Upload
others
View
17
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
i
PERAN KOMITE NASIONAL INDONESIA DAERAH (KNID)
SURAKARTA DALAM PERGERAKAN POLITIK DI
SURAKARTA TAHUN 1945-1946
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan
Guna Mencapai Gelar Sarjana Jurusan Ilmu Sejarah
Fakultas Sastra dan Seni Rupa
Universitas Sebelas Maret
Disusun oleh:
Aditya Wahyu Prabowo
C0506004
FAKULTAS SASTRA DAN SENI RUPA
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
2010
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ii
HALAMAN PERSETUJUAN
PERAN KOMITE NASIONAL INDONESIA DAERAH (KNID)
SURAKARTA DALAM PERGERAKAN POLITIK DI
SURAKARTA TAHUN 1945-1946
Disusun oleh:
Aditya Wahyu Prabowo
C0506004
Telah disetujui oleh Pembimbing:
Pembimbing
Drs. Tundjung W.Sutirto., M.Si.
NIP. 19611225198703 1 003
Mengetahui
Ketua Jurusan Ilmu Sejarah
Dra. Sri Wahyuningsih, M.Hum.
NIP. 19540223198601 2 001
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iii
HALAMAN PENGESAHAN
PERAN KOMITE NASIONAL INDONESIA DAERAH (KNID)
SURAKARTA DALAM PERGERAKAN POLITIK DI SURAKARTA
TAHUN 1945-1946
Disusun oleh:
Aditya Wahyu Prabowo
C0506004
Telah disetujui oleh Tim Penguji Skripsi
Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret
Pada tanggal ………………………….
Jabatan Nama Tanda Tangan
Ketua Dra. Sri Wahyuningsih, M.Hum. ......................
NIP. 19540223198601 2 001
Sekretaris M. Bagus Sekar Alam, SS., M.Si. ……………….
NIP. 19770904200501 1 001
Penguji I Drs. Tundjung W.Sutirto, M.Si. ………………
NIP. 19611225198703 1 003
Penguji II Tiwuk Kusuma Hastuti, SS., M.Hum. .......................
NIP. 19730613200003 2 002
Dekan
Fakultas Sastra dan Seni Rupa
Universitas Sebelas Maret
Drs. Sudarno, M.A.
NIP. 19530314198506 1 001
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iv
PERNYATAAN
Nama : Aditya Wahyu Prabowo
NIM : C0506004
Menyatakan bahwa dengan sesungguhnya skripsi berjudul Peran Komite Nasional
Indonesia Daerah (KNID) Surakarta dalam Pergerakan Politik di Surakarta
Tahun 1945-1946 adalah betul-betul karya sendiri, bukan plagiat, dan tidak
dibuatkan oleh orang lain. Hal-hal yang bukan karya saya, dalam skripsi ini diberi
tanda citasi (kutipan) dan ditunjukkan dalam daftar pustaka.
Apabila di kemudian hari terbukti pernyataan ini tidak benar, maka saya bersedia
menerima sanksi akademik berupa pencabutan skripsi dan gelar yang diperoleh
dari skripsi tersebut.
Surakarta, 7 Desember 2010
Yang membuat pernyataan,
Aditya Wahyu Prabowo
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
v
MOTTO
Cara memulai adalah dengan berhenti berbicara dan mulai melakukan.
(Walt Disney)
Tiada doa yg lebih indah selain doa agar skripsi ini cepat selesai.
(Penulis)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vi
PERSEMBAHAN
Skripsi ini penulis persembahkan untuk:
Mama dan (Alm) Papaku tercinta
Kakak-kakakku tersayang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vii
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr. Wb
Syukur Alhamdulillah senantiasa penulis panjatkan ke-Hadirat Allah SWT,
yang telah memberikan berbagai kemudahan dan limpahan karunia-Nya
kepada penulis, hingga akhirnya penulis dapat menyelesaikan penulisan
skripsi dengan judul Peran Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID)
Surakarta dalam Pergerakan Politik di Surakarta Tahun 1945-1946.
Dalam kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih
yang sedalam-dalamnya kepada berbagai pihak yang telah mendukung, baik moral,
material maupun spiritual, hingga akhirnya penulisan skripsi ini dapat berjalan
dengan baik dan selesai sesuai yang penulis harapkan, yaitu kepada:
1. Drs. Sudarno, MA, selaku Dekan Fakultas Sastra dan Seni Rupa
Universitas Sebelas Maret Surakarta.
2. Dra. Sri Wahyuningsih, M.Hum, selaku Ketua Jurusan Ilmu Sejarah
Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta, juga
sebagai Ketua Tim Penguji yang berkenan memberikan waktunya untuk
menguji.
3. Dra. Sawitri P.P, M.Pd, selaku Sekretaris Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas
Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta.
4. Drs. Tundjung W.Sutirto, M.Si, selaku Pembimbing skripsi, yang
memberikan banyak dorongan, masukan, dan kritik yang membangun
dalam proses penulisan skripsi ini.
5. Ibu Tiwuk Kusuma Hastuti, SS., M.Hum. selaku Penguji II yang telah
berkenan memberikan waktunya untuk menguji.
6. Bapak Bagus Sekar Alam, SS., M.Si. selaku Sekretaris Penguji yang telah
berkenan memberikan waktunya untuk menguji.
7. Bapak Waskito Widi, SS. selaku Pembimbing Akademik yang telah
membimbing dan memberikan ilmunya kepada penulis.
8. Segenap dosen pengajar di Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra dan
Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan
bekal ilmu dan wacana pengetahuan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
viii
8. Segenap staf dan karyawan UPT Perpustakaan Pusat UNS, Perpustakaan
Fakultas Sastra dan Seni Rupa UNS, Perpustakaan Daerah Surakarta,
dan Perpustakaan Sonopustoko Kasunanan.
9. Ibu Darweni, Bapak Basuki dan segenap staf perpustakaan Reksopustoko
Mangkunegaran yang telah memberikan ijin dan bantuan kepada
penulis dalam penyediaan data-data yang diperlukan.
10. Orang Tua yang selalu memberikan kasih sayang dan semangat dengan
tulus ikhlas serta doa yang tak pernah putus kepada penulis.
11. Saudara-saudaraku: Mbak Wielma, Mas Deden yang selalu memberikan
dukungan baik moril maupun materiil.
12. Teman-temanku angkatan 2006, Bagus, Trisna, Lia, Memik, dan Ulwa
yang memotivasi untuk cepat lulus. Aga, Dwi, Endras, Helmy, Adi, Endah,
Embri, Dyah, Hasri, Sidik, Sunu, Jarot, Jadi, Feby, Putut, Gilang, Dhani,
Candra, Edy, Ari, dan teman-teman yang lain, tetap kompak dan cepat
menyelesaikan skripsi.
13. Kawan-kawan Goggle.net Slamet Riyadi, Gito, Anita, Fajar, Farid, Ernand,
Andri selalu ramah dan bekerja keras.
14. Novita Wisma Saputri, yang selalu mendengar keluh kesahku.
15. Segenap pihak yang telah mendukung dan membantu terlaksananya
penulisan skripsi ini, yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh
karena itu, penulis berharap akan adanya kritik dan saran yang bersifat
membangun, agar skripsi ini menjadi lebih baik.
Wassalamualaikum Wr. Wb.
Surakarta, 7 Desember 2010
Penulis
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.......................................................................... …. i
HALAMAN PERSETUJUAN...........................................................…… ii
HALAMAN PENGESAHAN................................................................... iii
HALAMAN PERNYATAAN................................................................... iv
HALAMAN MOTTO................................................................................ v
HALAMAN PERSEMBAHAN................................................................ vi
KATA PENGANTAR................................................................................ vii
DAFTAR ISI............................................................................................... ix
DAFTAR ISTILAH..................................................................................... xi
DAFTAR LAMPIRAN....................................................…………….…. xiv
ABSTRAK.................................................................................................. xv
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah................................................. 1
B. Perumusan Masalah......................................................... 8
C. Tujuan Penelitian............................................................ 8
D. Manfaat Penelitian.......................................................... 8
E. Kajian Pustaka................................................................ 9
F. Metode Penelitian …………………………………… 12
G. Sistematika Skripsi ………………………………… 16
BAB II AKAR-AKAR RADIKALISME SURAKARTA SEBELUM
REVOLUSI 1945 ............................................................................ 18
A. Radikalisme Surakarta dalam masa Pergerakan
1908-1911 ...................................................................... 18
1. Terbentuknya Organisasi Boedi Oetomo .................. 18
2. Terbentuknya Organisasi Sarekat Islam ..................... 20
B. Radikalisme Surakarta pada masa Aksi ...................... 23
1. Gerakan Radikal Komunis di Surakarta ...................... 23
2. Munculnya Insulinde di Surakarta ................................ 28
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
x
C. Radikalisme di Surakarta pada masa Jepang..................... 30
1. Terbentuknya Laskar-laskar Perjuangan ..................... 30
2. Munculnya Hizbullah di Surakarta .............................. 34
BAB III KONDISI SOSIAL POLITIK SURAKARTA PADA
MASA REVOLUSI FISIK 1945 ....................................................... 38
A. Surakarta sebagai kota Oposisi ............................................ 38
B. Kelompok Oposisi di Surakarta ......................................... 40
a. Persatuan Perjuangan .................................................. 40
b. Barisan Banteng .............................................................. 46
C. Keberadaan Daerah Istimewa Surakarta .............................. 48
D. Konflik Sosial Politik Masa Revolusi Fisik 1945 .............. 51
BAB IV PEMBENTUKAN KNID SURAKARTA DAN PERANNYA
DALAM PERGERAKAN POLITIK DI SURAKARTA ................ 59
A. Terbentuknya Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID)
Surakarta ........................................................................... 59
B. Peran KNID Surakarta ..................................................... 63
1. Penyerahan Kekuasaan Jepang ke tangan KNID
Surakarta ......................................................................... 63
2. KNID Surakarta sebagai Lembaga Perwakilan
Rakyat Daerah ............................................................. 73
3. Peran KNID Surakarta dalam Gerakan Anti Swapraja .... 76
C. Hubungan antara Kekuatan Pergerakan Politik dengan
KNID Surakarta ................................................................ 86
BAB V PENUTUP ............................................................................................ 90
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................... 94
LAMPIRAN .................................................................................................. 100
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xi
DAFTAR ISTILAH DAN SINGKATAN
1. Istilah
Abdi Dalem pegawai keraton
Apanage lungguh; bengkok; gaji
Bupati Nayaka Bupati pertama
Butai Masse Markas militer Jepang di Surakarta
double bestuur pemerintahan ganda
Gakuttotai Barisan anak-anak sekolah
kawula-gusti pola hubungan raja-rakyat atau juga
manusia-Tuhan
Kenpeitai polisi militer Jepang
Kompleit Perubahan status tanah apanage yang
dipegang para abdi dalem kepada
rakyat
Kooti Jimmu Kyoku Kekuatan sipil bentukan Jepang
manunggaling kawula lan gusti persatuan rakyat dan raja atau
persatuan manusia dan Tuhan
Multipunctie mengambil sampel dari limpa yang
diteliti
Narpawandawa Perkumpulan Darah Dalem
oposisi kekuatan politik dan massa yang
berlawanan dengan pemerintah yang
berkuasa
Panatagama Kepala Agama Islam
patron-client pola hubungan bapak-anak buah
Patuh tuan
Priyayi masih berhubungan dengan eratin;
bangsawan
Reh Kasentanan Dewan Pertimbangan Raja
Revolusi Perubahan yang cepat dan mendasar
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xii
Romusha buruh atau kuli yang dimobilisasi
dengan paksa untuk suatu pekerjaan
kasar di bawah kekuasaan militer
Jepang
Seinendan Barisan Pemuda
Sendenbu Badan Propaganda Jepang
Volksraad Dewan Rakyat
vorstenlanden wilayah raja-raja
2. Singkatan
AMRI Angkatan Muda Republik Indonesia
BKR Badan Keamanan Rakyat
BLB Barisan Laskar Banteng
BP KNIP Badan Pekerja Komite Nasional
Indonesia Pusat
BPRI Badan Pemberontak Republik
Indonesia
BPU Badan Pengawas dan Penyelidik
Umum
BTI Barisan Tani Indonesia
BU Budi Utomo
GRI Gerakan Rakyat Indonesia
IPI Ikatan Pelajar Indonesia
IPTAS Ikatan Prajurit Sejati
KNID Komite Nasional Indonesia Daerah
KNIP Komite Nasional Indonesia Pusat
KPPRI Kantor Daerah Pemerintah Republik
Indonesia
M.Ng. Mas Ngabehi
NICA Netherlands Indies Civil
Administration
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xiii
Pesindo Pemuda Sosialis Indonesia
PETA Pembela Tanah Air
PKS Pakempalan Kawula Surakarta
PPKI Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia
SDI Sarekat Dagang Islam
SI Sarekat Islam
TP Tentara Pelajar
VOC Vereeniging Oost-Indische
Compagnie
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Undang-undang No.1 tahun 1945 Tentang Peraturan Mengenai
Kedudukan Komite Nasional Daerah …………………………………. 100
2. Arsip Penyerahan pemerintahan Kooti Jimu Kyoku Tyokan kepada
KNIDS. 1945 ............................................................................................. 107
3. Piagam penetapan Presiden RI kepada Pakubuwono XII pada
kedudukan sebagai kepala Daerah Istimewa. 1945..................................... 108
4. Maklumat Presiden kepada Mangkunegoro VIII pada kedudukan
sebagai kepala Daerah Istimewa. 1945....................................................... 109
5. Penyerahan Kekuasaan Kooti Jimu Kyoku Tyokan kepada
Mangkunegaran ........................................................................................... 110
6. Peta Wilayah Surakarta tahun 1945-1946.................................................... 111
7. Selebaran dari Komite Nasional Indonesia Daerah Surakarta, 1945........... 114
8. Penetapan Pemerintah tentang keamanan di Daerah Istimewa, 1946......... 116
9. Pembentukan Badan Keamanan Rakyat, 1946........................................... 117
10. Surat dari Wakil Presiden kepada Presiden dan Menteri Pertahanan
tentang kedudukan keistimewaan daerah Surakarta
dan Mangkunegaran.................................................................................... 118
11. Penetapan Pemerintah RI Jogjakarta no. 16/S.D tanggal 15 Juli 1946
tentang perubahan sementara bentuk dan susunan Pemerintah di Daerah
Istimewa Surakarta ................................................................................... 119
12. Susunan Panitia Anti Swapraja………………………………………...... 120
13. Maklumat Menteri Dalam Negeri tentang penunjukan Gubernur Jawa Tengah
R. Soerjo, sebagai wakil Pemerintahan Pusat di daerah Surakarta……..... 121
14. Maklumat Mangkunegoro VIII, 1 September 1945……………………… 122
15. Maklumat Menteri Dalam Negeri tentang Daerah Istimewa Surakarta … 123
16. Maklumat Sri Paduka Pakubuwono XII tentang Daerah Istimewa
Surakarta .................................................................................................... 124
17. Pernyataan Bersama KNID Kab. Klaten dalam gerakan Anti Swapraja .... 125
18. Pernyataan KNID Kab. Kota Mangkunegaran tentang Status Pemerintahan
di Surakarta ................................................................................................. 126
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xv
ABSTRAK
Aditya Wahyu Prabowo. C0506004. 2010. Peran Komite Nasional Indonesia
Daerah (KNID) Surakarta dalam Pergerakan Politik di Surakarta tahun 1945-
1946. Sripsi Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas
Sebelas Maret.
Permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini yaitu (1) Bagaimana
hubungan antara Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID) Surakarta dengan
kekuatan pergerakan politik di Surakarta tahun 1945-1946? (2) Bagaimana peran
Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID) Surakarta dalam pergerakan politik di
Surakarta tahun 1945-1946?
Penelitian ini merupakan penelitian historis, sehingga langkah-langkah
yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi heuristik, kritik sumber baik intern
maupun ekstern, interpretasi, dan historiografi. Teknik pengumpulan data yang
digunakan adalah studi dokumen dan studi pustaka. Dari pengumpulan data,
kemudian data dianalisa dan diinterpretasikan berdasarkan kronologisnya. Untuk
menganalisis data, digunakan pendekatan ilmu sosial yang lain sebagai ilmu bantu
ilmu sejarah. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
sosial, dan politik.
Setelah Pemerintah Pusat RI membentuk Komite Nasional Indonesia Pusat
(KNIP), secara berlanjut di daerah-daerah dibentuk juga Komite Nasional
Indonesia Daerah (KNID). Tujuan KNID dibentuk adalah untuk melucuti tentara
Jepang dan memindahkan kekuasaan pemerintah Jepang ke tangan KNID.
Keberadaan KNID Surakarta mendapat dukungan dari segenap potensi perjuangan
rakyat. KNID sebagai pimpinan gerakan revolusi di Surakarta harus menghadapi
kekuatan Jepang yang terbagi dalam Kooti Jimmu Kyoku (kekuatan sipil), Butai
Masse yang bersenjatakan lengkap, dan Kenpetai. Sejak awal pembentukannya,
KNID Surakarta mampu menjalankan tugasnya dan mendapat keberhasilan secara
gemilang dengan melucuti kekuasaan Jepang di Surakarta. Terjadinya krisis
kekuasaan awal kemerdekaan langsung dapat dipecahkan melalui komite tersebut
sebagai semacam lembaga perwakilan rakyat daerah. Awal tahun 1946, muncul
gerakan revolusioner menentang adanya status daerah istimewa di Surakarta.
Gerakan tersebut banyak dimotori anggota KNID Surakarta beserta organisasi
pergerakan politik lainnya.
Dari analisis ini dapat ditarik kesimpulan bahwa KNID Surakarta
mempunyai berbagai peran dalam pergerakan politik di Surakarta tahun 1945-
1946, yaitu merebut kekuasaan sipil dan militer pemerintah Jepang, sebagai
lembaga perwakilan rakyat daerah, dan juga terlibat dalam gerakan anti swapraja
di Surakarta.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Genderang Revolusi Indonesia dibunyikan saat rakyat Indonesia
memproklamasikan kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945. Kemerdekaan
Indonesia merupakan klimaks dari proses panjang suatu perjuangan dari rangkaian
pergerakan nasional hingga runtuhnya Hindia Belanda. Oleh karena itu tidak aneh
apabila dianggap sebagai “jembatan emas” yang harus dipelihara maupun
dipertahankan walaupun tidak sedikit dilaksanakan dengan caranya sendiri-
sendiri. Proses awal yang lazim adalah melembagakan Negara sehari setelah
proklamasi yaitu tanggal 18 Agustus 1945. Pelembagaan dari hasil tawar-
menawar dengan Jepang ini diupayakan oleh PPKI yang oleh pemuda, dianggap
sebagai kolabolator-kolabolator Jepang. Hasil dari sidang PPKI ini adalah
menetapkan UUD 1945, memilih Soekarno sebagai Presiden dan Hatta sebagai
Wakil Presiden, serta membentuk KNIP.1
Proklamasi kemerdekaan RI mempunyai pengaruh luas bagi bangsa dan
Negara. Proklamasi merupakan momentum dalam sejarah Republik Indonesia.
Perubahan-perubahan yang menyangkut masalah politik, pemerintahan dsb, pasti
terjadi setelah merdeka, baik untuk pusat maupun daerah-daerah.
1 Julianto Ibrahim , 2008, Keraton Surakarta: Gerakan Anti Swapraja, Yogyakarta: Malioboro
Press, hal. 68.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2
Setelah proklamasi, terjadi reorganisasi dalam berbagai aspek, terutama
politik pemerintahan. Berkaitan dengan hal ini, maka daerah Surakarta setelah
Proklamasi langsung mendapat keputusan dari pusat. Presiden RI pada waktu itu
mengeluarkan piagam berkenaan dengan kedudukan daerah Surakarta. Piagam
tanggal 19 Agustus 1945 tersebut ditujukan kepada Susuhunan Paku Buwono XII
dan Mangkunegara VIII yang mendapat kepercayaan dari pemerintah pusat untuk
mencurahkan segala tenaga, pikiran, dan jiwa raga bagi keselamatan daerahnya
yang merupakan bagian wilayah Republik Indonesia sebagai Daerah Istimewa.
Kedua penguasa tradisional ini juga tetap mempunyai kedudukan otonom
sebagaimana tercermin dari keputusan Presiden tersebut.
Bersamaan itu pula pada 19 Agustus 1945, Pemerintah Pusat RI juga
berhasil melengkapi perangkat pemerintahan dengan kabinet pertamanya dan
Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) dibentuk. Komite ini berfungsi sebagai
Parlemen sementara yang dilengkapi juga suatu Badan Pekerja (BP-KNIP).
Adanya Komite Nasional ini tidak hanya terbatas di lingkungan pemerintah pusat,
tapi secara berlanjut di daerah-daerah dibentuk juga Komite Nasional Indonesia
Daerah (KNID). Komite di daerah-daerah terbentuk dalam waktu tidak lama
sesudah KNIP. Komite di daerah juga dilengkapi dengan Badan Pekerja yang
menjalankan tugas sebagai pelaksana secara riil dalam pemerintahan. Tujuan
KNID dibentuk adalah untuk melucuti tentara Jepang dan memindahkan
kekuasaan pemerintah Jepang ke tangan KNID.
Berdasarkan hal tersebut pembentukan Komite Nasional diharapkan agar
secepat mungkin melakukan tugasnya dalam rangka penegakan kedaulatan
republik. Akan tetapi permasalahan utama dari pebentukan komite ini ialah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
3
keberadaan tentara Jepang yang memang diserahi urusan penjagaan keamanan dan
status quo oleh sekutu. Tentara Jepang tersebut merupakan kekuatan tempur yang
sangat kuat mengingat lengkapnya persenjataan yang dimiliki oleh mereka2.
Permasalahan lainnya dalam mendirikan komite di daerah ialah masih
berkuasanya para birokrasi pribumi yang sebagian besar merupakan abdi setia
kekuasaan. Fenomena tersebut terjadi pula di Surakarta yaitu dengan adanya
kekuasaan pribumi yang direpresentasikan oleh Raja-raja yang secara otomatis
menjadi pemegang kekuasaan tertinggi di Surakarta mencoba untuk mengukuhkan
kekuasaannya. Mereka telah terbiasa sebagai hamba kekuasaan apapun juga
selama kekuasaan dan jabatan mereka dapat dipertahankan. Selain itu kaum
birokrasi pribumi yang terbiasa dengan kesadaran politik yang tinggi menyadari
bahwa proklamasi kemerdekaan tidak memiliki landasan hukum apapun juga dari
sistem hukum internasional yang berlaku dan menyebabkan mereka untuk
memposisikan diri kepada para pemenang Perang Dunia II. Hal ini menjadi salah
satu penyebab dari meningkatnya kekerasan di daerah-daerah yang ditujukan
untuk penggulingan tatanan lama pemerintahan pribumi.3
Hal ini bertentangan dengan keinginan para politisi dan pejuang di
Surakarta yang menginginkan agar mobilitas politik di Surakarta bersifat secara
terbuka dan oportunisme kekuasaan dari para politisi tersebut. Namun, pihak
kerajaan melakukan sebuah kesalahan pada masa tersebut dengan tidak
menganggap penting radikalisasi di Surakarta dan menganggap bahwa kekuasaan
di Surakarta dengan sah masih berada di tangan para raja yang bekerjasama
2 George Mc Turnan Kahin, 1995, Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia, Surakarta: UNS Press
hal. 178 3 Ben Anderson, 1988, Revoloesi Pemoeda. Pendudukan Jepang dan Perlawanan di Jawa, 1944-
1946, Terjemahan: Jiman Rumbo, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, hal. 369.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
4
dengan tentara Jepang untuk membangun keamanan yang bersifat sementara.4
Lambannya kerajaan dalam menanggapi tuntutan dari para pejuang dan
pemerintah Republik menyebabkan Surakarta sangat lambat dalam pendirian
pemerintahan di bawah Republik daripada tetangganya di Yogyakarta. Walaupun
pihak kerajaan telah diberi pengakuan kedaulatan kekuasaan raja oleh pemerintah
RI namun pihak kerajaan terkesan sangat berhati-hati dalam menghadapi
kekuasaan Jepang. Lambannya usaha pihak kerajaan di Surakarta dalam
menegakkan kekuasaan republik dan perebutan senjata dari Jepang menyebabkan
pemerintah pusat RI campur tangan untuk membentuk Komite Nasional di
Surakarta.
Pada tanggal 11 September 1945 dibentuklah KNID Surakarta yang
diketuai oleh Mr. Soemodiningrat melalui sidang di Pendopo Woerjoningratan.
Soemodiningrat yang merupakan ipar Susuhunan dan bekas opsir PETA ini
dibantu oleh 9 orang dari elite agama, elite tradisional berpendidikan Barat dan
elite politik, dengan program melucuti senjata Jepang dan memindahkan
kekuasaan pemerintah Jepang ke tangan KNID.
Keberadaan KNID Surakarta mendapat dukungan dari segenap potensi
perjuangan rakyat, seperti Badan Keamanan Rakyat (BKR), Angkatan Muda
Tentara, Kelompok Delapan, Badan Pengawas dan Penyelidik Umum (BPU),
Hizbullah dan Gerakan Rakyat Indonesia (GRI). KNID sebagai pimpinan gerakan
revolusi di Surakarta harus menghadapi kekuatan Jepang yang terbagi dalam
Kooti Jimmu Kyoku (kekuatan sipil), Butai yang bersenjatakan lengkap, dan
Kenpetai.
4 Anthony Reid, 1987, Perjuangan Rakyat, Revolusi dan Hancurnya Kerajaan di Sumatera.
Penerjemah: Tim PSH, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, hal. 245.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
5
Pada tanggal 30 September 1945, Soemodiningrat beserta wakilnya
Suprapto disertai Barisan Rakyat menemui H. Watanabe sebagai Kepala Koti
Jimmu Kyoku Chukan di gedung Balaikota. Pada pertemuan tersebut,
Soemodiningrat berhasil meyakinkan Watanabe agar bersedia menyerahkan
kekuasaan sipilnya kepada KNID Surakarta. Penyerahan kekuasaan ini
mengandung arti bahwa pemerintahan di Surakarta dikendalikan oleh KNID. Oleh
karena itu, pada tanggal 1 Oktober 1945 dibentuk Kantor Pusat Pemerintahan
Republik Indonesia (KPPRI) yang kemudian berubah menjadi Kantor Daerah
Pemerintah Republik Indonesia (KDPRI) sebagai nama baru dari Koti Jimmu
Kyoku. Pelaksanaan tugas sehari-hari di KDPRI diserahkan kepada Soeripto,
Soetopo, dan Soemantri.5
Pembentukan KDPRI sebagai pemegang kendali pemerintahan di
Surakarta telah menimbulkan perselisihan dengan pemerintah Swapraja. Pada
waktu itu di Surakarta terdapat dua pemerintahan double bestuur yaitu dari pihak
kraton dan pihak KNID Surakarta melalui KDPRI.
Revolusi sosial dan aksi-aksi kekerasan di Surakarta yang terjadi pada
masa revolusi merupakan bagian yang tidak bisa dielakkan dari kekacauan di
hampir semua kehidupan masyarakat. Kekerasan seperti itu merupakan bagian
dari konflik politik yang mewarnai hampir setiap waktu dalam perjalanan revolusi
Indonesia. Kekerasan yang muncul merupakan bagian dari pertentangan
kepentingan dari kekuatan-kekuatan politik yang semula ditandai dengan
pertentangan di antara idiologi kiri kemudian bergeser antara kekuatan kiri dengan
kekuatan kanan. Konflik ditandai pula dengan perebutan kekuasaan diantara
5 Panitia Pembangunan Monumen Pejuang 1945, Buku Kenang-kenangan Perjuangan Rakyat
Surakarta dari Zaman ke zaman (Surakarta, 1974) hlm 21-23
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
6
kekuatan oposisi dengan kekuatan republik atau kompetisi diantara kelompok-
kelompok yang sedang beroposisi.6
Pada masa awal revolusi, konflik yang berkembang merupakan bentuk
perbedaan pendapat antara golongan muda yang radikal dengan golongan tua
yang moderat. Konflik itu memuncak pada peristiwa Rengasdengklok yang
merupakan sebuah bentuk tekanan dari golongan muda terhadap golongan tua
untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.7 Konflik pun masih berlanjut
ketika lembaga-lembaga negara mulai terbentuk. Isu-isu tentang kolabolator yang
diperankan sebagian nasionalis tua yang dituduhkan golongan muda terutama
Syahrir merupakan isu utama pada waktu itu. Syahrir menginginkan perubahan
pemerintahan presidensil menjadi setengah parlementer dengan indikasi kabinet
bertanggung jawab kepada parlemen. Setelah melalui sidang BP-KNIP dan
disetujui Presiden Soekarno, akhirnya pada 14 Oktober 1945 kabinet Syahrir
terbentuk yang kemudian dikenal dengan pemerintahan sayap kiri.8
Selama menjadi perdana menteri, Syahrir menghendaki arah revolusi
ditentukan dengan cara diplomasi yang luwes dan pintar untuk menghindarkan
Inggris dan Amerika memberikan dukungan penuh kepada Belanda. Visi Syahrir
ini secara cepat menimbulkan kekecewaan di kalangan pemuda. Dalam beberapa
minggu saja, kabinet Syahrir kehilangan dukungan pemuda. Arah serta gaya
politik Syahrir bertentangan dengan psikologi dari gerakan pemuda. Kekecewaan
dari para pemuda dan sebagian besar badan perjuangan kemudian dimanfaatkan
oleh seorang tokoh, yaitu Tan Malaka. Sejak awal revolusi, Tan Malaka sudah
6 Julianto Ibrahim, 2004, Bandit dan Pejuang di Simpang Bengawan, Wonogiri: Bina Citra
Pustaka, hal. 154. 7 Sidik Kertapati, 1961, Sekitar Proklamasi 17 Agustus 1945, Jakarta: Pembaharuan, ha. 83.
8 Julianto Ibrahim, op. cit., hal. 155.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
7
berambisi mengendalikan jalannya revolusi. Tokoh ini menawarkan suatu
kemerdekaan yang dekat dengan hati pemuda, yaitu revolusi total dengan
pengakuan kemerdekaan seratus persen. Ia kemudian berhasil membentuk
organisasi bernama ”Persatuan Perjuangan” yang menggambarkan tekad
perjuangan yang anti diplomasi dalam revolusi Indonesia. Dalam kongresnya
yang pertama di Solo, 14-15 Januari 1946, organisasi ini menetapkan kota
Surakarta sebagai pusat kegiatannya.9
Keberadaan Tan Malaka dan Persatuan Perjuangan telah menjadikan
revolusi sosial berupa gerakan anti swapraja yang radikal di Surakarta sebagai
bagian dari strategi untuk menggoyang pemerintahan Syahrir di Yogyakarta.
Gerakan-gerakan anti swapraja ini menyebabkan kedudukan keraton menjadi
sangat lemah dan sulit, sehingga status swapraja Surakarta dapat dengan mudah
diruntuhkan.
Penelitian dengan tema mengenai Komite Nasional Indonesia Daerah di
Surakarta menjadi hal yang menarik. Pada periode tahun 1945-1946 banyak terjadi
peristiwa penting antara lain adanya revolusi sosial di beberapa daerah termasuk di
Surakarta pada tahun 1946 serta mempertahankan kemerdekaan dari penjajahan
Belanda. Terbentuknya Komite ini mendapat dukungan dari berbagai badan
perjuangan rakyat sehingga setelah KNID Surakarta dibentuk, perpolitikan di
Surakarta memasuki masa baru dimana mulai muncul pergerakan politik yang
radikal. Selama awal kemerdekaan, KNID Surakarta harus melaksanakan tugas
penting yaitu melucuti dan memindahkan kekuasaan pemerintah Jepang ke tangan
pemerintah Indonesia melalui Komite ini. Program yang juga menjadi tujuan
9 Ben Anderson, op. cit., hal. 298.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
8
lembaga ini dibentuk tidaklah mudah untuk dijalankan mengingat situasi sosial dan
politik di Surakarta pada masa revolusi fisik cukup menegangkan, maka bentuk-
bentuk eksistensi dan peran dari lembaga ini dalam pergerakan politik di Surakarta
yang ditulis sebagai judul skripsi.
B. Perumusan Masalah
Atas dasar Latar Belakang Masalah diatas, maka dapat dirumuskan
permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana hubungan antara Komite Nasional Indonesia (KNID) Surakarta
dengan kekuatan pergerakan politik di Surakarta tahun 1945-1946?
2. Bagaimana peran Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID) Surakarta
dalam pergerakan politik di Surakarta tahun 1945-1946?
C. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan perumusan masalah tersebut, adapun tujuan dari penelitian
adalah sebagai berikut.
1. Mengetahui hubungan antara Komite Nasional Indonesia (KNID) Surakarta
dengan kekuatan pergerakan politik di Surakarta tahun 1945-1946.
2. Mengetahui peran Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID) Surakarta
dalam pergerakan politik di Surakarta tahun 1945-1946.
D. Manfaat Penelitian
1. Memberikan pengetahuan tentang sejarah Surakarta pada awal
kemerdekaan terutama tentang peran Komite Nasional Indonesia Daerah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
9
Surakarta dalam pergerakan politik di Surakarta.
2. Dengan mengkaji Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID) Surakarta,
maka dapat direkonstruksi Sejarah Revolusi yang terkait dengan kota
Surakarta.
E. Kajian Pustaka
Dalam buku karya Julianto Ibrahim yang berjudul Bandit & Pejuang di
Simpang Bengawan, Kriminalitas dan Kekerasan Masa Revolusi di Surakarta
dengan penerbit Bina Citra Pustaka Wonogiri, banyak menggambarkan tindak
kekerasan di Surakarta yang diwarnai dengan peristiwa penggedoran, pencurian,
hingga penculikan yang terjadi di Surakarta. Kekacauan di Surakarta yang
menjadi wilayah anarki tidak terlepas dari peran serta badan-badan perjuangan
yang menginterpretasikan makna daulat dalam khasanahnya masing-masing
sehingga terjadi perubahan makna dari kedaulatan menjadi mendaulat.
Sejarah Revolusi Indonesia sering kali ditulis dan hanya berisikan kisah
tentang perjuangan bersenjata ataupun perjuangan diplomasi saja. Sementara
gejolak yang terjadi di kalangan para pejuang atau di antara laskar dalam masa
yang penuh heroik itu tak banyak diceritakan dalam buku-buku sejarah. Salah satu
soal dalam revolusi Indonesia dan berlanjut pada masa berikutnya adalah
keberadaan dan aktivitas para bandit, yang sebagian di antaranya pejuang dan
tergabung dalam beberapa kesatuan laskar. Dalam zaman yang terkadang disebut
zaman gegeran, serobotan, gedoran ataupun pendaulatan itu, para bandit justru
harus berhadap-hadapan dengan bangsa sendiri atau dengan para pejuang yang
pernah bersama-sama mereka di arena pertempuran. Sehingga berbagai tindakan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
10
kriminal pun sering kali tidak dapat dihindari oleh mereka.
Membaca karya ini, dalam usaha membangun sejarah dari bawah
(grassroots history), kian bermakna terutama jika kita melihat revolusi Indonesia
dari sisi yang lain. Bandit yang menjadi pejuang atau pejuang yang menjadi bandit
adalah bagian dari dinamika revolusi itu sendiri dan seharusnya tidak diabaikan
begitu saja dalam sejarah Indonesia. Buku ini menunjukkan bahwa para bandit,
orang-orang yang tersingkirkan, dan orang-orang biasa lainnya ternyata bukan
hanya ikut menentukan arah dan jalannya revolusi Indonesia, mereka juga
sekaligus memberi watak pada revolusi itu sendiri. Penulisan ini lebih
menekankan terhadap gerakan rakyat dan pemuda dalam badan-badan perjuangan
sehingga mengabaikan peran bangsawan dan kerajaan yang pada masa sebelum
kemerdekaan merupakan kelompok politik terkuat.
Sebuah buku yang berjudul Dasar-dasar Teori Sosial karya James S.
Coleman dijelaskan bahwa dalam menyelidiki persoalan revolusi, para ilmuwan
sosial memusatkan perhatian pada masyarakat tempat revolusi benar-benar terjadi
dan memeriksa periode di masyarakat itu sebelum konflik. Tidak seperti biasanya,
jawaban-jawaban disusun dalam hubungannya dengan kondisi-kondisi struktural
stabil yang mengawali sistem-sistem sosial tertentu, bukan sistem-sistem sosial
yang lain, yang akan mengalami perubahan wewenang lewat revolusi atau
pemberontakan. Banyak teori revolusi memandang titik kritis dalam sebuah
perjuangan revolusioner sebagai titik ketika sistem-sistem wewenang yang ada
kehilangan legitimasi di mata rakyat atau segmen-segmen penting rakyat.
Ben Anderson dalam karyanya, Revolusi Pemoeda: Pendudukan Jepang
dan Perlawanan di Jawa 1944-1946 (1988), mengatakan bahwa konflik di
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
11
Surakarta terjadi karena adanya perpaduan antara konflik politik nasional dan
konflik politik lokal yang ditandai dengan peningkatan kegiatan sosialis, komunis
hingga sindikalisme di Surakarta yang berujung pada perang antar kelas. Selain
itu Ben Anderson menggambarkan dengan baik situasi revolusioner yang melanda
kaum pemuda.
Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia karya George Mc.T. Kahin juga
banyak menjadi referensi dalam penulisan penelitian ini. Dalam karyanya, di Bab
IV Kahin mengutarakan bagaimana dalam masa pendudukan Jepang (1942-1945),
suatu kesadaran politik yang kuat berkembang dalam masyarakat, dan terutama di
antara pemuda dan pelajar yang sebelumnya banyak yang bersifat apolitis. Sebelas
bab berikutnya secara rinci membahas revolusi Indonesia sampai dengan saat
kedaulatan Indonesia diakui pada bulan Desember 1949 dan terbentuknya Negara
Kesatuan pada 17 Agustus 1950.
Bab tentang Revolusi, Kahin menulis bahwa Soekarno memilih seorang
Gubernur untuk masing-masing Provinsi dari kalangan penduduk setempat, dan
KNIP memberi mandat kepada salah seorang anggota dari masing-masing daerah
untuk membentuk KNI (Komite Nasional Indonesia) di setiap provinsi guna
membantu para gubernur menjalankan pemerintahan. Terbentuklah KNI setempat
secara spontan di tingkat distrik maupu kotapraja. Selama suatu periode yang
lama, komite-komite setempat yang revolusioner bekerja menurut kekuatan
pemerintah yang sebenarnya di daerah masing-masing. Semula daerah-daerah itu
diatur menurut kehendak pemimpin setempat yang diakui, tetapi kemudian sejak
akhir bulan November diatur menurut suatu pola peraturan yang seragam.
Menjelang tahun 1946, keadaan dianggap memungkinkan, KNI dibentuk
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
12
berdasarkan pemilihan setempat.
F. Metode Penelitian
1. Metode
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode Sejarah.
Metode Sejarah merupakan proses mengumpulkan, menguji dan menganalisis
secara kritis rekaman-rekaman peninggalan pada masa lampau dan usaha-usaha
melakukan sintesa dari data-data masa lampau menandai kajian yang dapat
dipercaya. Penelitian ini adalah penelitian sejarah yang meliputi 4 tahapan10
:
a. Heuristik
Adalah proses mencari dan mengumpulkan sumber-sumber sebagai data
yang relevan dengan masalah yang diteliti. Pencarian dan pengumpulan
sumber yang dilakukan yaitu sumber primer yang berupa dokumen-
dokumen arsip baik itu arsip lokal atau surat kabar yang sejaman. Selain itu
juga data-data yang diperoleh berasal dari arsip koleksi Perpustakaan Rekso
Pustaka Mangkunegaran.
b. Kritik Sumber, terdiri dari kritik Intern dan ekstern
Kritik Intern merupakan kritik yang meliputi tulisan, kata-kata, bahasa dan
analisa verbal serta tentang kalimat yang berguna sebagai validitas sumber
atau untuk membuktikan bahwa sumber tersebut dapat dipercaya.
Sedangkan kritik ekstern meliputi material yang digunakan guna mencapai
kredibilitas sumber atau keaslian sumber tersebut. Dari hasil-hasil sumber
yang berhasil dikumpulkan adalah dokumen asli bahwasanya sumber-
10
Sartono Kartodirdjo, 1993, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah, Jakarta: P.T
Gramedia Pustaka Utama, hal. 60-62.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
13
sumber itu sebagian berbahasa Indonesia lama. Kondisi dari data yang
mudah rusak karena bahan kertasnya sudah berusia sangat tua sehingga
mudah rapuh dan sobek. Terkadang tulisan yang berupa tulisan tangan
sebagian ada tinta yang luntur sehingga susah untuk dibaca. Memilih dan
memilah sumber-sumber yang akan dijadikan data, karena tidak semua arsip
yang ditemukan dapat dijadikan sebagai data.
c. Interpretasi/ penafsiran
Yaitu menafsirkan keterangan-keterangan yang saling berhubungan dengan
fakta-fakta yang diperoleh. Setelah melakukan kritik baik itu kritik intern
maupun ekstern, maka usaha yang dilakukan adalah menjelaskan apa yang
telah diperoleh dari data dokumen itu dengan pemikiran dan analisa.
d. Historiografi
Historiografi atau penulisan sejarah, yaitu menyampaikan sumber yang
diperoleh dalam bentuk kisah sejarah atau penulisan sejarah. Kemudian
menceritakan apa yang telah ditafsirkan dalam penyusunan kisah sehingga
menarik untuk dibaca. Penulisan dan penyusunan kisah dengan kata-kata
dan gaya bahasa yang baik bertujuan supaya pembaca mudah memahami
maksudnya dan tidak membosankan.
2. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data merupakan suatu langkah yang harus
digunakan dalam mengadakan sutu penelitian. Adapun teknik yang digunakan
dalam penelitian ini adalah:
a. Studi Dokumen
Data dokumen yang diperoleh dalam penelitian ini adalah dokumen
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
14
berupa sumber tertulis dan sejaman. Dari dokumen terdapat fakta-fakta sejarah
serta bahan yang akan ditulis. Dokumen mempunyai nilai otentik dan dapat
dipercaya.11
Dokumen sebagai sumber utama dalam penelitian. Untuk
memantapkan nilai suatu dokumen terhadap pengguanannya dalam ilmu
sejarah, perlu diadakan langkah-langkah sebagai berikut: pengumpulan objek
yang berasal dari jaman itu, pengumpulan bahan-bahan tercetak, tertulis
misalnya surat kabar terbitan sejaman, dokumen tertulis, peraturan-peraturan,
surat keputusan, laporan-laporan pemerintah, arsip pribadi yang belum
diterbitkan, surat-surat keluarga dan catatan perjalanan.
Adapun data yang digunakan dalam penelitian ini antara lain data
berupa Arsip dan Koran, antara lain Arsip Penyerahan pemerintahan Kooti
Jimu Kyoku Tyokan kepada KNIDS, Solo, Mangkunegaran: Arsip berupa
berkas masalah Jepang tahun 1945; Piagam Penetapan Presiden RI, Solo,
Mangkunegaran: Arsip Rekso Pustoko tahun 1946; Kutipan koran
“Kedaulatan Rakyat”, 4 Juni 1946: Masalah kedudukan KNI Surakarta (Arsip
Rekso Pustaka).
b. Studi Pustaka
Studi pustaka dilakukan di Perpustakaan Pusat UNS, perpustakaan
Fakultas Sastra dan Seni Rupa UNS, Reksa Pustaka Mangkunegaran,
Monumen Pers, dan Perpustakaan Daerah. Dalam studi pustaka ini berhasil
dihimpun buku-buku, artikel-artikel serta terbitan-terbitan lain yang secara
langsung menulis tentang masalah yang sesuai dengan topik permasalahan.
11
Louis Gotschalk, 1983, Mengerti Sejarah, Jakarta: Universitas Indonesia Press, hal. 18
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
15
3. Teknik Analisa Data
Teknik analisis data sangat terkait dengan metode dan pendekatan.
Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan sosial & politik sehingga dapat
memisahkan proses-proses politik yang terjadi dan berkaitan dengan situasi sosial
di Surakarta. Studi ini bukan hanya menggambarkan apa dan kapan peristiwa
Sejarah itu terjadi, tapi juga mengidentifikasi masalah bagaimana dan faktor-
faktor apa yang menyebabkan peristiwa itu terjadi. Penggunaan pendekatan sosial
dimaksudkan untuk mengungkap kualitas terhadap data-data dan fakta-fakta yang
ada, sebab peristiwa yang satu mempunyai keterkaitan dengan peristiwa yang lain.
Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif analitis.
Deskriptif analitis artinya menggambarkan suatu fenomena beserta ciri-cirinya
yang terdapat dalam fenomena tersebut berdasarkan fakta-fakta yang tersedia.
Setelah itu dari sumber bahan dokumen dan studi kepustakaan, tahap selanjutnya
adalah diadakan analitis, diinterpretasikan, dan ditafsirkan isinya. Data-data yang
telah diseleksi dan diuji kebenarannya itu adalah fakta-fakta yang akan diuraikan
dan dihubungkan sehingga menjadi kesatuan yang harmonis, berupa kisah sejarah
yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.12
Selain itu teknik yang digunakan untuk menganalisa data penelitian ini
adalah analisa historis. Analisa untuk mencari hubungan sebab akibat dari suatu
fenomena historis pada ruang dan waktu tertentu. Tujuan dari teknik ini adalah
agar penelitian ini tidak hanya menjawab apa, kapan, dan di mana peristiwa ini
12
Nugroho Notosusanto, Masalah Penelitian Sejarah Kontemporer, Jakarta: Yayasan Indayu,
Hal. 36
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
16
terjadi namun juga menjelaskan gejala sejarah sebagai kausalitas. Analisa ini
kemudian disajikan dalam bentuk penulisan diskriptif.
G. Sistematika Skripsi
Skripsi ini disusun bab demi bab untuk memberikan gambaran yang
terperinci. Penyusunan ini dilandasi keinginan agar skripsi ini dapat menyajikan
gambaran yang menunjukkan suatu kontinuitas perkembangan kejadian yang
berurutan.
Bab I merupakan bab Pendahuluan yang berisi tentang latar belakang
masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kajian
pustaka, metode penelitian, teknik pengumpulan data, teknik analisa data dan
sistematika skripsi.
Bab II berisi tentang akar-akar gerakan radikal di Surakarta sebelum
Revolusi 1945. Terbagi dalam tiga masa yaitu masa pergerakan dengan
munculnya Boedi Oetomo dan Sarekat Islam. Masa aksi dimulai banyaknya
gerakan radikal komunisme kemudian munculnya Insulinde. Masa pendudukan
Jepang dengan terbentuknya laskar perjuangan salah satunya gerakan Hizbullah.
Bab III membahas kondisi sosial politik Surakarta pada masa Revolusi
Fisik 1945. Berpindahnya ibukota dari Jakarta ke Yogyakarta menyebabkan ikut
berpindah pula kekuatan-kekuatan oposisi dari Jakarta ke daerah pedalaman. Kota
yang dianggap tepat untuk basis oposisi adalah kota “saingan” Yogyakarta, yaitu
Surakarta. Kota Surakarta juga menjadi basis kelompok oposisi seperti Persatuan
Perjuangan dan Barisan Banteng. Setelah adanya Maklumat dari Pakubuwono XII
pada tanggal 1 September 1945, Surakarta mendapat kedudukan sebagai daerah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
17
istimewa dari pemerintah pusat RI. Status sebagai daerah istimewa tersebut
kemudian mengundang berbagai konflik sosial politik di Surakarta.
Bab IV akan menguraikan tentang pembentukan Komite Nasional
Indonesia Daerah (KNID) Surakarta. Berbagai peranan KNID Surakarta juga
tampak dalam pergerakan politik di Surakarta pada tahun 1945-1946. Di awal
pembentukannya, KNID Surakarta mampu menjalankan tugasnya dan mendapat
keberhasilan secara gemilang dengan melucuti kekuasaan Jepang di Surakarta.
Terjadinya krisis kekuasaan awal kemerdekaan langsung dapat dipecahkan
melalui komite tersebut sebagai semacam lembaga perwakilan rakyat daerah.
Awal tahun 1946, muncul gerakan revolusioner menentang adanya status daerah
istimewa di Surakarta. Gerakan tersebut banyak dimotori anggota KNID
Surakarta beserta organisasi pergerakan politik lainnya. Hubungan antara
kekuatan pergerakan politik dengan KNID Surakarta juga dibahas dalam bab ini.
Bab V merupakan kesimpulan dari semua isi dan penjelasan dalam
penulisan skripsi ini.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
18
BAB II
AKAR-AKAR RADIKALISME SURAKARTA SEBELUM
REVOLUSI 1945
A. Radikalisme Surakarta dalam masa Pergerakan 1908-1911
1. Terbentuknya Organisasi Boedi Oetomo
Periode akhir abad XIX dan awal abad XX merupakan periode awal
pertumbuhan modernisasi masyarakat bumi putera. Modernisasi dalam hal ini
diartikan sebagai hasrat untuk mencapai kemajuan dengan menuntut pelajaran dan
pendidikan, terutama pendidikan model Barat. Dalam tubuh masyarakat bumi
putera mulai saat itu telah tumbuh kesadaran diri akan ketertinggalan kebudayaan
jika dibandingkan dengan bangsa Belanda yang ketika itu sebagai penjajah.
Buktinya adalah semakin banyak anak yang mengunjungi sekolah untuk menuntut
ilmu pengetahuan dan teknik, makin banyak penduduk pribumi yang mencari
kesempatan untuk mendapatkan pendidikan modern. Hal itu semakin meningkat
setelah digelindingkannya politik etis di Hindia Belanda yang salah satu
programnya adalah pengembangan pendidikan bagi kalangan bumi putera. Gejala
itu menjadi tanda bahwa masyarakat berkembang ke arah kesadaran nasional.
Paham-paham baru mulai berlaku, timbul keberanian meninggalkan tradisi kuno,
dan adanya dorongan yang semakin kuat untuk memperoleh kemajuan.1
Boedi Oetomo sebagai suatu organisasi pergerakan nasional pertama
didirikan atas dasar tuntutan kemajuan itu. Tuntutan kemajuan yang direfleksikan
1 Cahyo Budi Utomo, 1995, Dinamika Pergerakan Kebangsaan Indonesia dari Kebangkitan
hingga Kemerdekaan, Semarang: IKIP Semarang Press, hal. 49.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
19
dalam bentuk suatu organisasi itu sebenarnya sebagai suatu jawaban terhadap
penetrasi Barat dengan imperialisme dan kapitalismenya. Aspirasi nasional itu
tidak hanya timbul sebagai reaksi terhadap isolasi ekonomis dan sosio-kultural
yang diciptakan oleh politik kolonial Barat, tetapi juga karena dorongan kuat
untuk menjunjung tinggi derajat bangsa.
Gagasan untuk mendirikan suatu perkumpulan yang sifatnya umum di
Jawa ini mendapat persetujuan dan pengikut dari kalangan pelajar sekolah-sekolah
menengah, yaitu sekolah pertanian dan sekolah kehewanan di Bogor, sekolah
Menak di Magelang, dan Probolinggo, Burgeravondschool di Surabaya dan
sekolah-sekolah guru di Bandung dan Jogjakarta. Penerimaan anggota dibatasi
dan yang diterima hanya mereka yang mempunyai keinsyafan dan antusiasme
untuk mendukung dan memencarkan ide itu. Walaupun tidak dilakukan
propaganda secara besar-besaran dalam satu triwulan jumlah anggota sudah
mencapai 650 orang, diantaranya yang paling banyak kaum terpelajar, pamong
praja, dan wiraswasta.2
Pada awal aktivitasnya Boedi Oetomo merumuskan tujuannya secara
samar-samar, yaitu kemajuan bagi Hindia. Anggotanya juga masih terbatas.
Tetapi munculnya organisasi ini telah menarik khalayak ramai, karena itu dalam
waktu singkat antara bulan Mei sampai Oktober 1908 cabang-cabang Boedi
Oetomo telah berdiri di Jakarta, Bogor, Bandung, Magelang, Surabaya,
Probolinggo, dan Yogyakarta.
Sesudah pengunduran diri Soerjosoeparto sebagai ketua umum Boedi
Oetomo, maka seorang guru dari Yogyakarta, M.Ng. Dwidjosewojo, dipilih
2 Ibid, hal. 52.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
20
sebagai pejabat ketua selama beberapa bulan sampai kongres tanggal 8-9 Juli
1916 di Surabaya ketika R.M. Woerjaningrat, rekan terpimpin sebuah kelompok
anti-Belanda yang kuat dalam keraton Susuhunan, terpilih sebagai ketua.
Woerjaningrat adalah Bupati Nayaka atau Bupati Pertama di Surakarta dan anak
tiri Susuhunan Paku Buwono X. Di bawah pimpinan Woerjaningrat pemindahan
kepemimpinan pengurus pusat Boedi Oetomo dari Yogyakarta, yang telah dimulai
sejak pengunduran diri Notodirodjo pada tahun 1914, menjadi mantap. Sekitar
tahun 1918 Surakarta juga berada di garis depan pada tingkat cabang. Secara
nasional jumlah cabang telah meningkat dari 40 pada akhir 1909 menjadi 51 pada
tahun 1918, sedangkan jumlah anggotanya telah menurun dari sekitar 10.000
menjadi 3.914. Hal ini mencerminkan kenyataan bahwa Boedi Oetomo adalah
partai elite yang kecil dan berpengaruh, dan bukan partai massa.
Boedi Oetomo juga menciptakan dan menyebarkan pengaruhnya di
Surakarta. Organisasi ini berhasil menarik simpati para priyayi dan berusaha
mencari kemajuan-kemajuan lewat pengajaran, tapi sayangnya sentuhan Boedi
Oetomo hanya terbatas lapisan atas, sehingga tidak populer di kalangan
masyarakat bawah terutama petani.
2. Terbentuknya Organisasi Sarekat Islam
Organisasi lain yang muncul di Surakarta dan berpengaruh dalam
kehidupan masyarakat ialah Sarekat Dagang Islam atau Sarekat Islam (1911). SDI
didirikan Haji Samanhudi dilatarbelakangi unsur-unsur ekonomis dan agama.
Secara ekonomis, pendirian organisasi ini sebagai counter terhadap pedagang
Cina yang menjadi anak emasnya Belanda, oleh para pengusaha muslim yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
21
terancam kemundurannya di bidang perbatikan. Persatuan antar muslim di
Surakarta yang mulanya bersifat ekonomis ini berkembang menjadi persatuan
antar sesama penganut Islam yang sudah waktunya menunjukkan kekuatannya di
panggung politik nasional. Berkembangnya SI ke berbagai daerah membuktikan
daya kekuatan Pan Islamisme yang mendasari ideologi organisasi itu. SI tidak
hanya diikuti kalangan intelektual saja, tetapi oleh rakyat secara luas. SI
merupakan pencerminan gerakan rakyat dari para pedagang Indonesia melawan
kekuatan kelas menengah Cina.3 Gerakan SI dapat mengisi kelemahan Boedi
Utomo yang tidak dapat menjangkau massa kalangan rakyat bawah.
Penghapusan pada masa awalnya kata “dagang” dari nama sarekat ini
mencerminkan berkurangnya faktor ekonomi dibandingkan dengan faktor agama
dan nasionalisme Jawa yang memainan peranan yang lebih besar. Perhimpunan
baru ini segera meluas dalam jenis kegiatannya yang beraneka ragam. Di samping
boikot anti-Cina, Sarekat Islam dengan cepat mengembangkan rencananya untuk
bergerak di bidang perdagangan, mendirikan sekolah Islam, dan menerbitkan
sebuah surat kabar harian yang murni berbahasa Jawa. Nasionalisme Jawa ini
muncul karena berbagai macam faktor, termasuk pula faktor komersial dan
pertentangan etnis terhadap orang Cina, sentimen anti-Eropa, dan perlawanan
terhadap upaya untuk memodernisasi dan mengubah masyarakat. Popularitas
Sarekat Islam di Surakarta juga sebagian besar berpangkal dari permulaannya
sebagai suatu perkumpulan rahasia yang berfungsi sebagai perhimpunan amal dan
protektif.4
3 WF. Wertheim, 1956, Masyarakat Indonesia dalam Transisi: Studi Perubahan Sosial, Bandung:
Van Hoeve, hal. 184.. 4 George D. Larson, 1990, Masa Menjelang Revolusi: Kraton dan Kehidupan Politik di Surakarta
1912-1942, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, hal. 61.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
22
Karena nasionalisme Jawa ini pada hakekatnya merupakan reaksi terhadap
dominasi orang asing dan campur tangan yang semakin banyak dalam adat istiadat
Jawa, adalah wajar apabila Sarekat Islam Surakarta cenderung mencari dukungan
pada Susuhunan dan pembesar di sekelilingnya dan melawan pegawai-pegawai
yang lebih banyak dipengaruhi oleh pemerintah Hindia-Belanda.
Bertentangan dengan Budi Utomo, Sarekat Islam merupakan organisasi
yang cepat berkembang di lingkungan masyarakat bawah. Terlepas dari
kedudukan Sultan sebagai panatagama atau Kepala Agama Islam, Sunan sangat
berhubungan erat dengan Sarekat Islam yang berhaluan Islam. Akan tetapi
kerjasama Sarekat Islam dengan elite istana berakhir karena faktor eksternal yang
berupa tekanan dan campur tangan pemerintah kolonial, sedangkan faktor internal
berupa penggeseran kepemimpinan. Dalam kongres Sarekat Islam lokal pada
bulan April 1914, Cokroaminoto menggantikan H. Samanhudi sebagai anggota
pusat Sarekat Islam. Hal ini berarti hilangnya rasa hormat terhadap elite istana.
Sejak inilah gerakan Sarekat Islam makin radikal karena anggotanya banyak yang
berasal dari golongan bawah.
Radikalisme Sarekat Islam terlihat jelas pada masa 1920-an. Gerakan
Sarekat Islam sampai di pedesaan Surakarta di bawah kepemimpinan Cipto
Mangunkusumo, H. Misbach, Suryopranoto, dan lain-lain. Tokoh-tokoh ini
merupakan tokoh-tokoh agitator yang cukup pandai. Pengaruhnya cukup
mendalam dan meluas di Surakarta. Namun pada masa 1920-an itu,
perkembangan Sarekat Islam mengalami dualisme, di satu sisi ada Sarekat Islam
Putih, dan di sisi lain ada Sarekat Islam Merah. Sarekat Islam Putih bersifat Islami
murni, dan Sarekat Islam Merah bersifat akomodatif dengan sosialis-komunis
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
23
yang memang telah merasuki tanah air melalui organisasi ISDV dipimpin Hendrik
Snevliet dengan beberapa tokoh komunis lokal. Dengan masuknya pengaruh
komunis di dalam Sarekat Islam menambah keradikalannya. Berbagai peristiwa
politik dan sosial di daerah Klaten sekitar tahun 1920, misalnya pemogokan buruh
merupakan hasil agitasi politik Sarekat Islam secara nyata di pedesaan dalam
melawan kekuasaan asing. Di kalangan Sarekat Islam Merah banyak menuntut
reorganisasi agraris yang menyangkut soal tanah, sehingga masyarakat pedesaan
yang sudah lama mengalami ekstraksi sosial-ekonomi oleh kolonial bersikap anti-
Belanda, anti-gubernemen, dan anti-kapitalis. Kondisi ini sejalan dengan
pandangan Haji Misbach tentang apa yang diistilahkan sebagai ”Islam Abangan”,
yang diartikan: ”Islam” adalah ”prajurit”, dan ”Abangan” adalah ”bendera
merah”. Oleh sebab itu ”Islam Abangan” menandakan ”prajurit yang berani”,
seperti yang dikatakannya saat pidato di desa Kateguhan (subdistrik Sawit) 2 Mei
1920.5
B. Radikalisme Surakarta pada masa Aksi
1. Gerakan Radikal Komunisme di Surakarta
Gerakan radikal kemudian bergeser dari Sarekat Islam kepada organisasi-
organisasi berhaluan kiri. Dalam sejarah Surakarta suatu tonggak penting adalah
tahun 1918 ketika munculnya suatu gerakan radikal yang menentang kedua istana,
perusahaan perkebunan dan gubernemen. Peristiwa ini merupakan awal dari
tahun-tahun yang bergejolak di kalangan sebagian rakyat jelata Kasunanan dan
5 Ibid., hal. 176.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
24
Mangkunegaran dari istana kerajaannya. Di samping masyarakat petani, gerakan
ini juga menyusupi kalangan pegawai pribumi, polisi dan militer. Gerakan ini
mendapat beberapa penganut di kalangan aristokrasi dan bangsawan. Pada masa
puncaknya, pada tahun 1920 gerakan ini mempunyai 50.000 pengikut dan boleh
dikatakan merasuki semua perkebunan di karesidenan ini. Walaupun gerakan ini
akhirnya ditumpas oleh gubernemen, ia telah meninggalkan warisan yang merintis
jalan untuk gerakan komunis.6
Alasan dasar yang dikemukakan oleh para pemimpin radikal adalah bahwa
gerakan mereka timbul karena suatu reaksi terhadap kesulitan yang sangat besar di
kalangan ekonomi. Di samping itu faktor-faktor utama yang sesungguhnya
mencetuskan gerakan ini adalah kehadiran beberapa pemimpin yang sangat
bersemangat, terjadinya suatu bencana alam (wabah pes), kekesalan terhadap
tindakan gubernemen menghadapi bencana ini, dan ketidakpuasan terhadap
reorganisasi agraria yang dijalankan gubernemen.
Permasalahan bermula dari menjalarnya wabah pes pada bulan Maret
1915. Wabah ini dianggap sebagai bencana alam yang secara tradisional dianggap
sebagai pertanda berakhirnya dinasti raja.7 Upaya Belanda dalam memberantas
penyakit ini dengan mengambil beberapa tindakan, namun ironisnya, upaya dari
Pemerintah justru meninggalkan jejak kekecewaan dan kemarahan yang
membekas di hati masyarakat. Misalnya dua dokter Belanda melakukan
multipunctie (mengambil sampel dari limpa yang diteliti), suatu praktek yang
sangat memalukan dan menghina perasaan keagamaan. Kemarahan ini berlanjut
dengan keresahan akan program perbaikan rumah pada saat masyarakat tidak
6 Ibid, hal 131.
7 Julianto Ibrahim, op.cit.,hal 49.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
25
mampu membiayai perbaikan tersebut.8 Perbaikan ini berjalan di atas
perekonomian yang sangat merosot. Laporan-laporan pada saat itu menyebutkan
bahwa pada masa-masa tahun 1918 dan 1920 merupakan masa yang sulit.
Kesulitan dapat diidentifikasikan dengan inflasi dan biaya hidup yang
membumbung tinggi disaat gaji tetap. Hasil pertanian tidak mampu mencukupi isi
perut alias makan.9
Revolusi di Surakarta pada dasarnya bersifat radikal. Hal ini dikarenakan
adanya sifat mudah memberontak di daerah ini yang dimulai sejak zaman
penjajahan. Sebelum perang di Surakarta sudah ada tradisi melakukan protes yang
sifatnya politik. Di kota misalnya oleh tokoh-tokoh seperti Tjipto Mangunkusumo
dan Haji Misbach, dan di daerah pedesaan oleh PKS (Pakempalan Kawula
Surakarta) maupun oleh gerakan-gerakan Ratu Adil.10
Baik Tjipto maupun
Misbach dengan sukses telah memberikan pimpinan dalam gerakan protes yang
dilakukan oleh kaum tani kebun tebu dari pabrik gula Klaten terhadap penguasa
kolonial. Gerakan-gerakan tersebur makin lama semakin menjauh dari kraton,
karena Sunan dan Mangkunegoro tidak lagi dianggap sebagai pemegang
kekuasaan menurut adat, melainkan sebagai agen dari kaum penjajah yang
mengeksploitasi rakyat, sebagian karena mereka (tidak seperti Sultan dan Paku
Alam) juga memiliki pabrik-pabrik gula.11
Kesulitan-kesulitan telah meggerakkan aksi-aksi radikal yang dipimpin
Haji Muhammad Misbach dan Dr. Tjipto Mangunkusumo. Menurut Shiraisi, Haji
Muhammad Misbach dapat diibaratkan sebagai "sang mubalich" dalam
8 George D. Larson, op.,cit, hal. 134.
9 Ibid, hal. 158.
10 R.T. Muhammad Husodo Pringgokusumo, 1982, Ringkasan Disertasi Dr. Soejatno Kartodirjo:
Revolusi di Surakarta tahun 1945-1950, Surakarta: Rekso Pustoko, hal. 2. 11
Ibid.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
26
hubungannya dengan aksi-aksi radikal di Surakarta. Misbach lahir di Kauman
Solo pada tahun 1876. Misbach menegaskan, "tanah bukan milik Susuhunan atau
Gubernemen tetapi berasal dari nenek moyang kita dan kita harus mencari jalan
untuk memperolehnya kembali". Kebencian terhadap kraton terutama ditunjukkan
oleh Tjipto. Kritik-kritik Tjipto terhadap Kraton sangat pedas terutama ditujukan
kepada Sunan dan Nasionalisme Jawa.
Di Surakarta ciri khas dari gerakan komunis adalah usahanya yang tekun
untuk memadukan marxisme dengan Islam. Tokoh yang menyemaikan gagasan
ini adalah H. Misbach yang sebelumnya telah menggunakan agama dengan mahir
untuk mencetuskan bergeloranya gerakan radikal. Corak komunisme Islam yang
dianut Misbach adalah suatu percampuran antara Muhammad, Marx dan wawasan
abangan tradisional. Argumen dasar dari Misbach adalah bahwa semua penyakit
sosial, ekonomi dan spiritual yang diderita oleh masyarakat Hindia Belanda
disebabkan oleh sistem kapitalis di seluruh dunia yang secara tidak manusiawi
menindas dan memeras rakyat jelata. Gubernemen, para kapitalis, raja
bumiputera, arsitokrasi, bahkan orang muslim yang kaya raya semuanya
merupakan bagian dari sistem penindasan dan ketidakadilan yang berlaku dimana-
mana. Oleh karena itu, kelompok yang menikmati kekayaan dengan ketidakadilan
tersebut harus disingkirkan.12
"Ajaran" Misbach ini telah menggerakkan para anggota Sarekat Rakyat
maupun anggota komunis lainnya untuk melakukan tindakan-tindakan teroris
kecil-kecilan di Surakarta pada bulan-bulan awal tahun 1923. Aksi-aksi tersebut
bertujuan mengganggu jalannya pemerintahan dan ketenangan masyarakat seperti
12
Ibid., hal. 195-197.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
27
sabotase jalan kereta api, pelemparan bom terhadap mobil pejabat maupun keraton
dan pembakaran terhadap rumah orang kaya.13
Pemerintah kemudian bertindak
dengan menangkap Misbach beserta beberapa pengikutnya pada bulan Oktober
1923 dan kemudian dibuang ke Manokwari pada tahun 1924.
Hubungan antara pimpinan Misbach dalam politik pedesaan di Surakarta
dengan permulaan dari gerakan komunis lebih jelas. George D. Larson dalam
Disertasinya menjelaskan bahwa gerakan komunis di Surakarta timbul tidak lama
sesudah Haji Misbach dikeluarkan dari penjara Pekalongan pada bulan Agustus
1922, dan tenggelam setelah pemberontakannya yang terkenal dalam bulan
November 1926 menemui kegagalan.14
Pengaruh yang kuat dari agitasi yang dilakukan oleh Misbach di daerah
perkebunan menimbulkan kesadaran politik diantara petani, sehingga mereka
matang untuk menerima ide-ide dari organisasi-organisasi yang berafiliasi dengan
kaum komunis dalam masa revolusi. Sesungguhnya selama zaman kolonial
Belanda selalu ada keresahan yang bersifat laten di perkebunan-perkebunan
tebu.15
Setelah kepergian Misbach, tekanan-tekanan pemerintah terhadap
kekuatan radikal yang tergabung dalam PKI, Sarekat Rakyat, Moe'alimin dan
beberapa organisasi berhaluan komunis lainnya semakin intensif. Pemerintah
semakin giat melakukan penangkapan-penangkapan terhadap aktivis-aktivis
organisasi radikal ini. Tindakan penangkapan dan penekanan yang dilakukan
pemerintah menyebabkan muncul aksi-aksi balasan yang bersifat kriminal.
13
Van der Marel, Memorie van Overgrave 1924, hal. 106-107 14
George D. Larson, 1979, Prelude to Revolution: Palace and Politics in Surakarta 1912-1942,
Tesis dari Northern Illinois University, hal. 230. 15
R.T. Muhammad Husodo Pringgokusumo, op.,cit, hal. 2.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
28
Tindakan kejahatan tersebut diorganisasikan oleh kekuatan radikal seperti PKI
maupun Sarekat Rakyat baik di perkotaan maupun pedesaan untuk mengacaukan
dan mengganggu keamanan. Beberapa tindak kejahatan tersebut mencapai
puncaknya pada tahun 1926 dan 1927 yang merupakan aksi pemberontakan kaum
komunis terhadap pemerintah. Pemberontakan ini tidak hanya berlangsung di
Surakarta tetapi terjadi juga di Jawa Barat dan Sitiung Sumatra Barat.
2. Munculnya Insulinde di Surakarta
Munculnya Misbach sebagai mubaligh terkemuka dan kembalinya Tjipto
sebagai anggota volksraad ternyata menjadi faktor utama bangkitnya Insulinde di
Surakarta. Dalam konteks pergerakan-pergerakan di Surakarta, Insulinde adalah
front persatuan kekuatan-kekuatan oposisi untuk melawan kekuasaan priyayi
(kraton) yang mengendalikan Budi Utomo dan kekuasaan keagamaan serta
pedagang batik Laweyan yang mengendalikan SI Surakarta.
Insulinde Surakarta merupakan front persatuan kaum pinggiran, yaitu
orang-orang partikulir, muslim reformis, dan buruh-buruh, dalam hierarki sosial
Surakarta. Dengan kehadiran Insulinde yang berhasil memobilisasi petani
pedesaan Surakarta, keresahan petani di pedesaan menjadi meningkat. Mobilisasi
petani itu memicu bangkitnya radikalisasi petani yang ternyata di luar kendali
pemimpin Insulinde Surakarta. Gerakan komunis merupakan pertumbuhan
langsung dari gerakan radikal ini dan mengadakan perlawanan terhadap kraton,
gubernemen dan perusahaan perkebunan.16
Insulinde Surakarta berhasil
mengubah dirinya menjadi perkumpulan bumiputra yang besar, sementara
16
Takashi Shiraishi, 1997, Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926, Jakarta:
Pustaka Utama Grafiti, hal. 186
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
29
pemimpin pusat Insulinde terutama di pusat pemerintahan dan komersial seperti
Surabaya, Bandung, dan Batavia sebagian besar didominasi orang Indo.
Insulinde dengan ciri nasionalis Hindia-nya sampai pertengahan tahun
1918 masih didominasi golongan konservatif, Galestien sebagai ketuanya dan
Soetadi sebagai sekretaris. Tampilnya kembali Tjipto sebagai pemimpin
pergerakan mulai terasa saat itu. Oleh karena itu ia ditunjuk oleh Gubernur
Jenderal menjadi anggota Volksraad. Meskipun ia belum jadi anggota komite
sentral Insulinde, ia mulai hadir dalam pertemuan bestuur afdeling secara teratur
dan mulai menerbitkan organ Insulinde berbahasa Jawa, Panggoegah, tiga kali
sebulan.17
Kekuatan penentang SI Surakarta banyak bergabung dengan Insulinde
Surakarta sebelum vergadering umum pada April 1919. Keanggotaan ganda di SI
dan Insulinde pada masa itu bukan sesuatu yang aneh. Meskipun Insulinde adalah
perkumpulan yang bekerja demi ”Hindia untuk orang Hindia” tanpa pandang ras
dan agama, sedangkan SI adalah perkumpulan muslim Hindia. Perbedaan
keduanya tidak ideologis. Kehadiran orang-orang Insulinde di tubuh SI
membuktikan bahwa cita-cita Insulinde membangun Hindia merdeka juga ada di
kalangan anggota SI.
Beberapa anggota SI bertahan untuk tidak bergabung dengan Insulinde
karena Insulinde dianggap sebagai perkumpulan orang Indo. Hal ini tidak berlaku
di Surakarta setelah Tjipto direhabilitasi dan mulai menerbitkan organ Insulinde
berbahasa Jawa, Panggoegah. Dalam organ tersebut, Tjipto dengan bahasa
sederhana membicarakan dan mempertajam berbagai isu mulai dari cepatnya
17
Ibid., hal. 188.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
30
perubahan dunia sampai ke isu-isu yang dibicarakan di Volksraad, seperti
kekurangan pangan akibat tertundanya impor beras dari Hindia Inggris (Birma),
pengurangan penanaman gula tebu untuk meningkatkan produksi bahan pangan,
dan pembentukan dewan kota praja dan dewan desa. Semua ini membuat Tjipto
dipandang sebagai sumber inspirasi intelektual penting oleh aktivis SI yang
radikal, dan di mata mereka Insulinde Surakarta lekat dengan sosok Tjipto.18
C. Radikalisme Surakarta pada masa Jepang
1. Terbentuknya Laskar-laskar Perjuangan
Pada masa pendudukan Jepang di Surakarta banyak terbentuk berbagai
kesatuan perjuangan yang disebut sebagai badan-badan kelaskaran. Laskar-laskar
ini terbentuk secara cepat dan berasal dari berbagai unsur sosial. Kelompok-
kelompok yang telah ada sebelumnya menyatukan diri menurut kepentingan
revolusi dengan nama dan keanggotaan yang cenderung bersifat faksional.
Misalnya kelompok pemuda mengorganisasikan diri mereka, kelompok eksponen
tentara masa Jepang, kelompok politik, dan sebagainya.
Laskar-laskar yang terbentuk antara lain Barisan Laskar Banteng (BLB)
yang berseragam hijau di bawah pimpinan Dr. Muwardi, para anggotanya ada
yang berasal dari Gerakan Suisintai dan kelompok pemuda lainnya misalnya
kelompok delapan. Pemuda Sosialis Indonesia atau yang dikenal dengan
PESINDO terbentuk dengan para anggotanya yang banyak berasal dari golongan
pemuda yang berhaluan ideologi kiri radikal di bawah pimpinan Sukarno. Badan
18
Ibid., hal. 194.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
31
Pemberontak Republik Indonesia (BPRI) yang sebenarnya berpusat di Surabaya
di bawah Bung Tomo, di Surakarta dipimpin oleh Gunarjo. Selanjutnya Laskar
Rakyat yang memakai seragam berwarna kuning dipimpin oleh Iskandar
Kusumodirdjo, Hizbullah di bawah pimpinan Munawar dan sebagainya, terutama
dari kalangan rakyat terpelajar.
Para pelajar di Surakarta terorganisir dalam beberapa kelaskaran di
antaranya Pasukan Satria, Barisan Polisi Istimewa Sekolah Menengah Tinggi, dan
BPRI. Selain itu ada Laskar Kere di bawah pimpinan Achmadi, Laskar Barisan
Pemuda Jelata di bawah pimpinan Prakosa, dan Laskar Garuda di bawah Masuri.
Kedua laskar yang terakhir ini kemudian berhimpun dan di bawah komando
Markas Besar TP Pusat di Yogyakarta dan bukan di bawah IPI Pertahanan.19
Para pelajar yang tergabung dalam kesatuan kelaskaran pelajar terkenal
dengan sebutan Tentara Pelajar (TP) dengan tokoh-tokohnya Prakosa, Soebroto,
dan Achmadi. Pusat Komando TP berada di Yogyakarta. Pada masa awal
Revolusi TP berperan besar, baik di bidang militer, politik maupun sosial.
Terbentuknya laskar-laskar pelajar tersebut mendukung sekali jalannya revolusi di
Surakarta. Di kota Surakarta dibentuk komando Militer Kota oleh para elite
militer dan TP untuk menjaga stabilitas dan keamanan kota. Disini tokoh-tokoh
pelajar berperan penting, misalnya Prakosa, A. Latief dan Achmadi.
Di daerah pedesaan juga dibentuk kesatuan-kesatuan kelaskaran yang
berfungsi memobilisasi kekuatan rakyat desa. Laskar-laskar rakyat di pedesaan ini
sebagai kelanjutan dari pembentukan laskar-laskar di kota, berarti sebagai
manifestasi dari suatu urban revolution ( revolusi kota) ke rural revolution
19
Mawardi, 1995, Dinamika Revolusi Sosial di Surakarta, Sukoharjo: Universitas Veteran
Bangun Nusantara, hal. 48.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
32
(revolusi desa). Para anggota kelaskaran di desa-desa terdiri dari pemuda, tokoh
politik, pemimpin agama, dan lainnya. Organisasi kelaskaran ini misalnya Laskar
Rakyat Surakarta, Pemuda Laskar Rakyat, Pemuda Penjaga Desa, Pelopor Laskar
Rakyat, Markas Pertahanan Rakyat, dan Gerakan Sabilillah.20
Laskar-laskar di pedesaan tersebut timbul secara spontan dan menentukan
para pemimpinnya sendiri. Untuk menghadapi musuh para anggota laskar di desa-
desa itu menggunakan strategi perang “gerilya”. Secara umum mereka banyak
menggunakan persenjataan tradisional, misalnya keris, pedang, granggang,
tombak, bandil, dsb. Hal ini berbeda dengan apa yang dimiliki oleh laskar-laskar
di kota yang terutama berasal dari kesatuan-kesatuan eksponen militer yang telah
banyak memegang senjata modern. Para anggota kelaskaran di desa-desa juga
diwarnai dengan penguasaan ngelmu tertentu dan berbagai jimat untuk
mempertebal kekuatan diri secara magis. Kekuatan magis ini dicari dan diperoleh
dari cara berguru kepada para ahli magis atau dukun dan kyai. Beberapa macam
jimat yang dipakai sebagai sarana kekuatan magis itu diantaranya bernama
Tanjungsari, Kulbuntet, Bolandoh, Kalacakra, dll. Ini merupakan suatu refleksi
tradisi Jawa yang masih berlanjut dalam masa Revolusi. Tradisi ini telah lama ada
misalnya bersamaan dengan munculnya gerakan protes atau sosial yang sering
diperkuat oleh unsur-unsur religio-magis itu, tujuannya untuk memperoleh
kasekten, kawedungan, kadigdayan.
Di Surakarta terdapat beberapa sumber ngelmu dari para kyai atau dukun,
dan yang terkenal waktu itu antara lain Kyai Juru Mertani, Kyai Mangun Hartono,
Kyai Parakan, dan mbah Balak. Tampaknya bagi para pemuda dan pejuang secara
20
Ibid.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
33
umum mencari sandaran religio-magis dianggap penting selama revolusi
kemerdekaan 1945-1950 itu dan memang secara psikologis hal ini cukup
berpengaruh bagi timbulnya semangat percaya diri yang kuat untuk menghadapi
musuh.
Selama revolusi juga terlihat peranan para pejuang yang bersifat heroik
terutama para pemuda. Di masyarakat pedesaan khususnya banyak ditemukan
tokoh-tokoh pejuang yang dinamakan “jago” yang secara umum mereka memiliki
sifat arogan atau “bandit”. Mereka pandai pencak silat dan memiliki kekuatan
magis lainnya. Di beberapa daerah istilah “jago” ini sering berlainan, misalnya di
daerah Karesidenan Pekalongan disebut Lenggaong.21
Di daerah Surakarta para
“jago” tersebut juga penting artinya selama revolusi.
Selama pendudukan militerisme Jepang di Surakarta timbul gerakan protes
bawah tanah atau ilegal. Gerakan ini menentang fasisme Jepang misalnya yang
dilancarkan oleh anggota-anggota PETA (Pembela Tanah Air) Daidan Wonogiri
yang menamakan diri IPTAS (Ikatan Prajurit Sejati). Gerakan ini di bawah
pimpinan Sutarto, seorang anggota PETA, dan di masa revolusi sebagai pendiri
Angkatan Muda Tentara (AMT) di Surakarta pada 20 Agustus 1945.
Bila dilihat dari kepemimpinannya, maka timbulnya gerakan protes atau
sosial tidak lepas dari pengaruh orang-orang kharismatik yang berasal dari
golongan sosial bangsawan, ulama, atau tokoh-tokoh yang memiliki
kewibawaan/otoritas tradisional lainnya misalnya guru tarekat, dukun dsb.
Tendensi religio-magis yang diperoleh dari berbagai sumber ngelmu menjadi
penting dalam berbagai peristiwa gerakan, misalnya kadigdayan, kawedungan,
21
Anton E. Lucas, 1989, Peristiwa Tiga Daerah: Revolusi dalam Revolusi, Jakarta: Grafiti Pers,
hal. 143.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
34
kasekten dan daya magis lainnya. Unsur-unsur itu berpengaruh tidak saja bagi
para pengikut gerakan sosial pada masa kolonial, namun juga dapat ditemukan
pada masa revolusi kemerdekaan untuk digunakan menghadapi musuh.
Dengan demikian tradisi gerakan protes atau sosial yang telah ada sejak
masa kolonial dan sering berakibat timbulnya pergolakan yang besar dalam
masyarakat itu turut menjadi faktor penting dan berpengaruh bagi revolusi sosial
di Surakarta. Meskipun pada masa revolusi terjadi proses transisi politik yang
jelas, akan tetapi dasar-dasar kekuatan tradisional yang telah hidup pada masa
lampau secara mapan dalam pola pemikiran masyarakat Surakarta tidak lenyap
begitu saja. Justru pada masa terjadinya ”krisis” itu peranan daya religio-magis
dan tradisi masa lampau ikut mendukung mengatasinya secara spontan.
Terjadinya berbagai pergolakan sosial-politik di Surakarta juga tidak terlepas dari
struktur gerakan tradisional yang telah ada sebelumnya. Pada masa revolusi sosial
hal ini terimplementasi dalam gerakan revolusioner, pendaulatan, konflik-konflik
dll.
2. Munculnya Hizbullah di Surakarta
Salah satu langkah politik yang dilakukan Pemerintah Militer Jepang
untuk pemanfaatan sumber daya manusia adalah memobilisasi massa pemuda dan
rakyat secara besar-besaran dalam program semi militer maupun militer. Tujuan
utamanya adalah sebagai tenaga cadangan kepentingan militer Jepang. Mobilisasi
rakyat terbentuk dalam barisan-barisan perjuangan antara lain Keibodan,
Seinendan, Fujinkai, dan Pembela Tanah Air (PETA). Pembentukan barisan
perjuangan tersebut mendorong rakyat mempunyai sikap mental serta keberanian
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
35
untuk menentang penjajah dan adanya pemahaman mengenai kemerdekaan. Sikap
mental ini mengarah pada terbentuknya semangat nasionalisme baru di kalangan
rakyat. Organisasi militer dan semi militer itu dijadikan sebagai wadah para
pemuda dan rakyat untuk mengembangkan semangat keberanian menentang
pendudukan Jepang.22
Adanya pemberontakan PETA, Jepang merasa bahwa upayanya dalam
menggalang kerjasama dengan kaum nasionalis tidak berhasil. Jepang kemudian
banyak melakukan pendekatan dengan tokoh-tokoh umat Islam yang berpengaruh
kuat dalam masyarakat. Hal ini dilakukan karena sebagian besar rakyat Indonesia
beragama Islam dan mempunyai sikap kepatuhan yang besar terhadap pimpinan.
Jepang kemudian menghidupkan kembali organisasi Islam MIAI (Majelis Islam
A’laa Indonesia) yang sebelumnya telah ada. MIAI kemudian dirubah menjadi
Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) untuk mendapat simpati para tokoh
Islam.23
Jepang gencar mengadakan pendekatan terhadap tokoh-tokoh Islam
dengan memberikan kesempatan kepada pemimpin Islam untuk memperluas
peranannya agar meningkatkan posisi agama Islam. Hal ini dilakukan agar para
pemimpin Islam di Indonesia dapat mempengaruhi pengikut-pengikutnya untuk
mendukung dan bekerja sama dengan pemerintah militer Jepang. Adanya
pengaruh ini menyebabkan banyak pemuda Islam turut serta dalam barisan-
barisan militer yang dibentuk Jepang.
Tanggal 14 September 1944 secara resmi didirikan badan perjuangan
22
Cahyo Budi Utomo, 1995, Dinamika Pergerakan Kebangsaan Indonesia dari Kebangkitan
hingga Kemerdekaan, Semarang: IKIP Semarang Press, hal. 185-186. 23
Hasyim Latief, 1995, Laskar Hizbullah Berjuang Menegakkan Negara Republik Indonesia,
Surabaya: P.T Jawa Pos, hal. 11.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
36
Islam yang diberi nama Hizbullah. Jepang mengijinkan Hizbullah yang terdiri dari
para pemuda Islam lingkungan pesantren maupun masyarakat umum. Unsur
muslim dalam pergerakan nasional merupakan unsur yang secara politik dipercaya
oleh Jepang dan dapat membantu Jepang karena merupakan kelompok anti Barat
dan anti kafir.24
Wilayah Surakarta dalam merespon pendirian Hizbullah pusat dilakukan
dengan ikut mengirim perwakilan pemuda untuk mengikuti pelatihan militer di
Cisarua, Jawa Barat. Pembentukan Hizbullah Surakarta kemudian dipimpin oleh
Moh. Munawar yang mendapat respon dari pemuda di Surakarta. Para pemuda
mendaftar sebagai anggota Hizbullah berasal dari Madrasah Mambaul Ulum,
Tsanawiyah, Salawiyah, Kalliyat, Mualimin dan beberapa pondok pesantren
sekitar Surakarta dan masyarakat umum.25
Anggota Hizbullah Surakarta tersebut direkrut melalui propaganda oleh
pelopor Hizbullah Surakarta. Solidaritas dan kebutuhan untuk mengelompok pada
masa penjajahan menciptakan kondisi positif bagi berdirinya Hizbullah Surakarta
sebagai salah satu badan perjuangan yang berjuang meraih kemerdekaan.
Semangat berjihad dimanfaatkan untuk merekrut sebanyak mungkin anggota
Hizbullah baik dari dalam kota Surakarta maupun dari wilayah sekitar.
Persyaratan yang mudah semakin menguntungkan dalam masa pendirian
Hizbullah di Surakarta.
Keikhlasan serta semangat mempertahankan negara dan agama menjadi
dasar keikutsertaan para anggota. Semangat perjuangan laskar Hizbullah
Sabilillah muncul karena adanya semangat jihad fi sabilillah. Hal ini berarti
24
Tashadi, 1995, Hizbullah-Sabilillah Divisi Sunan Bonang dalam Revolusi Kemerdekaan, Lahir
dan Pertumbuhannya (Sejarah Lokal), Jakarta: Depdikbud, hal. 224-225. 25
Ibid., hal. 227.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
37
berperang membela kebenaran dengan cara memperkuat pertahanan militer dan
mengatur barisan militer sesuai dengan ajaran Islam.26
Pusat latihan Hizbullah yang sekaligus menjadi markas pertama adalah
gedung Sie Dian Hoo Purwosari, karena kurang strategis markas dipindahkan ke
Rumah Sakit Kustati Surakarta. Daerah ini dipilih karena mayoritas
masyarakatnya beragama Islam, sudah ada masjid dan lapangan yang memadai
untuk latihan. Hizbullah juga berkembang di beberapa daerah sekitar Surakarta.
Selain militer, para anggota juga mendapat pendidikan agama Islam untuk
memperkuat iman dan semangat cinta tanah air.27
26
Ibid., hal. 231. 27
Moh.Munawar, 2004, Perjalanan Hizbullah Divisi Sunan Bonang, Surakarta:Yayasan Bhakti
Utama, hal. 7.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
38
BAB III
KONDISI SOSIAL POLITIK SURAKARTA PADA MASA
REVOLUSI FISIK 1945
A. Surakarta sebagai Kota Oposisi
Keberadaan Surakarta sebagai kota oposisi tidak terlepas dari kedudukan
Yogyakarta sebagai ibu kota Republik Indonesia. Berpindahnya ibukota dari
Jakarta ke Yogyakarta disebabkan oleh keadaan Jakarta yang tidak aman. Konflik
antara sekutu dan NICA melawan kekuatan republik di Jakarta semakin memanas.
Masalah diplomasi nyaris menemui jalan buntu yang menyebabkan pemerintah
Syahrir dan Amir terjebak dalam kevakuman. Keadaan ini harus dibayar mahal
oleh pemerintah dengan menghadirkan suara-suara ketidakpuasan dan
ketidaksukaan atas sistem diplomasi yang diterapkan, tentu saja oposisi semakin
menghebat apalagi ditambah dalam tubuh KNIP sendiri terjadi perpecahan.1
Syahrir, Amir dan Hatta terus berjuang lewat radio untuk menenangkan rakyat
yang kenyataannya tidak bisa dipahami oleh pejuang-pejuang yang “gatal
tangannya” untuk menghancurkan musuh.2 Hal ini terlihat dari usaha-usaha dari
gerakan sempalan dari regu-regu KNIL yang membandel untuk membunuh
Syahrir dan Amir.
Dengan demikian, situasi ibukota secara umum mengkhawatirkan. Oleh
karena itu dibutuhkan usaha-usaha menghindarkan diri dari konflik yang semakin
1 Julianto Ibrahim, 2004, Bandit dan Pejuang di Simpang Bengawan: Kriminalitas dan
Kekerasan Masa Revolusi di Surakarta, Wonogiri: Bina Citra Pustaka, hal. 101.
2 Ibid.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
39
memanas di ibukota dengan mencari wilayah yang lebih tenang di pedalaman.
Akhirnya, Yogyakarta terpilih sebagai basis republik menggantikan Jakarta.
Sukarno beserta rombongan kabinet Syahrir kecuali Syahrir sendiri secara diam-
diam naik kereta api dari Stasiun Manggarai menuju Stasiun Tugu Yogyakarta.
Kedatangan petinggi-petinggi Negara ini disambut Sultan tanggal 4 Januari 1946,
tanpa pesta, parade dan atraksi pertunjukan. Untuk selanjutnya, kegiatan
pemerintah negara dipusatkan di Gedung Negara jalan Malioboro.
Menurut dokter pribadi Sukarno, pemilihan Yogyakarta sebagai ibu kota
Negara disebabkan oleh tawaran yang diberikan Sultan terhadap Sukarno. Sultan
telah mengundang Sukarno untuk menempatkan ibu kota yang berada di Jakarta
ke Yogyakarta. Undangan tersebut dibawa oleh seorang kurir yang berangkat dari
Yogyakarta tanggal 2 Januari 1945. Selain itu Yogyakarta memiliki faktor-faktor
keunggulan yaitu 1) Yogyakarta terletak di Jawa Tengah bagian selatan yang jauh
dari jangkauan musuh; 2) Hubungan Yogyakarta ke segala penjuru mudah; 3)
Keberadaan markas Tentara Keamanan Rakyat dan adanya Laskar Rakyat
Mataram; dan 4) Suasana Yogyakarta yang revolusioner dan republiken.
Berpindahnya ibukota dari Jakarta ke Yogyakarta menyebabkan ikut
berpindah pula kekuatan-kekuatan oposisi dari Jakarta ke daerah pedalaman. Kota
yang dianggap tepat untuk basis oposisi adalah kota “saingan” Yogyakarta, yaitu
Surakarta. Kekuatan oposisi yang bermarkas di Surakarta adalah kelompok kiri
pimpinan Tan Malaka beserta kekuatan-kekuatan baik partai politik maupun
badan-badan perjuangan yang mendukungnya.
Tan Malaka merupakan seseorang yang melegenda di hati sebagian besar
pejuang kemerdekaan Indonesia, termasuk Soekarno. Visi revolusi Tan Malaka
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
40
didasarkan pada pemberontakan masyarakat Indonesia dengan revolusi total
bukan saja imperialisme dan penjajah yang diusir tapi juga mengikis habis sisa-
sisa kebudayaan lama, seperti feodalisme. Hal ini dikarenakan, feodalisme
menyuburkan mentalitas budak yang sarat dengan cerita-cerita takhayul dan
mistik sehingga meyebabkan orang menyerah kepada alam. Keprihatinan Tan
Malaka dituangkan dalam karyanya Madilog sebagai kritik terhadap mentalitas
budak yang masih dimiliki bangsanya.3 Baginya, kemerdekaan bukan hanya
berarti politik tetapi juga ekonomi, sosial dan lebih dari itu mental. Revolusi total
hanya bisa terjadi dan berhasil kalau; 1. Massa dapat digerakkan; 2. Ada
organisasi yang kuat untuk menjaga disiplin dan jalan revolusi dengan cara hukum
besi; dan 3. Ada pimpinan revolusi. Dari sinilah Tan Malaka menginginkan
sebagai ”kemudi’ revolusi yang membawa revolusi menurut ”selera”nya. Tan
Malaka ingin menjadi “pemimpin revolusi”, hingga berbenturan dengan kelompok
lain terutama Syahrir.4
B. Kelompok Oposisi di Surakarta
a. Persatuan Perjuangan
Di Balai Agung, gedung Balaikota Surakarta pada tanggal 15 Januari 1946
pukul 10.00 dibuka Kongres Pendidikan Volksfront. Lima ratus orang pengunjung
hadir atas nama 141 organisasi. Jenderal Soedirman beserta stafnya juga turut
hadir, dengan diiringi tokoh tertinggi Angkatan Laut Atmadji. Soekarno, Hatta
3 Tan Malaka, 1951, Madilog: Materialisme, Dialektika, Logika, Jakarta: Wijaya, hal. 42
4 Anthony Reid, 1996, Revolusi Nasional Indonesia, ter. P.G Katoppo, Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan, hal.72.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
41
dan kabinet juga diundang hadir, tapi mereka tidak datang. Sultan Yogyakarta dan
Sunan Surakarta mewakilkan utusannya masing-masing. Soebardjo dan Gatot
Taroenamihardjo yang jauh dari pusat kekuasaan, juga tampak hadir.
Kongres tersebut dihadiri lebih dari seratus organisasi. Organisasi besar
sudah hadir di Purwokerto di Kongres sebelumnya, organisasi-organisasi kecil
regional dan lokal berdatangan dengan senang dan termasuk sebagai peserta.
Seperti Partai Rakyat Djelata (PRD) dan Dewan Perdjoangan, badan-badan
permusyawaratan antara tentara dan badan-badan perjuangan. Terutama yang
didirikan di Jawa Barat, Tengah dan Timur sangat berpengaruh, tapi juga yang di
tingkat lebih rendah, regional dan setempat semuanya aktif dengan kompetensi
masing-masing yang berbeda-beda.5
Seorang tokoh, Tan Malaka merangkum sidang petang hari itu. Dengan
terkumpulnya 141 organisasi massa atau partai politik pada tanggal 4 Januari 1946
di Purwokerto, maka terbentuklah organisasi Persatuan Perjuangan yang
menggambarkan tekad perjuangan yang anti-diplomasi dalam revolusi Indonesia.
Ia menyerukan diadakan penerangan dan propaganda yang luas tentang tujuan
perjuangan, perang sejati, yang harus berakhir dengan kekalahan musuh. Untuk
kepentingan terbentuknya organisasi yang kokoh, dengan mengingat banyaknya
partai maka hanyalah Volksfront merupakan jalan keluar. Tan Malaka berpidato
selama satu setengah jam, ditekankannya bahwa:
Volksfront soepaja mendjadi badan persatoean perdjoeangan
jang menjelesaian pertikaian antara badan-badan, antara badan-
5 Harry A. Poeze, 2008, Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia, Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, hal. 233.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
42
badan dan pemerintah poesat, antara seseorang dan pemerintah
poesat. Karena koerangnja persatoean akan menjebabkan
bangsa kita kalah berdjoeang. (...) Dimana-mana telah timboel
partai jang soekar dikendalikan. Ini menerbitkan perpetjahan.6
Salah satu paradoks di awal revolusi 17 Agustus 1945 adalah lahirnya
oposisi yang cukup kuat terhadap kabinet Sjahrir. Ben Anderson melihat ada dua
faktor utama yang memotivasi timbulnya oposisi tersebut :
(1) Kabinet Sjahrir tidak mewakili semua golongan.
(2) Program kabinet mengutamakan diplomasi kepada Belanda dibandingkan
perlawanan bersenjata
Salah satu tokoh nasional yang mengisi peranan sebagai oposisi yang
cukup kuat adalah Tan Malaka. Tan Malaka sendiri diperkenalkan kepada
beberapa tokoh nasional seperti Soekarno, Sjahrir, Iwa Koesoemasoemantri dan
lainnya melalui Soebardjo (anggota PPKI) yang sudah dikenalnya ketika ia
diasingkan di Belanda tahun 1922, pada bulan Agustus 1945.
Pada awal bulan September 1945, Tan Malaka mengunjungi Soekarno di
rumah dokter pribadinya, dr. Soeharto. Percakapan yang disaksikan oleh Sajuti
Melik, Tan Malaka mendesak Presiden untuk mengundurkan diri ke pedalaman
untuk mengatur perlawanan bersenjata yang lebih efektif.
Hasil percakapannyanya dengan Tan Malaka itu membuat Soekarno
terkesan sehingga Soekarno menyatakan jika terjadi sesuatu dengan dirinya maka
Tan Malaka mengambil alih segala tanggung jawabnya. Penjelasan Soekarno
6 Ibid, hal. 235.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
43
tersebut kemudian diceritakan Tan Malaka kepada kawannya, Soebardjo, yang
mana kemudian mereka berdua berinisiatif membuat surat wasiat.
Akhirnya Tan Malaka meminta Soebardjo untuk mengundang Soekarno ke
rumahnya, disitu rencana surat wasiat dibuat dan diajukan untuknya. Namun atas
desakan Hatta, pewarisnya diusulkan tidak hanya Tan Malaka seorang namun ada
empat orang yaitu : Tan Malaka, Sjahrir, Wongsonegoro (Nasionalis) dan
Soekiman (dari golongan Islam). Oleh karena Soekiman sedang berada di
Jogjakarta maka kedudukannya digantikan oleh Iwa Koesoemasoemantri.7
Surat wasiat tersebut segera mengalami kadaluwarsa ketika Jenderal
Christison menjamin bahwa Inggris akan menghormati pemerintahan Soekarno
dan membuka jalur perundingan dengan pihak sekutu dan Belanda. Pasukan
sekutu kemudian mendarat di Jakarta sekitar akhir September dan awal bulan
Oktober 1945, Tan Malaka mendekati Sjahrir dan mendesak suatu persekutuan
untuk menyingkirkan pemerintahan Soekarno-Hatta dengan semacam perebutan
kekuasaan dan untuk menjalankan kebijaksanaan yang lebih radikal menghadapi
sekutu.
Kepada Sjahrir ditawarkan jabatan baik sebagai Perdana Menteri maupun
sebagai presiden, dengan Tan Malaka memegang jabatan baik sebagai Presiden
maupun sebagai menteri tertentu seperti Menteri Perburuhan atau Menteri Dalam
Negeri. Namun demikian Sjahrir menolak ide Tan Malaka dan menasehatinya
untuk pergi ke daerah-daerah dan melihat apakah ia atau Soekarno yang benar-
benar memperoleh dukungan.
7 Ben Anderson, 1988, Revoloesi Pemoeda. Pendudukan Jepang dan Perlawanan di Jawa, 1944-
1946, Terjemahan: Jiman Rumbo, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, hal. 58.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
44
Setelah pertempuran Surabaya di awal November 1945 hubungan Sjahrir
dan Tan Malaka mengalami puncaknya akibat jumlah korban pertempuran
Surabaya yang begitu besar. Sjahrir dengan keyakinannya yang kuat menempuh
jalan diplomasi, sementara itu Tan Malaka dengan fanatisme yang sama
menyakini jalan perjuangan bersenjata melawan tentara sekutu.
Maka itu pada tanggal 3 Desember 1945, Tan Malaka menerbitkan suatu
brosur yang diberi judul, “Moeslihat”. Salah satu tokoh dalam brosur yang
bersifat dialogis tersebut yaitu Godam mengusulkan perlunya pembuatan
“Volksfront” (Front Perjuangan) yang dibagi menjadi 3 bagian : politik, militer
dan ekonomi.
Godam menekankan bahwa “Volksfront” itu bukanlah suatu
pemerintahan, melainkan suatu organisasi untuk mengerahkan segala tenaga untuk
memenangkan perang. Ia harus memasukkan sebanyak mungkin golongan dan
diorganisasikan atas dasar yang paling demokratis dan terpusat.
Setelah pembuatan “Moeslihat”, nama Tan Malaka semakin berkibar di
dunia pergerakan pemuda waktu itu ditambah beberapa tokoh seperti Muhammad
Yamin ikut melambungkan namanya. Ketika ia berpidato pada konggres pemuda
yang diadakan di Purwokerto pada tanggal 3 Januari 1946 atas prakarsa Sukarni ia
memperkenalkan “Minimum Program” yang berisi :
(1) Beroending atas pengakoean kemerdekaan 100%
(2) Pemerintahan Rakjat
(3) Tentara Rakjat
(4) Meloetjoeti Tentara Djepang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
45
(5) Mengoeroes tawanan bangsa Eropah
(6) Mensita dan menjelenggarakan pertanian moesoeh
(7) Mensita dan mengoeroes perindoestrian8
Sementara itu ide Tan Malaka tentang “Front Perjuangan” mendapat
tanggapan yang cukup baik dari Partai Sosialis dan elemen pergerakan lainnya,
namun bagi pemerintahan saat itu “Front Perjuangan” dianggap sebagai oposisi.
Pada konferensi perjuangan rakyat kedua yang dilaksanakan di Surakarta pada
tanggal 15 dan 16 Januari 1946 dari pihak pemerintah yang juga seperti Presiden,
Wakil Presiden dan seluruh menteri kabinet hanya Panglima Besar Soedirman
yang hadir sambil mengucapkan suatu perkataan yang terkenal,
“Lebih baik di (bom) atom sama sekali daripada tidak merdeka 100% !”9
Kongres di Surakarta itu menghasilkan “Front Perjuangan” yang diberi
nama “Persatuan Perjuangan” (PP) yang mengambil nama dari pidatonya Tan
Malaka di konggres tersebut. Panitia kecil yang ditunjuk untuk membuat usulan-
usulan kongkrit dari Persatuan Perjuangan adalah :
(1) Ibnu Parna dari Pesindo
(2) Wali al Fatah dari Masyumi
(3) Sakirman dari Dewan Perjuangan Jawa Tengah
(4) Abdulmadjid dari Partai Sosialis
8 Kedaulatan Rakyat, 16 Januari 1946.
9 Ben Anderson, op. cit., hal. 62.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
46
(5) Jenderal Soedirman dari TKR
(6) Atmadji dari TKR Laut
(7) Soejono dari KNI-Surakarta
(8) Usman dari PRI-Surabaya
(9) Nyonya Mangoenkoesoemo dari Perwani; dan
(10) Tan Malaka
Daya dorong PP kemudian semakin besar dan nampaknya kampanye yang
dilakukan Tan Malaka mencapai puncak keberhasilan yang tinggi. Sejumlah besar
golongan yang berbeda-beda apakah karena keyakinannya, taktik atau bahkan
oportunisme politik telah memutuskan untuk memasuki PP.
Pada tanggal 17 Februari 1946 Presiden Soekarno berpidato, “Pertjajalah
bahwa perdana menteri kita akan tetap dengan pendiriannya mempertahankan
kemerdekaan 100% itu”. Dan pada bulan Maret 1946, Sjahrir merubah susunan
kabinetnya dengan memberikan jatah kursi kabinet kepada Masyumi dan Partai
Sosialis yang hampir sama besar serta ditambah beberapa tokoh yang berpengaruh
dari Parkindo (Leimena), PBI (Sjamsu Hardja), PNI (Herling Laoh) dan Wikana
(BKPRI) untuk mengantisipasi dominasi PP yang semakin membesar.10
b. Barisan Banteng
Barisan Banteng merupakan nama baru dari Barisan Pelopor yang telah
eksis sebelum perang. Dalam sebuah konferensi yang diadakan di Surakarta pada
10
Harry A. Poeze, op.cit., hal. 240.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
47
tanggal 14 dan 15 Desember 1945, diputuskan untuk mengganti nama dari
Barisan Pelopor menjadi Barisan Banteng dengan markas besar di Surakarta di
bawah pimpinan Dr. Muwardi dan mbah Sudiro. Sejak permulaan, kekuatan
Barisan Banteng terpusat di Surakarta, bahkan dilaporkan memiliki 10.000
anggota dan berlandaskan pada pengikut-pengikut pribadi Muwardi dan Sudiro
serta teman-teman karib mereka. Dengan demikian barisan ini ditandai secara
menentukan oleh kepribadian pemimpinnya. Meskipun ia seorang dokter
kesehatan yang terlatih baik dan pengabdi, Dr. Muwardi sama sekali bukan dokter
Jawa berpendidikan barat yang biasa, seorang yang berkemauan keras, pemarah,
dan sangat berani meskipun tubuhnya kecil. Ia telah lama aktif dalam gerakan
pandu nasionalis sebelum perang, pandai silat, memiliki hubungan-hubungan
yang dekat dengan berbagai “jago” dan taat kepada ilmu kebatinan. Nasionalisme
sangat berwatak Jawa, dalam berbagai segi sejajar dengan nasionalisme Sarmidi
Mangunsarkoro. Suatu pertanda dari pandangan mengenai dirinya sendiri sebagai
pejuang dan bukan sebagai seorang politikus, maka ia tidak masuk PNI Sarmidi,
meskipun bawahannya sendiri, yaitu Sudiro melakukannya.
Barisan banteng sering disamakan dengan PNI, dalam berbagai segi ia
dekat dengan PETA Jawa Tengah, dan di sisi lain dekat dengan Presiden Sukarno.
Dengan adanya kepribadian Muwardi, Barisan Banteng sejak semula agak curiga
dengan keanggotaan berhaluan internasional dan kabinet Syahrir, dan lama-lama
menarik ke sampingnya berbagai orang yang sama-sama memiliki kecurigaan-
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
48
kecurigaan itu. Barisan Banteng kemudian menjadi komponen yang menonjol dari
kelompok oposisi.11
C. Keberadaan Daerah Istimewa Surakarta
Pada masa kolonial Belanda, Surakarta merupakan daerah Vorstenlanden
atau daerah swapraja, yaitu daerah yang berhak memerintah daerahnya sendiri
(zelfbesturende landscappen). Surakarta tidak diatur oleh UU seperti daerah lain
tapi diatur tersendiri dengan perjanjian antara Gubernur Jenderal dengan Sri
Sunan dengan nama Politiek Contract (Kontrak Politik). Ada dua macam kontrak
politik, yaitu Lang Contract (kontrak panjang) tentang kesetaraan kekuasaan
antara kerajaan asli Indonesia dengan Belanda, dan Korte verklaring (pernyataan
pendek) tentang pengakuan atas kekuasaan Belanda. Kasunanan dan Kasultanan
diatur dalam Lang Contract sementara Mangkunegaran dan Pakualam diatur
dalam korte verklaring.
Kontrak politik mempunyai dasar hukum yang kuat karena dibuat oleh
kedua belah pihak dan harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Kerajaan
Belanda. Sejak GJ Van Heutz (1851-1924) setiap pergantian raja akan diadakan
pembaharuan kontrak. Kontrak yang terakhir untuk Kasunanan diatur dalam S
1939/614 dan Mangkunegaran dalam S 1940/543, Kasultanan S 1941/47 dan
Pakualaman S 1941/577, Kontrak S 1939/614 dan S 1940/543 menyebutkan
bahwa Kasultanan dan Mangkunegaran berpemerintahan asli. Artinya, Kasunanan
11
Ben Anderson, 1988, Revoloesi Pemoeda. Pendudukan Jepang dan Perlawanan di Jawa, 1944-
1946, Terjemahan: Jiman Rumbo, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, hal. 103.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
49
dan Mangkunegaran berlaku tata cara, adat istiadat asli yang sejak dulu telah
berlaku tanpa harus mengadopsi tata cara yang diberlakukan di daerah-daerah lain
oleh Belanda.
Pada masa pendudukan Jepang, Surakarta dikukuhkan sebagai daerah
Istimewa dengan sebutan Kochi (daerah istimewa). Rajanya diberi sebutan Koo
yaitu Surakarta Koo dan Mangkunegoro Koo. Pemerintahan Surakarta disebut
dengan Kooti Sumotyookan. Alasan Jepang menjadikan Surakarta sebagai daerah
Istimewa adalah, Jepang tidak ingin merubah kedudukan daerah-daerah di
Indonesia
Jepang melaksanakan propaganda agar Daerah Kochi bersedia bekerja
sama dalam memenangkan Perang Asia Timur Raya. Mengingat Jepang banyak
mengalami kekalahan melawan Sekutu maka pemerintah Jepang mendorong
pembentukan badan-badan yang merancang kemerdekaan Indonesia yaitu
BPUPKI dan PPKI. Surakarta sebagai daerah Kochi diikutkan dalam keanggotaan
BPUPKI dalam merancang UUD 1945. Anggota BPUPKI dari Surakarta adalah
Wongsonegoro, Wuryaningrat, Sosrodiningrat, dan Radjiman Widiodiningrat.
Pada rapat PPKI tanggal 18 Agustus 1945 Soepomo memberi penjelasan tentang
Rancangan UUD 1945 yang dapat disimpulkan sebagai berikut:
a. Jaminan kedudukan kooti dalam UUD 1945
b. Penghormatan pada daerah istimewa atau kooti dalam susunannya yang asli
c. Daerah zelfbesturende landscappen (kooti) dinyatakan sebagai daerah bukan
negara
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
50
d. Penguasa kooti setingkat gubernur12
Pada masa revolusi kemerdekaan, hak konstitusi daerah istimewa diatur
dalam pasal 18 UUD 1945 yang dalam penjelasannya menyebutkan daerah yang
bersifat istimewa meliputi Zelfbesturende landschappen maupun
volksgemeenscaphhen. Daerah ini memiliki susunan asli oleh karenanya dianggap
sebagai daerah istimewa. Amandemen UUD 1945 tahun 1999 dan 2000 mengatur
hak konstitusi daerah istimewa pada pasal 18B yaitu:
1. Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintah daerah yang
bersifat khusus atau istimewa yang diatur dengan UU.
2. Negara mengakui dan menghormati masyarakat, hukum adat dan hak-hak
tradisional.
Maklumat Sri Sunan Paku Buwono XII tertanggal 1 September 1945
menyatakan bahwa Negeri Surakarta Hadiningrat yang bersifat kerajaan adalah
daerah istimewa dari negeri Republik Indonesia dan berdiri di belakang
pemerintah pusat negara RI. Pada tanggal 6 September 1945 pemerintah Republik
Indonesia memberi piagam kedudukan kepada Sri Susuhunan Paku Buwono XII
yang merupakan bagian dari wilayah RI. Piagam ini ditandatangani Soekarno
tertanggal 19 Agustus 1945.
Pengakuan pemerintah atas kedudukan Susuhunan Paku Buwono XII
diperkuat dengan pemberian pangkat militer kepada Sunan Paku Buwono XII
12 Julianto Ibrahim, 16 Januari 2010, Makalah dalam Diskusi Wacana Pembentukan Propinsi
Daerah Istimewa Surakarta, Semarang: Yayasan Putra Budaya Bangsa.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
51
pada tanggal 1 November 1945 dengan pangkat Letnan Jenderal, merupakan
bentuk pengakuan perjuangan Sunan Paku Buwono XII dalam membela republik.
Pada masa awal revolusi terjadi kesalahpahaman antara KNID (Komite
Nasional Indonesia Daerah) Surakarta dengan pemerintah kerajaan yang sudah
mendapat pengakuan dari pemerintah pusat yang menyebabkan double bestuur
(pemerintahan ganda). Komitmen pemerintah untuk menjadikan Surakarta
menjadi daerah istimewa ditunjukkan dengan diangkatnya Panji Suroso tanggal
19 Oktober 1945 sebagai komisaris tinggi untuk Surakarta yang bersifat istimewa.
Suroso membentuk direktorium untuk mengatasi double bestuur di
Surakarta dengan diketuai Sunan PB XII, wakil Mangkunegoro VIII, dan anggota
5 orang KNID Surakarta. Suroso berharap sebagai daerah istimewa, kekuasaan
dipegang oleh pihak kraton.
Pada tanggal 27 November 1945 Suroso membentuk Panitia Tata Negara
yang bertugas menyusun peraturan tentang Daerah Istimewa Surakarta. Peraturan
Daerah Istimewa Surakarta dibicarakan oleh pihak Kasunanan, Mangkunegaran
dan 27 organisasi di Surakarta baik laskar rakyat, organisasi kemasyarakatan, dan
organisasi politik (representatif untuk mewakili masyarakat Surakarta)13
.
D. Konflik Sosial Politik Masa Revolusi Fisik 1945
Kelompok-kelompok atau kelas-kelas sosial dalam masyarakat mudah
menjadi basis timbulnya konflik-konflik sosial politik. Kelas-kelas sosial ini dapat
mendasari pertentangan, pergolakan maupun konflik yang cenderung bersifat
13
Ibid.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
52
menonjolkan primordialisme dan faksionalisme. Unsur kepentingan kelas atau
kelompok sering mempengaruhi jalannya suatu peristiwa sejarah yang terjadi.
Konflik-konflik sosial politik pada masa revolusi dapat muncul antara kaum
konservatif dengan progresif, sosialis-komunis dengan nasionalis-agama, politisi
dan militer, kaum tua dan kaum muda, dan aristokrat feodal dengan demokrasi
kerakyatan. Dalam pola atau struktur konflik itu, ideologi juga berperan penting
untuk mempertajam jurang perbedaan dan kepentingan antar kelompok yang
bertikai.14
Konflik sosial politik di daerah Surakarta sebenarnya telah ada sejak awal
kemerdekaan. Kevakuman kekuasaan pada awal revolusi mengundang terjadinya
konflik kepentingan kelompok yang ada. Hukum sebab akibat berlakulah teori,
ada aksi menimbulkan reaksi. Sejak ditetapkannya Surakarta sebagai Daerah
Istimewa atau Swapraja oleh pemerintah RI di pusat pada 19 Agustus 1945, maka
segera timbul reaksi dari para pejuang kemerdekaan di Surakarta dari berbagai
kelompok. Ketetapan tersebut yang kemudian diperkuat oleh adanya maklumat
raja di Surakarta tertanggal 1 September 1945 tentang seruan kepada seluruh
penduduk Surakarta untuk loyal menerima ketentuan status Daerah Istimewa bagi
kedua kerajaan di Surakarta itu. Hal ini tampaknya dianggap bersifat bertolak
belakang dengan semangat kemerdekaan atau revolusi.
Sejak awal 1945 secara nyata mulailah periode konflik sosial politik,
berupa gerakan-gerakan anti-Swapraja untuk menghapus Daerah Istimewa,
gerakan untuk mengganti Susuhunan Pakubuwono XII, dan gerakan untuk
14
Suyatno Kartodirdjo, 1989, Revolusi Nasional di Tingkat Lokal, Jakarta: Depdikbud, Direktorat
Sejarah dan Nilai Tradisional, hal. 47.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
53
merubah peraturan Daerah Istimewa/ Swapraja yang tidak cocok dengan
zamannya.15
Gerakan-gerakan ini juga berdampak luas, misalnya perebutan
pengaruh, penculikan, dan insiden bersenjata.
Daerah Surakarta berkali-kali didatangi Menteri Dalam Negeri, Dr.
Sudarsono untuk menemui Paku Buwono XII. Tujuannya tidak lain untuk
menciptakan stabilitas di Surakarta secara sosial politik. Pada suatu pertemuan
dengan Menteri Dalam Negeri tersebut seorang bangsawan kraton Surakarta,
Woeryaningrat selaku ” Bupati Nayaka”, mengusulkan suatu pendapat yang
menyangkut persoalan Daerah Istimewa itu. Pertama, agar Daerah Istimewa
dipegang oleh Pemerintah Pusat, bila sudah ada peraturan yang mengatur Daerah
Istimewa,maka dikembalikan seperti semula. Kedua, gerakan-gerakan yang
disebut ”revolusi sosial” agar diberi pengertian bahwa gerakan tersebut
memperlemah persatuan dan kesatuan untuk menghadapi musuh dari luar yang
ingin menjajah bangsa Indonesia. Namun demikian usul ini ditolak Dr.
Sudarsono.16
Akhirnya di kemudian hari timbul berbagai peristiwa revolusioner di
Surakarta akibat suhu revolusi yang terus memanas yang sulit dikendalikan.
Pada 15 April 1946 terjadi penculikan-penculikan, terutama dilakukan
oleh kesatuan-kesatuan kelaskaran dan pemuda-pemuda militan. Penculikan
terhadap pepatih dalem dan wakilnya di Kasunanan, sehingga kekosongan jabatan
ini diisi Woeryaningrat yang diangkat Paku Buwono XII, berstatus pejabat ”Ymt”
atau sementara. Selain itu banyak pegawai ditahan dan selanjutnya menimbulkan
15
Suara Merdeka, 20 Februari 1983.
16 Ibid.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
54
ketakutan pegawai lainnya sehingga banyak yang memutuskan untuk
mengundurkan diri.
Penculikan lain ditujukan kepada R. Mulyadi Joyomartono (eks Peta) dan
wakil ketua KNID Surakarta, dengan alasan karena dianggap kurang tegas. Di
lingkungan keluarga keraton juga diculik, misalnya Kanjeng Ratu Paku Buwono
(Ibu Sri Paku Buwono XII), Ray. Sunami (kerabat Istana Mangkunegaran), R.
Sukarjo Wiryopranoto (eks anggota Volksraad), Duta Besar RI di Vatikan dan
RRC yang datang dari luar Surakarta. Mereka diculik dan ditempatkan di
Kandang Menjangan, Kartosuro. Mereka diculik dengan tuduhan sebagai mata-
mata Belanda.
Setelah Sudiro menjadi wakil Residen Surakarta, mereka dibebaskan.17
Komandan Pasukan Intel 0001, Zulkifli Lubis dan beberapa orang pengawalnya
diculik kemudian ditempatkan di Gembongan, Kartosuro. Sudiro memerintahkan
Barisan Banteng untuk membebaskan mereka, tetapi harus memenuhi syarat tidak
boleh menginjakkan kaki di Surakarta sebelum persoalan swapraja dapat
diselesaikan.18
Pada 1 Mei 1946 Mangkunegoro VIII mengeluarkan pengumuman bahwa
Mangkunegoro adalah sebagai Kepala Distrik Khusus Mangkunegaran yang
berada di bawah langsung Presiden RI. Berdasarkan pada pengumuman itu berarti
daerah Mangkunegaran tetap dipertahankan pihak konservatif sebagai swapraja.
Status ini tidak ingin terjadi perubahan, apalagi yang bertentangan dengan
kepentingan golongan konservatif itu.
17
Karkono Kamajaya, 1993, Revolusi di Surakarta, Makalah Temu Ilmiah, Yogyakarta: Balai
Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional, hal. 12.
18 Ibid.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
55
Hal itu mempertajam timbulnya gerakan anti-swapraja atau revolusi sosial.
Gerakan revolusioner muncul di Surakarta untuk menentang keinginan golongan
konservatif tersebut. Sebagai langkah awal dari kaum revolusioner mengadakan
rapat besar pada 9 Mei 1946 yang dihadiri oleh 36 organisasi politik yang
dipimpin Dr. Muwardi.19
Tujuan rapat besar ini untuk membentuk dengan segera
badan legislatif secara demokratis dan melalui pemilihan langsung untuk
menentukan anggotanya. Pada kesempatan itu pihak konservatif di Surakarta,
Susuhunan dan Mangkunegoro mendapat kritik keras dari mereka. Akibatnya Dr.
Muwardi beserta 11 tokoh politik lainnya ditangkap unsur tertentu, yang juga
termasuk ditangkap ialah anggota KNID Surakarta.
Dengan ditangkapnya para tokoh progresif tersebut, maka sebagai
rentetannya, di Surakarta segera timbul demonstrasi-demonstrasi pada 28 Mei
1946 yang dilancarkan secara bersama untuk menentang aksi penangkapan tokoh-
tokoh rakyat itu. Para pelaku demonstrasi berasal dari kelompok Barisan Banteng,
Hizbullah, dan Polisi Khusus.
Bulan April dan Mei 1946 rupanya cukup panas suasana politik di
Surakarta terutama dalam menghadapi perubahan-perubahan yang terjadi secara
cepat itu. Pada satu sisi gerakan anti-swapraja berkembang luas hingga ke
masyarakat desa. Misalnya tindakan badan-badan pekerja KNID, Surakarta
maupun daerah-daerah luar kota, berusaha melepaskan diri dari kekuasaan
swapraja Surakarta yang diikuti berbagai kesatuan perjuangan lainnya. Di Klaten,
Badan Pekerja KNI yang didukung sekitar 60 organisasi misalnya PBI, BTI,
19
Mawardi, 1995, Dinamika Revolusi Sosial di Surakarta, Sukoharjo: Universitas Veteran
Bangun Nusantara, hal. 53.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
56
Laskar Rakyat, Laskar Buruh, Pesindo, Barisan Banteng, Masyumi, Hizbullah,
GPII, Parkindo, dan Pangreh Praja lokal menyatakan keputusan untuk membentuk
pemerintahan rakyat, terlepas dari swapraja Kasunanan.20
Demikian pula daerah
Karanganyar dan Wonogiri melepaskan diri dari swapraja Mangkunegaran. Kota
Surakarta dan pihak Kepolisian Daerah Surakarta juga menyatakan diri terlepas
dari swapraja, pihak kepolisian menjadi Kepolisian Republik Indonesia.21
Namun
demikian di sisi lain pihak swapraja tampaknya tetap bertahan dengan
pendiriannya untuk mempertahankan status keistimewaannya. Berkenan dengan
itu daerah Sragen juga melepaskan diri.
Konflik-konflik di Surakarta dipertajam pula dengan adanya kelompok
oposisi. Kelompok ini menempatkan diri sebagai oposan pemerintah RI pusat.
Pada permulaan tahun 1946 Perdana Menteri Syahrir merintis perundingan
diplomatis dengan Belanda. Pihak Persatuan Perjuangan (PP) yang dipimpin Tan
Malaka dengan beberapa tokoh pendukungnya, Mr. Iwa Kusumasumantri, Mr.
Muhammad Yamin, Mr. Achmad Soebarjo, Chaerul Saleh, Sukarni, Adam Malik
menuntut agar kabinet Syahrir segera dibubarkan. Namun demikian tuntutan PP
tidak diterima Soekarno-Hatta.
Oleh karena itulah kemudian terjadi konflik di pusat pemerintahan RI yang
ketika itu telah berada di Yogyakarta dan selanjutnya menjalar ke Surakarta.
Seperti diketahui bahwa PP yang dipimpin Tan Malaka merupakan kelompok
20
Ibid.
21 Wisnu Widodo, 1987, Surakarta Genap 41 tahun: Pada Awal kemerdekaan RI pernah menolak
sebagai Daerah Istimewa, Suara Merdeka, 16 Juni 1987.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
57
oposisi yang cukup besar pengaruhnya dalam lingkungan sipil maupun militer
dengan program-programnya yang radikal.22
Pada bulan Juni 1946 ketegangan politik di Surakarta menimbulkan aksi
penculikan terhadap tokoh-tokoh Pemerintah RI. Pada 27 Juni 1946 malam,
Perdana Menteri Syahrir beserta rombongannya yaitu Dr. Sudarsono (Menteri
Dalam Negeri), Ir. Darmawan Mangunkusumo (Menteri Kemakmuran), Mr.
Maria Ulfah (Sekretaris Kabinet), yang baru saja dari perjalanan ke Mojokerto
dan kemudian menginap di Javasche Bank Surakarta diculik oleh Mayor AK.
Yusuf atas dasar surat tugas dari Mayor Sudarsono.23
Penculikan terhadap Syahrir
dan kawan-kawannya ini terdengar hingga ke Jawa Timur, akhirnya kelompok
Pesindo Jawa Timur (pendukung Syahrir) menyerbu Surakarta dan menduduki
kantor di depan Javasche Bank tersebut dan Markas Polisi Tentara. Namun
mereka tak kuasa apa-apa karena penculiknya adalah Mayor AK. Yusuf. Perdana
Menteri Syahrir dan rombongannya kemudian dibawa ke Pesanggrahan milik
Sunan di Paras Boyolali.
Selain itu di Kantor Pemerintahan Rakyat dan Tentara pada 28 Juni
ternyata kosong. Pemimpin-pemimpin pemerintahan ini diamankan di Resimen
XXV jalan Jebres yang dipimpin Suadi Suromiarjo. Adanya perintah Presiden
Soekarno untuk segera mengembalikan Perdana Menteri Syahrir melalui RRI
akhirnya para pemimpin pemerintahan itu baru meninggalkan resimen XXV untuk
pulang ke rumah masing-masing. Soekarno juga mengumumkan ”Negara dalam
22
Taufik Abdullah dkk, 1983, Manusia dalam kemelut Sejarah, Jakarta: LP3ES, hal. 165.
23 Karkono Kamajaya, op.cit., hal. 16.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
58
keadaan Darurat Perang” dan menyerukan agar Syahrir segera dikembalikan para
penculik. Untuk sementara waktu pemerintahan diambil alih Presiden Soekarno.
Peristiwa penculikan Perdana Menteri Syahrir tersebut merupakan
dampak kekuatan kelompok oposisi dalam menghadapi Pemerintah RI di pusat
yang ternyata masih berlanjut hingga timbulnya apa yang disebut sebagai
”Peristiwa 3 Juli”.24
24
Mawardi, op.cit., hal. 55.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
59
BAB IV
PEMBENTUKAN KNID SURAKARTA DAN PERANNYA
DALAM PERGERAKAN POLITIK DI SURAKARTA
A. Terbentuknya Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID) Surakarta
Pembentukan pemerintahan di Surakarta pasca proklamasi didasarkan
pada proses pelembagaan negara yang diselenggarakan pada tanggal 18 Agustus
1945 oleh PPKI. Proses pelembagaan negara tersebut berhasil menetapkan UUD
1945, memilih Soekarno sebagai Presiden dan Muhammad Hatta sebagai Wakil
Presiden, serta membentuk Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP).1
Terbentuknya KNI Pusat ini kemudian diikuti oleh terbentuknya KNI Daerah
Surakarta dalam pertemuan di Pendopo Wuryaningratan pada tanggal 11
September 1945 dengan menunjuk Mr. BPH. Soemodiningrat sebagai ketua.
Keberadaan KNID Surakarta mendapat dukungan dari segenap potensi perjuangan
rakyat, seperti Badan Keamanan Rakyat (BKR), Angkatan Muda Tentara,
Kelompok Delapan, Badan Pengawas dan Penyelidik Umum (BPU), Hizbullah
dan Gerakan Rakyat Indonesia (GRI). Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID)
sebagai pimpinan gerakan revolusi di Surakarta harus menghadapi kekuatan
Jepang yang terbagi dalam Kooti Jimmu Kyoku (kekuatan sipil), Butai yang
bersenjatakan lengkap, dan Kenpetai. Pembentukan Komite yang bertujuan untuk
1 George Mc Turnan Kahin, 1995, Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia, Surakarta: UNS Press
hal. 177
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
60
merebut kekuasaan Jepang beserta persenjataannya disambut antusias oleh
penduduk Surakarta.
Walaupun pihak kerajaan telah mengakui keberadaan Republik Indonesia
namun tidak ada upaya dalam penyerahan kekuasaan dari Jepang. Lambannya
usaha kerajaan di Surakarta dalam menegakkan kekuasaan republik dan perebutan
senjata dari Jepang menyebabkan pemerintah berupaya untuk membentuk Komite
Nasional di Surakarta. Hal ini mendapat sambutan antusias dari Panitia Persiapan
Kemerdekaan (PPK). Upaya yang dilakukan pemerintah pun terlihat intensif
dengan kedatangan anggota kabinet Soekarno yaitu Mr. Maramis dan Mr. Sartono
di Surakarta pada 9 September 1945. Dua hari kemudian dilakukan rapat yang
dipimpin oleh Mr. Sartono di Pendopo Wuryaningratan. Pada kesempatan ini
disepakati untuk membentuk Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID)
Surakarta yang menguasai wilayah Surakarta dan secara tidak langsung
merupakan pengembangan dari PPK.
Penunjukkan ketua KNID Surakarta dilakukan dengan pemilihan oleh para
peserta rapat. Rapat tersebut dihadiri oleh 144 peserta yang berasal dari seluruh
Surakarta. Pada umumnya mereka adalah para politisi dan pejuang yang
tergabung dalam barisan-barisan perjuangan dan laskar di Surakarta dimana
beberapa di antaranya telah melakukan penyerobotan-penyerobotan terhadap
fasilitas publik di Surakarta antara lain gedung-gedung pemerintahan maupun
industri-industri gula di Surakarta. Pemungutan suara yang dilakukan dalam
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
61
pemilihan ini memenangkan Mr. B.P.H. Sumodiningrat. Adapun hasil
pemungutan tersebut seperti di bawah ini:
1. Mr. B.P.H. Sumodiningrat 94 suara
2. G.P.H. Jatikusumo 36 suara
3. R. Mulyadi Joyomartono 12 suara
4. K.P.H. Hamijoyo Santoso 2 suara
Agar lebih mewakili semua pihak maka KNID Surakarta yang dipimpin
oleh Soemodiningrat (ipar Susuhunan) dikembangkan dengan menambah jumlah
anggotanya yaitu Soeprapto, H. Moefti, GPH. Suryohamijoyo, KRT.
Mangundiningrat, Sutopo Hadi Saputro, I.J. Kasimo, Mulyadi Joyomartono, dan
Suyono yang pelantikannya dilakukan pada tanggal 9 September 1945 di
Sriwedari.2 Adapun struktur kepengurusan KNID Surakarta pimpinan
Soemodiningrat sebagai berikut:
Ketua : Mr. B.P.H. Soemodingrat
Wakil Ketua : M. Suprapto (peradilan)
Wakil Ketua : dr. Kartono Martosuwignyo (kesehatan dan cendikiawan)
Wakil Ketua : R. Sutopo Adisaputro (pendidikan)
Wakil Ketua : K.H. Abdul Mufti (Islam)
Wakil Ketua : R.M. Hendrokusumo (pemuda)
Wakil Ketua : Suyono (pergerakan rakyat dan ex-Digulis)
2 Panitia Pembangunan Monumen Pejuang 1945, 1974, Buku Kenang-kenangan Perjuangan
Rakyat Surakarta dari Zaman ke zaman, Surakarta:t.p., hal. 25.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
62
Wakil Ketua : R.Ng. Domopranoto (kepolisian)
Wakil Ketua : Mr. Sukasno (cendekiawan)
Sekretaris I : R. Sumodiharjo
Sekertaris II : R. Seno
Bendahara I : R. Martoraharyo
Bendahara II : R. Suyono Humardani3
Pada saat bersamaan berdiri pula KNID Kabupaten Kota Surakarta yang
merupakan KNID setingkat Kabupaten. KNID Kabupaten Kota Surakarta diketuai
oleh KH. Asnawi dengan anggota Parikrangkungan, Brotopranoto, Jazid, dan
Martomoeljono dengan wilayah kekuasaan meliputi sebagian wilayah kabupaten
kota Mangkunegaran, sebagian kabupaten Wonogiri dan sebagian kabupaten
wilayah Kasunanan di sebelah timur (kini Kabupaten Sukoharjo).4
Pembentukan KNID Kabupaten Kota Surakarta menimbulkan
kontroversi dan penolakan Mangkunegaran terhadap KNID Kabupaten Kota
Surakarta. Kontroversi ini berlanjut hingga KNIP dan Pemerintah mengeluarkan
UU No. 1 tahun 1945 yang menyatakan bahwa di Surakarta tidak perlu dibentuk
KNID karena disesuaikan dengan status politik Surakarta sebagai daerah
istimewa.5
3 Ibid.
4 Pemerintah Kota Surakarta, 2000, Mozaik Pemerintah Kota Surakarta, Surakarta: Pemerintah
Kota Surakarta, hal. 13.
5 Ibid.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
63
Pernyataan pemerintah tersebut mengundang protes dan penolakan dari
badan-badan perjuangan. Mereka menganggap partisipasi kerajaan dalam
menegakkan kedaulatan Republik Indonesia tidak dapat diandalkan. Selain itu
berkembangnya semangat persamaan derajat (egalitarian) manusia dalam konteks
bernegara diwujudkan dalam sistem demokrasi dan setiap manusia memiliki hak
politik yang sama. Di luar semangat nasionalisme dan demokrasi yang menggebu
dalam barisan perjuangan, hal lain yang tidak boleh dilupakan ialah oportunis
individu dalam memandang kekuasaan, sebagian besar kelompok yang terlibat
didasari oleh kepentingan ekonomi tiap-tiap individu dan pencarian status sosial
yang penting dalam mentalitas bangsa.
Pemihakan KNID Surakarta terhadap demokrasi menyebabkan KNID
Surakarta memiliki kemampuan untuk eksis dan memobilisasi badan perjuangan
yang menyebabkan terjadinya penyerahan kekuasaan dan senjata dari pihak
Jepang kepada KNID Surakarta.
B. Peran Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID) Surakarta
1. Penyerahan Kekuasaan Jepang ke tangan Komite Nasional Indonesia
Daerah Surakarta
Pendudukan tentara militer Jepang di Surakarta ditandai dengan
dibangunnya Markas Polisi Militer Tentara Angkatan Darat Jepang yang disebut
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
64
Surakarta Nippon Rikugun Kenpeitai atau sering disebut Kenpeitai Surakarta.
Tentara Jepang menduduki Indonesia pada umumnya dan Surakarta pada
khususnya, mempunyai tujuan untuk memperkuat pertahanan militernya dalam
perang Asia Timur Raya. Jepang membentuk pasukan pembantu perang yang
disebut Peta dan Heiho yang terpusat ke dalam organisasi Boui Engo Kai. Tugas
pasukan Peta lebih dititikberatkan untuk keperluan pertahanan teritorial (wilayah
Surakarta), sedangkan Heiho tugasnya dititikberatkan untuk membantu tugas
tentara Jepang dalam perangnya.
Pasukan tentara Jepang yang bertugas di Kenpeitai Surakarta adalah
pasukan tentara Angkatan Darat Jepang yang bernama Masse Butai. Masse Butai
adalah tentara Jepang yang sangat terkenal karena keganasan dan kekejamannya.
Masse Butai ditempatkan di seluruh daerah Surakarta yaitu Boyolali, Klaten,
Wonogiri, dan lain-lain. Kantor pusat Masse Butai adalah di Mangkubumen
Surakarta, sedangkan kubu pertahanannya berada di Tampir Boyolali. Selain
membentuk kekuatan militer, Jepang juga membentuk kekuatan sipil di Surakarta
dengan nama Surakarta Kochi Jimmu Kyoku yang kepala atau Suchokan-nya
dipegang oleh T. Watanabe. Kantor pusat Surakarta Kochi Jimmu Kyoku adalah
di kantor Balaikota (sekarang).6
6 Raudlotul Fauziah, 2005, Peranan Boui Engo Kai Pada Masa Pendudukan Jepang di Surakarta
tahun 1943-1945, Skripsi Sarjana Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra dan Seni Rupa
Universitas Sebelas Maret Surakarta, hal. 85.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
65
Masa pendudukan Jepang di Indonesia telah membawa perubahan dalam
segala bidang, terutama setelah Jepang mengumumkan janjinya untuk
memberikan kemerdekaan bagi bangsa Indonesia. Tetapi janji kemerdekaan
tersebut mulai diragukan rakyat Indonesia setelah Jepang membubarkan partai
politik yang ada dan melakukan penyegelan terhadap radio-radio milik rakyat.
Tetapi keadaan tersebut tidak mematahkan dan memadamkan jiwa dan semangat
tentara Heiho dan Peta, yang diam-diam berusaha mengumpulkan kekuatan untuk
melakukan gerakan rakyat Indonesia untuk merdeka. Mereka sadar bahwa
kemerdekaan hanya akan terwujud dengan perjuangan bangsa Indonesia sendiri.
Oleh karena itu, melalui pertemuan dan rapat-rapat mereka berusaha
mematangkan rasa persatuan dan kesatuan masyarakat Surakarta untuk melawan
dan menentang Jepang.
Pada awal Agustus 1945, tentara Jepang sudah menampakkan
kemunduran-kemunduran dalam peperangan Asia Timur Raya. Pada tanggal 6
Agustus 1945 dan 9 Agustus 1945 kota Hiroshima dan Nagasaki dijatuhi bom
oleh Amerika Serikat sehingga membuat Jepang tidak berdaya lagi. Pada tanggal
14 Agustus 1945 Jepang resmi menyerah dalam perang melawan AS dan
sekutunya. Penyerahan Jepang tersebut disusul dengan dikumandangkannya
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945.
Proklamasi kemerdekaan Indonesia segera tersebar luas ke pemimpin
pergerakan maupun masyarakat di Surakarta. Proklamasi tersebut juga merupakan
suatu perintah untuk mencetuskan revolusi guna merebut kekuasaan dari tangan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
66
Jepang. Gerakan-gerakan atau aksi-aksi perlawanan untuk menuju kemerdekaan
Indonesia telah siap dilakukan oleh masyarakat Surakarta.
Setelah tentara Jepang mengalami kekalahan dan adanya proklamasi
kemerdekaan, secara otomatis masyarakat tidak mengakui lagi kekuasaan Jepang
yang ada di Indonesia. Di Surakarta, masyarakat tidak mengakui lagi
kewenangan-kewenangan yang diberikan oleh Surakarta Kochi Jimmu Kyoku.
Pada tanggal 1 Oktober 1945, Komite Nasional Indonesia Daerah
Surakarta mengadakan perundingan dengan Watanabe sebagai Suchokan di
Surakarta. Perundingan tersebut bertujuan agar Kochi Jimmu Kyoku menyerahkan
kekuasaannya kepada Pemerintah Daerah Surakarta karena Jepang telah
mengalami kekalahan. Dengan tanpa perlawanan, Watanabe menyerahkan
kekuasaannya di Surakarta kepada Mr. B.P.H Soemodiningrat sebagai Kepala
Pemerintah Surakarta. Sehingga pada tanggal 1 Oktober 1945 secara resmi
seluruh kekuasaan Jepang di Surakarta telah diserahkan kepada bangsa
Indonesia.7
Penyerahan kekuasaan Jepang terjadi setelah adanya keinginan KNIDS
untuk mengurusi pemerintahan di Surakarta berdasarkan kedaulatan republik.
Peristiwa yang terjadi pada 1 Oktober 1945 bertempat di gedung Kooti Zimu
Kyoku Tyokan (sekarang Balaikota) merupakan kudeta terselubung pihak KNIDS
terhadap kerajaan di Surakarta. Adapun isi pernyataan penyerahan kekuasaan
7 Ibid.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
67
tersebut yang dimuat di harian Kedaulatan Rakyat tanggal 2 Oktober 1945, adalah
sebagai berikut:
PENJERAHAN PEMERINTAHAN
Pada hari Senin tanggal 1 Oktober 1945, seloeroeh Pemerintahan
Kooti Zimu Kyoku dan semoea peroesahaan telah diserahkn kepada
KOMITE NASIONAL DAERAH SURAKARTA oleh Tyookan.
MERDEKA!!!
Komite Nasional
Barisan Penerangan
Setelah penyerahan kekuasaan tersebut disepakati oleh kedua belah pihak,
maka H. Watanabe sebagai penguasa pemerintahan sipil Jepang dan
Sumodiningrat sebagai ketua KNIDS keluar gedung untuk menemui ribuan massa
yang sebagian besar berasal dari laskar perjuangan. Kehadiran massa ini tentu
digunakan sebagai senjata ampuh untuk mengintimidasi pemimpin Jepang dengan
kesiagaan massa untuk menghadapi “hal-hal yang tidak diinginkan”.
Penyerahan kekuasaan pemerintahan sipil tidak hanya terbatas pada
bidang administrasi sipil saja, namun melibatkan unsur-unsur perekonomian
sebagaimana terlihat dalam isi penyerahan itu sendiri. Perusahaan-perusahaan
yang semasa Jepang menduduki Surakarta diserahkan kembali kepada pribumi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
68
Selanjutnya tempat kediaman Suchokan Watanabe yang pada waktu pemerintahan
Jepang berada di Loji Gandrung dan juga merupakan pusat pemerintahan sipil ini
setelah penyerahan kekuasaan tidak lagi digunakan, tetapi Watanabe kemudian
pindah ke Tampir, Boyolali. Tempat baru ini juga sebagai konsentrasi penempatan
orang-orang Jepang dari daerah Surakarta pada umumnya, baik orang-orang sipil
maupun militer.8
Dalam revolusi kemerdekaan di Surakarta, sasaran pokoknya adalah
merebut senjata dari tentara Jepang, karena senjata merupakan syarat utama untuk
dapat meneruskan perjuangan Indonesia. Sasaran utama untuk mendapatkan
senjata di Surakarta adalah Masse Butai, yang secara militer menguasai
persenjataan di seluruh daerah Surakarta. Dua unsur kekuatan Jepang lainnya,
yang bersifat militer, secara dominan dihadapi dengan kekerasan daripada
diplomasi. Tidak seperti bidang pemerintahan sipil yang dapat diselesaikan
melalui diplomasi saja. Untuk menghadapi pasukan Butai yang dipimpin Letnan
Komandan T. Masse, dan Kenpeitai yang dipimpin kapten Sato, KNID Surakarta
bersama rakyat bekerja keras dan penuh resiko.
Kelompok Butai Masse secara damai dapat diselesaikan dengan baik.
Upaya pendekatan yang diwakili Suyatno Yosodipuro (seorang pemuda) dan
Sunarto Kusumodirjo (eks Sudancho Manahan) dengan Panglima Militer di
seluruh Surakarta, T. Masse mengalami keberhasilan. Tempat perundingan
8 Mawardi, 1995, Dinamika Revolusi Sosial di Surakarta, Sukoharjo: Universitas Veteran Bangun
Nusantara, hal. 38.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
69
mereka di pendopo Kabupaten Boyolali. Hasil perundingan ini ialah penyerahan
kekuasaan kelompok Butai tersebut bersama perlengkapan senjatanya kepada
pihak Indonesia.
Secara resmi proses penyerahan kekuasaan kelompok militer Butai Masse
itu berlangsung pada 5 Oktober 1945. Sebagai penerimanya adalah wakil-wakil
KNID Surakarta yaitu Sunarto Kusumodirjo, GPH Jatikusumo, Mulyadi
Joyomartono dan Achmad Fajar dengan pemimpinnya BPH Sumodiningrat.
Dengan demikian penyerahan kekuasaan militer terutama kelompok Butai juga
diupayakan oleh KNID Surakarta yang cukup berhasil tanpa melalui jalan
kekerasan. Penyerahan kekuasaan tersebut berlangsung di Markas Besar
Kenpeitai. Adapun bunyi surat penyerahan kekuasaan ini adalah sebagai berikut9:
” Pada hari Jumat 5 Oktober 1945 saya, Panglima dari pasoekan tentar
Nippon dalam daerah Soerakarta, Letnan Komandan T. Masse
menyerahkan segala tanggung jawab atas penjagaan semoeanya alat-alat
senjata dan mesioe yang berada di bawah kekoeasaan saya, kepada
Pembesar Pemerintahan Bangsa Indonesia daerah Soerakarta.”
Bila pengambilalihan kekuasaan dari kelompok Butai berlangsung secara
damai, maka untuk kelompok pasukan Kenpeitai bersifat sebaliknya. Kapten Sato
yang menjadi komandan Kenpeitai tidak mau menyerahkan kekuasaan kepada
pihak Indonesia. Oleh karenanya para pejuang kemerdekaan di Surakarta
9 Karkono Kamajaya, 1993, Revolusi di Surakarta, Makalah Temu Ilmiah, Yogyakarta: Balai
Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional, hal. 9.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
70
menjalankan cara-cara kekerasan setelah jalan perundingan beberapa kali tanpa
hasil. Alasan Sato menolak penyerahan kekuasaan dan senjata Jepang kepada
pihak Indonesia, karena belum menerima perintah dari Tenno Haika (Kaisar
Jepang). Alasan ini tampaknya masuk akal dilihat dari segi disiplin militer Jepang
yang menekankan loyalitas penuh kepada atasannya.
Pada 12 Oktober 1945 Ketua KNID Surakarta, BPH Sumodiningrat yang
disertai Mulyadi Joyomartono dan Sunarto Kusumodirjo untuk kesekian kalinya
menemui Komandan Sato. Bersamaan dengan itu rakyat mengepung kantor
Kenpeitai yang berada di jalan Slamet Riyadi (sekarang Hotel Cakra) dengan
bersenjata dalam jumlah banyak. Keadaan terkepung ini Kenpeitai bersikap agak
lunak. Komandan Kenpeitai mengambil kebijaksanaan penyerahan kekuasaan
akan dilakukan, tetapi tidak di kantor tersebut, melainkan akan dilaksanakan di
Tampir, Boyolali. Dengan begitu perlu angkutan untuk mengantar orang-orang
Jepang dari markas Kenpeitai itu. Komandan Kenpeitai minta disediakan empat
buah truk dan dua sedan guna mengangkut pasukan Kenpeitai dan senjatanya ke
Tampir. Permintaan tersebut sampai jam 18.30 tidak dapat dipenuhi pihak KNID
Surakarta, karena kendaraan bermotor sudah disembunyikan para pemuda di
Surakarta. Di samping itu perasaan khawatir terhadap keselamatan pemimpin
KNID Surakarta menghantui kelompok pemuda.
Persoalan itu berlanjut hingga menimbulkan suasana tegang. Pihak
Kenpeitai marah dan timbullah tembak menembak dengan rakyat pejuang.
Perselisihan senjata ini berlangsung sampai menjelang pagi hari. Dalam waktu
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
71
semalam itulah pertempuran terjadi. Pada pukul 06.00 tanggal 13 Oktober 1945
secara mendadak muncul sebuah jeep yang ditumpangi empat pemuda menerobos
masuk ke pertahanan Kenpeitai sambil menembakkan mitraliurnya kepada
pasukan Kenpeitai. Di belakangnya rakyat pejuang menyusul dan menyerbu
secara massal melawan pasukan Jepang tersebut. Dengan serbuan itulah pasukan
Kenpeitai di bawah komandan Sato baru mau menyerahkan kekuasaan secara total
beserta perlengkapan senjatanya kepada rakyat Surakarta.
Pasukan Kenpeitai akhirnya kalah dan kemudian ditempatkan di rumah
penjara untuk menghindar dari balas dendam rakyat. Selanjutnya mereka diangkut
ke Tampir, Boyolali sebagai tempat konsentrasi atau pengumpulan orang-orang
Jepang di daerah Surakarta10
.
Berkat KNID Surakarta, pemuda dan kalangan rakyat pejuang lainnya,
pasukan Jepang di Surakarta dapat dikalahkan dan mau memberikan
kekuasaannya. Sejak Kenpeitai dapat dikalahkan rakyat, BKR dan lain-lain yang
diawali dari Timuran, maka pada 13 Oktober 1945 secara resmi militer Jepang di
Surakarta telah menyerah. Oleh karena itu bertambah giatlah tuntutan penyerahan
Kidobutai di daerah-daerah lain.11
Hal ini misalnya di daerah Semarang dan
sekitarnya.
Dengan demikian penyerahan kekuasaan sipil pemerintah Jepang tersebut
dapat dikatakan sepenuhnya sebagai hasil jerih payah KNID Surakarta dan rakyat.
10 Mawardi, op.cit., hal. 41.
11 Bambang Suprapto, Suara Merdeka, 14 Oktober 1987.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
72
Peralihan kekuasaan pemerintah sipil Jepang kepada KNID Surakarta segera
disertai dengan perubahan-perubahan administratif yang diperlukan untuk
menjalankan kekuasaan yang baru saja diperoleh. Surat-surat kepegawaian yang
berurusan dengan kepegawaian yang semasa Jepang ditandatangani oleh
Suchokan kemudian diganti dengan yang baru menggunakan cap dan tanda tangan
ketua KNID Surakarta.
Penyerahan kekuasaan yang secara simbolik diterima BPH Sumodiningrat
selaku ketua KNID Surakarta itu memberikan dampak bagi para pemuda dan
rakyat untuk mengambil segera senjata-senjata di markas Jepang. Di bawah
komando para pemimpin kelaskaran di daerah Surakarta pengambilan senjata
Jepang berlangsung di beberapa tempat misalnya di Colomadu, Mangkubumen.
Bangak, Simowalen, gembongan, dan Pengging. Pengambilan senjata Jepang ini
dilakukan oleh kesatuan-kesatuan kelaskaran tanpa inventarisasi yang tertib, ada
yang langsung dibagikan kepada kelompok pasukannya dan ada yang disimpan di
gudang sehingga menyulitkan untuk mengetahui berapa jumlah dan jenisnya.
Selain itu persoalan senjata ini di masa selanjutnya sering menimbulkan
pertentangan diantara kelompok laskar. Konflik antar kelaskaran di Surakarta di
kemudian hari sering terjadi.12
12 Mawardi, op.cit., hal. 40.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
73
2. KNID Surakarta sebagai Lembaga Perwakilan Rakyat Daerah
Pada awal kemerdekaan, meskipun Surakarta dijadikan sebagai Daerah
Istimewa atau Swapraja yang bertujuan mempertahankan status kedua keraton
dengan otonomi pemerintahannya, tetapi kenyataannya hal demikian tidak
diterima secara baik oleh rakyat umumnya. Walaupun juga harus diketahui
pemberian status Daerah Istimewa itu atas prakarsa Pemerintah Republik
Indonesia di Pusat melalui Presiden Soekarno. Pihak kraton justru
memperlihatkan sikap yang tidak disenangi rakyat, karena dianggap bertentangan
dengan arus dan nilai-nilai revolusi itu sendiri. Sikap kurang tanggap terhadap
situasi revolusi dan tidak mampu mengantisipasi secara tepat akhirnya membawa
nasib aristokrasi di Surakarta menyimpang atau bahkan berbalikan dari apa yang
diharapkan. Kelemahan terhadap semangat revolusi dari aristokrasi ini
menimbulkan krisis kekuasaan di Surakarta pada awal kemerdekaan.
Terjadinya kondisi seperti itu dapat dipahami ada hubungannya dengan
faktor dalam lingkungan kraton. Bila ditarik ke masa lampau ada beberapa faktor
yang secara logis menentukan sekali nasib istana-istana di Surakarta pada masa
revolusi. Setelah Mangkunegoro VII meninggal pada tahun 1944, maka tampuk
kekuasaan digantikan oleh Mangkunegoro VIII yang masih muda, belum
berpengalaman, dan berada di bawah pengaruh pegawai kraton yang tua dan
konservatif. Demikian pula yang dialami kraton Kasunanan, setelah wafatnya
Paku Buwono XI pada tahun 1944 akhirnya Kasunanan di bawah raja baru, Paku
Buwono XII yang juga masih muda, belum berpengalaman, dan di bawah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
74
pengaruh wazirnya yang masih ada pertalian keluarga dan yang ayahnya dikenal
bersimpati sekali kepada Belanda.13
Faktor internal itu menunjukkan suatu kemerosotan kekuasaan kraton di
mata rakyat Surakarta, bahkan dianggap kraton wis koncatan wahyu oleh
masyarakat pada umumnya. Dengan kenyataan ini kepercayaan rakyat terhadap
otoritas yang dimiliki kraton menipis dan akhirnya hilang dengan sendirinya.
Padahal dalam suatu masyarakat Jawa yang masih tersentuh nilai-nilai peradaban
tradisionalnya seperti di Surakarta itu sulit melepaskan diri dari pola-pola hidup
peternal, tetapi karena perimbangan sikap dan harapan tidak diperoleh akhirnya
hancurlah pola-pola tersebut. Orientasi mereka mulai bergeser dari lingkungan
kekuasaan otokrasi ke demokrasi yang sejalan dengan semangat revolusi.
Keengganan raja-raja Surakarta atau pihak otokrasi mengikuti gerak
revolusi menyebabkan makin jauhnya kepercayaan dan hubungan rakyat terhadap
penguasa tradisional ini. Oleh karena itu pada bulan-bulan awal revolusi di
Surakarta mengalami krisis kekuasaan yang selanjutnya krisis ini memberikan
peluang besar bagi institusi-institusi baru yang berjiwa revolusi untuk
menggantikannya. Pasifnya raja-raja Surakarta segera diimbangi aktifitas di
kalangan pejuang kemerdekaan dari berbagai golongan sosial.14
13 George D. Larson, 1990, Masa Menjelang Revolusi: Kraton dan Kehidupan Politik di
Surakarta 1912-1942, terjemahan AB. Lapian, Yogyakarta: Gajah Mada University Press, hal. 7
14 Mawardi, op.cit., hal. 46.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
75
Di lain pihak pemerintahan republik di Surakarta diperkuat dengan
berdirinya KNID (Komite Nasional Indonesia Daerah) Surakarta yang diprakarsai
oleh seorang bangsawan kraton Kasunanan, yaitu Wuryaningrat pada awal bulan
September 1945. Ia merupakan ketua Jawa Hokokai di masa Jepang cabang
Surakarta. Setelah mengadakan pemilihan ketua KNID Surakarta pada 11
September 1945, maka terpilihlah Sumodiningrat yang juga seorang bangsawan
dari Kasunanan. Dalam pelaksanaan tugasnya, Sumodiningrat dibantu oleh 9
orang yang berasal dari berbagai kelompok: Dr. Kartono, R. Wongsodinoto,
Abdul Mufti, R. Hadipriyono, Sunarto Kusumodiharjo, KGPH Suryohamijoyo,
Sujono, Sumarno Sutosundoro, dan Setiyadikusumo.15
Terbentuknya KNID
Surakarta yang bertugas melucuti Jepang akhirnya mendapat keberhasilan secara
gemilang. Adanya KNID Surakarta disambut baik oleh golongan-golongan
pejuang kemerdekaan di Surakarta, BKR, AMT, Markas Delapan (Pemuda),
Badan Pengawas dan Penyelidik Umum (BPU), Hizbullah, Gerakan Rakyat
Indonesia (GRI), dan rakyat Surakarta. Dengan demikian terjadinya krisis
kekuasaan di Surakarta pada masa awal kemerdekaan langsung dapat dipecahkan
melalui komite tersebut sebagai semacam lembaga perwakilan rakyat daerah.
15 Soejatno, 1972, Kolonialisme Barat dan Kemunduran Raja-raja Surakarta abad XIX,
Surakarta: Seksi Pembinaan Pengajaran Sejarah, Jurusan Sejarah, IKIP Surakarta, hal. 53.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
76
3. Peran KNID Surakarta dalam gerakan Anti Swapraja
Di daerah Surakarta, peristiwa revolusi sosial terjadi karena keinginan
partai-partai dan pemuka-pemuka pergerakan agar swapraja dihapuskan. Cara-
caranya adalah lebih halus daripada peristiwa-peristiwa di Jawa Barat dan
Sumatera. Namun revolusi di daerah ini berlangsung terpimpin.
KNID Surakarta yang diketuai oleh Sumodiningrat, bekas opsir PETA dan
seorang bangsawan, dengan cara yang terpuji menyelesaikan tugasnya yang
pertama yakni:
1. Melucuti tentara Jepang.
2. Memindahkan kekuasaan pemerintahan dari tangan Jepang kepada
KNID Surakarta.
Tanggal 30 September 1945 beribu-ribu rakyat mendengarkan hasil usaha
itu di depan Gubernuran. Cokan Watanabe menyerahkan kekuasaan kepada KNID
Surakarta. Sumodiningrat keluar dan terus didukung oleh hadirin beramai-ramai.
KNID Surakarta meneruskan perlucutan Jepang. Pekerjaan pemerintahan itu
diserahkan kepada suatu Dewan Pemerintahan yang terdiri atas Suprapto, Sutopo,
dan Sumantri.
Tanggal 19 Oktober 1945 datanglah R.P. Suroso yang menjadi Komisaris
Tinggi daerah-daerah Swapraja. Diterangkannya, bahwa tugasnya adalah sebagai
koordinator antara Kasunanan dan Mangkunegaran. Sudah selayaknya raja-raja
memperjuangkan kekuasaannya sebagai kepala daerah istimewa. Namun dalam
hal ini raja-raja di Surakarta tidak bersatu seperti di Yogyakarta antara Sultan dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
77
Paku Alam, yang menjadi Kepala dan Wakil Kepala Daerah Istimewa. Di
Surakarta terjadi persaingan antara kedua orang raja, sambil pula tuntutan partai-
partai semakin hebat, supaya swapraja dihapuskan saja.
Komisaris Tinggi akhirnya menghapuskan Dewan Pemerintahan yang ada
dan atas keputusan Badan Pekerja KNI Pusat dibentuklah Direktorium, sebagai
overkapping atas kedua bagian daerah dan dengan demikian agar hanya ada satu
pemerintahan di Surakarta. BP KNIP menunjuk lima orang untuk duduk dalam
Direktorium, yaitu Dalyono, Projosudodo, Ronomarsono, Dasuki, dan Juwardi.
Dewan pemerintahan ini diketuai oleh Komisaris Tinggi dan para raja
diundang mengirim wakil-wakilnya (patih). Jumlah anggota menjadi 9 orang.
Pada prakteknya Direktorium ini tidak berjalan lancar, hal ini disebabkan karena
para raja kurang membantunya, terutama pihak Mangkunegaran yang kurang
menyetujuinya.
Komisaris Tinggi menyusun Panitia Tata Negara untuk merancang
Undang-undang Dasar untuk daerah Surakarta. Hasil panitia ini dikirim kepada
Menteri Dalam Negeri Sudarsono untuk meminta pengesahan. Bersamaan dengan
itu, gerakan anti-swapraja sudah memuncak. Tanggal 29 April 1946 lahir mosi
dari Kepolisian, Angkatan Muda, Pamongpraja, GRI, Partai Sosialis, BTI, BPRI,
Banteng dan PNI:16
16 A.H. Nasution, 1977, Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia Jilid II, Bandung: Angkasa, hal
552-554.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
78
1. Menuntut supaya daerah istimewa Surakarta dihapuskan artinya kedua Sri
Paduka di Surakarta tidak memegang pemerintahan lagi.
2. Supaya daerah istimewa Surakarta dijadikan sebagai residensi lainnya.
3. Supaya kedua Sri Paduka tersebut hanya mengurus kraton dan istananya
masing-masing.
Pada tanggal 30 April 1946 SP Paku Buwono XII dan Wuryaningrat,
pembesar pemangku jabatan Pepatih Dalem, mengeluarkan maklumat:
Mengingat apa yang tersebut dalam pasal 18 anggaran dasar kita
dan piagam PYM Presiden tanggal 19 Agustus 1945 dan mengetahui
gerak-gerik di dalam kalangan rakyat di daerah kami hal lenyap atau
tidaknya daerah istimewa Surakarta Hadiningrat, kami mempermaklumkan
kepada rakyat kami, bahwa jikalau memang terang menjadi kehendak
rakyat sebenar-benarnya akan lenyapnya daerah istimewa Surakarta
Hadiningrat dan telah ditetapkan oleh pemerintah negara Republik
Indonesia, kami tidak berkeberatan akan menyerahkan pemerintahan kami
kepada pemerintah agung tadi.17
Menteri Dalam Negeri Sudarsono sendiri datang ke Surakarta untuk
mengurus pertikaian. Ia berunding dengan kedua raja dan wakil-wakil rakyat, dan
meminta kesabaran, sampai DPR memutuskan. Tanggal 6 Mei 1946 dikeluarkan
maklumat Menteri Dalam Negeri:
17 Maklumat Paku Buwono XII, 1946, Surakarta: Sasana Pustaka.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
79
Dalam 7 hari sesudah pengumuman maklumat ini akan dibentuk
suatu panitia yang merencanakan dan menjalankan pemilihan umum di
daerah istimewa Surakarta. Badan-badan perwakilan rakyat yang terbentuk
sebagai hasil pemilihan umum itu mempunyai kekuasaan yang syah untuk
menyelesaikan hal keistimewaan dalam daerah tersebut.
Sebagai penjelasan dikatakan, untuk menyelesaikan hal
keistimewaan dalam daerah istimewa Surakarta, maka dicari jalan yang
sesuai dengan Undang-undang Dasar, program pemerintah dan hasrat
segenap lapisan rakyat di daerah Surakarta. Pemerintah berpendapat,
bahwa dengan jalan membentuk badan perwakilan rakyat soal
keistimewaan dapat diselesaikan dengan kekuasaan yang syah, artinya
kekuasaan berdasarkan kedaulatan rakyat yang sebenar-benarnya.
Berhubung dengan mendesaknya soal tersebut, maka pemilihan
umum dan sebagainya akan dimulai dengan segera.18
Tanggal 2 Mei 1946 Mangkunegoro VIII telah mengeluarkan maklumat
yang lain pendiriannya dari pada Paku Buwono XII. Namun BP KNI kabupaten
kota Mangkunegaran memutuskan supaya segera diakhiri adanya tiga macam
pemerintahan di Surakarta dan mendesak agar segera terlaksananya kedaulatan
rakyat.
Dengan tiadanya keputusan yang tegas, terkatung-katungnya posisi
Komisaris Tinggi serta Direktorium dan dengan tetap resminya daerah istimewa,
18 Maklumat Menteri Dalam Negeri, 1946, Mangkunegaran: Reksa Pustaka.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
80
maka pada hakekatnya sudah timbul vacuum pemerintahan di daerah Surakarta,
dan dalam kesempatan ini berbagai aliran yang ekstrim bergolak, yang semakin
membuat daerah ini yang disebut sebagai wild west.19
Terlepas dari segala konflik istana, keberadaan KNID Surakarta pada
akhirnya digunakan sebagai sarana semangat revolusi pemuda dalam mewujudkan
impiannya tentang Negara yang berkedaulatan rakyat dan menjadi motor gerakan
anti swapraja dalam menentukan pemerintahan kerakyatan.20
Di tengah upaya untuk menyusun pemerintahan yang sesuai dengan
kehendak rakyat Surakarta,muncul suara-suara kebencian dan penolakan atas
pemerintah swapraja di Surakarta. Penolakan ini sejalan dengan semangat revolusi
yang anti feodalisme.
Melihat kenyataan yang begitu besar keperayaan rakyat maupun pemuda,
maka segala hal yang berbau kerajaan dicoba untuk disingkirkan. Ketua KNID
Surakarta yang semula dipegang oleh ipar Susuhunan, yaitu Mr. Sumodiningrat
kemudian diganti Ir. Sakirman tanggal 29 Oktober 1945 berdasarkan garis-garis
besar BP KNIP di Jakarta. Sebuah badan pekerja baru didirikan tanggal 1
November 1945 yang dikuasai oleh seorang veteran PKI sebelum perang dan
19 A.H. Nasution, op.cit., hal. 552-554.
20 Hal ini terbukti dengan penggeseran BPH Sumodiningrat sebagai ketua KNID Surakarta oleh
Suyono bekas aktivis PKI 1926 yang merupakan pendukung utama Anti Swapraja.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
81
dikuasai oleh berbagai golongan pemuda yang berpendidikan radikal dan tokoh-
tokoh dari pergerakan.21
KNID Surakarta sangat mendukung gerakan Anti Swapraja. Usaha dari
KNID terlihat saat Badan Pekerja KNID Kabupaten Klaten mengadakan
pertemuan dengan wakil-wakil dari 60 organisasi termasuk PBI, BTI, Laskar
Rakyat, Laskar Buruh, Pesindo, Barisan Banteng, Masyumi, Hizbullah, GPII,
Parkindo, dan Pangreh Praja setempat dengan mengeluarkan pernyataan sebagai
berikut:
Mengingat bahwa: Oendang-oendang Dasar menoentoet soeatoe
pemerintah kera’jatan, sedangkan pemerintah Daerah Istimewa boekan
pemerintahan kera’jatan; bahwa di dalam soetaoe negara kesatoean
seharoesnja adanja hanja satoe kekoeasaan; bahwa djelasnja ra’jat
menoejoe ke masjarakat socialist, sedang Daerah Istimewa itoe adalah hal
jang bertentangan;
Menimbang bahwa: Ra’jat daerah Klaten hampir semoea tidak menjoekai
pada pemerintah istimewa; kekoeasaan pemerintah istimewa
mengoerangkan hak ra’jat dalam kedaoelatan ra’jat; pemerintah daerah
Soerakarta dan Mangkunegaran jang beroepa pemerintah monarchi soedah
tidak tjotjok dengan aliran jang ada pada ra’jat;
21 Ben Anderson, 1988, Revolusi Pemoeda: Pendudukan Jepang dan Perlawanan di Jawa 1944-
1946, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,hal. 364.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
82
Memoetoeskan: 1. Selekas moengkin menghapoeskan Daerah Istimewa; 2.
Menghapoeskan pemerintahan feodal; 3. Menghendaki adanja satoe
pemerintahan kera’jatan oentoek seloeroeh daerah Soerakarta.22
Usaha yang dilakukan KNID Kab. Klaten tersebut kemudian diikuti oleh
KNID Kab. Sragen dan Kab. Mangkunegaran. Pemerintah Mangkunegaran
terkesan lambat dalam mersepon aspirasi rakyatnya. Pihak istana tidak setuju
dengan dilepaskannya status daerah istimewa di Surakarta. Sikap tersebut yang
mengundang kecaman dari KNID Kabupaten Kota Mangkunegaran dengan
mengeluarkan mosi pada tanggal 4 Mei 1946 sebagai berikut:23
Mendesak kepada pemerintah Agoeng Mangkoenegaran selekas moengkin
mendjamin terbentoeknja pemerintahan di Soerakarta jang soenggoeh-
soenggoeh berdasar kedaoelatan rakjat di bawah Pemerintah Repoeblik.24
Revolusi sosial merupakan gerakan spontan dari rakyat bawah untuk
mewujudkan kehidupan sosial yang dikehendaki. Di Surakarta, gerakan spontan
dari rakyat yang menghasilkan revolusi sosial ini dimanfaatkan oleh kekuatan-
kekuatan politik yang ada di kota ini. Masa lampau Surakarta yang penuh
22 Antara, 27 April 1946.
23 Julianto Ibrahim, 2008, Kraton Surakarta dan Gerakan Anti Swapraja, Jogjakarta: Malioboro
Press, hal. 87.
24 Kedaulatan Rakyat, 11 Mei 1946.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
83
pergolakan dan eksploitasi yang berlebihan menyebabkan munculnya paham
komunisme.
Keinginan KNID Surakarta agar wilayah Surakarta menjadi satu daerah
Istimewa didukung oleh pembentukan KNID-KNID setingkat Kabupaten di
Surakarta. Apabila KNID setingkat Kabupaten di wilayah Kasunanan mengakui
keberadaan KNID Surakarta sebagai KNID daerah Istimewa Surakarta sebaliknya
di wilayah Mangkunegaran terjadi penolakan oleh pemerintah Mangkunegaran
untuk mengakui KNID setingkat Kabupaten yang didukung KNID Surakarta.25
Mangkunegaran beralasan bahwa pendirian KNID setingkat kabupaten di
wilayah Mangkunegaran dianggap tidak perlu mengingat status Mangkunegaran
sebagai daerah istimewa. Tradisi Mangkunegaran menempatkan pembagian
wilayah di daerahnya (kabupaten, kawedanan dan kapanewon) sebagai wilayah
administratif dan para kepala wilayah tersebut hanya bertugas sebagai
penghubung kekuasaan antara Raja dengan kekuasaannya. Hal tersebut berbeda
dengan kondisi di tanah Jawa lainnya yang menempatkan pembagian wilayah
sebagai daerah otonom. Pembagian wilayah berarti pembagian kekuasaan yang
didominasi oleh aspek-aspek politik dan memiliki kebebasan dalam menjalankan
pemerintahan.26
25 Pembentukan KNID kab. Kota Mangkunegaran dan KNID Kab. Wonogiri merupakan hasil dari
gerakan pemuda dan politisi non bangsawan di daerah tersebut, berbeda dengan daerah Kasunanan
dimana para Bupati terlibat dalam pembentukan KNID tingkat Kabupaten. Berkas surat-surat
yang masuk Mangkunegaran dan Konsep Balasannya, Arsip Reksa Pustaka Mangkunegaran.
26 Rancangan Undang-undang Kerajaan Mangkunegaran, Arsip Reksa Pustaka Mangkunegaran.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
84
Pada masa tersebut, argumen-argumen Mangkunegaran yang mendasari
penolakannya terhadap KNID Surakarta belum dapat dipastikan kesahihannya
akibat ketiadaan perangkat hukum yang mengatur tentang daerah istimewa. Oleh
karena itu penolakan Mangkunegaran tidak menyurutkan niat KNID Surakarta
untuk menyatukan wilayah Surakarta dengan upaya memperoleh dukungan politik
rakyat Mangkunegaran. Intervensi KNID Surakarta terhadap Mangkunegaran
terlihat pada pendirian KNID Kabupaten Kota Surakarta yang sebagian besar
wilayah kekuasaannya berada di daerah Mangkunegaran. Adanya hubungan
kerjasama antara KNID Kabupaten Kota Surakarta dengan KNID Surakarta dan
pembentukan Badan Pekerja (BP) pada KNID Kabupaten Kota Surakarta yang
bertugas untuk mengadakan pemerintahan menimbulkan protes dari
Mangkunegaran karena terjadinya dualisme pemerintahan di Kabupaten Kota
Mangkunegaran.27
Protes Mangkunegaran mencapai hasil yang memuaskan ketika
pemerintah mengeluarkan UU No. 1 tahun 1945. Tampaknya hanya
Mangkunegaran yang menyetujui keputusan yang dibuat oleh KNIP dan
pemerintah sedangkan badan-badan perjuangan di Surakarta memprotes kebijakan
ini. Upaya Pemerintah RI untuk mengkonsolidasikan kekuatan di daerah diartikan
berbeda-beda oleh sebagian besar partisan politik di Surakarta. Ketidakpuasan
badan perjuangan dan lembaga terkait dalam menanggapi kebijakan pemerintah
27 Catatan Kronologi di Awal Proklamasi, Arsip Reksa Pustaka Mangkunegaran.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
85
ini merupakan benih dari Gerakan Anti Swapraja sebagai perwujudan revolusi
sosial di Surakarta.
Munculnya protes terhadap UU No. 1 tahun 1945, justru memperkuat
KNID Kab. Kota Surakarta sebagai lembaga kekuasaan yang diakui dan diterima
oleh badan perjuangan dan KNIDS. Berdasarkan pengakuan tersebut keberadaan
KNID Kab. Kota Surakarta tetap bertahan dan eksis menjalankan pemerintahan
yang diyakininya sehingga menimbulkan kekhawatiran bagi Mangkunegaran
karena tidak ada tindak lanjut dari pemerintah pusat dalam menuntaskan persoalan
KNID di Mangkunegaran.
KNID Surakarta ingin memberikan bukti bahwa kedudukan KNID
Surakarta sebagai lembaga kekuasaan di Surakarta adalah resmi dengan adanya
pengakuan kedudukan KNID Surakarta berkaitan dengan pengambilalihan
kekuasaan. Akan tetapi Mangkunegaran tetap beranggapan bahwa keberadaan
KNIDS dan KDPRI tidak sah mengingat kekuasaan Mangkunegaran berada
langsung di bawah pemerintah pusat bukan berada di bawah KNID Surakarta.
Kehadiran KDPRI sebagai bagian dari KNID Surakarta menyebabkan persaingan
dan pertentangan menjadi semakin terbuka.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
86
C. Hubungan antara kekuatan pergerakan politik dengan KNID
Surakarta
Revolusi di Surakarta tidak dimulai dari bawah di tingkat desa, tetapi
dimulai di kota Surakarta oleh para pemimpin. Para pemuda dan para politisi dari
zaman sebelum perang dengan antusias dan serentak mendirikan unsur-unsur
pokok dari pemerintahan revolusioner, yaitu KNID (Komite Nasional Indonesia
Daerah), BKR (Badan Keamanan Rakyat) dan badan-badan perjuangan. Unsur-
unsur tersebut yang untuk pertama kalinya menanamkan kekuasaan republik di
dalam kota Surakarta dengan sengaja tidak mencantumkan gelar-gelar
kebangsawanan dari para anggotanya yang berasal dari keraton, karena adanya
beberapa pertentangan.28
Pembentukan beberapa laskar di kota dan di desa-desa merupakan respons
terhadap proklamasi kemerdekaan dan menunjukkan perpecahan yang ada dalam
masyarakat. Organisasi-organisasi tersebut menyatakan setia kepada nilai-nilai
umum dari revolusi, seperti kemerdekaan, demokrasi, anti-imperialisme, dan anti-
feodalisme. Akan tetapi masing-masing organisasi memiliki pendirian dan
ideologi sendiri, serta tujuan dan program sendiri. Jelas sekali sikap anggota
laskar-laskar di Surakarta dibatasi oleh nilai-nilai budaya Jawa, dan di tiap
organisasi terdapat hubungan yang erat diantara para anggota dan pemimpinnya.
28 R.T. Muhammad Husodo Pringgokusumo, 1982, ringkasan Disertasi Dr. Soejatno Kartodirjo:
Revolusi di Surakarta tahun 1945-1950, Surakarta: Rekso Pustoko, hal. 3.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
87
Hal ini ditunjukkan oleh penggunaan kata “bapak”. Akan tetapi kesamaan latar
belakang budaya ini serta kerukunan diantara mereka tidak dapat menghilangkan
kenyataan bahwa diantara laskar-laskar itu terdapat perbedaan yang mendalam
dan persaingan.
Respon di pedesaan terhadap proklamasi kemerdekaan bersifat meniru apa
yang terjadi di dalam kota. Pemimpin-pemimpin revolusi setempat mendirikan
KNI pada tingkat kecamatan, dan di tempat-tempat tertentu bahkan didirikan KNI
di tingkat desa. Berbagai badan perjuangan dengan cara yang sama didirikan oleh
pemuda-pemuda desa yang telah memperoleh pengalaman dalam organisasi-
organisasi yang didukung oleh Jepang. Akan tetapi jurang diantara daerah
perkotaan dengan pedesaan tidak dapat dijaga, karena pembentukan KNI
pedesaan dan badan perjuangan pedesaan mulai melibatkan masyarakat desa
langsung ke dalam politik nasional. KNI pedesaan bertindak sebagai pemeritah
revolusioner di pedesaan, yang melaksanakan perintah-perintah dari pemerintah
RI yang baru. Keadaan ini mengganggu jalannya perintah dari para raja melalui
badan pemerintahan, sutu pola yang telah berjalan bertahun-tahun. Orang-orang
desa yang memihak kepada RI mulai mengukur sikap para bekas kepala desa
dengan nilai-nilai baru yang dibawa oleh revolusi Indonesia.29
KNID Surakarta bersama-sama dengan kekuatan pergerakan politik di
Surakarta menyusun jalannya revolusi. Hal ini terlihat dari bersatunya markas
pergerakan mereka. KNID Surakarta menggunakan bekas Hotel Yuliana di
29 Ibid, hal. 5.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
88
Purbayan sebagai tempat pelaksana rapat mereka. Tempat tersebut juga menjadi
Markas Komando Revolusi Kemerdekaan Indonesia di Surakarta dan tempat
berkumpulnya tokoh-tokoh revolusioner yang membuat banyaknya organisasi
pergerakan politik berkumpul disana.30
Rapat pembentukan pengurus KNID Surakarta dihadiri 144 peserta dari
seluruh Surakarta. Mereka adalah para politisi dan pejuang yang tergabung dalam
barisan pejuang dan laskar-laskar rakyat di Surakarta. Beberapa diantara mereka
pernah melakukan aksi revolusioner antara lain dengan menyerobot fasilitas
publik di Surakarta seperti gedung-gedung pemerintahan dan industri gula. Latar
belakang anggota KNID Surakarta yang berasal dari badan-badan kekuatan politik
ini yang menjadi cikal bakal pergerakan politik yang dilakukan KNID Surakarta.
Aksi-aksi revolusioner ditunjukkan secara bersama-sama antara KNID
Surakarta dengan para anggota Barisan Pelopor, Markas Delapan, dan Indonesia
Muda. Mereka berhasil melakukan perebutan terhadap gedung-gedung
pemerintahan sipil Jepang antara lain Kantor Jawatan Pos dan Telepon, Jawatan
Perminyakan, Jawatan Percetakan, Jawatan Angkutan Bermotor, Jawatan Radio,
Dinas Kepolisian, Dinas Rahasia dan Reserse, dan Dinas Penjara. Perebutan
kantor-kantor tersebut pada akhirnya menjadi fasilitas publik pemerintah RI yang
berada di bawah kewenangan KNID Surakarta.31
30 Djawatan Penerangan Kota Besar Surakarta, 1953, Kenang-kenangan Kota Besar Surakarta
1945-1953, Surakarta: t.p., hal. 2-3.
31 Karkono Kamajaya, op.cit., hal. 4-6.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
89
Pada awal Januari 1946 Surakarta menjadi markas kelompok oposisi
Persatuan Perjuangan (PP). Kehadiran PP disambut antusias para pemuda di
Surakarta karena program meraka sangat menentang proses diplomasi yang
dilakukan pemerintahan Syahrir dan lebih mempercayai revolusi atau
pertempuran untuk menghadapi Belanda. KNID Surakarta sangat berperan dalam
pelaksanaan kongres PP di Surakarta pada 4 Januari 1946. Pada kongres tersebut
lahirlah Minimum Program yang dipelopori oleh Tan Malaka. Karena berperan
aktif dalam Persatuan Perjuangan, KNID Surakarta yang tergabung dalam PP
mendapat tempat terhormat yaitu dengan diangkatnya ketua KNID Surakarta,
Suyono (mantan aktivis PKI 1926) sebagai Sekretaris Jenderal di struktur
pengurus Persatuan Perjuangan.32
32 Julianto Ibrahim, 2004, Bandit dan Pejuang di Simpang Bengawan: Kriminalitas dan
Kekerasan Masa Revolusi di Surakarta, Wonogiri: Bina Citra Pustaka, hal. 153.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
90
BAB V
PENUTUP
Simpulan
Pada tanggal 19 Agustus 1945, Pemerintah Pusat RI berhasil melengkapi
perangkat pemerintahan dengan kabinet pertamanya dan Komite Nasional
Indonesia Pusat (KNIP) dibentuk. Komite ini berfungsi sebagai Parlemen
sementara yang dilengkapi juga suatu Badan Pekerja (BP-KNIP). Adanya Komite
Nasional ini tidak hanya terbatas di lingkungan pemerintah pusat, tapi secara
berlanjut di daerah-daerah dibentuk juga Komite Nasional Indonesia Daerah
(KNID). Tujuan KNID dibentuk adalah untuk melucuti tentara Jepang dan
memindahkan kekuasaan pemerintah Jepang ke tangan KNID.
Pada tanggal 11 September 1945 dibentuklah KNID Surakarta yang
diketuai oleh Mr. Soemodiningrat melalui sidang di Pendopo Woerjoningratan.
Soemodiningrat yang merupakan ipar Susuhunan dan bekas opsir PETA ini
dibantu oleh 9 orang dari elite agama, elite tradisional berpendidikan Barat dan
elite politik.
Keberadaan KNID Surakarta mendapat dukungan dari segenap potensi
perjuangan rakyat. KNID sebagai pimpinan gerakan revolusi di Surakarta harus
menghadapi kekuatan Jepang yang terbagi dalam Kooti Jimmu Kyoku (kekuatan
sipil), Butai yang bersenjatakan lengkap, dan Kenpetai.
Pembentukan beberapa laskar di kota dan di desa-desa merupakan respons
terhadap proklamasi kemerdekaan dan menunjukkan perpecahan yang ada dalam
masyarakat. Revolusi di Surakarta tidak dimulai dari bawah di tingkat desa, tetapi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
91
dimulai di kota Surakarta oleh para pemimpin. Para pemuda dan para politisi dari
zaman sebelum perang dengan antusias dan serentak mendirikan unsur-unsur
pokok dari pemerintahan revolusioner, yaitu KNID (Komite Nasional Indonesia
Daerah), BKR (Badan Keamanan Rakyat) dan badan-badan perjuangan. Unsur-
unsur tersebut yang untuk pertama kalinya menanamkan kekuasaan republik di
dalam kota Surakarta.
Sejak ditetapkannya Surakarta sebagai Daerah Istimewa atau Swapraja
oleh pemerintah RI di pusat pada 19 Agustus 1945, maka segera timbul reaksi dari
para pejuang kemerdekaan di Surakarta dari berbagai kelompok. Di awal tahun
1945 secara nyata mulailah periode konflik sosial politik, berupa gerakan-gerakan
anti-Swapraja untuk menghapus Daerah Istimewa, gerakan untuk mengganti
Susuhunan Pakubuwono XII, dan gerakan untuk merubah peraturan Daerah
Istimewa/ Swapraja yang tidak cocok dengan zamannya.
Pada tanggal 1 Oktober 1945, Komite Nasional Indonesia Daerah
Surakarta mengadakan perundingan dengan Watanabe sebagai Suchokan di
Surakarta. Perundingan tersebut bertujuan agar Kochi Jimmu Kyoku menyerahkan
kekuasaannya kepada Pemerintah Daerah Surakarta karena Jepang telah
mengalami kekalahan. Tanpa perlawanan, Watanabe menyerahkan kekuasaannya
di Surakarta kepada Mr. B.P.H Soemodiningrat sebagai Kepala Pemerintah
Surakarta. Pada tanggal 1 Oktober 1945 secara resmi seluruh kekuasaan Jepang di
Surakarta telah diserahkan kepada bangsa Indonesia.
Dengan demikian penyerahan kekuasaan sipil pemerintah Jepang tersebut
dapat dikatakan sepenuhnya sebagai hasil jerih payah KNID Surakarta dan rakyat.
Peralihan kekuasaan pemerintah sipil Jepang kepada KNID Surakarta segera
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
92
disertai dengan perubahan-perubahan administratif yang diperlukan untuk
menjalankan kekuasaan yang baru saja diperoleh.
Sikap kurang tanggap terhadap situasi revolusi dan tidak mampu
mengantisipasi secara tepat akhirnya membawa nasib aristokrasi di Surakarta
menyimpang atau bahkan berbalikan dari apa yang diharapkan. Kelemahan
terhadap semangat revolusi dari aristokrasi ini menimbulkan krisis kekuasaan di
Surakarta pada awal kemerdekaan.
Krisis ini memberikan peluang besar bagi institusi-institusi baru yang
berjiwa revolusi untuk menggantikannya. Pasifnya raja-raja Surakarta segera
diimbangi aktifitas di kalangan pejuang kemerdekaan dari berbagai golongan
sosial. Akhirnya pemerintahan republik di Surakarta diperkuat dengan berdirinya
KNID (Komite Nasional Indonesia Daerah) Surakarta yang diprakarsai oleh
seorang bangsawan kraton Kasunanan, yaitu Wuryaningrat pada awal bulan
September 1945. Terbentuknya KNID Surakarta yang bertugas melucuti Jepang
akhirnya mendapat keberhasilan secara gemilang. Adanya KNID Surakarta
disambut baik oleh golongan-golongan pejuang kemerdekaan di Surakarta.
Dengan demikian terjadinya krisis kekuasaan di Surakarta pada masa awal
kemerdekaan langsung dapat dipecahkan melalui komite tersebut sebagai
semacam lembaga perwakilan rakyat daerah.
Di daerah Surakarta, peristiwa revolusi sosial terjadi karena keinginan
partai-partai dan pemuka-pemuka pergerakan agar swapraja dihapuskan. Terlepas
dari segala konflik istana, keberadaan KNID Surakarta pada akhirnya digunakan
sebagai sarana semangat revolusi pemuda dalam mewujudkan impiannya tentang
Negara yang berkedaulatan rakyat dan menjadi motor gerakan anti swapraja
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
93
dalam menentukan pemerintahan kerakyatan. KNID Surakarta ingin memberikan
bukti bahwa kedudukan KNID Surakarta sebagai lembaga kekuasaan di Surakarta
adalah resmi dengan adanya pengakuan kedudukan KNID Surakarta berkaitan
dengan pengambilalihan kekuasaan.