suatu keahlian
dalam bidang tertentu, sehingga kecemburuan sosial antara umat Islam dalam suatu
masyarakat dapat dihindarkan.
B. Dasar Hukum Mudharabah
Para imam madzhab sepakat bahwa hukum mudharabah adalah boleh, walaupun di
dalam Al-Qur’an tidak secara khusus menyebutkan tentang mudharabah dan lebih
mencerminkan anjuran untuk melakukan usaha. Hal ini tampak dalam ayat dan hadits
sebagai berikut :
a. Firman Allah QS. al-Nisa' ayat 29
ن ... ك م اض ج ناع ارا ارا ككا ةا ا ل ناك ا ااا ن ب ا ك ما ن بام ك اا ا ا نا ك كا لا اا مك ا یعا نایياا اي
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu
dengan jalan yang batil (tidak benar), kecuali dalam perdagangan yang Berlaku atas
dasar suka sama suka di antaramu...”
Penafsirannya ayat di atas :
28
Berkenaan dengan asbabun nuzulnya, Sayyid Qutub (Sayyid Qutb, 2004: 239)
menyebutkan tidak bisa dipastikan secara tegas kapan ayat tersebut diturunkan. Apakah
sesudah atau sebelum pengharaman riba. Jika turun sebelum pengharaman riba maka
ayat ini berfungsi sebagai peringatan awal tentang pelarangan riba, jika turun setelah
pengharaman riba, maka ayat ini berfungsi sebagai penjelasan terhadap sebagai salah
satu larangan mengambil harta manusia secara batil.
Surat an-Nisa ayat 29 tersebut merupakan larangan tegas mengenai memakan harta
orang lain atau hartanya sendiri dengan jalan bathil. Memakan harta sendiri dengan
jalan batil adalah membelanjakan hartanya pada jalan maksiat. Memakan harta orang
lain dengan cara batil ada berbagai caranya, seperti pendapat Suddi, memakannya
dengan jalan riba, judi, menipu, menganiaya. Termasuk juga dalam jalan yang batal ini
segala jual beli yang dilarang syara’ (Syekh. H. Abdul Halim Hasan Binjai, 2006: 258).
Wahbah Az-Zuhaili (AzZuhaili Wahbah, 1997: 84) menafsirkan ayat tersebut dengan
kalimat janganlah kalian ambil harta orang lain dengan cara haram dalam jual beli,
(jangan pula) dengan riba, judi, merampas dan penipuan. Akan tetapi dibolehkan bagi
kalian untuk mengambil harta milik selainmu dengan cara dagang yang lahir dari
keridhaan dan keikhlasan hati antara dua pihak dan dalam koridor syari’. Tijarah adalah
usaha memperoleh untung lewat jual beli. Taradhi (saling rela) adalah kesepakatan yang
sama-sama muncul antar kedua pihak pelaku transaksi, jual beli tanpa ada unsur
penipuan. Al Maraghi (Mustafa AlMaraghi, 2004) menjelaskan makna kata al-bathil
dalam ayat tersebut berasal dari kata-kata al-bathlu dan buthlan yang bermakna sia-sia
dan kerugian. Sedangkan menurut syara’ adalah mengambil harta tanpa imbalan yang
benar dan layak serta tidak ada keridhaan dari pihak yang diambil. Atau menghabiskan
29
harta dengan cara yang tidak benar dan tidak bermanfaat. Termasuk katagori al-bathil:
mengundi nasib, al-ghasy, khida’, riba dan ghabn. Begitu juga menghabiskan harta pada
tempat yang haram, dan menghabiskannya pada tempat yang tidak bisa diterima oleh
logika sehat.
Menurut al-Biqa’iy (Burhan al Din Abi al-Hasan Ibraim ibn Umar Al-Biqa’iy, 2006:
368) al-batil berarti segala sesuatu yang dari berbagai seginya tidak diperkenankan
Allah, baik aspek esensinya atau sifatnya. Sedangkan al-Razi (Fakhr al-Din Muhammad
ibn Umar ibn al-Husayn al-Tamimiy Al-Razi, 1990: 57) membaginya ke dalam dua
makna, pertama, sesungguhnya segala sesuatu yang tidak dihalalkan oleh hukum syara’,
kedua, mengambil sesuatu milik orang lain tanpa pengganti.
Baidhawi (Abdullah bin Umar bin Muhammad al-Asy Syirazi Baidhawi, n.d: 276)
memberikan penafsiran mengenai surat an-Nisa ayat 29, yaitu mendapatkan harta yang
tidak diperbolehkan syariat seperti ghasab, riba dan lotre.
Al-Lusi (Syihabuddin Sayyid Mahmud Al-Lusi, n.d: 302) menafsirkan harta batil
tersebut yang didapatkan dengan unsur menzalimi, yaitu dengan riba dan lotre. Al-
Tabari (At-Thabari, 2001: 83) menjelaskan bahwa makna memakan harta dengan batil
dalam surat an-Nisa tersebut yaitu janganlah diantara kalian memakan harta orang lain
dengan jalan yang diharamkan, seperti riba, lotre dan sebagainya dari harta yang
diharamkan Allah dari padanya. Sedangkan Ibnu Abdul As-Salam (Izuddin Ibnu Abdul
As-Salam, 1996: 96) menafsirkannya dengan cara lotre, riba, ghasab, dengan zalim atau
akad yang rusak.
30
Dari beberapa definisi bathil yang dijelaskan oleh para mufassirin di atas baik oleh
Wahbah Az Zuhaili, al Maghri dan lain-lainnya terhadap penafsiran ayat an-Nisa 29,
tidak menunjukkan perbedaan signifikan, contoh definisi yang diberikan oleh Wahbah
Az Zuhaili lebih pada menunjukkan cara memperoleh harta, sedangkan definisi yang
diberikan al Maghari fokus pada cara menggunakan. Yang kesemuanya menyebutkan
bahwa prilaku memakan harta secara batil ialah prilaku yang mendatangkan kezaliman
bagi orang lain. Di antaranya dalam bentuk riba, lotre (maisir), ghasab (mencuri),
khianat dan sebagainya.
Dikaji dari munasabah dengan ayat sebelumnya (an-Nisa ayat 28) tidak ada kaitannya.
Namun, Ibnu ‘Asyur berpandangan bahwa terdapat pada ayat-ayat sebelumnya
yangberkenaan dengan hukum-hukum waris, nikah dan mengandung beberapa perintah
untuk menunaikan menunaikan harta kepada yang berhak.29
Ayat ini mencangkup semua jalan yang batil dalam meraih hatya seperti riba,
merampas, mencuri judi dan jalan-jalan rendah lainnya, lihat pula tafsir surat Al
Baqarah: 188.
Di samping melarang memakan harta orang lain dengan jalan yang batil, di mana di
dalamnya terdapat bahaya bagi mereka, baik bagi pemakannya maupun orang yang
diambil hartanya, Allah menghalalkan mereka semua yang bermaslahat bagi mereka
seperti berbagi bentuk perdagangan dan berbagi jenis usaha dan keterampilan.
Disyaratkan atas dasar suka sama suka dalam perdagangan untuk menunjukkan bahwa
akad perdagangan tersebut bukan akad riba, karena riba bukan termasuk perdagangan,
29https://media.neliti.com/media/publications/270197-memakan-harta-secara-batil-perspektif-su-
74fbdc67.pdf. Akses tanggal 26 November 2019.
31
bahkan menyelisihi maksudnya, dan bahwa kedua belah pihak harus suka sama suka
dan melakukan atas dasar pilihan bukan paksaan. Oleh karena itu, jual beli gharar
(tidak jelas) dengan segala bentuknya adalah haram karena jauh dari rasa suka sama
suka. Termasuk sempurnanya rasa suka sama suka adalah barangnya diketahui dan bisa
diserahkan. Jika tidak bisa diserahkan mirip dengan perjudian, di sana juga terdapat
dalil bahwa akad itu sah baik dengan ucapan maupun perbuatan yang menunjukkan
demikian, karena Allah mensyaratkan ridha, oleh karenanya dengan cara apapun yang
dapat menghasilkan keridhaan, maka akad itu sah.30
b. Firman Allah QS. al-Ma'idah ayat 1:
ا … ك ك ا ب ا فك ا ناو مك ا یعا یاانایياا اي
"Hai orang yang beriman! Penuhilah akad-akad itu …."
Penafsirannya ayat di atas :
Ayat ini diturunkan sebelum Nabi Muhammad SAW pergi melakukan haji. Karena
itulah dalam ayat ini dijelaskan mengenai hukum haji yang disampaikan kepada kaum
Muslimin. Dalam ayat ini disinggung mengenai haramnya hukum berburu binatang
dalam keadaan berihram. Tetapi poin yang utama dan penting ayat ini terletak
dipermulaan yang justru juga merupakan permulaan surat ini. Poin itu menyebutkan
tentang pesan untuk menunjukkan komitmen terhadap perjanjian yang dilakukan.
Perjanjian ini maknanya sangat luas mencakup perjanjian tertulis maupun lisan,
30https://tafsirq.com/4-an-nisa/ayat-29. Aksestanggal 26 November 2019.
32
perjanjian dengan orang kuat atau lemah, perjanjian dengan kawan atau lawan dan
perjanjian dengan Tuhan atau manusia.
Menurut Islam dan berdasarkan ayat ini, seorang muslim harus komitmen dengan
perjanjian yang dilakukannya. Mereka harus setia pada isi perjanjian sekalipun dengan
orang musyrik atau jahat sekalipun. Komitmen ini harus ditunjukkan oleh seorang
muslim, pihak lain yang menandatangani perjanjian itu juga menaati isi perjanjian.
Ketika mereka melanggar perjanjian, maka tidak ada komitmen bagi seorang muslim
untuk menaati isi perjanjian.
Dari ayat tadi terdapat dua pelajaran yang dapat dipetik:
1. Kaum Muslimin harus berpegang teguh dan komitmen terhadap semua
perjanjianyang mereka lakukan dengan siapapun. Karena menaati
perjanjianmerupakan syarat Iman kepada AllahSWT.
2. Pada musim haji, tidak hanya orang yang berhaji dijamin keamanannya, tapi di
kawasan Mekah binatangpun dijamin keamanannya. Islam mengharamkan
berburu atau membunuh binatang di sekitar Mekah.31
c. Firman Allah QS. al-Baqarah ayat 283 :
ببك ... مايل ا را اايابك وا ا عا ،نا ك ا اي ا ا مكيا ضا فا ن با ك ضك عا با ...فان ك نا
31http://www.hajij.com/id/the-noble-quran/item/838-tafsir-al-quran-surat-al-maidah-ayat-1.
Akses tanggal 26 November 2019.
33
"… Maka, jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, hendaklah yang
dipercayai itu menunaikan amanatnya dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah
Tuhannya …"
Penafsirannya ayat di atas :
Apabila kalian bepergian jauh dan tidak menemukan orang yang bisa mencatat
dokumen utang-piutang untuk kalian, maka orang yang bertanggung jawab atas utang
itu cukup menyerahkan gadai (jaminan) yang diterima oleh si pemberi hutang, sebagai
jaminan atas haknya sampai si penanggung jawab hutang melunasi hutangnya. Jika
sebagian dari kalian percaya kepada yang lain maka tidak harus ada catatan, saksi atau
jaminan. Dan ketika itu utang-piutang menjadi amanah yang harus dipikul dan
dibayarkan oleh si penerima utang kepada si pemberi hutang. Dan dia harus takut
kepada Allah dalam memikul amanah ini. Dia tidak boleh mengingkarinya sedikitpun.
Jika dia mengingkarinya maka orang yang menyaksikan transaksi tersebut harus
menyampaikan kesaksiannya dan tidak boleh menyembunyikannya. Barang siapa
menyembunyikan kesaksiannya maka sesungguhnya hatinya adalah hati yang jahat.
Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kalian perbuat, tidak ada sesuatupun yang luput
dari pengetahuannya, dan Dia akan memberi kalian balasan yang setimpal dengan amal
perbuatan kalian.32
d. Hadis Nabi SAW.:
Di antara hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dapat menjadi dasar akad
mudharabah ialah hadits Abdullah bin Umar Berikut :
32https://tafsirweb.com/1049-surat-al-baqarah-ayat-283.html. Akses tanggal 26 November 2019.
34
أن النبي دفع إلى يهود خيبر نخل خيبر وأرضها على أن يعتملوها من أموالهم ولرسول الله
صلى الله عليه وسلم شطر ثمرها. )متفق عليه)
“Bahwasannya nabi Sallallahu ‘Alaihi wa sallam menyerahkan kepada bangsa
yahudi khaibar kebun kurma dan ladang daerah kaibar, agar mereka yang
menggarapnya dengan biaya dari mereka sendiri, dengan perjanjian Rasulullah
sallallahu ‘alaihi wa sallam mendapatkan separuh dari hasil panennya.” (HR.
Muttafaqun ‘alaih).
Pada hadits ini dengan jelas dinyatakan, bahwa perkebunan kurma dan ladang daerah
Khaibar yang telah menjadi milik umat Islam dipercayakan kepada warga Yahudi
setempat, agar dirawat dan ditanami, dengan perjanjian bagi hasil 50 % banding 50 %.
Akad semacam inilah yang disebut dalam ilmu fiqih dengan istilah musaaqah.
Walaupun hadits di atas, secara khusus berkenaan dengan akad musaaqah, akan tetapi
secara tidak langsung menjadi dalil disyariatkannya akad mudharabah. Yang demikian
itu karena kedua akad ini serupa, baik dalam hal wujud lahirnya, atau konsekuensi
hukumnya.33
e. Ijma (kesepakatan) ulama
33https://pengusahamuslim.com/1987-mengenal-akad-mudharabah.html. Akses tanggal 26
November 2019.
35
Di antara dalil kuat yang menunjukkan akan disyariatkannya mudharabah ialah
kesepakatan ulama Islam sejak zaman dahulu hingga sekarang akan hal tersebut.
Ibnu Munzir asy-Syafi’i berkata, “Kita tidak mendapatkan dalil tentangal-Qiradh
(mudharabah) dalam Kitab Allah‘Azza wa Jalla, tidak juga dalam sunnah Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Akan tetapi, kita dapatkan bahwa para ulama telah
menyepakati akan kehalalan al-Qiraadh dengan modal berupa uang dinar dan dirham.”
(Al-Isyaraf oleh Ibnul Munzir asy-Syafi’i, 2/38)
Ibnu Hazm berkata, “Al-Qiraadh (al-Mudharabah) telah dikenal sejak zaman
Jahiliyyah, dan dahulu kaum Quraish adalah para pedagang. Mereka tidak memiliki
mata pencaharian selain darinya, padahal di tengah-tengah mereka terdapat orang tua
yang tidak lagi kuasa untuk bepergian, wanita, anak kecil, anak yatim. Oleh karena itu,
orang-orang yang sedang sibuk atau sakit menyerahkan modalnya kepada orang lain
yang mengelolanya dengan imbalan mendapatkan bagian dari hasil keuntungannya. Dan
tatkala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah diutus, beliaupun membenarkan
akad tersebut, dan kaum muslimin kala itu juga menjalankannya. Kalaupun sekarang
ada yang menyelisihi tentang hal ini, maka pendapatnya itu tidak perlu diperhatikan,
sebab ia telah terlebih dahulu menyelisihi praktik nyata seluruh umat dari zaman kita
hingga zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Al-Muhalla oleh Ibnu Hazm,
8/247).
Di antara bukti nyata bahwa kesepakatan akan disyariatkannya mudharabah ialah
praktik dari paraal-Khulafa’ ar-Rasyidiin, tanpa ada seorangpun dari sahabat Nabi
36
shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mengingkarinya (Riwayat-riwayat dari paraal-
khulafa’ ar-Rasyidin dapat dibaca di kitab Irwaa’ul Ghalil oleh al-Albany, 5/290-294).
f. Qiyas
Transaksi mudharabah diqiyaskan dengan transaksi musaqah (mengambil upah untuk
menyiram tanaman). Ditinjau dari segi kebutuhan manusia, karena sebagian orang ada
yang kaya dan ada yang miskin, terkadang sebagian orang memiliki harta tetapi tidak
berkemampuan memproduktifkannya dan ada juga orang yang tidak mempunyai harta
tetapi mempunyai kemampuan memproduktifkannya. Karena itu, syariat membolehkan
muamalah ini supaya kedua belah pihak dapat mengambil manfaatnya.
g. Kaidah fiqh:
اي. ر نا يااا ما ی أاك اا لإك ل یانك باابا اة ا ا ا ا ك اك ااأا ف ي ا
“Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang
mengharamkannya.”
Bedasarkan landasan hukum di atas bahwa mudharabah di syariatkan oleh Allah SWT
kepada umat manusia untuk mencari ridho Allah di muka bumi sebagaimana kaidah
fikih yang mengatakan bahwa semua yang dilakukan manusia untuk menjalin interaksi
sosial maupun ekonomi tidak memiliki batasan-batasan kecuali ada dalil yang
melarangnya. Secara sifat dan konsep simudharabah tidak memiliki unsur-unsur yang
dilarang seperti maisir,gharar dan riba.
C. Sistem Bagi Hasil Usaha Cafe
1. Dasar hukum
37
Bagi hasil Cafe dalam Islam diqiyaskan kepada al-musyaqah (menyuruh seseorang
untuk mengelola cafe). Selain di antara manusia, ada yang miskin dan ada pula yang
kaya. Di satu sisi, banyak orang kaya yang tidak dapat mengusahakan hartanya. Di sisi
lain, tidak sedikit orang miskin yang mau bekerja, tetapi tidak memiliki modal. Dengan
demikian, adanya bagi hasil ditujukan antara lain untuk memenuhi kebutuhan kedua
golongan di atas, untuk kemaslahatan manusia dalam rangka memenuhi kebutuhan
mereka. Dengan adanya kerja sama antara kedua belah pihak tersebut maka kebutuhan
masing-masing bisa dipadukan sehingga menghasilkan keuntungan. Maka dapat
dipahami bagi hasil cafe diperbolehkan.
Imam Al-Marwadi berdalil tentang keabsahan Mudharabah dengan firman Allah surah
al-baqarah ayat 198:
بر... مك نر ت ا لضر نر نر ا ح بر م كك كي ر
Artinya: Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezki hasil perniagaan)
dari Tuhanmu.(Q.S Al-Baqarah 2:198)
2. Hak-hak dan Kewajiban Pemilik Modaldan Pengelola
a. Hak-hak dan kewajiban pemilik modal
Pada kerja sama bagi hasil cafe pemilik cafe selaku pemberi modal mempunyai
kewajiban terhadap karyawannya yaitu:
1) Menyediakan seluruh peralatan cafe dan dipergunakan dalam menjalankan usaha
cafe.
38
2) Wajib membayar dan memberikan gaji kerja dan bagi hasil kepada karyawan
menurut kesepakatan yang telah disepakati bersama.
3) Wajib mengawasi dan mengontrol dan memberikan arahan atau petunjuk-petunjuk
kepada karyawan sehubungan dengan pelaksanaan usaha cafe.
4) Wajib memberikan jaminan kerja berupa kesepakatan yang telah di sepakati oleh
karyawan.
Di samping kewajiban-kewajiban tersebut di atas, maka pemilik usaha juga memperoleh
hak-hak sebagai berikut:
1) Menerima laba dan pembagian keuntungan yang tela disepakati bersama.
2) Mencabut kembali uang yang telah diterima oleh karyawan apabila karyawan
melanggar ketentuan yang telah disepakati bersama sebelum masa akhir kerja, baik
disengaja maupun tidak disengaja.
3) Setiap waktu yang diperlukan pemilik usaha berhak meminta keterangan tentang
pembukuan yang telah dibuat dan dirincikan oleh karyawan.
Semua peraturan dalam perjanjian kerja yang berlaku di cafe harus sesuai dengan hak
dan kewajiban antara pemilik usaha bersama dan pengelola bersama anatara kedua
belah pihak sebagaimana yang telah diuraikan diatas dalam sebuah usaha yang telah
disepakati bersama yaitu 50:50 dalam surat perjanjian kerja sama usaha cafe. Semua
dana yang masuk dari usaha cafe dihitung pada akhir bulan dan hasilnya dibagi dua
belah pihak sedang semua peralatan cafe dan biaya operasional ditanggung oleh pemilk
cafe dalam melakukan joint bersama.
3. Tanggung Jawab Terhadap Resiko Kerugian Bagi Hasil cafe
39
Secara garis besar pemilik cafe bersama dengan pengelola cafe D’ngkringan adalah
50:50, semua dana yang masuk dari usaha cafe terhitung dari akhir bulan dan hasilnya
dibagi 50% bagi pengelola sedangkan semua peralatan dan biaya oprasional ditanggung
dari modal utama atau modal awal dan apabila ada perlengkapan lainnya yang
dibutuhkan maka diambil dengan modal lain-lain.
Secara rinci pengertian kata bagi hasil menuju kepada perolehan atau pendapat.34 Share
profit dapat mengandung pengertian bagi perolehan revenue sharing bagi untung rugi
(profit and loss sharing) dan bagi hasil untung (profit sharing), tetapi dalam tekhnik
perhitungan dikenal dengan dua istilah bagi hasil yang terdiri dari bagi hasil (profit
sharing) dan bagi pendapatan (revenue sharing). Bagi untung profit sharing adalah
pembagian keutungan usaha yang dihitung dari pendapatan setelah dikurangi biaya
pegelolaan dana dan pola ini jaga digunakan untuk keperluan distribusi hasil usaha cafe
D’ngkringan.
D. Kerangka Pemikiran
34 Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia,.. hlm. 300.
Perjanjian kerjasama pada Perjanjian penanaman Modal
pelaksanaan perjanjian bagi hasil
Cafe di D’angkringan.
akibat hukum perjanjian yang tidak
memenuhi prinsip bagi hasil.
Hukum Islam
Tinjauan Hukum Islam Tentang Prinsip Perjanjian
Penanaman Modal Usaha
40
Penjelasan :
Yang dimaksud dengan Prinsip Perjanjian yakni solusi dari sebuah mekanisme berbagi
dalam keuntungan apabila mendapatkan untung dari kegiatan usaha yang dilaksanakan
dan berbagi pula resiko kerugian apabila mendapatkan kerugian antara shahib al maal
(Pemilik Modal) dengan mudhariab Pelaku Usaha). Penelitian ini akan
mendeskripsikan Bagaimanakah pelaksanaan perjanjian bagi hasil di Cafe, bagaimana
akibat hukum perjanjian yang tidak memenuhi prinsip bagi hasil.
41
III. METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian skripsi ini adalah penelitian lapangan (field research) dengan metode
deskriptif kualitatif yaitu penelitian yang dimaksudkan untuk menggambarkan
(mendeskripsikan) mengenai suatu masalah.35 Metode penelitian yang digunakan studi
kasus yaitu untuk memahami terjadinya suatu pelaksanaan perjanjian bagi hasil di Cafe
D’ngkringan, maupun yang tidak terpenuhi prinsip-prinsip bagi hasil
.
B. Tipe Penelitian
Tipe penelitian yang digunakan adalah tipe penelitian hukum tipe deskriptif, tipe
penelitian hukum deskriptif bersifat pemaparan dan betujuan untuk memperoleh
gambaran (deskriptif) lengkap tentang keadaaan hukum yang berlaku ditempat tertentu
dan pada saat tertentu atau mengenai peristiwa yang terjadi di masyarakat. Penelitian ini
dilakukan dengan menganalisis perjanjian kerjasama cafe D’ngkringan yang berada di
di Jln. Pagar Alam No. 73, Kedaton, Tj. Karang Barat, Kota Bandar Lampung. bahan-
bahan pustaka dan perundang-undangan yang berkaitan dengan permasalahan yang
akan dibahas, yaitu bagaimana pelaksanaan perjanjian bagi hasil Cafe D’ngkringan
sudah memenuhi prinsip-prinsip bagi hasil, dan bagaimanakah akibat hukum perjanjian
yang tidak memenuhi prinsip bagi hasil.
35Sumadi Suryabrata, Metodologi Penelitian ( Jakarta: Raja Grafindo Press,1995),hlm.18.
42
C. Pendekatan Masalah
Pendekatan masalah merupakan proses pemecahan atau penyelesaian masalah melalui
tahap-tahap yang telah ditentukan, sehingga mencapai tujuan penelitian. Pada tipe
pendekatan ini, peneliti melakukan pengamatan (observation) langsung terhadap proses
berlakunya hukum normatif pada peristiwa hukum tertentu sehingga penelitian ini
mengkaji ketentuan hukum islam.
D. Jenis Data
Penelitian ini menggunakan 2 (dua) jenis data dalam melakukan, data tersebut yaitu:
1. Data Primer
Data Primer adalah data yang berasal dari kebiasaan atau kepatutan yang tidak
tertulis, dilakukan dengan observasi atau penerapan tolak ukur normatif terhadap
peristiwa hukum dan wawancara dengan responden yang terlibat dalam peristiwa
hukum yang bersangkutan.
Data primer dalam penelitian ini, berasal dari wawancara dari pihak Café
D’ngkringan yaitu Bapak Agil Patria Putra dan Bapak Anwar Rifa’iselaku pemilik
café tersebut. Dalam perjanjian kerjasama bisnis usaha cafe D’ngkringan yang
berada di Jln. Pagar Alam No. 73, Kedaton, Tj. Karang Barat, Kota Bandar
Lampung.
2. Data Sekunder
Data Sekunder adalah data yang berasal dari ketentuan perundang-undangan,
yurisprudensi, dan buku literatur hukum atau bahan hukum tertulis lainnya.
Data sekunder terdiri dari :
43
a. Bahan hukum primer, yaitu bahan yang berasal dari ketentuan perundang-
undangan dan dokumen hukum. Bahan hukum primer yang digunakan dalam
penelitian ini berasal dari:
1) Dokumen Perjanjian Kerjasama Bisnis;
2) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;
3) Peraturan fatwa DSNNo. 07/DSN-MUI/IV/2000.
b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang memberikan penjelasan
terhadap bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder yang digunakan dalam
penelitian ini berasal dari bahan-bahan kepustakaan berupa buku-buku ilmu
hukum, bahan kuliah, maupun literatur-literatur yang berkaitan dengan
penelitian atau masalah yang dibahas.
c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan-bahan yang memberikan petunjuk atau
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan
hukum tersier yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari internet.
E. Pengumpulan dan Pengolahan Data
Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan melalui :
1. Studi kepustakaan (library research), yaitu studi yang dilakukan dengan cara
mempelajari buku-buku, peraturan perundang-undangan serta dokumen-dokumen
lainnya yang mendukung penulisan ini.
2. Studi dokumen, yaitu studi yang dilakukan dengan cara membaca, menelaah, dan
mengkaji dokumen-dokumen yang menjadi objek penelitian ini yaitu dokumen
perjanjian cafe d’ngkringan.
44
3. Wawancara (interview), yaitu studi yang dilakukan melalui proses tanya jawab
dengan cara menanyakan langsung kepada pihak-pihak yang secara langsung
berhubungan dengan objek yang diteliti. Dalam hal ini khususnya pihak pertama.
Data yang diperoleh selanjutnya akan diolah melalui tahap-tahap, sebagai berikut:
1. Seleksi data, yaitu memeriksa kembali apakah data yang diperoleh itu relevan dan
sesuai dengan bahasan, selanjutnya apabila data ada yang alah akan dilakukan
perbaikan dan terhadap data yang kurang lengkap akan dilengkapi.
2. Klasifikasi data, yaitu pengelompokan data sesuai dengan pokok bahasan agar
memudahkan pembahasan.
3. Sistematika data, yaitu penelusuran data berdasarkan urutan data yang telah
ditentukan sesuai dengan ruang lingkup pokok bahasan secara sistematis.
F. Analisis Data
Bahan hukum (data) hasil pengolahan tersebut dianalisis dengan menggunakan metode
analisis kualitatif, yaitu menguraikan data secara bermutu dalam bentuk kalimat-kalimat
yang tersusun secara teratur, runtun, logis, tidak tumpang tindih dan efektif, sehingga
memudahkan interpretasi data dan pemahaman hasil analisis.
Data dalam penelitian ini akan diuraikan ke dalam kalimat-kalimat yang tersusun secara
sistematis, sehingga diperoleh gambaran yang jelas dan pada akhirnya dapat ditarik
kesimpulan secara induktif sebagai jawaban singkat dari permasalahan yang diteliti.
64
V. PENUTUP
A. Kesimpulan
Bahwa berdasarkan rumusan masalah dan hasil penelitian diatas sebagai penutup skripsi
ini, penulis dapat mengambil kesimpulan yaitu:
1. Sistem bagi hasil merupakan sistem di mana dilakukannya perjanjian atau ikatan
bersama di dalam usaha tersebut diperjanjikan adanya pembagian hasil atas
keuntungan yang akan didapat antara kedua belah pihak atau lebih. Bagi hasil dalam
sistem koperasi syari’ah merupakan ciri khusus yang ditawarkan kepada
masyarakat, dan didalam aturan syari’ah yang berkaitan dengan pembagian hasil
usaha harus ditentukan terlebih dahulu pada awal terjadinya kontrak (akad).
Besarnya penentuan porsi bagi hasil antara kedua belah pihak ditentukan sesuai
kesepakatan bersama, dan harus terjadi dengan adanya kerelaan (An-Tarodhin) di
masing-masing pihak tanpa adanya unsur paksaan. Secara umum prinsip bagi hasil
dalam ekonomi syariah dapat dilakukan dalam empat akad utama yaitu, al
Musyarakah, al Mudharabah, alMuzara’ah, dan musaqolah. Dalam penerapannya
prinsip yang digunakan pada sistem bagi hasil, pada umunya menggunakan kontrak
kerjasama pada akad Musyarakah dan Mudharabah. Menurut Antonio Musyarakah
adalah akad kerja sama antara dua pihak atau lebih untuk suatu tertentu dimana
masing-masing pihak memberikan kontribusi dana dengan kesepakatan bahwa
keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.
Musyarakah adalah mencampurkan salah satu dari macam harta dengan harta
lainnya sehingga tidak dapat dibedakan di antara akad kerjasama antara dua pihak
atau lebih untuk suatu usaha tertentu di mana masing-masing pihak memberikan
65
kontribusi dana dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan resiko akan ditanggung
bersama sesuai dengan kesepakatan.Mudharabah termasuk juga perjanjian antara
pemilik modal (uang dan barang) dengan pengusaha dimana pemilik modal bersedia
membiayai sepenuhnya suatu usaha atau proyek dan pengusaha setuju untuk
mengelola proyek tersebut dengan bagi hasil sesuai dengan perjanjian. Yang
dimaksud dengan Prinsip Perjanjian yakni solusi dari sebuah mekanisme berbagi
dalam keuntungan apabila mendapatkan untung dari kegiatan usaha yang
dilaksanakan dan berbagi pula resiko kerugian apabila mendapatkan kerugian antara
shahib al maal (Pemilik Modal) dengan mudhariab Pelaku Usaha).
2. Dalam hukum Islam seorang penjamin disebut dengan kafil, mempunyai tanggung
jawab dan kewajiban yang sangat besar terhadap apapun yang dijaminnya, baik itu
berupa harta benda, hutang piutang, hak milik, maupun keselamatan jiwa seseorang.
Para orang tua mempunyai tanggung jawab terhadap anak-anaknya, apabila anak-
anak itu melakukan suatu tindakan yang merugikan orang lain mereka dituntut
untuk memberikan ganti rugi yang setimpal. menjelaskan bahwa suatu pelaksanaan
akad atau kontrak antara kedua belah pihak juga harus didasarkan pada asas:
sukarela (ikhtiyari), menepati janji (amanah), kehati-hatian (ikhtiyati), tidak berubah
(luzum), saling menguntungkan, kesetaraan (taswiyah), transparansi, kemampuan,
kemudahan (taisir), itikad baik dan sebab yang halal. Prinsip-prinsip tersebut
sebenarnya hampir sama dengan asas hukum perjanjian berdasarkan hukum positif
yang berlaku di Indonesia, yang di dalamnya mengandung asas kepercayaan,
kekuatan mengikat, persamaan hukum, keseimbangan, kepastian hukum, moral,
kepatutan dan kebiasaan. Akad yang cacat yaitu akad yang apabila rukun akad
66
sudah terpenuhi tetapi syarat akad tidak terpenuhi, maka rukun menjadi tidak
lengkap sehingga transaksi tersebut menjadi cacat (fasid). Akad yang cacat adalah
suatu akad yang pada dasarnya disyariatkan, tetapi sifat yang diakadkan itu tidak
jelas.
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan di atas maka penulis mengajukan beberapa saran yang dapat
menjadi bahan pertimbangan usaha pada Café D’ngkringan yaitu sebagai berikut :
1. Berdasarkan kesimpulan di atas yang telah di jelaskan, seharusnya kedua belah
pihak pemilik café D’ngkringan harus membagi hasilnya secara rata dalam hukum
syariah islam yang mana telah di jelaskan dalam hukum perjanjian yaitu
mudharabah. Dengan cara pembagian hasil usaha harus ditentukan terlebih dahulu
pada awal terjadinya kontrak (akad). Besarnya penentuan porsi bagi hasil antara
kedua belah pihak ditentukan sesuai kesepakatan bersama, dan harus terjadi dengan
adanya kerelaan (An-Tarodhin) di masing-masing pihak tanpa adanya unsur
paksaan.
2. Berdasarkan kesimpulan di atas yang telah di jelaskan, pemilik harus tau akibat
hukum islam bila tidak di jalankan sesuai perjanjian yang telah di bentuk dalam
sebuah Surat Perjanjian Kerja Sama Usaha Café dalam Pasal 7 Yaitu kegagalan
usaha isinya yaitu telah disepakati bahwa jika di kemudian hari terjadi pailit atau
bangkrut, maka resiko yang timbul akan menjadi tanggung jawab bersama antara
pihak pertama dan pihak kedua, sepanjang tidak menyalahgunakan modal yang
dipercayakan kepadanya, maka pemilik café D’ngkringan mengikuti prosedur
67
perjanjian tersebut yaitu di tanggung bersama dalam jaminan ganti rugi. Dalam fikih
muamalah jaminan ganti rugi disebut dengan al-ḏaman atau al-kafalah, dalam
istilah perasuransian di kenal dengan jaminan pertanggungan atau kafalah dan risk
sharing, namun apabila sudah berbentuk kontrak seperti surat/berharga, dokumen,
atau sertifikat kepemilikan disebut dengan collateral security (Jaminan Keamanan).
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Abdulkadir, Muhammad, 2004. Hukum dan Penelitian Hukum, (Bandung: PT.
Citra Aditya Bakti).
Abdul, Muhammad, 2002. Metode Penelitian Hukum dan Cara Pendekatan
Masalah, (Bandar Lampung: Penerbit Fakultas Hukum Unila).
Amnawaty dan Wati Rahmi Ria, Hukum dan Hukum Islam, (Bandar Lampung:
Universitas Lampung, 2008).
Ali, Zainuddin, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafindo,
2006).
Adiwarman A. Karim. Bank Islam Analisis Fiqh dan Keuangan. (Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 2009). Cet. Ke-3.
Abdullah Al-Muslih, Fikih Ekonomi Keuangan Islam, (Jakarta: Darul Haq, 2004).
Ascarya, Akad & Produk Bank Syariah, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2014).
Ahmadi Miru, Hukum Kontrak & Perancangan Kontak, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2010).
Briefcase Book, Konsep dan Implementasi Bank Syari‟ah, (Jakarta: Renaisan,
2005).
Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahannya, (Jakarta: Institut Ilmu
AlQur‟an (IIQ)).
Depertemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, (Bandung: CV
Diponegoro, 2008).
Desmadi Saharuddin, 2015. Pembayaran Ganti Rugi pada Asuransi Syariah,
(Jakarta: Prenada Media Group).
Gemala Dewi, Wirdyaningsih dan Yeni Salma Barlinti, 2013. Hukum Perikatan
Islam di Indonesia. (Jakarta: Kencana Prenada Media Group).
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011).
Hasanudin Rahman, Legal Drafting, (Bandung: PT Citra aditya Bakti, 2000).
Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah Deskripsi dan Ilustrasi,
(Yogyakarta: Ekonosia, 2005).
Harun Nasrun, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Gaya Medika Pratama), 2007, hlm. 231.
Irma Devita, 2012. Kiat-Kiat Cerdas, Mudah, dan Bijak Memahami Masalah
Akad Syariah. Kaifa (PT. Mizan Pustaka).
Ismali Nawawi, 2012. Fikih Muamalah Klasik dan Kontemporer (Hukum
Perjanjian, Ekonomi, Bisnis dan sosial), (Bogor : Ghalia Indonesia).
Mariam Darus Badrulzaman, 2001. Kompilasi Hukum Perikatan, (Bandung :
PT.Citra Aditya Bakti).2001.
Muhammad, Dasar-Dasar Keuagan Islam, (Yogykarta: Ekonosia Kampus
Fakultas Ekonomi UII, 2004).
M Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam, (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada 2003).
Mariam Darus Badrulzaman, 2001. Kompilasi Hukum Perikatan, (Bandung:
PT.Citra Aditya Bakti).
M. Ali Hasan, 2003. Berbagai Macam Transaksi dalam Islam (Fiqh Muamalat),
(Jakarta : PT Raja Grafindo Persada).
Muslih Abdullah, 2008. Fikih Keuangan Ekonomi Islam, (Jakarta: Darul Haq).
Muhammad Syafi’I Antonio, 2001. Bank Syariah dari Teori ke Praktek, (Jakarta:
Gema Insani).
Nashr Farid Muhammad Wasil dan Abdul Aziz Muhammad Azzam, Qawa‟id
Fiqhiyyah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013).
Ricardo Simanjuntak, Teknik Perancangan Kontrak Bisnis, Jakarta :
PT.Gramedia, 2006.
Rachmat Syafei, 2001. Fiqh Muamalah, (Bandung : CV Pustaka Setia).
Salim HS, Perkembangan Hukum Kontrak di Luar KUH Perdata, (Jakarta : PT.
Raja Grafindo Perkasa), 2006.
Sri Redjeki Hartono, 2000. Hukum Asuransi dan Perusahaan Asuransi, (Jakarta :
PT. Sinar Grafika).
Suherman., “Penterapan Prinsip Bagi Hasil pada Perbankan Syariah Sebuah
Pendekatan AL-Maqasidu Al-Syariah”. Al-Mashlahah Jurnal Hukum dan
Perdata Sosial Islam, 2018.
Sri Nurhayati dan Wasilah, 2012. Akuntansi Syariah di Indonesia, (Jakarta:
Salemba Empat).
Salim H.S, 2004. Hukum Kontrak : Teori & Teknik Penyusunan Kontrak, (Jakarta
: Sinar Grafika).
Sumadi Suryabrata, Metodologi Penelitian ( Jakarta: Raja Grafindo Press,1995).
Syafi’I Antonio, Bank Syariah Teori dan Praktek (Jakarta, Gema Insani, 2001).
Subekti, 2010. Hukum Perjanjian, (Jakarta : PT Intermasa).
Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia,.. hlm. 300
Warkum Sumitro, Asas-asas Perbankan Islam dan Lembaga-lembaga Terkait.
(Jakarta: PT. Grafindo Persada, 2004).
PERATURAN
dari Fatwa DSN –MUI No: 43/DSN-MUI/VIII/2004, tentang Ganti Rugi (ta‟wid).
Fatwa DSN Indonesia No. 07/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan
Mudharabah (Qiradh).
Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 setelah Amandemen Keempat Tahun 2002.
Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan.
Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 setelah Amandemen Keempat Tahun 2002.
Wahbah al-Zuhaili, Nazariyah al-Daman, (Damsyiq: Daar al-Fikr, 1998), dikutip
WEBSITE
https://insertpoin.blogspot.com/2016/05/hukum-perjanjian-dalam-prespektif-
hukum.html. Akses tanggal 26 November 2019.
https://media.neliti.com/media/publications/270197-memakan-harta-secara-batil-
perspektif-su-74fbdc67.pdf. Akses tanggal 26 November 2019.
https://tafsirq.com/4-an-nisa/ayat-29. Aksestanggal 26 November 2019.
http://www.hajij.com/id/the-noble-quran/item/838-tafsir-al-quran-surat-al-
maidah-ayat-1. Akses tanggal 26 November 2019.
https://tafsirweb.com/1049-surat-al-baqarah-ayat-283.html. Akses tanggal 26
November 2019.
https://pengusahamuslim.com/1987-mengenal-akad-mudharabah.html. Akses
tanggal 26 November 2019.
Kusuma wardani, Tria. 2018. Tinjauan Hukum Islam tentang Bagi hasil dalam
kerja Sama Pengembang biakan Ternak Sapi.
http://repository.radenintan.ac.id/4921/1/SKRIPSI.pdf. Akses tanggal 09 April
2019.
LAMPIRAN