16
TINGKAT PRIVASI DAN BENTUK INTERAKSI PENGUNJUNG PADA RUANG TUNGGU PUSKESMAS Marhamah Zahara *1) , Rini Suryantini *2) 1) Program Studi Arsitektur Interior, Fakultas Teknik Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia. 2) Departemen Arsitektur, Gedung C Lt.2 Fakultas Teknik Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia. * [email protected]/[email protected] ABSTRAK Kegiatan pengunjung Puskesmas yang menghabiskan waktu paling lama adalah menunggu. Sering terjadi ketidaknyamanan pengunjung Puskesmas ketika menunggu karena ada bagian pada ruang tunggu yang selalu ramai dan bagian lainnya selalu sepi sehingga terjadi penggunaan ruang yang kurang optimal. Hal ini disebabkan oleh adanya hubungan dengan ruang yang akan dituju dan ketidakmerataan pembagian tempat duduk. Penelitian ini bertujuan untuk memberikan penjelasan secara rinci mengenai hubungan antar pengunjung yang terbagi menjadi dua yaitu, manusia sakit dan manusia sehat terkait sistem sensorik tubuh mereka yang mana sistem sensorik manusia sakit berbeda dengan manusia sehat. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui studi literatur mengenai privasi yang merupakan salah satu aspek pembentuk interaksi. Studi kasus dilakukan pada dua Puskesmas untuk memperlihatkan bagaimana kualitas ruang tunggu pada Puskesmas dilihat dari tingkat privasi, pengalaman ruang dan bentuk interaksi antar pengunjung. Dari studi literatur dan studi kasus tersebut dapat disimpulkan bahwa ruang tunggu Puskesmas kurang memenuhi kriteria ruang tunggu pada umumnya, khususnya pada fasilitas kesehatan. Privasi antar pengunjung selalu meningkat dalam keadaan ramai dan bentuk interaksi yang dominan terjadi adalah bentuk penolakan untuk melakukan hubungan. Hal ini terjadi karena sebagian besar pengunjung adalah manusia sakit yang mempunyai tingkat sensitif lebih tinggi. Kata Kunci: Bentuk Interaksi; Privasi; Puskesmas; Ruang Tunggu ABSTRACT Most of the time spent when visiting Puskesmas is for queing and waiting activity. The visitors, either as a patient or companion, often experience discomfort and crowding due to high density of people and limited seating arrangements, especially in peak time at particular waiting areas. On the other hand, there are also other waiting areas, which are seldom occupied. This phenomena shows that there are unequal distribution of waiting areas and seating arrangements in Puskemas, that may affect to the image of the center and affect the healing process of the patients. The purpose is to illuminate the spatial need of waiting activity, related to the condition of the visitors – healthy and ill, through literature study and participative observation in two Puskesmas. The findings from the observation of the waiting activity in Puskesmas are then related to the need of certain form of privacy as well as intimacy, to identify the interaction pattern between the visitors while waiting, so better design of waiting room can be achieved. As a result, the waiting activity in Puskemas has not Tingkat privasi…, Marhamah Zahara, FT UI, 2013

TINGKAT PRIVASI DAN BENTUK INTERAKSI PENGUNJUNG PADA …

  • Upload
    others

  • View
    8

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: TINGKAT PRIVASI DAN BENTUK INTERAKSI PENGUNJUNG PADA …

TINGKAT PRIVASI DAN BENTUK INTERAKSI PENGUNJUNG PADA RUANG TUNGGU PUSKESMAS

Marhamah Zahara*1), Rini Suryantini*2)

1)Program Studi Arsitektur Interior, Fakultas Teknik Universitas Indonesia,

Depok 16424, Indonesia. 2)Departemen Arsitektur, Gedung C Lt.2 Fakultas Teknik Universitas Indonesia,

Depok 16424, Indonesia.

*[email protected]/[email protected]

ABSTRAK Kegiatan pengunjung Puskesmas yang menghabiskan waktu paling lama adalah menunggu. Sering terjadi ketidaknyamanan pengunjung Puskesmas ketika menunggu karena ada bagian pada ruang tunggu yang selalu ramai dan bagian lainnya selalu sepi sehingga terjadi penggunaan ruang yang kurang optimal. Hal ini disebabkan oleh adanya hubungan dengan ruang yang akan dituju dan ketidakmerataan pembagian tempat duduk. Penelitian ini bertujuan untuk memberikan penjelasan secara rinci mengenai hubungan antar pengunjung yang terbagi menjadi dua yaitu, manusia sakit dan manusia sehat terkait sistem sensorik tubuh mereka yang mana sistem sensorik manusia sakit berbeda dengan manusia sehat. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui studi literatur mengenai privasi yang merupakan salah satu aspek pembentuk interaksi. Studi kasus dilakukan pada dua Puskesmas untuk memperlihatkan bagaimana kualitas ruang tunggu pada Puskesmas dilihat dari tingkat privasi, pengalaman ruang dan bentuk interaksi antar pengunjung. Dari studi literatur dan studi kasus tersebut dapat disimpulkan bahwa ruang tunggu Puskesmas kurang memenuhi kriteria ruang tunggu pada umumnya, khususnya pada fasilitas kesehatan. Privasi antar pengunjung selalu meningkat dalam keadaan ramai dan bentuk interaksi yang dominan terjadi adalah bentuk penolakan untuk melakukan hubungan. Hal ini terjadi karena sebagian besar pengunjung adalah manusia sakit yang mempunyai tingkat sensitif lebih tinggi. Kata Kunci: Bentuk Interaksi; Privasi; Puskesmas; Ruang Tunggu

ABSTRACT Most of the time spent when visiting Puskesmas is for queing and waiting activity. The visitors, either as a patient or companion, often experience discomfort and crowding due to high density of people and limited seating arrangements, especially in peak time at particular waiting areas. On the other hand, there are also other waiting areas, which are seldom occupied. This phenomena shows that there are unequal distribution of waiting areas and seating arrangements in Puskemas, that may affect to the image of the center and affect the healing process of the patients. The purpose is to illuminate the spatial need of waiting activity, related to the condition of the visitors – healthy and ill, through literature study and participative observation in two Puskesmas. The findings from the observation of the waiting activity in Puskesmas are then related to the need of certain form of privacy as well as intimacy, to identify the interaction pattern between the visitors while waiting, so better design of waiting room can be achieved. As a result, the waiting activity in Puskemas has not

Tingkat privasi…, Marhamah Zahara, FT UI, 2013

Page 2: TINGKAT PRIVASI DAN BENTUK INTERAKSI PENGUNJUNG PADA …

been catered well and the waiting areas haven’t met yet the criteria of waiting room in general and health care facilities in particular. The crowded situation can be avoided by regulate the circulation in the Puskesmas. The patients (sick condition) show not only higher sensitivity, but also higher need for privacy as well as intimacy, lesser interest for interaction even in form of refusal, which should be considered in the design of waiting rooms in Puskesmas as part of the healing process. Keywords: form of interaction; privacy level; Puskesmas; waiting room PENDAHULUAN

Dalam merancang sebuah ruang, manusia menjadi objek utama yang berperan penting

sebagai pengguna. Semua aspek yang berhubungan dengan manusia menjadi penting untuk

dipertimbangkan. Bagaimana pemahaman manusia terhadap ruang tersebut, bagaimana

manusia beraktifitas dan berhubungan sosial di dalamnya, dan lain-lain. Namun seringkali

perancang kurang memperhatikan aspek kebutuhan pengguna sehingga terjadi penggunaan

ruang yang kurang optimal terhadap fungsinya, misalnya ruang tunggu pada Puskesmas.

Sering timbul ketidaknyamanan pengunjung karena ada bagian pada ruang ini yang selalu

ramai dan bagian lainnya selalu sepi. Hal ini disebabkan oleh adanya hubungan dengan ruang

yang akan dituju setelah itu dan ketidakmerataan pembagian tempat duduk. Ruang tunggu

dapat menjadi ruang transisi karena mempunyai fungsi yang sama yaitu digunakan dalam

waktu yang tidak lama. Namun jika penggunaannya dalam waktu yang tidak sebentar, dengan

kondisi pengunjung yang sebagian besar adalah manusia sakit, hal ini akan menurunkan nilai

guna pada ruang karena tidak terkonfigurasi dengan baik.

Dalam kasus ini, kesehatan merupakan alasan utama pengunjung untuk datang. Naiknya

tingkat kesadaran masyarakat akan pentingnya kesehatan, membuat masyarakat berbondong-

bondong untuk mengoptimalkan program tersebut, khususnya untuk masyarakat dengan

ekonomi rendah. Hal ini membuat perubahan pada sarana dan prasarana yang telah

disediakan, dibuat lebih besar dan lebih baik daripada sebelumnya. Bahkan kualitas dan

pelayannya sudah cukup baik. Dengan bertambahnya fasilitas dan ruang-ruang dalam

Puskesmas, pengunjung juga semakin bertambah. Hasilnya, Puskesmas sampai saat ini sangat

jarang sepi terutama dipagi hari sehingga pengunjung cenderung menunggu dengan waktu

yang cukup lama. Tidak jarang dari mereka membawa pengantar yang juga ikut menunggu

sehingga ruang tunggu menjadi penuh dan ramai. Mereka membutuhkan ruang yang nyaman

untuk menunggu namun pada umumnya ruang tunggu Puskesmas kurang disesuaikan dengan

jumlah pengunjung yang akan datang sehingga memungkinkan mereka berada sangat dekat

Tingkat privasi…, Marhamah Zahara, FT UI, 2013

Page 3: TINGKAT PRIVASI DAN BENTUK INTERAKSI PENGUNJUNG PADA …

dengan orang yang tidak mereka kenal (asing) dan keadaan ini kemungkinan besar

menyebabkan privasi pengunjung meningkat. Ketika dihadapkan dengan keramaian oleh

orang asing, sangat sulit untuk mendapatkan kenyamanan sehingga sebagian besar

pengunjung lebih menjaga privasi mereka dengan cara verbal maupun non verbal. Bagaimana

jika mereka dalam keadaan butuh privasi dan tidak mendapatkan keintiman dengan orang-

orang yang berada disekitarnya? Oleh karena itu, tingkat privasi tergantung pada hubungan

antar individu dan keadaan individu itu sendiri. Sehingga permasalahan muncul dari adanya

ruang tunggu Puskesmas yang tidak memenuhi kebutuhan pengunjung seperti kebutuhan

privasi dan intimacy maka aktivitas menunggu menjadi tidak nyaman.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menjelaskan secara rinci hubungan antar

pengunjung Puskesmas yang dilihat dari privasi dan bentuk interaksi terkait dengan sistem

sensorik mereka dan penyusunan kursi pada ruang tunggu. Selain itu, disini akan

digambarkan bagaimana mereka berinteraksi satu sama lain sehingga akan diketahui tingkat

privasi dan kemungkinan adanya intimacy yang dibutuhkan oleh pengunjung terkait dengan

tipe pengunjung Puskesmas yaitu manusia sakit dan sehat yang sebagian besar merupakan

manusia sakit dan butuh pertolongan.

TINJAUAN TEORITIS

Kesehatan adalah pelayanan yang sifatnya mutlak dan berkaitan dengan tingkat

kesejahteraan masyarakat. Dalam hal yang bersifat mutlak, pemerintah berkewajiban untuk

menyediakan layanan yang berkualitas dan mudah dijangkau oleh masyarakat luas. Salah satu

program yang sudah terwujud adalah penyediaan Unit Pelaksana Teknis (UPT) di bidang

kesehatan yaitu Puskesmas. Puskesmas merupakan salah satu program pemerintah yang

ditujukan untuk meningkatkan nilai kesehatan pada suatu region. Puskesmas dapat dikatakan

sebagai ujung tombak peran pemerintah dalam bidang kesehatan bagi masyarakat dan mampu

memberikan pertolongan pertama dengan standar pelayanan kesehatan dalam mewujudkan

kesehatan nasional secara komprehensif (menyeluruh), tidak hanya sebatas aspek kuratif

(pengobatan), preventif (upaya pencegahan), promotif (peningkatan kesehatan) dan

rehabilitatif (pemulihan kesehatan). Setiap puskesmas harus berstandar pelayanan kesehatan

untuk dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat pada wilayah kerjanya.

Pelayanan Puskesmas merupakan pelayanan publik yang dapat menanggulangi masalah

kesehatan dalam masyarakat. Sehingga prinsip dan standar pelayanan publik harus diterapkan

pada pelayanan Puskesmas. Fasilitas pada Puskesmas merupakan sarana yang disediakan bagi

Tingkat privasi…, Marhamah Zahara, FT UI, 2013

Page 4: TINGKAT PRIVASI DAN BENTUK INTERAKSI PENGUNJUNG PADA …

pengguna Puskesmas guna menunjang kegiatan berobat bagi pasien beserta staf dan dokter

selaku pengguna yang memberikan pelayanan kesehatan. Berdasarkan Standar Operational

Posedur (SOP), ruang-ruang pada Puskesmas terbagi berdasarkan jenis penyakit yang diderita

dan sebagian besar letaknya berdekatan satu sama lain sehingga pengaturan ruang-ruang

tunggu yang akan digunakan oleh pasien menjadi penting untuk dipertimbangkan.

Dalam merancang sebuah ruang, perlu diperhatikan dari aspek pengguna. Disamping

mempunyai fungsi tertentu ruang juga harus memberikan kenyamanan bagi pengguna. (F.

Bollerey dalam Nicole, 1993). Ruang tunggu merupakan tempat dimana orang-orang duduk

atau berdiri sampai kegiatan utama mereka dimulai. Secara umum, terdapat dua tipe ruang

tunggu berdasarkan kegiatan setelah menunggu. Pertama, yang mana tiap orang

meninggalkan ruang tersebut satu per satu, seperti rumah sakit atau wawancara dalam sebuah

instansi. Tipe kedua yang mana orang-orang meninggalkan ruang tersebut secara massal,

seperti bandara, stasiun kereta, stasiun bus. Hal utama yang membedakan dua tipe itu adalah

persetujuan (penerimaan), dimana tipe pertama membutuhkan persetujuan yang sifatnya lebih

tertutup (private waiting rooms), sedangkan yang kedua tidak membutuhkan dan sifatnya

lebih terbuka (public waiting rooms). Ruang tunggu mempunyai kemiripan secara fungsi dan

kegiatan dengan ruang transisi di mana ruang ini tidak menjadi tujuan utama, tetapi

merupakan ruang pengantar menuju ruang utama dan sifatnya penting, namun tidak

mendesak. Secara fisik, objek ruang tunggu yang tidak terlepas yaitu pengguna yang

melakukan aktivitas di ruang tersebut. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, pengguna

ruang ini berhubungan dengan ada atau tidaknya tahap penerimaan untuk masuk.

Deasy & Thomas (1985) dalam buku “Designing Places for People”, mengasumsikan

bahwa ruang tunggu memang didesain untuk para pelanggan yang kegiatannya hanya

menunggu dan kegiatan menunggu ini tidak dapat dikatakan sebagai membuang waktu.

Deasy & Thomas (1985) juga menambahkan fungsi ruang tunggu sebagai ruang informasi

perusahaan/instansi yang bersangkutan. Membuat ruang tunggu sebagai image dari instansi

tersebut dan meletakkan beberapa informasi seperti koran, majalah, katalog dan lain

sebagainya.

Dalam hal ini, objek penelitian utama adalah ruang tunggu pada Puskesmas. Berikut ini

merupakan beberapa aspek yang perlu diperhatikan dalam mendesain sebuah ruang tunggu

pada fasilitas kesehatan dalam hal ini Puskesmas yang dirangkum dari beberapa sumber.

Tabel 1. Kriteria Ruang Tunggu pada Puskesmas.

Tingkat privasi…, Marhamah Zahara, FT UI, 2013

Page 5: TINGKAT PRIVASI DAN BENTUK INTERAKSI PENGUNJUNG PADA …

Kriteria Aspek Penting Keterangan

Fisik Sirkulasi Tidak membuat crowding dan

overcrowding.

Pasien dalam proses

penyembuhan (recovery)

sehingga dibutuhkan kondisi

yang tenang.

Alur Memisahkan alur datang dan

pulang pasien  

Tidak terjadi banyak

perpotongan alur pergerakan

pengunjung  

Letak Berdekatan dengan pusat

informasi (ruang berobat).

Alasan audio-visual yang harus

menerima informasi dengan

baik.

Dekat dengan toilet/WC. Waktu menunggu yang lama.

Jenis kursi Single chair, kursi yang

mempunyai batasan untuk

individu, ada jarak antar bahu.

Lebih menjaga ruang personal

pengunjung dibanding long

chair.

Kapasitas

tempat duduk

Disesuaikan dengan jumlah

pengunjung.

Pasien banyak yang tidak kuat

untuk berdiri.

Pengguna Pasien Privasi dan kemungkinan

kebutuhan intimacy

Pengaturan tempat duduk dan

jenis kursi.

Pengantar/

Pendamping

Disediakan tempat untuk

aspek ini.

Pengantar memberikan

dukungan dan rasa aman pada

pasien.

Dalam kriteria diatas semua aspek ruang tunggu pada fasilitas kesehatan menjadi

penting untuk mendukung image terkait mutu dan pelayanan pada Puskesmas tersebut.

Berdasarkan observasi, umumnya pengguna ruang tunggu pada Puskesmas adalah

pengunjung, termasuk di dalamnya pasien dan pengantar. Sedangkan dokter dan perawat

lebih sering berada di ruangan dokter sehingga jarang bahkan hampir tidak pernah

menggunakan ruang tunggu. Pada dasarnya, pengunjung yang datang mempunyai masalah

yang tidak dapat diselesaikan di rumah. Lembaga dituntut dapat melayani dari awal

kedatangan pasien apapun kondisinya dan menciptakan kesan yang ramah dan peduli untuk

menanamkan kepercayaan pasien terhadap lembaga. Terdapat dua jenis pengguna dalam

Tingkat privasi…, Marhamah Zahara, FT UI, 2013

Page 6: TINGKAT PRIVASI DAN BENTUK INTERAKSI PENGUNJUNG PADA …

ruang tunggu Puskesmas yang erat kaitannya dengan kondisi tubuh dan pikiran, yaitu

manusia sakit dan manusia sehat yang mana manusia sakit merupakan objek utama dalam

pembahasan ini. Manusia sehat yang menjadi pendamping manusia sakit juga menjadi objek

sehingga perlu dipertimbangkan kehadirannya. Manusia sakit mempunyai sistem sensorik

tubuh yang berbeda dengan manusia sehat. Mereka cenderung mengalami penurunan sistem

sensorik pada tubuh. Perbedaan kondisi tubuh manusia tidak hanya dapat mempengaruhi

interaksi yang dapat terjadi, tetapi juga pengalaman ruang karena berhubungan dengan sistem

sensorik mereka. Juhani Pallasmaa (1994) mengatakan bahwa semua sistem sensorik tubuh

manusia berperan aktif dalam proses mengalami ruang. Setiap sistem sensor mempunyai

respon dan persepsi yang berbeda-beda dan semua saling berkaitan satu sama lain sampai

membuat sebuah persepsi. “The eye is the sense of separation and distance, whereas touch is

the sense of nearness, intimacy and affection” (Juhani Pallasmaa, 2011). Dalam konteks ini,

sistem sensorik tubuh yang paling sering digunakan dalam mengalami ruang adalah sistem

sensorik yang paling mempengaruhi persepsi otak yaitu, sight, touch and hearing. Di mana

ketiganya mempunyai sistem yang lebih konsisten ketika digunakan dibanding dengan smell

dan taste.

Pada sistem penglihatan, kita hanya melihat apa yang otak kita ingin lihat dan hal itu

terjadi karena fokus pandangan terpengaruh pada sesuatu yang menjadi penting menurut otak

atau menarik perhatian. Sistem sensor mata kita seringkali salah karena banyak penghalang

dan intervensi. Ruang menjadi sempit jika penghalang sangat dekat dengan mata dan bagi

manusia sakit jarak pandang menjadi lebih sempit karena berkurangnya rasa ketertarikan pada

sesuatu. Jika dihubungkan pada ruang tunggu puskesmas yang fungsinya tidak hanya sebagai

tempat menunggu, tetapi juga mempunyai fungsi sebagai ruang transisi sehingga akan banyak

intervensi orang berlalu lalang dan jarak pandang menjadi lebih sempit.

Selain itu touch juga dipengaruhi oleh otak yang berhubungan erat dengan hearing,

yang mana suara yang didengar akan direspon oleh otak dan menghasilkan sensasi pada kulit.

Saya mengasumsikan bahwa manusia sakit cenderung mengalami penurunan semua sistem

sensorik tubuhnya karena penyakit yang dideritanya. Jika sistem penglihatan mengalami

penurunan, mereka cenderung tidak digunakan secara maksimal sehingga hearing menjadi

sistem sensorik yang akan selalu digunakan secara konsisten (kecuali pada penderita tuna

runggu) karena sistem pendengaran akan selalu bekerja walaupun dalam keadaan tidur dan

sejalan dengan touch yang mana juga dapat diandalkan sebagai sensor peraba yang

menunjukkan jarak kedekatan dengan sekelilingnya. Juga menunjukkan keintiman dan emosi

Tingkat privasi…, Marhamah Zahara, FT UI, 2013

Page 7: TINGKAT PRIVASI DAN BENTUK INTERAKSI PENGUNJUNG PADA …

terhadap orang yang berkontak fisik dengannya yang mana setiap pasien menjadi lebih

sensitif dan membutuhkan ruang intim bersama pengantarnya. Hal inilah yang harus

diperhatikan karena selain kebutuhan akan duduk, pasien yang merupakan manusia sakit juga

membutuhkan privasi dan ruang intim karena menurunnya sistem sensor pada tubuhnya.

Privasi merupakan suatu kemampuan untuk mengontrol interaksi dan kemampuan

memilih untuk mencapai interaksi seperti yang diinginkan (Rapoport dalam Soesilo, 1988).

Privasi dapat mengatur orang lain untuk mendekat atau menjauh dan tidak ingin

bersosialisasi. Pilihan untuk menghindari diri dari keterlibatan dengan orang dan lingkungan

sosial. (Marshall dalam Wrightman & Deaux. dkk, 1981). Privasi dapat dipengaruhi oleh

faktor internal maupun eksternal. Faktor personal merupakan faktor utama untuk menentukan

tinggi rendahnya privasi. Marshall (dalam Gifford, 1987) mengatakan bahwa perbedaan

dalam latar belakang pribadi akan berhubungan dengan kebutuhan akan privasi termasuk jenis

kelamin, usia dan budaya. Faktor eksternal yang berpengaruh misalnya faktor situasional di

mana tingkat privasi di dalam rumah lebih rendah daripada di tempat umum. Pada dasarnya

privasi dapat dikontrol oleh masing-masing individu dengan perilaku verbal maupun non

verbal baik sengaja maupun tidak sengaja (Altman dalam Prabowo, 1998).

Schofield (dalam Barak, 2008) menjelaskan tentang dimensi privasi antara lain:

a. Informational (psychological) privacy. Sejauh mana informasi mengenai diri suatu

individu akan dirilis secara benar kepada orang lain atau organisasi (Westin, 1967).

b. Accessibility (physical) privacy. Sejauh mana fisik seseorang dapat diakses oleh orang lain.

Individu mengendalikan keputusan tentang siapa yang memiliki akses fisik melalui akal

persepsi, pengamatan, atau kontak tubuh (DeCew, 1997, hal 76-77)

c. Expressive (interactional) privacy. Perlindungan mengekspresikan identitas diri atau

kepribadian melalui pembicaraan atau kegiatan.

Kemudian Sarwono (1992) mengemukakan enam jenis orientasi tentang privasi

yang dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok besar, yaitu:

a. Perilaku menarik diri

o Solitude, keinginan untuk menyendiri, tidak ada interaksi ataupun kontak fisik dengan

orang lain. Misalnya pergi merenung ke suatu tempat sepi karena sedang patah hati atau

kecewa.

o Seclusion, keinginan untuk menjauh dari pandangan dan gangguan suara bising dari

orang-orang yang berada didekatnya.

Tingkat privasi…, Marhamah Zahara, FT UI, 2013

Page 8: TINGKAT PRIVASI DAN BENTUK INTERAKSI PENGUNJUNG PADA …

o Intimacy, keinginan untuk dekat hanya dengan orang yang dikehendaki tetapi jauh dari

orang-orang yang tidak dikehendaki. Misalnya menjauh dengan orang-orang dan pergi

berlibur bersama keluarga atau teman dekat.

b. Perilaku mengontrol informasi

o Anonimity, keinginan untuk merahasiakan identitas diri, membebaskan diri dan tidak

ingin diamati pada suatu keramaian. Biasanya penyembunyian identitas itu dilakukan

secara sengaja.

o Reverse, keinginan untuk tidak mengungkapkan diri terlalu banyak terhadap orang lain.

Ini lebih sedikit terbuka daripada anonimity karena dapat mengungkapkan kepada orang

yang berkepentingan walaupun baru dikenal.

o Not-neighboring, keinginan untuk tidak terlibat bertetangga atau berinteraksi dengan

orang di dekatnya.

Hall (1959, 1966) memperkenalkan tentang proxemics yang menjelaskan bagaimana

ruang hadir ketika berinteraksi berdasarkan budaya. Lebih lanjut Hall (1966)

mengidentifikasikan 4 zona dalam berinteraksi berdasarkan jaraknya: intimate distance (0–45

cm.), personal distance (45 cm–76 cm), social distance (76 cm–120 cm), dan public distance

(360 cm– 760 cm). Dari hasil observasi awal pada ruang tunggu Puskesmas, intimate distance

dan personal space lebih sering muncul pada bentuk interaksi antar pengunjung yang

berkaitan dengan ruang intim antara pasien dan pengantar. Dalam ruang intim, jarak yang

terbentuk adalah intimate distance yang mana bentuk kehadiran orang lain menjadi sangat

jelas (Hall, 1966). Kontak fisik lebih diutamakan karena jaraknya yang sangat dekat sehingga

bahasa verbal jarang digunakan dan lebih sering dengan cara berbisik. Intimate distance

terbagi menjadi dua, yaitu close phase (0-15 cm) dan far phase (15–45 cm). Tingkat

penglihatan meningkat pada wajah sehingga terlihat lebih detail dari hidung, bibir, gigi.

Namun, pada jarak ini daya lihat cenderung menjadi distorsi dan tidak semua anggota tubuh

dapat terlihat. Bau dan panas dari suhu tubuh dan nafas orang lain sangat jelas sehingga jika

tidak mempunyai intimasi dengan orang pada jarak tersebut, perasaan akan menjadi tidak

nyaman dan privasi menjadi tinggi. Sedangkan dalam personal distance, bau dan panas dari

suhu tubuh dan nafas orang lain hanya kadang-kadang terjadi. Distorsi juga berkurang,

hidung, telinga, bulu mata lebih jelas bentuknya. Pada jarak ini kontak fisik jarang terjadi

karena berada pada jarak satu rentangan tangan. Personal distance terbagi menjadi dua juga

seperti intimate distance, yaitu close phase (46-76 cm) dan far phase (76–122 cm).

Bentuk interaksi manusia yang saling mempengaruhi satu sama lainnya, baik sengaja

Tingkat privasi…, Marhamah Zahara, FT UI, 2013

Page 9: TINGKAT PRIVASI DAN BENTUK INTERAKSI PENGUNJUNG PADA …

atau tidak sengaja, tidak hanya terbatas pada bentuk komunikasi menggunakan bahasa verbal,

tetapi juga dalam hal ekspresi muka, lukisan, seni, dan teknologi (Shannon & Weaver, 1949).

Komunikasi terbagi menjadi dua jenis, yaitu komunikasi verbal dan non verbal. Komunikasi

non-verbal dapat berupa pesan-pesan yang diekspresikan secara sengaja atau tidak sengaja

melalui tindakan atau perilaku (Sasa Djuarsa Sendjaja, 2008).

Salah satu bentuk dari komunikasi non verbal adalah menggunakan bahasa tubuh.

Terdapat tiga tipe umum dari bahasa tubuh menurut Beliak dan Baker (1981), yaitu kontak

mata, ekspresi wajah dan gerakan tubuh (gesture).

o Kontak mata dilakukan secara langsung antar individu yang saling berinteraksi. Kontak

mata dapat memberikan suatu pesan sehingga lawan bicara akan memperhatikan pesan

yang dimaksud melalui tatapan. Perasaan suatu individu dapat tergambarkan melalui hal

ini, misalnya pandangan sedih, cemas, takut, terharu, senang atau ceria. Sejak kontak

mata dilakukan, tiap individu dapat langsung membatasi dan mengatur sejauh mana ia

harus melakukan komunikasi.

o Ekspresi wajah merupakan reaksi secara emosional terhadap suatu pesan. Ekspresi

wajah meliputi raut wajah yang digunakan untuk menyatakan hati dan perasaan. Sebuah

ekspresi wajah yang nampak pada suatu individu dapat menjadi cerminan isi hati dan

pikiran baik senang maupun tidak senang yang mungkin tidak terungkapkan melalui

komunikasi verbal sehingga ekspresi wajah merupakan pesan yang lebih diterima dan

dipercaya oleh sebagian besar individu.

o Gesture meliputi gerakan tangan, bahu, jari-jari, kaki dan gerakan tubuh lainnya. Baik

secara sadar maupun tidak, tiap individu dapat melakukan gerakan tubuh untuk

menekankan pesan yang ingin disampaikan. Misalnya ketika gugup, bahasa tubuh yang

dapat terjadi baik secara sadar maupun tidak adalah mengerak-gerakkan kaki atau

tangan gemetar.

Bahasa tubuh ini merupakan bentuk interaksi secara non-verbal yang dapat digunakan

secara bersamaan atau menggantikan komunikasi verbal untuk menyampaikan isi pesan yang

lebih konsisten.

METODE PENELITIAN

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi literatur tentang ruang tunggu

pada fasilitas kesehatan, menjelaskan kajian teori mengenai sistem sensor manusia terkait

manusia sehat dan manusia sakit, privasi, kemudian mencoba mengaitkan teori-teori tersebut

Tingkat privasi…, Marhamah Zahara, FT UI, 2013

Page 10: TINGKAT PRIVASI DAN BENTUK INTERAKSI PENGUNJUNG PADA …

untuk menjelaskan tingkat privasi dan bentuk interaksi terkait dengan bagaimana sistem

sensorik manusia, khususnya manusia sehat dan manusia sakit pada sebuah ruang.

Melakukan studi kasus pada dua Puskesmas tingkat kecamatan di Jakarta yaitu

Puskesmas Kecamatan Kembangan dan Puskesmas Kecamatan Cengkareng untuk

mendapatkan informasi dari pengamatan langsung terhadap ruang tunggu dan pengunjung.

Pengamatan dilakukan pada ruang tunggu yang paling ramai, yaitu ruang tunggu berobat poli

umum pada Puskesmas Kembangan dan ruang tunggu registrasi pada Puskesmas Cengkareng.

Bagaimana bentuk interaksi dan tingkat privasi antar pengunjung yang terlihat dari sikap

tubuh dan pergerakan pengunjung pada waktu ramai, yaitu pagi hari. Dari hasil ini akan

didapatkan bagaimana cara mereka berinteraksi dengan ruang dan pengunjung lain untuk

mendapatkan privasi dan kemungkinan kebutuhan akan intimacy dikaitkan dengan

penyusunan tempat duduk pada Puskesmas. Selain itu juga dilakukan wawancara pengunjung

untuk mendapatkan informasi pengalaman ruang yang mereka rasakan pada ruang tersebut

serta alasan pemilihan tempat duduk terkait kondisi tubuh mereka dan faktor yang lebih

akurat seperti usia dan jenis kelamin.

HASIL PENELITIAN

Gambar 1. Layout lantai 1 (kiri) dan 2 (kanan) Puskesmas Kecamatan Kembangan.

(Sumber: Ilustrasi pribadi)

Hasil penelitian menunjukkan Puskesmas Kembangan memisahan alur masuk dan

keluar pengunjung juga memisahkan tempat menunggu untuk registrasi dan apotek sehingga

pada tempat registrasi yang sekaligus sebagai pusat informasi tidak menjadi ramai dan bising.

Ruang tunggu yang disediakan sudah cukup optimal dalam penggunaannya dengan

pembagian tempat duduk yang sudah merata pada tiap area menunggu dengan

mempertimbangkan jumlah pengunjung yang datang. Ruang tunggu yang paling ramai dan

waktu menunggu yang paling lama yaitu ruang tunggu berobat poli umum. Pada ruang tunggu

Tingkat privasi…, Marhamah Zahara, FT UI, 2013

Page 11: TINGKAT PRIVASI DAN BENTUK INTERAKSI PENGUNJUNG PADA …

ini disediakan beberapa gang chair, kursi yang mempunyai batasan antar individu dan

armrest pada kedua sisinya, sehingga kegiatan menunggu menjadi lebih nyaman karena kursi

tersebut dapat lebih menjaga privasi dengan adanya batasan area duduk untuk tiap individu.

Sebagian besar penyusunan kursi dilakukan secara memanjang dan ada beberapa yang

disusun berbaris kebelakang seperti ruang tunggu untuk registrasi dan apotek sehingga ruang

tunggu ini dapat menimbulkan kerumunan jika ramai pengunjung.

Gambar 2. Layout lantai 2 Puskesmas Kecamatan Cengkareng.

(Sumber: Ilustrasi pribadi)

Sementara itu, pada Puskesmas Cengkareng yang sebagian besar pada ruang tunggunya

menggunakan long chair, kursi panjang yang tidak mempunyai batasan area duduk utuk tiap

individu, penggunaan ruang tunggu menjadi kurang optimal karena pembagian tempat duduk

yang kurang merata yang menyebabkan banyak ruang tunggu yang selalu sepi dan ruang

tunggu yang selalu ramai. Ruang tunggu yang mempunyai potensi keramaian cukup tinggi

yaitu ruang tunggu registrasi, berobat poli umum dan apotek diletakkan secara berdekatan

sehingga sering terjadi kerumunan pengunjung pada area tersebut. Kebisingan pada

Puskesmas Cengkareng menjadi lebih tinggi karena suara dari ketiga sumber informasi yang

menggunakan pengeras suara menjadi bercampur dan pesan yang disampaikan menjadi

kurang jelas. Sama dengan Puskesmas Kembangan, penyusunan kursi pada Puskesmas ini

juga memanjang dan berbaris. Pada ruang tunggu yang paling ramai yaitu ruang tunggu

registrasi, penyusunan kursi dilakukan dengan berbaris sehingga banyak terjadinya

kerumunan pada area ini.

Pada kedua kasus ini privasi pengunjung pada ruang tunggu Puksesmas cenderung

menjadi tinggi karena beberapa faktor seperti, tipe dan penyusunan kursi pada ruang tunggu

serta kondisi tubuh pengunjung. Tingkat privasi ini akan mempengaruhi bentuk interaksi yang

Tingkat privasi…, Marhamah Zahara, FT UI, 2013

Page 12: TINGKAT PRIVASI DAN BENTUK INTERAKSI PENGUNJUNG PADA …

akan terjadi dimana jika privasi rendah, interaksi yang terjadi akan lebih bebas dan lebih

terbuka terhadap pengunjung lain. Sebaliknya jika privasi tinggi, pengunjung akan cenderung

mengindar untuk berhubungan dengan pengunjung lain. Interaksi menjadi lebih tertutup

dengan menghindari kontak mata, menjaga sikap tubuh, cenderung diam dan menggunakan

ekspresi wajah tidak senang.

PEMBAHASAN

Dalam penelitian terdapat beberapa hal yang menjadi selama pengamatan berlangsung,

diantaranya data fisik studi kasus dan narasumber. Studi kasus dilakukan pada Puskesmas

yang terletak dekat dengan tempat pengolahan data yang merupakan interpretasi wilayah

kerjanya, yaitu Puskesmas tingkat kecamatan. Data yang diterima adalah hasil dari

pengamatan langsung, sehingga hasilnya lebih akurat. Narasumber dalam penelitian ini adalah

pengunjung yang terbagi menjadi dua yaitu pasien (manusia sakit) dan pengantar (manusia

sehat) yang mana penilaiannya subjektif karena berasal dari pengalaman ruang tiap individu.

Pada manusia sakit ada kemungkinan penurunan daya sistem sensorik sehingga

penggunaannya menjadi lebih sensitif terhadap apa yang hadir disekitarnya.

Dari hasil penelitian didapatkan faktor internal yang mempengaruhi tingkat privasi

pengunjung pada kedua Puskesmas, yaitu:

− Kondisi kesehatan tubuh pasien yang mana pasien dengan penyakit yang cukup parah

mempunyai perasaan yang lebih sensitif dibanding dengan pasien dengan penyakit tidak

parah. Hal ini menyebabkan privasi mereka menjadi lebih tinggi karena berhubungan

dengan sistem sensorik tubuh mereka yang menurun.

− Jenis pengunjung sebagai pengantar atau pasien. Hal ini juga berhubungan dengan

sistem sensorik tubuh mereka.

− Kenal atau tidaknya hubungan antar pengunjung. Mana yang merupakan teman, mana

yang merupakan lawan sehingga ada kemungkinan kebutuhan intimacy. Jika

pengunjung dapat memperoleh keintiman dengan pengunjung lain yang berada

disekitarnya, maka privasi pengunjung tersebut akan menurun. Namun, jika pengunjung

tidak dapat memperoleh keintiman dengan pengunjung lain yang berada disekitarnya,

maka privasi akan meningkat.

− Perbedaan usia dan jenis kelamin yang mana walaupun dalam keadaan yang dipaksakan

pengunjung wanita lebih menerima kehadiran sesama jenisnya dibanding pengunjung

pria sehingga sering terjadinya over kapasitas dalam sebuah kursi. Usia juga

Tingkat privasi…, Marhamah Zahara, FT UI, 2013

Page 13: TINGKAT PRIVASI DAN BENTUK INTERAKSI PENGUNJUNG PADA …

mempengaruhi tingkat privasi seperti hubungan antar remaja dengan orangtua akan

mempunyai privasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan hubungan antar orangtua.

Tingkat privasi akan mempengaruhi bentuk interaksi yang dapat terjadi antar

pengunjung. Bentuk interaksi dapat terjadi baik melalui komunikasi verbal maupun non-

verbal. Salah satu contoh komunikasi non-verbal adalah bahasa tubuh sepeti kontak mata,

ekspresi wajah dan gerakan tubuh. Kedua komunikasi dapat digunakan secara bersamaan

untuk menekankan isi pesan yang disampaikan. Pada sebagian besar pengunjung Puskesmas

kedua jenis komunikasi sering digunakan secara bersamaan. Hal ini terjadi karena kondisi

ruang tunggu ramai dan bising sehingga penggunaan komunikasi non-verbal lebih konsisten

supaya isi pesan dapat tersampaikan lebih jelas. Selain itu bentuk interaksi yang sering

muncul adalah penolakan atau cenderung menghindari hubungan dengan pengunjung lain

sehingga penggunaan kedua komunikasi ini menjadi minim. Misalnya menghindari kontak

mata, cenderung diam, menjaga sikap tubuh atau menggunakan ekspresi wajah tidak senang

seperti bosan, jenuh dan sebagainya.

KESIMPULAN

Pada penelitian ini dapat diperoleh beberapa kesimpulan berdasarkan studi yang telah

dilakukan. Pada studi literatur didapatkan bahwa umumnya ruang yang berkaitan dengan

fasilitas kesehatan harus mempunyai unsur recovery sehingga proses pemulihan pasien dapat

berjalan lancar. Khususnya pada ruang tunggu harus memenuhi kriteria yang sudah

disebutkan, tidak hanya lingkungan fisik tetapi juga non fisik. Hal ini menjadi penting untuk

mendukung image terkait mutu dan pelayanan pada Puskesmas tersebut. Sehingga pengguna

menjadi objek utama yang penting dalam mendesain sebuah ruang tunggu pada Puskesmas.

Pada studi kasus, ruang tunggu Puskesmas Kembangan sudah cukup baik dengan alasan

berikut: memisahan alur masuk dan keluar pengunjung juga memisahkan tempat menunggu

untuk registrasi dan apotek sehingga pada tempat registrasi yang sekaligus sebagai pusat

informasi tidak menjadi ramai dan bising. Pembagian tempat duduk yang sudah cukup merata

pada tiap area menunggu dengan mempertimbangkan jumlah pengunjung yang datang.

Menyediakan beberapa gang chair, sehingga kegiatan menunggu menjadi lebih nyaman

karena dapat menjaga privasi tiap pengunjung dengan adanya batasan area duduk. Sementara

itu, penggunaan ruang tunggu pada Puskesmas Cengkareng menjadi kurang optimal karena

ada ruang tunggu yang selalu sepi dan ruang tunggu yang selalu ramai. Juga adanya

penggabungan ruang tunggu yang mempunyai potensi keramaian cukup tinggi sehingga

Tingkat privasi…, Marhamah Zahara, FT UI, 2013

Page 14: TINGKAT PRIVASI DAN BENTUK INTERAKSI PENGUNJUNG PADA …

kerumunan pengunjung meningkat pada area tersebut. Kebisingan pada Puskesmas

Cengkareng menjadi lebih tinggi karena suara dari ketiga sumber informasi yang

menggunakan pengeras suara menjadi bercampur dan pesan yang disampaikan menjadi

kurang jelas. Hampir semua kursi yang digunakan adalah long chair sehingga kurang dapat

menjaga privasi tiap pengunjung.

Tingkat privasi pengunjung pada ruang tunggu kedua Puskesmas cenderung berbeda-

beda tergantung dari beberapa faktor yang telah disebutkan. Tingkat privasi juga dapat dilihat

dari bentuk interaksi antar pengunjung dan sikap tubuh yang ditunjukkan yang mana sikap

tubuh penolakan lebih sering terjadi pada kedua studi kasus seperti menjaga sikap duduk atau

duduk membelakangi pengunjung lain. Sebagian besar pengunjung lebih menjaga privasi

mereka ketika dihadapkan dalam keadaan terpaksa harus berdekatan dengan pengunjung lain

yang tidak dikenal karena sangat jarang mendapatkan intimacy dengan mereka.

Berdasarkan hasil penelitian mengenai ruang tunggu pada Puskesmas didapatkan

kesimpulan bahwa bentuk interaksi yang terjadi antar pengunjung dipengaruhi oleh faktor

eksternal dan internal. Faktor eksternal berupa lingkungan fisik dari ruang tunggu tersebut

seperti peletakan ruang tunggu, sirkulasi dan alur pergerakan pengunjung, pengaturan tempat

duduk, jenis kursi yang digunakan dan kapasitas tempat duduk yang tersedia. Sedangkan

faktor internal berasal dari dalam diri pengunjung berupa privasi, dan sistem sensorik tubuh

terkait dengan dua jenis pengunjung, yaitu manusia sakit dan manusia sehat.

Dari penjabaran diatas dapat disimpulkan bahwa pada kenyataannya ruang tunggu

Puskesmas saat ini kurang memperhatikan kriteria ruang tunggu pada umumnya. Khususnya

pada fasilitas kesehatan yang seharusnya dapat me-recovery kondisi pasien secara

menyeluruh baik dari segi fisik maupun non fisik.

SARAN

Dalam penelitian ini, ada beberapa saran yang dapat diberikan kepada pihak Puskesmas

untuk meningkatkan mutu dan pelayanan terhadap pasien, yaitu:

o Sebaiknya jenis kursi yang digunakan mempunyai batasan area duduk untuk tiap individu.

Hal ini berhubungan dengan privasi pengunjung supaya lebih terjaga sehingga proses

menunggu yang berlangsung lama akan terasa lebih nyaman. Sulitnya mendapatkan

intimacy dengan orang asing membuat privasi pengunjung tinggi sehingga jenis kursi

seperti ini sesuai untuk ruang tunggu Puskesmas.

Tingkat privasi…, Marhamah Zahara, FT UI, 2013

Page 15: TINGKAT PRIVASI DAN BENTUK INTERAKSI PENGUNJUNG PADA …

o Untuk penyusunan tempat duduk sebaiknya tidak disusun berbaris kebelakang seperti pada

Puskesmas Cengkareng karena hanya akan menyebabkan tidak optimalnya penggunaan

tempat duduk secara maksimal. Alternatif lain adalah dengan memberikan jarak yang lebih

lebar antar kursi sehingga tidak memungkinkan pengunjung yang duduk di area pinggir

kursi untuk menutup jalan menuju area tengah kursi. Ada beberapa cara penyusunan kursi

yang dapat mengotimalkan fungsinya menurut saya setelah melihat kondisi kedua

Puskesmas, yaitu berbaris kesamping, menyiku pada sudut ruangan, dan bertolak belakang

antar kursi.

o Jika memungkinkan, sebaiknya alur masuk dan alur keluar pengunjung dipisahkan seperti

pada Puskesmas Kembangan untuk mengurangi tingkat keramaian dan kebisingan yang

selalu terjadi pada ruang tunggu Puskesmas.

DAFTAR REFERENSI Bechtel, R. B., & Churchman, A. (2002). Handbook Of Environmental Psychology. New

York: John Wiley & Sons.

Deasy, C. M., & Lasswell, T. E. (1985). Designing Places For People. New York: Watson-Guprill.

Efendi, F., & Makhfudli. (2009). Keperawatan Kesehatan Komunitas-Teori Dan Praktik Dalam Keperawatan. Salemba Medika , 275.

Effendy, N. (1997). Dasar-Dasar Keperawatan Kesehatan Masyarakat. Jakarta: Penerbit Kedokteran EGC.

Gifford, R. (1987). Environmental Psychology: Principles and Practice. Boston: Allyn and Bacon Inc.

Hall, E. T. (1966). The Hidden Dimension. New York: Doubleday.

Hall, E. T. (1959). The Silent Language. New York: Doubleday.

Harle', N. E. (1993). Roles and Meanings of Transitional Spaces: Some Aspects for Consideration. Rue Ribevald 78 , p. 417 - 423.

Holahan, C. (1982). Environmental Psychology. New York: Random House.

Juliansyah, E. (2013). Efektivitas Pelayanan Kesehatan di Puskesmas. STIKES.

Lang, J. (1987). Creating Architectural Theory. New York: Van Nostrand Reindhold Co.

Lang, J., dkk (1971). Designing for Human Behavior: Architecture & The Behavioral Science. Strodsburg, Pennsylvania: Dowden, Hutchingson and Ross Inc.1971.

Tingkat privasi…, Marhamah Zahara, FT UI, 2013

Page 16: TINGKAT PRIVASI DAN BENTUK INTERAKSI PENGUNJUNG PADA …

Pallasmaa, J. (1994). An Architecture of the Seven Senses. United Kingdom: John Wiley & Sons.

Pallasmaa, J. (2012). The Eyes Of The Skin: Architecture And The Sense. United Kingdom: John Wiley & Sons.

Prabowo, H. (1998). Arsitektur, Psikologi dan Masyarakat.

(http://elearning.gunadarma.ac.id/docmodul/peng_psikologi_lingkungan/bab6-

privasi.pdf, diunduh pada tanggal 20 April 2013)

Sakyi, E. K., & Bawole, J. N. (2009). An Assessment Of The Impediments To The Implementation Of Code Of Conduct Within In Public Sector In Anglophone West African Countries: The Importance Of Leadership. Electric Journal (http://www.ipmr.net) , 4.

Sarwono, S. W. (1992). Psikologi Lingkungan. Jakarta: PT. Gramedia.

Sendjaja, S. D. (2008). Manusia Komunikasi, Komunikasi Manusia. Jakarta: Kompas.

Soesilo. (1988). Perilaku Manusia Pada Penghunian Asrama. Bandung: Fakultas Pasca Sarjana ITB.

Ven, C. V. (1991). Ruang Dalam Arsitektur Edisi Ketiga Revisi. Gramedia.

Wrightsman, L., & Deaux, K. (1981). Social Psychology in The 80's. Illionis: Scott, Foresmen and Co.

Tingkat privasi…, Marhamah Zahara, FT UI, 2013