24
60 BAB IV ANALISA Kajian Kebebasan Beragama Dalam Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No 9 dan 8 Tahun 2006 Menurut Perspektif Kebebasan Beragama Dalam UUD Pasal 29 ayat (2) IV.1. Pendahuluan Jaminan kebebasan beragama dengan jelas diatur dalam UUD pasal 29 ayat (2) “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama dan kepercayaannya dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu.” 1 Ada dua kebebasan beragama yang dijamin dalam Pasal 29 ayat 22 UUD 1945. Pertama, kemerdekaan setiap warga negara untuk memeluk agama atau kepercayaanya. Kedua, kemerdekaan setiap warga negara untuk beribadat menurut agama atau kepercayaannya. Pasal 28I UUD 1945 menegaskan kebebasan beragama tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Secara khusus tulisan ini akan membahas jaminan kebebasan warga negara untuk beribadat menurut agama atau kepercayaannya. Hal ini juga dijamin dalam deklarasi HAM PBB sebagai bagian dari forum eksternum. Namun pada kenyataannya jaminan kebebasan beribadat menurut agamanya terus terusik oleh kejadian pelanggaran kebebasan beragama. Berdasarkan laporan Forum Komunikasi Kristen Indonesia (FKKI) mencatat sebanyak 786 gereja dirusak, dibakar atau ditutup sejak prokalmasi 17 Agustus 1945 sampai dengan 31 Desember 2000. Sementara menurut laporan pengurus Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) dan Wali Gereja Indonesia kepada Komnas HAM, sejak tahun 2004-2007 telah terjadi 108 kasus penutupan, penyerangan dan pengrusakan gereja. 1 Moh. Mahfud MD, Kebebasan Beragama Dalam Perspektif Konstitusi (Jakarta: Mahkama Konstitusi Indonesia, 2009), 1.

Suatu Kajian Kebebasan Beragama Dalam Peraturan Bersama ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/6833/4/T1_712007054_BAB IV.pdf · warga negara untuk beribadat menurut agama atau

  • Upload
    lyliem

  • View
    220

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Suatu Kajian Kebebasan Beragama Dalam Peraturan Bersama ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/6833/4/T1_712007054_BAB IV.pdf · warga negara untuk beribadat menurut agama atau

60

BAB IV

ANALISA

Kajian Kebebasan Beragama Dalam Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri

Dalam Negeri No 9 dan 8 Tahun 2006 Menurut Perspektif Kebebasan Beragama Dalam

UUD Pasal 29 ayat (2)

IV.1. Pendahuluan

Jaminan kebebasan beragama dengan jelas diatur dalam UUD pasal 29 ayat (2)

“Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama dan

kepercayaannya dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu.”1 Ada dua

kebebasan beragama yang dijamin dalam Pasal 29 ayat 22 UUD 1945. Pertama, kemerdekaan

setiap warga negara untuk memeluk agama atau kepercayaanya. Kedua, kemerdekaan setiap

warga negara untuk beribadat menurut agama atau kepercayaannya. Pasal 28I UUD 1945

menegaskan kebebasan beragama tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Secara

khusus tulisan ini akan membahas jaminan kebebasan warga negara untuk beribadat menurut

agama atau kepercayaannya. Hal ini juga dijamin dalam deklarasi HAM PBB sebagai bagian

dari forum eksternum.

Namun pada kenyataannya jaminan kebebasan beribadat menurut agamanya terus

terusik oleh kejadian pelanggaran kebebasan beragama. Berdasarkan laporan Forum

Komunikasi Kristen Indonesia (FKKI) mencatat sebanyak 786 gereja dirusak, dibakar atau

ditutup sejak prokalmasi 17 Agustus 1945 sampai dengan 31 Desember 2000. Sementara

menurut laporan pengurus Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) dan Wali Gereja

Indonesia kepada Komnas HAM, sejak tahun 2004-2007 telah terjadi 108 kasus penutupan,

penyerangan dan pengrusakan gereja.

1Moh. Mahfud MD, Kebebasan Beragama Dalam Perspektif Konstitusi (Jakarta: Mahkama Konstitusi

Indonesia, 2009), 1.

Page 2: Suatu Kajian Kebebasan Beragama Dalam Peraturan Bersama ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/6833/4/T1_712007054_BAB IV.pdf · warga negara untuk beribadat menurut agama atau

61

Menurut hasil laporan PGI dan hasil penelitian para penggiat kebebasan beragama di

Indonesia, tindakan intoleransi tersebut didasarkan pada Peraturan Bersama Menteri No. 9

dan 8 Tahun 2006 yang mengatur mekanisme pendirian rumah ibadat dan sekaligus menjadi

syarat ijin mendirikan rumah ibadah. Walaupun PBM berlaku untuk semua agama, namun

syarat-syarat dalam PBM sangat sulit dipenuhi oleh agama minoritas. Dengan demikian PBM

memberi peluang terciptanya tindakan intoleransi dan diskriminatif bagi agama minoritas.

Pelanggaran kebebasan beragama yang diakibatkan PBM seakan bertolak belakang

dengan jaminan kebebasan beragama yang diatur dalam UUD 1945 Pasal 29 ayat (2).

Sedangkan salah satu dasar hukum dari PBM ini adalah UUD pasal 29 ayat (2) hal ini

dikuatkan dengan pernyataan pemerintah bahwa peraturan ini tidak melanggar jaminan

kebebasan beragama. Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui apakah PBM ini sesuai atau

tidak dengan UUD 1945 Pasal 29 ayat (2). Hal tersebut dilakukan dengan mengkaji

kebebasan beragama yang diatur dalam Peraturan Bersama Menteri menurut perspektif

kebebasan beragama UUD 1945 pasal 29 ayat (2).

Hasil kajian kebebasan beragama UUD 1945 Pasal 29 ayat (2) kemudian ditinjau

menurut perspektif kebebasan beragama dalam konven-konven internasional atau deklarasi

HAM. Hal ini dilakukan untuk melihat apakah semangat kebebasan beragama dalam UUD

pasal 29 ayat (2) sesuai dengan semangat kebebasan beragama dalam konven internasional

atau deklarasi HAM. Sebab, Indonesia telah meratifikasi hasil konven-konven internasional

dan Deklarasi Hak Asasi Manusia tentang jaminan kebebasan beragama atau berkeyakinan

ke dalam UUD 1945 dan UU. Indonesia akan mendapat sanksi dari dunia internasional

apabila tidak dapat melaksanakan jaminan kebebasan beragama secara konsisten.

Peraturan Bersama Menteri mengatur pendirian rumah ibadah. Pengaturan pendirian

rumah ibadah merupakan pembatasan pendirian rumah ibadah. Dengan dibatasinya pendirian

rumah ibadah sekaligus membatasi umat untuk beribadah. UUD 1945 Pasal 29 ayat (2)

Page 3: Suatu Kajian Kebebasan Beragama Dalam Peraturan Bersama ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/6833/4/T1_712007054_BAB IV.pdf · warga negara untuk beribadat menurut agama atau

62

dengan jelas menjamin kebebasan setiap warga negara untuk beribadat menurut agama atau

kepercayaanya. Berdasarkan urian di atas penulis menyimpulkan, bahwa dengan diaturnya

pendirian rumah ibadah sama dengan mengatur kebebasan beragama. Oleh karena itu, tulisan

ini ingin mengkaji apa makna pengaturan kebebasan beragama dalam peraturan Bersama

Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri terhadap jaminan kebebasan beragama? Untuk

maksud menjawab pertanyaan tersebutlah pembahasan dalam bab IV dilakukan.

IV.2. Deklarasi Hak Asasi Manusia dan Konvenan Internasioanal tentang Jaminan

Kebebasan Beragama

Menurut John Locke Hak Asasi Manusia (HAM) adalah hak-hak yang diberikan

langsung oleh Tuhan yang Maha Pencipta sebagai hak yang kodrati. Oleh karena itu tidak ada

kekuasan apapun di dunia ini yang dapat mencabutnya.2 Pengertian ini secara substansi tidak

berbeda dengan UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 1 yang

menyatakan “Hak Asasi Manusia adalah seprangkat hak yang melekat pada hakekat dan

keberadaan manusia sebagai makluk Tuhan yang Maha Esa dan merupakan anugrah-Nya

yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum pemerintahan dan

setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.” Berdasarkan

rumusan di atas diperoleh suatu kesimpulan bahwa HAM merupakan hak yang melekat pada

diri manusia yang bersifat kodrati dan fundamental sebagai anugerah Tuhan yang harus

dihormati, dijaga dan dilindungi oleh setiap individu, masyarakat dan negara.

Jaminan kebebasan beragama dan berkeyakinan merupakan bagian hak asasi manusia

(HAM) yang telah dimufakati dan dideklarasikan dalam konvensi-konvensi internasioanl

baik yang terdapat dalam Universal Declaration of Human Right (UDHR) atau Internasional

2Tim ICCE UIN Jakarta, Demokrasi, Hak Asasi Manusia, Masyarakat Madani (Jakarta: Fajar

Interpratama Offset, 2003), 200.

Page 4: Suatu Kajian Kebebasan Beragama Dalam Peraturan Bersama ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/6833/4/T1_712007054_BAB IV.pdf · warga negara untuk beribadat menurut agama atau

63

Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) dan konvenan Internasional lainnya tentang

hak sipil.3 Kebebasan sendiri menurut perspektif HAM adalah kekuasaan atau kemampuan

bertindak tanpa paksaan, ketiadaan kendala (hambatan), kekuasan untuk memilih tindakan

seseorang atau sering disebut kebebasan dasar (fundamental freedom).4

Kebebasan beragama atau berkeyakinan menurut Deklarasi Universal tentang Hak-

Hak Asasi Manusia dalam artikel ke 18 adalah “Setiap orang mempunyai hak kebebasan

berpikir, berkeyakinan dan beragama; hak ini mencakup kebebasan untuk beralih agama atau

kepercayaan, dan juga kebebasan, baik secara sendiri-sendiri atau bersama-sama dengan

orang lain, serta baik di depan umum maupun pribadi, untuk memperlihatkan agama atau

kepercayaannya, dengan jalan mengajarkan, mempraktekkan, beribadat atau melakukan

kewajiban-kewajiban agama”.5

Jaminan kebebasan beragama dan berkeyakinan menurut perspektif Hak Asasi

Manusia (HAM) terbagi dalam dua aspek. Pertama, kebebasan internal (forum internum),

pada dasarnya setiap orang mempunyai kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama. Hak

ini mencakup kebebasan untuk menganut atau menetapkan agama atau kepercayaan atas

pilihannya sendiri termasuk untuk berpindah agama atau kepercayaan. Kedua, kebebasan

eksternal (forum externum) pada dasarnya setiap orang memiliki kebebasan, secara individu

di dalam masyarakat, di muka publik atau pribadi untuk memanifestasikan agama atau

kepercayaan di dalam pengajaran, pengamalan dan peribadahannya.6

Komentar umum komite HAM PBB yang merupakan penafsiran otoritatif atas

ketentuan Konvenan internasional hak sipil dan politik mempertegas uraian di atas dengan

3 Nicola Colbran,

KebebasanBeragamaatauberkeyakinan:SeberapaJauh(Yogyakarta:Kanisius,2010),685-686. 4John Kelsay & Sumner B. Twiss, Agama dan Hak-hak Asasi Manusia (Yogyakarta: Interfidei, 2007),Iii.

5 Olaf H Schumann, Dialog AntarUmatBeragama(Jakarta:BPKGunungMulia, 2008), 534.

6SitiMusdahMulia,MerayakanKebebasanBeragama, ed. ElzaPeldiTaher, (Jakarta: ICRP&KOmpas,

2009), 335.

Page 5: Suatu Kajian Kebebasan Beragama Dalam Peraturan Bersama ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/6833/4/T1_712007054_BAB IV.pdf · warga negara untuk beribadat menurut agama atau

64

menyatakan bahwa hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan pada dasarnya meliputi

dua dimensi, yaitu individual dan kolektif. Ketentuan ini memberikan perlindungan kepada

individu maupun individu harus melakukannya bersama-sama dengan orang lain. Dengan

demikian sebuah kelompok keagamaan juga mempunyai hak untuk mengekspresikan atau

melaksanakan kepercayaan agama mereka.7 Komentar umum pasal 18 juga mengandung 2

aspek yaitu kebebasan berkeyakinan atau beragama dan kebebasan untuk menjalankan agama

atau kepercayaan. Dengan demikian pasal ini melindungi dua aspek kebebasan beragama

yaitu kebebasan spiritual seseorang (forum internum) dan kebebasan mengeluarkan

(manifestasi) keberadaan spiritual tersebut serta mempertahankannya di depan publik (forum

eksternum).8

Untuk jaminan kebebasan memilih atau memeluk agama (forum internum) tidak dapat

dikurangi atau dibatasi (non-derogable rights) sedangkan jaminan kebebasan

mengekspresikan (manifestasi) ajaran agama dapat dibatasi (derogable). Pembatasan negara

terhadap kebebasan menjalankan ajaran agama (forum eksternum) harus didasarkan pada

alasan untuk menjaga ketertiban umum (public order), kesehatan dan moral masyarakat

(public health and morals). Dan bentuk pembatasan ini harus dinyatakan dengan Undang-

undang. Sebagai contoh, pelarangan terhadap sekte David Coresh di New Mexico dan

Children of God. Sekte ini dilarangan karena dianggap membahayakan nyawa orang lain dan

nyawa para pengikutnya. Sedangkan untuk Children of God sekte ini dilarangan karena

berpotensi menimbulkan ganguan terhadap moral masyarakat. Oleh karena itu, pemerintah

harus terus memperhatikan norma-norma hak asasi manusia yang diakui dalam UUD 1945

maupun instrumen internasional hak asasi manusia.

7Stanley Adi Prasetyo, Pluralisme,34.

8Ibid.,34-35.

Page 6: Suatu Kajian Kebebasan Beragama Dalam Peraturan Bersama ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/6833/4/T1_712007054_BAB IV.pdf · warga negara untuk beribadat menurut agama atau

65

Dalam komentar umum komite HAM PBB terhadap pasal 18 “pembatasan harus

terkait secara langsung dan sepadan dengan kebutuhan khusus yang mendasarinya. Pebatasan

tidak boleh dikenakan untuk tujuan diskriminatif atau dilaksanakan dengan cara

diskriminatif.9 Secara umum perbuatan tidak toleran dan diskriminasi berbasis agama atau

keyakinan memiliki pengertian berikut “setiap pembedaan, penyampingan, pelarangan atau

pengutamaan berbasis agama atau keyakinan yang tujuan atau akibatnya penghilangan atau

pengurangan pengakuan, penikmatan atau pelaksanaan hak asasi manusia dan kebebasan

dasar berdasarkan kesetaraan.”10

Prinsip ini tidak berbeda dengan deklarasi HAM tentang

Penghapusan semua Bentuk Intoleransi dan Diskriminasi Berdasarkan Agama atau

Keyakinan Pasal 2 ayat (2) “ungkapan intoleransi dan diskriminasi berdasarkan agama atau

kepercayaan berarti pembedaan, pengeluaran, pelarangan atau pilih kasih berdasarkan agama

atau kepercayaan yang bertujuan atau berakibatkan pembatalan atau peruskan pada

pengakuan penikmatan atau pelaksanaan HAM dan kebebasan fundamental atas dasar

kesetaraan.”11

Penghapusan intoleransi dan diskriminasi berdasarkan agama menjadi salah satu

prinsip utama dalam dalam jaminan kebebasan beragama menurut perspektif HAM. Itulah

sebabnya PBB membuat deklarasi khusus tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi

dan intoleransi atas dasar agama/kepercayaan dituangkan dalam Pasal 1 ayat (1) “tidak

seorangpun menjadi target diskriminasi yang dilakukan oleh negara, institusi, kelompok

orang atau orang atas dasar agama/kepercayaan”. Ayat (2) tidak seorangpun dapat dipaksa

yang mengurangi kebebasan beragama/berkeyakinan sesuai dengan pilihannya terkait dengan

diskriminasi berbasis agama atau keyakinan ini, negara memiliki kewajiban sebagai berikut

“mengambil langkah-langkah efektif untuk mencegah dan menghilangkan diskriminasi

9Kebebasan beragama, 212.

10Stanley Adi Prasetyo,Pluralisme,39.

11Ibid., 40.

Page 7: Suatu Kajian Kebebasan Beragama Dalam Peraturan Bersama ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/6833/4/T1_712007054_BAB IV.pdf · warga negara untuk beribadat menurut agama atau

66

mengerahkan segala upaya untuk mengundangkan atau menghapuskan perundang-undangan

apabila diperlukan untuk melarang diskriminasi apapun mengambil segala langkah yang tepat

untuk memerangi diskriminasi berbasis agama atau keyakinan.

Uraian di atas memberikan keterangan bahwa negara berkewajiban melindungi setiap

warga negaranya bahkan setiap orang yang ada di wilayahnya dari tindakan intoleransi dan

diskriminasi. Negara berkewajiban mengambil segala langkah dan upaya untuk memerangi

diskriminasi berbasis agama tersebut. Ketentuan ini kemudian diatur dalam norma hukum

Hak Asasi Manusia (HAM) yang menyatakan bahwa pemangku kewajiban HAM sepenuhnya

tak lain adalah negara, dalam hal ini adalah pemerintah.12

Ketentuan tersebut merujuk pada

penjelasan dalam komentar Umum Deklarasi Hak Asasi Manusia (DUHAM) menyatakan

bahwa perwujudan HAM sepenuhnya kewajiban negara. Dalam menjalankan kewajibannya

pemerintah sebagai representasi negara mengemban tiga tugas. Pertama, pemerintah harus

menghormati, kedua melindungi dan ketiga, pemerintah memenuhi hak asasi manusia

tersebut.

Pemerintah yang berfungsi sebagai penyelenggara negara semestinya harus berfungsi

sebagai penjamin sekaligus penjaga agar hak-hak setiap warga negara tidak ada yang

terlanggar. Namun, dalam menjalankan tugas tersebut pemerintah tidak boleh campur tangan

dan mengintervensi dalam menentukan hak-hak yang tak dapat ditangguhkan (non-derogable

rights).13

Hal ini dikarenakan, memiliki kebebasan beragama dan berkeyakinan bukan sesuatu

yang dianugerahkan oleh negara atau pemerintah, namun sesuatu yang dimiliki setiap

individu dan kelompok agama semata-mata karena mereka manusia.

12

Stanley AdiPrasetyo, Pluralisme, Dialog danKeadilan, 26. 13

Ibid., 30.

Page 8: Suatu Kajian Kebebasan Beragama Dalam Peraturan Bersama ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/6833/4/T1_712007054_BAB IV.pdf · warga negara untuk beribadat menurut agama atau

67

IV.3. Kebebasan Beragama Menurut UUD 1945 Pasal 29 ayat (2) Ditinjau Menurut

Perspektif Kebebasan Beragama Hak Asasi Manusia (HAM)

Perdebatan tentang HAK Asasi Manusia (HAM) menurut Jimly Asshiddiqei, telah

mencuat sejak proses pembentukan negara Indonesia sedang gencar-gencarnya diperjuangkan

oleh para pendiri bangsa. Perdebatan itu terekam dengan jelas di dalam sidang-sidang Badan

Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan

Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang membahas draf konstitusi untuk negara Indonesia yang

akan dibentuk.14

Setelah melalui perdebatan panjang akhirnya tanggal 18 Agustus 1945 PPKI

mengesahkan UUD 1945. Ada lima Hak Asasi Manusia yang termuat dalam UUD 1945.

Pertama pasal 27, tentang persamaan dan kesamaan hukum serta mendapatkan hak

penghidupan yang layak. Kedua pasal 28, tentang hak berserikat, berkumpul dan menyatakan

pendapat. Ketiga, pasal 29, tentang hak memeluk dan menjalankan agama atau kepercayaan.

Keempat, pasal 31 hak mendapatkan pengajaran/pendidikan. Dan kelima, hak farkir miskin

dan anak terlantar.15

Sedangkan seperti kita ketahui deklarasi HAM baru dilaksanakan tahun

1948. Jadi sebagai bangsa kita boleh bangga karena pengakuan dan perlindungan terhadap

HAM telah terlebih dahulu kita lakukan.

Namun kebanggaan tersebut hanya isapan jempol belaka apabila kita memperhatikan

laporan dari para pemerhati HAM di Indonesia yang menunjukan kasus pelanggran

kebebasan beragama sangat tinggi. Tercatat 135 pelanggran kebebasan beragama sepanjang

tahun 2007 menurut SETARA Institut.16

Sementara tahun 2010 terjadi 216 pelanggran

kebebasan beragama,17

dan ditahun 2011 baru sampai pertengah tahun sudah tercatat 99

14

Majda El-Muhtaj, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia (Jakarta :Prenada Media, 2005), v. 15

Ibid.,11. 16

Siti Musdah Mulia, Merayakan Kebebasan Beragama, 352. 17

Stanley Adi Prasetyo, Pluralisme & Dialog Keadilan, 26.

Page 9: Suatu Kajian Kebebasan Beragama Dalam Peraturan Bersama ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/6833/4/T1_712007054_BAB IV.pdf · warga negara untuk beribadat menurut agama atau

68

kasus pelanggran kebebasan beragama.18

Tidaklah heran apabila komite Hak Asasi Manusia

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 2012 mendesak Indonesia untuk

menghapuskan diskriminasi berdasarkan agama.19

Melihat kenyataan ini menimbulkan

pertanyaan, apakah jaminan kebebasan beragama yang terdapat dalam konstitusi belum dapat

sepenuhnya menjamin kebebasan beragama? Dan apakah kebebasan beragama yang

dimaksud UUD 1945 pasal 29 ayat (2) sesuai atau tidak dengan kebebasan beragama yang

dimaksud dalam deklarasi HAM?

Pada prinsipnya UUD 1945 Pasal 29 ayat (2) merupakan bagian dari pengakuan

negara atas Hak Asasi Manusia (HAM) yang harus dihormati dan dijamin pelaksanaannya.

Jaminan yang diberikan negara terhadap Pasal 29 merupakan bentuk penegasan dari

pemerintah terhadap kebebasan beragama dalam memeluk agama dan menjalankan ibadah

menurut kepercayaan masing-masing warga negara.20

Menurut pengertian ini negara

berkewajiban untuk melindungi setiap warga negaranya terhadap pelanggran kebebasan

beragama. Prinsip ini sesuai dengan komentar Umum Deklarasi Hak Asasi Manusia

(DUHAM) menyatakan bahwa perwujudan HAM sepenuhnya kewajiban negara. Bahkan

negara berkewajiban mengambil segala langkah dan upaya untuk memerangi diskriminasi

berbasis agama.

Pemerintah menurut Pasal 29 ayat (2) secara eksplisit hanya diberikan tugas untuk

menjamin kebebasan beragama. Namun kata “menjamin” menurut kamus Besar Bahasa

Indonesia (KBBI) diartikan sebagai “menanggung dan memenuhi.” Pengertian ini dapat

dikatakan sama dengan kewajiban pemerintah menurut Deklarasi HAM bahwa dalam

18

Aries setiawan&SyahrulAnsyari,Pelanggaran Kebebasan Beragama Tinggi.http://life.viva.co.id/news/read/275815-2011--pelanggaran-kebebasan-beragama-tinggi, diakses 12 June 2012.

19http://www.tempointeractive.com/hg/nasional/2012/11/14/brk,20121114-441745,uk.html, diakses

5 January 2013. 20

Moh. Mahfud MD, Kebebasan Beragam Dalam Perspektif UUD, 11.

Page 10: Suatu Kajian Kebebasan Beragama Dalam Peraturan Bersama ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/6833/4/T1_712007054_BAB IV.pdf · warga negara untuk beribadat menurut agama atau

69

menjalankan kewajibannya sebagai representasi negara mengemban tiga tugas. Pertama,

pemerintah harus menghormati, kedua melindungi dan ketiga, pemerintah memenuhi hak

asasi manusia tersebut. Menurut penulis atas dasar kesesuaian prinsip tersebut pemerintah

dengan mudah meratifikasi ketentuan dalam UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi

Manusia dalam Pasal 71 yang berbunyi “Pemerintah wajib dan bertanggung jawab

menghormati, melindungi, menegakan, dan memajukan hak asasi manusia yang diatur dalam

Undang - undang ini, peraturan perundang- undangan lain, dan hukum internasional tentang

hak asasi manusia yang.diterima oleh negara Republik Indonesia.”21

Kebebasan beragama setiap individu untuk memeluk agamanya dan beribadat

menurut agamanya dijamin secara utuh dalam UUD 1945 Pasal 29 ayat (2). Tidak ada

pembedaan jaminan kebebasan antara keduanya. Dengan kata lain sifat jaminan kebebasan

yang diberikan pada kebebasan memeluk agama dan beribadat menurut agama sama. Hal ini

berbeda dengan jaminan kebebasan beragama menurut deklarasi HAM. Menurut perspektif

HAM kebebasan memeluk agama merupakan bagian dari kebebasan internal (forum

internum) yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan darurat nasional sekalipun. Sedangkan

kebebasan beribadat menurut agamanya merupakan bagian dari kebebasan eksternal (forum

eksternum) dalam hal ini pemerintah diberikan kewenangan untuk membatasi kebebasan

tersebut. Jaminan kebebasan beragama untuk memeluk agamanya dan beribadat menurut

agamanya dalam UUD 1945 Pasal 29 ayat (2) menurut Soepomo tidak boleh dibatasi. Karena

tidak ada perbedaan jaminan antara memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, maka

hal ini berlaku sama. Berdasarkan keterangan di atas penulis berpendapat pembatasan

kebebasan beragama baik itu memeluk agama ataupun beribadat menurut agama merupakan

pelanggaran kebebasan.

21

Stanley Adi Prasetyo, Pluralisme, 71.

Page 11: Suatu Kajian Kebebasan Beragama Dalam Peraturan Bersama ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/6833/4/T1_712007054_BAB IV.pdf · warga negara untuk beribadat menurut agama atau

70

Walaupun pembatasan dapat dilakukan pemerintah terhadap kebebasan eksternal

(forum eksternum), namun syarat ketentuan pembatasan tetap menjamin kebebasan

beragama. Berdasarkan komentar umum Komite HAM PBB nomor 22 terhadap Pasal 18,

Pemerintah hanya boleh melakukan pembatasan dengan alasan untuk menjaga ketertiban

umum (public order), kesehatan dan moral masyarakat (public health and morals) dan

kebebasan fundamental lainnya. Ketentuan selanjutnya adalah pembatasan tidak

diperbolehkan apabila peraturan tersebut mengintervensi kebebasan memanisfestasikan

agama atau keyakinan seseorang.22

Dan pembatasan terhadap manisfestasi agama seseorang

hanya diperbolehkan jika pembatasan tersebut tidak diskriminatif.

Rumusan Pasal 29 ayat (2) dengan rumusan Pasal 18 deklarasi HAM secara prinsip

sama. Siti Musdah Mulia juga menyatakan bahwa jaminan kebebasan beragama dalam Pasal

29 senafas dengan Pasal 18 deklarasi HAM. Menurut penulis hal yang membedakan adalah

Pasal 18 DUHAM memiliki operasional hukum untuk melaksanakan jaminan kebebasan

tersebut, sehingga memberikan kejelasan kebebasan apa yang dijamin secara penuh dan

kebebasan apa yang dapat dibatasi serta bagaimana membatasinya. Dengan adanya kejelasan

seperti ini, pembatasan tidak menjadi persoalan dalam jaminan kebebasan beragama.

Pasal 1 ayat (1) dan ayat (2) dalam Deklarasi Penghapusan intoleransi dan

diskriminasi berdasarkan agama dengan jelas melarang segala tindakan intoleransi dan

diskriminasi berdasarkan agama dan negara diberi tugas untuk mencegah serta memberikan

perlindungan bagi setiap orang yang mendapat perlakuan intoleransi dan diskriminasi

berdasarkan agama. Ketentuan ini secara eksplisit tidak ada diatur dalam Pasal 29 ayat (2).

Namun, para pendiri bangsa dalam perdebatannya menegaskan bahwa pokok pikiran UUD

yang disusun menerima aliran pengertian negara persatuan yang melindungi dan meliputi

segenap bangsa seluruhnya. Jadi negara mengatasi segala paham golongan dan segala paham

22

Manfred Nowak & Tanja Vospernik, Kebebasan beragama atau Bekeyakinan Seberapa Jauh, 210.

Page 12: Suatu Kajian Kebebasan Beragama Dalam Peraturan Bersama ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/6833/4/T1_712007054_BAB IV.pdf · warga negara untuk beribadat menurut agama atau

71

perseorangan. Negara berdaarkan pikiran ini adalah negara “persatuan” meliputi segenap

bangsa Indonesia seluruhnya tanpa ada perbedaan berdasarkan etnis, suku, golongan dan

agama. Pokok pikiran tersebut semakin dikuatkan dengan bersepaktanya para pendiri bangsa

untuk menghapuskan tujuh kata dalam sila pertama Pancasila. Dengan dihapusnya 7 kata

dalam sila pertama pancasila mengakibatkan hilangnya keistimewaan Islam. Hilangnya

keistimewaan Islam sebagai agama mayoritas menurut penulis adalah penegasan para pendiri

bangsa seluruh warga negara sama, setara kedudukannya dan derajatnya.

Dihapusnya ketujuh kata dalam sila pertama Pancasila (dengan kewajiban

menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya) menurut Yudi Latif adalah penolakan

ideologi Islam sebagai ideologi negara. Dengan demikian, negara kembali kepada gagasan

negara persatuan yang mengatasi paham perseorangan dan golongan. Menurut pemahaman

ini hubungan negara dan agama menjadi netral. Kenetralan negara atas agama secara tegas

ditekankan dalam deklarasi HAM tentang agama dan tentang penghapusan intoleransi dan

diskriminasi. Dalam menjalankan kewenangannya negara berkewajiban untuk tetap netral

dan tidak memihak23

IV.4. Kebebasan Beragama Menurut Perspektif PBM Ditinjau Dalam Kebebasan

Beragama Menurut UUD 1945 Pasal 29 ayat (2)

Peraturan Bersama Menteri bertujuan untuk mengatur kehidupan beragama. Konteks

kehidupan beragama di Indonesia yang majemuk membutuhkan pengaturan kehidupan

beragama. Hanya saja, dalam membuataturan hukum harus konsisten dengan amanat

Pancasila dan UUD 1945. Hukum tidak boleh mengistimewakan atau mendiskriminasi

kelompok tertentu berdasar besar atau kecilnya pemelukan agama.24

Oleh sebab itu,

pengaturan kehidupan beragama bertujuan untuk melindungi dan menjamin keamanan umat

23

Ibid., 357. 24

Ibid., 8.

Page 13: Suatu Kajian Kebebasan Beragama Dalam Peraturan Bersama ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/6833/4/T1_712007054_BAB IV.pdf · warga negara untuk beribadat menurut agama atau

72

beragama dari tindakan intimidasi dan diskriminasi jika warganya akan melaksanakan ajaran

agama. Tujuan di atas merupakan bagian dari prinsip kebebasan beragama.

Kebebasan Beragama yang dimaksud dalam UUD 1945 pasal 29 ayat (2)

sebagaimana telah diuraikan dalm Bab II menjadi perspektif untuk melihat apakah peraturan

Bersama Menteri menjamin kebebasan beragama dan tidak melanggar prinsip kebebasan

beragama. Untuk menguji apakah Peraturan Bersama Menteri tidak melanggar prinsip

kebebasan beragama dan bersifat diskriminatif atau tidak , ada dua hal pokok dalam

Peraturan Bersama Menteri yang akan dikaji menurut perspektif UUD 1945 Pasal 29 ayat (2).

Pertama, maksud dan tujuan pembentukan Peraturan Bersama Menteri. Kedua, dampak yang

ditimbulkan akibat Peraturan Bersama Menteri terhadap pendirian rumah ibadah.

Pertama, maksud dan tujuan peraturan Bersama Menteri dibentuk untuk mengontrol

dan mengatur pendirian rumah ibadah. Pengontrolan dan pengaturan pendirian rumah ibadah

sama dengan bentuk pembatasan pendirian rumah ibadah. Pembatasan pendirian rumah

ibadah secara tidak langsung merupakan pembatasan umat beragama untuk beribadah. Sebab

untuk beribadah umat beragama memerlukan rumah ibadah. Dengan demikian beribadah

tidak dapat dipisahkan dari rumah ibadah. Oleh sebab itu, pembatasan pendirian rumah

ibadah merupakan upaya penghambatan pemeluk agama untuk dapat beribadah menurut

agama atau kepercayaannya.

Dalam kaitannya tentang jaminan kebebasan beragama, UUD 1945 Pasal 29 ayat (2)

dengan tegas memberikan jaminan kebebasan beragama bagi setiap warga negara untuk

memeluk agama yang diyakininya dan beribadat menurut agama atau kepercayaannya. Ada

dua kebebasan beragama yang dijamin dalam pasal 29 ayat (2). Pertama, jaminan kebebasan

untuk memilih dan/atau memeluk agama atau kepercayaannya. Kedua, jaminan kebebasan

untuk beribadat menurut agama atau kepercayaannya.

Page 14: Suatu Kajian Kebebasan Beragama Dalam Peraturan Bersama ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/6833/4/T1_712007054_BAB IV.pdf · warga negara untuk beribadat menurut agama atau

73

Berdasarkan uraian di atas bahwa beribadah tidak dapat dipisahkan dari rumah ibadah,

maka pendirian rumah ibadah bagian dari kebebasan beribadah. Apabila negara menjamin

kebebasan warga negara untuk beribadah menurut agama atau kepercayaannya, maka negara

juga harus menjamin kebebasan warga negara untuk membangun rumah ibadahnya. Menurut

hemat penulis pembatasan pendirian rumah ibadah mengakibatkan terhambatnya pemeluk

agama untuk beribadah. Selain menghambat pemeluk agama untuk beribadah, pembatasan

pendirian rumah ibadah adalah upaya menghalang-halangi pemeluk agama untuk beribadah

menurut agamanya. Dengan terhambat dan terhalang-halanginya umat beragama untuk

beribadah, maka pada saat itu umat beragama kehilangan kebebasan beragamanya dalam

beribadah. Hilangnya kebebasan umat beragama untuk beribadah sama dengan hilangnya

jaminan kebebasan warga negara untuk beribadah menurut agama atau kepercayaannya. Jadi

pembatasan pendirian rumah ibadah merupakan pelanggran terhadap jaminan kebebasan

beragama.

Hilangnya jaminan kebebasan warga negara untuk beribadah menurut agama atau

kepercayaannya menurut penulis merupakan pengingkaran terhadap semangat para pendiri

bangsa pada saat merumuskan UUD 1945 pasal 29 ayat (1) dan (2). Menurut Moh. Yamin

rumusan Undang-undang ini merupakan jaminan hak rakyat sebagai manusia merdeka.

Pernyataanya Yamin ditegaskan pula oleh Soepomo sebagai panitia perancang UUD 1945

dengan menyatakan bahwa negara berdasarkan pada ke-Tuhanan dan dasar kemanusiaan, atas

dasar ini negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama apapun

dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya masing-masing. Pengakuan dasar

kemanusiaan yang kemudian dijamin kemerdekaannya oleh para pendiri bangsa tidak hanya

pada jaminan untuk memeluk agamanya, tetapi juga jaminan untuk beribadat menurut

agamanya. Jadi dengan hilangannya jaminan kebebasan untuk beribadah menurut agamanya,

maka hilang pula pengakuan dasar kemanusiaan warga negara.

Page 15: Suatu Kajian Kebebasan Beragama Dalam Peraturan Bersama ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/6833/4/T1_712007054_BAB IV.pdf · warga negara untuk beribadat menurut agama atau

74

Tafsiran Moh Mahfud MD terhadap pasal 29 tidak jauh berbeda dengan semangat

para pendiri bangsa dalam merumuskan pasal ini. MenurutMoh. Mahfud MD pasal 29 ayat

(2) merupakan pengakuan agama sebagai hak asasi manusia. Pasal itu juga menegaskan soal

tugas negara untuk memberikan perlindungan terhadap kebebasan beragama dalam memeluk

agama dan menjalankan ibadah menurut kepercayaan masing-masing warga negara.25

Berdasarkan uraian di atas negara tidak berhenti pada pengakuan agama sebagai hak asasi

manusia. Konsekuensi dari itu, negara bertanggungjawab untuk memberikan perlindungan

kepada warga negara apabila kebebasan beragama tersebut dirampas/hilang berupa

pembatasan atau penghalang-halangan warga negara dalam memeluk agama atau beribadah

menurut agama atau kepercayaanya.

Berdasarkanpemahaman di atas penulis berpendapat ketidak-mampuannegara

memberikan perlindungan bagi warga negara yang hak kebebasan beragamanya dirampas

oleh kelompok intoleran adalah kegagalan negara melaksanakan amanat konstitusi yang juga

merupakan amanat para pendiri bangsa. Namun, apabila justru yang

merampas/menghilangkan jaminan kebebasan beragama dari warga negara adalah

pemerintah, maka pemerintah telah mengkhianati konstitusi negara ini dan sekaligus para

pendiri bangsa. Jadi pembatasan pendirian rumah ibadah yang dilakukan pemerintah melalui

Peraturan Bersama Menteri merupakan pengkhianatan pemerintah terhadap konstitusi negara

dan para pendiri bangsa.

Kedua,untuk kajiandampak-dampak pengaturan pendirian rumah ibadah dalam PBM

terhadap jaminan kebebasan beragama menurut perspektif UUD 1945 Pasal 29 ayat (2) akan

menjadikan ketentuan keperluaan nyata menjadi pokok pembahasaan. Menurut ketentuan

dalam Peraturan Bersama Menteri pendirian rumah ibadah berdasarkan pada keperluan nyata

dan sungguh-sungguh. Keperluan nyata disini adalah rumah ibadah yang hendak dibangun

25

Ibid.,9.

Page 16: Suatu Kajian Kebebasan Beragama Dalam Peraturan Bersama ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/6833/4/T1_712007054_BAB IV.pdf · warga negara untuk beribadat menurut agama atau

75

digunakan minimal oleh 90 orang dan mendapat dukungan masyarakat sekitar minimal 60

orang. Menurut Weinata Sairin ketentuan minimal 90 orang pengguna rumah ibadah

menunjukan Peraturan Bersama ini lebih mementingkan kuantitas/jumlah pengguna rumah

ibadah, dan ini jelas lebih menguntungkan kelompok mayoritas agama di mana pun berada di

seluruh wilayah Indonesia.

Tidak jauh berbeda dengan uraian di atas, Setara Institut juga menilai ketentuan

minimal 90 orang pengguna/umat untuk mendirikan rumah ibadah merupakan produk hukum

untuk membatasi kelompok lain dalam hal ini kelompok minoritas. Sebab pengaturan ini

tidak menjadi masalah bagi pemeluk agama mayoritas sedangkan merugikan bagi pemeluk

agama minoritas. Dengan memperhatikan keterangan di atas menurut penulis ketentuan ini

telah merampas jaminan kebebasan beragama pemeluk agama minoritas. Tidak hanya itu,

ketentuan ini menciptakan ketidak setaraan warga negara dalam beragama atau berkeyakinan.

Tidak hanya ketentuan pengguna rumah ibadah 90 orang yang menjadi kesulitan

agama minoritas. Ketentuan pendirian rumah ibadah yang harus mendapat dukungan

masyarakat sekitar minimal 60 orang juga sulit dipenuhi oleh agama minoritas. Apalagi

menurut hasil penelitian lembaga studi Center of Strategic and International Studies (CSIS)

menunjukkan mayoritas penduduk negeri ini masih belum dapat menerima adanya rumah

ibadah pemeluk agama lain berdiri di daerahnya. Sebanyak 68.2% masyarakat tidak suka ada

rumah ibadah agama lain di lingkungannya dan hanya 22.1% masyarakat yang tidak

keberatan. Berdasarkan fakta di atas, maka ketentuan ini dapat digunakan kelompok intoleran

dari agama mayoritas untuk membenarkan tindakannya dengan tidak memberikan ijin

pendirian rumah ibadah.Dalam situasi ini kelompok intoleran telah merampas jaminan

kebebasan beragama dari pemeluk agama minoritas.

Page 17: Suatu Kajian Kebebasan Beragama Dalam Peraturan Bersama ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/6833/4/T1_712007054_BAB IV.pdf · warga negara untuk beribadat menurut agama atau

76

Urian di atas mendeskripsikan pengaturan pendirian rumah ibadah yang berdasarkan

keperluaan nyata dan sungguh-sungguh yaitu pengguna rumah ibadah minimal 90 orang dan

mendapat dukungan masyarakat sekitar minimal 60 orang merupakan pengaturan yang

memberikan keistimewaan bagi agama mayoritas. Keistimewaan tersebut digunakan untuk

merampas kebebasan beragama pemeluk agama minoritas. Sedangkan jaminan kebebasan

beragam menurut UUD 1945 pasal 29 ayat (2) menurut penulis tidak memberikan ruang

kepada siapa pun melakukan pembatasan kebebasan beragama apalagi sampai pada tindakan

perampasan kebebasan beragama.

Hal ini sesuai dengan tanggapan Soepomo sebagai panitia perancang UUD 1945 pada

saat peserta rapat memperdebatkan jaminan kebebasan beragama dalam pasal 29. Soepomo

dengan tegas memberikan penjelasan bahwa Pasal 29 ayat 2 merupakan penegasan bahwa

negara menjamin kemerdekaan penduduk untuk memeluk agamanya dan beribadat menurut

agamanya. Selanjutnya Soepomo menegaskan pasal ini tidak memberikan peluang terhadap

pembasatan kebebasan beragama.Walaupun pasal ini awalnya hasil kompromis, namun

kompromi sekali-kali bukan bermaksud untuk membatasi kemerdekaan penduduk untuk

beragama. Jadi pengaturan kebebasan beragama yang bersifat pembasatan berdampak pada

terampasanya jaminan kebebasan beragama warga negara tidak sesuai dengan semangat

UUD 1945 pasal 29 ayat (2).

Jaminan kebebasan untuk memeluk agamanya dan beribadat menurut agamanya atau

kepercayaannya berlaku untuk setiap warga negara. Hal ini merupakan dasar dan cita-cita

bersama pendiri bangsa pada saat merancang UUD 1945. Menurut Soepomo dasar-dasar

pokok pikiran dan cita-cita itu adalah menerima aliran pengertian negara persatuan yang

melindungi dan meliputi segenap bangsa seluruhnya. Jadi negara mengatasi segala paham

golongan dan segala paham perseorangan. Negara menurut paham ini adalah negara

“persatuan” meliputi segenap bangsa Indonesia seluruhnya.

Page 18: Suatu Kajian Kebebasan Beragama Dalam Peraturan Bersama ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/6833/4/T1_712007054_BAB IV.pdf · warga negara untuk beribadat menurut agama atau

77

Menurut penulis berdasarkan uraian di atas negara menjadikan dan sekaligus

menjamin setiap warga negara dengan latar belakang suku, agama dan golongnnya

mempunyai hak, kewajiban dan kesempatan yang sama.Dalam perspektif demikian, maka

pengaturan pengguna rumah minimal 90 orang yang hanya mengakibatkan sulitnya pemeluk

agama minoritas mendirikan rumah ibadah bertentangan dengan semangat pokok-pokok

pikiran para pendiri bangsa ini. Sebab, walaupun pengaturan ini berlaku untuk semua warga

negara, namun sifat pengaturan ini cenderung hanya untuk mempersulit atau membatasi

kebebasan beragama dari agama minoritas. Dapatlah dikatakan pengaturan ini bersifat

diskriminatif bagi pemeluk agama minoritas. Dan hal ini tidak sesuai dengan pokok-pokok

pikiran dan cita-cita para pendiri bangasa.

Setelah syarat keperluan nyata di atas terpenuhi ijin mendirikan rumah ibadah belum

dapat dikeluarkan apabila belum mendapat rekomendasi dari FKUB setempat dalam tingkat

kabupaten/ kota atau provinsi. Keanggotaan FKUB berdasarkan representatif jumlah

perbandingan pemeluk agama setempat. Tentu saja perwakilan agama mayoritas akan lebih

banyak dari perwakilan agama minoritas. Dalam situasi seperti ini tidaklah sulit bagi agama

mayoritas untuk mendapatkan rekomendasi, namun menyulitkan bagi agama minoritas. Salah

satu hasil inventalisir permasalahan pemberdayaan FKUB yang dilakukan Prof. Dr. HM.

Atho. Mudzharmenemukan justru FKUB yang mempersulit ijin pendirian rumah ibadah.

Dari urian di atas penulis berpendapat bahwa ketentuan rekomendasi masyarakat

sekitar minimal 60 orang dan rekomendasi FKUB pada prinsip sama yaitu pemberian hak

istimewa bagi agama mayoritas. Hak istimewa tersebut ialah agama mayoritas diberikan

kewenangan untuk menentukan apakah agama minoritas bisa beribadah di rumah ibadahnya

atau tidak. Pemberian hak istimewa bagi agama mayoritas merupakan tindakan diskriminatif

bagi agama minoritas. Dan hal ini berbenturan dengan semangat para pendiri bangsa saat

merumusakan dasar negara dan UUUD 1945. Sebab sepakatnya para pendiri bangsa untuk

Page 19: Suatu Kajian Kebebasan Beragama Dalam Peraturan Bersama ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/6833/4/T1_712007054_BAB IV.pdf · warga negara untuk beribadat menurut agama atau

78

menghapuskan tujuh kata “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-

pemeluknya”, merupakan kesepakatan para pendiri bangsa untuk menghilangkan

keistimewaan satu kelompok atau golongan yang dalam hal ini adalah agama Islam.

Pemberian hak istimewa diberikan karena agama Islam adalah agama mayoritas.

Kesepakatan menghilangkan keistimewaan Islam berarti kesepakatan untuk

menjadikan semua warga negara sama, punya hak dan kewajiban yang sama, tidak ada

kelompok, golongan atau agama yang lebih tinggi dan tidak ada kelompok, golongan atau

agama yang lebih rendah. Penghapusan ke-tujuh kata tersebut bukan hanya menghilangkan

keistimewan Islam, namun penegasan para pendiri bangsa bahwa setiap warga negara bebas

memeluk agamanya dan beribadat sesuai dengan agamanya. Hal ini sekaligus penegasan para

pendiri bangsa bahwa tidak boleh ada pembatasan bagi setiap warga negara untuk

menjalankan ajaran agamanya dan beribadat menurut agama atau kepercayaannya. Dengan

prinsip seperti ini, maka tidak boleh ada tindakan intimidasi dan diskriminasi dari satu

kelompok pada kelompok lainnya.

Hasil kajian pengaturan kebebasan beragama dalam Peraturan Bersama Menteri

memperlihatkan bahwa pengaturan ini bersifat membatasi dan mengontrol pendirian rumah

ibadah. Pembatasan dan pengontrolan rumah ibadah mengakibatkan terhambat dan terhalang-

halanginya umat untuk beragama menurut agamanya. Dan pada situasi tersebut warga negara

telah kehilangan jaminan kebebasan beribadah menurut agamanya yang telah berikan negara

melalui UUD 1945 pasal 29 ayat (2). Berdasarkan hal ini penulis berpendapat bahwa

pengaturan kebebasan beragama dalam Peraturan Bersama menteri bertentangan dengan

prinsip jaminan kebebasan beragama dalam UUD 1945 Pasal 29 ayat (2). Dengan demikian

dibuatnya Peraturan Bersama Menteri oleh pemerintah adalah bukti pemerintah tidak

konsisten memberikan jaminan kebebasan beragama bagi warga negaranya.

Page 20: Suatu Kajian Kebebasan Beragama Dalam Peraturan Bersama ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/6833/4/T1_712007054_BAB IV.pdf · warga negara untuk beribadat menurut agama atau

79

IV.5. Kebebasan Beragama Menurut Peraturan Bersama Menteri Ditinjau Menurut

Perspekitf Kebebasan Beragama Deklarasi HAM

Penutupan dan pengruskan rumah ibadah khususnya gereja di Indonesia dalam kondisi

yang sangat memprihatinkan. Tercatat dalam kurun waktu 2004-2010 sebanyak 2.442 gereja

mengalami ganguan berupa penutupan dan pengruskan.26

Data ini tidaklah mengejutkan

apabila mengacu pada hasil penelitian lembaga studi Center of Strategic and International

Studies (CSIS) menunjukkan toleransi beragama terhadap pembangunan rumah ibadah sangat

rendah. Hasil survey menunjukan sebanyak 68.2% masyakat tidak suka ada rumah ibadah

agama lain dilingkungannya dan hanya 22.1% masyarakat yang tidak keberatan. Hal yang

paling sangat disesalkan adalah pemerintah justru memfasilitasi masyarakat untuk

mengekspresikan sikap intoleran tersebut melalui Peraturan Bersama Menteri tentang

pendirian rumah ibadah.

Pemerintah mengkleim pendirian rumah ibadah merupakan bagian dari ekspresi

keagamaan (manifestasi agama) yang dapat dibatasi. Jaminan kebebasan beragama menurut

perspektif HAM juga memberikan pembatasan terhadap manifestasi agama. Pembatasan

manifestasi agama dalam perspektif HAM tidak boleh mengakibatkan pengurangan

penikmatan jaminan kebebasan beragama. Sedangkan dalam uraian di atas terlihat

pembatasan pendirian rumah ibadah dalam Peraturan Bersama Menteri justru mengakibatkan

pengurangan penikmatan jaminan kebebasan beragama. Melihat kenyataan ini menimbulkan

pertanyaan, apakah pembatasan manifestasi agama (pendirian rumah ibadah) sesuai dengan

prinsip pembatasan manifestasi agama dalam jaminan kebebasan beragama menurut

perspektif HAM.

26

http://www.jawaban.com/index.php/news/detail/id/90/news/120904152456/limit/0/Daftar-Gereja-Yang-Dirusak-dan-Ditutup. Diakses 9 February 2013.

Page 21: Suatu Kajian Kebebasan Beragama Dalam Peraturan Bersama ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/6833/4/T1_712007054_BAB IV.pdf · warga negara untuk beribadat menurut agama atau

80

Berdasarkan urian dalam bab sebelumnya telah dijelaskan bahwa maksud pemerintah

melakukan pengaturan pendirian rumah ibadah dalam PBM untuk menjaga ketertiban umum.

Tujuan ini bersesuain dengan komentar umum pasal 18 paragraf 8 yang menyatakan

pemabatasan terhadap kebebasan eksternal harus didasarkan pada alasan untuk menjaga

ketertiban umum. Ketertiban publik yang dimaksud menurut perspektif HAM adalah

pencegahan kekacauan publik.27

Berdasarkan pengertian ini penulis berpendapat bahwa

pemerintah menganggap kehadiran rumah ibadah dapat membawa kekacauan dalam

masyarakat.

Pembatasan manifestasi agama yang bertujuan untuk menjaga keamanan publik tidak

diperbolehkan kalau peraturan tersebut mengintervensi kebebasan untuk memanifestasikan

agama atau keyakinan seseorang. Sedangkan pembatasan dalam PBM telah mengakibatkan

terhambat atau terhalang-halanginya umat untuk beribadah menurut agamanya. Terhambat

dan terhalanginya umat untuk beribadah jelas merupakan tindakan intervensi terhadap

kebebasan beribadah menurut agamanya. Dampak intervensi terhadap kebebasan beribadah

di atas mengakibatkan pengurangan atau bahkan hilangnya jaminan kebebasan beragama.

Sebab dalam Pasal 29 ayat (3) deklarasi HAM pembatasan tidak boleh mengurangi jaminan

kebebasan beragama yang telah diberikan.28

Mengacu pada deklarasi penghapusan intoleransi dan diskriminasi berdasarkan agama,

pembatasan tidak boleh mengakibatkan terjadinya intoleransi dan diskriminasi berdasarkan

agama.29

Komentar Umum komite HAM PBB juga menyatakan pembatasan tidak boleh

dikenakan untuk tujuan diskriminatif atau dilaksanakan dengan cara-cara diskriminatif.

Secara umum perbuatan tidak toleran dan diskriminasi berbasis agama atau keyakinan

memiliki pengertian berikut “setiap pembedaan, penyampingan, pelarangan atau

27

Manfred Nowak & Tanja Vospernik, Kebebasan Berkeyakinan , 209. 28

Ibid., 210. 29

Ibid., 230.

Page 22: Suatu Kajian Kebebasan Beragama Dalam Peraturan Bersama ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/6833/4/T1_712007054_BAB IV.pdf · warga negara untuk beribadat menurut agama atau

81

pengutamaan berbasis agama atau keyakinan yang tujuan atau akibatnya penghilangan atau

pengurangan pengakuan, penikmatan atau pelaksanaan hak asasi manusia dan kebebasan

dasar berdasarkan kesetaraan.” Pembatasan yang bersifat intoleransi dan diskriminasi

merupakan pelanggaran kebebasan beragama.30

Secara eksplisit pengaturan pendirian rumah ibadah dalam PBM tidak ada ketentuan

yang bersifat intoleran dan diskriminasi terhadap satu agama tertentu. Namun ketentuan

pendirian rumah ibadah yang harus mendapat dukungan masyarakat sekitar terbukti dijadikan

pembenaran sikap intoleransi berdasarkan agama. Sikap intoleransi berdasarkan agama

tersebut dapat dilihat dari sikap masyarakat yang menolak pendirian rumah ibadah agama lain

dilingkungannya. Bahkan masyarakat intoleran ini tidak segan merampas jaminan kebebasan

beragama pemeluk agama tertentu dengan melakukan penutupan bahkan perusakan rumah

ibadah dengan dalih tindakan mereka didasarkan peraturan yang ada dalam PBM. Jadi

walaupun secara jelas tidak ada ketentuan yng bersifat intoleransi dan diskriminasi dalam

PBM, namun tidak dapat dipungkiri dalam penerapannya PBM telah memicu sekaligus

memfasilitasi sikap intoleransi dan diskriminasi dalam masyarakat.

Menurut Pasal 18 ayat (3) Konvenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik

dan Pasal 9 ayat (2) Konvensi Eropa bagi Perlindungan Hak Asasi dan Kebebasan

Fundamental Manusia, pembatasan terhadap kebebasan untuk memanifestasikan agama atau

keyakinan hanya dibenarkan apabila ditentukan oleh Undang-undang.31

Namun pemerintah

melakukan pembatasan terhadap manifestasi agama dengan Peraturan Bersama Menteri.

Peraturan Bersama Menteri menurut UU No. 12 Tahun 2011tentang Peraturan Perundang-

undangan Republik Indonesiamerupakan bagian dari perundang-undangan. Timbul

30

Ibid., 212. 31

Kebebasan beragama, 206.

Page 23: Suatu Kajian Kebebasan Beragama Dalam Peraturan Bersama ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/6833/4/T1_712007054_BAB IV.pdf · warga negara untuk beribadat menurut agama atau

82

pertanyaan dari sini, mengapa pemerintah melakukan pembatasan terhadap manifestasi

agama bukan dengan Undang-undang melainkan Peraturan Bersama Menteri?

Pembentukan Peraturan Bersama Menteri belum memiliki peraturan yang mengatur

bagimana proses, prosedur dan tata cara pembentukannya. Peraturan Bersama Menteri

dibentuk hanya berdasarkan pada kebiasaan. Menurut kebiasaannya, untuk menyususn

Peraturan Bersama Menteri dibentuk tim antar departemen kementerian yang bekerjasama

untuk merumuskan. Dan sesudahnya masing-masing menteri bertanda tangan.32

Dengan

memperhatikan seluruh proses di atas, untuk membuat Peraturan Bersama Menteri

mekanismenya tidaklah rumit karena tanpa harus melibatkan DPR. Penulis menduga

kemudahan untuk membentuk Peraturan Bersama Menteri inilah yang menjadi pertimbangan

mengapa pembatasan manifestasi agama dalam hal ini pendirian rumah ibadah dilakukan

dengan Peraturan Bersama Menteri.Namun yang harus ditegaskan adalah penggunaan PBM

untuk membatasi menifestasi agama telah melanggar ketentuan yang diatur dalam deklarasi

HAM tentang jaminan kebebasan beragama. Peraturan Bersama Menteri telah mengatur

sesuatu hal diluar kewenangnnya.

Menurut perspektif HAM dalam melaksanakan tugasnya pemerintah tidak boleh

mencampuri atau mengintervensi kebebasan beragama. Namun pemerintah diberikan

wewenang untuk membatasi kebebasan memanifestasikan agama. Peraturan Bersama

Menteri No. 9 dan 8 Tahun 2006 adalah bentuk campur tangan pemerintah terhadap

kebebasan beragama. Peraturan Bersama Menteri ini mengatur mekanisme pendirian rumah

ibadah. Sedangkan beribadah tidak dapat dipisahkan dari rumah ibadah. Sedangkan

pengaturan dalam PBM menyebabkan terampasnya jaminan kebebasan pemeluk agama untuk

beribadat menurut agamanya.

32

Ibid., 91-92.

Page 24: Suatu Kajian Kebebasan Beragama Dalam Peraturan Bersama ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/6833/4/T1_712007054_BAB IV.pdf · warga negara untuk beribadat menurut agama atau

83

Apabila memperhatikan pengaturan dalam PBM tidak ada pelarangan beribadah

terhadap satu kelompok agama tertentu. Pengaturan dalam PBM berlaku untuk semua agama

tanpa ada perbedaan. Dalam hal ini PBM jelas tidak melanggar prinsip kebebasan beragama.

Karena Indonesia telah meratifikasi kebebasan beragama menurut HAM, maka pembatasan

terhadap manifestasi agama tidaklah bertentangan dengan jaminan kebebasan beragama.

Namun yang menjadi pertanyaan adalah, mengapa banyak rumah ibadah yang tidak

diperbolehkan dibangun? Dan mengapa banyak rumah ibadah yang ditutup bahkan

dirusakan? Dan seluruh tindakan tersebut didasarkan pada Peraturan Bersama Menteri.

Menurut penulis justru disitulah keunggulan Peraturan Bersama Menteri ini semua

terlihat normal dan tidak ada yang salah. Namun pada waktu ketentuan ini diterapkan baru

dampaknya akan terlihat. Akan ada pelarangan pendirian rumah ibadah, penutupan bahkan

pengrusakan. Semua tindakan tersebut didasari Peraturan Bersama Menteri. Walaupun

seluruh tindakan tersebut didasari Peraturan yang dibuat pemerintah, namun yang melakukan

perampasan jaminan kebebasan beragama bukan pemerintah melainkan masyarakat.

Dalam situasi seperti di atas tidak tahu siapa yang harus bertanggungjawab terhadap

tindakan perampasan jaminan kebebasan beragama tersebut. Kelompok masyarakat intoleran

tidak dapat dipersalahkan karena tindakannya didasarkan pada sebuah peraturan yang di buat

pemerintah. Pemerintah tidak dapat sepenuhnya dikatakan gagal memberikan jaminan

kebebasan beragama, sebab pemilik rumuh ibadah juga salah melanggar ketentuan yang

sudah di atur. Dengan memperhatikan seluruh urian tersebut penulis berpendapat, ketidak

mampuan pemerintah untuk bersikap netral terhadap desakan masyoritas kemudian

mengambil jalan keluar dengan membuat PBM. PBM memfasilitasi kelompok intoleran yang

merasa punya hak lebih mengekspresikan tindakannya. Mekaniksme PBM yang ada ditangan

masyarakat menjadikan pemerintah tidak dapat disalahkan.