Tentang Drama Absurd

Embed Size (px)

Citation preview

  • 23/03/2010 Drs. Sumiyadi, M.Hum./Jurdiksatrasia, FPBS,UPI

    1

    MAZHAB SASTRA: ABSURDISME

    Oleh Sumiyadi

    1. Pendahuluan

    Absurdisme sebagai mazhab sastra berkembang selepas Perang

    Dunia II. Apabila kita telusuri, ternyata perkembangannya masih

    satu kutub dengan mazhab eksistensialisme, yang telah memiliki

    sejarah yang cukup panjang, bahkan sebelum Perang Dunia I.Tokoh

    eksistensialis dan juga peletak dasar eksistensialisme, Kierkegaard

    (18131855), telah menulis karya-karyanya sebelum Perang Dunia I.

    Para eksponennya, seperti Heidegger, Jaspers, dan Sartre telah

    menulis juga sebelum Perang Dunia II. Dasar-dasar eksistensialisme itu

    dapat ditemukan pula pada Nietzsche dan sastrawan Dostoyevsky,

    yang keduanya pun tidak sampai mengalami zaman Perang Dunia I

    (Hasan, 1992:12).

    Dari nama-nama yang telah disebutkan, kita dapat mengetahui

    bahwa mereka lebih dikenal sebagai filsuf daripada sebagai sastrawan.

    Dengan demikian, dapat disimpulkan pula bahwa ada keterkaitan

    antara filsafat dan sastra, seperti yang dikatakan oleh Budi Darma

    (1990:135):

    Kadang-kadang filsafat dan sastra menjadi satu. Filsafat dapat

    diucapkan lewat sastra, sementara sastra itu sendiri sekaligus

    dapat bertindak sebagai filsafat. Sesudah Perang Dunia II,

  • 23/03/2010 Drs. Sumiyadi, M.Hum./Jurdiksatrasia, FPBS,UPI

    2

    misalnya Albert Camus dan Jean Paul Sartre adalah filsuf

    eksistensialisme yang sekaligus adalah sastrawan. Novel-novel mereka adalah pengucapan filsafat, dan sekaligus juga filsafat.

    Dari kutipan di atas kita dapat mengenal satu nama lagi, yang belum

    disebut dalam tulisan ini, yaitu Albert Camus. Camuslah yang

    menghubungkan mata rantai absurdisme dengan eksistesialisme.

    Camus sendiri pernah membuat karya sastra yang bercorak absurd,

    di antaranya novel Sampar dan Orang Asing. Akan tetapi, konsep

    absurd sendiri dimuncukan Camus dalam sebuah esainya yang

    terkenal, yaitu Mitos Sisipus. Mitos Sisipus tidak hanya menjadi dasar

    pemikiran dalam karya sastra prosa, namun juga dalam karya sastra

    drama, bahkan dalam pertunjukan teaternya. Hal yang terakhir inilah

    yang melahirkan eksponen-eksponen yang khas dalam teater, seperti

    Beckett, Ionesco, dan Adamov.

    Tulisan ini akan membahas absurdisme, khususnya dalam

    teater, namun sesekali juga dihubungkan dengan karya sastra (novel

    dan drama). Sebagian besar tulisan akan berpumpun pada buku

    Martin Esslin yamg berjudul The Theatre of the Absurd (1961) dan

    "The Theatre of the Absurd" dalam On Contemporary Literature (1964)

    yang disunting oleh Richard Kostelanetz. Selanjutnya, tulisan ini

    akan dibagi dalam sub-subbagian: asal-usul absurdisme,

    karakterlsasi sastra dan teater absurd, beberapa eksponen teater

    absurd, dan strategi pembelajaran teater absurd.

  • 23/03/2010 Drs. Sumiyadi, M.Hum./Jurdiksatrasia, FPBS,UPI

    3

    2. Asal-Usul Absurdisme

    Dalam pendahuluan telah disinggung bahwa konsep absurd

    dimunculkan Albert Camus dalam buku easainya yang berjudul Mitos

    Sisipus dalam bahasa Prancis. Menurut Kasim (1994: 52) buku esai

    ini diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris pada tahun 1955 oleh

    Justin O'Brien dengan judul The Myths of Sisyphus and Other Essays.

    Inti cerita Mitos Sisipus diambil dari mitologi Yunani Kuno. Dalam

    cerita itu dikisahkan bahwa Sisipus dihukum para dewa. Hukuman

    yang harus dilakukain Sisipus adalah mengangkut batu besar ke atas

    gunung yang terjal. Akan tetapi, setelah mengangkut batu yang

    berakhir di puacak, batu itu menggelinding kembali, kemudian

    Sisipus mengangkut batu itu kembali ke puncak. Hukmnan itu terus

    berulang dilakukan oleh Sisipus. Hukuman Sisipus itu dimaknai oleh

    Camus sebagal amsal hidup manusia. Goenawan Mohamad menulis

    dalam "Catatan Pinggir"-nya, "Dalam dongeng ini, menurut tafsiran

    Albert Camus sejarah manusia berlangsung mengasyikkan tapi

    dlujungnya harapan besar apa pun tak akan terpenuhi (1982:201).

    Menurut Esslin (I96l:xvlii xix) , hingga akhir Perang Dunia II

    kemerosotan keyakinan religius yang tersembunyi di balik keyakinan

    akan kemajuan, nasionalisme, dan kepalsuan berbagai negara

    totaliter, semua ambruk karena perang, lalu manusia diselimuti oleh

  • 23/03/2010 Drs. Sumiyadi, M.Hum./Jurdiksatrasia, FPBS,UPI

    4

    perasaan absurditas. Perasaan absurditas ini dijelaskan Camus

    dalam Mitos Sisipus (dalam Esslin, 1961 :xix; Kasim, 1994:52):

    Dunia yang masih dapat dijelaskan meskipun dengan

    penjelasan yang keliru merupakan dunia yang kita kenal. Namun, sebaliknya di dunia di mana ilusi-ilusi dan harapan

    tiba-tiba direnggutkan, manusia merasa terasing, merasa

    sebagai seorang asing. Pelariannya tidak merupakan pengobatan bagi dirinya karena kenangan terhadap dunianya

    yang telah hilang dan pengharapannya terhadap negeri yang

    penuh harapan, telah direnggutkan. Perpisahan ini antara manusia dengan kehidupannya, antara aktor dengan lokasi

    ceritanya, merupakan perasaan absurditas.

    Perasaan absurditas inilah yang kemudian menjadi pokok

    persoalan dalam sastra dan teater absurd. Akan tetapi, ada yang

    perlu kita garis bawahi bahwa perasaan absurditas pascaperang

    Dunia II ini terlontar di belahan Dunia Barat. Jadi, tipikal Dunia

    Barat. Oleh sebab itu, dapat kita pahami apabila peristiwa teater yang

    terjadi di penjara San Quentin telah menghebohkan para narapidana

    di penjara tersebut, seperti yang diceritakan oleh Esslin (l96l:xv

    xxiv).

    Esslin memulai ceritanya dengan titi mangsa peristiwa itu.

    Pada tanggal 19 November tahun 1957 sekelompok aktor dengan rasa

    cemas dan khawatir bersiap-slap menghadapi para penonton. Aktor-

    aktor Itu berasal dari Sani Fransisco Actors Workshop. Penontonnya

    adalah sekelompok besar narapidana di penjara San Quentin.

    Padahal, selama lebih kurang 44 tahun di penjara itu tak pernah ada

  • 23/03/2010 Drs. Sumiyadi, M.Hum./Jurdiksatrasia, FPBS,UPI

    5

    pementasan yang menghibur mereka. Pementasan terakhir di San

    Quentin adalah sebuah sandiwara termasyur yang dibintangi oleh

    biduanita termasyur bernama Sarah Bernhardt pada tahun 1913.

    Empat puluh empat tahun kemudian, penjara itu akan dipentaskan

    sebuah sandiwara serius dan tanpa pemain wanita. Sandiwara itu

    adalah Menunggu Godot karya Samuel Beckett.

    Dengan demikian, cukup beralasanlah apabila aktor-aktor itu

    beserta sutradaranya, Herbert Blau, sangat cemas dan khawatir. Ada

    tanda tanya besar dalam diri mereka: bagaimana sikap penonton

    yang garang-garang itu nanti terhadap sebuah sandiwara yang berat

    dan perlu pemahaman Intelektual, yang telah menghebohkan

    kalangan intelektual di Eropa Barat itu? Oleh karena itu, Herbert

    Blau merasa perlu terlebih dahulu mempersiapkan penontonnya.

    Blau kemudian maju ke depan para penonton yang tengah

    menyalakan rokok-rokokya disertai dengan nyala korek api yang

    sengaja diayun-ayunkan untuk menerangi ruangan yang tampak

    remang-remang. Blau membandingkan naskah Menunggu Godot

    dengan partitur musik jaz. Dengan demikian, orang dapat bebas

    menafsirkannya sesuai dengan apa yang ditangkapnya. Blau pun

    berharap, Menunggu Godot dapat memberi makna yang dalam bagi

    masing-masing penontonnya.

    Layar dibuka, sandiwara pun mulai. Selanjutnya, sandiwara

  • 23/03/2010 Drs. Sumiyadi, M.Hum./Jurdiksatrasia, FPBS,UPI

    6

    yang telah"menggegerkan" para penonton di Paris, London, dan New

    York telah dapat diserap dengan baik oleh para "mantan" penjahat

    Itu. Sejak peristiwa itu, tokok-tokoh dan dialog-dialog dalam

    Menunggu Godot telah menjadi ungkapan sehari-hari bahkan mitos di

    penjara San Quentin. Artikel utama koran penjara itu menjelaskan,

    Sandiwara itu merupakan pengungkapan simbolik yang sangat

    umum dan pengarangnya berharap agar setiap penonton mengambil kesimpulan sendiri-sendiri, sekalipun kesimpulan

    yang dibuatnya itu keliru. Sandiwara itu tidak menuntut apa-

    apa, tidak memaksakan moral (ajaran/amanat) terhadap penontonnya, tidak mengharapkan sebuah harapan yang

    khusus...Kita masih menunggu Godot, dan akan selalu

    menunggu. Bila suasana mulal membosankan dan segala aktivitas semakin lamban, kita akan mulai saling memaki, lalu

    bersumpah untuk berpisahnamun kemudian tiada tempat untuk dituju (dalam Esslin, 1961:xvi).

    Mengapa sebuah sandiwara yang digolongkan sebagai avant--

    garde dapat memesona penonton yang terdiri dari para narapidana?

    Apakah karena pementasan itu menyajikan suatu situasi yang mirip

    dengan keadaan mereka? Atau apakah karena mereka tidak cukup

    canggih dan terpelajar untuk sampai pada teater tanpa gagasan dan

    rencana yang telah dibuat sebelumnya, yang dengan demikian

    mereka terhindar dari kesalahan yang menjebak begitu bayak

    kritikus? Keduanya mungkin. Akan tetapi, apabila kita percaya

    dengan jawaban yang kedua, maka kita telah menganggap bahwa

    para narapidana itu telah bersikap snob dan jumawa.Tampaknya,

    tidak ada alasan bagi para narapidana untuk bersaing dengan

  • 23/03/2010 Drs. Sumiyadi, M.Hum./Jurdiksatrasia, FPBS,UPI

    7

    kritikus teater, yang telah menghukum drama Menunggu Godot itu

    sebagai drama atau sandiwara yang kekurangan plot, perkembangan,

    perwatakan, tegangan (suspense), dan tidak masuk akal.

    Dari uraian di atas jelaslah bahwa situasi zaman dan keadaan

    para narapidana sendiri, secara intuitif telah membuat mereka

    paham dengan pementasan Menunggu Godot. Akan tetapi, untuk

    sampai pada pemahaman yang tidak sekedar intuitif, misalnya untuk

    keperluan ilmiah, kita memerlukan metode, pendekatan, bahkan teori

    yang dapat menjelaskan patokan, kaidah atau pun karakterisasi

    sastra dan teater absurd.

    Apabila Istilah "absurd" dalam teater dikembangkan oleh

    Esslin, maka dalam karya sastra, khususnya fiksi istilah absurd

    digunakan oleh Dick Penner. Menurut Kasim (1994: 5253), Dick

    Penner telah menulis sebuah buku yang berjudul Fiction of the Absurd

    terbitan The New American Library pada tahun 1980. Pengarang fiksi

    yang dikelompokkan absurd di antaranya Franz Kafka,, Nobokov,

    Flan Brien, Samuel Beckett, Eugene Ionesco, dan Albert Camus.

    Asal-usul absurdisme tidaklah bersumber tunggal dari Mitos

    Slsipus-nya Camus atau fllsafat eksistensialisme-nya Sartre. Menurut

    Esslin (1961:xxiii), kajian tentang gejala absurd sebagai sastra, teknik

    panggung, dan manifestasi dari pemikiran zamanya haruslah

    didahului dengan pengujian karya-karya tersebut. Dengan demikian,

  • 23/03/2010 Drs. Sumiyadi, M.Hum./Jurdiksatrasia, FPBS,UPI

    8

    kita dapat membuktikan bahwa karya-karya yang kita kaji

    merupakan bagian darl tradisi atau kebudayaan lama yang pada saat

    tertentu telah tenggelam, akan tetapi masih dapat diusut kembali

    sampai ke zaman purba kala. Dengan melakukan kajian historis ini,

    kemungkinan besar kita dapat menafsirkan dan menetapkan

    pentingnya fenomena absurd itu dalam pola pemikiran masyarakat

    kontemporer.

    Berdasarkan kajian historis yang dilakukan oleh Esslin

    (1961:229289), dapatlah diketahui bahwa teater absurd sebenarnya

    kembali pada tradisi lampau, bahkan arkais. Kebaruannya

    hanya terletak pada kombinasi baru (tidak biasa) dari tradisi-tradisi

    yang mendahuluinya itu.

    Tradisi zaman lampau yang oleh teater absurd ditampilkan

    dalam kombinasi yang berbeda, dalam arti baru dan masing-masing

    mempunyai kekhasan, dapat dikelompokkan ke dalam (1) teater

    "murni", yaitu efek-efek adegan yang bersifat abstrak seperti yang

    ditampakkan dalam pertunjukan sirkus, sulap, akrobat, adu banteng

    dengan manusia--yang pelakunya biasa disebut dengan matador; (2)

    unsur badut, kelucuan, dan adegan gila-gilaan; (3) kata-kata nonsens

    atau tanpa makna; dan (4) kesusastraan mimpi dan fantasi, yang

    sering kali memiliki unsur alegori yang kuat.

  • 23/03/2010 Drs. Sumiyadi, M.Hum./Jurdiksatrasia, FPBS,UPI

    9

    Keempat unsur tradisi zaman lampau tersebut dalam

    pertunjukan acap kali bertumpang tindih. Misalnya, unsur badut

    menyandarkan diri pada kata-kata nonsens dan efek adegan abstrak,

    sedangkan pertunjukan teater yang bersifat abstrak dan tanpa plot

    sering kali dlliputi oleh makna alegoris.

    Unsur murni teater abstrak dalam teater absurd merupakan

    satu aspek sikap yang antisastra dan sikap penolakan terhadap

    bahasa sebagai alat ekspresi makna. Hal inilah yang sering kali

    dimanfaatkan oleh tokoh-tokoh teater absurd seperti Genet, Ionesco,

    Adamov, Tardieu, dan Beckett. Mereka tampaknya dilandasi oleh

    suatu kesadaran bahwa teater bukanlah sekedar bahasa. Bahasa

    sendiri dapat dibaca, akan tetapi teater sejati hanya dapat mewujud

    dalam "pertunjukan".

    Unsur-unsur murni teater abstrak, yang efek teatrikalnya

    sering muncul dalam teater absurd adalah arena sebagai pusat

    permainan sang matador, prosesi atau pawai partisipan pada

    pembukaan olimpiade, lakuan pendeta dalam perayaan misa, dan

    iring-iringan kendaraan kebesaran raja atau ratu yang melalui jalan-

    jalan kota.

    Tradisi teater abstrak atau pertunjukan keterampilan tanpa

    kata (sulap, akrobat dengan berjalan pada seutas tali di udara, dan

    sirkus binatang yang terlatih), selalu ada hubungannya dengan peran

  • 23/03/2010 Drs. Sumiyadi, M.Hum./Jurdiksatrasia, FPBS,UPI

    10

    badut. Tradisi ini pun membuat panggung terus-menerus memiliki

    daya tarik dan kekuatan terhadap penontonnya. Tradisi ini berasal

    darl tradisi mimus yang telah berkembang pada zaman kuno. Mimus

    adalah salah satu bentuk teater populer, yang pada zamannya

    berdampingan dengan teater klasik, yaitu tragedi dan komedi. Teater

    mimus sering kali jauh lebih populer dan berpengaruh daripada

    kedua teater klasik tersebut. Mimus merupakan pertunjukan yang

    berisi dansa, nyanyi, dan sulap, akan tetapi selalu dilandasi tipe-tipe

    tokoh yang penuh dengan kelucuan, spontanitas, dan improvisasi.

    Esslin dalam tulisannya itu menyinggung pula sejarawan

    Hermann Reich yang dianggap sebagai penemu kembali sebagian

    tradisi mimus dari sumber-sumber yang sulit dilacak. Reich mencoba

    untuk menelusuri jejak mimus dari mimus Latin, kemudian melewati

    tokoh-tokoh komis (jenaka) dalam drama pertengahan, hingga sampai

    ke Commedia dell'arte di Itali dan badut-badut dalam drama-drama

    Shakespeare di Inggris.

    3. Karakterisasi Sastra dan Teater Absurd

    Absurd dalam konteks musik adalah "tidak harmonis". Dalam

    kamus istilah sastra disebutkan, tidak masuk akal, mustahil. Yang

    dlsebut karya sastra absurd lalah karya sastra (drama atau cerkan)

    yang berlandaskan anggapan bahwa pada dasarnya kondisi manusia

  • 23/03/2010 Drs. Sumiyadi, M.Hum./Jurdiksatrasia, FPBS,UPI

    11

    itu absurd, dan bahwa kondisi ini secara tepat hanya dapat

    dllukiskan dalam karya yang juga absurd (Sudjiman, 1986:1).

    Dalam tulisan Esslin (1961:xix), dikutip pendapat Ionesco

    mengenal absurditas dalam karya-karya Kafka yaitu "absurd adalah,

    apabila tanpa tujuan... terenggut dari akal religi, metafisik, dan

    transendental, manusia menjadi kehilangan; segala tindakannya

    tidak masuk akal, absurd, sia-sia. Pendapat ini seolah-olah menjadi

    sebuah pembenaran mana kala kita membaca dan menyaksikan

    lakon-lakon dari Ionesco sendiri, Beckett, dan Adamov, yang dicap

    sebagai dramawan/teaterawan dan pengarang absurd.

    Konsep absurd dalam sastra dan teater dapat dijelaskan

    dengan membandingkannya dengan sastra/teater konvensional sebab

    kelahiran sastra/teater absurd pun di antaranya sebagai reaksi dari

    sastra/teater konvensional. Namun, sebelum membandingkan kedua

    kelompok sastra/teater ini, perlulah dijelaskan bahwa teater dapat

    merupakan kelanjutan dari sastra. Misalnya, Ionesco menulis karya

    sastra drama berjudul Biduanita Botak. Apabila karya Ini

    dipentaskan, maka pementasannya itu merupakan teater absurd.

    Akan tetapi, teater absurd tidak selamanya bertolak dari sastra

    absurd. Bahkan, terdapat perbedaan yang tegas antara teater absurd

    dan karya-karya sastra absurd dari Sartre dan Camus.

  • 23/03/2010 Drs. Sumiyadi, M.Hum./Jurdiksatrasia, FPBS,UPI

    12

    Menurut Esslin (1961 :xix xxi), Sartre dan Camus

    menyajikan pengertian tentang irasionalitas keadaan manusia dalam

    bentuk serta alasan yang jelas dan logis, sementara teater absurd

    (Beckett dan Ionesco) berusaha mengekspresikan keadaan manusia

    itu dengan cara yang lepas bebas dan acak. Sartre dan Camus

    mengekspresikan sikap baru itu dengan cara yang konvensional,

    sedangkan teater absurd melangkah lebih jauh dengan mencoba

    untuk mencapai kesatuan antara pikiran-piklran dasar dan bentuk

    pemanggungannya. Dengan kata laln, teater absurd tidak lagi

    membicarakan absurditas keadaan manusia, akan tetapi langsung

    menyajikannya dalam sebuah bentuk, yaitu ungkapan-ungkapan

    panggung yang kongkret.

    Dalam sumber lain Esslin (1964:204 221) menyatakan,

    apabila kita membaca dan menyaksikan drama atau teater

    konvensional, maka kita dapat menemukan bahwa dalam karya

    tersebut terdapat tujuan yang pasti. Karya konvensional juga

    mengajukan masalah-masalah tertentu yang pemecahan atau

    jawabannya telah tersedia.

    Ketika pembaca/penonton melihat masalah dalam karya

    konvensional, misalnya akankah Hamlet balas dendam terhadap

    pembunuh ayahnya? Akankah Lago berhasil dalam membunuh

    Othello? Akankah Bujangga membebaskan Bebasari? Akankah ke-

  • 23/03/2010 Drs. Sumiyadi, M.Hum./Jurdiksatrasia, FPBS,UPI

    13

    jahatan Katili terhadap Ishak dalam Kejahatan Membalas Dendam-

    nya Idrus berakibat malapetaka baginya? Mereka (pembaca dan

    penonton) tidaklah mengetahui apakah masalah-masalah tersebut

    dapat terpecahkan. Oleh sebab itu, mereka berada dalam ketegangan

    (suspense); mereka sangat ingin mengetahui peristiwa yang terjadi

    selanjutnya karena masalah baru terjawab apabila

    pembacaan/pertunjukan telah selesai. Singkatnya, peristiwa berjalan

    dari A raenuju ke B, dan seterusnya.

    Berbeda dengan sastra drama/teater konvensional, dalam

    sastra/teater absurd lakuan-lakuan tokoh tidak diarahkan melalui

    silogisme yang logis. Sastra dan teater absurd tidak berjalan dari A ke

    B (kecuali karya Sarre dan Camus), melainkan bergerak dari premis

    yang tak dapat diketahui untuk menuju konklusi Y. Memang, para

    penonton tidak mengetahui maksud pengarang atau sutradara. Akan

    tetapi, mereka tidak merasakan ketegangan seperti yang ada pada

    teater konvensional. Sebaliknya, hal-hal yang paling tidak diharapkan

    dan tidak diperkirakan betul-betul terjadi. Dengan demikian,

    penonton mendapatkan ketegangan lain yang tentunya berbeda

    dengan suspense karya konvensional. Ketegangan penonton teater

    absurd adalah identik dengan pertanyaan, apa selanjutnya yang akan

    ditambahkan dari peristiwa-perisiiwa yang sedang terjadi itu?

    Sementara itu, lakuan-lakuan tokoh memberikan sebuah

  • 23/03/2010 Drs. Sumiyadi, M.Hum./Jurdiksatrasia, FPBS,UPI

    14

    pertentangan yang meningkat dengan disertai petunjuk-petunjuk

    yang membingungkan pula sehingga pertanyaan penonton tak pernah

    terjawab sepenuhnya.

    Dari penjelasan di atas kita dapat menyimpulkan dengan

    singkat bahwa sebagai pengganti ketegangan dari "apa yang akan

    terjadi selanjutnya", teater absurd meletakkan ketegangan itu pada

    "apa makna yang mungkin". Ketegangan ini terus berlangsung

    bahkan setelah layar panggung diturunkan.

    Hal yang terjadi dalam teater absurd, jelas tidak akan terjadi

    dalam teater konvenslonal. Selain yang pernah disinggung di atas

    teater konvensional berjalan dari A ke B teater ini juga didasarkan

    pada kerangka yang sudah dlkenal, pada nlai-nilai yang sudah

    diterima oleh masyarakat dan pada pandangan hidup yang rasional.

    Apabila kita hubungkan dengan sastra/teater absurd, justeru unsur-

    unsur inilah yang hendak dilanggar oleh teater absurd. Teater absurd

    mencoba untuk melawan keseluruhan kaidah dari konvensi

    pemanggungan konvensional, bahkan ada yang menyebut anti-plays

    ataia anti-literature.

    Hukum trilogi Aristotelles mengenai kesatuan ruang, waktu,

    dan peristiwa mendapatkan antitesisnya dalam teater absurd.

  • 23/03/2010 Drs. Sumiyadi, M.Hum./Jurdiksatrasia, FPBS,UPI

    15

    Misalnya, dalam Biduanita Botak-nya Ionesco, jam dinding

    berdentang tujuh belas kali, Pozzo dan Lucky dalam Menunggu Godot-

    nya Beckett, muncul sebagai tuan dan budak. Akan tetapi, sebelum

    pertunjukan usai kedua tokoh itu berganti watak secara berbalik.

    Dalam Jack atawa Kepatuhan Ionesco, terdapat tokoh gadis muda

    dengan dua, bahkan tiga hidung. Atau, dalam Amedee Ionesco

    menghadirkan adegan mayat yang disembunyikan di sebuah

    ruangan, namun secara tiba-tiba mayat itu tumbuh meraksasa

    hingga kakinya merusakkan pintu panggung. Dalam Orang Asing-nya

    Camus tampak sekilas seperti novel konvensional: alur dan

    penokohan tampak linear dan konvensional. Akan tetapi, mengapa

    tokoh utamanya (Meursault) dihukum mati hanya karena masalah

    sepele dan kebetulan? Tak ada jawaban yang pasti, selain

    dihubungkan dengan kondisi manusia yang absurd itu.

    Absurditas dalam teater absurd yang ditampakkan oleh

    Beckett, lonesco, dan Adamov tidaklah sama. Beckett cenderung

    melankolis yang diwarnai oleh kesia-siaan dan nihil-nya harapan.

    Adamov cenderung aktif, agresif, membumi, terkadang disertai

    sindiran-sindiran sosial dan politis. Sementara itu, Ionesco cenderung

    bersuasana lucu, kasar, ribut, dan fantastis.

    Berdasarkan uraian di atas, kita dapat menarik kesimpulan

    bahwa teater absurd adalah suatu bukti. Bukti yang ditunjukkannya

  • 23/03/2010 Drs. Sumiyadi, M.Hum./Jurdiksatrasia, FPBS,UPI

    16

    adalah bahwa panggung mempunyai daya magis tersendiri, meskipun

    dl luar kerangka rasionalitas. Selain Itu, teater absurd mencoba

    untuk menunjukkan bahwa dunia itu merupakan tempat yang tidak

    dapat terpahami. Hasilnya, penonton akan merasa hidup di sebuah

    negerl yang bahasanya begitu asing, sehingga menimbulkan "efek

    alienasl". Istilah efek alienasi sebenarnya bukan konsep teater

    absurd, akan tetapi konsep teater epik yang yang dikembangkan oleh

    Brecht. Menurut Sumardjo (1993:99), yang dimaksud alienasi

    adalah bahwa penonton tidak boleh mencampuradukkan yang

    terjadi di atas pentas dengan kenyataan hidupnya, bahkan

    mengingatnya pun tidak boleh. Pentas hanyalah tontonan yang mesti

    dihadapi secara kritis. Melalui alienasi inilah penonton dapat

    memperoleh hiburan yang tidak sekedar hiburan melainkan hiburan

    yang lebih tinggi berupa partisipasi.

    Esslin dalam Ahmadi (1989:011) menyatakan bahwa penonton-

    penonton teater absurd dihadapkan pada sebuah lukisan yang dibuat

    secara menggelikan dan fantastis tentang dunia mereka sendiri.

    Dunia yang dimaksud adalah dunia tanpa kesetiaan dan keyakinan;

    tanpa makna dan kebebasan berkehendak. Dalam pengertian ini,

    teater absurd telah dianggap sebagai teater yang sebenarnya di

    zaman kontemporer ini. Dengan demikian, wajar saja apabila Esslin

  • 23/03/2010 Drs. Sumiyadi, M.Hum./Jurdiksatrasia, FPBS,UPI

    17

    memberikan pandangannya mengenai teater absurd ini melalui

    beberapa pertanyaan retoris, yang jawabannya hanya ada pada

    kamus sanubari kita.

    Jika dialog dalam lakon-lakan ini terdiri atas tumpukan-

    tumpukan kata klise tak bermakna dan stereotipe, berapa banyakkah

    kata-kata klise tak bermakna dan stereope itu yang kita gunakan

    dalam percakapan sehari-hari?

    Jika tokoh-tokoh mengubah watak mereka di tengah-tengah

    gerak lakuan dramatiknya di atas pentas, seberapa jauhkah keajekan

    dan penyatuan antara perilaku dan kepribadian orang-orang yang

    kita temui dalam kehidupan yang sebenarnya?

    Jika orang-orang yang muncul dalam teater ini berlakuan

    sebagai orang-orang tanpa harapan, tak berdaya, dan tanpa kemauan

    sendiri (pasif dan pasrah pada belas kasih nasib serta situasi yang

    tanpa arti), apakah kita di dunia ini masih memiliki inisiatif yang

    orisinal dan masihkah kita benar-benar memiliki daya kekuatan

    untuk menentukan nasib kita masing-masing?

  • 23/03/2010 Drs. Sumiyadi, M.Hum./Jurdiksatrasia, FPBS,UPI

    18

    4. Beberapa Eksponen Sastra dan Teater Absurd

    Menurut Esslin (l96l:xxixxii), teater absurd bersumber di

    Paris, akan tetapi tidak berarti bahwa teater absurd mutlak milik

    Prancis. Teater absurd berakar pada serentetan tradisi masa lampau

    Barat dan eksponennya tersebar di Inggris, Spanyol, Itali, Jerman,

    Swiss, Eropa Timur, Amerika Serikat, dan Prancis sendiri. Bahkan,

    pelaku-pelaku utama yang tinggal di Paris dan menulis dalam bahasa

    Prancis, bukanlah orang-orang Prancis.

    Sebagai sumber tenaga dari gerakan (seni) modern, Paris tidak

    sekedar menjadi ibu kota Prancis, namun lebih dari itu, Perancls

    sebagai kota internasional. Prancis dapat diibaratkan magnet yang

    menarik seniman berbagai bangsa yang sedang mencari kebebasan

    untuk berkarya dan menjalani hidup yang nonkoformis tanpa peduli

    dengan orang lain. Itulah rahasia daya tarik Paris sebagal ibu kotanya

    para individualis. Di sini, di dunia kafe dan hotel-hotel melati,

    memungkinkan orang untuk hidup santai tanpa kehilangan

    kebebasannya. Dengan demiklan, wajarlah apabila orang-orang

    seperti Apollinaire (Prancis), Picasso dan Juan Gris (Spanyol),

    Kandinsky dan Chagall (Rusia), Tzara dan Brancusi (Rumania),

    Gertrude Stein, Hemingway, dan E.E. Cummings (Amerika Serikat),

    James Joyce (Irlandia) dan banyak lagi seniman lainnya dari berbagai

    penjuru dunia, datang ke Paris untuk bersama-sama membentuk

  • 23/03/2010 Drs. Sumiyadi, M.Hum./Jurdiksatrasia, FPBS,UPI

    19

    gerakan modern dalam bidang seni dan sastra.

    Teater absurd sebagai sebuah gerakan seni modern tumbuh

    dan berkembang dari tradisi dan akar yang sama pula. Samuel

    Beckett (Irlandia), Eugene lonesco (Rumania), Arthur Adamov (Rusia

    tapi berasal darl Amerika), tidak hanya menemukan Paris sebagal

    tempat untuk bereksperimen secara bebas, melainkan juga sebagai

    peluang untuk memproduksi karya-karya mereka. Keuntungan lain

    bagi mereka adalah Paris memiliki penikmat teater yang terbuka

    dengan ide-ide baru dan rela untuk mendapatkan ide-ide yang baru

    itu.

    Berikut ini akan diuraikan beberapa eksponen sastra dan teater

    absurd, yaitu Albert Camus, Samuel Beckett, dan Eugene Ionesco.

    Pembahasan terhadap ketiga eksponen ini bukan berarti bahwa

    mereka lebih penting daripada yang lainnya, seperti Franz Kafka,

    Jean Genet, Arthtur Adamov, Harold Pinter, K.F Simpson, dan

    Friedrich Duerenmatt, melainkan karena ketiga karya tokoh absurd

    itu sudah banyak dibaca pembaca Indonesia dalam bentuk buku

    terjemahan dan telah banyak kelompok teater Indonesia yang telah

    memainkannya.

    4.1 Albert Camus (19:131960)

    Semasa hidapnya, sastrawan dan filsuf Prancis keturunan

  • 23/03/2010 Drs. Sumiyadi, M.Hum./Jurdiksatrasia, FPBS,UPI

    20

    Aljazair ini menyenangi permainan bola, bahkan dia pernah menjadi

    penjaga gawang. Kiper adalah tugas yang mengasyikkan bagi Camus

    karena dapat sepenuhnya terlibat dalam pertandingan. Namun, dia

    pun masih sempat secara sendirian mengamati dan merenungkan

    permainan itu.

    Tampaknya, Camus memang dapat memetik pelajaran dari

    sebuah permainan olah raga. Sikap he is a good sport dibuktikannya

    ketika Prancis ditindas Jerman. Teror, pembunuhan, dan kekejaman

    tentara Jerman terjadi di mana-mana. Orang Prancis pun melawan.

    Namun, tulisan Camus dalam selebaran gelap Combat ketika dia

    mengikuti gerakan bawah tanah tetap mencerminkan keluhuran budi

    manusia. Dia pernah menulis kepada temannya, seorang Jerman,

    "Kami ingin menghancurkanmu dalam kekuasaanmu, tanpa

    merusakkanmu dalam sukmamu" (Mohamad, 1982:517).

    Jasa Camus dalam hubungannya dengan absurdlsme adalah ia

    melahirkan kembali mitos Sisipus pada masa yang penuh

    kekecewaan, kecemasan, dan ketakutan (the age of anguish).

    Goenawan Mohamad menulis dalam "Catatan Pinggir"nya (1982:

    201):

    Dongeng Sisipus lahir kembali dari masa kekecewaan besar.

    Eropa baru reda dari Perang Dunia II, tapi tiba-tiba saja di

    udaranya yang dingin, manusia dan gedung-gedung gemetar ketakutan oleh kemungkinan Perang Dunia III. Jerman

    terbelah. Korea terbelah. Bom atom yang dijatuhkan di

    Hiroshima dan Nagasaki meningkat jumlah dan mutunya sesuai

  • 23/03/2010 Drs. Sumiyadi, M.Hum./Jurdiksatrasia, FPBS,UPI

    21

    dengan permintaan rasa takut serta curiga. Apa yang terjadi?

    Harapan lain? Ucapan Mao Zedong bahwa "dari puing-puing peperangan akan terbangun masyarakat baru" pun ramai

    dimaki-maki kecuali di Peking.

    Suasana seperti itulah yang melahirkan perasaan absurditas

    yang telah dituangkanya dalam kumpulan esai Mitos Sisipus, yang

    pernah kita singgung dalam pembahasan terdahulu.

    Karya sastra Camus yang pertama adalah novel pendek yang

    berjudul Orang Asing yang diterbitkan pada tahun 1942. Dalam novel

    ini Camus mengisahkan seorang tokoh bernama Meursault dan

    keterlemparannya pada kondisi hidup yang absurd. Dalam kondisi

    seperti ini, menurut Camus, Tuhan pun tak dapat menolong

    manusia. Hai inl tampak, pada tokoh Meursault yang menolak

    campur tangan pendeta pada saat-saat terakhir penggantungannya:

    Tetapi tiba-tiba ia mengangkat kepala dan menatapku, "Mengapa?" ia bertanya "Anda menolak kunjungan saya?" Aku

    menjawab bahwa aku tidak percaya kepada Tuhan. la ingin tahu

    apakah aku yakin benar akan hal itu. Dan aku berkata bahwa aku merasa tidak perlu mempertanyakannya: kurasa itu soal yang sama

    sekali tidak penting. Ia lalu melemparkan tubuhnya ke belakang dan

    bersaadar pada dinding, tangannya tertelungkup di paha. Dengan

    sikap yang seakan-akan hampir tidak berbicara kepadaku, ia mengatakan bahwa kadang-kadang orang merasa yakin, tetapi pada

    kenyataannya tidak. Aku tidak mengatakan apa-apa. la memandang

    aku dan bertanya, "Bagaimana pendapat Anda mengenai hal itu?" Aku menjawab bahwa hal itu mungkin. Bagaimanapun juga,

    mungkin aku tldak merasa yakin mengenai hal yang sungguh-

    sungguh kuminati, tetapi aku benar-benar merasa pasti akan hal yang tidak kuminati. Dan justru yang dibicarakannya tidak menarik

    perhatianku.

    la memalingkan pandangannya, tetap tanpa mengubah

  • 23/03/2010 Drs. Sumiyadi, M.Hum./Jurdiksatrasia, FPBS,UPI

    22

    duduknya, bertanya kepadaku apakah aku berkata demikian karena

    aku merasa sangat putus asa. Aku menerangkan bahwa aku tidak berputus asa. Aku hanya merasa takut, itu wajar. "Kalau begitu,

    Tuhan akan membantu Anda." la menerangkan. "Semua orang yang

    saya kenal yang berada dalam keadaan seperti Anda berpaling kepada-Nya." Aku mengakui bahwa itu hak mereka. Itu juga

    membuktikan bahwa mereka mempunyai waktu. Sedangkan aku, aku

    tidak mau dibantu dan justru aku tidak mempunyai waktu untuk

    tertarik pada hal yang tidak menarik hatiku (Camus, 1985: 9798).

    Karya Camus yang lain adalah drama Caligula (1944), novel

    Sampar (1947), buku tentang filsafat Pemberontakan Manusia (1951),

    dan kumpulan cerita pendeknya yang berjudul Kerajaan dan

    Pengasingan (1957).

    Camus mendapatkan hadiah Nobel untuk bidang kesusastraan

    pada tahun 1957. Tiga tahun kemudian, ia tewas karena sebuah

    kecelakaan mobil.

    4.2 Samuel Beckett (1906 1989)

    Beckett lahir di Dublin, Irlandia, tanggal 13 Desember 1906.

    Kemasyuran Beckett baru tampak nyata ketika dia telah berumur 46

    tahun, yaitu ketika pertama kalinya drama Menunggu Godot

    dipentaskan. Karier Beckett sebagai seniman, sebenarnya telah

    dimulai pada tahun 1938 dengan kemunculan novel pertamanya yang

    berjudul Murphy. Meskipun novel itu lahir tanpa "kegaduhan", James

    Joyce (seorang tokoh modernisme sahabat Beckett) telah hafal

  • 23/03/2010 Drs. Sumiyadi, M.Hum./Jurdiksatrasia, FPBS,UPI

    23

    sebagian novelnya di luar kepala. Dalam novel Murphy (Davenport,

    1984:196199), untuk pertama kalinya Beckett menciptakan tokoh

    standarnya, yaitu seseorang yang jatuh miskin, baik secara ekonomi

    maupun spiritual. Satu-satunya keinginannya adalah mendapatkan

    kehampaan dan kedamaian jiwa seperti seorang Hindu, dengan terus-

    menerus bermeditasi di kursl goyangnya; satu-satunya barang yang

    masih dimilikinya. Novel Beckett yang lain, yang masih dalam periode

    awal kariernya, adalah Watt (terbit tersendat-sendat), dan Mercier et

    Camier (tidak pernah dipublikasikan).

    Novel Beckett yang dianggap besar dan berhasil adalah triogi

    novel Molloy, Malone Mati, dan Unnameable . Dalam trilogi inilah

    Beckett tampil sebagal seorang jenius: pencipta karakter komis dalam

    pesimisme yang aneh. Tokoh Molloy dalam triiogl ini dijadikan

    sasaran penganiayaan tokoh lain bernama Moran (Moran dianggap

    sebagai manusia yang memiliki watak terjahat dan manusia gila yang

    paling menyakitkan). Adapun tokoh Malone adalah seorang progresif

    yang moralnya telah merosot. Seperti juga Molloy, Malone

    menceritakan kisahnya sendiri dengan menuliskannya lewat pinsil

    pendek. Novel Malone Mati berakhir pada pertengahan kalimat karena

    pinsil Malone telah habis. Novel Unnameable dianggap telah mencapai

    kemutlakan Brechtian: tokohnya telah lupa pada dirinya sendiri. Kita

    hanya berpuas hati pada perkiraan-perkiraan yang salah.

  • 23/03/2010 Drs. Sumiyadi, M.Hum./Jurdiksatrasia, FPBS,UPI

    24

    Sandiwara/drama Beckett mengikuti arah yang sama untuk

    menuju eksistensi manusia dengan penderitaan total. Drama Beckett

    selain Menunggu Godot (1948) adalah Endgame (1956), Rekaman

    terakhir Krapp (1958), dan Hari-Hari Bahagia (1961).

    Mengenai lakon Menunggu Godot, Beckett (dalam Davenport,

    1984: 199) berucap, "bukan keputusasaan, melainkan pengharapan.

    Godot adalah kehidupan-tidak-bertujuan, tetapi selalu dengan unsur

    pengharapan".

    Guy Davenport (penyair, kritikus, dan dosen kesusastraan di

    Universitas Kentucky) pernah mengomentari Beckett dan karya-

    karyanya dengan berkomentar sebagai berikut:

    Beckett merupakan seorang penulis berbahasa Inggris yang

    paling ulung dalam hal teknik sejak rekan senegaranya di

    Irlandia, James Joyce. Oleh para kritisi, Beckett dianggap sepihak dengan para eksistensialis Prancisyang kemungkinan salah, karena karya seninya merupakan pengembangan logis

    dari penulisan komis Irlandia, yang selalu pahit, singkat dan

    kelam. Beckett hanya membawa pengandaian komedi Irlandia ke keabsurditasan puncaknya, dan karenanya dalam seabad

    perang total ia telah menuliskan satu pernyataan besar tentang

    keadaan sulit manusia yang dahsyat dan dapat terbebaskan secara samar-samar.

    Beckett menyadari, betapa sulitnya kita sebagai manusia dalam

    mengambil sikap pasti berkenaan dengan urusan kehidupan. Oleh

    sebab itu, drama-drama Beckett (menurut Sumardjo, 1993:112)

    penuh dengan sugesti mengenai keberadaan manusia absurd; penuh

    dengan simbol-simbol sehingga tak pernah memberikan makna

  • 23/03/2010 Drs. Sumiyadi, M.Hum./Jurdiksatrasia, FPBS,UPI

    25

    secara jelas. Untuk memaknai apa yang terdapat di belakang lakuan

    karakter-karakter dramanya, Beckett memberikan kebebasan pada

    penontonnya untuk melakukannya sendri.

    Karya-karya Beckett telah mendapatkan pengakuan dunia.

    Hadiah nobel dalam bidang kesusastraan yang diraihnya pada tahun

    1969 adalah satu bukti pengakuan itu.

    4.3 Eugene Ionesco (19121994)

    Ionesco lahir pada tanggal 26 November di Slatina, Rumania

    pada tahun 1909 (akan tetapi, ia selalu menganggap tahun

    kelahirannya adalah 1912). Salah satu momentum dalam kehidupan

    Ionesco yang perlu dicatat adalah dia tak pernah menyangka akan

    menjadi seorang dramawan. Hal ini disebabkan minat awalnya yang

    tertuju pada sastra Prancis.

    Ionesco menamatkan studinya di Universitas Bukares pada

    tahun 1930. Kemudian, ia memperoleh jabatan sebagai guru bahasa

    Prancis di lyceum Bukares. Pada tahun 1938 ia mendapatkan

    beasiswa untuk melanjutkan studinya ke Prancis. Kesempatannya itu

    kemudian ia manfaatkan untuk meneliti tema-tema dosa dan

    kematian dalam puisi-puisi Prancis yang dimulai dari puisi

    Baudelaire.

  • 23/03/2010 Drs. Sumiyadi, M.Hum./Jurdiksatrasia, FPBS,UPI

    26

    Ketidaktertarikannya pada teater tampak dalam tulisannya

    yang dimuat di majalah Paris Noevelle Revue Francaise (tahun 1958).

    Ia mengatakan bahwa ia gemar membaca fiksi dan esai, menonton

    film, mengunjungi galeri seni, dan mendengarkan musik. Akan tetapi,

    ia hampir tidak pernah mengunjungi pergelaran teater.

    Ketidaksukaannya pada teater itu ada kaitannya dengan pengalaman

    masa kecilnya. Ketika masih kanak-kanak, ia memang menyenangi

    teater. Namun, setelah timbul daya kritisnya, ia merasa

    dipermalukan. Sebagai penonton teater, ia banyak menyaksikan

    aktor-aktor yang seharusnya malu dengan permainan mereka.

    Namun, karena mereka tidak malu, ia merasa dipermalukan atas

    nama mereka.

    Akan tetapi, perasaan dipermalukan sebagai seorang penonton

    teater itu justru merupakan awal dari kebangkitan minatnya pada

    teater yang bersifat dialektis dan akan mencapai puncaknya pada

    saat tertentu. Akhirnya, waktu membuktikan bahwa begitu ia tertarik

    pada teater, Ionesco menjadi salah seorang pembela teater yang amat

    gigih. Hal Ini dibuktikanya lewat polemik dengan Kenneth Tynan,

    seorang kritikus drama dari Inggris (Soekito, 1994.:9--11).

    Menurut Ikranagara (1994:4) Ionesco menolak teater sebagai

    pembawa pesan suatu doktrin dan tunggangan ideologi. Dia menolak

    berubah menjadi makhluk bercula, yang menderita penyakit

  • 23/03/2010 Drs. Sumiyadi, M.Hum./Jurdiksatrasia, FPBS,UPI

    27

    rhinoceritis, seperti yang ia ungkapkan dalam drama Badak-Badak.

    Pandangan senada pun tampak pada catatan-catatan hariannya yang

    berisi usaha kerasnya untuk tidak menjadi "buldog" (Ionesco,

    1969:403407).

    Dalam sebuah esainya, Schechner (1994:2529) menyatakan

    bahwa Ionesco adalah seorang yang paling dekat sebagai ekspresionis

    abstrak di dunia teater. Lakon-lakon Ionesco adalah autobiografi dan

    pengakuannya.

    Dalam karyanya, sering kali Ionesco mempertahankan seluruh

    kaidah bahasa dan menggunakan kosakata ilmiah, akan tetapi dialog

    yang muncul melingkar dl seputar pusat kontradiksi. Contoh yang

    tampak jelas, misalnya pada drama Mata Pelajaran dalam dialog yang

    dilakukan tokoh profesor:

    Yang membedakan antara bahasa-bahasa Spanyol baru dan

    Idiom-idiomnya dari kelompok linguistik lainnya, seperti kelompok bahasa yang dinamakan Austrian dan Neo Austrian atau Hapsburgian, sebagaimana Esperanto, Helvetian,

    Monacan, Swiss, Andorran, Basque, dan kelompok jai alai, dan juga kelompok bahasa diplomatik dan teknik--yang membedakan mereka, saya ulangi, adalah persamaan yang

    mencolok, yang membuatnya sulit untuk dibedakan antara satu

    dengan lainnya. Saya berbicara tentang bahasa-bahasa Spanyol baru yang dapat dlbedakan satu sama lain, karena itu,saya

    bersyukur atas karakteristik-karakteristik mereka yang

    membedakan, suatu hal mutlak bahwa bukti-bukti itu tak bisa ditentang dari persamaan mereka yang luar biasa, yang

    membawa kita pada asal-mula bersama yang tak terbantahkan,

    dan juga yang-pada waktu bersamaan-membedakan mereka secara jelas melalui keberlangsungan ciri distingtif seperti yang

    saya katakan (Ionesco, 1978:61; Schechner, 1994:26).

  • 23/03/2010 Drs. Sumiyadi, M.Hum./Jurdiksatrasia, FPBS,UPI

    28

    Karya drama lonesco yang lain, di antaranya Biduanlta Botak

    (1950), Badak-Badak (1958), Raja Mati (1962), Haus dan Lapar

    (1965), Jack atawa Kepatuhan, Kursi-Kursi..

    5. Strategi Pembelajaran Sastra (Drama Absurd)

    Sastra absurd merupakan pokok bahasan dalam mata kuliah di

    perguruan tinggi, khususnya dalam mata kuliah Apresiasi Drama,

    Kajian Drama, dan Pengantar Pengkajian Sastra (submateri pokok

    aliran sastra). Oleh sebab itu perlu disiasati bagaimana

    pembelajarannya dalam perkuliahan.

    Dalam mengaitkan pokok materi sastra absurd dalam konteks

    sastra di Indonesia kemungkinan yang muncul adalah bahwa sastra

    Indonenesia yang cenderung absurd itu disebabkan oleh keterlibatan

    pengarang Indonesia dengan sastra absurd, keterlibatan

    pengarang/sutradara dengan teater absurd, dan keterlibatan

    pengarang/sutradara dengan pengalaman hidupnya yang absurd.

    Selanjutnya, berdasarkan ciri-ciri yang tampak dalam drama

    absurd, maka kita dapat mengelompokkan drama absurd ke dalam

    drama inkonvensional. Oleh sebab itu, dalam pembelajarannya, kita

    dapat memulai dengan menyebutkan ciri-ciri drama konvensional.

    Ciri-ciri itu kita kaitakan dengan drama yang kita baca. Apabila

  • 23/03/2010 Drs. Sumiyadi, M.Hum./Jurdiksatrasia, FPBS,UPI

    29

    dalam drama yang kita baca itu terdapat ciri-ciri yang menyimpang,

    maka ciri itu kita kategorikan ke dalam ciri-ciri inkonvensional.

    Setelah mendapatkan ciri-ciri yang inkonvensional, kemudian kita

    hubungkan dengan ciri-ciri drama absurd, sehingga kita dapat

    menyimpulkan apakah ciri inkonvensional itu mengarah pada ciri-ciri

    rama absurd atau bukan.

  • 23/03/2010 Drs. Sumiyadi, M.Hum./Jurdiksatrasia, FPBS,UPI

    30

    DAFTAR PUSTAKA

    Ahmadi, Mukhsin. 1989. "Ekspresionisme dan Absurditas dalam

    Sastra dan Drama" dalam Puitika I (01): 009012. Malang.

    Camus, Albert. 1985. Orang Asing. Terjemahan Apsanti Djokosujatno

    dari L' etranger. Jakarta: Djambatan.

    Darma, Budi. 1990 "Sastra Indonesia Mutakhir" dalam Aminuddin,

    (Ed.). 1990. Sekitar Masalah Sastra. Hlm. 131141.

    Malang: Yayasan Aslh Asah Asuh.

    Davenport, Guy. 1984. "Komedi Pahit Samuel Beckett" (Terje-

    mahan Hadrian S.R.) dalam Horison XVIII (5): 196199.

    Jakarta. Esslin, Martin. 1961. The Theatre of the A_bsurd. New York:

    Doubleday & dompany, Inc.

    __________. 1964. "The Theatre of the Absurd" dalam Richard

    Kostelanetz (Ed.). 1964. On Contemporary. Literature.

    Hlm. 205221. New York: Avoniiooks.

    Hassan, Fuad. 1992. Berkenalan dengan Ekalstensialisme. Jakarta:

    Pustaka Jaya.

    Ionesco, Eugene. 1969. Nukilan-Nukilan dari Catatan Harian"

    (Terjemahan Wing Kardjo) dalam Budaya Jaya XIV, (7): Hlm.

    403407. Jakarta.

    __________. 1978. Four Plays Eugene Ionesco. New. York:

  • 23/03/2010 Drs. Sumiyadi, M.Hum./Jurdiksatrasia, FPBS,UPI

    31

    Grove Press, Inc. (Terjemahan dari bahasa Prrancis ke dalam

    bahasa Inggris oleh Donald M. Allen).

    __________.1983. "Badak-Badak-Badak" (Terjemahan Asvi Warman

    Adaro) dalam Horison. XVIII (9): 414422. Jakarta.

    __________. 1994. "Waktu yang Menghancurkan Manuisia" (Terje-

    mahan Jamal D. Rahman dan Kusmana) daiam Hprison (5):

    1719. Jakarta.

    Ikranagara. 1994. "Homage untuk lonesco dan Nashar" dalam

    Kasim, Razali. 1994. "Mazhab-Mazhab Sastra: Periodisasi,

    Aliran, atau Kritik Sastra?" dalam Horison XXIX (1011):

    4856. Jakarta.

    Mohamad, Goenawan. 1982. Catatan Pinggir (l). Jakarta: Grafiti.

    Schechner, Richard. 1994. "Realitas Dalam dan Realitas Luar

    Karya-Karya Lonesco" (Terjemahan Padli Zon dan Katharine

    Grace) dalam Horison (XXVIII (5): 2529.. Jakarta.

    Soekito, Wiratmo. 1994. "Telah Meninggai Seorang Dramawan

    Dunia" dalam Horison XXVIII (5): 911. Jakarta.

    Sudjiman, Panuti. 1986. Kamus Istilah Sastra. Jakarta: Gramedia.

    Sumardjo, Jakob. 1993. Ikhtisar Sejarah Teater Barat. Bandung:

    Angkasa.

  • 23/03/2010 Drs. Sumiyadi, M.Hum./Jurdiksatrasia, FPBS,UPI

    32