Upload
supriyo-jawoto
View
645
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
TANGGUNG JAWAB PEMILIK KAPAL TANKER
DALAM PENCEMARAN MINYAK DI LAUT YANG BERSUMBER
DARI KAPAL TANKER
(Analisa Yuridis Normatif Terhadap Civil Liability Convention 1969 beserta
perubahannya dalam Protocol 1992)
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Syarat-Syarat
Memperoleh Gelar Kesarjanaan Dalam Ilmu Hukum
Oleh :
RENATHA SANDYA PRADANIA
NIM. 0310100224
DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
FAKULTAS HUKUM
MALANG
2008
LEMBAR PERSETUJUAN
TANGGUNG JAWAB PEMILIK KAPAL TANKER
DALAM PENCEMARAN MINYAK DI LAUT YANG BERSUMBER DARI
KAPAL TANKER
(Analisa Yuridis Normatif Terhadap Civil Liability Convention 1969 beserta
perubahannya dalam Protocol 1992)
Oleh :
RENATHA SANDYA PRADANIA
NIM. 0310100224
Disetujui pada tanggal : Januari 2008
Pembimbing Utama Pembimbing
Pendamping
Sucipto, SH.MH Nurdin, SH.MH.
NIP : 130890048 NIP : 131573926
Mengetahui,
Ketua Bagian
Hukum Internasional
Setyo Widagdo, SH. M.Hum.
NIP : 131573949
LEMBAR PENGESAHAN
TANGGUNG JAWAB PEMILIK KAPAL TANKER
DALAM PENCEMARAN MINYAK DI LAUT YANG BERSUMBER
DARI KAPAL TANKER
(Analisa Yuridis Normatif Terhadap Civil Liability Convention 1969 beserta
perubahannya dalam Protocol 1992)
Oleh :
RENATHA SANDYA PRADANIA
NIM. 0310100224
Skripsi ini telah disahkan oleh Dosen Pembimbing pada tanggal : Januari 2008
Pembimbing Utama, Pembimbing Pendamping,
Sucipto, SH.MH. Nurdin, SH.MH.
NIP : 130890048 NIP : 131573926
Ketua Majelis Penguji, Ketua Bagian Hukum
Internasional,
Sucipto, SH.MH. Setyo Widagdo, SH. M.Hum.
NIP : 130890048 NIP : 131573949
Mengetahui
Dekan
Herman Suryokumoro, SH.MS
NIP : 131472741
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT dan
Nabi Muhammad SAW, yang telah memberikan rahmat dan karunia yang tiada
henti sehingga penulis dapat sampai pada tahap ini, khususnya dengan
terselesaikannya skripsi ini.
Terima kasih secara tulus juga penulis haturkan kepada orang tua penulis
yang telah berjasa dalam mendidik dan membentuk kepribadian penulis dengan
penuh kesabaran dan kasih sayang yang melimpah.
Rasa terima kasih juga penulis sampaikan kepada :
1. Bapak Herman Suryokumoro, SH. MS, selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Brawijaya,
2. Bapak Setyo Widagdo, SH. M.Hum, selaku Ketua Bagian Hukum
Internasional,
3. Bapak Sucipto, SH. MH, selaku Dosen Pembimbing I yang telah
meluangkan waktu dan tenaga untuk memberikan bimbingan kepada
penulis serta memberikan ide-ide kepada penulis dalam menyelesaikan
skripsi ini,
4. Bapak Nurdin, SH. MH, selaku Dosen Pembimbing II yang juga telah
meluangkan waktu dan tenaga untuk memberikan bimbingan kepada
penulis dalam menyelesaikan skripsi ini,
5. Kedua orang tuaku, Papa dan Mama, yang dengan ketekunan, keuletan,
kedisiplinan, semangat, dan kasihnya telah membesarkan anak-anaknya
dengan penuh kasih sayang,
6. Adikku, Dimas, yang telah memberikan semangat dan dukungan yang
tiada henti pada penulis,
7. Sahabat-sahabat penulis yang telah mewarnai hidup penulis selama ini,
khususnya, Jessi, Egi, Nova, Nani, Ratih, Bondan, Mas Anto’, Mas Galih,
Irawan, Kadek, Fariz, Andrew, Willy, Baron, Tika, dan sahabat-sahabatku
lainnya yang telah memberikan semangatnya untuk penulis,
8. Serta pihak-pihak lain yang turut membantu terselesaikannya skripsi ini,
yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
Penulis yakin skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, sehingga
masukan dan kritik yang membangun akan selalu penulis harapkan untuk
memperbaiki skripsi ini.
Akhir kata, penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya apabila dalam
proses pembuatan skripsi ini, penulis melakukan kesalahan baik yang disengaja
maupun tidak disengaja. Semoga Allah SWT akan senantiasa melimpahkan
rahmat dan hidayah-Nya pada kita semua. Amien.
Malang, Januari 2008
Penulis
DAFTAR ISI
Lembar Persetujuan ………………………………………………….. i
Lembar Pengesahan ………………………………………………….. ii
Lembar Persembahan ………………………………………………….. iii
Kata Pengantar ………………………………………………….. iv
Daftar Isi ………………………………………………….. vi
Abstraksi ………………………………………………….. ix
BAB I PENDAHULUAN ………………………………….. 1
A. Latar Belakang ………………………………….. 1
B. Rumusan Masalah ………………………………….. 7
C. Tujuan Penelitian ………………………………….. 7
D. Manfaat Penelitian ………………………………….. 8
E. Sistematika Penulisan ….………………………………. 9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ………………………………….. 11
A. Penggolongan Kapal ………………………………….. 11
A. Pengertian Kapal ………………………………….. 11
A.2 Pengertian Kapal Laut ………………………….. 11
A.3 Jenis-jenis Kapal Laut ………………………….. 12
B. Pencemaran Minyak Di Laut ………………………….. 14
B.1 Pengertian Pencemaran Laut Menurut Konvensi
Internasional dan Hukum Nasional ………………….. 14
B.2 Sumber-sumber Pencemaran Laut ………………….. 15
C. Tanggung Jawab ………………………………….. 20
C.1 Pengertian Tanggung Jawab ………………………….. 20
C.2 Tanggung Jawab Pada Umumnya ………………….. 21
C.3 Tanggung Jawab Terhadap Pencemaran Laut ………... 26
D. Civil Liabilitin Convention 1969 (CLC 1969) .................. 29
BAB III METODE PENELITIAN ………………………………….. 33
A. Pendekatan Penelitian ………………………………….. 33
B. Definisi Konseptual ………………………………….. 33
C. Bahan Hukum ………………………………………….. 35
D. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum ………………….. 37
E. Teknik Analisis ………………………………………….. 38
BAB IV PEMBAHASAN ………………………………………….. 39
A. Tanggung Jawab Pemilik Kapal Tanker Dalam
Pencemaran Minyak Di Laut Yang Bersumber Dari
Kapal Tanker Menurut Civil Liability Convention 1969 …... 39
B. Prosedur Penyelesaian Ganti Rugi Atas Pencemaran
Lingkungan Laut Yang Bersumber Dari Kapal Tanker ……. 45
C. Prinsip-prinsip Dalam Civil Liability Convention 1969
Jo. Protocol 1992 Yang Dapat Berlaku Untuk Pencemaran
Yang Berasal Dari Kapal-kapal Lain Yang Tidak Termasuk
Dalam Kriteria Konvensi ………………………………….. 53
BAB V PENUTUP ………………………………………………….. 67
A. Kesimpulan ………………………………………….. 67
B. Saran ………………………………………….. 71
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
ABSTRAKSI
RENATHA SANDYA PRADANIA, Hukum Internasional, Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Januari 2008, Tanggung Jawab Pemilik Kapal Tanker Dalam Pencemaran Minyak Di Laut Yang Bersumber Dari Kapal Tanker (Analisa Yuridis Normatif Terhadap Civil Liability Convention 1969 beserta perubahannya dalam Protocol 1992), Sucipto, SH.MH; Nurdin, SH.MH.
Dalam penulisan skripsi ini penulis membahas mengenai masalah Tanggung Jawab Pemilik Kapal Tanker dalam Pencemaran Minyak di Laut yang Bersumber Dari Kapal Tanker. Saat ini lalu lintas laut di Indonesia semakin sering dilalui oleh kapal-kapal tanker maupun super tanker seiring dengan meningkatnya tingkat kebutuhan terhadap minyak curah. Luasnya wilayah laut Indonesia tidak berarti seluruhnya memiliki kedalaman air yang cukup untuk dilalui oleh kapal-kapal tersebut. Apabila kapal-kapal tersebut dipaksakan masuk ke perairan yang tidak memiliki kedalaman air yang cukup, maka kapal tersebut dapat kandas dan kemungkinan besar dapat menimbulkan pencemaran. Hal lain yang dapat menimbulkan pencemaran adalah kecelakaan atau tabrakan antar kapal yang kemudian dapat berpotensi menimbulkan pencemaran. Persoalan ganti rugi terhadap pencemaran minyak di laut yang bersumber dari kapal tidak sesederhana yang dibayangkan.
Dalam menjawab permasalahan, yaitu apakah tanggung jawab pemilik kapal tanker dalam pencemaran minyak di laut menurut Civil Liability Convention 1969, kemudian bagaimana prosedur penyelesaian ganti rugi serta prinsip-prinsip apa saja yang dapat diterapkan untuk kapal-kapal non tanker, maka metode pendekatan yang digunakan adalah yuridis normatif, yaitu pendekatan dari aspek hukum, dalam hal ini aturan internasional yaitu Civil Liability Internasional 1969 beserta Protocol 1992, yang kemudian dikaji secara normatif dengan bahan hukum sebagai bahan utama penelitian.
Berdasarkan hasil penelitian, penulis memperoleh jawaban atas permasalahan yang ada. Tanggung jawab pemilik kapal tanker menurut Civil Liability Convention 1969 menganut prinsip strict liability. Sedangkan penyelesaian ganti ruginya memiliki tahapan-tahapan yang harus dilakukan termasuk pengumpulan bukti. Kemudian beberapa prinsip yang terdapat dalam Civil Liability Convention 1969, dapat juga diberlakukan pada kapal-kapal non tanker.
Menyikapi fakta tersebut diatas, maka dapat disimpulkan meskipun pemilik kapal tanker menggunakan strict liability, namun tetap ada batasan tertinggi dalam memberikan ganti rugi, penyelesaian ganti rugi dapat dilakukan dengan cara negosiasi atau melalui pengadilan, salah satu prinsip yang dapat diterapkan bagi kapal non tanker adalah pemilik dapat dibebaskan dari tanggung jawab apabila pencemaran disebabkan keadaan force majeur.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia sebagai salah satu Negara pantai di dunia, memiliki posisi
geografis yang sangat unik. Selain terletak pada garis khatulistiwa,
berdasarkan letak geografisnya Indonesia merupakan Negara kepulauan
(archipelago state) dengan perbandingan wilayah laut yang jauh lebih luas
daripada wilayah daratannya. Posisi Indonesia berada pada persilangan dua
benua, yaitu Benua Asia-Australia, dan dua samudera, yaitu Samudera
Indonesia-Pasifik.
United Nation Convention on the Law Of the Sea 1982, (UNCLOS
1982) atau yang biasa dikenal dengan Konvensi Hukum Laut 1982 (KHL
1982), telah diratifikasi dan kemudian diberlakukan di Indonesia berdasarkan
Undang Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan Konvensi PBB
III mengenai Hukum Laut Internasional. Berdasarkan ketentuan tersebut
maka, luas wilayah laut Indonesia bertambah hingga menjadi 8.193.163 km2,
dengan rincian 0,3 juta km2 laut territorial, 2,8 juta km2 perairan nusantara,
dan 2,7 km2 Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia. Sebagai Negara
maritim, Indonesia perlu menyadari pentingnya fungsi perlindungan dan
pelestarian wilayah perairannya. Hal ini juga mengingat luasnya perairan
Indonesia yang membawa penambahan luas wilayah sumber kekayaan alam,
baik hayati maupun non hayati.1
1 Koesnadi Hardjasoemantri, 2001, Hukum dan Lingkungan Hidup di Indonesia,
Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, h. 259-260.
Bukan merupakan hal baru bahwa masalah pencemaran lingkungan
laut yang disebabkan oleh tumpahnya minyak bumi merupakan perhatian yang
serius bagi kita. Hal ini menjadi lebih penting lagi mengingat keadaan
geografis Negara kita yang sebagian besar terdiri dari lautan dan posisi
nusantara sebagai daerah lalu lintas kapal tanker antar benua.2
Oleh karena itu, fungsi perlindungan lingkungan laut dari
pencemaran akan lebih berat jika pengaturan hukum antar rezim kelautan
terhadap pencemaran belum jelas. Terlebih lagi dengan adanya kepentingan
Negara lain untuk melakukan pelayaran pada wilayah perairan suatu Negara
yang memang sejak dahulu telah diakui sebagai suatu hak dalam hukum laut
internasional.3
Dengan adanya pengakuan suatu pengaturan khusus tentang Negara
kepulauan pada Konvensi Hukum Laut 1982, diimbangi adanya kewajiban
Negara kepulauan untuk mengakui hak lintas laut damai alur pelayaran
melalui perairan Indonesia, merupakan salah satu potensi bagi pencemaran
lingkungan laut di Indonesia.4
Sumber utama pencemaran laut adalah berasal dari tumpahan minyak
yang bersumber dari kegiatan operasional kapal, pengeboran lepas pantai
(eksplorasi) maupun akibat kecelakaan kapal. Namun pencemaran dari
tumpahan minyak di laut yang bersumber dari kapal merupakan pencemaran
2 Komar Kantaatmadja, 1982, Bunga Rampai Hukum Lingkungan Laut Internasional, Alumni, Bandung, h. 1 (Komar Kantaatmadja I)
3 Hak pelayaran internasional atas perairan Indonesia mencakup hak lintas damai
(right of innocent passage) dan hak lintas alur kepulauan (right of archipelagic sea lanes passage). Lihat Pasal 52-54 KHL 1982.
4 Koesnadi Hardjasoemantri.op.cit.h. 260
laut yang selalu menjadi fokus perhatian dari masyarakat luas, karena
akibatnya akan sangat cepat dirasakan oleh masyarakat sekitar pantai dan
sangat signifikan merusak makhluk hidup di sekitar pantai tersebut.5 Setiap
tahunnya 3 sampai 4 juta ton minyak bumi mencemari lingkungan laut.6
Pencemaran minyak bumi paling banyak disebabkan oleh tumpahan
minyak dari kapal akibat proses pembuangan minyak kotor atau tolak bara
kapal ataupun pengangkutan oleh kapal-kapal tanker (crude carrier ships).7
Kapal-kapal tersebut dalam beberapa tahun terakhir ukurannya dapat
mencapai hingga ratusan ribu ton daya muatnya, dengan dua ukuran yang
paling besar yang lebih dikenal dengan nama Very Large Crude Carrier
(VLCC) dan Ultra Large Crude Carrier (ULCC).
Indonesia memiliki posisi yang strategis dalam rute lintas laut bagi
kapal-kapal jenis VLCC dan ULCC, yaitu melalui Selat Malaka dan Selat
Lombok, serta Selat Makassar. Lintasan pelayaran pada Selat Malaka
mempunyai jarak yang pendek dan kedalaman air yang cukup untuk dilalui ke
dua jenis kapal tersebut. Pada lintasan pelayaran Selat Malaka, Negara yang
berdaulat untuk mengatur adalah Malaysia, Singapura, dan Indonesia.
Sedangkan untuk lintasan pelayaran di Selat Lombok dan Selat Makassar,
yang berdaulat sepenuhnya adalah Negara Indonesia.
Dalam perkembangannya, lintasan pelayaran di Selat Malaka
semakin padat frekuensinya. Kapal-kapal yang melalui Selat Malaka tidak lagi
5 http://io.ppi-jepang.org/article.php?id=137, Tumpahan Minyak di Laut dan
Beberapa Catatan Terhadap Kasus di Indonesia, diakses tanggal 4 April 2007 6 Koesnadi Hardjasoemantri.op.cit.h.261 7 Lihat RR.1925
hanya dilalui oleh kapal-kapal tanker dengan jenis VLCC dan ULCC, namun
juga jenis-jenis kapal lainnya. Hal ini menyebabkan olah gerak untuk kapal-
kapal super tanker seperti kedua jenis kapal tersebut menjadi tidak leluasa
untuk bergerak dengan aman sehingga rawan menimbulkan kecelakaan.
Sebagai salah satu contoh kasus kecelakaan kapal tanker yang
terkenal adalah, karamnya kapal super tanker berbendera Jepang, Motor
Tanker (MT.) Showa Maru, pada tahun 1975 di perairan dangkal Selat Malaka
yang termasuk wilayah perairan Indonesia. Kapal dengan muatan minyak
mentah tersebut menumpahkan lebih dari 1 juta barel minyak muatannya di
wilayah perairan Indonesia dan menimbulkan pencemaran laut.8
Kasus MT. Showa Maru tersebut memunculkan ketentuan mengenai
penetapan lintas pelayaran di Selat Malaka yang dikenal dengan Traffic
Separation Scheme (TSS) di Selat Malaka oleh Internasional Maritime
Consultative Organization (IMCO), sekarang menjadi International Maritime
Organization (IMO), berdasarkan Resolusi IMCO No.A.3759X,14 November
1977.
Setelah diberlakukannya TSS, Indonesia mengajukan suatu
penawaran, yaitu untuk kapal-kapal super tanker dengan muatan berukuran
diatas 200.000 ton, jalur pelayarannya dialihkan melalui jalur Selat Lombok-
Makassar dan demikian pula sebaliknya. Karena, alur pelayaran Selat Malaka
hanya dapat dilalui oleh kapal yang mempunyai kedalaman 19 meter dengan
kapasitas muatan 200.000 ton, sehingga untuk keselamatan kapal tanker di
8 http://io.ppi-jepang.org/article.php?id=137, Tumpahan Minyak di Laut dan
Beberapa Catatan Terhadap Kasus di Indonesia, diakses tanggal 4 April 2007
atas 200.000 ton dianjurkan untuk mempergunakan Selat Lombok dan Selat
Makasar.
Pencemaran lingkungan laut yang bersumber dari kapal dapat
diakibatkan dari kapal-kapal pengangkut minyak sebagai muatannya (oil
cargo), atau yang lazim disebut sebagai kapal-kapal tanker, dan kapal-kapal
non tanker yang mengangkut minyak tapi bukan sebagai muatan kapal, seperti
kapal pengangkut barang (cargo ships), Tug Boat, LCT (Landing Crafvt
Tank), kapal-kapal penumpang, kapal penyeberangan (feri).
Dengan adanya bahaya dari kapal-kapal laut yang mengalami
tabrakan atau musibah (Danger of Accident by Ships), maka bahaya yang akan
timbul salah satunya adalah pencemaran lingkungan laut yang bersumber dari
kapal, baik yang berasal dari tangki bahan bakar kapal itu sendiri atau minyak
kotor yang terdapat di dalam kamar mesin maupun minyak sebagai kargo
(muatan).
Pencemaran laut dapat berupa akibat dari pengoperasian kapal dan
atau kecelakaan kapal baik secara sengaja dan atau tidak disengaja, namun
akibat pencemaran laut berdampak sangat luas terhadap segala kehidupan baik
di laut maupun daratan yang terkena pencemaran, sehingga adanya pemikiran
siapa yang akan memberikan ganti rugi apabila terjadi pencemaran laut.
Pengaturan mengenai tanggung jawab pencemaran laut bagi kapal-
kapal yang mengangkut minyak sebagai muatan (tanker) terdapat dalam Civil
Liability Convention 1969 (CLC 1969). Dalam konvensi ini tidak diatur
mengenai tanggung jawab pencemaran laut yang berasal dari kapal-kapal non
tanker. Bagi kapal-kapal non tanker berlaku ketentuan hukum negara bendera
dari kapal tersebut dan atau hukum negara pantai tempat terjadinya
pencemaran.
Hal ini dapat menjadi masalah karena belum semua negara memiliki
ketentuan hukum nasional yang mengatur masalah pencemaran laut oleh
minyak yang bersumber dari kapal, baik kapal tanker maupun kapal kargo.
Sebagai contoh, Indonesia dalam menanggulangi masalah pencemaran laut
dari kapal-kapal kargo, umumnya hanya menggunakan Undang Undang
Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Dalam ketentuan hukum nasional Indonesia belum ada pengaturan
tersendiri mengenai pencemaran laut oleh minyak, baik yang bersumber dari
kapal maupun dari kegiatan eksplorasi dan eksploitasi di laut. Peraturan yang
ada hanya bersifat sebatas mencegah terjadinya pengotoran laut.
Upaya pencegahan dan penanggulangan pencemaran laut telah
dilakukan oleh Indonesia dengan meratifikasi beberapa konvensi internasional
seperti Civil Liability Convention 1969 (CLC 1969), termasuk Protokol 1992
tentang amandemen CLC 1969, International Oil Pollution Compensation
Fund 1971, The Marine Pollution Convention 1973 (MARPOL 73/78), serta
United Nation Convention on the Law of the Sea 1982 (UNCLOS 1982).
B. Rumusan Masalah
1. Apakah tanggung jawab pemilik kapal tanker dalam pencemaran minyak
di laut yang bersumber dari kapal tanker menurut Civil Liability
Convention 1969 mencerminkan rasa keadilan para pihak?
2. Bagaimana prosedur yang seharusnya ditempuh oleh para pihak untuk
menyelesaikan ganti rugi atas pencemaran lingkungan laut yang
bersumber dari kapal tanker?
3. Apakah prinsip-prinsip dalam Civil Liability Convention 1969 jo. Protocol
1992 dapat berlaku untuk pencemaran yang berasal dari kapal-kapal lain
yang tidak termasuk dalam kriteria Konvensi tersebut?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengkaji tanggung jawab pemilik kapal tanker terhadap
pencemaran laut yang bersumber dari kapal tanker dalam Civil Liability
Convention 1969 telah mencerminkan rasa keadilan para pihak.
2. Untuk menganalisa prosedur yang seharusnya ditempuh untuk
penyelesaian klaim ganti rugi terhadap pencemaran laut yang bersumber
dari kapal tanker, sehingga para pihak yang bersangkutan mendapatkan
rasa keadilan.
3. Untuk mengkaji prinsip-prinsip dalam CLC 1969 yang dapat berlaku bagi
kapal-kapal yang tidak termasuk dalam kriteria Civil Liability Convention
1969 (CLC 1969), yaitu kapal-kapal non tanker, yang menyebabkan
pencemaran minyak di laut.
D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi
semua pihak. Adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
a. Manfaat teoritis
Untuk menambah pengetahuan atau wacana mengenai konvensi
internasional yang telah ada dalam hal pencemaran lingkungan laut yang
bersumber dari kapal.
b. Manfaat praktis
Bagi Pemerintah :
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kejelasan mengenai
pihak-pihak yang dapat dituntut pertanggungjawaban serta prosedur
penuntutan ganti rugi apabila terjadi pencemaran di lingkungan laut yang
bersumber dari kapal,
Bagi Masyarakat :
Agar masyarakat dapat memahami hal-hal yang berkaitan dengan
tanggung jawab para pihak beserta prosedur ganti rugi secara umum
apabila terjadi pencemaran di lingkungan laut, sehingga masyarakat dapat
turut berperan aktif dalam membantu penegakan pelanggaran-pelanggaran
yang dapat menyebabkan pencemaran lingkungan laut.
E. Sistematika Penulisan
Untuk mempermudah pemahaman keseluruhan hasil penelitian ini,
maka penulis menyusun karya ilmiah ini secara sistematis yang secara garis
besar diuraikan sebagai berikut :
BAB I : PENDAHULUAN
Berisi latar belakang permasalahan; rumusan masalah; tujuan penelitian yang
memuat pernyataan singkat tentang apa yang hendak dicapai dalam penelitian;
manfaat penelitian yang menguraikan dan menjelaskan kegunaan penelitian;
sistematika penulisan yang akan mendeskripsikan secara singkat, padat, jelas
serta runtut substansi penulisan skripsi berdasarkan banyaknya bab dan sub
bab yang digunakan.
BAB II : KAJIAN PUSTAKA
Bab ini menguraikan tentang kajian umum, yang berisi teori/pendapat sarjana
yang melandasi penulisan dan pembahasan yang berkaitan dengan judul.
Teori/pendapat sarjana tersebut diperoleh dari studi kepustakaan.
BAB III : METODE PENELITIAN
Bab ini berisi uraian tentang pendekatan yang akan digunakan dalam
penelitian ini, jenis bahan hukum, teknik pengumpulan bahan hukum, teknik
analisis.
BAB IV : PEMBAHASAN
Dalam bab ini akan diuraikan tentang pembahasan dari semua rumusan
permasalahan yang diangkat.
BAB V : PENUTUP
Berisi kesimpulan yang merupakan uraian jawaban dari rumusan masalah
yang telah dijabarkan di dalam pembahasan dan saran yang didasar pada hasil
kajian.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Penggolongan Kapal
A.1 Pengertian Kapal
Berdasarkan ketentuan umum dari Buku II Kitab Undang-Undang
Hukum Dagang (KUHD), diperoleh pengertian kapal dalam arti luas, yaitu
semua alat yang berlayar.9 Sedangkan menurut pendapat Dorhout Mess,
kapal adalah segala sesuatu yang dapat berlayar, dalam pengertian luas
meliputi segala sesuatu yang terapung, dalam pengertian sempit karena
kapal yang sedang dibangun dan dibeli dan dapat berlayar dianggap sebagai
kapal.10 Pengertian yang diberikan Prof. Dr. Sukardono, SH. (Alm) adalah
berdasarkan KUHD pasal 309 ayat 2,11
“kecuali apabila ditentukan atau diperjanjikan lain, maka kapal adalah dianggap meliputi segala alat perlengkapannya”.
Yang dimaksud dengan perlengkapan adalah benda-benda yang tidak
menjadi satu dengan tubuh kapal, tetapi diperuntukkan untuk dipakai dan
harus selalu berada di kapal.12
A.2 Pengertian Kapal Laut
9 Pasal 309 ayat 1 KUHD, “kapal adalah semua perahu dengan nama apa pun dan
dari macam apapun juga” 10 Wartini Soegeng, 1988, Pendaftaran Kapal Indonesia, PT Eresco, Bandung, h. 6 11 Ibid. 12 Ibid.
Menurut KUHD, terdapat kualifikasi terdapat kapal-kapal, yaitu
terdapat perbedaan-perbedaan antara kapal laut, kapal nelayan, dan kapal
sungai.13 Prof. Sukardono mendasarkan kategori kapal pada didaftarkannya
kapal tersebut sebagai kapal apa. Jika didaftarkan sebagai kapal laut sesuai
dengan peruntukkan pembuatannya, maka kedudukannya tetap sebagai kapal
laut meskipun dipakai untuk pelayaran sungai.14
A.3 Jenis-jenis Kapal Laut
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 1957 (LN 1957-
104) tentang Perizinan Pelayaran Kapal Laut, membedakan kapal laut
menjadi dua jenis kapal laut, yaitu :
1. Kapal laut, yaitu setiap alat pengangkutan yang digunakan atau
dimaksudkan untuk pengangkutan di laut.
2. Kapal laut niaga.15
Ditinjau dari segi niaga, pembagian jenis-jenis kapal berdasarkan
konstruksi bangunan kapal dan sifat muatan yang harus diangkut adalah
sebagai berikut :16
1. Kapal Barang (Cargo Vessel)
13 Dalam Pasal 310 KUHD dinyatakan, “semua kapal yang dipakai untuk pelayaran di laut atau yang diperuntukkan untuk
itu” 14 Wartini Soegeng, op.cit. h 8 15 Ibid, h. 9
16 F.D.C. Sudjatmiko, 1979, Pokok-Pokok Pelayaran Niaga, Akademika Pressindo, Jakarta, h. 13-20
Merupakan kapal yang dibangun khusus untuk tujuan mengangkut
barang-barang menurut jenis barang masing-masing. Yang termasuk
dalam jenis kapal barang adalah :
a. General Cargo Carrier
b. Bulk Cargo Carrier
c. Tanker
d. Special-Desinged Ship
e. Container
2. Kapal Penumpang (Passenger Vessel)
Yaitu kapal yang khusus dibangun untuk mengangkut penumpang.
3. Kapal Barang-Penumpang (Cargo-Passenger Vessel)
Adalah kapal yang dibangun untuk mengangkut penumpang dan muatan
barang secara bersama-sama sekaligus.
4. Kapal Barang Yang Mempunyai Akomodasi Penumpang Terbatas
(Cargo Vessel with Limited Accomodation For Passengers)
Kapal ini berupa kapal barang biasa, baik yang berupa kapal general
cargo maunpun bulk cargo carrier. Namun kapal jenis ini diizinkan
membawa penumpang dalam jumlah terbatas (maksimum 12 orang).
Tanker sebagai salah satu jenis kapal niaga dapat digolongkan
sebagai kapal bulk carrier, tetapi karena kapal pengangkut muatan cair ini
mempunyai kekhususan maka kapal tanker dianggap merupakan jenis kapal
tersendiri. Penutupan Terusan Suez akibat perang enam hari pada tahun
1967, mempercepat proses lahirnya kapal-kapal tanker raksasa.17
17 Ibid, h. 14-15
Klasifikasi kapal sebagaimana telah disebutkan sebelumnya sama
dengan klasifikasi yang terdapat dalam buku The Boatswain’s Manual
karangan William A McLeod dan juga terdapat dalam Register Biro
Klasifikasi Indonesia (BKI) tahun 2003. Namun dalam skripsi ini penulis
hanya membatasi khusus bagi kapal-kapal pengangkut minyak yang
mengangkut minyak dalam jumlah 2000 ton atau lebih sebagaimana diatur
dalam CLC 1969.
B. Pencemaran Minyak di Laut
B.1 Pengertian Pencemaran Laut Menurut Konvensi Internasional dan
Hukum Nasional
Definisi yang diberikan oleh UNCLOS 1982 mengenai pencemaran
lingkungan laut adalah dimasukkannya oleh manusia, secara langsung atau
tidak langsung, bahan atau energi ke dalam lingkungan laut, termasuk kuala,
yang mengakibatkan atau mungkin membawa akibat buruk sedemikian rupa
seperti kerusakan pada kekayaan hayati laut dan kehidupan di laut, bahaya
bagi kesehatan manusia, gangguan terhadap kegiatan-kegiatan di laut
termasuk penangkapan ikan dan penggunaan laut yang sah lainnya,
penurunan kualitas kegunaan air laut, dan pengurangan kenyamanan.18
Sedangkan Undang Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup, hanya memberikan definisi pencemaran
18 Pasal 1 angka (4) UNCLOS 1982 mengatakan, “pollution of the marine environment" means the introduction by man, directly or
indirectly, of substances or energy into the marine environment, including estuaries, which results or is likely to result in such deleterious effects as harm to living resources and marine life, hazards to human health, hindrance to marine activities, including fishing and other legitimate uses of the sea,impairment of quality for use of sea water and reduction of amenities”
secara umum, yaitu pencemaran lingkungan hidup adalah masuknya atau
dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke
dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun
sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan hidup tidak dapat
berfungsi sesuai dengan peruntukannya.19
Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1999 tentang Pengendalian
Pencemaran dan/atau Pengrusakan Laut, memberikan definisi yang lebih
spesifik dibandingkan UU No. 23 Tahun 1997, yaitu pencemaran laut adalah
masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi dan/atau
komponen lain ke dalam lingkungan laut oleh kegiatan manusia sehingga
kualitasnya turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan
laut tidak sesuai lagi dengan baku mutu dan/atau fungsinya.
B.2 Sumber-sumber Pencemaran Laut
Pencemaran laut pada umumnya diakibatkan oleh masuknya ke laut
zat-zat pencemaran dari lautan sendiri dan yang dibawa dan berasal dari
darat. Yang bersumber dari pencemaran di laut sendiri yang berasal dari
kapal berupa :
1. pembuangan minyak yang merupakan pembuangan routine;
2. berasal dari pembersihan kapal tangki;
3. kebocoran kapal;
19 Lihat Pasal 1 angka (12) UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup
4. kecelakaan kapal seperti pecahnya kapal, kandasnya kapal, tabrakan
kapal.20
Pencemaran minyak yang berasal dari kapal tanker dapat berasal dari
muatan minyak yang dibawa dalam tangki kapal tersebut (oil cargo) dan
atau kegiatan operasional kapal. Sedangkan pencemaran minyak yang
berasal dari kapal non tanker berasal dari kegiatan operasional kapal.
Ada 2 (dua) macam pencemaran laut yang bersumber dari kegiatan
operasional kapal yaitu pertama adalah pencemaran yang diakibatkan oleh
buangan minyak kotor atau limbah kotor yang berasal dari ruang kamar
mesin, dan atau kesalahan teknis pemuatan kargo dari kapal ke darat atau
sebaliknya, dimana pencemaran yang demikian dikategorikan dalam
pencemaran yang berkaitan erat dengan hal-hal yang lebih banyak berkaitan
dengan teknis, misalnya kapal tidak dilengkapi dengan peralatan pemisah air
dan minyak yang disebut Oily Water Separator (OWS), atau peralatan OWS
tidak berfungsi dengan baik.
Kedua adalah pencemaran minyak sebagai kargo (muatan) yang
tumpah ke laut yang berkaitan dengan hal baik teknis maupun faktor-faktor
lain di luar teknis akibat dari musibah atau kecelakaan kapal dan atau
kesalahan–kesalahan kegiatan operasional kapal, misalnya : saat berolah
gerak dalam berlayar, tabrakan, kandas membentur batu karang, serangan
badai atau ombak besar yang mengakibatkan kapal tidak dapat dikendalikan
dan atau tidak dipenuhinya standar konstruksi kapal pengangkut minyak.
20 Komar Kantaatmadja, 1981, Ganti Rugi Internasional Pencemaran Minyak di
Laut, Alumni, Bandung, h. 14 (Komar Kantaatmadja II)
Untuk pembuangan minyak yang berasal dari buangan minyak kotor,
setiap kapal, selain kapal tanker, yang berukuran 400 GT (Gross Tonage
atau isi kotor) atau lebih tapi kurang dari 10.000 GT, harus dilengkapi
dengan peralatan pencegahan pencemaran oleh minyak, yaitu Oil Water
Separating (OWS). 21 Oil Water Separating (OWS) ini berfungsi untuk
memisahkan antara air dan minyak yang akan dibuang ke laut sehingga
kandungan minyak dalam pembuangan campuran berminyak tidak
melampaui 100 ppm.
Sedangkan untuk kapal tanker berukuran 150 GT atau lebih, harus
dilengkapi dengan suatu sistem monitoring and control system, yang dapat
memberikan catatan terus menerus dari aliran pembuangan minyak dalam
liter per mil dan total kuantitas dari minyak yang dibuang.22
Cara lain yang dapat menyebabkan terjadinya pencemaran minyak
yang bersumber dari laut ialah instalasi minyak di lautan yang mungkin
mengalami kebocoran ataupun rusak. Adapun bentuk terjadinya pencemaran
yang berasal dari darat bisa berupa pencemaran yang datang melalui udara,
pembuangan sampah ke laut (dumping), dan melalui air buangan sungai.23
Pengertian pencemaran laut dimaksudkan sebagai terjadinya
perubahan pada lingkungan laut yang terjadi sebagai akibat dimasukkannya
oleh manusia secara langsung maupun tidak langsung bahan-bahan atau
energi ke dalam laut (termasuk muara sungai) yang menghasilkan akibat
21 Lihat Annex I Regulation 6A(i), International Convention for The Prevention of
Pollution from Ship 1973, Protocol 1978 (MARPOL 73/78) 22 Lihat Annex I Regulation 6B, MARPOL 73/78 23 Komar Kantaatmadja II, op.cit. h. 14
yang demikian buruknya sehingga merupakan kerugian bagi kekayaan
hayati, bahaya terhadap kesehatan manusia, gangguan terhadap kegiatan di
laut termasuk perikanan dan lain-lain, penggunaan laut yang wajar,
pemburukan dari pada kualitas air laut, dan menurunnya kualitas tempat
pemukiman dan rekreasi.24
Di antara berbagai bahan buangan, minyak bumi dan zat-zat yang
mengandung hydrocarbon lainnya telah mendapat banyak perhatian
internasional baik melalui pendekatan dari segi politik, ilmu pengetahuan,
dan hukum. Sejak tahun 1953, minyak bumi sebagai bahan buangan telah
diakui sebagai buangan yang paling berbahaya dibanding dengan bahan-
bahan lainnya bagi kehidupan lautan.25
Pada asasnya pencemaran minyak bumi sebagai akibat aktivitas
manusia adalah sebanding dengan jumlah hydrocarbon yang masuk ke
lautan sebagai akibat peristiwa alam dan pembusukan binatang. Disamping
itu juga untuk perairan-perairan tertentu yang merupakan alur pelayaran
kapal-kapal dan tanker-tanker, buangan minyak (routine), tumpahan sebagai
akibat kecelakaan-kecelakaan instalasi penggalian lepas pantai, tumpahan
akibat kecelakaan tanker dan sebagainya, menambah konsentrasi
hidrokarbon.26
24Ibid, h. 16 25 Ibid, h. 21 26 Ibid, h. 26
Pencemaran laut oleh bahan minyak mempunyai dua sifat, yaitu yang
disengaja (voluntary discharge) dan yang bersifat terpaksa (unvoluntary).27
Sifat pertama terjadi misalnya, apabila dengan sengaja dilakukan
pembuangan bahan-bahan bekas pakai, yang relatif tidak banyak seperti
misalnya pencucian tangki (bunker tank washing) atau pembersihan secara
menyeluruh atau sebagian tangki muatan dari kapal-kapal tangki tersebut
(cargo tank of tankers). Menurut hasil penelitian, dalam hal terakhir kurang
lebih 0,3% minyak mentah terlempar ke laut dan merupakan salah satu
penyebab pencemaran laut.28
Hukum internasional telah mengadakan ketentuan untuk membatasi
pengotoran sengaja demikian, seperti tertuang dalam “The International
Convention for the Prevention of Pollution of the Sea by Oil” pada tahun
1954 yang dengan perubahan pada tahun 1962 dan 1969, sebagai yurisdiksi
dari dan pengawasan oleh Negara pantai.29
Larangan atau pembatasan yang efektif terhadap pembuangan yang
bersifat sengaja, memang merupakan hal yang perlu, karena menyangkut
pada pencegahan terhadap sumber pencemaran itu sendiri.30
Sifat kedua yaitu pencemaran terhadap laut yang terpaksa disebabkan
antara lain oleh peristiwa tabrakan kapal, karena terdampar, dan karena
27 Dimyati Hartono, 1977, Hukum Laut Internasional : Berbagai Aspek
Pengamanan-Pemagaran Yuridis Kawasan Nusantara Negara Republik Indonesia, Ditinjau Dalam Hubungan Perkembangan Hukum Laut Indonesia, Bhratara Karya Aksara, Jakarta, h. 246
28 Ibid, h. 246 29 Ibid, h. 247 30 Ibid
adanya kebocoran-kebocoran pada instalasi di tempat eksplorasi dan
eksploitasi sumber kekayaan alam di pantai atau daerah lepas pantai, adalah
hal yang Negara-negara pantai tidak selalu dapat mencegah dengan larangan
atau pembatasan. Walaupun Negara pantai yang bersangkutan mempunyai
yurisdiksi dan pengawasan atas wilayah perairan dimana peristiwa dimaksud
terjadi.31
C. Tanggung Jawab
C.1 Pengertian Tanggung Jawab
Yang dimaksud dengan tanggung jawab adalah keadaan wajib
menanggung segala sesuatu apabila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan dan
para pihak dapat dituntut, dipersalahkan, atau diperkarakan.32
Secara umum dapat dikemukakan bahwa pertanggungjawaban 33
internasional adalah kewajiban dari suatu Negara, yang karena kesalahannya
telah menimbulkan kerugian pada pihak lain, untuk memperbaiki kerusakan
termaksud (restitution ad integrum). Agar dapat meneliti apakah kewajiban
ini melekat pada Negara yang bersangkutan, harus diperhatikan terlebih
dahulu tentang adanya perjanjian (commitment) terlebih dahulu yang telah
dibuatnya. Dalam hal terdapat perjanjian demikian, maka kita berbicara
tentang adanya suatu pelaksanaan dari hak dan kewajiban yang timbul dari
31 Ibid 32 Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi ketiga
33 Harus dibedakan pengertian “responsibility” yaitu berupa sebagai apa yang
secara hukum harus dipertanggungjawabkan kepada suatu pihak; disegi lain dikenal pengertian “liability” yaitu kewajiban untuk mengganti kerugian atau memperbaiki kerusakan yang terjadi. Pengertian pertanggungjawaban ini tidak selalu harus jatuh bersamaan dengan pengertian kewajiban memberi ganti rugi dan memperbaiki kerusakan.
perjanjian tersebut, sedangkan dalam hal tiadanya perjanjian terlebih dahulu
maka yang akan merupakan petunjuk adalah kebiasaan internasional
(customary law) dan prinsip-prinsip umum hukum internasional.34
C.2 Tanggung Jawab Pada Umumnya
Pada permulaan perkembangan hukum ganti rugi orang belum
memisahkan antara hukuman di satu pihak dengan ganti rugi di lain pihak.
Tetapi pemikiran hukum berkembang dan baru pada sekitar abad
pertengahan maka pengertian ganti rugi yang berhubugan dengan tanggung
jawab atas perbuatan yang bertentangan dengan hukum mulai dibedakan.
Perkembangan ini kemudian menjurus kepada pengertian perbuatan yang
bertentangan dengan hukum dalam artian yang luas.35
Sehingga kalau membicarakan tentang masalah ganti rugi, maka hal
ini tidak bisa dilepas dengan masalah lainnya yaitu perbuatan yang
menyebabkan terjadinya kerugian yang menimbulkan kewajiban memenuhi
ganti rugi tersebut. Suatu hal yang menonjol dalam hukum yang
menyangkut masalah pemberian ganti rugi adalah terdapatnya unsur
kesalahan sehingga secara umum dapat dikatakan bahwa perbuatan yang
bertentangan dengan hukum itu berupa perbuatan karena kesalahannya
menimbulkan kerugian pada pihak lain sehingga mewajibkan pelaku untuk
membayar ganti rugi atas kerugian yang ditimbulkannya.36
34 Komar Kantaatmadja II, op.cit. h. 69 35 Komar Kantaatmadja I, op.cit. h. 51 36 Ibid
Secara umum terdapat tiga prinsip tanggung jawab, yaitu tanggung
jawab absolut (absolute liability), tanggung jawab berdasarkan kesalahan
(liability based on fault), dan tanggung jawab mutlak (strict liability).
Absolute liability merupakan salah satu prinsip tanggung jawab yang dianut
dalam Konvensi tentang Tanggungjawab Internasional yang disebabkan oleh
benda-benda angkasa (The Convention on International Liability for
Damage Caused by Space Object 1972) atau yang biasa dikenal dengan
Liability Convention 1972.
Liability Convention 1972 pada dasarnya menganut dua prinsip
tanggung jawab, yaitu prinsip tanggung jawab absolut dalam pasal II dan
prinsip tanggung jawab berdasarkan kesalahan dalam pasal III.37 Pasal II
Liability Convention 1972 berbunyi :
“A launching State shall be absolutely liable to pay compensation for damage caused by its space object on the surface of the earth or to aircraft in flight”.
Dalam pasal tersebut tertulis secara jelas bahwa negara peluncur
bertanggung jawab sepenuhnya untuk memberikan ganti rugi terhadap
kerusakan yang disebabkan oleh benda-benda angkasa baik yang terjadi di
permukaan bumi atau pun di udara. Pengaturan bentuk ganti rugi tersebut
dapat berupa ganti rugi dalam bentuk uang, seperti yang telah diatur dalam
pasal XII Liability Convention 1972. 38 Dalam prinsip tanggung jawab
37 Perhatikan Article III Liability Convention 1972. Pasal ini mengatakan bahwa : “In the event of damage being caused elsewhere than on the surface of the earth
to a space object of one launching State or to persons or property on board such a space object by a space object of another launching State, the latter shall be liable only if the damage is due to its fault or the fault of persons for whom it is responsible”.
38 Article XII Liability Convention 1972 mengatakan : “The compensation which the launching State shall be liable to pay for damage
under this Convention shall be determined in accordance with international law and the
absolut, pihak yang menderita kerugian tidak perlu membuktikan bahwa
pihak yang menyebabkan kerugian memang berniat untuk menimbulkan
kerugian.
Mengenai Liability Convention 1972 ini telah diratifikasi oleh
Indonesia dengan adanya Keputusan Presiden Nomor 20 Tahun 1996
tentang Pengesahan Convention On International Liability For Damage
Caused By Space Objects, 1972 (Konvensi Tentang Tanggung Jawab
Internasional Terhadap Kerugian Yang Disebabkan Oleh Benda-Benda
Antariksa, 1972).
Prinsip tanggung jawab selanjutnya adalah tanggung jawab
berdasarkan kesalahan (liability based on fault). Pasal 1365 Kitab Undang
Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) menegaskan bahwa :
“Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian pada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”.
Dari pasal tersebut dapat dilihat bahwa adanya pertanggungjawaban
dari orang yang melakukan perbuatan melanggar hukum adalah dengan
mengganti kerugian terhadap orang atau pihak korban yang menderita
kerugian. Dalam hal ini tanggung jawab pelaku hanya akan muncul apabila
terdapat unsur kesalahan.
Prinsip ganti rugi yang diakibatkan oleh kesalahan sesuai dengan
adagium “no liability without fault” yang dikenal dan mendominir hukum
ganti rugi di kawasan “common law” sampai abad ke sembilan belas dan
principles of justice and equity, in order to provide such reparation in respect of the damage as will restore the person, natural or juridical, State or international organisation on whose behalf the claim is presented to the condition which would have existed if the damage had not occurred”.
baru setelah masa itu dianggap kurang memadai sebagai satu-satunya prinsip
ganti rugi dan dilanjutkan dengan timbulnya apa yang disebut sebagai
“erosion of fault” yang telah menimbulkan suatu prinsip ganti rugi lain yang
kemudian terkenal dengan nama “strict libility”.39
Pengertian strict liability dianggap perlu dalam lalu lintas hukum
modern untuk memungkinkan dapat diselenggarakan berbagai aktivitas yang
membawa tanggung jawab yang dianggap terlalu besar tetapi dilihat dari
segi masyarakat (bangsa-bangsa) dapat dinilai sebagai bermanfaat, tanpa
strict liability dianggap kurang memberikan proteksi baik bagi pelaku
maupun korban. Juga dengan demikian dapat diselenggarakan pembagian
dari kerugian (loss spreading) yang lebih baik dengan bantuan lembaga
asuransi. Karenanya untuk memberikan keseimbangan yang sebaik-baiknya
antara pelaku korban dan pihak asuransi maka strict liability ini dikaitkan
dengan suatu jumlah tertinggi yang ditentukan.40
Strict liability ini digunakan dalam Civil Liability Convention 1969
(CLC 1969). Mengenai bentuk tanggung jawab ini dapat dilihat dalam pasal
III CLC 1969.41 Pemerintah Indonesia telah meratifikasi CLC 1969 dalam
Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 1978 tentang Pengesahan
"International Convention On Civil Liability For Oil Pollution Damage",
yang telah ditandatangani oleh delegasi pemerintah Republik Indonesia
39 Komar Kantaatmadja I, op.cit. h. 52 40 Ibid, h. 52-53 41 Article III Civil Liability Convention mengatakan : “…the owner of a ship at the time of an incident, or where the incident consists of
a series of occurrences at the time of the first such occurrence, shall be liable for any pollution damage caused by oil which has escaped or been discharged from the ship as a result of the incident”.
sebagai hasil Sidang International Legal Conference On Marine Pollution
Damage, di Brussels, pada tanggal 29 November 1969.
Dalam peraturan perundang-undangan nasional, prinsip tanggung
jawab mutlak juga terdapat dalam Undang Undang Nomor 23 Tahun1997.42
Dalam undang-undang tersebut dinyatakan bahwa penanggung jawab usaha
yang kegiatan usahanya menimbulkan dampak yang sangat besar bagi
lingkungan hidup, apabila terjadi pencemaran atau perusakan lingkungan
hidup akibat dari usahanya tersebut, maka ia bertanggung jawab secara
mutlak atas kerugian yang timbul dengan kewajiban membayar ganti rugi
secara langsung dan seketika pada saat terjadinya pencemaran atau
perusakan lingkungan hidup tersebut.
C.3 Tanggung Jawab Terhadap Pencemaran Laut
Adapun pelaku maupun pihak yang dirugikan karena pencemaran ini
bisa berupa subyek hukum publik maupun subyek hukum privat. Dengan
subyek hukum publik dimaksudkan sebagai Negara (baik nasional maupun
asing) termasuk bagian-bagiannya (political sub division) serta badan-badan
yang termasuk ke dalamnya, yang secara hukum akan membawa
pertanggungjawabannya kepada Negara. Sedangkan subyek hukum privat
dimaksudkan manusia, kelompok manusia (dalam hal class action) dan
badan hukum (privat).43
42 Lihat pasal 35 (1) UU Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan
Hidup 43 Komar Kantaatmadja II, op.cit. h. 15
Dalam hal pelaku pencemaran adalah kapal milik Negara (asing)
maka harus berhati-hati untuk tidak menimbulkan masalah baru. Hal ini
disebabkan karena sifat immunitas suatu Negara terhadap yurisdiksi
pengadilan Negara lain. Perlu diperhatikan pendapat Delegasi USSR dalam
International Legal Conference on Marine Pollution Damage (Brussels
1969) yang mengemukan bahwa “… when a State is a owner of a Ship such
States cannot be subjected to jurisdiction of a foreign court as a defendant
in general civil law court proceedings in cases of claims for compensation
for damage caused by the ship”. Sedangkan delegasi Jepang mengajukan
untuk penyelesaian masalah ini agar dapat digunakan konsep “waiver of
sovereignty“ dalam hubungan dengan kapal-kapal milik Negara ini.44
Bahwa Article III (1) dari International Convention on Civil Liability
for Oil Pollution Damage, Brussel 1969 (CLC 1969) menegaskan bahwa :
“…the owner of a ship at the time of an incident, or where the incident consists of a series of occurrences at the time of the first such occurrence, shall be liable for any pollution damage caused by oil which has escaped or been discharged from the ship as a result of the incident”.
Kembali pada masalah tanggung jawab mutlak (strict liability) maka
sebagaimana lazimnya berlaku, maka juga dalam hal ini dikecualikan hal-hal
tertentu45 yaitu yang membebaskan pemilik kapal dari kewajiban membayar
ganti rugi yaitu dalam hal :
44 Ibid, h. 16 45 Perhatikan Article III (2) dan (3) International Convention on Civil Liability for
Oil Pollution Damage 1969 (CLC 1969)
a) Jika kecelakaan timbul karena perang, persengketaan bersenjata, perang
saudara, pemberontakan, atau bencana alam yang tidak mungkin dapat
dihindarkan;
b) Jika kecelakaan diakibatkan oleh perbuatan atau kelalaian pihak ketiga
dengan maksud untuk menimbulkan kerugian tersebut;
c) Jika kecelakaan ditimbulkan oleh perbuatan atau kelalaian dari korban
sendiri. Dalam hal ini dimaksudkan untuk dapat dicakup dua
kemungkinan yaitu :
1) Kecelakaan disebabkan karena perbuatan atau kelalaian dari Negara
pantai yang bertanggung jawab terhadap terpeliharanya mercu suar
dan alat-alat bantu navigasi lain;
2) Jika pemilik kapal dapat membuktikan bahwa kecelakaan timbul
karena perbuatan atau kelalaian oleh pihak yang menderita kerugian
sendiri.46
Dalam ganti rugi pencemaran minyak di laut, prinsip ganti rugi yang
dianut adalah prinsip “strict liability”, karena kewajiban membayar ganti
rugi kepada Negara pantai timbul secara mutlak pada saat tumpahnya
minyak di laut dan timbulnya kerugian, tanpa mempersoalkan bersalah atau
tidaknya kapal tangki yang bersangkutan. Tetapi karena sifat dari strict
liability itu maka ganti rugi akan dibatasi sampai suatu jumlah tertinggi
(maksimum) tertentu. Walaupun demikian jika terbukti adanya faktor
kesalahan maka batas jumlah tertinggi ini dapat dikesampingkan.47
46 Komar Kantaatmadja II, op.cit. h. 74 47 Ibid, h. 61
Sistem “strict liability” mempunyai kekhususan dibanding dengan
sistem “liability based on fault”. Proses hukum pembuktian akan menjadi
lebih sederhana dan relatif lebih pendek pada “strict liability”. Suatu hal
yang tidak jarang merupakan faktor penyulit dalam proses klaim ganti rugi
umum. Namun demikian luas lingkup ganti kerugian yang dimungkinkan
menjadi terbatas, karena segi lain dari strict liability adalah adanya suatu
plafond/ceiling dari jumlah ganti rugi.48
Sesuai dengan kebiasaan lalu lintas perniagaan modern maka setiap
kemungkinan timbulnya risiko seberapa mungkin dialihkan kepada pihak
ketiga yang dalam hal ini berupa perusahaan asuransi. Terlebih lagi risiko
besar yang tanpa dibuka kemungkinan pembagian kerugian (loss spreading)
sedemikian akan menimbulkan terganggunya atau hancurnya usaha
pelayaran, khususnya pengangkutan minyak bumi dalam jumlah besar. Hal
ini terlebih lagi disebabkan karena biaya pembersihan tumpahan minyak
adalah mahal sekali, apalagi jika dimasukkan juga ke dalamnya ganti rugi
ekologis.49
D. Civil Liability Convention 1969 (CLC 1969)
Mengenai polusi yang disebabkan oleh minyak yang berasal dari
kapal, Inter-Governmental Maritime Consultative Organization atau IMCO
(sekarang IMO) 50 dalam konferensi di Brussels pada tahun 1969 telah
48 Komar Kantaatmadja I, op.cit. h. 79 49 Ibid, h. 81-82 50 IMCO dibentuk setelah terjadinya tragedi kapal Titanic. Namun perwujudannya
tertunda pada saat terjadinya Perang Dunia I. Ketika perang berakhir, IMCO dihidupkan
menghasilkan suatu konvensi yang memberikan wewenang kepada negara-
negara pantai untuk mengambil tindakan-tindakan di laut bebas guna
mencegah meluasnya polusi karena kecelakaan kapal ataupun untuk
mengurangi polusi yang telah terjadi (Intervention Convention, 1969). IMO
kemudian juga telah berhasil mengadakan suatu konvensi yang mengatur
tanggung jawab sipil terhadap polusi yang ditimbulkan oleh kecelakaan
kapal (Civil Liability Convention, 1969) yang kemudian diikuti oleh suatu
konvensi yang mendirikan suatu internasional Fund untuk membayar ganti
rugi karena polusi yang disebabkan oleh kecelakaan kapal (Fund
Convention, 1971).51
International Convention on Civil Liability for Oil Pollution Damage
1969 atau yang lebih dikenal dengan Civil Liability Convention (CLC
1969), ditanda tangani di Brussels pada tanggal 29 November 1969,
merupakan konvensi yang mengatur tentang ganti rugi polusi minyak di laut.
Konvensi ini berlaku terhadap :
1) Kapal yang mengangkut minyak dalam bulk sebagai kargo (muatan);
kembali dan menghasilkan sekumpulan peraturan mengenai pembangunan kapal dan keselamatannya yang disebut Safety Of Life At Sea (SOLAS) atau Keselamatan Jiwa di Laut. IMCO pada akhirnya berubah menjadi IMO (International Maritime Organization), yang secara berkala membuat peraturan (seperti International Regulations for Preventing Collisions at Sea atau Peraturan Internasional untuk Menghindari Tabrakan di Laut) yang didukung oleh badan-badan klasifikasi dan surveyor maritim untuk memastikan ketaatan setiap kapal terhadap peraturan yang berlaku.
51 Hasjim Djalal, 1979, Perjuangan Indonesia di Bidang Hukum Laut, Binacipta,
Bandung, h. 57
2) Minyak yang diangkut adalah termasuk kategori “persistant oil” seperti
crude oil, fuel oil, heavy diesel oil, lubricating oil, dan whale oil. Baik
diangkut sebagai “cargo” atau sebagai “bunker”.52
CLC 1969 mengharuskan kapal tangki yang telah mengakibatkan
timbulnya kerugian (damage) pada Negara pantai untuk memberikan ganti
kerugian bagi kerugian yang diderita oleh orang atau kepentingan yang telah
menjadi korban dari pengotoran laut yang disebabkannya. Kewajiban ganti
rugi dalam konvensi ini didasarkan atas prinsip strict liability, artinya
kewajiban membayar ganti rugi timbul sesegera terjadinya kerugian itu,
dengan tidak mempersoalkan salah atau tidaknya kapal tangki yang
bersangkutan.53
Strict Liability dari pemilik kapal selanjutnya dikaitkan pada sistem
compulsory insurance bagi kapal tangki minyak yang mengangkut minyak
dalam jumlah lebih dari 2000 ton. Setiap Negara peserta konvensi
diwajibkan untuk menjamin ditaatinya melalui perundangan nasionalnya
ketentuan mengenai compulsory insurance ini oleh setiap kapal, dimanapun
terdaftarnya kapal itu, yang keluar atau masuk pelabuhan di dalam batas-
batas wilayahnya.54
Kewajiban yang timbul dari ikut sertanya Indonesia pada konvensi
ini berupa keharusan adanya jaminan asuransi ganti rugi bagi kapal-kapal
tangki minyak yang berlayar ke Negara-negara peserta lain, tidak usah
52 Komar Kantaatmadja I, op.cit. h. 8 53 Mochtar Kusumaatmadja, 2006, Konsep-Konsep Hukum Dalam Pembangunan,
Alumni, Bandung, h. 175 54 Ibid.
menjadi keberatan karena sekarang pun kapal-kapal tangki minyak
Indonesia telah diasuransikan dalam rangka sistem TOVALOP. Selain dari
itu, Negara-negara pengimpor minyak terbesar di dunia sudah
mengharuskan kapal tangki minyak yang keluar masuk pelabuhannya untuk
diasuransikan terhadap oil pollution damage, atau sedang mempersiapkan
perundang-undangan demikian untuk dikeluarkan dalam waktu dekat.55
Sesuai dengan perkembangan jaman, mulai tahun 1992 beberapa
ayat dalam CLC 1969 telah mengalami perubahan. Perubahan-perubahan
terhadap pasal-pasal dalam CLC 1969 ini dituangkan dalam suatu protokol,
yaitu Protocol of 1992 To Amend The International Convention On Civil
Liability For Oil Pollution Damage 1969. Protokol ini telah diratifikasi
pemerintah Indonesia dalam Keputusan Presiden Nomor 52 Tahun 1999
tentang Pengesahan Protocol of 1992 To Amend The International
Convention On Civil Liability For Oil Pollution Damage, 1969 (Protokol
1992 Tentang Perubahan Terhadap Konvensi Internasional Tentang
Tanggungjawab Perdata Untuk Kerusakan Akibat Pencemaran Minyak,
1969).
55 Ibid, h. 177
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Pendekatan Penelitian
Dalam penelitian ini pendekatan yang digunakan adalah yuridis normatif.
Pendekatan yuridis yaitu pendekatan dari aspek hukum dalam hal ini aturan
internasional yaitu Konvensi Internasional tentang Tanggung Jawab Perdata
Atas Kerusakan Akibat Pencemaran Oleh Minyak 1969 (Civil Liability
Convention 1969 (CLC 1969) beserta Protocol 1992 tentang Perubahan CLC
1969). Penelitian hukum normatif (yuridis normatif) merupakan penelitian
kepustakaan, yaitu penelitian terhadap bahan hukum, sebagai bahan utama
dalam penelitian ini.
B. Definisi Konseptual
1. Tanggung Jawab Pemilik Kapal Tanker
Adalah tanggung jawab dari orang atau orang-orang yang
terdaftar sebagai pemilik kapal atau, jika tidak ada pendaftaran, orang
atau orang-orang yang memiliki kapal tersebut. Dalam hal kapal tersebut
dimiliki oleh suatu negara dan dioperasikan oleh suatu perusahaan yang
dinegara tersebut terdaftar sebagai operator kapal, maka pemilik adalah
perusahaan tersebut.
2. Pencemaran Minyak di Laut
Merupakan pencemaran minyak yang berasal dari kapal, baik
tanker maupun non tanker, baik minyak sebagai muatan kapal dan atau
minyak dari kegiatan operasional kapal.
3. Kapal Tanker
Yang dimaksudkan sebagai kapal tanker adalah kapal-kapal yang
memiliki konstruksi yang ditujukan untuk mengangkut minyak secara
curah sebagai muatan (oil cargo) maupun sebagai bahan bakar kapal.
4. Kapal Non Tanker
Tergolong dalam kapal non tanker adalah kapal-kapal yang
konstruksinya tidak ditujukan untuk mengangkut minyak sebagai
muatan, namun hanya sebagai bahan bakar kapal, seperti kapal
pengangkut barang (cargo ships), Tug Boat, LCT (Landing Crafvt
Tank), kapal-kapal penumpang, dan kapal penyeberangan (feri).
5. Prinsip-prinsip Civil Liability Convention 1969
a. Pemilik kapal harus bertanggung jawab atas setiap kerusakan akibat
pencemaran yang disebabkan oleh minyak yang tumpah atau
terbuang dari kapal akibat kecelakaan;
b. Tiada tanggung jawab yang dibebankan kepada pemilik kapal atas
kerusakan akibat pencemaran jika ia dapat membuktikan kerusakan
itu diakibatkan karena :
i. Perang, permusuhan, perang saudara, pemberontakan atau
fenomena alam yang luar biasa, tidak terelakkan serta tidak
terhindarkan;
ii. Seluruhnya disebabkan oleh tindakan atau pengabaian yang
dilakukan oleh pihak ketiga dengan maksud untuk menimbulkan
kerusakan;
iii. Seluruhnya disebabkan oleh kealpaan atau oleh tindakan yang
salah lainnya dari suatu pemerintah atau instansi lain yang
bertanggung jawab atas pemeliharaan lampu-lampu suar atau
sarana bantu navigasi lainnya;
c. Jika pemilik dapat membuktikan bahwa kerusakan akibat
pencemaran itu disebabkan seluruhnya atau sebagian oleh tindakan
atau pengabaian yang bertujuan menimbulkan kerusakan oleh orang
yang menderita kerugian, pemilik dapat dibebaskan seluruhnya atau
sebagian dari tanggung jawabnya terhadap orang tersebut;
d. Gugatan ganti rugi kerusakan akibat pencemaran tidak dapat
dilakukan terhadap pemilik menurut cara lain selain menurut CLC
1969;
e. Pemilik kapal berhak membatasi tanggungjawabnya menurut CLC
1969 untuk setiap kecelakaan sampai jumlah keseluruhan sebesar
2000 Franc untuk tiap ton dari tonase kapal, dan jumlah keseluruhan
juga tidak akan melebihi 210 juta Franc.
C. Bahan Hukum
Jenis bahan hukum yang dipakai yang dipakai berupa :
a. Bahan Hukum Primer
Yaitu bahan hukum yang merupakan tempat untuk mengkaji
konsep hukum dalam penelitian ini. Bahan hukum ini terdapat dalam :
1. Konvensi Internasional tentang Tanggung Jawab Perdata Atas
Kerusakan Akibat Pencemaran Oleh Minyak 1969 (Civil Liability
Convention 1969 (CLC 1969) beserta Protocol 1992 tentang
Perubahan CLC 1969);
2. International Convention for The Prevention of Pollution from Ship
1973, Protocol 1978 (MARPOL 73/78);
3. Undang Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup;
4. KEPPRES No. 18 Tahun 1978 tentang Pengesahan The International
Convention On Civil Liability For Oil Pollution Damage 1969;
5. KEPPRES No. 46 Tahun 1986 tentang Pengesahan International
Convention for The Prevention of Pollution from Ship 1973 beserta
Protocol;
6. KEPPRES No. 20 Tahun 1996 tentang Pengesahan Liability
Convention 1972;
7. KEPPRES No. 52 Tahun 1999 tentang Pengesahan Protocol Of 1992
To Amend The International Convention On Civil Liability For Oil
Pollution Damage 1969;
8. Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 1999 tentang Pengendalian
Pencemaran dan/atau Pengrusakan Laut.
b. Bahan Hukum Sekunder
Merupakan bahan-bahan yang memberikan penjelasan mengenai
bahan hukum primer diatas, meliputi :
1. Buku-buku atau literatur-literatur yang berhubungan dengan
tanggung jawab, pencemaran lingkungan laut, klasifikasi kapal dan
lain-lain;
2. Karya tulis atau laporan penelitian yang relevan dengan tanggung
jawab, pencemaran lingkungan laut, klasifikasi kapal dan lain-lain;
3. Artikel-artikel yang didapatkan dari Internet dan Surat Kabar
mengenai tanggung jawab, pencemaran lingkungan laut, klasifikasi
kapal dan lain-lain;
4. Kasus-kasus pencemaran laut yang bersumber dari kapal yang terjadi
baik di Indonesia maupun Negara-negara peserta konvensi.
c. Bahan Hukum Tersier
Yaitu bahan-bahan yang memberikan petunjuk maupun
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder yaitu yang
tercantum dalam kamus hukum.
D. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Dalam penelitian ini dipergunakan metode penelusuran bahan yang diambil
dari hasil studi kepustakaan dan studi dokumen. Adapun alat bantu yang
dipergunakan dalam penelitian ini berupa mengkopi, mencatat langsung, dan
melakukan penafsiran dari bahan-bahan hukum yang ada.
E. Teknik Analisis
Bahan-bahan hukum yang diperoleh dalam penelitian ini akan diolah secara
deskriptif kualitatif, yaitu penjabaran atas bahan yang diperoleh kemudian
dianalisis pada konsep hukum yang diperoleh dari bahan hukum, dengan
penafsiran teleologis berdasarkan pada tujuan norma.
BAB IV
PEMBAHASAN
A. Tanggung Jawab Pemilik Kapal Tanker Dalam Pencemaran Minyak Di
Laut Yang Bersumber Dari Kapal Tanker Menurut Civil Liability
Convention 1969
Masalah pencemaran minyak di laut yang bersumber dari kapal
tanker menjadi salah satu masalah yang memerlukan perhatian yang sangat
besar dari semua pihak. Hal ini karena, dampak yang ditimbulkan oleh
pencemaran minyak tersebut tidak hanya muncul di laut, namun juga
berdampak pada ekosistem yang ada di pantai-pantai yang terdekat dengan
sumber pencemaran. Selain itu pencemaran yang terjadi dapat merusak biota
yang ada di laut yang pada akhirnya juga mengancam kehidupan manusia.
Kerusakan atas biota laut, ekosistem pantai, serta ancaman terhadap
kehidupan manusia sebagai akibat dari pencemaran minyak pada akhirnya
akan mengarah pada pertanyaan siapa yang bertanggung jawab atas semua
kerusakan tersebut. Untuk itu kemudian muncul suatu konvensi yang
mengatur tentang ganti rugi terhadap pencemaran minyak di laut disertai
batasan-batasan tanggung jawabnya. Konvensi mengenai tanggung jawab atas
pencemaran minyak di laut, dibentuk di Brussel pada tahun 1969 dan dikenal
dengan nama International Convention on Civil Liability for Oil Pollution
Damage 1969 atau lebih dikenal dengan Civil Liability Convention 1969 (CLC
1969), selanjutnya disebut sebagai Konvensi.
Konvensi mengatur tanggung jawab perdata yang timbul akibat
pencemaran minyak di laut yang bersumber dari kapal. Yang dimaksud kapal
disini adalah baik kapal pelayaran samudera dan kapal niaga yang dibangun
atau disesuaikan untuk mengangkut minyak curah sebagai muatan. Kapal jenis
ini lazim disebut dengan nama Kapal Tanker. Selain kapal tanker, ada juga
jenis kapal yang dapat mengangkut minyak bersama muatan lain (cargo).
Kapal jenis ini termasuk dalam jenis kapal yang dimaksudkan dalam Konvensi
hanya jika secara nyata kapal tersebut mengangkut minyak curah sebagai
muatan. Kapal jenis ini apabila sedang dipergunakan untuk mengangkut
minyak tidak boleh digunakan untuk mengangkut muatan lain secara
bersamaan.56
Tanggung jawab ganti rugi terhadap pencemaran minyak di laut
menurut Konvensi dibebankan kepada pemilik kapal tanker yang
menyebabkan terjadinya pencemaran. Pemilik kapal atau yang biasa disebut
sebagai “Owner Ship” dapat dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu :
1. Orang (pribadi) atau sekelompok orang atau badan hukum (perusahaan
pelayaran) baik yang terdaftar maupun yang tidak terdaftar sebagai
pemilik kapal. Bagi orang (pribadi) atau sekelompok orang yang terdaftar
sebagai pemilik kapal atau tidak, kapal yang dimilikinya hanya dapat
dioperasikan oleh perusahaan pelayaran negara setempat yang menjadi
rekanannya. Yang umum di Indonesia, biasanya pemilik kapal tersebut
adalah orang yang menjadi bagian dari perusahaan pelayaran itu sendiri.
56 Lihat Pasal I angka 1 Civil Liability Convention 1969 (Protocol 1992)
Sebagai contoh, Kapal LCT/KM SAS 05 pemilik (orang perorangan)
dioperasikan oleh PT. Syandi Arung Samudera Samarinda. 57 Dengan
menggunakan surat penunjukan pengoperasian kapal.58
2. Negara. Jika suatu Negara memiliki sebuah kapal, namun dioperasikan
oleh sebuah perusahaan yang terdaftar di Negara tersebut sebagai operator
kapal, maka kepemilikan kapal itu ditentukan atau dilihat dari Grosse Akte
pendaftaran (register) yang dimiliki oleh kapal tersebut.
Sebagai contoh, kapal-kapal milik Direktorat Jenderal Perhubungan Laut
yang dioperasikan oleh perusahaan pelayaran PT (Persero) Pelayaran
Nasional Indonesia (PELNI), kapal-kapal milik Direktorat Jenderal
Perhubungan Darat yang dioperasikan oleh Perum Angkutan Sungai,
Danau, dan Penyeberangan (ASDP) seperti kapal-kapal ferri yang
digunakan untuk penyeberangan dari pelabuhan Ketapang-Gilimanuk dan
Merak-Bakahauni.59
Jenis minyak yang diangkut sebuah kapal terdiri dari 2 jenis, yaitu :
1. Minyak yang diangkut dalam bentuk curah sebagai muatan kapal, dan
2. Minyak yang diangkut sebagai bahan bakar dan terdapat dalam tempat
penyimpanan kapal (tangki bahan bakar).
Dalam Konvensi, prinsip tanggung jawab yang digunakan adalah
tanggung jawab mutlak (strict liability). Artinya, apabila terjadi kecelakaan
57 Lihat Lampiran 58 Lihat Lampiran 59 Wawancara dengan Bapak Didik Moegiono S, SH, Kepala Bagian Tata
Usaha/HUMAS Kantor Administrator Pelabuhan Samarinda, mantan Kepala Seksi Dokumentasi dan Penerbitan Sertifikat Dana Jaminan Ganti Rugi Pencemaran Laut, Sub Direktorat Pencemaran Lingkungan Laut, Direktorat Perkapalan dan Pelayaran, Direktorat Jenderal Perhubungan Laut , tanggal 23 November 2007
kapal tanker yang mengakibatkan pencemaran laut, maka pemilik kapal dapat
dimintai tanggung jawab untuk mengganti segala kerugian yang timbul.60
Namun, hal tersebut mendapat perkecualian apabila pemilik dapat
membuktikan bahwa kerusakan disebabkan karena :
1. perang, permusuhan, perang saudara, pemberontakan, atau fenomena alam
yang luar biasa, yang tidak terelakkan, serta tidak terhindarkan,
2. adanya tindakan atau pengabaian dari pihak ketiga yang bertujuan
menimbulkan kerusakan,
3. adanya kealpaan atau tindakan yang salah dari pemerintah atau instansi
lain yang bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan atau penyediaan
sarana bantu navigasi dalam menjalankan fungsinya.
Apabila terbukti demikian, maka pemilik dibebaskan dari tanggung
jawabnya.61
Sebagai contoh, Indonesia tidak menyediakan atau memperbaiki
rambu-rambu navigasi yang diwajibkan secara internasional, sehingga
mengakibatkan kapal mengalami musibah atau bertabrakan. Contoh lain
yaitu, pada saat terjadi kecelakaan, Indonesia tidak memiliki peralatan-
peralatan penanggulangan pencemaran. Sedangkan untuk mendatangkan
peralatan tersebut dari Negara lain memakan waktu yang lama. Sehingga
minyak yang tumpah menyebar di laut. Demikian juga pemerintah Indonesia
tidak melakukan tindakan untuk berjaga-jaga serta memonitor dan mendeteksi
penyebaran minyak. Dengan demikian pemilik dapat dibebaskan dari
60 Lihat Pasal III ayat 1 Civil Liability Convention 1969 (Protocol 1992) 61 Lihat Pasal III ayat 2 Civil Liability Convention 1969 (Protocol 1992)
tanggung jawab kerusakan lingkungan dan atau yang sejenis yang
diakibatkan oleh pencemaran.62
Contoh di atas menunjukkan pelanggaran terhadap salah satu asas
hukum internasional, yaitu due diligence. Asas ini mewajibkan Negara-negara
untuk mengambil segala langkah yang dianggap perlu agar dapat dicegah
terjadinya pencemaran lingkungan laut tersebut. Adapun unsur-unsur
konstitutif yang terkandung dalam asas ini adalah :
1. Negara berkewajiban menciptakan peraturan dan ketentuan pelaksanaan
yang memadai baik untuk mencegah maupun menanggulangi terjadinya
pencemaran lingkungan dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan
hukum internasional yang berlaku,
2. Negara berkewajiban mengambil langkah-langkah yang layak dan pantas
untuk mencegah warga negaranya atau setiap orang dalam wilayahnya
untuk melakukan tindakan yang berakibat kerugian pada Negara lain.63
Penggunaan prinsip strict liability, meskipun pemilik memiliki
tanggung jawab untuk mengganti semua kerugian yang timbul akibat
pencemaran minyak di laut, namun pemilik memiliki hak untuk membatasi
pemberian ganti rugi yang akan diberikannya sebagaimana diatur dalam
Konvensi. Konvensi telah menyebutkan batasan minimum dan maksimum
yang harus diberikan oleh pemilik kapal sebagai biaya ganti kerugian.64
62 Wawancara dengan Bapak Didik Moegiono S, SH, Kepala Bagian Tata
Usaha/HUMAS Kantor Administrator Pelabuhan Samarinda, mantan Kepala Seksi Dokumentasi dan Penerbitan Sertifikat Dana Jaminan Ganti Rugi Pencemaran Laut , Sub Direktorat Pencemaran Lingkungan Laut, Direktorat Perkapalan dan Pelayaran, Direktorat Jenderal Perhubungan Laut , tanggal 23 November 2007
63 Komar Kantaatmadja II, op.cit. h.72 64 Lihat Pasal V Civil Liability Convention 1969 (Protocol1992)
Adanya jangkauan ganti rugi yang dimungkinkan berdasarkan CLC
1969 dengan berkembangnya industri tanker menjadi lebih besar, maka
diperlukan menambah besarnya ganti rugi dengan Funds Convention 1971.
Funds Convention 1971 bertujuan untuk menutup kerugian pihak-pihak yang
tidak terbayar karena telah dilampauinya batas tertinggi berdasarkan CLC
1969. Dalam Funds Convention 1971 daya berlakunya dibatasi pada tumpahan
yang disebabkan oleh minyak bumi (crude oil dan fuel oil) dalam arti
”persistent hydrocarbon mineral oil”. Hal ini berbeda dengan CLC 1969 yang
memiliki definisi lebih luas, yaitu “any persistent oil” termasuk crude oil, fuel
oil, heavy diesel oil, lubricating oil, dan whale oil.65
Menyangkut masalah ganti rugi pencemaran laut yang adil dan atau
tidak adil bagi para pihak memang sulit untuk mendapatkan jawabannya, hal
ini disebabkan menetapkan rumusan adil bagi para pihak mempunyai tolak
ukur sendiri-sendiri, dimana semakin mendekati keadilan bagi satu pihak
maka akan mengurangi kepastian hukum dipihak yang lain demikian
sebaliknya. Untuk itulah dalam proses tuntutan ganti rugi pencemaran laut
diperlukan adanya independent surveyor yang ditunjuk dan disepakati oleh
masing-masing pihak, adanya negosiasi antara para pihak apabila cara-cara ini
tidak dapat ditempuh maka proses tuntutan itu dimajukan ke Pengadilan
Negara setempat dimana lokasi pencemaran laut terjadi.
B. Prosedur Penyelesaian Ganti Rugi Atas Pencemaran Lingkungan Laut
Yang Bersumber Dari Kapal Tanker
65 Komar Kantaatmadja II, op.cit. h.76-77
Sebelum penulis menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan
prosedur penyelesaian ganti rugi pencemaran lingkungan laut yang bersumber
dari kapal tanker, perlu diuraikan terlebih dahulu sejauh mana kesiapan
Negara pantai apabila terjadi pencemaran lingkungan laut di wilayahnya,
karena hal tersebut tidak hanya cukup meratifikasi konvensi tentang Civil
Liability Convention 1969.
Negara pantai disamping telah meratifikasi Konvensi, juga harus
mempunyai kesiapan antara lain :
a. Telah menyiapkan sarana bantu navigasi pelayaran yang memadai
sebagaimana disyaratkan dalam ketentuan internasional (IMO);
b. Memiliki peralatan penanggulangan pencemaran laut yang memadai, yang
siap dipergunakan dan dimobilisasi sesegera mungkin apabila diperlukan,
berikut personil dan tenaga yang ahli untuk itu;
c. Setiap kapal yang mengibarkan bendera negaranya dan mengangkut
minyak dalam bentuk curah dalam jumlah 2000 ton atau lebih diwajibkan
memiliki asuransi dana jaminan ganti rugi pencemaran laut dan dilengkapi
dengan sertifikat dana jaminan ganti rugi pencemaran laut yang masih
berlaku yang diterbitkan oleh Negara bendera kapal.
Setiap Negara pantai tidak semata-mata, dalam hal terjadinya
pencemaran lingkungan laut, dapat menuntut ganti rugi kepada pemilik kapal
biaya-biaya kerugian dalam jumlah maksimal.
Beberapa kerugian lingkungan laut yang diakibatkan oleh
pencemaran lingkungan laut oleh minyak membutuhkan biaya yang cukup
besar, sehingga besar kemungkinan semua aset pemilik kapal yang dijual tidak
akan dapat memenuhi tuntutan ganti rugi untuk mengganti kerugian akibat
pencemaran lingkungan laut. Bagi Negara pantai pemulihan kerusakan
lingkungan laut membutuhkan waktu yang cukup lama disamping biaya yang
cukup besar, sehingga guna mengantisipasi tuntutan ganti rugi akibat
pencemaran laut yang cukup besar diperlukan keterlibatan lembaga
asuransi internasional (international insurance) yang sanggup menutupi ganti
rugi pencemaran lingkungan laut.
Lembaga asuransi sebagaimana dimaksud di atas salah satunya
adalah kumpulan lembaga asuransi di luar negeri yang diakui secara
internasional dan disebut P & I Club (Protection and Indemnity) yang
berpusat di London. Disamping itu ada juga dana jaminan ganti rugi yang
dihimpun oleh sekumpulan tanker owner ships yang disebut TOVALOP
(Tanker Owner Voluntary Agreement Concerning Liability for Oil Pollution)
dan CRISTAL (Contract Regarding an Interim Supplement to Tanker
Liability for Oil Pollution) yang merupakan kumpulan dari orang-orang
pemilik minyak yang diangkut oleh kapal tanker.66 Semua lembaga asuransi
internasional tersebut dan juga para kumpulan penghimpun dana jaminan ganti
rugi pencemaran laut berkewajiban untuk memberikan dana jaminan ganti rugi
bagi anggotanya apabila salah satu dari anggotanya dinyatakan melakukan
pencemaran laut.
Sebagai contoh sebuah kapal tanker milik suatu perusahaan atau
maskapai pelayaran dimana perusahaan tersebut menjadi anggota dari
TOVALOP dan mengangkut minyak (Crude Oil) dalam bentuk curah
66 Komar Kantaatmadja I, op.cit. h. 83-88
sebanyak 3500 ton milik salah satu perusahaan minyak yang menjadi anggota
dari CRISTAL. Pemilik kapal mengasuransikan muatan kapalnya yang
mengangkut minyak tersebut pada P & I Club dalam memenuhi persyaratan
Konvensi, apabila kapal mengalami musibah dan mengakibatkan pencemaran
laut di wilayah suatu Negara maka apabila besarnya tuntutan dari Negara
pantai yang tercemar melebihi dana yang ditutup oleh pihak P & I, maka
pemilik kapal sebagai salah satu anggota TOVALOP dapat mengajukan dana
tambahan dari TOVALOP untuk menutupinya. Apabila masih juga belum
dapat memenuhi, maka pemilik minyak sebagai anggota CRISTAL dapat
memberikan bantuan dana melalui CRISTAL. Sebagai pemilik kapal yang
menjadi anggota TOVALOP diwajibkan membayar sejumlah iuran yang telah
ditentukan baik terjadi musibah maupun tidak, demikian juga halnya terhadap
pemilik minyak sebagai anggota CRISTAL.67
Uraian diatas menunjukkan betapa besarnya biaya yang harus
dikeluarkan dan atau disiapkan oleh pemilik kapal tanker apalagi yang
termasuk dalam klasifikasi kapal tanker jenis VLCC dan atau ULCC apabila
terjadi kecelakaan atau musibah di laut dan mengakibatkan tumpahnya minyak
yang diangkut.
Beberapa rincian biaya-biaya umum yang biasa dipergunakan oleh
Negara pantai dalam hal melakukan tuntutan ganti rugi antara lain :
67 Wawancara dengan Bapak Didik Moegiono S, SH, Kepala Bagian Tata
Usaha/HUMAS Kantor Administrator Pelabuhan Samarinda, mantan Kepala Seksi Dokumentasi dan Penerbitan Sertifikat Dana Jaminan Ganti Rugi Pencemaran Laut , Sub Direktorat Pencemaran Lingkungan Laut, Direktorat Perkapalan dan Pelayaran, Direktorat Jenderal Perhubungan Laut , tanggal 23 November 2007
a. Biaya-biaya langsung yang berhubungan dengan kegiatan operasional
penanggulangan tumpahan minyak seperti, biaya penggunaan kapal-kapal
yang mendukung operasional, secara langsung maupun tidak langsung,
penanggulangan pencemaran, biaya peralatan-peralatan penanggulangan
seperti Oil Boom, Oil Skimmer, Dispersant, Sorbent, dan peralatan
lainnya;
b. Biaya-biaya tidak langsung yang dipergunakan untuk pembersihan
lingkungan laut di sekitar tumpahan minyak, misalnya hutan bakau yang
terkena langsung maupun tidak langsung dari tumpahan minyak, pantai
lingkungan perkampungan nelayan, pantai tempat wisata dan lain
sebagainya;
c. Biaya-biaya langsung yang dikeluarkan untuk penelitian laboratorium
contoh, penelitian laboratorium terhadap air laut yang terkena tumpahan
minyak; dan
d. Biaya langsung yang dikeluarkan untuk independent surveyor dan lain
sebagainya.
Selain biaya-biaya yang disebutkan di atas, Negara pantai yang
perairan lautnya terkena langsung maupun terkena dampak tumpahan minyak
akan mengajukan biaya-biaya tidak langsung atas “pemulihan“ daerah atau
wilayah yang terkena dampak tumpahan minyak, yang mana menghitung
biaya untuk keperluan ini membutuhkan ketelitian dan kecermatan serta data
dukung yang cukup kuat untuk dapat meyakinkan pihak-pihak yang berkaitan
dengan ganti rugi.
Proses gugatan ganti rugi pencemaran laut yang bersumber dari
kapal tangki minyak dapat diuraikan dalam tahapan sebagai berikut :
Pertama, Kapal berbendera Indonesia atau berbendera asing yang
mengalami musibah atau kecelakaan dan mengakibatkan tumpahan minyak,
segera pada kesempatan pertama memberitahukan kepada Pejabat Negara
yang ditunjuk untuk itu, di Indonesia adalah Kantor Administrator Pelabuhan
(ADPEL)/Syahbandar (Harbour Master) terdekat dimana musibah terjadi;68
Kedua, ADPEL/Syahbandar dengan kewenangannya memerintahkan
unit kapal-kapal pengamanan untuk mengamankan lalu lintas kapal yang
berlayar mendekati dan atau berada di sekitar lokasi tumpahan minyak dan
apabila diperlukan melakukan evakuasi terhadap awak kapal, yang dapat
diduga kapal akan berakibat fatal (terbakar dan atau tenggelam) serta
memantau penyebaran minyak sesuai dengan arah angin, pasang surut air, dan
gelombang sebelum kapal pembawa peralatan untuk penanggulangan, Oil
Boom, skimmer, dispersant, dan lain-lain, tiba di lokasi;
Ketiga, Kapal pengaman mengambil contoh air laut yang bercampur
minyak yang pada gilirannya dibawa ke laboratorium untuk diperiksa jenis
minyak, kandungan minyak dan tingkat ambang batas untuk dapat dinyatakan
masuk dalam kategori pencemaran atau pengotoran. Hasil dari pemeriksaan
laboratorium inilah yang dipakai sebagai salah satu data pendukung untuk
mengajukan tuntutan ganti rugi;
Keempat, kapal-kapal pengamanan mendata berapa luas minyak
yang tumpah mencemari dan atau mengotori pantai, melakukan pembersihan
68 Lihat Pasal 88 ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2002 tentang
Perkapalan
sesegera mungkin apabila memungkinkan, apakah perlu dilakukan pemulihan
lingkungannya terutama apabila ada di lingkungan daerah nelayan yang
terkena dampak pencemaran yang akan sangat berpengaruh terhadap kegiatan
sosial ekonomi dan mata pencaharian para nelayan dan atau kerugian yang
diderita apabila di wilayah terdekat terdapat pantai wisata dan lain sebagainya;
Kelima, berdasarkan tahapan kegiatan-kegiatan sebagaimana yang
disebutkan pada tahapan pertama sampai dengan keempat serta rincian biaya
yang timbul, maka Negara pantai yang perairannya tercemar mengajukan
tuntutan ganti rugi kepada pemilik kapal, ganti rugi meliputi biaya-biaya
langsung maupun tidak langsung yang dikeluarkan oleh Negara pantai yang
perairannya tercemar, sepanjang Negara pantai telah melakukan tindakan-
tindakan sebagaimana yang disyaratkan dalam konvensi internasional baik
yang menyangkut masalah pelayaran dan keselamatan jiwa dilaut maupun
masalah yang berkaitan dengan pencemaran laut.
Keenam, Negara yang perairan lautnya tercemar bersama dengan
pemilik kapal serta pihak asuransi melakukan negosiasi atas besaran tuntutan
ganti rugi yang diajukan Negara pantai, apabila tercapai kesepakatan maka
pemilik bersama pihak asuransi akan memberikan ganti rugi sebagaimana
yang disepakati, namun apabila tidak, permasalahan tuntutan akan diajukan ke
pengadilan setempat di Negara yang pantainya tercemar tumpahan minyak.69
69 Wawancara dengan Bapak Didik Moegiono S, SH, Kepala Bagian Tata
Usaha/HUMAS Kantor Administrator Pelabuhan Samarinda, mantan Kepala Seksi Dokumentasi dan Penerbitan Sertifikat Dana Jaminan Ganti Rugi Pencemaran Laut , Sub Direktorat Pencemaran Lingkungan Laut, Direktorat Perkapalan dan Pelayaran, Direktorat Jenderal Perhubungan Laut , tanggal 23 November 2007
Konvensi mensyaratkan setiap kapal yang berlayar dan mengangkut
minyak dalam bentuk curah sebanyak 2000 ton atau lebih wajib memiliki
sertifikat dana jaminan ganti rugi pencemaran laut yang dikeluarkan oleh
Negara bendera kapal.70 Untuk mendapatkan sertifikat dana jaminan ganti rugi
pencemaran laut pemilik kapal harus memenuhi syarat yaitu memiliki dan
menunjukkan sertifikat atau polis dana jaminan ganti rugi pencemaran laut
yang diterbitkan oleh assuransi dalam hal ini adalah P & I Club.71 Dengan
demikian, apabila terjadi pencemaran laut pihak asuransi akan menetapkan
berapa besarnya ganti rugi secara riil berdasarkan data yang dapat
dipertanggungjawabkan dari surveyor asuransi dan atau surveyor independent
kepada Negara yang perairannya tercemar .
Sebagai contoh, sebuah kapal tanker berbendera Jepang yang akan
memuat dan mengangkut minyak sebanyak 6000 ton dan akan berlayar
menuju Indonesia, maka pemilik kapal harus terlebih dahulu mendapatkan
polis asuransi dana jaminan ganti rugi pencemaran laut dari P & I Club yang
masih berlaku dengan cara pemilik kapal menutup atau membayar premi
asuransi yang jumlahnya ditentukan dan disyaratkan oleh P & I Club. Pemilik
kapal mengajukan permohonan untuk mendapatkan sertifikat dana jaminan
ganti rugi bagi kelengkapan dokumen kapalnya kepada pemerintah Jepang
dengan menunjukkan polis asuransi yang asli, pemerintah Jepang setelah
meneliti kebenaran dan keaslian serta keabsahan polis asuransi maka
diterbitkan Sertifikat Dana Jaminan Ganti Rugi Pencemaran Laut yang bentuk
formatnya sudah ditetapkan oleh Konvensi dan mempunyai kekuatan berlaku
70 Lihat Lampiran 71 Lihat Lampiran
secara internasional, selanjutnya kapal berlayar ke Indonesia. Pada salah satu
perairan yang menjadi wilayah yurisdiksi pemerintah Indonesia, kapal
mengalami musibah menabrak karang yang disebabkan oleh kesalahan
Nakhoda dan perwira kapal yang tidak melakukan tata cara pelayaran yang
aman dan benar, sehingga mengakibatkan minyak yang diangkut tumpah dan
mengakibatkan pencemaran. Berdasarkan data-data yang dapat
dipertanggungjawabkan, pemerintah Indonesia mengajukan tuntutan ganti rugi
kepada pemilik kapal. Kemudian pemilik kapal bersama-sama dengan pihak
asuransi mempelajari tuntutan ganti rugi yang diajukan pemerintah Indonesia.
Dalam hal ini pihak asuransi akan melibatkan surveyor dan atau surveyor
independent guna menetapkan apakah tuntutan yang diajukan oleh pemerintah
Indonesia masih dalam batas wajar dan riil sesuai dengan fakta lapangan.
Apabila wajar dan riil, maka pemilik meminta kepada P & I untuk membayar
tuntutan ganti rugi pemerintah Indonesia, dan apabila ada keraguan terhadap
tuntutan ganti rugi yang diajukan oleh pemerintah Indonesia, maka akan
dilakukan negosiasi sampai tercapai kesepakatan, setelah tercapai kesepakatan
maka pihak pemilik kapal dan P & I akan membayar tuntutan ganti rugi
tersebut, namun apabila negosiasi juga tidak tercapai kata sepakat maka pihak
pemerintah Indonesia akan mengajukan tuntutan melalui pengadilan dan
pengadilan akan menetapkan dan atau memutuskan berapa yang harus dibayar
oleh pihak pemilik kapal dan P & I Club.
Khususnya di Indonesia sebelum diajukan ke pengadilan maka
diperlukan suatu penetapan dan atau keputusan dari Mahkamah Pelayaran
dimana lembaga ini akan menguji dan menyidangkan Nakhoda dan para
perwira kapal serta anak buah kapal yang diperlukan, untuk mengetahui
apakah tata cara berlayar sudah dilakukan dan atau dipenuhi sesuai dengan
ketentuan peraturan hukum pelayaran dan perkapalan serta tindakan berjaga-
jaga secara internasional.
C. Prinsip-prinsip Dalam Civil Liability Convention 1969 Jo. Protocol 1992
Yang Dapat Berlaku Untuk Pencemaran Yang Berasal Dari Kapal-kapal
Lain Yang Tidak Termasuk Dalam Kriteria Konvensi
Dalam Konvensi terdapat beberapa hal yang menjadi prinsip dalam
hal pencemaran minyak bersumber dari kapal. Pada dasarnya, beberapa dari
prinsip tersebut dapat berlaku bagi kapal-kapal lain, selain kapal pengangkut
minyak yang mengangkut minyak sebagai muatan dalam jumlah 2000 ton
keatas. Prinsip utama yang menyatakan bahwa “pemilik kapal harus
bertanggung jawab atas setiap kerusakan akibat pencemaran yang
disebabkan oleh minyak yang tumpah atau terbuang dari kapal akibat
kecelakaan” tidak hanya berlaku bagi kapal tanker tapi juga kapal lainnya.
Hanya saja jika dalam Konvensi yang dimaksudkan dengan minyak yang
tumpah atau terbuang adalah muatan minyak curah, bukan minyak yang
berasal dari tangki bahan bakar kapal.
Untuk kapal-kapal yang tidak mengangkut minyak sebagai muatan
dapat dilihat pada Undang Undang Pelayaran yang menyatakan bahwa,
pemilik atau operator kapal juga bertanggung jawab terhadap pencemaran
yang bersumber dari kapalnya.72 Dalam undang-undang ini juga disebutkan
72 Lihat Undang Undang No 21 Tahun 1992 Tentang Pelayaran Pasal 68 ayat 1
bahwa pemilik atau operator wajib mengasuransikan tanggung jawabnya.73
Akan tetapi tidak disebutkan dengan jelas apa saja yang harus diasuransikan.
Kemudian sebagaimana prinsip yang terdapat dalam Konvensi
dimana pemilik kapal dibebaskan dari tanggung jawab apabila ia dapat
membuktikan bahwa pencemaran tersebut disebabkan oleh hal-hal luar biasa
yang tidak dapat dihindarkan. Dalam hal pencemaran tersebut disebabkan oleh
tindakan pihak ketiga yang bermaksud menimbulkan kerusakan, serta adanya
kelalaian atau kealpaan dari pemerintah setempat yang bertanggung jawab atas
tersedianya dan atau terawatnya sarana bantu navigasi (Aid to Navigation)
seperti Menara Suar dan atau pelampung atau rambu suar, untuk di perairan
internasional atau perairan bebas pencemaran disebabkan karena kesalahan
konstruksi teknis kapal, adanya gangguan alam yaitu gelombang besar, badai
dan atau sejenisnya yang juga biasa disebut force majeur.
Jika pemilik dapat membuktikan bahwa kerusakan akibat
pencemaran itu disebabkan seluruhnya atau sebagian oleh tindakan atau
pengabaian yang bertujuan menimbulkan kerusakan oleh orang yang
menderita kerugian, pemilik dapat dibebaskan seluruhnya atau sebagian dari
tanggung jawabnya terhadap orang tersebut.
Apabila dalam Konvensi dijelaskan bahwa “Pemilik kapal berhak
membatasi tanggungjawabnya menurut CLC 1969 (Protokol 1992)”, maka
hal tersebut juga dapat berlaku bagi kapal-kapal lain yang tidak termasuk
dalam Konvensi.
73 Lihat Undang Undang No 21 Tahun 1992 Tentang Pelayaran Pasal 68 ayat 2
Bagi Negara-negara peserta penandatangan UNCLOS 1982 dan atau
CLC 1969 beserta Protocol 1992, wajib melakukan perlindungan hukum
terhadap wilayah perairan lautnya dengan membuat peraturan perundang-
undangan yang mengatur tentang segala hal yang menyangkut pencemaran
laut dan atau perlindungan lingkungan laut dari bahaya pengotoran dan
pencemaran laut yang bersumber dari kapal. Umumnya Negara-negara pantai
dalam membuat ketentuan peraturan memberlakukan bukan hanya terhadap
kapal yang mengangkut minyak sebagai muatan saja, akan tetapi segala
bentuk minyak yang ada di atas kapal baik sebagai muatan dan atau sebagai
bagian dari kegiatan operasional kapal, disamping itu selain minyak juga
pengotoran dan atau pencemaran baik yang bersumber dari kapal dan atau dari
daratan berupa limbah padat atau cair seperti sampah (Garbage), limbah padat
atau bahan cair beracun (Hazardous), pembersihan tangki kotoran tinja
(Sewage tank cleaning), barang-barang berbahaya mudah terbakar (Dangers
goods) berupa kimia padat, cair (liquid) dan gas. Dimasukkannya atau
masuknya limbah padat atau limbah cair serta gas ke dalam lingkungan
perairan laut yang dimaksud dalam uraian ini adalah baik secara sengaja
maupun tidak sengaja sehingga dapat mengakibatkan timbulnya pengotoran
dan atau pencemaran laut.74
Beberapa ketentuan yang berlaku di Indonesia yang mengatur hal
tersebut di atas antara lain, Reden Reglement 1925 (Peraturan Bandar Tahun
1925), Undang Undang tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup Nomor 23
Tahun 1997, Undang Undang tentang Pelayaran Nomor 21 Tahun 1992,
74 Dimyati Hartono, op.cit. h. 246
Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2002 dan beberapa peraturan
pelaksananya.
Guna pemberlakuan atas ketentuan perundangan yang berlaku di
Indonesia yang perlu ditetapkan lebih awal dalam menangani permasalahan
pengotoran dan atau pencemaran yang terjadi di luar ketentuan CLC 1969
adalah dari manakah sumber penyebab pengotoran dan atau pencemaran itu
sendiri. Hal ini sangat penting karena bukan tidak mungkin pengotoran dan
atau pencemaran yang bersumber dari daratan mengalir ke laut, demikian pula
sebaliknya. Dengan diketahuinya asal sumber penyebab lebih awal maka akan
dapat diberlakukan ketentuan peraturan yang dapat diberlakukan, selanjutnya
akan ditentukan siapa saja (Instansi Pemerintah, badan hukum, swasta,
perorangan) yang harus terlibat untuk menangani, berapa luas wilayah
perairan atau daratan yang terkena pengotoran dan atau pencemaran, dampak
apa yang timbul atas terjadinya pengotoran dan atau pencemaran tersebut,
siapa yang harus bertanggung jawab atas segala kerugian yang timbul, serta
besarnya ganti rugi yang harus ditanggung.
Sebagai contoh gambaran adanya limbah minyak kotor yang
bersumber dari daratan (sebuah pabrik) dibuang pada malam hari melalui
aliran sungai yang mengalir ke laut. Pada keesokan harinya minyak kotor
tersebut menempel pada badan kapal yang sedang berlabuh di pelabuhan.
Sedangkan data yang ada pada kapal, tidak terdapat catatan dalam buku jurnal
harian kapal bahwa terdapat kegiatan kapal melakukan pembuangan limbah
minyak kotor. Disamping itu kapal dilengkapi dengan peralatan OWS (Oily
Water Separator) yang berfungsi dengan baik. Untuk mencari sumber
pengotoran dan atau pencemaran di darat memerlukan waktu, sehingga
dimungkinkan minyak kotor yang terbuang dari daratan atau pabrik tidak
terdeteksi dengan baik mengingat jumlah pabrik yang ada di sekitar lokasi
cukup banyak serta panjangnya aliran sungai.
Contoh kasus pencemaran yang bersumber dari kapal yang
mengangkut minyak curah sebagai muatan dibawah 2000 ton adalah
sebagaimana kasus yang baru terjadi pada saat tulisan ini sedang dibuat, yaitu
terbaliknya kapal tanker MT. Kharisma Selatan dengan isi kotor 314 Gross
Tonage (GT. 314), bendera Indonesia milik PT. Pelayaran Pacific Selatan,
Jakarta, pada tanggal 18 Desember 2007 pukul 01.30 WIB, dimana MT.
Kharisma Selatan yang sedang melakukan pemuatan minyak jenis MFO
(Marine Fule Oil) di dermaga Mirah Tanjung Perak Surabaya terbalik dan
mengakibatkan pencemaran perairan laut di sekitar dermaga Mirah Tanjung
Perak Surabaya.75 Upaya atau langkah yang diambil instansi yang berwenang
dalam hal ini adalah Administrator Pelabuhan (ADPEL) Tanjung Perak dan
seluruh jajaran di bawah koordinasinya adalah melakukan upaya
penanggulangan pencemaran minyak yang tumpah dengan mengerahkan
segala peralatan penanggulangan berupa Oil Boom untuk melokalisir minyak
yang tumpah agar tidak meluas, dan membersihkan tumpahan minyak yang
sedang dilokalisir dengan menyemprotkan cairan kimia yang disebut
Dispersant serta menyiapkan alat penghisap minyak yang disebut Oil
Skimmer, disamping berupaya untuk mengapungkan kembali kapal dan
mengevakuasi Awak kapal atau Crew Kapal serta memindahkan muatan
75 http://www.liputan6.com/daerah/?id=152324, Tanker Kharisma Selatan
Tenggelam, diakses tanggal 20 Desember 2007
minyak dari kapal agar tidak menjadi pencemaran yang lebih besar baik dilihat
dari sisi kualitas, kuantitas maupun daerah yang tercemar. Adapun sanksi dan
ganti rugi yang akan dijatuhkan serta siapa yang bertanggung jawab masih
memerlukan waktu yang lama untuk bisa ditetapkan. Sampai saat tulisan ini
dibuat pihak ADPEL Tanjung Perak Surabaya dan atau Kepala Bidang
Kesyahbandaran Kantor ADPEL Tanjung Perak Surabaya, belum melakukan
tindakan-tindakan yang bersifat law enforcement dan masih berkonsentrasi
pada upaya penanggulangan secara umum dan teknis.
Era tahun 1980 sampai sekarang, khususnya di Indonesia,
perkembangan moda transportasi laut khususnya yang dipergunakan untuk
mengangkut minyak dalam bentuk curah dalam jarak pelayaran dekat atau
antar pulau tidak hanya menggunakan kapal jenis tanker, namun juga kapal-
kapal non tanker yang tidak dibangun atau disesuaikan khusus untuk
mengangkut minyak dalam bentuk curah akan tetapi dalam kenyataannya
dipergunakan mengangkut minyak dalam bentuk curah, seperti jenis Landing
Craft Tank (LCT), dan Ponton (Barge). Kedua jenis kapal ini dibangun untuk
angkutan barang atau kargo, akan tetapi juga dipergunakan mengangkut
minyak. Secara operasional apabila kapal tersebut mengangkut minyak maka
kapal tersebut dilarang membawa muatan barang di atas geladak utamanya.76
Kedua jenis kapal non tanker ini ada yang dapat mengangkut minyak
dalam bentuk curah dengan kapasitas muat sebanyak 2000 ton atau lebih
untuk melayani permintaan kapal-kapal yang ada di tengah laut yang
memerlukan bahan bakar atau untuk keperluan distribusi pada depot minyak
76 Lihat Pasal 1 angka 1 Civil Liability Convention 1969 (Protocol 1992)
di daerah atau pulau-pulau yang tidak dapat dilayari oleh kapal tanker karena
tidak memiliki kedalaman air yang cukup dalam. Sedangkan kapal-kapal yang
dimaksud dalam Konvensi memerlukan kedalaman (draft) air yang dalam.
Dalam arti bahwa kapal (kapal non tanker) yang dimaksud dalam Konvensi,
saat konvensi dibuat, kapal non tanker adalah sejenis kapal kargo yang direka
bentuk ruang pemuatannya sehingga dapat memuat minyak dalam jumlah
yang besar atau lebih dari 2000 ton. Bentuk konstruksi kapal tanker itu sendiri
secara teknis konstruksi berbeda dengan kedua jenis kapal tersebut di atas
(LCT dan Barge) yang tidak memerlukan air dalam, tipe kapal LCT dan Barge
ini banyak digunakan khususnya di Indonesia. Disamping alasan kedalaman
air, penggunaan kapal-kapal non tanker untuk mengangkut minyak dalam
bentuk curah ini dapat dimengerti mengingat peningkatan penggunaan minyak
di daerah dan atau pulau-pulau sejalan dengan berkembangnya industri
maupun keperluan lainnya di daerah atau pulau itu yang tidak dapat dilayani
dengan menggunakan kapal tanker serta terbatasnya jumlah kapal-kapal jenis
tanker yang berukuran kecil.
Konvensi menyatakan setiap kapal yang mengangkut minyak dalam
bentuk curah sebagai muatan dalam jumlah 2000 ton atau lebih diwajibkan
memiliki sertifikat dana jaminan ganti rugi pencemaran laut, namun Konvensi
tidak secara tegas menyatakan jenis kapal. Penekanan dalam Konvensi adalah
kapal dalam bentuk atau jenis apapun (kapal tanker dan atau non tanker) yang
mengangkut minyak dalam jumlah 2000 ton atau lebih.
Berkaitan dengan ketentuan yang dimaksud dalam Konvensi adalah
bahwa kapal, sebagaimana dimaksud dalam Konvensi, dapat dipastikan kapal
tanker maupun non tanker yang mengangkut minyak dalam jumlah 2000 ton
atau lebih wajib dilengkapi dengan sertifikat Dana Jaminan Ganti Rugi
Pencemaran dan Polis dana jaminan ganti rugi pencemaran, sedangkan kapal
jenis non tanker apabila dapat dibuktikan mengangkut minyak dalam bentuk
curah sebagai muatan dalam jumlah kurang dari 2000 ton dapat diartikan tidak
wajib memiliki sertifikat dana jaminan ganti rugi pencemaran. Namun
demikian bukan berarti Pemilik kapal, Operator Kapal dan atau Nakhoda
kapal non tanker yang mengangkut minyak sebagai muatan curah dengan
jumlah kurang dari 2000 ton terlepas dan atau tidak dapat dikenakan sanksi
dan atau tanggung jawab atas terjadinya pencemaran. Konvensi juga
menyatakan Negara peserta penandatangan Konvensi diwajibkan melindungi
wilayah perairan lautnya dari bahaya pencemaran lingkungan laut oleh minyak
yang bersumber dari kapal yang tidak terkena ketentuan Konvensi dengan
ketentuan peraturan nasionalnya.
Pemilik kapal, Operator kapal dan atau Nakhoda kapal yang
mengangkut minyak sebagai muatan curah dengan jumlah kurang dari 2000
ton tetap dapat dikenakan sanksi dan tanggung jawab atas terjadinya
pencemaran laut yang bersumber dari kapal milik atau kapal yang
dioperasikannya, berdasarkan ketentuan peraturan yang berlaku di Negara
yang memiliki kedaulatan atas perairan laut yang tercemar.77
Ketentuan peraturan yang berlaku di Indonesia, pengertian kapal
lebih jelas dan tegas, adalah dalam Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 angka 2
Undang Undang Nomor 21 tahun 1992 tentang Pelayaran dan Peraturan
77 Lihat Pasal 120 Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2002 tentang Perkapalan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 51 tahun 2002 tentang Perkapalan,
menyatakan bahwa kapal adalah kendaraan air dengan bentuk dan jenis
apapun, yang digerakkan dengan tenaga mekanik, tenaga angin, atau ditunda,
termasuk kendaraan yang berdaya dukung dinamis, kendaraan bawah
permukaan air, serta alat apung dan bangunan terapung yang tidak berpindah-
pindah.78
Berdasarkan pengertian tersebut di atas di Indonesia terdapat kapal
tidak dibangun dan disesuaikan secara khusus untuk mengangkut minyak
dalam bentuk curah yang dalam kenyataannya dipergunakan dan dioperasikan
untuk mengangkut minyak dalam bentuk curah yaitu jenis atau tipe kapal
Landing Craft Tank (LCT) yang digerakkan secara mekanis dan Ponton
(Barge) yang digerakkan secara ditunda dengan kapal jenis Tug Boat. Apapun
jenisnya kapal itu apabila melakukan pengotoran dan atau pencemaran laut di
wilayah yurisdiksi perairan laut Indonesia akan diberlakukan ketentuan
peraturan yang berlaku dan diatur antara lain dalam Reden Reglement
(Peraturan Bandar) tahun 1925 (Pasal 16 dan 21), Undang Undang tentang
Pelayaran Nomor 21 tahun 1992 (Pasal 65 sampai dengan Pasal 68) dan
Peraturan Pemerintah tentang Perkapalan Nomor 51 Tahun 2002 (Pasal 110
sampai dengan Pasal 125). Mengenai siapa yang bertanggung atas terjadinya
pencemaran laut yang bersumber dari kapal, baik Undang Undang Nomor 21
tahun 1992 (Pasal 68) maupun Peraturan Pemerintah Nomor 51 tahun 2002
(Pasal 120), jelas menetapkan Pemilik Kapal (Owner Ships) atau operator
78 Lihat Pasal 1 angka 2 Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2002 tentang
Perkapalan
kapal, bertanggung jawab terhadap penanggulangan pencemaran dan kerugian
yang diakibatkan oleh pencemaran yang bersumber dari kapalnya.
Undang-undang Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup yang merupakan penyempurnaan dari Undang Undang
Nomor 4 tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan
Lingkungan Hidup, yang pada dasarnya mengatur pengelolaan, pelestarian,
pengembangan lingkungan hidup dan lain sebagainya yang bersifat umum.
Demikian pula pengertian pencemaran dan sumbernya juga bersifat umum.
Pasal 35 angka 1 dan angka 2 Undang Undang Nomor 23 tahun 1997 sudah
mencerminkan pokok-pokok ketentuan peraturan sebagaimana yang dimaksud
dalam Konvensi, Undang Undang Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran
dan Peraturan Pemerintah Nomor 51 tahun 2002 tentang Perkapalan
khususnya yang menyangkut siapakah yang bertanggung jawab mutlak atas
terjadinya pencemaran. Perbedaannya, dalam Konvensi, Undang Undang
Nomor 21 tahun 1992 maupun Peraturan Pemerintah Nomor 51 tahun 2002
mengatur secara tegas jenis pencemaran dan sumber pencemarannya,
sedangkan Undang Undang Nomor 23 tahun 1997 tidak mengatur secara tegas
pencemaran yang disebabkan oleh minyak maupun sumbernya. Sehingga
dalam hal terjadinya pencemaran minyak di laut yang bersumber dari kapal
akan diterapkan ketentuan dalam Konvensi atau Undang Undang Nomor 21
tahun 1992 dan Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2002, sedangkan yang
menyangkut kerusakan lingkungan secara umum diberlakukan Undang
Undang Nomor 23 tahun 1997, dengan demikian masing-masing ketentuan
peraturan tersebut di atas dapat diterapkan secara bersama-sama dalam hal
terjadinya pencemaran minyak di laut yang bersumber dari kapal yang
berdampak pada kerusakan dan atau tercemarnya lingkungan.
Bagi Negara peserta Konvensi langkah-langkah yuridis yang perlu
disiapkan adalah menyusun dan menetapkan ketentuan peraturan nasional di
bidang pencemaran lingkungan laut dan atau perairan di sekitarnya, dalam hal
ini ketentuan peraturan oleh masing-masing Negara peserta Konvensi sesuai
dengan kebutuhannya dengan berpegang atau berpedoman pada tatanan
hukum internasional yang berlaku. Tidak kalah pentingnya dalam masalah
pencemaran laut yang bersumber dari kapal ini adalah perlunya diperhatikan
bagi Negara pantai adanya suatu ketentuan yang berbentuk perjanjian kerja
sama atau Nota Kesepahaman atau Memorandum of Understanding (MoU)
baik yang bersifat Bilateral dan atau Multilateral apabila memiliki wilayah
perairan laut yang berbatasan dengan Negara lain (Negara tetangga).
Perjanjian atau MoU tersebut akan dapat memecahkan masalah yang terjadi
baik dari segi upaya penanggulangan dan atau tuntutan ganti rugi kepada
pemilik kapal, apabila terjadi pencemaran yang bersumber dari kapal dan
mencemari perairan laut wilayah yang menjadi yurisdiksi masing- masing
Negara. Misalnya antara Indonesia, Malaysia dan Singapura, antara Indonesia,
Malaysia dan Filipina serta antara Indonesia, Papua dan Australia.
Salah satu contoh adalah, guna mengurangi atau memperkecil
kecelakaan kapal di perairan Selat Malaka yang mempunyai frekuensi lalu
lintas pelayaran yang sangat padat khususnya bagi kapal-kapal tanker
pengangkut minyak yang mempergunakan Selat Malaka sebagai jalur
pelayaran terpendek untuk melayari rute dari Samudera Pasifik ke Samudera
Hindia dan sebaliknya, maka diberlakukan Traffic Separation Scheme (TSS)
yang ditanda tangani bersama oleh Pemerintah Indonesia, Malaysia dan
Singapura.79
Contoh lainnya adalah adanya latihan bersama operasi
penanggulangan pencemaran laut oleh minyak yang bersumber dari kapal
yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia, Malaysia, Singapura dan
Philipina, yang dilaksanakan secara bergiliran di masing-masing wilayah
Negara peserta. Apabila diperhatikan TSS maupun latihan bersama ini, hanya
terlihat penekanan terhadap hal-hal yang bersifat teknis koordinasi upaya awal
pencegahan dan penanggulangan pencemaran di laut yang bersumber dari
kapal. Sedangkan tindakan hukum dalam bentuk tatanan aturan yang
mengarah pada kesepahaman bersama tentang langkah yuridis, hak dan
kewajiban Negara peserta, aturan klaim ganti rugi atas pencemaran laut yang
mencemari masing-masing wilayah laut Negara yang saling berbatasan belum
ada.
Ketentuan-ketentuan peraturan dalam perundang-undangan di
Indonesia yang mengatur tentang pencegahan dan penanggulangan
pencemaran laut oleh minyak yang bersumber dari kapal sudah terdapat dalam
Undang Undang Nomor 23 tahun 1997, Undang Undang Nomor 21 tahun
1992 dan Peraturan Pemerintah Nomor 51 tahun 2002. Akan tetapi peraturan
pelaksananya seperti, Peraturan Presiden, Keputusan Presiden, Keputusan
Menteri, Instruksi Menteri dan lain sebagainya yang diperlukan untuk
mengatur secara rinci tentang tata cara klaim ganti rugi, prosedur tata cara
79 Traffic Separation Scheme (TSS) yang dibuat antara Indonesia, Malaysia, dan Singapura disahkan oleh IMO dengan Resolusi IMO No.A.3759X tanggal 14 November 1977 di London.
gugatan atau klaim ganti rugi, sanksi dan lain sebagainya belum dapat
semuanya diterbitkan, hal ini disebabkan adanya Lembaga atau Instansi
Pemerintah yang terkait yang akan terlibat di dalam penyusunannya.
Peraturan-peraturan pelaksana inilah yang sangat diharapkan segera dapat
diterbitkan guna mengantisipasi apabila terjadi pengotoran dan atau
pencemaran di wilayah perairan laut dalam yurisdiksi Negara Indonesia.
Peraturan-peraturan pelaksana dimaksud akan melibatkan baik secara
internal Departemen yang berwenang maupun lintas sektoral lintas
Departemen yang terkait, seperti misalnya Departemen Perhubungan,
Departeman Kelautan, Kementerian Negara Lingkungan Hidup, Kejaksaan
Agung serta Pengadilan Tinggi dan para ahli di lingkungan Perguruan Tinggi.
Peraturan-peraturan pelaksana ini akan menjadi landasan hukum dalam hal
proses hukum atau prosedur pengajuan tuntutan ganti rugi terhadap siapa yang
bertanggung jawab atas kasus terjadinya pencemaran lingkungan laut yang
bersumber dari kapal di wilayah perairan laut Indonesia, sehingga Indonesia
dapat segera menerima klaim dan atau tuntutan ganti rugi atas pencemaran
laut yang bersumber dari kapal, atas biaya-biaya yang dikeluarkan untuk
melakukan operasi penanggulangan, pembersihan perairan laut yang tercemar
dan sekitarnya serta perbaikan-perbaikan dan atau pemulihan lingkungan
hidup dan habitatnya serta biota laut yang tercemar.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. International Convention on Civil Liability for Oil Pollution Damage 1969
atau Civil Liability Convention 1969 (CLC 1969), mengatur tanggung
jawab perdata yang timbul akibat pencemaran minyak di laut yang
bersumber dari kapal. Tanggung jawab tersebut menurut Konvensi
dibebankan kepada pemilik kapal tanker atau “Owner Ship” yang
menyebabkan terjadinya pencemaran.
Dalam Konvensi, prinsip tanggung jawab yang digunakan adalah
tanggung jawab mutlak (strict liability). Artinya, apabila terjadi
kecelakaan kapal tanker yang mengakibatkan pencemaran laut, maka
pemilik kapal dapat dimintai tanggung jawab untuk mengganti segala
kerugian yang timbul. Kecuali kerusakan disebabkan oleh hal-hal yang
tidak dapat dihindarkan atau force majeur, maka pemilik dapat dibebaskan
dari tanggung jawab.
Konvensi memberikan hak kepada pemilik untuk membatasi pemberian
ganti rugi yang akan diberikannya. Kerugian pihak-pihak yang tidak
terbayar karena telah dilampauinya batas tertinggi berdasarkan Konvensi
diatur dengan Funds Convention 1971.
Mengenai masalah adil atau tidak adil bagi para pihak sulit untuk
mendapatkan jawabannya, karena rumusan adil tersebut bagi para pihak
memiliki tolak ukur yang berbeda. Semakin mendekati adil bagi salah satu
pihak, maka akan mengurangi kepastian hukum dipihak yang lain dan
demikian pula sebaliknya. Untuk itulah dalam proses tuntutan ganti rugi
pencemaran laut diperlukan adanya independent surveyor yang ditunjuk
dan disepakati oleh masing-masing pihak, adanya negosiasi antara para
pihak apabila cara-cara ini tidak dapat ditempuh maka proses tuntutan itu
dimajukan ke Pengadilan Negara setempat dimana lokasi pencemaran laut
terjadi.
2. Proses gugatan ganti rugi pencemaran laut yang bersumber dari
kapal tangki minyak dapat diuraikan dalam tahapan sebagai berikut :
a. Kapal berbendera Indonesia atau berbendera asing yang mengalami
musibah atau kecelakaan dan mengakibatkan tumpahan minyak, segera
pada kesempatan pertama memberitahukan kepada Pejabat Negara
yang ditunjuk untuk itu, di Indonesia adalah Kantor Administrator
Pelabuhan (ADPEL)/Syahbandar (Harbour Master) terdekat dimana
musibah terjadi,
b. ADPEL/Syahbandar dengan kewenangannya memerintahkan unit
kapal-kapal pengamanan untuk mengamankan lalu lintas kapal yang
berlayar mendekati dan atau berada di sekitar lokasi tumpahan minyak
dan apabila diperlukan melakukan evakuasi terhadap awak kapal yang
dapat diduga kapal akan berakibat fatal serta memantau penyebaran
minyak sesuai dengan arah angin, pasang surut air, dan gelombang
sebelum kapal pembawa peralatan untuk penanggulangan, Oil Boom,
skimmer, dispersant, dan lain-lain, tiba di lokasi,
c. Kapal pengaman mengambil contoh air laut yang bercampur minyak
ke laboratorium untuk diperiksa. Hasil dari pemeriksaan laboratorium
ini yang dipakai sebagai salah satu data pendukung untuk mengajukan
tuntutan ganti rugi,
d. Kapal-kapal pengamanan mendata berapa luas minyak yang tumpah
mencemari dan atau mengotori pantai, melakukan pembersihan
sesegera mungkin, dan melakukan pemulihan lingkungan apabila
terdapat lingkungan daerah nelayan yang terkena dampak pencemaran,
e. Berdasarkan tahapan kegiatan-kegiatan mulai tahapan pertama sampai
dengan keempat serta rincian biaya yang timbul, maka Negara pantai
yang perairannya tercemar mengajukan tuntutan ganti rugi kepada
pemilik kapal, ganti rugi meliputi biaya-biaya langsung maupun tidak
langsung yang dikeluarkan oleh Negara pantai yang perairannya
tercemar, sepanjang Negara pantai telah melakukan tindakan-tindakan
sebagaimana yang disyaratkan dalam konvensi internasional baik yang
menyangkut masalah pelayaran dan keselamatan jiwa di laut maupun
masalah yang berkaitan dengan pencemaran laut,
f. Negara yang perairan lautnya tercemar bersama dengan pemilik kapal
serta pihak asuransi melakukan negosiasi atas besaran tuntutan ganti
rugi yang diajukan Negara pantai, apabila tercapai kesepakatan maka
pemilik bersama pihak asuransi akan memberikan ganti rugi
sebagaimana yang disepakati, namun apabila tidak permasalahan
tuntutan akan diajukan ke pengadilan setempat di Negara yang
pantainya tercemar tumpahan minyak.
3. Beberapa prinsip dalam Konvensi yang dapat berlaku bagi kapal-kapal lain
selain kapal tanker :
a. Prinsip utama yang menyatakan bahwa, “pemilik kapal harus
bertanggung jawab atas setiap kerusakan akibat pencemaran yang
disebabkan oleh minyak yang tumpah atau terbuang dari kapal akibat
kecelakaan”. Dalam Konvensi yang dimaksudkan dengan minyak
yang tumpah atau terbuang adalah muatan minyak curah, bukan
minyak yang berasal dari tangki bahan bakar kapal. Namun untuk
kapal non tanker minyak tersebut umumnya diartikan sebagai minyak
dari tangki bahan bakar kapal.
b. Prinsip yang menyatakan bahwa, pemilik kapal dibebaskan dari
tanggung jawab apabila ia dapat membuktikan bahwa pencemaran
tersebut disebabkan oleh hal-hal luar biasa yang tidak dapat
dihindarkan. Jika pemilik dapat membuktikan bahwa kerusakan akibat
pencemaran itu disebabkan seluruhnya atau sebagian oleh tindakan
atau pengabaian yang bertujuan menimbulkan kerusakan oleh orang
yang menderita kerugian, pemilik dapat dibebaskan seluruhnya atau
sebagian dari tanggung jawabnya terhadap orang tersebut.
c. Prinsip bahwa “Pemilik kapal berhak membatasi tanggungjawabnya
menurut CLC 1969 (Protokol 1992)”, juga dapat berlaku bagi kapal-
kapal lain yang tidak termasuk dalam Konvensi.
Pemilik kapal, Operator Kapal dan atau Nakhoda kapal non tanker yang
mengangkut minyak sebagai muatan curah dengan jumlah kurang dari
2000 ton dapat dikenakan sanksi dan atau tanggung jawab atas terjadinya
pencemaran dengan peraturan hukum nasional yang berlaku di Negara
masing-masing, sebagai contoh, Indonesia menggunakan Undang Undang
Pelayaran Nomor 21 Tahun 1992.
B. Saran
Adapun saran yang dapat diberikan oleh penulis sehubungan dengan masalah
tanggung jawab pemilik kapal tanker dalam pencemaran yang bersumber dari
kapal tanker adalah :
1. Bagi Pemilik Kapal /Operator Kapal
Kepada pemilik kapal tanker maupun non tanker serta operator kapal agar
muatan minyak dalam bentuk curah yang dibawa, baik 2000 ton atau lebih
maupun kurang dari 2000 ton, agar selalu disertai dengan sertifikat dana
jaminan ganti rugi yang dikeluarkan oleh lembaga asuransi seperti P&I,
maupun dari TOVALOP dan CRISTAL, ataupun lembaga asuransi
lainnya. Sehingga, apabila kapal yang bermuatan minyak tersebut
mengalami musibah dan mengakibatkan pencemaran, maka dana untuk
memberikan ganti rugi tersebut dapat ditutup oleh pihak asuransi.
2. Bagi Pemerintah
Kepada pemerintah diharapkan segera membentuk suatu peraturan yang
bersifat lebih konkrit untuk menangani masalah pencemaran minyak. Atau
setidak-tidaknya mengeluarkan aturan-aturan pelaksana dari peraturan
yang sudah ada sebelumnya.
DAFTAR PUSTAKA
Dimyati Hartono, 1977, Hukum Laut Internasional : Berbagai Aspek Pengamanan-Pemagaran Yuridis Kawasan Nusantara Negara Republik Indonesia, Ditinjau Dalam Hubungan Perkembangan Hukum Laut Indonesia, Bhratara Karya Aksara, Jakarta.
F.D.C. Sudjatmiko, 1979, Pokok-Pokok Pelayaran Niaga, Akademika Pressindo,
Jakarta. Hasjim Djalal, 1979, Perjuangan Indonesia di Bidang Hukum Laut, Binacipta,
Bandung. Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi ketiga. Koesnadi Hardjasoemantri, 2001, Hukum dan Lingkungan Hidup di Indonesia,
Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta. Komar Kantaatmadja, 1981, Ganti Rugi Internasional Pencemaran Minyak di
Laut, Alumni, Bandung. ----------------, 1982, Bunga Rampai Hukum Lingkungan Laut Internasional,
Alumni, Bandung. Mochtar Kusumaatmadja, 2006, Konsep-Konsep Hukum Dalam Pembangunan,
Alumni, Bandung. Wartini Soegeng, 1988, Pendaftaran Kapal Indonesia, PT Eresco, Bandung. Peraturan Perundangan Konvensi Internasional Civil Liability Convention 1969, Protocol 1992 International Convention for The Prevention of Pollution from Ship 1973, Protocol 1978 (MARPOL 73/78) The Convention on International Liability for Damage Caused by Space Object 1972 United Nation Convention on the Law Of The Sea 1982 Peraturan Nasional Kitab Undang-Undang Hukum Dagang Peraturan Bandar Tahun 1925 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2002 tentang Perkapalan Internet http://io.ppi-jepang.org/article.php?id=137, Tumpahan Minyak di Laut dan Beberapa Catatan Terhadap Kasus di Indonesia, diakses tanggal 4 April 2007 http://www.liputan6.com/daerah/?id=152324, Tanker Kharisma Selatan Tenggelam, diakses tanggal 20 Desember 2007