13

Click here to load reader

Syarat-syarat perkawinan

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Syarat-syarat perkawinan

BAB IPENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Syarat-syarat Perkawinan merupakan dasar bagi syahnya perkawinan

jika syarat-syaratnya terpenuhi. Perkawinan syah dan menimbulkan adanya

segala kewasiban dan hak-hak perkawinan. Dalam hal ini terdapat dua syarat:

Yang Pertama : perempuannya halal dikawin oleh laki-laki yang ingin

menjadikannya istri, jadi perempuannya itu bukanlah merupakan orang yang

haram dikawini, baik karena haram sementara atau selamanya.

Dan kedua : akad nikahnya harus dihadiri para saksi. Maka perkawinan

tanpa dihadiri saksi tidak akan syah. Jika ketika ijab qabul tidak ada saksi

yang menyaksikan, sekalipun diumumkan kepada orang ramai dengan cara

lain, perkawinannya tetap tidak syah. Maka dengan itu pentingnya saksi dalam

akad nikah.

Selain itu juga terdapat syarat-syarat menjadi saksi dalam akad nikah

dan bila menjadi saksi dalam perkawinan (ijab qabul) harus sesuai dengan

syarat-syarat menjadi saksi sesuai dengan pendapat para ulama. Maka apabila

tidak memenuhi syarat maka perkawinannya bisa disebut tidak syah.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas maka penulis dapat menyusun

perumusan masalahnya sebagai berikut:

1. Bagaimana Hukum Nikah Tanpa Saksi?

2. Apa saja syarat-syarat menjadi saksi?

3. Apa saja syarat-syarat berlakunya ijab qabul

C. Tujuan Masalah

Berdasarkan dari uraian sebelumnya maka tujuan dari rumusan diatas

adalah untuk:

1. Mengetahui Hukum Nikah tanpa saksi.

2. Mengetahui apa saja yang menjadi syarat-syarat sebagai saksi.

3. Mengetahui syarat-syarat berlakunya ijab qabul

1

Page 2: Syarat-syarat perkawinan

D. Sistematika

Untuk lebih mempermudah pembaca dalam memprestasikan, makalah

disusun dengan sistematika :

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I : PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

B. Perumusan Masalah

C. Tujuan Penyusunan

D. Sistematika

BAB II : KEHADIRAN SAKSI DALAM AKAD NIKAH

BAB III : PENUTUP

A. Kesimpulan

2

Page 3: Syarat-syarat perkawinan

BAB IIKEHADIRAN SAKSI DALAM AKAD NIKAH

A. Hukum Nikah Tanpa Saksi

A.1 Syarat Syahnya Perkawinan

Pada dasarnya Rukun Nikah adalah : adanya calon suami dan istri,

wali, dua orang saksi, mahar serta terlaksananya ijab qabul. Dalam fiqh

madzhab syafi’i nikah dapat dikatakan sah ketika syarat dan rukunnya dapat

terpenuhi, yaitu : dua calon suami, istri, dua orang saksi, adanya wali, ijab

qabul, kesaksian anggota keluarga tidaklah menjadi syarat tapi yang

diperlukan adalah kesaksian dua orang yu’tabar (adil). Pada jamannya baik

dari anggota keluarga yang bukan wali muayyan atau orang lain. Namun jika

yang dimaksud adalah ketidak hadiran wali maka hukum nikahnya tidak syah

karena wali adalah Rukun Nikah. Akan tetapi dalam hal ini (ketika wali tidak

ada maka bisa digantikan dengan wali hakim setempat.

Dalam permasalahan ini seorang saksi dalam akad nikah adalah wajib

karena termasuk Rukun Nikah. Karena bila salah satu Rukun Nikah

ditinggalkan maka perkawinannya batal (tidak syah).

“tidak syah perkawinannya kecuali dengan wali dan dia saksi yang

adil”

Kata “tidak” disini maksudnya “tidak syah” yang berarti menunjukan

bahwa mempersaksikan terjadinya ijab qabul merupakan syarat dalam

perkawinan, sebab dengan tidak adanya saksi dalam ijab qabul dinyatakan

tidak syah, maka hal itu menjadi syaratnya.

Dalam permasalahan ini terdapat sebagian ulama berpendapat

perkawinan tanpa saksi-saksi hukumnya syah, diantara yang berpendapat

demikian adalah : golongan syiah, Abdur-Rahman bin mandi, yazid bin harun,

Ibnul Mundzir, Daud, prakteknya Ibnu Umar, dan Ibnu Zubair. Diriwayatkan

3

Page 4: Syarat-syarat perkawinan

juga bahwa hasan Bin ali pernah kawin tanpa saksi-saksi, tapi kemudian ia

umumkan perkawinannya.

Perkawinan Ibnu Mundzir : Tidak ada satupun hadis yang syah tentang

syarat dua orang saksi dalam akad nikah (perkawinan). Yazid bin Harun

berkata : Allah memerintahkan saksi dalam urusan jual beli, bukan dalam

perkawinan tetapi golongan rasionalis (pemakai dasar Q’yas) mensyaratkan

mengadakan saksi dalam perkawinan dan mereka tidak mensyarakan ini dalam

jual beli.

Menurut pendapat syafii, Abu Hanifah, dan Ibnul Mundzir

menganggap makruh perkawinan bila akad nikahnya dirahasiakan karena

menyalahi adanya perintah untuk mengumumkan perkawinan. Sedangkan

menurut Imam Malik menganggap batal bagi perkawinan yang dipersaksikan

oleh dua orang laki-laki dan didesar agar merahasikannya, jawabnya :

keduanya harus diceraikan satu talaq, tidak boleh digauli tapi istrinya berhak

atas maharnya yang telah diterimanya dan kedua saksinya tidak dihukum.

A.II Syarat-syarat menjadi saksi

Syarat menjadi saksi: berakal sehat, dewasa dan mendengarkan

omongan dari kedua belah pihak yang beraqad dan memahami bahwa ucapan-

ucapannya itu maksudnya adalah sebagai ijab qabul perkawinan.

Jika yang menjadi saksi itu anak-anak atau orang gila atau orang bisu,

atau orang yang sedang mabuk, maka perkawinannyatidak shah, sebab mereka

dipandang seperti tidak ada.

1. Bersifat Adil

Menurut Imam Hanafi untuk menjadi saksi dalam perkawinan tidak

disyaratkan harus orang yang adil, jadi perkawinan yang disaksikan oleh

dua orang fasik hukumnya shah. Setiap orang yang sudah patut menjadi

wali dalam perkawinan, boleh menjadi saksi, karena maksud adanya saksi

ini ialah untuk diketahui umum.

Golongan Syafi’i berpendapat saksi itu harus orang yang adil,

sebagaimana tersebut dalam hadits di atas: “Tidak shah nikah tanpa wali

dan dua orang saksi yang adil”. Menurut mereka ini bila perkawinan

4

Page 5: Syarat-syarat perkawinan

disaksikan oleh dua orang yang belum dikenal adil tidaknya, maka ada dua

pendapat, tetapi menurut Syafi’i kawin dengan saksi-saksi yang belum

dikenal adil tidaknya, hukumnya shah. Karena perkawinan itu terjadi di

berbagai tempat, di kampung-kampung, daerah-daerah terpencil dan kota,

dimana ada orang yang belum diketahui adil tidaknya, hal itu akan

menyusahkan. Karena itu cukuplah dilihat lahirnya ketika itu, di mana ia

tidak terlihat kefasikannya. Bila sesudah selesai akad nikah terbukti ia

seorang yang fasik, maka akad nikahnya tidaklah dipengaruhi, karena

syarat adil untuk menjadi saksi dalam perkawinan dilihat dari segi lahirnya

yaitu bahwa dia tidak terlihat ketika itu melakukan kefasikan dan hal itu

telah terbukti.

2. Perempuan Menjadi Saksi

Golongan Syafi’i dan Hambali mensyaratkan saksi haruslah laki-laki.

Aqad nikah dengan saksi seorang laki-laki dan dua perempuan, tidak shah,

sebagaimana riwayat Abu ‘Ubaid dari Zuhri, katanya: Telah berlaku

contoh dari Rasulullah SAW. bahwa tidak boleh perempuan menjadi saksi

dalam urusan pidana, nikah dan thalak. Aqad nikah bukanlah suatu

perjanjian kebendaan, bukan pula dimaksudkan untuk kebendaan, dan

biasanya yang menghindari adalah kaum laki-laki. Karena itu tidak shah

aqad nikah dengan saksi dua orang perempuan, seperti halnya dalam

urusan pidana tidak dapat diterima kesaksiannya dua orang perempuan.

Tetapi golongan Hanafi tidak mengharuskan syarat ini. Mereka

berpendapat bahwa kesaksian dua orang laki-laki atau seorang laki-laki

dan dua orang perempuan sudah shah, sebagaimana Allah berfirman:

Dan adakanlah dua orang saksi dari laki-laki kalanganmu sendiri. Jika

tidak ada dua orang laki-laki, maka cukup seorang laki-laki dan dua

orang perempuan yang kamu sukai untuk menjadi saksi.

(Al-Baqarah: 282)

5

Page 6: Syarat-syarat perkawinan

Aqad nikah sama dengan jual beli, yaitu karena merupakan perjanjian

timbal-balik yang dianggap shah dengan saksi du perempuan di samping

seorang laki-laki.

3. Harus Orang Merdeka

Abu Hanifah dan Syafi’i mensyaratkan orang yang menjadi saksi harus

orang-oarng yang merdeka, tetapi Ahmad tidak mengharuskan syarat ini.

Dia berpendapat aqad nikah yang disaksikan oleh dua orang budak,

hukumnya shah sebagaimana shahnya kesaksian mereka dalam masalah-

masalah lain, dan karena dalam Al-Qur’an maupun hadits tidak ada

keterangan yang menolak seorang budak untuk menjadi saksi dan selama

dia jujur serta amanah, kesaksiannya tidak boleh ditolak.

4. Harus Orang Islam

Para ahli fiqh berbeda pendapat tentang syarat-syarat menjadi saksi

dalam perkawinan bilamana pasangannya terdiri dari laki-laki dan

perempuan muslim, apakah saksinya harus beragama Islam? Juga mereka

berbeda pendapat jika yang laki-lakinya beragama Islam, apakah yang

menjadi saksi boleh orang yang bukan islam? Menurut Ahmad, Syafi’i dan

Muhammad bin Al-Hasan perkawinannya tidak shah, jika saksi-saksinya

bukan orang Islam, karena yang kawin adalah orang Islam, sedang

kesaksian bukan orang Islam terhadap orang Islam tidak dapat diterima.

Tetapi Abu Hanifah dan Abi Yusuf berpendapat bila perkawinan itu

antara laki-laki muslim dan perempuan ahli Kitab maka kesaksian dua

orang ahli kitab boleh diterima. Dan pendapat ini diikuti oleh Undang-

undang perkawinan Mesir.

B. SYARAT –SYARAT BERLAKUNYA IJAB QABUL

Ijab qabul dianggap shah bilamana untuk berlakunya tidak lagi

bergantung kepada persetujuan orang lain, yaitu bila:

I. Masing-masing yang melakukan ijab-qabul telah dewasa (berakal sehat

dan merdeka). Jika salah seorang dari yang melakukan ijab qabul ini

belum dewasa seperti karena lemah pikirannya, masih anak-anak atau

budak, maka ijab qabulnya yang dilakukannya sendiri shah, asalkan telah

6

Page 7: Syarat-syarat perkawinan

mendapat persetujuan waliny atau tuannya. Jika mereka ini mengijinkan

shah, dan jika tidak, bathal.

II. Masing-masing pihak yang melakukan ijab qabul harus punya wewenang

yang dapat digunakannya untuk melakukan ijab qabul secara langsung.

Bilamana ada pengijab yang tidak berhak untuk melakukan ijab qabul,

seperti karena ia bukan wakilnya atau walinya atau seorang wakil yang

melampaui wewenangnya, atau seorang wali yang jauh, padahal wali yang

dekat dekat mempelai masih ada, maka jika mereka melakukan ijab qabul

dengan memenuhi segala syarat-syarat, ijab qabulnya shah asalkan disetujui

oleh yang mempunyai hak.

7

Page 8: Syarat-syarat perkawinan

BAB IIIPENUTUP

A. Kesimpulan

Perkawinan itu dapat dikatakan berlaku bila rukunnya sempurna,

syarat-syaratnya shah dan syarat berlakunya terpenuhi, dimana kedua

pasangan ataupun pihak lain tidak dapat membatalkan perkawinannya atau

memfasakhnya. Dan perkawinan ini hanya bisa berakhir kalau terjadi

perceraian atau kematian.demikianlah dasar pokok dari pada perkawinan.

Karena maksud agama mengadakan syari’at perkawinan adalah guna

kelanggengannya pergaulan suami istri, mendidik dan mengurus kepentingan

anak-anak, dimana hal-hal tersebut tak akan dapat dilakukan kecuali jika telah

berlaku perkawinannya.

Syarat-syarat sempurnanya perkawinan pada pokoknya adalah satu,

yaitu agar salah seorang dari kedua pasangan tidak punya hak membatalkan

perkawinannya bila telah berlangsung ijab qabulnya dan berlaku akibat

hukumnya. Kalau pada salah satu pihak masih ada hak untuk membatalkan

berarti perkawinannya belum sempurna.

8

Page 9: Syarat-syarat perkawinan

DAFTAR PUSTAKA

Sabia, Sayyid. Fiqih Sunnah 6. Bandung: PT AL-MAARIF

Sabiq, Sayyid.1983. Fiqih Sunnah 8. Bandung: PT AL-MAARIF

Syaltaut, syaikh Mahmud. As-Sayis, Syaikh M-Ali. 1973. Perbandingan Madzhab

(dalam masalah Fiqih). Jakarta: PT. Bulan Bintang

www.google.com

9