Teori Sosiologi Tentang Perubahan Sosial

Embed Size (px)

Citation preview

Teori Sosiologi tentang Perubahan Sosial Bab. 1 Pendahuluan

Sosiologi merupakan ilmu yang berkaitan dengan filsafat sejarah dan penafsiran terhadap perubahan-perubahan yang terjadi pada masyarakat. Para ahli filsafat dan sejarah, seperti umpanya, Ferguson, Roberto, Voltaire, Condorect, dan Hegel, banyak mempelajari dan memberikan penafsiran mengenai revolusi-revolusi sosial dan politik yang terjadi pada zamannya. Pada abad ke-19 tampak adanya dominasi dari pendekatan-pendekatan historis atau evolusioner dalam sosiologi dan antropologi Weber, misalnya, tidak menyajikan suatu teori sejarah yang universal. Di dalam buku yang berjudul Social Statis dan Principle of Sociology, Spencer menjelaskan perihal analogi antara masyarakat dengan suatu organis. Akan tetapi di dalam pembahasannya mengenai evolusi sosial, dia tidak begitu banyak memperhatikan ciri-ciri khusus dari teori biologis, misalnya, dalam membuat perumusan tentang evolusi dan pembahasannya terhadap teori Darwin. Para sosiolog modern, misalnya Ogburn, berusaha untuk menunjukkan perbedaan-perbedaan antara teori biologis dengan berbagai teori evolusi tanpa mengesampingkan konsep evolusi sosial secara menyeluruh.

Proses sosial yang dapat dikaitkan dengan pembangunan, yakni :

1. Pertumbuhan/perkembangan pengetahuan 2. Pertumbuhan/perkembangan kemampuan manusia untuk mengendalikan lingkungan alam.

Dua akibat yang timbul dari suatu masalah yang lebih umum mengenai ide tentang masa transisi dari masyarakat tradisional ke masyarakat modern, oleh karena memberi kesan bahwa masyarakat modern merupakan tahap akhir, yaitu :

1. Perubahan-perubahan yang terjadi pada masyarakat-masyarakat industrial cenderung untuk tidak diperhatikan 2. Kontras antara kapitalisme dengan sosialisme sebagai tahap pembangunan dalam negara-negara industrial cenderung untuk tidak diperhatikan atau dilalaikan.

Sosiologi berkaitan erat dengan perkembangan, oleh karena peranan suatu ilmu diakui, antara lain karena fungsinya bagi kesejahteraan dan perkembangan umat manusia. Akan tetapi, perlu diakui bahwa salah satu kontribusi sosiologi adalah hasil-hasil studi terhadap ciri-ciri

dan potensi-potensi dari masyarakat-masyarakat industrial yang modern. Teori-teori tentang perubahan-perubahan sosial banyak kaitannya dengan penafsiran filosofis sejarah. Teori-teori linear yang relatif penting adalah yang berasal dari Comte yang menjelaskan perubahan sosial sebagai hasil perkembangan intelektual manusia yang diformulasikan dalam hukum tiga tahap law of three stages yang merupakan perkembangan dari cara-cara berfikir teologis, mealui cara berfikir metafisis ke cara berfikir secara positif yang diwakili oleh ilmu pengetahuan modern.

Teori-teori linear menghasilkan beberapa segi positif, seperti misalnya penyusunan kerangka terjadinya perubahan-perubahan secara kumulatif dalam sejarah perkembangan manusia, yang antara lain mencakup :

1. Pertumbuhan pengetahuan 2. Meningkatnya kompleksitas masyarakat 3. Pertumbuhan ke arah persamaan sosial dan politik

Teori-teori cyclical agak meremehkan fakta dan lebih memperhatikan aspek-aspek lainnya. Pareto, misalnya di dalam bukunya yang berjudul The Mind and Society telah mengemukakan perihal sirkulasi golongan elite. Menurut dia, perubahan sosial terjadi oleh karena pertentangan antara golongan-golongan tertentu untuk mendapatkan kekuasaan.

Bab. 2 Faktor-faktor dalam Perubahan Sosial

1. Pengantar Pertanyaan atau masalah pokok yang menyangkut perubahan sosial, yakni :

1. 2. 3. 4. 5. 6.

Apakah yang berubah? Bagaimanakan hal itu berubah? Ke manakan tujuan dari perubahan itu? Bagaimanakan kecepatan perubahan tersebut? Mengapa terjadi perubahan? Faktor-faktor penting manakah yang ada di dalam perubahan?

Menurut Bottomore, Perubahan sosial merupakan perubahan dalam struktur sosial (termasuk perubahan ukuran dalam sebuah perkumpulan atau organisasi) atau lembaga-lembaga sosial tertentu, atau dalam hubungan antar lembaga. Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang menyangkut cara, arah dan kecepatan perubahan, memerlukan diskripsi dan penafsiran historis. Kecepatan perubahan sejak lama menjadi pusat perhatian para sosiolog, hal mana biasanya dikaitkan dengan akselerasi sosial dan perubahan kebudayaan pada zaman modern.

Pada dasarnya, penelitian-penelitian mengenai masalah itu dipusatkan pada hal-hal, sebagai berikut : 1. Studi biologis tentang perubahan struktur sosial dan kebudayaan yang disebabkan proses industrialisasi, serta disharmoni structural yang terjadi pada periode transisi 2. Studi terhadap adaptasi individual pada perubahan-perubahan sosial yang cepat, yang juga merupakan penelitian psikologis.

Beberapa persoalan khusus yang dihadapi oleh masyarakat industrial tertentu, yaitu : 1. Dari sudut konteks perubahan diteliti perihal perubahan-perubahan yang terjadi pada keluarga, stratifikasi sosial, agama, moral, hukum, dan seterusnya. 2. Dari sudut sikap-sikap penelitian tertuju pada reaksi individual terhadap perubahan, serta akibat-akibatnya terhadap pendidikan, kejahatan, delikuensi maupun kesehatan mental.

Kontinuitas dalam masyarakat terutama dipertahankan oleh tradisi sosial yang diturunkan pada generasi-generasi berikutnya melalui sosialisasi, walaupun proses sosialisasi itu tidak pernah lengkap dan sempurna, sebab senantiasa ada kritik terhadap tradisi maupun selalu ada inovasi. Munculnya kebudayaan generasi muda dan gerakan-gerakannya yang mungkin bertentangan dengan nilai-nilai generasi yang lebih tua merupakan suatu ciri penting dari masyarakat-masyarakat industrial.

2. Tipe-tipe Perubahan Sosial

Suatu usaha untuk mengkontruksikan tipologi perubahan sosial akan sangat bermanfaat. Hal itu disebabkan, pertama-tama karena tipologi akan membicarakan masalah-masalah pembangunan masyarakat yang sedang berkembang (atau juga yang terbelakang). Suatu tipologi akan menguntungkan, oleh karena dapat memberikan pengarahan pada pembahasan masalah-masalah perubahan sosial yang lebih umum, baik pada masa lalu maupun masa kini.

Battomore berusaha untuk menyusun suatu kerangka tentang perubahan sosial, yang mencakup empat permasalahan pokok, sebagai berikut:

1. Dari manakah perubahan sosial itu berasal? Pertama-tama dapat dibedakan antara perubahan endogen dengan eksogen, yakni dimana yang pertama berasal dari dalam masyarakat tersebut, sedangkan yang kedua berasal dari luar. Aspek lain dari masalah ini adalah pertanyaan tentang dimanakah perubahan dimulai pada suatu masyarakat tertentu. Ada dua problem berkaitan dengan hal itu, yakni mengenai faktor-faktor di dalam perubahan dan kelompok sosial manakah yang menjadi pelopor perubahan. 2. Kondisi-kondisi awal apakah yang menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan yang luas? Kondisi-kodisi awal mungkin mempengaruhi proses perubahan sosial dan memberikan ciri-ciri tertentu yang khas sifatnya. Sebab-sebab terjadinya kerajaan kuno seperti sistem feudal atau masyarakat kapitalis modern, tak dapat digeneralisasikan secara umum. Analisa sosiologis terhadap industrialisasi sebagai suatu proses perubahan akan lebih mudah, apabila terdapat tipologi masyarakat yang sedang berkembang dan masyarakat yang kurang berkembang. 3. Bagaimanakah kecepatan dari proses perubahan sosial? Suatu proses perubahan sosial mungkin akan berlangsung cepat dalam jangka waktu tertentu, tetapi menjadi lambat pada jangka waktu lainnya. Kecepatan perubahan dapat ditaksirkan sebagai akselerasi atau deselerasi. 4. Sampai seberapa jauhkah proses perubahan sosial bersifat kebetulan atau disengaja atau dikehendaki? Sudah tentu dapat dikatakan bahwa perubahan-perubahan sosial memang disengaja dan dikehendaki oleh karena bersumber pada perilaku para pribadi yang didasarkan pada kehendak-kehendak tertentu. Akan tetapi tidaklah mustahil bahwa perilaku tersebut menghasilkan akibat-akibat yang tidak dikehendaki, sehingga mengakibatkan terjadinya konflik.

3. Ketertiban dan Perubahan

Pada umumnya, kegiatan-kegiatan atau aktivitas-aktivitas manusia cenderung bersifat konsisten, demikin pula dengan peristiwa-peristiwa penting seperti kelahiran, perkawinan, kematian, dan sebagainya. Di dalam bidang perilaku manusia, hal itu menimbulkan semacam lingkaran pengulangan perilaku sepanjang periode-periode waktu yang berurut. Apabila gejala-gejala tersebut dianalisa secara sistematis dan saksama, maka akan tampak bahwa pola ketertiban pun mengalami perubahan-perubahan, dan bertahannya suatu gejala merupakan ciri dari suatu pola atau sistem aksi, dan bukan dari aksi-aksi tunggal. Suatu sistem sosial terdiri dari unit-unit yang merupakan pribadi-pribadi atau aktor-aktor yang saling berinteraksi, dan diatur oleh norma-norma.

Bab. 3 Kualitas-kualitas Perubahan Sosial

1. Pengantar

Waktu maupun perubahan bukanlah merupakan variabel-variabel yang tergantung atau yang tidak bebas. Jika perubahan dianggap sebagai suatu kesinambungan yang lebih daripada sekedar patokan antara sebelum dan sesudahnya, maka laju transformasi menjadi penting pula. Dengan demikian, tanpa jangka waktu tidak ada perubahan. Tanpa perubahan maka juga tidak ada arti bagi jangka waktu. Schlgel menyatakan bahwa perubahan dari suatu siklus ke siklus lain, merupakan sesuatu yang penting bagi penentuan apakah suatu gejala bersifat dinamis atau hanya bersifat pengulangan atau kebiasaan belaka. (Richard Schlegel 1961: bab 1) Jangka waktu atau ruang waktu memberikan batas-batas tertentu pada kehidupan manusia serta perubahan-perubahan pada struktur sosial. Maka, perubahan dari unsur-unsur suatu sistem sosial dalam jangka waktu tertentu, merupakan pusat perhatian dari dinamika sosial.

2. Teori Tunggal Tentang Perubahan Sosial

Tidak ada suatu teori yang tunggal mengenai struktur sosial, maka tidak alasan yang tepat untuk mengharapkan adanya teori tunggal tentang perubahan sosial. Hal itu juga disebabkan oleh karena organisasi sosial yang berbeda-beda berisikan variabel-variabel yang berbedabeda pula, sehingga dasar untuk menganalisa perubahan-perubahan sosial juga tidak sama. Perubahan sosial bersifat structural artinya tertuju pada masalah apakah yang berubah. Hal ini disebabkan oleh karena sumber-sumber dan arah perubahan sedikit banyaknya pada tipetipe khusus sistem-sistem sosial yang ada.

Petunjuk atau gejala adanya informalitas yang tidak terkendalikan, antara lain: 1. Penerapan patokan perilaku yang terlalu luwes 2. Berpudarnya tanggung jawab 3. Perlindungan terhadap orang-orang yang kurang terampil tetapi ada hubungan kekerabatan atau merupakan teman-teman dekat 4. Memelihara unit yang tenteram, tetapi tidak produktif

Di dalam suatu sistem yang kompetitif, adakalanya perubahan timbul dari karakteristik yang khusus dari struktur sosial yang ada. Karakteristik yang signifikan adalah pribadi-pribadi sebagai pelaku dengan berbagai kepentingan dan tujuan. Kepentingan dan tujuan tersebut dapat dicapai melalui sarana-sarana yang sangat terbatas, sehingga diperlukan norma-norma yang mengatur alokasinya secara adil.

3. Deteksi dan Pengukuran

Ilmu pengetahuan bertujuan untuk mengembangkan proporsi-proporsi yang dapat diuji, mengenai hubungan antara variabel-variabel. Tujuan tersebut dapat dicapai dengan pertamatama menyajikan deskripsi yang tepat mengenai variabel-variabel yang lebih dahulu telah diidentifikasikan. Artinya, definisi itu berisikan prosedur bagaimana suatu gejala diamati atau diidentifikasikan atau diukur.

4. Arah Perubahan Sosial

Suatu perubahan sosial dapat berlangsung secara gradual atau cepat, secara damai atau dengan kekerasan, secara kontinu atau sekali-kali, secara teratur atau dalam keadaan kacau. Teori-teori mengenai arah perubahan sosial sebagian besar mempunyai kecenderungan bersifat kumulatif atau evolusioner. Walaupun berbeda, akan tetapi teori-teori tersebut sama mempunyai kesimpulan (atau asumsi), bahwa sejarah manusia ditandai dengan adanya gejala pertumbuhan. Pusat perhatian terhadap ketidakteraturan pertumbuhan menimbulkan teori-teori tahapan stage-theories dan teori-teori lingkaran cyclical-theories, dimana pengertian tingkatantingkatan bertangga merupakan bentuk atau gambaran yang paling sederhana. Di dalam kebanyakan teori-teori tahapan, maka ketidaksinambungan kebanyakan disebabkan karena terjadinya perubahan-perubahan pada hubungan antara manusia dengan lingkungannya. Auguste Comte menyatakan bahwa perkembangan intelektualitas manusia mengikuti tahap teologis, metafisis dan ilmiah. Masalah jangka waktu atau ruang waktu tersebut, dianggap sebagai suatu variabel eksplisit, melalui tiga cara, yakni : 1. Sebagai patokan batas-batas masa transisi suatu masyarakat atau sistem ekonominya. 2. Sebagai dasar untuk membandingkan kecepatan suatu masa transisi tertentu dengan masa transisi lainnya. 3. Sebagai dasar untuk menentukan pola penyebaran dan kecepatannya dari satu sistem ke sistem lainnya.

Menurut Feldman dan Moore, transformasi ekonomis dianggap sebagai tahap antara dan model transformasi sosial tiga tahap, yakni : 1. Tahap Perindustrial yang statis 2. Tahap transisional yang dinamis 3. Tahap statis setelah revolusi industry

Bab. 4 Comte : Pertambahan Penduduk dan Hukum Tiga Tahap

Suatu gejala yang mempengaruhi perkembangan adalah pertambahan penduduk secara alamiah. Pertambahan penduduk merupakan suatu faktor dengan pengaruh yang lebih besar dari faktor-faktor lainnya. Pertambahan penduduk tersebut selalu dianggap sebagai gejala paling jelas dari meningkatnya perbaikan dari kondisi manusia. ( Auguste Comte ) Pengaruh sosiologis dari pertambahan penduduk adalah analog dengan jangka kehidupan manusia. Akan tetapi, perlu diperhatikan bahwa apabila pembatasan dan kecepatan melebihi derajat tertentu, maka terjadi hambatan pada proses akselerasi. Comte percaya bahwa perkembangan yang lebih sempurna dari hakikat manusia dan pengetahuan yang lebih berkembang mengenai hukum evolusi manusia, akan dapat mengembangkan sarana-sarana untuk mengatasi bahaya tersebut. Pengaruh terbesar datang dari evolusi intelektual, jika hal itu didefinisikan dalam studi terhadap aspek statis dari organisme, maka peranan evolusi intelektual tersebut lebih besar lagi di dalam aspek dinamis. Apabila analisa terhadap aspek statis dari organism didasarkan pada suatu sistem pendapat-pendapat yang fundamental, maka perubahan sistem tersebut secara gradui akan mempengaruhi modifikasi yang terjadi pada kehidupan manusia. Hal itu menyebabkan bahwa sejak lahirnya filsafat, sejarah manusia dianggap dikuasai oleh sejarah perkembangan jiwa dan pikiran manusia.

Bab. 5 Spencer : Hukum Perkembangan dan Penyebabnya

Menurut Spencer, belum ada kejelasan mengenai konsep perkembangan yang ternyata tidak pasti. Konsep tentang perkembangan tidak hanya samar-samar, akan tetapi juga banyak kesalahan-kesalahan. Untuk memahami perkembangan dengan tepat dan baik, maka harus diadakan telaah terhadap hakekat perubahan-perubahan itu. Di dalam perkembangan dari kemanusiaan individual ke kemanusiaan sosial, hukum yang umum itu masih tampak berlaku di dalam beberapa variasi. Secara simultan timbul suatu diferensiasi lain, yakni tumbuhnya keals-kelas dalam masyarakat. Perkembangan tersebut juga ditandai dengan adanya suatu sistem pembagian kerja, yang merupakan ciri dari masyarakat yang maju. Suatu masalah yang jelas merupakan ciri umum bagi semua perkembangan, yakni bahwa perkembangan merupakan cara perubahan. Jika perkembangan manusia menuju heterogenitas

dapat ditelusuri pada berbagai akibat yang dihasilkan oleh suatu sebab, maka perkembangan masyarakat kearah heterogenitas dapat pula dijelaskan. Tujuan utama Spencer adalah untuk memberikan suatu kunci bagi pemecahan masalah-masalah ataupun teka-teki alam semesta, yang dihadapi oleh manusia sepanjang sejarah proses kehidupannya.

Bab. 6 Durkheim dan Merton tentang Penyimpangan dan Perubahan

Durkheim mengajukan masalah pokok, apakah penyimpangan dapat dianggap sebagai suatu gejala patologis. Durkheim beranggapan bahwa suatu perilaku lebih bersifat normal daripada patologis, apabila biasanya diasosiasikan dengan tipe masyarakat tertentu dan jika peristiwa tersebut terjadi dalam batas-batas tertentu. Penyimpangan atau kejahatan secara umum dianggap abnormal, hanya apabila jumlah kejadiannya menyimpang dari normalitas yang merupakan angka rata-rata secara statistik bagi tipe-tipe masyarakat tertentu. Pendapat dari Durkheim tergambar dengan jelas dalam klasifikasi dan analisanya prihal bunuh diri (suicide). Tipe bunuh diri altruistik ( altruistic suicide ) menunjuk pada ikatan yang terlalu kuat dengan kehidupan kolektif. Misalnya, seorang pemuda dari suatu masyarakat sederhana, dianggap sebagai pengecut oleh rekan-rekannya. Durkheim juga mengemukakan bentukbentuk bunuh diri yang lain, yang pada derajat tertentu dianggap patologis. Bunuh diri anomik ( anomic suicide), misalnya terjadi sebagai reaksi terhadap perubahan-perubahan sosial yang cepat, di mana norma-norma pengatur aspirasi pribadi kehilangan kekuatan mengikatnya. Durkheim membedakan antara dua tipe sistem hukum. Tipe pertama dinamakan represif yang dikaitkan dengan masyarakat homogeny yang didasarkan pada solidaritas mekanis. Semakin berkembang diferensiasi dalam pembagian kerja, semakin berkembang pula individualisme. Di dalam proses perkembangan diferensiasi dalam masyarakat, hukum represif untuk sebagian diganti dengan hukum pidana khusus dan perdata. Durkheim menamakannya sebagai hukum restituitif, yang ditandai dengan adanya kelompok-kelompok penegak hukum yang khusus, terpisahnya hukum dengan nilai-nilai, dan fungsinya yang primer di dalam membentuk kembali integrasi masyarakat yang kompleks. Merton menjabarkan beberapa hal yang disinggung Durkheim. Salah satunya adalah perihal cara bagaimana suatu struktur sosial secara normal dapat menghasilkan peranan dan kegiatan menyimpang yang mempunyai akibat yang positif. Menurut Merton, keadaan yang mengkhawatirkan dalam masyarakat yang modern terjadi, oleh karena warga-warga masyarakat ingin mencapai kemajuan-kemajuan dan kepuasaan yang menyertainya, akan tetapi untuk mencapai hal itu dengan cara yang benar, bukanlah yang penting. Hal ini menimbulkan suatu cara inovatif dalam mana warga masyarakat ingin mencapai keberhasilan dengan segala macam cara. Cara inovatif tersebut merupakan salah satu alternatif yang logis dengan mempertimbangkan berbagai tekanan pada cara yang dihubungkan dengan tujuan. Merton mengidentifikasikan 4 tipe adaptasi, yaitu konformitas, ritualisme, inovasi, dan mengasingkan diri. Pada tipe inovatif, tekanan diletakkan pada keberhasilan (misalnya, kekayaan, ketenaran, dst), yang dipisahkan dari cara-cara terlembaga yang sah, melalui mana keberhasilan seharusnya dicapai. Merton berpendapat bahwa tipe inovatif tersebut lebih banyak terdapat pada stratum rendahan, oleh karena struktur sosial menghambat keleluasaannya untuk menempuh cara-cara yang sah. Ritualisme berarti meninggalkan

tujuan-tujuan budaya, akan tetapi tetap mengikatkan diri pada cara-cara yang telah melembaga. Dapat disimpulkan bahwa di satu pihak anomi mungkin menimbulkan perubahan atau di lain pihak, anomi merupakan akibat dari suatu perubahan.

Bab. 7 Weber dan Ogburn tentang Perubahan-Perubahan Sosial

1. Pengantar

Pada umumnya masyarakat-masyarakat terintegrakan berdasarkan faktor-faktor dasar tertentu. Salah satu faktor dasar tersebut adalah adanya nilai-nilai tertentu, yang dianut oleh bagian terbesar warga-warga masyarakat yang bersangkutan. Nilai-nilai merupakan hasil daripada situasi-situasi teknologis dan ekonomis, sehingga kondisi-kondisi itulah yang harus dipelajari sebagai titik tolak terjadinya perubahan-perubahan sosial.

2. Weber tentang Kapitalisme

Weber beranggapan bahwa patokan-patokan hukum akan tetap memegang peranan yang menonjol di dalam masyarakat kontemporer. Terdapatnya kelompok-kelompok elite yang berkuasa dan diakui kekuasaannya, dapat dianggap sebagai suatu pencerminan dari dianutnya nilai-nilai tertentu. Inti dari perumusan Weber mengenai kapitalisme adalah suatu orientasi rasional terhadap keuntungan-keuntungan ekonomis. Oleh karena itu, maka suatu masyarakat adalah kapitalis, apabila secara sadar warga masyarakatnya bercita-cita untuk mendapatkan (harta) kekayaan. Akan tetapi, bagi masyarakat kapitalis maupun lain-lain masyarakat, maka legitimasi tetap diperlukan.

3. Etika Protestan

Dasar-dasar dari pendapat Weber yang perlu dipahami adalah sebagai berikut : 1. Etika protestan tidak dianggap sebagai penyebab kapitalisme. Para pedagang dan mungkin orang-orang lain sudah berorientasi kapitalistis sebelum timbulnya reformasi Protestan.

2. Secara umum Weber menganggap bahwa bidang keagamaan merupakan sumber utama dari nilai-nilai dan cita-cita yang berkembang ke seluruh aspek kehidupan manusia.

Weber menganggap bahwa Etika Protestan menghasilkan kekuatan kerja yang disiplin, serta bermotivasi tinggi. Kekayaan merupakan petunjuk keberhasilan, sedangkan kemiskinan adalah tanda kegagalan secara moral. Max Weber menganggap kapitalisme dan etika tersebut sebagai dua hal yang tidak saling bergantung secara potensial.

4. Ogburn tentang Teknologi dan Kebudayaan

Ogburn mempermasalahkan hakikat dari perubahan-perubahan sosial dan kebudayaan. Dia berpendapat bahwa perubahan pada kebudayaan material cenderung terjadi terlebih dahulu. Pada proses penyesuaian kebudayaan immaterial mungkin terjadi cultural lag. Maka dalam menerapkan cultural lag pertama-tama harus ditunjukkan adanya dua variabel yang dikaitkan dengan kebudayaan material dan immaterial, yang dalam keadaan serasi selama jangka waktu tertentu, misalnya buta huruf dengan pertanian subsistem yang sederhana. Selanjutnya harus ditunjukkan bahwa salah satu variabel mengalami perubahan yang lebih banyak daripada variabel lainnya. Akhirnya haruslah ditunjukkan bahwa perubahan tersebut menghasilkan ketidakserasian antara kedua variabel. Ogburn berpendapat bahwa jumlah atau derajat penerapan-penerapan baru tergantung pada penemuan-penemuan. Akan tetapi, adanya penemuan-penemuan baru tidak tergantung pada kemampuan mental dari para penemu.

Bab. 8 Suatu Paradigma Perubahan Evolusioner

1. Pengantar

Di antara semua proses perubahan, tipe yang paling penting bagi perspektif evolusioner adalah peningkatan kemampuan adaptif. Produksi ekonomis lebih efektif dalam pabrik-pabrik daripada di dalam rumah tangga. Hal itu dapat dinamakan sebagai aspek peningkatan adaptif dari lingkaran atau siklus perubahan evolusioner. Peningkatan adaptif memerlukan kemampuan-kemampuan fungsional tertentu yang terlepas dari kemampuan yang ditentukan oleh faktor kelahiran, pada unit-unit struktural yang lebih luas. Suatu sistem atau subsistem yang mengalami proses diferensiasi, menghadapi masalah fungsional yang sebaliknya dari spesifikasi, yaitu timbulnya suatu jenis pola nilai yang sesuai dengan tipe sistem baru yang muncul. Proses generalisasi sering mengalami halangan, oleh

karena keterikatan pada pola nilai sering terjadi pada derajat yang lebih rendah, oleh berbagai kelompok. Halangan atau perlawanan tersebut dapat dinamakan fundamentalisme.

2. Diferensiasi Sub-subsistem dari Masyarakat

Bertambah kompleksnya suatu sistem selama tidak disebabkan karena perpecahan, berkaitan dengan berkembangnya subsistem yang mengkhususkan diri pada fungsi-fungsi tertentu sebagai bagian dari sistem secara menyeluruh dan dengan mekanisme integratif yang menghubungkan berbagai subsistem secara fungsional. Proses evolusi yang paling menyolok dari kondisi sosial sederhana berkaitan dengan tingkatan gerak umum, khususnya yang menyangkut hubungan antara sistem sosial dengan sistem budaya. Suatu proses diferensiasi yang parallel dapat ditelusuri para pribadi dan masyarakat, yang menyangkut derajat otonomi, para individu.

3. Tahap-tahap Evolusi Masyarakat

Evolusi kemasyarakatan tidaklah dianggap sebagai suatu proses sinambung atau linier, akan tetapi dapat dibedakan antara tingkatan-tingkatan luas dari kemajuan, tanpa adanya variasi. Bagi transisi dari masyarakat primitif menuju masyarakat intermediate, oerkembangan terpenting adalah pada bahasa yang merupakan bagian utama dari sistem budaya. Pada transisi dari masyarakat intermediate ke modern, perkembangannya berpusat pada sistem hukum. Bahasa tertulis yang menjadi pusat perkembangan yang meninggalkan keadaan primitif, meningkatkan diferensiasi dasar antara sistem-sistem sosial dan budaya yang memperluas ruang lingkup dan kekuatan kebudayaan.

Bab. 9 Eisenstadt tentang Perubahan Sosial, Diferensiasi dan Evolusi

1. Pengantar

Model-model evolusioner yang lama dalam perkembangannya terhalang oleh dua faktor, yakni : 1. Asumsi bahwa perkembangan masyarakat bersifat unilinier dan bahwa tahap-tahap perkembangannya bersifat universal. 2. Kegagalan untuk menjabarkan :

1. Karakteristik yang sistematis dari masyarakat atau lembaga-lembaganya 2. Mekanisme dari proses-proses perubahan yang mempengaruhi transisi dari satu tahap ke tahap lainnya. 2. Diferensiasi dan Masalah Integrasi

Semakin terdiferensiasi dan semakin khusus sifat unsur-unsur kelembagaan tertentu, semakin besar kemampuannya untuk berdiri sendiri dalam rangka hubungan fungsional di dalam suatu sistem yang terlembaga. Meningkatnya diferensiasi dan terobosan-terobosan structural mungkin terjadi melalui kecenderungan sekuler dari diferensiasi, atau karena dampak dari satu atau beberapa perubahan mendadak, ataupun kedua-duanya. Derajat diferensiasi terutama mengacu pada pembagian kerja di dalam setiap sistem sosial. Hal itu menunjukkan sampai sejauh mana suatu masyarakat telah berubah dari apa yang disebut model mekanis oleh Durkheim menjadi model organis. Meningkatna diferensiasi menimbulkan perluasan ruang lingkup dan kedalaman masalah-masalah internal dan eksternal yang sensitive bagi setiap sistem sosial.

3. Reaksi Terhadap Pertumbuhan Diferensiasi

Pada setiap taraf pembangunan, reaksi tehadap masalah-masalah yang ditimbulkan oleh proses diferensiasi mempunyai berbagai macam bentuk. Hasil yang paling ekstrem adalah kegagalan untuk mengembangkan suatu pemecahan institusional yang memadai terhadap masalah-masalah yang timbul dari diferensiasi. Konsekuensinya adalah mungkin adanya disintegrasi total atau parsiil/ dari sistem, ataupun gejala-gejala lain seperti submisi total pada masyarakat lain. Taraf diferensiasi merupakan prakondisi untuk pelembagaan efektif pada bidang-bidang kehidupan lainnya, walaupun kemungkinan terjadinya variasi struktural tetap ada.

4. Perkembangan Terbatas

Meningkatnya diferensiasi dan interdependensi antara berbagai bidang-bidang kelembagaan yang tambah otonom dan berbeda-beda meningkatkan kemungkinan bahwa salah satu bidang mencoba untuk menguasai bidang lain secara koersif dengan membatasi perkembangannya menuju suatu otonom. Oleh karena itu dapatlah dikatakan bahwa proses-proses perubahan intitusional yang spesifik membuka potensi-potensi baru tertentu. Akan tetapi hal itu dapat menjadi penghalang dan membekukan perubahan, sehingga terjadi keruntuhan pada sistem.

5. Penyebab Jalur Evolusioner Yang Berbeda

Variasi dari lingkungan institusional dan integratif dari berbagai masyarakat yang sampai pada tahap-tahap diferensiasi yang sama, mungkin disebabkan oleh faktor yang berbedabeda, namun yang berkaitan. Terjadinya variasi juga mungkin disebabkan oleh adanya perbedaan-perbedaan pada elite yang berkuasa. Elite-elite itu mungkin berkembang dalam bidang-bidang yang berbeda atau berkembang di satu bidang dengan perbedaan ideology dan orientasi kegiatan.

6. Elite-elite Inovatif

Masalah yang sangat penting adalah adanya atau tidak adanya suatu elite yang mampu untuk memecahkan masalah-masalah baru. Maka yang harus dipertimbangkan adalah kesiapan dari elite-elite maupun komponen-komponenya untuk menerima pola pemecahan masalah yang baru. Artinya suatu kesiapan untuk menyediakan sumber daya minimal untuk mengadakan pelembagaan dari pola pemechan masalah yang baru.