19
Makalah GEOMORFOLOGI INDONESIA (Bolaang Mongondow) O L E H : Nama : Yasrin Karim NIM : 451 409 057 Kelas : Geografi B JURUSAN FISIKA PROGRAM STUDI GEOGRAFI FAKULTAS MATEMATIKA DAN IPA UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO 2010

Terbentuknya Daratan Bolaang Mongondow

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Sejarah Singkat Terbentuknya Daratan Bolaang Mongondow

Citation preview

Makalah

“ GEOMORFOLOGI INDONESIA “

(Bolaang Mongondow)

O L E H :

Nama : Yasrin Karim

NIM : 451 409 057

Kelas : Geografi B

JURUSAN FISIKA

PROGRAM STUDI GEOGRAFI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN IPA

UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO

2010

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum wr. wb.

Puji syukur senantiasa penyusun panjatkan kehadirat Allah SWT yang

telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penyusun dapat

menyelesaikan makalah ini dengan judul Daerah Bolaang Mongondow.

Penyusun menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunan makalah

ini, banyak menemui kendala, namun berkat kerjasama, kemauan keras dan

kesabaran serta bantuan dari berbagai pihak terutama Dosen Pembimbing

matakuliah Geomorfologi Indonesia, kendala tersebut dapat teratasi.

Penyusun mengucapkan terima kasih kepada Dosen Pembimbing yang

memberikan tugas yang sangat bermanfaat dengan adanya makalah ini.

Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas kepada

pembaca. Makalah ini masih jauh dari kesempurnaan sehingga masih banyak

kekurangan dan kesalahan. Olehnya itu kritik dan saran yang sifatnya

membangun penyusun harapkan demi kesempurnaan makalah berikutnya.

Wallaikumsalam. Wr. wb,

Gorontalo, November 2010

Penyusun

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................... i

DAFTAR ISI ............................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................. 1

1.1 ......................................................................................................... Latar

Belakang....................................................................................... 1

1.2 ......................................................................................................... Permasala

han ............................................................................................... 1

BAB II PEMBAHASAN ........................................................................... 2

2.1 Sejarah Bolaang Mongondow.......................................................2

2.2 Letak Geografis...............................................................................5

2.3 SDA Daerah Bolaang Mongondow................................................6

2.4 Potensi Gempa Bolaang Mongondow..........................................8

2.5 Evaluasi Sistem Penanggulangan Bencana Provinsi Sulawesi

Utara.....................................................................................................12

BAB III PENUTUP ................................................................................ 13

3.1 Kesimpulan ...................................................................................... 13

3.2 Saran ................................................................................................ 15

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................. 16

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Bolang Mongondow, terdiri dari kata “bolaang” dan “mongondow”. Bolaang atau

golaang berarti : menjadi terang atau terbuka dan tidak gelap karena terlindung oleh

pepohonan yang rimbun. Dalam hutan rimba, daun pohon rimbun, sehingga agak

gelap. Biar ada bagian yang pohonnya agak renggang, sehingga seberkas sinar

matahari dapat menembus kegelapan hutan, itulah yang dimaksud dengan no

bolaang atau no golaang. Desa Bolaang terletak di tepi pantai utara Bolaang

Mongondow yang pada abad 17 sampa akhir abad 19 menjadi tempat kedudukan

istana raja. Bolaang dapat pula berasal dari kata “bolango” atau “balangon” yang

berarti laut (ingat : Bolaang Uki dan Bolaang Itang yang juga terletak di tepi laut).

Mongondow dari kata “momondow” yang berarti : berseru tanda kemenangan.

Desa mongondow terletak sekitar 2 km selatan Kotamobagu. Daerah pedalaman

biasa juga disebut : rata Mongondow. Dengan bersatunya seluruh kelompok

masyarakat yang tersebar, baik yang yang berdiam di pesisir pantai, maupun yang

berada di pedalaman Mongondow di bawah pemerintahan raja tadohe (Sadohe),

maka daerah ini menjadi daerah Bolaang Mongondow.

1.2 permasalahan

1. Bagaimanakahsejrah dari Bolaang Mongondow?

2. Bagaimanakah letak geografis Bolaang Mongondow?

3. Bagaimanakah SDA Bolaang Mongondow?

4. Bagaimanakah potensi gempa di Bolaang Mongondow?

5. Apasajakah bencana yang sering melanda Bolaang Mongondow?

BAB II

PEMBAHASAN

2.6 Sejarah Bolaang Mongondow

Penduduk asli Bolaang Mongondow berasal dari keturunan Gumalangit dan

Tendeduata serta Tumotoibokol dan Tumotoibokat, awalnya mereka tinggal di

gunung Komasaan (Bintauna). Kemudian menyebar ke timur di tudu in Lombagin,

Buntalo, Pondoli', Ginolantungan sampai ke pedalaman tudu in Passi, tudu in

Lolayan, tudu in Sia', tudu in Bumbungon, Mahag, Siniow dan lain-lain. Peristiwa

perpindahan ini terjadi sekitar abad 8 dan 9. Nama Bolaang berasal dari kata

"bolango" atau "balangon" yang berarti laut. Bolaang atau golaang dapat pula berarti

menjadi terang atau terbuka dan tidak gelap, sedangkan Mongondow dari

kata „momondow‟ yang berarti berseru tanda kemenangan. Desa Bolaang terletak di

tepi pantai utara yang pada abad 17 sampai akhir abad 19 menjadi

tempat kedudukan istana raja, sedangkan desa Mongondow terletak sekitar 2 km

selatan Kotamobagu.

Daerah pedalaman sering disebut dengan „rata Mongondow‟. Dengan

bersatunya seluruh kelompok masyarakat yang tersebar, baik yang yang berdiam di

pesisir pantai maupun yang berada di pedalaman Mongondow di bawah

pemerintahan Raja Tadohe, maka daerah ini dinamakan Bolaang Mongondow.

Setiap kelompok keluarga dari satu keturunan dipimpin oleh seorang Bogani (laki-

laki atau perempuan) yang dipilih dari anggota kelompok dengan persyaratan :

memiliki kemampuan fisik (kuat), berani, bijaksana, cerdas, serta mempunyai

tanggung jawab terhadap kesejahteraan kelompok dan keselamatan dari gangguan

musuh. Mokodoludut adalah punu‟ Molantud yang diangkat berdasarkan

kesepakatan seluruh bogani. Mokodoludut tercatat sebagai raja (datu yang

pertama). Sejak Tompunu‟on pertama sampai ketujuh, keadaan masyarakat

semakin maju dengan adanya pengaruh luar (bangsa asing). Perubahan total mulai

terlihat sejak Tadohe menjadi Tompunu‟on, akibat pengaruh pedagang Belanda

dirubah istilah Tompunu‟on menjadi Datu (Raja).

Tadohe dikenal seorang Datu yang cakap, sistem bercocok tanam diatur

dengan mulai dikenalnya padi, jagung dan kelapa yang dibawa bangsa Spanyol

pada masa pemerintahan Mokoagow (ayah Tadohe). Tadohe melakukan

penggolongan dalam masyarakat, yaitu pemerintahan (Kinalang) dan rakyat

(Paloko‟). Paloko‟ harus patuh dan menunjang tugas Kinalang, sedangkan Kinalang

mengangkat tingkat penghidupan Paloko‟ melalui pembangunan disegala bidang,

sedangkan kepala desa dipilih oleh rakyat. Tadohe berhasil mempersatukan seluruh

rakyat yang hidup berkelompok dengan boganinya masing-masing, dan dibentuk

sistem pemerintahan baru. Seluruh kelompok keluarga dari Bolaang, Mongondow

(Passi dan Lolayan), Kotabunan, Dumoga, disatukan menjadi Bolaang Mongondow.

Di masa ini mulai dikenal mata uang real, doit, sebagai alat perdagangan.

Pada zaman pemerintahan raja Corenelius Manoppo, raja ke-16 (1832),

agama Islam masuk daerah Bolaang Mongondow melalui Gorontalo yang dibawa

oleh Syarif Aloewi yang kawin dengan putri raja tahun 1866. Karena keluarga raja

memeluk agama Islam, maka agama itu dianggap sebagai agama raja, sehingga

sebagian besar penduduk memeluk agama Islam dan turut mempengaruhi

perkembangan kebudayaan dalam beberapa segi kehidupan masyarakat. Sekitar

tahun 1867 seluruh penduduk Bolaang Mongondow sudah menjadi satu dalam

bahasa, adat dan kebiasaan yang sama (menurut N.P Wilken dan J.A.Schwarz).

Pada tanggal 1 Januari 1901, Belanda dibawa pimpinan Controleur Anton Cornelius

Veenhuizen bersama pasukannya secara paksa bahkan kekerasan berusaha masuk

Bolaang Mongondow melalui Minahasa, setelah usaha mereka melalui laut tidak

berhasil dan ini terjadi pada masa pemerintahan Raja Riedel Manuel Manoppo

dengan kedudukan istana raja di desa Bolaang. Raja Riedel Manuel Manoppo tidak

mau menerima campur tangan pemerintahan oleh Belanda, maka Belanda

melantik Datu Cornelis Manoppo menjadi raja dan mendirikan komalig (istana raja)

di Kotobangon pada tahun 1901. Pada tahun 1904, dilakukan perhitungan penduduk

Bolaang Mongondow dan berjumlah 41.417 jiwa.

Pada tahun 1906, melalui kerja sama dan kesepakatan dengan raja Bolaang

Mongondow, W.Dunnebier mengusahakan pembukaan Sekolah Rakyat dengan tiga

kelas yang dikelola oleh zending di beberapa desa; yakni : desa Nanasi, Nonapan,

Mariri Lama, Kotobangon, Moyag, Pontodon, Pasi, Popo Mongondow, Otam,

Motoboi Besar, Kopandakan, Poyowa Kecil dan Pobundayan dengan total

murid sebanyak 1.605 orang, sedangkan pengajarnya didatangkan dari Minahasa.

Pada tahun 1937 dibuka di Kotamobagu sebuah sekolah Gubernemen, yaitu Vervolg

School (sekolah sambungan) kelas 4 dan 5 yang menampung lepasan sekolah

rakyat 3 tahun. Ibukota Bolaang Mongondow sebelumnya terletak disalah satu

tempat di kaki gunung Sia‟ dekat Popo Mongondow dengan nama Kotabaru. Karena

tempat itu kurang strategis sebagai tempat kedudukan controleur, maka diusahakan

pemindahan ke Kotamobagu dan peresmiannya diadakan pada bulan April 1911

oleh Controleur F. Junius yang bertugas tahun 1910-1915.

Pada tahun 1911 didirikan sebuah rumah sakit di ibukota yang baru

otamobagu. Rakyat mulai mengenal pengobatan modern, namun ada juga yang

masih mempertahankan dan melestarikan pengobatan tradisional melalui tumbuh-

tumbuhan yang berkhasiat obat dan sampai sekarang dibudayakan secara

konvensional.Sejak semula, masyarakat Bolaang Mongondow mengenal tiga

macam cara kehidupan bergotong royong yang masih terpelihara dan dilestarikan

terus sampai sekarang ini, yaitu : Pogogutat (potolu adi‟), Tonggolipu‟, Posad

(mokidulu). Tujuan kehidupan bergotong royong ini sama, namun cara

pelaksanaaannya agak berbeda.Penduduk pedalaman yang memerlukan garam

atau hasil hutan, akan meninggalkan desanya masuk hutan mencari damar atau ke

pesisir pantai memasak garam (modapug) dan mencari ikan. Dalam mencari rezeki

itu, sering mereka tinggal agak lama di pesisir, maka disamping masak garam

mereka juga membuka kebun. Tanah yang mereka tempati itulah yang disebut

Totabuan yang dapat diartikan sebagai tempat mencari nafkah. Bila ada tamu yang

bertandang pada masa kerajaan, biasanya disuguhi sirih pinang, tamu pria

atau wanita terutama orang tua. Sirih pinang diletakkan dalam kabela' (dari

ebiasaan ini diciptakan tari kabela sebagai tari penjemput tamu). Tamu terhormat

terutama pejabat di jemput dengan upacara adat. Tarian Kabela sampai saat ini

tetap lestari di bumi Totabuan. Tarian yang ada di Bolaang Mongondow cukup

beragam diantaranya tarian tradisional yang terdiri dari Tari Tayo, Tari Joke', Tari

Mosau, Tari Rongko atau Tari Ragai, Tari Tuitan; juga tarian kreasi baru seperti Tari

Kabela, Tari Kalibombang, Tari Pomamaan, Tari Monugal, Tari Mokoyut, Tari

Kikoyog dan Tari Mokosambe. Upacara monibi terakhir diadakan pada tahun 1939 di

desa Kotobangon (tempat kedudukan istana raja) dan di desa Matali (tempat

pemakaman raja dan keturunannya). Transmigran ke Bolaang Mongondow pertama

kali datang pada tahun 1963 dengan jumlah 1.549 jiwa (349 KK) & ditempatkan di

Desa Werdhi Agung. Para transmigran berikutnya ditempatkan di desa Kembang

Mertha (1964), Mopuya (1972/1975), Mopugad (1973/1975), Tumokang

(1971/1972), Sangkub (1981/1982), Onggunai (1983/1984), Torosik (1983/1984) dan

Pusian/Serasi (1992/1993). lengkap

Setelah Proklamasi 17 Agustus 1945, Bolaang Mongondow menjadi bagian

wilayah Propinsi Sulawesi yang berpusat di Makassar, kemudian tahun 1953

berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 11 Tahun 1953 Sulawesi Utara dijadikan

sebagai daerah otonom tingkat I. Bolaang Mongondow dipisahkan menjadi daerah

otonom tingkat II mulai tanggal 23 Maret 1954, sejak saat itu Bolaang mongondow

resmi menjadi daerah otonom yang berhak mengatur rumah tangganya sendiri

berdasarkan PP No.24 Tahun 1954. Atas dasar itulah, mengapa setiap tanggal 23

Maret seluruh rakyat Bolaang Mongondow selalu merayakannya sebagai HUT

Kabupaten Bolaang Mongondow.

Seiring dengan Nuansa Reformasi dan Otonomi Daerah, telah dilakukan

pemekaran wilayah dengan terbentuknya Kabupaten Bolaang Mongondow Utara

melalui Undang-Undang RI No. 10 Tahun 2007 dan Kota Kotamobagu melalui

Undang-Undang RI No. 4 Tahun 2007 sebagai hasil pemekaran dari Kabupaten

Bolaang Mongondow.

Tujuan utama pembentukan Kab. Bolmong Utara dan Kota Kotamobagu

adalah untuk memajukan daerah, membangun kesejahteraan rakyat, memudahkan

pelayanan, dan memobilisasi pembangunan bagi terciptanya kesejahteraan serta

kemakmuran rakyat totabuan.

2.7 Letak Geografis

Daerah Bolaang Mongondow terletak di jazirah utara pulau Sulawesi

memanjang dari barat ke timur dan diapit oleh dua kabupaten lainnya, yaitu

Gorontalo (sekarang sudah menjadi propinsi) dan Minahasa. Secara geografis

daerah ini terletak antara 100,30″ LU dan 0020″ serta antara 16024‟0″ BT dan

17054‟0″ BT. Sebelah utara dibatasi laut sulawesi dan selatan dengan laut Maluku.

Bolaang Mongondow adalah sebuah daerah (landschap) yang berdiri sendiri

dan memerintah sendiri dan masih merupakan daerah tertutup sapai dengan akhir

abad 19. Hubungan dengan luar (asing) hanyalah hubungan dagang yang diadakan

melalui kontrak dengan raja-raja yang memerintah pada saat itu. Dengan masuknya

pengaruh pemerintahan bangsa asing (Belanda) pada sekitar tahun 1901, maka

secara administrasi daerah ini termasuk Onderafdeling Bolaang Mongondow yang

didalamnya termasuk landschap Binatuna, Bolaang Uki, Kaidipang besar dari

Afdeling Manado.

Batas pesisir dengan daerah Gorontalo oleh dua buah sungai, yaitu di utara

sungai Andagile dan di selatan oleh sungai Taludaa. Dengan daerah Minahasa juga

dua sungai yaitu di utara sungai Poigar dan di selatan oleh sungai Buyat. Medan

yang terlebar jaraknya sekitar 66 km yaitu antara sungai Poigar dan tanjung Flesko.

Yang tersempit yaitu antara desa Sauk di utara dan desa Popodu di selatan.

Pimpinan masyarakat Bolmong pada jaman dulu disebut Bogani yang

sekarang ini di Daerah Bolaang Mongondow telah terdapat patung Bogani yang

terletak di Kelurahan Kotabangon kecamatan Kotamobagu. (patung bogani, lihat

gambar paling atas)

2.8 SDA Daerah Bolaang Mongondow

Potensi Perkebunan dan Pertanian

Hasil dari perkebunan dan pertanian juga sangat menunjang kelangsungan

hidup masyarakat daerah Bolaang Mongondow. Sebagian besar mata

pencaharian masyarakat Bolaang Mongondow adalah bertani dan berkebun.

Potensi hasil perkebunan dan pertanian yang dijadikan masyarakat Bolaang

Mongondow sebagai penunjang hdup mereka karena wilayah perkebunan dan

pertanian daerah Bolaang Mongondow itu luas.

Potensi Bahan Galian

Bahan galian yang mempunyai sifat : tidak terbarukan, jumlahnya yang

terbatas, pengelolaannya dapat merusak lingkungan, dan nilai ekonomisnya

sangat tergantung dengan kondisi, teknik-ekonomi, politik, sosial dan budaya,

sehingga dalam pengelolaannya perlu penerapan prinsip konservasi, yaitu

optimalisasi dan yang berkelanjutan.

Dalam rangka untuk mengoptimalkan pemanfaatan bahan galian tersebut

diperlukan pengetahuan tentang; perumusan kebijakan, pemantauan sumber

daya dan cadangan, penambangan dan pengolahan, serta pengawasan

konservasi, sehingga dapat mencegah terjadinya pemborosan atau penyia-

nyiaan bahan galian di berbagai tahapan kegiatan.

Oleh karena itu maka salah satu upaya untuk mendorong terwujudnya

penerapan konservasi sumber daya mineral secara efektif, perlu dilakukan

sosialisasi/bimbingan teknis konservasi sumber daya mineral kepada aparat

Pemerintah Daerah, yang bertanggung jawab terhadap pembinaan dan

pengawasan usaha pertambangan, sehingga dapat menambah pengetahuan

dan kemampuan dalam melaksanakan pengawasan konservasi sumber daya

mineral, khususnya di daerah Kabupaten Bolaang Mongondow, Provinsi Sulawesi

Utara.

Kebijakan di bidang konservasi sumber daya mineral didasarkan atas

keluarnya Kepmen Energi dan Sumber Daya Mineral No. 1453.K/29/MEM/2000,

dan disusul dengan tersusunnya konsep Rancangan Peraturan Pemerintah

tentang Konservasi Bahan Galian, maka pemahaman tentang kebijakan ini untuk

para aparat pemerintah daerah sangat diperlukan dalam pelaksanaannya di

daerah.

Kabupaten Bolaang Mongondow, Provinsi Sulawesi Utara, sebagai daerah

tujuan bimbingan teknik (Bimtek) konservasi. dipilihnya daerah ini karena secara

geologi mempunyai potensi bahan galian yang cukup potensial seperti emas dan

bahan galian industri, bahkan di beberapa lokasi telah diusahakan.

Kegiatan ini dibiayai dengan dana Proyek Konservasi Sumber Daya Mineral

(PKSDM) tahun Anggaran 2004.

Potensi Perikanan

Di Kecamatan Pinolosian Timur terdapat 9 desa dimana hampir semuanya

memiliki wilayah pesisir. Potensi penangkapan ikan di sungai 16 ha, potensi

budidaya di kolam 30 ha, sawah/mina padi 50 ha, tambak 900 ha dan laut 1.700

ha. Di Kecamatan Pinolosian Tengah terdapat 5 desa dan hampir semua desa-

desa tersebut memiliki wilayah pesisir.

Potensi penangkapan ikan di danau 25 ha dan sungai 16 ha, potensi

budidaya di kolam 70 ha, sawah/mina padi 100 ha, tambak 900 ha dan laut 1.700

ha. Di Kecamatan Pinolosian terdapat 8 desa dan kesemuanya memiliki wilayah

pesisir. Potensi penangkapan ikan di sungai 20 ha, potensi budidaya di kolam 50

ha, sawah/mina padi 65 ha, tambak 700 ha dan laut 198 ha.

Di Kecamatan Bolaang Uki terdapat 18 desa yang kesemuanya memiliki

wilayah pesisir. Potensi penangkapan ikan di sungai 15 ha, potensi budidaya di

kolam 105 ha, sawah/mina padi 140 ha, tambak 650 ha dan laut 1.800 ha. Di

Kecamatan Posigadan terdapat 14 desa. Potensi penangkapan ikan di sungai 45

ha, potensi budidaya di kolam 45 ha, sawah/mina padi 60 ha, tambak 30 ha dan

laut 1.500 ha.

Produksi perikanan tangkap di perairan Teluk Tomini, Bolaang Mongondow

tahun 2004 sebesar 10.588,4 ton, 2005 sebesar 8.787,5 ton dan 2006 sebesar

8.633,6 ton. Di kabupaten ini terdapat infrastruktur pelabuhan/TPI/PPI yaitu TPI

Pinolosian, TPI Popodu, TPI Salongo dan PPI Dodepo.

2.9 Potensi Gempa Bolaang Mongondow

Gempa Bumi

Provinsi Sulawesi Utara tergolong daerah berpotensi tinggi atau rawan dan

rentan terhadap bencana gempa bumi, baik tektonik maupun vulkanik.

Kegiatan Lempeng Halmahera, dan kegiatan penunjaman Lempeng Maluku ke

arah barat di bawah busur Minahasa-Sangihe yang masih aktif sampai

sekarang dapat mengakibatkan terjadinya gempa bumi tektonik. Menurut Peta

Geologi (Apandi, 1977), di Provinsi Sulawesi Utara terdapat beberapa Sesar,

yaitu Sesar Amurang - Belang, Sesar Ratatotok, Sesar Likupang, Sesar Selat

Lembeh, Sesar yang termasuk dalam sistem Sesar Bolaang Mongondow, dan

Sesar Manado Kema.

Gempa bumi yang terjadi di daerah Sulawesi Utara antara tahun 1990

sampai dengan bulan April tahun 2007 (kurun waktu ± 17 tahun) tercatat

sebanyak 397 kali dengan kisaran magnitude 4,0-7,4 skala Richter (SR). Dari

data yang ada, gempa dengan magnitude 4,0-5,0 SR terjadi sebanyak 131 kali

(33,08%), gempa bumi dengan magnitude 5,1-6,0 SR sebanyak 227 kali

(57,32%), gempa bumi dengan magnitude 6,1-7,0 SR sebanyak 36 kali

(9,09%), dan gempa bumi dengan magnitude 7,1-8,0 SR sebanyak 2 kali

(0,51%). Umumnya pusat gempa terletak di Laut Maluku dan di samping itu

juga terdapat di Laut Sulawesi, di Laut Kepulauan Talaud, di Laut Kepulauan

Sangihe, di Laut Banda dan di Laut Teluk Tomini.

Gelombang Pasang/Tsunami

Pesisir pantai utara dan selatan Provinsi Sulawesi Utara berpotensi

mengalami gelombang pasang/tsunami, mengingat wilayah ini merupakan

daerah yang sering mengalami gempa bumi.

Pantai kritis di Provinsi Sulawesi Utara membentang sepanjang 49,50 km

dari garis pantai 1.767,68 km. Sampai dengan tahun 2004, pantai kritis yang

sudah tertangani mencapai 11,02 km. Tujuan penanganan daerah pantai

adalah untuk melindungi prasarana umum dan pemukiman dan bahaya

gelombang pasang, abrasi pantai dan mundurnya garis pantai. Jumlah pantai

kritis yang makin meningkat ini, juga membawa potensi dampak kerugian yang

lebih masif apabila terjadi gelombang pasang/tsunami dalam skala besar.

Letusan Gunung Berapi

Berdasarkan deskripsi pada bagian sebelumnya, maka telah dijelaskan

bahwa sebagian besar kondisi topografi di Provinsi Sulawesi Utara dikelilingi

oleh daerah pegunungan, terutama gunung api aktif (vulkanik) yang berjumlah

sekitar 65 (enam puluh lima) gunung. Gunung api sendiri dapat didefinisikan

sebagai bentukan gunung yang memiliki lubang kepundan atau rekahan pada

kerak bumi tempat keluarnya magma, gas atau cairan lainnya ke permukaan.

Bencana letusan gunung api disebabkan oleh aktifnya gunung api sehingga

menghasilkan erupsi. Bahaya letusan gunung api dapat berpengaruh secara

langsung (primer) dan tidak langsung (sekunder). Bahaya primer letusan

gunung api adalah lelehan lava, aliran piroklastik (awan panas), jatuhan

piroklastik, letusan lahar dan gas vulkanik beracun. Bahaya sekunder adalah

ancaman yang terjadi setelah atau saat gunung api tidak aktif seperti lahar

dingin, banjir bandang dan longsoran material vulkanik.

Letusan gunung api di Sulawesi Utara, umumnya memiliki tipe letusan

“freatomagmatik” yang ditandai dengan semburan material pijar, dan kadang-

kadang diikuti oleh leleran lava pijar. Selain itu, ciri khas gunung api di

Sulawesi Utara menampakkan gejala perpindahan pusat letusan, semisal

Gunung Lokon dan Soputan yang sangat umum terjadi. Perpindahan ini

mengikuti garis lemah pada kerak bumi yang di wilayah Sulawesi Utara berarah

utara selatan agak timur laut-barat daya. Hampir semua gunung api di

Sulawesi Utara terletak pada arah dominan ini. Karena itu pula, bentuk daratan

Sulawesi Utara memanjang pada arah ini.

Berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Sulawesi

Utara Tahun 1991, untuk mengantisipasi dampak yang ditimbulkan dari potensi

bencana letusan gunung api, maka pemerintah setempat didukung instansi

terkait lainnya di tingkat pusat (Badan Vulkanologi dan Mitigasi Bencana,

ESDM) menyusun peta kawasan rawan bencana letusan gunung api.

Pengertian Kawasan Rawan Bencana ini adalah kawasan yang sering atau

berpotensi tinggi mengalami letusan gunung api. Sulawesi Utara sendiri

memiliki sembilan gunung api aktif, yaitu:

a G. Awu (± 1.320 m dpl, + 3.300 m dari dasar laut), berada di bagian utara

Pulau Sangihe.

b G. Karangetang (± 1.820 m dpl, + 2.700 m dari dasar laut), berada di bagian

utara Pulau Siau, Kabupaten Kepulauan Sitaro.

c G. Ruang (± 714 m dpl, + 1.700 m dari dasar laut), G. Submarin Banuawuhu (+

400 m dari dasar laut), dan G. Soputan (+ 1.784 m dpl), terletak di perbatasan

Kabupaten Minahasa Selatan, Minahasa dan Minahasa Tenggara.

d G. Lokon (± 1.579 m dpl) dan Gunung Mahawu (± 1.331 m dpl), terletak di

perbatasan Kota Tomohon dan Kabupaten Minahasa.

e G. Ambang (± 1.689 m dpl) di perbatasan Bolaang Mongondow dan Minahasa

Selatan.

f G. Tangkoko (G. Tangkoko 1.149 m dpl) di Kota Bitung.

Banjir

Banjir merupakan peristiwa bencana alam yang tidak bisa dilihat dari satu

sisi penyebab. Banjir merupakan akumulasi dari surface run off yang ada di

hulu dan ditambah dengan intensitas hujan di daerah hilir. Akibat dari

penyebab multi faktor. Penyebab multi faktor ini memberikan kontribusi banjir

yang berbeda satu sama lain. Pengaruh catchment area terhadap surface run

off adalah melalui bentuk dan ukuran catchment area (catchment area

morfometri), kerapatan sungai (drainage density), topografi, geologi, jenis

tanah, lahan kritis, dan penutupan lahan (landcover).

Daerah rawan banjir di wilayah Provinsi Sulawesi Utara meliputi daerah

muara sungai, dataran banjir dan dataran aluvial, terutama di sepanjang

Sungai. Faktor-faktor penyebab banjir antara lain adalah curah hujan yang

tinggi, penutupan lahan di daerah hulu berkurang dan kapasitas alur sungai

terutama di daerah hilir berkurang karena sedimentasi dan topografis daerah.

Kota Manado yang terletak di bagian hilir daerah aliran Sungai Tondano

(DAS Tondano) merupakan kawasan rawan banjir, terutama di kawasan

permukiman dekat bantaran sungai. Menurut Dinas PU Provinsi Sulawesi Utara

Tahun 2000, banjir yang tergolong ekstrim terjadi di Kota Manado dengan luas

genangan mencapai + 761 ha pada tahun 1996 pada saat tinggi muka air

mencapai + 7,04 meter di atas permukaan air laut. Khusus untuk konteks

kejadian banjir di Kota Manado yang hampir tiap tahun terjadi, maka

berdasarkan data hasil penelitian yang dilakukan Dinas Kehutanan Sulawesi

Utara Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Tondano (2005), maka faktor

yang berpengaruh dalam memberikan kontribusi banjir secara langsung adalah

kondisi drainase yang buruk, tingginya intensitas hujan, dan kapasitas sungai

yang tidak mampu menampung seluruh air hujan, dan pasang surut air laut.

Pada tahun 2000, dengan tinggi genangan mencapai 2,5 meter, kota

Manado kembali dilanda banjir. Kejadian banjir lainnya yang melanda wilayah

Provinsi Sulawesi Utara adalah di daerah Inobonto, sekitar Desa Kaiya

(Kabupaten Bolaang Mongondow) yang terjadi pada awal tahun 2006 dan di

wilayah Tanawangko, Kabupaten Minahasa (hilir Sungai Ranowangko) serta di

Kota Tomohon pada Februari 2005.

Tanah Longsor

Terjadinya tanah longsor sangat tergantung pada kestabilan/kemiringan

lereng, topografi, geomorfologi dan kondisi geologi. Daerah yang memiliki

kemiringan lereng yang curam, > 25% ditambah curah hujan yang tinggi sangat

berpotensi untuk terjadinya gerakan massa dan akhirnya menimbulkan longsor.

Di samping itu, kegiatan pemotongan lereng bukit karena pembuatan jalan di

daerah-daerah berlereng curam dan/atau kegiatan lain sering menjadi

penyebab terjadinya longsor. Gejala umum tanah longsor diantaranya adalah

munculnya retakan-retakan di lereng yang sejajar dengan arah tebing,

munculnya mata air baru secara tiba-tiba dan tebing rapuh dan kerikil mulai

berjatuhan.

Peristiwa tanah longsor yang terjadi di Sulawesi Utara pada umumnya

terdapat pada daerah dengan kondisi geologi yang tidak stabil dan seringkali

dipicu oleh terjadinya hujan deras yang melebihi titik tertinggi, terutama bulan-

bulan di penghujung tahun hingga awal tahun (Desember-Maret). Keadaan

pengelolaan hutan dan pemungutan hasil hutan yang tidak lestari (Illegal

Logging and Trading) dalam kurun waktu lima tahun terakhir ini ternyata juga

menjadi faktor penyumbang tingginya intensitas terjadinya longsor di Sulawesi

Utara. Faktor lainnya adalah terdeviasinya peruntukan fungsi kawasan untuk

fungsi peruntukkan lainnya, terutama mengenai “spot” lahan pemukiman yang

menempati area dengan kemiringan di atas 15% (tidak dianjurkan sesuai

peraturan yang berlaku). Hal ini khususnya terjadi di ibukota Sulawesi Utara,

yaitu Kota Manado, dimana hal tersebut menunjukkan terjadinya

penyimpangan terhadap standar hunian yang disyaratkan secara teoritis dan

juga penyimpangan terhadap peraturan yang ada.

2.10 Evaluasi Sistem Penanggulangan Bencana Provinsi Sulawesi Utara

Julukan “supermal” bencana alam kiranya pantas diberikan kepada

Provinsi Sulawesi Utara mengingat begitu banyaknya potensi bencana alam

yang mengancam maupun yang telah sering terjadi. Oleh sebab itu, sudah

semestinya bila daerah ini memiliki kebijakan dan strategi serta program-

program yang tidak hanya diarahkan untuk mengatasi situasi darurat ketika

terjadi bencana, namun program yang bersifat antisipatif dan terencana dengan

baik. Kebijakan penanggulangan bencana akan ditinjau dari beberapa sisi, yaitu

dari sisi berbagai peraturan yang secara khusus mengatur tentang bencana itu

sendiri, kebijakan lain yang memiliki kaitan erat dengan penanggulangan

bencana, sistem kelembagaan dalam penanggulangan bencana dan kebijakan

yang terkait dengan alokasi anggaran di bidang kebencanaan.

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Provinsi Sulawesi Utara (Sulut) yang berada di paling ujung utara Nusantara

terletak di bagian paling utara dari semenanjung Pulau Sulawesi, yaitu antara

00301-50351 Lintang Utara dan antara 1230701-1270001 Bujur Timur. Sebelah

utara berbatasan dengan Filipina, sebelah timur dengan Provinsi Maluku Utara,

sebelah selatan berbatasan dengan Provinsi Gorontalo, dan di sebelah barat

dibatasi oleh Laut Sulawesi. Luas wilayah semenanjung ini adalah ± 15.376,99

km² yang terbagi dalam tiga belas daerah Kabupaten/Kota definitif.

Sulawesi Utara mempunyai latar belakang sejarah yang cukup panjang

sebelum disyahkankan menjadi Provinsi kedua puluh empat dari Republik

Indonesia. Dalam sejarah pemerintahan daerahnya, maka Sulawesi Utara

mengalami beberapa kali perubahan administrasi pemerintahan, seiring dengan

dinamika penyelenggaraan pemerintahan. Pada permulaan kemerdekaan RI,

daerah ini berstatus karisidenan yang merupakan bagian dari Provinsi Sulawesi.

Provinsi Sulawesi ketika itu beribukota di Makassar dengan Gubernurnya,

DR.G.S.S.J. Ratulangi.

Dalam perkembangan selanjutnya, tercatat satu momentum penting dalam

lembar sejarah pembentukan Sulawesi Utara, yaitu dikeluarkannya Undang-

Undang Nomor 13 Tahun 1964 (23 September 1964) yang menetapkan status

Daerah Tingkat I Sulawesi Utara sebagai daerah otonom Tingkat I dengan

ibukotanya Manado. Momentum ini kemudian ditetapkan sebagai hari lahirnya

Daerah Tingkat I Sulawesi Utara. Adapun daerah tingkat II yang masuk dalam

wilayah Sulawesi Utara, yaitu Kotamadya Manado, Kotamadya Gorontalo,

Kabupaten Minahasa, Kabupaten Gorontalo, Kabupaten Bolaang Mongondow,

dan Kabupaten Sangihe Talaud. Gubernur Provinsi Dati I Sulawesi Utara yang

pertama adalah F.J. Tumbelaka.

Seiring dengan spirit reformasi dan otonomi daerah, maka dibentuk Provinsi

Gorontalo sebagai pemekaran dari Sulawesi Utara melalui Undang-Undang

Nomor 38 Tahun 2000. Dengan dibentuknya Provinsi Gorontalo, maka wilayah

Sulawesi Utara meliputi Kota Manado (157,25 km²), Kota Bitung (304,00 km²),

Kabupaten Minahasa (1.117,15 km²), Kabupaten Sangihe (746,57 km²) dan

Talaud dan Kabupaten Bolaang Mongondow (8.358,04 km²). Pada tahun 2003,

Sulawesi Utara mengalami penambahan tiga kabupaten dan satu kota dengan

Kabupaten Minahasa sebagai kabupaten induk, yaitu Kabupaten Minahasa

Selatan (1.409,97 km²), Kabupaten Minahasa Utara (932,20 km²), Kabupaten

Kepulauan Talaud (1.240,40 km²) serta Kota Tomohon (114,20 km²). Kemudian

pada Mei 2007 bertambah lagi tiga kabupaten dan satu kota, yakni Kabupaten

Minahasa Tenggara (710,83 km), Kabupaten Bolaang Mongondow Utara

(1.843,92 km), Kabupaten Kepulauan Sitaro (275,96 km) dan Kota Kotamobagu

(68,06 km).

Bolang Mongondow, terdiri dari kata “bolaang” dan “mongondow”. Bolaang

atau golaang berarti : menjadi terang atau terbuka dan tidak gelap karena

terlindung oleh pepohonan yang rimbun. Dalam hutan rimba, daun pohon rimbun,

sehingga agak gelap. Biar ada bagian yang pohonnya agak renggang, sehingga

seberkas sinar matahari dapat menembus kegelapan hutan, itulah yang

dimaksud dengan no bolaang atau no golaang. Desa Bolaang terletak di tepi

pantai utara Bolaang Mongondow yang pada abad 17 sampa akhir abad 19

menjadi tempat kedudukan istana raja. Bolaang dapat pula berasal dari kata

“bolango” atau “balangon” yang berarti laut (ingat : Bolaang Uki dan Bolaang

Itang yang juga terletak di tepi laut).

Mongondow dari kata “momondow” yang berarti : berseru tanda kemenangan.

Desa mongondow terletak sekitar 2 km selatan Kotamobagu. Daerah pedalaman

biasa juga disebut : rata Mongondow. Dengan bersatunya seluruh kelompok

masyarakat yang tersebar, baik yang yang berdiam di pesisir pantai, maupun

yang berada di pedalaman Mongondow di bawah pemerintahan raja tadohe

(Sadohe), maka daerah ini menjadi daerah Bolaang Mongondow.

3.2 Saran

Diharapkan pemerintahan daerah Bolaang Mongondow bisa memberikan solusi-

solusi penanggulangan bencana di daerah Bolaang Mongondow serta memberikan

pemahaman penggunaan lahan dengan baik serta pengolahannya dan

mempersiapkan lapangan kerja bagi sebagian orang pengangguran.dan dapat

mengolah hasil-hasil dari setiap lapangan kerja untuk pertumbuhan dan

perkembangan daerah Bolaang Mongondow.

DAFTAR PUSTAKA

http://evhylunat.wordpress.com/2010/04/02/asal-mula-bolaang-mongondow/

http://totabuanku.blogspot.com/2009/01/sekilas-sejarah-bolaang-mongondow.html

http://www.bolmong.go.id/index.php/component/content/article/35-sejarah-

bolmong/47-sejarah-singkat-bolaang-mongondow.html