15
Terapi dan Diagnosis Banding BPPV oleh Ervandy Rangganata, 1006658266 MPK Neurologi Penatalaksanaan BPPV meliputi observasi, obat-obatan untuk menekan fungsi vestibuler (vestibulosuppressan), reposisi kanalit dan pembedahan. Dasar pemilihan tata laksana berupa observasi adalah karena BPPV dapat mengalami resolusi sendiri dalam waktu mingguan atau bulanan. Oleh karena itu sebagian ahli hanya menyarankan observasi. Akan tetapi selama waktu observasi tersebut pasien tetap menderita vertigo. Akibatnya pasien dihadapkan pada kemungkinan terjatuh bila vertigo tercetus pada saat ia sedang beraktivitas. I. Terapi Farmakologi Vertigo Obat-obatan penekan fungsi vestibuler pada umumnya tidak menghilangkan vertigo. Istilah “vestibulosuppresant” digunakan untuk obat-obatan yang dapat mengurangi timbulnya nistagmus akibat ketidakseimbangan sistem vestibuler. Pada sebagian pasien pemberian obat-obat ini memang mengurangi sensasi vertigo, namun tidak menyelesaian masalahnya. Obat-obat ini hanya menutupi gejala vertigo. Pemberian obat-obat ini dapat menimbulkan efek samping berupa rasa mengantuk. Obat-obat yang diberikan diantaranya diazepam dan amitriptilin. Betahistin sering digunakan dalam terapi vertigo. Betahistin adalah golongan antihistamin yang diduga meningkatkan sirkulasi darah ditelinga dalam dan mempengaruhi fungsi vestibuler melalui reseptor H3. Karena penyebab vertigo beragam, sementara penderita seringkali merasa sangat terganggu dengan keluhan vertigo tersebut, seringkali menggunakan pengobatan simptomatik. Lamanya pengobatan bervariasi. Sebagian besar kasus terapi dapat dihentikan setelah beberapa minggu. Beberapa golongan yang sering digunakan: a. Antihistamin 1

Terapi Dan Diagnosis Banding BPPV

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Terapi Dan Diagnosis Banding Benign Positional Paroxysmal Vertigo

Citation preview

Terapi dan Diagnosis Banding BPPV

oleh Ervandy Rangganata, 1006658266

MPK Neurologi

Penatalaksanaan BPPV meliputi observasi, obat-obatan untuk menekan fungsi vestibuler (vestibulosuppressan), reposisi kanalit dan pembedahan. Dasar pemilihan tata laksana berupa observasi adalah karena BPPV dapat mengalami resolusi sendiri dalam waktu mingguan atau bulanan. Oleh karena itu sebagian ahli hanya menyarankan observasi. Akan tetapi selama waktu observasi tersebut pasien tetap menderita vertigo. Akibatnya pasien dihadapkan pada kemungkinan terjatuh bila vertigo tercetus pada saat ia sedang beraktivitas.

I. Terapi Farmakologi Vertigo

Obat-obatan penekan fungsi vestibuler pada umumnya tidak menghilangkan vertigo. Istilah “vestibulosuppresant” digunakan untuk obat-obatan yang dapat mengurangi timbulnya nistagmus akibat ketidakseimbangan sistem vestibuler. Pada sebagian pasien pemberian obat-obat ini memang mengurangi sensasi vertigo, namun tidak menyelesaian masalahnya. Obat-obat ini hanya menutupi gejala vertigo. Pemberian obat-obat ini dapat menimbulkan efek samping berupa rasa mengantuk. Obat-obat yang diberikan diantaranya diazepam dan amitriptilin. Betahistin sering digunakan dalam terapi vertigo. Betahistin adalah golongan antihistamin yang diduga meningkatkan sirkulasi darah ditelinga dalam dan mempengaruhi fungsi vestibuler melalui reseptor H3.

Karena penyebab vertigo beragam, sementara penderita seringkali merasa sangat terganggu dengan keluhan vertigo tersebut, seringkali menggunakan pengobatan simptomatik. Lamanya pengobatan bervariasi. Sebagian besar kasus terapi dapat dihentikan setelah beberapa minggu. Beberapa golongan yang sering digunakan:

a. Antihistamin

Tidak semua obat antihistamin mempunyai sifat anti vertigo. Antihistamin yang dapat meredakan vertigo seperti obat dimenhidrinat, difenhidramin, meksilin, siklisin. Antihistamin yang mempunyai anti vertigo juga memiliki aktivitas anti-kholinergik di susunan saraf pusat. Mungkin sifat anti-kholinergik ini ada kaitannya dengan kemampuannya sebagai obat antivertigo. Efek samping yang umum dijumpai ialah sedasi (mengantuk). Pada penderita vertigo yang berat efek samping ini memberikan dampak yang positif. Beberapa antihistamin yang digunakan adalah :

1. Betahistin

1

Senyawa Betahistin (suatu analog histamin) yang dapat meningkatkan sirkulasi di telinga dalam, dapat diberikan untuk mengatasi gejala vertigo. Efek samping Betahistin ialah gangguan di lambung, rasa enek, dan sesekali “rash” di kulit.

- Betahistin Mesylate (Merislon)

Dengan dosis 6 mg (1 tablet) – 12 mg, 3 kali sehari per oral.

- Betahistin di Hcl (Betaserc)

Dengan dosis 8 mg (1 tablet), 3 kali sehari. Maksimum 6 tablet dibagi dalam beberapa dosis.

2. Dimenhidrinat (Dramamine)

Lama kerja obat ini ialah 4 – 6 jam. Dapat diberi per oral atau parenteral (suntikan intramuscular dan intravena). Dapat diberikan dengan dosis 25 mg – 50 mg (1 tablet), 4 kali sehari. Efek samping ialah mengantuk.

3. Difhenhidramin Hcl (Benadryl)

Lama aktivitas obat ini ialah 4 – 6 jam, diberikan dengan dosis 25 mg (1 kapsul) – 50 mg, 4 kali sehari per oral. Obat ini dapat juga diberikan parenteral. Efek samping mengantuk.

b. Antagonis Kalsium

Dapat juga berkhasiat dalam mengobati vertigo. Obat antagonis kalsium Cinnarizine (Stugeron) dan Flunarizine (Sibelium) sering digunakan. Merupakan obat supresan vestibular karena sel rambut vestibular mengandung banyak terowongan kalsium. Namun, antagonis kalsium sering mempunyai khasiat lain seperti anti kholinergik dan antihistamin. Sampai dimana sifat yang lain ini berperan dalam mengatasi vertigo belum diketahui.

- Cinnarizine (Stugerone)

Mempunyai khasiat menekan fungsi vestibular. Dapat mengurangi respons terhadap akselerasi angular dan linier. Dosis biasanya ialah 15 – 30 mg, 3 kali sehari atau 1 x 75 mg sehari. Efek samping ialah rasa mengantuk (sedasi), rasa cape, diare atau konstipasi, mulut rasa kering dan “rash” di kulit.

c. Fenotiazine

Kelompok obat ini banyak mempunyai sifat anti emetik (anti muntah). Namun tidak semua mempunyai sifat anti vertigo. Khlorpromazine (Largactil) dan Prokhlorperazine (Stemetil) sangat efektif untuk nausea yang diakibatkan oleh bahan kimiawi namun kurang berkhasiat terhadap vertigo.

- Promethazine (Phenergan)

2

Merupakan golongan Fenotiazine yang paling efektif mengobati vertigo. Lama aktivitas obat ini ialah 4 – 6 jam. Diberikan dengan dosis 12,5 mg – 25 mg (1 draze), 4 kali sehari per oral atau parenteral (suntikan intramuscular atau intravena). Efek samping yang sering dijumpai ialah sedasi (mengantuk), sedangkan efek samping ekstrapiramidal lebih sedikit disbanding obat Fenotiazine lainnya.

- Khlorpromazine (Largactil)

Dapat diberikan pada penderita dengan serangan vertigo yang berat dan akut. Obat ini dapat diberikan per oral atau parenteral (suntikan intramuscular atau intravena). Dosis yang lazim ialah 25 mg (1 tablet) – 50 mg, 3 – 4 kali sehari. Efek samping ialah sedasi (mengantuk).

d. Obat Simpatomimetik

Obat simpatomimetik dapat juga menekan vertigo. Salah satunya obat simpatomimetik yang dapat digunakan untuk menekan vertigo ialah efedrin.

- Efedrin

Lama aktivitas ialah 4 – 6 jam. Dosis dapat diberikan 10 -25 mg, 4 kali sehari. Khasiat obat ini dapat sinergistik bila dikombinasi dengan obat anti vertigo lainnya. Efek samping ialah insomnia, jantung berdebar (palpitasi) dan menjadi gelisah – gugup.

e. Obat Penenang Minor

Dapat diberikan kepada penderita vertigo untuk mengurangi kecemasan yang diderita yang sering menyertai gejala vertigo.efek samping seperti mulut kering dan penglihatan menjadi kabur.

- Lorazepam

Dosis dapat diberikan 0,5 mg – 1 mg

- Diazepam

Dosis dapat diberikan 2 mg – 5 mg

f. Obat Anti Kholinergik

Obat antikolinergik yang aktif di sentral dapat menekan aktivitas sistem vestibular dan dapat mengurangi gejala vertigo.

- Skopolamin

Skopolamin dapat pula dikombinasi dengan fenotiazine atau efedrin dan mempunyai khasiat sinergistik. Dosis skopolamin ialah 0,3 mg – 0,6 mg, 3 – 4 kali sehari.

II. Terapi Non-Farmakologi Vertigo

3

Susunan saraf pusat mempunyai kemampuan untuk mengkompensasi gangguan keseimbangan. Namun kadang-kadang dijumpai beberapa penderita yang kemampuan adaptasinya kurang atau tidak baik. Hal ini mungkin disebabkan oleh adanya gangguan lain di susunan saraf pusat atau didapatkan deficit di sistem visual atau proprioseptifnya. Kadang-kadang obat tidak banyak membantu, sehingga perlu latihan fisik vestibular. Latihan bertujuan untuk mengatasi gangguan vestibular, membiasakan atau mengadaptasi diri terhadap gangguan keseimbangan.

Tujuan latihan ialah :

1. Melatih gerakan kepala yang mencetuskan vertigo atau disekuilibrium untuk meningkatkan kemampuan mengatasinya secara lambat laun.

2. Melatih gerakan bola mata, latihan fiksasi pandangan mata.

3. Melatih meningkatkan kemampuan keseimbangan

Contoh latihan :

1. Berdiri tegak dengan mata dibuka, kemudian dengan mata ditutup.

2. Olahraga yang menggerakkan kepala (gerakan rotasi, fleksi, ekstensi, gerak miring).

3. Dari sikap duduk disuruh berdiri dengan mata terbuka, kemudian dengan mata tertutup.

4. Jalan di kamar atau ruangan dengan mata terbuka kemudian dengan mata tertutup.

5. Berjalan “tandem” (kaki dalam posisi garis lurus, tumit kaki yang satu menyentuh jari kaki lainnya dalam melangkah).

6. Jalan menaiki dan menuruni lereng.

7. Melirikkan mata kearah horizontal dan vertikal.

8. Melatih gerakan mata dengan mengikuti objek yang bergerak dan juga memfiksasi pada objek yang diam.

Terapi BPPV tergantung pada patofisologi dan jenis kanal yang terlibat. Tujuan terapi adalah melepaskan otokonia dari dalam kanalis atau kupula, mengarahkan agar keluar dari kanalis semisirkularis menuju utrikulus melalui ujung non ampulatory kanal. Beberapa teknik manuver telah dikembangkan untuk menangani BPPV kanalis horizontal.

1. Barbecue Maneuver

Pasien diminta untuk berputar 360o dalam posisi tidur, dimulai dengan telinga yang sakit di posisi bawah, berputar 90o sampai satu putaran lengkap (360o). Setiap posisi dipertahankan selama 30 detik. Manuver ini akan menggerakkan otokonia keluar dari kanal menuju utrikulus kembali.

4

Gambar 1. Barbecue Maneuver

2. Log Roll Maneuver

Pasien berputar 270o dalam posisi tidur miring ke sisi telinga yang sakit, berputar 90o tiap satu menit menuju ke telinga yang sehat dengan total putaran 270o.

Gambar 2. Log Roll Maneuver

5

3. Gufoni Maneuver

Pasien duduk dengan kepala menghadap lurus ke depan dan direbahkan dengan cepat ke arah sisi lesi, posisi ini dipertahankan selama satu menit setelah nistagmus apogeotropik berakhir. Dalam posisi rebah, kepala pasien diputar 45o ke depan (hidung ke atas), posisi ini dipertahankan selam dua menit. Pasien kembali ke posisi semula.

Gambar 3. Gufoni Maneuver

Terapi ini diharapkan mampu mengkonversi nistagmus apogeotropik menjadi nistagmus geotropik .

4. Brand-Darrof Maneuver

Latihan Brandt Daroff merupakan latihan yang dilakukan di rumah oleh pasien sendiri tanpa bantuan terapis. Pasien melakukan gerakan-gerakan posisi duduk dengan kepala menoleh 450 , lalu badan dibaringkan ke sisi yang berlawanan. Posisi ini dipertahankan selama 30 detik. Selanjutnya pasien kembali ke posisi duduk 30 detik. Setelah itu pasien menolehkan kepalanya 450 ke sisi yang lain, lalu badan dibaringkan ke sisi yang berlawanan selama 30 detik. Latihan ini dilakukan secara rutin 10-20 kali, 3 seri dalam sehari.

6

Gambar 4. Brand-Darrof Maneuver

Keterangan Gambar:

a. Ambil posisi duduk.

b. Arahkan kepala ke kiri, jatuhkan badan ke posisi kanan, kemudian balik posisi duduk.

c. Arahkan kepala ke kanan lalu jatuhkan badan ke sisi kiri. Masing-masing gerakan lamanya sekitar satu menit, dapat dilakukan berulang kali.

d. Untuk awal cukup 1-2 kali kiri kanan, makin lama makin bertambah.

5. Canalith Repositioning Treatment

Reposisi kanalit dikemukakan oleh Epley. Prosedur CRT merupakan prosedur sederhana dan tidak invasif. Dengan terapi ini diharapkan BPPV dapat disembuhkan setelah pasien menjalani 1-2 sesi terapi. CRT sebaiknya dilakukan setelah perasat Dix-Hallpike menimbulkan respon abnormal. Pemeriksa dapat mengidentifikasi adanya kanalithiasis pada kanal anterior atau kanal posterior dari telinga yang terbawah. Pasien tidak kembali ke posisi duduk namun kepala pasien dirotasikan tujuan untuk mendorong kanalith keluar dari kanalis semisirkularis menuju ke utrikulus, tempat dimana kanalith tidak lagi menimbulka gejala. Bila kanalis posterior kanan yang terlibat maka harus dilakukan tindakan CRT kanan.perasat ini dimulai pada posisi Dix-Hallpike yang menimbulkan respon abnormal dengan cara kepala ditahan pada posisi tersebut selama 1-2menit, kemudian kepala direndahkan dan diputar secara perlahan kekiri dan dipertahankan selama beberapa saat. Setelah itu badan pasien dimiringkan dengan kepala tetap dipertahankan pada posisi menghadap kekiri dengan sudut 450 sehingga kepala menghadap kebawah melihat lantai . akhirnya pasien kembali keposisi duduk dengan menghadap kedepan. Setelah terapi ini pasien dilengkapi dengan menahan leher dan disarankan untuk tidak merunduk, berbaring, membungkukkan badan selama satu hari. Pasien harus tidur pada posisi duduk dan harus tidur pada posisi yang sehat untuk 5 hari.

Perasat yang sama juga dapat digunakan pada pasien dengan kanalithiasis pada kanal anterior kanan. Pada pasien dengan kanalith pada kanal anterior kiri dan kanal posterior,

7

CRT kiri merupakan metode yang dapat di gunakan yaitu dimulai dengan kepala menggantung kiri dan membalikan tubuh kekanan sebelum duduk.

8

Gambar 5. CRT Maneuver

6. Forced Prolonged Position Maneuver

Pasien diminta untuk tidur miring dengan telinga yang sakit berada di posisi atas selama

12 jam. Posisi ini diharapkan mampu melepaskan otokonia yang melekat pada kupula, dan memasukkan otokonia ke utrikulus kembali dengan bantuan gravitasi.

Barbecue maneuveradalah manuver terapi yang paling banyak digunakan para klinisi untuk BPPV kanalis horizontal tipe kanalolithiasis maupun kupulolithiasis, namun sampai saat ini belum ditemukan laporan yang membandingkan efektivitas masing-masing teknik.

Penatalaksanaan BPPV kanalis horizontal tipe kupulolithiasis sampai saat ini masih merupakan tantangan tersendiri bagi para klinisi. Prinsip penatalaksanaan tipe kupulolithiasis adalah melepaskan otokonia dari kupula, dan memasukkannya kembali ke utrikulus. Hal ini dapat diketahui dengan berubahnya nistagmus apogeotropik menjadi geotropik.

Keberhasilan terapi di konfirmasi dengan melakukan manuver provokasi ulang, jika masih terdapat gejala vertigo dan nistagmus, maka manuver terapi diulang kembali. Umumnya pada manuver provokasi yang ketiga, gejala vertigo dan nistagmus tidak muncul lagi.

Keberhasilan terapi pada BPPV digolongkan atas tiga kriteria

1. Asimptomatis; pasien tidak lagi mengeluhkan rasa pusing berputar, dan head roll test tidak lagi memberikan gambaran nistagmus.

2. Perbaikan; secara subjektif keluhan vertigo telah berkurang lebih dari 70%, pasien mampu melakukan aktifitas yang sebelumnya dihindari. Secara objektif nistagmus horizontal masih muncul pada manuver provokasi.

3. Tidak ada perbaikan; jika keluhan vertigo yang dirasakan berkurang <70%, dan nistagmus muncul dengan intensitas yang sama.

9

BPPV kanalis horizontal beremisi lebih cepat dan lebih baik daripada BPPV posterior, hal ini dikarenakan posisi ujung kanalis semisirkularis horizontal yang terbuka dan sejajar dengan utrikulus sewaktu kepala berada pada posisi sejajar bidang horizontal bumi, sehingga otokonia yang berada di sepanjang kanalis dapat kembali spontan ke utrikulus.

Tindakan bedah hanya dilakukan bila prosedur reposisi kanalit gagal dilakukan. Terapi ini bukan terapi utama karena terdapat risiko besar terjadinya komplikasi berupa gangguan pendengaran dan kerusakan nervus fasialis. Tindakan yang dapat dilakukan berupa oklusi kanalis semisirkularis posterior, pemotongan nervus vestibuler dan pemberian aminoglikosida transtimpanik.

III. Diagnosis Banding Vertigo

Klinisi harus membedakan BPPV dari penyebab lain ketidakseimbangan, pusing, dan vertigo. Rekomendasi dibuat berdasarkan studi obserasional dan pertimbangan kelebihan dibandingkan kerugian yang akan ditimbulkan. Walaupun menjadi penyebab paling sering vertigo perifer, BPPV seringkali tidak didiagnosis bahkan salah didiagnosis. Penyebab lain vertigo yang mungkin dapat dibagi menjadi penyebab otologis, neurologis, dan penyebab lain. Pada setting nonspesialis evaluasi pasien yang datang dengan vertigo, BPPV terdapat pada 42% kasus diikuti oleh neuritis vestibular (41%), penyakit Meniere (10%), penyebab vascular (3%), dan penyebab lain (3%). Pada setting subspesialis, penyakit Meniere mendominasi (43% kasus), diikuti oleh BPPV (23%) dan neuritis vestibular (26%).

Diagnosis paling sering yang butuh untuk dibedakan dari BPPV terdapat pada tabel berikut. Kondisi-kondisi tersebut butuh untuk dibedakan dari BPPV karena riwayat perjalanan penyakit, pengobatan, dan potensi sequelae medis yang serius berbeda secara signifikan.

Kelainan Otologis

Kelainan otologis lain yang dapat menyebabkan vertigo dapat dibedakan dari BPPV dari karakteristik klinisnya, seperti pola temporal dan terdapat atau tidak terdapatnya kehilangan pendengaran. BPPV memiliki karakteristik episode vertigo posisional yang akut tanpa adanya kehilangan pendengaran. Sedangkan, penyebab otologis biasanya memberikan tampilan klinis yang berbeda.

Tabel 1. Diagnosis Banding BPPV

10

Tabel 2. Sindrom Vertigo dengan Lesi Sistem Vestibular Bagian Lain

REFERENSI

1. Fife TD, Iverson DJ, Lempert T, et al. Practice parameter: Therapies for benign paroxysmal positional vertigo (an evidence-based review): Report of the Quality Standard Subcommittee of the American Academy of Neurology. Neurology 2008; 70:2067-73.

2. Hain TC. Lateral canal BPPV. Last modified 2009, November 21 (cited 2010 Jan 13). Available from http://www.dizziness-and-balance.com/disorders/bppv/lcanalbppv.htm.

3. Bahadir C, Diracoglu D, Kurtulus D, Garipoglu I. Efficacy of canalith repositioning maneuvers for banign paroxysmal positional vertigo. Clinical Chiropractic 2009; 12: 95-100.

4. Andradi S. Terapi vertigo. Vertigo, patofisiologi, diagnosis dan terapi. Kelompok Studi Vertigo PERDOSSI.

5. Herdman SJ, Tusa RJ. Horizontal canal BPPV. In: Diagnosis and treatment of benign paroxysmal positional vertigo. ICS Medical Corporation, Schaumbur, Illinois 1999: 18-23.

11