66
HIBRIDITAS RADEN SALEH Disampaikan pada Seminar “Great Thinkers” di Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, Selasa, 10 Desember 2013 Suwarno Wisetrotomo Fakultas Seni Rupa & Pascasarjana ISI Yogyakarta Mahasiswa S3 Kajian Budaya dan Media Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada

Suwarno Wisetrotomo Fakultas Seni Rupa & Pascasarjana ISI Yogyakarta

  • Upload
    zofia

  • View
    144

  • Download
    0

Embed Size (px)

DESCRIPTION

HIBRIDITAS RADEN SALEH Disampaikan pada Seminar “Great Thinkers” di Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, Selasa, 10 Desember 2013. Suwarno Wisetrotomo Fakultas Seni Rupa & Pascasarjana ISI Yogyakarta Mahasiswa S3 Kajian Budaya dan Media Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada. - PowerPoint PPT Presentation

Citation preview

Page 1: Suwarno Wisetrotomo Fakultas Seni Rupa & Pascasarjana ISI Yogyakarta

HIBRIDITAS RADEN SALEHDisampaikan pada Seminar “Great Thinkers” di Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada,

Selasa, 10 Desember 2013

Suwarno Wisetrotomo

Fakultas Seni Rupa & Pascasarjana ISI YogyakartaMahasiswa S3 Kajian Budaya dan Media

Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada

Page 2: Suwarno Wisetrotomo Fakultas Seni Rupa & Pascasarjana ISI Yogyakarta
Page 3: Suwarno Wisetrotomo Fakultas Seni Rupa & Pascasarjana ISI Yogyakarta

• Raden Saleh adalah salah satu bukti pertama yang menarik mengenai “pesona” Barat (Denys Lombard, 1996; 112).

• Raden Saleh sebagai ikon atas “tanda-tanda munculnya pemikiran-pemikiran baru” dalam bidang seni rupa (M.C. Ricklefs, 1998; 193).

Page 4: Suwarno Wisetrotomo Fakultas Seni Rupa & Pascasarjana ISI Yogyakarta

1. Raden Saleh Sjarief Boestaman (Raden Saleh/ RS), dilahirkan pada 1807 (Werner Kraus menyebutnya tahun 1811, Harsja W. Bachtiar menyebut 1814. Pada 1829 ia berangkat ke Eropa ketika berusia 22 th, atau 18 th, atau 15 th). Th 1830-1833 belajar melukis potret pada Cornelis Kruseman (1797-1857), dan melukis panorama pada Andreas Schelfhout (1787-1870). Tahun 1834, bulan September RS Pameran Tunggal lukisan di National Exhibition in Amsterdam.

Page 5: Suwarno Wisetrotomo Fakultas Seni Rupa & Pascasarjana ISI Yogyakarta

Dilahirkan di Terbaya, Semarang. Orang tuanya adalah Bupati Terbaya, Semarang. Lingkaran pergaulan sejak anak-anak lapisan elite bangsawan dan kolonial. Ayah bernama Sayid Husen bin Alwi bin Awal, Ibu bernama Mas Ajeng Zarip Husen. Keduanya, cucu Kyai Ngabehi Kertoboso Bustam (1681-1759), seorang asisten Residen Terboyo, pendiri keluarga besar Bustaman yang keturunannya banyak menjadi residen, patih, dan anggota utama kelas priyayi bangsawan (Bachtiar,2009;3).

Masa kecil RS dihabiskan di kediaman pamannya, Kyai Adipati Soero Menggolo, Bupati Semarang di Terboyo, hingga tahun 1822 (ibid.).

Page 6: Suwarno Wisetrotomo Fakultas Seni Rupa & Pascasarjana ISI Yogyakarta

Pamannya ini disebut pula Kanjeng Terboyo Bustam, menantu Pangeran Ario Mangkunegoro I. Sejak usia tujuh tahun, RS dididik oleh G.A.G. Baron van der Capellen atas usaha pemerintah Belanda (Algadri, 1984; 54). Dari sini ia belajar melukis pada Antoine Auguste Joseph Payen (AAJ Payen), pelukis kelahiran Brussel, Belgia (1792-1853), yang bekerja di Pusat Penelitian Pengetahuan dan Kesenian Pemerintah Belanda di Bogor.

Page 7: Suwarno Wisetrotomo Fakultas Seni Rupa & Pascasarjana ISI Yogyakarta

Pelukis AAJ. Payen meminta RS ke Bogor, bertugas mendokumentasi (dengan gambar) kekayaan hayati di Kebun Raya Bogor. Payen pula yang mengusulkan kepada Pemerintah Belanda, agar RS di kirim ke Eropa (Belanda) untuk belajar melukis.

Pada 1829-1839 belajar melukis pada Cornelius Krusseman dan Andreas Schelfhout. Situasi Belanda ketika itu biasa disebut ‘pasca kegemilangan’ pencapaian Rembrandt van Rijn, Rubens, atau Vermeer.

Page 8: Suwarno Wisetrotomo Fakultas Seni Rupa & Pascasarjana ISI Yogyakarta

Pada 1839, RS tiba di Dresden, Jerman (tinggal selama 5 th). Kemudian melakukan perjalanan ke Paris, mengikuti beberapa pameran lukisan (Salon in Paris), dan tinggal di Paris hingga 1850.

Th 1851 melakukan perjalanan (kembali) ke Jawa, dengan aktivitas ke Batavia, Bogor, Semarang, Magelang, termasuk naik ke gunung Merapi (1865).

Page 9: Suwarno Wisetrotomo Fakultas Seni Rupa & Pascasarjana ISI Yogyakarta

Th 1867 menikahi Raden Ayu Danudiredjo, kerabat dari pangeran Diponegoro. Kemudian tinggal di Bogor. Th 1877 melakukan perjalanan ke Paris. Th 1879 kembali ke Jawa (Batavia), kemudian menetap di Bogor.

Pada 23 April 1880, RS meninggal di Bogor, di Kampung Empang. Raden Ayu Danudiredjo meninggal pada 1 Agustus 1880. Meninggalnya RS menjadi berita besar.

Page 10: Suwarno Wisetrotomo Fakultas Seni Rupa & Pascasarjana ISI Yogyakarta

Koran Java Bode menulis laporan; “... Pada hari Minggoe tanggal 26 April djam 6 pagi maitnya Raden Saleh diiringi oleh banjak toean-toean ambtenar, kandjeng toean Assistant, toean Boetmy dan lain-lain toean tanah, hadji-hadji, satoe koempoelan baris bangsa Islam, baik jang ada pangkat jang tiada berpangkat dan orang Djawa, sampe anak-anak Djawa dari Landbouwschool semoea anter itoe mait ke koeboer” (Java Bode, 28 April 1880).

Page 11: Suwarno Wisetrotomo Fakultas Seni Rupa & Pascasarjana ISI Yogyakarta

Reportase jurnalistik dari Java Bode (dan Hindia-Netherland) tentang meninggalnya RS merupakan penanda yang menarik terkait dengan posisi masa akhir kehidupan RS. Mengawali kehidupan hingga pencapaian di lapis elite, tetapi di hari kematiannya di hormati oleh seluruh lapisan masyarakat.

Page 12: Suwarno Wisetrotomo Fakultas Seni Rupa & Pascasarjana ISI Yogyakarta

• Foto-foto RS dan isterinya

Page 13: Suwarno Wisetrotomo Fakultas Seni Rupa & Pascasarjana ISI Yogyakarta

Patung Raden Saleh karya B. Van Hove, tinggi 165 cm (gips/plaster, dilukis), koleksi pribadi di Harlem, Belanda (Haks & Guus Maaris, 1995)

Page 14: Suwarno Wisetrotomo Fakultas Seni Rupa & Pascasarjana ISI Yogyakarta

Dalam kajian Harry A. Poeze, pada awal abad ke-18 muncul pemikiran pemerintah kolonial untuk mengirim orang-orang Hindia-Belanda khususnya dari Jawa dan Sumatera untuk belajar ketrampilan di Belanda, Brussel, dan Belgia. Th 1835, Raden Ngabehi Poespa Wilaga dikirim ke Belanda untuk mengawasi pembuatan huruf Jawa di percetakan huruf Joh. Enschede en zoonen di Haarlem.

Page 15: Suwarno Wisetrotomo Fakultas Seni Rupa & Pascasarjana ISI Yogyakarta

Th 1858 seorang bernama Kadjo, 21 tahun, anak seorang opsir bawah dari tentara (kavaleri) Sri Sunan dari Surakarta, dikirim ke Brussel untuk belajar membuat arloji dan ornamen (seni hias). Ia mendapat hadiah utama dari akademi seni di Brussel (1859), dan memiliki keahlian membuat arloji.

Nama lainnya adalah Raden Mas Ismangoen Danoe Winoto dari Yogyakarta, dan Raden Moentajib Moeda.

Page 16: Suwarno Wisetrotomo Fakultas Seni Rupa & Pascasarjana ISI Yogyakarta

Raden Mas Ismangoen menyelesaikan pendidikan di HBS (Hogore Burder School) dan pada 1875 diterima sebagai pegawai tinggi di Institut untuk Ilmu Bahasa, Ilmu Bumi, dan Ilmu Bangsa-bangsa dari Hindia Belanda di Delft. Tentang Raden Moentajib hanya disebutkan sebagai pribumi pertama yang menulis cerita perjalanan ke Nederland (Poeze, 1600-1900; 15).

Page 17: Suwarno Wisetrotomo Fakultas Seni Rupa & Pascasarjana ISI Yogyakarta

Meski terdapat nama lain, hanya RS yang namanya melegenda, dan menunjukkan pencapaian kreatif (seni lukis) dan pergaulan yang luas, dan bahkan berpengaruh. Mengapa nama-nama lain tidak populer?

Karena itu Denys Lombard dan Ricklefs hanya menyebut RS sebagai contoh. Di bidang seni rupa, khususnya seni lukis, pada abad ke-19, RS dapat dikatakan masih merupakan satu-satunya contoh tanda lambatnya selera baru itu melembaga (Lombard,1996;186).

Page 18: Suwarno Wisetrotomo Fakultas Seni Rupa & Pascasarjana ISI Yogyakarta

Spatula, Ladle, Bamboo, Pipe.(1822 – 1824), cat air, kertas.

Agricultural Tools / Alat-Alat Pertanian, (1822 – 1824), cat air, kertas. (Werner Kraus, 2012; 176, 181)

Page 19: Suwarno Wisetrotomo Fakultas Seni Rupa & Pascasarjana ISI Yogyakarta

Horse Attacked by a Lion(1842), graphite on paper,

(Kraus, 2012; 192)

Kepala Singa(1840), tinta coklat, kertas,

(Kraus, 2012; 201)

Page 20: Suwarno Wisetrotomo Fakultas Seni Rupa & Pascasarjana ISI Yogyakarta

• Pohon Aren• Pohon Durian• Pohon Rasamala (1864), gambar RS, lithography oleh W.D. Wiemans.

Page 21: Suwarno Wisetrotomo Fakultas Seni Rupa & Pascasarjana ISI Yogyakarta

Bushfire(1863 – 76), Lukisan RS, lithography oleh C.W. Mieling.

Page 22: Suwarno Wisetrotomo Fakultas Seni Rupa & Pascasarjana ISI Yogyakarta

2. Menengarai Hibriditas Raden Saleh‘Hibrid’ metafora untuk menggambarkan

bergabungnya dua bentuk (jenis) budaya yang memunculkan sifat-sifat tertentu dari masing-masing bentuk, sekaligus meniadakan sifat-sifat tertentu yang dimiliki keduanya.

‘Postkolonialitas bukan hanya menciptakan budaya atau praktek hibridasi, tetapi sekaligus menciptakan bentuk-bentuk resistensi dan negosiasi baru bagi sekelompok orang dalam relasi sosial dan politik mereka (Bhaba, 1994; 113-114).

Page 23: Suwarno Wisetrotomo Fakultas Seni Rupa & Pascasarjana ISI Yogyakarta

Hibriditas tidak hanya berfokus pada produk-produk paduan budaya, tetapi lebih pada cara bagaimana produk-produk budaya ini diproduksi, penempatannya pada ruang sosial-historis di bawah kolonialisme, dan menjadi bagian penting dari penolakan hubungan kekuasaan kolonial (Day, 2008; 13).

Page 24: Suwarno Wisetrotomo Fakultas Seni Rupa & Pascasarjana ISI Yogyakarta

“Mimikri” konsep yang menggambarkan proses peniruan atau peminjaman berbagai elemen kebudayaan. Bentuk perlawanan dengan cara meniru, menikmati, dan bermain dengan ambivalensi yang terjadi dalam proses imitasi strategi melalui proses ‘mengimitasi’ sekaligus ‘mensubversi’; melanggengkan sekaligus menegasi (cara RS berbusana dan sejumlah karya lukisan). Di dalam mimikri terdapat unsur mockery; meniru sekaligus untuk memperolok-olok.

Page 25: Suwarno Wisetrotomo Fakultas Seni Rupa & Pascasarjana ISI Yogyakarta

Membicaraka RS setidaknya melihat beberapa hal yang menarik; pertama, seorang pribumi Jawa – dari lapis elite – yang memiliki pergaulan elite (bangsawan, pemerintah kolonial); kedua, perlawatan seorang pribumi Jawa di tengah latar belakang sosial-politik kolonial (di Jawa) yang penuh pergolakan dan represif; ketiga, seorang pribumi Jawa di tengah “pergaulan Barat” (sosial, dan profesional sebagai pelukis), hingga mendapat

Page 26: Suwarno Wisetrotomo Fakultas Seni Rupa & Pascasarjana ISI Yogyakarta

predikat “Pelukis Kerajaan” dan bintang kehormatan dari pemerintah kolonial Belanda; keempat, karya-karya lukisan RS sebagai penanda tumbuhnya pemikiran, kesadaran, dan sikap RS terhadap kolonialisme Belanda.

Dalam diri RS dapat dilihat terjadinya “proses pembentukan diri yang otentik”, yang dipicu oleh posisinya yang sulit, sebagai ‘pribumi Jawa’, terkoloni, dicurigai. Pada titik ini RS “ngulir budi”/olah jiwa dan akal, dengan cara:

Page 27: Suwarno Wisetrotomo Fakultas Seni Rupa & Pascasarjana ISI Yogyakarta

• Menguasai teknik dan bahasa seni lukis: inilah alat yang efektif untuk memasuki dunia yang luas. RS diterima secara istimewa sebagai pelukis (dan ia manfaatkan sebagai media komunikasi dengan baik).

• Menampilkan diri secara “berbeda” melalui busana (“politik pakaian”). RS memiliki selera baik dan istimewa dalam berpakaian, dan selalu menjadi pusat perhatian, karena tampak eksotis.

Page 28: Suwarno Wisetrotomo Fakultas Seni Rupa & Pascasarjana ISI Yogyakarta

3. Raden Saleh dan Karya-karyanya“Sesungguhnya, dalam bidang lukisan dapat

dikatakan bahwa Barat tidak berlaku sebagai “pengaruh”. Yang terjadi adalah keterputusan-keterputusan dalam hal teknik: cat minyak, perspektif, penggunaan model; dan terutama keterputusan inspirasi: pemandangan, potret, adegan-adegan cerita, tokoh drama. Raden Saleh tentu memainkan peran utama di sini” (Lombard, 1996; 186)

Page 29: Suwarno Wisetrotomo Fakultas Seni Rupa & Pascasarjana ISI Yogyakarta

Cara berpikir, cara pandang, cara kerja RS tentu dipengaruhi oleh ‘para guru’ dan pengalamannya di Eropa.

Karya-karya lukisan RS dapat dikategorikan menjadi:

a. Lukisan Potret. Karya jenis ini hampir seluruhnya terdiri atas orang-orang lapis elite bangsawan, elite birokrasi kolonial, atau potret orang-orang yang dianggap berpengaruh.

Page 30: Suwarno Wisetrotomo Fakultas Seni Rupa & Pascasarjana ISI Yogyakarta

Melalui lukisan potret, RS melakukan pendekatan (lobi), untuk berbagai kepentingan (tambahan dana, kedekatan, dan membangun posisi; surat-surat RS merupakan salah satu indikator). Surat RS untuk J.C. Baud, tertanggal 1 Februari 1845; “...satoe perkara, saja mistie radjin, doea perkara, idoep jang patoet, soepaja bolih ada mampoe kenalan sama orang jang baek2 dan orang asal2. Dari itoe saja minta dengan soengoe2 Attie Padoeka boleh toeloeng, dan kasjian, jang soepaja saja poenja. Radja boleh djadie kasjian pada saja, ...

Page 31: Suwarno Wisetrotomo Fakultas Seni Rupa & Pascasarjana ISI Yogyakarta

satoe perkara, saja minta barang f. 800, soepaja saja bolih belie apa jang saja beloem ada, dan djoega ada sedikit wang dalem tangan” (Raden Saleh Bulletin, No. 2/1998). Surat ini ditulis pada waktu diselesaikan lukisan Potret Jean Chretein Baud (1840), ketika sedang menjabat sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Dugaan yang sama ketika RS melukis Potret Sultan HB IV, VI, VII (1867).

Page 32: Suwarno Wisetrotomo Fakultas Seni Rupa & Pascasarjana ISI Yogyakarta

• Potret Herman Willem Daendels dengan seragam, (1838), cat minyak, kanvas, 120 x 98 cm• Potret Herman Willem Daendels, (1838), cat minyak, kanvas, 77 x 61 cm• Potret Bupati Cianjur, Raden Adipati Kusumaningrat,

(1852), cat minyak, kanvas, 27.5 x 22.5 cm

Page 33: Suwarno Wisetrotomo Fakultas Seni Rupa & Pascasarjana ISI Yogyakarta

• Potret Gubernur Jenderal Van Den Bosch, (1836), cat minyak, kanvas, 115 x 97 cm• Potret Gubernur Jenderal Jean Chretien Baud,

(1837), cat minyak, kanvas, 119.5 x 97.5 cm

Page 34: Suwarno Wisetrotomo Fakultas Seni Rupa & Pascasarjana ISI Yogyakarta

• Potret Gubernur Jenderal Mijer, (t.t), cat minyak, kanvas, 46.5 x 42 cm• Potret Gubernur Jenderal Jean Philippe Hubert Desire Bosch, (1867),

cat minyak, kanvas, 122.5 x 89.5 cm

Page 35: Suwarno Wisetrotomo Fakultas Seni Rupa & Pascasarjana ISI Yogyakarta

b. Lukisan Tema “Panorama”: karya RS jenis ini menunjukkan perkembangan yang menarik dari sekadar merekam panorama, ke merepresentasikan ketegangan jiwa (karena kesadaran sebagai makhluk yang kecil di hadapan semesta). Lukisan Badai (1840), atau Letusan Gunung Merapi (1865), mulai terasa aspek drama dan religiositasnya.

Page 36: Suwarno Wisetrotomo Fakultas Seni Rupa & Pascasarjana ISI Yogyakarta

Megamendung (Puncak Poss), (1862), cat minyak,

kanvas, 90 x 53 cm

Pemandangan Gunung Gede dan Pangrango, (1857?),

Cat minyak, kanvas, 26. 4 x 35.8 cm

Page 37: Suwarno Wisetrotomo Fakultas Seni Rupa & Pascasarjana ISI Yogyakarta

Jalan Melewati Megamendung (Pos Jawa),(1876), cat minyak, kanvas, 106 x 155 cm

Page 38: Suwarno Wisetrotomo Fakultas Seni Rupa & Pascasarjana ISI Yogyakarta

Merapi, Letusan pada Siang Hari, (1865), cat minyak,

kanvas, 75 x 114 cm

Merapi, Letusan pada Malam Hari, (1865), cat minyak,

kanvas, 74 x 114 cm

Page 39: Suwarno Wisetrotomo Fakultas Seni Rupa & Pascasarjana ISI Yogyakarta

• Tema “Binatang”: karya-karya dalam tema ini menunjukkan tingkat kemasteran RS. Ciri utamanya; adegan dramatik, suasana kritis, menegangkan, pertarungan antara hidup dan mati (mengingatkan karya-karya era Romantisisme). Kekuatan rupa karya-karya ini merupakan pencapaian; penaklukan RS terhadap ‘apa yang seharusnya dicapai’ dalam realisme. Analisis terhadap karya-karya ini bisa politis (pertarungan antara ‘pribumi’ dan ‘barat’, antara ‘timur’ dan ‘barat’), atau

Page 40: Suwarno Wisetrotomo Fakultas Seni Rupa & Pascasarjana ISI Yogyakarta

bisa spiritual; tentang pertarungan antara nafsu duniawi, dan kesadaran religiositas; yang provan dengan yang spiritual.

Adegan-adegan penuh drama dalam karya-karya ini memancing pemahaman seperti itu.

Page 41: Suwarno Wisetrotomo Fakultas Seni Rupa & Pascasarjana ISI Yogyakarta

Sepasang Singa dan Ular di Mulut Goa, (1839),

121 x 175 cm

Sepasang Singa, Bangkai Kuda dan Ular,

(1839), cat minyak, hard board, 30 x 40 cm

Page 42: Suwarno Wisetrotomo Fakultas Seni Rupa & Pascasarjana ISI Yogyakarta

Perburuan Singa dengan Orang Badui, (1840),

42 x 57 cm

Perburuan Singa, (1840), 85 x 140 cm

Page 43: Suwarno Wisetrotomo Fakultas Seni Rupa & Pascasarjana ISI Yogyakarta

Pemburu Diserang Harimau, (1845), 40 x 45 cm

Kuda Diserang Singa dan Dibela Seekor Ular,

(1841), 50 x 65 cm

Page 44: Suwarno Wisetrotomo Fakultas Seni Rupa & Pascasarjana ISI Yogyakarta

Penunggang Kuda Arab Diterkam Singa di Tepi Jurang,

(1842), 154 x 168.5 cm

Pelukan Terakhir,(1844), 33 x 51 cm

Page 45: Suwarno Wisetrotomo Fakultas Seni Rupa & Pascasarjana ISI Yogyakarta

Penunggang Kuda Arab Diterkam Singa(1870), 265 x 193 cm

Page 46: Suwarno Wisetrotomo Fakultas Seni Rupa & Pascasarjana ISI Yogyakarta

Mengintai (Pemandangan Jawa dengan Borobudur)(1849), 112 x 156.5 cm

Page 47: Suwarno Wisetrotomo Fakultas Seni Rupa & Pascasarjana ISI Yogyakarta

Banjir di Jawa(1863 – 1876), dilukis oleh Raden Saleh, litography oleh C.W. Mielin, 32 x 44 cm

Page 48: Suwarno Wisetrotomo Fakultas Seni Rupa & Pascasarjana ISI Yogyakarta

Karya Tema “Manusia dalam Lingkaran Drama”:Karya-karya jenis ini sebenarnya kombinasi

antara manusia dan binatang, yang dihadirkan dalam format relasi antarsubjek. Manusia dan binatang tidak dihadirkan secara tunggal, tetapi berkelompok, misalnya karya Berburu Singa (1845), Mengintai (1849), Banjir di Pulau Jawa, dan Penangkapan Pangeran Diponegoro (1857).

Page 49: Suwarno Wisetrotomo Fakultas Seni Rupa & Pascasarjana ISI Yogyakarta

Karya-karya ini peneguhan kemasteran RS; aspek dramatisasi situasi kritis, antara hidup dan mati. Komposisi, sama seperti karya-karya romantisisme pada umumnya; subjek-subjek disusun secara diagonal, yang menguatkan citra gerak. Karya-karya ini dapat dilihat sebagai metafora, dan peneguhan terhadap sikap dan upaya ‘penaklukan’.

Page 50: Suwarno Wisetrotomo Fakultas Seni Rupa & Pascasarjana ISI Yogyakarta

Puncak dari dramatika manusia ini terdapat pada karya RS bertajuk Historisches Tableau: die Gefangennahmen des Javanischen Hauptling Diepo Negoro (Lukisan Bersejarah: Penangkapan Pemimpin Jawa, Dipanegara; di Magelang, 30 Maret 1830) – tahun 1857, cat minyak di atas kanvas, 112x179 cm. Karya ini merupakan interpretasi ulang (bisa kita pahami sebagai manifestasi “mimikri” tanpa sedikitpun olok-olok)

Page 51: Suwarno Wisetrotomo Fakultas Seni Rupa & Pascasarjana ISI Yogyakarta

atas lukisan “resmi” pemerintah kolonial Belanda karya Nicolas Pieneman, bertajuk The Submission of Dipo Negoro to General de Kock, karya tahun 1835, 77 x 100 cm (kini koleksi Rijksmuseum Amsterdam). Karya Pieneman dibuat sebagai ‘dokumentasi historis’.

Karya RS “Penangkapan Pangeran Diponegoro” dapat dianggap sebagai manifestasi hibriditas yang demikian kuat, terutama dari aspek ideologis dan tendensinya.

Page 52: Suwarno Wisetrotomo Fakultas Seni Rupa & Pascasarjana ISI Yogyakarta

Nicolas Pieneman, Penyerahan Diri Dipo Negoro

kepada Jenderal de Kock,28 Maret 1830 (1835),

77 x 100 cm

Raden Saleh, Penangkapan

Pangeran Diponegoro (1857),

112 x 179 cm

Page 53: Suwarno Wisetrotomo Fakultas Seni Rupa & Pascasarjana ISI Yogyakarta

Karya Nicolas Pieneman

Page 54: Suwarno Wisetrotomo Fakultas Seni Rupa & Pascasarjana ISI Yogyakarta

Karya Raden Saleh

Page 55: Suwarno Wisetrotomo Fakultas Seni Rupa & Pascasarjana ISI Yogyakarta

Detail karya Raden Saleh (terdapat dua atau lebih wajah Raden Saleh sebagai pengawal Pangeran Diponegoro)

Page 56: Suwarno Wisetrotomo Fakultas Seni Rupa & Pascasarjana ISI Yogyakarta

Sebagai karya interpretasi, RS melakukan rekonstruksi dan reposisi aktor-aktor (subjek) dalam lukisan. Karya Pieneman “dikoreksi” total; muka gedung residen di balik, bendera Belanda dihapus, pose Pangeran Diponegoro diubah. Judul karya secara substansial berbeda; antara ‘penyerahan diri’ atau ‘kepatuhan’ (submission) pada karya Pineman dengan ‘penangkapan’ atau ‘penahanan’ (the arrest) pada karya RS.

Page 57: Suwarno Wisetrotomo Fakultas Seni Rupa & Pascasarjana ISI Yogyakarta

Pada aspek ‘adegan’ (pose) dan ekspresi figur-figurnya, kedua lukisan itu menunjukkan karakter berlawanan. Pada karya Pieneman: Diponegoro menyerah tak berdaya. Pada karya RS: mengisyaratkan perlawanan.

Karya RS: menunjukkan gejala visual tak lazim; figur/tubuh orang-orang Belanda tampak pendek (cebol). RS seperti ingin menunjukkan sikap ‘kerdil’ atas peristiwa penangkapan Diponegoro.

Page 58: Suwarno Wisetrotomo Fakultas Seni Rupa & Pascasarjana ISI Yogyakarta

Fakta yang paling ‘keras’ adalah, bahwa karya tersebut oleh RS diberikan kepada Raja Willem III. Tentu ini ‘hadiah’ yang tendensius, memperolok-olok pemerintah kolonial dalam memperlakukan Diponegoro; menyuarakan pandangan pribadinya, dan menegaskan posisi dirinya (saat itu) sebagai manusia yang bisa kritis terhadap ketidakadilan. Sebuah karya ‘mengimitasi’ sekaligus ‘mensubversi’.

Page 59: Suwarno Wisetrotomo Fakultas Seni Rupa & Pascasarjana ISI Yogyakarta

• Analisis Peter Carey terhadap lukisan RS, Penangkapan Pangeran Diponegoro, menegaskan tumbuhnya pandangan dan sikap RS terhadap pemerintah kolonial. Dalam barisan pengikut Diponegoro, diselipkan wajah/potret diri RS.

Page 60: Suwarno Wisetrotomo Fakultas Seni Rupa & Pascasarjana ISI Yogyakarta

• Pikiran, ucapan, sikap, dan tindakan RS adalah tumbuh, seiring dengan konteks peristiwa, yang mempengaruhinya.

Page 61: Suwarno Wisetrotomo Fakultas Seni Rupa & Pascasarjana ISI Yogyakarta

• Penguasaan teknik melukis, meniru (bukan mengcopy), gaya busana: penaklukan, membangun posisi tawar, dan mendapat pengakuan.

• Karya Manusia dalam lingkaran drama: pergulatan batin, antara dunia fana dan alam baka, antara nafsu badaniah dan spiritualitas.

• Karya “Penangkapan Pangeran Diponegoro”: puncak mimikri, dan olok-olok (diserahkan ke Raja Willem II).

Page 62: Suwarno Wisetrotomo Fakultas Seni Rupa & Pascasarjana ISI Yogyakarta

Rumah Raden Saleh di Cikini, Batavia, sekitar 1860

Page 63: Suwarno Wisetrotomo Fakultas Seni Rupa & Pascasarjana ISI Yogyakarta

Referensi:Algadri, Hamid., Snouck Hurgronje, Politik Belanda

Terhadap Islam dan Keturunan Arab, Jakarta: Penerbit Sinar Harapan, 1984.

Bachtiar, Harsja W., Peter B.R. Carey, Onghokham, Raden Saleh, Anak Belanda, Mooi Indie & Nasionalisme, Jakarta: Komunitas Bambu, 2009.

Carey, Peter, Asal-usul Perang Jawa, Pemberontakan Sepoy & Lukisan Raden Saleh, Yogyakarta: LKIS, 2004.

Page 64: Suwarno Wisetrotomo Fakultas Seni Rupa & Pascasarjana ISI Yogyakarta

Kraus, Werner., Irina Vogelsang, Raden Saleh The Begining of Modern Indonesian Painting, Jakarta: Goethe Institut Indonesia, 2012.

Lombard, Denys, Nusa Jawa: Silang Budaya, Kajian Sejarah Terpadu, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996.

Page 65: Suwarno Wisetrotomo Fakultas Seni Rupa & Pascasarjana ISI Yogyakarta

Poeze, Harry A., Met Bijdragen van Cees van Dijk en van der Meulen, In Het Land van de Overheerser I, Indonesiers in Netherlands 1600-1950.

Ricklefs, M.C., Sejarah Indonesia Modern (penj: Dharmono Hardjowidjono), Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1998.

Page 66: Suwarno Wisetrotomo Fakultas Seni Rupa & Pascasarjana ISI Yogyakarta

Java Bode, Rabo, 28 April 1880 (Arsip Koleksi Keluarga H.arsja W. Bachtiar, Jakarta)

Suwarno-Wisetrotomo, Raden Saleh Syarief Bustaman (1807-1880): Sebuah Biografi, Tesis (Belum Diterbitkan), Program Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, 2001.