83
Mengokohkan Reformasi di Tengah Dinamika Global EDISI IV 2019 TINJAUAN EKONOMI, KEUANGAN, & FISKAL Ulasan Khusus: Penguatan Strategi untuk Mendorong Produktivitas dan Daya Saing Menuju Indonesia Emas

TINJAUAN EKONOMI, KEUANGAN, & FISKAL

  • Upload
    others

  • View
    3

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: TINJAUAN EKONOMI, KEUANGAN, & FISKAL

Edisi Triwulan II 2018 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal 1

Mengokohkan Reformasi di Tengah Dinamika Global

EDISI IV 2019

TINJAUAN EKONOMI, KEUANGAN, & FISKAL

Ulasan Khusus: Penguatan Strategi untuk Mendorong Produktivitas dan Daya Saing

Menuju Indonesia Emas

Page 2: TINJAUAN EKONOMI, KEUANGAN, & FISKAL

√ Diterbitkan oleh: Badan Kebijakan Fiskal

Pengarah: Kepala Badan Kebijakan Fiskal

Penanggung Jawab: Kepala Pusat Kebijakan Ekonomi Makro

Redaktur Pelaksana: Sekretaris Badan, Kepala Pusat Kebijakan Ekonomi Makro, Kepala Pusat Kebijakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, Kepala Pusat Kebijakan Sektor Keuangan

Editor: Andriansyah, Brian Thomas, Endang Larasati, Evy Mulyani, Ronald Yusuf, Thomas N.P.D Keraf, Wahyu Utomo, Widiyanto, Yoopi Abimanyu

Dewan Redaksi: Abdul Aziz, Achmad Budi S., Ahmad Wira Kusuma, Aktiva Primananda, Ali Moechtar, Alfan Mansur, Asep Nurwanda, Dedy Sunaryo, Dwi Anggi Novianti, Immanuel Bhekti H., Indra Budi Sucahyo, Pipin Prasetyono, Putri Rizki Yulianti, Raditiyo Harya P., Rahadian Zulfadin, Roni Parasian, Tuti Sarinigsih Budi Utami, Yasir Niti Samudro

Desain Grafis: Abraham Putra Agung, Arif Taufiq, Bramantiyo, Fatima Medina Septiyanti

Kontributor:

Affan Hanif Imaduddin, Ari Nugroho, Bakhtiar Rifai, Bramantiyo, Dessy Kusumawardani, Dhoni Siamsyah F.A., Dimas Nurdy, Galuh Chandra Wibowo, Hilda Choirunnisah, Ika Kartika Sari, Indah Kurnia Junirda, M. Firmansyah Arviandri, Nina Hanifah, Nurul Fatimah, Purwaningtyas Dewantoro, Restu Rinayanti, Risyaf Fahreza, Rizal Augusta Arifiandanu, Rizki Saputri, Widiani Putri, Wignyo Parasian, Yayu Andini

Foto Sampul/Foto Ilustrasi: Masyitha Mutiara Ramadhan

Sekretariat:

Andi Yoga Trihartanto, Bagus Handoko, Puguh Fajar Triyanto, Suhendi Ery Saputro

Alamat Redaksi: Gedung R.M. Notohamiprodjo, Jalan Dr. Wahidin Raya Nomor 1 Jakarta 10710

Situs Web: fiskal.kemenkeu.go.id

Tinjauan Kebijakan Fiskal diterbitkan oleh Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan, dengan periode publikasi triwulanan dan memuat mengenai perkembangan kebijakan ekonomi, fiskal, dan keuangan terkini.

Edisi IV 2019 Foto Sampul: Pengrajin Tenun , NTT.

Page 3: TINJAUAN EKONOMI, KEUANGAN, & FISKAL

Edisi Triwulan II 2018 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal 3

TINJAUAN EKONOMI, KEUANGAN, & FISKAL Edisi IV 2019

Page 4: TINJAUAN EKONOMI, KEUANGAN, & FISKAL

VISI BKF

“Menjadi unit terpercaya dalam perumusan kebijakan fiskal dan sektor keuangan yang antisipatif dan responsif untuk mewujudkan masyarakat Indonesia sejahtera.”

Page 5: TINJAUAN EKONOMI, KEUANGAN, & FISKAL

Edisi IV 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal 1

KATA PENGANTAR

enutup tahun 2019, isu-isu global masih terus berkembang dinamis. Perlambatan

aktivitas manufaktur terjadi di berbagai negara dan proyeksi pertumbuhan

ekonomi global terus terkoreksi. Perang dagang AS-Tiongkok sebagai salah satu isu

yang cukup kuat memang sudah mulai memasuki tahapan negosiasi dan kompromi. Namun

demikian, bercermin dari kesepakatan AS-Tiongkok di forum G-20 Osaka yang meleset dan

tidak berkelanjutan, kita tentu harus siap jika sewaktu-waktu muncul momentum yang dapat

menimbulkan syok pada perekonomian. Potensi ketidakpastian masih akan terus membayangi.

Di negara seperti Jerman, Singapura, atau Hong Kong, fusi dinamika domestik dan global sudah

mulai menyeret pertumbuhan ekonomi negara tersebut hingga terus melambat bahkan

berkontraksi. Di Indonesia, kinerja investasi dan perdagangan internasional memang masih

belum memenuhi ekspektasi, tetapi fundamental ekonomi mampu dijaga, ditunjukkan dengan

pertumbuhan ekonomi yang solid. Dengan potensi ketidakpastian ke depan, reformasi harus

diperkuat untuk menjaga daya saing dan meningkatkan kualitas SDM. Kebijakan fiskal juga

harus terus didorong untuk mendukung upaya tersebut hingga terwujudnya stabilitas

ekonomi.

Tema Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal Edisi IV Tahun 2019 adalah Mengokohkan

Reformasi di Tengah Dinamika Global yang mencoba mengelaborasi usaha pemerintah untuk

terus menggaungkan reformasi di tengah ketidakpastian global. Dalam edisi ini terdapat ulasan

khusus terkait strategi untuk mendorong produktivitas dan daya saing menuju Indonesia Emas.

Tinjauan ini merupakan terbitan triwulanan yang menyajikan data-data dan informasi terkini

mengenai ekonomi makro, sektor keuangan, dan kebijakan fiskal. Diharapkan, materi yang

terangkum dalam tinjauan ini dapat menjadi referensi bagi para pemangku kepentingan dan

masyarakat luas dalam memahami kondisi ekonomi dan kebijakan fiskal terkini.

Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada berbagai pihak yang telah mendukung

kelancaran terbitnya tinjauan ini. Kritik dan saran yang membangun dari para pembaca sangat

kami butuhkan untuk perbaikan ke depan. Selamat membaca.

Desember 2019

Arif Baharudin

Plt. Kepala Badan Kebijakan Fiskal

M

Page 6: TINJAUAN EKONOMI, KEUANGAN, & FISKAL

2 Edisi IV 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal

DAFTAR ISI

Kata Pengantar ...................................................................................................................................................... 1

Daftar Isi .................................................................................................................................................................. 2

Abreviasi .................................................................................................................................................................. 3

Sekilas Perekonomian Indonesia 2019 ............................................................................................................ 5

Ringkasan Eksekutif .............................................................................................................................................. 6

ANALISIS PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO ............................................................................................. 8

A. Perkembangan Ekonomi Global ................................................................................................................... 10

B. Perkembangan Sektor Keuangan dan Moneter Indonesia .................................................................... 17

C. Kinerja Perbankan Domestik ........................................................................................................................ 30

D. Neraca Perdagangan Indonesia ................................................................................................................... 38

E. Neraca Pembayaran Indonesia .................................................................................................................... 42

F. Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Triwulan III 2019 ............................................................................... 45

G. Inflasi Indonesia .............................................................................................................................................. 50

ANALISIS KINERJA APBN DAN KEBIJAKAN FISKAL ...................................................................................... 56

ULASAN KHUSUS ................................................................................................................................................. 64

Data Perkembangan Indikator Ekonomi Makro ............................................................................................ 76

Perbandingan Penyerapan APBN November 2018 dan November 2019 .............................................. 77

Page 7: TINJAUAN EKONOMI, KEUANGAN, & FISKAL

Edisi IV 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal 3

ABREVIASI

7DRR : 7 Days Repo Rate

APBN : Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara

AS : Amerika Serikat

ASEAN-5 : Indonesia, Malaysia, Filipina, Thailand dan Vietnam

BI : Bank Indonesia

BKF : Badan Kebijakan Fiskal

BOPO : Belanja Operasional terhadap Pendapatan Operasional

BOS : Bantuan Operasional Sekolah

BPS : Badan Pusat Statistik

bps : basis points

BUMN : Badan Usaha Milik Negara

CAR : Capital Adequacy Ratio

CHT : Cukai Hasil Tembakau

CPO : Crude Palm Oil

DAU : Dana Alokasi Umum

DINFRA : Dana Investasi Infrastruktur

DPK : Dana Pihak Ketiga

ECB : European Central Bank

FOMC : Federal Open Market Committee

G-20 : Kelompok 20 ekonomi utama

GFC : Global Financial Crisis

GWM : Giro Wajb Minimum

IHK : Indeks Harga Konsumen

IHSG : Indeks Harga Saham Gabungan

IKK : Indeks Keyakinan Konsumen

IMF : International Monetary Fund

K/L : Kementerian/Lembaga

KI : Kredit Investasi

KIK : Kontrak Investasi Kolektif

KIP : Kartu Indonesia Pintar

KK : Kredit Konsumsi

KLCI : Kuala Lumpur Composite Index

KMK : Kredit Modal Kerja

KND : Kekayaan Negara Dipisahkan

KPR : Kredit Pemilikan Rumah

LDR : Loan to Deposit Ratio

LNPRT : Lembaga Non Profit yang melayani Rumah Tangga

LTV : Loan to Value (Ratio)

Migas : Minyak dan Gas

MSCI : Morgan Stanley Capital International

mom : month-on-month

mtd : month-to-date

NFB : Net Foreign Buying

NIM : Net Interest Margin

OJK : Otoritas Jasa Keuangan

PDB : Produk Domestik Bruto

Pemilu : Pemilihan Umum

PKH : Program Keluarga Harapan

PMA : Penanaman Modal Asing

PMDN : Penanaman Modal Dalam Negeri

PMI : Purchasing Managers’ Index

PMTB : Pembentukan Modal Tetap Bruto

PNBP : Pendapatan Negara Bukan Pajak

Page 8: TINJAUAN EKONOMI, KEUANGAN, & FISKAL

4 Edisi IV 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal

PPh : Pajak Penghasilan

PPN : Pajak Pertambahan Nilai

PT : Perseroan Terbatas

QE : Quantitative Easing

qoq : quarter on quarter

RAPBN : Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara

RHS : Right Hand Side

RMB : Renminbi

ROA : Return on Asset

RT : Rumah Tangga

SBN : Surat Harga Berharga

SDA : Sumber Daya Alam

SDM : Sumber Daya Manusia

SML : Special Mention Loan

SMP : Sekolah Menengah Pertama

TEKF : Tinjauan Ekonomi, Keuangan dan Fiskal

The Fed : The Federal Reserves

TKDD : Transfer ke Daerah dan Dana Desa

TMF : Transaksi Modal dan Finansial

USD : United States Dollar

UU : Undang-Undang WEO : World Economic

Outlook

yoy : year-on-year

ytd : year-to-date

Page 9: TINJAUAN EKONOMI, KEUANGAN, & FISKAL

Edisi IV 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal 5

SEKILAS PEREKONOMIAN INDONESIA 2019

3,00% 5,02% Inflasi November (yoy)

Pertumbuhan Ekonomi Triwulan III (yoy)

6.012 -2,95% 5,06% IHSG per 29 November (indeks dan ytd)

Pertumbuhan Konsumsi RT & LNPRT Triwulan III (yoy)

Rp14.102 2,62% 4,21% Nilai Tukar per 29 November (indeks dan ytd)

Pertumbuhan Investasi (PMTB) Triwulan III (yoy)

5,0% 5,3% BI 7-DRR per 30 November (persen)

Pertumbuhan Belanja per November

-7,61% -9,88% Pertumbuhan Ekspor per November (ytd)

Pertumbuhan Impor per November (ytd)

Rp101,31 triliun -2,29% Defisit Primary Balance per November Defisit APBN terhadap PDB per

November

2,66% USD124,3 miliar Defisit Transaksi Berjalan Triwulan III (% PDB)

Cadangan Devisa Triwulan III

Page 10: TINJAUAN EKONOMI, KEUANGAN, & FISKAL

6 Edisi IV 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal

RINGKASAN EKSEKUTIF

erekonomian global masih terus berkembang dinamis hingga penghujung 2019.

Aktivitas manufaktur tercatat mengalami kontraksi sejak bulan Mei, meski saat ini

posisinya telah sedikit memulih. Gejolak ekonomi maupun geopolitik juga terjadi silih

berganti di berbagai negara, diwarnai sentimen proteksionisme yang mulai menghambat kerja

sama internasional. Perang dagang antara AS dan Tiongkok yang sempat tereskalasi juga

menambah ketidakpastian. Dengan beragam dinamika dan pelemahan terjadi secara luas di

perekonomian global, banyak negara yang menerapkan kebijakan yang akomodatif untuk

mencegah perlambatan ekonomi lebih dalam. Meski demikian, prospek pertumbuhan ekonomi

global di 2019 masih lemah. Outlook pertumbuhan ekonomi global di tahun 2019 diperkirakan

melambat pada tingkat terendah sejak krisis keuangan global, dan diperkirakan membaik di

2020 meskipun risiko yang membayangi tinggi.

Dinamika global sepanjang 2019 turut mempengaruhi perkembangan arus modal masuk,

yang tercermin dalam pergerakan nilai tukar dan IHSG. Secara agregat, selama Januari hingga

November 2019, terjadi NFB sebesar Rp216,2 triliun, terutama yang masuk pada pasar surat

beharga negara. Kondisi arus modal yang cukup kuat menopang stabilitas Rupiah di tahun

2019, meskipun beberapa ketidakpastian global seperti perang dagang sempat memberi

sentimen negatif pada pergerakan Rupiah. Di sisi kebijakan moneter, BI menyesuaikan posisi

pada arah yang lebih longgar dengan menurunkan suku bunga dari 6,0 persen menjadi 5,0

persen. Seiring dengan pelonggaran tersebut, suku bunga di pasar uang bank juga mulai

menurun dan laju pertumbuhan uang beredar yang juga dalam tren meningkat. Meski

demikian pertumbuhan kredit masil melambat di 2019, antara lain disinyalir diakibatkan

ketidakpastian global yang menghambat ekspansi aktivitas ekonomi serta rendahnya

pertumbuhan DPK.

Selama tahun 2019 kinerja perdagangan Indonesia mengalami perlambatan dibandingkan

tahun sebelumnya. Kontraksi terjadi baik pada komoditas migas maupun nonmigas. Secara

umum selama tahun 2019, kontraksi pertumbuhan impor sedikit lebih tinggi dibandingkan

kontraksi pada ekspor Indonesia. Tercatat secara kumulatif Januari-November 2019, neraca

perdagangan Indonesia mengalami defisit sebesar USD3,1 miliar, yang dipengaruhi oleh defisit

migas sebesar USD8,3 miliar dan neraca nonmigas yang mengalami surplus sebesar USD5,2

miliar. Lemahnya kinerja neraca perdagangan Indonesia dipengaruhi oleh beberapa faktor,

P

Page 11: TINJAUAN EKONOMI, KEUANGAN, & FISKAL

Edisi IV 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal 7

antara lain turunnya permintaan dari negara mitra dagang ekspor utama Indonesia dan juga

terkontraksinya harga komoditas di pasar global. Meski demikian posisi eksternal secara

keseluruhan terjaga dengan neraca transaksi berjalan pada triwulan III 2019 tercatat

mengalami penyempitan defisit dan surplus transaksi modal dan finansial. Tren peningkatan

cadangan devisa juga masih terjadi hingga akhir Oktober 2019 yang tercatat sebesar USD126,7

miliar.

Perekonomian Indonesia pada triwulan ketiga 2019 tumbuh sebesar 5,02 persen (yoy) atau

secara kumulatif tumbuh sebesar 5,04 persen (ytd). Pertumbuhan konsumsi RT dan LNPRT

tetap menjadi mesin pertumbuhan dengan mampu tumbuh sebesar 5,06 persen. Kinerja

pertumbuhan Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) mengalami perlambatan yaitu sebesar

4,21 persen, terpengaruh oleh kondisi ekonomi global yang belum kondusif dan tren harga

komoditas primer yang masih rendah. Fenomena menarik yang terjadi pada triwulan ketiga

2019 adalah kinerja ekspor yang mampu tumbuh positif meskipun masih dalam tingkat yang

rendah, yakni sebesar 0,02 persen (yoy), setelah mengalami kontraksi sejak awal tahun 2019.

Laju pertumbuhan yang sehat masih diiringi oleh inflasi yang terkendali, yang hingga bulan

November 2009 mencapai 2,37 persen (ytd) atau 3,00 persen (yoy).

Realisasi APBN pada November 2019 masih mencatatkan kinerja yang positif di tengah

faktor global yang memberikan tantangan. Pendapatan negara dan hibah masih mencatatkan

pertumbuhan sebesar 0,9 persen (yoy). Pertumbuhan ini didorong oleh kinerja positif pada

penerimaan cukai yang tumbuh signifikan sejak awal tahun. Sementara itu, belanja negara

tercatat tumbuh sebesar 5,3 persen (yoy) sebagai dampak dari meningkatnya realisasi bantuan

sosial dalam menjaga daya beli masyarakat miskin, serta tumbuhnya Transfer ke Daerah dan

Dana Desa (TKDD). Pemerintah akan terus menjaga defisit APBN serta rasio utang dalam

tingkat terkendali guna menjaga fiskal dalam kondisi yang sehat, terutama untuk

mengantisipasi perubahan dalam perekonomian global. Pembiayaan anggaran juga dikelola

secara pruden dan produktif untuk menjaga keberlangsungan APBN. Sikap kehati-hatian

Pemerintah juga tercermin dari posisi utang yang pada akhir November 2019 sebesar 30,03

persen terhadap PDB.

Guna mendorong pembangunan menjadi negara maju, Indonesia harus memacu

pertumbuhan produktivitas. Dalam rangka memacu produktivitas, Indonesia harus terus

mengimplementasikan strategi pembangunan yang fokus pada investasi infrastruktur dan

sumber daya manusia. Selain itu, perlu tercipta kompetisi yang sehat di semua sektor yang akan

mendukung lahirnya berbagai inovasi. Tidak kalah penting, sektor keuangan harus lebih dalam

untuk mendukung akses pendanaan bagi pelaku ekonomi. Terlebih jauh, Pemerintah harus

mampu menjalankan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) dan menjaga

stabilitas ekonomi makro dan politik. Langkah-langkah tersebut merupakan upaya reformasi

struktural yang harus lebih kuat diimplementasikan agar momentum perbaikan daya saing

dan produktivitas Indonesia dapat berlanjut.

Page 12: TINJAUAN EKONOMI, KEUANGAN, & FISKAL

8 Edisi IV 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal

ANALISIS PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO

BAGIAN I

Page 13: TINJAUAN EKONOMI, KEUANGAN, & FISKAL

Edisi IV 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal 9

Page 14: TINJAUAN EKONOMI, KEUANGAN, & FISKAL

10 Edisi IV 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal

A. PERKEMBANGAN EKONOMI GLOBAL

Sepanjang tahun 2019, aktivitas ekonomi global melemah ditandai dengan kontraksi pada

indikator manufaktur dan perdagangan. Indeks Pembelian Manager (PMI) global, salah satu

indikator yang merefleksikan aktivitas manufaktur di dunia, menunjukkan tren melemah dan

sejak bulan Mei mulai mencatat adanya kontraksi meski saat ini posisinya sudah sedikit

memulih. Aktivitas manufaktur juga mengalami perlambatan serempak di berbagai negara dan

kawasan. Sementara itu, total perdagangan global juga menunjukkan tren pelemahan.

Pelemahan aktivitas ekonomi global tersebut antara lain disebabkan oleh gejolak ekonomi

maupun geopolitik yang terjadi silih berganti di berbagai negara. Sentimen proteksionisme

yang menguat sudah memasuki taraf menghambat kerja sama internasional terutama di lini

perdagangan. Sementara itu, di sisi internal khususnya pada beberapa negara, isu-isu sosial-

politik seperti ketimpangan dan ketidakpuasan akan kebijakan mulai menimbulkan keresahan

masyarakat, bahkan beberapa tereskalasi menjadi kerusuhan serta turut menciptakan

gangguan pada perekonomian.

Grafik 1. Pertumbuhan Ekonomi Beberapa Negara (% yoy)

Sumber: Bloomberg

Perang dagang antara AS dan Tiongkok menjadi salah satu persoalan besar yang memiliki

efek rambatan ke negara lainnya. Perang dagang yang sempat mereda di awal tahun 2019,

kembali memanas saat AS menaikkan tarif sebesar 10 persen dari USD200 miliar impor

Tiongkok pada bulan Mei 2019. Kesepakatan yang dibuat antara AS dan Tiongkok dalam forum

G-20 di Osaka pada bulan Juni juga tidak berkelanjutan karena AS kembali menerapkan

kenaikan tarif impor pada bulan September dan Desember. Perkembangan terakhir, AS dan

Tiongkok telah memasuki fase pertama negosiasi. AS telah bersepakat untuk membatalkan

pengenaan tarif terhadap impor Tiongkok yang seharusnya berlaku 15 Desember serta

memotong tarif impor yang telah berlaku September dari 15 persen menjadi 7,5 persen. Sebagai

gantinya, Tiongkok akan meningkatkan pembelian produk agrikultur AS secara signifikan.

Negosiasi fase kedua direncanakan akan digelar sebelum Pemilu AS 2020. Hal ini membuat

tensi perang dagang sedikit mereda, namun tidak menghilangkan risiko ketidakpastian ke

depan.

Kekhawatiran akan risiko perang dagang terhadap perekonomian AS sempat tergambar pada

inverted yield curve atau inversi kurva imbal hasil yang terjadi sejak Mei. Tak hanya

2,11,2 0,5

1,7

6,0

-2,9

0,5

4,5 5,0

7,0

2,4

6,2

-0,3-3

-1

1

3

5

7

9

AS

Ero

pa

Jerm

an

Jep

ang

Tion

gko

k

Hon

gko

ng

Sing

apur

a

Indi

a

Indo

nesi

a

Vie

tnam

Thai

land

Filip

ina

Mek

siko

2018 Q1 2018 Q2 2018 Q3 2018 Q4 2019 Q1 2019 Q2 2019 Q3

Page 15: TINJAUAN EKONOMI, KEUANGAN, & FISKAL

Edisi IV 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal 11

sentimen perang dagang, tensi politik domestik AS seperti dengan kemunculan isu impeachment

di sela-sela persiapan Pemilu 2020 juga memberikan risiko pada negara tersebut. Di sisi lain,

indikator ketenagakerjaan AS masih solid, namun sentimen perang dagang, tensi politik, serta

indikator lain seperti inflasi yang berada di bawah target dan indeks manufaktur yang mulai

berkontraksi sudah mulai melemahkan denyut ekonomi AS dan perlu diwaspadai.

Grafik 2. Inverted Yield Curve yang terjadi sejak Mei sudah mulai normal di awal Oktober (bps)

Sumber: Bloomberg

Tensi perang dagang juga memberikan tekanan tambahan pada Tiongkok, ditunjukkan

dengan pelemahan indikator pertumbuhan ekonomi, perdagangan, dan manufaktur. Agenda

rebalancing economy Tiongkok untuk menggeser sumber utama pertumbuhan ekonomi dari

investasi menuju konsumsi juga tidak berjalan lancar, tercermin dari indeks penjualan ritel

yang belum solid dan hanya tumbuh satu digit sejak 2018, meskipun indeks kepercayaan

konsumen masih kuat. Sementara itu, PMI Manufaktur Tiongkok juga sejak awal tahun 2019

mencatat pelemahan dan kontraksi, meskipun pada beberapa bulan terakhir mulai

menunjukkan pemulihan. Dengan perkembangan demikian, pertumbuhan ekonomi Tiongkok

tercatat terus mengalami perlambatan, dengan pertumbuhan ekonomi pada triwulan ketiga

tercatat sebesar 6,0 persen (yoy).

Grafik 3. (a) PMI Manufaktur Global; (b) PMI Manufaktur Beberapa Negara

(a) (b)

Sumber: Bloomberg

Di kawasan Eropa, aktivitas ekonomi yang lesu juga terjadi khususnya di Jerman sebagai

negara manufaktur terbesar di benua tersebut. Selain terpapar dampak perang dagang, dari

sisi domestik, Jerman juga sedang menerapkan kebijakan pengetatan pengurangan emisi dan

50,3

46

48

50

52

54

56

Jan Apr Jul Okt Jan Apr Jul Okt Jan Apr Jul Okt

2017 2018 2019

40

50

60

70

Jan

Mar

Mei Jul

Sep

Nov Jan

Mar

Mei Jul

Sep

Nov Jan

Mar

Mei Jul

Sep

Nov

2017 2018 2019

AS Uni EropaJepang Tiongkok

-50

-30

-10

10

30

50

Jan-19 Feb-19 Mar-19 Apr-19 May-19 Jun-19 Jul-19 Aug-19 Sep-19 Oct-19 Nov-19 Dec-19

10Y-2Y spread

10Y-3M spread

Page 16: TINJAUAN EKONOMI, KEUANGAN, & FISKAL

12 Edisi IV 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal

registrasi mobil. Kebijakan tersebut membuat kinerja penjualan perusahaan yang berkaitan

dengan otomotif menurun. Kemorosotan sektor ini, yang merupakan salah satu industri

terbesar di Jerman, tercermin pada PMI manufaktur yang berkontraksi sejak awal tahun

bahkan mencapai titik terendah sejak GFC dan krisis utang Eropa.

Gejolak ekonomi dan politik yang lebih bersifat internal juga terjadi di banyak negara dan

menjadi salah satu faktor risiko yang besar. Di Eropa, penyelesaian Brexit masih belum

menunjukkan titik temu, hal ini berpengaruh buruk terhadap perekonomian Inggris, tercermin

dari penilaian lembaga rating Moody’s pada awal November 2019 yang merevisi outlook rating

Inggris menjadi negatif. Moody’s melihat ketidakpastian Brexit menunjukkan adanya

pelemahan institusi di Inggris yang akan meningkatkan tantangan formulasi kebijakan serta

menurunkan daya tarik investasi Inggris. Di Asia, salah satu tensi politik terbesar terjadi di

Hong Kong terkait undang-undang ekstradisi dan juga ketimpangan sosial-ekonomi yang

berujung pada demonstrasi besar serta kontraksi perekonomian Hong Kong. Di Timur Tengah,

fasilitas kilang minyak terbesar di Arab Saudi, Aramco, sempat diserang oleh pesawat tanpa

awak yang berdampak pada 50 persen penurunan minyak mentah Aramco atau sekitar 5

persen pasokan global. Kejadian ini sempat membuat harga minyak melonjak, tetapi proses

restorasi yang cepat mampu segera memulihkan harga. Gelombang protes di Lebanon serta

konflik Turki-Syria dan Iran-AS juga mewarnai gejolak di Timur Tengah. Di Amerika Latin,

juga terjadi pergolakan politik dan ekonomi yang dipicu oleh beragam hal seperti gagal bayar

utang dan ketidakpuasan hasil pemilu di Argentina, ketidakpuasan akan kenaikan harga tiket

subway dan isu ketimpangan di Chile, serta ketidakpuasan hasil pemilu di Bolivia yang

berujung pengunduran diri Presiden Evo Morales.

RESPONS KEBIJAKAN NEGARA-NEGARA DI TENGAH KETIDAKPASTIAN GLOBAL

Dengan beragam dinamika dan pelemahan terjadi secara luas di perekonomian global,

banyak negara yang menerapkan kebijakan yang akomodatif untuk mencegah perlambatan

ekonomi lebih dalam. Di sisi kebijakan moneter, berbagai negara mulai memasuki tren

kebijakan moneter ekspansif seperti penurunan suku bunga hingga penerapan quantitative

easing (QE). Di tengah risiko pelemahan ekonomi AS, The Federal Reserves (The Fed) mulai

melakukan kembali menerapkan kebijakan moneter ekspansif di tahun 2019 dengan

melakukan penurunan suku bunga sebanyak 75 bps. Langkah serupa juga banyak diikuti oleh

negara-negara lainnya, termasuk negara-negara berkembang seperti Indonesia, India,

Thailand, Filipina, Malaysia, dan Rusia. Banyak dari negara-negara tersebut menurunkan suku

bunga lebih dari sekali hingga Oktober 2019 dan beberapa diprediksi akan melakukan

penurunan kembali di akhir tahun. Di bulan Agustus 2019, tercatat 37 bank sentral negara

berkembang melakukan 14 kali pemotongan suku bunga, lebih banyak dibandingkan dengan

pemotongan suku bunga yang dilakukan pasca krisis finansial.

Beberapa negara, seperti Eropa dan Jepang, memilih kebijakan moneter non-konvensional

antara lain disebabkan oleh tingkat suku bunga yang sudah sangat rendah (zero bound interest rate). Perlambatan ekonomi yang cukup signifikan di beberapa negara besar Eropa,

terutama di Jerman dan Italia, mendorong ECB untuk kembali meluncurkan kebijakan QE

Page 17: TINJAUAN EKONOMI, KEUANGAN, & FISKAL

Edisi IV 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal 13

melalui pembelian surat berharga baik swasta maupun Pemerintah oleh ECB. Sebelumnya,

pada masa krisis utang Zona Eropa di 2015 – akhir 2018, ECB juga pernah mengimplementasikan

QE dengan total pembelian EUR2,6 triliun. Kali ini, QE mulai dilakukan ECB pada November

2019, dengan nilai pembelian sebesar EUR20 miliar per bulan dan tanpa batas waktu dengan

salah satu tujuan utama untuk mendorong agar inflasi dapat meningkat hingga mencapai

target.

Sementara itu, Jepang juga masih mempertahankan suku bunga overnight -0,1 persen dan

melakukan QE sebesar JPY80 triliun (USD740 miliar) per tahun. Di sisi lain, bank sentral AS

juga terindikasi melakukan QE untuk meredam turbulensi yang terjadi pada sistem

keuangannya (overnight market) sejak September 2019. Suku bunga repo overnight naik tajam

dari 2,25% menjadi 10% dalam semalam pada 16-17 September 2019 memberikan sinyal adanya

pengetatan likuiditas di pasar keuangan AS. Untuk memulihkan stabilitas, The Fed merespon

dengan menggelontorkan dana melalui pembelian obligasi jangka pendek (Treasury Bills) senilai

USD100 miliar di September, dan berlanjut sebesar USD60 miliar di Oktober.

Grafik 4. Perubahan Tingkat Suku Bunga Acuan (Persen)

Sumber: Bloomberg

Negara-negara di dunia, terutama negara maju, tengah menghadapi tantangan terbatasnya

pilihan kebijakan dalam menopang pertumbuhan ekonominya. Saat ini, banyak negara maju

memiliki keterbatasan ruang untuk melakukan kebijakan moneter ekspansif akibat suku

bunga rendah, seperti yang dihadapi Eropa dan Jepang. Suku bunga yang masih rendah sejak

krisis keuangan global menunjukkan bahwa di beberapa kawasan permasalahan ekonomi yang

dihadapi cukup struktural dan membuat kebijakan moneter ekspansif belum terlalu efektif

dalam mengangkat perekonomian. Untuk memperoleh hasil yang optimal, kebijakan moneter

dan fiskal harus saling mendukung dan seimbang. Beberapa negara seperti AS memberikan

insentif melalui pemotongan pajak badan dan individu yang mulai berlaku sejak 2018.

Pemerintah Tiongkok, di sisi lain, berupaya mengangkat aktivitas ekonomi melalui pemberian

izin atas penerbitan obligasi daerah untuk membiayai proyek infrastruktur.

0,00

0,00

0,08

0,100,75

1,50

1,753,00

4,35

4,00

5,00

4,90

9,00

0,00

0,00

0,08

0,100,75

1,75

2,50

3,25

4,35

4,75

6,00

6,25

9,00

0,00 1,00 2,00 3,00 4,00 5,00 6,00 7,00 8,00 9,00 10,00

EropaJerman

SingapuraJepangInggris

ThailandAS

MalaysiaTiongkok

FilipinaIndonesia

IndiaVietnam

Des 2018 Okt 2019

Page 18: TINJAUAN EKONOMI, KEUANGAN, & FISKAL

14 Edisi IV 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal

Grafik 5. (a) Rasio Utang (persen PDB); (b) Defisit/Surplus Anggaran (persen PDB)

(a) (b)

Sumber: Bloomberg

Namun, kebijakan fiskal ekspansif ini memberikan tekanan tambahan bagi ekonomi,

terutama bagi banyak negara dengan tingkat utang dan defisit yang tinggi. Negara-negara

besar di Eropa, misalnya Perancis, Italia, dan Inggris, masih berkutat dengan tingkat utang dan

defisit fiskal yang sangat tinggi. Dalam hal ini, negara-negara tersebut perlu hati-hati dalam

membuat keputusan karena ruang kebijakan yang tersedia semakin sempit. Di sisi lain, negara-

negara berkembang smasih memiliki ruang yang relatif lebih besar untuk melakukan manuver

kebijakan, baik moneter maupun fiskal untuk menopang perekonomian di tengah

ketidakpastian ekonomi global yang tinggi.

OUTLOOK PEREKONOMIAN GLOBAL

Outlook pertumbuhan ekonomi global di tahun 2019 diperkirakan melambat pada tingkat

terendah sejak krisis keuangan global, dan diperkirakan membaik di 2020 meskipun risiko

yang membayangi tinggi. International Monetary Fund (IMF) dalam World Economic Outlook

(WEO) Oktober 2019 memproyeksikan pertumbuhan ekonomi global akan naik di tahun 2020,

tetapi berbagai risiko membuka kemungkinan adanya penurunan proyeksi ke depan. Tensi

perang dagang AS dan Tiongkok diprediksi masih akan menjadi sumber utama risiko ekonomi

global. Sebagai dua kekuatan utama ekonomi dunia, perang dagang antara AS dan Tiongkok

juga berpotensi memberi dampak terhadap perekonomian negara lain, terutama yang menjadi

mitra dagang. Selain itu, keterbatasan ruang kebijakan juga membuat daya dorong pada

perekonomian menjadi terbatas. Berbagai negara telah mengambil kebijakan, baik fiskal

maupun moneter, ekspansif guna mengakselerasi perekonomian di sepanjang 2019. Namun,

kebijakan tersebut belum cukup mampu untuk menahan perlambatan ekonomi. Apabila tidak

diantisipasi, kedua faktor tersebut dapat menjadi permasalahan bagi banyak negara di tahun

2020.

84,798,4

132,2

60,9

0

50

100

150

2000

2002

2004

2006

2008

2010

2012

2014

2016

2018

AS UK Perancis

Italia Jerman

-3,8-1,4 -2,5 -2,1

1,7

-15

-10

-5

0

5

AS UK Perancis Italia Jerman2008 2009 2010 2011 2012 20132014 2015 2016 2017 2018

Page 19: TINJAUAN EKONOMI, KEUANGAN, & FISKAL

Edisi IV 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal 15

Grafik 6. (a) Proyeksi Pertumbuhan PDB dan Volume Perdagangan; (b) Proyeksi Harga Komoditas

(a) (b)

Sumber: World Economic Outlook IMF Oktober 2019

Secara lebih rinci, IMF memproyeksikan pertumbuhan negara maju pada tahun 2020-2024

akan stagnan di kisaran 1,5-1,7 persen, sedangkan negara berkembang berada di kisaran 4,6-

4,8 persen. Stagnasi di kelompok negara maju dipengaruhi oleh AS yang kemungkinan besar

akan mengalami perlambatan pertumbuhan ekonomi akibat menahan langkah kebijakan

ekspansi fiskal. Ketidakpastian ekonomi AS juga dibayangi oleh Pemilu yang akan berlangsung

di 2020. Isu Brexit juga berpotensi mempengaruhi pertumbuhan ekonomi di negara maju,

terlebih akibat ketidakpastian yang ditimbulkan pasca belum tercapainya kesepakatan Inggris

dengan Uni Eropa. Di sisi lain, negara berkembang diproyeksikan kembali tumbuh di 2020

dengan ASEAN-5 sebagai faktor pendorong utamanya. Hal tersebut juga didukung dengan

besarnya pangsa pasar yang dimiliki, meskipun di sisi lain masih diperlukan pengembangan

infrastruktur teknologi yang lebih gencar.

Setelah mengalami penurunan tajam di 2019, pertumbuhan volume perdagangan

diproyeksikan membaik pada tahun 2020 dan 2021. Membaiknya aktivitas perekonomian di

tahun 2020 diperkirakan akan meningkatkan kembali investasi, terutama di negara

berkembang, yang dapat mengakselerasi kinerja perdagangan. Namun, terdapat beberapa

potensi yang dapat membuat volume perdagangan justru di bawah dari angka proyeksinya.

Ketidakpastian akan struktur value chain production dapat menjadi isu, terutama sejak tensi

perang dagang meningkat. Di samping itu, isu teknologi juga berpotensi menghalangi

perdagangan antar negara. Kisruh yang terjadi antara AS dan Tiongkok serta Jepang dan Korea

Selatan telah menunjukkan bahwa teknologi berkontribusi pada tensi perdagangan di berbagai

negara. Kebijakan proteksionisme di beberapa negara juga patut diantisipasi sebagai faktor

yang dapat melemahkan kinerja perdagangan.

Tabel 1. Pertumbuhan PDB Menurut Pengeluaran (%, yoy)

Grup Negara 2017 2018 2019 2020 2021 2022 2023 2024

Dunia 3,8 3,6 3,0 3,4 3,6 3,6 3,6 3,6

Negara Maju 2,5 2,3 1,7 1,7 1,6 1,6 1,5 1,6

AS 2,4 2,9 2,4 2,1 1,7 1,6 1,6 1,6

0

1

2

3

4

5

6

2017 2018 2019 2020 2021 2022 2023 2024PDB Volume Perdagangan

90

110

130

150

170

2017 2018 2019 2020 2021 2022 2023 2024Harga Komoditas Minyak mentah

Batubara Makanan

Page 20: TINJAUAN EKONOMI, KEUANGAN, & FISKAL

16 Edisi IV 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal

Uni Eropa 2,5 1,9 1,2 1,4 1,4 1,4 1,3 1,3

Negara Berkembang 4,8 4,5 3,9 4,6 4,8 4,8 4,8 4,8

Asia 6,6 6,4 5,9 6,0 6,2 6,1 6,0 6,0

ASEAN-5 5,3 5,2 4,8 4,9 5,2 5,2 5,3 5,3

Timur Tengah dan Asia

Tengah 2,3 1,9 0,9 2,9 3,2 3,2 3,3 3,3

Sumber: World Economic Outlook IMF Oktober 2019

Harga komoditas secara keseluruhan diproyeksikan tidak banyak berubah di tahun 2020,

tetapi perubahannya terlihat apabila secara spesifik ditinjau dari masing-masing komoditas.

Harga minyak diperkirakan akan turun dalam beberapa tahun ke depan, ditengarai akibat

turunnya permintaan sebagai dampak perlambatan ekonomi global. Sementara itu, harga

batubara justru diprediksi akan mengalami kenaikan setelah penurunan yang cukup tajam

pada 2019. Hal ini disebabkan adanya pergeseran kepada penggunaan listrik sebagai pengganti

bahan bakar fosil untuk kendaraan di negara-negara maju yang harus didukung oleh

penggunaan batubara sebagai sumber tenaga pembangkit listrik. Untuk harga makanan dan

pertanian pada tahun 2020 diproyeksikan stabil, kecuali apabila terjadi gangguan cuaca yang

dapat menjadi risiko terhadap komoditas ini. Adapun komoditas logam di tahun 2020

diperkirakan akan mengalami penurunan harga akibat turunnya penurunan permintaan

industri global. Tarif yang diberlakukan oleh Pemerintah AS pada komoditas alumunium dan

baja juga menjadi faktor lain penyebab turunnya harga logam di 2020. Dengan melihat adanya

kenaikan maupun penurunan harga pada setiap komoditas, dapat disimpulkan bahwa secara

total harga komoditas relatif stabil di tahun 2020.

Page 21: TINJAUAN EKONOMI, KEUANGAN, & FISKAL

Edisi IV 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal 17

B. PERKEMBANGAN SEKTOR KEUANGAN DAN MONETER INDONESIA

Perkembangan Aliran Modal Asing

Grafik 7. Aliran Dana Asing di Pasar Modal selama 2019 (Kumulatif s.d. November, Triliun Rupiah)

Sumber: Bloomberg, CEIC, diolah.

Dinamika global sepanjang 2019 turut mempengaruhi perkembangan arus modal masuk,

yang tercermin dalam pergerakan nilai tukar dan IHSG. Pada triwulan I 2019, terjadi

peningkatan arus modal masuk atau net foreign buying (NFB) di instrumen-instrumen pasar

keuangan domestik yang mencapai Rp85,5 triliun, meningkat hampir dua kali lipat dari

triwulan akhir 2018. Peningkatan tersebut ditopang arus modal masuk baik di pasar SBN

maupun saham. Perkembangan ini tidak hanya mendorong peningkatan IHSG dan penurunan

imbal hasil SBN di periode tersebut, tetapi juga mendorong apresiasi nilai tukar di triwulan I

2019.

Pada triwulan II, nilai total arus modal masuk masih cukup tinggi, yaitu mencapai Rp79,6

triliun, yang terutama ditopang oleh NFB di pasar saham pada bulan April 2019. Di bulan Mei,

eskalasi perang dagang telah mendorong investor untuk memindahkan aset dan investasinya

ke instrumen safe haven. Kondisi tersebut mendorong terjadinya arus modal keluar atau net

foreign selling di pasar keuangan Indonesia. Kondisi ini turut menjadi penyebab depresiasi

rupiah di bulan Mei. Namun, seiring dengan meredanya isu perang dagang, pasar keuangan

kembali mencatat lonjakan arus modal masuk yang juga turut mendorong apresiasi Rupiah dan

peningkatan IHSG lebih lanjut.

Perkembangan tersebut masih berlanjut hingga bulan pertama triwulan III. Walau tidak

setinggi di bulan sebelumnya, pasar keuangan kembali mencatat NFB. Di bulan Agustus,

depresiasi Renminbi dan menghangatnya kembali isu perang dagang memicu peningkatan

ketidakpastian pasar global. Hal tersebut menarik arus modal keluar dari pasar keuangan

Indonesia, tercermin dengan depresiasi Rupiah dan penurunan IHSG. Namun demikian, kondisi

tersebut mampu berangsur memulih di akhir triwulan III 2019. Secara umum, selama triwulan

III 2019, terjadi NFB sebesar Rp23 triliun yang didorong oleh NFB di pasar SBN, sementara itu

pasar saham masih mencatat arus modal keluar.

Arus modal masuk masih terjadi di bulan-bulan selanjutnya, namun dengan nilai yang

fluktuatif. Setelah mencatat peningkatan NFB sebesar Rp25 triliun di bulan Oktober 2019, arus

modal masuk turun secara signifikan di bulan November dan tercatat hanya mencapai Rp2,4

87,8 27,1 47,7 53,3 137,5 97,2 107,3 170,3 57,1 174,6

22,8

25,715,9

-20,6

45,1

-22,7

16,3

-39,1 -49,9

41,2

-50

0

50

100

150

200

2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019*

SBN Saham Total

Page 22: TINJAUAN EKONOMI, KEUANGAN, & FISKAL

18 Edisi IV 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal

triliun. Penurunan ini didorong oleh peningkatan arus modal keluar di pasar saham dan

penurunan jumlah NFB di pasar SBN yang cukup tajam. Perkembangan ini juga seiring dengan

pergerakan nilai tukar dan IHSG yang kembali melemah di bulan November 2019.

Secara agregat, selama Januari hingga November 2019, terjadi NFB sebesar Rp216,2 triliun.

Jumlah tersebut diperoleh dari Rp174,6 triliun arus modal masuk di pasar SBN dan Rp41,8

triliun arus modal masuk di pasar saham. Total nilai NFB tersebut jauh lebih tinggi dibanding

tahun 2018 yang hanya mencatat Rp7,3 triliun. Nilai NFB tersebut juga merupakan yang

tertinggi, paling tidak dalam satu dasawarsa terakhir.

Perkembangan IHSG

Grafik 8. Perkembangan Pasar Modal Hingga November 2019 (persen, ytd)

Sumber: Bloomberg, diolah

IHSG hingga akhir November 2019 mencatatkan kinerja negatif dengan penurunan sebesar -

2,9 persen (ytd). Keluarnya aliran modal asing dari pasar saham menjadi salah satu penyebab

turunnya kinerja IHSG tersebut. Apabila pada Agustus 2019 investor asing masih mencatatkan

NFB sebesar Rp59,2 triliun di pasar saham, pada akhir November 2019 jumlah tersebut

berkurang menjadi Rp41,2 triliun. Sementara di pasar SBN, aliran dana asing yang masuk ke

Indonesia hingga akhir November 2019 adalah sebesar Rp174,6 triliun. Secara total, dana asing

yang masuk ke pasar modal Indonesia hingga periode akhir November 2019 adalah sebesar

Rp215,76 triliun dan didominasi oleh SBN. Hal tersebut mengingat imbal hasil SBN Indonesia

masih cukup menarik di mata investor asing. Per akhir November 2019, imbal hasil SBN tenor

10 tahun tercatat sebesar 7,11 persen.

Selain IHSG, kinerja negatif indeks saham juga dicatatkan oleh KLCI Malaysia. Salah satu

sentimen utama yang mempengaruhi pergerakan IHSG pada periode September hingga

November 2019 adalah kinerja emiten yang di bawah ekspektasi pasar. Secara umum, hingga

akhir November 2019 bursa saham global menguat cukup tajam. Penguatan paling besar

dialami oleh bursa saham S&P 500 di AS yang meningkat sebesar 25,3 persen (ytd) di level

3.140,98, dan sempat menyentuh titik tertinggi dalam sejarah. Sedangkan di kawasan Asia,

bursa saham Nikkei Jepang menjadi jawara dengan peningkatan sebesar 16,4 persen (ytd) ke

-7,6

-2,9

1,7

1,9

2,3

4,1

8,4

9,2

15,2

16,4

20,3

25,3

-10 -5 0 5 10 15 20 25 30

KLCI Malaysia

IHSG

SET Thailand

Hangseng Hongkong

Kospi Korea

STI Singapura

MSCI Asia (exc Jepang)

FTSE 100

Shanghai Tiongkok

Nikkei225 Jepang

DJIA

S&P 500

Page 23: TINJAUAN EKONOMI, KEUANGAN, & FISKAL

Edisi IV 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal 19

level 23.293,9. Beberapa sentimen yang mempengaruhi pergerakan bursa saham global selama

periode tersebut utamanya berasal dari perang dagang antara AS dan Tiongkok, kondisi

perekonomian di beberapa negara maju, kebijakan bank sentral di beberapa negara besar,

kinerja emiten blue chips, serta aksi demonstrasi di Hong Kong.

Tabel 2. Kinerja Sektoral IHSG (persen, ytd s.d. November)

Sektor Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Agt Sept Okt Nov Ytd

IHSG 5.46 -1.37 0.39 -0.21 -3.81 2.41 0.50 -0.97 -2.52 0.96 -3.48 -3.04

Keuangan 6.04 -1.33 3.21 2.76 -3.96 4.23 1.37 -4.54 -1.51 2.72 -0.39 7.69

Barang Konsumsi

3.56 -0.90 -1.39 -3.33 -2.67 -2.12 -1.64 1.86 -8.08 -3.75 -5.47 -28.04

Infrastruktur 9.97 2.91 -2.36 -0.42 -1.46 5.25 -0.70 2.03 -0.40 -3.78 -6.46 3.52

Perdagangan 1.77 3.42 -0.20 0.48 -3.50 0.80 1.55 -2.30 0.24 0.21 -5.32 -3.21

Industri Dasar 6.70 -3.27 -1.15 -6.30 -6.81 2.08 7.73 5.59 -3.62 7.63 1.32 8.02

Konstruksi dan Properti

4.06 -2.61 2.43 4.68 -5.67 6.25 2.28 0.12 -0.40 5.38 -7.62 7.56

Aneka Industri 3.67 -11.91 1.25 2.52 -2.24 0.09 -4.13 -4.14 -1.51 4.89 -5.34 -19.98

Pertambangan 8.25 -2.52 -1.33 -3.80 -7.30 4.01 -4.64 -1.47 -1.12 -3.06 -9.52 -27.08

Pertanian 6.23 -8.40 -3.86 -1.54 -2.94 0.58 -3.32 0.03 1.24 0.37 -1.25 -14.59

Manufaktur 4.40 -3.32 -0.93 -3.25 -3.68 -0.70 0.37 1.95 -5.84 0.94 -3.31 -14.91

Sumber: Bloomberg, diolah

Sektor Keuangan

Indeks sektor keuangan hingga November 2019 tercatat tumbuh positif sebesar 7,69 persen

(ytd), meski secara bulanan tumbuh negatif sebesar -0,39 persen (mom). Penguatan kinerja

indeks sektor keuangan selama 2019 tidak terlepas dari kebijakan suku bunga dalam negeri

yang cenderung dovish. BI memutuskan untuk mempertahankan suku bunga acuan 7DRR di

level 5 persen dan mempertahankan posisi Deposit Facility dan Lending Facility. Selain itu, BI

juga melakukan penurunan giro wajib minimum sebesar 50 bps untuk perbankan

konvensional dan syariah, yang diharapkan dapat mempercepat penurunan suku bunga

simpanan dan kredit.

Faktor eksternal juga ikut berpengaruh dalam pergerakan saham sektor ini. Beberapa di

antaranya adalah lembaga pemeringkat internasional Moody’s yang memberikan prospek

stabil pada bank-bank di Indonesia. Penurunan suku bunga dan kondisi politik yang stabil juga

turut menyumbang sentimen positif untuk sektor perbankan. Selain itu, dalam risalah

pertemuan FOMC pada November lalu, The Fed mengisyaratkan akan menahan suku bunga

setelah pertemuan terakhir. Kebijakan The Fed ini bertentangan dengan kebijakan suku bunga

rendah yang ingin dilihat oleh Presiden AS. Faktor eksternal lainnya antara lain adalah

dukungan AS terhadap pendemo Hong Kong yang membuat Tiongkok keberatan dan menuduh

AS campur tangan.

Page 24: TINJAUAN EKONOMI, KEUANGAN, & FISKAL

20 Edisi IV 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal

Kinerja saham sektor keuangan ke depannya diperkirakan akan menguat. Hal tersebut

menyusul keputusan BI untuk menurunkan loan to value (LTV) atau uang muka kredit properti

dan kendaraan bermotor. Uang muka untuk kredit properti atau KPR turun menjadi 5 persen

dan uang muka kendaraan bermotor turun menjadi 5-10 persen. Kebijakan ini mulai berlaku

pada 2 Desember 2019.

Sektor Barang Konsumsi

Indeks sektor konsumsi mencatatkan pertumbuhan negatif pada November sebesar -5,47

persen (mom) atau -28,04 persen (ytd). Pelemahan ini tercermin dari Indeks Keyakinan

Konsumen (IKK) yang melemah pada Oktober 2019 dan merupakan indeks terendah sejak

Februari 2017. Meski demikian, IKK tercatat kembali meningkat pada bulan November. IKK

pada November berada di 124,2, meningkat dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar

118,4. Selain itu, Inflasi (IHK) pada November 2019 tercatat lebih rendah, yakni sebesar 0,14

persen (mom) ditopang oleh inflasi kelompok inti yang melambat dan inflasi kelompok

administered prices yang stabil. Inflasi sampai dengan bulan November 2019 mencapai 2,37

persen (ytd), atau secara tahunan tercatat 3,00 persen (yoy), menurun dibandingkan dengan

inflasi Oktober 2019 sebesar 3,13 persen (yoy).

Sektor Infrastruktur

Saham sektor infrastruktur masih banyak dicari oleh para pelaku pasar di tengah kondisi

yang tidak menentu, menyebabkan penguatan di sektor ini sebesar 3,52 persen (ytd).

Pembangunan infrastruktur dipastikan tetap akan melaju beberapa tahun ke depan yang akan

menghubungkan kawasan produksi dengan kawasan distribusi, mempermudah akses ke

kawasan wisata, sehingga mampu mengakselerasi nilai tambah perekonomian rakyat.

Peningkatan prospek bisnis infrastruktur dan konstruksi ini diperkirakan akan mendorong

kinerja perusahaan. Kinerja emiten BUMN infrastruktur akan banyak mendapat penugasan

untuk membangun proyek-proyek besar pemerintah seperti saham Telkom yang mulai

mendapat sentimen positif dari peresmian proyek infrastruktur Palapa Ring. Pemerintah juga

telah melakukan beberapa upaya untuk meningkatkan pembiayaan infrastruktur salah

satunya adalah partisipasi pasar modal dengan menyetujui pencatatan Unit Penyertaan Dana

Investasi Infrastruktur (DINFRA) berbentuk Kontrak Investasi Kolektif (KIK) Toll Road Mandiri

001. KIK DINFRA ini disambut antusias pasar dengan dana yang berhasil dihimpun sebanyak

Rp1,1 triliun.

Sektor Konstruksi dan Properti

Indeks sektor konstruksi dan properti mencatatkan kinerja positif sebesar 7,56 persen (ytd).

Hal ini tercermin dari harga properti residensial di pasar primer pada triwulan III 2019

mengalami pertumbuhan tipis, dengan indeks harga properti residensial naik sebesar 0,50

persen (qoq) atau lebih tinggi dari triwulan sebelumnya yang sebesar 0,41 persen (qoq).

Kenaikan harga tersebut terutama disebabkan oleh kenaikan harga bahan bangunan dan

penambahan fasilitas umum pada perumahan yang sedang dibangun. Secara tahunan,

pertumbuhan indeks tersebut juga menunjukkan perbaikan, yaitu dari 1,71 persen (yoy) pada

triwulan II 2019, menjadi 1,80 persen (yoy) di triwulan III 2019, meski lebih rendah dibanding

Page 25: TINJAUAN EKONOMI, KEUANGAN, & FISKAL

Edisi IV 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal 21

triwulan III 2018 yang sebesar 3,18 persen (yoy). Kenaikan indeks sektor properti ini didorong

oleh sentimen penurunan suku bunga acuan. Penurunan suku bunga acuan ini menjadi pemicu

masyarakat untuk mengambil kredit pemilikan rumah (KPR) yang pada akhirnya mendorong

pertumbuhan permintaan properti.

Sektor Pertambangan

Hingga November, sektor ini mencatatkan kinerja negatif sebesar -27,08 persen (ytd).

Pelemahan sektor pertambangan ini didorong oleh fluktuasi harga komoditas di tingkat dunia

yang terpengaruh perang dagang dan kondisi geopolitik, salah satunya karena serangan yang

terjadi di ladang minyak milik perusahaan minyak Saudi Aramco di Arab Saudi. Dari sisi

domestik, penurunan kinerja saham ini dipengaruhi oleh ketidakpastian RUU Minerba. DPR

mengumumkan penundaan pengesahan revisi Undang-Undang Mineral dan Batubara (UU

Minerba).

Di sisi lain, Pemerintah mempercepat penghentian kebijakan relaksasi impor biji nikel dari

sebelumnya 31 Desember 2022 menjadi 31 Desember 2019. Percepatan ini dituangkan dalam

Peraturan Menteri ESDM Nomor 11 tahun 2019 tentang perubahan kedua Peraturan Menteri

ESDM Nomor 25 tahun 2018 tentang Pengusahaan Pertambangan Mineral dan Batubara.

Perubahan Peraturan Menteri ESDM tersebut memuat ketentuan tentang ekspor bijih nikel

kadar dibawah 1,7 persen, di mana rekomendasi ekspor yang diberikan kepada pemegang IUP

operasi produksi sebelum dan sesudah regulasi baru ini ditetapkan berlaku sampai 31 Desember

2019.

Sektor Pertanian/Perkebunan

Sektor ini mengalami pertumbuhan negatif pada November sebesar 14,59 persen (ytd) yang

dipengaruhi oleh gejolak harga komoditas di pasar global seperti harga CPO. Ke depannya,

faktor yang akan memengaruhi pergerakan harga CPO global adalah perayaan Diwali di India

pada Oktober. Selain dapat menjadi bahan bakar diya, konsumsi CPO di India diprediksi

memuncak karena menjadi kebutuhan utama untuk memasak masakan di negara tersebut.

Kinerja saham ini pada triwulan IV juga diprediksi akan berbalik menguat dengan adanya

peningkatan permintaan komoditas tersebut seiring masuknya musim dingin di sejumlah

negara.

Sektor Manufaktur

Indeks sektor manufatur tercatat tumbuh negatif sebesar 14,91 persen (ytd) hingga

November. Hal ini sejalan dengan PMI manufaktur Indonesia yang masih berkontraksi di bulan

November atau lima bulan berturut-turut. Data survei juga menunjukkan bahwa permintaan

domestik dan eksternal masih lemah. Permintaan ekspor baru juga kembali menurun pada

bulan September. Akibatnya, produksi terus dikurangi karena perusahaan menyesuaikan

operasional di tengah-tengah penurunan penjualan.

Perkembangan Pasar SBN dan Obligasi Korporasi

Arus modal masuk yang dicatat oleh Indonesia juga menyebabkan imbal hasil SBN tenor 10

tahun generik turun sebesar 83 bps selama triwulan I hingga III, dan kembali turun 18 bps

Page 26: TINJAUAN EKONOMI, KEUANGAN, & FISKAL

22 Edisi IV 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal

pada triwulan IV (per 29 November 2019). Setelah mencatatkan peningkatan pada triwulan III

2019, aliran modal asing terlihat kembali masuk ke pasar SBN Indonesia sepanjang Oktober-

November 2019, yaitu sebesar Rp38,41 triliun. Dengan perkembangan ini, kepemilikan investor

nonresiden atas SBN tercatat sebesar Rp1.067,80 triliun atau sebesar 38,55 persen dari total SBN

yang dapat diperdagangkan senilai Rp2.770,19 triliun per 29 November 2019.

Grafik 9. Perkembangan Yield Curve SBN 2019 (persen)

Sumber: Bloomberg, diolah

Dari sisi volume perdagangan sebesar Rp2.770,19 triliun, sebagian besar SBN diserap oleh

lembaga non-bank. Sebanyak Rp704,11 triliun atau 25,42 persen dari total volume SBN diserap

oleh bank dan sebanyak Rp1.920,18 triliun atau 69,32 persennya dibeli oleh non-bank seperti

reksadana, asuransi, non-residen, dana pensiun, individu, dan lain-lain. Kepemilikan investor

non-residen secara nominal meningkat sebesar Rp169,24 triliun per 29 November 2019

dibanding periode yang sama tahun lalu. Di sisi lain, Bank Indonesia yang pada akhir triwulan

III tercatat membeli SBN sebesar Rp244,34 triliun, menambah lagi kepemilikan SBN sebanyak

Rp16,60 triliun pada Oktober-November 2019 untuk tujuan operasi moneter. Hal ini dilakukan

dalam rangka stabilisasi nilai tukar rupiah. Sementara itu, rata-rata harian perdagangan SBN

di pasar sekunder selama 2019 (ytd, hingga akhir Oktober) mencapai Rp17,23 triliun dengan

frekuensi 914 kali, lebih tinggi dibanding rata-rata perdagangan harian tahun 2018 yang

sebesar Rp14,49 triliun dengan frekuensi 768 kali.

(250)

(150)

(50)

50

150

250

4

5

6

7

8

9

10

0,1 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30

tenor, tahunPerubahan yield ytd (bps, rhs) 28-Dec-18 30-Sep-19 29-Nov-19

Page 27: TINJAUAN EKONOMI, KEUANGAN, & FISKAL

Edisi IV 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal 23

Grafik 10. Kepemilikan SBN periode: (a) Desember 2018; (b) November 2019 (ytd)

(a) (b)

Sumber: DJPPR (diolah)

Di pasar primer, rata-rata penawaran (incoming bid) yang masuk selama lelang 2019 tercatat

sebesar Rp35,48 triliun. Jumlah ini lebih tinggi dibanding periode lelang tahun lalu di mana

rata-rata penawaran yang masuk selama lelang 2018 tercatat sebesar Rp27,87 triliun. Adapun

rata-rata awarded bids meningkat dari Rp12,15 triliun pada akhir 2018 menjadi Rp14,14 triliun

pada periode 2019 (per 26 November 2019), dengan bid to cover ratio menurun dari 2,87 ke 2,44.

Untuk rekor tertinggi penawaran tahun 2019 tercatat pada level Rp93,93 triliun, yaitu pada

lelang keempat bulan Februari 2019, sementara penawaran tertinggi pada 2018 berada di angka

Rp86,21 triliun, yaitu pada lelang 5 Januari 2018. Adapun untuk lelang selama bulan Oktober-

November 2019, jumlah penawaran tertinggi yang masuk selama bulan tersebut tercatat

sebesar Rp19,27 triliun pada FR0082. Sementara imbal hasil rata-rata tertimbang yang

dimenangkan berkisar antara 4,59 persen pada SPN 3 bulan dan 8,25 persen pada PBS015.

Sementara bid to cover ratio selama lelang bulan Oktober-November 2019 berada di kisaran 1,00

hingga 14,86.

Selain investor non-residen, porsi terbesar kepemilikan SBN berikutnya dimiliki oleh bank,

dana pensiun, dan perusahaan asuransi. Kepemilikan SBN oleh bank terlihat mengalami

kenaikan dari 23,91 persen pada akhir triwulan III menjadi 25,42 persen pada akhir November

2019. Sementara itu, kepemilikan Bank Indonesia naik dari 9,17 persen ke 9,42 persen dalam

periode yang sama. Hal ini tidak terlepas dari operasi moneter Bank Indonesia untuk

mempertahankan nilai tukar Rupiah melalui pengendalian persediaan Rupiah di pasar.

Untuk obligasi korporasi sendiri, aktivitas penghimpunan dana dari masyarakat melalui

penerbitan surat utang korporasi mengalami pertumbuhan selama 2019 ini. Per akhir

November 2019, nilai total obligasi korporasi yang beredar mencapai Rp424,39 triliun, naik

sebesar 5,10 persen (yoy) dari Rp403,81 triliun pada akhir November 2018 dan naik sebesar 2,28

persen dibanding akhir triwulan III sebesar Rp414,92 triliun. Dengan kata lain, terdapat

tambahan surat utang baru senilai Rp9,47 triliun selama Oktober-November 2019. Secara

sektoral, lima besar penerbit obligasi korporasi ini masih ditempati oleh lembaga keuangan

Bank20%

BI11%

Reksadana5%

Asuransi8%

Asing38%

Dana Pensiun9% Perorangan

3%

Lainnya6%

Bank 25%

BI 5%

Reksadana 5%

Asuransi 8%

Asing 39%

Dana Pensiun 9%

Perorangan 3% Lainnya

6%

Page 28: TINJAUAN EKONOMI, KEUANGAN, & FISKAL

24 Edisi IV 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal

non-bank (23,47 persen), bank (22,42 persen), energi (5,36 persen), telekomunikasi (5,18 persen),

dan konstruksi bangunan (3,67 persen).

Grafik 11. Jumlah Obligasi Korporasi yang Beredar s.d. Akhir November 2019 (triliun rupiah)

Sumber: KSEI (diolah)

Perkembangan Nilai Tukar

Pergerakan nilai tukar rupiah di tahun 2019 relatif stabil bila dibanding tahun 2018. Hal ini

terlihat dari pergerakan rupiah per dolar AS di tahun 2019 pada kisaran yang lebih sempit

dibanding 2018. Namun demikian, hal tersebut tidak berarti bahwa pergerakan nilai tukar

Rupiah lepas dari berbagai dinamika global maupun domestik yang terjadi. Tekanan-tekanan

terhadap stabilitas nilai tukar Rupiah tetap terjadi terutama pada awal tahun 2019 dan akhir

semester I 2019. Pada triwulan II 2019, fluktuasi dan tekanan depresiasi terhadap nilai tukar

Rupiah tercatat cukup tinggi.

Di awal tahun 2019, Rupiah dibuka pada level Rp14.465 per dolar AS. Cukup tingginya nilai

tersebut dipengaruhi oleh tekanan di tahun sebelumnya, seiring kebijakan bank sentral AS

untuk menaikan suku bunga acuan di bulan September dan November 2018. Namun pada

bulan-bulan selanjutnya, meredanya isu kenaikan suku bunga AS dan membaiknya persepsi

investor atas kinerja ekonomi domestik menyebabkan arus modal ke pasar keuangan domestik

kembali meningkat. Kondisi tersebut turut mendorong apresiasi Rupiah di periode selanjutnya.

Pada pertengahan triwulan II 2019, nilai rupiah cenderung mengalami depresiasi dibanding

periode sebelumnya. Tren tersebut dipengaruhi meningkatnya gejolak pasar dunia akibat

meningkatnya tensi perang dagang antara AS dan Tiongkok. Tingginya ketidakpastian

terhadap dampak perang dagang mendorong investor untuk memindahkan dananya pada aset-

aset safe haven, khusunya di negara-negara maju. Di Indonesia, kondisi tersebut di antaranya

tercermin pada arus modal keluar yang terjadi di pasar keuangan dan penurunan indeks saham

gabungan, terutama di bulan Maret 2019. Pada bulan tersebut, nilai tukar Rupiah sempat

mencapai nilai terendah di bulan Mei 2019 yakni pada tingkat Rp14.513 per dolar AS. Isu perang

dagang kembali mereda setelah terjadi kesepakatan dalam pertemuan G-20 untuk penyelesaian

beberapa isu tarif yang terjadi di antara AS dan Tiongkok. Meredanya tensi perang dagang

LembagaKeuanganNonbank

Bank Energi Telekomunikasi

Konstruksibangunan

Properti danReal Estate Kertas

Nov 19 157,37 150,32 35,92 34,92 24,61 19,06 18,28Sep 19 156,51 146,01 32,37 36,07 21,86 19,44 17,86Nov 18 147,13 145,48 25,53 33,24 20,60 17,19 15,76

04080

120160

Rp tr

iliun

Page 29: TINJAUAN EKONOMI, KEUANGAN, & FISKAL

Edisi IV 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal 25

turut mengurangi tekanan nilai tukar Rupiah dan mendorong tren apresiasi pada nilai tukar

Rupiah.

Grafik 12. Nilai Tukar (dalam Rupiah) dan Volatilitas Rupiah (dalam indeks)

Sumber: Bloomberg, diolah

Pada triwulan III 2019, setelah melanjutkan tren penguatan di bulan Juli, Rupiah kembali

tertekan di bulan Agustus 2019. Tuduhan AS atas kebijakan Tiongkok untuk membiarkan

depresiasi mata uang Renminbi kembali meningkatkan tensi perang dagang. Depresiasi Yuan

telah mengapresiasi dolar AS dan menyebabkan berkurangnya daya saing produk AS di pasar

global. Implikasi penguatan dolar AS tersebut adalah pelemahan Rupiah terhadap dolar AS.

Pada bulan Agustus, Rupiah bergerak relatif stabil pada kisaran Rp14.200-an. Tensi kembali

mereda di bulan berikutnya, seiring beberapa kesepakatan antara Tiongkok dan AS yang

terjadi. Rupiah kembali menguat dan bergerak pada kisaran Rp14.100-an.

Setelah pasang surut pergerakan nilai tukar Rupiah akibat dinamika perang dagang AS dan

Tiongkok, nilai tukar Rupiah mulai menunjukkan apresiasi di bulan Oktober. Penurunan

indeks ketidakpastian ekonomi global serta kesepakatan dagang antara AS dan Tiongkok

memberikan dampak positif terhadap pasar keuangan. Selain itu, penurunan suku bunga AS

sebesar 25 bps akibat penurunan prospek pertumbuhan ekonomi AS juga berdampak positif

pada berpindahnya sentimen investor dan pasar menuju pasar negara berkembang, khususnya

yang memiliki prospek cukup baik. Dalam hal ini, pasar Indonesia dipandang memiliki prospek

ke depan yang baik, seiring kepastian hasil pemilu dan arah kebijakan pemerintah ke depan.

Namun demikian di bulan November nilai tukar kembali mengalami pelemahan. Pelemahan

ini sejalan dengan tren pasar global yang cenderung bias ke pasar negara-negara maju.

Penurunan tensi perang dagang, perbaikan indikator ekonomi di negara maju, gejolak politik

dan ekonomi di banyak negara berkembang mendorong preferensi investor global untuk

menaruh dananya ke negara maju. Kondisi tersebut antara lain tercermin pada peningkatan

0

20

40

60

80

100

120

140

13600

13700

13800

13900

14000

14100

14200

14300

14400

14500

14600

Jan-

'19

Feb-

'19

Mar

-19

Apr

-'19

Mei

-'19

Jun-

'19

Jul-

'19

Ags

-'19

Sep

-'19

Okt

-'19

Nov

-'19

Des

-'19

Volatilitas (RHS) Kurs Tengah

10 MEI 2019Kenaikan tarif yang

sebelumnya dari10% menjadi 25%

29 JUNI 2019Pertemuan G20: AS setuju untuk tidak mengenakan

tariff 25% terhadap sisa impor Tiongkok sebesarUSD300 miliar.

17 JULIAS mengancamTiongkok untuk

mengenakan tariff terhadap USD325

miliar atasimpor

Tiongkokyang

tersisa.

2 AGUSTUSPengumuman pengenaan tarif 10% untuk imporTiongkok senilai USD300 miliar mulai 1 Sep 2019

5 AGUSTUSTiongkokmembiarkan Yuan melemah hinggadi bawahRMB7/1US$

11 SeptemberTiongkok

menghapus bea masuk untuk 734 produk impor AS

11 OktoberAS mengumumkan kesepakatan "Tahap 1", menunda kenaikan tarif untuk barang-barang Tiongkok

18 OktoberProses pengecualian tarif AS untuk impor Tiongkok senilai

USD300 miliar mulai 31 Oktober 2019 hingga 31 Januari 2020

13 DesemberAS-Tiongkok setuju untuk ‘kesepakatan

tahap 1’

Page 30: TINJAUAN EKONOMI, KEUANGAN, & FISKAL

26 Edisi IV 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal

indeks saham negara maju (MSCI Advanced Economy) dan penurunan indeks saham negara

berkembang (MSCI Emerging Market). Tren tersebut juga menyebabkan penurunan indeks mata

uang negara berkembang, termasuk Rupiah, dan mendorong peningkatan indeks dolar AS.

Nilai tukar Rupiah pada akhir November 2019 ditutup pada tingkat Rp14.102 per dolar AS.

Angka tersebut melemah -0,7 persen (mom) dibanding nilai tukar Oktober 2019 yang sebesar

Rp14.008 per dolar AS. Sementara itu, hingga 13 Desember, Rupiah per dolar AS tercatat sebesar

Rp13.982, terapreasiasi sebesar 0,85 persen (mom) atau terapresiasi 3,45 persen (ytd).

Grafik 13. Perkembangan Nilai Tukar s.d. 13 Desember 2019: (a) year to date (b) month to date

(a) (b)

Sumber: Bloomberg

Perkembangan Likuiditas Moneter

Perkembangan kondisi likuiditas moneter di Indonesia tidak terlepas dari situasi global. Di

tahun 2018, tekanan pada nilai tukar dan dampak kenaikan suku bunga AS telah mendorong

BI untuk mengambil posisi kebijakan moneter yang lebih ketat. Suku bunga acuan 7DDR yang

di awal tahun 2018 berada pada tingkat 4,25 persen telah dinaikan hingga 5,25 persen di awal

semester II 2018, dan ke tingkat 6,00 persen di penghujung 2018. Perkembangan tersebut telah

mendorong adanya pengetatan likuiditas dan perlambatan laju pertumbuhan uang beredar.

Kondisi tersebut masih berlanjut hingga memasuki tahun 2019.

-5,00

-2,62

-1,54

-1,30

-0,53

-0,12

0,02

0,08

0,77

3,45

3,70

4,82

7,17

-10 -5 0 5 10

S. Korea

Euro

China

India

South Afika

Malaysia

Vietnam

Japan

Singapore

Indonesia

Philipppines

UK

Thailand

0,83

1,40

0,68

1,47

1,69

0,94

0,11

-0,10

1,12

0,85

0,34

3,54

0,04

-1,00 0,00 1,00 2,00 3,00 4,00

Thailand

Indonesia

Singapura

Jepang

Vietnam

Malaysia

Afrika Selatan

India

Tiongkok

Uni Eropa

Korea Selatan

Inggris

Indonesia

Singapura

Jepang

Vietnam

Malaysia

Afrika Selatan

India

Tiongkok

Uni Eropa

Korea Selatan

Filipina

Singapura

Jepang

Vietnam

Malaysia

Afrika Selatan

India

Tiongkok

Uni Eropa

Korea Selatan

Indonesia

Jepang

Vietnam

Malaysia

Afrika Selatan

India

Tiongkok

Uni Eropa

Korea Selatan

Singapura

Vietnam

Malaysia

Afrika Selatan

India

Tiongkok

Uni Eropa

Korea Selatan

Jepang

Malaysia

Afrika

Selatan

India

Tiongkok

Uni Eropa

Korea

Selatan

Vietnam

India

Tiongkok

Uni Eropa

Korea Selatan

Malaysia

Tiongkok

Uni Eropa

Korea Selatan

Afrika Selatan

Tiongkok

Uni Eropa

Korea Selatan

India

Uni Eropa

Korea Selatan

Tiongkok

Zona Euro

Korea Selatan

Page 31: TINJAUAN EKONOMI, KEUANGAN, & FISKAL

Edisi IV 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal 27

Grafik 14. Pertumbuhan Uang Beredar (persen, yoy) dan Suku Bunga Acuan (persen)

Sumber: Bank Indonesia

Memasuki tahun 2019, laju uang beredar tumbuh lebih rendah dibanding tahun 2018. M1 dan

M2 masing-masing tumbuh 5,5 persen (yoy) dan 3,7 persen (yoy), jauh di bawah awal tahun

2018 yang tumbuh sebesar 8,4 persen (yoy) dan 11,4 persen (yoy). Penurunan pertumbuhan

yang terjadi merupakan dampak dari kenaikan suku bunga acuan yang telah ditempuh untuk

stabilitasi nilai tukar sejak pertengahan 2018. Pertumbuhan tersebut sedikit meningkat hingga

memasuki triwulan II 2019. Periode musiman, yakni bulan Ramadan dan Idulfitri, menjadi

pendorong peningkatan laju pertumbuhan uang beredar tersebut. Namun demikian,

peningkatan uang beredar yang terjadi dirasakan belum cukup mengimbangi kebutuhan

perekonomian sehingga situasi ketatnya likuiditas tetap terasa.

Ketatnya likuiditas tercermin pada rasio M2 terhadap PDB nominal. Penurunan rasio terjadi

sejak tahun 2017 hingga memasuki tahun 2019. Tren yang terjadi mencerminkan bahwa

jumlah uang beredar yang ada di perekonomian relatif semakin kecil dibandingkan

perkembangan aktivitas ekonomi (PDB) yang ditopangnya. Likuiditas tersebut sedikit

melonggar di triwulan II seiring dengan periode Ramadan dan Idulfitri. Perkembangan

likuiditas yang terjadi juga tercermin pada pergerakan suku bunga Pasar Uang Antar Bank dan

JIBOR. Peningkatan suku bunga di pasar keuangan yang terjadi, seiring peningkatan suku

bunga acuan 7DRR, mengindikasikan ketatnya likuiditas yang dihadapi perbankan.

BI mulai memutuskan untuk menyesuaikan posisi kebijakan moneter ke arah yang lebih

longgar. Hal tersebut melihat ketatnya likuiditas di perekonomian dan masih perlunya

dorongan bagi pertumbuhan ekonomi ke depan, serta didasari pertimbangan kondisi nilai tukar

yang relatif stabil dan inflasi yang terjaga. Sejak Juli, suku bunga acuan mulai diturunkan

secara bertahap, dari 6,00 persen pada bulan Juni 2019 hingga mencapai 5,00 persen di bulan

Oktober 2019. Seiring dengan pelonggaran tersebut, suku bunga di pasar uang bank juga mulai

menurun, mengisyaratkan likuiditas yang lebih baik. Demikian pula dengan laju pertumbuhan

uang beredar yang juga dalam tren meningkat, walaupun masih bersifat fluktuatif. Per bulan

Oktober 2019, pertumbuhan M1 dan M2 tercatat sebesar 6,3 persen dan 6,6 persen, lebih tinggi

dibanding awal tahun 2019. Demikian pula rasio M2 terhadap PDB di akhir triwulan III yang

relatif lebih tinggi dibanding kedua triwulan sebelumnya. Namun demikian, perlu dicatat

0%

1%

2%

3%

4%

5%

6%

7%

0%

5%

10%

15%

20%

2017

-J F M A M J J A S O N D20

18-J F M A M J J A S O N D

2019

-J F M A M J J A S O N

M2 M1 7DRR

Page 32: TINJAUAN EKONOMI, KEUANGAN, & FISKAL

28 Edisi IV 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal

bahwa walau terjadi perbaikan, tingkat likuiditas saat ini dipandang masih relatif ketat,

khususnya bila dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.

Grafik 15. (a) Uang Beredar (M2)/PDB (ADHB); (b) Pergerakan Suku Bunga Pasar Uang

(a) (b)

Sumber: Bank Indonesia

Cat: PDB Q1,Q2,Q3 2019, dihitung berdasarkan kumulatif PDB empat triwulan terakhir

Sda;’dasd

Cat: PDB Q1,Q2,Q3 2019, dihitung berdasarkan kumulatif PDB 4 kuartal terakhir

Selain isu likuiditas, permasalahan lain yang dihadapi perekonomian adalah laju

pertumbuhan kredit yang terus melambat di 2019. Sebagaimana diketahui, pertumbuhan

kredit sangat berkorelasi dengan kegiatan investasi dan pembiayaan aktivitas di sektor riil.

Pertumbuhan kredit di awal tahun 2019 mencapai 11,9 persen, terus melambat di sepanjang

tahun hingga mencapai 6,6 persen di bulan Oktober 2019. Perlambatan tersebut terutama

didorong oleh kelompok kredit modal kerja, yang pada periode tersebut turun dari 12,9 persen

menjadi 4,1 persen. Kredit konsumsi juga melambat dari 9,9 persen di awal 2019 hingga menjadi

6,6 persen di Oktober 2019. Di sisi lain, kinerja kredit investasi relatif cukup baik, terutama

didukung kegiatan kredit konstruksi sejalan dengan pembangunan infrsatruktur terjadi.

Namun demikian, kredit investasi yang sempat menunjukkan tren peningkatan, mulai berbalik

dan menurun sejak awal triwulan II 2019. Laju pertumbuhan kredit investasi yang di awal

tahun 2019 mencapai 12,6 persen, telah melambat hingga mencapai 11,4 persen di Oktober 2019.

Grafik 16. LDR, Pertumbuhan Kredit dan DPK

Sumber: Bank Indonesia

Beberapa permasalahan disinyalir menjadi hambatan bagi perkembangan kredit perbankan

tersebut. Rendahnya pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) sebagai sumber pembiayaan

39,5%

39,5%

40,4%39,9%

38,8% 38,0%38,4%

38,5%

0

0,2

0,4

0,6

0,8

1

38%

39%

40%

41%

2014

2015

2016

2017

2018

2019

-Q

1*

2019

-Q

2*

2019

-Q

3*

3,0%

5,0%

7,0%

9,0%

2018

-J M M J S N

2019

-J M M J S N

PUAB - Keseluruhan JIBOR - 1 BulanREPO 7 D

7,5%

6,6%

94,3%

84%

86%

88%

90%

92%

94%

96%

98%

0,0%

2,0%

4,0%

6,0%

8,0%

10,0%

12,0%

14,0%

N D

2018

-J F M A M J J A S O N D

2019

-J F M A M J J A S O

DPK Kredit LDR (rhs)

Page 33: TINJAUAN EKONOMI, KEUANGAN, & FISKAL

Edisi IV 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal 29

kredit, telah menyebabkan tingkat Loan to Deposit Ratio (LDR) mencapai tingkat yang cukup

tinggi (±94 persen) sehingga menghambat akselerasi kredit perbankan lebih jauh. Argumen lain

menyatakan bahwa pada saat ini permintaan untuk kredit oleh sektor riil juga melambat

seiring tingginya ketidakpastian global yang berdampak pada ekspansi pertumbuhan ekonomi

domestik. Di sisi lain, terdapat indikasi peningkatan utang luar negeri swasta, di mana dalam

hal ini dapat diduga mulai beralihnya sumber pinjaman dari perbankan dalam negeri ke

sumber luar negeri akibat biaya bunga yang relatif lebih murah. Hal ini perlu terus menjadi

perhatian semua pihak, di mana hal tersebut tidak saja mengganggu kinerja ekonomi domestik

tetapi juga menimbulkan risiko utang luar negeri dan tekanan nilai tukar Rupiah.

Page 34: TINJAUAN EKONOMI, KEUANGAN, & FISKAL

30 Edisi IV 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal

C. KINERJA PERBANKAN DOMESTIK

Kinerja industri perbankan Indonesia terjaga dengan dukungan kinerja intermediasi yang

tetap positif di tengah dinamika ekonomi global dan domestik sepanjang triwulan III 2019.

Tekanan terhadap kondisi likuditas perbankan mereda, meski terdapat perlambatan

pertumbuhan penyaluran kredit dan masih rendahnya DPK yang dihimpun perbankan. Seiring

dengan melambatnya kinerja intermediasi, indikator efisiensi dan profitabilitas perbankan

juga menunjukkan penurunan dan di saat bersamaan risiko kredit juga mengalami

peningkatan dibanding posisi akhir triwulan II 2019.

Perkembangan Intermediasi Perbankan

Grafik 17. Pertumbuhan DPK dan Kredit (persen, yoy)

Sumber: Statistik Perbankan Indonesia, diolah

Laju pertumbuhan kredit terus melambat sepanjang 2019. Pertumbuhan kredit di awal tahun

2019 mencapai 11,9 persen, terus melambat di sepanjang tahun hingga mencapai 6,6 persen di

bulan Oktober. Melemahnya permintaan kredit korporasi menjadi faktor utama yang

menyebabkan perlambatan kredit. Dampak perang dagang dan perlambatan pertumbuhan

global telah menekan permintaan, domestik maupun ekspor, sekaligus membuat dunia usaha

menahan diri untuk berekspansi sehingga berdampak pada turunnya permintaan kredit. Di

saat bersamaan, perbankan juga cenderung lebih selektif dan lebih banyak melakukan

intensifikasi kredit mengingat tingginya ketidakpastian kondisi sektor keuangan dan

perekonomian.

Perbankan juga secara umum meningkatkan kehati-hatian dalam penyaluran kredit

mengingat dalam beberapa bulan terakhir cenderung terjadi kenaikan risiko kredit. Hal ini

dikonfirmasi oleh hasil in-depth interview dengan manajemen enam bank BUMN, bank swasta,

dan bank asing oleh Badan Kebijakan Fiskal pada akhir November 2019. Secara umum, pihak

bank menyatakan bahwa perlambatan ekonomi sangat mempengaruhi keputusan ekspansi

dan investasi oleh korporasi. Di satu sisi, sedikit sekali korporasi besar dan baru yang

mengajukan permohonan kredit, sementara, di sisi lain korporasi existing yang telah

berkomitmen melakukan kredit cenderung menahan pencairan kreditnya, yang diindikasikan

oleh meningkatnya undisbursed loan. Kondisi ini sejalan dengan hasil Survei Perbankan

triwulan III 2019 yang dilakukan oleh BI di mana secara umum terlihat adanya pertumbuhan

7,47

7,89

93,76

84

86

88

90

92

94

96

98

56789

1011121314

Jan

Feb

Mar

Apr

Mei

Jun

Jul

Aug Sep

Oct

Nov

Dec Jan

Feb

Mar

Apr

May Jun

Jul

Aug Sep

Oct

Nov

Dec Jan

feb

Mar

Apr

Mei

Jun

Jul

Aug Sep

2017 2018 2019

%

Kredit

DPK

LDR (RHS)

Page 35: TINJAUAN EKONOMI, KEUANGAN, & FISKAL

Edisi IV 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal 31

kredit baru yang melambat pada triwulan III 2019 dengan saldo bersih tertimbang permintaan

kredit baru yang turun ke 68,3 persen dari 78,3 persen pada triwulan II 2019, terutama

disebabkan oleh perlambatan kredit konsumsi dan kredit investasi.

Grafik 18. Pertumbuhan Kredit berdasarkan Jenisnya Penggunaannya (persen, yoy)

Sumber: Statistik Perbankan Indonesia, diolah

Berdasarkan jenis penggunaanya, Kredit Modal Kerja (KMK), Kredit Konsumsi (KK) dan

Kredit Investasi (KI) masih menunjukkan pertumbuhan yang positif meskipun terlihat

adanya tren penurunan pada ketiga jenis kredit tersebut dalam beberapa bulan terakhir.

Dengan porsi sekitar 46 persen dari total kredit perbankan, penyaluran KMK oleh perbankan

hingga akhir triwulan III 2019 tercatat sebesar Rp2.568 triliun atau tumbuh sebesar 5,94 persen

(yoy) sekaligus merupakan laju pertumbuhan terlemah sejak September 2016. Tren

perlambatan pertumbuhan KMK secara tahunan terjadi sejak November dan mulai tumbuh

single digit pada bulan Juni 2019. Senada, dengan porsi sekitar 26 persen dari total kredit yang

disalurkan perbankan, pertumbuhan KK juga dalam tren melambat dan hanya tercatat tumbuh

6,82 persen (yoy) dengan nominal sebesar Rp1.527 triliun pada akhir triwulan III 2019. Terakhir,

dengan porsi sekitar 28 persen, penyaluran KI mencapai Rp1.430 triliun pada akhir triwulan III

2019 dengan pertumbuhan mencapai 12,84 persen.

Dari empat sektor utama penyaluran KMK, sektor industri pengolahan dan perdagangan

mengalami perlambatan tajam dibandingkan triwulan sebelumnya. Sektor tersebut memiliki

pangsa sekitar sekitar 75 persen dari total KMK yang disalurkan oleh perbankan sehingga

menyebabkan tekanan terhadap keseluruhan KMK. Melambatnya KMK sektor industri

pengolahan terutama dipengaruhi oleh subsektor pengilangan minyak bumi dan pengolahan

gas bumi, sementara perlambatan KMK sektor perdagangan dipengaruhi oleh subsektor

perdagangan eceran makanan, minuman, dan tembakau. Sementara itu, sektor jasa keuangan

sedikit melambat dan sektor pertanian justru mencatatkan pertumbuhan kredit yang lebih

tinggi. Kuatnya pertumbuhan KMK sektor pertanian terutama didukung oleh penyaluran

Kredit Usaha Rakyat yang hingga akhir September telah mencapai Rp115,9 triliun atau 82,79

persen dari target Rp140 triliun.

7,89

5,94

12,84

6,82

0

5

10

15

20

Jan

Feb

Mar

Apr

Mei

Jun

Jul

Aug Se

p

Oct

Nov

Dec Jan

Feb

Mar

Apr

May Jun

Jul

Aug Se

p

Oct

Nov

Dec Jan

feb

Mar

Apr

Mei

Jun

Jul

Aug Se

p

2017 2018 2019

Kredit KMK KI KK

Page 36: TINJAUAN EKONOMI, KEUANGAN, & FISKAL

32 Edisi IV 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal

Grafik 19. Pertumbuhan Kredit Modal Kerja (persen yoy)

Sumber: Statistik Perbankan Indonesia, diolah

Untuk jenis KI, penyaluran masih terkonsentrasi pada empat sektor utama yaitu sektor

pertanian, industri pengolahan, listrik dan gas, dan sektor perdagangan dengan total sebesar

55 persen dari total KI yang disalurkan oleh perbankan. Sektor dengan penyaluran KI terbesar

yaitu pertanian meskipun sedikit mengalami perlambatan namun masih bertahan tumbuh di

atas 8 persen. Sektor dengan penyaluran KI terbesar kedua yaitu industri pengolahan berbalik

mencatatkan pertumbuhan positif 1,25 persen (yoy) pada triwulan III 2019 setelah pada empat

triwulan sebelumnya selalu mengalami kontraksi. Berbalik positifnya KI sektor industri

pengolahan menjadi sinyal awal berakhirnya tren pelemahan sektor ini dan kembali pulihnya

aktivitas manuaktur pada triwulan IV 2019 dan 2020 mendatang. Selanjutnya, KI untuk sektor

pengadaan listrik dan gas masih mencatatkan pertumbuhan di atas 26 persen meskipun

melambat dibandingkan posisi akhir triwulan II 2019. Masih kuatnya pertumbuhan di sektor

ini terutama didukung oleh pendanaan proyek pembangkit listrik 35 ribu MW yang

dilaksanakan oleh PT PLN (Persero).

Grafik 20. Pertumbuhan Kredit Investasi (persen, yoy)

Sumber: Statistik Perbankan Indonesia, diolah

13,7

6

7,22

11,4

4

5,74

15,9

0

14,9

1

12,2

7

10,8

2

10,0

4

15,7

1

8,35 9,

08

8,03

11,9

8

7,81

6,95

12,0

4

7,09 7,50

4,55

P E R T A N I A N I N D U S T R I P E N G O L A H A N

J A S A K E U A N G A N P E R D A G A N G A N

Q4 2017 Q4 2018 Q1 2019 Q2 2019 Q3 201910

,06

(0,5

0)

8,41

1,75

9,20

-4,4

3

15,3

8

6,38

10,7

1

-4,0

2

23,4

5

12,9

7

8,82

-5,3

1

37,9

2

10,0

5

8,41

1,25

26,3

0

3,33

P E R T A N I A N I N D U S T R I P E N G O L A H A N

P E N G A D A A N L I S T R I K D A N G A S

P E R D A G A N G A N

Q4 2017 Q4 2018 Q1 2019 Q2 2019 Q3 2019

Page 37: TINJAUAN EKONOMI, KEUANGAN, & FISKAL

Edisi IV 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal 33

Pada KK, tren perlambatan penyaluran berlanjut terutama disebabkan oleh berlanjutnya

penurunan pertumbuhan Kredit Kendaraan Bermotor (KKB), Kredit Multiguna, dan KPR.

Hingga akhir triwulan III 2019, KKB hanya tumbuh 0,9 persen, jauh lebih rendah dibanding

periode yang sama tahun 2018 sebesar 14,5 persen maupun triwulan II 2019 sebesar 5,2 persen

(yoy). Senada, kredit multiguna tumbuh 8,7 persen (yoy) pada triwulan III 2019, lebih rendah

dibandingkan 13,7 persen (yoy) pada triwulan III 2018. Terakhir, KPR mesih tumbuh double digit

di level 10,3 persen (yoy) hingga triwulan 2019, namun lebih rendah dibandingkan 14,0 persen

(yoy) pada triwulan III 2018 maupun 12,3 persen (yoy) pada triwulan II 2019. Melambatnya

penyaluran KK dikonfirmasi oleh data penjualan mobil wholesales yang dirilis oleh Gaikindo

untuk periode Januari hingga September 2019 yang mengalami penurunan hingga -10,6 persen

(yoy), meskipun di sisi lain penjualan sepeda motor masih mampu naik 4,2 persen pada periode

yang sama. Perlambatan KPR juga tercermin dari lemahnya pertumbuhan Indeks Harga

Properti Residensial. Namun demikian, sinyal positif muncul dari pasar properti di mana BI

mencatat penjualan properti residensial pada triwulan III 2019 tumbuh 16,2 persen (qoq) dari -

15,9 persen (qoq) pada triwulan sebelumnya terutama didukung oleh pertumbuhan penjualan

rumah tipe kecil dan besar.

Perbankan terus berupaya mendorong laju penyaluran kredit, di antaranya terlihat dari tren

penurunan rata-rata suku bunga kredit dan GWM. Suku bunga kredit untuk modal kerja,

investasi, maupun konsumsi tercatat menurun masing-masing sebesar 4, 27, dan 20 bps (ytd).

Meskipun belum setinggi penurunan suku bunga acuan BI periode Juli-September 2019 yang

terpangkas sebesar 75 bps, turunnya suku bunga kredit mengindikasikan bahwa perbankan

juga berusaha untuk memicu permintaan kredit dengan menawarkan suku bunga yang lebih

menarik. Langkah tersebut mengimbangi upaya BI yang mendorong sisi penawaran melalui

penurunan Giro Wajib Minimum (GWM). BI tercatat tercatat dua kali menurunkan GWM

Rupiah untuk Bank Umum Konvensional dan Bank Umum Syariah/Unit Usaha Syariah dengan

total sebesar 100 bps yang berlaku sejak 1 Juli 2019 dan nanti pada 2 Januari 2020 sehingga

masing-masing menjadi 5,5 persen dan 4,0 persen dengan GWM rerata masing-masing tetap

sebesar 3,0 persen. Harapannya, kebijakan tersebut akan mendorong ketersediaan likuiditas di

perbankan sehingga menambah ruang yang dimiliki oleh perbankan untuk menyalurkan

kredit.

Untuk tahun 2020, pertumbuhan penyaluran kredit perbankan diperkirakan lebih tinggi

dibandingkan tahun ini. Selain didukung oleh pulihnya aktivitas perekonomian sehingga

mengerek permintaan kredit terutama dari korporasi, optimisme tersebut juga didukung oleh

pelonggaran moneter dan makroprudensial yang dilakukan oleh BI. Untuk mendorong

penguatan fungsi intermediasi perbankan, BI melakukan penyempurnaan pengaturan Rasio

Intermediasi Makroprudensial (RIM)/RIM Syariah dengan menambahkan komponen

pinjaman/pembiayaan yang diterima bank sebagai komponen sumber pendanaan bank dalam

perhitungan RIM/RIM Syariah. BI juga melakukan pelonggaran (i) Rasio Loan to Value /

Financing to Value (LTV/FTV) untuk kredit/pembiayaan properti sebesar 5 persen, (ii) uang

muka untuk kredit kendaraan bermotor pada kisaran 5 hingga 10 persen, serta (iii) tambahan

keringanan rasio LTV/FTV untuk kredit atau pembiayaan properti dan uang muka untuk

kendaraan bermotor yang berwawasan lingkungan masing-masing sebesar 5 persen.

Page 38: TINJAUAN EKONOMI, KEUANGAN, & FISKAL

34 Edisi IV 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal

Pelonggaran LTV/FTV serta uang muka kredit kendaraan bermotor ini diperkirakan akan

memberikan dukungan terhadap kinerja kredit konsumsi.

Perkembangan DPK

Beberapa permasalahan disinyalir menjadi hambatan bagi perkembangan kredit perbankan.

Rendahnya pertumbuhan DPK sebagai sumber pembiayaan kredit, telah menyebabkan tingkat

Loan to Deposit Ratio (LDR) mencapai tingkat yang cukup tinggi (±94 persen) sehingga

menghambat akselerasi kredit perbankan lebih jauh. Argumen lain menyatakan bahwa pada

saat ini permintaan untuk kredit oleh sektor riil juga melambat seiring tingginya

ketidakpastian global yang berdampak pada ekspansi pertumbuhan ekonomi domestik. Di sisi

lain, terdapat indikasi peningkatan utang luar negeri swasta yang dapat diduga mulai

beralihnya sumber pinjaman dari perbankan dalam negeri ke sumber luar negeri akibat biaya

bunga yang relatif lebih murah. Hal ini perlu terus menjadi perhatian semua pihak, di mana hal

tersebut tidak saja mengganggu kinerja ekonomi domestik tetapi juga menimbulkan risiko

utang luar negeri dan tekanan nilai tukar Rupiah.

Grafik 21. Pertumbuhan DPK (persen, yoy): (a) Berdasarkan Komponen; (b) Berdasarkan Valuta

(a) (b)

Sumber: Statistik Perbankan Indonesia, diolah

Sda;’dasd

Cat: PDB Q1,Q2,Q3 2019, dihitung berdasarkan kumulatif PDB 4 kuartal terakhir

Secara umum. pertumbuhan DPK yang dihimpun perbankan mengalami perlambatan pada

tahun 2019. Hingga akhir triwulan III 2019, penghimpunan DPK mencapai sebesar Rp5.891,9

triliun atau tumbuh 7,47 persen (yoy), menurun dibandingkan dengan pertumbuhan pada

triwulan II 2019 sebesar 7,62 persen (yoy). Perlambatan DPK hingga akhir triwulan III 2019

terutama didorong oleh perlambatan pertumbuhan giro dan simpanan berjangka. Giro

perbankan hanya tumbuh 8,45 persen (yoy) dan 8,40 persen (ytd) menjadi Rp1.425,4 triliun

pada September 2019. Sementara itu, simpanan berjangka juga mencatatkan perlambatan

dengan tumbuh 7,60 persen (yoy) dari 8,30 persen (yoy) pada Juni 2019. Perlambatan

pertumbuhan simpanan berjangka tersebut sejalan dengan penurunan rata-rata suku bunga

tertimbang simpanan berjangka pada September 2019 yang terjadi pada seluruh tenor, seiring

dengan penurunan suku bunga acuan BI 7DRR. Suku bunga simpanan berjangka dalam Rupiah

untuk tenor 1, 3, 6, dan 12 bulan menurun, masing-masing dari 6,48 persen, 6,72 persen, 7,14

7,478,45

6,537,60

-6

-1

4

9

14

Jan Mar May Jul Sep Nov Jan Mar Mei Jul Sep

2018 2019

DPK GiroTabungan Simpanan Berjangka

8,42%

2,07%

-20%

-10%

0%

10%

20%

1 4 7 10 1 4 7 10 1 4 7 10 1 4 7

2016 2017 2018 2019

Rupiah Valas

Page 39: TINJAUAN EKONOMI, KEUANGAN, & FISKAL

Edisi IV 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal 35

persen, dan 7,08 persen pada Agustus 2019 menjadi 6,32 persen, 6,57 persen, 7,07 persen, dan

7,07 persen pada September 2019

Sementara itu, DPK dalam bentuk tabungan selama triwulan III 2019 relatif tumbuh stabil di

level 6,53 persen. Ke depan, tren perlambatan DPK diperkirakan masih akan berlanjut hingga

tahun 2020 seiring dengan turunnya suku bunga acuan. Selain itu, perlambatan

penghimpunan DPK juga terkonfirmasi dari survei perbankan yang memperkirakan adanya

perlambatan penghimpunan DPK pada triwulan IV 2019. Saldo bersih tertimbang

pertumbuhan DPK pada triwulan IV 2019 diperkirakan turun ke level 73,3 persen

dibandingkan 87,1 persen pada triwulan III 2019 terutama disebabkan penurunan giro dan

tabungan, sementara instrumen deposito justru diperkirakan meningkat.

Risiko Kredit Perbankan

Grafik 22. Perkembangan Risiko Kredit Perbankan (persen)

Sumber: Statistik Perbankan Indonesia, diolah

tatistik Perbankan Indonesia, diolah

Di tengah melambatnya pertumbuhan kredit perbankan, NPL perbankan pada triwulan III

2019 mencapai level tertinggi selama tahun 2019 ke posisi 2,66 persen. Menurut OJK,

peningkatan NPL tersebut terjadi di semua jenis kredit dan bukan terjadi pada sektor tertentu.

Secara umum, NPL perbankan masih di bawah threshold 5 persen. Hingga akhir triwulan III

2019, kenaikan NPL tertinggi terjadi pada bank buku II dengan NPL gross sebesar 3,72 persen.

Sementara NPL bank buku 1 tercatat sebesar 3,46 persen. Adapun untuk buku 3 dan buku 4,

masing-masing di angka 2,43 dan 2,41 persen. Kenaikan NPL perbankan disebabkan oleh kasus

gagal bayar kredit di sejumlah perusahaan besar yang melibatkan beberapa bank nasional.

Salah satu contohnya adalah kasus gagal bayar bunga obligasi anak usaha PT Duniatex dan

restrukturisasi kredit PT Krakatau Steel Tbk di sejumlah bank nasional. Hingga akhir tahun

2019, NPL perbankan diperkirakan masih akan mengalami peningkatan.

5,63

2,66

2

3

4

5

6

7

Jan

Feb

Mar

Apr

Mei

Jun

Jul

Aug Sep

Oct

Nov

Dec Jan

Feb

Mar

Apr

May Jun

Jul

Aug Sep

Oct

Nov

Dec Jan

Feb

Mar

Apr

Mei

Jun

Jul

Aug Sep

2017 2018 2019

SML(%) NPL (%)

Page 40: TINJAUAN EKONOMI, KEUANGAN, & FISKAL

36 Edisi IV 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal

Tabel 3. LDR, Pertumbuhan Kredit, dan NPL

No. Sektor

Kredit (Rp M) NPL (Rp M) Kredit (yoy)

Nominal NPL (yoy)

NPL Share

Kredit (%) Sep-18 Sep-19 Sep-18 Sep-19

1 Pertanian 338.567 370.141 5.092 5.391 9,33% 5,88% 1,46% 6,70%

2 Pertambangan 137.179 129.722 5.119 4.027 -5,44% -21,32% 3,10% 2,35%

3 Industri Pengolahan 868.916 917.459 25.145 33.542 5,59% 33,04% 3,65% 16,61%

4 Listrik, Gas, dan Air 173.478 197.443 2.035 1.854 13,81% -8,88% 0,94% 3,57%

5 Konstruksi 290.871 367.268 11.919 13.038 26,27% 9,39% 3,55% 6,65%

6 Perdagangan 961.465 1.002.342 38.131 38.713 4,25% 1,53% 3,86% 18,14%

7 Perantara Keuangan 225.945 243.991 3.529 3.163 7,99% -10,37% 1,30% 4,42%

8 Transportasi, Perdagangan, dan Komunikasi

210.082 232.235 6.317 5.008 10,55% -20,72% 2,16% 4,20%

9 Real Estate, Usaha Persewaan

238.363 262.477 5.947 5.332 10,12% -10,35% 2,03% 4,75%

Sumber: Statistik Perbankan Indonesia, diolah

tatistik Perbankan Indonesia, diolah

NPL sektor pengolahan dan perdagangan meningkat pada triwulan III 2019. NPL industri

pengolahan pada September 2019 mencapai sebesar 3,65 persen dari total kredit sebesar Rp917

triliun. Sementara secara nominal, NPL industri pengolahan meningkat sebesar 33,04 persen

(yoy). Di sisi lain, sektor perdagangan yang memiliki pangsa kredit terbesar mencatatkan NPL

sebesar 3,86 persen pada September 2019 dengan nominal NPL naik sebesar 1,53 persen (yoy)

pada September 2019.

Indikator risiko kredit lainnya yaitu special mention loan (SML) atau kredit dalam

pengawasan khusus juga harus tetap diwaspadai. Hingga triwulan III 2019, SML perbankan

mencapai 5,63 persen dari total kredit, sedikit naik apabila dibandingkan triwulan sebelumnya

sebesar 5,58 persen (triwulan I 2019) dan 5,62 (triwulan II 2019). Secara nominal, SML tumbuh

13,89 persen (yoy) pada akhir triwulan III 2019.

Tabel 4. Rangkuman Kinerja Perbankan

Indikator Umum

Satuan 2016 2017 2018 2019

Q1 Q2 Q3

Aset (T Rp) 6.729,80 7.387,14 8.068,35 8.130,60 8.242,99 8.318,28

DPK (T Rp) 4.836,76 5.289,38 5.630,45 5.672,89 5.799,49 5.891,92

DPK (yoy) (%) 9,60 9,36 6,45 7,18 7,42 7,47

Kredit (T Rp) 4.377,20 4.737,97 5.294,88 5.291,23 5.467,65 5.524,19

Kredit (yoy) (%) 7,87 8,24 11,75 1,55 9,92 7,89

LDR (%) 90,50 89,58 94,04 93,27 94,28 93,76

NPL (%) 2,93 2,59 2,37 2,51 2,50 2,66

CAR* (%) 22,93 23,18 22,97 23,42 22,63 23,28

BOPO* (%) 82,22 78,64 77,86 82,92 80,24 80,50

NIM* (%) 5,63 5,32 5,14 4,86 4,90 4,90

ROA* (%) 2,23 2,45 2,55 2,60 2,51 2,48

*Bank umum konvensional

Sumber: Statistik Perbankan Indonesia, diolah

tatistik Perbankan Indonesia, diolah

Page 41: TINJAUAN EKONOMI, KEUANGAN, & FISKAL

Edisi IV 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal 37

Secara umum, stabilitas sistem keuangan Indonesia masih terjaga hingga triwulan III 2019

yang tercermin oleh kinerja perbankan yang positif, meskipun fungsi intermediasi

perbankan masih menjadi perhatian. Rasio kecukupan permodalan (Capital Adequacy

Ratio/CAR) industri perbankan pada akhir triwulan III 2019 masih berada pada level tinggi

yaitu 23,19 persen. Sementara CAR Bank Umum Konvensional tercatat sebesar 23,28 persen

pada triwulan III 2019, lebih tinggi jika dibandingkan triwulan II 2019 sebesar 22,63 persen.

Sehingga, dengan tingkat CAR tersebut seharusnya masih cukup memadai bagi perbankan

untuk mendukung ekspansi kredit dan mengantisipasi potensi peningkatan profil risiko. Dari

sisi risiko, rasio kredit bermasalah atau NPL perbankan tetap rendah yakni 2,66 persen (gross)

atau 1,18 persen (net) meskipun sedikit mengalami peningkatan jika dibandingkan triwulan I

dan II 2019.

Selain itu, di tengah kondisi permintaan kredit yang masih lemah, indikator profitabilitas

perbankan turut menunjukkan penurunan pada tahun 2019. NIM Bank Umum Konvensional

pada triwulan III 2019 tercatat sebesar 4,90 persen atau relatif tidak berubah dibandingkan

triwulan II 2019. Secara umum, NIM Bank Umum Konvensional di tahun 2019 mengalami

penurunan jika dibandingkan tahun-tahun sebelumnya yang berada pada level 5 persen.

Sementara itu, indikator Return on Asset (ROA) Bank Umum Konvensional selama tahun 2019

terus mengalami penurunan, dimana hingga triwulan III 2019 ROA perbankan secara umum

mencapai 2,48 persen, lebih rendah dibandingkan triwulan-triwulan sebelumnya.

Dari sisi efisiensi perbankan, rasio Belanja Operasional terhadap Pendapatan Operasional

(BOPO) juga relatif meningkat pada tahun 2019. BOPO Bank Umum Konvensional hingga

triwulan III 2019 tercatat sebesar 80,50 persen, sementara posisi triwulan I dan II berturut-turut

sebesar 82,92 persen dan 80,24 persen. Menurunnya efisiensi perbankan turut mendorong

menurunnya profitabilitas perbakan di tahun 2019.

Page 42: TINJAUAN EKONOMI, KEUANGAN, & FISKAL

38 Edisi IV 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal

D. NERACA PERDAGANGAN INDONESIA

Grafik 23. (a) Pertumbuhan Ekspor Impor (persen, yoy); (b) Neraca Perdagangan (Miliar USD)

(a) (b)

Sumber: BPS

Sda;’dasd

Cat: PDB Q1,Q2,Q3 2019, dihitung berdasarkan kumulatif PDB 4 kuartal terakhir

Selama tahun 2019 kinerja perdagangan Indonesia mengalami perlambatan dibandingkan

tahun sebelumnya. Memasuki awal tahun, pertumbuhan ekspor dan impor terkontraksi yang

berlanjut hingga memasuki bulan November 2019. Kontraksi terjadi baik pada komoditas migas

maupun nonmigas. Secara umum selama tahun 2019, kontraksi pertumbuhan impor sedikit

lebih tinggi dibandingkan kontraksi pada ekspor Indonesia. Tercatat secara kumulatif Januari-

November 2019, neraca perdagangan Indonesia mengalami defisit sebesar USD3,1 miliar, yang

dipengaruhi oleh defisit migas sebesar USD8,3 miliar dan neraca nonmigas yang mengalami

surplus sebesar USD5,2 miliar.

Grafik 24. Laju Pertumbuhan Total Impor Mitra Dagang Utama Ekspor Indonesia (persen, yoy)

Sumber: Bloomberg

-20%

-10%

0%

10%

20%

30%

40%

2018

-J M M J S N

2019

-J M M J S N

Ekspor, yoy

Impor yoy

12,1 -8,7 -3,1 20,7 4,0 5,2 -8,6 -12,7 -8,3-50

0

50

100

150

200

2017

2018

J-N

201

9

2017

2018

J-N

201

9

2017

2018

J-N

201

9

TOTAL Non Migas MigasM

iliar

USD

Ekspor Impor Neraca

-10%

-5%

0%

5%

10%

15%

20%

25%

Dec-17

Jan-18

Feb-18

Mar-18

Apr-1

8May-18

Jun-18

Jul-18

Aug-18

Sep-18

Oct-1

8No

v-18

Dec-18

Jan-19

Feb-19

Mar-19

Apr-1

9May-19

Jun-19

Jul-19

Aug-19

Sep-19

China

-10%

-5%

0%

5%

10%

15%

20%

Dec-17

Jan-18

Feb-18

Mar-18

Apr-1

8May-18

Jun-18

Jul-18

Aug-18

Sep-18

Oct-1

8No

v-18

Dec-18

Jan-19

Feb-19

Mar-19

Apr-1

9May-19

Jun-19

Jul-19

Aug-19

Sep-19

Jepang

-2%

0%

2%

4%

6%

8%

10%

12%

Dec-17

Jan-18

Feb-18

Mar-18

Apr-1

8May-18

Jun-18

Jul-18

Aug-18

Sep-18

Oct-1

8No

v-18

Dec-18

Jan-19

Feb-19

Mar-19

Apr-1

9May-19

Jun-19

Jul-19

Aug-19

Sep-19

USA

0%

2%

4%

6%

8%

10%

12%

14%

16%

Dec-17

Jan-18

Feb-18

Mar-18

Apr-1

8May-18

Jun-18

Jul-18

Aug-18

Sep-18

Oct-1

8No

v-18

Dec-18

Jan-19

Feb-19

Mar-19

Apr-1

9May-19

Jun-19

Jul-19

Aug-19

Sep-19

India

Page 43: TINJAUAN EKONOMI, KEUANGAN, & FISKAL

Edisi IV 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal 39

Lemahnya kinerja neraca perdagangan Indonesia dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain

turunnya permintaan dari negara mitra dagang ekspor utama Indonesia dan juga

terkontraksinya harga komoditas di pasar global. Melemahnya permintaan negara mitra

terlihat dari terkontraksinya impor dari negara-negara seperti Tiongkok, Jepang, AS, dan India

sebagaimana terlihat dalam grafik di atas. Melambatnya ekonomi di negara-negara tersebut,

serta beberapa isu global seperti perang dagang, telah mendorong penurunan hingga kontraksi

pertumbuhan impor. Dalam hal ini, kinerja ekspor Indonesia juga melemah akibat

perkembangan yang terjadi di negara mitra ekspor utama Indonesia tersebut.

Faktor lain yang mendorong pelemahan ekspor Indonesia adalah penurunan harga komoditas

global, khususnya komoditas ekspor utama Indonesia. Pelemahan ekonomi yang terus melanda

ekonomi dunia dalam beberapa tahun terakhir telah menyebabkan penurunan permintaan

global sehingga harga-harga komoditas juga mengalami penurunan. Penurunan harga

komoditas tersebut terlihat pada komoditas seperti Batubara, Palm Oil dan Kornel Oil yang sejak

Januari 2019 mengalami kontraksi masing-masing sebesar -7,41 persen, -16,90 persen, dan -

39,53 persen.

Grafik 25. Perkembangan Harga Komoditas Ekspor Utama Indonesia (Indeks)

Sumber: Bloomberg

Bila disimak dengan lebih seksama terhadap komponen yang mempengaruhinya, dapat

diketahui bahwa faktor penurunan harga cukup mempengaruhi kinerja ekspor dan impor di

tahun 2019. Di sisi ekspor, walaupun tercatat kontraksi nilai pertumbuhan pada total ekspor

dan ekspor non migas, secara volume (riil) masih terjadi pertumbuhan positif. Dalam hal ini,

kontraksi pertumbuhan nilai ekspor lebih dipengaruhi penurunan harga komoditas ekspor.

Namun pada komponen ekspor migas, terjadi penurunan volume yang cukup signifikan. Sedikit

berbeda pada sisi impor, dimana selain harga mencatat pertumbuhan negatif, nilai impor secara

volume juga mengalami kontraksi.

Terkait neraca migas, komponen tersebut telah menjadi sumber tekanan neraca perdagangan

Indonesia, paling tidak sejak tahun 2012. Permintaan sumber energi yang tinggi seiring

perbaikan ekonomi dan daya beli masyarakat tidak mampu diimbangi dengan kapasitas

produksi minyak mentah, yang semakin terbatas seiring umur sumur-sumur miyak yang

semakin tua. Dalam menghadapi tekanan neraca migas tersebut, Pemerintah telah menempuh

strategi untuk mengalihkan ekspor minyak mentah untuk pemenuhan kebutuhan dalam

40,00

70,00

100,00

2018

-J F M A M J J A S O N D

2019

-J F M A M J J A S O N

Coal Palm Oil Cornel Oil Crude Oil Kopi Robusta Karet

Page 44: TINJAUAN EKONOMI, KEUANGAN, & FISKAL

40 Edisi IV 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal

negeri. Kebijakan tersebut berdampak pada kontraksi ekspor dan impor migas hingga akhir

November 2019.

Grafik 26. (a) Pertumbuhan Ekspor; (b) Pertumbuhan Impor (Jan-Nov 2019, persen, ytd)

(a) (b)

Sumber: BPS

Sda;’dasd

Cat: PDB Q1,Q2,Q3 2019, dihitung berdasarkan kumulatif PDB 4 kuartal terakhir

Apabila dilihat dari sektornya, ekspor industri pengolahan (manufaktur) dan pertambangan

terus mengalami kontraksi selama tahun 2019. Harga komoditas yang turun (diantaranya bijih

tembaga, CPO dan batubara) menjadi penyebab utama kontraksi tersebut. Sektor pertanian

yang pada awal tahun sempat kontraksi, sudah kembali menuju tren positif yang salah satunya

didorong oleh meningkatnya ekspor kopi. Namun dikarenakan porsi sektor pertanian dalam

total ekspor kecil, maka belum dapat mengangkat pertumbuhan ekspor ke arah yang positif.

Grafik 27. (a) Pertumbuhan Ekspor Sektoral (Jan-Nov 2019- ytd); (b) Pertumbuhan Impor Jenis Penggunaan (Jan-Nov 2019- ytd)

(a) (b)

Sumber: BPS

Sda;’dasd

Cat: PDB Q1,Q2,Q3 2019, dihitung berdasarkan kumulatif PDB 4 kuartal terakhir

Secara kumulatif, impor menurut jenis penggunaan masih terkontraksi untuk semua jenis

barang. Impor menurut bahan baku/penolong mengalami kontraksi terbesar, diikuti barang

konsumsi dan barang modal. Kontraksi impor barang baku/penolong dan barang modal

mengindikasikan perlambatan kegiatan ekonomi domestik. Namun apabila dilihat secara

bulanan, impor ketiga jenis barang ini di bulan November 2019 mengalami pertumbuhan positif

walau masih kecil. Impor bahan baku/penolong, barang modal dan konsumsi masing-masing

-7,61-5,71

-26,01-30,00

-20,00

-10,00

0,00

10,00

Volume Harga Nilai

N; 3,50

N; -3,55

N; -16,35N; -7,61

-50

0

50

D F A J A O D F A J A O

PertanianIndustri PengolahanPertambangan dan LainnyaTotal Ekspor

N; -6,11N; -11,22

N; -5,59

-40

-20

0

20

40

60

d F A J A O D F A J A O

Barang Konsumsi Bahan BakuBarang Modal

-9,88-6,21

-29,06

-40,00

-30,00

-20,00

-10,00

0,00

Volume Harga Nilai

Page 45: TINJAUAN EKONOMI, KEUANGAN, & FISKAL

Edisi IV 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal 41

bertumbuh sebesar 2,63 persen (mtm), 2,58 persen (mtm), dan 16,12 persen (mtm). Hal ini

menunjukkan kegiatan ekonomi kembali bergerak positif. Menurunnya suku bunga domestik

dan tersedianya likuiditas mendorong kembali investasi untuk tumbuh.

Page 46: TINJAUAN EKONOMI, KEUANGAN, & FISKAL

42 Edisi IV 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal

E. NERACA PEMBAYARAN INDONESIA

Kondisi neraca transaksi berjalan pada triwulan III 2019 tercatat mengalami penyempitan

defisit, sesuai perkiraan dan pola musiman. Defisit pada triwulan III 2019 yang sebesar USD7,7

miliar (2,66 persen PDB), menyempit dibandingkan defisit pada triwulan II 2019 yang sebesar

USD8,2 miliar (2,93 persen PDB). Perbaikan defisit transaksi berjalan ini didorong oleh

peningkatan surplus neraca perdagangan barang dan penurunan defisit pendapatan primer, di

tengah peningkatan defisit neraca jasa dan penurunan surplus pendapatan sekunder.

Pada triwulan III 2019, neraca perdagangan barang masih mencatatkan peningkatan surplus

dibanding triwulan sebelumnya. Defisit neraca migas menyempit akibat penurunan impor

migas yang lebih dalam dibanding penurunan ekspor migas. Turunnya ekspor migas didorong

oleh harga lebih rendah dan volume ekspor yang berkurang. Impor migas juga masih

terkontraksi karena harga minyak cenderung rendah dan penurunan lifting gas. Selain itu,

kebijakan pemerintah untuk memanfaatkan minyak dari Kontraktor Kontrak Kerja Sama (K3S)

untuk memenuhi kebutuhan domestik juga berdampak positif bagi penurunan impor minyak.

Sementara itu, surplus neraca nonmigas tercatat lebih rendah dibanding triwulan sebelumnya

antara lain akibat penurunan volume (karet olahan dan minyak nabati) dan harga barang

ekspor (komoditas batubara dan minyak nabati) dan kontraksi impor bahan baku.

Defisit neraca jasa mengalami pelebaran defisit sebesar USD2,3 miliar, lebih tinggi

dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yang sebesar USD1,9 miliar. Peningkatan defisit

dipengaruhi oleh pelebaran defisit jasa transportasi. Defisit jasa transportasi terutama

disumbang oleh meningkatnya pembayaran jasa transportasi barang (freight) seiring dengan

peningkatan impor barang nonmigas dan jasa transportasi penumpang karena adanya musim

pelaksanaan haji pada triwulan III 2019. Sementara itu, penerimaan jasa perjalanan tercatat

lebih tinggi dibandingkan triwulan sebelumnya, meski terjadi perlambatan pertumbuhan

jumlah kunjungan wisman menjadi 0,4 persen (yoy) pada triwulan III dari sebelumnya 3,7

persen (yoy).

Kinerja neraca Pendapatan Primer pada triwulan III 2019 mengalami defisit USD8,42 miliar,

lebih rendah dari triwulan sebelumnya yang tercatat defisit USD8,73 miliar. Penurunan

defisit terutama disebabkan oleh penurunan defisit portofolio yang terjadi akibat pembayaran

deviden yang lebih rendah dari triwulan sebelumnya. Sementara itu, defisit Pendapatan

Primer yang bersumber dari Investasi Langsung mengalami peningkatan yang disebabkan oleh

menurunnya penerimaan pendapatan Investasi Langsung sejalan dengan melambatnya

pertumbuhan tingkat keuntungan atas aset di luar negeri.

Neraca Pendapatan Sekunder mencatatkan penurunan surplus menjadi USD1,78 miliar dari

triwulan sebelumnya sebesar USD1,99 miliar. Penurunan surplus tersebut disebabkan

meningkatnya pembayaran remitansi Tenaga Kerja Asing (TKA) sejalan dengan meningkatnya

jumlah pekerja asing yang mencapai 89 ribu orang pada triwulan III 2019. Sementara itu

penerimaan remitasi Pekerja Migran Indonesia (PMI) cenderung stabil.

Di tengah perlambatan perekonomian global dan masih tingginya ketidakpastian pasar

keuangan global akibat naik turunnya tensi perang dagang Amerika Serikat dan Tiongkok,

Page 47: TINJAUAN EKONOMI, KEUANGAN, & FISKAL

Edisi IV 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal 43

Transaksi Modal dan Finansial (TMF) masih mampu mencatatkan surplus. Kinerja TMF

mencatatkan surplus USD7,6 miliar, meningkat dibandingkan surplus triwulan II 2019 yang

sebesar USD6,5 miliar. Kenaikan surplus ditopang oleh masih terjaganya minat investor pada

investasi langsung dan investasi portofolio serta penyempitan defisit pada investasi lainnya.

Hal ini menunjukkan perspektif investor terhadap investasi di Indonesia masih tetap positif.

Grafik 28. Neraca Pembayaran Indonesia (miliar USD)

Sumber: Bank Indonesia

Investasi langsung masih mencatatkan surplus didorong oleh optimisme para investor asing

pada investasi jangka panjang di Indonesia. Surplus investasi langsung di triwulan ini sebesar

USD4,8 miliar, ditopang oleh aliran modal atas divestasi dua ruas tol dari investor domestik

kepada investor Hongkong. Secara sektoral, investasi langsung masih didominasi oleh sektor

industri pengolahan (khususnya industri otomotif dan elektronik), perdagangan dan sektor

pertanian, perburuan dan kehutanan, di mana ketiga sektor tersebut mendominasi 82,2% dari

total aliran dana yang masuk.

Meskipun surplus investasi langsung masih cukup tinggi, namun kinerja investasi langsung

ini dalam tren menurun jika dibandingkan surplus triwulan II 2019 yang sebesar USD5,4

miliar dan surplus pada triwulan I 2019 yang mencapai USD5,8 miliar. Hal ini perlu menjadi

perhatian dan perlu adanya upaya untuk tetap menjaga stabilitas ekonomi, perbaikan kinerja

neraca perdagangan dan daya saing ekspor, serta menjaga komunikasi ke investor bahwa

Indonesia masih cukup menarik dan layak untuk menjadi destinasi investasi sehingga aliran

masuk investasi asing dapat tetap tumbuh positif.

Sementara itu, di tengah tingginya tekanan pada pasar keuangan global, investasi portofolio

masih mencatatkan kenaikan surplus dibandingkan triwulan II 2019. Surplus investasi

portofolio pada triwulan III 2019 sebesar USD4,8 miliar ditopang oleh kenaikan pada surplus

dari sektor swasta. Surplus sektor swasta mencapai USD2,2 miliar (triwulan II 2019: USD0,5

miliar), terutama dipengaruhi oleh peningkatan penerbitan obilgasi global korporasi yang

berasal dari dua perusahaan BUMN sektor energi pada bulan Juli dan September dengan nilai

obligasi global sekitar USD2,9 miliar. Sementara itu, surplus dari sektor publik mengalami

penurunan menjadi sebesar USD2,6 miliar (triwulan II 2019: USD4 miliar), terutama disebabkan

tidak adanya penerbitan obligasi global pada periode tersebut. Namun demikian penurunan

surplus lebih lanjut pada sektor publik dapat ditahan dengan masih terjaganya minat investor

0

50

100

150

-15

-5

5

15

25

Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3

2016 2017 2018 2019

Transaksi Berjalan (LHS) Transaksi Modal dan Finansial (LHS)Neraca Keseluruhan (LHS) Cadangan Devisa (RHS)

Page 48: TINJAUAN EKONOMI, KEUANGAN, & FISKAL

44 Edisi IV 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal

asing pada SBN domestik yang tercatat surplus sebesar USD2,6 miliar, sejalan dengan masih

menariknya yield SBN serta terjaganya nilai tukar rupiah selama triwulan III ini.

Pada sisi investasi lainnya, tingginya neto penarikan pinjaman yang dilakukan oleh sektor

swasta serta penurunan pembayaran pinjaman sektor publik menjadi faktor utama

terjadinya penyempitan defisit. Neto penarikan pinjaman yang dilakukan oleh sektor swasta

mencapai USD2,4 miliar (triwulan II 2019: USD0,4 miliar) sementara neto pembayaran

pinjaman di sektor publik turun dari sebesar USD0,8 miliar menjadi sebesar USD0,3 miliar.

Investasi lainnya secara keseluruhan mencatatkan defisit USD2,1 miliar, menyempit

dibandingkan defisit triwulan II 2019 yang sebesar USD3,5 miliar.

Gambar 1. Indikator Sustainabilitas Eksternal Indonesia di Triwulan III Relatif Baik

Sumber: Bank Indonesia, diolah

Berdasarkan perkembangan tersebut, neraca pembayaran Indonesia triwulan III 2019 yang

mencatatkan defisit USD46 juta, posisi cadangan devisa pada akhir triwulan III (September

2019) tercatat sebesar USD124,33 miliar. Posisi cadangan devisa ini meningkat jika

dibandingkan akhir triwulan II 2019 yang sebesar USD123,8 miliar. Jumlah cadangan devisa ini

setara dengan pembiayaan 7,2 bulan impor atau 6,9 bulan impor dan pembayaran utang luar

negeri pemerintah, masih pada tingkat aman di atas standar kecukupan internasional sekitar 3

bulan impor. Peningkatan cadangan devisa ini sejalan dengan tren apresiasi nilai tukar yang

terjadi selama triwulan III 2019. Tren peningkatan cadangan devisa juga masih terjadi hingga

akhir Oktober 2019 yang tercatat sebesar USD126,7 miliar, sejalan dengan NFB di pasar SBN,

yang terutama ditopang oleh adanya penerbitan obligasi global pemerintah (dual currency) di

akhir bulan Oktober, penerimaan devisa migas, serta penerimaan valas lainnya. Dinamika

tersebut menunjukkan indikator sustainabilitas eksternal pada triwulan III 2019 menunjukkan

kondisi yang relatif baik dengan risiko yang terjaga.

Page 49: TINJAUAN EKONOMI, KEUANGAN, & FISKAL

Edisi IV 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal 45

G. PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA TRIWULAN III 2019

Perekonomian Indonesia pada triwulan III 2019 tumbuh sebesar 5,02 persen (yoy) atau secara

kumulatif tumbuh sebesar 5,04 persen (ytd). Di tengah tekanan perekonomian global dan

penurunan harga komoditas primer yang mempengaruhi kinerja investasi dan impor,

pertumbuhan ini relatif masih cukup baik meskipun melambat dibandingkan triwulan

sebelumnya. Realisasi angka pertumbuhan ini juga sesuai dengan penurunan kontribusi

permintaan domestik terkait dengan perlambatan pertumbuhan investasi, walaupun masih

ditopang oleh stabilnya pertumbuhan konsumsi rumah tangga (RT) dan lembaga non-profit

rumah tangga (LNPRT). Penurunan pertumbuhan investasi juga memberikan dampak terhadap

kinerja impor yang masih mengalami kontraksi yang cukup dalam. Hal ini diimbangi oleh

kinerja ekspor yang mengalami perbaikan sehingga net ekspor bernilai positif, seperti yang

pernah terjadi di tahun 2015 dan 2016 pada saat harga komoditas mengalami tren penurunan.

Walaupun memberikan kontribusi positif bagi pertumbuhan perekonomian secara

keseluruhan, hal ini perlu diwaspadai dan diantisipasi dalam mendukung kinerja pertumbuhan

ekonomi ke depan, terutama terkait masih bergantungnya aktivitas perekonomian domestik

terhadap barang modal dan barang baku yang berasal dari impor.

Dari sisi PDB pengeluaran (Tabel 5), pertumbuhan ekonomi triwulan III 2019 masih ditopang

oleh konsumsi rumah tangga sebagai kontributor terbesar. Konsumsi RT dan LNPRT masih

tumbuh relatif stabil dengan tumbuh di atas 5 persen, didukung oleh tingkat inflasi yang stabil,

terutama harga kebutuhan pokok. Konsumsi makan dan minum yang merupakan penyumbang

terbesar konsumsi RT masih mampu tumbuh 5,18 persen. Sementara itu, konsumsi kebutuhan

pokok lainnya, seperti kesehatan dan pendidikan, juga masih tumbuh 7,34 persen, lebih tinggi

dari periode sebelumnya. Penyaluran program bantuan sosial seperti Program Keluarga

Harapan dan Bantuan Siswa Miskin juga mempengaruhi kinerja konsumsi RT terutama

masyarakat berpenghasilan rendah.

Secara total, pertumbuhan konsumsi RT dan LNPRT tetap menjadi mesin pertumbuhan

dengan mampu tumbuh sebesar 5,06 persen. Telah berakhirnya momentum Pemilu juga

memberikan pengaruh tidak langsung terhadap kinerja konsumsi RT dan LNPRT. Konsumsi

LNPRT mengalami penyesuaian sehingga kembali tumbuh pada pertumbuhan normal yaitu

sebesar 7,44 persen, sejalan dengan tidak adanya dorongan dari aktivitas kegiatan besar partai

politik. Beberapa kalangan menilai konsumsi rumah tangga tumbuh stagnan pada level 5

persen. Walaupun demikian, komponen konsumsi rumah tangga yang berasal dari makanan

dan minuman, transportasi dan komunikasi, serta restoran dan hotel masih tumbuh stabil

sehingga mampu menopang pertumbuhan ekonomi triwulan III 2019.

Pada triwulan ketiga ini, konsumsi Pemerintah masih tumbuh terbatas yaitu sebesar 0,98

persen. Kinerja pertumbuhan yang masih positif ini merupakan hal yang menggembirakan

karena pola realisasi anggaran di awal tahun yang cukup besar. Pergeseran realisasi belanja ini

mengakibatkan penurunan belanja di triwulan III 2019 dibandingkan triwulan III 2018,

terutama pada belanja barang dan belanja sosial yang masing-masing tumbuh -3,25 persen dan

-7,22 persen. Belanja pegawai masih mampu tumbuh positif, meskipun hanya tumbuh terbatas

yaitu sebesar 0,56 persen.

Page 50: TINJAUAN EKONOMI, KEUANGAN, & FISKAL

46 Edisi IV 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal

Tabel 5. Pertumbuhan PDB Menurut Pengeluaran (persen, yoy)

Komponen

Pengeluaran

2017 2018 2019

Q1 Q2 Q3 Q4 Y Q1 Q2 Q3 Q4 Y Q1 Q2 Q3 Y

Konsumsi Rumah Tangga dan LNPRT

5,00 5,03 4,93 4,98 4,98 5,01 5,23 5,07 5,20 5,13 5,27 5,38 5,06 5,24

Konsumsi Rumah Tangga

4,94 4,95 4,91 4,98 4,94 4,94 5,16 5,00 5,08 5,05 5,02 5,17 5,01 5,07

Konsumsi LNPRT 8,08 8,53 6,04 5,26 6,93 8,10 8,75 8,59 10,79 9,08 16,95 15,28 7,44 13,15

Konsumsi Pemerintah

2,69 -1,94 3,46 3,80 2,13 2,71 5,20 6,27 4,56 4,80 5,20 8,25 0,98 4,69

PMTB 4,77 5,34 7,08 7,26 6,15 7,94 5,85 6,96 6,01 6,67 5,03 5,01 4,21 4,74

Ekspor 8,36 2,73 16,48 8,42 8,91 5,94 7,65 8,08 4,33 6,48 -1,87 -1,98 0,02 -1,24

Impor 4,78 0,18 15,40 11,91 8,06 12,64 15,17 14,02 7,10 12,04 -7,39 -6,78 -8,61 -7,62

PDB 5,01 5,01 5,06 5,19 5,07 5,06 5,27 5,17 5,18 5,17 5,07 5,05 5,02 5,04

Sumber: BPS

Pada sisi investasi, kinerja pertumbuhan Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB)

mengalami perlambatan yaitu sebesar 4,21 persen, terpengaruh oleh kondisi ekonomi global

yang belum kondusif dan tren harga komoditas primer yang masih rendah. Seluruh

komponen PMTB mengalami penurunan kecuali komponen Cultivated Biological Resources

(CBR). Investasi bangunan yang memiliki kontribusi terbesar masih tumbuh 5,03 persen,

sejalan dengan pertumbuhan sektor konstruksi dan konsumsi semen yang juga mengalami

perlambatan. Investasi mesin dan perlengkapan yang memiliki keterkaitan dengan

perkembangan harga komoditas juga mengalami perlambatan dengan tumbuh sebesar 7,79

persen. Sementara itu, beberapa komponen investasi mengalami pertumbuhan negatif,

diantaranya investasi kendaraan, peralatan lainnya dan produk kekayaan intelektual.

Penurunan impor barang pendukung kegiatan investasi seperti barang modal dan bahan baku

pada triwulan III 2019 juga mengalami pertumbuhan negatif yang masing-masing sebesar -0,54

persen dan -14,45 persen. Dari sisi belanja pemerintah, realisasi belanja modal pada triwulan III

2019 juga menunjukkan penurunan dengan tumbuh -0,07 persen.

Meskipun kinerja pertumbuhan PMTB relatif moderat, tren pemulihan realisasi penanaman

modal menunjukkan keberlanjutan hingga triwulan III 2019. Realisasi penanaman modal

pada triwulan III 2019 mencapai Rp205,7 triliun, tumbuh sebesar 18,4 persen (yoy).

Pertumbuhan ini didukung oleh realisasi Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) yang

tumbuh sebesar 18,9 persen, dan realisasi Penanaman Modal Asing (PMA) yang tumbuh sangat

signifikan sebesar 17,8 persen dibandingkan dengan realisasi pada pertumbuhan PMA di

triwulan II sebesar 9,6 persen. Pertumbuhan realisasi PMA ini merupakan pertumbuhan

triwulanan tertinggi setelah tahun 2015. Secara kumulatif (Januari-September) 2019, realisasi

investasi mencapai Rp601,3 triliun atau tumbuh sebesar 12,3 persen (yoy). Pertumbuhan

tersebut didukung oleh pertumbuhan PMDN sebesar 17,3 persen dan PMA sebesar 8,2 persen.

Capaian ini mencapai 75,9 persen dari target realisasi investasi tahun 2019.

Page 51: TINJAUAN EKONOMI, KEUANGAN, & FISKAL

Edisi IV 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal 47

Fenomena menarik yang terjadi pada triwulan III 2019 adalah kinerja ekspor yang mampu

tumbuh positif meskipun masih dalam tingkat yang rendah, yakni sebesar 0,02 persen (yoy),

setelah mengalami kontraksi sejak awal tahun 2019. Pertumbuhan positif ini salah satunya

dipengaruhi oleh pertumbuhan volume ekspor barang yang positif dan penurunan harga

komoditas ekspor utama, seperti batubara dan tambang lainnya. Kinerja pertumbuhan ekspor

barang migas mengalami perbaikan yang cukup signifikan meskipun masih tumbuh negatif,

yaitu -9,61 persen dari sebelumnya yang sebesar -33,25 persen. Berbeda dengan ekspor, impor

justru mengalami kontraksi yang lebih dalam dengan tumbuh -8,61 persen, terutama

dipengaruhi oleh impor barang migas yang juga tumbuh negatif lebih besar. Dari sisi jasa,

pertumbuhan ekspor dan impor juga mengalami kontraksi. Ekspor jasa tumbuh negatif, sejalan

dengan penurunan kunjungan wisatawan mancanegara. Sementara itu, kontraksi

pertumbuhan impor jasa dipengaruhi oleh penurunan aktivitas jasa angkutan ekspor dan

impor.

Pada triwulan III 2019, secara nilai, perubahan inventori tetap positif meskipun terjadi

penurunan. Perubahan inventori mengalami kontraksi sehingga berkontribusi negatif

terhadap pertumbuhan ekonomi. Kinerja perubahan inventori yang lebih rendah dapat terjadi

karena dua faktor, yaitu peningkatan barang dan jasa atau penurunan persediaan barang dan

jasa. Pertumbuhan konsumsi yang stabil dan pertumbuhan investasi yang masih positif serta

diiringi dengan penurunan kinerja impor menyebabkan persediaan barang di pasar domestik

berkurang.

Dari sisi PDB menurut lapangan usaha (Tabel 6), seluruh sektor lapangan usaha

menunjukkan pertumbuhan positif dengan didorong pertumbuhan tinggi sektor jasa-jasa.

Sektor-sektor kontributor utama PDB, seperti industri pengolahan, pertanian, dan perdagangan

masih tumbuh di bawah tingkat pertumbuhan ekonomi nasional, dan tumbuh melambat

dibanding triwulan III 2018. Sektor jasa-jasa yang tumbuh tinggi, antara lain: jasa lainnya

(tumbuh 10,72 persen), jasa perusahaan (10,22 persen), serta jasa kesehatan (9,19 persen).

Meskipun ketiga sektor tersebut tumbuh tinggi namun sumbangannya terhadap total PDB

masih relatif kecil (di bawah 2 persen). Di sisi lain, kinerja sektoral emiten di Bursa Efek relatif

berbeda jika dibanding PDB sektoral, dimana pada triwulan III 2019, hampir seluruh sektor

mengalami penurunan atau perlambatan dibanding kinerja pada triwulan III 2018 (Grafik 29).

Sektor industri pengolahan (manufaktur) tumbuh sebesar 4,15 persen (yoy), relatif melambat

jika dibanding kinerja triwulan III 2018 yang sebesar 4,35 persen. Beberapa kelompok industri

yang mendorong kinerja manufaktur adalah industri makanan dan minuman (8,33 persen),

tekstil dan pakaian jadi (15,1 persen), serta industri furnitur (6,93 persen). Sementara itu,

beberapa kelompok industri yang mengalami kontraksi pertumbuhan, antara lain: industri alat

angkutan (-1,23 persen), industri mesin dan perlengkapan (-6,7 persen), serta industri migas dan

batubara (-0.74 persen).

Page 52: TINJAUAN EKONOMI, KEUANGAN, & FISKAL

48 Edisi IV 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal

Grafik 29. Pertumbuhan Penjualan Emiten BEI (persen, yoy)

Sumber: BPS

Kinerja sektor pertanian tumbuh sebesar 3,08 persen (yoy), terutama akibat musim kemarau

yang cukup panjang dan berdampak pada hasil panen padi yang menurun (tanaman pangan

tumbuh -4,81 persen). Di sisi lain, kondisi kemarau panjang justru memberikan pengaruh

positif karena cukup kondusif untuk peningkatan produksi pada hortikultura (5,07 persen),

peternakan (7,72 persen), dan perikanan (5,85 persen). Kinerja tanaman perkebunan juga

tumbuh lebih kuat (4,98 persen), terutama ditopang oleh peningkatan produksi kelapa sawit

seiring permintaan domestik CPO yang meningkat.

Sektor perdagangan tumbuh sebesar 4,75 persen (yoy), melambat dibanding kinerja triwulan

III 2018 yang sebesar 5,28 persen. Perlambatan sektor ini terutama disebabkan oleh faktor

penurunan penjualan kendaraan serta ekspor-impor yang terdampak kondisi ekonomi global.

Sementara itu, tiga sektor jasa yang terkait dengan ekonomi digital tumbuh menguat dan

berada di atas rata-rata PDB nasional, yakni sektor jasa transportasi dan pergudangan (6,63

persen), sektor jasa keuangan (6,15 persen), serta sektor informasi dan komunikasi (9,15 persen).

Tingginya aktivitas belanja online dan perkembangan fintech mendorong peningkatan

pengiriman barang dan volume transaksi di sektor keuangan.

25,8

15,8

7,5

1,8

-12,5

70,1

14,6

20,0

13,3

-16,64,2

17,0

3,1

1,7

-16,14,3

-12,8

-18,05,3

16,4

-20 -10 0 10 20 30 40

Pertanian

Industri Pengolahan

Jasa Keuangan

Informasi & Komunikasi

Gas & Listrik

Transportasi & Pergudangan

Pertambangan

Real Estate

Konstruksi

Perdagangan

Jasa Kesehatan

Growth Q3-2019 Growth Q3-2018N = 56 Perusahaan dgn Kapitalisasi pasar terbesar di BEI

Page 53: TINJAUAN EKONOMI, KEUANGAN, & FISKAL

Edisi IV 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal 49

Tabel 6. Pertumbuhan PDB Menurut Lapangan Usaha (persen, yoy)

Lapangan Usaha 2017 2018 2019

Q1 Q2 Q3 Q4 Y Q1 Q2 Q3 Q4 Y Q1 Q2 Q3 Y

Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan

7,11 3,32 2,83 2,39 3,87 3,34 4,72 3,66 3,87 3,91 1,82 5,33 3,08 3,46

Pertambangan dan Penggalian

-1,30 2,11 1,83 0,04 0,66 1,06 2,65 2,67 2,25 2,16 2,32 -0,71 1,94 1,18

Industri Pengolahan 4,28 3,50 4,88 4,51 4,29 4,60 3,88 4,35 4,25 4,27 3,86 3,54 4,15 3,85

Pengadaan Listrik dan Gas 1,60 -2,53 4,88 2,27 1,54 3,31 7,56 5,58 5,46 5,47 4,12 2,20 3,75 3,35

Pengadaan Air, Pengelolaan Sampah, Limbah dan Daur Ulang

4,39 3,66 4,82 5,52 4,60 3,65 3,94 6,20 7,92 5,46 8,95 8,34 4,66 7,28

Konstruksi 5,96 6,95 6,98 7,24 6,80 7,35 5,73 5,79 5,58 6,09 5,91 5,69 5,65 5,75

Perdagangan Besar dan Eceran

4,61 3,47 5,22 4,53 4,46 4,99 5,22 5,28 4,39 4,97 5,27 4,63 4,75 4,88

Transportasi & Pergudangan

8,06 8,80 8,88 8,21 8,49 8,56 8,70 5,65 5,34 7,01 5,25 5,78 6,63 5,90

Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum

5,35 5,60 5,52 5,11 5,39 5,17 5,60 5,91 5,95 5,66 5,87 5,52 5,36 5,58

Informasi dan Komunikasi 10,48 11,06 8,82 8,27 9,63 7,76 5,11 8,14 7,17 7,04 9,06 9,60 9,15 9,27

Jasa Keuangan dan Asuransi

6,01 5,93 6,13 3,82 5,47 4,23 3,06 3,14 6,27 4,17 7,32 4,55 6,15 6,01

PDB 5,01 5,01 5,06 5,19 5,07 5,06 5,27 5,17 5,18 5,17 5,07 5,05 5,02 5,04

Sumber: BPS

Page 54: TINJAUAN EKONOMI, KEUANGAN, & FISKAL

50 Edisi IV 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal

H. INFLASI INDONESIA

Laju inflasi menunjukkan tren penurunan di menjelang awal triwulan IV 2019, setelah

sempat meningkat di triwulan III 2019. Hingga bulan November 2019, laju inflasi mencapai

2,37 persen (ytd) atau 3,00 persen (yoy), lebih rendah dibandingkan rata-rata inflasi hingga

November selama tahun 2015-2018, yaitu sebesar 2,58 persen (ytd) atau 3,75 persen (yoy). Laju

inflasi yang lebih rendah ini dipengaruhi oleh terkendalinya inflasi pangan menjelang akhir

tahun didukung oleh ketersediaan pasokan cabai dan beras. Selain itu, dari sisi komponen inti

tekanan inflasi mengalami penurunan seiring meredanya tekanan harga emas global.

Terjaganya laju inflasi secara umum juga didukung dengan komponen administered price yang

mengalami penurunan seiring berlanjutnya deflasi tarif transportasi udara. Pemerintah Pusat

dan Pemerintah Daerah bersama Bank Indonesia akan terus memperkuat koordinasi kebijakan

dalam menjaga stabilitas harga, terutama komoditas pangan menjelang Hari Besar Keagamaan

Nasional (HBKN) Natal dan liburan akhir tahun. Hal ini diharapkan mampu menjaga tingkat

inflasi di akhir tahun 2019 tetap berada dalam rentang sasaran inflasi, serta didukung oleh

ekspektasi inflasi masyarakat yang terjaga.

Menjelang akhir tahun, laju inflasi volatile food terkendali didukung oleh pasokan aneka

cabai dan beras yang melimpah. Setelah sebelumnya menjadi sumber tekanan inflasi pangan

sebagai dampak musim kemarau panjang, aneka cabai kembali mencatatkan deflasi seiring

pasokan yang melimpah setelah panen raya di bulan Oktober. Penurunan harga aneka cabai

yang berlanjut mendorong harga kembali ke level normal. Selain itu, permintaan cabai

masyarakat relatif stabil sehingga mendorong harga turun. Penyerapan cabai oleh industri juga

mengalami penurunan diperkirakan karena faktor stok cabai untuk produk cabai olahan masih

tercukupi. Sementara itu, kecukupan stok beras Bulog dan Pasar Induk Beras Cipinang mampu

menjaga kenaikan harga beras di level yang rendah seiring penurunan produksi karena berada

pada masa panen kecil (panen dengan produksi rendah) serta mulai masuknya musim tanam.

Sementara itu, komoditas daging dan telur ayam ras serta beberapa produk hortikultura

menjadi sumber tekanan inflasi volatile food di triwulan IV 2019. Peningkatan harga yang

terjadi pada komoditas daging dan telur ayam ras dipengaruhi oleh dampak kebijakan

pengurangan bibit ayam sebagai respon anjloknya harga ayam hidup di tingkat peternak yang

terjadi sejak Lebaran. Selain itu, pergantian musim yang memengaruhi cuaca berdampak pada

produktivitas ayam pedaging dan petelur. Mulai meningkatnya permintaan menjelang HBKN

Natal dan liburan akhir tahun juga berpengaruh pada naiknya harga. Selain itu, kenaikan harga

pada beberapa produk hortikultura, seperti bawang merah, tomat sayur, dan beberapa jenis

sayuran dan buah-buahan dipengaruhi oleh berkurangnya stok karena masih dalam masa

tanam dan produksi yang turun akibat curah hujan yang masih rendah di beberapa daerah.

Page 55: TINJAUAN EKONOMI, KEUANGAN, & FISKAL

Edisi IV 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal 51

Grafik 30. Perkembangan Inflasi Tahun 2017-2019 (persen, yoy)

Sumber: BPS

Berdasarkan realisasi inflasi terakhir, inflasi komponen volatile food secara kumulatif hingga

November 2019 mencapai 3,42 persen (ytd), lebih tinggi dibandingkan rata-rata 5 tahun

terakhir pada periode yang sama, yaitu sebesar 2,78 persen (ytd). Tekanan tersebut berasal

dari dampak kemarau panjang yang berpengaruh pada penurunan produktivitas tanaman

pangan secara umum. Secara tahunan pada November, inflasi komponen volatile food mencapai

5,02 persen (yoy) atau sama dengan rata-rata 5 tahun terakhir pada periode yang sama.

Sementara itu, inflasi komponen administered price masih melanjutkan tren menurun

seiring deflasi tarif angkutan udara. Selain karena faktor kebijakan Pemerintah dalam

pengaturan tarif dan berakhirnya masa Lebaran, tarif angkutan udara menunjukkan tren

penurunan karena masuknya periode low season sehingga permintaan masyarakat juga

menurun. Sementara itu, komoditas rokok memberikan tekanan pada komponen administered

price. Sumbangan inflasi terjadi pada seluruh jenis rokok, yaitu rokok kretek, kretek filter, dan

rokok putih. Kenaikan harga tersebut diperkirakan menjadi tindakan antisipasi para pedagang

seiring dengan rencana penerapan kenaikan cukai dan harga jual eceran yang akan diterapkan

pada Januari 2020. Hal ini ditujukan untuk menghindari kenaikan harga eceran yang terlalu

tinggi. Secara kumulatif, inflasi komponen administered price hingga November 2019 relatif

rendah pada tingkat -0,12 persen (ytd) atau 1,08 persen (yoy), jauh lebih rendah dibandingkan

November 2018 sebesar 2,13 persen (ytd) atau 3,07 persen (yoy).

Meredanya tekanan harga emas global mendorong penurunan inflasi inti. Sedikit meredanya

ketegangan perang dagang Amerika Serikat dan Tiongkok mampu menahan kenaikan harga

emas global lebih lanjut. Hal ini turut memengaruhi stabilnya harga emas perhiasan domestik

sejak Oktober. Selain itu, tekanan kenaikan biaya Pendidikan juga mulai mereda sejak bulan

Oktober seiring selesainya masa pergantian tahun ajaran baru tingkat pendidikan tinggi.

Namun, terdapat beberapa komoditas-komoditas yang memberikan tekanan sejak akhir

triwulan III, seperti nasi dengan lauk, mie, upah tukang bukan mandor, serta tarif sewa dan

kontrak rumah. Meningkatnya harga nasi dengan lauk merupakan dampak lanjutan dari

kenaikan yang sebelumnya terjadi pada bahan pangan. Penyelesaian proyek pekerjaan hingga

3,30% 3,23%

3,00%3,05%

3,08%

8,76%

3,07%

1,08%-1,24%

4,32% 5,02%

-2,0%

0,0%

2,0%

4,0%

6,0%

8,0%

10,0%

12,0%

Jan

Feb

Mar

Apr

Mei

Jun

Jul

Ags

Sep

Okt

Nov

Des Jan

Feb

Mar

Apr

Mei

Jun

Jul

Ags

Sep

Okt

Nov

Des Jan

Feb

Mar

Apr

Mei

Jun

Jul

Ags

Sep

Okt

Nov

2017 2018 2019

Umum

Inti

Harga Diatur Pemerintah

Harga Bergejolak

3,03%

Page 56: TINJAUAN EKONOMI, KEUANGAN, & FISKAL

52 Edisi IV 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal

akhir tahun 2019 juga mendorong peningkatan upah tukang bukan mandor. Sementara itu,

peningkatan tarif sewa dan kontrak rumah salah satunya disebabkan oleh kenaikan biaya

bahan bangunan atau pemeliharaan rumah, seperti pasir, batako, batu bata, genteng, dan cat

tembok. Hingga November 2019, inflasi komponen inti mencapai 2,91 persen (ytd) atau 3,08

persen (yoy), sedikit meningkat dibandingkan November 2018 yang mencapai 2,90 persen (ytd)

atau 3,03 persen (yoy).

Grafik 31. Komponen Pembentuk Inflasi Januari–November 2019 (persen, ytd)

Sumber: BPS

0,32 0,24 0,35

0,80

1,48

2,052,36 2,48

2,20 2,222,37

-0,4

0,0

0,4

0,8

1,2

1,6

2,0

2,4

2,8

Jan-19 Feb-19 Mar-19 Apr-19 May-19 Jun-19 Jul-19 Aug-19 Sep-19 Oct-19 Nov-19

Inti Harga Diatur Pemerintah Harga Bergejolak Umum

Page 57: TINJAUAN EKONOMI, KEUANGAN, & FISKAL

Edisi IV 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal 53

Boks 1. Strategi Peningkatan Daya Serap Tenaga Kerja untuk Menurunkan Angka Pengangguran

Rilis ketenagakerjaan Indonesia pada Agustus 2019 menunjukkan kenaikan Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) dan jumlah angkatan kerja, serta penurunan Tingkat

Pengangguran Terbuka (TPT). TPAK Agustus 2019 tercatat sebesar 67,49 persen, naik 0,23 pp dibandingkan TPAK Agustus 2018 yang sebesar 67,26 persen. Peningkatan TPAK ini menjadi indikasi adanya potensi ekonomi dari sisi penawaran tenaga kerja. Kenaikan TPAK mendorong kenaikan jumlah angkatan kerja pada bulan Agustus 2019 menjadi 133,56 juta orang, meningkat 2,55 juta orang dibandingkan Agustus 2018. Sementara itu, Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) menunjukkan tren penurunan sejak tahun 2015 sampai dengan tahun 2019. Pada Agustus 2019, TPT turun menjadi 5,28 persen dibandingkan tahun sebelumnya sebesar 5,34 persen.

Indonesia menempati urutan kedua TPT tertinggi di Kawasan ASEAN setelah Filipina (5,40 persen). TPT Indonesia relatif tinggi dibandingkan Malaysia yang hanya 3,30 persen (per September 2019) dan Vietnam yang sebesar 2,17 persen (per September 2019), mengingat Indonesia menampung jumlah tenaga kerja dan populasi terbesar di Kawasan ASEAN. Data World Bank menyatakan total populasi Indonesia pada 2018 mencapai 267,6 juta jiwa dan berada pada peringkat empat dunia. Sedangkan, Vietnam dan Malaysia masing-masing hanya 95,5 dan 31,5 juta jiwa. Namun demikian, Tiongkok sebagai negara dengan jumlah penduduk terbanyak di dunia yakni dengan populasi 1,39 milliar jiwa pada 2018, tetap mampu menekan angka pengangguran pada level 3,61 persen (per September 2019). Jadi, faktor jumlah penduduk justru akan menjadi potensi ekonomi apabila serapan tenaga kerja Indonesia dapat dioptimalkan.

Grafik 32. Tingkat Pengangguran (dalam persen)

Sumber : Bloomberg

Secara absolut, kesempatan kerja baru yang tercipta sedikit lebih rendah dibandingkan dengan

penambahan angkatan kerja baru. Kesempatan kerja baru yang tercipta hanya sebesar 2,50 juta atau lebih rendah sebesar 50 ribu dari penambahan angkatan kerja baru yang meningkat sebesar 2,55 juta orang. Sektor perdagangan memegang peranan terbesar dalam menciptakan kesempatan kerja baru yakni sebesar 1,5 juta orang, yang kemudian diikuti oleh sektor jasa kemasyarakatan (0,8 juta orang), dan sektor industri (0,7 juta orang). Sementara itu, kesempatan kerja yang diciptakan oleh sektor konstruksi relatif kecil meski Pemerintah sedang giat membangun infrastruktur dalam empat tahun terakhir.

Pada Agustus 2019, setiap satu persen pertumbuhan ekonomi mampu menciptakan 0,40 persen lapangan kerja baru, atau tambahan sekitar 495 ribu orang tenaga kerja. Secara rata-rata dalam periode 2015-2019, setiap 1 persen pertumbuhan ekonomi mampu menciptakan 468 ribu

5,40 5,28

3,30

2,30 2,171,60

0,900,60

0,10

3,61

Filipina Indonesia Malaysia Singapura Vietnam Myanmar Thailand Laos Kamboja Tiongkok

Page 58: TINJAUAN EKONOMI, KEUANGAN, & FISKAL

54 Edisi IV 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal

kesempatan kerja baru, lebih tinggi dibandingkan dengan periode 2009-2014 yang hanya sebesar 365 ribu kesempatan kerja baru per 1 persen pertumbuhan ekonomi.

Grafik 33. Penambahan Kesempatan Kerja Menurut Lapangan Usaha

Sumber : BPS, diolah.

Dalam rangka mencapai TPT yang jauh lebih rendah, Pemerintah perlu memperkuat strategi kebijakan cipta lapangan kerja guna menambah daya serap tenaga kerja di perekonomian.

Untuk menstimulus penyerapan tenaga kerja, Pemerintah akan fokus antara lain pada hal-hal berikut: (1) pengembangan dan perbaikan pasar tenaga kerja untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan job creation, (2) peraturan ketenagakerjaan yang seimbang, (3) peningkatan kualitas dan produktivitas tenaga kerja, (4) kesesuaian antara keterampilan pekerja dengan kebutuhan dunia usaha (skill mismatch), dan (5) penyiapan SDM melalui pelatihan vokasi untuk up and re-skilling.

Grafik 34. Pertumbuhan Ekonomi dan Penyerapan Tenaga Kerja

Sumber : BPS, diolah

2,3

3,3

-0,8

5,1

0,31,9

0,2

3,6

2,6

3,0 2,5

-2,0

-1,0

0,0

1,0

2,0

3,0

4,0

5,0

6,0

-3,0

-2,0

-1,0

0,0

1,0

2,0

3,0

4,0

5,0

2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019

Persen, yoyJuta orang

Jasa Kemasyarakatan Jasa Keuangan Transportasi dan KomunikasiPerdagangan Konstruksi LGAIndustri Pertambangan PertanianLap. Kerja baru Pert. Lap. Kerja (kanan)

436

501 537

237189

351 374

39

713

515

578

495

0,44 0,49 0,51 0,22 0,170,32 0,33

0,030,62 0,43 0,48 0,40

0

100

200

300

400

500

600

700

800

0

1

2

3

4

5

6

7

2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019*

dlm ribuPersen

Elastisitas Penyerapan TK (RHS, Ribu Orang) PDB (%, yoy) Bekerja (%, yoy) Growth Bekerja per PDB (%)

Page 59: TINJAUAN EKONOMI, KEUANGAN, & FISKAL

Edisi IV 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal 55

Page 60: TINJAUAN EKONOMI, KEUANGAN, & FISKAL

56 Edisi IV 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal

ANALISIS KINERJA APBN DAN KEBIJAKAN FISKAL

BAGIAN II

Boks 2. Tugas Berat Tim Reformasi Perpajakan

Page 61: TINJAUAN EKONOMI, KEUANGAN, & FISKAL

Edisi IV 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal 57

Page 62: TINJAUAN EKONOMI, KEUANGAN, & FISKAL

58 Edisi IV 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal

ANALISIS KINERJA APBN PER NOVEMBER 2019

Di tengah prospek perlambatan yang terjadi pada pertumbuhan ekonomi Indonesia di

triwulan III, realisasi APBN pada November 2019 masih mencatatkan kinerja yang positif.

Pendapatan negara dan hibah masih mencatatkan pertumbuhan sebesar 0,9 persen (yoy).

Pertumbuhan ini didorong oleh kinerja positif pada penerimaan cukai yang tumbuh signifikan

sejak awal tahun. Sementara itu, belanja negara tercatat tumbuh sebesar 5,3 persen (yoy). Ini

merupakan dampak dari meningkatnya realisasi bantuan sosial dalam menjaga daya beli

masyarakat miskin, seperti PKH, PBI JKN, dan PBNT. Di samping itu, tumbuhnya Transfer ke

Daerah dan Dana Desa (TKDD) juga berdampak pada pertumbuhan belanja negara. Pemerintah

akan terus menjaga defisit APBN serta rasio utang dalam tingkat terkendali guna menjaga fiskal

dalam kondisi yang sehat, terutama untuk mengantisipasi perubahan dalam perekonomian

global.

Tabel 7. Kinerja APBN per Oktober 2019 (triliun Rupiah)

Sumber: Kementerian Keuangan

Kinerja pendapatan negara tercatat masih tumbuh positif, kendati dibandingkan tahun sebelumnya mengalami perlambatan. Hingga akhir November 2019, pendapatan negara mampu mencatatkan pertumbuhan sebesar 0,9 persen (yoy). Secara spesifik, komponen penerimaan perpajakan, kepabeanan dan cukai, serta Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) mampu mencatatkan pertumbuhan, masing-masing sebesar 0,8 persen (yoy), 2,60 persen (yoy), dan 3,44 persen (yoy). Ketiga komponen tersebut memberikan kontribusi atas positifnya kinerja pendapatan negara.

Page 63: TINJAUAN EKONOMI, KEUANGAN, & FISKAL

Edisi IV 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal 59

Tabel 8. Penerimaan Beberapa Jenis Pajak; Grafik 35. Pertumbuhan Penerimaan Beberapa Jenis Pajak

PPh 21 Rp 133,17 T 11,7 %

PPh 22 Impor Rp 49,32 T 4,3 %

PPh OP Rp 10,34 T 0,9 %

PPh Badan Rp 211,66 T 18,6 %

PPh 26 Rp 49,25 T 4,3 %

PPh Final Rp 107,44 T 9,5 %

PPN Dalam Negeri

Rp 271,51 T 23,9 %

PPN Impor Rp 155,7 T 13,7 %

Sumber: Kementerian Keuangan

Pertumbuhan penerimaan perpajakan yang mencapai 0,80 persen (yoy) ditopang oleh

beberapa komponen perpajakan yang mengalami baik pertumbuhan positif maupun negatif.

Pertumbuhan positif didorong oleh peningkatan pada kinerja PPh nonmigas yang tumbuh

sebesar 4,07 persen (yoy). Tumbuhnya PPh nonmigas bersumber dari jenis pajak PPh Pasal

25/29 orang pribadi serta PPh Pasal 21, menunjukkan bahwa fundamental ketenagakerjaan di

Indonesia relatif stabil. Sementara itu, pertumbuhan negatif yang terjadi disebabkan pajak-

pajak atas impor yang secara umum mengalami kontraksi. Moderasi aktivitas impor ditambah

masih lemahnya harga komoditas di pasar global membuat kegiatan impor pun mengalami

penurunan. Lemahnya kinerja pajak impor sangat mempengaruhi pertumbuhan penerimaan

perpajakan, walaupun pada November 2019 masih mampu mencatatkan pertumbuhan yang

positif.

Realisasi penerimaan kepabeanan dan cukai terus melanjutkan tren positif dengan

pertumbuhan mencapai 2,60 persen (yoy). Pertumbuhan ini didorong oleh Cukai Hasil

Tembakau (CHT) memiliki porsi terbesar pada penerimaan cukai dan mampu mencatatkan

pertumbuhan sebesar 13,69 persen (yoy). Kebijakan relaksasi pelunasan pita cukai rokok serta

efektivitas program Penerbitan Cukai Berisiko Tinggi (PCBT) dalam mengurangi peredaran

rokok illegal berkontibusi besar atas kinerja penerimaan CHT. Di samping itu, penerimaan

cukai Minuman Mengandung Etil Alkohol (MMEA) juga mampu tumbuh sebesar 15,49 persen

(yoy). Hal ini disebabkan kondusifnya pasar permintaan dari MMEA. Dua komponen ini

memberikan sumbangsih bagi pertumbuhan pada penerimaan kepabeanan dan cukai,

melanjutkan tren yang berlangsung sejak awal tahun.

growth y-o-y 2019

growth y-o-y 2018

10,6%

-1,5%

16,6%

1,2%

-5,3%

6,7%

-1,8%

-7,9%

15,6%

27,3%

20,9%

22,1%

15,3%

9,4%

8,5%

26,5%

growth y-o-y 2019

growth y-o-y 2018

Page 64: TINJAUAN EKONOMI, KEUANGAN, & FISKAL

60 Edisi IV 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal

Tabel 9. Kinerja Realisasi PNBP (triliun Rupiah)

Sumber: Kementerian Keuangan

Sejalan dengan penerimaan perpajakan serta kepabeanan dan cukai, PNBP mampu tumbuh

sebesar 3,44 persen (yoy). Terdapat dua faktor utama yang mempengaruhi kinerja PNBP, yakni

penerimaan SDA serta Kekayaan Negara Dipisahkan (KND). Penerimaan SDA pada Bulan

November 2019 mencatatkan pertumbuhan negatif sebesar 9,22 persen (yoy). Hal ini

disebabkan penurunan harga komoditas pertambangan, seperti rata-rata ICP dan harga

batubara selama periode Januari-Oktober 2019. Sementara itu, komponen KND mampu

mencatatkan pertumbuhan 70,19 persen (yoy). Setoran sisa surplus Bank Indonesia pada Mei

2019 serta dividen BUMN yang terealisasi hingga November 2019 berandil besar dari

pertumbuhan signifikan pada komponen KND. Dapat disimpulkan, komponen KND

berkontribusi signifikan terhadap pertumbuhan PNBP, di tengah pelemahan harga komoditas

di pasar global.

Realisasi belanja negara hingga November 2019 masih menunjukkan kinerja positif dengan

total realisasi sebesar Rp2.046 triliun atau 83,1% terhadap APBN 2019. Kinerja ini didukung

oleh realisasi belanja pemerintah pusat sebesar Rp1.293,2 triliun (79,1% terhadap APBN) dan

Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD) sebesar Rp752,8 triliun (91,1% terhadap APBN).

Secara nominal, realisasi belanja pemerintah pusat dan TKDD lebih tinggi dibanding tahun

2018 namun penyerapannya lebih rendah jika dibandingkan target APBN.

Kinerja realisasi belanja pemerintah pusat hingga November 2019 tercatat membaik

dibanding periode yang sama di 2018, terutama pada Belanja Kementerian/Lembaga (K/L).

Realisasi belanja K/L mencapai Rp717,8 triliun (83,9% terhadap APBN) atau tumbuh 7,7%

dibanding realisasi tahun sebelumnya. Perbaikan kinerja ini terutama ditopang oleh

peningkatan realisasi bantuan sosial, belanja pegawai, dan belanja barang, yang kemudian

berkontribusi pada perbaikan pertumbuhan konsumsi (baik konsumsi rumah tangga maupun

konsumsi pemerintah). Sementara realisasi belanja Non K/L hingga November 2019 tercatat

sebesar Rp575,4 triliun (73,9% terhadap APBN). Realisasi ini lebih rendah dibanding kinerja

November 2018 yang mencapai 92,1% terhadap APBN akibat dari menurunnya realisasi belanja

subsidi.

Page 65: TINJAUAN EKONOMI, KEUANGAN, & FISKAL

Edisi IV 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal 61

Tabel 10. Kinerja Penyerapan Belanja Pemerintah Pusat hingga 30 November 2019

Sumber: Kementerian Keuangan

Hingga 30 November 2019, realisasi bantuan sosial (Bansos) telah mencapai Rp105,7 triliun

(108,9% terhadap APBN) atau tumbuh 44,1% dibanding realisasi November 2018. Peningkatan

realisasi Bansos ini mencerminkan komitmen dan keberpihakan pemerintah untuk menjaga

daya beli masyarakat berpendapatan rendah dan mengurangi kesenjangan, yaitu melalui

penyaluran Bansos dalam bentuk PKH, subsidi premi PBI JKN, BPNT, dan belanja Bansos

lainnya. Belanja pegawai tumbuh 12,1% dibanding realisasi November 2018, didorong oleh

kenaikan tunjangan kinerja atas capaian reformasi birokrasi beberapa K/L, kenaikan gaji

pokok, serta pencairan THR dan gaji ke-13. Realisasi belanja barang juga mampu tumbuh 1,4%

dibanding November 2018 antara lain untuk pelaksanaan dan pengawasan Pemilu, dukungan

pengadaan alutsista, fasilitas peningkatan kualitas rumah swadaya, dan preservasi

pemeliharaan rutin jalan nasional. Sementara realisasi belanja modal tumbuh negatif 6,8%

karena target di APBN 2019 yang lebih rendah dibanding APBN 2018. Selain itu, realisasi

belanja modal di 2019 juga masih menghadapi kendala penyelesaian ganti rugi pembebasan

lahan, payung hukum penugasan baru yang terbit di pertengahan 2019, serta gangguan

keamanan seperti di provinsi Papua dan Papua Barat.

Selain capaian output perlindungan sosial, atas belanja K/L yang telah terealisasi, pemerintah

telah menghasilkan progress dalam mencapai target output strategis K/L lainnya, yaitu

dalam bentuk infrastruktur (jalan baru, rel kereta api, jembatan), pendidikan (KIP, BOS,

Bidikmisi), kesehatan (JKN KIS, pencegahan stunting), dan ketahanan pangan (jaringan irigasi

tersier, produksi padi, cetak sawah baru). Di sisi lain, pemerintah juga tetap menjaga stabilitas

harga dan daya beli masyarakat untuk menjangkau barang-barang tertentu melalui

penyaluran belanja subsidi (energi dan non energi). Hingga 30 November 2019, realisasi belanja

subsidi mencapai Rp177,7 triliun atau 79,2% terhadap APBN, lebih rendah dibanding realisasi

Page 66: TINJAUAN EKONOMI, KEUANGAN, & FISKAL

62 Edisi IV 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal

November tahun 2018 yang mencapai Rp182,7 triliun. Realisasi subsidi non energi tumbuh 3,5%

dibanding tahun lalu namun realisasinya masih lebih rendah dibanding pagu anggaran di

APBN karena lambatnya penagihan dan proses verifikasi sebagai dasar pembayaran subsidi. Di

sisi lain, realisasi belanja subsidi energi lebih rendah dari target dan turun hingga -5,3%

dibanding tahun lalu, antara lain karena:

1. realisasi ICP Januari-November yang rata-rata USD61,94/barel, lebih rendah dibanding

asumsi USD70/barel,

2. realisasi nilai tukar Rupiah Januari-November yang rata-rata mencapai Rp14.087/USD

(lebih kuat dibanding asumsi Rp15.000/USD).

Tabel 11. Kinerja Penyerapan Transfer ke Daerah dan Dana Desa hingga 30 November 2019

Sumber: Kementerian Keuangan

Realisasi Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD) sampai dengan November 2019 mampu

tumbuh 5,0% dibanding periode yang sama di 2018, dengan realisasi sebesar Rp752,8 triliun

atau 91,1% terhadap APBN. Realisasi Transfer ke Daerah (TKD) mampu tumbuh positif 4,0%

didorong oleh kinerja positif atas penyerapan Dana Insentif Daerah (DID), DAK Non Fisik, dan

Dana Alokasi Umum (DAU). Realisasi penyaluran DAK Fisik masih tumbuh negatif 1,9%.

Pemerintah melakukan pengetatan syarat penyaluran DAK Fisik untuk lebih memberikan

jaminan atas ketercapaian output DAK. Di sisi lain, realisasi Dana Desa berhasil tumbuh 16,9%

dibanding November 2018, atau lebih besar Rp9,2 triliun (dari Rp54,4 triliun menjadi Rp63,6

triliun), didorong oleh kenaikan penyaluran Dana Desa Tahap I dan II. Selain itu, Pemerintah

(Kementerian Keuangan, Kementerian PDTT, Kementerian Dalam Negeri) juga aktif

berkomunikasi dengan Pemerintah Daerah agar dapat segera memenuhi persyaratan demi

penyaluran TKDD yang lebih cepat dan menggunakan TKDD sesuai ketentuan agar dapat

berkontribusi dalam mengakselerasi ekonomi.

Realisasi pembiayaan anggaran hingga November 2019 mencapai Rp421 triliun, yang dikelola

untuk mengantisipasi risiko global dan tujuan investasi jangka panjang. Realisasi tersebut

mencapai 142 persen dari rencana dalam APBN 2019, serta tumbuh 21 persen dibanding

realisasi periode yang sama tahun 2018. Dilihat dari komponennya, realisasi pembiayaan utang

mencapai Rp442,9 triliun, yang antara lain terdiri dari penerbitan SBN (neto) sebesar Rp465,1

triliun. Penerbitan SBN tersebut tumbuh 25,9 persen dibanding realisasi periode yang sama

Real s.d. Nov

%thd APBN-P APBN Real s.d.

Nov %thd APBN

Growth (%) APBN Real s.d.

Nov %thd APBN

Growth (%)

1 Transfer ke Daerah 644.8 91.3 706.2 662.6 93.8 2.8 756.8 689.2 91.1 4.0a. Dana Perimbangan 621.8 91.6 676.6 638.5 94.4 2.7 724.6 662.6 91.4 3.8

i. Dana Transfer Umum 468.8 94.9 490.7 478.1 97.4 2.0 524.2 496.1 94.6 3.81) Dana Bagi Hasil 70.9 74.4 89.2 76.8 86.1 8.3 106.4 75.3 70.8 (2.0)2) Dana Alokasi Umum 397.8 99.8 401.5 401.2 99.9 0.9 417.9 420.8 100.7 4.9

ii. Dana Transfer Khusus 153.0 82.9 185.9 160.4 86.3 4.8 200.4 166.5 83.1 3.81) Dana Alokasi Khusus Fisik 50.3 72.3 62.4 48.8 78.2 (2.9) 69.3 47.9 69.1 (1.9)2) Dana Alokasi Khusus Non Fisik 102.8 89.3 123.5 111.6 90.4 8.6 131.0 118.6 90.5 6.3

b. Dana Insentif Daerah 7.5 100.0 8.5 8.1 95.3 7.6 10.0 9.7 96.8 20.0c. 15.5 76.4 21.1 16.0 75.8 3.8 22.2 16.9 76.4 5.5

2 Dana Desa 55.0 91.6 60.0 54.4 90.7 (1.0) 70.0 63.6 90.9 16.9

699.7 91.3 766.2 717.1 93.6 2.5 826.8 752.8 91.1 5.0

Transfer ke Daerah dan Dana Desa2019

JUMLAH

2017 2018

Dana Otonomi Khusus dan Penyesuaian

Page 67: TINJAUAN EKONOMI, KEUANGAN, & FISKAL

Edisi IV 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal 63

tahun 2018, dimana kenaikan tersebut merupakan bagian dari strategi front loading dalam

memanfaatkan kondusifnya situasi pasar keuangan di semester I serta mengantisipasi risiko

global yang meningkat ke depannya. Sementara itu, realisasi pinjaman tercatat negatif -Rp29,7

triliun dikarenakan pembiayaan cicilan pokok utang lebih besar daripada penarikan.

Tabel 12. Kinerja Pembiayaan Anggaran hingga 30 November 2019

Sumber: Kementerian Keuangan

Pembiayaan dikelola secara pruden dan produktif untuk menjaga keberlangsungan APBN.

Pengelolaan pinjaman terus diarahkan untuk mendukung produktivitas seperti untuk

perbaikan infrastruktur. Beberapa contoh realisasi pembiayaan dalam mendukung

infrastruktur ialah terwujudnya Jembatan Youtefa di Papua yang dibiayai dari dana Surat

Berharga Syariah Negara (SBSN) sebesar Rp1,3 triliun. Pinjaman juga terus memprioritaskan

sumber dalam negeri untuk meminimalisir risiko seperti kurs. Sikap kehati-hatian Pemerintah

juga tercermin dari posisi utang yang pada akhir November 2019 sebesar Rp4.814,31 triliun,

atau sebesar 30,03 persen terhadap PDB. Tingkat utang masih berada jauh di bawah batas yang

ditetapkan dalam Undang-Undang Keuangan Negara yakni 60 persen terhadap PDB.

Pemerintah terus mendorong diversifikasi pembiayaan untuk menjaga keberlangsungan

pembangunan. Dari total Rp 4.814,31 triliun, sebesar 84 persen, atau Rp4.044,3 triliun

bersumber dari Surat Berharga Negara dan sisanya berasal dari pinjaman negara.

I. PEMBIAYAAN UTANG 444,8 96,4 399,2 363,7 91,1 (18,2) 359,3 442,9 123,3 21,8 a. Surat Berharga Negara (neto) 442,5 94,7 414,5 369,4 89,1 (16,5) 389,0 465,1 119,6 25,9 b. Pinjaman (neto) 2,3 (38,3) (15,3) (5,8) 37,6 (351,4) (29,7) (22,2) 74,7 285,4

II. PEMBIAYAAN INVESTASI (6,0) 10,0 (65,7) (15,6) 23,8 - (75,9) (22,4) 29,5 -

III. PEMBERIAN PINJAMAN 1,7 (46,6) (6,7) (0,3) 4,5 (117,6) (2,4) 0,4 (14,9) (216,1)

IV. KEWAJIBAN PENJAMINAN - - (1,1) - - - - - - -

V. PEMBIAYAAN LAINNYA 0,3 113,3 0,2 0,2 88,4 (52,4) 15,0 0,2 1,1 (1,7)

440,9 111,0 325,9 347,9 106,7 (21,1) 296,0 421,0 142,2 21,0

Realisasi s.d. 30

November

% thd APBNP

2018 2019Pembiayaan Anggaran

(triliun rupiah) APBN Realisasi

s.d. 30 November

% thd APBN

Growth (%)

Realisasi s.d. 30

November APBN

JUMLAH

% thd APBN

Growth (%)

2017

Page 68: TINJAUAN EKONOMI, KEUANGAN, & FISKAL

64 Edisi IV 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal

BAGIAN III ULASAN KHUSUS

Penguatan Strategi untuk Mendorong Produktivitas dan Daya Saing Menuju Indonesia Emas

Page 69: TINJAUAN EKONOMI, KEUANGAN, & FISKAL

Edisi IV 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal 65

Page 70: TINJAUAN EKONOMI, KEUANGAN, & FISKAL

66 Edisi IV 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal

Penguatan Strategi Untuk Mendorong Produktivitas dan Daya Saing Menuju Indonesia Emas

Indonesia harus memacu pertumbuhan produktivitas sebagai syarat keluar dari jebakan

negara berpendapatan menengah dan segera menjadi negara maju. Hal tersebut menjadi topik

diskusi dalam seminar internasional tahunan Kementerian Keuangan yang bertajuk 9th

Annual International Forum on Economic Development and Public Policy (AIFED), yang telah

selesai dilaksanakan di Nusa Dua, Bali tanggal 5-6 Desember 2019. Tema yang diangkat sangat

menarik yaitu Thriving Indonesia: Reinforcing Strategies to Boost Productivity and Increase

Competitiveness. Gelaran ini dibuka oleh Wakil Menteri Keuangan Republik Indonesia, Profesor

Suahasil Nazara, dan dihadiri oleh para pembicara penting lainnya.

Secara teori, ukuran ekonomi sebuah negara dikaitkan dengan total barang dan jasa yang

diproduksi dalam setahun atau disebut juga Produk Domestik Bruto (PDB). Jadi, bagaimana cara

memproduksinya dan seberapa banyak jumlahnya akan berkaitan dengan produktivitas.

Secara sederhana, perbedaan produktivitas antarnegara dapat dilukiskan dengan nilai PDB per

kapita. Nilai PDB nominal Indonesia jauh lebih besar dibandingkan Singapura, Indonesia saat

ini berada di urutan ke-16 dunia untuk ukuran PDB, sedangkan Singapura hanya menempati

urutan ke-38. Namun secara produktivitas, Singapura jauh lebih tinggi di atas Indonesia karena

jumlah penduduknya yang jauh lebih sedikit dibandingkan Indonesia. Jadi, secara per kapita

PDB Singapura sebesar USD49.754 per tahun sebanding dengan lebih dari 12 kali output per

kapita Indonesia, yang hanya sebesar USD4.000 setahun. Artinya, seorang penduduk

Singapura (secara per kapita) dapat menghasilkan nilai barang dan jasa yang jauh lebih besar

dibandingkan seorang penduduk Indonesia dalam setahun.

Tingginya produktivitas akan menentukan standar hidup sebuah negara. Negara yang

memiliki produktivitas rendah cenderung memiliki tingkat kemiskinan lebih tinggi, derajat

kesehatan yang lebih rendah, dan kemampuan akademis yang juga lebih rendah. Sebagai

contoh di atas adalah Singapura yang menempati urutan tertinggi dalam kategori Human

Capital Index/HCI (indikator produktivitas antarnegara yang diterbitkan Bank Dunia dengan

melihat sisi kuantitas dan kualitas kesehatan, pendidikan, dan level ekonomi). Sementara itu,

Indonesia saat ini hanya menempati urutan ke-87 di HCI yang dikeluarkan oleh Bank Dunia.

Jadi, tingkat produktivitas Indonesia tertinggal cukup jauh jika dibandingkan dengan

Singapura.

Secara jumlah (kuantitas) penduduk Indonesia sangat besar, namun kualitas manusianya

masih relatif tertinggal. Potensi yang dimiliki Indonesia dalam bentuk populasi yang besar

harus disertai dengan peningkatan kualitas. Apalagi proyeksi ke depan yaitu di usia emas

Indonesia pada tahun 2045, jumlah penduduk Indonesia akan mencapai 319 juta orang. Di

tahun tersebut, Indonesia akan memiliki 47 persen penduduk yang berusia produktif, 73 persen

tinggal di perkotaan, dan 70 persen dari jumlah tersebut diperkirakan menjadi kelas menengah.

Beberapa lembaga juga memproyeksikan Indonesia akan menjadi kekuatan ekonomi terbesar

kelima dengan pendapatan per kapita mencapai USD23.199 pada tahun 2045.

Kinerja ekonomi nasional secara keseluruhan telah menunjukkan peningkatan yang sangat

signifikan dan lebih baik dibanding banyak negara. Enam tahun silam, Indonesia masuk dalam

Page 71: TINJAUAN EKONOMI, KEUANGAN, & FISKAL

Edisi IV 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal 67

kategori The Fragile Five bersama India, Brazil, Afrika Selatan, dan Turki. Sebagian dari kelima

negara tersebut dalam lima tahun terakhir mengalami perlambatan bahkan ada yang sudah

berada pada tahap resesi seperti Turki. Sementara itu, Indonesia tetap menunjukkan kinerja

ekonomi yang stabil dengan kemampuan mencapai pertumbuhan sekitar 5 persen. Dalam

situasi global yang tidak menentu selama beberapa periode terakhir, kinerja ekonomi Indonesia

yang stabil merupakan sebuah prestasi. Hal tersebut juga diiringi dengan perbaikan iklim

investasi yang diakui global, yang dibuktikan melalui kenaikan peringkat rating dari lembaga

seperti Moody’s, Standard & Poors, Fitch, dan R&I. Selain itu, dalam lima tahun terakhir posisi

kemudahan berusaha/Ease of Doing Business (EoDB) Indonesia juga membaik, dari urutan ke-

128 menjadi ke-73 secara global. Ranking Indonesia tersebut melesat jauh dari urutan ke-128

pada tahun 2013.

Grafik 36. Kinerja Ekonomi Beberapa Negara (persen, yoy)

Sumber: Bloomberg

Salah satu faktor yang menjaga pertumbuhan ekonomi Indonesia tetap stabil adalah konsumsi

rumah tangga, dimana sektor ini menyumbang 54,8 persen terhadap PDB. Namun demikian,

jika perekonomian hanya mengandalkan konsumsi rumah tangga, Indonesia tidak akan bisa

melompat lebih tinggi untuk cepat mengejar cita-cita menjadi negara maju. Rata-rata

pertumbuhan konsumsi rumah tangga dalam periode 2006-2018 adalah sebesar 5,06 persen.

Laju perekonomian dapat jauh lebih cepat jika Indonesia mampu meningkatkan peran investasi

dan ekspor. Saat ini masing-masing indikator tersebut hanya menyumbang PDB sebesar 32,8

persen dan 1,1 persen. Untuk dapat mendorong investasi dan ekspor berperan lebih besar, maka

faktor produktivitas dan daya saing menjadi kunci utama.

1,01 0,90

5,006,20

0,90

5,05

0

2

4

6

8

10

Brazil Russia India China South Africa Indonesia

Q1-2018 Q2-2018 Q3-2018 Q4-2018 Q1-2019 Q2-2019

Page 72: TINJAUAN EKONOMI, KEUANGAN, & FISKAL

68 Edisi IV 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal

Gambar 2. Pertumbuhan PDB dan Sumbernya Berdasarkan Sisi Pengeluaran (persen, yoy)

Catatan: RT = Rumah Tangga

LNPRT = Lembaga Non Profit yang Melayani Konsumsi RT

PMTB = Pembentukan Modal Tetap Bruto

Sumber: BPS

Sementara itu, dari sisi lapangan usaha, transformasi yang terjadi tidak seperti yang

diharapkan karena pergeseran peran sektor pertanian ke sektor industri manufaktur terhenti

sejak tahun 2002. Padahal di periode-periode sebelumnya, peran sektor industri manufaktur

terus menguat dan menggeser peran sektor pertanian. Sektor industri manufaktur menjadi

penting untuk mengambil alih peran sektor pertanian karena pertumbuhan di sektor ini akan

dapat menciptakan nilai tambah yang tinggi. Sebetulnya, terjadi transformasi dari sektor

primer atau kegiatan ekonomi yang bersifat ekstraktif (pertanian) ke sektor non-primer (sektor

yang menghasilkan nilai tambah lebih tinggi dan melahirkan inovasi) seperti industri

manufaktur. Namun, ekonomi kita cenderung bergeser ke sektor jasa yang justru informal dan

dengan nilai tambah rendah.

2015: 5.32016: -0.12017: 2.12018: 4.82019 Q3: 1.0

Konsumsi PemerintahRata-rata2006-2015:

6,0%

2015: 5.02016: 4.52017: 6.22018: 6.72019 Q3: 4.2

Investasi (PMTB)Rata-rata2006-2015:

2015: 4.82016: 5.02017: 5.02018: 5.12019 Q3: 5.15,1%

Konsumsi RT dan LNPRTRata-rata2006-2015:

ImporRata-rata2006-2015 :

4,7%

2015: -6.22016: -2.42017: 8.12018: 12.02019 Q3: -8.6

EksporRata-rata2006-2015 :

5,2%

2015: -2.12016: -1.72017: 8.92018: 6.52019 Q3: 0.02

6,8%

PDB SisiPengeluaran

(%, year-on-year)

Konsumsi RT dan LNPRT;

54.8%

KonsumsiPemerintah

7.7%

Investasi (PMTB); 32.8%

Net Ekspor; 1.1%

Lainnya; 3.6%

Page 73: TINJAUAN EKONOMI, KEUANGAN, & FISKAL

Edisi IV 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal 69

Kembali pada teori, jika ingin tumbuh lebih tinggi maka Indonesia harus melihat sumber-

sumber pertumbuhan ekonomi yang berasal dari tenaga kerja (labour), modal (capital), dan

produktivitas faktor total (total factor productivity/TFP). Kita bisa mendekomposisi

pertumbuhan ekonomi nasional, yang mencapai 5,2 persen di 2018 ke dalam tiga unsur tersebut

masing-masing menjadi 0,9 persen dari pertumbuhan tenaga kerja, 3,0 persen modal, dan 1,3

persen TFP. Hal yang sangat disayangkan adalah tren peran TFP yang semula sekitar 3,0 persen

pada periode 2000-2006, justru terus mengecil. TFP adalah rasio antara output total terhadap

input total yang merupakan salah satu faktor produksi selain modal dan tenaga kerja, atau

singkatnya tingkat produktivitas suatu ekonomi. Jika kita mampu menjaga peran TFP di angka

tersebut, pertumbuhan ekonomi nasional bisa berada di atas 6 persen di beberapa tahun

terakhir. Artinya kita akan lebih cepat bertransformasi menjadi negara maju.

Grafik 37. Sumber-Sumber Pertumbuhan Ekonomi (persen)

Source: Nurwanda & Rifai (2018)

Dari sisi produktivitas tenaga kerja (labour productivity/LP), berdasarkan data Asian

Productivity Organization (APO), pertumbuhan LP Indonesia dalam periode 2010-2016 masih

tertinggal dari Filipina, Vietnam, Kamboja, dan Laos. Masing-masing LP negara tersebut

mampu tumbuh sebesar 3,8 persen, 4,5 persen, 4,9 persen, dan 5,3 persen, sedangkan LP

Indonesia hanya tumbuh sebesar 3,6 persen di periode yang sama. Selanjutnya, apabila kita

membagi PDB ke dalam tiga sektor yakni pertanian, industri manufaktur, dan jasa, maka tren

produktivitas tenaga kerja ketiga sektor dapat terlihat pada gambar di bawah ini. Ketiga LP

menunjukkan tren yang meningkat terutama untuk sektor pertanian.

Di sisi lain, output per tenaga kerja di industri manufaktur justru melemah pada tiga tahun

terakhir, padahal sebelum 2007 LP sektor ini terus meningkat dan mampu menyumbang nilai

tambah yang tinggi ke perekonomian. Ada dua indikasi yang dapat diambil dari tren yang

terjadi, pertama, dari sisi peran industri manufaktur terhadap PDB dan kedua, dari sisi

peralihan tenaga kerja ke sektor manufaktur. Industri manufaktur sempat mengalami

penguatan porsi di ekonomi hingga mencapai 29,1 persen terhadap total PDB sampai dengan

1,9 1,2 1,1 0,9 1,3 0,8 0,6 0,5 0,4 0,6 0,5 0,1 0,8 2,3 1,3 1,1 1,5 -0,4 2,3 0,10,8

0,1 1,5 1,1 0,9

2,9 3,4 4,0 4,01,0

0,1 0,7 0,9 1,0 1,0 1,6 2,0 1,92,2

2,7 2,6 2,83,0

3,2

3,1 3,03,0

2,9 2,9 3,0

2,8 3,7 2,8

-0,1

-15,4

-0,1

3,7 2,2 3,0 3,2 3,0 3,6 2,81,8 2,1

1,02,1 3,5

0,52,3 1,2 1,8

0,6 1,1 1,3

7,58,2 7,8

4,7

-13,1

0,8

4,93,6

4,5 4,8 5,0 5,7 5,56,3 6,0

4,66,4 6,2 6,0 5,6 5,0 4,9 5,0 5,1 5,2

-18

-14

-10

-6

-2

2

6

10

1994

1995

1996

1997

1998

1999

2000

2001

2002

2003

2004

2005

2006

2007

2008

2009

2010

2011

2012

2013

2014

2015

2016

2017

2018

Labor Capital TFP GDP Growth

Page 74: TINJAUAN EKONOMI, KEUANGAN, & FISKAL

70 Edisi IV 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal

tahun 2001, kemudian perannya cenderung terus menurun hingga mencapai hanya 19,9 persen

pada tahun 2018. Proporsinya terhadap PDB terus menurun, namun dari sisi penyerapan

tenaga kerja justru meningkat. Dengan demikian, jika dihitung output per tenaga kerja, LP

industri manufaktur menurun terutama dalam tiga tahun terakhir yakni dari Rp123,7 juta di

2016 menjadi Rp120,2 juta di 2018, untuk setiap tenaga kerja per tahun di sektor industri

manufaktur. Sementara itu, LP sektor jasa berkinerja cukup baik dan konsisten, dengan tren

yang terus meningkat.

Grafik 38. (a) Gambar 3. Produktivitas Tenaga Kerja Tiga Sektor Ekonomi (harga konstan),

(b) Indeks Labour Productivity (harga konstan, 1990=100)

Sumber: BPS, diolah penulis

Beberapa faktor yang diduga mengakibatkan produktivitas di sektor industri manufaktur

tumbuh rendah, diantaranya daya saing produk manufaktur yang diperkirakan mulai

melemah. Indikasi pertama adalah Indonesia relatif kurang terpengaruh terhadap dinamika

perdagangan global. Di tengah situasi perang dagang dan beberapa sumber risiko lainnya,

pertumbuhan ekonomi Indonesia termasuk stabil dibandingkan dengan negara-negara maju

dan negara-negara berkembang. Hal ini terjadi karena perekonomian domestik mengandalkan

konsumsi rumah tangga yang menempati porsi 55 persen terhadap PDB. Sementara ekspor

bersih hanya berkontribusi sebesar 1 persen terhadap PDB, artinya Indonesia cenderung tidak

dapat mengambil keuntungan besar dari kegiatan perdagangan global yang bisa saja

disebabkan oleh rendahnya peran ekonomi domestik atas global value chain (GVC).

Dari proporsi industri manufaktur yang tidak mencapai 20 persen terhadap PDB, sebagian

besar produknya didominasi oleh makanan dan minuman, tekstil dan garmen, kulit dan

sepatu, kayu, kertas, furnitur dan sebagainya yang merupakan kategori berteknologi rendah.

Komoditas tersebut menyumbang 47,2 persen terhadap total produk industri manufaktur

Indonesia. Selanjutnya, dapat dilihat juga dari tren ekspor produk industri manufaktur yang

semakin didominasi oleh produk dengan kategori teknologi rendah dengan bahan baku

produksi yang juga masih bergantung dari input luar negeri. Berdasarkan data UN Comtrade,

porsi ekspor kita untuk produk kategori teknologi menengah dan tinggi cenderung stagnan

yang masing-masing berada di sekitar 0,60 persen dan 0,35 persen terhadap ekspor global sejak

tahun 2003. Sebaliknya, peran ekspor produk industri kategori teknologi rendah justru dengan

tren meningkat, yakni dari 1,48 persen (2003) ke 2,26 persen (2018) terhadap total ekspor produk

industri dunia. Data ini menunjukkan kita lebih unggul di produk ekspor berteknologi rendah

-

50

100

150

200

250

300

1989

1990

1991

1992

1993

1994

1995

1996

1997

1998

1999

2000

2001

2002

2003

2004

2005

2006

2007

2008

2009

2010

2011

2012

2013

2014

2015

2016

2017

2018

Juta

Rp.

Pertanian Industri Manufaktur Jasa-jasa85

105

125

145

165

185

205

225

245

1990

1991

1992

1993

1994

1995

1996

1997

1998

1999

2000

2001

2002

2003

2004

2005

2006

2007

2008

2009

2010

2011

2012

2013

2014

2015

2016

2017

2018

Page 75: TINJAUAN EKONOMI, KEUANGAN, & FISKAL

Edisi IV 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal 71

dengan nilai tambah yang juga relatif lebih rendah dibanding produk berteknologi menengah

dan tinggi, dan bukan justru sebaliknya, produk kita harus mampu berkompetisi di kategori

berteknologi menengah dan tinggi.

Salah satu penyebab rendahnya tingkat produktivitas Indonesia tidak terlepas dari faktor

kualitas tenaga kerja dan bidang pekerjaan. Tingginya lapangan kerja informal cenderung

memberikan sumbangsih nilai tambah yang rendah di perekonomian. Telah berlangsung lama

sektor informal ini terus mendominasi dengan angka terakhir mencapai 57 persen dari

lapangan kerja yang tersedia. Tingginya sektor informal ini juga disebabkan oleh latar belakang

pendidikan tenaga kerja Indonesia yang masih relatif kurang memadai dimana tenaga kerja

berpendidikan SMP ke bawah mencapai 57,5 persen dari total pekerja. Sebesar 60,43 persen dari

total pekerja Indonesia juga dengan keterampilan dan keahlian yang masih rendah. Bila

dibedah lebih dalam, di sektor informal tenaga kerja dengan pendidikan SMP ke bawah masih

mendominasi dan mencapai 75,6 persen. Sementara sektor formal memiliki catatan statistik

yang lebih baik dimana tenaga kerja yang berpendidikan SMP ke bawah hanya sekitar 36,6

persen dari total tenaga kerja formal meskipun masih menempati porsi tertinggi dari total

pekerja di sektor ini.

Jika kondisi ini terus berlanjut dan tidak segera dibenahi maka pertumbuhan ekonomi

Indonesia dalam jangka panjang akan terhambat. Peningkatan produktivitas Indonesia ini

bukan hanya pekerjaan satu atau lima tahun saja tetapi harus terus dilakukan secara

berkesinambungan. Sudah saatnya yang menjadi subjek dan objek yang dibangun adalah

manusia Indonesia, dan membangun manusia adalah pekerjaan jangka panjang. Selain

membangun manusianya, Indonesia juga harus terus memperbaiki iklim usaha dan

infrastruktur sehingga mendukung pertumbuhan produktivitas yang lebih tinggi dan mampu

mendorong perbaikan daya saing. Pemerintah dalam hal ini tentu sudah menyadari aspek-

aspek apa saja yang harus diperhatikan untuk menopang produktivitas dalam jangka panjang

diantaranya sebagai berikut.

Pertama, Pemerintah tetap melanjutkan investasi di infrastruktur. Dalam lima tahun terakhir

pemerintah telah bekerja keras untuk membangun infrastruktur dasar dan pendukung

perbaikan aktivitas ekonomi, seperti transportasi (darat, laut, dan udara), infrastruktur energi,

infrastruktur teknologi dan digital (misalnya satelit). Investasi di infrastruktur juga akan

mendukung perluasan akses logistik, jasa telekomunikasi modern, dan ketercukupan energi

listrik yang pada akhirnya akan menopang pertumbuhan produktivitas penduduk dan

perusahaan.

Kedua, Presiden Joko Widodo telah menekankan penguatan di sumber daya manusia (SDM)

pada periode kedua pemerintahannya. Sebagaimana penjelasan sebelumnya, Indonesia masih

memiliki pekerjaan rumah yang banyak untuk memperbaiki kualitas SDM. Kita harus mampu

menciptakan tenaga kerja yang memiliki keahlian dan keterampilan tinggi yang dapat dengan

cepat mengadopsi perkembangan teknologi. Selain itu, perlu strategi untuk mengalokasikan

penawaran dan permintaan tenaga kerja secara efisien sehingga tingkat produktivitas tenaga

kerja Indonesia juga dapat meningkat secara berkelanjutan.

Page 76: TINJAUAN EKONOMI, KEUANGAN, & FISKAL

72 Edisi IV 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal

Ketiga, dalam rangka mendorong lahirnya produktivitas, Pemerintah harus mampu menjaga

kompetisi di semua sektor secara sehat. Secara teori, kompetisi akan menciptakan daya saing

antar-individu dan antarperusahaan. Kompetisi juga akan melahirkan inovasi dari para pelaku

serta memperbaiki struktur ekonomi ke depan menjadi lebih efisien. Struktur ekonomi yang

mengarah menjadi lebih efisien, dalam jangka panjang, juga akan memperbaiki produktivitas.

Untuk itu, penegakan aturan persaingan sehat agar tercipta ’level playing field’ oleh lembaga

terkait menjadi penting, seperti oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), guna

mencegah terjadinya kegagalan pasar dan mengurangi praktik pencari rente.

Keempat, salah satu hambatan pelaku ekonomi untuk lebih produktif adalah terbatasnya

akses pendanaan. Oleh karena itu, Pemerintah perlu terus melakukan pendalaman sektor

keuangan sehingga tersedia akses pembiayaan yang lebih luas yang dapat digunakan oleh

pelaku ekonomi untuk melahirkan lebih banyak inovasi. Selain itu, akses pembiayaan yang

memadai akan mendukung juga pelaku ekonomi untuk mencapai produksi mendekati full

capacity (tingkat biaya produksi paling minimum). Dengan catatan, produk yang dihasilkan

juga dapat dipasarkan, sehingga mendorong peningkatan profit dan meningkatkan income.

Dalam hal ini, perluasan pasar ekspor menjadi salah satu strategi yang perlu terus diperkuat

oleh Pemerintah.

Terakhir, Pemerintah harus mampu menjalankan tata nilai pemerintahan yang baik (good governance) dan menjaga stabilitas ekonomi makro dan politik. Ini adalah syarat penting

untuk dapat menjalankan keempat strategi peningkatan produktivitas di atas. Tanpa hal ini,

kebijakan yang diambil akan menjadi tidak efektif. Untuk itu, Pemerintah harus terus

bertransformasi menjadi lebih baik dalam melaksanakan tugasnya sebagai manajer negara.

Saat ini, sinergi antara pusat dan daerah masih menjadi pekerjaan rumah utama untuk terus

ditingkatkan agar kebijakan yang dikeluarkan pemerintah lebih efektif. Selanjutnya, dengan

stabilitas ekonomi dan politik, dunia bisnis akan mampu merencanakan aktivitas bisnisnya di

masa yang akan datang dan mengurangi risiko bisnis yang ada. Dengan demikian, dunia usaha

akan terus yakin berinvestasi untuk melahirkan output yang lebih besar dan terus melakukan

inovasi.

Kelima langkah di atas merupakan upaya reformasi struktural yang harus terus diupayakan

oleh Indonesia. Posisi EoDB yang relatif stagnan dalam dua tahun terakhir pada peringkat 72-

73 menjadi salah satu indikasi perlunya upaya yang lebih kuat dalam implementasi reformasi

ekonomi. Padahal di tahun 2014 – 2017, peringkat kemudahan usaha kita sempat meningkat

tajam, yang didorong oleh beberapa langkah reformasi penting, seperti perubahan rezim

subsidi energi, akselerasi infrastruktur, serta penyederhanaan perizinan. Saat inilah

momentum yang tepat untuk Indonesia dalam meningkatkan daya saing dan kemudahan

berusaha khususnya pada hal-hal yang masih menjadi hambatan struktural Indonesia.

Berdasarkan pengukuran dalam EoDB beberapa isu yang masih menjadi faktor penghambat

seperti Starting Business, Enforcing Contracts, Trading Across Border, Dealing with Construction

Permit, dan Registration Property. Sementara itu, dalam kacamata Global Competitiveness Index,

Indonesia harus terus memperkuat daya saing pada area kualitas sumber daya manusia

Page 77: TINJAUAN EKONOMI, KEUANGAN, & FISKAL

Edisi IV 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal 73

(kesehatan, skills, pasar tenaga kerja, dan inovasi), institusi, infrastruktur, serta sistem

keuangan.

Page 78: TINJAUAN EKONOMI, KEUANGAN, & FISKAL

74 Edisi IV 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal

PERKEMBANGAN INDIKATOR EKONOMI MAKRO

LAMPIRAN

Page 79: TINJAUAN EKONOMI, KEUANGAN, & FISKAL

Edisi IV 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal 75

Page 80: TINJAUAN EKONOMI, KEUANGAN, & FISKAL

76 Edisi IV 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal

Novem

berD

esember

JanuariFebruari

Maret

AprilM

eiJuni

JuliAgustus

September

Oktober

Novem

ber

5,185,07

5,055,02

2.638,892.625,04

2.735,25 2.818,88

3.798,683.782,36

3.963,464.067,78

134,56135,39

135,83135,72

135,87136,47

137,40138,16

138,59138,75

138,373,13

3,003,23

3,132,82

2,572,48

2,833,32

3,283,32

3,493,39

3,133,00

3,033,07

3,063,06

3,033,05

3,123,25

3,183,30

3,323,20

3,083,07

3,363,39

3,383,25

3,173,38

1,892,22

1,871,88

1,581,08

4,323,39

1,760,33

0,162,05

4,084,91

4,905,96

5,494,82

5,02

14.69714.497

14.16314.035

14.21114.143

14.39314.227

14.04414.242

14.11114.118

14.06914.339

14.48114.072

14.06214.244

14.21514.385

14.14114.026

14.30814.176

14.00814.102

6,006,00

6,006,00

6,006,00

6,006,00

5,755,50

5,255,00

5,0011,8

11,7311,72

11,6811,64

11,6211,57

11,5711,55

11,5511,53

11,5110,48

10,3410,52

10,5510,51

10,510,43

10,4210,42

10,4010,33

10,2210,51

10,3810,38

10,3610,34

10,3110,26

10,2410,22

10,1610,11

10,04

68,654,8

56,661,3

63,668,3

68,161,0

61,357,3

60,859,8

63,350,9

49,051,6

55,058,2

63,960,9

54,755,0

54,857,0

54,057,1

58,457,7

60,264,0

66,171,3

71,164,1

64,059,0

62,859,7

63,0

Obligasi

Yield (5YR)7,82

7,917,85

7,517,15

7,317,54

6,786,84

6,796,71

6,436,49

Obligasi

Yield (10YR)7,87

8,038,01

7,827,63

7,837,96

7,377,38

7,337,29

7,007,11

SahamIH

SG6.056

6.1946.533

6.4436.469

6.4556.209

6.3596.391

6.3286.169

6.2286.012

NFB

SUN

, Saham, SBI

46.065-12.395

30.50230.842

24.14146.030

-16.80750.382

24.265-3.441

12.57825.706

1.652

23,3223,3

23,2223,45

23,4223,21

22,4322,63

23,1923,93

23,2893,19

94,7893,97

94,1294

94,2596,19

94,9894,48

94,6694,34

2,72,59

2,562,6

2,52,57

2,612,5

2,582,6

2,612,05

11,711,9

12,711,55

11,0611,06

9,349,69

8,678,00

6,61Sum

ber: Bank Indonesia, BPS, Bloomberg, dan DJA

Pertumbuhan Kredit

Kredit Modal Kerja (eop)

Kredit Investasi (eop)H

arga Minyak (US$/barel)

ICPW

TIBrent

SUN dan Saham

Perbankan (%)

CARLD

RN

PL

Kredit Konsumsi (eop)

Nom

inal harga berlaku (triliun rupiah)H

argaIH

K

Core (%, yoy)

Administrative Price (%

, yoy)Volatile Food (%

, yoy)

Inflasi (%, yoy)

Nilai Tukar (Rp/US$)

Rata-rataEnd O

f PeriodSuku Bunga (%

)BI-7days Repo Rate

20182019

Produk Dom

estik Bruto (PDB)

Pertumbuhan Ekonom

i (%, yoy)

Indikator

Nom

inal harga konstan (triliun rupiah)

Data Perkembangan Indikator Ekonom

i Makro

Page 81: TINJAUAN EKONOMI, KEUANGAN, & FISKAL

Edisi IV 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal 77

APBNRealisasi s.d

30 Novem

ber%

thd APBN

APBNRealisasi s.d

30 Novem

ber%

thd APBN

1.894,72

1.662,92

87,77%2.165,11

1.677,11

77,46%

1.893,52

1.652,23

87,26%2.164,68

1.675,16

77,39%

1.618,10

1.301,52

80,44%1.786,38

1.312,40

73,47%

a. Pajak Dalam

Negeri

1.579,40

1.259,97

79,78%1.743,06

1.275,62

73,18%

b. Pajak Perdagangan Internasional38,70

41,55

107,36%

43,32

36,77

84,88%275,43

350,72

127,33%

378,30

362,77

95,89%1,20

10,69

893,04%

0,44

1,95

447,25%2.220,66

1.942,61

87,48%

2.461,11

2.046,05

83,14%1.454,49

1.225,54

84,26%

1.634,34

1.293,20

79,13%847,44

666,39

78,64%

855,45

717,84

83,91%607,06

559,15

92,11%

778,89

575,36

73,87%766,16

717,07

93,59%

826,77

752,85

91,06%706,16

662,64

93,84%

756,77

689,21

91,07%60,00

54,43

90,71%

70,00

63,63

90,90%(87,33)

(28,58)

32,72%

(20,12)

(101,31)

(325,94)

(279,69)

(296,00)

(368,94)

(2,19)

(1,89)

(1,84)

(2,30)

125,00%325,94

347,94

106,75%

296,00

421,03

142,24%399,22

363,69

91,10%

359,25

442,92

123,29%(65,65)

(15,61)

23,78%

(75,90)

(22,40)

29,51%(6,69)

(0,30)

4,51%

(2,35)

0,35

-14,91%(1,12)

-

0,00%

-

-

0,00%0,18

0,16

88,42%

15,00

0,16

1,06%68,25

52,09

V. Pem

biayaan LainnyaKELEBIH

AN / (KEKURAN

GAN) PEM

BIAYAAN AN

GGARAN

% Surplus / (D

efisit) Anggaran thd PDB

E. Pembiayaan

I. Pembiayaan U

tangII. Pem

biayaan InvestasiIII. Pem

berian Pinjaman

IV. Kewajiban Penjam

inan

D. Surplus/D

efisit Anggaran (A - B)

1. Penerimaan Perpajakan

2. Penerimaan N

egara Bukan PajakII. H

ibahB. Belanja N

egaraI. Belanja Pem

erintah Pusat1. Belanja K/L2. Belanja N

on K/LII. Transfer Ke D

aerah Dan D

ana Desa

1. Transfer ke Daerah

2. Dana D

esaC. Keseim

bangan Primer

2019

I. Penerimaan D

alam N

egeri Uraian

A. Pendapatan Negara dan H

ibah

2018

Perbandingan Penyerapan APBN N

ovember 2018 dan N

ovember 2019

Page 82: TINJAUAN EKONOMI, KEUANGAN, & FISKAL

78 Edisi IV 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal

Page 83: TINJAUAN EKONOMI, KEUANGAN, & FISKAL

Edisi IV 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal 79