Tantangan Dan Peluang Untuk Perkembangan CSR Di Indonesia

Embed Size (px)

Citation preview

  • 5/27/2018 Tantangan Dan Peluang Untuk Perkembangan CSR Di Indonesia

    1/11

    Tantangan dan Peluang untuk Perkembangan CSR di

    IndonesiaJalal

    Co-Founder and Senior Advisor, A+ CSR Indonesia

    Penulis diundang untuk bicara mengenai apa saja tantangan dan peluang bagi

    perkembangan CSR yang lebih baik di Indonesia di CSR Asia Tokyo Forum, pada tanggal

    4 Maret 2013. Baik tantangan maupun peluang ber-CSR di negara-negara Asia tampaknya

    cukup mengusik banyak benak orangterutama dari kalangan perusahaan, aktivis,

    maupun pakarsehingga CSR Asia mencoba menjawabnya melalui acara tersebut.

    Bagaimanapun, perkembangan wacana dan praktik mengenai CSR dan keberlanjutan

    perusahaan memang sangat pesat di kawasan ini. Dalam dua tahun berturut-turut, 2011

    dan 2102, penelitian bersama yang diselenggarakan oleh MIT Sloan Management Review

    dan Boston Consulting Group menemukan bahwa kawasan ini memang tempat

    pertumbuhan tersubur bagi gerakan keberlanjutan. Tak mengherankan kalau pengecekan

    realitas di negara-negara yang ada di kawasan ini menjadi penting.

    Di Indonesia sendiri, diskusi mengenai perkembangan CSR lumayan marak. Namun, sebagian besar diskusi

    terpusat pada isu atau peristiwa tertentu, misalnya pewajiban CSR melalui regulasi. Di antara yang paling

    sering didiskusikan di Indonesia adalah bagaimana perusahaan menjalankan CSR-nya, terutama keberhasilan

    mereka. Pembicaraan dalam topik yang terakhir ini memang membawa manfaat dan semangat, karena

    memberikan penegasan bahwa peluang memang bisa diwujudkan. Akan tetapi, di sisi lain, pembicaraan yang

    dominan itu juga membuat ketimpangan dalam fakta. Tantangan-tantangan yang dihadapi, serta bagaimana

    akhirnya tantangan ditaklukkan oleh perusahaan dan mitranya, kurang dikenali oleh publik di Indonesia.

    Keunggulan dari forum CSR Asia di Tokyo ini adalah dengan sangat tegas menginginkan setiap pembicara

    bicara soal yang susah-susah terlebih dahulu, serta bagaimana hal tersebut diatasi sehingga pelajaran lebih

    bisa diambil.

    Dalam semangat seperti itulah tulisan ini dibuat. Penulis akan memulainya dari kenyataan paling elementer

    dalam praktik CSR di Indonesia, yaitu tahapan atau tingkat yang beragam; lalu bicara soal tantangan; baru

    kemudian menutupnya dengan peluang. Bagaimanapun besarnya tantangan atas perkembangan CSR, penulis

    berkeyakinan kokoh bahwa peluangnya jauh lebih besar, dan pada akhirnya perwujudan peluang tersebut akan

    menaklukkan tantangan yang ada. Ini bukan sejenis optimisme buta, melainkan kalkulasi rasional atas

    probabilitas. Penulis memang bukan seorang optimismelainkan seorang posiblis, yang berpendirian bahwa

    CSR sangat mungkin menjadi berkembang pesat di negeri ini bilang peluang-peluang yang objektif ini bisa kita

    wujudkan secara optimal. Tulisan ini adalah sumbangan penulis untuk mewujudkan hal tersebut.

    Fase atau Tingkatan?

  • 5/27/2018 Tantangan Dan Peluang Untuk Perkembangan CSR Di Indonesia

    2/11

    Tentu banyak di antara pembaca yang pernah melihat fase perkembangan CSR yang dibuat oleh Jorg Andriof

    dan Alyson Warhurst di samping (dikutip dalam Warhurst, 2001). CSR bergerak dari Fase 1, di mana

    perusahaan sadar adanya masalah setelah kejadian tertentu, terutama yang diprotes oleh masyarakat (1960 -

    1983). Fase 2 ditandai oleh perusahaan-perusahaan mulai mengelola dampak dari kejadian-kejadian yang

    timbul itu (1984-1994). Fase 3 ditandai dengan kerjasama yang dilakukan oleh perusahaandengan

    perusahaan lain atau sektor lainnyauntuk mencegah kejadian-kejadian buruk di masa mendatang (1995

    sekarang). Di beberapa pertemuan yang penulis hadiri, cukup banyak pembicara yang menggunakan tahapan

    itu untuk menggambarkan apa yang terjadi di level global maupun di Indonesia.

    Menurut penulis, ada dua hal yang sangat penting untuk diperhatikan dari tabel tersebut. Pertama, tampaknya

    Fase 3 sudah harus dilanjutkan dengan fase yang lebih baru. Bagaimanapun, Alyson Warhurst menampilkan

    tabel tersebut pada tulisan yang terbit pada 2001, yaitu 12 tahun lalu. Kalau kita membaca dengan detail

    berbagai literatur yang muncul di sekitar tahun 2006 dan 2007, sangat jelas bahwa ada pergeseran sangat

    penting yang terjadi mulai periode tersebut, yaitu bahwa CSR tidak lagi dikaitkan hanya dengan berbagai

    dampak negatif atau tantangan yang dihadapi oleh perusahaan. Istilah CSR strategik mulai muncul pada

    periode itu, yang merujuk pada kondisi di mana CSR tidak sekadar menguntungkan para penerima manfaat

    (beneficiaries) yang biasanya adalah pemangku kepentingan eksternal, melainkan juga menguntungkan

    perusahaan yang melaksanakannya. Ide-ide dari Werther dan Chandler (2006), Porter dan Kramer (2006), serta

    Sirsly dan Lamertz (2008) sedemikian dominan dalam menggeser seluruh wacana CSR dari yang tadinya

    condong kepada minimisasi risiko menjadi utamanya maksimisasi peluang. Oleh karena itu, penulis hendak

    menyatakan bahwa Fase 4 ditandai dengan upaya perusahaan meraih keuntungan melalui CSR. Mungkin juga

    Fase 5 sudah tiba, karena ada tanda-tanda bahwa beberapa pakar sudah menulis soal bagaimana CSRdan

    gerakan keberlanjutan secara umumtelah meredifinisi cara dan tujuan perusahaan melakukan bisnis, namun

    masih harus menunggu beberapa tahun ke depan untuk yakin kapan fase tersebut dimulai. Yang jelas, Fase 3

    bisa dinyatakan berakhir pada tahun 2005, dan pada 2006 dimulailah Fase 4 dalam CSR.

    Kedua, walaupun fase baru dalam CSR sudah dimulai, tampaknya harus juga dinyatakan bahwa sebagian besar

    perusahaan di Indonesiadan hampir pasti juga di tingkat globalbelum berada di fase baru itu. Ada

    perusahaan-perusahaan yang masih berada di fase-fase sebelumnya. Bahkan, dalam pandangan penulis,

    sangat jelas juga bahwa sebagian besar perusahaan masih berkubang di Fase 1, sebagian yang jumlahnya lebih

  • 5/27/2018 Tantangan Dan Peluang Untuk Perkembangan CSR Di Indonesia

    3/11

    sedikit ada di Fase 2 dan Fase 3, sementara sangat sedikit yang sudah berada di Fase 4. Walaupun banyak

    penelitian yang sudah membuktikan bahwa menjalankan CSR itu menguntungkan, bahkan untuk usaha kecil dan

    menengah sekalipunyang terbaru misalnya oleh Kurapatskie dan Darnall (2013) serta Wang dan Choi

    (2013)namun sebagian besar perusahaan memang belum dapat memanfaatkan CSR untuk meraup

    keuntungan bisnis yang lebih besar. Penulis memeroleh kesan bahwa alih-alih sebagai fase yang tegas,

    tampaknya apa yang diungkapkan oleh Andriof dan Warhurst, dan dilengkapi perkembangan terbaru hingga

    Fase 4, bisa juga dibaca sebagai sebuah alternatif tingkatan ber-CSR. Dan, dari Fase 1 hingga Fase 4 (atau

    Tingkat 1 hingga Tingkat 4), sesungguhnya berbentuk piramida. Sebagian besar perusahaan masih berada di

    Tingkat 1, dan semakin tinggi tingkatannya, semakin sedikit jumlah perusahaan yang ada di dalamnya.

    Di Indonesia, sangatlah jelas kecenderungan itu. Kalau kita memperhatikan dengan lekat wacana dan praktik

    CSR di Indonesia, ada jurang di antara keduanya. Namun, untuk mengetahui secara pasti tentu dibutuhkan

    penelitian mendalam. Pertama-tama, setiap fase atau tingkat itu perlu didefinisikan ciri-cirinya dengan lebih

    tegas, lalu perusahaan-perusahaan harus dipetakan praktik CSR-nya untuk dilihat kecenderungannya.

    Seandainya penelitian itu bisa dilakukan terhadap banyak perusahaan secara regular, maka kita bisamengetahui apakah memang terjadi pergeseran dalam praktik ber-CSR. Bagaimanapun, tampaknya fase yang

    dibuat oleh Andriof dan Warhurst memang mewakili wacana, sementara kalau kita mau lebih berkutat pada

    praktik, tampaknya tingkatan akan lebih menggambarkan situasi sesungguhnya.

    Banyak Tantangan

    Mengapa terjadi jurang di antara keduanya? Menurut hemat penulis, salah satu penjelasannya adalah

    banyaknya tantangan untuk ber-CSR secara benar di Indonesia. Selama ini, penulis banyak menerima keluhan

    dari perusahaan, ketika mereka menginginkan menjalankan CSR sesuai dengan pengertian yang arus utama

    misalnya yang sesuai dengan ISO 26000tantangannya sangatlah berat. Baik pemangku kepentingan internal

    maupun eksternal tidak (belum?) mendukung niatan tersebut. Sampai tulisan ini dibuat, penulis menemukan

    tujuh tantangan utama dalam ber-CSR

    Pertama, bagaimanapun pemahaman tentang CSR yang masih beragam. Sebagian besar perusahaan dan

    pemangku kepentingan di Indonesia belum memiliki pemahaman atas CSR yang sesuai dengan definisi CSR

    arus utama atau sebagaimana yang dipahami di level global. Hal ini sangat menyulitkan siapapun yang mau

    menegakkan CSR yang sesuai dengan arus utama. Sesungguhnya hal ini bukan saja terjadi di Indonesia, dan

    negara berkembang, namun juga di negara-negara yang lebih maju. Dengan menggunakan pendekatan filsafat,

    Adaeye Okoye sampai pada kesimpulan bahwa CSR adalah sebuah essentially contested concept dan

    karenanya hingga kapanpun akan menjadi wilayah pertempuran pemikiran (Okoye, 2009). Namun, sangat jelas

    juga bahwa pemahaman seluruh pemangku kepentingan semakin membaik dan mengerucut kepada pengertian

    tertentu. Di Indonesia, pemahaman yang beragam itu sendiri bukanlah sebagai hasil dari pemikiran yang

    mendalam lalu menghasilkan beragam interpretasi, melainkan lebih karena kepentingan masing-masing

    pemangku kepentingan. Ketika kepentingan menjadi panglima, maka pencarian pemahaman yang sebenarnya

    tidak dianggap penting. Akibatnya, ketika pemahaman yang sesuai dengan arus utama diajukan, tidak seluruh

    pihak tertarik untuk menggunakannya, karena pemahaman arus utama ternyata tidak akan bisa melayani

    kepentingan banyak pihak.

    Tantangan kedua adalah transisi menuju CSR yang strategik. Para manajer dan direktur CSR di Indonesia

    menghadapi tantangan untuk membuktikan bahwa CSR bukanlah sekadar biaya, melainkan adalah investasi

    yang menguntungkan pemangku kepentingan dan perusahaan. Ketika CSR dianggap sebagai sekadar biaya,

  • 5/27/2018 Tantangan Dan Peluang Untuk Perkembangan CSR Di Indonesia

    4/11

    sangat sulit untuk mendapatkan sokongan yang layak dari lapisan teratas dalam manajemen. Anggapan bahwa

    CSR adalah sekadar biaya juga masih sangat tampak, terutama ketika perusahaan sedang mengalami kinerja

    finansial yang memburuk. Sumberdaya finansial untuk ber-CSR biasanya sangat berkurang. Dana CSR

    menjadi yang pertama dikorbankan ketika krisis sedang terjadi, seakan-akan bahwa hubungan baik dengan

    pemangku kepentingan tidaklah perlu dipertahankan. Oleh karena itu, tantangan bagi mereka yang mengelola

    CSR adalah membuktikan bahwa menjalankan CSR memang menguntungkan perusahaan. Dari sisi

    manajemen risiko, perlu dibuktikan bahwa risikomisalnya demonstrasi oleh masyarakat atau pekerja

    memang menurun ketika sumberdaya ditingkatkan. Lebih jauh daripada itu, CSR juga harus dibuktikan

    membawa peluang-peluang bisnis bagi perusahaan, misalnya penghematan operasional, inovasi produk baru,

    atau terbukanya pasar baru. Tentu saja, hal ini harus dibuktikan dengan tingkat presisi yang tinggi, dengan

    mengukur perbedaan antara sebelum dan sesudah inisiatif CSR tertentu dilaksanakan. Untuk itu, para pengelola

    CSR harus memiliki data dasar dan disiplin pengukuran yang tinggi.

    Tantangan ketiga datang dari kepentingan politisi dan birokrat atas dana CSR. Hal ini mengakibatkan banyak

    regulasi tentang CSR tidak ditujukan untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan, melainkan untukkepentingan diri dan golongannya. PP Nomor 47/2012 tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan yang

    tidak memuat ketentuan tentang jumlah dana CSR serta pewajiban baru bagi perusahaan untuk menyisihkan

    dana khusus bagi kelompok rentan melalui UU Nomor 13/2011 tentang Penanganan Fakir Miskin dianggap

    belum memuaskan. Sempat terdengar inisiatif Depdagri ingin memastikan seluruh aktivitas CSR dikoordinasikan

    oleh pemimpin daerah mulai dari gubernur hingga camat lewat Rancangan Permendagri tentang Kemitraan

    CSR, demikian juga gairah Kementerian IDT yang ingin memanfaatkan sembilan triliun lebih dana CSR untuk

    mendorong pengembangan daerah tertinggal. Di akhir tahun 2012, DPR Komisi VIII datang dengan proposal

    baru, untuk membuat RUU Pembangunan Sosial Dunia Usaha yang semangatnya sangat ingin mereduksi CSR

    menjadi sekadar pajak filantropi (yang dihitung dari keuntungan atau pendapatan perusahaan dari tahun

    sebelumnya) juga muncul. Banyak pihak yang menyatakan bahwa hal-hal tersebut memang menguat untukkepentingan pendanaan politik menjelang pemilihan umum 2014. Namun, benar atau tidaknya prasangka

    tersebut tidak menentukan status kepentingan politisi dan birokrat sebagai tantangan atas CSR. Apa yang

    mereka lakukan hingga sekarang, apapun motivasinya, telah membuat CSR di Indonesia semakin menjauh dari

    CSR arus utama.

    Keempat, masih terlampau sedikit jumlah kelompok masyarakat sipil, terutama LSM, yang memiliki ideologi,

    pengetahuan dan keterampilan untuk membantu perusahaan dalam menjalankan CSR-nya. Kebanyakan LSM

    lokal masih enggan berhubungan dengan perusahaan, memilih untuk bersikap anti, serta masih menerapkan

    cara yang paling kuno dalam berinteraksi dengan perusahaan: demonstrasi. Dalam From Heresy to

    Dogma(Hoffman, 2001) dijelaskan bahwa dalam menyikapi pergeseran sikap perusahaan atas lingkungan, LSM

    membelah diri menjadi yang militan dan konsultan. Jenis pertama terus menjalankan fungsi mengawasi

    perusahaan, sementara yang kedua berfungsi untuk membantu perusahaan meningkatkan kinerja

    lingkungannya. Keduanya memiliki prasyarat himpunan pengetahuan dan keterampilan yang berbeda, agar bisa

    menjalankan tugasnya secara efektif. Agaknya, pembelahan itu juga dibutuhkan dalam menyikapi CSR secara

    umum, bukan saja aspek lingkungan. Sayangnya, di Indonesia, LSM konsultan belum cukup banyak untuk bisa

    membantu perusahaan dalam memperbaiki dirinya. Perusahaan kerap mengeluhkan kepada penulis bahwa

    ketika mereka hendak mencari mitra dari kelompok masyarakat sipil untuk memperbaiki kinerja sosial dan

    lingkungannya, tak ada pihak yang bisa mereka ajak. Proposal yang masuk kerap tidak jelas ukuran kinerjanya,

    terlampau menekankan kepada proses, dan tidak didukung oleh bukti-bukti rekam jejak yang jelas. Akhirnya,

    perusahaan banyak memilih untuk bekerjasama dengan LSM asing atau universitas.

  • 5/27/2018 Tantangan Dan Peluang Untuk Perkembangan CSR Di Indonesia

    5/11

    Tantangan kelima datang dari kelompok-kelompok masyarakat yang memandang CSR sekadar sebagai donasi.

    Mereka memiliki ekspektasi yang sangat tinggi atas dana CSR perusahaan, terutama di tempat-tempat di mana

    pemerintah pusat dan daerah gagal menjangkau mereka. Hal terakhir ini juga disebabkan oleh kecenderungan

    aparat pemerintah untuk membiarkan pembangunan desa atau kecamatan di mana terdapat perusahaan

    dilakukan oleh perusahaan itu Anggaran pembangunan di tempat perusahaan berada biasanya dikecilkan,

    dengan dalih bahwa di situ sudah banyak dana CSR yang diberikan. Masyarakat kemudian belajar bahwa

    pemerintah ternyata tidak bisa diandalkan untuk mendukung peningkatan kesejahteraan yang mereka inginkan,

    dan perusahaan menjadi satu-satunya alternatif. Dalam kondisi demikian, yang kemudian berkembang adalah

    hubungan yang tidak sehat di antara perusahaan dan masyarakat, di mana masyarakat memandang perusahaan

    harus sepenuhnya bertanggung jawab penuh atas pembangunan di wilayah mereka. Perusahaan menjadi

    quasi-government atau setengah pemerintah. Masyarakat juga mudah marah ketika perusahaan tidak

    memenuhi harapan mereka yang sangat tinggi. Dengan beban berat seperti itu, perusahaan kesulitan

    mengembangkan bentuk-bentuk CSR yang semakin strategik, karena terjebak dalam kubangan donasi, yang

    harus mereka berikan untuk membeli keamanan operasi perusahaan dari masyarakat setempat, terutama kaum

    elitnya.

    Tantangan berikutnya datang dari perusahaan sendiri, khususnya dari mereka yang bertanggung jawab atas

    komunikasi perusahaan. CSR-washing atau penunggangan CSR untuk kepentingan pengelabuan citra banyak

    dilakukan, agar dengan segera perusahaan mendapatkan citra yang baik. Banyak perusahaan di Indonesia

    yang menonjolkan aktivitas sosial tertentunya, tanpa melakukan perbaikan substansial dalam manajemen

    dampak. Perusahaan melakukan kegiatan sosial yang terbilang tidak terkait dengan dampaknya sendiri,

    memberitakan kegiatan itu di surat kabar atau majalah terkenal, dan terus saja membiarkan dampak negatif dari

    produk maupun tata cara produksinya tidak terkontrol. Perusahaan-perusahaan rokok cenderung menonjolkan

    diri dalam bidang-bidang pendidikan dan olahraga, sambil cenderung terus membiarkan dampak negatifnya.

    Ada juga kasus-kasus pemberitaan atau iklan berdasarkan CSR yang ngawur berat. Sebuah perusahaan rangkabaja untuk atap mengiklankan produknya sebagai produk yang menyelamatkan hutan karena mensubstitusi

    kayu. Hal ini menyembunyikan fakta bahwa untuk mengambil baja, perusahaan biasanya melakukan land

    clearing hutan, dan proses produksinya memakan energi dalam jumlah yang besar, jauh melampaui apa yang

    disubstitusinya. Terkadang, sangat jelas pula bahwa dana komunikasiterutama advertorialyang

    digelontorkan jumlahnya melebihi sumberdaya yang dicurahkan untuk membiayai kegiatannya. Hal ini

    sesungguhnya sangat bertentangan dengan apa yang hendak dituju dalam CSR.

    Tantangan ketujuh, terakhir, bagaimanapun sebagian besar media massa belum memiliki pemahaman yang

    benar atas CSR. Di satu sisi media massa mau tampil kritis terhadap perusahaan, di sisi lain mengharapkan

    perusahaan mengiklankan CSR mereka, tanpa peduli apakah kandungan informasinya benar dan berimbang.

    Dalam pertemuan antara perusahaan dengan media massa, salah satu pertanyaan paling rajin dilontarkan

    jurnalis adalah jumlah dana yang digelontorkan oleh perusahaan, dan hal itu seakan-akan merupakan penentu

    segalanya. Para jurnalis juga seakan memiliki beban untuk bersikap kritis terhadap perusahaan, walaupun

    sebagian besar di antara mereka tidak memiliki latar pendidikan dan pelatihan yang memadai untuk

    melakukannya. Sering muncul pemberitaan yang isinya hanya opini yang tak disokong oleh fakta. Jurnalis juga

    jauh lebih sering mengutip pendapat pihak yang bersuara negatif, dibandingkan dengan yang netral atau positif

    atas suatu peristiwa yang melibatkan perusahaan. Sementara, berbagai media massa juga membuat ruang

    khusus CSR, yang di situ perusahaan bisa mempromosikan apa yang mereka telah lakukan, tanpa perlu

    khawatir akan dikritisi oleh jurnalis. Media massa, yang memang membutuhkan pemasukan, kemudian seperti

    kehilangan kritisisme atas perusahaan, ketika perusahaan beriklan di ruang yang dijualnya. Perkembangan ini

    sesungguhnya tidak menguntungkan.

  • 5/27/2018 Tantangan Dan Peluang Untuk Perkembangan CSR Di Indonesia

    6/11

    Tapi Lebih Banyak Peluang

    Seluruh tantangan di atas bisa saja terus diurai hingga pesimisme menular ke lebih banyak lagi orang. Tapi

    yang lebih penting adalah apakah ada alasan untuk bersikap lebih positif lalu menjadi alasan orang untuk

    bekerja lebih keras secara cerdas dengan cara memperkuat alasan-alasan itu. Tampaknya (ternyata!) ada

    cukup banyak alasan untuk optimis dengan perkembangan CSR di Indonesia menuju CSR arus utama.

    Beberapa kecenderungan di bawah ini, tidaklah dimaksudkan sebagai urutan dan daftar yang lengkap. Penulis

    mengundang siapapun untuk memperdebatkannya, menambah panjang daftarnya, namun yang lebih penting

    lagi: bekerja mewujudkan kecenderungan-kecenderungan positif agar CSR bisa tumbuh sehat di Indonesia.

    Pertama, perkembangan minat akademik seputar CSR. Di Indonesia sudah ada beberapa perguruan tinggi yang

    membuka jurusan (MM CSR Trisakti, Pascasarjana UNS) atau memberikan perkualiahan mengenai CSR, etika

    bisnis dan sebagainya. Banyak pula skripsi, tesis dan disertasi tentang CSR. Minat akademik bagaimanapun

    adalah cermin dari realitas, bahwa di luar sana ada kebutuhan yang sudah eksis mengenai pengetahuan

    mengenai CSR atau ekspektasi bahwa hal itu akan terjadi di masa mendatang yang dekat. Kalau CSR terus

    diajarkan di perguruan tinggi, maka ini akan membuat generasi mendatang (baik yang akan menjadi birokrat,

    aktivis, pekerja maupun pengusaha) lebih paham mengenai CSR. Kebijakan CSR dari pemerintah, sifat

    hubungan antara perusahaan dengan LSM, bagaimana pekerja menjalankan tugasnya, serta bagaimana para

    pengusaha mencari keuntungan akan sangat dipengaruhi oleh pengetahuannyaselain kepentingannya, tentu

    sajasehingga pengetahuan yang lebih baik bisa memberikan peluang bagi perkembangan CSR yang lebih

    sehat daripada sekarang.

    Kedua, masih terkait dengan minat akademik, adalah terbukanya pertukaran informasi mengenai CSR, terutama

    di kawasan Asia. Ada cukup banyak orang Indonesia yang sering bepergian ke berbagai pertemuan mengenai

    CSR di kawasan Asia Tenggara maupun Asia. Pusat pengetahuan seperti CSR Asia (Hong Kong, Singapura,

    dan berbagai tempat lainnya), Business for Social Responsibility (Hong Kong, Cina) serta Asian Institute of

    Technology (Thailand) cukup banyak berperan dalam memberikan pemahaman CSR arus utama. Dengan

    adanya berbagai pertemuan CSR di kawasan ini, kesulitan dalam memperoleh literatur (buku terbaru dan artikel

    jurnalyang kebanyakan diproduksi di AS dan Eropa) agak sedikit tergantikan oleh cukup banyaknya diskusi

    dan makalah seminar yang diproduksi. Kalau kemudian setiap kepulangan orang Indonesia dari belajar CSR di

    negara-negara tetangga kemudian ditangkap dan disebarluaskan secara sistematis, maka perkembangan

    pengetahuan akan lebih pesat lagi. Bahkan, kemungkinan pengetahuan jenis ini menjadi lebih penting daripada

    hanya artikel dan buku dari AS serta Eropa. Mengapa? Karena konteks Asia dan negara berkembang lebih

    lekat pada pengetahuan-pengetahuan itu, sehingga upaya peng-Indonesia-annya akan lebih mudah.

    Munculnya ISO 26000 Guidance on Social Responsibilityadalah peluang ketiga. Perdebatan mengenai apa itu

    (definisi dan cakupan) CSR telah membuat banyak pihak kebingungan, dan sebagian besar perusahaan dan

    pemangku kepentingannya masih berpikir bahwa CSR itu sama dengan filantropi. Ini membuat CSR menjadi

    sangat terbatas perkembangannya di Indonesia. Namun itu tampaknya akan segera terhenti. Pada November

    2010, ISO 26000 yang mendefinisikan CSR sebagai manajemenatau tanggung jawab atasdampak yang

    ditimbulkan perusahaan telah diluncurkan. Peluncuran itu diharapkan mengakhiri perdebatan mengenai definisi

    dan cakupan CSR. Peluncuran itu akan membawa pesan semacam berhentilah berdebat dan mulailah

    bekerja! Kita di Indonesia, yang selama ini belum begitu paham apa itu ISO 26000 perlu terus melakukan

    sosialisasi dan berbagai aktivitas terkait. Seminar, lokakarya, dan pelatihan mengenai ISO 26000 perlu dibuat

    menjamuryang terdekat misalnya pada akhir Maret 2013 akan diselenggarakan dalam konteks industri migas.

    Perusahaan yang progresif juga telah sibuk dengan gap analysis antara praktik perusahaan sekarang dengan

  • 5/27/2018 Tantangan Dan Peluang Untuk Perkembangan CSR Di Indonesia

    7/11

    yang dikehendaki oleh ISO 26000 dan mulai membuat road map untuk memenuhinya. Perkembangan tersebut

    akan terus mendorong perusahaan dan pemangku kepentingannya lebih sadar pada pengertian dan praktik CSR

    yang benar, dan tidak tambal sulam.

    Keempat, mulai adanya perusahaan-perusahaan model. Setelah ada berbagai kejuaraan mengenai CSR,

    tampaknya telah ada beberapa perusahaan yang bisa dianggap sebagai champion CSR di Indonesia, terlepas

    dari masih jauhnya jarak antara praktik mereka dari CSR yang ideal. Namun, kemenangan terus-menerus

    perusahaan-perusahaan itu telah membuat adanya sebuah model dari CSR yang dianggap baik. Holcim Cilacap

    yang telah tiga tahun berturut-turut mendapatkan penghargaan PROPER Emas dari Kementerian Lingkungan

    Hidup adalah salah satu contohnya. Banyak perusahaan kemudian mulai belajar mengenai praktik-praktik CSR

    yang dianggap paling maju dari perusahaan-perusahaan model, lalu membuat banyak perubahan di dalam

    praktiknya sendiri. Penulis juga telah menyaksikan ada beberapa perusahaan yang selama ini tak terdengar ber-

    CSR, karena menolak gembar-gembor sebelum bisa unjuk kinerja, sesungguhnya telah membuat CSRnya

    sangat menarik. Banyak di antara mereka yang sudah berhasil menggabungkankan manajemen risiko dan

    peluang bisnis melalui inisiatif CSR mereka. Kalau suatu saat nanti perusahaan-perusahaan itu mulaimengkomunikasikan dengan lebih gencaratau lebih baik lagi: para pemangku kepentingan merekalah yang

    akan melakukannyamaka bahan pembelajaran CSR akan lebih banyak lagi.

    Kelima, beberapa LSM telah melakukan constructive engagementdengan perusahaan. Penolakan untuk

    berhubungan dengan perusahaan adalah reaksi pertama dari kebanyakan LSM di Indonesia. Mereka yang

    melakukan hubungan dengan perusahaan akan dicap sebagai pengkhianat, sudah terbeli, dan berbagai atribut

    tak mengenakkan lainnya. Ketika WWF Indonesia melakukan malam penggalangan dana dari perusahaan untuk

    membiayai aktivitas mereka, milis Lingkungan memuat tanggapan-tanggapan sinis, semacam: kalau malam

    nanti mereka mau menggalang dana dari perusahaan, mungkin minggu depan mereka akan menggalang dana

    dari setan. Demonisasi atas perusahaan memang gejala parah, namun bukan tidak ada kecenderungansebaliknya. Hubungan yang konstruktif juga mulai terbina. Ada banyak LSM yang tidak hanya bisa teriak,

    namun juga sudah bisa menjadi mitra kerja. Menjadi mitra kerja juga bukan berarti terbeli, karena mereka tetap

    bisa bersuara manakala ada ketidakberesan dalam operasi perusahaan. Yang penting adalah kesadaran bahwa

    kerjasama itu dilandasi oleh kesamaan tujuan yang dinyatakanpembangunan berkelanjutan sebagai common

    denominatorsehingga apabila ada gejala bahwa tujuan itu diingkari atau diselewengkan, maka fungsi kontrol

    bisa dijalankan. Dan itulah yang tampak dalam hubungan yang kini dijalin antara beberapa perusahaan dan

    LSM. Yang terbaru misalnya adalah kerjasama antara APP dengan The Forest Trust dan Greenpeace Asia

    Tenggara dalam menetapkan kebijakan APP untuk tidak lagi memanfaatkan hutan alam untuk produksi

    kertasnya. Pertumbuhan CSR yang sehat memerlukan kemitraan sekaligus kontrol, dan itu bisa dicapai oleh

    LSM yang memahami betul bahwa hubungan yang konstruktif itu mungkin.

    Keenam, regulasi mengenai lingkungan yang lebih komprehensif. Munculnya UU Nomor 32 Tahun 2009

    tampaknya membuat kutub yang semakin tegas. Di satu sisi banyak LSM lingkungan yang berpikir bahwa

    regulasi tersebut kurang tegas, namun di sisi lain perusahaan berpikir bahwa UU tersebut terlampau keras.

    Perbedaan pendapat itu biasa, namun yang jelas, ada banyak sekali perbaikan dari UU sebelumnya yang secara

    substansial sangatlah lembek. Dengan adanya UU ini seharusnya perhatian terhadap kinerja lingkungan

    perusahaan akan menguat, dan makin banyak perusahaan yang mendisiplinkan dirinya agar mencapai kinerja

    lingkungan yang lebih baik. Ini masih membutuhkan banyak dorongan (dan paksaan). Di dalam perdebatan

    mengenai kebijakan publik sering terdengar pernyataan Satu-satunya yang lebih penting daripada regulasi yang

    bagus adalah penegakannya. UU tersebut telah menarik perhatian banyak pihak ketika disusun dan

    diluncurkan, bahkan tidak hanya dari dalam negeri. Kalau saja penegakannya bisa menarik minat yang sama,

  • 5/27/2018 Tantangan Dan Peluang Untuk Perkembangan CSR Di Indonesia

    8/11

    maka ada banyak sekali perbaikan yang bisa terjadi di Indonesia. Kalau masyarakat sipil berhasil menghimpun

    dana yang besar untuk memantau dan mengawal penegakannya, signifikansinya akan sangat membesar.

    Ketujuh, perkembangan seputar pelaporan keberlanjutan. Indonesia tampaknya kehilangan kesempatan besar

    ketika menganggap remeh pelaporan aspek sosial dan lingkungan, yang sebetulnya telah dibuka lebar

    peluangnya dengan adanya Pasal 66 UUPT. Tapi biarkanlah begitu saja, karena yang lebih penting adalah

    mendorong pelaporan keberlanjutan yang lebih substansial, seperti yang dibuat standarnya oleh Global

    Reporting Initiative (GRI). The Indonesian Sustainability Reporting Awards (ISRA) yang diselenggarakan setiap

    tahun telah menjalankan tugasnya mempromosikan dengan baik. National Center for Sustainability Reporting

    (NCSR) juga telah bekerja keras menyiapkan keterampilan person yang terlibat dalam pembuatan laporan

    keberlanjutan. Tentu saja, jumlahnya masihlah terbatassekitar 40 perusahaan membuat laporan keberlanjutan

    untuk tahun pelaporan 2011namun itu bukan alasan untuk pesimis. Minat untuk memelajari bidang ini terus

    membesar, hingga telah ada perusahaan yang memiliki kapasitas internal yang tinggi untuk memenuhinya.

    Dukungan yang sangat besar datang dari Bapepam-LK, yang di bulan Agustus 2012 meluncurkan regulasi X.K.6

    yang mengadopsi banyak indikator GRI sebagai indikator yang wajib dilaporkan dalam laporan tahunanperusahaan terbuka. Lebih jauh, aturan tersebut bahkan menyatakan bahwa laporan keberlanjutan berstandar

    GRI dapat dianggap sebagai praktik yang baik dan diterima sebagai bentuk yang sah untuk melaporkan ke

    otoritas pasar modal dan pemangku kepentingan lainnya. Ke depan, tak pelak lagi perusahaan-perusahaan

    akan semakin ditekan oleh dunia internasional untuk mengarah pada pelaporan ini. Apalagi, tahun 2015 telah

    ditetapkan oleh Uni Eropa sebagai batas waktu untuk pemberlakuan pendekatan melaporkan dengan standar

    GRI atau menjelaskan mengapa tidak melaporkan.

    Kedelapan dan terakhir, perkembangan social business di Indonesia. Grameen Bank yang memopularkan

    pemikiran Muhammad Yunus tentang bisnis sosial memang telah muncul sejak sekitar 2 dekade lampau, namun

    kebanyakan bisnis sosial di Indonesia baru berkembang dalam beberapa tahun terakhir. Kebanyakan orangberpendapat bahwa bisnis sosial ini tak ada kaitannya dengan CSR, namun pendapat itu muncul hanya

    dikarenakan tidak dipahaminya tingkatan CSR. CSR bisa saja muncul sebagai aktivitas outletsebagian kecil

    keuntungan, sebagai token bahwa perusahaan itu peduli kepada kelompok tertentu; bisa muncul sebagai

    aktivitas manajemen risiko; menjadi aktivitas yang menangkap peluang dalam hubungan yang baik dengan

    masyarakat (manajemen pemangku kepentingan). Namun, CSR pada tingkatan tertinggi adalah upaya

    perusahaan untuk memecahkan berbagai masalah sosial dan lingkungan melalui mekanisme pasar, yang

    mewujud menjadi bisnis sosial. Dengan banyaknya bisnis sosial, pemangku kepentingan akan terbuka matanya

    bahwa perusahaan-perusahaan seharusnya bukan saja tidak berbuat jahat kepada masyarakat luas, melainkan

    juga menjadi institusi yang berbuat baik dengan memecahkan persoalan yang mereka hadapi. Ekspektasi yang

    meningkat ini akan menekan bisnis (non-sosial) untuk mempertimbangkan peningkatan kinerja sosialnya. Di

    tingkat internasional model bisnis hibrida (menggabungkan profit dan not-for-profit) banyak bermunculan. Di

    tataran ide, perusahaan kini banyak yang mengadopsi cara pikir manajemen pemangku kepentingan yang

    menaruh keuntungan bukan sebagai tujuan, melainkan sebagai by product saja. Di Indonesia, kini mulai

    bermunculan ide bisnis sosial, model bisnis hibrida, dan model manajemen pemangku kepentingan yang

    semakin canggih. Ini merupakan perkembangan positif, bukan saja untuk masyarakat dan bisnis sosial,

    melainkan juga untuk intellectual exercise seputar CSR, juga untuk berbagi sumberdaya di tingkat aktivitas.

    ****

    Kesimpulannya, tak benar kalau perkembangan CSR di Indonesia hanya disesaki oleh kabar buruk semata.

    Setidaknya ada delapan kecenderungan yang bisa mendorong CSR ke arah positifsekali lagi, pembaca

  • 5/27/2018 Tantangan Dan Peluang Untuk Perkembangan CSR Di Indonesia

    9/11

    diundang untuk memodifikasinya. Kalau kita bisa mencari seluruh kecenderungan positif lalu menjadikannya

    leverage untuk perkembangan CSR, mungkin kita tak perlu terlampau khawatir dengan kecenderungan negatif

    yang diakui memang masih banyak.

    Adlai Stevenson pernah menyatakan pujian bagi Eleanor Roosevelt karena sifatnya yang ...would rather light a

    candle than curse the darkness. Pujian yang diambil dari epatah Cina kuno itu mungkin bermanfaat untuk

    memompa semangat mereka yang bergiat mempromosikan CSR di Indonesia. Kalau satu per satu lilin peluang

    dinyalakan, dipastikan kita bisa menemukan lebih banyak lagi lilin peluang itu, yang tinggal menunggu tangan-

    tangan berikutnya untuk menyalakannya, dan itu akan membuat perkembangan CSR di Indonesia menjadi

    terang benderang sebagaimana seharusnya.

    2.CSR untuk Pembangunan Jakarta

    Salah satu wacana yang secara konsisten digelontorkan oleh Gubernur DKI Jakarta,

    Jokowi, sejak pertama kali diberi mandat untuk memimpin Jakarta adalah bagaimana

    tanggung jawab sosial perusahaan atau corpo rate social respons ibi l i ty(CSR) dapat

    menyumbang pada pembangunan di Ibu Kota.

    Tempobaik versi online maupun cetakadalah salah satu media massa yang terus

    memberitakan mengenai hal ini. Pada Februari lalu, Tempo melaporkan bahwa sang

    Gubernur telah mendapatkan bantuan perusahaan untuk penataan PKL (14/2),

    menjanjikan kemudahan perijinan perusahaan yang ber-CSR (15/2), menyelesaikan

    seluruh kebutuhan penghuni rusun Marunda lewat bantuan perusahaan (21/2), serta

    mendapatkan bantuan teknologi untuk memanen air hujan (27/2).

    Pada Maret lalu, berita soal ini dimulai dengan himbauan kepada perusahaan untuk membeli lahan di hulu

    sungai untuk kemudian dihijaukan (4/3), disusul oleh bantuan dari sebuah perusahaan kesehatan untuk

    membiayai sistem peningkatan kesehatan (15/3), wacana mengenai pembiayaan perusahaan untuk lelang

    jabatan di lingkup Pemda DKI (21/3), kehendak untuk mencari bantuan perusahaan untuk mendukung

    transportasi dan konsumsi jemaah calon haji DKI (26/3), himbauan agar perusahaan yang relatif dekat dengan

    wilayah rawan kebakaran bisa menyumbangkan sumberdayanya untuk peningkatan layanan pemadam

    kebakaran (29/3), dan yang terakhir adalah pernyataan Jokowi bahwa CSR adalah kewajiban menurut regulasi

    dan harapan agar perusahaan di Jakarta memanfaatkannya untuk mendukungan pembangunan (29/3).

    Ada banyak hal yang sangat menarik dari berita-berita tersebut. Walaupun Jokowi tak pernah secara tagas

    menyatakan bagaimana pemahamannya soal CSR, namun berbagai ujaran dan langkah yang diambilnya

    menunjukkan bahwa ia sangat berbeda sikapnya terhadap CSR dibandingkan kebanyakan politisi dan pimpinan

    daerah lain. Walaupun, sikap Jokowi terhadap CSR juga bukannya tanpa celah untuk dikritik.

    Beberapa hal yang dapat dinyatakan sebagai keunggulan Jokowi terkait CSR adalah sebagai berikut. Pertama,

    Jokowi tidak menentukan besaran sumberdaya finansial perusahaan yang dipergunakan untuk ber-CSR sebagai

    proporsi atas keuntungan atau penjualan. Hal ini sangat berbeda dengan kebanyakan politisi di tingkat nasional

    maupun lokal yang terus-menerus menginginkan adanya aturan besaran dana CSR dari keuntungan

    perusahaan. Padahal, seluruh pakar CSR telah sepakat sejak lama bahwa sumberdaya finansial untuk ber-CSR

  • 5/27/2018 Tantangan Dan Peluang Untuk Perkembangan CSR Di Indonesia

    10/11

    tak bisa dihitung dari keuntungan perusahaan, melainkan harus dihitung sebagai bagian dari investasi (Kang dan

    Wood, 1995).

    Kedua, Jokowi juga tak pernah menyatakan hendak memasukkan dana CSR perusahaan sebagai bagian dari

    APBD. Sementara, sebagian besar pemimpin daerah yang melihat potensi sumberdaya perusahaan ini

    cenderung untuk memaksakan perpindahannya ke dalam kas daerah. Apa yang dilakukan oleh kebanyakan

    kepala daerah itu sesungguhnya bertentangan dengan UU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang bersifat

    eksklusif, melarang pemungutan apapun yang tidak ada di dalam UU tersebut. Juga, UU Perseroan Terbatas

    serta PP Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL) menegaskan bahwa tanggung jawab tersebut

    sepenuhnya berada di tangan perusahaan, sehingga sumberdayanya tak bisa diserahkan kepada pihak lain.

    Ketiga, terdapat kesesuaian antara bisnis inti perusahaan dengan apa yang mereka lakukan untuk membantu

    Pemda dan masyarakat DKI. Dalam membereskan masalah kampung kumuh dan rusun Marunda, Jokowi

    terutama menggandeng perusahaan properti. Sementara, dalam program perbaikan sistem kesehatan,

    perusahaan di bidang kesehatan-lah yang diajaknya. Menurut banyak pakar, keseuaian dengan bisnis intiadalah salah satu komponen pokok dalam bentuk CSR yang strategik (Werther dan Chandler, 2010; Sirsly dan

    Lamertz, 2008).

    Keempat, perspektif geografis ditegaskan Jokowi sebagai unsur yang penting dalam ber-CSR. Dalam kasus

    penanganan kebakaran, himbauan ditujukan kepada perusahaan yang beroperasi di wilayah yang relatif dekat

    dengan wilayah rawan kebakaran. Di sisi lain, perpektif yang lebih luas digunakan ketika menghimbau

    perusahaan untuk membeli lahan di daerah tangkapan air untuk dihijaukan. Kedua hal ini menunjukkan

    pemahaman yang sangat baik terhadap bagaimana kaitan antara ruang dengan penyelesaian masalah

    keberlanjutan (Whitehead, 2007).

    Kelima, Jokowi juga menunjukkan hal yang tak pernah ditunjukkan oleh pimpinan daerah manapun, yaitu

    penyataan bahwa perusahaan yang ber-CSR akan diberikan insentif berupa kemudahan perijinan. Hal ini bukan

    saja sejalan dengan PP TJSL, namun juga menunjukkan pemahaman atas sisi lain dari tanggung jawab, yaitu

    hak, sebagaimana tergambar dalam konsepcorporate citizenship(Matten dan Crane, 2003). Sementara, di

    banyak tempat, perusahaan mengeluhkan bahwa ketika mereka sudah menjalankan seluruh tanggung

    jawabnya, hak-hak mereka tetap saja tidak dipenuhi oleh pemerintah daerah.

    Namun demikian, Jokowi serta jajaran di bawahnya masih perlu membenahi beberapa hal. Bagaimanapun,

    Jokowi masih terlalu kerap mereduksi CSR sebagai sekadar dana perusahaan, padahal seharusnya ia bisa

    mendorong perusahaan di Jakarta untuk menjalankan tanggung jawab penuh atas dampakpositif dan

    negatifyang mereka timbulkan, sebagaimana pengertian CSR yang sebenarnya. Dengan setengah bercanda

    Jokowi juga kerap melontarkan kebutuhan untuk pelaksanaan kegiatan CSR secara cepat, padahal terdapat

    aturan untuk memasukkan detail kegiatan dan anggaran dalam rencana kerja dan anggaran tahunan

    perusahaan.

    Kalau memang hendak memanfaatkan CSR secara optimal untuk pembangunan Jakarta, maka Jokowi

    sebaiknya membuat forum perencanaan pembangunan yang melibatkan seluruh perusahaan yang beroperasi di

    Jakarta. Melalui forum itu, Jokowi bisa memaparkan seluruh kebutuhan pembangunan di Jakarta, termasuk

    yang bisa dilakukan oleh perusahaan. Sebaiknya paparan itu dilakukan sekitar bulan Agustus atau September,

    sehingga perusahaan kemudian bisa memasukkan kegiatan dan sumberdaya yang dibutuhkannya untuk tahun

    mendatang. Dengan demikian, kontribusi perusahaan bisa optimal dan tertib administrasi bisa ditegakkan.

  • 5/27/2018 Tantangan Dan Peluang Untuk Perkembangan CSR Di Indonesia

    11/11

    Tulisan ini dimuat di Koran Tempo tanggal 2 April 2013. Dapat juga diakses melalui alamat

    URLhttp://koran.tempo.co/konten/2013/04/02/305529/CSR-untuk-Pembangunan-Jakarta

    http://koran.tempo.co/konten/2013/04/02/305529/CSR-untuk-Pembangunan-Jakartahttp://koran.tempo.co/konten/2013/04/02/305529/CSR-untuk-Pembangunan-Jakartahttp://koran.tempo.co/konten/2013/04/02/305529/CSR-untuk-Pembangunan-Jakartahttp://koran.tempo.co/konten/2013/04/02/305529/CSR-untuk-Pembangunan-Jakarta