Upload
trancong
View
218
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
LAPORAN
TIM KUNJUNGAN KERJA KOMISI VI DPR RI
DALAM RANGKA MENDAPATKAN MASUKAN
TERKAIT RUU TENTANG BUMN
KE UNIVERSITAS GADJAH MADA (UGM)
DI PROVINSI D. I. YOGYAKARTA
PADA MASA PERSIDANGAN III
TAHUN SIDANG 2014-2015
TANGGAL 20 - 22 APRIL 2015
LAPORAN
KUNJUNGAN KERJA KOMISI VI DPR RI
DALAM RANGKA MENDAPATKAN MASUKAN TERKAIT
RUU TENTANG BUMN KE UNIVERSITAS GADJAH MADA (UGM)
DI PROVINSI D. I. YOGYAKARTA
Pada Masa Persidangan III Tahun Sidang 2014-2015
Tanggal 20 – 22 April 2015
I. PENDAHULUAN
A. Dasar Kunjungan Kerja
1. Rapat Internal Komisi VI DPR RI pada Masa Persidangan III
Tahun Sidang 2014-2015 pada tanggal 24 Maret 2015.
2. Surat Tugas Nomor: ST/22/KOM.VI/DPR RI/IV/2015, tanggal 14
April 2015 tentang Penugasan Anggota Komisi VI DPR RI untuk
melakukan Kunjungan Kerja dalam Masa Persidangan III Tahun
Sidang 2014 – 2015 ke Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
B. Ruang Lingkup
Laporan ini dimaksudkan untuk menyampaikan masukan
terkait perubahan UU No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha
Milik Negara, sebagai hasil temuan Komisi VI DPR RI dalam rangka
memenuhi salah satu fungsi Dewan sebagaimana diatur dalam
Peraturan DPR RI tentang Tata Tertib dengan tujuan sebagai bahan
masukan penyusunan RUU tentang BUMN, yang merupakan
Prolegnas Prioritas 2015 nomor urut 19.
Narasumber adalah Civitas Akademika dari Universitas
Gadjah Mada yaitu:
1. Prof. Dr. Nindyo Pramono, SH, MS
2. Dian Agung Wicaksono
3. Muhammad Edhie Purnawan, SE., MA., PhD
C. Susunan Anggota Tim Kunjungan Kerja
Susunan anggota Tim Kunjungan Kerja Komisi VI DPR RI sebagai
berikut:
1. Sdr. HERI GUNAWAN A-346 KETUA TIM/FGERINDRA
2. Sdr. DODI REZA ALEX NOERDIN, LIC ECON, MBA A-244 PIMPINAN/FPG
3. Sdr. ARIA BIMA A-176 ANGGOTA/FPDIP
4. Sdr. JULIARI P. BATUBARA A-168 ANGGOTA/FPDIP
5. Sdr. Ir. ERIKO SOTARDUGA B.P.S A-145 ANGGOTA/FPDIP
6. Sdr. EKA SASTRA A-257 ANGGOTA/FPG
7. Sdr. Ir. H. BAMBANG HARYO SOEKARTONO A-364 ANGGOTA/FGERINDRA
8. Sdr. SARTONO HUTOMO A-408 ANGGOTA/FPD
9. Sdri.DRA. HJ. TINA NUR ALAM, MM A-540 ANGGOTA/FPAN
10. Sdri.NENG EEM MARHAMAH ZULFA HIZ, S.Th.I A-45 ANGGOTA/FPKB
11. Sdr. TIFATUL SEMBIRING A-85 ANGGOTA/FPKS
12. Sdr. DWIAN PUJASWATI, SE SET.KOM.VI
13. Sdr. CDR BUJUNG SET.KOM.VI
14. Sdr. SAHAT ADITUA F. SILALAHI, ST, MBA P3DI
15. Sdr. K. ZULFAN ANDRIANSYAH, SH LEGAL DRAFTER
16. Sdri.FEBRI LIANY, SH, MH, MKn LEGAL DRAFTER
D. Jadwal Kegiatan
Kunjungan Kerja Komisi VI DPR RI pada masa persidangan III tahun
2014 – 2015 dilaksanakan pada tanggal 20 sampai dengan 21 April
2015. Jadwal kegiatan adalah sebagai berikut:
NO HARI/TGL PUKUL A C A R A KET
1.
Senin,
20-4-2015
18.00 WIB Tim KunKer Spesifik Komisi VI DPR
RI berkumpul di Bandara Soekarna-
Hatta Jakarta Terminal II F
Diatur oleh
Set.Komisi VI
19.05 WIB Tim KunKer take off dari Bandara
Soekarno-Hatta menuju Bandara
Internasional Adisucipto Yogyakarta
dengan pesawat Garuda Airlines GA
206.
s.d.a
20.20 WIB Tiba di Bandara Internasional Adisu
cipto Yogyakarta
20.20 – 21.00
WIB
Makan Malam
21.00 WIB Check In Hotel Tentrem Yogyakarta
2
Selasa,
21-4-2015
07.00 - 09.00 WIB Sarapan pagi di Hotel Tentrem
sekaligus check out
09.00 - 09.30 WIB Tim Kunker menuju Universitas
Gadjah Mada (UGM)
09.30 - 12.30 WIB Tim melaksanakan Focus Group
Discussion dengan Rektor dan
jajaran Guru Besar Universitas
Gadjah Mada (UGM) dan praktisi
dari BUMN
12.00 – 14.00 WIB ISOMA (makan siang/sholat dhuhur)
14.00 – 16.30 WIB Peninjauan BUMN ke Lokasi rencana
Bandara di Kulonprogo
Tentatif
16.30 – 17.30 WIB Tim berangkat menuju Bandara
Internasional Adisucipto Yogyakarta
18.20 WIB Tim Kunker take off dari Bandara
Internasional Adisucipto Yogyakarta
menuju Bandara Soekarno-Hatta
dengan Pesawat Garuda Airlines GA
215
19.40 WIB Tim Kunker tiba di Bandara
Soekarno-Hatta Jakarta
II. ISI LAPORAN
A. PERMASALAHAN TERKAIT RUU TENTANG BUMN
Perubahan terhadap UU No.19 Tahun 2003 tentang BUMN
didasarkan pada beberapa hal penting dan strategis serta
permasalahan-permasalahan yang teridentifikasi pada praktek
BUMN, yaitu sebagai berikut:
1. Penafsiran direksi BUMN mengenai praktek perusahaan yang
mengacu pada UU No 40 Tahun 2007 tentang Perseroan terbatas
menyebabkan BUMN banyak kehilangan aset melalui penjualan
yang tidak melalui mekanisme persetujuan DPR. Padahal sesuai
dengan ketentuan pada UU No 17 Tahun 2003 tentang Keuangan
Negara, modal BUMN berasal dari kekayaan negara yang
dipisahkan, dan termasuk ke dalam ruang lingkup keuangan
negara. Status keuangan negara ini juga diperkuat oleh putusan
MK No No. 62/PUU-XI/2013 yang menyatakan bahwa pemisahan
kekayaan negara tersebut tidak menjadikan beralih kepemilikan
menjadi kekayaan BUMN dan terlepas dari kekayaan Negara.
Oleh karena itu praktek penjualan aset BUMN harus melalui
mekanisme persetujuan DPR sebagaimana diatur dalam UU No 1
Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Pengawasan aset
ini juga perlu diperkuat hingga jaringan cabang-cabang BUMN
yang beroperasi di daerah.
2. Praktek BUMN yang mengacu pada UU No 40 Tahun 2007
tentang Perseroan Terbatas juga membawa penafisiran bahwa
status anak perusahaan bukan lagi merupakan BUMN.
3. Pembentukan anak perusahaan BUMN juga sudah melebar
kepada bidang usaha yang bukan merupakan core business dari
BUMN.
4. Pembentukan holding BUMN yang menyebabkan status BUMN
menjadi anak perusahaan, berpotensi menyebabkan kehilangan
aset negara. Hal ini disebabkan oleh penafsiran status anak
perusahaan yang bukan lagi BUMN menyebabkan status aset
tersebut bukan lagi merupakan aset negara melainkan menjadi
aset anak perusahaan.
5. Rumusan privatisasi banyak yang merugikan kepentingan
nasional karena membuat komposisi kepemilikan saham
pemerintah di BUMN menjadi kurang dari 50 persen. Sebagai
akibatnya Pemerintah tidak lagi memiliki kendali atas BUMN
tersebut. Ke depannya usaha privatisasi tidak boleh membuat
Pemerintah kehilangan kendali atas BUMN dan dalam penerbitan
saham baru harus mengutamakan perusahaan swasta nasional.
6. Belum adanya mekanisme reward and punishment kepada
jajaran direksi dalam rangka menjalankan praktek good corporate
governance.
7. Pelaksanaan Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL),
masih berpedoman pada UU No 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas dimana menyatakan bahwa PKBL
dibebankan menjadi komponen biaya perusahaan. Padahal
seharusnya PKBL ini diambil dari keuntungan perusahaan
sebagaimana diatur dalam UU No 19 Tahun 2003 tentang BUMN.
8. Transaksi yang dilakukan BUMN kepada pihak lain banyak yang
menggunakan kurs mata uang asing. Hal ini berdampak pada
potensi kerugian yang dialami BUMN pada saat nilai tukar rupiah
melemah.
9. Peninjauan kembali kewenangan Menteri yang dapat memberikan
hak substitusi kepada perorangan atau badan hukum yang dapat
mewakili menteri dalam RUPS.
B. Masukan Akademisi Terkait RUU BUMN
1. Prof. Dr. NINDYO PRAMONO, SH, MS
Adanya ketidakharmonisan antara UU di lingkup hukum publik
seperti UU tentang Tindak Pidana Korupsi, UU tentang
Keuangan Negara, UU tentang BPK, UU tentang PBDN,
berhadapan dengan UU di lingkup Hukum Perdata seperti UU
tentang BUMN, UU tentang Yayasan, UU tentang LPS, UU
tentang BI khususnya berkaitan dengan apa yang dimaksud
dengan kekayaan (negara) yang dipisahkan, sebagai modal
awal Badan Hukum.
Dari segi hukum KEPERDATAAN – TERMASUK HUKUM
BISNIS, teori BADAN HUKUM seharusnya dipahami sebagai
hukum khusus ( lex specialis ). Doktrin dan teori hukum bisnis
adalah pemahaman yang seharusnya diterima sebagai
pemahaman yang tepat. Kekayaan negara yang dipisahkan
menjadi modal awal BUMN akan berubah wujud menjadi saham
atau modal. Saham negara di BUMN masih dapat ditafsirkan
sebagai bagian dari kekayaan negara tetapi pendekatan
hukumnya harus menggunakan pendekatan hukum saham.
Hukum saham berada dalam ranah hukum PT.
Jika terjadi perbedaan atau pertentangan antara dua atau lebih
UU yang mengatur hal yang sama akan berlaku asas Lex
posteriori derogat legi priori dan Lex specialis derogat legi
generali, lex posteriori derogat legi priori.
Adanya Fatwa Mahkamah Agung No. WKMA/Yud/20/VIII/2006
tanggal 16 Agustus 2006 yang ditujukan ke Menteri Keuangan
terkait ketentuan Pasal 1 angka 1 UU tentang BUMN, Pasal 4
ayat (1) dan penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU tentang BUMN
dihubungkan dengan ketentuan Pasal 1 angka 6 UU tentang
Perbendaharaan Negara jis Pasal 8 UU No. 49 Prp tahun 1960
tentang PUPN dan Pasal 1 huruf g UU tentang Keuangan
negara, dengan adanya UU tentang BUMN maka ketentuan
dalam Pasal 2 huruf g UU tentang Keuangan Negara khusus
mengenai “kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan
negara/perusahaan daerah “ menjadi tidak mempunyai kekuatan
mengikat secara hukum.
Putusan MK Nomor 77/PUU-IX/2011 tentang Pengujian UU No.
49 Prp Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara
tanggal 25 September 2012, memutuskan antara lain bahwa
Piutang BUMN (Persero) yang semula masuk dalam kategori
piutang negara, dengan putusan MK tidak lagi masuk dalam
kategori piutang negara.
Putusan MK sejalan dengan ketentuan Pasal 1 ayat (5) UU PBN
yang menyatakan bahwa Piutang Negara itu adalah hak
Pemerintah Pusat, sedangkan Piutang Perbankan Milik Megara
yang sudah berbadan hukum PT adalah milik Perbankan PT itu
sendiri sebagai Badan Hukum. Pasal tersebut hanya
menyebutkan Piutang Perbankan Milik Negara (Perbankan PT
Persero Tbk), tidak termasuk PT Persero lainnya.
Definisi Piutang Negara sebagaimana diatur dalam UU tentang
Perbendaharaan Negara tersebut tidak ikut diuji ke MK, yang
diuji adalah UU No.49 Prp 1960 tentang PUPN, sehingga orang
masih bisa berdebat terhadap keberlakuan definisi Piutang
Negara dalam UU tentang Perbendaharaan negara.
PT ( termasuk PT Persero ) adalah badan hukum. Salah satu ciri
dasar badan hukum adalah adanya kekayaan terpisah, yaitu
kekayaan yang dipisahkan dari kekayaan pribadi si pendiri
badan hukum tersebut. Yang diartikan dengan “ dipisahkan “ di
sini adalah di “ split “ atau dibelah atau dibagi, terlepas sama
sekali dari kekayaan si pendiri tersebut.
Bagian deviden dibagi sesuai dengan kepemilikan sahamnya.
Itulah yang menjadi haknya, YANG MENJADI BAGIAN DARI
KEKAYAANNYA. Deviden masuk kembali ke dalam keuangan
negara dan dapat diberlakukan hukum umum atau hukum publik
yang berkaitan dengan keuangan negara/kekayaan negara. Jika
deviden tidak disetor ke kas negara, maka itu berarti ada
kerugian negara.
Demikian pula jika laporan pertanggungjawaban Direksi dirasa
tidak dapat diterima oleh RUPS, maka RUPS bisa menolak
laporan pertanggungjawaban itu dan melakukan tuntutan hukum
berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku. Bisa
menggugat, bisa melaporkan adanya penyalahgunaan
wewenang dan sebagainya dengan disertai alat bukti yang kuat.
Posisi Negara sebagai pemberi modal BUMN akan berubah
sebagai Pemegang saham dan Pemilik Modal. PT (Persero )
adalah suatu entitas hukum mandiri ( persona standi in judicio ).
Menurut hukum PT, Negara di sini berstatus sebagai pemegang
saham, bukan sebagai negara lagi. Hakekat “ pemisahan “
adalah “ hibah”, pemberian.
Fisosofi “ mengelola “ tidak harus diartikan “ memiliki “.
Konstruksi “ mengelola “ ( Beheerdaad ) dapat saja bermakna
melalui jalan atau mekanisme korporasi, yaitu dengan status
Pemegang saham yang diwakili oleh Meneg BUMN/Menkeu.
Hak-hak sebagai Pemegang Saham yang demikian banyak
semua melekat di Negara sebagai Pemegang Saham.
Pasal 2 angka 7 UU No. 28 tahun 1999 tentang Penyelenggara
Negara menyatakan bahwa Penyelenggara Negara meliputi : 1).
Pejabat Negara pada lembaga Tertinggi Negara; 2). Pejabat
Negara pada Lembaga Tinggi Negara; 3). Menteri; 4). Gubernur;
5). Hakim; 6). Pejabat Negara lain sesuai dengan ketentuan
peraturan per-uu-an yg berlaku; dan 7). Pejabat lain yang
memiliki fungsi strategis dalam kaitannya dengan
penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan
per-uu-an yang berlaku.
Penjelasan angka 7 : Yang dimaksud dengan Pejabat lain yang
memiliki fungsi strategis adalah pejabat yang tugas dan
wewenangnya di dalam melakukan penyelenggaraan negara
rawan terhadap praktek KKN, yang meliputi : 1). Direksi,
Komisaris, Pejabat strtuktural lainnya pada BUMN dan BUMD,
2). Pimpinan BI; 3). Pimpinan PT Negeri, 4). Pejabat Eselon I
dan Pejabat lain yang disamakan di lingkungan sipil, militer dan
Kepolisian Negara RI; 5). Jaksa; 6). Penyidik; 7). Penitera
Pengadilan; Pemimpin dan Bendaharawan Proyek.
DIREKSI DAN DEWAN KOMISARIS MASUK DALAM
KATEGORI PENYELENGGARA NEGARA vs DIREKSI DAN
DEWAN KOMISARIS ADALAH ORGAN PT .
Pemahaman BUMN adalah organ penyelenggaraan negara
adalah sebuah pemikiran yang “ rancu “. Paradigma
penyelenggaraan negara jelas berbeda dengan paradigma
pengurus perusahaan atau BUMN. Bisa dibayangkan betapa
ruwetnya, jika korporasi harus dikelola dengan model : birokrasi
Dikaitkan dengan Judgment Rule UU No.49 Prp/60, MK
memahami piutang BUMN bukan lagi Piutang Negara tetapi
Piutang Perusahaan. Bagaimana bisa terjadi kemudian
kekayaan BUMN bukan lagi kekayaan BUMN, namun masih
merupakan bagian kekayaan negara.
“ Bingung “, di satu pihak sebagai BUMN dalam rezim Hukum
kepailitan bisa masuk dalam ranah pailit, disisi lain dalam rezim
aset negara/daerah tidak bisa disita. Paradigma Bussiness
Judgment Rules tidak tumbuh dengan Paradigma Government
Judgment Rules dan itu dijadikan pertimbangan Hakim MK
dalam memutus Judgment Rules UU BPK dan UU
Perbendaharaan Negara.
Jika pemahaman BUMN tidak sepenuhnya sebagai korporasi,
akibat adanya ketidakharmonisan kaedah sebagaimana dibahas
di atas, maka hak terkait dengan definisi BUMN, Peraturan
turunannya seperti : Peraturan Tentang Tata Cara
Pengahapusbukuan Aktiva dsb, cukup dengan persetujuan
RUPS menjadi dapat dipandang kurang tepat, sedangkan dari
hukum korporasi : itu yang tepat !.
Penyertaan modal negara yang selalu diartikan dengan “ uang “
disebabkan karena tidak dipahaminya teori tentang hukum
perseroan. Teori penyertaan yg disebut “ quasi inbreng “ adalah
jalan keluar bentuk penyertaan yang bukan uang dan itu sudah
ada sejak adanya teori tentang perusahaan, sehingga
penyertaan modal negara tidak selalu berarti dalam bentuk
uang.
2. DIAN AGUNG WICAKSONO
a. Reorientasi Keuntungan Negara dalam Falsafah BUMN
Perlu diperhatikan kembali mengenai konsepsi demokrasi
ekonomi dengan prinsip kebersamaan sebagaimana
menjadi ruh pasal 33 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 (vide
Putusan MK No. 62/PUU-XI/2013);
Guna mengejar ketinggalan dan kemajuan di bidang
perekonomian penyelengaraan ekonomi berdasarkan prinsip
efisiensi dengan tetap mempertimbangkan keadilan yang
merupakan kebutuhan fundamental dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara;
Maksud dari keadilan tersebut upaya meningkatkan
kesejahteraan rakyat di tengah-tengah kebutuhan manusia
yang tak terbatas, sedangkan sumber pemenuhan
kebutuhan sangfat terbatas;
BUMN harus melakukan reorientasi mencari keuntungan,
dengan tetap mempertahankan pertimbangan keadilan
untuk kesejahteraan rakyat.
b. Ambiguitas Menteri Pemegang Saham/Pemilik Modal
Perlu diperhatikan Lampiran II angka 212 UU No. 12 tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
menjelaskan bahwa kewenangan yang didelegasikan
kepada suatu alat penyelenggara negara tidak dapat
didelegasikan lebih lanjut kepada alat penyelenggra negara
lain, kecuali jika oleh UU yang mendelegasikan kewenangan
tersebut dibuka kemungkinan untuk itu;
Dengan demikian Menteri BUMN tidak dapat dilimpahi
kewenangan dari PP, mengingat kewenangan Menteri
Keuangan diberikan oleh UU.
c. Ambigiutas Menteri Teknis Potensi Redudansi Antar
kementerian
Menteri Teknis adalah Menteri yang mempunyai
kewenangan mengatur kebijakan sektor tempat BUMN
melakukan kegiatan usaha (vide Pasal 1 angka 6 UU
BUMN);
Menimbulkan kerancuan dan menimbulkan permasalahan
sektoral siapa yang dituju karena dimungkinkan terdapat
lebih dari 1 (satu) Menteri Teknis.
d. Stigmatisasi Pertanggungjawaban Keuangan Negara
Reformulasi delik tindak pidana korupsi agar tidak menjerat
orang-orang dalam organ BUMN yang memang memilki
iktikad baik, tidak ingin memperkaya diri sendiri ataupun
menggunakan pihak lain, walaupun menimbulkan kerugian
negara;
Diperlukan reformulasi apakah kerugian BUMN perlu
dimasukkan dalam dikotomi kerugian negara. Mengingat
terdapat business judgment rules sebagai pembenar
tindakan korporasi yang terukur dalam tata kelola korporasi;
Terkait esensi penguasaan negara, maka modal BUMN
yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan tidak
dapat dilepaskan dari rezim kekayaan negara sebagai
bagian dari keuangan negara.
e. Revitalisasi Hak Menguasai Negara dalam Lingkup BUMN
Bila BUMN didekati dengan perspektif Hak Menguasai
Negara (HMN), yang bearti salah satu wujud kewenangan
tersebut adalah melakukan pengurusan (bestuurdaad),
maka hal ini harus menjadi domain dari Negara. Dengan
demikian, Direksi berarti melaksanakan salah satu
kewenangan HMN yang harus dilakukan oleh Negara
secara mutlak. Hal ini menjadi penting diperhatikan, yang
mutatis mutandis berdampak pada mekanisme pengisian
Direksi;
Wujud kewenangan HMN lainnya adalah melakukan
pengawasan, maka hal ini harus menjadi domain dari
Negara. Dengan demikian, Komisaris atau Dewan
Pengawas berarti melaksanakan kewenangan HMN yang
harus dilakukan oleh Negara secara mutlak. Hal ini penting
diperhatikan, yang mutatis mutandis berdampak pada
mekanisme pengisian Komisaris dan Dewan Pengawas.
f. Contradictio In Propositum dalam Ketentuan Privatisasi BUMN
Rumusan privatisasi tidak tepat karena memungkinkan
menjual seluruhnya, mengingat bahwa Persero adalah
BUMN yang modalnya terbagi saham yang seluruhnya atau
paling sedikit 51% sahamnya dimiliki Negara;
Bila mengacu pada definisi privatisasi, maka jika privatisasi
seluruhnya, apakah masih dapat disebut sebagai BUMN
Persero.
g. Lemahnya Pengawasan dan Penegakan Norma UU BUMN
Hal yang harus daitur bagaimana mengukur tujuan pendirian
BUMN? Siapa yang melakukan pengawasan atas
dipenuhi/tidaknya maksud dan tujuan pendirian BUMN;
Penyertaan Modal Negara (PMN) harus melalui persetujuan
DPR sebagai bentuk fungsi pengawasan DPR, mengingat
dananya berasal dari APBN;
3. MUHAMMAD EDHIE PURNAWAN, SE., MA., PhD
BUMN yang akan kita bentuk sebaiknya tidak berada ditengah-
tengah seperti halnya sekarang, harus diperjelas pemisahan
BUMN yang untuk pelayanan publik dan BUMN yang profit
oriented ;
Pengelolaan BUMN Persero harus menciptakan profit, kenapa
laba itu penting Karena laba dapat menyelesaikan banyak
sekali persoalan‐persoalan sosial atau menciptakan
solusi‐solusi.
III. KESIMPULAN
Komisi VI DPR RI menyusun Rancangan Undang-Undang tentang
Badan Usaha Milik Negara berdasarkan berbagai permasalahan dalam
penyelenggaraan pengelolaan BUMN yang terjadi dan didukung
masukan dari para akademisi Universitas Gadjah Mada yang menjadi
bahan pertimbangan dalam penyusunan Rancangan Undang-Undang
tentang Badan Usaha Milik Negara.
IV. PENUTUP
Demikianlah gambaran laporan Kunjungan Kerja Komisi VI DPR RI pada
masa persidangan III tahun 2014 – 2015 untuk mendapatkan masukan
terkait RUU tentang Badan Usaha Milik Negara.
Jakarta, 4 Mei 2015
Ketua Tim Komisi VI DPR RI
HERI GUNAWAN