23
NASKAH PUBLIKASI SANDIWARA KAMPUANG DI SUMATERA BARAT SUATU TINJAUAN DRAMATURGI ATAS DRAMA POSKOLONIAL Tesis untuk memenuhi sebagian persyaratan mencapai derajat Sarjana S-2 Program Studi Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa diajukan oleh Dede Pramayoza 10/306938/PMU/06698 kepada SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS GAJAH MADA YOGYAKARTA 2012

Tesis Publikasi Final

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Pembahasan perihal sandiwara kampuang di Sumatera Barat

Citation preview

Page 1: Tesis Publikasi Final

NASKAH PUBLIKASI

SANDIWARA KAMPUANG DI SUMATERA BARAT

SUATU TINJAUAN DRAMATURGI ATAS DRAMA POSKOLONIAL

Tesis

untuk memenuhi sebagian persyaratan mencapai derajat Sarjana S-2 Program Studi

Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa

diajukan oleh

Dede Pramayoza

10/306938/PMU/06698

kepada

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS GAJAH MADA

YOGYAKARTA

2012

Page 2: Tesis Publikasi Final

NASKAH PUBLIKASI

SANDIWARA KAMPUANG DI SUMATERA BARAT

SUATU TINJAUAN DRAMATURGI ATAS DRAMA POSKOLONIAL

Tesis

untuk memenuhi sebagian persyaratan mencapai derajat Sarjana S-2 Program Studi

Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa

diajukan oleh

Dede Pramayoza

10/306938/PMU/06698

kepada

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS GAJAH MADA

YOGYAKARTA

2012

Page 3: Tesis Publikasi Final

NASKAH PUBLIKASI

SANDIWARA KAMPUANG DI SUMATERA BAITAT.

SUATU TINJAUAN DRAMATURGI ATAS DRAMA POSKOLONIAL

Tesisuntuk memenuhi sebagian persyaratan mencapai derajat Sarjana S-2 Program Studi

Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa

diajukan oleh

Dede Pramayoza101306938iPMU/06698

kepada

SEKOLAH PASCASARTANA

UMVERSITAS GAJAHMADAYOGYAKARTA

2012

Telah Disetujui

Tanggal 1 0 September 2012

Prof. Dr. C. Soebakdi Soemanto. S.U

Page 4: Tesis Publikasi Final

1

SANDIWARA KAMPUANG DI SUMATERA BARAT

SUATU TINJAUAN DRAMATURGI ATAS DRAMA POSKOLONIAL

Oleh: Dede Pramayoza

MJ 2/No. 872 RT 45/13 Kp. Minggiran, Mantrijeron, Yogyakarta 55141,

HP. 081363594788, email: [email protected]

10 September 2012

Intisari

Objek utama dari kajian ini adalah sandiwara kampuang, satu teater rakyat

yang hidup dalam masyarakat Minangkabau sejak awal dekade 1960-an. Kajian ini

bertujuan untuk melihat dramaturgi sandiwara kampuang, meliputi teks pementasan,

teks lakon, dan formula-formula yang digunakan dalam penyusunan teks-teks

tersebut. Dilihat dari perspektif drama poskolonial, sandiwara kampuang adalah

bentuk teater yang hibrid, dengan konsep-konsep yang sinkretik di belakangnya.

Sebagai drama poskolonial dalam masyarakat Minangkabau, sandiwara kampuang

adalah wahana berdiskursus bagi partisipannya. Poskolonialitas masyarakat

pendukungnya, kemudian menentukan perkembangan dan kemunduran sandiwara

kampuang.

Kata Kunci : sandiwara kampuang; teater rakyat; masyarakat Minangkabau;

dramaturgi; drama poskolonial.

Abstract

The main object of this research is sandiwara kampuang, a folk theatre that has

been in existence in Minangkabau society since the beginning of 1960s. The purpose

of this research is to examine the dramaturgy of sandiwara kampuang, including

performance text, play text, and some formulae used in the textual construction.

From the perspective of postcolonial drama, sandiwara kampuang was a hybrid form

of theatre, with syncretic concepts behind it. As a postcolonial drama in

Minangkabau society, sandiwara kampuang function as discoursive instrument. The

postcoloniality of its participant was the determinant factor of sandiwara kampuang

development and its deterioration.

Key Words : sandiwara kampuang; folk theatre; Minangkabau society;

dramaturgy; postcolonial drama.

A. Pengantar

Sandiwara kampuang merupakan seni dramatik yang berkembang luas dalam

masyarakat Minangkabau di Sumatera Barat pada dekade 1960-an hingga

pertengahan 1990-an. Dalam pertumbuhannya, sandiwara kampuang memberi

kesempatan keterlibatan berbagai lapisan masyarakat dalam pembangunan pola-pola

artistiknya, antara lain pembangunan lakon dan seni peran, yang merupakan ciri

kebentukan dari seni teater. Dilihat berdasarkan hal itu, dapat dikatakan bahwa

Page 5: Tesis Publikasi Final

2

sandiwara kampuang tumbuh menjadi seni dramatik populer atau ‘teater rakyat’ di

Sumatera Barat.

Penamaan sandiwara kampuang mengingatkan tentang seni dramatik yang

dikembangkan bumiputra pra-Indonesia dalam melawan hegemoni budaya kolonial

(Soedarsono, 2003: 211). Di sisi lain, sandiwara kampuang mengindikasikan ciri-ciri

kebentukan yang menggabungkan komponen-komponen dari kategori teater yang

cenderung kontradiktori, yaitu teater tradisional dan teater modern. Kontestasi

semacam ini, cenderung menimbulkan hibriditas, yang diikuti pula oleh sinkretisitas,

yaitu berbaurnya berbagai konsep seni dramatik. Dua hal ini, merupakan indikasi

dari drama dan teater poskolonial (Gilbert, Tomkins, 1996).

Berdasarkan perspektif di atas, maka sandiwara kampuang kemungkinan

merupakan semacam ‘drama poskolonial’ dalam masyarakat Sumatera Barat, atau

seturut Winet (2010) teater poskolonial Indonesia ‘Teater rakyat’ sekaligus ‘drama

poskolonial’ di Indonesia pada praktiknya seringkali merupakan bentuk hibrida dari

opera melayu dan tonil , dengan tambahan pengaruh-pengaruh seni dramatik baru.

Penelitian awal menunjukkan bahwa pemahaman tentang teater modern di Sumatera

Barat, turut disusun oleh pengalaman persentuhan dengan sandiwara kampuang. Di

samping itu, besar kemungkinan sandiwara kampuang hadir dalam masyarakat

Minangkabau sebagai jawaban atas tantangan yang tidak bisa dijawab oleh seni

dramatik yang telah ada sebelumnya, yakni randai. Penelitian ini dimaksudkan untuk

melihat: (1) riwayat dan konteks sosial-kultural sandiwara kampuang; (2) dramaturgi

sandiwara kampuang; dan (3) faktor-faktor tumbuh dan berkembangnya sandiwara

kampuang, serta sebaliknya faktor-faktor kemundurannya.

B. Kerangka Teoretik

Pada dasarnya kajian ini adalah kajian multi-disiplin, dengan dramaturgi

sebagai pendekatan utama, yaitu suatu disiplin ilmu yang mempelajari tentang

hukum dan konvensi seni dramatik (Harymawan,1993). Untuk dapat sampai pada

telaah dramaturgis, dibutuhkan piranti untuk membaca kerangka sosio-historis yang

telah melatari dramaturgi tersebut. Konsep-konsep sosiologi teater yang digunakan di

sini, antara lain adalah konsep Georges Gurvich (1973) tentang fungsi sosial teater;

konsep Janet Wolff (1981) tentang keterlibatan penonton dalam konstruksi karya

seni, yang dihubungkan dengan kualitas resepsi dan ideologi.

Page 6: Tesis Publikasi Final

3

Konsep dramaturgi yang digunakan dalam kajian ini diambil dari Mary

Luckhurst (2005), bahwa dramaturgi berkaitan dengan: (1) struktur internal dari

sebuah teks lakon; dan (2) sebaliknya, unsur-unsur eksternal yang berkaitan dengan

pementasan, konsep di balik pementasan, nilai politis pementasan dan pertimbangan

respon penonton. Artinya, dramaturgi berkaitan dengan keseluruhan penciptaan

teater, yaitu pembangunan aktual teks lakon menjadi pementasan teater, yang

berkaitan dengan artikulasi proses. Atas dasar itu, diferensiasi dan klasifikasi dalam

teater pada dasarnya mengindikasikan dramaturgi berbeda yang bekerja di balik

kategori teater bersangkutan.

Kelahiran tradisi dramaturgi-dramaturgi baru berkaitan erat dengan apa yang

oleh Mary Luckhurst (2005: 265) dinyatakan sebagai ‘krisis pos-imperial’, terutama

dalam kaitannya dengan kesadaran nasional dan identitas serta ‘etos pasca-perang’.

Dihubungkan dengan beberapa teori tentang pengaruh berbagai kebudayaan terhadap

teater di Indonesia (Brandon, 2003; Sumardjo, 1992), serta sejarah kelahiran istilah

‘sandiwara’ sebagai pengganti kata tonnel yang diperkenalkan oleh Belanda, maka

pendekatan drama poskolonial, yaitu sebuah kajian tentang drama dan teater yang

berkaitan dengan kolonialisme dan warisan-warisannya, digunakan di sini. Mengacu

pada Helen Gilbert dan Joanne Tompkins (1996: 294), teater di sebuah negara

poskolonial berpotensi untuk menghasilkan ‘bentuk-bentuk teater hibrida’ (hybrid

theaterical form). Hasilnya, ialah efek-efek satir (satire) dan parodi (parody), yang

bersifat: (1) merespon pengalaman selama kolonialisme; (2) regenerasi dari bentuk-

bentuk pra-kontak; (3) penggabungan dengan bentuk-bentuk pasca kontak kolonial;

dan (4) pembongkaran terhadap hegemoni kolonialisme imperialisme.

C. Data dan Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode sejarah lisan (Stokes, 2007), yang

mengandalkan wawancara dengan orang-orang tertentu tentang pengalaman masa

lalu mereka sebagai metode utama. Penelitian diawali dengan menerapkan metode

studi pustaka, yang digunakan sebagai pembanding dari data yang diperoleh melalui

wawancara. Model wawancara yang digunakan adalah gabungan dari wawancara

berencana dan wawancara tanpa rencana, yang meminjam beberapa konsep dari

metode kajian tradisi lisan, untuk menelisik konsep-konsep utama yang diterapkan

dalam sandiwara kampuang. Metode wawancara didukung pula dengan tekhnik

penghadiran foto sebagai stimulan, yang mengambil inspirasi dari metode “Elisitasi

Page 7: Tesis Publikasi Final

4

Foto” (Harper, 2002). Berdasarkan semua itu, dikonstruksikan semacam dramaturgi

sandiwara kampuang, yang digunakan untuk menganalisis makna-makna yang ada

di baliknya, dengan memperlakukannya sebagai sebuah teks, dengan mana sistem

pengetahuan dan konteks sosial yang telah mengkonstruk dramaturgi itu dapat

dipahami (Gill, 2000: 173).

D. Pembahasan

1. Riwayat dan Kerangka Sosial Sandiwara Kampuang

a. Riwayat Sandiwara Kampuang

Dilihat secara historis, sandiwara kampuang merupakan kelanjutan

perkembangan kesenian yang oleh Geertz (1960: 306) dinamakan ‘opera melayu’,

yang mulai berkembang di Sumatera Barat sejak akhir abad-19 (Van Kerckoff, 1888:

1; Amran, 1988: 19-20), ditandai dengan berdirinya Padangsche Opera di Padang di

sekitar tahun 1925-1926 (Brahim, 1968: 116; Cohen, 2003: 215). Perkembangan seni

pertunjukan dramatik di Sumatera Barat turut dipengaruhi pula oleh tonil sekolah di

Kweekschool Bukittinggi. Strategi kebudayaan kolonial Jepang selanjutnya menjadi

satu faktor penting dari meluasnya penggunaan istilah ‘sandiwara’, yang di Sumatera

Barat ditandai dengan berdirinya sebuah kelompok bernama Sandiwara Ratoe Asia

pada tahun 1943 (Abdulkadir, Rosdy, 1963: 200). Memasuki tahun 1950an, di

Sumatera Barat berkembang dua tipe sandiwara, yaitu ‘sandiwara keliling’ dan

‘sandiwara pelajar’, yang dilanjutkan oleh berkembangnya ‘sandiwara partai politik’

dan ‘sandiwara radio’, yang meningkatkan apresiasi masyarakat Sumatera Barat

terhadap sandiwara.

Peristiwa PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia) atau zaman

peri-peri, merupakan momentum penting kelahiran sandiwara kampuang. Bermula

dari sandiwara hiburan yang diinisiasi milisi OPR (Organisasi Perlawanan Rakyat) di

masa pasca-PRRI di Sumatera Barat, yang digelar berkeliling ke berbagai kampung,

sandiwara kampuang kemudian tumbuh. Gejala sandiwara kampuang dapat dilihat

sebagai pengaruh dari ‘involusi kebudayaan’ Minangkabau pada akhir dekade 1960-

an, sebagai bagian dari “Strategi Pemulihan Harga Diri” yang ditujukan sebagai

rehabilitasi terhadap dampak PRRI di masyarakat (Zed, Utama, Chaniago, 1998).

Pada masa yang sama, sandiwara didaktis tetap mendapatkan tempat dalam

dunia pendidikan di Sumatera Barat, antara lain di SPG (Sekolah Pendidikan Guru)

Page 8: Tesis Publikasi Final

5

Padangpanjang. Dari sandiwara didaktis SPG Padangpanjang tersebut, konvensi-

konvensi drama Barat kemudian masuk ke dalam pementasan sandiwara kampuang,

melalui sebagian besar penggerak sandiwara kampuang di tahun 1970-an, yang

adalah alumnus SPG Padangpanjang ini. Mereka yang menjadi guru-guru di berbagai

nagari, turut serta mengembangkan potensi-potensi kesenian di tempatnya masing-

masing. Bersama para seniman yang ada di nagari-nagari, terutama para seniman

randai, guru-guru inilah yang kemudian merubah ‘sandiwara hiburan’ yang pernah

dipatron oleh milisi OPR, menuju ke arah bentuk sandiwara kampuang.

b. Sandiwara Kampuang dalam Masyarakat Minangkabau

Seni-seni tradisional yang didukung ‘urang minang’ (orang Minangkabau)

memiliki kecendrungan untuk menjadi situs di mana pemaknaan atas diri sendiri dan

dunia mereka diekspresikan, dengan paradigma utama yang digunakan adalah adaik

(adat) dan agamo (ajaran Islam). Dialektika antara dua sumber pengetahuan dan

budaya masyarakat Minangkabau ini pula yang kemudian menjadi situs di mana

sandiwara kampuang hadir. Bila kesenian-kesenian lainnya dapat dianggap

‘disakralkan’ karena keterkaitannya dengan adaik dan agamo, maka sandiwara

kampuang adalah kesenian yang ‘profan’, karena berada di luar dua arus utama

(mainstream) itu. Namun menariknya, sandiwara kampuang tetap dirayakan bersama

oleh masyarakat Minangkabau, sebagai sebuah peristiwa kesenian penting, yang

paradoks dengan afirmasi diri masyarakat Minangkabau sendiri tentang keseniannya.

Kata ‘sandiwara’ dalam istilah sandiwara kampuang merepresentasikan

pandangan masyarakat nagari di Sumatera Barat tentang seni dramatik. Para

partisipan sandiwara kampuang memandang kesenian mereka itu tidak ada bedanya

dengan drama, teater, film, atau bahkan sinetron, dengan pemahaman bahwa

semuanya pada dasarnya memiliki kesamaan substansi yaitu seni peran. Indikasi

tentang defenisi kata ‘sandiwara’ yang mengarah kepada seni berperan tercermin dari

cara membedakan antara randai dengan sandiwara kampuang, yaitu antara kata-kata

(andai-andai) dan perbuatan (drama). Di samping itu, tradisi sandiwara kampuang

mengenal tiga istilah yang mengindikasikan seni peran secara lebih eksplisit, yaitu:

‘pemegang peran’ atau ‘bintang’; dan ‘peranan’.

Dua istilah lain yang disamakan artinya dengan sandiwara oleh para

pendukung sandiwara kampuang adalah ‘komidi’ dan ‘tonil’. Istilah sandiwara

kampuang digunakan dalam tulisan ini, karena dipandang lebih mewakili sifat dari

Page 9: Tesis Publikasi Final

6

kesatuan tontonan dramatik yang tumbuh di nagari-nagari di Minangkabau tersebut.

Sifat ‘kampuang’ ini dianggap para pendukung sandiwara kampuang sebagai

pembeda kesenian mereka berbeda dengan teater dan drama, karena diproduksi di

kampung-kampung, dan dilaksanakan oleh urang kampuang (orang kampung).

Sebuah perkataan, yang berkonotasi ‘tidak terpelajar’, tidak berorientasi artistik,

‘tidak serius’, dan konotasi peyoratif lainnya.

Dilihat berdasarkan perspektif ‘tingkatan seni’ (Wolff, 1981: 7) sandiwara

kampuang dapat diletakkan sebagai ‘yang baru’, yang dapat dibedakan dengan

randai dan tupai janjang yang dapat diletakkan sebagai ‘yang tradisional’. Atas

dasar itu, sandiwara kampuang dapat dikategorikan sebagai seni pertunjukan rakyat,

yakni kesenian yang dikenal dan diterima secara luas oleh masyarakat Minangkabau.

Sandiwara kampuang dapat dibedakan dengan kesenian tradisional, karena

mengandung pengertian sebagai kesenian milik rakyat (folk/volk) dari sebuah negara

dan bangsa, atau semangat kerakyatan (volkgeist), sementara kata rakyat dalam seni

tradisional, lebih terikat pada kesatuan geografis, etnik dan tradisi (St. Sunardi, 2007:

x-xi). Atas dasar itu, sandiwara kampuang dapat dinamakan ‘teater rakyat’

Minangkabau, yang dapat dibedakan dengan teater tradisional Minangkabau, yaitu

randai dan tupai janjang.

c. Kerangka Produksi Sandiwara Kampuang

Sebagaimana layaknya sebuah kesenian rakyat, sandiwara kampuang memiliki

beberapa konvensi tidak tertulis. Sandiwara Kampuang umumnya digelar satu kali

dalam setahun, yaitu beberapa hari setelah Hari Rayo Gadang (Idul Fitri), yang

kemudian berkembang menjadi siklus baru. Secara keseluruhan, sandiwara

kampuang digelar pada dua momentum utama yaitu: (1) hari-hari besar Agama

Islam; dan (2) pada hari-hari besar Nasional. Pusat-pusat kegiatan sandiwara

kampuang terutama sekali adalah sekolah dan pasar tradisional, ditambah tipe pentas

ketiga, yaitu panggung prosenium yang terdapat pada gedung-gedung yang dikenal

sebagai “Gedung Nasional”, “Gedung Pemuda”, atau “Gedung Serbaguna”.

Inisiasi sandiwara kampuang setiap tahunnya dimulai dari pembicaraan dalam

sebuah kelompok kecil, kemudian memasuki tahapan pengorganisiran, biasanya oleh

sebuah tim yang dinamakan panitia sandiwara. Pemasukan finansial sandiwara

kampuang didapatkan dari tiga cara: (1) penjualan karcis; (2) pendapatan lelang; dan

(3) donatur. Modal awal produksi sandiwara kampuang itu umumnya digalang

Page 10: Tesis Publikasi Final

7

sendiri oleh panitia sandiwara, dan terutama sekali digunakan untuk membeli atau

menyewa perlengkapan pementasan, serta membiayai proses latihan. Para pemain

sandiwara kampuang rata-rata sejak awal menyadari bahwa mereka tidak akan

mendapatkan uang lelah atau kontraprestasi. Kerelaan para pemain dan panitia

sandiwara kampuang itu berhulu dari kesadaran mereka tentang tujuan kegiatan,

yaitu “mambangun kampuang” (membangun kampung). Orientasi ini diketahui

secara luas oleh penonton dan para pemuka nagari, dan menjadi semacam ‘kontrol

keuangan’ atas produksi sandiwara kampuang.

Kerangka produksi di atas memperlihatkan bahwa dramaturgi sandiwara

kampuang pada dasarnya adalah produk dari kerangka sosial masyarakat nagari.

Para produsen yang telah mengkonstruk dramaturgi sandiwara kampuang itu tidak

lain adalah para partisipannya sendiri. Kontribusi partisipannya sebagai agensi dari

konstruksi dramaturgi sandiwara kampuang itu membuat masing-masingnya dapat

diposisikan sebagai dramaturg (dramaturg) bagi dramaturgi sandiwara kampuang,

yang mempengaruhi: (1) pilihan lakon; (2) gaya pementasan; (3) serta penetapan

ruang dan waktu pementasan, yang didasarkan pada analisis terhadap penonton

(lihat: Luckhurst, 2005: 10-11).

Partisipan sandiwara kampuang menyebut orang-orang yang terlibat dalam

proses produksi sandiwara kampuang sebagai urang seni (harfiah: orang seni).

Kendati pengertian urang seni tersebut demikian luas, namun ada kesimpulan yang

sama di semua nagari bahwa kehidupan sandiwara kampuang pada dasarnya

ditentukan oleh adanya elemen urang seni ini, yang secara sederhana dapat diartikan

sebagai orang-orang yang memiliki bakat seni. Namun pada dasarnya, masing-

masing elemen dalam masyarakat nagari berperan serta dalam konstruksi dramaturgi

sandiwara kampuang, seturut apa yang oleh Georges Gurvitch (1973: 78) disebut

‘kerangka sosial khas’ dengan mana dramaturgi itu dikonstruksi.

2. Aspek-Aspek Dramaturgi Sandiwara Kampuang

a. Teks Pementasan Sandiwara Kampuang

Pada dasarnya semua materi penampilan sandiwara kampuang ditempatkan ke

dalam dua bagian utama, yaitu: (1) babak; dan (2) selingan, yang sekaligus memberi

artikulasi tentang unsur utama dalam kesatuan tontonan, yaitu unsur penampilan

drama, yang dapat diinterupsi oleh lawak dan pantomim. Babak pada dasarnya masih

dapat dibagi menjadi drama, lawak, dan pantomim, sementara bagian selingan

Page 11: Tesis Publikasi Final

8

lazimnya terdiri atas musik, tari, dan lelang, meski ada kalanya selingan

menampilkan lawak atau pantomim yang lepas dari cerita drama, atau berdiri sendiri.

Para panitia sandiwara biasanya telah mempersiapkan ‘dekor’ tertentu ketika

membangun pentas. Komponen-komponen pentas yang dianggap harus ada adalah

layar, layar latar, sebeng, dan strongkeang. Dua carito yang diletakkan secara

diametral dalam pementasan sandiwara kampuang, yaitu carito Minang (cerita

Minang) dan carito moderen (cerita modern) terkodifikasikan dalam dua tipe ideal

dekor. Tipe yang pertama, adalah lukisan lanskap dengan pemandangan alam dan

rumah gadang. Sedang tipe kedua, adalah interior sebuah rumah, yang ditandai oleh

pintu, jendela, lengkap dengan tirai dan kain pintu.

Penonton memperoleh semua informasi yang diperlukan untuk memahami

drama yang sedang dipentaskan dari buah kato, yang bisa dipadankan dengan konsep

tentang dialog dalam drama modern, atau yang terkadang dinamakan juga sebagai

diksi, yaitu pilihan kata (Soemanto, 2001: 23). Secara garis besar, buah kato dalam

sandiwara kampuang terdiri atas Bahasa Minang dan Bahasa Melayu, yang

dipisahkan oleh dua kategori lakon, yaitu carito Minang dan carito moderen. Pada

dasarnya terdapat dua gaya bahasa dalam sandiwara kampuang, yaitu: (1) gaya

bahasa liris, yang menyerupai penggunaan bahasa dalam pantun; dan (2) gaya bahasa

prosa, yang menyerupai penggunaan bahasa dalam kehidupan sehari-hari.

b. Teks Lakon Sandiwara Kampuang

Carito dalam sandiwara kampuang memegang peranan vital sebagai panduan

laku, layaknya posisi lakon dalam seni pementasan dramatik. Tradisi sandiwara

kampuang mengenal demikian banyak carito, yang taksonominya dapat dikonstruksi

berdasarkan perbedaan-perbedaan dalam hal: (1) bahasa yang digunakan; (2) cara

transformasinya; dan (3) sumber lakonnya. Carito berbahasa Minangkabau disebut

sebagai ‘carito minang’, sementara yang berbahasa Melayu/Indonesia dinamakan

sebagai ‘carito moderen’. Berdasarkan bentuknya, sebagian carito dituliskan dalam

bentuk naskah, namun sebagian lainnya tersimpan dalam ‘ingatan’ bersama, dan

ditransformasikan secara lisan. Berdasarkan sumbernya, carito dapat dibedakan atas

beberapa sumber, yaitu: kaba, sejarah, tambo (sejarah lisan), novel, syair lagu, dan

juga –terindikasi kuat— film.

Pendukung sandiwara kampuang memiliki istilah batang carito untuk konsep

plot. Meminjam konsep James Peacock (2005: 108-109), plot carito dalam

Page 12: Tesis Publikasi Final

9

sandiwara kampuang diklasifikasikan menjadi plot tradisional (Tipe-T) dan plot

modern (tipe-M). Karakter atau watak tokoh dalam sandiwara kampuang bergerak di

antara dua kutub utama, yaitu ‘tokoh baik’ dan ‘tokoh jahat’, lazimnya dinamakan

lakon dan bandit. Adapun tema-tema yang ditampilkan sandiwara kampuang secara

tidak langsung merefleksikan dan terkadang juga merefraksikan perkembangan

sosial masyarakat Minangkabau, dari masyarakat feodal menjadi masyarakat modal

dan akhirnya masyarakat industrial. Carito memperlihatkan pula rekaman

pengalaman di masa penjajahan dan masyarakat industri, serta transformasi dari

tradisi marantau (merantau), yang dianggap sebagai salah satu budaya khas

masyarakat Minangkabau.

Dramatika sandiwara kampuang pada dasarnya terletak pada ‘plot tiga bagian’,

yang terkodifikasi dalam pembagian babak. Jumlah minimal tiga babak yang lazim

diterapkan dalam pementasan sandiwara kampuang dapat dilihat sebagai indikasi

dari kesadaran tentang tahapan-tahapan minimal dalam drama (Brockett, Ball, 2011:

44-46), yaitu (1) awal; (2) tengah; dan (3) akhir. Pola ‘plot tiga bagian’ itu

mempengaruhi pula empat format prototipe adegan dalam sandiwara kampuang,

yaitu: (1) ‘Adegan Romantis’–terkadang disebut juga ‘Adegan Percintaan’; (2)

‘Adegan Cakak’ (perkelahian); (3) ‘Adegan Sedih’; dan (4) ‘Adegan Lawak’ (lucu).

‘Penonton yang ikut menangis’ merupakan indikator keberhasilan pementasan

sandiwara kampuang, yang dianggap sebagai perwujudan dari melodrama, yang

dikaitkan dengan adanya: (1) unsur ‘melodi’, baik dalam nyanyian maupun tari; dan

(2) unsur dialog yang dikarang sendiri oleh pemeran. Evokasi adalah konsep yang

tepat untuk mewakili hal yang dipandang sebagai ‘melodrama’ tersebut, yaitu

kemampuan drama untuk mengundang ingatan tentang kesusahan, kesementaraan,

ketidak-terdugaan dan kepedihan hidup. Hal itu dilakukan dengan mengundang

ingatan penonton melalui penghadiran tema-tema carito yang beririsan dengan

pengalaman banyak orang, atau bahkan dibayangkan sebagai pengalaman yang

dialami bersama, semacam ‘pengalaman kolektif’.

c. Formula Dramaturgi Sandiwara Kampuang

Para penulis carito yang dinamakan tukang karang umumnya melakukan

rekonstruksi –terkadang dekonstruksi— atas cerita-cerita dari berbagai sumber yang

telah ada sebelumnya. Kerja rekonstruksi carito yang dilakukan para tukang karang

bisa dipahami sebagai praktik dari apa yang dinamakan Koster (1998: 34-37) sebagai

Page 13: Tesis Publikasi Final

10

‘mengingat’ dan bukan ‘menghapalkan’ carito. Proses ‘mengingat’ pada tataran ini

sejatinya adalah ‘mengingat dengan skema tentang: (1) pola tiga bagian carito, yaitu

awal-tengah-akhir; dan (2) pola penokohan, yaitu lakon-bandit. Rekonstruksi plot

carito dilakukan dengan pola ‘mengingat akhir untuk keseluruhan’. Peristiwa akhir

carito ditetapkan lebih dulu untuk merekonstruksi peristiwa-peristiwa yang

mendahuluinya. Setelah carito terkonstruksi tukang karang menciptakan dan

mendistribusikan buah kato kepada pemeran melalui beberapa tekhnik, yaitu: (1)

ditikkan; (2) ditulis tangan pada kertas buku; atau (3) dilisankan.

Para sutradara sandiwara kampuang lazimnya dinamakan pelatih atau tukang

latiah, ‘mengingat’ pola-pola pengadeganan dengan acuan ‘pola adegan 3 tambah 1’

(romantis-cakak-sedih, ditambah lawak). Para pelatih mendapatkan pola-pola

pengadeganan itu dari sandiwara kampuang yang pernah mereka tonton atau

mainkan sebagai referensi, berlandaskan “ingatan seperti gambar” (Assmann,1995).

Semua ‘kepekaan’ para pelatih dalam sandiwara kampuang itu didasarkan pada

pertimbangan-pertimbangan akal sehat (common sense) belaka, berdasarkan konsep

lokal: raso-pereso-kiro-kiro, yang menjadi dasar bagi gejala ‘penyutradaraan

bersama’, di mana penyutradaraan’ cenderung menjadi sebuah limbago (lembaga).

Para pemeran sandiwara kampuang menyebut naskah lakon mereka sebagai

konsep, atau konsep carito. Konsep tentang ‘konsep’ yang berorientasi pada plot

carito ini membuat penciptaan buah kato secara inprovisatoris oleh para pemeran

dalam sandiwara kampuang menjadi massif. Latihan bagi para pemeran pada

dasarnya berfungsi sebagai wahana untuk mengingat plot carito, dengan mana

improvisasi para pemeran dikontrol. Terdapat dua istilah yang lazimnya digunakan

oleh pemeran sandiwara kampuang untuk mengukur pemeranannya sendiri, yaitu

penghayatan dan penjiwaan, yang pada dasarnya memiliki arti yang hampir sama,

yaitu roh atau jiwa. Istilah tersebut merepleksikan pandangan bahwa sebuah peran

dipandang sebagai tubuh atau badan, yang harus diberi ‘ruh’ oleh para pemain.

Pemahaman tentang konsep ‘metakomunikasi’ (Bauman, 1975: 295), menjadi

relevan untuk memahami pola-pola komunikasi yang terjadi dalam sandiwara

kampuang. Atas dasar itu, maka dalam memproduksi buah kato pada situasi adegan

tertentu, seorang pemeran harus mengingat inti pembicaraannya beserta emosi dan

sikap-sikap tubuh yang menyertainya. Berdasarkan langgam bahasa dalam

masyarakat Minangkabau (Navis, 1984: 101-102) yang dinamakannya kato nan

ampek (kata yang empat), maka setidaknya ada dua hal yang dijadikan parameter

Page 14: Tesis Publikasi Final

11

dalam memproduksi buah kato secara improvisatoris, yaitu: (1) inti pembicaraan;

dan (2) lawan bicara. Konsep-konsep di atas harus dilengkapi dengan konsep yang

lain, yang berkenaan dengan bahasa tubuh dalam masyarakat Minangkabau, yaitu

konsep ‘garak jo garik’ (harfiah: gerak-gerik). Secara konseptual, hal itu berarti

bahwa garak (motivasi) tertentu akan melahirkan garik (ekpresi tubuh) tertentu pula.

Pementasan sandiwara kampuang secara lengkap dapat dirumuskan menjadi:

“pemain A menampilkan seni B, sementara penonton C menonton dan menilai”

(Fisher-Lichte, 1992: 93). Rumusan itu dapat ditetapkan demikian dengan

memperhatikan bahwa para pendukung sandiwara kampuang menyebut pementasan

mereka sebagai panampilan (penampilan). Istilah ini memberi pentunjuk penting

tentang konsep yang dipahami bersama oleh partisipan sandiwara kampuang tentang

keseniannya, yaitu ‘seni menampilkan’. Ikhwal yang ditampilkan itu adalah apa yang

dianggap sebagai bakat, yang bukan saja ditonton, namun juga dinilai oleh penonton.

Aspek yang paling diperhatikan penonton dari pementasan adalah kreativitas si

Pemeran sendiri, yang membuatnya mendapatkan prediket sebagai bintang dari

penonton. Pemeran dalam sandiwara kampuang bisa dinilai oleh penonton, perihal

seberapa berhasil si pemeran menciptakan buah kato dan garak-garik yang cocok

dengan tokoh. Keberhasilan dari keberperanan seorang pemeran, dikodifikasikan

penonton dalam istilah masuak-indak masuak, sementara carito yang dipentaskan

dinilai dengan parameter taraso-indak taraso. Pementasan sandiwara kampuang

yang dinilai ‘baik’ oleh penonton ialah pementasan yang masuak sekaligus taraso, di

mana yang pertama adalah prasyarat bagi yang kedua.

Menghubungkan istilah ‘taraso’ itu dengan keterangan bahwa carito

diupayakan beririsan dengan pengalaman kolektif penontonnya, maka ‘taraso’ dapat

diartikan sebagai simpati: taraso ka diri ambo (terasa ke diri saya) dan bukannya

empati: taraso di diri ambo (terasa di diri saya). Simpati atas carito dapat dilihat

sebagai bagian dari pangajaran (pelajaran), satu konsep penting di balik pementasan

sandiwara kampuang, yang disampaikan dengan cara ‘menyindir’ penonton.

Sindiran itu justru dilakukan dengan perkataan ‘urang’, seolah-olah semua yang

terjadi itu dilakukan urang lain (orang lain) yang bukan awak (kita). Namun

terkadang ditunjukkan pula bahwa urang lain itu adalah tidak lain urang awak

(orang kita), urang minang juga. Artinya, baik melalui ‘ketidak-hadiran’ maupun

dalam ‘kehadiran yang samar-samar’ atas diri mereka, para penonton sandiwara

Page 15: Tesis Publikasi Final

12

kampuang dapat berefleksi dan mengambil pangajaran, sebuah konsep yang

memang diharapkan dapat dicapai melalui carito-carito yang mereka tonton itu.

3. Pertumbuhan Sandiwara Kampuang Dalam Perspektif Drama Poskolonial

a. Sandiwara Kampuang sebagai Strategi Artistik

Hadirnya sandiwara kampuang di tengah-tengah masyarakat Minangkabau

dapat dipandang sebagai kehadiran sebuah strategi artistik ‘baru’, yang menantang

keberadaan strategi-strategi artistik yang telah ada dan mapan sebelumnya, misalnya

randai. Berbagai teori tentang kelahiran sandiwara secara umum telah memuat

sinyalemen tentang hibriditas, misalnya teori yang diajukan oleh Clifford Geertz

(1960: 306). Istilah sandiwara yang telah menjadi ‘masa lalu’ itu (Winet, 2010: xiii;

Brandon, 2003: 75) mendapatkan aktualisasi kembali di akhir tahun 60-an dan awal

70-an di Sumatera Barat, melalui momentum pasca-PRRI. Melalui inisiasi sandiwara

hiburan oleh milisi OPR, substansi berbagai seni dramatik (randai, sandiwara –yang

didaktik maupun profesional) mendapatkan momentumnya untuk saling bertemu,

dan kemudian melahirkan sandiwara kampuang.

Kelahiran sandiwara kampuang sebagai strategi artistik yang ‘diperbaharui’

dalam masyarakat Minangkabau menunjukkan beberapa hal sebagai latar

belakangnya, yaitu: pertama, sebagai respons atas kondisi sezaman, sandiwara

kampuang adalah pantulan dari kesadaran akan adanya realitas kehidupan baru,

yakni kehidupan moderen. Realitas baru tersebut ditandai pula dengan hadirnya

kehidupan bernegara, yang merupakan konsekuensi logis dari poskolonialitas.

Kedua, kondisi sosial kultural yang baru itu membutuhkan suatu seni dramatik baru

pula, yang dapat mengakomodir semua kebutuhan masyarakat, yaitu hiburan,

keberlanjutan tradisi, sekaligus pencerahan. Atas dasar itu, dipilihnya sandiwara

yang sejak semula sudah hibrid dan sinkretik menjadi masuk akal, karena potensinya

untuk menyerap berbagai anasir seni dramatik yang lebih baru. Atas dasarnya inilah

kiranya, sandiwara kampuang lahir dan berkembang menjadi ‘teater rakyat’ dalam

masyarakat Minangkabau.

Dramaturgi sandiwara kampuang terlihat adanya dua pola kreativitas, yaitu:

(1) mimikri (mimicry), yaitu proses meniru oleh masyarakat terkoloni terhadap

kebiasaan, budaya, asumsi-asumsi, lembaga, serta nilai-nilai yang dianut sang

penjajah; dan (2) transkulturasi (transculturation), yang dapat diartikan sebagai

Page 16: Tesis Publikasi Final

13

proses menyerap dan mengambil aspek-aspek dari budaya ‘lain’, untuk menciptakan

genre-genre, gagasan-gagasan, dan identitas-identitas baru.

Dua pola kreativitas ini digunakan dalam sandiwara kampuang sebagai bentuk

perkenalan dengan berbagai konvensi tontonan modern, yang menjadi transisi bagi

seni pertunjukan tradisional Minangkabau. Dari kesenian yang bernilai tradisi,

sandiwara kampuang bergerak menjadi kesenian yang ‘politis’, tanpa kehilangan

aspek-aspek tradisionalnya. Hal itu semakin jelas terlihat dengan penyebutan seni

penampilan, yang bergeser dari pengertian-pengertian tradisional tentang seni yang

bisanya disebut pamainan (permainan), yang mendorong terjadinya segmentasi

unsur-unsur seni yang dipertunjukkan, serta intensifikasinya sesuai minat dan

bakatnya para partisipan sandiwara kampuang.

Transformasi kaba yang naratif menjadi carito yang dramatik dalam sandiwara

kampuang merupakan indikasi dari modernisasi, yang dapat dilihat sebagai pengaruh

yang ditinggalkan oleh opera melayu maupun tonil. Carito yang dibuat para tukang

karang dalam sandiwara kampuang berpotensi untuk menjadi perwujudan dari

konsep-konsep satir (satire), yaitu proses peniruan terhadap karya sebelumnya untuk

tujuan otokritik; dan parodi (parody), yang juga mengambil karya yang telah ada

sebelumnya, namun bertujuan ‘mengejek’ karya sebelumnya itu.

Mengutip Ania Loomba (2003: 96-97), carito berfungsi sebagai ‘medan

perang’ naratif. Carito-carito dalam sandiwara kampuang adalah negasi atas carito-

carito sandiwara hiburan OPR, yang seringkali adalah ‘metafora’ tentang peristiwa

PRRI, dan bertujuan ‘merendahkan’ semangat perjuangan masyarakat Minangkabau.

Oleh sebab itu, menuliskan kembali kaba sebagai carito untuk sandiwara kampuang

dapat dilihat sebagai strategi memberdayakan (empowering) kembali cerita-cerita

lokal dengan perspektif yang lebih aktual (Gilbert, Tompkins, 1996: 33), atau lebih

jauh, sebagai cara menanggalkan perspektif-perspektif yang ‘menyudutkan’.

Dari formula dramaturginya, terlihat bahwa proses produksi sandiwara

kampuang seperti terbelah di antara dua pilihan, yaitu mengandalkan ‘ingatan’ para

pelakunya dalam merangkai carito atau mendorong terjadinya proses ‘hapalan’.

Ambivalensinya itu dapat dipahami dengan membandingkan “gaja permainan opera

Melaju” (Brahim, 1968: 116) dengan keterangan tentang “Sandiwara atau Drama

atau Tonil” (Dewantara, 1962: 308-311), yang sekaligus akan membuka pemahaman

atas apa yang disebut Geertz sebagai ‘realisme romantis’ dalam sandiwara. Dari sana

Page 17: Tesis Publikasi Final

14

maka tampaklah bahwa sandiwara memiliki kecendrungan untuk meraba konvensi

drama realisme –yang di Barat sendiri diakui sebagai penanda modernisme dalam

seni-seni dramatik— yang berbaur dengan kecendrungan untuk mempertahankan

unsur-unsur lokal yang bergantung pada tradisi sastra lisan.

Berdasarkan hal itu, pada dasarnya ambivalensi dalam sandiwara kampuang

bersumber dari sejarah pemahaman terhadap seni-seni dramatik di Indonesia yang

sejak semula telah hibrid dan sekaligus sinkretik. Seturut gagasan Homi K. Bhaba

(1994: 91-92), ambivalensi yang muncul dari praktik mimikri maupun transkulturasi

dalam sandiwara kampuang justru adalah bagian dari strategi poskolonial dalam

drama. Dengan cara itu, sandiwara kampuang mengklaim kebudayaan yang ia serap

dari kebudayaan ‘lain’ itu sebagai miliknya sendiri.

b. Sandiwara Kampuang Sebagai Strategi Diskursif

Tampilnya carito moderen di atas pentas sandiwara kampuang menunjukkan

kesadaran partisipannya tentang adanya realitas kehidupan modern, yang sejak

semula tidak bisa dilepaskan dari peranan pemerintah kolonial Belanda di Sumatera

Barat, melalui strategi ‘politik etis’. Pada masa pasca-PRRI, masyarakat

Minangkabau dihadapkan pada gelombang modernisasi yang kedua, yaitu

‘Pembangunanisme’ ala Orde Baru, di mana masyarakat Minangkabau yang semula

hidup dalam tekanan politik akibat ekses pasca-PRRI, memperoleh sebuah

momentum ‘kebangkitan’ nya sebagai sebuah komunitas.

Pada titik ini, sandiwara kampuang dapat dinilai berdasarkan konsepsi “ritus

modernisasi”-nya James Peacock, yaitu permentasan seni dramatik yang dengannya

masyarakat Minangkabau beralih dari situasi-situasi tradisional ke situasi-situasi

modern, sekaligus secara berangsur-angsur memahami modernitas itu. Ini adalah

salah satu faktor penting mengapa sandiwara kampuang dapat dipandang sebagai

drama poskolonial, karena modernisasi yang dihadapinya adalah modernisasi dari

perspektif dominan, yaitu sentral (pusat) kekuasaan negara.

Pemilihan ‘ruang dan waktu’ khusus bagi pementasannya membuat sandiwara

kampuang terlihat sebagai sebuah ritus. Pemililihan hari-hari besar keagamaan dan

hari-hari besar kebangsaan sebagai waktu pementasan sandiwara kampuang dapat

dipahami sebagai cara mengidentifikasikan sandiwara kampuang sebagai bagian dari

perayaan agama dan juga perayaan negara sekaligus. Sementara dipilihnya sekolah

dan pasar tradisional sebagai pusat kegiatan sandiwara kampuang dapat dipahami

Page 18: Tesis Publikasi Final

15

sebagai bagian dari strategi kontra-dominasi, sebab pada dua lembaga itu pula

diskursus modernisme ditularkan secara luas, melalui sistem pembelajaran dan

sistem perdagangan.

Terkonvensikannya tempat dan waktu pementasannya membuat peristiwa

pementasan sandiwara kampuang dalam sebuah nagari, seturut Saini KM (1988: 53-

54) dapat dinamakan ritus (upacara), yaitu ritus komunitas (etnik), yang dapat dilihat

konsepsi ‘komunitas terbayang’-nya Benedict Anderson (2008: 11). Sandiwara

kampuang mempertemukan masyarakat nagari, dan mengingatkan tentang ikatan

budaya di antara mereka untuk membangkitkan kembali rasa keterikatan dan rasa

kesetiakawanan, dan lebih jauh, pengingat bagi kampuang dan ke-Minangkabau-an

sebagai identitas kultural.

Kehadiran carito minang dan carito moderen di pentas sandiwara kampuang

bisa dilihat sebagai simbolisasi dari cara pandang etnik Minangkabau terhadap

posisinya dalam sebuah negara multi-etnik, di mana terdapat etnik yang lebih

dominan. Cara pandang ini banyak dipengaruhi oleh ‘narasi’ di masa pasca-PRRI,

yang akhirnya terkonstruksi sebagai ‘penjajahan’ Jawa atas Minangkabau. Melalui

narasi itu kemudian terbangun diskursus tentang pertarungan diametral, yang semula

adalah pusat-daerah, nasional-lokal, dan akhirnya Jawa-Minang. Oleh karenanya,

kontestasi antara dua identitas kebudayaan itu di dalam sandiwara kampuang

sejatinya menghasilkan ambivelensi, yaitu sikap yang “menolak ‘Jawa’ dan sekaligus

mengagumi ‘Jawa’”. Hal itu terlihat pertama kali dari penggunaan istilah ‘sandiwara’

itu sendiri, yang berkonotasi kebudayaan Jawa.

Sebagai bagian dari pencarian identitas Minangkabau modern, carito-carito

yang ditampilkan sandiwara kampuang dapat dikatakan adalah bentuk refleksifitas,

yaitu kemampuan untuk menilai diri, lingkungan, dan kebudayaan sendiri. Kontestasi

identitas antara Minang tradisional dan Minang modern, secara tak terelakkan

mengandaikan terjadinya proses seleksi.Atas dasar itu, pentas sandiwara kampuang

dapat dipandang sebagai refleksifitas kolektif, karena secara tidak langsung

mengajak seluruh partisipannya untuk melakukan refleksi terhadap struktur

kehidupan mereka. Refleksi yang paling utama dalam sandiwara kampuang adalah

tentang kehidupan modern yang tengah dihadapi itu sendiri. Oleh sebab itu, lazim

kiranya jika sebagian besar carito modern meletakkan tradisi merantau sebagai salah

satu isu pentingnya. Pertama, karena merantau selalu dianggap sebagai moda

perubahan dalam masyarakat Minangkabau sejak dulu (Naim, 1984). Kedua,

Page 19: Tesis Publikasi Final

16

modernisasi yang tengah dihadapi tersebut sebagian besar dibawa ke kampung

halaman oleh para perantau. Melihat faktor yang kedua ini, maka dapat dikatakan

pula bahwa peristiwa sandiwara kampuang menjadi sarana ‘kontestasi para

perantau’.

Perbandingannya dengan teater modern membuat sandiwara kampuang terlihat

sebagai bentuk ‘teater ‘periferal’, atau lebih jauh, hanyalah budaya periferal dalam

hubungannya dengan otoritas budaya. Namun justru di sanalah peran penting

sandiwara kampuang dalam diskursus modernisme di Sumatera Barat, yaitu menjadi

alternatif dan bandingan dari pemahaman yang dominan; baik tentang seni dramatik

itu sendiri, maupun tentang modernitas secara luas.

Selain itu, bisa dipahami bahwa istilah ‘sandiwara’ berkonotasi ‘Jawa’,

meskipun kata itu telah digunakan secara nasional. Hal ini memperlihatkan indikasi

sandiwara kampuang sebagai media perlawanan terhadap hegemoni dan dominasi

budaya dominan. Sandiwara kampuang adalah cara masyarakat Minangkabau di

kampuang-kampuang untuk menyatakan kepada komunitas lain, bahwa mereka

memiliki budaya yang sejajar dengan budaya ‘adiluhung’ yang dimiliki etnis lain.

Artinya, sandiwara kampuang berfungsi untuk menyatakan kesetaraan masyarakat

Minangkabau dengan budaya dominan, lebih jauh, sebagai bentuk dekolonialisasi

budaya.

c. Dialektika Sandiwara Kampuang

Kepopuleran sandiwara kampuang di Sumatera Barat turut ditentukan oleh

terlibatnya dua golongan aktor sosial-kultural dalam masyarakat Minangkabau, yang

menjadi pembangun tradisi itu, yaitu: (1) kaum intelektual, terutama yang berprofesi

sebagai guru dan Pegawai Negeri Sipil; dan (2) cadiak pandai (intelektual adat)

dalam tiap-tiap nagari. Agensi dalam sandiwara kampuang itu dimainkan pula oleh

para pemuda nagari dan para perantau, yang menjadikan sandiwara kampuang

sebagai sarana berbakti kepada kampuang-nya masing-masing. Faktor agensi tidak

akan berpengaruh apa-apa sekiranya tidak ada sebuah kondisi zaman (zeitgeist), yaitu

situasi pasca-krisis di Sumatera Barat, yang mendorong para agen tersebut untuk

mengatasi persoalan kekinian di sekitar mereka, yaitu semacam rekoveri psikis

melalui pentas hiburan bagi masyarakat Minangkabau, dan di sisi lain

membangkitkan kembali ‘nostalgia’ kolektif, dalam hal ini perihal potensi-potensi

kesenian yang pernah ada.

Page 20: Tesis Publikasi Final

17

Artinya, selain faktor agensi dan zeitgeist, perkembangan sandiwara kampuang

turut ditentukan pula oleh faktor ‘memori kolektif’ yang kemudian beririsan dengan

kebutuhan kontekstual. Maka dari itu dapat pula diketengahkan ‘strategi artistik dan

budaya’ sebagai penyangga sandiwara kampuang, yaitu mimikri dan transkulturasi,

yang telah membuat sandiwara kampuang bisa didaku oleh masyarakat

Minangkabau sebagai “kesenian (dramatik) kami sendiri”, meskipun ia menunjukkan

bekas-bekas pengaruh teater Barat yang cukup kentara.

Salah satu hal penting yang menyebabkan kemunduran sandiwara kampuang

adalah mulai berkurangnya para pemain. Bersamaan dengan itu, panggung alternatif

untuk mementaskan sandiwara kampuang pun secara berangsur-angsur mulai hilang.

Pada sisi lain, semakin jarangnya para perantau melakukan ‘pulang basamo’ (pulang

kampung bersama) telah turut memberi andil bagi kemunduran sandiwara

kampuang. Masih dalam kerangka perubahan itu, guru-guru yang lebih muda, tersita

waktunya lebih banyak oleh tugasnya di sekolah, dan semakin kekurangan waktu

untuk terlibat dengan kegiatan-kegiatan sandiwara kampuang.

Faktor berkembangnya tekhnologi hiburan juga merupakan faktor yang dapat

dihubungkan dengan gagalnya proses regenerasi dalam sandiwara kampuang.

Namun terjadinya gradasi dramatik dalam sandiwara kampuang itu sendiri justru

dapat dilihat sebagai salah satu penyebab penting kemundurannya. Gradasi dramatik,

di mana sajian drama semakin terdesak oleh aspek hiburan yang lebih baru, yang

semula dicangkokkan ke dalam sandiwara kampuang. Lebih jauh, dapat dicatat

bahwa kemunduran sandiwara kampuang terjadi secara paralel dengan tergerusnya

dominasi dan hegemoni Orde Baru, yang semula telah berfungsi sebagai stimulan

sekaligus katalisator perkembangan sandiwara kampuang. Dengan berakhirnya Orde

Baru, sandiwara kampuang seperti kehilangan pula pasangan dialektisnya.

Pengamatan lebih jauh terhadap pertumbuhan sandiwara kampuang

menunjukkan bahwa faktor terkuat dalam kemundurannya adalah disorientasi, yaitu

kehilangan arah dalam perkembangan sandiwara kampuang itu sendiri. Sudut

pandang ini menekankan setidaknya dua alasan dari kemunduran sandiwara

kampuang, yaitu: pertama, sandiwara kampuang semula adalah instrumen bagi

proses pemulihan atas trauma yang ditimbulkan masa ‘bergejolak’ (PRRI), sekaligus

menjadi bagian dari proses rehabilitasi nama baik urang minang. Ketika generasi

yang lebih muda tampil di atas pentas sandiwara kampuang di sekitar pertengahan

80-an, mereka bukan lagi generasi yang membutuhkan instrumen serupa ini.

Page 21: Tesis Publikasi Final

18

Kedua, sandiwara kampuang adalah artefak dari ‘Minang kompleks’, yang di

dalamnya terdapat ambivalensi identitas, yang dalam beberapa segi dipandang

‘memalukan’. Oleh sebab itu sebenarnya tidak terlalu mengherankan jika sandiwara

kampuang absen dari kajian-kajian seni dramatik Sumatera Barat, mengingat

dominasi budaya yang semula menjadi stimulan, di beberapa dekade terakhir tidak

lagi dirasakan seketat masa pasca-PRRI maupun semasa Orde Baru. Artinya,

sandiwara kampuang dalam beberapa segi memang sengaja ditinggalkan oleh

masyarakat pendukungnya, seturut perubahan konstelasi sosial-kultural mereka.

E. Kesimpulan

Tumbuhnya sandiwara kampuang sebagai ‘teater rakyat’ dalam masyarakat

Minangkabau, yakni sebagai seni dramatik yang diterima secara luas oleh berbagai

kalangan, yang sekaligus pula merefleksikan kesadaran politik rakyat sebuah negara-

bangsa atau semangat kerakyatan, didorong oleh kerangka sosial khas masyarakat

Minangkabau sendiri. Kerangka sosial dimaksud ialah sebuah kondisi sosial di mana

masyarakat Minangkabau tengah beralih dari kondisi-kondisi tradisionalnya, untuk

memasuki kerangka sosial baru, yakni negara kebangsaan, serta lebih jauh, kerangka

modernitas. Peralihan ini dipicu oleh suatu kondisi pasca-krisis, yaitu kondisi pasca

perang saudara di Sumatera Barat.

Sandiwara kampuang adalah pula teater yang hibrid sekaligus sinkretik, yakni

teater yang menggabungkan beberapa bentuk sekaligus beberapa konsep dari tradisi

seni dramatik yang berbeda, yaitu: opera melayu, tonil, sandiwara, dan randai.

Perkembangan sandiwara kampuang mengungkapkan beberapa hal. Pertama,

sandiwara kampuang menunjukkan adanya kesadaran baru terhadap seni dramatik

dalam masyarakat Minangkabau. Kesadaran baru dimaksud ialah kesadaran tentang

perlunya mengembangkan suatu seni dramatik, mengingat bahwa teater-teater

tradisional yang ada dan berkembang ternyata tidak mampu lagi menampung semua

kebutuhan masyarakat Minangkabau. Sebuah seni dramatik baru dibutuhkan untuk

menyalurkan sebuah solidaritas baru, yaitu solidaritas negara kebangsaan. Lebih dari

itu, seni dramatik baru itu juga diperlukan dalam rangka membaca suatu kondisi

terkini, yaitu modernitas kehidupan, beserta semua implikasinya.

Sandiwara kampuang adalah potret teater poskolonial, yaitu seni dramatik

yang menunjukkan kemampuan masyarakat lokal untuk memperkuat idiom seni

pertunjukan tradisi mereka dengan mengambil bentuk-bentuk drama Barat maupun

Page 22: Tesis Publikasi Final

19

Timur secara selektif dan independen. Sandiwara kampuang tidak saja menjalankan

fungsi sebagai teater dan drama, sebagai kesenian dan hiburan, namun juga menjadi

kendaraan bagi partisipannya dalam diskursus identitas dan hegemoni budaya. Meski

eksperimen semacam sandiwara kampuang tetap harus disebut sebagai teater

sinkretis atau teater hibrida, namun harus dilihat bahwa hal itu justru berangkat dari

kebutuhan sendiri, bukan atas desakan diskursus dominan. Hal itu terlihat pada

konteks sandiwara kampuang, di mana meskipun berbagai segi dari tradisi teater

modern Barat diambil, namun pada saat yang sama identitas Baratnya dilucuti pula,

untuk kemudian diafirmasi sebagai kebudayaan sendiri.

Kepustakaan

Abdulkadir, Tengku Syed, Zen Rosdy. Sejarah Seni Drama. Singapura: Pustaka

Melayu, 1963.

Amran, Rusli. Padang Riwayatmu Dulu. Jakarta: Yasaguna, 1988.

Anderson, Benedict. Imagined Communities: Komunitas-Komunitas Terbayang.

Terj. Omi Intan Naomi. Yogyakarta: Insist Press dan Pustaka Pelajar, 2008.

Assmann, Jan. “Collective Memory and Cultural Identity”, New German Critique,

No. 65, Cultural History/Cultural Studies, Spring - Summer, 1995. Hlm. 125-

133.

Bauman, Richard. “Verbal Art as Performance”, dalam American Anthropologist,

New Series, Vol. 77, No. 2. Jun., 1975. Hlm. 290-311.

Bhaba, Homi K. The Location Of Culture. London: Routledge, 1994.

Brahim, Drama dalam Pendidikan. Djakarta: Gunung Agung, 1968.

Brandon, James R. Jejak-Jejak Seni Pertunjukan di Asia Tenggara. Terj. RM.

Soedarsono. Bandung: P4ST UPI, 2003.

Cohen, Mattew Isaac. “Look at the Clouds: Migration and West Sumatran ‘Popular’

Theatre”, dalam NTQ 19: 3. Cambridge University Press, August 2003. Hlm.

214-229.

Dewantara, Ki Hadjar. “Dasar-Dasar Pendidikan di dalam Tonil”, dalam Moch.

Tauhid, dkk. (ed.), Karja Ki Hadjar Dewantara. Bagian Pertama: Pendidikan.

Jogjakarta: Madjelis Luhur Persatuan Taman Siswa, 1962. Hlm. 308-311.

Fischer-Lichte, Erika. The Semiotics of Theatre. Trans. Jeremy Gaines, Doris L.

Jones. Indianapolis: Indiana University Press, 1992.

___________. The Religion of Java. London: The Free Press of Glencoe, 1960.

Gilbert, Helen, Joanne Tomkins. Postcolonial Drama: Theory, Practice, Politics.

New York: Routledge, 1996.

Gill, Rosalind. “Discourse Analysis”, dlm. Martin W. Bauer, George Gaskell (Eds.),

Qualitative Researching With Text, Image and Sound: A Practical Handbook.

London: Sage Publications, 2000. Hlm.172-190.

Page 23: Tesis Publikasi Final

20

Gurvitch, Georges. “The Sociology of The Theatre”, Trans. Petra Morrison dalam

Elizabeth, Tom Burns (Eds.), Sociology of Literature and Drama.

Harmondsworth: Penguin, 1973. Hlm. 72-81.

Harper, Douglas. “Talking About Pictures: A Case For Photo Elicitation” dalam

Visual Studies, Vol. 17, No. 1. New York: Taylor & Francis Ltd, 2002.

Hlm.14-26.

Harymawan. Dramaturgi. Bandung: Remaja Rosdakarya, 1993.

Koster, G.L. “Kacamata Hitam Pak Mahmud Wahid Atau Bagaimanakah Meneliti

Puitika Sebuah Sastra Lisan?”, dlm. Pudentia MPSS (Ed.), Metodologi Kajian

Tradisi Lisan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan Yayasan Asosiasi Tradisi

Lisan, 1998. Hlm. 28-52.

Luckhurst, Mary. Dramaturgy: A Revolution In Theatre. New York: Cambridge

University Press, 2005.

Naim, Mochtar. Merantau: Pola Migrasi Suku Minangkabau. Yogyakarta: Gadjah

Mada University Press, 1984.

Navis, A.A. Alam Terkembang Jadi Guru: Adat dan Kebudayaan Minangkabau.

Jakarta: Grafiti Pers, 1986.

Peacock, James L. Ritus Modernisasi: Aspek Sosial dan Simbolik Teater Rakyat

Indonesia. Jakarta: Desantara, 2005.

Saini, K.M. Teater Modern Indonesia dan Beberapa Masalahnya. Bandung: Penerbit

Binacipta, 1988.

Soedarsono, R.M. Seni Pertunjukan: Dari Perspektif Politik, Sosial, dan Ekonomi.

Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2003.

Soemanto, Bakdi. Godot di Amerika dan Indonesia: Suatu Studi Banding. Jakarta:

Grasindo, 2002.

Stokes, Jane. How To Do Media and Cultural Studies: Panduan Untuk

Melaksanakan Penelitian dalam Kajian Media dan Budaya. Terj. Santi Indra

Astuti. Yogyakarta: Bentang, 2007.

Sumardjo, Jakob. Perkembangan Teater Modern dan Sastra Drama Indonesia.

Bandung: Citra Aditya Bakti, 1992.

Sunardi, St. “Rakyat, Kerakyatan, dan Populer”, Pengantar untuk Dominic Strinati,

Popular Culture: Pengantar Menuju Teori Budaya Populer. Terj. Abdul

Mukhid. Yogyakarta: Penerbit Jejak, 2007. Hlm.ix-xvii.

Van Kerckoff, Ch. E. P. “Het Maleische Tooneel: Ter Westkust Van Sumatra”,

[Tijdschrift voor Indische Taal, Land, en Volkenkunde uitgegreven door het

Bataviaasch Genootchap van Kunsten en Wetenschappen 31, 1888.

Winet, Evan Darwin. Indonesian Postcolonial Theatre: Spectral Genealogies and

Absent Faces. New York: Palgrave Macmillan, 2010.

Wolff, Janet. The Social Production of Art. New York: St. Martin’s Press, 1981.

Zed, Mestika, Edy Utama, Hasril Chaniago. Sumatera Barat di Panggung Sejarah:

1945-1995. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1998.