Upload
vickytri
View
577
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
TANGGUNG JAWAB DIREKSI BERDASARKAN DOKTRIN ULTRA VIRES
(KASUS PT. GREATSTAR PERDANA INDONESIA v PT INDOSURYA MEGA FINANCE)
OLEH:
ANGGY DIAN PUTRA BANGSA
09/281904/HK/18053
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Direksi menurut Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
(UUPT), didefinisikan sebagai organ perseroan yang berwenang dan bertanggungjawab penuh
atas pengurusan perseroan untuk kepentingan perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan
perseroan serta mewakili perseroan, baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan
ketentuan Anggaran Dasar.
Dalam menjalankan tugasnya, Direksi diberikan hak dan kekuasaan penuh dengan
konsekuensi bahwa setiap tindakan dan perbuatan yang dilakukan oleh Direksi akan dianggap
dan diperlakukan sebagai tindakan dan perbuatan perseroan, sepanjang mereka tidak sesuai
dengan apa yang ditentukan dalam Anggaran Dasar (AD) perseroan. Selama Direksi tidak
melakukan pelanggaran AD, maka perseroanlah yang akan menanggung semua akibat dari
perbuatan Direksi tersebut. Sedangkan apabila tindakan-tindakan Direksi yang merugikan
perseroan atau menyebabkan pailitnya perseroan di luar batas dan kewenangan yang diberikan
kepadanya oleh AD, maka tindakan-tindakan tersebut dapat tidak diakui oleh perseroan atau
menjadi tanggung jawab pribadi Direksi.
Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, Direksi harus melandaskan diri bahwa
tugas dan kedudukan yang diperolehnya berdasarkan 2 prinsip dasar yaitu pertama kepercayaan
perseroan yang diberikan kepadanya (fiduciary duty) dan kedua prinsip yang merujuk pada
kemampuan serta kehati-hatian tindakan Direksi (duty of skill and care).1 Kedua prinsip ini
menuntut Direksi untuk bertindak secara hati-hati dan disertai itikad baik, semata-mata untuk
tujuan dan kepentingan perseroan. Pelanggaran terhadap kedua prinsip ini membawa
konsekuensi tanggung jawab yang berat bagi Direksi, seperti terlihat antara lain dalam pasal 97
dan 104 UUPT.
1 Chatamarrasjid Ais, 2004, Penerobosan Cadar Perseroan dan Soal-Soal Aktual Hukum Perusahaan, Citra Aditya Bakti, Bandung hlm 71
Dalam kasus kepailitan yang terjadi antara PT. Greatstar Perdana Indonesia (PT GPI)
sebagai termohon pailit melawan PT Indosurya Mega Finance (PT IMF) sebagai pemohon pailit,
terdapat beberapa fakta hukum sebagai berikut:
Pemohon adalah pemegang surat sanggup (promissory note) tertanggal 6 Februari 1998 dengan
jumlah pokok Rp 2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah) yang diterbitkan oleh termohon dengan
ketentuan jatuh tempo 6 Mei 1998. Saat sudah jatuh tempo namun PT GPI tidak memenuhi
kewajibannya untuk melakukan pembayaran atas surat sanggup tersebut. Namun berdasarkan
AD Perseroan PT GPI, pembuatan surat sanggup harus mendapat persetujuan Komisaris
sedangkan promissory note tersebut dilakukan Direksi tanpa persetujuan dan sepengetahuan
Komisaris.2
Melihat kasus diatas, menjadi menarik untuk diketahui bagaimanakah bentuk
pertanggungjawaban direksi dari PT GPI tersebut sehingga menjadi latar belakang dalam
penulisan makalah ini.
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang diatas dapat ditarik rumusan masalah sebagai berikut:
Bagaimana tanggung jawab Direksi PT Greatstar Perdana Indonesia terhadap perbuatan
ultra vires yang dilakukannya?
2 Putusan Pengadilan Niaga Nomor 51/pailit/2000/PN.Niaga/Jkt.Pst., tanggal 16 Agustus 2000 memutuskan mengabulkan permohonan pailit tersebut dan menyatakan bahwa PT. GPI pailit. Atas putusan pengadilan niaga tersebut kemudian diajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Mahkamah Agung dalam putusannya Nomor 30 K/N/2000 tanggal 12 September 2000 memutuskan menyatakan menerima kasasi dari PT. GPI sehingga membatalkan putusan pengadilan niaga serta menyatakan permohonan pailit terhadap PT. GPI ditolak.
BAB II
PEMBAHASAN
Pada dasarnya pertanggungjawaban Direksi adalah terbatas, akan tetapi dalam keadaan
tertentu tanggung jawab terbatas ini menjadi tidak terbatas atau menjadi tanggung jawab pribadi
ataupun tanggung jawab renteng sesama anggota Direksi, hal ini terutama berkaitan dengan
konsep-konsep di bawah ini:
a. Piercing the corporate veil
Piercing the corporate veil berasal dari sistem hukum anglo saxon yang diterapkan oleh
Negara-negara Inggris dan Amerika, kemudian dalam perkembangannya piercing the
corporate veil tersebut masuk ke dalam sistem hukum Eropa Continental (Perancis dan
Belanda).3 Piercing the corporate veil mengajarkan bahwa suatu badan hukum
bertanggung jawab secara hukum hanya terbatas harta badan hukum tersebut, tetapi
dalam hal-hal tertentu batas pertanggungjawaban tersebut dapat ditembus sehingga
tanggung jawab tersebut menjadi tidak terbatas.4
b. Ultra vires
Apabila direksi telah melanggar kewenangannya sebagaimana dinyatakan dalam
Anggaran Dasar, maka direksi telah melanggar asas ultra vires dan dengan demikian
harus bertanggung jawab sampai harta pribadinya. Pihak ketiga yang berhubungan usaha
dengan perseroan tersebut tetap sah dan dilindungi tanpa memerhatikan Ultra Vires5.
Ultra Vires adalah perbuatan yang berada di luar kecakapan bertindak (tidak termasuk
dalam maksud dan tujuan PT. Dengan kata lain ultravires mengandung arti bahwa
perbuatan tertentu itu hakikatnya adalah sah (dalam hubungannya dengan pihak lain)
tetapi ternyata di luar kecakapan bertindak PT. Sebagaimana diatur dalam Anggaran
dasar atau berada di luar ruang lingkup maksud dan tujuannya.6
Definisi Ultra vires menurut Black’s Law Dictionary 7 adalah:3 Munir Faudy, 2002, Doktrin-Doktrin Modern dalam Corporate Law, Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 7.4 Munir Fuady, 2002, Hukum Perusahaan dalam Paradigma Hukum Bisnis, hlm. l61.5 Fred B.G. Tumbuan, 2000, “Pendirian Perseroan Terbatas dan Pertanggungjawaban Direksi dan Dewan Komisaris serta Pihak Terkait Lainnya”, Makalah, Seminar Dengar Pendapat Publik Berkenaan dengan Perubahan Aspek Hukum Perseroan Terbatas, Jakarta, 24-25 September 2001, hlm. 3.6 ibid7 Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary, Sixth Edition, West Publishing Co., St. Paul, 1990, hal.1522
“an act performed without any authority to act on subject.”
Ultra Vires didefinisikan sebagai “tindakan yang dilakukan tanpa otoritas untuk bertindak
sebagai subjek”. Dalam Bahasa Latin, ultra vires berarti “di luar” atau “melebihi” kekuasaan
(outside the power) yaitu kekuasaan yang diberikan hukum terhadap suatu badan hukum (dalam
hal ini badan hukum Perseroan diwakili oleh Organ Perseroan dalam melakukan tindakan
hukumnya). Istilah lain yang seringkali digunakan untuk mendefinisikan ultra vires adalah
“pelampauan wewenang”8
Ultra vires diterapkan dalam arti luas yakni tidak hanya kegiatan yang dilarang oleh Anggaran
Dasarnya, tetapi termasuk juga tindakan yang tidak dilarang, tetapi melampaui kewenangan yang
diberikan.
Doktrin ultra vires memiliki mempunyai basis teori keagenan. Konstruksi hubungan hukum
terjadi antara pihak principal pada satu sisi dan agent pada sisi yang lain9. Dalam hal ini Organ
Perseroan merupakan agent dan Perseroan merupakan principal. Agent harus melakukan
tindakan dalam batas kewenangannya (intra vires). Apabila ia bertindak di luar batas
kewenangannya maka Organ Perseroan tersebut melakukan tindakan ultra vires.
Akibat hukum dari tindakan ultra vires adalah tindakan tersebut batal demi hukum (null and
void), karena tindakan tersebut tidak memenuhi salah satu syarat objektif sahnya perjanjian yaitu
“kausa yang halal.
Ultra vires Direksi tertransplantasi dalam Pasal 92 ayat (2) UU No. 40 Tahun 2007:
“Direksi berwenang menjalankan pengurusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai
dengan kebijakan yang dipandang tepat, dalam batas yang ditentukan dalam Undang-
Undang ini (UU No. 40 Tahun 2007) dan/atau Anggaran Dasar.”
Parafrase “dalam batas yang ditentukan dalam UU ini dan/atau Anggaran Dasar” tersirat adanya
larangan untuk melakukan tindakan di luar batas yang ditentukan dalam UU No. 40 Tahun 2007
dan/atau Anggaran Dasar; ultra vires.
8 Munir Fuady, Doktrin-doktrin Modern dalam Corporate Law dan Eksistensinya dalam Hukum Indonesia, 2010, Bandung: Citra Aditya Bakti, hal. 102 9 Tri Budiyono, Transplantasi Hukum: Harmonisasi dan Potensi Benturan, Studi Transplantasi Doktrin yang Dikembangkan dari Tradisi Common Law pada UU PT, 2009, Salatiga: Griya Media, hal. 161
Batas tanggung jawab Anggota Direksi adalah menjalankan fungsi pengurusan
(management) dan fungsi perwakilan (representative) “sesuai dengan maksud dan tujuan
Perseroan” (Pasal 92 ayat (1) dan “dalam batas yang ditentukan dalam Undang-Undang No. 40
Tahun 2007 dan Anggaran Dasar (Pasal 92 ayat (2) UU No. 40 Tahun 2007). Selain itu, batas
tanggung jawab Direksi adalah berdasarkan keputusan RUPS.
UUPT menyerahkan sepenuhnya ultra vires kepada pengaturan di dalam Anggaran
Dasar, seperti disebutkan dalam Pasal 92 ayat (2) UUPT, bahwa Direksi berwenang menjalankan
pengurusan Perseroan terbatas sesuai dengan kebijakan yang dipandang tepat, dalam batas yang
ditentukan dalam undang-undang ini dan/ atau Anggaran Dasar. Setiap kelalaian atau kesalahan
yang dilakukan oleh salah seorang anggota Direksi mengakibatkan anggota Direksi tersebut
bertanggung jawab secara pribadi atas setiap kerugian perseroan. Hal ini ditegaskan dalam Pasal
97 ayat (3) UUPT. Perumusan pasal tersebut berarti bahwa anggota Direksi wajib melaksanakan
tugasnya dengan penuh itikad baik (in good faith) dan dengan penuh tanggung jawab (and with
full sense of responsibility).10 Selama hal tersebut dijalankan, para anggota Direksi tetap
mempunyai tanggung jawab yang terbatas yang merupakan ciri utama dari suatu Perseroan
Terbatas. Namun apabila hal tersebut dilanggar, artinya anggota Direksi bersangkutan lalai atau
bersalah dalam menjalankan tugasnya, maka yang berlaku Pasal 97 ayat (3) tersebut.
Sehubungan dengan hal tersebut, kiranya perlu disinggung suatu hal yang cukup penting yang
terdapat dalam peradilan Amerika yaitu US judicial review yang disebut dengan the business
judgement rule yaitu aturan yang melindungi para direktur dari tanggung jawab pribadi bilamana
mereka: Bertindak berdasarkan itikad baik (in good faith), Telah selayaknya memperoleh
informasi yang cukup (well informed) dan secara masuk akal dapat dipercaya bahwa tindakan
yang diambil adalah yang terbaik untuk kepentingan Perseroan (the best interests of the
corporation).11
Menurut Syarif Bastaman, yang dimaksud prinsip business judgement rule pada dasarnya
terbagi dalam dua hal, yaitu:12
10 Ridwan Khairandy, “Perseroan Terbatas Sebagai Badan Hukum”, Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 26, No. 3, 2007, hlm. 6.11 ibid12 Syarif Bastaman, “Tanggung Jawab Direksi, Komisaris PT dan Beberapa Prinsip Penting di dalam UUPT No. 1 Tahun 1995”, Makalah, Jakarta 19 Desember 1996, hlm 5.
1. Business judgement rule merupakan konsep dimana direksi harus bertindak
berdasarkan itikad baik dengan informasi yang cukup dan diolah secara cakap
berdasarkan kemampuan; dan
2. Business judgement doctrine, yang merupakan konsep dimana tindakan direksi sah
dan mengikat sepanjang hal itu memang menjadi kewenangannya, atau tidak bersifat
ultra vires (di luar kewenangan perseroan).
Apabila demikian halnya, pengadilan tidak akan ragu-ragu lagi untuk melindungi Direksi
yang melaksanakan “the business judgement rules”. Hal semacam ini selayaknya dapat
melindungi Direksi yang benar-benar telah melaksanakan tugasnya dengan itikad baik, sehingga
luput dari sanksi yang bukan seharusnya untuk dirinya. Kemudian dalam Pasal 97 ayat (4) UUPT
disebutkan bahwa, dalam hal Direksi terdiri atas 2 (dua) anggota Direksi atau lebih, tanggung
jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berlaku secara tanggung renteng bagi setiap anggota
Direksi. Dalam Pasal 97 ayat (5) UUPT menyatakan bahwa anggota Direksi tidak dapat
dipertanggungjawabkan atas setiap atas kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) apabila
dapat dibuktikan:
a. Kerugian tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya;
b. Telah melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehati-hatian untuk kepentingan
dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan;
c. Tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung atas
tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian; dan
d. Telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian
tersebut.
Kemudian dalam Pasal 97 ayat (6) dijelaskan bahwa, atas nama Perseroan, pemegang
saham yang mewakili paling sedikit 1/10 (satu per sepuluh) bagian dari jumlah seluruh saham
dengan hak suara dapat mengajukan gugatan melalui Pengadilan Negeri terhadap anggota
Direksi yang karena kesalahan dan kelalaiannya menimbulkan kerugian pada perseroan.
Mengenai kepailitan pada Perseroan Terbatas yang diakibatkan oleh kesalahan atau kelalaian
Direksi ditegaskan dalam Pasal 104 ayat (2) UUPT yang menyatakan bahwa:
“Dalam hal kepailitan terjadi karena kesalahan atau kelalaian Direksi dan harta pailit tidak cukup
untuk membayar seluruh kewajiban Perseroan dalam kepailitan tersebut, setiap anggota Direksi
secara tanggung renteng bertanggung jawab atas seluruh kewajiban yang tidak terlunasi dari
harta pailit tersebut”.
Pasal 104 ayat (3) disebutkan bahwa, tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
berlaku juga bagi anggota Direksi yang salah atau lalai yang pernah menjabat sebagai anggota
Direksi dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan.
Berikut ini merupakan kasus posisi yang diangkat dalam makalah ini. PT Indosurya
Mega Finance (PT IMF) mengajukan permohonan pailit terhadap PT Greatstar Perdana
Indonesia (PT GPI), karena PT GPI belum membayar utangnya yang jatuh tempo dan dapat
ditagih berdasarkan perjanjian fasilitas anjak piutang sehubungan dengan penerbitan surat
sanggup PT IMF adalah pemegang surat sanggup tertanggal 6 Februari 1998 dengan jumlah
pokok Rp 2.000.000.000,- (dua miliar rupiah) yang diterbitkan oleh PT GPI dengan ketentuan
jatuh tempo surat sanggup pada tanggal 6 Mei 1998, dengan demikian PT IMF berhak atas
pembayaran surat sanggup tersebut. Akan tetapi sejak saat surat sanggup jatuh tempo dan dapat
ditagih yaitu pada tanggal 6 Mei 1998 sampai dengan diajukannya permohonan pernyataan pailit
ini ternyata PT GPI tidak pernah memenuhi kewajibannya untuk melakukan pembayaran atas
surat sanggup tersebut kepada PT IMF. Tidak dipenuhinya kewajiban tersebut, maka PT IMF
telah mengalami kerugian atas utang pokok berdasarkan surat sanggup sebesar Rp
2.000.000.000,- (dua miliar rupiah) dan hilangnya keuntungan yang selayaknya diterima dan
dinikmati dari hasil pembayaran surat sanggup terhitung sejak tanggal jatuh temponya sampai
dengan diajukannya permohonan pernyataan pailit ini. PT GPI mempunyai kreditur lain yakni
Bank Mandiri.
Namun PT GPI menolak keabsahan dari surat promes yang dijadikan dasar tagihan utang,
karena surat itu tidak dibuat sebagaimana mestinya dan tidak ada persetujuan dari Dewan
Komisaris sesuai dengan ketentuan Anggaran Dasar PT GPI. Akhirnya, PT IMF mengajukan
permohonan pailit terhadap PT GPI di Pengadilan Niaga.
Atas permohonan pailit terhadap PT Greatstar Perdana Indonesia ini, majelis hakim
Pengadilan Niaga dalam putusannya Nomor 51/pailit/2000/PN.Niaga/Jkt.Pst tanggal 16 Agustus
2000 memutuskan mengabulkan permohonan pailit tersebut dan menyatakan bahwa PT Greatstar
pailit. Adapun pertimbangan hukum Majelis hakim niaga adalah bahwa anggaran dasar dari PT
Greatstar Perdana Indonesia, dimana menurut ketentuan Pasal 15 Ayat (2) dan (4) dari anggaran
dasar tersebut, memang benar Direksi harus mendapat persetujuan tertulis dari Komisaris dan
kalau tidak, maka tindakan Direksi tidak sah terhadap Perseroan. Namun demikian, alasan
tersebut tidak dapat diterima menurut hukum, karena pada prinsipnya anggaran dasar ataupun
anggaran rumah tangga suatu persekutuan hanya mengikat dan berlaku intern/ke dalam
persekutuan tersebut dan tidak dapat mengikat dan berlaku ekstern terhadap pihak ketiga.
Memang kadang kala untuk hal-hal tertentu perbuatan Direksi dibatasi oleh anggaran dasar suatu
Perseroan, yang pada umumnya Direksi tidak boleh berbuat sendiri jika tidak bersama-sama
dengan Komisaris atau setidaknya terlebih dahulu mendapat persetujuan Komisaris, biasanya
dikatakan bahwa Direksi telah melampaui batas wewenangnya sehingga perbuatannya tidak sah
terhadap Perseroan.
Atas putusan Pengadilan Niaga tersebut, PT Greatstar mengajukan kasasi ke Mahkamah
Agung. Majelis hakim kasasi dalam putusannya Nomor 30 K/N/2000 tanggal 12 September 2000
memutuskan menyatakan menerima kasasi dari PT Greatstar sehingga membatalkan putusan
Pengadilan Niaga serta menyatakan permohonan pailit terhadap PT Greatstar ditolak.
Pertimbangan hukum dari majelis kasasi adalah bahwa oleh karena dalam surat sanggup tanggal
6 Februari 1998 yang ditandatangani oleh Budi Handoko, Direktur PT Greatsta Perdana
Indonesia, tanpa adanya persetujuan tertulis dari seorang Komisaris maka surat sanggup tersebut
tidak mengikat termohon (PT Greatstar Perdana Indonesia), melainkan hanya mengikat Budi
Handoko pribadi dan karenanya permohonan pailit yang diajukan oleh pemohon terhadap
termohon harus ditolak.
Pada kasus PT Indosurya Mega Finance melawan PT Greatstar Perdana Indonesia
tersebut di atas, permasalahannya adalah mengenai tindakan hukum dari Direksi Perseroan yang
merupakan tindakan ultra vires. Doktrin ultra vires berdampak pada perikatan antara Perseroan
dan pihak ketiga, di mana transaksi yang dilakukan bersifat ultra vires Menurut Chatamarrasjid
Ais suatu transaksi ultra vires adalah tidak sah dan tidak dapat disahkan kemudian oleh suatu
Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Sehingga perbuatan Direksi yang ultra vires adalah
merupakan tanggung jawab pribadi dari Direksi tersebut.13
13 Chatamarrasjid, op cit, hal. 41.
Pada prinsipnya, perbuatan hukum Direksi yang merupakan tindakan ultra vires adalah
tanggung jawab pribadi dari Direksi Perseroan tersebut. Namun, tindakan ultra vires ini harus
dibedakan dalam dua kategori, yakni tindakan yang dilakukan di luar kewenangan Direksi untuk
melakukannya, tapi masih dalam cakupan maksud dan tujuan Perseroan, serta tindakan yang
dilakukan di luar kewenangan Direksi untuk melakukannya yang berada di luar maksud dan
tujuan Perseroan. Dalam kasus ini merupakan kategori tindakan ultra vires di mana tindakan
yang dilakukan diluar kewenangan Direksi untuk melakukannya tapi masih dalam cakupan
maksud tujuan Perseroan. Implikasi yuridisnya adalah bahwa pihak ketiga yang beriktikad baik
harus dilindungi dari perbuatan Perseroan Hal ini berarti perbuatan Perseroan tersebut harus
dipandang sebagai perbuatan yang sah dan mengikat Perseroan keluar di samping Direksi dapat
dimintai pertanggungjawaban pribadi atas perbuatan hukum yang dilakukannya tersebut. Dengan
demikian Direksi bertanggung jawab renteng dengan Perseroan, di mana jika harta kekayan
Perseroan tidak mencukupi untuk memenuhi kewajiban-kewajiban utangnya maka Direksi secara
pribadi bertanggung jawab untuk menutup kekurangannya tersebut.
Pelampauan wewenang (ultra vires) oleh Anggota Direksi dalam kasus ini belum dapat
mempengaruhi putusan majelis hakim Pengadilan Niaga, karena menurut majelis hakim,
pelampauan wewenang (ultra vires) merupakan urusan internal Perseroan sehingga tidak
mengikat pihak eksternal, termasuk di dalamnya Pemohon pailit. Hal inilah yang menyebabkan
Hakim memberi pertimbangan bahwa Perseroanlah yang bertanggung jawab atas kepailitan
tersebut, sehingga permohonan pernyataan pailit terhadap PT. Greatstar Perdana Indonesia.
Menurut penulis, tindakan ultra vires jelas berlaku eksternal, karena tindakan tersebut
telah tercantum dalam Anggaran Dasar yang notebene telah diumumkan dalam Berita Negara
kepada khalayak ramai menurut asas publisitas. Akibat hukum dari diumumkannya Anggaran
Dasar tersebut adalah mengikatnya Anggaran Dasar tersebut terhadap pihak ketiga.
Pelampauan wewenang (ultra vires) oleh Anggota Direksi (Budi Handoko) telah
mempengaruhi putusan majelis hakim MA dalam perkara ini, apalagi karena ada yurisprudensi
berupa (3) putusan mengenai hal yang sama (penolakan pernyataan pailit bagi PT sebagai
Termohon pailit yang Anggota Direksinya melakukan tindakan ultra vires). Tindakan ultra vires
Anggota Direksi bukan lagi merupakan urusan internal melainkan juga mengikat pihak ketiga
(eksternal) dalam hal ini kreditor, sehingga menyebabkan Anggota Direksi pelaku tindakan ultra
vires harus bertanggung jawab secara pribadi atas utang kepada pihak ketiga tersebut.
Menurut penulis, pertimbangan Majelis Hakim tersebut tepat, sesuai dengan jiwa ultra
vires. Anggota Direksi yang melakukan tindakan ultra vires seharusnya bertanggung jawab
secara pribadi atas hutang kepada pihak ketiga tersebut.
Organ Perseroan yang terlibat dalam kasus ini adalah Anggota Direksi. Menurut
pertimbangan hakim, Anggota Direksi tersebut tidak bertanggung jawab secara pribadi, karena
tindakan penerbitan surat sanggup senilai Rp. 2.000.000.000 (dua milyar Rupiah) oleh Anggota
Direksi yang tidak mendapat persetujuan Dewan Komisaris, (pelanggaran terhadap Pasal 12 (2)
dan (4) AD Perseroan), merupakan tindakan ultra vires, namun tindakan ultra vires tersebut
tidak mengikat pihak ketiga.
Menurut penulis, terhadap Anggota Direksi tersebut seharusnya dikenakan tanggung
jawab pribadi (personal liability) berdasar doktrin piercing the corporate veil, karena perbuatan
Anggota Direksi tersebut jelas-jelas melampaui batas kewenangannya (ultra vires).
Sedangkan dalam tahap kasasi pertimbangan hakim adalah tepat dari segi
pertanggungjawaban Organ. Ketepatan yang dimaksud adalah sesuai dengan jiwa dari doktrin
UV yaitu memberlakukan piercing the corporate veil sebagai konsekuensi logis dari tindakan
UV. Namun pertimbangan pertanggungjawaban pribadi Anggota Direksi tersebut adalah sia-sia
tidak bisa secara nyata menarik Anggota Direksi tersebut ke dalam ranah pertanggungjawaban
pribadi, karena pertanggungjawaban pribadi Anggota Direksi tersebut tidak bisa dieksekusi.
Pertimbangan tentang pertanggungjawaban pribadi ini tidak terwadahi dalam putusan hakim
dalam memutus kasus kepailitan ini. Pertanggungjawaban pribadi hanya berdampak pada
ditolaknya permohonan pernyataan pailit dengan dasar pertimbangan, Perseroan (Termohon
pailit) tidak bertanggungjawab atas utang.
Tanggung jawab organ perseroan dalam kepailitan dimulai dari adanya Fiduciary duty
dari Perseroan sebagai principal dan Organ Perseroan sebagai agent. Dalam perjalanannya,
Organ Perseroan seringkali didapati melakukan tindakan ultra vires, sehingga menyebabkan
terterobosnya tanggung jawab terbatas pemegang saham, dan tanggung jawab berdasarkan
kewenangan bagi Direksi dan Dewan Komisaris yang kemudian mengakibatkan tanggung jawab
pribadi (personal liability) Organ Perseroan. Tindakan ultra vires Direksi ini sering menjadi
alasan dari Termohon Pailit untuk mengalihkan tanggung jawab atas kepailitan kepada Direksi.
Tanggung jawab pribadi (personal liability) ini merupakan perluasan tanggung jawab dimana
Direksi seharusnya hanya bertanggung jawab sesuai kapasitasnya sebagai Direksi dalam
kepailitan; tidak bertanggung jawab secara finansial menjadi bertanggungjawab secara finansial
atas kepailitan. Namun sayang, tanggung jawab pribadi tersebut tidak terakomodasi dalam
putusan hakim.
Ada dua pendapat mengenai akibat hukum tindakan ultra vires. Pendapat pertama
menyatakan bahwa tindakan ultra vires memiliki akibat batal demi hukum (null and void),14
karena tindakan tersebut melampaui kewenangan yang ditetapkan dalam Anggaran Dasar,
sehingga sebab terjadinya tindakan tersebut tergolong dalam sebab yang tidak halal. Hal ini
melanggar syarat objektif yang keempat, sehingga penerbitan surat sanggup tersebut, secara teori
adalah batal demi hukum (null and void).
Namun dalam praktek, adalah sulit untuk membatalkan perjanjian yang sudah dieksekusi,
artinya dana tersebut telah ditransfer ke rekening Direksi, kemudian lama berselang, baru
diketahui, ternyata perjanjian utang-piutang berdasarkan surat sanggup (promissory note)
tersebut tidak sah.
Penyelesaian masalah seperti akan lebih mudah jika pihak kreditor mengumpulkan bukti
mengenai siapa yang menjadi debitor atas utang. Jika terbukti perjanjian utang-piutang
berdasarkan surat sanggup (promissory note) tersebut tidak sah, maka yang bertanggung jawab
untuk mengembalikan utang adalah Direksi. Tanggung jawab untuk pembayaran utang tersebut
sampai ke harta pribadi (personal liability).
Oleh karena itu, penulis menyatakan bahwa tindakan ultra vires merupakan dasar
terterobosnya tanggung jawab berdasarkan kewenangan Direksi, sehingga Direksi yang pada
mulanya tidak bertanggung jawab secara finansial menjadi bertanggung jawab secara finansial
sampai ke harta pribadi atas kepailitan. Inilah yang dimaksud oleh Ricardo Simanjuntak15
sebagai perluasan tanggung jawab (extension of liability), dimana Direksi Perseroan yang pada
14 Ricardo Simanjuntak, Tanggung Jawab Direksi Perseroan Sehubungan Dengan Tindakan Ultra Vires, Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 30, No. 3, Tahun 2011, hal. 7. Lihat juga Sutan Remy Sjahdeini, Jurnal Hukum Bisnis Volume 14 Tahun 2001. 15 ibid
awalnya tidak bertanggung jawab secara finansial terhadap perseroan pailit, menjadi
bertanggung jawab secara finansial, akibat kesalahan/kelalaian Direksi (Pasal 104 ayat (2) UU
No. 40 Tahun 2007). Kesalahan/kelalaian tersebut harus dibuktikan oleh kreditor berdasarkan
doktrin siapa mendalilkan, harus membuktikan (who asser must proof).
Tindakan ultra vires berkaitan dengan syarat formal sahnya perjanjian utang piutang
(mis. sahnya promissory notes, letter of indeminity) antara Perseroan dengan pihak ketiga. Ketika
syarat formal ini tidak terpenuhi maka secara hukum, Anggota Direksi bertindak tidak sesuai
kapasitasnya untuk mewakili Perseroan; melampaui wewenang (ultra vires). Tapi dalam hal
transaksi sebagai lanjutan dari tindakan ultra vires itu dieksekusi, maka Perseroan memperoleh
manfaat ekonomi dari tindakan ultra vires tersebut. Perolehan manfaat ekonomi yang dimaksud
adalah secara riil, dana tersebut masuk ke rekening Perseroan, bukan ke rekening pribadi
Anggota Direksi. Oleh karena itu, adalah tidak adil jika kepailitan yang terjadi karena tindakan
ultra vires Anggota Direksi, hanya dipertanggungjawabkan oleh Anggota Direksi.
Seharusnya, Perseroan bertanggung jawab secara tanggung renteng dengan Anggota
Direksi. Di satu sisi, Anggota Direksi bersalah karena telah melakukan tindakan ultra vires
dalam membuat perjanjian utang-piutang dengan pihak ketiga. Di sisi lain, Perseroan
memperoleh manfaat ekonomi akibat tindakan ultra vires Anggota Direksi tersebut. Sehingga,
baik pihak yang melakukan kesalahan, maupun pihak yang menerima manfaat ekonomi,
keduanya harus bertanggung jawab secara tanggung renteng.
Mengenai dikabulkan atau ditolaknya suatu permohonan pernyataan pailit, memang
terkait dengan tuntutan (petitum) dari Pemohon Pailit dan sifat pasif hakim dalam memutus
perkara; tidak boleh lebih atau kurang dari apa yang dituntut oleh Pemohon Pailit. Bisa jadi,
hakim tidak mempertimbangkan tanggung jawab Anggota Direksi secara serius karena Pemohon
Pailit tidak memintanya dalam petitum. Logika hukumnya, jika tanggung jawab Direksi tidak
termasuk dalam petitum, maka hakim tidak bisa mewadahi tanggung jawab Anggota Direksi
tersebut dalam putusan.
Menurut penulis, tanggung jawab secara tanggung renteng antara Perseroan dan Anggota
Direksi merupakan model yang ideal dalam menanggulangi kepailitan Perseroan yang
disebabkan oleh tindakan ultra vires Anggota Direksi. Tanggung jawab secara tanggung renteng
adalah adil bagi kedua belah pihak. Di satu sisi, Anggota Direksi memang bersalah karena telah
melakukan tindakan ultra vires dalam membuat perjanjian utang-piutang dengan pihak ketiga,
tapi adalah tidak adil, jika Anggota Direksi tersebut hanya bertanggung jawab secara pribadi,
padahal di sisi lain, manfaat ekonomi dari dana hasil pinjaman tersebut dinikmati oleh Perseroan.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Pada kasus PT Indosurya Mega Finance melawan PT Greatstar Perdana Indonesia
tersebut di atas, permasalahannya adalah mengenai tindakan hukum dari Direksi Perseroan yang
merupakan tindakan ultra vires. Doktrin ultra vires berdampak pada perikatan antara Perseroan
dan pihak ketiga, di mana transaksi yang dilakukan bersifat ultra vires. Suatu transaksi ultra vires
adalah tidak sah. Sehingga perbuatan Direksi yang ultra vires adalah merupakan tanggung jawab
pribadi dari Direksi tersebut.
Tanggung jawab secara tanggung renteng antara Perseroan dan Anggota Direksi
merupakan model yang ideal dalam menanggulangi kepailitan Perseroan yang disebabkan oleh
tindakan ultra vires Anggota Direksi. Tanggung jawab secara tanggung renteng adalah adil bagi
kedua belah pihak. Di satu sisi, Anggota Direksi memang bersalah karena telah melakukan
tindakan ultra vires dalam membuat perjanjian utang-piutang dengan pihak ketiga, tapi adalah
tidak adil, jika Anggota Direksi tersebut hanya bertanggung jawab secara pribadi, padahal di sisi
lain, manfaat ekonomi dari dana hasil pinjaman tersebut dinikmati oleh Perseroan.
Daftar Pustaka
Buku:
Agus Budiarto, 2002, Kedudukan Hukum & Tanggung Jawab Pendiri Perseroan, Ghalia
Indonesia, Jakarta
Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary, Sixth Edition, West Publishing Co., St. Paul,
1990
Chatamarrasjid Ais, 2004, Penerobosan Cadar Perseroan dan Soal-Soal Aktual Hukum
Perusahaan, Citra Aditya Bakti, Bandung
Cornelius Simanjuntak, 2009, Organ Perseroan Terbatas, Sinar Grafika, Jakarta
Munir Faudy, 2002, Doktrin-Doktrin Modern dalam Corporate Law, Citra Aditya Bakti,
Bandung
Tri Budiyono, Transplantasi Hukum: Harmonisasi dan Potensi Benturan, Studi Transplantasi
Doktrin yang Dikembangkan dari Tradisi Common Law pada UU PT, 2009, Salatiga:
Griya Media
Makalah:
Fred B.G. Tumbuan, 2000, Pendirian Perseroan Terbatas dan Pertanggungjawaban Direksi dan
Dewan Komisaris serta Pihak Terkait Lainnya, Makalah, Seminar Dengar Pendapat
Publik Berkenaan dengan Perubahan Aspek Hukum Perseroan Terbatas, Jakarta, 24-25
September 2001
Syarif Bastaman, Tanggung Jawab Direksi, Komisaris PT dan Beberapa Prinsip Penting di
dalam UUPT No. 1 Tahun 1995, Makalah, Jakarta 19 Desember 1996
Ricardo Simanjuntak, Tanggung Jawab Direksi Perseroan Sehubungan Dengan Tindakan Ultra
Vires, Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 30, No. 3, Tahun 2011
Ridwan Khairandy, Perseroan Terbatas Sebagai Badan Hukum, Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 26,
No. 3, 2007
Putusan:
Putusan Pengadilan Niaga Nomor 51/pailit/2000/PN.Niaga/Jkt.Pst., tanggal 16 Agustus 2000
Putusan Mahkamah Agung Nomor 30 K/N/2000 tanggal 12 September 2000