16
Jurnal Geoaplika (2008) Volume 3, Nomor 2, hal. 047 – 061 Sutikno Bronto Tinjauan Geologi Gunung Api Jawa Barat – Banten dan Implikasinya Diterima : 15 Mei. 2008 Disetujui : 27 Jun. 2008 @ Geoaplika 2008 Sutikno Bronto * Pusat Survei Geologi, Badan Geologi – Dept. ESDM Jl. Diponegoro 57, Bandung E-mail: [email protected] * Alamat korespondensi Sari – Gunung api dan batuan hasil kegiatannya menempati sebagian besar daerah Jawa Barat dan Banten. Secara geografis, fenomena volkanisme itu dapat dibagi menjadi enam kelompok, yaitu daerah kompleks gunung api Dano dan Cibaliung, Bayah- Pongkor, Sukabumi-Pegunungan Selatan, Bogor-Cianjur, Purwakarta dan Bandung. Umur gunung api itu beragam mulai Paleogen, Neogen sampai Kuarter sehingga terjadi tumpang tindih volkanisme. Identifikasi gunung api Tersier berlandaskan dua prinsip, yaitu kejadian masa kini menjadi kunci penyelesaian masa lalu dan bahwa setiap magma yang keluar ke permukaan bumi adalah gunung api; sedangkan metode pendekatannya secara geologi terpadu. Disamping kerucut gunung api komposit dan tipe kaldera, di bagian utara daerah ini terdapat gunung api monogenesis, berupa maar dan kemungkinan bekas gunung api lumpur. Berhubung sebaran gunung api pada arah utara- selatan mempunyai lebar 80 – 100 km, maka di antara kerucut gunung api atau di dalam kaldera tua terbentuk cekungan sedimentasi, yang disebut cekungan di dalam busur gunung api. Dalam implikasinya, pemahaman geologi gunung api ini bermanfaat untuk pengembangan ilmu kebumian, mendukung eksplorasi sumber daya dan mitigasi bencana geologi. Kata kunci: geologi gunung api, tumpang tindih volkanisme, cekungan dalam busur gunung api Abstract – Volcanoes and their products occupy nearly all West Java and Banten areas. Geographically, these volcanic phenomena are divided into six groups, i.e. Dano and Cibaliung volcanic complex, Bayah- Pongkor, Sukabumi-Southern Mountains, Bogor-Cianjur, Purwakarta and Bandung area. Ages of those volcanoes vary from Paleogene, Neogene to Quaternary, indicating superimposed volcanisms. Identification of Tertiary volcanoes is based on two principles, i.e. the present is the key to the pas, and magma erupted to the surface is a volcano, while the approach uses an integrated geological methods. Besides composite volcanic cones and caldera types, there are some indications of maars and possibly mud volcanoes in the northern part area. To the north-south direction the volcanic arc in West Java and Banten has ca. 80-100 km width. This enables to form intra-arc basins among the volcanic cones and ancient calderas. The understanding of Indonesian volcanic geology is useful for development of geosciences, to support explorations of geologic resources, and hazard mitigation. Key words: volcanic geology, super imposed volcanisms, intra arc basins 47

Tinjauan Geologi Gunung API Jawa Barat, Banten Dan Implikasinya - Sutikno Bronto (2008)

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Tinjauan Geologi Gunung API Jawa Barat, Banten Dan Implikasinya - Sutikno Bronto (2008)

Jurnal Geoaplika (2008) Volume 3, Nomor 2, hal. 047 – 061

Sutikno Bronto

Tinjauan Geologi Gunung Api Jawa Barat – Banten dan Implikasinya

Diterima : 15 Mei. 2008 Disetujui : 27 Jun. 2008 @ Geoaplika 2008 Sutikno Bronto * Pusat Survei Geologi, Badan Geologi – Dept. ESDM Jl. Diponegoro 57, Bandung E-mail: [email protected] * Alamat korespondensi

Sari – Gunung api dan batuan hasil kegiatannya menempati sebagian besar daerah Jawa Barat dan Banten. Secara geografis, fenomena volkanisme itu dapat dibagi menjadi enam kelompok, yaitu daerah kompleks gunung api Dano dan Cibaliung, Bayah-Pongkor, Sukabumi-Pegunungan Selatan, Bogor-Cianjur, Purwakarta dan Bandung. Umur gunung api itu beragam mulai Paleogen, Neogen sampai Kuarter sehingga terjadi tumpang tindih volkanisme. Identifikasi gunung api Tersier berlandaskan dua prinsip, yaitu kejadian masa kini menjadi kunci penyelesaian masa lalu dan bahwa setiap magma yang keluar ke permukaan bumi adalah gunung api; sedangkan metode pendekatannya secara geologi terpadu. Disamping kerucut gunung api komposit dan tipe kaldera, di bagian utara daerah ini terdapat gunung api monogenesis, berupa maar dan kemungkinan bekas gunung api lumpur. Berhubung sebaran gunung api pada arah utara-selatan mempunyai lebar 80 – 100 km, maka di antara kerucut gunung api atau di dalam kaldera tua terbentuk cekungan sedimentasi, yang disebut cekungan di dalam busur gunung api. Dalam implikasinya, pemahaman geologi gunung api ini bermanfaat untuk pengembangan ilmu kebumian, mendukung eksplorasi sumber daya dan mitigasi bencana geologi. Kata kunci: geologi gunung api, tumpang tindih volkanisme, cekungan dalam busur gunung api

Abstract – Volcanoes and their products occupy nearly all West Java and Banten areas. Geographically, these volcanic phenomena are divided into six groups, i.e. Dano and Cibaliung volcanic complex, Bayah-Pongkor, Sukabumi-Southern Mountains, Bogor-Cianjur, Purwakarta and Bandung area. Ages of those volcanoes vary from Paleogene, Neogene to Quaternary, indicating superimposed volcanisms. Identification of Tertiary volcanoes is based on two principles, i.e. the present is the key to the pas, and magma erupted to the surface is a volcano, while the approach uses an integrated geological methods. Besides composite volcanic cones and caldera types, there are some indications of maars and possibly mud volcanoes in the northern part area. To the north-south direction the volcanic arc in West Java and Banten has ca. 80-100 km width. This enables to form intra-arc basins among the volcanic cones and ancient calderas. The understanding of Indonesian volcanic geology is useful for development of geosciences, to support explorations of geologic resources, and hazard mitigation. Key words: volcanic geology, super imposed volcanisms, intra arc basins

47

Page 2: Tinjauan Geologi Gunung API Jawa Barat, Banten Dan Implikasinya - Sutikno Bronto (2008)

48

Pendahuluan Hampir seluruh wilayah Jawa Barat dan Banten secara khusus dan Indonesia pada umumnya tersusun oleh batuan gunung api berumur Tersier sampai dengan Kuarter. Bahkan untuk gunung api berumur Kuarter Atas (Holosen) hingga masa kini, baik bentuk bentang alam maupun kegiatan volkanismenya masih teramati dengan jelas. Namun demikian, sejauh ini penelitian geologi gunung api di Indonesia masih jarang. Hal itu disebabkan paling tidak oleh dua hal. Pertama, pembelajaran geologi selama ini lebih didasarkan pada hasil penelitian di daerah non-gunung api. Di daerah itu pembentukan batuan lebih menonjol sebagai akibat proses magmatisme (penerobosan magma), sedimentasi dan metamorfisme, sedangkan proses volkanisme dan pembentukan batuan gunung api kurang mendapat perhatian. Sekalipun mempunyai banyak gunung api, para ahli geologi Indonesia belum mampu mengangkat ilmu gunung api atau volkanologi sebagai salah satu kemampuan khusus ilmu kebumian di kawasan ini. Alasan kedua, istilah gunung api dan volkanologi (atau vulkanologi) telah melekat sangat erat di benak orang banyak sebagai sesuatu yang hanya berhubungan dengan kebencanaan dan masalah sosial. Hal itu berbeda halnya kalau belajar geologi untuk pencarian minyak bumi dan pertambangan, yang berurusan dengan bisnis dan profit. Padahal, karena Indonesia mempunyai banyak gunung api, maka penguasaan ilmu gunung api sebagai salah satu ilmu dasar kebumian dapat dikembangkan dan dimanfaatkan tidak hanya untuk kepentingan sosial-kebencanaan, tetapi juga untuk mendukung usaha penemuan sumber daya mineral, energi dan lingkungan. Tulisan ini ditujukan untuk memaparkan geologi gunung api secara umum, terutama sumber-sumber erupsi gunung api (volcanic sources), sejak Zaman Tersier hingga masa kini di daerah Jawa Barat dan Banten. Implikasi penguasaan pengetahuan tersebut selanjutnya dapat dimanfaatkan untuk pengembangan ilmu kebumian itu sendiri, mendukung pencarian sumber daya alam geologi, baik berupa energi, mineral maupun lingkungan, serta membantu usaha penanggulangan bencana alam geologi. Hal tersebut dimaksudkan untuk menggugah kesadaran kita di Indonesia, yang mempunyai banyak gunung api bahwa penelitian dan

pendidikan geologi gunung api agar lebih dikembangkan sehingga kita benar-benar dapat menjadi pakar kegunungapian "di rumah sendiri". Selanjutnya penguasaan ilmu geologi gunung api tersebut dapat dimanfaatkan sebagai landasan untuk pengelolaan sumber daya dan mitigasi bencana geologi. Landasan Pemikiran Berdasarkan pengetahuan geologi umum selama ini, yang penulis sebut sebagai Pandangan Geologi Sedimenter, batuan gunung api dimasukkan ke dalam batuan sedimen, yang tidak diketahui sumbernya, tertransportasi kemudian mengendap di dalam cekungan sedimentasi. Karena deretan gunung api di Indonesia membentuk busur gunung api (volcanic arcs), maka cekungan sedimentasi itu berada di depan (Fore Arc Basins) atau di belakang (Back Arc Basins) busur gunung api. Pada suatu waktu geologi, magma terbentuk di bawah cekungan sedimentasi tersebut, kemudian bergerak ke atas menerobos ke dalam perlapisan batuan sedimen membentuk batuan beku intrusi. Pada akhirnya pengangkatan oleh kegiatan tektonika menyebabkan batuan sedimen dan beku intrusi itu mengalami erosi dan tersingkap di permukaan. Dalam pandangan ini batuan terbentuk dalam dua proses yang terpisah satu sama lain, yakni proses sedimentasi dan proses penerobosan magma. Namun pandangan ini tidak mengkaji lebih lanjut, bahwa pertama magma tidak terbentuk di bawah cekungan depan busur. Kedua, magma di bawah cekungan belakang busur berkomposisi alkalin-sosonit dan mempunyai petrogenesis berbeda dengan magma di dalam busur gunung api yang berkomposisi kalk-alkali (Wilson, 1989). Pandangan Geologi Gunung Api (Bronto dkk., 2004a) menyatakan bahwa magma terbentuk di bawah permukaan, kemudian bergerak ke atas menerobos batuan samping hingga muncul di permukaan sebagai gunung api. Hal ini sesuai dengan batasan gunung api, yaitu tempat atau lubang dari mana magma keluar ke permukaan bumi dan material yang menumpuk di sekeliling lubang kemudian membentuk bukit atau gunung (Macdonald, 1972). Dalam perjalanannya ke atas tidak semua magma mencapai ke permukaan, tetapi sebagian membeku di dekat permukaan membentuk batuan beku intrusi

Page 3: Tinjauan Geologi Gunung API Jawa Barat, Banten Dan Implikasinya - Sutikno Bronto (2008)

49

Gambar 1. Sebaran gunung api di Jawa Barat dan

Banten, yang dibagi menjadi enam kelompok kompleks gunung api, yaitu 1. Cibaliung dan Dano, 2. Bayah-Pongkor, 3. Sukabumi - Pegunungan Selatan, 4.

Bogor-Cianjur, 5. Purwakarta, dan 6. Bandung.

dangkal atau batuan semi gunung api (sub volcanic intrusions), seperti halnya sill, retas dan leher gunung api. Sementara itu ekstrusi/erupsi magma ke permukaan sebagian meleleh (effusive eruptions) berupa kubah atau aliran lava, yang setelah membeku membentuk batuan beku luar. Sedangkan magma yang keluar secara diletuskan (explosive eruptions) membentuk bahan hamburan yang lebih dikenal sebagai batuan piroklastika. Dari proses volkanisme itu diketahui bahwa di bawah puncak atau kawah gunung api terdapat batuan intrusi dangkal, yang ke atas membentuk kubah atau sumbat lava, sedangkan pada lereng atas terdapat perselingan aliran lava dengan breksi piroklastika. Secara umum, pada lereng bawah aliran lava tidak lagi dijumpai dan breksi semakin menghalus menjauhi sumber sehingga di daerah dataran di sekitarnya hanya berupa tuf dan bahan rombakan atau hasil pengerjaan ulang. Pandangan geologi gunung api ini mengisyaratkan adanya kesatuan proses mulai dari magmatisme, volkanisme dan sedimentasi. Berdasarkan model kerucut gunung api komposit asosiasi batuan dapat di kelompokkan menjadi Fasies Pusat (Central/Vent Facies) di daerah puncak, Fasies Proksi pada lereng atas, Fasies Median di lereng bawah dan Fasies Distal di kaki dan dataran di sekitarnya (Vessels dan Davies, 1981; Bronto, 2006). Gunung api yang terbentuk di dalam busur gunung api, baik batuan semi gunung api (batuan beku intrusi dangkal) maupun batuan gunung api (batuan ekstrusi), keduanya mempunyai kesamaan tekstur, komposisi (kalk-alkali), sumber (co-magmatic) dan umur geologi. Berhubung di bawah busur gunung api itu terdapat magma, maka para ahli petrologi batuan beku sering menyebut sebagai busur magma. Untuk gunung api berumur Kuarter atau bahkan yang masih aktif pada masa kini, bentuk kerucut gunung api sangat mudah diamati. Namun demikian bagi gunung api berumur Tersier atau yang lebih tua, yang dapat disebut gunung api purba (paleovolcanoes) atau fosil gunung api, karena proses erosi yang semakin lanjut kenampakan bentang alamnya sudah tidak sejelas gunung api Kuarter dan masa kini. Identifikasi fosil gunung api Tersier memerlukan penelitian geologi terpadu terhadap batuan gunung api yang ada, bahkan perlu dibantu dengan penyelidikan geofisika dan pemboran. Penelitian geologi terpadu itu meliputi geomorfologi dan inderaja,

stratigrafi/fasies gunung api, struktur geologi, sedimentologi dan petrologi – geokimia (Bronto, 2003). Untuk gunung api tipe kaldera, breksi ko-ignimbrit dapat menjadi penciri endapan di dekat sumber (Bronto dkk., 2008). Penelitian tersebut dan dengan prinsip the present is the key to the past serta setiap magma yang keluar ke permukaan bumi adalah gunung api maka fosil gunung api dapat ditemukan. Gunung Api di Jawa Barat dan Banten Berdasarkan Pandangan Geologi Gunung Api tersebut di atas, sebaran gunung api di daerah Jawa Barat dan Banten dapat dibagi menjadi enam kelompok, berdasarkan letak geografinya, mulai dari gunung api Kompleks Dano dan Cibaliung di pantai barat Banten sampai dengan daerah Bandung di bagian tengah dan Priangan Timur, serta Pegunungan Selatan Jawa Barat di bagian selatan (Gambar 1). Bahkan, berdasarkan data pemboran gunung api juga terdapat di bagian utara Jawa Barat, yang batuannya dimasukkan ke dalam Formasi Jatibarang (e.g. Martodjojo, 2003). Di sebelah barat kota Pamanukan, Rohandi dan Nainggolan (1990) melaporkan anomali Bouguer meninggi dari selatan ke utara hingga mencapai 350 mgal., kemudian terjadi penurunan berbentuk elip di dekat muara Ci Asem. Data geofisika ini mungkin juga mengindikasikan adanya gunung api purba yang sudah tertimbun di bawah dataran pantai utara Jawa Barat.

Gunung api di Kompleks Dano, Banten (Gambar 1) selain membentuk Kaldera Dano juga kerucut gunung api komposit sangat tua seperti G. (Gunung api) Gede-Merak sampai

Page 4: Tinjauan Geologi Gunung API Jawa Barat, Banten Dan Implikasinya - Sutikno Bronto (2008)

50

gunung api aktif masa kini, yakni G. Karang dan G. Pulasari (Neumann van Padang, 1951; Rusmana dkk., 1991; Santosa, 1991; Simkin dan Siebert, 1994). Formasi Honje di Cibaliung membentuk tinggian yang tersusun oleh breksi gunung api, tuf, lava andesit-basal dan kayu terkersikkan, yang diterobos oleh andesit-basal (Sudana dan Santosa, 1992). Harijoko dkk. (2004) melaporkan bahwa andesit tersebut berumur Miosen (11,4 ± 0,8 jtl) yang ditutupi oleh Tuf Cibaliung berumur Pliosen (4,9 ± 0,6 jtl.). Asosiasi breksi gunung api, lava andesit-basal dan intrusi andesit-basal itu menunjukkan bahwa di Cibaliung terdapat gunung api komposit purba sebelum terjadi letusan kaldera yang menghasilkan Tuf Cibaliung di daerah itu. Di daerah Bayah, volkanisme tertua (Paleogen) diwakili oleh Formasi Cikotok (batuan gunung api Eosen) dan intrusi Granodiorit Cihara (21-23 jtl., Saefudin, 1987), kemudian diikuti volkanisme Neogen (Tuf Citorek) dan gunung api Kuarter seperti halnya G. Endut, G. Halimun dan G. Srandil (Sujatmiko dan Santosa, 1992). Sebaran gunung api Kuarter itu membentuk pola melingkar melingkupi batuan gunung api Paleogen dan Neogen (Gambar 2). Batuan itu juga diterobos oleh intrusi basal berumur Kuarter. Berdasarkan data tersebut diperkirakan bahwa Bayah merupakan daerah gunung api sistem kaldera dimana telah terjadi perulangan kegiatan sejak Paleogen, Neogen dan Kuarter. Sementara itu di daerah Pongkor volkanisme juga menerus dari Tersier ke Kuarter hingga G. Salak yang merupakan gunung api aktif masa kini (Effendi dkk., 1998). Di kawasan ini

kegiatan gunung api juga silih berganti dari tipe kerucut komposit ke tipe kaldera letusan.

Di Sukabumi Selatan volkanisme bawah laut diidentifikasi dengan banyaknya aliran lava basal berstruktur bantal (Gambar 3), yang oleh Sukamto (1975) dimasukkan ke dalam Formasi Citirem berumur Kapur. Setelah beristirahat selama beberapa waktu kegiatan gunung api bawah laut ini diikuti oleh volkanisme Tersier yang membentuk Formasi Jampang dan

terobosan Dasit Ciemas serta Porfir Cilegok. Analisis radiometri dengan metode K-Ar terhadap aliran lava di Pelabuhan Ratu memberikan umur 13,69 ± 1,82 jtl, tetapi ada yang jauh lebih muda, yakni 1,33 ± 0,28 jtl dan 0,90 ± 0,3 jtl. (Soeria-Atmadja dkk., 1994). Di

Gambar 2. Peta geologi daerah Bayah yang mencerminkan adanya tumpang tindih

volkanisme berumur Paleogen, Neogen dan Kuarter. Digambar kembali dari Sujatmiko dan

Santosa (1992).

Gambar 3. Aliran lava basal berstruktur bantal

sebagai hasil kegiatan gunung api bawah laut di baratdaya Jampang, Sukabumi Selatan.

Gambar 4. Peta geologi daerah Cikondang,

memperlihatkan Anggota Cikondang (Tmbec) yang tersusun oleh andesit piroksen diterobos oleh batuan

intrusi andesit piroksen (Pa) dan dilingkupi oleh Formasi Beser (Tmbe) yang terdiri atas breksi

andesit dan Formasi Koleberes (Tmk) yang tersusun oleh batupasir tuf. Data tersebut menunjukkan

adanya fosil gunung api Cikondang. Peta digambar kembali dari Koesmono dkk. (1996).

Page 5: Tinjauan Geologi Gunung API Jawa Barat, Banten Dan Implikasinya - Sutikno Bronto (2008)

51

daerah Bogor-Cianjur, Jalur Gunung api Gede-Pangrango muncul di dalam kaldera tua yang sisa tubuhnya terdapat di lereng utara G. Pangrango. Dari peta geologi lembar Cianjur (Sujatmiko, 1972) dan lembar Sindang Barang dan Bandarwaru (Koesmono dkk., 1996), gunung api tersebut membentuk kelurusan ke fosil gunung api G. Kancana dan G. Cikondang di sebelah selatan, sedang ke sebelah utara di dalam peta geologi lembar Bogor (Effendi dkk., 1998) dan Jakarta (Turkandi dkk., 1992) masing-masing terdapat G. Pancar dan G. Dago. Di sebelah tenggara Sukabumi analisis radiometri terhadap intrusi andesit pasir Pogor memberikan umur 32,30 ± 0,30 jtl. (Pertamina, 1988, vide Soeria-Atmadja dkk., 1994). Gunung api purba Cikondang diidentifikasi oleh penulis (Bronto, 2003a) berdasar pola sebaran dan jenis batuan gunung api (Gambar 4) yang dianalisis dari dalam peta geologi lembar Sindangbarang dan Bandarwaru (Koesmono dkk., 1996). Di daerah Purwakarta, Kaldera Jatiluhur diidentifikasi berupa bentang alam cekungan yang sekarang telah menjadi Waduk Jatiluhur yang di dalamnya terdapat tubuh intrusi andesit (Gambar 5) berumur 2,0 ± 0,10 jtl. (Soeria-Atmadja dkk., 1994). Di sebelah baratnya terdapat Gunung api purba Sanggabuana yang berumur lebih tua (5,35 ± 0,15, jtl., Soeria-

Atmadja dkk., 1994). Banyak intrusi andesit di daerah ini juga dilaporkan oleh Sujatmiko (1972). Cekungan Waduk Cirata masih belum jelas apakah bekas kaldera gunung api atau oleh sebab lain. Daerah Bandung hingga Jawa Barat bagian timur (Priangan Timur) dapat dikatakan sebagai suatu lapangan gunung api sangat besar (a mega

volcanic field), karena seluruh daerah yang sangat luas ini ditempati oleh banyak gunung api (Gambar 6). Cekungan Bandung sendiri dicurigai sebagai sistem kaldera gunung api jamak (multiple caldera system, Bronto dan Hartono, 2006). Hal itu ditunjukkan adanya sisa-sisa tubuh batuan beku berasosiasi dengan breksi gunung api di daerah Saguling dan Cimahi Selatan (Silitonga, 2003). Di daerah Bandung utara hingga Subang, selain Kaldera Sunda masih banyak lagi kaldera gunung api yang lebih tua, antara lain Kaldera Cibitung dan Kaldera Cupunagara, masing-masing berumur 59,00 ± 1,94 jtl. (Paleosen Akhir) dan 36,88 ± 1,94 jtl. (Oligosen Awal, Bronto dkk., 2004b). Di dalam kaldera kedua itu terdapat sumbat lava andesit G. Orem berumur 1,4 jtl. (Utoyo dkk., 2004). Intrusi andesit di tepi barat jalan raya Jalancagak-Subang (Silitonga, 2003) menunjukkan adanya fosil gunung api di bagian utara Jawa barat bersama-sama dengan G. Dago di peta geologi lembar Jakarta (Turkandi dkk., 1992), G. Pancar di sebelah timur Bogor (Effendi dkk., 1998) dan Situ Cibinong di Krawang Barat dan G. Sanggabuana serta Kaldera Jatiluhur di Purwakarta. Ke arah timur, cekungan Sumedang yang di dalamnya terdapat tubuh intrusi andesit juga diperkirakan sebagai bekas kaldera tua sebelum muncul G. Tampomas. Kaldera Kadipaten-Majalengka ditunjukkan adanya intrusi andesit yang menerobos Formasi Cinambo dan Formasi Halang (Djuri, 1995). Di daerah Kuningan – Cirebon (Djuri, 1995; Silitonga dkk., 1996) volkanisme diawali G. Kromong sebelum muncul G. Cerme.

Gambar 5. Sumbat lava andesit di dalam cekungan Kaldera Jatiluhur, Purwakarta.

Gambar 6. Sebaran gunung api Tersier dan

Kuarter di daerah Bandung dan sekitarnya, dilihat dari citra satelit. Data umur dari Soeria-Atmadja dkk., 1994; Sunardi dan Kusumadinata, 1999).

Page 6: Tinjauan Geologi Gunung API Jawa Barat, Banten Dan Implikasinya - Sutikno Bronto (2008)

52

Sebaran gunung api di Bandung selatan menyambung ke Pegunungan Selatan (Bronto dkk., 2006). Umur batuan juga beragam mulai 12,0 jtl. (Pertamina, 1988, vide Soeria-Atmadja dkk., 1994), 4,0 – 2,8 jtl. (Sunardi dan Koesoemadinata, 1999), 0,23 jtl. di G. Malabar (Bogie dan Mackenzie, 1998) hingga G. Papandayan yang merupakan gunung api aktif masa kini yang terletak dibagian paling selatan Jawa Barat. Pelamparan gunung api di daerah Bandung tersebut menerus ke timur-tenggara mencakup daerah Garut, Tasikmalaya dan Ciamis (Alzwar dkk., 1992; Budhitrisna, 1986). Di Pegunungan Selatan fosil gunung api Tersier diidentifikasi berdasar bentang alam citra satelit dan asosiasi batuan terobosan andesit dengan breksi gunung api yang berselang seling dengan lava yang dikenal sebagai Formasi Jampang (Simanjuntak dan Surono, 1992; Supriatna dkk., 1992; Alzwar dkk., 1992; Budhitrisna, 1986, Koesmono dkk., 1996). Dari sebelah timur, daerah ini dimulai dari Banjar-Pangandaran, Ciamis, Tasikmalaya, Garut, Cianjur hingga Sukabumi Selatan. Umur batuan deretan fosil gunung api di Pegunungan Selatan ini juga beragam mulai dari 28 jtl. sampai dengan 5 jtl (Soeria-Atmadja dkk., 1994). Ke arah timur fosil gunung api itu menerus ke daerah Majenang, yang dikenal dengan Formasi Kumbang (Kastowo dan Suwarna, 1996) dan Cilacap, Jawa Tengah. Selain gunung api komposit dan kaldera, di bagian utara Jawa Barat juga dijumpai gunung api monogenesis. Sebagai contoh gunung api maar Setu Patok (Gambar 7) yang terletak lebih kurang 7 km di sebelah selatan kota Cirebon dan tergambar di dalam peta geologi lembar Cirebon (Silitonga dkk., 1996). Fenomena cekungan danau atau situ dan rawa yang diduga sebagai bekas gunung api maar ternyata banyak

dijumpai mulai dari daerah Banten sampai dengan Pamanukan-Subang. Di sebelah timur-tenggara kota Serang, Banten, pada sebaran Tuf Banten (Rusmana dkk., 1991) antara lain terdapat Situ Ciherang, Situ Cikonde dan Situ Panebang. Di sebelah barat kota Karawang terdapat Situ Cibinong, Rawa Cibitung, Rawa Baru, Rawa Dukuh dan Rawa Santiora (Achdan dan Sudana, 1992). Di kaki baratlaut G. Sunda, wilayah Purwakarta terdapat Situ Wanayasa, sedangkan di selatan kota Subang dapat dijumpai Situ Ranca Teja dan Ranca Bungur. Kemungkinan bekas gunung api maar itu nampaknya berderet timur-barat pada batas antara jalur gunung api Kuarter di sebelah selatan dan batuan sedimen atau dataran aluvium Jawa Barat di bagian utara. Lebih dari itu di sebelah utara kota Subang atau di selatan kota kecamatan Pagadenbaru dan Pamanukan terdapat dua buah danau bernama Situ Nagrok dan Situ Peundeuy (Gambar 8). Daerah ini dilingkupi oleh anomali Bouguer cukup tinggi (20 mgal, Rohandi dan Naingolan, 1990). Kedua danau itu tidak terletak di kawasan gunung api sehingga perlu dicurigai sebagai bekas gunung api lumpur (mud volcanoes) seperti halnya yang pernah terjadi di Jawa Tengah (Sangiran dan Bledug Kuwu) serta Jawa Timur (Lumpur Sidoharjo).

Implikasi Pembelajaran ilmu dasar geologi gunung api sangat bermanfaat untuk pengembangan ilmu kebumian itu sendiri, dalam rangka pemanfaatan sumber daya geologi dan mendukung mitigasi bencana geologi. Dalam pengembangan ilmu kebumian, paparan data geologi gunung api di atas memberikan

Gambar 7. Gunung api maar Setu Patok, yang di tengahnya terdapat kerucut sinder. Lokasi Setu

Patok, 7 km di sebelah selatan kota Cirebon

Gambar 8. Situ Nagrok dan Situ Peundeuy, yang

diduga sebagai bekas gunung api lumpur di sebelah utara kota Subang.

Page 7: Tinjauan Geologi Gunung API Jawa Barat, Banten Dan Implikasinya - Sutikno Bronto (2008)

53

kontribusi adanya dua pemikiran, yakni terjadinya tumpang-tindih kegiatan gunung api (superimposed volcanisms) dan adanya cekungan di dalam busur gunung api (intra-arc basins). Terjadinya tumpang tindih volkanisme ditunjukkan di dalam peta geologi, data umur radiometri, serta didukung oleh data petrologi. Di dalam peta geologi suatu daerah terdapat batuan gunung api Kuarter sekaligus juga terdapat batuan gunung api berumur Tersier Bawah (Paleogen) dan Tersier Atas (Neogen); sebagai contoh di dalam peta geologi daerah Bayah (Gambar 2; Sujatmiko dan Santosa, 1992). Data radiometri juga menunjukkan bahwa umur batuan gunung api, baik di bagian selatan, tengah dan utara Jawa Barat mempunyai kisaran dari Paleogen, Neogen dan Kuarter. Di bagian selatan batuan gunung api Paleogen diwakili oleh Formasi Cikotok dan intrusi andesit Pasir Pogor yang berumur 32,30 ± 0,30 jtl. (Pertamina, 1988, vide Soeria-Atmadja dkk., 1994), di bagian tengah terdapat batuan gunung api Cupunagara (59,00 ± 1,94 jtl. dan 36,88 ± 1,94 jtl., Bronto dkk., 2004b), sedangkan di bagian utara oleh Formasi Jatibarang (Kapur-Eosen ?; Martodjojo, 2003; Paleosen Akhir ? – Oligosen Awal, Gresko dkk., 1995). Formasi Jampang, yang berumur Oligosen Akhir- Miosen awal (Martodjojo, 2003) mewakili volkanisme pada waktu peralihan dari Paleogen ke Neogen, selanjutnya batuan gunung api Neogen tersebar di seluruh Jawa Barat, mulai dari bagian selatan, tengah sampai dengan utara. Sementara itu, keterdapatan batuan gunung api Kuarter tidak terbatas hanya di bagian tengah dan utara, tetapi juga dijumpai di bagian selatan (Pelabuhan Ratu: 1,33 ± 0,28 jtl dan 0,90 ± 0,3 jtl.; Soeria-Atmadja dkk., 1994). Apabila terjadi perpindahan busur magma Tersier ke utara, seharusnya tidak akan ada batuan gunung api berumur muda (Kuarter-Neogen) di bagian selatan, dan tidak akan ditemukan batuan gunung api tua (Paleogen) di bagian tengah dan utara. Data petrologi – geokimia batuan gunung api Paleogen sampai Kuarter secara umum bersusunan andesit kalk-alkali. Ini menunjukkan bahwa secara tektonika ketiga periode volkanisme tersebut berhubungan dengan jalur penunjaman, yang secara tomografi hanya dijumpai satu buah (Widyantoro, 2002). Pemikiran tumpang tindih volkanisme ini secara jelas berbeda dengan pendapat adanya perpindahan busur magma Tersier (Soeria-

Atmadja dkk., 1994), paling tidak untuk di Jawa Barat. Berhubung busur gunung api di Jawa Barat sangat lebar, lebih kurang 80 – 100 km, maka di antara kerucut komposit gunung api terdapat cekungan sedimentasi. Pada umur Kuarter - masa kini saja, yang mempunyai kisaran umur geologi sangat pendek (< 2 juta tahun), antara G. Tangkubanparahu – G. Gede-Pangrango – Jatiluhur Purwakarta di bagian utara, G. Tangkubanparahu - G. Malabar-Patuha di bagian tengah dan G. Papandayan-Guntur-Cikurai - G. Galunggung-Telagabodas-Syawal di bagian selatan, masing-masing terdapat Cekungan Cianjur, Cekungan Bandung, Cekungan Garut dan Cekungan Tasikmalaya. Sementara itu, antara gunung api purba di dekat pantai selatan Jawa Barat sampai dengan G. Sanggabuana, Kaldera Jatiluhur dan G. Kromong di bagian utara, yang giat pada Zaman Tersier, mempunyai kisaran umur geologi sangat panjang (lk. 60 juta tahun). Oleh sebab itu, berdasarkan prinsip the present is the key to the past, tentunya bukan hal yang tidak mungkin apabila pada kurun-kurun waktu tertentu di dalam kisaran umur Tersier tersebut di Jawa Barat dan Banten juga terbentuk cekungan antar gunung api. Cekungan dan tinggian gunung api itu menggambarkan paleogeografi Jawa Barat – Banten pada umur-umur tertentu selama Zaman Tersier. Perbedaan dengan cekungan Kuarter-masa kini ada di lingkungan geografi, di mana kondisi masa kini berada di darat sedangkan paleo geografi Tersier diperkirakan berada di bawah muka air laut atau berupa tinggian pulau-pulau gunung api. Sebagai pembanding, fisiografi terakhir itu seperti di Kepulauan Sangihe di utara Sulawesi. Deretan gunung api di kawasan itu membentuk pulau dan gunung api bawah laut, sedangkan cekungan di antaranya di bawah air laut. Cekungan sedimentasi inilah yang penulis sebut sebagai cekungan di dalam busur gunung api (Intra-Arc Basins). Cekungan ini mempunyai ciri-ciri antara lain relatif sempit dan mungkin tidak saling berhubungan, serta secara tekonika dan sedimentasi daerah ini sangat dinamis mengalami penurunan dan pengangkatan atau pendangkalan. Sumber sedimen sangat banyak, antara lain rombakan dari batuan yang lebih tua, kegiatan volkanisme saat itu dan batuan non gunung api (batugamping). Itulah sebabnya cekungan sedimen itu juga disebut Salome Basins. Berdasakan uraian di atas, pemikiran ini

Page 8: Tinjauan Geologi Gunung API Jawa Barat, Banten Dan Implikasinya - Sutikno Bronto (2008)

54

berbeda dengan pendapat Martodjojo (2003) yang menyatakan bahwa Jawa Barat merupakan cekungan busur depan pada umur Kapur-Awal Eosen, sedang dari Eosen Akhir-Oligosen tidak ada kegiatan magmatisme dan volkanisme, serta pada Miosen Awal daerah ini merupakan cekungan belakang busur. Dalam menunjang pemanfaatan sumber daya geologi, geologi gunung api dapat mendukung usaha pencarian sumber daya energi, mineral dan lingkungan. Dukungan untuk pencarian sumber daya energi panas bumi sudah tidak perlu diperdebatkan lagi karena sebagian besar energi itu terdapat di kawasan gunung api. Energi hidrokarbon juga mungkin ditemukan seperti halnya di dalam Formasi Jatibarang (misal: Gresko dkk., 1995) di sebelah utara Cirebon, Jawa Barat dan Formasi Wunut di Jawa Timur (Darmoyo dkk., 2001), serta batubara di daerah Tasikmalaya Selatan. Magma sebagai sumber panas di dekat cekungan dalam busur gunung api ini dapat lebih mempercepat proses pematangan energi hidrokarbon tersebut. Dengan beragamnya bentuk, sifat dan isi cekungan maka potensi hidrokarbon juga sangat bervariasi dan kemungkinan sebarannya banyak yang bersifat lokal. Aplikasi di bidang sumber daya mineral, terutama mineral asal gunung api (volcanogenic mineral deposits) juga perlu dilandasi pengetahuan dasar geologi gunung api. Mineral logam sulfida yang berasosiasi dengan mineral ubahan non logam dapat ditemukan berdasarkan konsep pusat erupsi gunung api sebagai strategi untuk eksplorasi emas (Volcanic Center Concept for Gold Exploration Strategy, Bronto dan Hartono, 2003). Interaksi antara gas asam (misalnya HCl dan H2S), unsur logam dan pancaran panas dari magma dengan air bawah permukaan menghasilkan cairan hidrotermal menyebabkan terjadinya alterasi hidrotermal dan mineralisasi di dalam batuan. Proses itu terjadi di dalam diatrema gunung api atau di bawah kawah gunung api purba (paleo conduit; Hedenquist dkk., 1996). Ini berarti bahwa endapan primer mineral logam sulfida asal gunung api sebagian besar terdapat di dalam fasies pusat gunung api. Oleh sebab itu dalam rangka pencarian sumber baru mineralisasi, maka pertama-tama harus dicari fasies-fasies pusat gunung api purba (Bronto, 2006). Berhubung proses alterasi dan mineralisasi

tersebut berlangsung selama magma masih mampu memancarkan panas dan mengeluarkan gas asam serta unsur logam, maka pada daerah dimana terjadi tumpang-tindih volkanisme dimungkinkan proses itu terjadi berulang kali sehingga dapat terjadi pengkayaan mineralisasi (mineral enrichment), atau paling tidak terjadi overprinting mineralisasi di daerah itu. Selanjutnya, karena proses rombakan, endapan logam tataan (placer deposits) dapat dijumpai di dalam cekungan di dalam busur gunung api. Sebagai contoh di daerah Tasikmalaya Selatan, selain ditemukan emas dan logam dasar juga terdapat mangan. Dalam kaitannya dengan sumber daya lingkungan, maka hampir seluruh kawasan gunung api aktif menjadi daerah pemukiman dan pariwisata yang sangat menarik, serta wilayah perkebunan yang sangat subur. Kerucut gunung api menjadi daerah tangkapan dan resapan air hujan. Sementara itu, pada cekungan dalam busur gunung api diharapkan banyak mengandung potensi air bawah permukaan. Disini diperlukan kehati-hatian dalam menerapkan prinsip stratigrafi batuan gunung api, karena tidak seluruhnya mengikuti hukum stratigrafi kueh lapis (layer caked geology; Bronto dan Hartono, 2006). Dalam mendukung mitigasi bencana geologi pemahaman geologi gunung api juga sudah tidak disangsikan lagi. Di bawah ini diuraikan tiga potensi bencana geologi yang belum banyak dikenal di Indonesia, pertama dalam kaitannya dengan kegiatan tektonika, kedua dalam rangka pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir, dan ketiga mengenai gerakan tanah di daerah gunung api. Dari analisis citra landsat diketahui di sebelah utara Bandung

Gambar 9. Pola sesar di sebelah utara Bandung.

Anak panah menunjukkan arah naik Sesar Cimandiri, Sesar Subang dan Sesar Baribis.

Page 9: Tinjauan Geologi Gunung API Jawa Barat, Banten Dan Implikasinya - Sutikno Bronto (2008)

55

terdapat pola kelurusan melengkung ke utara mulai dari daerah Cianjur-Jatiluhur di sebelah baratlaut, Subang di bagian utara dan timurlaut G. Tampomas – Majalengka di sebelah timur laut (Gambar 6 dan 9). Kelurusan tersebut agaknya merupakan Sesar Cimandiri di daerah Bandung bagian barat-baratlaut, Sesar Krawang Selatan dan Sesar Subang di sebelah utara, serta Sesar Baribis di sebelah timurlaut (Martodjojo, 2003). Sesar Cimandiri dan Sesar Baribis merupakan sesar naik, masing-masing ke arah baratlaut dan ke timurlaut. Sementara itu Sesar Krawang Selatan dan Sesar Subang yang terletak di sebelah utara bergerak naik ke utara. Apabila seluruh sesar itu dihubungkan maka nampak adanya pola sesar naik sangat besar cembung ke utara yang dinamakan sesar Bandung Raya (Gambar 10). Sementara itu di sebelah selatan sistem sesar itu, selain terdapat banyak sesar yang lain, seperti Sesar Padalarang, Sesar Lembang dan Sesar Tampomas atau Sesar Kuningan-Cilacap (Katili dan Sudradjat, 1984), juga tersebar banyak gunung api. Pola cembung ke utara dan naik ke baratlaut-utara-timurlaut menunjukkan adanya gaya yang bersumber dari satu tempat tetapi menekan dengan pola sebaran seperti kipas ke arah baratlaut, utara dan timurlaut. Keadaan ini tentunya tidak semata-mata sebagai akibat gaya tektonika mendatar dari selatan, tetapi dimungkinkan merupakan resultante dengan gaya vertikal yang berasal dari bawah Cekungan Bandung dan sekitarnya. Gaya vertikal itu mungkin berasal dari batuan dasar yang mungkin berbentuk benua mikro (micro continent) di bawah Bandung, atau dari magma yang sudah membeku atau sedang membangun tenaga (heating up). Hal kedua itu lebih didukung dengan banyaknya gunung api tua dan aktif masa kini yang terpusat di wilayah Bandung dan sekitarnya. Dari pemikiran tersebut maka apabila gaya tektonika yang berarah mendatar masih dominan maka potensi bencana gempa bumi saja yang mengancam daerah Jawa Barat. Sebaliknya jika nantinya gaya vertikal yang lebih kuat dan itu disebabkan oleh magma yang sedang menekan dan bergerak ke atas maka akan terjadi bencana yang sangat dahsyat berupa letusan kaldera gunung api beserta bencana geologi ikutan lainnya. Sementara itu di bagian utara Jawa Barat juga dimungkinkan terjadinya letusan gunung api monogenesis (maar) dan gunung api lumpur. Untuk mengantisipasi kemungkinan sangat

buruk ini penelitian dan pemantauan secara intensif sangat diperlukan. Dalam rangka membangun Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN), maka pada tahap awal harus dilakukan analisis terhadap seluruh jenis potensi bahaya yang dapat mengancam keselamatan PLTN dan masyarakat di sekitarnya. Berhubung Indonesia mempunyai banyak gunung api, maka evaluasi bahaya dan penanggulangannya juga menjadi syarat mutlak. Untuk meyakinkan agar lokasi PLTN benar-benar aman dari kemungkinan terlanda bencana letusan gunung api, maka evaluasi bahayanya meliputi gunung api pada radius 150 km dari calon tapak dan dimulai dari batuan gunung api berumur 10 jtl. sampai dengan gunung api aktif masa kini (Gambar 11; IAEA, 2008). Potensi bahaya yang harus dipertimbangkan juga sangat banyak, berjumlah 12 jenis, yaitu: 1) Piroklastika jenis aliran dan

gelombangan/seruakan (pyroclastic flows, surge, and blasts *)

2) Aliran lava (*) 3) Longsoran tubuh kerucut gunung api (debris

avalanches and slope failures *) 4) Aliran rempah gunung api (debris flows) dan

lahar 5) Bukaan lubang kawah baru (opening of new

vents *)

Gambar 10. Sesar naik Bandung Raya yang cembung ke utara dan di sebelah selatannya

tersebar banyak gunung api di daerah Bandung dan sekitarnya. Sesar naik tersebut

diinterpolasikan dari Sesar Cimandiri di sebelah barat, Sesar Krawang Selatan dan sesar Subang di

sebelah utara dan Sesar Baribis di sebelah timurlaut (Martodjojo, 1984), serta berdasar analisis citra satelit. Di daerah Bandung juga terdapat Sesar Padalarang yang sejajar Sesar Cimandiri, sedang Sesar Tampomas sejajar

dengan sesar Baribis. Sesar Lembang berarah barat-timur. Tiga anak panah menunjukkan arah gaya pembentuk sesar besar cembung ke utara.

Page 10: Tinjauan Geologi Gunung API Jawa Barat, Banten Dan Implikasinya - Sutikno Bronto (2008)

56

6) Lontaran/hujan batu (ballistic projectiles) 7) Gas beracun asal gunung api (volcanic gases) 8) Tsunami dan bahaya seismik (seiches/ seismic

hazards *) 9) Fenomena atmosfer (kilat dan petir) 10) Deformasi muka tanah (ground deformation*) 11) Gempa bumi gunung api 12) Fluida geothermal (*) Pada umumnya, jenis potensi bahaya yang ditandai bintang (*) tidak dapat ditanggulangi secara fisik teknologi, sehingga calon tapak/lokasi PLTN yang berpeluang terlanda jenis potensi bahaya gunung api itu harus ditolak. Berhubung hampir seluruh wilayah Jawa Barat dan Banten mempunyai batuan dan gunung api berumur 10 jtl. atau lebih muda, maka pemilihan calon tapak PLTN di daerah ini memerlukan penelitian geologi yang sangat cermat. Bencana geologi gerakan tanah memang sudah umum terjadi pada musim hujan di Indonesia. Di daerah batuan gunung api, faktor geologi penyebab gerakan tanah yang belum banyak mendapat perhatian adalah adanya lapisan paleosol dan ubahan hidrotermal (Bronto, 2004). Longsoran raksasa (gigantic landslides) dari tubuh kerucut gunung api seperti kejadian di Mount St. Helens Amerika Serikat pada tahun 1980 juga banyak terdapat di Indonesia pada umumnya dan di Jawa Barat secara khusus. Sebagai contoh letusan G. Papandayan pada tahun 1772 (Neuman van padang, 1951; Kusumadinata, 1979), terjadinya Bukit 777 yang berasal dari G. Gede di dataran Cianjur, Longsoran Situ Bagendit di kompleks G.

Guntur Garut, Bukit Sepuluh Ribu dari G. Galunggung Tasikmalaya dan longsoran gunung api Cerme di sebelah barat Palimanan (Bronto dan Pratomo, 1997; Bronto, 2001). Longsoran sangat besar ini memang jarang terjadi, tetapi sekali terjadi akan menimbulkan bencana sangat mengerikan bagi kita semua. Menurut Siebert (1984), pada umumnya waktu istirahat gunung api sebelum terjadi longsoran sangat besar ini berkisar antara 10 tahun hingga 1000 tahun. Diskusi Di daerah Jawa Barat dan Banten, di dalam sebaran batuan gunung api hampir selalu terdapat batuan beku intrusi dangkal berasosiasi dengan batuan beku luar, breksi piroklastika dan tuf. Berdasarkan pandangan geologi sedimenter, batuan beku luar, breksi dan tuf tersebut dianggap sebagai batuan sedimen yang proses pembentukannya terpisah sama sekali dengan batuan beku intrusi dangkal tersebut. Selain terdapat di tempat yang sama atau berdekatan, secara umum batuan gunung api dan batuan intrusi itu mempunyai kesamaan komposisi (rata-rata andesit kalk-alkali) dan umur geologi. Data tersebut lebih mendukung pandangan geologi gunung api yang menyatakan adanya gunung api purba di daerah itu. Hal ini sekaligus juga menunjukkan adanya kesatuan proses yang berkelanjutan mulai dari proses magmatisme sampai dengan volkanisme dan sedimentasi secara insitu. Dari proses magmatisme, sebagian magma menerobos di dekat permukaan sehingga terbentuk batuan beku intrusi dangkal. Sebagian magma yang lain terus bergerak ke permukaan menimbulkan proses volkanisme dan sedimentasi sehingga terbentuk batuan beku luar, breksi piroklastika dan tuf. Batuan gunung api bertipe kalk-alkali berhubungan dengan pembentukan magma di zona subduksi Kerak Samudera Hindia menunjam di bawah kerak benua Eurasia, sehingga terbentuk busur gunung api Sunda. Data stratigrafi batuan gunung api, yang didukung oleh umur radiometri, memperlihatkan adanya kegiatan volkanisme berulang-ulang di daerah Jawa Barat. Hal ini menunjukkan telah terjadi tumpang tindih volkanisme di daerah itu. Terdapatnya batuan sedimen non gunung api dan rombakan gunung api (epiklastika) yang mempunyai umur geologi relatif sama dengan batuan gunung api

Gambar 11. Prosedur tahapan evaluasi kelayakan

gunung api dalam rangka pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir berdasar panduan

keselamatan dari Badan Atom Dunia (IAEA, 2008).

Page 11: Tinjauan Geologi Gunung API Jawa Barat, Banten Dan Implikasinya - Sutikno Bronto (2008)

57

pada suatu daerah mendukung adanya cekungan di dalam busur gunung api. Berhubung metode pentarikhan umur semakin berkembang, maka untuk lebih meyakinkan adanya gunung api purba, tumpang tindih volkanisme dan cekungan di dalam busur gunung api ini, penambahan data umur radiometri sangat diharapkan, baik terhadap batuan gunung api yang tersingkap di permukaan maupun yang tertimbun di bawah permukaan. Hal kedua itu tentunya di dapat dari hasil pemboran. Volkanisme tumpang tindih menunjukkan terjadinya proses magmatisme berkali-kali pada daerah yang sama. Karena setiap gerak magma ke permukaan memancarkan gas asam dan unsur logam, maka hal itu menyebabkan proses alterasi hidrotermal dan mineralisasi juga terjadi berulang-ulang. Semakin besar ukuran dapur magma dan semakin panjang masa hidup gunung api, misalnya pada sistem multi kaldera, proses alterasi dan mineralisasi itu juga berlangsung sangat lama. Ferari (1995) melaporkan bahwa masa hidup terpanjang gunung api tipe strato adalah 1, 8 juta tahun sedangkan kompleks kaldera mencapai 14 juta tahun. Dari proses magmatisme dan volkanisme yang sangat lama dan terjadi berulang-ulang pada daerah yang sama itu diharapkan dapat memperkaya mineralisasi dan peningkatan potensi dari sistem epitermal ke meso- dan hipotermal, dan bahkan tipe porfiri. Namun demikian diakui bahwa untuk mendapatkan potensi endapan mineral yang bernilai ekonomis pemikiran secara volkanologis ini masih harus didukung dengan data struktur geologi dan alterasi batuan. Jebakan mineral di daerah gunung api ini bisa tidak terbentuk karena tidak ada trap (penjebak), baik dari struktur maupun litologi atau sebab-sebab perusakan lainnya. Untuk membuktikan dugaan mineralisasi secara volkanologis itu perlu kiranya melakukan penyelidikan geologi bawah permukaan melalui analisis geofisika dan pemboran uji cukup dalam, antara 3000 m – 5000 m. Hal ini dapat diusulkan pada kaldera tua yang sudah tidak aktif lagi, misalnya di Kaldera Bayah. Sebaran gunung api yang sangat luas, terjadi berulang-ulang dan tumpang tindih serta ditambah pasokan air meteorik dari curah hujan yang tinggi juga memungkinkan adanya potensi energi hidrotermal sangat besar di Jawa Barat. Sementara ini eksploitasi energi panas bumi itu baru diusahakan di beberapa tempat, misalnya

Kamojang, Darajat, Wayang - Windu dan Awi - Bengkok. Subagio dan Widijono (2008) melaporkan potensi panas bumi di daerah Pandeglang, Banten. Diharapkan pengembangan penelitian geovolkanologi ini mampu menemukan sumber baru energi panas bumi di tempat lain di Jawa Barat dan Banten. Energi hidrokarbon sudah ditemukan di dalam batuan gunung api Paleosen Formasi Jatibarang (misal: Gresko dkk., 1995) di sebelah utara Cirebon, Jawa Barat dan batuan gunung api Plistosen Formasi Wunut di Jawa Timur (Darmoyo dkk., 2001). Ini memberikan gambaran bahwa batuan gunung api yang berumur antara Paleosen dan Plistosen, yang sangat melimpah di Jawa barat dan Banten, mempunyai kecenderungan berpotensi mengandung minyak atau gas bumi. Kenyataan itu mendorong para ahli geologi (misal: Fischer dan Smith, 1991; Lajoie dan Stix, 1992) mulai tertarik kepada batuan klastika gunung api dalam kaitannya dengan pencarian sumber baru hidrokarbon. Batuan klastika gunung api ini dapat berupa bahan piroklastika atau bahan rombakan (reworked/ epiclastic deposits). Pada umumnya batuan piroklastika terdapat di fasies proksimal sampai medial, sedangkan bahan rombakan diendapkan di fasies distal atau di dalam cekungan kaldera gunung api bawah laut atau pulau gunung api. Dengan demikian untuk mendapatkan sumber baru hidrokarbon maka diperlukan analisis tipe, fasies dan lingkungan gunung api purba serta cekungan di dalam busur gunung api. Di dalam cekungan tersebut, selain terendapkan batuan klastika gunung api juga terbentuk batuan non gunung api, misalnya batugamping. Di Padalarang tersingkap batugamping Tersier Formasi Rajamandala. Apabila batuan itu menerus di bawah Cekungan Bandung, diharapkan adanya potensi energi hidrokarbon di daerah ini. Untuk itu, sekali lagi penelitian geologi bawah permukaan perlu dilakukan. Daerah Jawa Barat dan Banten, terutama di kawasan pegunungan dan dataran tinggi, mempunyai curah hujan sangat tinggi. Hal ini memungkinkan terdapatnya potensi air bawah permukaan yang melimpah. Mengingat ke depan kebutuhan air bersih dan sehat terus meningkat sejalan dengan peningkatan jumlah penduduk, maka diperlukan pengelolaan yang sangat baik terhadap air permukaan dan air bawah permukaan.

Page 12: Tinjauan Geologi Gunung API Jawa Barat, Banten Dan Implikasinya - Sutikno Bronto (2008)

58

Selain sumber daya alam geologi yang melimpah, di sisi lain daerah Jawa Barat dan Banten juga mempunyai potensi bahaya geologi sangat tinggi. Ragam bahaya geologi tersebut mulai dari tanah longsor skala kecil dan lokal sampai dengan gempa bumi dan letusan gunung api sangat besar. Letusan kaldera gunung api di Indonesia pada masa sejarah, yang dimulai sejak tahun 1600, terjadi pada tahun 1815 (G. Tambora di P. Sumbawa) dan 1883 (G. Krakatau di Selat Sunda, e.g. Kusumadinata, 1979). Pada abad ke 20 letusan gunung api hanya berskala kecil, sehingga sampai saat ini sudah lebih dari 100 tahun tidak terjadi letusan besar setara G. Tambora dan G. Krakatau. Sementara itu gempa bumi tektonik berskala besar, mulai dari Aceh, Yogyakarta dan beberapa tempat lainnya di Indonesia sudah terjadi pada awal abad ke 21 ini. Sedangkan gempa bumi tektonik tersebut bersama-sama dengan penunjaman kerak bumi diyakini berhubungan erat dengan proses magmatisme dan volkanisme. Dengan kata lain, gempa bumi berskala besar itu boleh jadi menjadi awal atau dapat memicu kegiatan magmatisme dan volkanisme yang juga sangat besar. Sementara itu daerah Jawa Barat dan Banten, yang mempunyai banyak struktur sesar dan gunung api aktif, dan yang bertipe kaldera sudah lama beristirahat, tidak menutup kemungkinan terjadi reaktivasi letusan gunung api katastrofik sehingga dapat menimbulkan bencana maha dahsyat. Dengan banyaknya danau (situ) di sebelah utara jajaran gunung api mulai dari Banten sampai Cirebon, yang diduga sebagai bekas gunung api maar, maka ancaman bahaya letusan gunung api monogenesis juga perlu diperhatikan. Letusan ini bisa saja terjadi di tempat yang baru sehingga membentuk bukaan lubang kawah baru, seperti halnya yang disebutkan oleh IAEA (2008). Lebih dari itu, apabila Situ Nagrok dan Situ Peundeuy memang bekas gunung api lumpur, maka ancaman bahaya seperti yang terjadi di Jawa timur perlu diantisipasi secara dini. Untuk memitigasi berbagai kemungkinan terjadinya bencana geologi tersebut maka penelitian dan pemantauan secara terpadu antara seismotektonik, kegunungapian dan kebencanaan sangat disarankan.

Kesimpulan 1) Wilayah Jawa Barat dan Banten mempunyai

banyak gunung api, yang dapat dibagi menjadi enam kelompok kompleks gunung api, yaitu kompleks gunung api Dano dan Cibaliung, Bayah-Pongkor, Sukabumi-Pegunungan Selatan, Bogor-Cianjur, Purwakarta dan Bandung. Secara umum, batuan gunung api tersebut bersusunan andesit kalk-alkali yang mencerminkan volkanisme terkait dengan tataan tektonika jalur penunjaman kerak Samudera Hindia di bawah kerak benua Eurasia.

2) Kegiatan gunung api tersebut ada yang berumur Paleogen, Neogen, dan Kuarter sampai dengan masa kini sehingga terjadi tumpang tindih volkanisme dan di antaranya terdapat cekungan sedimentasi di dalam busur gunung api. Hal ini merupakan sumbangan ilmiah pandangan geologi gunung api bagi perkembangan ilmu kebumian.

3) Kondisi geologi gunung api tersebut mencerminkan tingginya potensi sumber daya alam geologi di daerah Jawa Barat dan Banten, baik berupa mineral, energi maupun lingkungan. Namun disisi lain, hal itu juga menuntut kewaspadaan akan besarnya ancaman bahaya geologi di daerah ini, yang dapat berupa gempabumi, erupsi/letusan gunung api dan tanah longsor.

4) Untuk lebih mendukung pemikiran geologi gunung api ini, sekaligus penerapannya dalam rangka pencarian sumber daya alam geologi baru, baik di bidang mineral, energi maupun lingkungan masih diperlukan penelitian geologi lanjutan yang lebih rinci di daerah Jawa Barat dan Banten khususnya dan di Indonesia pada umumnya.

5) Untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya bencana geologi di waktu mendatang, maka penelitian kebencanaan dan usaha mitigasi perlu dikembangkan.

Ucapan Terimakasih Penulis menyampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Bapak Ir. Lambok Hutasoit, Ph.D. Dekan Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian, ITB, Bapak Dr. Ir.

Page 13: Tinjauan Geologi Gunung API Jawa Barat, Banten Dan Implikasinya - Sutikno Bronto (2008)

59

Prihadi Sumintadiredja, yang telah mengundang penulis untuk memaparkan makalah ini di kampus ITB sehingga makalah ini mendapatkan masukan yang sangat berguna untuk ditambahkan sebelum diterbitkan. Ucapan terimakasih disampaikan kepada Redaksi jurnal ilmiah Geoaplika yang sudah mendorong dan sekaligus menerbitkan makalah ini sehingga dapat disebarluaskan kepada masyarakat ilmiah, khususnya dalam lingkup ilmu kebumian.

Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Bapak Dr. Ratdomo Purbo, yang pada waktu menjabat Kepala Pusat Survei Geologi, Badan Geologi, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral telah mengijinkan penulis untuk memenuhi undangan Ketua KKGT guna memaparkan makalah ini pada pertemuan forum ilmiah anggotanya di ITB.

Daftar Pustaka Achdan, A. dan Sudana, A.,

1992. Peta Geologi Lembar Karawang, Jawa, skala 1 : 100.000. Puslitbang Geologi, Bandung.

Alzwar, M., N. Akbar, dan Bachri, S., 1992. Peta geologi lembar Garut dan Pameungpeuk, Jawa, skala 1 : 100.000. Puslitbang Geologi, Bandung.

Bogie, I. and Mackenzie, K. M., 1998. The application of a volcanic facies models to an andesitic startovolcano hosted geothermal system at Wayang Windu, Java, Indonesia. Proc. 20th NZ Geothermal Workshop, hal. 265-276.

Bronto, S., 2001. Volcanic debris avalanches in Indonesia. Proc. the 3rd ASEGE, Yogyakarta, Sept. 3-6, 2001, hal. 449-462.

Bronto, S., 2003. Gunung api Tersier Jawa Barat: Identifikasi dan Implikasinya. Majalah Geologi Indonesia, 18: 111-135.

Bronto, S., 2004. Longsor di Gunungapi, BPPT, di: Naryanto, H.S., Prawiradisastra, S. dan Marwanta, B. (Eds.), Permasalahan, Kebijakan dan Penanggulangan Bencana Tanah Longsor di Indonesia, P3TPSLK-BPPT dan HSF, hal. 92-103.

Bronto, S., 2006. Fasies gunung api dan aplikasinya.

Jurnal Geologi Indonesia, 2: 59-71.

Bronto, S., E. Budiadi dan G. Hartono, 2004a. Permasalahan Geologi Gunungapi di Indonesia. Majalah Geologi Indonesia, 9: 91-105.

Bronto, S., Achnan K., Kartawa, W., Dirk, M. H., Utoyo, J. Subandrio dan Lumbanbatu, K., 2004b. Penelitian awal mineralisasi di daerah Cupunagara, Kabupaten Subang – Jawa Barat. Majalah Geologi Indonesia, 19: 12-30.

Bronto, S., Achnan K. dan Lumbanbatu, K., 2006. Stratigrafi gunung api daerah Bandung Selatan, Jawa Barat. Jurnal Geologi Indonesia, 2: 89-101.

Bronto, S. dan Hartono, U., 2003. Strategi penelitian emas berdasar Konsep Pusat Gunung Api. Pros. Kolokium ESDM 2002, 13-14 Jan. 2003, P3Tekmira, Bandung, 172-189.

Bronto, S. dan Hartono, U., 2006. Potensi sumber daya geologi di daerah Cekungan Bandung dan sekitarnya. Jurnal Geologi Indonesia, 1: 9-18.

Bronto, S., Mulyaningsih, S., Hartono, G. dan Astuti, E., 2008. Waduk Parangjoho dan Songputri sebagai alternatif sumber erupsi Formasi Semilir. Prosiding Seminar Nasional Ilmu Kebumian 2008 ”Tantangan dan

Strategi Pendidikan Geologi dalam Pembangunan Bangsa”, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 15 Februari 2008.

Bronto, S. dan Pratomo, I., 1997. Endapan longsoran gunungapi dan implikasi bahayanya di kawasan G. Guntur, Kabupaten Garut, Jawa Barat. Pros. PIT XXV IAGI, Bandung, 11-12 Des. 1997, hal. 51-66.

Budhitrisna, T., 1986. Peta geologi lembar Tasikmalaya, Jawa Barat, skala 1 : 100.000. Puslitbang Geologi, Bandung.

Darmoyo, A.B., Sosromihardjo, S.P.C. dan Satyamurti, B., 2001. The sedimentology Pleistocene Volcaniclastic in the Lapindo Brantas Block, East Java. Majalah Geologi Indonesia, (16) 1: 15-38.

Djuri, 1995. Peta geologi lembar Arjawinangun, Jawa, skala 1 : 100.000. Puslitbang Geologi, Bandung.

Effendi, A.C., Kusnama, dan Hermanto, B., 1998. Peta geologi lembar Bogor, Jawa, skala 1 : 100.000. Puslitbang Geologi, Bandung.

Ferari, L., 1995. Data base for assessment of volcano capability. IAEA unpublished report, contract BC: 10010105410241 I.201 94 CL9070.

Fischer, R.V. dan Smith, G.A. (Eds.), 1991.

Page 14: Tinjauan Geologi Gunung API Jawa Barat, Banten Dan Implikasinya - Sutikno Bronto (2008)

60

Sedimentation in Volcanic Settings. SEPM (Society for Sedimentary Geology), Spec. Publ. no. 45, Tulsa, Oklahoma, USA, 257 hal.

Gresko, M., Suria, C. dan Sinclair, S., 1995. Basin evolution of the Arjona rift system and its implications for hydrocarbon exploration, offshore northwest Java, Indonesia. Proc. 24th Ann. Conv. Indonesia Petroleum Assoc., hal. 147-161.

Harijoko, A., K. Sanematsu, R. A. Duncan, S. Prihatmoko dan Watanabe, K., 2004. Timing of the mineralization and volcanism at Cibaliung gold deposit, Western Java, Indonesia. Resource Geology, 54: 187-195.

Hedenquist, J. W., E. Izawa, A. Arribas dan White, N. C., 1998. Epythermal deposit; Styles, characteristic and exploration. Resources Geology Special Publication Number 1, Society of Resource Geology, Japan (poster).

International Atomic Energy Agency (IAEA), 2008. Volcanic Hazards in Site Evaluation for Nuclear Installations. IAEA Safety Standards for Protecting People and The Environment, DS 405, 58.

Kastowo dan Suwarna, 1996. Peta geologi lembar Majenang, Jawa, skala 1 : 100.000. Puslitang Geologi, Bandung.

Katili, J.A. dan A. Sudradjat, 1984. Galunggung, the 1982-1983 Eruption. Volcanology Survey of Indonesia, Bandung, 102 hal.

Koesmono, M, Kusnama dan Suwarna, N., 1996. Peta geologi lembar Sindangbarang dan Bandarwaru, Jawa, skala 1 : 100.000, Edisi Kedua.

Puslitang Geologi, Bandung.

Kusumadinata, K., 1979. Data Dasar Gunung Api Indonesia. Direktorat Vulkanologi, Bandung, 820 hal.

Lajoie, J. Dan Stix, J., 1992. Volcaniclastic Rocks, in R.G. Walker and N.P. James (Eds.): Facies Models. Geol. Assoc. of Canada, hal. 101-118.

Macdonald, G. A., 1972. Volcanoes. Prentice-Hall, Englewood Cliffs, New Jersey, 510 hal.

Martodjojo, S., 2003, Evolusi Cekungan Bogor Jawa Barat. Penerbit ITB, Bandung, 238 hal.

Neumann van Padang, M., 1951. Catalogue of the Active Volcanoes of the World Including Solfatara Fields. Part I Indonesia. Internat. Volc. Assoc., Via Tasso I99, Napoli, Italia, 271 hal.

Rohandi, U. dan Nainggolan, D. A., 1990. Peta anomali gaya berat lembar Pamanukan, Jawa, skala 1 : 100.000. Puslitbang Geologi, Bandung.

Rusmana, E., Suwitodirjo, K. dan Suharsono, 1991. Peta Geologi Lembar Serang, Jawa, skala 1:100.000. Puslitbang Geologi, Bandung.

Saefudin, I., 1987. Kompleks batuan busur vulkanik daerah Cihara, Kabupaten Lebak, Jawa Barat. Tesis S1, Jur. Geologi, FMIPA UNPAD, tak diterbitkan.

Santosa, S., 1991. Peta Geologi Lembar Anyer, Jawa, skala 1:100.000. Puslitbang Geologi, Bandung.

Siebert, L., 1984. Large volcanic debris avalanches: Characteristics of source area, deposits, and associated eruptions. J. Volc. Geoth. Res., 66: 367-395.

Silitonga, P. H., 2003. Peta Geologi Lembar Bandung, Jawa, skala 1:100.000. Puslitbang Geologi, Bandung.

Silitonga, P. H., Masria, M., dan Suwarna, N., 1996. Peta Geologi Lembar Cirebon, Jawa, skala 1:100.000. Puslitbang Geologi, Bandung.

Simanjuntak, T. O. dan Surono, 1992. Peta geologi lembar Pangandaran, Jawa, skala 1:100.000. Puslitbang Geologi, Bandung.

Simkin, T. dan L. Siebert, 1994. Volcanoes of The World, 2nd ed.. Geoscience Press inc., Tucson, Arizona, 349 hal.

Soeria-Atmadja, R., Maury, R. C., Bellon, H., Pringgoprawiro, H., Polve M. dan Priadi, B., 1994. Tertiary magmatic belts in Java. J. SE Asian Earth Sci., 12: 13-27.

Subagio dan Widijono, B. S., 2008. Potensi panas bumi daerah Pandeglang dan sekitarnya berdasarkan evaluasi data geologi dan geofisika terpadu, Geo-Resources, 3, 135-148.

Sudana, S. dan Santosa, S., 1992. Peta geologi lembar Cikarang, Jawa, skala 1:100.000. Puslitbang Geologi, Bandung.

Sujatmiko, 1972. Peta geologi lembar Cianjur, Jawa, skala 1 : 100.000. Puslitbang Geologi, Bandung.

Sujatmiko dan Santosa, S., 1992. Peta geologi lembar Leuwidamar, Jawa, skala 1 : 100.000. Puslitabang Geologi, Bandung.

Sukamto, R., 1975. Peta geologi lembar Jampang dan Balekambang, Jawa, skala 1: 100.000. Puslitbang Geologi, Bandung.

Sunardi, E. dan Koesoemadinata, R.P., 1999. New K-Ar ages and the magmatic evolution of the Sunda-Tangkuban Perahu

Page 15: Tinjauan Geologi Gunung API Jawa Barat, Banten Dan Implikasinya - Sutikno Bronto (2008)

61

volcano complex formations, West Java, Indonesia. Proc. of the 28th Ann. Conv. IAGI, Jakarta, 30 Nov.-1 Dec., 1999, hal. 63-71.

Supriatna, S., L. Sarmili, D. Sudana dan Koswara, A., 1992. Peta geologi lembar Karangnunggal, Jawa, skala 1 : 100.000. Puslitbang Geologi, Bandung.

Turkandi, T., Sidarto, D.A. Agustyanto dan Purbohadiwidjojo, M.M., 1992. Peta geologi lembar Jakarta dan Kepulauan seribu, Jawa, skala 1 : 100.000. Puslitbang Geologi, Bandung.

Utoyo, H., M.H.J. Dirk, S. Bronto dan Lumbanbatu, K., 2004. K-Ar age of volcanic in Cupunagara, Subang, West-Java. Proc. of 33rd Ann. Conv. and Exhibit. 2004, IAGI, Bandung, 29 Nov. – 1 Dec. 2004, hal. 81-87.

Vessels, R.K. dan Davies, D. K., 1981. Non marine sedimentation in an active fire arc basin, in F. Etridge & R.M. Flores (Eds.), Recent and ancient Non Marine Depositional Environments: Models for Exploration. Society of Economic Paleontology, Special Publication, No. 31.

Widiyantoro, S., 2002. Migrasi Palung Sunda: Implikasi Dari Citra Tomografi Seismik, Jurnal JTM, FIKTM-ITB, Edisi Khusus, hal. 45-50.

Wilson, M., 1989. Igneous Petrogenesis: A Global Tectonic Approach. London, Unwin Hyman, 466 hal.

Page 16: Tinjauan Geologi Gunung API Jawa Barat, Banten Dan Implikasinya - Sutikno Bronto (2008)

62