24
TANGGUNG JAWAB DIREKSI BERDASARKAN DOKTRIN ULTRA VIRES (KASUS PT. GREATSTAR PERDANA INDONESIA v PT INDOSURYA MEGA FINANCE) OLEH:

Tanggung Jawab Direksi Berdasarkan Doktrin Ultra Vires Dalam Hal Kepailitan Perseroan Terbatas

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Tanggung Jawab Direksi Berdasarkan Doktrin Ultra Vires Dalam Hal Kepailitan Perseroan Terbatas

TANGGUNG JAWAB DIREKSI BERDASARKAN DOKTRIN ULTRA VIRES

(KASUS PT. GREATSTAR PERDANA INDONESIA v PT INDOSURYA MEGA FINANCE)

OLEH:

ANGGY DIAN PUTRA BANGSA

09/281904/HK/18053

Page 2: Tanggung Jawab Direksi Berdasarkan Doktrin Ultra Vires Dalam Hal Kepailitan Perseroan Terbatas

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Direksi menurut Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas

(UUPT), didefinisikan sebagai organ perseroan yang berwenang dan bertanggungjawab penuh

atas pengurusan perseroan untuk kepentingan perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan

perseroan serta mewakili perseroan, baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan

ketentuan Anggaran Dasar.

Dalam menjalankan tugasnya, Direksi diberikan hak dan kekuasaan penuh dengan

konsekuensi bahwa setiap tindakan dan perbuatan yang dilakukan oleh Direksi akan dianggap

dan diperlakukan sebagai tindakan dan perbuatan perseroan, sepanjang mereka tidak sesuai

dengan apa yang ditentukan dalam Anggaran Dasar (AD) perseroan. Selama Direksi tidak

melakukan pelanggaran AD, maka perseroanlah yang akan menanggung semua akibat dari

perbuatan Direksi tersebut. Sedangkan apabila tindakan-tindakan Direksi yang merugikan

perseroan atau menyebabkan pailitnya perseroan di luar batas dan kewenangan yang diberikan

kepadanya oleh AD, maka tindakan-tindakan tersebut dapat tidak diakui oleh perseroan atau

menjadi tanggung jawab pribadi Direksi.

Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, Direksi harus melandaskan diri bahwa

tugas dan kedudukan yang diperolehnya berdasarkan 2 prinsip dasar yaitu pertama kepercayaan

perseroan yang diberikan kepadanya (fiduciary duty) dan kedua prinsip yang merujuk pada

kemampuan serta kehati-hatian tindakan Direksi (duty of skill and care).1 Kedua prinsip ini

menuntut Direksi untuk bertindak secara hati-hati dan disertai itikad baik, semata-mata untuk

tujuan dan kepentingan perseroan. Pelanggaran terhadap kedua prinsip ini membawa

konsekuensi tanggung jawab yang berat bagi Direksi, seperti terlihat antara lain dalam pasal 97

dan 104 UUPT.

1 Chatamarrasjid Ais, 2004, Penerobosan Cadar Perseroan dan Soal-Soal Aktual Hukum Perusahaan, Citra Aditya Bakti, Bandung hlm 71

Page 3: Tanggung Jawab Direksi Berdasarkan Doktrin Ultra Vires Dalam Hal Kepailitan Perseroan Terbatas

Dalam kasus kepailitan yang terjadi antara PT. Greatstar Perdana Indonesia (PT GPI)

sebagai termohon pailit melawan PT Indosurya Mega Finance (PT IMF) sebagai pemohon pailit,

terdapat beberapa fakta hukum sebagai berikut:

Pemohon adalah pemegang surat sanggup (promissory note) tertanggal 6 Februari 1998 dengan

jumlah pokok Rp 2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah) yang diterbitkan oleh termohon dengan

ketentuan jatuh tempo 6 Mei 1998. Saat sudah jatuh tempo namun PT GPI tidak memenuhi

kewajibannya untuk melakukan pembayaran atas surat sanggup tersebut. Namun berdasarkan

AD Perseroan PT GPI, pembuatan surat sanggup harus mendapat persetujuan Komisaris

sedangkan promissory note tersebut dilakukan Direksi tanpa persetujuan dan sepengetahuan

Komisaris.2

Melihat kasus diatas, menjadi menarik untuk diketahui bagaimanakah bentuk

pertanggungjawaban direksi dari PT GPI tersebut sehingga menjadi latar belakang dalam

penulisan makalah ini.

B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang diatas dapat ditarik rumusan masalah sebagai berikut:

Bagaimana tanggung jawab Direksi PT Greatstar Perdana Indonesia terhadap perbuatan

ultra vires yang dilakukannya?

2 Putusan Pengadilan Niaga Nomor 51/pailit/2000/PN.Niaga/Jkt.Pst., tanggal 16 Agustus 2000 memutuskan mengabulkan permohonan pailit tersebut dan menyatakan bahwa PT. GPI pailit. Atas putusan pengadilan niaga tersebut kemudian diajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Mahkamah Agung dalam putusannya Nomor 30 K/N/2000 tanggal 12 September 2000 memutuskan menyatakan menerima kasasi dari PT. GPI sehingga membatalkan putusan pengadilan niaga serta menyatakan permohonan pailit terhadap PT. GPI ditolak.

Page 4: Tanggung Jawab Direksi Berdasarkan Doktrin Ultra Vires Dalam Hal Kepailitan Perseroan Terbatas

BAB II

PEMBAHASAN

Pada dasarnya pertanggungjawaban Direksi adalah terbatas, akan tetapi dalam keadaan

tertentu tanggung jawab terbatas ini menjadi tidak terbatas atau menjadi tanggung jawab pribadi

ataupun tanggung jawab renteng sesama anggota Direksi, hal ini terutama berkaitan dengan

konsep-konsep di bawah ini:

a. Piercing the corporate veil

Piercing the corporate veil berasal dari sistem hukum anglo saxon yang diterapkan oleh

Negara-negara Inggris dan Amerika, kemudian dalam perkembangannya piercing the

corporate veil tersebut masuk ke dalam sistem hukum Eropa Continental (Perancis dan

Belanda).3 Piercing the corporate veil mengajarkan bahwa suatu badan hukum

bertanggung jawab secara hukum hanya terbatas harta badan hukum tersebut, tetapi

dalam hal-hal tertentu batas pertanggungjawaban tersebut dapat ditembus sehingga

tanggung jawab tersebut menjadi tidak terbatas.4

b. Ultra vires

Apabila direksi telah melanggar kewenangannya sebagaimana dinyatakan dalam

Anggaran Dasar, maka direksi telah melanggar asas ultra vires dan dengan demikian

harus bertanggung jawab sampai harta pribadinya. Pihak ketiga yang berhubungan usaha

dengan perseroan tersebut tetap sah dan dilindungi tanpa memerhatikan Ultra Vires5.

Ultra Vires adalah perbuatan yang berada di luar kecakapan bertindak (tidak termasuk

dalam maksud dan tujuan PT. Dengan kata lain ultravires mengandung arti bahwa

perbuatan tertentu itu hakikatnya adalah sah (dalam hubungannya dengan pihak lain)

tetapi ternyata di luar kecakapan bertindak PT. Sebagaimana diatur dalam Anggaran

dasar atau berada di luar ruang lingkup maksud dan tujuannya.6

Definisi Ultra vires menurut Black’s Law Dictionary 7 adalah:3 Munir Faudy, 2002, Doktrin-Doktrin Modern dalam Corporate Law, Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 7.4 Munir Fuady, 2002, Hukum Perusahaan dalam Paradigma Hukum Bisnis, hlm. l61.5 Fred B.G. Tumbuan, 2000, “Pendirian Perseroan Terbatas dan Pertanggungjawaban Direksi dan Dewan Komisaris serta Pihak Terkait Lainnya”, Makalah, Seminar Dengar Pendapat Publik Berkenaan dengan Perubahan Aspek Hukum Perseroan Terbatas, Jakarta, 24-25 September 2001, hlm. 3.6 ibid7 Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary, Sixth Edition, West Publishing Co., St. Paul, 1990, hal.1522

Page 5: Tanggung Jawab Direksi Berdasarkan Doktrin Ultra Vires Dalam Hal Kepailitan Perseroan Terbatas

“an act performed without any authority to act on subject.”

Ultra Vires didefinisikan sebagai “tindakan yang dilakukan tanpa otoritas untuk bertindak

sebagai subjek”. Dalam Bahasa Latin, ultra vires berarti “di luar” atau “melebihi” kekuasaan

(outside the power) yaitu kekuasaan yang diberikan hukum terhadap suatu badan hukum (dalam

hal ini badan hukum Perseroan diwakili oleh Organ Perseroan dalam melakukan tindakan

hukumnya). Istilah lain yang seringkali digunakan untuk mendefinisikan ultra vires adalah

“pelampauan wewenang”8

Ultra vires diterapkan dalam arti luas yakni tidak hanya kegiatan yang dilarang oleh Anggaran

Dasarnya, tetapi termasuk juga tindakan yang tidak dilarang, tetapi melampaui kewenangan yang

diberikan.

Doktrin ultra vires memiliki mempunyai basis teori keagenan. Konstruksi hubungan hukum

terjadi antara pihak principal pada satu sisi dan agent pada sisi yang lain9. Dalam hal ini Organ

Perseroan merupakan agent dan Perseroan merupakan principal. Agent harus melakukan

tindakan dalam batas kewenangannya (intra vires). Apabila ia bertindak di luar batas

kewenangannya maka Organ Perseroan tersebut melakukan tindakan ultra vires.

Akibat hukum dari tindakan ultra vires adalah tindakan tersebut batal demi hukum (null and

void), karena tindakan tersebut tidak memenuhi salah satu syarat objektif sahnya perjanjian yaitu

“kausa yang halal.

Ultra vires Direksi tertransplantasi dalam Pasal 92 ayat (2) UU No. 40 Tahun 2007:

“Direksi berwenang menjalankan pengurusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai

dengan kebijakan yang dipandang tepat, dalam batas yang ditentukan dalam Undang-

Undang ini (UU No. 40 Tahun 2007) dan/atau Anggaran Dasar.”

Parafrase “dalam batas yang ditentukan dalam UU ini dan/atau Anggaran Dasar” tersirat adanya

larangan untuk melakukan tindakan di luar batas yang ditentukan dalam UU No. 40 Tahun 2007

dan/atau Anggaran Dasar; ultra vires.

8 Munir Fuady, Doktrin-doktrin Modern dalam Corporate Law dan Eksistensinya dalam Hukum Indonesia, 2010, Bandung: Citra Aditya Bakti, hal. 102 9 Tri Budiyono, Transplantasi Hukum: Harmonisasi dan Potensi Benturan, Studi Transplantasi Doktrin yang Dikembangkan dari Tradisi Common Law pada UU PT, 2009, Salatiga: Griya Media, hal. 161

Page 6: Tanggung Jawab Direksi Berdasarkan Doktrin Ultra Vires Dalam Hal Kepailitan Perseroan Terbatas

Batas tanggung jawab Anggota Direksi adalah menjalankan fungsi pengurusan

(management) dan fungsi perwakilan (representative) “sesuai dengan maksud dan tujuan

Perseroan” (Pasal 92 ayat (1) dan “dalam batas yang ditentukan dalam Undang-Undang No. 40

Tahun 2007 dan Anggaran Dasar (Pasal 92 ayat (2) UU No. 40 Tahun 2007). Selain itu, batas

tanggung jawab Direksi adalah berdasarkan keputusan RUPS.

UUPT menyerahkan sepenuhnya ultra vires kepada pengaturan di dalam Anggaran

Dasar, seperti disebutkan dalam Pasal 92 ayat (2) UUPT, bahwa Direksi berwenang menjalankan

pengurusan Perseroan terbatas sesuai dengan kebijakan yang dipandang tepat, dalam batas yang

ditentukan dalam undang-undang ini dan/ atau Anggaran Dasar. Setiap kelalaian atau kesalahan

yang dilakukan oleh salah seorang anggota Direksi mengakibatkan anggota Direksi tersebut

bertanggung jawab secara pribadi atas setiap kerugian perseroan. Hal ini ditegaskan dalam Pasal

97 ayat (3) UUPT. Perumusan pasal tersebut berarti bahwa anggota Direksi wajib melaksanakan

tugasnya dengan penuh itikad baik (in good faith) dan dengan penuh tanggung jawab (and with

full sense of responsibility).10 Selama hal tersebut dijalankan, para anggota Direksi tetap

mempunyai tanggung jawab yang terbatas yang merupakan ciri utama dari suatu Perseroan

Terbatas. Namun apabila hal tersebut dilanggar, artinya anggota Direksi bersangkutan lalai atau

bersalah dalam menjalankan tugasnya, maka yang berlaku Pasal 97 ayat (3) tersebut.

Sehubungan dengan hal tersebut, kiranya perlu disinggung suatu hal yang cukup penting yang

terdapat dalam peradilan Amerika yaitu US judicial review yang disebut dengan the business

judgement rule yaitu aturan yang melindungi para direktur dari tanggung jawab pribadi bilamana

mereka: Bertindak berdasarkan itikad baik (in good faith), Telah selayaknya memperoleh

informasi yang cukup (well informed) dan secara masuk akal dapat dipercaya bahwa tindakan

yang diambil adalah yang terbaik untuk kepentingan Perseroan (the best interests of the

corporation).11

Menurut Syarif Bastaman, yang dimaksud prinsip business judgement rule pada dasarnya

terbagi dalam dua hal, yaitu:12

10 Ridwan Khairandy, “Perseroan Terbatas Sebagai Badan Hukum”, Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 26, No. 3, 2007, hlm. 6.11 ibid12 Syarif Bastaman, “Tanggung Jawab Direksi, Komisaris PT dan Beberapa Prinsip Penting di dalam UUPT No. 1 Tahun 1995”, Makalah, Jakarta 19 Desember 1996, hlm 5.

Page 7: Tanggung Jawab Direksi Berdasarkan Doktrin Ultra Vires Dalam Hal Kepailitan Perseroan Terbatas

1. Business judgement rule merupakan konsep dimana direksi harus bertindak

berdasarkan itikad baik dengan informasi yang cukup dan diolah secara cakap

berdasarkan kemampuan; dan

2. Business judgement doctrine, yang merupakan konsep dimana tindakan direksi sah

dan mengikat sepanjang hal itu memang menjadi kewenangannya, atau tidak bersifat

ultra vires (di luar kewenangan perseroan).

Apabila demikian halnya, pengadilan tidak akan ragu-ragu lagi untuk melindungi Direksi

yang melaksanakan “the business judgement rules”. Hal semacam ini selayaknya dapat

melindungi Direksi yang benar-benar telah melaksanakan tugasnya dengan itikad baik, sehingga

luput dari sanksi yang bukan seharusnya untuk dirinya. Kemudian dalam Pasal 97 ayat (4) UUPT

disebutkan bahwa, dalam hal Direksi terdiri atas 2 (dua) anggota Direksi atau lebih, tanggung

jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berlaku secara tanggung renteng bagi setiap anggota

Direksi. Dalam Pasal 97 ayat (5) UUPT menyatakan bahwa anggota Direksi tidak dapat

dipertanggungjawabkan atas setiap atas kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) apabila

dapat dibuktikan:

a. Kerugian tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya;

b. Telah melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehati-hatian untuk kepentingan

dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan;

c. Tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung atas

tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian; dan

d. Telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian

tersebut.

Kemudian dalam Pasal 97 ayat (6) dijelaskan bahwa, atas nama Perseroan, pemegang

saham yang mewakili paling sedikit 1/10 (satu per sepuluh) bagian dari jumlah seluruh saham

dengan hak suara dapat mengajukan gugatan melalui Pengadilan Negeri terhadap anggota

Direksi yang karena kesalahan dan kelalaiannya menimbulkan kerugian pada perseroan.

Mengenai kepailitan pada Perseroan Terbatas yang diakibatkan oleh kesalahan atau kelalaian

Direksi ditegaskan dalam Pasal 104 ayat (2) UUPT yang menyatakan bahwa:

Page 8: Tanggung Jawab Direksi Berdasarkan Doktrin Ultra Vires Dalam Hal Kepailitan Perseroan Terbatas

“Dalam hal kepailitan terjadi karena kesalahan atau kelalaian Direksi dan harta pailit tidak cukup

untuk membayar seluruh kewajiban Perseroan dalam kepailitan tersebut, setiap anggota Direksi

secara tanggung renteng bertanggung jawab atas seluruh kewajiban yang tidak terlunasi dari

harta pailit tersebut”.

Pasal 104 ayat (3) disebutkan bahwa, tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (2)

berlaku juga bagi anggota Direksi yang salah atau lalai yang pernah menjabat sebagai anggota

Direksi dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan.

Berikut ini merupakan kasus posisi yang diangkat dalam makalah ini. PT Indosurya

Mega Finance (PT IMF) mengajukan permohonan pailit terhadap PT Greatstar Perdana

Indonesia (PT GPI), karena PT GPI belum membayar utangnya yang jatuh tempo dan dapat

ditagih berdasarkan perjanjian fasilitas anjak piutang sehubungan dengan penerbitan surat

sanggup PT IMF adalah pemegang surat sanggup tertanggal 6 Februari 1998 dengan jumlah

pokok Rp 2.000.000.000,- (dua miliar rupiah) yang diterbitkan oleh PT GPI dengan ketentuan

jatuh tempo surat sanggup pada tanggal 6 Mei 1998, dengan demikian PT IMF berhak atas

pembayaran surat sanggup tersebut. Akan tetapi sejak saat surat sanggup jatuh tempo dan dapat

ditagih yaitu pada tanggal 6 Mei 1998 sampai dengan diajukannya permohonan pernyataan pailit

ini ternyata PT GPI tidak pernah memenuhi kewajibannya untuk melakukan pembayaran atas

surat sanggup tersebut kepada PT IMF. Tidak dipenuhinya kewajiban tersebut, maka PT IMF

telah mengalami kerugian atas utang pokok berdasarkan surat sanggup sebesar Rp

2.000.000.000,- (dua miliar rupiah) dan hilangnya keuntungan yang selayaknya diterima dan

dinikmati dari hasil pembayaran surat sanggup terhitung sejak tanggal jatuh temponya sampai

dengan diajukannya permohonan pernyataan pailit ini. PT GPI mempunyai kreditur lain yakni

Bank Mandiri.

Namun PT GPI menolak keabsahan dari surat promes yang dijadikan dasar tagihan utang,

karena surat itu tidak dibuat sebagaimana mestinya dan tidak ada persetujuan dari Dewan

Komisaris sesuai dengan ketentuan Anggaran Dasar PT GPI. Akhirnya, PT IMF mengajukan

permohonan pailit terhadap PT GPI di Pengadilan Niaga.

Atas permohonan pailit terhadap PT Greatstar Perdana Indonesia ini, majelis hakim

Pengadilan Niaga dalam putusannya Nomor 51/pailit/2000/PN.Niaga/Jkt.Pst tanggal 16 Agustus

2000 memutuskan mengabulkan permohonan pailit tersebut dan menyatakan bahwa PT Greatstar

Page 9: Tanggung Jawab Direksi Berdasarkan Doktrin Ultra Vires Dalam Hal Kepailitan Perseroan Terbatas

pailit. Adapun pertimbangan hukum Majelis hakim niaga adalah bahwa anggaran dasar dari PT

Greatstar Perdana Indonesia, dimana menurut ketentuan Pasal 15 Ayat (2) dan (4) dari anggaran

dasar tersebut, memang benar Direksi harus mendapat persetujuan tertulis dari Komisaris dan

kalau tidak, maka tindakan Direksi tidak sah terhadap Perseroan. Namun demikian, alasan

tersebut tidak dapat diterima menurut hukum, karena pada prinsipnya anggaran dasar ataupun

anggaran rumah tangga suatu persekutuan hanya mengikat dan berlaku intern/ke dalam

persekutuan tersebut dan tidak dapat mengikat dan berlaku ekstern terhadap pihak ketiga.

Memang kadang kala untuk hal-hal tertentu perbuatan Direksi dibatasi oleh anggaran dasar suatu

Perseroan, yang pada umumnya Direksi tidak boleh berbuat sendiri jika tidak bersama-sama

dengan Komisaris atau setidaknya terlebih dahulu mendapat persetujuan Komisaris, biasanya

dikatakan bahwa Direksi telah melampaui batas wewenangnya sehingga perbuatannya tidak sah

terhadap Perseroan.

Atas putusan Pengadilan Niaga tersebut, PT Greatstar mengajukan kasasi ke Mahkamah

Agung. Majelis hakim kasasi dalam putusannya Nomor 30 K/N/2000 tanggal 12 September 2000

memutuskan menyatakan menerima kasasi dari PT Greatstar sehingga membatalkan putusan

Pengadilan Niaga serta menyatakan permohonan pailit terhadap PT Greatstar ditolak.

Pertimbangan hukum dari majelis kasasi adalah bahwa oleh karena dalam surat sanggup tanggal

6 Februari 1998 yang ditandatangani oleh Budi Handoko, Direktur PT Greatsta Perdana

Indonesia, tanpa adanya persetujuan tertulis dari seorang Komisaris maka surat sanggup tersebut

tidak mengikat termohon (PT Greatstar Perdana Indonesia), melainkan hanya mengikat Budi

Handoko pribadi dan karenanya permohonan pailit yang diajukan oleh pemohon terhadap

termohon harus ditolak.

Pada kasus PT Indosurya Mega Finance melawan PT Greatstar Perdana Indonesia

tersebut di atas, permasalahannya adalah mengenai tindakan hukum dari Direksi Perseroan yang

merupakan tindakan ultra vires. Doktrin ultra vires berdampak pada perikatan antara Perseroan

dan pihak ketiga, di mana transaksi yang dilakukan bersifat ultra vires Menurut Chatamarrasjid

Ais suatu transaksi ultra vires adalah tidak sah dan tidak dapat disahkan kemudian oleh suatu

Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Sehingga perbuatan Direksi yang ultra vires adalah

merupakan tanggung jawab pribadi dari Direksi tersebut.13

13 Chatamarrasjid, op cit, hal. 41.

Page 10: Tanggung Jawab Direksi Berdasarkan Doktrin Ultra Vires Dalam Hal Kepailitan Perseroan Terbatas

Pada prinsipnya, perbuatan hukum Direksi yang merupakan tindakan ultra vires adalah

tanggung jawab pribadi dari Direksi Perseroan tersebut. Namun, tindakan ultra vires ini harus

dibedakan dalam dua kategori, yakni tindakan yang dilakukan di luar kewenangan Direksi untuk

melakukannya, tapi masih dalam cakupan maksud dan tujuan Perseroan, serta tindakan yang

dilakukan di luar kewenangan Direksi untuk melakukannya yang berada di luar maksud dan

tujuan Perseroan. Dalam kasus ini merupakan kategori tindakan ultra vires di mana tindakan

yang dilakukan diluar kewenangan Direksi untuk melakukannya tapi masih dalam cakupan

maksud tujuan Perseroan. Implikasi yuridisnya adalah bahwa pihak ketiga yang beriktikad baik

harus dilindungi dari perbuatan Perseroan Hal ini berarti perbuatan Perseroan tersebut harus

dipandang sebagai perbuatan yang sah dan mengikat Perseroan keluar di samping Direksi dapat

dimintai pertanggungjawaban pribadi atas perbuatan hukum yang dilakukannya tersebut. Dengan

demikian Direksi bertanggung jawab renteng dengan Perseroan, di mana jika harta kekayan

Perseroan tidak mencukupi untuk memenuhi kewajiban-kewajiban utangnya maka Direksi secara

pribadi bertanggung jawab untuk menutup kekurangannya tersebut.

Pelampauan wewenang (ultra vires) oleh Anggota Direksi dalam kasus ini belum dapat

mempengaruhi putusan majelis hakim Pengadilan Niaga, karena menurut majelis hakim,

pelampauan wewenang (ultra vires) merupakan urusan internal Perseroan sehingga tidak

mengikat pihak eksternal, termasuk di dalamnya Pemohon pailit. Hal inilah yang menyebabkan

Hakim memberi pertimbangan bahwa Perseroanlah yang bertanggung jawab atas kepailitan

tersebut, sehingga permohonan pernyataan pailit terhadap PT. Greatstar Perdana Indonesia.

Menurut penulis, tindakan ultra vires jelas berlaku eksternal, karena tindakan tersebut

telah tercantum dalam Anggaran Dasar yang notebene telah diumumkan dalam Berita Negara

kepada khalayak ramai menurut asas publisitas. Akibat hukum dari diumumkannya Anggaran

Dasar tersebut adalah mengikatnya Anggaran Dasar tersebut terhadap pihak ketiga.

Pelampauan wewenang (ultra vires) oleh Anggota Direksi (Budi Handoko) telah

mempengaruhi putusan majelis hakim MA dalam perkara ini, apalagi karena ada yurisprudensi

berupa (3) putusan mengenai hal yang sama (penolakan pernyataan pailit bagi PT sebagai

Termohon pailit yang Anggota Direksinya melakukan tindakan ultra vires). Tindakan ultra vires

Anggota Direksi bukan lagi merupakan urusan internal melainkan juga mengikat pihak ketiga

Page 11: Tanggung Jawab Direksi Berdasarkan Doktrin Ultra Vires Dalam Hal Kepailitan Perseroan Terbatas

(eksternal) dalam hal ini kreditor, sehingga menyebabkan Anggota Direksi pelaku tindakan ultra

vires harus bertanggung jawab secara pribadi atas utang kepada pihak ketiga tersebut.

Menurut penulis, pertimbangan Majelis Hakim tersebut tepat, sesuai dengan jiwa ultra

vires. Anggota Direksi yang melakukan tindakan ultra vires seharusnya bertanggung jawab

secara pribadi atas hutang kepada pihak ketiga tersebut.

Organ Perseroan yang terlibat dalam kasus ini adalah Anggota Direksi. Menurut

pertimbangan hakim, Anggota Direksi tersebut tidak bertanggung jawab secara pribadi, karena

tindakan penerbitan surat sanggup senilai Rp. 2.000.000.000 (dua milyar Rupiah) oleh Anggota

Direksi yang tidak mendapat persetujuan Dewan Komisaris, (pelanggaran terhadap Pasal 12 (2)

dan (4) AD Perseroan), merupakan tindakan ultra vires, namun tindakan ultra vires tersebut

tidak mengikat pihak ketiga.

Menurut penulis, terhadap Anggota Direksi tersebut seharusnya dikenakan tanggung

jawab pribadi (personal liability) berdasar doktrin piercing the corporate veil, karena perbuatan

Anggota Direksi tersebut jelas-jelas melampaui batas kewenangannya (ultra vires).

Sedangkan dalam tahap kasasi pertimbangan hakim adalah tepat dari segi

pertanggungjawaban Organ. Ketepatan yang dimaksud adalah sesuai dengan jiwa dari doktrin

UV yaitu memberlakukan piercing the corporate veil sebagai konsekuensi logis dari tindakan

UV. Namun pertimbangan pertanggungjawaban pribadi Anggota Direksi tersebut adalah sia-sia

tidak bisa secara nyata menarik Anggota Direksi tersebut ke dalam ranah pertanggungjawaban

pribadi, karena pertanggungjawaban pribadi Anggota Direksi tersebut tidak bisa dieksekusi.

Pertimbangan tentang pertanggungjawaban pribadi ini tidak terwadahi dalam putusan hakim

dalam memutus kasus kepailitan ini. Pertanggungjawaban pribadi hanya berdampak pada

ditolaknya permohonan pernyataan pailit dengan dasar pertimbangan, Perseroan (Termohon

pailit) tidak bertanggungjawab atas utang.

Tanggung jawab organ perseroan dalam kepailitan dimulai dari adanya Fiduciary duty

dari Perseroan sebagai principal dan Organ Perseroan sebagai agent. Dalam perjalanannya,

Organ Perseroan seringkali didapati melakukan tindakan ultra vires, sehingga menyebabkan

terterobosnya tanggung jawab terbatas pemegang saham, dan tanggung jawab berdasarkan

kewenangan bagi Direksi dan Dewan Komisaris yang kemudian mengakibatkan tanggung jawab

Page 12: Tanggung Jawab Direksi Berdasarkan Doktrin Ultra Vires Dalam Hal Kepailitan Perseroan Terbatas

pribadi (personal liability) Organ Perseroan. Tindakan ultra vires Direksi ini sering menjadi

alasan dari Termohon Pailit untuk mengalihkan tanggung jawab atas kepailitan kepada Direksi.

Tanggung jawab pribadi (personal liability) ini merupakan perluasan tanggung jawab dimana

Direksi seharusnya hanya bertanggung jawab sesuai kapasitasnya sebagai Direksi dalam

kepailitan; tidak bertanggung jawab secara finansial menjadi bertanggungjawab secara finansial

atas kepailitan. Namun sayang, tanggung jawab pribadi tersebut tidak terakomodasi dalam

putusan hakim.

Ada dua pendapat mengenai akibat hukum tindakan ultra vires. Pendapat pertama

menyatakan bahwa tindakan ultra vires memiliki akibat batal demi hukum (null and void),14

karena tindakan tersebut melampaui kewenangan yang ditetapkan dalam Anggaran Dasar,

sehingga sebab terjadinya tindakan tersebut tergolong dalam sebab yang tidak halal. Hal ini

melanggar syarat objektif yang keempat, sehingga penerbitan surat sanggup tersebut, secara teori

adalah batal demi hukum (null and void).

Namun dalam praktek, adalah sulit untuk membatalkan perjanjian yang sudah dieksekusi,

artinya dana tersebut telah ditransfer ke rekening Direksi, kemudian lama berselang, baru

diketahui, ternyata perjanjian utang-piutang berdasarkan surat sanggup (promissory note)

tersebut tidak sah.

Penyelesaian masalah seperti akan lebih mudah jika pihak kreditor mengumpulkan bukti

mengenai siapa yang menjadi debitor atas utang. Jika terbukti perjanjian utang-piutang

berdasarkan surat sanggup (promissory note) tersebut tidak sah, maka yang bertanggung jawab

untuk mengembalikan utang adalah Direksi. Tanggung jawab untuk pembayaran utang tersebut

sampai ke harta pribadi (personal liability).

Oleh karena itu, penulis menyatakan bahwa tindakan ultra vires merupakan dasar

terterobosnya tanggung jawab berdasarkan kewenangan Direksi, sehingga Direksi yang pada

mulanya tidak bertanggung jawab secara finansial menjadi bertanggung jawab secara finansial

sampai ke harta pribadi atas kepailitan. Inilah yang dimaksud oleh Ricardo Simanjuntak15

sebagai perluasan tanggung jawab (extension of liability), dimana Direksi Perseroan yang pada

14 Ricardo Simanjuntak, Tanggung Jawab Direksi Perseroan Sehubungan Dengan Tindakan Ultra Vires, Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 30, No. 3, Tahun 2011, hal. 7. Lihat juga Sutan Remy Sjahdeini, Jurnal Hukum Bisnis Volume 14 Tahun 2001. 15 ibid

Page 13: Tanggung Jawab Direksi Berdasarkan Doktrin Ultra Vires Dalam Hal Kepailitan Perseroan Terbatas

awalnya tidak bertanggung jawab secara finansial terhadap perseroan pailit, menjadi

bertanggung jawab secara finansial, akibat kesalahan/kelalaian Direksi (Pasal 104 ayat (2) UU

No. 40 Tahun 2007). Kesalahan/kelalaian tersebut harus dibuktikan oleh kreditor berdasarkan

doktrin siapa mendalilkan, harus membuktikan (who asser must proof).

Tindakan ultra vires berkaitan dengan syarat formal sahnya perjanjian utang piutang

(mis. sahnya promissory notes, letter of indeminity) antara Perseroan dengan pihak ketiga. Ketika

syarat formal ini tidak terpenuhi maka secara hukum, Anggota Direksi bertindak tidak sesuai

kapasitasnya untuk mewakili Perseroan; melampaui wewenang (ultra vires). Tapi dalam hal

transaksi sebagai lanjutan dari tindakan ultra vires itu dieksekusi, maka Perseroan memperoleh

manfaat ekonomi dari tindakan ultra vires tersebut. Perolehan manfaat ekonomi yang dimaksud

adalah secara riil, dana tersebut masuk ke rekening Perseroan, bukan ke rekening pribadi

Anggota Direksi. Oleh karena itu, adalah tidak adil jika kepailitan yang terjadi karena tindakan

ultra vires Anggota Direksi, hanya dipertanggungjawabkan oleh Anggota Direksi.

Seharusnya, Perseroan bertanggung jawab secara tanggung renteng dengan Anggota

Direksi. Di satu sisi, Anggota Direksi bersalah karena telah melakukan tindakan ultra vires

dalam membuat perjanjian utang-piutang dengan pihak ketiga. Di sisi lain, Perseroan

memperoleh manfaat ekonomi akibat tindakan ultra vires Anggota Direksi tersebut. Sehingga,

baik pihak yang melakukan kesalahan, maupun pihak yang menerima manfaat ekonomi,

keduanya harus bertanggung jawab secara tanggung renteng.

Mengenai dikabulkan atau ditolaknya suatu permohonan pernyataan pailit, memang

terkait dengan tuntutan (petitum) dari Pemohon Pailit dan sifat pasif hakim dalam memutus

perkara; tidak boleh lebih atau kurang dari apa yang dituntut oleh Pemohon Pailit. Bisa jadi,

hakim tidak mempertimbangkan tanggung jawab Anggota Direksi secara serius karena Pemohon

Pailit tidak memintanya dalam petitum. Logika hukumnya, jika tanggung jawab Direksi tidak

termasuk dalam petitum, maka hakim tidak bisa mewadahi tanggung jawab Anggota Direksi

tersebut dalam putusan.

Menurut penulis, tanggung jawab secara tanggung renteng antara Perseroan dan Anggota

Direksi merupakan model yang ideal dalam menanggulangi kepailitan Perseroan yang

disebabkan oleh tindakan ultra vires Anggota Direksi. Tanggung jawab secara tanggung renteng

adalah adil bagi kedua belah pihak. Di satu sisi, Anggota Direksi memang bersalah karena telah

Page 14: Tanggung Jawab Direksi Berdasarkan Doktrin Ultra Vires Dalam Hal Kepailitan Perseroan Terbatas

melakukan tindakan ultra vires dalam membuat perjanjian utang-piutang dengan pihak ketiga,

tapi adalah tidak adil, jika Anggota Direksi tersebut hanya bertanggung jawab secara pribadi,

padahal di sisi lain, manfaat ekonomi dari dana hasil pinjaman tersebut dinikmati oleh Perseroan.

BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Page 15: Tanggung Jawab Direksi Berdasarkan Doktrin Ultra Vires Dalam Hal Kepailitan Perseroan Terbatas

Pada kasus PT Indosurya Mega Finance melawan PT Greatstar Perdana Indonesia

tersebut di atas, permasalahannya adalah mengenai tindakan hukum dari Direksi Perseroan yang

merupakan tindakan ultra vires. Doktrin ultra vires berdampak pada perikatan antara Perseroan

dan pihak ketiga, di mana transaksi yang dilakukan bersifat ultra vires. Suatu transaksi ultra vires

adalah tidak sah. Sehingga perbuatan Direksi yang ultra vires adalah merupakan tanggung jawab

pribadi dari Direksi tersebut.

Tanggung jawab secara tanggung renteng antara Perseroan dan Anggota Direksi

merupakan model yang ideal dalam menanggulangi kepailitan Perseroan yang disebabkan oleh

tindakan ultra vires Anggota Direksi. Tanggung jawab secara tanggung renteng adalah adil bagi

kedua belah pihak. Di satu sisi, Anggota Direksi memang bersalah karena telah melakukan

tindakan ultra vires dalam membuat perjanjian utang-piutang dengan pihak ketiga, tapi adalah

tidak adil, jika Anggota Direksi tersebut hanya bertanggung jawab secara pribadi, padahal di sisi

lain, manfaat ekonomi dari dana hasil pinjaman tersebut dinikmati oleh Perseroan.

Daftar Pustaka

Buku:

Page 16: Tanggung Jawab Direksi Berdasarkan Doktrin Ultra Vires Dalam Hal Kepailitan Perseroan Terbatas

Agus Budiarto, 2002, Kedudukan Hukum & Tanggung Jawab Pendiri Perseroan, Ghalia

Indonesia, Jakarta

Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary, Sixth Edition, West Publishing Co., St. Paul,

1990

Chatamarrasjid Ais, 2004, Penerobosan Cadar Perseroan dan Soal-Soal Aktual Hukum

Perusahaan, Citra Aditya Bakti, Bandung

Cornelius Simanjuntak, 2009, Organ Perseroan Terbatas, Sinar Grafika, Jakarta

Munir Faudy, 2002, Doktrin-Doktrin Modern dalam Corporate Law, Citra Aditya Bakti,

Bandung

Tri Budiyono, Transplantasi Hukum: Harmonisasi dan Potensi Benturan, Studi Transplantasi

Doktrin yang Dikembangkan dari Tradisi Common Law pada UU PT, 2009, Salatiga:

Griya Media

Makalah:

Fred B.G. Tumbuan, 2000, Pendirian Perseroan Terbatas dan Pertanggungjawaban Direksi dan

Dewan Komisaris serta Pihak Terkait Lainnya, Makalah, Seminar Dengar Pendapat

Publik Berkenaan dengan Perubahan Aspek Hukum Perseroan Terbatas, Jakarta, 24-25

September 2001

Syarif Bastaman, Tanggung Jawab Direksi, Komisaris PT dan Beberapa Prinsip Penting di

dalam UUPT No. 1 Tahun 1995, Makalah, Jakarta 19 Desember 1996

Ricardo Simanjuntak, Tanggung Jawab Direksi Perseroan Sehubungan Dengan Tindakan Ultra

Vires, Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 30, No. 3, Tahun 2011

Ridwan Khairandy, Perseroan Terbatas Sebagai Badan Hukum, Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 26,

No. 3, 2007

Putusan:

Page 17: Tanggung Jawab Direksi Berdasarkan Doktrin Ultra Vires Dalam Hal Kepailitan Perseroan Terbatas

Putusan Pengadilan Niaga Nomor 51/pailit/2000/PN.Niaga/Jkt.Pst., tanggal 16 Agustus 2000

Putusan Mahkamah Agung Nomor 30 K/N/2000 tanggal 12 September 2000