150
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user STUDI KOMPARASI KEWENANGAN KELEMBAGAAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA DAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK AFRIKA SELATAN Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Derajat Sarjana S1 dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta Oleh MUJIONO HAFIDH PRASETYO NIM. E0005207 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2012 i

digilib.uns.ac.id/Studi... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user STUDI KOMPARASI KEWENANGAN KELEMBAGAAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA DAN MAHKAMAH KONSTITUSI

  • Upload
    doandan

  • View
    221

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: digilib.uns.ac.id/Studi... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user STUDI KOMPARASI KEWENANGAN KELEMBAGAAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA DAN MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

STUDI KOMPARASI KEWENANGAN KELEMBAGAAN MAHKAMAH

KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA DAN MAHKAMAH KONSTITUSI

REPUBLIK AFRIKA SELATAN

Penulisan Hukum

(Skripsi)

Disusun dan Diajukan untuk

Melengkapi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Derajat Sarjana S1

dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

Oleh

MUJIONO HAFIDH PRASETYO

NIM. E0005207

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

2012

i

Page 2: digilib.uns.ac.id/Studi... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user STUDI KOMPARASI KEWENANGAN KELEMBAGAAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA DAN MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Dengan menyebut nama allah yang maha pengasih lagi maha penyayang

ii

Page 3: digilib.uns.ac.id/Studi... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user STUDI KOMPARASI KEWENANGAN KELEMBAGAAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA DAN MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

PERSETUJUAN PEMBIMBING

Penulisan Hukum (Skripsi)

STUDI KOMPARASI KEWENANGAN KELEMBAGAAN MAHKAMAH

KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA DAN MAHKAMAH KONSTITUSI

REPUBLIK AFRIKA SELATAN

Oleh

Mujiono Hafidh Prasetyo

NIM. E0005207

Disetujui untuk dipertahankan di hadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum (Skripsi)

Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

Surakarta, Juni 2012

Pembimbing Utama Co. Pembimbing

Aminah, S.H., M.H. Sunny Ummul Firdaus, S.H., M.H.

NIP. 19510513 198103 2 001 NIP. 19700621 200604 2 001

iii

Page 4: digilib.uns.ac.id/Studi... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user STUDI KOMPARASI KEWENANGAN KELEMBAGAAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA DAN MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

PENGESAHAN PENGUJI

Penulisan Hukum (Skripsi)

STUDI KOMPARASI KEWENANGAN KELEMBAGAAN MAHKAMAH

KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA DAN MAHKAMAH KONSTITUSI

REPUBLIK AFRIKA SELATAN

Oleh

Mujiono Hafidh Prasetyo

NIM. E0005207

Telah diterima dan dipertahankan di hadapan

Dewan Penguji Penulisan Hukum (Skripsi)

Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

Pada :

Hari :................................

Tanggal :................................

DEWAN PENGUJI

1 :.........................................................

Ketua

2 :.........................................................

Sekretaris

3 :........................................................

Anggota

Mengetahui

Dekan,

Prof. Dr. Hartiwiningsih, S.H., M.Hum.

NIP. 19570203 198503 2 001

iv

Page 5: digilib.uns.ac.id/Studi... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user STUDI KOMPARASI KEWENANGAN KELEMBAGAAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA DAN MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

PERNYATAAN

Nama : Mujiono Hafidh Prasetyo

NIM : E0005207

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum (skripsi) berjudul : STUDI

KOMPARASI KEWENANGAN KELEMBAGAAN MAHKAMAH KONSTITUSI

REPUBLIK INDONESIA DAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK AFRIKA

SELATAN adalah betul-betul karya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya dalam penulisan

hukum (skripsi) ini diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka. Apabila di

kemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi

akademik berupa pencabutan penulisan hukum (skripsi) dan gelar yang saya peroleh dari

penulisan hukum (skripsi) ini.

Surakarta, Juni 2012

Yang membuat pernyataan

Mujiono Hafidh Prasetyo

NIM. E0005207

v

Page 6: digilib.uns.ac.id/Studi... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user STUDI KOMPARASI KEWENANGAN KELEMBAGAAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA DAN MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

MOTTO

Orang yang paling sukses adalah orang yang paling sering gagal, dan ia mau terus berusaha

hingga ia dapatkan kesuksesan yang sesungguhnya. . .

Hal yang paling harus kita takuti di dunia ini adalah ketakutan itu sendiri. . .

Apabila kita mencoba mungkin kita akan gagal, namun apabila kita tidak mencoba maka kita

pasti gagal. . .

Tidak ada orang sukses yang tidak pernah gagal. . .

Hal yang besar selalu diawali dari hal yang kecil, dan dilakukan mulai sekarang. . .

(History of A Writer)

vi

Page 7: digilib.uns.ac.id/Studi... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user STUDI KOMPARASI KEWENANGAN KELEMBAGAAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA DAN MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

PERSEMBAHAN

Didalam ketidaksempurnaan, kupersembahkan skripsiku ini :

Untuk Tuhanku “Allah SWT”

Untuk Rasulku “Muhammad SAW”

Untuk mereka yang selalu mendidikku, membimbingku, menuntunku, dan mendoakanku yang

tak bisa kubalas jasanya, “Ibu dan Bapak” yang tercinta, kakak-kakak terbaikku Yahmi,

Sulardi, dan adik-adikku tersayang, Sri Waluya, Suparman

Untuk Ibu angkatku yang selalu mendidikku, membimbingku, menuntunku, mendoakanku,

setia dalam suka dan duka serta selalu setia menanti skripsi ini tercipta

Untuk keluarga besar penulis yang telah menjadi motivator dan inspirasi bagi penulis untuk

selalu optimis dan percaya diri

Untuk teman-teman FH UNS Angkatan 2005

vii

Page 8: digilib.uns.ac.id/Studi... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user STUDI KOMPARASI KEWENANGAN KELEMBAGAAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA DAN MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

ABSTRAK

Mujiono Hafidh Prasetyo, 2012, “STUDI KOMPARASI KEWENANGAN

KELEMBAGAAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA DAN

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK AFRIKA SELATAN”. Fakultas Hukum

Universitas Sebelas Maret.

Penulisan Hukum ini mengkaji dan menjawab permasalahan mengenai Bagaimana

Persamaan dan Perbedaan Kewenangan Kelembagaan Mahkamah Konstitusi Republik

Indonesia dan Mahkamah Konstitusi Republik Afrika Selatan.

Penelitian ini termasuk jenis penelitian hukum normatif yang bersifat deskriptif. Jenis

data yang digunakan adalah data sekunder yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum

sekunder, dan bahan hukum tersier. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah studi

dokumen dengan teknik analisis isi.

Berdasarkan penelitian ini diperoleh hasil bahwa pada dasarnya,

Kata Kunci : Kewenangan, Mahkamah Konstitusi, Indonesia, Afrika Selatan

viii

Page 9: digilib.uns.ac.id/Studi... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user STUDI KOMPARASI KEWENANGAN KELEMBAGAAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA DAN MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

ABSTRACT

Mujiono Hafidh Prasetyo, 2012, “COMPARATIVE STUDY OF

INSTITUTIONALITY AUTHORITY OF CONSTITUTIONAL COURT OF

REPUBLIC OF INDONESIA AND CONSTITUTONAL COURT OF REPUBLIC OF

SOUTH AFRICA”. Faculty of Law, Sebelas Maret University.

Legal Writing this review and answer the problem of How the Equivalence and the

Difference of Institutionality Authority of Constitutional Court of Republic of Indonesia and

Constitutonal Court of Republic of South Africa

This research study is a descriptive normative law. Type of data used are secondary

data covering primary legal materials, secondary legal materials and tertiary legal materials.

Data collection techniques used is the study of documents with the technique of content

analysis.

Based on this study showed that basically,

Keywords : Authority, Constitutional Court, Indonesia, South Africa

Page 10: digilib.uns.ac.id/Studi... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user STUDI KOMPARASI KEWENANGAN KELEMBAGAAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA DAN MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

ABSTRACT

Mujiono Hafidh Prasetyo, 2012, “COMPARATIVE STUDY OF INSTITUTIONAL

AUTHORITY OF INSTITUTIONAL OF REPUBLIC OF INDONESIA AND

CONSTITUTIONAL COURT OF REPUBLIC OF SOUTH AFRICA”. Faculty of Law,

Sebelas Maret University.

Legal writing this review and answer the problem of How to know the Equivalence and the

Difference of Institutionality Authority of Constitutional Court of Republic of Indonesia and

Constitutional Court of Republic of South Africa.

This research study is a descriptive normative law. The type of data used are secondary data

covering primary legal materials, secondary legal materials and tertiary legal materials. Data

collection techniques used is the study of document with the technique of content analysis.

Based on this study showed that basically, institutional authority of Constitutional Court of

Republic of South Africa mentioned live in its constitution (Constitution of The Republic of

South Africa Number 108 of 1996), the same as Institutional Authority of Constitutional

Court of Republic of Indonesia gived and mentioned live in Constitution of Republic of

Indonesia 1945. Constitutional Court is the highest judicial justify constitutional problem

both Constitutional Court of Republic of Indonesia and Constitutional Court of Republic of

South Africa, Constitutional Court had authority to justify constitutional complaint and

problems about justify at othel judicial level upon constitutional complaint.

Social needed of Indonesia people about constitutional complaint is urgent and must be held

as an effort to protect constitutional right of Indonesian people itself. The application of a

concept without adaptation of new system to original system will make disorder the original

system that has been used in Indonesia law system. The effort to protect Constitutional rights

of Indonesia people in life and freedom of religiom must be selected carefully. Government

has a duty to protect the society form deviate conviction that indicated can destroy the peace

of society or hurt the other religion. For that case, constitutional complaint can’t be used as

mechanism to protect the deviate conviction for the reason to protect the life and freedom of

religion. The mechanism of constitutional complaint as an authority of Comstitutional Court

first must held the socialozation to all Indonesian people in order to the closeness between

Indonesia people and Constitution of Indonesia.

Keywords: Comparative Study, Authority, Constitutional Court, Repiblic of Indonesia,

Republic of South Africa

ix

Page 11: digilib.uns.ac.id/Studi... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user STUDI KOMPARASI KEWENANGAN KELEMBAGAAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA DAN MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmaanirrahiim

Syukur Alhamdulillah atas kehadirat Allah SWT karena hanya dengan berkah,

rahmat, karunia, dan ridho-Nya, sehingga akhirnya Penulis dapat menyelesaikan penulisan

hukum dengan judul “STUDI KOMPARASI KEWENANGAN KELEMBAGAAN

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA DAN MAHKAMAH

KONSTITUSI REPUBLIK AFRIKA SELATAN” dengan baik dan lancar.

Penulisan hukum ini dapat diajukan untuk melengkapi tugas-tugas serta memenuhi

salah satu persyaratan guna memperoleh gelar sarjana di Fakultas Hukum Universitas Sebelas

Maret Surakarta. Selain itu, penulisan hukum ini diharapkan dapat menempuh wawasan,

pengetahuan, dan informasi bagi penulisan maupun pembaca.

Dalam penyusunan penulisan hukum ini, Penulis tidak dapat menyelesaikannya tanpa

bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini dengan

segala kerendahan hati Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Ibu Prof. Dr. Hartiwiningsih, S.H., M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan ijin kepada Penulis untuk

penulisan hukum ini;

2. Bapak Jadmiko Anom Husodo, S.H., M.H. selaku Pembimbing Akademik (PA) yang

telah memberi ijin dan kesempatan kepada Penulis untuk menyelesaikan skripsi ini;

3. Ibu Maria Madalina, S.H., M.Hum. selaku Ketua Bagian Hukum Tata Negara

Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberi ijin dan

kesempatan kepada Penulis untuk menyelesaikan skripsi ini dan beliau merupakan

inspirator penulis sehingga Penulis mampu menyelesaikan skripsi ini dengan baik

yang insyaalloh jasanya tidak akan pernah Penulis lupakan;

4. Ibu Aminah, S.H., M.H. selaku Pembimbing Utama skripsi Penulis yang telah berjasa

memberikan arahan, bantuan, semangat, meluangkan waktu tanpa mengenal lelah dan

dengan penuh kesabaran yang tiada batas demi keberhasilan penyusunan skripsi ini

yang tidak akan terlupakan oleh Penulis;

5. Ibu Sunny Ummul Firdaus, S.H., M.H. selaku Co. Pembimbing skripsi Penulis yang

dengan penuh kesabaran memberikan arahan, bantuan, semangat, senyuman, dan

telah meluangkan banyak waktu tanpa mengenal lelah dan dengan penuh kesabaran

x

Page 12: digilib.uns.ac.id/Studi... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user STUDI KOMPARASI KEWENANGAN KELEMBAGAAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA DAN MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

yang tiada batas demi keberhasilan penyusunan skripsi ini yang tidak akan terlupakan

oleh Penulis;

6. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta yang

telah memberikan ilmu pengetahuan pada umumnya dan ilmu hukum pada khususnya

kepada Penulis sehingga pengetahuan tersebut dapat dijadikan bekal dalam penulisan

hukum ini dan semoga dapat Penulis amalkan dalam kehidupan masa depan Penulis;

7. Seluruh staf dan karyawan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta yang

selama ini telah banyak sekali membantu Penulis dalam hal akademis dan hal-hal lain

yang berkenaan dengan perkuliahan;

8. Ibunda dan Ayahanda tercinta, Ibunda yang selama ini telah mengorbankan jiwa dan

raganya dan senantiasa mencurahkan seluruh doa dan kasih sayangnya, Ayahanda

yang senantiasa memberikan dukungan dan doa bagi Penulis sehingga mampu

menyelesaikan penulisan hukum ini;

9. Ibunda angkat tercinta yang selama ini telah mengorbankan jiwa dan raganya dan

yang senantiasa memberikan dukungan, motivasi, mencurahkan seluruh doa dan kasih

sayangnya untuk Penulis sehingga mampu menyelesaikan penulisan hukum ini;

10. Kakak-kakakku, Mbak Yahmi dan Mas Lardi, terima kasih atas nasehat dan dukungan

kalian selama ini;

11. Adik-adikku, Dik Waluya dan Dik Parman, terima kasih kepada kalian selama ini;

12. Adik angkatku, Ridwan Arif Jauhari, terima kasih atas bantuannya yang telah rela

menemani Penulis dalam proses pembuatan penulisan hukum ini;

13. Seluruh teman-teman angkatan 2005 : Probo, Rusydi, Deja, Ika, Anton, Kelik, dsb

yang tidak dapat disebutkan satu persatu;

14. Semua pihak yang telah membantu Penulis dalam menyusun penulisan hukum ini

baik secara langsung maupun tidak langsung.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini bukan karya yang sempurna, untuk itu kritik dan saran

dari pembaca budiman sangat Penulis perlukan. Akhirnya, semoga skripsi ini mampu

memberikan manfaat bagi kita semua. Amin.

Surakarta, Juni 2012

Mujiono Hafidh Prasetyo

E0005207

xi

Page 13: digilib.uns.ac.id/Studi... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user STUDI KOMPARASI KEWENANGAN KELEMBAGAAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA DAN MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ....................................................................................................... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ............................................................. iii

HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI ...................................................................... iv

HALAMAN PERNYATAAN ....................................................................................... v

HALAMAN MOTTO .................................................................................................... vi

HALAMAN PERSEMBAHAN .................................................................................... vii

ABSTRAK ..................................................................................................................... viii

KATA PENGANTAR ................................................................................................... x

DAFTAR ISI .................................................................................................................. xii

DAFTAR GAMBAR ..................................................................................................... xiv

DAFTAR TABEL .......................................................................................................... xv

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah .................................................................... 1

B. Rumusan Masalah .............................................................................. 9

C. Tujuan Penelitian ............................................................................... 10

D. Manfaat Penelitian ............................................................................. 10

E. Metode Penelitian ............................................................................... 11

F. Sistematika Penulisan Hukum ............................................................ 18

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerangka Teoritis ............................................................................... 20

1. Tinjauan tentang Perbandingan Hukum ......................................... 20

2. Tinjauan tentang Negara Hukum ................................................... 26

3. Tinjauan tentang Demokrasi ........................................................... 31

xii

Page 14: digilib.uns.ac.id/Studi... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user STUDI KOMPARASI KEWENANGAN KELEMBAGAAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA DAN MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

4. Tinjauan tentang Konstitusi ........................................................... 38

5. Tinjauan tentang Mahkamah Konstitusi ......................................... 47

6. Tinjauan tentang Hukum Acara Mahkamah Konstitusi .................. 56

B. Kerangka Pemikiran ............................................................................ 72

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Persamaan dan Perbedaan Kewenangan Kelembagaan

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dan Mahkamah

Konstitusi Republik Afrika Selatan ………………………………… 73

1. Sejarah Terbentuknya Mahkamah Konstitusi di Indonesia …….. 73

2. Sejarah Terbentuknya Mahkamah Konstitusi di Afrika Selatan … 77

3. Kewenangan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia ………. 81

4. Kewenangan Mahkamah Konstitusi Republik Afrika Selatan ….. 87

5. Komparasi Kewenangan Mahkamah Konstitusi Republik

Indonesia dan Mahkamah Konstitusi Republik Afrika Selatan …. 92

B. Kewenangan Kewenangan Mahkamah Konstitusi Republik

Afrika Selatan yang Dapat Menjadi Evaluasi dan Masukan di

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia …………………………. 94

1. Ide Mekanisme Constitutional Complaint dari Mahkamah

Konstitusi Republik Afrika Selatan sebagai Masukan bagi

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia ……………………… 94

2. Pengertian Constitutional Complaint ………………………………… 99

3. Hak Konstitusional Masyarakat ………………………………….

100

4. Sinkronisasi Constitutional Complaint dengan Sistem

Hukum di Indonesia …………………………………………….. 102

5. Posibilitas Keadaan Sosial di Indonesia Pasca

Penerapan Constitutional Complaint ………………………………… 108

BAB IV PENUTUP

A. Kesimpulan .......................................................................................... 110

B. Saran .................................................................................................... 112

DAFTAR PUSTAKA

Page 15: digilib.uns.ac.id/Studi... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user STUDI KOMPARASI KEWENANGAN KELEMBAGAAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA DAN MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 : Kerangka Pemikiran ........................................................................................ 72

xiv

Page 16: digilib.uns.ac.id/Studi... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user STUDI KOMPARASI KEWENANGAN KELEMBAGAAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA DAN MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

DAFTAR TABEL

Tabel 1 : Perbedaan Kewenangan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dan

Mahkamah Konstitusi Republik Afrika Selatan …………………………... 94

xv

Page 17: digilib.uns.ac.id/Studi... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user STUDI KOMPARASI KEWENANGAN KELEMBAGAAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA DAN MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Lingkungan jabatan kenegaraan yang ada dalam suatu negara dapat berbeda

dengan negara lain. Perbedaan ini sangat dipengaruhi oleh keperluan masing-

masing negara. Walaupun demikian adanya pengaruh ajaran Trias Politica

menyebabkan di setiap negara sekurang-kurangnya selalu dijumpai tiga

lingkungan jabatan kenegaraan, yaitu legislatif, eksekutif, dan yudikatif.

Susunan lingkungan jabatan kenegaraan beserta ruang lingkup

kewenangannya masing-masing diatur dalam Undang-Undang Dasar (UUD).

UUD yang berlaku di Indonesia saat ini adalah UUD 1945 beserta perubahan-

perubahannya. Ketentuan dalam UUD 1945 baik sebelum amandemen maupun

setelah amandemen tidak mengatur prinsip supremasi parlemen ataupun prinsip

undang-undang (UU) tidak dapat diganggu gugat. Sebaliknya yang ada justru

prinsip konstitusi derajat tinggi, artinya UUD 1945 ditempatkan lebih tinggi dari

peraturan perundang-undangan lainnya sehingga tidak bisa disimpangi. Hal ini

tampak dari tata cara perubahan UUD 1945 sebagaimana diatur dalam Pasal 37

UUD 1945, yang jauh lebih sulit jika dibandingkan dengan perubahan undang-

undang.

Konsekuensi dari penempatan UUD 1945 sebagai konstitusi derajat tinggi

adalah UUD harus menjadi sumber hukum tertinggi dalam pembentukan

peraturan perundang-undangan yang ada di bawahnya. Dengan demikian

peraturan perundang-undangan yang ada di bawah UUD 1945, secara hierarkis

tidak bertentangan dengan UUD 1945 itu sendiri sesuai dengan tertib doktrin

hukum. Hal terakhir ini digariskan dalam Ketetapan MPRS Nomor

XX/MPRS/1996 tentang Memorandum DPRGR yang ada di dalamnya berbicara

mengenai hirarkhi peraturan perundang-undangan yang kemudian diubah oleh

Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan

Page 18: digilib.uns.ac.id/Studi... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user STUDI KOMPARASI KEWENANGAN KELEMBAGAAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA DAN MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

2

Perundang-undangan. Kedua Ketetapan MPR itu menempatkan UUD 1945 dalam

kedudukaan tertinggi. Perkembangan berikutnya keluar Undang-Undang Nomor

10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan kemudian

diganti dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-undangan yang juga menempatkan UUD 1945 dalam

kedudukan tertinggi.

Dari Ketetapan MPR dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tersebut

diatas dapat disimpulkan bahwa semua peraturan perundang-undangan harus

bersumber pada UUD 1945atau tidak boleh bertentangan dengan UUD 1945.

UUD 1945 sebagai sumber hukum tertinggi dalam pembentukan peraturan

perundang-undangan dibawahnya, dengan tegas memerintahkan materi muatan

tertentu diatur lebih lanjut dalam UU. UU sebagai peraturan perundang-undangan

yang salah satu materi muatannya adalah materi yang diperintahkan oleh UUD

mempunyai kedudukan dan fungsi yang strategis untuk menciptakan sistem

norma yang baik sesuai dengan doktrin tertib hukum.

Untuk membuat UU yang sejalan dengan UUD tidak cukup hanya

diserahkan kepada pembuat UU untuk menafsirkan keinginan UUD. Pembuat UU

tidak jarang menghasilkan produk hukum yang disebut UU lebih didominasi oleh

keinginan-keinginan politik untuk mempertahankan kekuasaannya. Hal ini

berakibat adanya UU yang bertentangan dengan UUD dan tetap berlaku sebagai

hukum yang harus ditaati.

Alasan lain yang menyebabkan UU bertentangan dengan UUD adalah

dalam hal penafsiran terjebak pada situasi Legal Formalism dan Policy and

Principles Oriented (Efik Yudiansyah, 2010 : 2). Legal Formalism yang

mendekati hukum secara ketatsebagai dokumen-dokumen formal yang kaku

dengan mengandaikan bahwa dokumen-dokumen itu selalu mencerminkan nilai-

nilai ideal yang harus dijadikan pegangan normatif dan terpercaya. Sebaliknya

Policy And Principles Oriented lebih mementingkan prinsip-prinsip dan

kebijaksanaan yang terkandung dalam dokumen tersebut. Dokumen hanyalah alat

Page 19: digilib.uns.ac.id/Studi... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user STUDI KOMPARASI KEWENANGAN KELEMBAGAAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA DAN MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

3

yang penting isinya, ideologi dan prinsip-prinsip yang dikandungnya sehingga

dapat berlaku universal. Perbedaan pendekatan dalam menafsirkan ini pun sering

menimbulkan perdebatan terhadap konsistensi UU terhadap UUD.

Keadaan ini diperparah oleh tidak ada lembaga pembanding untuk

menafsirkan UUD, sehingga tidak ada check and balance terhadap pembuatan

UUD. Lembaga pengujian secara materiil ini ditafsirkan,pengujian materiil oleh

badan yudisial terhadap UU tidak boleh. Pengujian secara materiil yang dilakukan

oleh badan yudisial dibolehkan, tetapi hanya terbatas pada peraturan perundang-

undangan dibawah UU dan badan yudisialnya pun terbatas hanya Mahkamah

Agung.

Dalam perkembangannya pengujian secara materiil ini tidak hanya pada

peraturan perundang-undangan tetapi juga pada beschikking. Perkembangan

berikutnya untuk menguji peraturan perundang-undangan dibawah undang-

undang tidak hanya kewenangan Mahkamah Agung tetapi kewenangan peradilan

tingkat pertama dan tingkat banding. Dengan aturan yang seperti itu sangat

mungkin ada peraturan peerundang-undangan dalam hal ini UU dan Ketetapan

MPR yang bertentangan dengan UUD 1945, sehingga UUD 1945 sebagai

konstitusi derajat tinggi mendapat tantangan dari UU dan Ketetapan MPR.

Keadaan ini memunculkan kembali perdebatan perlu tidaknya meletakkan

kewenangan hak uji materiil kepada yudisial. Tahun 1995 misalnya Mahkamah

Agung mengusulkan membentuk Mahkamah Konstitusi yang berfungsi meneliti,

apakah semua produk perundang-undangan yang ada telah sesuai dengan UUD

1945. Usul ini ditentang dengan alasan keberadaan Mahkamah Konstitusi hanya

akan menimbulkan birokrasi baru, yang belum tentu menghasilkan perbaikan

dalam melakukan kontrol terhadap pembentuk UU. Kelompok yang berpendapat

demikian menyatakan justru yang lebih penting adalah mengaktifkan peran

judicial review terhadap peraturan yang berada di bawah UU.

Keinginan untuk menguji secara materiil UU tidak berhenti dengan

ditolaknya usulan Mahkamah Agung tersebut, kemudian muncul gagasan untuk

Page 20: digilib.uns.ac.id/Studi... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user STUDI KOMPARASI KEWENANGAN KELEMBAGAAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA DAN MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

4

memperluas kewenangan Mahkamah Agung melaksanakan pengujian secara

materiil tidak hanya terhadap peraturan perundang-undangan di bawah UU

melainkan juga terhadap UU. Usulan ini kembali ditentang dengan alasan

pengujian secara materiil terhadap UU lebih sesuai diberikan kepada Majelis

Permusyawaratan Rakyat (MPR) dengan cara lebih mengaktifkan Badan Pekerja

MPR.

Kekosongan yang relatif lama terhadap kewenangan untuk menguji secara

materiil UU berakibat banyaknya produk hukum yang namanya UU bertentangan

UUD. Hal ini jelas bertentangan dengan prinsip UUD sebagai hukum tertinggi.

Tahun 2000 dengan keluarnya Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000 terjadi

perubahan, khususnya dalam hak uji materiil. Ketetapan MPR ini memberikan

kewenangan kepada MPR untuk menguji secara meteriil terhadap undang-undang,

apakah UU tersebut sama bertentangan atau tidak dengan UUD atau Ketetapan

MPR. Dengan adanya Ketetapan MPR ini maka dapat dilihat dari lembaga yang

berwenang menguji secara materiil terhadap peraturan perundang-undangan ada

dua lembaga, yaitu lembaga yudisial dan politik. Lembaga yudisial hanya

berwenang menguji peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang,

sedangkan lembaga politik menguji undang-undang.

Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

(UUD RI 1945) sejak tahun 1999 sampai dengan 2002 merupakan salah satu

tuntutan gerakan reformasi pada tahun 1998. Tuntutan perubahan UUD 1945 yang

digulirkan tersebut didasarkan pandangan bahwa UUD 1945 tidak cukup memuat

sistem checks and balances antarcabang-cabang pemerintahan (lembaga negara)

untuk menghindari penyalahgunaan kekuasaan atau suatu tindak melampaui

wewenang. Selain itu, UUD 1945 tidak cukup memuat landasan bagi kehidupan

demokratis, pemberdayaan rakyat, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia.

Aturan UUD 1945 juga banyak yang menimbulkan multitafsir dan membuka

peluang bagi penyelenggaraan yang otoriter, sentralistik, tertutup, dan Korupsi,

Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Tuntutan tersebut kemudian diwujudkan dalam

empat kali perubahan UUD 1945.

Page 21: digilib.uns.ac.id/Studi... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user STUDI KOMPARASI KEWENANGAN KELEMBAGAAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA DAN MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

5

Selain perubahan dan penambahan butir-butir ketentuan, perubahan UUD

1945 juga mengakibatkan adanya perubahan kedudukan dan hubungan beberapa

lembaga negara, penghapusan lembaga negara tertentu, dan pembentukan

lembaga-lembaga negara baru. Perubahan memang ditujukan pada

penyempurnaan pada sisi kedudukan dan kewenangan masing-masing lembaga

negara. Hal tersebut memang dimaksudkan untuk memperbaiki dan

menyempurnakan penyelenggaraan negara agar lebih demokratis, seperti

disempurnakannya sistem saling mengawasi dan mengimbangi (checks and

balances).

Salah satu perubahan konkrit adalah mengenai kedudukan Majelis

Permusyawaratan Rakyat (MPR). Sebelum perubahan UUD 1945, kedudukan

MPR adalah lembaga tertinggi negara yang juga merupakan pemegang kekuasaan

tertinggi dalam negara (die gesamte staatsgewalt liegt allein bei der Majelis) dan

merupakan lembaga negara terpenting karena pada lembaga inilah

menjelmakedaulatan rakyat. Setelah perubahan UUD 1945, MPR tidak lagi

menjadi lembaga tertinggi negara dan pemegang kedaulatan rakyat tertinggi.

Sejalan dengan hubungan kelembagaan yang saling mengontrol dan

mengimbangi tersebut tentunya memungkinkan terjadi sengketa antarlembaga

negara, khususnya yang terkait dengan kewenangan konstitusional. Karenanya,

menurut Jimly Asshiddiqie, dibutuhkanlah Mahkamah Konstitusi untuk

memeriksa dan memutus sengketa kewenangan konstitusional antarlembaga

negara.

Hubungan antara satu lembaga dengan lembaga yang lain diikat oleh prinsip

checks and balances, dimana lembaga-lembaga tersebut diakui sederajat tetapi

saling mengendalikan satu sama lain. Sebagai akibat adanya mekanisme

hubungan yang sederajat itu, timbul kemungkinan dalam melaksanakan

kewenangan masing-masing terdapat perselisihan dalam menafsirkan amanat

UUD. Jika timbul persengketaan pendapat semacam itu, diperlukan organ

tersendiri yang diserahi tugas untuk memutus final atas hal itu. Dalam sistem

Page 22: digilib.uns.ac.id/Studi... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user STUDI KOMPARASI KEWENANGAN KELEMBAGAAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA DAN MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

6

ketatanegaraan yang telah diadopsikan dalam UUD 1945, mekanisme

penyelesaian sengketa kewenangan demikian dilakukan melalui proses peradilan

tata negara yaitu melalui lembaga yang dibentuk tersendiri dengan nama

Mahkamah Konstitusi (Jimly Asshiddiqie, 2005 : 2).

Hal tersebut juga disampaikan Achmad Roestandi. Menurutnya, hal-hal

yang mendorong dibentuknya Mahkamah Konstitusi, salah satunya, sebagai

berikut :

Bertambahnya lembaga negara dan bertambahnya ketentuan sebagai akibat

perubahan UUD 1945, menyebabkan potensi sengketa antara lembaga negara

menjadi semakin banyak. Sementara itu telah terjadi perubahan paradigma dari

supremasi MPR ke supremasi konstitusi, sehingga tidak ada lagi lembaga negara

tertinggi (yang sebelumnya diduduki oleh MPR) yang memegang supremasi

kekuasaan yang berwenang menyelesaikan sengketa antar lembaga negara. Oleh

karena itu, diperlukan lembaga yang netral untuk menyelesaikan sengketa tersebut

(Achmad Roestandi, 2005 : 6).

Kewenangan penyelesaian sengketa tersebut, dalam praktik-praktik negara-

negara sejak abad XX, menurut I Dewa Gede Palguna, memang lazimnya

diberikan kepada Mahkamah Konstitusi, karena lembaga negara inilah yang

memiliki fungsi sebagai pengawal konstitusi (the guardian of constitution).

Bahkan, kewenangan demikian harus dianggap ada, walaupun konstitusi tidak

secara tegas menyatakannya (I Dewa Gede Palguna, 2008 : 17).

Indonesia pun mengadopsi keberadaan Mahkamah Konstitusi. Pasal 24 ayat

(2) UUD RI 1945 menyatakan :

“Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan

peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum,

lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan

tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”.

Page 23: digilib.uns.ac.id/Studi... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user STUDI KOMPARASI KEWENANGAN KELEMBAGAAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA DAN MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

7

Berdasarkan ketentuan tersebut, Mahkamah Konstitusi merupakan salah

satu pelaku kekuasaan kehakiman selain Mahkamah Agung. Kekuasaan

kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan

peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Menurut Bagir Manan,

kekuasaan kehakiman yang merdeka berkaitan erat dengan faham pembatasan

kekuasaan, baik yang bersumber pada ajaran pemisahan (pembagian) kekuasaan,

faham negara berdasarkan atas hukum, atau demokrasi (Bagir Manan, 2007 : 31).

Dengan demikian, Mahkamah Konstitusi adalah suatu lembaga peradilan, sebagai

cabang kekuasaan yudikatif, yang mengadili perkara-perkara tertentu yang

menjadi kewenangannya berdasarkan ketentuan UUD 1945.

Amandemen ketiga UUD 1945 mengubah ketentuan-ketentuan yang

mengatur kekuasaan kehakiman, khusus tentang hak uji materiil ada dua badan

yudisial yang berwenang menguji, yaitu Mahkamah Agung dan Mahkamah

Konstitusi. Kewenangan Mahkamah Agung hanya untuk menguji peraturan

perundang-undangan di bawah undang-undang, sedangkan yang menguji undang-

undang adalah Mahkamah Konstitusi. Keberadaan Mahkamah Konstitusi ini

memberikan harapan akan tegaknya konsepsi negara hukum. Dikatakan memberi

harapan akan tegaknya konsepsi negara hukum, karena hak menguji materiil

merupakan pranata yang berkaitan erat dengan konsep hukum dasar dan hukum

tertinggi. Dari sudut pandang ini dasar tujuan dari hak menguji adalah untuk

melindungi konstitusi dari pelanggaran atau penyimpangan yang mungkin

dilakukan badan pembuat UU.

Sejalan dengan hal tersebut I Gede Pantja Astawa menyatakan bahwa

pranata judicial review mempunyai tempat yang strategis dalam kehidupan

ketatanegaraan yang berbingkaikan semangat konstitusionalisme, dengan tujuan :

1. Melindungi kepentingan rakyat banyak dari tindakan sewenang-wenang

pembentuk UU sekaligus mencegah agar keberlakuan suatu UU tidak berlawanan

dengan UUD 1945, dan 2. Menjaga kewibawaan UUD 1945 sebagai Hukum

Dasar tertinggi dalam negara (supreme law of the land), untuk itu harus ada

Page 24: digilib.uns.ac.id/Studi... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user STUDI KOMPARASI KEWENANGAN KELEMBAGAAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA DAN MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

8

institusi yang bertindak sebagai pengawal (guarantor) konstitusi (Efik

Yusdiansyah, 2010 : 4).

Kewenangan konstitusional Mahkamah Konstitusi melaksanakan prinsip

check and balance menempatkan semua lembaga negara dalam kedudukan setara

sehingga terdapat keseimbangan dalam penyelenggaraan negara. Mahkamah

Konstitusi melakukan uji UUD adalah untuk menjaga dan menegakkan konstitusi

apabila terjadi pelanggaran konstitusi oleh UUD. Dengan mekanisme ini jelas

bahwa peranan Mahkamah Konstitusi dalam ketatanegaraan Indonesia adalah

untuk menjaga jangan sampai terjadi pelanggaraan konstitusi oleh lembaga

negara. Hans Kelsen menyatakan bahwa pelaksanaan aturan kontitusional tentang

legislasi dapat secara efektif dijamin hanya jika suatu organ selain badan legislatif

diberikan tugas untuk menguji apakah suatu produk hukum itu konstitusional atau

tidak, dan tidak memberlakukannya jika menurut organ ini produk hukum tersebut

tidak konstitusional. Untuk itu dapat diadakan organ khusus seperti pengadilan

khusus yang disebut Mahkamah Konstitusi (Constitutional Court). Organ khusus

yang mengontrol tersebut dapat menghapuskan secara keseluruhan undang-

undang yang tidak konstitusional sehingga tidak dapat diaplikasikan oleh organ

lain.

Keberadaan Mahkamah Konstitusi antar satu negara dengan negara lain

tentunya memiliki persamaan dan perbedaan hal ini sangat dipengaruhi oleh suatu

bangsa, kewenangan yang diberikan langsung oleh konstitusi, untuk mengawal

konstitusi suatu negara. Mahkamah Konstitusi di Indonesia dan di Afrika Selatan

sama-sama sudah melembaga. Sejarah terbentuknya lembaga baru yang diberi

nama Mahkamah Konstitusi dalam ketatanegaraan di Indonesia adalah diawali

dengan diadopsinya ide Mahkamah Konstitusi (Constitutional Court) dalam

amandemen konstitusi, ide pembentukan Mahkamah Konstitusi merupakan salah

satu perkembangan hukum dan kenegaraan modern yang muncul di abad XX.

Pada tahun 1993 Konstitusi Sementara Afrika Selatan membentuk sebuah

lembaga yang dimaksudkan untuk menjaga proses demokratisasi dan melakukan

Page 25: digilib.uns.ac.id/Studi... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user STUDI KOMPARASI KEWENANGAN KELEMBAGAAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA DAN MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

9

penafsiran atas nilai-nilai konstitusi yaitu Mahkamah Kontitusi. Berdasarkan

perintah Konstitusi Sementara, Mahkamah Konstitusi Afrika Selatan berdiri pada

tahun 1994 dan melaksanakan siding pertama kalinya pada bulan Februari 1995

(Pan Mohammad Faiz, (http://theceli/pub/menabur-benih-constitutional

complaint.doc> [18 April 2012 pukul 10.30 WIB]).

Alasan penulis membandingkan Indonesia dan Afrika Selatan dikarenakan

oleh beberapa hal yang sama antara Indonesia dan Afrika Selatan, di antaranya :

1. Persamaan Lambang Negara

Gambar 1. Lambang Negara Afrika Selatan dan Indonesia

Persamaan lambang negara antara Indonesia dan Afrika Selatan terletak pada

bentuk dasarnya, yaitu sama-sama berbentuk burung yang kepalanya sama-

sama menghadap ke kanan serta burungnya sama-sama memiliki jambul di

belakang kepalanya.

2. Persamaan Semboyan Negara

Semboyan Negara Indonesia adalah Bhinneka Tunggal Ika,

sedangkan semboyan Negara Afrika Selatan adalah Ike E Xarra Ike.

Lepas dari persamaan Ika dan Ike, kedua semboyan negara ini memiliki arti

yang sama, yaitu sama-sama Walau Berbeda-beda tapi Tetap Satu alias Unity

in Diversity.

Page 26: digilib.uns.ac.id/Studi... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user STUDI KOMPARASI KEWENANGAN KELEMBAGAAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA DAN MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

10

3. Persamaan Kedudukan Regional

Berdasarkan Pendapatan Negara atau GDP, di Asia Tenggara Indonesia

merupakan negara terkaya. Indonesia juga merupakan pemimpin ASEAN

dimana sekretariat ASEAN berada di Indonesia sama-sama halnya dengan

Afrika Selatan, di Afrika sana, Afrika Selatan merupakan negara terkaya dan

African Union atau Uni Afrika, berpusat di Afrika Selatan.

4. Persamaan Penjajah

Republik Afrika Selatan atau Uni Afrika Selatan merupakan negara tertua di

Benua Afrika dan nasibnya hampir sama dengan Negara Indonesia yaitu

sama-sama pernah dijajah oleh Belanda. Afrika Selatan dijajah Belanda tahun

1652 karena di sana ditemukan cadangan berlian yang berlimpah. Inggris,

Juara Piala Dunia 1966 juga berminat menjajah Afrika Selatan sehingga

terjadi Perang Britania-Belanda. Di Indonesia juga terjadi perang Inggris

versus Belanda pada tahun 1948.

Penjajah Belanda mereka sebut Afrikaner, sedangkan kita menyebutnya

Kompeni. Afrika Selatan memang sebelumnya dijajah oleh Inggris, Afrika

Selatan juga dijajah oleh Belanda (Netherlands) pada tahun 1652 atau sekitar

abad ke-17 Belanda datang ke Indonesia juga sama-sama pada abad ke-17.

5. Persamaan Kekayaan Sumber Daya Alam

Indonesia dan Afrika Selatan sangat dilirik mancanegara karena sama-sama

memiliki Sumber Daya Alam (SDA) yang sangat melimpah. Indonesia

terkenal akan emasnya dan Afrika Selatan terkenal akan berliannya. Mirisnya,

SDA kedua negara ini sama-sama diambil oleh pihak asing.

6. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Presiden Jacob sama-sama dipilih

pada tahun 2009

7. Sama-sama berada di bumi bagian Selatan

Page 27: digilib.uns.ac.id/Studi... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user STUDI KOMPARASI KEWENANGAN KELEMBAGAAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA DAN MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

11

8. Sama-sama memiliki banyak suku dan bahasa

9. Pemerintahannya sama-sama Republik Presidensial

10. Afrika Selatan merdeka karena terinspirasi oleh kemerdekaan Indonesia

11. Presiden Afrika Selatan terdahulu, Mandela pernah berkunjung ke Indonesia

sebanyak dua kali, begitu juga Presiden Indonesia dahulu yaitu Soeharto yang

pernah berkunjung ke Afrika Selatan sebanyak dua kali.

(http://olahraga.kompasiana.com/bola/2011/01/19/indonesia-afrika-selatan-

persamaan-dan-perbedaan/, diakses pada tanggal 8 Juni 2012 pukul 13.24

WIB).

Mahkamah Konstitusi memang sebuah tugas besar bagi para pemimpin

Indonesia. Jimly Asshiddiqie mencatat pula bahwa Mahkamah Konstitusi

merupakan sesuatu fenomena baru. Bukan saja bagi Indonesia, melainkan juga

bagi dunia ketatanegaraan di banyak negara. Dari seluruh negara di dunia,

Mahkamah Konstitusi hanya dikenal di 45 negara. Dari ke-45 negara tersebut,

rata-rata memang pernah mengalami krisis konstitusional dan berubah dari otorian

menjadi demokrasi. Dalam proses perubahan itulah Mahkamah Konstitusi

dibentuk. Jimly mencatat, hanya Filipina lah negara yang baru berubah menjadi

negara demokrasi, tetapi tidak memiliki Mahkamah Konstitusi.

Beberapa dari ke-45 negara tersebut dapat disebutkan di sini antara lain :

Afrika Selatan, Equador, Indonesia, Venezuela, Lithuania, Korea Selatan, Mesir,

Kroasia, Czech, Jerman, Italia, Thailand, Austria, dan juga Spanyol. Khusus untuk

Jerman, Italia, Austria dan Spanyol merupakan pengecualian sebagaimana disebut

sebelumnya, yakni dibentuknya Mahkamah Konstitusi di masing-masing negara

tersebut tidak terkait dengan krisis konstitusional. Ke-45 negara tersebut tidak

sepenuhnya mengenal satu istilah Mahkamah Konstitusi atau Constitutional Court

(Indonesia, Korsel, Lithuania) untuk lembaga yang memiliki fungsi 'judicial

review'. Istilah lain untuk Mahkamah Konstitusi atau lembaga yang agak mirip

pengertiannya antara lain Counsel Constitutionel (Perancis), Privy Council

Page 28: digilib.uns.ac.id/Studi... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user STUDI KOMPARASI KEWENANGAN KELEMBAGAAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA DAN MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

12

(Inggris), dan Dewan Konstitusi atau Constitutional Council (Alzajair) yang

merupakan pengaruh dari model Counsel Constitutionel-nya Perancis

(http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol5905/mahkamah-konstitusi-akhir-

ataukah-awal-krisis-konstitusi, diakses pada tanggal 8 Juni 2012 pukul 14.49

WIB).

Terlepas dari wacana urgensi dari keberadaan Mahkamah Konstitusi di

Indonesia dan implikasinya terhadap reformasi konstitusi di Indonesia, penulis

dalam tulisan ini akan mencoba memberikan sebuah kajian perbandingan terhadap

kewenangan Mahkamah Konstitusi yang sedang berlangsung di Indonesia dan

kewenangan Mahkamah Konstitusi yang sedang berlangsung di Afrika Selatan,

dengan melihat beberapa sisi persamaan dan perbedaannya. Hal ini yang menjadi

daya tarik penulis untuk mengangkat masalah ini dengan judul : STUDI

KOMPARASI KEWENANGAN KELEMBAGAAN MAHKAMAH

KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA DAN MAHKAMAH

KONSTITUSI REPUBLIK AFRIKA SELATAN.

B. Perumusan Masalah

Perumusan masalah adalah langkah untuk mengidentifikasi persoalan yang

diteliti secara jelas, biasanya berisi pertanyaan-pertanyaan kritis, sistematis, dan

representatif untuk mencari jawaban dari persoalan yang ingin dipecahkan. Arti

penting perumusan masalah adalah sebagai pedoman bagi tujuan dan manfaat

penelitian dalam rangka mencapai kualitas penelitian yang optimal.

Berdasarkan hal tersebut, maka rumusan permasalahan yang akan diteliti

dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Bagaimanakah persamaan dan perbedaan kewenangan Mahkamah Konstitusi

Republik Indonesia dan Mahkamah Konstitusi Republik Afrika Selatan?

2. Bagaimanakah aplikasi gagasan mekanisme constitutional complaint setelah

diadaptasi dengan sistem hukum di Indonesia?

Page 29: digilib.uns.ac.id/Studi... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user STUDI KOMPARASI KEWENANGAN KELEMBAGAAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA DAN MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

13

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah yang telah dinyatakan sebelumnya maka

untuk mengarahkan suatu penelitian maka diperlukan adanya tujuan dari suatu

penelitian. Tujuan penelitian dikemukakan secara deklaratif, dan merupakan

pernyataan-pernyataan yang hendak dicapai dalam penelitian tersebut (Soerjono

Soekanto, 2006 : 118).

Adapun tujuan yang ingin dicapai oleh penulis dalam penelitian ini adalah

sebagai berikut :

1. Tujuan Obyektif

a) Untuk mengetahui persamaan dan perbedaan kewenangan kelembagaan

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dan Mahkamah Konstitusi

Republik Afrika Selatan;

b) Untuk mengetahui aplikasi gagasan mekanisme constitutional complaint

setelah diadaptasi dengan sistem hukum di Indonesia.

2. Tujuan Subyektif

a) Untuk menambah dan memperluas wawasan, pengetahuan, dan pemahaman

Penulis di bidang Hukum Tata Negara, khususnya mengenai kewenangan

Mahkamah Konstitusi;

b) Untuk memenuhi persyaratan akademis guna mencapai gelar sarjana dalam

bidang ilmu hukum di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret

Surakarta;

c) Menerapkan ilmu dan teori-teori hukum yang telah penulis peroleh agar

dapat memberi manfaat bagi penulis sendiri pada khususnya, dan

masyarakat pada umumnya.

D. Manfaat Penelitian

Suatu penelitian yang berhasil adalah penelitian yang dapat memberikan

manfaat baik secara teoritis maupun secara praktis. Adapun manfaat yang

diharapkan sehubungan dengan penelitian adalah sebagai berikut :

1. Manfaat Teoritis

Page 30: digilib.uns.ac.id/Studi... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user STUDI KOMPARASI KEWENANGAN KELEMBAGAAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA DAN MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

14

a) Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangan pemikiran bagi

perkembangan ilmu pengetahuan hukum pada umumnya dan bidang hukum

tata negara pada khususnya;

b) Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya referensi dan literatur

dalam dunia kepustakaan, khususnya mengenai kelembagaan Mahkamah

Konstitusi dan dinamikanya di masyarakat;

c) Hasil penelitian ini dapat dipakai sebagai acuan terhadap penelitian-

penelitian sejenis untuk tahap berikutnya.

2. Manfaat Praktis

a) Menjadi wahana bagi penulis untuk mengembangkan penalaran,

membentuk pola pikir ilmiah sekaligus untuk mengetahui kemampuan

penulis dalam menerapkan ilmu yang diperoleh, khususnya bidang hukum

tata negara mengenai tinjauan kewenangan Mahkamah Konstitusi;

b) Sebagai bahan masukan bagi pihak-pihak yang terkait langsung dengan

penelitian ini.

E. Metode Penelitian

Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada

metode, sistematika, dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari

satu atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan menganalisanya. Yang

diadakan pemeriksaan secara mendalam terhadap fakta hukum tersebut

permasalahan-permasalahan yang timbul di dalam gejala yang bersangkutan.

Suatu penelitian ilmiah agar dapat berjalan dengan baik maka perlu

menggunakan suatu metode penelitian yang baik dan tepat. Metode penelitian

merupakan suatu tipe pemikiran yang dipergunakan dalam penelitian dan

penilaian. Metodologi merupakan suatu unsur yang mutlak harus ada di dalam

penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan (Soerjono Soekanto, 1986 : 7).

Page 31: digilib.uns.ac.id/Studi... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user STUDI KOMPARASI KEWENANGAN KELEMBAGAAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA DAN MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

15

Metode penelitian yang digunakan penulis dalam penulisan hukum ini

adalah sebagai berikut :

1. Jenis Penelitian

Penelitian yang dilakukan oleh penulis ini merupakan jenis penelitian

hukum kepustakaan, atau dikenal sebagai penelitian hukum doctrinal, yaitu

penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data

sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan

bahan hukum tersier (Peter Mahmud Marzuki, 2006 : 35). Bahan-bahan hukum

tersebut disusun secara sistematis, dikaji, kemudian ditarik suatu kesimpulan

dalam hubungannya dengan masalah yang diteliti.

Menurut Peter Mahmud Marzuki, langkah-langkah dalam melakukan

penelitian hukum adalah sebagai berikut :

a. Mengidentifikasi fakta hukum dan mengeliminir hal-hal yang tidak relevan

untuk menetapkan isu hukum yang hendak dipecahkan.

1) Penelitian untuk keperluan praktik hukum.

Sebagai langkah pertama dalam penelitian hukum untuk keperluan

praktis adalah mengidentifikasi fakta hukum dan mengeliminir hal-hal

yang tidak relevan. Sering kali kasus yang dikemukakan oleh klien

bercampur antara fakta dan pendapat serta keinginan klien. Dalam hal ini

ahli hukum harus dapat membedakan mana fakta dan mana pendapat

klien. Lebih jauh ahli hukum harus dapat membedakan mana yang fakta

hukum dan mana yang bukan fakta hukum. Dengan membedakan fakta

hukum dan fakta non hukum, peneliti akan dapat menetapkan isu hukum

yang hendak dipecahkan.

2) Penelitian untuk keperluan akademis.

Page 32: digilib.uns.ac.id/Studi... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user STUDI KOMPARASI KEWENANGAN KELEMBAGAAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA DAN MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

16

Untuk mengidentifikasi fakta hukum, mengeliminir hal-hal yang

tidak relevan dan menetapkan isu hukum bagi keperluan akademis,

langkah pertama adalah peneliti harus dapat memisahkan dirinya dari

kepentingan-kepentingan yang terlibat di dalam kegiatan penelitian itu. Ia

harus menjadi dirinya sendiri yang mempunyai sikap disinterestedness

terhadap isu atau masalah hukum yang hendak dipecahkan. Selanjutnya

peneliti harus mampu mengeliminir faktor-faktor yang tidak relevan

dengan isu tersebut.

Penelitian yang dilakukan peneliti di sini adalah penelitian untuk keperluan

akademis. Dalam penelitian ini diambil dua isu yang menjadi permasalahan

yang perlu dijawab atau dipecahkan yaitu :

a) Bagaimanakah persamaan dan perbedaan kewenangan Mahkamah

Konstitusi Republik Indonesia dan Mahkamah Konstitusi Republik

Afrika Selatan?

b) Bagaimanakah aplikasi gagasan mekanisme constitutional complaint

setelah diadaptasi dengan sistem hukum di Indonesia?

Kedua isu itulah yang akan dipecahkan dalam penelitian ini untuk keperluan

akademis.

b. Pengumpulan bahan-bahan hukum.

Setelah isu hukum ditetapkan, peneliti melakukan penelusuran untuk

mencari bahan-bahan hukum yang relevan terhadap isu yang dihadapi.

Karena dalam hal ini, salah satu pendekatan yang digunakan peneliti adalah

pendekatan perundang-undangan (statute approach), maka sesuai dengan

isu yang diangkat, peneliti harus mengumpulkan bahan-bahan yang di

antaranya yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945 baik sebelum maupun sesudah perubahan serta bahan-bahan hukum

lainnya yang relevan dengan isu hukum yang diangkat tersebut.

Page 33: digilib.uns.ac.id/Studi... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user STUDI KOMPARASI KEWENANGAN KELEMBAGAAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA DAN MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

17

c. Melakukan telaah atas isu hukum yang diajukan.

Dalam rangka menjawab isu hukum yang diangkat, peneliti harus

menelaah isu hukum itu dengan merujuk kepada ketentuan-ketentuan

hukum yang relevan, isu itu juga ditelaah dari berbagai bahan-bahan hukum

yang relevan dengan isu itu, yang telah berhasil dikumpulkan oleh peneliti.

Dari telaah yang dilakukan oleh peneliti berdasarkan bahan-bahan hukum

maupun bahan-bahan non hukumitu, peneliti berusaha untuk menjawab isu

yang diangkatnya. Kemudian dari telaah-telaah itu diambil sebuah

kesimpulan sebagai jawaban atas isu hukum yang diangkat tersebut.

d. Menarik kesimpulan yang menjawab isu hukum.

Penelitian hukum itu bukan untuk menguji hipotesis, maka

konsekuensinya kesimpulan yang ditarik dari penelitian hukum bukan

menghasilkan diterima atau ditolaknya hipotesis. Dengan menggunakan

bahan-bahan hukum dan bilamana perlu juga non hukum sebagai

penunjang, peneliti akan dapat menarik kesimpulan yang menjawab isu

yang diajukan.

e. Memberikan preskripsi.

Memberikan preskripsi mengenai apa yang seharusnya merupakan hal

yang esensial dari penelitian hukum. Baik untuk keperluan praktik maupun

untuk keperluan akademis, preskripsi yang diberikan menentukan nilai

penelitian tersebut, maka langkah terakhir dari suatu penelitian yaitu

memberikan preskripsi berupa rekomendasi yang didasarkan pada

kesimpulan yang telah diambil. Berpegang pada karakteristik ilmu hukum

sebagai ilmu terapan, preskripsi yang diberikan di dalam kegiatan penelitian

hukum harus dapat atau setidaknya mungkin untuk diterapkan.

Langkah-langkah tersebut dapat diterapkan, baik terhadap penelitian

untuk keperluan praktis maupun untuk keperluan akademis. Itulah ringkasan

Page 34: digilib.uns.ac.id/Studi... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user STUDI KOMPARASI KEWENANGAN KELEMBAGAAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA DAN MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

18

mengenai langkah-langkah yang perlu dilakukan di dalam penelitian hukum

yang dijelaskan oleh Peter Mahmud Marzuki di dalam bukunya yang

berjudul “Penulisan Hukum” (Peter Mahmud Marzuki, 2008 : 171-209).

2. Sifat Penelitian

Dalam penelitian hukum ini, penulis menggunakan penelitian hukum

yang bersifat deskriptif, yaitu penelitian yang dimaksudkan untuk memberikan

data yang seteliti mungkin tentang manusia atau gejala, keadaan atau gejala-

gejala lainnya. Maksud dari penelitian deskriptif adalah untuk mempertegas

hipotesa-hipotesa, agar dapat membantu dan memperkuat teori-teori lama di

dalam kerangka menyusun teori-teori baru (Soerjono Soekanto, 2006 : 10).

3. Pendekatan Penelitian

Nilai ilmiah suatu pembahasan dan pemecahan masalah terhadap legal

issue yang diteliti sangat tergantung pada cara pendekatan (approach) yang

digunakan. Jika cara pendekatan tidak tepat, maka bobot penelitian tidak akurat

dan kebenarannya pun dapat digugurkan (Johny Ibrahim, 2007 : 299).

Menurut Peter Mahmud Marzuki, pendekatan dalam penelitian hukum

terdapat beberapa pendekatan, yaitu pendekatan perundang-undangan (statute

approach), pendekatan kasus (case approach), pendekatan historis (historical

approach), pendekatan perbandingan (comparative approach), dan pendekatan

konseptual (conceptual approach) (Peter Mahmud Marzuki, 2005 : 93).

Sedangkan menurut Johny Ibrahim dari kelima pendekatan tersebut ditambah

dengan pendekatan analitis (analytical approach) dan pendekatan filsafat

(philosophical approach) (Johny Ibrahim, 2007 : 246).

Dari pendekatan-pendekatan tersebut, pendekatan yang relevan dengan

penelitian hukum ini adalah pendekatan perundang-undangan (statute

approach), pendekatan historis (historical approach), dan pendekatan

perbandingan (comparative approach). Pendekatan undang-undang dilakukan

dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang terkait dengan isu

hukum yang sedang dianalisis. Pada pendekatan historis diaplikasikan dengan

Page 35: digilib.uns.ac.id/Studi... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user STUDI KOMPARASI KEWENANGAN KELEMBAGAAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA DAN MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

19

menelaah latar belakang apa yang dipelajari dan perkembangan pengaturan

mengenai isu yang dihadapi. Selanjutnya, pendekatan perbandingan

diaplikasikan dengan membandingkan isi dari peraturan perundang-undangan

antar negara yang setingkat. Penelitian ini akan diuraikan secara deskriptif

dengan menelaah, menjelaskan, memaparkan, menggambarkan, serta

menganalisis permasalahan atau isu hukum yang diangkat, seperti yang telah

dikemukakan dalam perumusan masalah.

4. Jenis Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder.

Data sekunder adalah data yang diperoleh dari bahan pustaka berupa

keterangan-keterangan yang secara tidak langsung diperoleh melalui studi

kepustakaan, peraturan perundang-undangan seperti UUD RI 1945, peraturan

perundang-undangan lainnya yang terkait, yurisprudensi, arsip-arsip yang

berhubungan dengan masalah yang diteliti seperti putusan dan tulisan-tulisan

ilmiah, sumber-sumber tertulis lainnya serta makalah-makalah yang berkaitan

dengan penelitian ini.

5. Sumber Data

Untuk memecahkan isu hukum dan sekaligus memberikan preskripsi

mengenai apa yang seyogyanya, diperlukan sumber-sumber penelitian.

Sumber-sumber penelitian hukum dapat dibedakan menjadi sumber-sumber

penelitan yang berupa bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan

hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif yang artinya

mempunyai otoritas. Bahan hukum primer terdiri dari perundang-undangan,

catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan peraturan perundang-

undangan dan putusan-putusan hakim. Sedangkan bahan hukum sekunder

berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen

resmi. Publikasi tentang hukum meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum

dan jurnal-jurnal hukum (Peter Mahmud Marzuki, 2006 : 141).

Page 36: digilib.uns.ac.id/Studi... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user STUDI KOMPARASI KEWENANGAN KELEMBAGAAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA DAN MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

20

Penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (normatif), sehingga bahan

dari penelitian ini adalah data-data hukum sekunder. Data-data hukum

sekunder oleh Soerjono Soekanto dikelompokkan menjadi (Soerjono Soekanto

dalam Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 1990 : 14-15) :

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat. Antara lain

sebagai berikut :

1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 tentang

Mahkamah Konstitusi juncto Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi;

3) Konstitusi Republik Afrika Selatan Tahun 1996 (Constitution Of The

Republic Of South Africa Number 108 Of 1996).

b. Bahan hukum sekunder yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai

bahan hukum primer. Menurut Peter Mahmud Marzuki, bahan penelitian

hukum sekunder adalah bahan-bahan berupa semua publikasi tentang

hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi, meliputi buku-

buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum, dan komentar-

komentar atas putusan pengadilan (Peter Mahmud Marzuki, 2005 : 141).

Bahan penelitian hukum sekunder yang digunakan penulis adalah

penjelasan dari tiap-tiap peraturan perundang-undangan sebagaimana telah

disebutkan di atas sebagai bahan hukum sekunder yang menjadi

pertimbangan penting bagi penulis, dikarenakan penjelasan dari tiap-tiap

peraturan perundang-undangan menggambarkan maksud dan tujuan

pembentukan peraturan perundang-undangan oleh subyek-subyek

pembentuknya, buku-buku yang terkait dengan materi/bahasan, hasil-hasil

penelitian, artikel, majalah, dan koran, pendapat pakar hukum maupun

makalah-makalah yang berhubungan dengan topik penulisan ini;

c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum penunjang yang memberikan

petunjuk terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.

Page 37: digilib.uns.ac.id/Studi... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user STUDI KOMPARASI KEWENANGAN KELEMBAGAAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA DAN MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

21

6. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan bahan hukum dalam penelitian ini menggunakan teknik

pengumpulan bahan hukum dengan studi pustaka. Studi pustaka yang

dimaksud dilakukan dengan cara melakukan pengkodean atas bahan-bahan

hukum baik primer maupun sekunder yang telah didapatkan. Bahan hukum

yang berhubungan dengan masalah yang dibahas dipaparkan, disistemisasi,

kemudian dianalisis untuk menginterpretasikan hukum yang berlaku.

7. Teknik Analisis Data

Teknik analisis yang digunakan dalam penulisan hukum ini adalah

analisis kualitatif dengan interaktif model yaitu komponen reduksi data dan

penyajian data dilakukan bersama dengan pengumpulan data, kemudian

setelah data terkumpul maka tiga komponen tersebut berinteraksi dan bila

kesimpulan dirasakan kurang, maka perlu ada verifikasi dan penelitian

kembali mengumpulkan data lapangan (H.B. Sutopo, 2002 : 8). Menurut H.

B. Sutopo, ketiga komponen tersebut adalah :

a. Reduksi Data

Merupakan proses seleksi, penyederhanaan dan abstraksi dari data.

b. Penyajian Data

Merupakan suatu realita organisasi informasi yang memungkinkan

kesimpulan penelitian dapat dilakukan, sajian data dapat meliputi

berbagai jenis matriks, gambar atau skema, jaringan kerja, kaitan

kegiatan dan juga tabel.

c. Kesimpulan atau Verifikasi

Setelah memahami arti dari berbagai hal yang meliputi pencatatan-

pencatatan, peraturan, pernyataan-pernyataan konfigurasi-konfigurasi

yang mungkin, alur sebab-akibat, akhirnya peneliti menarik kesimpulan

(HB. Sutopo, 2002: 37).

Teknik analisis kualitatif model interaktif dapat digambarkan dalam

bentuk rangkaian yang utuh antara ketiga komponen diatas (reduksi data,

Page 38: digilib.uns.ac.id/Studi... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user STUDI KOMPARASI KEWENANGAN KELEMBAGAAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA DAN MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

22

penyajian data, serta penarikan kesimpulan dan verifikasinya) sebagai

berikut :

(2)

(1)

(3)

Gambar 2. Model Analisis Interaktif

Dengan memperhatikan gambar tersebut, maka prosesnya dapat

dilihat secara jelas bahwa pada waktu pengumpulan data, peneliti membuat

reduksi data dan sajian data. Artinya, data yang berupa catatan lapangan

yang terdiri dari bagian deskripsi dan refleksinya adalah data yang telah

digali dan dicatat. Dari dua bagian data tersebut, peneliti menyusun rumusan

pengertiannya secara singkat, berupa pokok-pokok temuan yang penting

dalam arti inti pemahaman segala peristiwa yang dikaji, yang disebut

reduksi data. Kemudian dilakukan penyusunan sajian data yang berupa

cerita sistematis dan logis supaya makna peristiwanya menjadi lebih jelas

dipahami. Dari sajian data tersebut dilakukan penarikan simpulan

(sementara) dilanjutkan dengan verifikasinya.

Reduksi dan sajian data harus disusun pada waktu peneliti sudah

mendapatkan unit data dari sejumlah unit yang diperlukan dalam penelitian.

Pada waktu pengumpulan data telah berakhir, peneliti mulai melakukan

usaha dalam bentuk pembahasan (diskusi) untuk menarik simpulan dan

verifikasinya berdasarkan semua hal yang terdapat dalam reduksi maupun

sajian datanya.

Sajian

Data

Pengumpulan Data

Penarikan

Kesimpulan/Verifikasi

Reduksi

Data

Page 39: digilib.uns.ac.id/Studi... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user STUDI KOMPARASI KEWENANGAN KELEMBAGAAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA DAN MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

23

F. Sistematika Penulisan Hukum

Guna memberikan gambaran yang menyeluruh mengenai penelitian yang

akan dilakukan oleh penulis, perlu kiranya untuk mengetahui pembagian

sistematika penulisan hukum ini. Secara keseluruhan, penulisan hukum ini terdiri

dari 4 (empat) bab, yang tiap-tiap bab terbagi dalam sub-sub bagian dimaksudkan

untuk memudahkan pemahaman terhadap keseluruhan hasil penelitian ini.

Sistematika penulisan hukum tersebut adalah sebagai berikut :

BAB I : PENDAHULUAN

Berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian,

manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

Metode penelitian terdiri atas jenis penelitian, sifat penelitian,

pendekatan penelitian, jenis data, sumber data, teknik pengumpulan

data dan teknik analisis data.

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

Berisi kerangka teori dan kerangka pemikiran. Kerangka teori terdiri

dari teori-teori yang relevan dengan penelitian hukum ini yaitu :

Tinjauan tentang Perbandingan Hukum, Tinjauan tentang Negara

Hukum, Tinjauan tentang Demokrasi, Tinjauan tentang Konstitusi,

Tinjauan tentang Mahkamah Konstitusi, dan Tinjauan tentang Hukum

Acara Mahkamah Konstitusi.

BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Berisi hasil penelitian dan pembahasan guna menjawab pertanyaan-

pertanyaan mengenai persamaan dan perbedaan kewenangan

kelembagaan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dan

Mahkamah Konstitusi Republik Afrika Selatan dan mengenai aplikasi

gagasan mekanisme constitutional complaint setelah diadaptasi

dengan sistem hukum di Indonesia.

Page 40: digilib.uns.ac.id/Studi... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user STUDI KOMPARASI KEWENANGAN KELEMBAGAAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA DAN MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

24

BAB IV : PENUTUP

Berisi simpulan-simpulan yang didapat dari hasil penelitian dan

pembahasan serta saran-saran yang diajukan penulis sebagai implikasi

dari simpulan yang didapat.

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

Page 41: digilib.uns.ac.id/Studi... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user STUDI KOMPARASI KEWENANGAN KELEMBAGAAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA DAN MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

25

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerangka Teori

1. Tinjauan tentang Perbandingan Hukum

Suatu istilah kita pergunakan untuk menentukan apa yang hendak kita

berikan sebagai pengertian, sehingga dengan demikian penggunaannya akan

mempengaruhi pada ruang lingkup persoalan yang hendak kita kupas atau kita

selidiki. Terdapat dua istilah yang digunakan dalam lingkup ilmu pengetahuan

hukum, yaitu perbandingan hukum dan hukum perbandingan. Penggunaan

istilah yang berbeda-beda di lingkungan dunia ilmu pengetahuan hukum di

Indonesia, ternyata juga sebagai dampak dari dipergunakannya dua macam

istilah di Eropa Kontinental, yaitu :

a. Vergelijkendrecht dan Rechtvergelijking (Belanda);

b. Vergleichhendes dan Rechtsvergleichung (Jerman);

c. Droit Compare dan La Methode Compare (Perancis).

Terdapat berbagai istilah asing mengenai perbandingan hukum, yakni

antara lain : Comparative Law, Foreign Law (bahasa Inggris); Droit Compare

(istilah Perancis); Rechtsvergelijking (bahasa Belanda); dan Vergleichende

Rechtlehre (bahasa Jerman). Di dalam Black‟s Law Dictionary dikemukakan :

Comparative Jurisprudence is the study of principles of legal science by the

comparison of various systems of law. Suatu studi mengenai prinsip-prinsip

ilmu hukum dengan melakukan perbandingan berbagai macam sistem hukum

(Barda Nawawi Arief, 2002 : 3).

Apabila diamati istilah asingnya, comparative law, maka dapat diartikan

bahwa titik berat adalah kepada perbandingannya atau comparative, dalam hal

ini kalimat comparative memberikan sifat kepada hukum (yang dibandingkan).

Istilah perbandingan hukum, dengan demikian menitikberatkan kepada sisi

Page 42: digilib.uns.ac.id/Studi... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user STUDI KOMPARASI KEWENANGAN KELEMBAGAAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA DAN MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

26

perbandingannya, bukan kepada sisi hukumnya. Inti sedalamnya dari

pengertian istilah perbandingan hukum adalah membandingkan sistem-sistem

hukumnya (Romli Atmasasmita, 2000 : 7).

Untuk memperoleh bahan yang lebih lengkap, maka perlu dikemukakan

definisi perbandingan hukum dari berbagai pakar hukum terkenal. Berikut ini

beberapa definisi mengenai perbandingan hukum dari beberapa pakar hukum

sebagaimana dikutip oleh Romli Atmasasmita, di antaranya sebagai berikut :

a. Rudolf B. Schlesinger

Perbandingan hukum merupakan metode penyelidikan dengan tujuan

untuk memperoleh pengetahuan yang lebih dalam tentang bahan hukum

tertentu. Perbandingan hukum adalah bukanlah perangkat peraturan dan

asas-asas hukum dan bukan suatu cabang hukum, melainkan merupakan

teknik untuk menghadapi unsur hukum asing dari suatu masalah hukum

(Romli Atmasasmita, 2000 : 7).

b. Winterton

Perbandingan hukum adalah suatu metode perbandingan sistem

hukum dan perbandingan tersebut menghasilkan data sistem hukum yang

dibandingkan (Romli Atmasasmita, 2000 : 7).

c. Gutteridge

Perbandingan hukum adalahsuatu metode perbandingan yang dapat

digunakan dalam semua cabang hukum. Ia membedakan antara comparative

law dan foreign law (hukum asing), pengertian istilah yang pertama untuk

membandingkan dua sistem hukum atau lebih, sedangkan pengertian istilah

hukum yang kedua adalah mempelajari hukum asing tanpa secara nyata

membandingkannya dengan sistem hukum yang lain (Winterton, dalam The

Am. J. Of Comp. L., 197 : 72 diterjemahkan dalam buku Romli

Atmasasmita, 2000 : 7).

d. Lemaire

Perbandingan hukum sebagai cabang ilmu pengetahuan (yang juga

mempergunakan metode perbandingan) mempunyai lingkup (isi dari)

Page 43: digilib.uns.ac.id/Studi... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user STUDI KOMPARASI KEWENANGAN KELEMBAGAAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA DAN MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

27

kaidah-kaidah hukum, persamaan dan perbedaannya, sebab-sebabnya, dan

dasar-dasar kemasyarakatannya (Romli Atmasasmita, 2000 : 9).

e. Ole Lando

Perbandingan hukum mencakup analysis and comparison of the law.

Pendapat tersebut sudah menunjukkan kecenderungan untuk mengakui

perbandingan sebagai cabang ilmu hukum (Romli Atmasasmita, 2000 : 9).

f. Hessel Yutema

Mengemukakan bahwa definisi perbandingan hukum ialah

comparative law is simply another name for legal science, or like other

branches of science it has a universal humanistic outlook; it contemplates

hat while the technique nay vary, the problems of justice are basically the

same in time and space throuhout the world. Perbandingan hukum hanya

suatu nama lain untuk ilmu hukum dan merupakan bagian yang menyatu

dari suatu ilmu sosial, atau seperti cabang ilmu lainnya. Perbandingan

hukum memiliki wawasan yang universal, sekalipun caranya berlainan,

masalah keadilan pada dasarnya baik menurut waktu dan tempat di seluruh

dunia (Romli Atmasasmita, 2000 : 9).

g. Orucu

Mengemukakan suatu definisi perbandingan hukum adalah

comparative law is legal discipline aiming at ascertaining similarities and

differences and finding out relationship between variuos legal systems, their

assence and style, looking at comparable legal institutions and concepts and

typing to determine solutions to certain problems in these systems with a

definite goal in mind, such as law reform, unification, etc. Perbandingan

hukum merupakan suatu disiplin ilmu hukum yang bertujuan menemukan

persamaan dan perbedaan serta menemukan hubungan-hubungan yang erat

antara berbagai sistem-sistem hukum, melihat perbandingan lembaga-

lembaga hukum, konsep-konsep serta mencoba menentukan suatu

penyelesaian atas masalah-masalah tertentu dalam sistem-sistem hukum

dimaksud dengan tujuan seperti pembaharuan hukum, unifikasi hukum, dll

(Romli Atmasasmita, 2000 : 9).

Page 44: digilib.uns.ac.id/Studi... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user STUDI KOMPARASI KEWENANGAN KELEMBAGAAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA DAN MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

28

Mencermati berbagai definisi-definisi perbandingan hukum di atas dan

menurut analisis dari penulis bahwa terdapat dua kelompok dari definisi

tersebut, yaitu kelompok pertama yang menyatakan bahwa perbandingan

hukum merupakan suatu metode, sementara kelompok kedua menyatakan

bahwa perbandingan hukum merupakan cabang dari ilmu hukum. Kedua

kelompok definisi tersebut dikemukakan sesuai dengan masanya sehingga

dapat diakui kebenarannya. Namun demikian definisi dari kelompok yang

pertama yang akan penulis pakai dalam penulisan hukum ini sebagai alat untuk

mengetahui persamaan dan perbedaan dua sistem hukum.

Suitens Bourgois mengatakan bahwa perbandingan hukum bukanlah

cabang dari hukum, ia bukan ilmu pengetahuan yang berdiri sendiri seperti

misalnya hukum perdata, hukum dagang, hukum tata negara, hukum

internasional, dan sebagainya. Selanjutnya dikatakan bahwa perbandingan

hukum adalah satu metode perbandingan yang diterapkan pada ilmu hukum,

pada bermacam-macam mata kuliah hukum. Oleh karenanya, perbandingan

hukum bukanlah suatu ilmu pengetahuan, akan tetapi ia hanyalah metode kerja

dalam bentuk perbandingan (Sri Soemantri, 2006 : 3).

Hal ini dapat dibuktikan bahwa jika hukum didefinisikan antara lain

sebagai seperangkat aturan, maka perbandingan hukum atau hukum

perbandingan tidak mempunyai perangkat aturan-aturan itu. Metode untuk

membanding-bandingkan peraturan hukum dari bermacam-macam sistem

hukum, tidak membawa akibat terjadinya rumusan peraturan yang berdiri

sendiri, dengan kata lain tidak ada yang disebut “peraturan hukum

perbandingan”. Ciri dasar dari metode perbandingan ini adalah bahwa ia dapat

diterapkan terhadap penelitian mengenai bidang hukum tertentu.

Menurut Sri Soemantri, perbandingan hukum dapat dibedakan sebagai

berikut :

a. Perbandingan Hukum Deskriptif (Menggambarkan), yaitu suatu analisa

terhadap perbedaan-perbedaan yang ada dari dua atau lebih sistem hukum.

Page 45: digilib.uns.ac.id/Studi... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user STUDI KOMPARASI KEWENANGAN KELEMBAGAAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA DAN MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

29

Dengan perbandingan ini si peneliti tidak mempunyai maksud untuk

mencari jalan keluar terhadap persoalan tertentu, baik dalam hal yang

abstrak maupun hal yang praktis. Adapun metode perbandingan dilakukan

untuk memperoleh penjelasan atau informasi mengenai hal tertentu; dan

b. Perbandingan Hukum Aplikatif (Terapan), yaitu analisa yang dilakukan

kemudian diikuti dengan menyusun suatu sintesa dengan tujuan untuk

memecahkan suatu masalah. Hal ini dimaksudkan untuk melakukan

pembaharuan suatu cabang hukum atau untuk mempersatukan bermacam-

macam peraturan perundang-undangan yang mengatur bidang yang sama.

Beliau menggunakan istilah ilmu perbandingan hukum tata negara, yaitu suatu

cabang ilmu hukum yang dengan mempergunakan metode perbandingan

berusaha membanding-bandingkan satu atau beberapa aspek hukum tata negara

dua negara atau lebih.

Kranenburg juga menggunakan istilah ilmu perbandingan hukum tata

negara, yaitu suatu ilmu pengetahuan yang dengan mempergunakan hasil-hasil

ilmu negara umum mengumpulkan dan menyusun bahan-bahan itu secara

metodis dan sistematis kemudian menganalisanya. Tugas ilmu perbandingan

hukum tata negara adalah untuk menganalisa secara metodis dan menetapkan

secara sistematis bermacam-macam bentuk atau sistem kenegaraan ciri-ciri

khusus apakah yang melekat padanya, hal-hal apakah yang menimbulkannya,

dengan jalan apakah hal-hal itu berubah, hilang dan lain sebagainya.

Nasroen mengemukakan adanya tiga macam derajat atau kedudukan dan

lingkup ilmu pengetahuan, yaitu :

a. Beschrijvend wetenchap yaitu ilmu pengetahuan yang tugasnya hanya

menggambarkan saja;

b. Verklarend wetenschap yaitu ilmu pengetahuan yang tugasnya menyelidiki

sebab musabab sesuatu atau menjelaskan; dan

c. Waarderend wetenschap yaitu ilmu pengetahuan yang tugasnya memberi

nilai dan dapat memberi pedoman menuju sesuatu yang sempurna. Dalam

Page 46: digilib.uns.ac.id/Studi... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user STUDI KOMPARASI KEWENANGAN KELEMBAGAAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA DAN MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

30

pemberian nilai ini, terbuka kemungkinan ke arah mana sesuatu itu akan

dibawa dan diarahkan.

Kranenburg mengatakan bahwa ilmu perbandingan hukum tata negara

adalah ilmu pengetahuan yang memberikan penjelasan atau menyelidiki sebab

musabab sesuatu (verklarend wetenschap) dan upaya pengembangan ke arah

tersebut, sangat memerlukan pula baik secara paralel atau tidak, pengembangan

ilmu negara umum dan ajaran hukum umum (de algemene rechtsleer) menjadi

suatu syarat mutlak.

Nasroen berpendapat bahwa ilmu perbandingan pemerintahan/negara

harus merupakan suatu ilmu pengetahuan yang memberi nilai (waarderend

wetenschap), ia harus sanggup menentukan secara obyektif bagaimanakah

pemerintah/negara itu seharusnya, antara lain yaitu pemerintah/negara yang

memberikan manfaat sebaik-baiknya bagi masyarakatnya dan inilah yang

merupakan ukuran dalam melakukan perbandingan antar negara/pemerintah.

Pendapat tersebut jika dihubungkan denganilmu perbandingan tata negara,

maka ilmu ini bertugas untuk mendapatkan negara yang seharusnya atau

negara yang dicita-citakan (staats idee), yang akan berlaku di mana-mana.

Bagaimanapun obyektifnya penyelidikan dilakukan, oleh karena terletak

pada bidang nilai, pada akhirnya hal itu tidak terlepas dari subyektivitas orang

yang mengemukakan negara yang dicita-citakan (ide negara) tersebut, apalagi

jika masalah tersebut kita tinjau dari kemungkinan pelaksanaannya yang

kemungkinan mustahil terjadi. Oleh karena, misalnya kita akan menjumpai

kenyataan misalnya adanya letak geografi yang tidak sama, sifat-sifat bangsa

yang beraneka ragam, paham politik yang tidak sama, yang memperkuat

pendapat tidak mungkinnya diketemukan ide negara yang benar-benar ide

negara.

Sri Soemantri tidak sependapat dengan Nasroen yang mengatakan bahwa

ilmu perbandingan tata negara adalah ilmu pengetahuan yang memberi nilai,

dan Sri Soemantri memandang pendapat Kranenburg lebih tepat yaitu yang

Page 47: digilib.uns.ac.id/Studi... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user STUDI KOMPARASI KEWENANGAN KELEMBAGAAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA DAN MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

31

mengatakan bahwa ilmu perbandingan hukum tata negara adalah ilmu

pengetahuan yang tuganya mencari atau menyelidiki sebab musabab atau

menjelaskan sesuatu (verklarend wetenschap).

Jika perbandingan ini diterapkan pada hukum tata negara, maka melalui

metode ini dilakukan perbandingan terhadap hukum tata negara dari dua negara

atau lebih dengan maksud memperoleh penjelasan mengenai sesuatu hal

tertentu atau untuk mencari jalan keluar tentang sesuatu hal tertentu. Metode

perbandingan membawa kita ke arah usaha memperoleh informasi, kejelasan

mengenai sistem pemerintahan negara yang diperbandingkan serta jalan keluar

dari persoalan yang hampir sama.

2. Tinjauan tentang Negara Hukum

Negara hukum merupakan terjemahan dari rechtstaat (ahli-ahli hukum

Eropa Kontinental) atau rule of law (ahli-ahli hukum Anglo Saxon). Ide negara

hukum, selain terkait dengan konsep rechtstaat dan rule of law, juga berkaitan

dengan konsep nomocracy sebagai faktor penentu dalam penyelenggaraan

kekuasaan. Karena itu, istilah nomokrasi itu berkaitan erat dengan ide

kedaulatan hukum atau prinsip hukum sebagai kekuasaan tertinggi.

Menurut Komisi Ahli Hukum Internasional (The International

Commission of Jurist), pemerintah yang demokratis di bawah rule of law harus

memenuhi syarat sebagai berikut :

a. Adanya perlindungan konstitusional;

b. Adanya pemilihan umum yang bebas;

c. Adanya badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak;

d. Adanya kebebasan untuk menyatakan pendapat;

e. Adanya kebebasan untuk berserikat/berorganisasi dan beroposisi;

f. Adanya pendidikan kewarganegaraan (civic education).

Page 48: digilib.uns.ac.id/Studi... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user STUDI KOMPARASI KEWENANGAN KELEMBAGAAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA DAN MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

32

Utrecht membedakan antara negara hukum formil dan negara hukum

materiil. Negara hukum formil menyangkut pengertian hukum yang bersifat

formil dan sempit yaitu dalam arti perundang-undangan tertulis, sedangkan

negara hukum materiil yang lebih mutakhir, mencakup pula pengertian

keadilan di dalamnya.

Wolfgang Friedman dalam bukunya Law in a Changing Society

membedakan antara rule of law dalam arti formil dan rule of law dalam arti

materiil. Pembedaan ini, menurut Jimly Asshiddiqie, memang dimaksudkan

untuk menegaskan bahwa dalam konsepsi negara hukum itu, keadilan tidak

serta-merta akan terwujud secara substantif, terutama karena pengertian orang

mengenai hukum itu sendiri dapat dipengaruhi oleh aliran pengertian hukum

formil dan dapat pula dipengaruhi oleh aliran pikiran hukum utama.

Jika hukum dipahami secara kaku dan sempit dalam arti perundang-

undangan semata, niscaya pengertian negara hukum yang dikembangkan

bersifat sempit dan terbatas serta belum tentu menjamin keadilan substantif.

Karena itu, di samping istilah the rule of law oleh Friedman juga

dikembangkan istilah rule of just law untuk memastikan bahwa dalam

pengertian tentang the rule of law tercakup pengertian keadilan yang lebih

esensial daripada sekedar memfungsikan peraturan perundang-undangan dalam

arti sempit. Kalaupun istilah yang digunakan tetap the rule of law, pengertian

yang bersifat luas itulah yang diharapkan dicakup dalam istilah the rule of law

yang digunakan untuk menyebut konsepsi tentang negara hukum di zaman

sekarang (Majalah Konstitusi, 2009. Edisi 26 : 16).

Dari uraian-uraian di atas, dapat dirumuskan kembali adanya 12 pokok

prinsip negara hukum (Rechtstaat) yang merupakan pilar-pilar utama yang

menyangga berdiri tegaknya satu negara modern sehingga dapat disebut negara

hukum yaitu (Jimly Asshiddiqie, 2005 : 151) :

a. Supremasi Hukum (Supremacy of Law)

Page 49: digilib.uns.ac.id/Studi... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user STUDI KOMPARASI KEWENANGAN KELEMBAGAAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA DAN MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

33

Adanya pengakuan normatif dan empirik akan prinsip supremasi

hukum, yaitu bahwa semua masalah diselesaikan dengan hukum sebagai

pedoman tertinggi. Dalam perspektif supremasi hukum (supremacy of law),

pada hakikatnya pemimpin tertinggi negata yang sesungguhnya bukanlah

manusia, tetapi konstitusi yang mencerminkan hukum yang tertinggi. Dalam

republik yang menganut sistem presidensiil yang bersifat murni, konstitusi

itulah yang sebenarnya lebih tepat untuk disebut sebagai kepala negara dan

kepala pemerintahan seperti dalam sistem pemerintahan parlementer.

b. Persamaan dalam Hukum (Equality before the Law)

Adanya persamaan kedudukan setiap orang dalam hukum dan

pemerintahan, yang diakui secara normatif dan dilaksanakan secara empirik.

Dalam rangka prinsip persamaan, segala sikap diskriminatif dalam segala

bentuk dan manifestasinya diakui sebagai sikap dan tindakan yang terlarang,

kecuali tindakan-tindakan yang bersifat khusus dan sementara guna

mendorong dan mempercepat kelompok masyarakat tertentu atau kelompok

warga masyarakat tertentu untuk mengejar kemajuan sehingga mencapai

tingkat perkembangan yang sama dan setara dengan kelompok masyarakat

yang jauh lebih maju.

c. Asas Legalitas (Due Process of Law)

Dalam setiap negara hukum, dipersyaratkan berlakunya asas legalitas

dalam segala bentuknya (Due Process of Law) yaitu bahwa segala tindakan

pemerintahan harus didasarkan atas peraturan perundang-undangan yang

sah dan tertulis.

d. Pembatasan Kekuasaan

Adanya pembatasan kekuasaan negara dan organ-organ negara dengan

cara menerapkan prinsip pembagian kekuasaan secara vertikal atau

pemisahan kekuasaan secara horizontal. Sesuai dengan hukum besi

Page 50: digilib.uns.ac.id/Studi... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user STUDI KOMPARASI KEWENANGAN KELEMBAGAAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA DAN MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

34

kekuasaan, setiap kekuasaan pasti memiliki kecenderungan untuk

berkembang menjadi sewenang-wenang.

Karena itu, kekuasaan harus selalu dibatasi dengan cara memisah-

misahkan kekuasaan ke dalam cabang-cabang yang bersifat checks and

balances dalam kedudukan yang sederajat dan saling mengimbangi dan

mengendalikan satu sama lain. Pembatasan kekuasaan juga dilakukan

dengan membagi-bagi kekuasaan ke dalam beberapa organ yang tersusun

secara vertikal. Dengan begitu, kekuasaan tidak tersentralisasi dan

terkonsentrasi dalam satu organ atau satu tangan yang memungkinkan

terjadinya kesewenang-wenangan.

e. Organ-organ Eksekutif Independen

Dalam rangka membatasi kekuasaan itu, di zaman sekarang

berkembang pula adanya pengaturan kelembagaan pemerintahan yang

bersifat independen, seperti bank sentral, organisasi tentara, organisasi

kepolisian, dan kejaksaan. Lembaga, badan atau organisasi-organisasi ini

sebelumnya dianggap sepenuhnya berada dalam kekuasaan eksekutif, tetapi

sekarang berkembang menjadi independen sehingga tidak lagi sepenuhnya

merupakan hak mutlak seorang kepala eksekutif untuk menentukan

pengangkatan atau pemberhentian pimpinannya.

f. Peradilan yang Bebas dan Tidak Memihak

Adanya peradilan yang bebas dan tidak memihak ini mutlak harus ada

dalam setiap negara hukum. Dalam menjalankan tugas yudisialnya, hakim

tidak boleh dipengaruhi oleh siapapun juga, baik karena kepentingan jabatan

(politik) maupun kepentingan uang. Untuk menjamin keadilan dan

kebenaran, tidak diperkenankan adanya intervensi ke dalam proses

pengambilan putusan keadilan oleh hakim, baik intervensi dari lingkungan

kekuasaan eksekutif maupun legislatif ataupun dari kalangan masyarakat

dan media massa.

Page 51: digilib.uns.ac.id/Studi... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user STUDI KOMPARASI KEWENANGAN KELEMBAGAAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA DAN MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

35

g. Peradilan Tata Usaha Negara

Peradilan Tata Usaha Negara juga menyangkut prinsip peradilan

bebas dan tidak memihak, tetapi penyebutannya secara khusus sebagai pilar

utama negara hukum. Dalam setiap negara hukum, harus terbuka

kesempatan bagi tiap-tiap warga negara untuk menggugat keputusan pejabat

administrasi negara. Peradilan Tata Usaha Negara ini penting karena yang

menjamin agar warga negara tidak dizalimi oleh keputusan-keputusan para

pejabat administrasi negara sebagai pihak yang berkuasa.

h. Peradilan Tata Negara (Constitutional Court)

Dalam negara hukum modern diharapkan adanya jaminan tegaknya

keadilan tiap-tiap warga negara dengan mengadopsikan gagasan Mahkamah

Konstitusi dalam sistem ketatanegaraannya. Pentingnya Mahkamah

Konstitusi adalah upaya memperkuat sistem checks and balances antara

cabang-cabang kekuasaan yang sengaja dipisah-pisahkan untuk menjamin

demokrasi.

i. Perlindungan Hak Asasi Manusia

Adanya perlindungan konstitusional terhadap hak asasi manusia

dengan jaminan hukum bagi tuntutan penegakannya melalui proses yang

adil. Perlindungan terhadap hak asasi manusia tersebut dimasyarakatkan

secara luas dalam rangka mempromosikan penghormatan dan perlindungan

terhadap hak asasi manusia sebagai ciri yang penting suatu negara hukum

yang demokratis.

j. Bersifat Demokratis (Democratische Rechtstaat)

Dalam prinsip demokrasi yang menjamin peran serta masyarakat

dalam proses pengambilan keputusan kenegaraan, sehingga setiap peraturan

perundang-undangan yang ditetapkan dan ditegakkan mencerminkan

perasaan keadilan yang hidup di tengah masyarakat. Hukum dan peraturan

perundang-undangan yang berlaku, tidak boleh ditetapkan secara sepihak

Page 52: digilib.uns.ac.id/Studi... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user STUDI KOMPARASI KEWENANGAN KELEMBAGAAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA DAN MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

36

oleh dan/atau hanya untuk kepentingan penguasa secara bertentangan

dengan prinsip-prinsip demokrasi.

k. Berfungsi sebagai Sarana Mewujudkan Tujuan Bernegara (Welfare

Rechtstaat)

Hukum adalah sarana untuk mencapai tujuan yang diidealkan

bersama. Cita-cita hukum itu sendiri, baik yang dilembagakan melalui

gagasan negara demokrasi maupun yang diwujudkan melalui gagasan

negara hukum yang dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan umum.

Bahkan sebagaimana cita-cita nasional yng dirumuskan dalam Pembukaan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, tujuan

bangsa Indonesia bernegara adalah dalam rangka melindungi segenap

bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan

umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban

dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.

l. Transparansi dan Kontrol Sosial

Adanya transparansi dan kontrol sosial yang terbuka terhadap setiap

proses pembuatan dan penegakan hukum, sehingga kelemahan dan

kekurangan yang terdapat dalam mekanisme kelembagaan resmi dapat

dilengkapi secara komplementer oleh peran serta masyarakat secara

langsung dalam rangka menjamin keadilan dan kebenaran. Adanya

partisipasi langsung ini penting karena sistem perwakilan rakyat melalui

parlemen tidak pernah dapat diandalkan sebagai satu-satunya saluran

aspirasi rakyat.

3. Tinjauan tentang Demokrasi

a. Pengertian dan Hakikat Demokrasi

Pengertian tentang demokrasi dapat dilihat dari tinjauan bahasa

(etimologis) dan istilah (terminologis). Secara etimologis, demokrasi berasal

dari dua kata yang berasal dari bahasa Yunani Kuno, yaitu demos yang

Page 53: digilib.uns.ac.id/Studi... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user STUDI KOMPARASI KEWENANGAN KELEMBAGAAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA DAN MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

37

berarti rakyat, dan cratos atau cratein yang berarti pemerintahan, sehingga

dapat disimpulkan sebagai pemerintahan rakyat. Demokrasi adalah bentuk

atau mekanisme sistem pemerintahan suatu negara sebagai upaya

mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan warga negara) atas negara untuk

dijalankan oleh pemerintah negara tersebut. Demokrasi bila ditinjau dari

terminologis (Azyumardi Azra, 2000 : 110), sebagaimana dikemukakan

beberapa ahli, misalnya :

1) Joseph A. Schmeter, bahwa demokrasi adalah suatu perencanaan

institusional untuk mencapai keputusan politik dimana individu-individu

memperoleh kekuasaan untuk memutuskan cara perjuangan kompetitif

atas suara rakyat.

2) Sidney Hook, bahwa demokrasi merupakan bentuk pemerintahan dimana

keputusan-keputusan pemerintah yang penting secara langsung atau tidak

langsung didasarkan pada kesepakatan mayoritas yang diberikan secara

bebas dari rakyat dewasa.

3) Phillipe C. Schmitter dan Terry Lynn Karl yang menyatakan bahwa

demokrasi sebagai suatu sistem pemerintahan dimana pemerintah

dimintai tanggung jawab atas tindakan-tindakan mereka di wilayah

publik oleh warga negara yang bertindak secara tidak langsung melalui

kompetisi dan kerja sama dengan para wakil mereka yang telah terpilih.

4) Henry B. Mayo, bahwa demokrasi merupakan suatu sistem politik yang

menunjukkan bahwa kebijakan umum ditentukan atas dasar mayoritas

oleh wakil-wakil yang diawasi secara efektif oleh rakyat dalam

pemilihan-pemilihan berkala yang didasarkan atas prinsip kesamaan

politik dan diselenggarakan dalam suasana terjaminnya kebebasan

politik.

5) Affan Gaffar, bahwa demokrasi terbagi dalam dua bentuk yaitu

pemaknaan secara normatif, ialah demokrasi yang secara ideal hendak

dilakukan oleh suatu negara, dan pemaknaan secara empirik, yaitu

demokrasi dalam perwujudannya pada dunia politik praktis.

Page 54: digilib.uns.ac.id/Studi... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user STUDI KOMPARASI KEWENANGAN KELEMBAGAAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA DAN MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

38

Berdasarkan berbagai pendapat di atas, maka dapat ditarik suatu

pengertian dasar bahwa demokrasi merupakan suatu sistem pemerintahan

dimana kekuasaan berada di tangan rakyat, yang mengandung tiga unsur,

yaitu pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Pemerintahan

dari rakyat mengandung pengertian bahwa pemerintah yang berdaulat

adalah pemerintah yang mendapat pengakuan dan didukung oleh rakyat.

Legitimasi suatu pemerintahan sangat penting karena dengan legitimasi

tersebut, pemerintahan yang berdaulat dapat menjalankan pemerintahannya

serta program-program sebagai wujud amanat dari rakyat yang diberikan

kepadanya.

Pemerintahan oleh rakyat berarti bahwa pemerintah yang mendapat

legitimasi amanat dari rakyat sudah seharusnya untuk tunduk pada

pengawasan rakyat (social control). Dengan adanya pengawasan (control)

tersebut, maka dapat sebagai tindakan preventif mengantisipasi ambisi

keotoriteran para pejabat pemerintah.

Pemerintahan untuk rakyat mengandung arti bahwa kekuasaan yang

diberikan dari dan oleh rakyat kepada pemerintah harus dijalankan untuk

kepentingan rakyat. Oleh karena itu, perlu adanya kepekaan pemerintah

terhadap kebutuhan rakyat dan terhadap aspirasi rakyat yang perlu

diakomodir yang kemudian di follow up melalui pengeluaran kebijakan

maupun melalui peleksanaan program kerja pemerintah.

Salah satu pilar demokrasi adalah prinsip trias politica yang membagi

ketiga kekuasaan politik negara (eksekutif, legislatif, dan yudikatif) untuk

diwujudkan dalam tiga jenis lembaga negara yang saling lepas

(independence) dan berada dalam peringkat sejajar satu sama lain.

Independensi dan kesejajaran dari ketiga jenis lembaga negara ini

diperlukan agar ketiga lembaga negara ini bisa saling mengawasi dan saling

mengontrol berdasarkan prinsip checks and balances.

Kedaulatan rakyat yang dimaksud di sini bukan dalam arti hanya

kedaulatan memilih presiden atau anggota-anggota parlemen secara

langsung, tetapi dalam arti yang lebih luas. Suatu pemilihan presiden atau

Page 55: digilib.uns.ac.id/Studi... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user STUDI KOMPARASI KEWENANGAN KELEMBAGAAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA DAN MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

39

anggota-anggota parlemen secara langsung tidak menjamin negara tersebut

sebagai negara demokrasi sebab kedaulatan rakyat memilih sendiri secara

langsung hanyalah sedikit dari sekian banyak makna kedaulatan rakyat.

Peranannya dalam sistem demokrasi tidak besar, suatu pemilu sering

dijuluki pesta demokrasi. Ini adalah akibat cara berpikir (paradigma) lama

dari sebagian masyarakat yang masih terlalu tinggi meletakkan tokoh

impian ratu adil. Padahal sebaik apapun seorang pemimpin negara, masa

hidupnya akan jauh lebih pendek daripada masa hidup suatu sistem yang

sudah teruji mampu membangun negara.

b. Asas-asas Demokrasi

Dalam menentukan berlakunya suatu sistem demokrasi di suatu

negara ialah ada tidaknya asas-asas demokrasi dalam sistem pemerintahan

suatu negara. Adapun asas-asas demokrasi di antaranya sebagai berikut

(Anonim,(http://pendkewarganegaraansmpnasima.blogspot.com/2009/01/bl

ogspot.html> [4 Februari 2012 pukul 14.30 WIB]) :

1) Adanya pengakuan hak-hak asasi manusia sebagai penghargaan terhadap

martabat manusia

Negara berperan aktif dalam memberikan perlindungan dan

menjamin hak asasi manusia dengan diatur dalam peraturan perundang-

undangan yang mempunyai payung hukum yang jelas terhadap hak asasi

manusia. Seperti di Indonesia, sudah ada pengakuan terhadap hak asasi

manusia yang dicantumkan dalam UUD RI 1945 dan Undang-Undang

Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

2) Adanya partisipasi dan dukungan rakyat kepada pemerintah

Rakyat ikut serta menentukan kebijakan pemerintah yang bersifat

asasi dan menguasai hajat hidup orang banyak sehingga pemerintah tdak

dapat semena-mena dalam menentukan kebijakan, perlu adanya kontrol

dari rakyat. Di sisi lain, pemerintah membutuhkan dukungan langsung

Page 56: digilib.uns.ac.id/Studi... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user STUDI KOMPARASI KEWENANGAN KELEMBAGAAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA DAN MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

40

dari rakyat dalam hal pemilihan wakil rakyat maupun pemilihan

presiden.

c. Faktor-faktor Penegak Demokrasi

Mengingat sangat pentingnya demokrasi, maka perlu adanya faktor-

faktor untuk menegakkan demokrasi itu sendiri (Azyumardi Azra, 2000 :

117-121). Ada empat faktor utama yaitu :

1) Negara hukum (rechtstaat dan rule of law)

Konsep rechtstaat adalah adanya perlindungan terhadap Hak Asasi

Manusia (HAM), adanya pemisahan dan pembagian kekuasaan pada

lembaga negara, pemerintahan berdasarkan peraturan, serta adanya

peradilan administrasi. Konsep dari rule of law yaitu adanya supremasi

aturan-aturan hukum, adanya kedudukan yang sama di muka hukum

(equality before of the law), serta adanya jaminan perlindungan HAM.

Berdasarkan dua pandangan di atas, maka dapat ditarik suatu

konsep pokok dari negara hukum adalah adanya jaminan perlindungan

terhadap HAM, adanya supremasi hukum dalam penyelenggaraan

pemerintahan, adanya pemisahan dan pembagian kekuasaan negara, dan

adanya lembaga peradilan yang bebas dan mandiri.

2) Masyarakat madani

Masyarakat madani dicirikan dengan masyarakat yang terbuka,

yang bebas dari pengaruh kekuasaan dan tekanan negara, masyarakat

yang kritis dan berpartisipasi aktif, serta masyarakat yang egaliter.

Masyarakat yang seperti ini merupakan elemen yang sangat signifikan

dalam membangun demokrasi. Demokrasi yang terbentuk kemudian

dapat dianggap sebagai hasil dinamika masyarakat yang menghendaki

adanya partisipasi. Selain itu, demokrasi merupakan pandangan

mengenai masyarakat dalam kaitan dengan pengungkapan kehendak,

adanya perbedaan pandangan, adanya keragaman dan konsensus.

Page 57: digilib.uns.ac.id/Studi... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user STUDI KOMPARASI KEWENANGAN KELEMBAGAAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA DAN MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

41

3) Infrastruktur

Infrastruktur politik yang dimaksud terdiri dari partai politik

(parpol), kelompok gerakan, serta kelompok kepentingan atau kelompok

penekan. Partai politik merupakan suatu wadah struktur kelembagaan

politik yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai, dan cita-cita

yang sama yaitu memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan

politik dalam mewujudkan kebijakan-kebijakannya. Kelompok gerakan

lebih dikenal dengan organisasi masyarakat, yang merupakan

sekelompok orang yang berhimpun dalam satu wadah organisasi yang

berorientasi pada pemberdayaan warganya. Kelompok kepentingan atau

kelompok penekan adalah sekumpulan orang dalam suatu wadah

organisasi yang didasarkan pada kriteria profesionalitas dan keilmuan

tertentu.

Dikaitkan dengan demokrasi, menurut Miriam Budiardjo, parpol

memiliki empat fungsi yaitu sebagai sarana komunikasi politik, sebagai

sarana sosialisasi politik, sebagai recruitment kader dan anggota politik,

serta sebagai sarana pengatur konflik. Keempat fungsi tersebut

merupakan pengejawantahan dari nilai-nilai demokrasi, yaitu adanya

partisipasi serta kontrol rakyat melalui parpol. Sedangkan kelompok

gerakan dan kelompok kepentingan merupakan perwujudan adanya

kebebasan berorganisasi, kebebasan menyampaikan pendapat, dan

melakukan oposisi terhadap negara dan pemerintah.

4) Pers yang bebas dan bertanggung jawab

Pers yang dapat menjalankan fungsinya sebagai penyebar informasi

yang obyektif melakukan kontrol sosial yang konstruktif menyalurkan

aspirasi rakyat dan meluaskan komunikasi dan partisipasi masyarakat.

Dalam hal ini perlu dikembangkan interaksi positif antara pers,

pemerintah, dan masyarakat (Sukarno, 1986 : 30).

Page 58: digilib.uns.ac.id/Studi... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user STUDI KOMPARASI KEWENANGAN KELEMBAGAAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA DAN MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

42

d. Model-model Demokrasi (Azyumardi Azra, 2000 : 134)

1) Demokrasi liberal, yaitu pemerintahan yang dibatasi undang-undang dan

pemilihan umum bebas yang diselenggarakan dalam waktu yang tetap

secara berkala.

2) Demokrasi terpimpin, yaitu dimana para pemimpin percaya bahwa segala

tindakan mereka dipercaya rakyat tetapi menolak pemilihan umum yang

bersaing sebagai “kendaraan” untuk menduduki kekuasaan.

3) Demokrasi Pancasila adalah dimana kedaulatan rakyat sebagai inti dari

demokrasi. Karenanya rakyat mempunyai hak yang sama untuk

menentukan dirinya sendiri. Begitu pula partisipasi politik yang sama

semua rakyat. Untuk itu, pemerintah patut memberikan perlindungan dan

jaminan bagi warga negara dalam menjalankan hak politik.

4) Demokrasi sosial adalah demokrasi yang menaruh kepedulian pada

keadilan sosial dan egaliterianisme bagi persyaratan untuk memperoleh

kepercayaan publik.

5) Demokrasi partisipasi, yang merupakan hubungan timbal balik antara

penguasa dan yang dikuasai.

6) Demokrasi consociational, yang menekankan proteksi khusus bagi

kelompok-kelompok budaya yang menekankan kerja sama yang erat di

antara elit yang mewakili bagian budaya masyarakat utama.

7) Demokrasi langsung, yang mana lembaga legislatif hanya berfungsi

sebagai lembaga pengawas jalannya pemerintahan, sedangkan pemilihan

pejabat eksekutif dan legislatif melalui pemilihan umum (pemilu) oleh

rakyat secara langsung.

8) Demokrasi tidak langsung, yang mana lembaga parlemen (sebagai wakil

rakyat) dituntut kepekaan terhadap berbagai hal yang berkaitan dengan

kehidupan masyarakat dalam hubungannya dengan pemerintah dan

negara. Hal ini berarti rakyat tidak secara langsung berhadapan dengan

pemerintah.

Page 59: digilib.uns.ac.id/Studi... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user STUDI KOMPARASI KEWENANGAN KELEMBAGAAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA DAN MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

43

4. Tinjauan tentang Konstitusi

Dalam kepustakaan Belanda, diadakan pembedaan antara pengertian

undang-undang dasar (grondwet) dan konstitusi (constitutie). Undang-undang

dasar adalah bagian tertulis dari suatu konstitusi, karena konstitusi bisa dalam

bentuk tertulis atau tidak (Miriam Budiardjo, 2007 : 95).

a. Sejarah Konstitusi

1) Terminologi Klasik (Constitutio dan Politeia)

Dari sejarah klasik terdapat dua perkataan yang berkaitan erat

dengan pengertian kita sekarang tentang konstitusi, yaitu dalam

perkataan Yunani Kuno politeia dan perkataan bahasa Latin constitutio

yang juga berkaitan dengan kata jus. Dalam kedua perkataan politeia dan

constitutio itulah awal mula gagasan konstitusionalisme diekspresikan

oleh umat manusia beserta hubungan di antara kedua istilah tersebut

dalam sejarah. Jika kedua istilah tersebut dibandingkan, maka dapat

dikatakan bahwa yang paling tua usianya adalah politeia yang berasal

dari kebudayaan Yunani.

Namun, dalam bahasa Yunani Kuno tidak dikenal adanya istilah

yang mencerminkan kata jus ataupun constitutio seperti dalam tradisi

Romawi yang datang kemudian. Dalam keseluruhan sistem berpikir para

filosof Yunani Kuno, perkataan constitution seperti yang kita maksudkan

sekarang, tidak dikenal.

2) Warisan Yunani Kuno (Aristoteles)

Menurut Aristoteles, klasifikasi tergantung pada :

a) The ends pursued by states, and

b) The kind of authority exercised by their government

Tujuan tertinggi dari negara adalah a good life, dan hal ini

merupakan kepentingan bersama seluruh warga masyarakat. Oleh karena

Page 60: digilib.uns.ac.id/Studi... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user STUDI KOMPARASI KEWENANGAN KELEMBAGAAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA DAN MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

44

itu, Aristoteles membedakan antara right constitution dan wrong

constitution dengan ukuran kepentingan bersama. Jika konstitusi

diarahkan untuk tujuan mewujudkan kepentingan bersama, maka

konstitusi itu disebut konstitusi yang benar, tetapi jika sebaliknya

konstitusi itu adalah konstitusi yang salah (Jimly Asshiddiqie, 2010 : 6).

3) Warisan Romawi Kuno

Salah satu sumbangan penting filosof Romawi, terutama setelah

Cicero mengembangkan karyanya adalah pemikiran tentang hukum yang

berbeda sama sekali dari tradisi yang sudah dikembangkan sebelumnya

oleh para filosof kuno sebelumnya. Pada masa ini adalah awal mula

dipakainya istilah lex yang kemudian menjadi kata kunci untuk

memahami konsepsi politik dan hukum di zaman Romawi Kuno.

Penggunaan kata lex tampaknya dianggap luas cakupan maknanya.

Konstitusi mulai dipahami sebagai sesuatu yang berada di luar dan

bahkan di atas negara. Tidak seperti masa sebelumnya, konstitusi mulai

dipahami sebagai lex yang menentukan bagaimana bangunan kenegaraan

harus dikembangkan sesuai prinsip the higher law. Prinsip hierarki

hukum juga makin dipahami secara tegas kegunaannya dalam praktik

penyelengggaraan kekuasaan.

4) Warisan Islam (Konstitusionalisme dan Piagam Madinah)

Piagam tertulis pertama dalam sejarah umat manusia yang dapat

dibandingkan dengan pengertian konstitusi dalam arti modern dalam

Piagam Madinah. Piagam ini dibuat atas persetujuan bersama antara Nabi

Muhammad SAW dan wakil-wakil penduduk Kota Madinah tidak lama

setelah beliau hijrah dari Mekkah ke Madinah.

Dapat dikatakan bahwa lahirnya Piagam Madinah pada abad VII M

itu merupakan inovasi yang paling penting selama abad-abad

pertengahan yang memulai suatu tradisi baru adanya perjanjian bersama

Page 61: digilib.uns.ac.id/Studi... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user STUDI KOMPARASI KEWENANGAN KELEMBAGAAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA DAN MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

45

di antara kelompok-kelompok masyarakat untuk bernegara dengan

naskah perjanjian yang dituangkan dalam bentuk yang tertulis.

5) Terminologi Konstitusi Modern

Konstitusi bukanlah undang-undang biasa. Ia tidak ditetapkan oleh

lembaga legislatif yang biasa, tetapi oleh badan yang lebih khusus dan

lebih tinggi kedudukannya. Jika norma hukum yang terkandung di

dalamnya bertentangan dengan norma hukum yang terdapat dalam

undang-undang, maka ketentuan undang-undang dasar itulah yang

berlaku, sedangkan undang-undang harus memberikan jalan untuk itu.

Oleh karena itu, dikembangkannya pengertian constituent power

berkaitan dengan pengertian hierarki hukum (hierarchy of law).

Konstitusi merupakan hukum yang paling tinggi serta paling fundamental

sifatnya karena konstitusi merupakan sumber legitimasi atau landasan

otorisasi bentuk-bentuk hukum atau peraturan perundang-undangan

lainnya.

b. Pengertian Konstitusi

Menurut istilah, konstitusi adalah keseluruhan dari peraturan-

peraturan baik yang tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur secara

mengikat cara-cara bagaimana suatu pemerintahan diselenggarakan dalam

suatu masyarakat. Konstitusi merupakan hukum dasar yang dijadikan

pegangan dalam penyelenggaraan suatu negara (Jimly Asshiddiqie, 2006 :

3). Di dalam konstitusi memang terdapat aturan-aturan hukum yang

mengatur organ-organ dalam negara, tata cara pembentukan organ-organ

tersebut, tata hubungan sesamanya, dan lingkup kerja masing-masing, serta

berisi aturan-aturan hukum mengenai tata hubungan timbal balik antara

negara dan warga negara, serta penduduknya (A. Hamid S. Attamimi, 1992,

6).

Page 62: digilib.uns.ac.id/Studi... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user STUDI KOMPARASI KEWENANGAN KELEMBAGAAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA DAN MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

46

Pengertian konstitusi menurut Carl Schmitt, membagi konstitusi

dalam empat pengertian sebagai berikut (Dasril Radjab, 2006 : 48-51) :

1) Konstitusi dalam arti absolut yang diperinci menjadi empat bagian yaitu :

a) Konstitusi dianggap sebagai satuan organisasi yang nyata, mencakup

semua bangunan hukum dari semua organisasi yang ada dalam negara.

b) Konstitusi sebagai bentuk negara. Yang dimaksud dengan bentuk

negara adalah negara dalam arti keseluruhannya. Bentuk negara itu

bisa demokrasi atau monarki. Demokrasi baik langsung maupun

memerintah dirinya sendiri sehingga antara yang memerintah dan

yang diperintah identik dengan rakyat.

c) Konstitusi sebagai faktor integrasi. Faktor ini bisa abstrak dan

fungsional. Abstrak misalnya hubungan antara bangsa dan negara

dengan lagu kebangsaannya. Dikatakan fungsional karena tugas

konstitusi mempersatukan bangsa melalui pemilu, pembentukan

kabinet, referendum, dan sebagainya.

d) Konstitusi sebagai suatu sistem tertutup dari norma-norma hukum

yang tertinggi di dalam negara. Jadi, konstitusi itu merupakan norma

dasar sebagai sumber bagi norma-norma lain yang berlaku di dalam

negara.

2) Konstitusi dalam arti relatif

Konstitusi dalamarti relatif dimaksudkan sebagai konstitusi yang

dihubungkan dengan kepentingan suatu golongan tertentu di dalam

masyarakat. Golongan utama adalah golongan borjuis liberal yang

menghendaki adanya jaminan dari penguasa agar hak-haknya tidak

dilanggar.

3) Konstitusi dalam arti positif

Carl Schmitt menjelaskan pengertian konstitusi dalam arti positif

dihubungkan dengan ajaran dezisionisme, yaitu ajaran tentang keputusan.

Menurutnya, konstitusi dalam arti positif itu mengandung pengertian

sebagai keputusan politik yang tertinggi.

4) Konstitusi dalam arti ideal

Page 63: digilib.uns.ac.id/Studi... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user STUDI KOMPARASI KEWENANGAN KELEMBAGAAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA DAN MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

47

Disebut konstitusi ideal karena konstitusi itu idaman dari kaum

borjuis sebagai jaminan bagi rakyat agar hak-hak asasinya dilindungi.

Menurut F. Lasele, konstitusi dibagi menjadi dua pengertian, yakni

(Dahlan Thaib; Jasim Hamidi; Ni’matul Huda, 2001 : 10) :

a) Sosiologis dan politis

Secara sosiologis dan politis, konstitusi adalah sintesa faktor-

faktor kekuatan yang nyata dalam masyarakat. Jadi, konstitusi

menggambarkan hubungan antara kekuasaan-kekuasaan yang terdapat

dengan nyata dalam suatu negara.

b) Yuridis

Secara yuridis, konstitusi adalah suatu naskah yang memuat

semua bangunan negara dan sendi-sendi pemerintahan.

c. Tujuan, Fungsi, dan Ruang Lingkup Konstitusi

1) Tujuan Konstitusi

Secara garis besar, tujuan konstitusi antara lain (Taufiqurrahman

Syahuri, 2004 : 28) :

a) Membatasi sewenang-wenang pemerintah.

b) Menjamin hak-hak rakyat yang diperintah.

c) Menetapkan pelaksanaan kekuasaan yang berdaulat.

2) Fungsi Konstitusi

Fungsi konstitusi menurut Taufiqurrahman Syahuri adalah sebagai

dokumen nasional dan alat untuk membentuk sistem politik dan sistem

hukum negara (Taufiqurrahman Syahuri, 2004 : 29). Menurut Jimly

Asshiddiqie dalam buku “Hukum Konstitusi”, konstitusi memiliki

fungsi-fungsi yang diperinci sebagai berikut :

a) Fungsi penentu dan pembatas kekuasaan organ negara.

b) Fungsi pengatur hubungan kekuasaan antar organ negara.

Page 64: digilib.uns.ac.id/Studi... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user STUDI KOMPARASI KEWENANGAN KELEMBAGAAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA DAN MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

48

c) Fungsi pengatur hubungan kekuasaan antar organ negara dengan

warga negara.

d) Fungsi pemberi dan sumber legitimasi terhadap kekuasaan negara

ataupun kegiatan penyelenggaraan kekuasaan negara.

e) Fungsi penyalur atau pengalih kewenangan dari sumber kekuasaan

yang asli kepada organ negara.

f) Fungsi simbolik sebagai pemersatu, sebagai rujukan identitas, dan

keagungan kebangsaan serta sebagai center of ceremony.

g) Fungsi sebagai sarana pengendalian masyarakat, baik dalam arti

sempit hanya di bidang politik maupun dalam arti yang luas mencakup

bidang sosial dan ekonomi.

h) Fungsi sebagai sarana perekayasa dan pembaruan masyarakat.

3) Ruang Lingkup Konstitusi

Menurut A. A. H. Stuycken, ruang lingkup konstitusi meliputi :

a) Hasil perjuangan politik bangsa di waktu yang lampau.

b) Tingkat-tingkat tertinggi perkembangan ketatanegaraan bangsa.

c) Pandangan tokoh bangsa yang hendak diwajibkan, baik waktu

sekarang maupun untuk masa yang akan datang.

d) Suatu keinginan dengan perkembangan kehidupan ketatanegaraan

bangsa yang hendak dipimpin.

d. Klasifikasi Konstitusi

K. C. Wheare mengklasifikasikan konstitusi menjadi lima, yaitu :

1) Konstitusi tertulis dan tidak tertulis

Konstitusi tertulis adalah konstitusi dalam bentuk dokumen yang

memiliki “kesakralan khusus” dalam proses perumusannya.

Konstitusi tidak tertulis adalah konstitusi yang lebih berkembang atas

dasar adat-istiadat daripada hukum tertulis dan tidak dituangkan dalam

suatu dokumen.

2) Konstitusi fleksibel dan konstitusi kaku (rigid)

Page 65: digilib.uns.ac.id/Studi... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user STUDI KOMPARASI KEWENANGAN KELEMBAGAAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA DAN MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

49

Konstitusi fleksibel adalah konstitusi yang dapat diubah atau

diamandemen tanpa adanya prosedur khusus. Dalam konstitusi fleksibel

mempunyai ciri pokok yaitu :

a) Elastis, dapat dengan mudah menyesuaikan dirinya.

b) Diumumkan dan diubah dengan cara yang sama seperti undang-

undang.

Konstitusi kaku adalah konstitusi yang mempersyaratkan prosedur

khusus untuk perubahan atau amandemennya. Dalam konstitusi rigid

mempunyai ciri pokok yaitu :

a) Mempunyai kedudukan dan derajat yang lebih tinggi daripada

peraturan perundang-undangan yang lain.

b) Hanya dapat diubah dengan cara yang khusus atau istimewa.

3) Konstitusi derajat tinggi dan konstitusi tidak derajat tinggi

Konstitusi derajat tinggi ialah konstitusi yang mempunyai kedudukan

tertinggi dalam negara.

Konstitusi tidak derajat tinggi ialah konstitusi yang tidak mempunyai

kedudukan serta derajat seperti konstitusi derajat tinggi.

4) Konstitusi serikat dan konstitusi kesatuan

Bentuk ini berkaitan dengan bentuk negara. Jika negara itu serikat maka

akan didapatkan sistem pembagian kekuasaan antara pemerintah negara

serikat dan pemerintah negara bagian.

5) Konstitusi sistem pemerintahan presidensial dan konstitusi sistem

pemerintahan parlementer

Ciri-ciri sistem pemerintahan presidensial :

a) Presiden dipilih langsung oleh rakyat atau dewan pemilih.

b) Presiden bukan pemegang kekuasaan legislatif.

c) Presiden tidak dapat membubarkan pemegang kekuasaan legislatif dan

tidak dapat memerintahkan diadakan pemilihan.

d) Di samping sebagai kepala negara, Presiden juga sebagai kepala

pemerintahan.

Ciri-ciri sistem pemerintahan parlementer :

Page 66: digilib.uns.ac.id/Studi... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user STUDI KOMPARASI KEWENANGAN KELEMBAGAAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA DAN MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

50

a) Kabinet yang dipilih Perdana Menteri dibentuk atau berdasarkan

ketentuan yang menguasai parlemen.

b) Para anggota kabinet sebagian atau seluruhnya adalah anggota

parlemen.

c) Kepala negara dengan saran Perdana Menteri dapat membubarkan

parlemen dan memerintahkan diadakannya pemilu.

d) Perdana Menteri bertanggung jawab kepada parlemen.

e. Nilai-nilai Konstitusi

Dalam praktik ketatanegaraan sering terjadi suatu konstitusi yang

tertulis (UUD) tidak berlaku secara sempurna karena salah satu atau

beberapa pasalnya tidak berlaku secara efektif. Ketidakefektifan ini

dipengaruhi oleh tidak mempunyai konstitusi menyesuaikan dengan

perkembangan praktik ketatanegaraan, selain itu juga dipengaruhi oleh

pihak pemerintah yang melaksanakan undang-undang dasar itu.

Sehubungan dengan hal tersebut Karl Lowenstein membuat tiga jenis

penilaian sebagai berikut (Dasril Radjab, 2006 : 55-57) :

1) Nilai Normatif

Apabila suatu konstitusi telah resmi diterima oleh suatu bangsa dan bagi

mereka konstitusi bukan saja berlaku di dalam arti hukum, tetapi juga

merupakan suatu kenyataan dalam arti sepenuhnya dan efektif. Dengan

begitu, konstitusi dapat dilaksanakan secara mutlak dan konsekuen.

2) Nilai Nominal

Konstitusi menurut hukum memang berlaku tetapi kenyataannya tidak

sempurna. Ketidaksempurnaan berlakunya konstitusi tertulis sering kali

berbeda dengan yang dipraktikkan sebab sebagaimana telah diketahui

konstitusi dapat berubah baik karena perubahan formil seperti yang

tercantum dalam konstitusi itu maupun karena konvensi ketatanegaraan.

3) Nilai Semantik

Konstitusi secara hukum berlaku, tetapi dalam kenyataannya hanya

sekedar untuk membentuk dari tempat yang ada dan untuk melaksanakan

Page 67: digilib.uns.ac.id/Studi... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user STUDI KOMPARASI KEWENANGAN KELEMBAGAAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA DAN MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

51

kekuasaan politik. Jadi konstitusi hanya sekadar istilah saja, sedangkan

pelaksanaannya sering dikaitkan dengan kepentingan penguasa. Contoh :

UUD 1945 pada waktu orde lama.

f. Prinsip-prinsip Umum Perubahan Konstitusi

1) Sistem Amandemen (Taufiqurrahman Syahuri, 2004 : 43-46)

Pengertian perubahan konstitusi dapat juga mencakup dua pengertian,

yaitu :

a) Amandemen Konstitusi (Constitutional Amandment)

b) Pembaruan Konstitusi (Constitutional Reform)

Namun demikian, secara khusus, apabila dilihat dari segi sistem atau

bentuk perubahan konstitusi secara teori, istilah amandemen konstitusi

memiliki makna tersendiri untuk membedakan dengan sistem perubahan

konstitusi lain. Secara umum, sistem yang dianut oleh negara-negara

dalam mengubah konstitusinya dapat digolongkan ke dalam dua sistem

perubahan.

Pertama, apabila suatu konstitusi diubah maka yang akan berlaku adalah

konstitusi yang baru secara keseluruhan, sehingga tidak ada kaitannya

lagi dengan konstitusi lama. Sistem ini masuk ke dalam kategori

pembaruan konstitusi.

Kedua, sistem perubahan konstitusi, dimana konstitusi yang asli tetap

berlaku, sementara bagian perubahan atas konstitusi tersebut merupakan

adendum atau sisipan dari konstitusi yang asli. Dengan kata lain, bagian

yang diamandemen merupakan atau menjadi bagian dari konstitusinya.

Jadi, antara bagian perubahan dan bagian konstitusi aslinya masih terkait.

Keberlakuan konstitusi dengan sistem perubahan inipun masih

didasarkan pada saat berlakunya konstitusinya yang lama, sehingga nilai-

nilai lama dalam konstitusi asli yang belum diubah masih tetap eksis.

Page 68: digilib.uns.ac.id/Studi... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user STUDI KOMPARASI KEWENANGAN KELEMBAGAAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA DAN MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

52

2) Jalur Yuridis dan Nonyuridis

Secara garis besar, perubahan konstitusi dapat dilaksanakan melalui dua

jalan, yaitu :

a) Jalan Yuridis Formal

Perubahan konstitusi yang dilakukan sesuai dengan ketentuan formal

mengenai perubahan konstitusi yang terdapat di dalam konstitusi

sendiri dan mungkin diatur dalam peraturan perundang-undangan lain.

b) Jalan nonyuridis Formal atau Jalan Politis

Perubahan konstitusi tersebut biasanya terjadi karena sebab tertentu

atau keadaan khusus yang mendorong terjadinya perubahan konstitusi.

Perubahan demikian dapat berupa perubahan konstitusi secara total

atau sebagian saja sesuai dengan kebutuhannya. Perubahan konstitusi

secara politis atau sebagai suatu kenyataan ini kalau berjalan dan

dapat diterima oleh segala lapisan masyarakat, maka perubahan

demikian secara yuridis adalah sah sehingga memiliki kekuatan

yuridis.

5. Tinjauan tentang Kewenangan

a. Pengertian

Secara etimologis, istilah kewenangan berasal dari kata wewenang.

Sedangkan menurut Bagir Manan, istilah wewenang dengan kekuasaan

(macht) itu berbeda (Bagir Manan, 2002 : 1). Kekuasaan menurutnya

hanya digambarkan hak untuk berbuat atau tidak berbuat. Sedangkan

wewenang memiliki pengertian yang lebih luas meliputi hak dan

kewajiban (rechten en plichten).

Secara teoritik, mengenai kewenangan dapat dilihat pendapat H.D.

Stout (H.R. Ridwan, 2006 : 101) mengatakan :

”Bevoegheid is een begrip uit het berstuurlijke organisatierecht, wat kan

worden omschreven als het geheel van regels betrekking heft op de

verkrijging en uitoefening van bertuursrechstelijike bevoegdheden door

Page 69: digilib.uns.ac.id/Studi... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user STUDI KOMPARASI KEWENANGAN KELEMBAGAAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA DAN MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

53

publiekrechtelijke rechtssubjecten in het bestuursrechtelijke

rechtsverkeer” (wewenang merupakan pengertian yang berasal dari hukum

organisasi pemerintahan, yang dapat dijelaskan sebagai keseluruhan

aturan-aturan yang berkenan dengan perolehan dan penggunaan wewenang

pemerintahan oleh subjek hukum publik di dalam hukum publik).

Menurut F.P.C.L Tonnaer dalam H.R. Ridwan (2006 : 101) :

“Overheidsbevoegdheid wordt in dit verband opgevat als het vermoge om

positief recht vast te stellen en Aldus rechtsbetrekkingen tussen burgers

onderling en tussen overhead en te scheppen” (kewenangan pemerintah

dalam kaitan ini dianggap sebagai kemampuan untuk melaksanakan

hukum positif, dan dengan begitu, dapat diciptakan hubungan hukum

antara pemerintah dengan warga Negara). Dalam Negara hukum,

wewenang itu berasal dari peraturan pemerintah.

Menurut R.J.H.M. Huisman (H.R. Ridwan, 2006 : 103)

“Een bestuursorgaan kan zich geen bevoegdheid toeeigenen. Slechts de

wet kan bevoegdheden verlenen. De wetgever kan een bevoegdheid niet

allen attribueren aan een bestuursorgaan, maar ook aan ambtenaren

(bujvoorbeeld belastinginspecteurs, inspecteur voor het pachtkamer), of

zelfs aan privaatrechtelijke rechtspersonen” (organ pemerintahan tidak

dapat menganggap bahwa ia memiliki sendiri wewenang pemerintahan.

Kewenangan hanya diberikan oleh undang-undang. Pembuat undang-

undang dapat memberikan wewenang pemerintah tidak hanya kepada

organ pemerintahan, tetapi juga terhadap para pegawai {misalnya

inspektur pajak, inspektur lingkungan, dan sebagainya} atau terhadap

badan khusus {seperti dewan pemilihan umum, pengadilan khusus untuk

perkara sewa tanah}, atau bahkan terhadap badan hukum privat).

Pandangan yang melihat lebih jauh pada sisi tindakan yaitu

ungkapan P. Nicolai dalam H.R. Ridwan (2006 : 102) :

“het vermoge tot het verrichten van bepaalde rechtshandelingen

(handelingen die op rechtsgevolggericht zijn en dus ertoe strekken dat

bepalde recchtsgevolgen onstaan of tenien gaan). Een recht houdt in de

Page 70: digilib.uns.ac.id/Studi... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user STUDI KOMPARASI KEWENANGAN KELEMBAGAAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA DAN MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

54

(rechtens gegeven) vrijheid om een bepaalde feitelijke handeling te

verrichteen of n ate laten, of de (rechtens gegeven) aanspraah op het

verrichten van een handelign door een ander. Een plicht impliceert een

verplichting om een bepalde handeling te verrichten of te laten”

(kemampuan untuk melakukan tindakan hukum tertentu {yaitu tindakan-

tindakan yang dilakuakn untuk mengakibatkan akibat hukum, dan

mencakup mengenai timbul dan lenyapnya akibat hukum}. Hak berisi

kebebasan untuk melakukan atau tindakan melakukan tindakan tertentu,

atau menuntut pihak lain untuk melakukan tindakan tertentu, sedangkan

kewajiban memuat keharusan untuk melakukan atau tidak melakukan

tindakan tertentu).

Kewenangan atau wewenang adalah suatu istilah yang biasa

digunakan dalam lapangan hukum publik. Namun sesungguhnya terdapat

perbedaan di antara keduanya. Kewenangan adalah apa yang disebut

“kekuasaan formal”, kekuasaan yang berasal dari kekuasaan yang

diberikan oleh Undang-undang atau legislatif dari kekuasaan eksekutif

atau administratif. Karenanya, merupakan kekuasaan dari segolongan

orang tertentu atau kekuasaan terhadap suatu bidang pemerintahan atau

urusan pemerintahan tertentu yang bulat. Sedangkan wewenang hanya

mengenai suatu bagian tertentu saja dari kewenangan. Wewenang

(authority) adalah hak untuk memberi perintah, dan kekuasaan untuk

meminta dipatuhi.

b. Jenis-jenis Wewenang

Sebagaimana diungkapkan F.A.M Stroink dan J.G. Steenbeek

dalam H.R. Ridwan (2006 : 101-102) menyebutkan sebagai inti Hukum

Tata Negara dan Hukum Administrasi bahwa “het begrip bevoegdheid is

dan ook een kernbegrip in het staats-en administratief recht” (kewenangan

yang di dalamnya terkandung hak dan kewajiban). Dalam hal ini dibagi

atas dua cara organ pemerintah memperoleh wewenang, yaitu dengan cara

atributif dan delegasi; bahwa atribusi berkenaan dengan penyerahan

wewenang baru, sedangkan delegasi menyangkut pelimpahan wewenang

Page 71: digilib.uns.ac.id/Studi... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user STUDI KOMPARASI KEWENANGAN KELEMBAGAAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA DAN MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

55

yang telah ada (oleh organ yang telah memperoleh wewenang secara

atributif kepada organ lain); jadi delegasi secara logis selalu didahului oleh

atribusi.

Menurut H.D Van Wijk Willem Konijnenbelt dalam H.R. Ridwan

(2006 : 104) mendefinisikan :

1) Attribustie : toekenning van een bestuursbevoegheid door een

wetgever aan bestuursorgaan (atribusi adalah pemberian wewenang

pemerintah oleh pembuat undang-undang kepada organ pemerintahan).

2) Delegatief : overdracht van een bevoegheid van het ene bestuursrgaan

aan een ander (delegasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan

dari suatu organ pemerintahan kepada organ pemerintah lainnya).

3) Mandaat : berstuursorgaan laat zijn bevoegheid namens hem

uitoefenen door een ander (mandat terjadi ketika organ pemerintahan

mengizinkan kewenangannya dijalankan oleh organ lain atas

namanya).

Indroharto dalam H.R. Ridwan (2006 : 110) mengatakan

wewenang dibagi atas 3 (tiga) bagian :

1) Wewenang pemerintah yang bersifat terikat

Terjadi apabila peraturan dasarnya menentukan kapan dan dalam

keadaan yang bagaimana wewenang tersebut dapat digunakan atau

peraturan dasarnya sedikit banyaknya menentukan tentang ini dari

keputusan yang harus diambil.

2) Wewenang fakultatif

Terjadi dalam hal badan atau pejabat tata usaha negara yang

bersangkutan tidak wajib menerapkan wewenangnya atau sedikit

banyak masih ada piliha, sekalipun pilihan itu hanya dapat dilakukan

dalam hal-hal atau keadaan-keadaan tertentu sebagaimana ditentukan

dalam peraturan dasarnya.

3) Wewenang bebas

Yakni terjadi ketika peraturan dasarnya memberi kebebasan kepada

badan atau pejabat tata usaha negara untuk menentukan sendiri

Page 72: digilib.uns.ac.id/Studi... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user STUDI KOMPARASI KEWENANGAN KELEMBAGAAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA DAN MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

56

mengenai isi dari keputusan yang akan dikeluarkannya atau peraturan

dasarnya memberikan ruang lingkup kebebasan kepada pejabat tata

usaha negara yang bersangkutan.

Berdasarkan sumbernya wewenang dibedakan menjadi dua yaitu

wewenang personal dan wewenang ofisial.

1) Wewenang personal

Bersumber pada intelegensi, pengalaman, nilai atau normal, dan

kesanggupan untuk memimpin.

2) Wewenang ofisial

Merupakan wewenang resmi yang di terima dari wewenang yang

berada di atasnya.

c. Cara Memperoleh Kewenangan

Kewenangan diperoleh oleh seseorang melalui 2 (dua) cara yaitu

dengan atribusi atau dengan pelimpahan wewenang (Patawari,

Implementasi Wewenang KPU Propinsi dalam Pemilu,

(http://wordpress.com/.../implementasi-wewenang-kpu-propinsi-dalam-

pemilu> [23 Juni 2012 pukul 12.00 WIB])).

1) Atribusi

Atribusi adalah wewenang yang melekat pada suatu jabatan. Dalam

tinjauan hukum tata Negara, atribusi ini ditunjukan dalam wewenang

yang dimiliki oleh organ pemerintah dalam menjalankan

pemerintahannya berdasarkan kewenangan yang dibentuk oleh

pembuat undang-undang. Atribusi ini menunjuk pada kewenangan asli

atas dasar konstitusi (UUD) atau peraturan perundang-undangan.

2) Pelimpahan wewenang

Pelimpahan wewenang adalah penyerahan sebagian dari wewenang

pejabat atasan kepada bawahan tersebut membantu dalam

melaksanakan tugas-tugas kewajibannya untuk bertindak sendiri.

Pelimpahan wewenang ini dimaksudkan untuk menunjang kelancaran

Page 73: digilib.uns.ac.id/Studi... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user STUDI KOMPARASI KEWENANGAN KELEMBAGAAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA DAN MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

57

tugas dan ketertiban alur komunikasi yang bertanggung jawab, dan

sepanjang tidak ditentukan secara khusus oleh peraturan perundang-

undangan yang berlaku.

Selain secara atribusi, wewenang juga dapat diperoleh melalui proses

pelimpahan yang disebut :

a) Delegasi

Pendelegasian diberikan biasanya antara organ pemerintah satu

dengan organ pemerintah lain, dan biasanya pihak pemberi

wewenang memiliki kedudukan lebih tinggi dari pihak yang

diberikan wewenang.

b) Mandat

Umumnya mandat diberikan dalam hubungan kerja internal antara

atasan dan bawahan.

Pelimpahan wewenang yang dapat dilimpahkan kepada pejabat

bawahannya adalah wewenang penandatanganan. Bentuk pelimpahan

penandatanganan adalah :

a) Pelimpahan wewenang dengan menggunakan istilah atas nama

(a.n)

Merupakan jenis pelimpahan wewenang secara mandat, atas nama

digunakan jika yang menandatangani surat telah diberi wewenang

oleh pejabat yang bertanggung jawab berdasarkan bidang tugas,

wewenang dan tanggung jawab pejabat yang bersangkutan.

Pejabat yang bertanggung jawab melimpahkan wewenang kepada

pejabat di bawahnya, paling banyak hanya 2 (dua) rentang jabatan

struktural di bawahnya. Persyaratan pelimpahan wewenang ini

adalah :

(1) Pelimpahan wewenang harus dituangkan dalam bentuk tertulis

yaitu dalam bentuk Instruksi Dinas atau Surat Kuasa;

(2) Materi yang dilimpahkan harus merupakan tugas dan tanggung

jawab pejabat yang melimpahkan;

Page 74: digilib.uns.ac.id/Studi... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user STUDI KOMPARASI KEWENANGAN KELEMBAGAAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA DAN MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

58

(3) Pada dasarnya wewenang penandatanganan meliputi surat-surat

untuk kepentingan ke luar maupun di dalam lingkungan

lembaga Negara tersebut;

(4) Penggunaan wewenang hanya sebatas kewenangan yang

dilimpahkan kepadanya dan materi kewenangan tersebut harus

dipertanggungjawabkan oleh yang dilimpahkan kepada yang

melimpahkan;

(5) Tanggung jawab sebagai akibat penandatanganan surat berada

pada pejabat yang diatasnamakan.

b) Pelimpahan wewenang dengan menggunakan istilah untuk beliau

(u.b)

Merupakan jenis pelimpahan wewenang secara delegasi, untuk

beliau digunakan jika yang diberikan kuasa memberi kuasa lagi

kepada pejabat satu tingkat di bawahnya, sehingga untuk beliau

(u.b) digunakan setelah atas nama (a.n). Pelimpahan wewenang ini

mengikuti urutan sampai 2 (dua) tingkat structural di bawahnya,

dan pelimpahan ini bersifat fungsional.

Persyaratan yang harus dipenuhi :

(1) Materi yang ditangani merupakan tugas dan tanggung jawab

pejabat yang melimpahkan;

(2) Dapat digunakan oleh pejabat yang ditunjuk sebagai pemangku

jabatan sementara atau yang mewakili;

(3) Pada dasarnya wewenang penandatanganan meliputi surat-surat

untuk kepentingan internal dalam lingkungan lembaga Negara

yang melampaui batas lingkup jabatan pejabat yang

menandatangani surat;

(4) Tanggung jawab berada pada pejabat yang dilimpahkan

wewenang.

c) Pelimpahan wewenang dengan menggunakan istilah atas perintah

beliau (apb.) dan atas perintah (ap.)

Page 75: digilib.uns.ac.id/Studi... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user STUDI KOMPARASI KEWENANGAN KELEMBAGAAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA DAN MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

59

Merupakan pelimpahan wewenang secara mandat, dimana pejabat

yang seharusnya menandatangani memberi perintah kepada pejabat

di bawahnya untuk menandatangani sesuai dengan tugas dan

tanggung jawabnya. Persyaratan pelimpahan wewenang ini yang

membedakannya dengan kedua jenis pelimpahan wewenang

lainnya, yaitu hanya dapat dilakukan jika dalam keadaan mendesak

dan tidak menyangkut materi yang bersifat kebijakan.

Baik wewenang yang diperoleh berdasarkan atribusi maupun

berdasarkan pelimpahan sama-sama harus terlebih dahulu dipastikan

bahwa yang melimpahkan benar memiliki wewenang tersebut dan

wewenang itu benar ada berdasarkan konstitusi (UUD) atau peraturan

perundang-undangan.

6. Tinjauan tentang Lembaga Negara

a. Pengertian

Lembaga negara bukan konsep yang secara terminologis memiliki

istilah tunggal atau seragam. Di dalam kepustakaan Inggris, untuk

menyebut lembaga negara digunakan istilah political instruction,

sedangkan dalam terminologi bahasa Belanda terdapat istilah staat

organen. Sementara itu, bahasa Indonesia menggunakan lembaga negara

atau organ negara.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KKBI) (1997:979-58),

kata ”lembaga” antara lain diartikan sebagai 1) ’asal mula (yang akan

menjadi sesuatu); bakal (binatang, manusia, tumbuhan)’; (2) ’bentuk (rupa,

wujud) yang asli’; (3) ’acuan; ikatan (tentang mata cincin dsb)’; (4) ’badan

(oganisasi) yang tujuannya melakukan penyelidikan keilmuan atau

melakukan suatu usaha’; dan (5) ’pola perilaku manusia yang mapan,

terdiri atas interaksi sosial berstruktur di suatu kerangka nilai yang

relevan’. Kamus tersebut juga memberi contoh frasa menggunakan kata

lembaga, yaitu lembaga pemerintah yang diartikan ’badan-badan

pemerintahan dalam lingkungan eksekutif. Kalau kata pemerintahan

Page 76: digilib.uns.ac.id/Studi... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user STUDI KOMPARASI KEWENANGAN KELEMBAGAAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA DAN MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

60

diganti dengan kata negara, diartikan ’badan-badan negara di semua

lingkungan pemerintahan negara (khususnya di lingkungan eksekutif,

yudikatif, dan legislatif)’.

Untuk memahami pengertian lembaga atau organ negara secara

lebih dalam, kita dapat mendekatinya dari pandangan Hans Kelsen

mengenai the concept of the State Organ dalam bukunya General Theory

of Law and State. Hans Kelsen menguraikan bahwa “Whoever fulfills a

function determined by the legal order is an organ”, artinya siapa saja

yang menjalankan suatu fungsi yang ditentukan oleh suatu tata hukum

(legal order) adalah suatu organ (Anonim, Hubungan antar Lembaga,

(http://indoskripsi.com> [22 Juni 2012 pukul 20.00 WIB])).

Menurut Kelsen, parlemen yang menetapkan undang-undang dan

warga negara yang memilih para wakilnya melalui pemilihan umum sama-

sama merupakan organ negara dalam arti luas. Demikian pula hakim yang

mengadili dan menghukum penjahat dan terpidana yang menjalankan

hukuman tersebut di lembaga pemasyarakatan adalah juga merupakan

organ negara. Pendek kata dalam pengertian yang luas ini organ negara itu

identik dengan individu yang menjalankan fungsi atau jabatan tertentu

dalam konteks kegiatan bernegara. Inilah yang disebut sebagai jabatan

publik atau jabatan umum (public offices) dan pejabat publik atau pejabat

umum (public officials) (Anonim, Lembaga-lembaga Negara,

(http://kanekzoke.blogspot.com/> [23 Juni 2012 pukul 13.00 WIB])).

Hans Kelsen juga menguraikan adanya pengertian organ negara

dalam arti yang sempit, yaitu pengertian organ dalam arti materiil.

Individu dikatakan organ negara hanya apabila ia secara pribadi memiliki

kedudukan hukum yang tertentu (he personally has a specific legal

position). Suatu transaksi hukum perdata, misalnya, kontrak, adalah

merupakan tindakan atau perbuatan yang menciptakan hukum seperti

halnya suatu putusan pengadilan.

Page 77: digilib.uns.ac.id/Studi... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user STUDI KOMPARASI KEWENANGAN KELEMBAGAAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA DAN MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

61

b. Macam-macam Lembaga Negara Berdasarkan UUD RI 1945

Lembaga negara terkadang disebut dengan istilah lembaga

pemerintahan, lembaga pemerintahan non-departemen, atau lembaga

negara saja. Ada yang dibentuk berdasarkan atau karena diberi kekuasaan

oleh UUD, ada pula yang dibentuk dan mendapatkan kekuasaannya dari

UU, dan bahkan ada pula yang hanya dibentuk berdasarkan Keputusan

Presiden. Hierarki atau ranking kedudukannya tentu saja tergantung pada

derajat pengaturannya menurut peraturan perundang-undangan yang

berlaku.

Lembaga negara yang diatur dan dibentuk oleh UUD merupakan

organ konstitusi, sedangkan yang dibentuk berdasarkan UU merupakan

organ UU, sementara yang hanya dibentuk karena Keputusan Presiden

tentunya lebih rendah lagi tingkatan dan derajat perlakuan hukum terhadap

pejabat yang duduk di dalamnya. Demikian pula jika lembaga dimaksud

dibentuk dan diberi kekuasaan berdasarkan Peraturan Daerah, tentu lebih

rendah lagi tingkatannya.

Dalam setiap pembicaraan mengenai organisasi negara, ada dua

unsur pokok yang saling berkaitan, yaitu organ dan functie. Organ adalah

bentuk atau wadahnya, sedangkan functie adalah isinya; organ adalah

status bentuknya, sedangkan functie adalah gerakan wadah itu sesuai

maksud pembentukannya. Dalam naskah Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945, organ-organ yang dimaksud, ada yang

disebut secara eksplisit namanya, dan ada pula yang disebutkan eksplisit

hanya fungsinya. Ada pula lembaga atau organ yang disebut bahwa baik

namanya maupun fungsi atau kewenangannya akan diatur dengan

peraturan yang lebih rendah. Dilihat dari segi fungsinya Lembaga-

Lembaga Negara ada yang bersifat utama/primer (primary constitutional

organs), dan bersifat penunjang/sekunder (auxiliary state organs).

Sedangkan dari segi hierarkinya lembaga negara itu dibedakan kedalam 3

(tiga) lapis, yaitu :

1) Organ lapis pertama disebut sebagai lembaga tinggi negara

Page 78: digilib.uns.ac.id/Studi... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user STUDI KOMPARASI KEWENANGAN KELEMBAGAAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA DAN MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

62

Dimana nama, fungsi dan kewenangannya dibentuk berdasarkan UUD

1945. Adapun yang disebut sebagai organ-organ konstitusi pada lapis

pertama atau dapat disebut sebagai lembaga tinggi negara yaitu :

Presiden dan Wakil Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan

Perwakilan Daerah (DPD), Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR),

Mahkamah Konstitusi (MK), Mahkamah Agung (MA) dan Badan

Pemeriksa Keuangan (BPK).

2) Organ lapis kedua disebut sebagai lembaga negara saja

Dimana dalam lapis ini ada lembaga yang sumber kewenangannya dari

UUD, ada pula sumber kewenangannya dari Undang-Undang dan

sumber kewenangannya yang bersumber dari regulator atau pembentuk

peraturan di bawah Undang-Undang.

a) Kelompok Pertama yakni organ konstitusi yang mendapat

kewenangan dari UUD misalnya Menteri Negara, Komisi Yudisial

(KY), Tentara Nasional Indonesia (TNI), Kepolisian Negara, Komisi

pemilihan umum, Bank Sentral ;

b) Kelompok Kedua organ institusi yang sumber kewenangannya

adalah Undang-Undang misalnya seperti Komnas HAM, Komisi

Penyiaran Indonesia (KPI), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK),

Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dan lain sebagainya.

Walaupun dasar/sumber kewenangannya berbeda kedudukan kedua

jenis lembaga negara ini dapat di sebandingkan satu sama lain, hanya

saja kedudukannya walaupun tidak lebih tinggi tetapi jauh lebih kuat.

Keberadaannya disebutkan secara eksplisit dalam UUD, sehingga

tidak dapat ditiadakan atau dibubarkan hanya karena kebijakan

pembentukan Undang-Undang;

c) Kelompok Ketiga yakni organ konstitusi yang termasuk kategori

Lembaga Negara yang sumber kewenangannya berasal dari regulator

atau pembentuk peraturan di bawah Undang-Undang, misalnya

Komisi Hukum Nasional dan Komisi Ombudsman Nasional dibentuk

berdasarkan Keputusan Presiden.

Page 79: digilib.uns.ac.id/Studi... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user STUDI KOMPARASI KEWENANGAN KELEMBAGAAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA DAN MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

63

3) Organ lapis ketiga merupakan lembaga daerah

Merupakan lembaga negara yang ada di daerah yang ketentuannya telah

diatur oleh UUD 1945 yaitu : Pemerintah Daerah Provinsi, Gubernur,

DPRD Provinsi, Pemerintahan Daerah Kabupaten, Bupati, DPRD

Kabupaten, Pemerintahan Daerah Kota, Walikota, DPRD Kota. Di

samping itu, di dalam UUD 1945 disebutkan pula adanya satuan-satuan

pemerintahan daerah yang bersifat khusus dan istimewa yang diakui

dan dihormati keberadaannya secara tegas oleh UUD, sehingga

eksistensinya sangat kuat secara konstitusional.

c. Hubungan Antar Lembaga-Lembaga Negara

Hubungan antar alat-alat kelengkapan suatu negara atau yang lazim

disebut sebagai lembaga negara merupakan hubungan kerjasama antar

institusi-institusi yang dibentuk guna melaksanakan fungsi-fungsi negara.

Berdasarkan teori-teori klasik mengenai negara setidaknya terdapat beberapa

fungsi negara yang penting seperti fungsi membuat kebijakan peraturan

perundang-undangan (fungsi legislatif), fungsi melaksanakan peraturan atau

fungsi penyelenggaraan pemerintahan (fungsi eksekutif), dan fungsi mengadili

(fungsi yudikatif). Kecenderungan praktik ketatanegaraan terkini di Indonesia

oleh banyak ahli hukum tata negara dan ahli politik dikatakan menuju sistem

pemisahan kekuasaan antara ketiga fungsi negara tersebut (separation power).

Alat kelengkapan negara berdasarkan teori-teori klasik hukum negara

meliputi kekuasaan eksekutif, dalam hal ini bisa presiden atau perdana menteri

atau raja, kekuasaan legilatif, dalam hal ini bisa disebut parlemen atau dengan

nama lain seperti dewan perwakilan rakyat, dan kekuasaan yudikatif seperti

Mahkamah Agung atau supreme court. Setiap alat kelengkapan negara

tersebut bisa memiliki organ-organ lain untuk membantu pelaksanaan

fungsinya. Kekuasaan eksekutif, misalnya, dibantu wakil dan menteri-menteri

yang biasanya memimpin satu departemen tertentu. Meskipun demikian, tipe-

tipe lembaga negara yang diadopsi setiap negara berbeda-beda sesuai dengan

Page 80: digilib.uns.ac.id/Studi... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user STUDI KOMPARASI KEWENANGAN KELEMBAGAAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA DAN MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

64

perkembangan sejarah politik kenegaraan dan juga sesuai dengan kebutuhan

masyarakat dalam negara yang bersangkutan.

Secara konseptual, tujuan diadakannya lembaga-lembaga negara atau

alat-alat kelengkapan negara adalah selain menjalankan fungsi negara, juga

untuk menjalankan fungsi pemerintahan secara aktual. Dengan kata lain,

lembaga-lembaga itu harus membentuk suatu kesatuan proses yang satu sama

lain saling berhubungan dalam rangka penyelenggaraan fungsi negara atau

istilah yang digunakan Sri Soemantri adalah actual governmental process.

Jadi, meskipun dalam praktiknya tipe lembaga-lembaga negara yang diadopsi

setiap negara bisa berbeda-beda, secara konsep lembaga-lembaga tersebut

harus bekerja dan memiliki relasi sedemikian rupa sehingga membentuk suatu

kesatuan untuk merealisasikan secara praktis fungsi negara dan secara

ideologis mewujudkan tujuan negara jangka panjang.

Sampai dengan saat ini, proses awal demokratisasi dalam kehidupan

sosial dan politik dapat ditunjukkan antara lain dengan terlaksananya

pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden tahun 2004 secara langsung,

terbentuknya kelembagaan DPR, DPD dan DPRD baru hasil pemilihan umum

langsung, terciptanya format hubungan pusat dan daerah berdasarkan

perundangan-undangan otonomi daerah yang baru, dimana setelah jatuhnya

Orde Baru (1996 - 1997), pemerintah merespon desakan daerah-daerah

terhadap sistem pemerintahan yang bersifat sangat sentralistis, dengan

menawarkan konsep otonomi daerah untuk mewujudkan desentralisasi

kekuasaan, selain itu terciptanya format hubungan sipil-militer, serta TNI

dengan POLRI berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku, serta

terbentuknya Mahkamah Konstitusi.

7. Tinjauan tentang Mahkamah Konstitusi

Menurut Taufiqurrahman Syahuri dalam Berita Mahkamah Konstitusi,

Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu lembaga tinggi negara yang

Page 81: digilib.uns.ac.id/Studi... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user STUDI KOMPARASI KEWENANGAN KELEMBAGAAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA DAN MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

65

masuk dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang mempunyai posisi sejajar

dengan lembaga lain, seperti : Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR),

Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), dan Badan Pemeriksa Keuangan

(BPK) (Taufiqurrahman Syahuri, 2005 : 6).

Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu pelaku kekuasaan

kehakiman mempunyai peranan penting dalam usaha menegakkan konstitusi

dan prinsip negara hukum sesuai dengan tugas dan wewenangnya sebagaimana

ditentukan dalam UUD RI 1945. Hal ini berarti Mahkamah Konstitusi terikat

pada prinsip umum penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka dan

bebas dari pengaruh kekuasaan lembaga lainnya dalam menegakkan keadilan.

a. Latar Belakang Pembentukan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia

Penjelasan UUD 1945 sebelum perubahan pun menyatakan :

“Undang-Undang Dasar suatu negara ialah hanya sebagian dari hukumnya

dasar negara itu. Undang-Undang Dasar ialah hukum dasar yang tertulis,

sedang di sampingnya Undang-Undang Dasar itu berlaku juga hukum dasar

yang tidak tertulis, ialah aturan-aturan dasar yang timbul dan terpelihara

dalam praktek penyelenggaraan negara meskipun tidak ditulis”.

Terkait dengan keberadaan Penjelasan UUD 1945 tersebut, menurut

Jimly Asshiddiqie, tidak ada kelaziman undang-undang dasar memiliki

Penjelasan yang resmi. Penjelasan UUD 1945 itu sendiri bukanlah hasil

kerja badan yang menyusun dan menetapkan UUD 1945 (BPUPKI dan

PPKI), melainkan hasil kerja pribadi Soepomo yang kemudian dimasukkan

bersama-sama Batang Tubuh ke dalam Berita Negara Republik Indonesia

Tahun 1946 dan kemudian dalam Lembaran Negara Republik Indonesia

Tahun 1959 (Jimly Asshiddiqie, 2006 : 3).

Pemikiran mengenai pentingnya suatu Mahkamah Konstitusi telah

muncul dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia, sebelum Indonesia

merdeka (Jimly Asshiddiqie, 2005 : 11). Pada saat pembahasan rancangan

UUD dalam rapat di Badan Penyidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan

Indonesia (BPUPKI), Muhammad Yamin mengusulkan agar dalam UUD

Page 82: digilib.uns.ac.id/Studi... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user STUDI KOMPARASI KEWENANGAN KELEMBAGAAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA DAN MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

66

1945 dicantumkan ketentuan Mahkamah Agung (MA) berhak menetapkan

bahwa suatu undang-undang bertentangan dengan UUD (Ni’matul Huda,

2003 : 203-204).

Akan tetapi usul tersebut ditolak oleh Soepomo. Alasan penolakan

yang diajukan oleh Soepomo antara lain :

1) Tidak ada kebulatan pendapat antara ahli tata negara dalam soal itu;

2) Perselisihan tentang apakah suatu undang-undang bertentangan dengan

Undang-Undang Dasar atau tidak, pada umumnya bukan soal yuridis,

tetapi soal politis;

3) Adanya kewenangan judicial review pada Mahkamah Agung merupakan

konsekuensi dari sistem Trias Politica yang tidak dianut dalam Undang-

Undang Dasar yang dipersiapkan BPUPKI, karena itu tidaklah tepat bila

kekuasaan kehakiman mengontrol legislatif (pembentuk Undang-

Undang);

4) Para ahli hukum sama sekali belum mempunyai pengalaman dalam hal

tersebut dan tenaga-tenaganya belum begitu banyak, jadi belum

waktunya bagi negara yang muda untuk melakukan pekerjaan itu

(Ni’matul Huda, 2003 : 204).

Pada saat pembahasan perubahan UUD 1945 dalam era reformasi

muncul kembali pendapat mengenai pentingnya suatu Mahkamah

Konstitusi. Perubahan UUD 1945 dalam era reformasi telah menyebabkan

MPR tidak lagi berkedudukan sebagai lembaga tertinggi negara dan

supremasi konstitusi. Karena perubahan yang mendasar ini maka perlu

disediakan sebuah mekanisme institusional dan konstitusional serta hadirnya

lembaga negara yang mengatasi kemungkinan sengketa antarlembaga

negara yang kini telah menjadi sederajat serta saling mengimbangi dan

saling mengendalikan (checks and balances), yaitu Mahkamah Konstitusi.

Seiring dengan hal itu muncul desakan agar tradisi pengujian peraturan

perundang-undangan perlu ditingkatkan tidak hanya terbatas pada peraturan

di bawah UU melainkan juga atas UUD. Kewenangan melakukan pengujian

UU terhadap UUD itu diberikan kepada sebuah mahkamah tersendiri di luar

Page 83: digilib.uns.ac.id/Studi... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user STUDI KOMPARASI KEWENANGAN KELEMBAGAAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA DAN MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

67

Mahkamah Agung. Atas dasar pemikiran itu, adanya Mahkamah Konstitusi

yang berdiri sendiri di samping Mahkamah Agung menjadi sebuah

keniscayaan (Jimly Asshiddiqie, 2005 : 12-13).

Setelah melalui proses pembahasan yang mendalam, cermat, dan

demokratis, akhirnya ide pembentukan Mahkamah Konstitusi menjadi

kenyataan dengan disahkannya Pasal 24 ayat (2) dan Pasal 24C UUD RI

1945. Pasal 24 ayat (2) UUD RI 1945 menyatakan :

“Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan

badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan

umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer,

lingkungan peradilan tata usaha negara, dan sebuah Mahkamah Konstitusi”.

Pasal 24C UUD RI 1945 menyatakan :

1) Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan

terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang

terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan

lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang

Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan

tentang hasil pemilihan umum;

2) Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan

Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau

Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar;

3) Mahkamah Konstitusi mempunyai sembilan orang anggota hakim

konstitusi yang ditetapkan oleh Presiden, diajukan masing-masing tiga

orang oleh Mahkamah Agung, tiga orang oleh Dewan Perwakilan

Rakyat, dan tiga orang oleh Presiden;

4) Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi dipilh dari dan oleh hakim

konstitusi;

5) Hakim konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak

tercela, adil, negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan,

serta tidak merangkap sebagai pejabat negara;

Page 84: digilib.uns.ac.id/Studi... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user STUDI KOMPARASI KEWENANGAN KELEMBAGAAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA DAN MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

68

6) Pengangkatan dan pemberhentian hakim konstitusi, hukum acara serta

ketentuan lainnya tentang Mahkamah Konstitusi diatur dengan Undang-

Undang.

Dengan disahkannya dua pasal tersebut, maka Indonesia menjadi negara ke-

78 yang membentuk Mahkamah Konstitusi.

b. Tugas dan Wewenang Mahkamah Konstitusi

Berdasarkan Pasal 24C ayat (1) dan (2) UUD RI 1945 menggariskan

wewenang Mahkamah Konstitusi sebagai berikut :

1) Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan

terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang

terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan

lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang

Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan

tentang hasil pemilihan umum.

2) Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan

Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau

Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar.

Dalam jurnal internasional di bawah ini telah dijelaskan tentang

kewenangan Mahkamah Konstitusi seperti yang tertuang dalam Pasal 24C

UUD 1945 setelah amandemen :

Jurisdiction of Constitutional Court is stipulates in Article 24C of

amended Constitution namely : (a) reviewing laws against the constitution,

(b) settle the dispute over the authorities of the state institutions whose

powers are given by constitution, (c) deciding over the dissolution of

political party, (d) deciding over disputes on the results of general election.

Beside those four jurisdictions Indonesian Constitutional Courts is involves

in the process of impeachmentto remove the President and or Vice President

during his/her terms of office. Constitutional Court has a duty to decide

whether the President and or Vice President is guilty in doing the acts

Page 85: digilib.uns.ac.id/Studi... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user STUDI KOMPARASI KEWENANGAN KELEMBAGAAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA DAN MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

69

prohibited by Constitution as allege and proposed by House of

Representative. The jurisdiction of Constitutional Court is limited only to

the issue of law but not the removal of President and or Vice President from

his/her office which is the People Consultative Assembly„s authority

(Harjono, 2008 : 4).

Wewenang Mahkamah Konstitusi tersebut secara khusus diatur lagi

dalam Pasal 10 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003

tentang Mahkamah Konstitusi juncto Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dengan

merinci sebagai berikut :

1) Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945

Pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar

merupakan tugas yang mendominasi kewenangan Mahkamah Konstitusi

sebagaimana tampak dari permohonan yang masuk dan terdaftar di

kepaniteraan Mahkamah Konstitusi.

a) Pengujian Formil (Formele Toetsingsrecht)

Pengujian secara formil secara singkat disebut dalam Pasal 51

ayat (3) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang

Mahkamah Konstitusi juncto Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang

Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah

Konstitusi, yang menyatakan “pemohon wajib menguraikan dengan

jelas bahwa pembentukan undang-undang tidak memenuhi ketentuan

berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945”. Pengujian secara formil akan melakukan pengujian atas dasar

kewenangan dalam pembentukan undang-undang dan prosedur yang

harus ditempuh dari tahap drafting sampai dengan pengumuman

Page 86: digilib.uns.ac.id/Studi... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user STUDI KOMPARASI KEWENANGAN KELEMBAGAAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA DAN MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

70

dalam lembaran negara yang harus sesuai dengan ketentuan yang

berlaku.

b) Pengujian Materiil (Materiele Toetsingsrecht)

Berdasarkan Pasal 51 ayat (3) huruf b Undang-Undang Nomor

24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi juncto Undang-Undang

Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 tentang

Mahkamah Konstitusidalam permohonan sebagaimana dimaksud pada

ayat (2), “pemohon wajib menguraikan dengan jelas bahwa materi

muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang dianggap

bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945” mengatur tentang uji materiil dengan mana

materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang yang

dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945 dapat diminta untuk dinyatakan

sebagai tidak mempunyai kekuatan mengikat secara hukum. Yang

boleh diuji juga hanya ayat, pasal tertentu saja yang dianggap

bertentangan dengan konstitusi dan karenanya dimohon tidak

mempunyai kekuatan mengikat secara hukum hanya sepanjang

mengenai ayat, pasal, dan bagian tertentu dari undang-undang yang

bersangkutan. Akan tetapi dengan membuang kata yang merupakan

bagian kalimat dalam pasal tersebut dapat berubah sama sekali dan

dipandang dengan demikian tidak lagi bertentangan dengan UUD.

2) Memutus Sengketa Kewenangan Lembaga Negara yang Kewenangannya

Diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945

Sengketa kewenangan antar lembaga negara secara jelas

memperoleh batasan bahwa lembaga negara yang memperoleh

Page 87: digilib.uns.ac.id/Studi... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user STUDI KOMPARASI KEWENANGAN KELEMBAGAAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA DAN MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

71

kewenangannya menurut UUD RI 1945 sehingga jelas meskipun dapat

terjadi multitafsir dapat dilihat dalam UUD RI 1945 lembaga mana yang

memperoleh kewenangannya secara langsung dari UUD RI 1945. Oleh

karena UUD adalah juga mengatur organisasi negara dan wewenangnya.

Bahwa lembaga negara tersebut harus merupakan organ konstitusi yaitu

baik yang dibentuk berdasarkan konstitusi maupun yang secara langsung

wewenangnya diatur dan diturunkan dari Undang-Undang Dasar.

3) Memutus Pembubaran Partai Politik

Berbeda dengan permohonan pengujian undang-undang terhadap

Undang-Undang Dasar dimana akses terhadap Mahkamah Konstitusi

tampaknya agak luas yang memiliki legal standing untuk mengajukan

permohonan pembubaran partai politik sebagaimana diatur dalam Pasal

68 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah

Konstitusi juncto Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun

2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusihanya pemerintah.

Berdasarkan Pasal 68 ayat (2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun

2003 tentang Mahkamah Konstitusi juncto Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang

Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi

mewajibkan pemerintah sebagai pemohon untuk menguraikan dengan

jelas tentang ideologi, asas, tujuan, program, dan kegiatan partai politik.

Yang semuanya bertentangan dengan UUD merupakan alasan partai

politik tersebut untuk dibubarkan. Pelaksanaan putusan Mahkamah

Konstitusi mengenai pembubaran partai politik dilakukan dengan

pembatalan pendaftaran partai pada pemerintah.

4) Memutus Perselisihan Tentang Hasil Pemilihan Umum

Perselisihan ini terkait dengan penetapan hasil pemilihan umum

secara nasional yang dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU)

Page 88: digilib.uns.ac.id/Studi... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user STUDI KOMPARASI KEWENANGAN KELEMBAGAAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA DAN MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

72

yang mengakibatkan seorang yang harusnya terpilih baik seorang

anggota DPR, Dewan Perwakilan Daerah (DPD) maupun Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) atau mempengaruhi langkah calon

Presiden/Wakil Presiden melangkah ke putaran kedua pemilihan

Presiden/Wakil Presiden atau mempengaruhi calon terpilih menjadi

Presiden/Wakil Presiden. Hal ini terjadi karena adanya kekeliruan dalam

penghitungan suara hasil pemilihan umum.

Yang dapat menjadi pemohon dalam perselisihan hasil pemilihan

umum sebagaimana tercantum dalam Pasal 74 ayat (1) Undang-Undang

Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi juncto Undang-

Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan

Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 tentang

Mahkamah Konstitusi, yaitu :

a) Perorangan warga negara Indonesia calon anggota DPD peserta

pemilihan umum;

b) Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden peserta pemilihan umum

Presiden dan Wakil Presiden;

c) Partai politik peserta pemilihan umum.

Yang dapat menjadi termohon adalah Komisi Pemilihan Umum

(KPU) dan meskipun asal perselisihan adalah di daerah pemilihan

tertentu yang hasil perhitungan awal dilakukan oleh Panitia Pemungutan

Suara (PPS) yang kemudian direkapitulasi ke Panitia Pemilihan

Kecamatan (PPK) dan dilanjutkan ke KPU Kabupaten/Kota, KPU

Provinsi dan penetapan hasil pemilihan umum secara nasional dilakukan

oleh KPU Pusat di Jakarta.

Pada intinya permohonan perselisihan hasil pemilhan umum

mengajukan dua hal pokok, yaitu adanya kesalahan perhitungan yang

dilakukan oleh KPU dan hasil perhitungan yang benar menurut pemohon.

Dasar perhitungan pemohon harus didasarkan pada alat-alat bukti yang

dapat menunjukkan ketidakbenaran perhitungan KPU. Dan berdasarkan

hal tersebut pemohon meminta agar Mahkamah Konstitusi membatalkan

Page 89: digilib.uns.ac.id/Studi... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user STUDI KOMPARASI KEWENANGAN KELEMBAGAAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA DAN MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

73

hasil perhitungan suara yang diumumkan KPU dan agar Mahkamah

Konstitusi menetapkan hasil penghitungan suara yang benar menurut

pemohon (Pasal 75 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang

Mahkamah Konstitusi juncto Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi).

5) Wajib memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau

Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa

pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat

lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat

sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

(Maruarar Siahaan, 2005 : 15)

8. Tinjauan tentang Hukum Acara Mahkamah Konstitusi

a. Pengertian Hukum Acara Mahkamah Konstitusi

Mahkamah Konstitusi sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 2

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi

juncto Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2011 tentang

Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003

tentang Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu lembaga negara yang

melakukan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan

peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Mahkamah Konstitusi

sebagai bagian dari kekuasaan kehakiman yang menjalankan fungsi

peradilan, maka tata cara dan prosedur pelaksanaannya diatur lebih lanjut

dalam ketentuan hukum acara, yaitu hukum acara Mahkamah Konstitusi.

Eksistensi hukum acara sebagai hukum formil mempunyai kedudukan

penting dan stategis dalam upaya menegakkan hukum materiil di lembaga

peradilan. Sebagai hukum formil hukum acara Mahkamah Konstitusi

Page 90: digilib.uns.ac.id/Studi... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user STUDI KOMPARASI KEWENANGAN KELEMBAGAAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA DAN MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

74

berfungsi menegakkan, mempertahankan, dan menjamin ditaatinya hukum

materiil Mahkamah Konstitusi dalam lingkungan peradilan Mahkamah

Konstitusi.

Hukum materiil dan hukum formil Mahkamah Konstitusi mempunyai

hubungan yang erat satu sama lain. Hukum materiil tidak dapat berdiri

sendiri tanpa adanya hukum formil, karena untuk tegaknya hukum materiil

diperlukan adanya hukum formil dan begitu pula sebaliknya. Peradilan

tanpa hukum materiil akan lumpuh karena tidak tahu apa yang hendak

dijelmakan. Sebaliknya, peradilan tanpa hukum formil juga akan liar karena

tidak ada batas yang jelas dalam melakukan wewenang.

Di dalam hukum acara dikenal dua jenis proses beracara, yaitu

contentious procesrecht dan noncontentious procesrecht. Contentious

procesrecht adalah hukum acara yang bersifat mengadili dan menyelesaikan

suatu sengketa, dimana sekurang-kurangnya melibatkan dua pihak yang

saling berlawanan. Sedangkan noncontentious procesrecht atau disebut juga

voluntaire procesrecht adalah hukum acara yang di dalamnya tidak

mengandung penyelesaian suatu sengketa, oleh karena itu hanya melibatkan

satu pihak saja yang disebut pemohon. Untuk proses beracara di Mahkamah

Konstitusi selain digunakan hukum acara yang mengandung sengketa, juga

digunakan hukum acara non sengketa yang bersifat voluntair (Bambang

Sutiyoso, 2006 : 33).

b. Sumber Hukum Acara Mahkamah Konstitusi

Sumber hukum merupakan tempat dari mana materi hukum tersebut

diambil, yang merupakan faktor-faktor yang membantu pembentukan

hukum. Sumber hukum acara Mahkamah Konstitusi yang utama antara lain

:

1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,

khususnya Pasal 24C yang mengatur tentang kewenangan Mahkamah

Konstitusi.

Page 91: digilib.uns.ac.id/Studi... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user STUDI KOMPARASI KEWENANGAN KELEMBAGAAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA DAN MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

75

2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 tentang

Mahkamah Konstitusi juncto Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.

3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang

Pemrintahan Daerah (Beserta Perubahannya).

4) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2007 tentang

Penyelenggara Pemilihan Umum.

5) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai

Politik.

6) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2008 tentang

Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD.

7) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2008 tentang

Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.

8) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2009 tentang

MPR, DPR, DPD, dan DPRD.

9) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 tentang

Kekuasaan Kehakiman.

10) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

11) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman

Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang.

12) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 08/PMK/2006 tentang Pedoman

Beracara Dalam Sengketa Kewenangan Konstitusional Lembaga Negara.

13) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 12/PMK/2008 tentang Prosedur

Beracara Dalam Pembubaran Partai Politik.

14) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 15/PMK/2008 tentang Pedoman

Beracara Dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah.

15) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 16/PMK/2009 tentang Pedoman

Beracara Dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Anggota Dewan

Page 92: digilib.uns.ac.id/Studi... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user STUDI KOMPARASI KEWENANGAN KELEMBAGAAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA DAN MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

76

Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah.

16) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 17/PMK/2009 tentang Pedoman

Beracara Dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil

Presiden.

17) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PMK/2009 tentang Pedoman

Pengajuan Permohonan Elektronik (Electronic Filing) dan Pemeriksaan

Persidangan Jarak Jauh (Video Conference).

18) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 19/PMK/2009 tentang Tata

Tertib Persidangan.

19) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PMK/2009 tentang Pedoman

Beracara Dalam Memutus Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat

Mengenai Dugaan Pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden.

20) Yurisprudensi Mahkamah Konstitusi.

21) Doktrin para ahli hukum.

Selain Undang-Undang Mahkamah Konstitusi dan Peraturan

Mahkamah Konstitusi, hukum acara Mahkamah Konstitusi telah

berkembang seiring dengan perkembangan perkara dan putusan Mahkamah

Konstitusi. Oleh karena itu, putusan-putusan Mahkamah Konstitusi juga

menjadi dasar untuk mempelajari hukum acara Mahkamah Konstitusi yang

melengkapi atau bahkan mengubah ketentuan dalam undang-undang dan

Peraturan Mahkamah Konstitusi (Tim Penyusun Hukum Acara Mahkamah

Konstitusi, 2010 : 28).

c. Asas-asas Hukum Acara Mahkamah Konstitusi

Asas hukum merupakan pokok pikiran umum yang menjadi latar

belakang dari pengaturan hukum yang konkrit (hukum positif). Mengingat

hukum acara Mahkamah Konstitusi adalah aturan hukum yang hendak

menegakkan dan mempertahankan berlakunya hukum materiil Mahkamah

Konstitusi yang bersifat publik, maka pada hakikatnya hukum acara

Page 93: digilib.uns.ac.id/Studi... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user STUDI KOMPARASI KEWENANGAN KELEMBAGAAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA DAN MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

77

Mahkamah Konstitusi juga tunduk pada asas-asas hukum publik di samping

asas-asas umum lainnya yang berlaku dalam peradilan.

Beberapa asas hukum acara Mahkamah Konstitusi yang penting di

antaranya adalah :

1) Asas Independensi/Noninterventif dan Imparsial

Asas ini ditegaskan dalam ketentuan Pasal 2 Undang-Undang

Mahkamah Konstitusi yang menegaskan bahwa :

“Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu lembaga negara yang

melakukan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk

menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”.

Untuk dapat memeriksa dan mengadili suatu perkara secara objektif

serta memutus dengan adil, hakim dan lembaga peradilan harus

independen dalam arti tidak dapat diintervensi oleh lembaga dan

kepentingan apapun, serta tidak memihak kepada salah satu pihak yang

berperkara atau imparsial.

2) Asas Praduga Rechmatige

Sebelum ada putusan Mahkamah Konstitusi, objek yang menjadi

perkara misalnya permohonan untuk menguji undang-undang tersebut

harus selalu dianggap sah atau lebih sesuai dengan hukum sebelum

putusan hakim konstitusi tersebut adalah ex nunc, yaitu dianggap ada

sampai saat pembatalannya. Artinya, akibat ketidaksahan undang-

undang karena bertentangan dengan Undang-Undang Dasar, misalnya

tidaklah berlaku surut namun sejak pernyataan bertentangan oleh

Mahkamah Konstitusi ke depan (Bambang Sutiyoso, 2006 : 40).

3) Asas Persidangan Terbuka untuk Umum

Pasal 40 ayat (1) Undang-Undang Mahkamah Konstitusi menyatakan

bahwa :

“Sidang Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum, kecuali rapat

permusyawaratan hakim”.

Page 94: digilib.uns.ac.id/Studi... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user STUDI KOMPARASI KEWENANGAN KELEMBAGAAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA DAN MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

78

Dengan demikian persidangan yang dilakukan Mahkamah Konstitusi

dapat diakses oleh publik, dalam arti setiap orang boleh hadir untuk

mendengar dan menyaksikan jalannya persidangan. Asas ini membuka

social control dari masyarakat agar jalannya persidangan berlangsung

secara fair dan objektif.

4) Asas Hakim Majelis

Asas ini ditegaskan dalam Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Mahkamah

Konstitusi yang menyatakan bahwa :

(1) Mahkamah Konstitusi memeriksa, mengadili, dan memutus dalam

sidang pleno Mahkamah Konstitusi dengan 9 (sembilan) orang

hakim konstitusi, kecuali dalam keadaan luar biasa dengan 7 (tujuh)

orang hakim konstitusi yang dipimpin oleh Ketua Mahkamah

Konstitusi.

(2) Dalam hal Ketua Mahkamah Konstitusi berhalangan memimpin

sidang pleno sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sidang dipimpin

oleh Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi.

(3) Dalam hal Ketua dan Wakil Mahkamah Konstitusi berhalangan pada

waktu yang bersamaan, sidang pleno dipimpin oleh ketua sementara

yang dipilih dari dan oleh Anggota Mahkamah Konstitusi.

5) Asas Ius Curia Novit

Asas bahwa pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa,

mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih

bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, sebaliknya hakim harus

memeriksa dan mengadilinya. Asas tersebut juga ditegaskan dalam Pasal

16 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan

Kehakiman. Asas ini berlaku dalam peradilan Mahkamah Konstitusi

sepanjang masih dalam batas wewenang Mahkamah Konstitusi yang

telah diberikan secara limitatif oleh UUD RI 1945. Sepanjang suatu

perkara diajukan dalam bingkai salah satu wewenang Mahkamah

Page 95: digilib.uns.ac.id/Studi... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user STUDI KOMPARASI KEWENANGAN KELEMBAGAAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA DAN MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

79

Konstitusi, Mahkamah Konstitusi harus menerima, memeriksa,

mengadili, dan memutus (Tim Penyusun Hukum Acara Mahkamah

Konstitusi, 2010 : 15-16).

6) Asas Objektivitas

Untuk tercapainya putusan yang adil, maka hakim atau panitera wajib

mengundurkan diri apabila terkait hubungan keluarga sedarah atau

semenda sampai derajat ketiga atau hubungan suami atau istri meskipun

telah bercerai dengan tergugat, penggugat, atau penasihat hukum atau

antara hakim dan salah seorang hakim atau panitera juga terdapat

hubungan sebagaimana yang disebutkan di atas, atau hakim atau

panitera tersebut mempunyai kepentingan langsung atau tidak langsung.

7) Asas Keaktifan Hakim Konstitusi (Dominus Litis)

Hakim konstitusi cukup berperan dalam melakukan penelusuran dan

eksplorasi untuk mendapatkan kebenaran melalui alat bukti yang ada.

Asas ini tercermin salah satunya dari asas pembuktian yang

menunjukkan bahwa hakim konstitusi dapat mencari kebenaran materiil

yang tidak terikat dalam menentukan atau memberi penilaian terhadap

kekuatan alat buktinya.

8) Asas Pembuktian Bebas

Asas ini diadopsi sepenuhnya dalam lembaga Mahkamah Konstitusi

untuk memberikan peluang kepada hakim konstitusi untuk mencari

kebenaran materiil melalui pembuktian bebas. Dengan demikian, hakim

konstitusi dapat leluasa untuk menentukan alat bukti, termasuk alat bukti

yang tergolong baru, tidak dikenal dalam kelaziman hukum acara.

9) Asas Peradilan Dilaksanakan Secara Cepat, Sederhana, dan Biaya

Ringan

Page 96: digilib.uns.ac.id/Studi... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user STUDI KOMPARASI KEWENANGAN KELEMBAGAAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA DAN MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

80

Untuk memenuhi harapan para pencari keadilan, maka pemeriksaan dan

penyelesaian perkara dilakukan dengan acara yang efisien dan efektif

serta dengan biaya perkara yang dapat terpikul oleh rakyat. Namun

demikian, dalam pemeriksaan dan penyelesaian perkara tidak

mengorbankan ketelitian dalam mencari kebenaran dan keadilan.

10) Asas Hak untuk Didengar Secara Seimbang (Audi et Alteram Partem)

Pada pengadilan biasa, para pihak memiliki hak untuk didengar secara

seimbang. Para pihak dalam hal ini adalah pihak-pihak yang saling

berhadap-hadapan, baik sebagai tergugat-penggugat, pemohon-

termohon, maupun penuntut-terdakwa. Dalam peradilan Mahkamah

Konstitusi tidak selalu terdapat pihak-pihak yang saling berhadapan

(adversarial). Untuk perkara pengujian undang-undang misalnya, hanya

terdapat pemohon. Pembentuk undang-undang, pemerintah, dan DPR

tidak berkedudukan sebagai termohon (Tim Penyusun Hukum Acara

Mahkamah Konstitusi, 2010 : 22).

11) Asas Praduga Keabsahan (Praesumtio Iustae Causa)

Asas praduga keabsahan adalah bahwa tindakan penguasa dianggap sah

sesuai aturan hukum sampai dinyatakan sebaliknya. Berdasarkan asas

ini, semua tindakan penguasa baik berupa produk hukum maupun

tindakan konkrit harus dianggap sah sampai ada pembatalan.

Perwujudan dari asas ini dalam wewenang Mahkamah Konstitusi dapat

dilihat pada kekuatan mengikat putusan Mahkamah Konstitusi adalah

sejak selesai dibacakan dalam sidang pleno pengucapan putusan terbuka

untuk umum. Sebelum adanya putusan Mahkamah Konstitusi, maka

tindakan penguasa yang dimohonkan tetap berlaku dan dapat

dilaksanakan (Tim Penyusun Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, 2010

: 24).

12) Asas Putusan Berkekuatan Hukum Tetap dan Bersifat Final

Page 97: digilib.uns.ac.id/Studi... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user STUDI KOMPARASI KEWENANGAN KELEMBAGAAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA DAN MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

81

Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan tidak dimungkinkan

untuk diajukan upaya hukum lebih lanjut, seperti banding, kasasi, dan

seterusnya. Hal tersebut juga dijelaskan dalam jurnal internasional

berikut :

The decision rendered by Constitutional Court is attributed as a

final and binding decision, which means that it would not be any legal

remedies to challenge its decisions. This attribute fulfills res judicata

facit ius principle of judiciary power. Judicial independence is a pre-

requisite to the rule of law and fundamental guarantee of fair trial. A

judge shall therefore uphold and exemplify judicial independence in

both its individual and institutional aspects (Harjono, 2008 : 4).

13) Asas Putusan Mengikat Secara Erga Omnes

Kewibawaan suatu putusan yang dikeluarkan institusi peradilan terletak

pada kekuatan mengikatnya. Putusan Mahkamah Konstitusi merupakan

putusan yang tidak hanya mengikat para pihak, tetapi juga harus ditaati

oleh siapapun (erga omnes). Asas ini tercermin dari ketentuan yang

menyatakan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi langsung dapat

dilaksanakan dengan tidak memerlukan lagi keputusan pejabat yang

berwenang, kecuali peraturan perundang-undangan mengatur lain.

14) Asas Sosialisasi

Hasil putusan Mahkamah Konstitusi wajib diumumkan dan dilaporkan

secara berkala kepada masyarakat terbuka.

d. Permohonan dalam Hukum Acara Mahkamah Konstitusi

1) Persyaratan Pengajuan Permohonan

Bagi pihak-pihak yang merasa hak-hak konstitusionalnya dilanggar

dapat mengajukan perkaranya kepada Mahkamah Konstitusi untuk

memperoleh penyelesaian sebagaimana mestinya, yaitu dengan

mengajukan permohonan sesuai lingkup permasalahannya. Dengan

Page 98: digilib.uns.ac.id/Studi... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user STUDI KOMPARASI KEWENANGAN KELEMBAGAAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA DAN MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

82

demikian, diharapkan nantinya hak-hak konstitusional yang bersangkutan

dapat dipulihkan dan mendapatkan perlindungan konstitusional secara

memadai. Permohonan ini harus diajukan secara tertulis sesuai aturan

yang berlaku dalam Undang-Undang Mahkamah Konstitusi.

Menurut Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi,

yang dimaksud dengan :

Permohonan adalah permintaan yang diajukan secara tertulis

kepada Mahkamah Konstitusi mengenai :

a) Pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945;

b) Sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya

diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945;

c) Pembubaran partai politik;

d) Perselisihan tentang hasil pemilihan umum; atau

e) Pendapat DPR bahwa Presiden dan/atauWakil Presiden diduga telah

melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap

negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau

perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai

Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

2) Pihak-pihak yang Berperkara dan Kedudukan Hukum Pemohon (Legal

Standing)

Pihak-pihak yang menganggap hak dan kewenangan

konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang dapat

mengajukan permohonan kepada Mahkamah Konstitusi agar dapat

diselesaikan sebagaimana mestinya. Pihak yang mengajukan permohonan

ini disebut dengan istilah pihak pemohon, sedangkan pihak lawannya

disebut pihak termohon.

Page 99: digilib.uns.ac.id/Studi... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user STUDI KOMPARASI KEWENANGAN KELEMBAGAAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA DAN MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

83

Berdasarkan ketentuan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang

Mahkamah Konstitusi, pihak-pihak yang memenuhi kapasitas sebagai

pemohon dalam hal ini adalah :

a) Perorangan warga negara Indonesia;

b) Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai

dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan

Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;

c) Badan hukum publik atau privat; atau

d) Lembaga negara.

Permohonan dalam lingkungan Mahkamah Konstitusi diajukan

secara legal standing, yaitu apabila menganggap hak dan kewenangan

konstitusinya dirugikan oleh berlakunya undang-undang. Pemohon

memperoleh legal standing atau kedudukan/hak gugat secara otomatis

juga mewakili kepentingan orang lain yang juga menganggap hak

dan/atau kewenangan konstitusinya dirugikan oleh berlakunya undang-

undang.

e. Alat Bukti dan Sistem Pembuktian

1) Pengertian Pembuktian

Pada hakikatnya yang dimaksud dengan pembuktian adalah penyajian

alat-alat bukti kepada pihak lain untuk memberikan kepastian atau

keyakinan tentang kebenaran suatu peristiwa.

2) Alat-alat Bukti

Ketentuan mengenai pembuktian yang berlaku di lingkungan Mahkamah

Konstitusi diatur dalam Pasal 36 sampai dengan Pasal 38 Undang-

Undang Mahkamah Konstitusi. Dilihat dari jenis alat-alat buktinya,

hukum acara Mahkamah Konstitusi sudah berupaya mengakomodir

kebutuhan dan perkembangan hukum masyarakat, khususnya berkaitan

dengan bukti-bukti elektronik.

Page 100: digilib.uns.ac.id/Studi... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user STUDI KOMPARASI KEWENANGAN KELEMBAGAAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA DAN MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

84

Dalam Pasal 36 ayat (1) Undang-Undang Mahkamah Konstitusi

disebutkan ada enam macam alat bukti yang dapat dipergunakan, yaitu :

a) Surat atau tulisan;

b) Keterangan saksi;

c) Keterangan ahli;

d) Keterangan para pihak;

e) Petunjuk; dan

f) Alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan,

diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang

serupa dengan itu.

3) Sistem Pembuktian

Sistem pembuktian dalam persidangan di lingkungan Mahkamah

Konstitusi dalam rangka memperoleh kebenaran materiil. Kebenaran

materiil tidak semata-mata mendasarkan pada alat-alat bukti semata

tetapi juga mendasarkan pada keyakinan hakim.

f. Putusan Mahkamah Konstitusi

Putusan dalam suatu peradilan merupakan perbuatan hakim sebagai

pejabat negara berwenang yang diucapkan dalam sidang terbuka untuk

umum dan dibuat secara tertulis untuk mengakhiri sengketa yang

dihadapkan para pihak kepadanya (Maruarar Siahaan, 2005 : 193). Sebagai

perbuatan hukum yang akan menyelesaikan sengketa yang dihadapkan

kepadanya maka putusan hakim itu merupakan tindakan negara dimana

kewenangannya dilimpahkan kepada hakim baik berdasar Undang-Undang

Dasar maupun undang-undang.

1) Jenis-jenis Putusan

Jenis-jenis putusan yang dapat disimpulkan dari amarnya dapat

dibedakan antara lain :

a) Putusan Declaratoir

Page 101: digilib.uns.ac.id/Studi... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user STUDI KOMPARASI KEWENANGAN KELEMBAGAAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA DAN MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

85

Putusan declaratoir adalah putusan dimana hakim menyatakan

apa yang menjadi hukum. Putusan hakim yang menyatakan

permohonan atau gugatan ditolak merupakan suatu putusan yang

bersifat declaratoir. Hakim dalam hal ini menyatakan tuntutan atau

permohonan tidak mempunyai dasar hukum berdasar fakta-fakta yang

ada.

Dalam putusan Mahkamah Konstitusi tentang pengujian

undang-undang, sifat declaratoir ini sangat jelas dalam amarnya.

Pasal 56 ayat (3) Undang-Undang Mahkamah Konstitusi dikatakan

bahwa :

“Dalam hal permohonan dikabulkan sebagaimana dimaksud ayat (2),

Mahkamah Konstitusi menyatakan dengan tegas materi muatan ayat,

pasal, dan/atau bagian dari undang-undang yang bertentangan dengan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.

b) Putusan Constitutief

Putusan constitutief adalah putusan yang meniadakan suatu

keadaan hukum atau menciptakan suatu keadaan hukum yang baru.

Dengan sendirinya, putusan itu menciptakan suatu keadaan hukum

yang baru. Putusan tentang pembubaran partai politik dan putusan

tentang sengketa hasil pemilihan umum yang menyatakan perhitungan

KPU salah dan menetapkan perhitungan suara yang benar, tentu

meniadakan suatu keadaan hukum yang baru dan mengakibatkan

lahirnya keadaan hukum yang baru.

c) Putusan Condemnatoir

Suatu putusan dikatakan condemnatoir jika putusan tersebut

berisi penghukuman terhadap tergugat atau termohon untuk

melakukan suatu prestasi. Hal ini timbul karena adanya perikatan yang

didasarkan pada perjanjian atau undang-undang, misalnya untuk

membayar sejumlah uang atau melakukan atau tidak melakukan suatu

perbuatan tertentu. Akibat dari suatu putusan condemnatoir ialah

diberikannya hak pada penggugat/pemohon untuk meminta tindakan

eksekutorial terhadap tergugat/termohon.

Page 102: digilib.uns.ac.id/Studi... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user STUDI KOMPARASI KEWENANGAN KELEMBAGAAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA DAN MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

86

2) Rapat Permusyawaratan Hakim

Setelah pemeriksaan persidangan selesai, hakim Mahkamah

Konstitusi akan melakukan musyawarah untuk mengambil sikap apakah

akan mengabulkan permohonan, menolak, atau menyatakan tidak dapat

diterima. Rapat permusyawaratan hakim untuk pengambilan putusan

akhir dalam sengketa yang dihadapkan kepadanya harus memenuhi

kuorum sekurang-kurangnya tujuh orang hakim.

3) Susunan dan Isi Putusan

Putusan Mahkamah Konstitusi sama dengan putusan pengadilan

pada umumnya. Pertama-tama harus membuat irah-irah “Demi Keadilan

Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Putusan harus didasarkan atas

minimal dua alat bukti (Maruarar Siahaan, 2005 : 202).

Keyakinan hakim didasarkan atas minimal dua alat bukti sebagai

dasar pengambilan putusan yang mengingatkan kembali pada sifat

hukum publik dari perkara konstitusi. Tugas hakim adalah mencari

kebenaran materiil yang harus diyakini telah dapat dibuktikan berdasar

bukti yang diajukan ke hadapannya.

Syarat bentuk dan isi putusan Mahkamah Konstitusi diatur dalam

Pasal 48 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi yang kemudian

diperjelas dalam Pasal 30 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor

01/PMK/2005, syarat putusan Mahkamah Konstitusi harus memuat

antara lain :

a) Kepala putusan berbunyi : “DEMI KEADILAN BERDASARKAN

KETUHANAN YANG MAHA ESA”;

b) Identitas pihak;

c) Ringkasan permohonan;

d) Pertimbangan terhadap fakta yang terungkap dalam persidangan;

e) Pertimbangan hukum yang menjadi dasar putusan;

f) Amar putusan;

Page 103: digilib.uns.ac.id/Studi... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user STUDI KOMPARASI KEWENANGAN KELEMBAGAAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA DAN MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

87

g) Hari, tanggal putusan, nama dan tanda tangan hakim konstitusi serta

panitera; dan

h) Pendapat berbeda dari hakim konstitusi.

Syarat tentang bentuk dan isi putusan yang disebut ini apabila

dilanggar mempunyai akibat hukum tertentu. Akibat hukumnya tidak

selalu sama. Ada beberapa syarat yang apabila dilanggar akan

menimbulkan kebatalan (nietigheid) sedang pelanggaran atas syarat lain

yang ditentukan tidak menyebabkan putusan null and void.

4) Kekuatan Putusan Mahkamah Konstitusi

Putusan Mahkamah Konstitusi sejak diucapkan di hadapan sidang

terbuka untuk umum dapat mempunyai tiga kekuatan, yaitu :

a) Kekuatan Mengikat

Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili perkara konstitusi

dalam tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final. Hal

itu berarti bahwa putusan Mahkamah Konstitusi langsung

memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada

upaya hukum yang dapat ditempuh.

b) Kekuatan Pembuktian

Pasal 60 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi menentukan

bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam undang-

undang yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan untuk diuji kembali.

Dengan demikian adanya putusan Mahkamah Konstitusi yang telah

menguji satu undang-undang merupakan alat bukti yang dapat

digunakan bahwa telah diperoleh satu kekuatan pasti.

c) Kekuatan Eksekutorial

Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat, maka

harus segera dilaksanakan dalam hal ini eksekusi putusan harus

dilaksanakan dan tidak dikenal adanya peninjauan kembali (PK)

dalam hukum acara Mahkamah Konstitusi.

Page 104: digilib.uns.ac.id/Studi... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user STUDI KOMPARASI KEWENANGAN KELEMBAGAAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA DAN MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

88

5) Akibat Hukum Putusan

Mahkamah Konstitusi sebagai negative legislator, boleh jadi

mengabulkan permohonan pemohon atau menolaknya. Tetapi juga ada

kemungkinan bahwa permohonan dinyatakan tidak diterima karena tidak

memenuhi syarat formal yang diharuskan. Putusan Mahkamah Konstitusi

meniadakan satu keadaan hukum atau menciptakan hak atau kewenangan

tertentu.

B. Kerangka Pemikiran

Keberadaan Mahkamah Konstitusi antar satu negara dengan negara lain

tentunya memiliki persamaan dan perbedaan hal ini sangat dipengaruhi oleh suatu

bangsa, kewenangan yang diberikan langsung oleh konstitusi, untuk mengawal

konstitusi suatu negara. Dalam penulisan hukum ini, penulis mencoba mengkaji

lebih mendalam mengenai kewenangan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia

yang tercantum dalam Pasal 24C Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945. Di sisi lain, penulis juga menyoroti hal ihwal kewenangan

Mahkamah Konstitusi Republik Afrika Selatan. Mencemati ketentuan dalam

Konstitusi Republik Afrika Selatan Tahun 1996 (Constitution Of The Republic Of

South Africa Number 108 Of 1996) bahwa Mahkamah Konstitusi Republik Afrika

Selatan memiliki beberapa kewenangan. Keduanya memiliki karakteristik

kewenangan masing-masing.

Penulisan hukum ini meneliti tentang komparasi kewenangan kelembagaan

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dan Mahkamah Konstitusi Republik

Afrika Selatan. Selanjutnya, penulis mendeskripsikan persamaan dan perbedaan

antara kedua Mahkamah Konstitusi tersebut. Dari beberapa perbedaan

kewenangan kedua Mahkamah Konstitusi tersebut, penulis mencoba menganalisa

kewenangan Mahkamah Konstitusi Republik Afrika Selatan yang bisa menjadi

evaluasi dan masukan bagi Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.

Page 105: digilib.uns.ac.id/Studi... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user STUDI KOMPARASI KEWENANGAN KELEMBAGAAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA DAN MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

89

Berbagai permasalahan yang menjadi kerangka berpikir penulis untuk

kemudian menjadi pokok bahasan masalah yang akan diteliti dalam penulisan

hukum ini digambarkan dalam skema sebagai berikut :

Komparasi Kewenangan

Mahkamah Konstitusi

Republik Indonesia Republik Afrika Selatan

Aplikasi Gagasan Mekanisme

Constitutional Complaint setelah

Diadaptasi dengan Sistem Hukum di

Indonesia

Gambar 2. Kerangka Pemikiran

Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia

Tahun 1945

Constitution Of The

Republic Of South Africa

Number 108 Of 1996

Persamaan

Perbedaan

Page 106: digilib.uns.ac.id/Studi... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user STUDI KOMPARASI KEWENANGAN KELEMBAGAAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA DAN MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

BAB III

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Persamaan dan Perbedaan Kewenangan Mahkamah Konstitusi Republik

Indonesia dan Mahkamah Konstitusi Republik Afrika Selatan

1. Sejarah Terbentuknya Mahkamah Konstitusi di Indonesia

Konstitusi bangsa Indonesia secara tegas menyatakan bahwa Negara

Indonesia adalah Negara Hukum (Rechtstaats). Menurut pemikiran

Friedrich Julius Stahl, salah satu unsur yang dimiliki oleh negara hukum

adalah pemenuhan akan hak-hak dasar manusia (basic rights/fundamental

rights). Indonesia yang nota bene adalah negara hukum. Negara hukum

berarti setiap warga negara harus tunduk dan taat kepada hukum sebagai

sarana problem solving masyarakat. Hukum di negara hukum harus menjadi

panglima apabila negeri ini ingin hidup tertib dan terjamin perlindungan

hak-hak setiap warganya. Agar dapat selalu mengikuti perkembangan dan

pemenuhan akanhak-hak dasar manusia, maka sebuah konstitusi haruslah

mempunyai aspek yang dinamis dan mampu menangkap fenomena

perubahan sejarah (historical change), sehingga dapat menjadikannya

sebagai suatu konstitusi yang selalu hidup (living constitution).

Konstitusi sebagai hukum dasar yang utama dan merupakan hasil

representatif kehendak seluruh rakyat, haruslah dilaksanakan dengan

sungguh-sungguh di setiap sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh

karena itu, prinsip yang timbul adalah setiap tindakan, perbuatan, dan/atau

aturan dari semua otoritas yang diberi delegasi oleh konstitusi, tidak boleh

bertentangan dengan basic rights dan konstitusi itu sendiri. Dengan kata

lain, konstitusi harus diutamakan, dan maksud atau kehendak rakyat harus

lebih utama daripada wakil-wakilnya.

Page 107: digilib.uns.ac.id/Studi... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user STUDI KOMPARASI KEWENANGAN KELEMBAGAAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA DAN MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Mahkamah Konstitusi yang kini melembaga dalam salah satu struktur

lembaga hukum di Indonesia berawal dari fakta reformasi nasional tahun

1998, dan kemudian hal itu telah membuka peluang perubahan mendasar

atas Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

(kemudian akan kita sebut UUD RI 1945) yang disakralkan oleh Pemerintah

Orde Baru untuk tidak direvisi.

Kehadiran Mahkamah Konstitusi dalam struktur ketatanegaran

Indonesia merupakan kemajuan besar, tidak saja bagi pembangunan hukum

melainkan juga bagi perkembangan demokrasi Indonesia. Kehadiran

Mahkamah Konstitusi segenap wewenang dan kewajibannya, dinilai telah

merobahkan doktrin supremasi parlemen (parliamentary supremacy) dan

menggantikankan dengan ajaran supremasi konstitusi (Moh. Mahfud MD,

2009 : 3).

Setelah reformasi, konstitusi Indonesia telah mengalami perubahan

dalam satu rangkaian empat tahap, yaitu pada tahun 1999, 2000, 2001, dan

2002 (UUD RI 1945). Salah satu perubahan dari UUD RI 1945 adalah

dengan telah diadopsi prinsip-prinsip baru dalam sistem ketatanegaraan

antara lain prinsip pemisahan kekuasaan dan checks and balances sebagai

pengganti sistem supremasi parlemen.

Dalam Pasal 24C hasil perubahan ketiga UUD RI 1945,

dimasukkannya ide pembentukan Mahkamah Konstitusi kedalam konstitusi

negara kita sebagai organ konstitusional baru yang sederajat kedudukannya

dengan organ konstitusi lainnya. Fungsi Mahkamah Konstitusi telah

dilembagakan berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang

Mahkamah Konstitusi, sejak tanggal 13 Agustus 2003, kemudian diadakan

perubahan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.

Amandemen yang dilakukan oleh MPR pada tahun 2001 sebagaimana

dirumuskan dalam ketentuan Pasal 24 ayat (21) Pasal 24C dan Pasal 7B

Page 108: digilib.uns.ac.id/Studi... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user STUDI KOMPARASI KEWENANGAN KELEMBAGAAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA DAN MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Undang-Undang Dasar 1945 hasil perubahan ketiga yang disahkan pada

tanggal 9 November 2001.

Hal ini disahkan dengan adanya ketentuan Pasal 24C ayat (6) UUD RI

1945 yang menentukan: “Pengangkatan dan pemberhentian Hakim

Konstitusi, hukum acara serta ketentuan lainnya tentang Mahkamah

Konstitusi diatur dengan undang-undang.” Oleh karena itu, sebelum

Mahkamah Konstitusi dibentuk sebagai mestinya, undang-undang tentang

Mahkamah Konstitusi terlebih dahulu ditetapkan dan diundangkan pada

tanggal 13 Agustus 2003 dalam Lembaran Negara Republik Indonesia

Tahun 2003 Nomor 98 dan Tambahan Lembaran Negara Republik

Indonesia Nomor 4316.

Pembentukan Mahkamah Konstitusi telah dilakukan dengan proses

rekruitmen calon hakim menurut tata cara yang diatur dalam Pasal 18 ayat

(1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 yang berbunyi “Hakim

Konstitusi diajukan masing-masing 3 (tiga) orang oleh Mahkamah Agung, 3

(tiga) orang oleh DPR, dan 3 (tiga) orang oleh Presiden, untuk ditetapkan

dengan Keputusan Presiden”. Hal tersebut juga dijelaskan dalam kutipan

jurnal internasional di bawah ini :

Since a state organ has its own function, Constitutional Court has an

equal rank to others constitutional state organ. It is not an appellate court.

Constitutional Court as judicial organ would free from intervention of

others state organ. Composition of judges consist of 9 (nine) justice : 3

(three) are appointed by President, 3 (three) are appointed by Supreme

Court, and 3 (three) are appointed by House of Representative. The

requirements for holding the office of justice should be (a) possess a strong

integrity and good personality; (b) just; and (c) state‟ man who have

sufficient knowledge of the Constitution and state administration.

Indonesian Constitutional Court is a court which establishment by

Constitution as stipulated in article 24 and 24C of Constitution, therefore to

Page 109: digilib.uns.ac.id/Studi... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user STUDI KOMPARASI KEWENANGAN KELEMBAGAAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA DAN MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

abolish it should require constitutional amendment. This position is similar

to the United State Supreme Court and Germany Federal Constitutional

Court. The Constitution itself determines clearly the scope of its jurisdiction

which it means not to be extended and curtailed by statute. As compare with

Article 24 A dealing with Supreme Court, Constitution says that Supreme

Court shall possess other authorities as provided by statute. Similar

statement is not found in the provisions dealing with Constitutional Court.

Article 24 C (6) of Constitution says that the appointment and removal of

constitutional justices, the judicial procedure, and other provisions

concerning the Constitutional Court shall be further regulated by statute.

Statute number 24 year 2003 is a law to implement the order of Article 24 C

(6). Article 50 of this law states that statutes which are requested to be

reviewed are statutes issued after the amendment of the 1945 Constitution of

the Republic of Indonesia (Harjono, 2008 :_ )

Mahkamah Konstitusi secara resmi dibentuk dengan adanya Undang-

Undang Nomor 24 Tahun 2003 dan setelah pelantikan dan pengucapan

sumpah tanggal 16 Agustus 2003, maka kewenangan transisi Mahkamah

Agung yang dibebani tugas oleh Pasal III Aturan Peralihan UUD RI 1945,

untuk melaksanakan segala kewenangan Mahkamah Konstitusi telah

berakhir. Untuk itu akan dibahas kewenangan Mahkamah Konstitusi sebagai

alat untuk melaksanakan peranannya sebagai penjaga konstitusi seperti yang

diatur dalam UUD RI 1945 dengan meninjau keberadaannya dalam tatanan

hukum di Indonesia.

Beberapa aspek yang terdapat dalam UUD 1945 yang menyebabkan

konstitusi Indonesia ini tidak cukup mampu mendukung penyelenggaraan

negara yang demokratis dan menegakkan hak asasi manusia, antara lain

sebagai berikut :

a. UUD 1945 terlampau sedikit jumlah pasal dan ayatnya, hanya terdiri dari

37 pasal sehingga belum/tidak mengatur berbagai hal mengenai

Page 110: digilib.uns.ac.id/Studi... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user STUDI KOMPARASI KEWENANGAN KELEMBAGAAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA DAN MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

penyelenggaraan negara dan kehidupan bangsa di dalamnya yang makin

lama makin kompleks.

b. UUD 1945 menganut paham Supremasi MPR yang menyebabkan tidak

ada sistem checks and balances antarcabang kekuasaan negara.

c. UUD 1945 memberikan kekuasaan sangat besar kepada Presiden

(executive heavy) sehingga peranan Presiden sangat besar dalam

penyelenggaraan Negara.

d. Beberapa muatan dalam UUD 1945 mengandung potensi multitafsir yang

membuka peluang penafsiran yang menguntungkan pihak penguasa.

e. UUD 1945 sangat mempercayakan pelaksanaan UUD 1945 kepada

semangat penyelenggara negara.

2. Sejarah Terbentuknya Mahkamah Konstitusi di Afrika Selatan

Afrika Selatan (melihat peta) adalah negara yang diberkati dengan

kelimpahan sumber alam termasuk tanah pertanian subur dan sumber

penghasilan barang tambang unik. Tambang Afrika Selatan adalah

pemimpin dunia di produksi intan dan emas itu serta metal strategis seperti

platina. Iklim lunak, menurut laporan menyerupai cuaca bidang Teluk San

Francisco lebih dari di mana pun di dunia.

Mendengar kata Afrika Selatan pasti tak pernah lepas dari “apartheid

dan Nelson Mandela”. Negara yang memiliki 11 bahasa resmi termasuk di

dalamnya bahasa English, Afrikaans, Sesotho, Setswana, Xhosa dan Zulu ini

hingga sampai pada tahun 1994 masih didominasi oleh kekuatan superior

kulit putih, meski pada saat itu Mandela telah menjabat sebagai presiden

berkulit hitam pertama di sana. Pemerintahan kulit putih yang dalam hal ini

terlalu bertindak dengan melihat seseorang itu dari ras apa. Meski negara ini

merupakan negara yang tak lepas dari masalah, namun negara ini juga telah

sukses mengadakan tiga kali pemilihan umum tentunya semenjak

pemerintahan tak lagi didominasi oleh kulit putih tentunya.

Page 111: digilib.uns.ac.id/Studi... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user STUDI KOMPARASI KEWENANGAN KELEMBAGAAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA DAN MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Kekuatan yang mendasari dari benua Afrika juga tak lepas dari

perekonomian di negara ini. Lihat saja melalui sumber daya alam yang

terdapat di negara ini, ada emas yang menjadi kebanggaannya, ada juga

berlian, mineral, platinum dsb. Negara Afrika Selatan terbagi menjadi 9

(sembilan) provinsi (Cape Timur, Cape Barat, Cape Utara, Free State,

Gauteng, Kwa Zulu-Natal, Limpopo, Mpumalanga, North-West). Meski

negara ini beribukotakan Pretoria, namun terdapat tiga pemerintahan yang

menjadi pusatnya. Pretoria, Cape Town, dan Bloemfontein. Tapi perlu

diketahui juga bahwa meskipun negara ini memiliki kekayaan alam yang

dapat dibanggakan tapi penduduk di Afrika Selatan justru banyak yang

miskin dan menganggur.

Afrika Selatan adalah negara yang nomor dua tertinggi di dunia yang

terjangkit virus HIV/AIDS. Perbandingannya adalah 1:7. “No-one is born

hating another person because of the colour of his skin, or his religion”. Ya,

Nelson Mandela tidak pernah lelah memperjuangkan demokrasi dan

persamaan hak. Hidupnya telah menjadi inspirasi di Afrika Selatan dan

seluruh dunia. Semua berawal dari mimpi Mandela dimana dia akan

menciptakan kebebasan bagi orang-orang kulit hitam yang menderita akibat

kekejaman politik apartheid.

Politik apartheid dicanangkan oleh Partai Nasional yang saat itu

berkuasa mulai 1984. Tapi mereka pula yang meruntuhkannya setelah

mendapat desakan dari dunia internasional. Dan, yang terutama atas desakan

dari bawah, para pejuang yang dimotori Mandela. Dan usahanya bertahun-

tahun itu berhasil. Politik Apartheid agaknya membuat seorang sutradara

tergugah semangatnya untuk menggarap sebuah film yang berjudul “

Country of My Skull” Film ini mengambil tempat di Afrika Selatan pada

tahun 1995, ketika negara ini masih diliputi semangat rekonsiliasi. Dimana

saat itu pemerintah menawarkan amnesti pada mereka yang melakukan

pelanggaran HAM, baik pada kulit putih atau kulit hitam. Dan tentu saja

pemberian amnesti ini menimbulkan kontroversi. Dan bagi yang mengaku

Page 112: digilib.uns.ac.id/Studi... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user STUDI KOMPARASI KEWENANGAN KELEMBAGAAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA DAN MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

pecinta sepak bola, di tahun 2010 pertandingan “world cup” diadakan di

Afrika Selatan. Setelah sekian lama FIFA mengasingkan Afrika Selatan dari

pergaulan sepak bola internasional (Sandra Shintadewi, Afrika Selatan

www.diahkei.staff.ugm.ac.id/file/got-profil-negara, diakses pada tanggal 8

Juni 2012 pukul 13.43 WIB).

Afrika Selatan merupakan salah satu negara tertua di benua Afrika.

Banyak suku telah menjadi penghuninya termasuk suku Khoi, Bushmen,

Xhosa dan Zulu. Penjelajah Belanda yang dikenal sebagai Afrikaner tiba

disana pada 1652. Pada saat itu Inggris juga berminat dengan negara ini,

terutama setelah penemuan cadangan berlian yang melimpah. Hal ini

menyebabkan Perang Britania-Belanda dan dua Perang Boer. Pada 1910,

empat republik utama digabung di bawah Kesatuan Afrika Selatan. Pada

1931, Afrika Selatan menjadi jajahan Britania sepenuhnya.

Walaupun negara ini berada di bawah jajahan Britania, mereka

terpaksa berbagi kuasa dengan pihak Afrikaner. Pembagian kuasa ini telah

berlanjut hingga tahun 1940-an, saat partai pro-Afrikaner yaitu Partai

Nasional (NP) memperoleh mayoritas di parlemen. Strategi-strategi partai

tersebut telah menciptakan dasar apartheid (yang disahkan pada tahun 1948),

suatu cara untuk mengawal sistem ekonomi dan sosial negara dengan

dominasi kulit putih dan diskriminasi ras. Namun demikian pemerintahan

Britania kerap kali menggagalkan usaha apartheid yang menyeluruh di

Afrika Selatan.

Pada tahun 1961, setelah pemilu khusus kaum kulit putih, Afrika

Selatan dideklarasikan sebagai sebuah republik. Bermula pada 1960-an,

'Grand Apartheid' (apartheid besar) dilaksanakan, politik ini menekankan

pengasingan wilayah dan kezaliman pihak polisi.

Penindasan kaum kulit hitam terus berlanjut sehingga akhir abad ke-

20. Pada Februari 1990, akibat dorongan dari bangsa lain dan tentangan

Page 113: digilib.uns.ac.id/Studi... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user STUDI KOMPARASI KEWENANGAN KELEMBAGAAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA DAN MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

hebat dari berbagai gerakan anti-apartheid khususnya Kongres Nasional

Afrika (ANC), pemerintahan Partai Nasional di bawah pimpinan Presiden

F.W. de Klerk menarik balik larangan terhadap Kongres Nasional Afrika

dan partai-partai politik berhaluan kiri yang lain dan membebaskan Nelson

Mandela dari penjara. Undang-undang apartheid mulai dihapus secara

perlahan-lahan dan pemilu tanpa diskriminasi yang pertama diadakan pada

tahun 1994. Partai ANC meraih kemenangan yang besar dan Nelson

Mandela, dilantik sebagai Presiden kulit hitam yang pertama di Afrika

Selatan. Walaupun kekuasaan sudah berada di tangan kaum kulit hitam,

berjuta-juta penduduknya masih hidup dalam kemiskinan.

Sewaktu Nelson Mandela menjadi presiden negara ini selama 5 (lima)

tahun, pemerintahannya telah berjanji untuk melaksanakan perubahan

terutamanya dalam isu-isu yang telah diabaikan semasa era apartheid.

Beberapa isu-isu yang ditangani oleh pemerintahan pimpinan ANC adalah

seperti pengangguran, wabah AIDS, kekurangan perumahan dan pangan.

Pemerintahan Mandela juga mula memperkenalkan kembali Afrika Selatan

kepada ekonomi global setelah beberapa tahun diasingkankan karena politik

apartheid. Di samping itu, dalam usaha mereka untuk menyatukan rakyat

pemerintah juga membuat sebuah komite yang dikenal dengan Truth and

Reconciliation Committee (TRC) dibawah pimpinan Uskup Desmond Tutu.

Komite ini berperan untuk memantau badan-badan pemerintah seperti badan

polisi agar masyarakat Afrika Selatan dapat hidup dalam aman dan

harmonis.

Presiden Mandela menumpukan seluruh perhatiannya terhadap

perdamaian di tahap nasional, dan mencoba untuk membina suatu jatidiri

untuk Afrika Selatan dalam masyarakat majemuk yang terpisah oleh konflik

yang berlarut-larut selama beberapa dasawarsa. Kemampuan Mandela dalam

mencapai objektifnya jelas terbukti karena selepas 1994 negara ini telah

bebas dari konflik politik. Nelson Mandela meletakkan jabatannya sebagai

presiden partai ANC pada Desember 1997, untuk memberi kesempatan

Page 114: digilib.uns.ac.id/Studi... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user STUDI KOMPARASI KEWENANGAN KELEMBAGAAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA DAN MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

kepada Presiden yang baru yaitu Thabo Mbeki. Mbeki dipilih sebagai

presiden Afrika Selatan selepas memenangi pemilu nasional pada tahun

1999, dan partainya menang tipis dua pertiga mayoritas di parlemen.

Presiden Mbeki telah mengalihkan fokus pemerintahan dari pendamaian ke

perubahan, terutama dari segi ekonomi negara.

Afrika Selatan dikenal dunia sebagai negara yang memiliki sejarah

fenomenal dalam proses demokratisasi. Di tengah kobaran patriotisme

Mandela, Afrika Selatan berhasil mengakhiri rezim apartheid, yang

sebelumnya mencengkeram negara tersebut selama puluhan tahun dari tahun

1979 hingga tahun 1991, rezim yang memecah belah nilai kemanusiaan.

Afrika Selatan merupakan negara demokrasi konstitusional dengan

sistem tiga tingkat dan institusi kehakiman yang bebas. Terdapat tiga

peringkat yaitu nasional, wilayah dan pemerintahan lokal yang mempunyai

badan legislatif serta eksekutif dengan daerah kekuasaan masing-masing.

Presiden Afrika Selatan memegang dua jabatan yaitu sebagai Kepala

Negara dan juga Kepala Pemerintahan. Ia dipilih sewaktu Majelis Nasional

(National Assembly) dan Majelis Provinsi-provinsi Nasional (National

Council of Provinces) bergabung. Lazimnya, Presiden adalah pemimpin

partai mayoritas di parlemen. National Assembly mempunyai 400 anggota

yang dipilih melalui pemilu secara perwakilan proporsional. National

Council of Provinces, yang telah menggantikan Senat pada 1997, terdiri dari

90 anggota yang mewakili setiap 9 (sembilan) provinsi termasuk kota-kota

besar di Afrika Selatan.

Afrika Selatan mengadakan pemilu setiap lima tahun dan setiap

rakyat berusia 18 tahun ke atas diwajibkan untuk ikut. Pemilu terakhir ialah

pada April 2004, di mana partai ANC berhasil memenangkan 69,68% kursi

di parlemen. Partai ini bersama Partai Kebebasan Inkatha (6,97%) telah

membentuk aliansi pemerintahan. Partai-partai oposisi utama termasuk

Page 115: digilib.uns.ac.id/Studi... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user STUDI KOMPARASI KEWENANGAN KELEMBAGAAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA DAN MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Aliansi Demokrat (12,37%), Gerakan Demokratik Bersatu atau UDM

(2,28%), Demokrat Bebas atau ID (1,73%), Partai Nasional Baru atau NNP

(1,65%) dan Partai Demokratik Kristen Afrika atau ACDP (1,6%). Di

samping itu, setiap provinsi di Afrika Selatan mempunyai satu penggubah

undang-undang negeri dan Majelis Eksekutif yang diketuai oleh seorang

Perdana Menteri atau "Premier".

Pada tahun 1993, Afrika Selatan mengadopsi sebuah konstitusi yang

dianggap demokratis bagi Afrika Selatan yaitu Konstitusi Sementara.

Disebut Konstitusi Sementara sebab dalam konstitusi sendiri disebutkan

bahwa akan dibentuk konstitusi yang lebih permanen dan tidak dibentuk

secara terburu-buru layaknya konstitusi sementara. Konstitusi Sementara

Tahun 1993 mengubah parlemen menjadi sistem dua kamar yang terdiri dari

National Assembly dan National Council of Parliament atau Senate.

Konstitusi Sementara juga mencantumkan Bill of Rights. Pengubahan sistem

trikameral menjadi bikameral serta pencantuman Bill of Rights inilah yang

dianggap sebagai pondasi bagi sebuah kehidupan baru yang demokratis di

Afrika Selatan.

Mahkamah Konstitusi Afrika Selatan dibentuk pertama kali pada

tahun 1994 berdasarkan Interim Constitution 1993. Setelah UUD 1996

disahkan, Mahkamah Konstitusi tersebut terus bekerja, yaitu mulai

persidangannya yang pertama pada bulan Februari 1995. Anggotanya

berjumlah 11 orang, sembilan orang pria dan dua orang wanita. Masa kerja

mereka adalah 12 tahun dan tidak dapat diperpanjang lagi, dengan

kemungkinan penggantian karena pensiun, yaitu apabila mencapai usia

maksimum 70 tahun. Semua anggota Mahkamah Konstitusi independen,

dengan tugas memegang teguh atau menjalankan hukum dan konstitusi

secara adil (impartial) dan tanpa rasa takut, memihak, atau prasangka buruk

(http://crossbyjansem.wordpress.com/2010/06/06/mahkamah-konstitusi-

dalam-sistem-ketatanegaraan-republik-indonesia, diakses pada tanggal 8

Juni 2012 pukul 14.19 WIB).

Page 116: digilib.uns.ac.id/Studi... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user STUDI KOMPARASI KEWENANGAN KELEMBAGAAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA DAN MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Sejarah pembentukan Mahkamah Konstitusi di Afrika Selatan tersebut

juga dijelaskan dalam kutipan jurnal internasional di bawah ini :

South Africa‟s Constitutional Court is a product of the country‟s

democratic transition away from Apartheid in the early 1990s. The

democratic transition was achieved through a two-stage process of

constitutional change. In the first stage an „interim‟ constitutionwas

adopted and a democratic election held to both elect a new government as

well as legislative body whose two houses met jointly to form a

Constitutional Assembly that produced a „final‟ Constitution for post-

apartheid South Africa. This two-stage processwas facilitated by an

agreement to adopt a set of Constitutional Principles that would be attached

as a schedule to the negotiated „interim‟ Constitution providing the

framework within which the democratically-elected Constitutional Assembly

would formulate a„final‟ Constitution. While the new constitutions both

introduced extensive bills of rights as a response to the country‟s history of

colonialism and apartheid, the Constitutional Principles promised those

who would loose power in a democratic election that their fundamental

concerns would still be addressed in the final constitutional dispensation. It

was in order to guarantee this outcome that the negotiating parties agreed

that there would be a Constitutional Court and that it would serve the

unique function of certifying whether the „final‟ constitution produced by

the Constitutional Assembly was in conformity with the parameters set by

the Constitutional Principles.

The Constitutional Court‟s power is based on both the Constitution‟s

proclamation that it is the supreme law of the land and its explicit grant of

authority declaring the Court the final arbiter of the meaning of the

Constitution. As a direct product of the political negotiations that ended

apartheid, the Constitutional Court, provided for in the 1993„interim‟

Constitution, was established in the first half of 1995, about a year after

South Africa‟s first democratic election, with the appointment of 11 justices

Page 117: digilib.uns.ac.id/Studi... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user STUDI KOMPARASI KEWENANGAN KELEMBAGAAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA DAN MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

to the Court. The Court was formally opened in October 1995. Empowered

to exercise both concrete and abstract review, as well as to take direct

applications and to serve as a court of final review, the Constitutional Court

has had a broad scope of authority within which to establish its role. On

average the Court decided about 25 cases per year during its first decade

and ruled against the government in about 40 percent of cases. Of the cases

that the Court decided approximately 60 percent were based on claims of

violations of rights, 30 percent arose out of criminal cases and about 78

percent of all cases were decided by a unanimous Court. (Heinz Klug, 2011

: 174).

Pada tahun 1996 Afrika Selatan sukses menghasilkan Undang Undang

Dasar bagi negara tersebut. Afrika Selatan muncul sebagai negara

demokratis setelah berhasil menyelenggarakan pemilihan umum yang

pertama kalinya pada tahun 1999, lima tahun setelah belajar demokrasi.

Sejarah manis peta perpolitikan ditorehkan Nelson Mandela saat ia

membatasi periode kepemimpinannya.

Sejak tanggal 14 Juni 1999 Afrika Selatan memiliki presiden baru,

Thabo Mvuyelwa Mbeki, yang bertugas meneruskan peta demokrasi bagi

Afrika Selatan yang telah dirintis Mandela. Satu langkah penting demokrasi

telah tercapai, Afrika Selatan berupaya melebarkan sayap untuk

meningkatkan kualitas kehidupan rakyatnya sesuai dengan potensi yang

dimiliki. Dilihat dari struktur tata negara Afrika Selatan, maka akan ditemui

salah satu di antaranya adalah Mahkamah Konstitusi. Menurut Deputi Chief

Justice, Monseneke, pelayanan terhadap constitutional complaint di

Mahkamah Konstitusi Afrika Selatan dalam setahun terakhir ini telah

tercatat berjumlah 570 perkara.

Pembentukan Mahkamah Konstitusi di Afrika Selatan, pada tahapan

agenda, setting mereka lebih dulu menyiapkan paradigma constitution

making yang terdiri :

Page 118: digilib.uns.ac.id/Studi... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user STUDI KOMPARASI KEWENANGAN KELEMBAGAAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA DAN MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

a. Kesepakatan membuat konstitusi sementara sebagai masa peralihan dari

rezim apartheid;

b. Pemberian mandat kepada parlemen hasil Pemilu 1994 sekaligus menjadi

Majelis Konstitusi;

c. Pembuatan 34 prinsip-prinsip konstitusi (constitutional principles) yang

menjadi acuan konstitusi baru. Constitutional principles itu mencakup

hal-hal dasar universal seperti perlindungan HAM dan kemerdekaan

kekuasaan peradilan;

d. Pembentukan Mahkamah Konstitusi yang berfungsi menyertifikasi

rancangan konstitusi yang disiapkan Constitutional Assembly. Caranya,

Mahkamah Konstitusi mengecek apakah rancangan konstitusi Majelis

Konstitusi bertentangan atau tidak dengan ke-34 constitutional

principles; dan

e. Mekanisme pengesahan konstitusi sekaligus menyediakan alternatif guna

menghindari deadlock.

Langkah awal Afrika Selatan melakukan reformasi konstitusi adalah

membuat prosedur pembuatan konstitusi yang lebih demokratis.Inilah

kelemahan mendasar reformasi konstitusi Indonesia yang melakukan

perubahan UUD 1945 bersandarkan ketentuan Pasal 37. Suatu absurditas

reformasi konstitusi, karena menggantungkan proses perubahan pada pasal

yang seharusnya menjadi bagian yang diubah. Berangkat akan arti penting

self of belonging rakyat atas konstitusinya maka Afrika Selatan

menyebarluaskan rancangan UUD-nya melalui radio, televisi, buletin selain

seminar-seminar. Hasilnya, diperkirakan 82 persen penduduk di atas usia 18

tahun mendengarkan siaran radio konstitusi, 37 program tentang konstitusi

di televisi mendapatkan sambutan hangat 34 persen pemirsa, setiap dua

minggu 160.000 buletin Constitutional Assembly dibagikan kepada

khalayak ramai. Akhirnya, April 1996 menjelang draft konstitusi selesai,

survei independen menyimpulkan, kampanye reformasi konstitusi berhasil

menjaring 73 persen orang dewasa Afrika Selatan (Christina Murray,

Page 119: digilib.uns.ac.id/Studi... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user STUDI KOMPARASI KEWENANGAN KELEMBAGAAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA DAN MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

2001). Last but not least Afrika Selatan diuntungkan dengan kepemimpinan

negarawan sekelas Presiden Nelson Mandela.

3. Kewenangan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dalam menjalankan

perannya sebagai penjaga konstitusi, maka diberi kewenangan seperti yang

diatur dalam Pasal 24C ayat (1) UUD RI 1945 yang kemudian dipertegas

dalam Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah

Konstitusi yang menentukan bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang

mengadili :

a. Menguji undang-undang terhadap UUD RI 1945;

b. Memutus sengketa kewenangan antar lembaga negara yang

kewenangannya diberikan oleh UUD RI 1945;

c. Memutus pembubaran partai politik;

d. Memutus perselisihan tentang hasil pemilu; dan

e. Memberi putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa

Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran

hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan,

tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi

memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden, sebagaimana

dimaksud dalam UUD RI 1945.

Wewenang Mahkamah Konstitusi tersebut secara khusus diatur lagi

dalam Pasal 10 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003

tentang Mahkamah Konstitusi juncto Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dengan

merinci sebagai berikut :

1) Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945

Page 120: digilib.uns.ac.id/Studi... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user STUDI KOMPARASI KEWENANGAN KELEMBAGAAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA DAN MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar

merupakan tugas yang mendominasi kewenangan Mahkamah Konstitusi

sebagaimana tampak dari permohonan yang masuk dan terdaftar di

kepaniteraan Mahkamah Konstitusi.

a) Pengujian Formil (Formele Toetsingsrecht)

Pengujian secara formil secara singkat disebut dalam Pasal 51

ayat (3) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang

Mahkamah Konstitusi juncto Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang

Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah

Konstitusi, yang menyatakan “pemohon wajib menguraikan dengan

jelas bahwa pembentukan undang-undang tidak memenuhi ketentuan

berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945”. Pengujian secara formil akan melakukan pengujian atas dasar

kewenangan dalam pembentukan undang-undang dan prosedur yang

harus ditempuh dari tahap drafting sampai dengan pengumuman

dalam lembaran negara yang harus sesuai dengan ketentuan yang

berlaku.

b) Pengujian Materiil (Materiele Toetsingsrecht)

Berdasarkan Pasal 51 ayat (3) huruf b Undang-Undang Nomor

24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi juncto Undang-Undang

Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 tentang

Mahkamah Konstitusi dalam permohonan sebagaimana dimaksud

pada ayat (2), “pemohon wajib menguraikan dengan jelas bahwa

materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang

dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945” mengatur tentang uji materiil dengan

mana materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang yang

dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945 dapat diminta untuk dinyatakan

Page 121: digilib.uns.ac.id/Studi... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user STUDI KOMPARASI KEWENANGAN KELEMBAGAAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA DAN MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

sebagai tidak mempunyai kekuatan mengikat secara hukum. Yang

boleh diuji juga hanya ayat, pasal tertentu saja yang dianggap

bertentangan dengan konstitusi dan karenanya dimohon tidak

mempunyai kekuatan mengikat secara hukum hanya sepanjang

mengenai ayat, pasal, dan bagian tertentu dari undang-undang yang

bersangkutan. Akan tetapi dengan membuang kata yang merupakan

bagian kalimat dalam pasal tersebut dapat berubah sama sekali dan

dipandang dengan demikian tidak lagi bertentangan dengan UUD.

2) Memutus Sengketa Kewenangan Lembaga Negara yang Kewenangannya

Diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945

Sengketa kewenangan antar lembaga negara secara jelas

memperoleh batasan bahwa lembaga negara yang memperoleh

kewenangannya menurut UUD RI 1945 sehingga jelas meskipun dapat

terjadi multitafsir dapat dilihat dalam UUD RI 1945 lembaga mana yang

memperoleh kewenangannya secara langsung dari UUD RI 1945. Oleh

karena UUD adalah juga mengatur organisasi negara dan wewenangnya.

Bahwa lembaga negara tersebut harus merupakan organ konstitusi yaitu

baik yang dibentuk berdasarkan konstitusi maupun yang secara langsung

wewenangnya diatur dan diturunkan dari Undang-Undang Dasar.

3) Memutus Pembubaran Partai Politik

Berbeda dengan permohonan pengujian undang-undang terhadap

Undang-Undang Dasar dimana akses terhadap Mahkamah Konstitusi

tampaknya agak luas yang memiliki legal standing untuk mengajukan

permohonan pembubaran partai politik sebagaimana diatur dalam Pasal

68 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah

Konstitusi juncto Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun

2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi hanya pemerintah.

Page 122: digilib.uns.ac.id/Studi... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user STUDI KOMPARASI KEWENANGAN KELEMBAGAAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA DAN MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Berdasarkan Pasal 68 ayat (2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun

2003 tentang Mahkamah Konstitusi juncto Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang

Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah

Konstitusimewajibkan pemerintah sebagai pemohon untuk menguraikan

dengan jelas tentang ideologi, asas, tujuan, program, dan kegiatan partai

politik. Yang semuanya bertentangan dengan UUD merupakan alasan

partai politik tersebut untuk dibubarkan. Pelaksanaan putusan Mahkamah

Konstitusi mengenai pembubaran partai politik dilakukan dengan

pembatalan pendaftaran partai pada pemerintah.

4) Memutus Perselisihan Tentang Hasil Pemilihan Umum

Perselisihan ini terkait dengan penetapan hasil pemilihan umum

secara nasional yang dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU)

yang mengakibatkan seorang yang harusnya terpilih baik seorang

anggota DPR, Dewan Perwakilan Daerah (DPD) maupun Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) atau mempengaruhi langkah calon

Presiden/Wakil Presiden melangkah ke putaran kedua pemilihan

Presiden/Wakil Presiden atau mempengaruhi calon terpilih menjadi

Presiden/Wakil Presiden. Hal ini terjadi karena adanya kekeliruan dalam

penghitungan suara hasil pemilihan umum.

Yang dapat menjadi pemohon dalam perselisihan hasil pemilihan

umum sebagaimana tercantum dalam Pasal 74 ayat (1) Undang-Undang

Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi juncto Undang-

Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan

Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 tentang

Mahkamah Konstitusi, yaitu :

a) Perorangan warga negara Indonesia calon anggota DPD peserta

pemilihan umum;

b) Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden peserta pemilihan umum

Presiden dan Wakil Presiden;

Page 123: digilib.uns.ac.id/Studi... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user STUDI KOMPARASI KEWENANGAN KELEMBAGAAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA DAN MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

c) Partai politik peserta pemilihan umum.

Yang dapat menjadi termohon adalah Komisi Pemilihan Umum

(KPU) dan meskipun asal perselisihan adalah di daerah pemilihan

tertentu yang hasil perhitungan awal dilakukan oleh Panitia Pemungutan

Suara (PPS) yang kemudian direkapitulasi ke Panitia Pemilihan

Kecamatan (PPK) dan dilanjutkan ke KPU Kabupaten/Kota, KPU

Provinsi dan penetapan hasil pemilihan umum secara nasional dilakukan

oleh KPU Pusat di Jakarta.

Pada intinya permohonan perselisihan hasil pemilhan umum

mengajukan dua hal pokok, yaitu adanya kesalahan perhitungan yang

dilakukan oleh KPU dan hasil perhitungan yang benar menurut pemohon.

Dasar perhitungan pemohon harus didasarkan pada alat-alat bukti yang

dapat menunjukkan ketidakbenaran perhitungan KPU. Dan berdasarkan

hal tersebut pemohon meminta agar Mahkamah Konstitusi membatalkan

hasil perhitungan suara yang diumumkan KPU dan agar Mahkamah

Konstitusi menetapkan hasil penghitungan suara yang benar menurut

pemohon (Pasal 75 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang

Mahkamah Konstitusi juncto Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi).

5) Wajib memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau

Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa

pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat

lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat

sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

(Maruarar Siahaan, 2005 : 15).

Pelanggaran hukum yang diduga dilakukan Presiden yang disebut dalam

Pasal 10 ayat (2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang

Page 124: digilib.uns.ac.id/Studi... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user STUDI KOMPARASI KEWENANGAN KELEMBAGAAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA DAN MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Mahkamah Konstitusi, telah diperjelas dalam ayat (3) dengan memberi

batasan sebagai berikut:

1) Pengkhianatan terhadap negara adalah tindak pidana terhadap

keamanan negara sebagaimana diatur dalam undang-undang;

2) Korupsi dan penyuapan adalah tindak pidana korupsi atau penyuapan

sebagaimana diatur dalam undang-undang;

3) Tindak pidana berat lainnya adalah tindak pidana yang diancam

dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;

4) Perbuatan tercela adalah perbuatan-perbuatan yang dapat

merendahkan martabat Presiden dan/atau Wakil Presiden;

5) Tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan/atau wakil presiden

adalah syarat sebagaimana ditentukan dalam Pasal 6 UUD RI 1945.

4. Kewenangan Mahkamah Konstitusi Republik Afrika Selatan

Kewenangan Mahkamah Konstitusi Afrika Selatan langsung

disebutkan dalam konstitusinya/Undang-Undang Dasarnya (Konstitusi

Afrika Selatan 1996/Constitution Of The Republic Of South Africa Number

108 Of 1996), sama halnya seperti wewenang Mahkamah Konstitusi

Indonesia yang sama-sama wewenangnya diberikan dan disebutkan

langsung dalam UUD RI 1945, wewenang Mahkamah Konstitusi Afrika

Selatan adalah sebagai berikut :

a. Memutuskan perselisihan antara organ-organ negara dalam lingkup

nasional atau propinsi tentang status konstitusional, kekuasaan atau

fungsi-fungsi dari setiap organ-organ negara tersebut;

b. Memutuskan konstitusionalitas dari setiap parlemen atau rancangan

Undang-Undang Provinsi, tetapi hanya dapat melakukannya dalam

keadaan diantisipasi dalam Pasal 79 atau 121 Konstitusi Afrika Selatan

1996;

Page 125: digilib.uns.ac.id/Studi... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user STUDI KOMPARASI KEWENANGAN KELEMBAGAAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA DAN MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

c. Memutus permohonan atas konstitusionalitas UU atau Peraturan Daerah

yang diajukan oleh anggota parlemen atau anggota legislatif daerah

sebagaimana diatur dalam Pasal 80 atau 122 Konstitusi Afrika Selatan

1996.

Pasal 80 Konstitusi Afrika Selatan 1996 menjelaskan bahwa aplikasi

oleh anggota Majelis Nasional ke Mahkamah Konstitusi. Anggota Dewan

Nasional dapat mengajukan permohonan kepada Mahkamah Konstitusi

untuk memesan menyatakan bahwa semua atau bagian dari Undang-undang

Parlemen adalah inkonstitusional. Permohonan harus didukung oleh

sekurang-kurangnya sepertiga anggota Majelis Nasional dan harus

dilakukan dalam waktu 30 (tiga puluh) hari dari tanggal yang disepakati

Presiden danmenandatangani undang-undang. Mahkamah Konstitusi dapat

memerintahkan bahwa semua atau bagian dari undang-undang yang

merupakan subjek aplikasi dalam hal ayat (1) tidak memiliki kekuatan

sampai Mahkamah Konstitusi telah memutuskan aplikasi jika kepentingan

pengadilan memerlukan ini dan pelaksanaan berjalan dengan baik serta yang

masuk akal.

Pasal 122 Konstitusi Afrika Selatan 1996 menyebutkan aplikasi

dengan anggota Mahkamah Konstitusi. Anggota dari legislatif provinsi

dapat mengajukan permohonan kepada Mahkamah Konstitusi untuk

menyatakan bahwa semua atau sebagian dari UU provinsi tersebut

inkonstitusional atau tidak sesuai dengan konstitusi. Permohonan di

antaranya harus didukung oleh sekurang-kurangnya 20 (dua puluh) persen

dari anggota legislatif dan harus dilakukan dalam waktu 30 (tiga puluh) hari

dari tanggal yang disepakati Perdana Menteri dan menandatangani Undang-

Undang. Mahkamah Konstitusi dapat memerintahkan bahwa semua atau

bagian dari undang-undang yang subjek penerapan dalam hal ayat tertentu

tidak mempunyai kekuatan sampai Pengadilan telah memutuskan jika

kepentingan pengadilan memerlukan ini dan penerapan sebuah UU berjalan

dengan baik. Jika suatu pelaksanaan UU tidak berhasil, dan tidak memiliki

Page 126: digilib.uns.ac.id/Studi... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user STUDI KOMPARASI KEWENANGAN KELEMBAGAAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA DAN MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

kemajuan yang masuk akal, Mahkamah Konstitusi dapat memerintahkan

pemohon untuk membayar kerugian yang ditimbulkan.

a. Memutuskan konstitusionalitas dari setiap amandemen Konstitusi;

b. Memutuskan bahwa DPR atau Presiden telah gagal memenuhi kewajiban

konstitusional; atau

c. Mengesahkan konstitusi provinsi sebagaimana diatur dalam Pasal 144

Konstitusi Afrika Selatan 1996.

Dalam Pasal 144 tersebut, dijelaskan mengenai sertifikasi konstitusi

provinsi, jika sebuah provinsi memiliki badan legislatif yang mengubah

sebuah konstitusi, maka ketua legislatif harus menyerahkan tekskonstitusi

atau amandemen konstitusi yang hendak diubah ke Mahkamah Konstitusi

untuk sertifikasi. Tidak ada undang-undang yang dapat dijalankan di tingkat

provinsi sebelum ada pengakuan atau pengesahan dari Mahkamah

Konstitusi, semua UU yang hendak diubah harus dilaporkan terlebih dahulu

kepada Mahkamah Konstitusi bahwa teks undang-undangtersebut telah

disahkan sesuai dengan Pasal 142 Konstitusi Afrika Selatan 1996 dan

bahwa seluruh teks sesuai dengan Pasal 143 Konstitusi Afrika Selatan 1996.

Mahkamah Konstitusi membuat keputusan akhir apakah suatu

undang-undang parlemen, sebuah pelaksanaan undang-undang provinsi atau

Presiden adalah konstitusional, dan harus mengkonfirmasi urutan

ketidakabsahan yang dibuat oleh putusan banding Mahkamah Agung,

Pengadilan Tinggi, atau pengadilan lainnya yang status sama, sebelum

perintah itu mempunyai kekuatan. Undang-undang nasional atau peraturan

Mahkamah Konstitusi harus membiarkan seseorang untuk bertindak, ketika

tindakan itu dalam kepentingan keadilan dan dengan izin dari Mahkamah

Konstitusi antara lain untuk membawa masalah secara langsung ke

Mahkamah Konstitusi atau banding langsung ke Mahkamah Konstitusi dari

pengadilan lain serta masalah konstitusional termasuk segala masalah yang

melibatkan penafsiran, perlindungan atau penegakan konstitusi.

Page 127: digilib.uns.ac.id/Studi... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user STUDI KOMPARASI KEWENANGAN KELEMBAGAAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA DAN MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Mahkamah Konstitusi adalah peradilan tertinggi yang memutus

permasalahan konstitusional (Pasal 167 ayat (2) huruf a Konstitusi Republik

Afrika Selatan 1996). Mahkamah Konstitusi memiliki kewenangan untuk

memutus perkara-perkara konstitusional dan atas permasalahan yang

berkaitan dengan putusan pada tingkat peradilan lain atas perkara

konstitusional. Yang dimaksud perkara konstitusional adalah setiap

permasalahan yang menyangkut penafsiran, penjagaan atau penegakan

konstitusi (Pasal 167 ayat (7) Konstitusi Republik Afrika Selatan 1996).

Dalam konteks ini Mahkamah Konstitusi Republik Afrika Selatan berbeda

dengan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Di Indonesia, Mahkamah

Konstitusi berdampingan seiring sejalan dengan Mahkamah Agung sebagai

pemegang kekuasaan kehakiman. Akan tetapi, Mahkamah Konstitusi dan

lembaga-lembaga peradilan di bawah Mahkamah Agung tidak memiliki

keterkaitan.

Sedangkan Mahkamah Konstitusi Afrika Selatan adalah lembaga

peradilan tertinggi yang memutus permasalahan konstitusi. Sehingga

perkara yang ditangani oleh peradilan tinggi, misalnya yang berkaitan

dengan perkara konstitusional maka kata akhir putusan atas perkara tersebut

berada di tangan Mahkamah Konstitusi (Pasal 169 juncto Pasal 167

Konstitusi Republik Afrika Selatan 1996). Pemohon biasanya mengajukan

perkara-perkara konstitusional (constitutional complaint) ke pengadilan

tinggi terlebih dahulu. Konstitusi mengatur bahwa pemohon yang dapat

mengajukan gugatan konstitusional sangatlah longgar, setiap warga negara

dapat mengajukan gugatan sebagai individu, atas nama kelompok atau

lembaga-lembaga privat lainnya. Atas putusan Pengadilan Tinggi dalam

perkara konstitusional, bilamana Pengadilan Tinggi memutuskan untuk

mengabulkan permohonan pemohon terutama dalam hal putusan atas tidak

berlakunya sebuah UU atau Peraturan Daerah, putusan Pengadilan Tinggi

itu harus dikonfirmasi terlebih dahulu kepada Mahkamah Konstitusi

Page 128: digilib.uns.ac.id/Studi... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user STUDI KOMPARASI KEWENANGAN KELEMBAGAAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA DAN MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

sebelum dibacakan di depan sidang terbuka dan putusan itu dinyatakan

berlaku serta memiliki kekuatan hukum tetap.

Bilamana putusan Pengadilan Tinggi menyatakan menolak atau tidak

dapat menerima permohonan, maka Pemohon yang tidak puas atas putusan

tersebut dapat mengajukan banding ke Mahkamah Konstitusi.Akan tetapi

pengajuan banding kepada Mahkamah Konstitusi tidak seketika itu lantas

diterima oleh Mahkamah Konstitusi. Pemohon harus menyampaikan

pengajuan banding dalam jangka waktu 15 hari setelah sidang pembacaan

putusan oleh Pengadilan Tinggi. Syarat dan tata cara pengajuan banding

diatur dalam peraturan nomor 19 dan 20 Peraturan Mahkamah Konstitusi.

Hukum acara Mahkamah Konstitusi Republik Afrika Selatan berbeda

dengan hukum acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Mahkamah

Konstitusi Afrika Selatan lebih banyak melakukan pemeriksaan dokumen-

dokumen dan tidak melakukan pemeriksaan perkara melalui persidangan.

Sehingga Mahkamah Konstitusi Afrika Selatan tidak mendengar

keterangan-keterangan dalam hal pembuktian dengan memanggil saksi atau

ahli dalam persidangan terbuka, layaknya hukum acara Mahkamah

Konstitusi Republik Indonesia. Akan tetapi dalam keadaan tertentu,

Mahkamah Konstitusi juga dapat melakukan persidangan terbuka. Yaitu

bilamana diperlukan keterangan-keterangan tambahan dari pihak-pihak yang

berperkara disebabkan keterangan-keterangan yang diperoleh Hakim

melalui dokumen tertulis tersebut sulit untuk dicerna oleh Hakim.

Dibukanya persidangan terbuka terhadap satu kasus harus dengan

persetujuan dari Ketua Mahkamah Konstitusi.

Peraturan Mahkamah Konstitusi menentukan secara rigid jadwal

sidang terbuka Mahkamah Konstitusi. Ada empat waktu dimana Mahkamah

Konstitusi bisa menggelar sidang terbuka yaitu, pertama antara 15 Februari

s.d 31 Maret; kedua, antar 1 Mei s.d 31 Mei; ketiga, antara 15 Agustus s.d

30 September; terakhir keempat, antara 1 November s.d 31 November.

Page 129: digilib.uns.ac.id/Studi... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user STUDI KOMPARASI KEWENANGAN KELEMBAGAAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA DAN MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Meskipun persidangan ini terbuka untuk umum dan pers, namun terdapat

tata tertib yang melarang pengambilan gambar dan merekam jalannya

persidangan. Putusan Mahkamah Konstitusi adalah eksklusif hanya

mengenai penafsiran atas konstitusi berkenaan dengan perkara yang

diperiksa. Oleh sebab itu, dalam putusannya Mahkamah Konstitusi

menjatuhkan hukuman atau sanksi bagi pihakyang bersalah atau

memberikan putusan untuk membayar ganti rugi bagi pihak penggugat.

Afrika Selatan merupakan salah satu negara di benua Afrika yang

juga mempunyai Mahkamah Konstitusi dengan memiliki kewenangan

constitutional complaint. Menurut Deputy Chief Justice, Monseneke,

pelayanan terhadap constituional complaint di Mahkamah Konstitusi Afrika

Selatan dalam setahun terakhir ini telah tercatat berjumlah 570 perkara

(Anonim, (http://cms.sip.co.id/hukumonline/detail.asp?id=8499&cl=Fokus>

[12 Maret 2012, pukul 20.00 WIB])

5. Komparasi Kewenangan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia

dan Mahkamah Konstitusi Republik Afrika Selatan

Hasil analisis penulis dengan berbagai cara pendekatan penelitian

hukum ini maka dapat diambil beberapa hal yang pokok mengenai

kewenangan kedua Mahkamah Konstitusi tersebut, antara lain :

a. Persamaan kewenangan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dan

Mahkamah Konstitusi Republik Afrika Selatan, antara lain :

1) Sama-sama wewenangnya diberikan dan disebutkan langsung dalam

UUD.

2) Sama-sama mempunyai kewenangan dalam pengujian undang-undang

(judicial review).

3) Sama-sama mempunyai kewenangan memutuskan perselisihan antara

organ-organ/lembaga negara.

b. Perbedaan kewenangan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dan

Mahkamah Konstitusi Republik Afrika Selatan

Page 130: digilib.uns.ac.id/Studi... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user STUDI KOMPARASI KEWENANGAN KELEMBAGAAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA DAN MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Tabel 1. Perbedaan Kewenangan Mahkamah Konstitusi Republik

Indonesia dan Mahkamah Konstitusi Republik Afrika Selatan

No

Kewenangan

Mahkamah Konstitusi

Republik Indonesia

Mahkamah Konstitusi

Republik Afrika

Selatan

1. Pengujian undang-

undang (judicial

review)

Menguji undang-

undang terhadap UUD

RI 1945 (Pasal 24C

ayat (1) UUD3 RI

1945)

Memutuskan

konstitusionalitas dari

setiap parlemen atau

rancangan Undang-

Undang Provinsi,

tetapi hanya dapat

melakukannya dalam

keadaan diantisipasi

(Pasal 79 atau 121

Konstitusi Afrika

Selatan

1996/Constitution Of

The Republic Of South

Africa Number 108 Of

1996) dan memutus

permohonan atas

konstitusionalitas UU

atau Peraturan Daerah

yang diajukan oleh

anggota parlemen atau

anggota legislatif

daerah (Pasal 80 atau

122 Konstitusi Afrika

Selatan 1996)

2. Memutus sengketa

kewenangan antar

lembaga negara

Sengketa kewenangan

antar lembaga negara

yang kewenangannya

diberikan oleh UUD

RI 1945 (Pasal 24C

ayat (1) UUD RI

1945, yaitu MPR,

DPR, DPD, Presiden,

BPK

Perselisihan antara

organ-organ negara

dalam lingkup

nasional atau propinsi

tentang status

konstitusional,

kekuasaan atau fungsi-

fungsi dari setiap

organ-organ negara

tersebut

3. Memutus

pembubaran partai

Ada (Pasal 24C ayat

(1) UUD RI 1945)

Tidak ada

Page 131: digilib.uns.ac.id/Studi... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user STUDI KOMPARASI KEWENANGAN KELEMBAGAAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA DAN MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

politik

4. Memutus

perselisihan

tentang hasil

pemilu

Ada (Pasal 24C ayat

(1) UUD RI 1945)

Tidak ada

5. Memberi putusan

atas pendapat

Dewan Perwakilan

Rakyat bahwa

Presiden dan/atau

Wakil Presiden

diduga telah

melakukan

pelanggaran

hukum

Ada (Pasal 24C ayat

(2) UUD RI 1945)

Tidak ada

6. Kewenangan

dalam perkara-

perkara

konstitusional

melalui

mekanisme

keluhan konstitusi

(constitutional

complaint)

Tidak ada.

Mahkamah Konstitusi

Indonesia

berdampingan seiring

sejalan dengan

Mahkamah Agung

sebagai pemegang

kekuasaan kehakiman.

Akan tetapi,

Mahkamah Konstitusi

dan lembaga-lembaga

peradilan di bawah

Mahkamah Agung

tidak memiliki

keterkaitan.

Mahkamah Konstitusi

Afrika Selatan adalah

lembaga peradilan

tertinggi yang

memutus

permasalahan

konstitusi. Sehingga

perkara yang ditangani

oleh peradilan tinggi,

misalnya yang

berkaitan dengan

perkara konstitusional

maka kata akhir

putusan atas perkara

tersebut berada di

tangan Mahkamah

Konstitusi (Pasal 169

juncto Pasal 167

Konstitusi Republik

Afrika Selatan 1996).

Pemohon biasanya

mengajukan perkara-

perkara konstitusional

(constitutional

complaints) ke

pengadilan tinggi

terlebih dahulu.

Page 132: digilib.uns.ac.id/Studi... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user STUDI KOMPARASI KEWENANGAN KELEMBAGAAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA DAN MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

B. Aplikasi Gagasan Mekanisme Constitutional Complaint setelah Diadaptasi

dengan Sistem Hukum di Indonesia

1. Ide Gagasan Mekanisme Constitutional Complaint dalam Sistem

Hukum di Indonesia Terkait Legitimasi Indonesia sebagai Negara

Hukum Modern yang Demokratis

Kelahiran Mahkamah Konstitusi pada pasca amandemen Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD RI 1945)

membawa Indonesia ke arah demokrasi yang lebih baik. Hal ini karena

adanya suatu lembaga tersendiri yang secara khusus menjaga martabat UUD

RI 1945 sebagai norma tertinggi di Indonesia sehingga setiap tindakan yang

berkaitan dengan konstitusi ditanggapi secara khusus pula di Mahkamh

Konstitusi. Selain itu, posisi Mahkamah Konstitusi dalam struktur

kelembagaan negara sebagai lembaga yang sejajar dengan MPR, DPR,

DPD, Presiden, MA, dan KY telah mempertegas bahwa Mahkamah

Konstitusi adalah lembaga yang memiliki otoritas tertinggi dalam koridor

kewenangannya.

Pada awal pembentukannya sampai saat ini Mahkamah Konstitusi

berdasarkan Pasal 24 UUD RI 1945 juncto Pasal 10 Undang-Undang

Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi memiliki empat

wewenang dan satu kewajiban. Wewenang tersebut adalah menguji undang-

undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan

lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang

Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan

tentang hasil pemilihan umum. Sedangkan kewajibannya adalah

memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai

dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut

Undang-Undang Dasar. Selain itu putusan dari Mahkamah Konstitusi pun

bersifat final sehingga tidak bisa dilakukan upaya hukum lain.

Page 133: digilib.uns.ac.id/Studi... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user STUDI KOMPARASI KEWENANGAN KELEMBAGAAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA DAN MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Indonesia merupakan negara ke-78 yang mengadopsi gagasan

pembentukan Mahkamah Konstitusi yang berdiri sendiri setelah Austria

pada tahun 1920, Italia pada tahun 1947 dan Jerman pada tahun 1945 (Jimly

Asshiddiqie, 2004 : 187). Menurut Abdul Rasyid Thalib, terdapat suatu

garis besar kewenangan dari Mahkamah Konstitusi secara umum yang dapat

dibagi menjadi kewenangan utama dan kewenangan tambahan. Kewenangan

utama meliputi (1) uji materiil konstitusionalitas undang-undang terhadap

UUD; (2) memutus pengaduan yang dilakukan oleh rakyat terhadap

pelanggaran hak-hak konstitusi mereka atau biasa disebut constitutional

complaint; (3) memutus sengketa kewenangan antar lembaga negara.

Sedangkan kewenangan di luar itu bersifat asesoris atau tambahan yang

dapat bervariasi antara negara yang satu dengan yang lainnya (Abdul Rasyid

Thalib, 2006 : 187).

Apabila mengacu kepada garis besar kewenangan umum dari

Mahkamah Konstitusi di atas, maka ada satu hal yang tertinggal dari

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yaitu tidak adanya mekanisme

keluhan konstitusi atau consitutional complaint. Pada negara hukum modern

yang demokratis, constitutional complaint merupakan upaya hukum untuk

menjaga secara hukum martabat yang dimiliki manusia yang tidak boleh

diganggu gugat agar aman dari tindakan kekuasaan negara. Constitutional

complaint merupakan mekanisme gugatan konstitusional sebagai salah satu

alat bagi perlindungan hak asasi manusia. Constitutional complaint

memberikan jaminan agar dalam proses-proses menentukan dalam

penyelenggaraan negara, baik dalam pembuatan perundang-undangan,

proses administrasi negara dan putusan peradilan tidak melanggar hak-hak

konstitusional (Slamet Riyanto, Perlindungan Hak-Hak Konstitutional

dengan Mekanisme Constitutional Complaint melalui Mahkamah

Konstitusi, (http://riyants.wordpress.com/> [23 April 2012 pukul 11.15

WIB]).

Page 134: digilib.uns.ac.id/Studi... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user STUDI KOMPARASI KEWENANGAN KELEMBAGAAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA DAN MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Tidak adanya mekanisme constitutional complaint di Indonesia akan

mengurangi legitimasi Indonesia sebagai negara hukum modern yang

demokratis karena tidak adanya upaya yang dimiliki masyarakat untuk

mempertanyakan perlakuan dari penguasa yang diindikasi melanggar hak

asasinya yang telah dijamin oleh RI UUD 1945. Oleh karena itu bisa ditarik

kesimpulan bahwa setidaknya Indonesia membutuhkan mekanisme

constitutional complaint dalam mengejawantahkan hak-hak

konstitusionalitas rakyatnya yang telah disesuaikan dengan kondisi-kondisi

di Indonesia.

Salah satu hak dasar masyarakat Indonesia adalah hak kehidupan dan

kebebasan beragama yang diatur dalam Pasal 28I, Pasal 29 ayat (2) UUD RI

1945 yang sejalan pula dengan instrumen HAM Internasional khususnya

Pasal 18 UDHR dan Pasal 18 ICCPR (Pan Mohamad Faiz, Constitutional

Review dan Perlindungan Kebebasan Beragama,

(http://panmohamadfaiz.com> [25 April 2012 pukul 08.00 WIB]). Sehingga

hak kehidupan dan kebebasan beragama merupakan hak konstitusional yang

dimiliki oleh setiap warga negara di Indonesia yang tidak boleh dikurangi

sedikitpun oleh pihak lain. Apabila hal ini dihubungkan dengan

constitutional complaint, tentu hak kehidupan dan kebebasan beragama bisa

diajukan constitutional complaint bilamana dalam perjalanannya terjadi

“pengebirian” yang dilakukan penguasa terhadap warganya dalam hal

kehidupan dan kebebasan beragama. Permasalahan yang timbul adalah tidak

adanya kategorisasi suatu kasus apakah masuk dalam lingkup constitutional

complaint atau bukan. Hal ini karena apabila semua kasus atau bahkan fakta

yang bersangkutan dengan kebebasan dan kehidupan beragama

dikategorikan ke dalam pelanggaran terhadap hak konstitusionalitas tentu

akan menimbulkan pergerakan hukum yang luar biasa karena selama ini

diindikasikan bahwa memang terjadi penindasan-penindasan yang

dilakukan oleh pemerintah dalam hal kehidupan dan kebebasan bergama.

Belum lagi tahapan constitutional complaint yang diwacanakan sampai saat

Page 135: digilib.uns.ac.id/Studi... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user STUDI KOMPARASI KEWENANGAN KELEMBAGAAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA DAN MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

ini masih dalam tataran konsep dan belum ada pembahasan yang mendetail

terhadap kategorisasi suatu fakta bisa dilakukan constitutional complaint.

Penegasan mengenai kategorisasi kasus yang bisa diselesaikan secara

constitutional complaint terutama dalam hal yang berkaitan dengan hak

kehidupan dan kebebasan beragama yang dimiliki oleh masyarakat sangat

penting karena apabila tidak ada suatu kategorisasi maka semua kasus yang

berkaitan dengan kehidupan dan kenenasan beragama yang dijamin dalam

UUD RI 1945 bisa dimasukan melalui mekanisme constitutional complaint.

Apabila hal ini yang terjadi pastinya akan merusak semangat perlindungan

hak-hak konstitusional warga dengan mengesampingkan prosedur yang

sudah ada. Prosedur yang dimaksudkan adalah apabila masyarakat dirugikan

oleh suatu undang-undang maka bisa diajukan permohonan judicial review

ke Mahkamah Konstitusi (Pasal 24C ayat (1) UUD RI 1945), sedangkan

apabila merasa dirugikan oleh peraturan perundang-undangan di bawah

undang-undang maka bisa diajukan judicial review ke MA (Pasal 24A ayat

(1) UUD RI 1945).

Menurut Jimly Asshiddiqie, adanya mekanisme constituional

complaint bisa membuat Mahkamah Konstitusi berbenturan dengan

pengadilan Hak Asasi Manusia apabila ada seseorang yang merasa

dirugikan hak-hak asasinya. Hal seperti ini menimbulkan suatu

ketidakpastian hukum seperti halnya pengadilan terhadap perkara korupsi

yang bisa diadili di pengadilan umum maupun pengadilan tindak pidana

korupsi (Jimly Ashidiqqie dalam Anonim, Menggagas Constitutional

Complaint Lewat Kasus Ahmadiyah, (www.hukumonline.com> [28 April

2012 pukul 10.45 WIB]).

Kebutuhan masyarakat Indonesia mengenai mekanisme Constitutional

Complaint sudah bisa dibilang mendesak dan perlu diadakan. Namun

pengaturan yang tegas terutama dalam hal kategorisasi perkara yang bisa

masuk ke dalam Mahkamah Konstitusi yang dalam hal ini mengenai hak

Page 136: digilib.uns.ac.id/Studi... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user STUDI KOMPARASI KEWENANGAN KELEMBAGAAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA DAN MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

kehidupan dan kebebasan beragama juga perlu diperhatikan secara seksama.

Pengaplikasian suatu konsep tanpa ada adaptasi sistem baru ke sistem yang

asli justru akan mengakibatkan rusaknya tatanan sistem yang selama ini

telah dibentuk oleh sistem hukum Indonesia dan hal ini dapat berdampak

pada timbulnya ketidakpastian hukum di Indonesia sehingga merusak

tatanan masyarakat yang sudah ada. Apabila hal ini yang terjadi maka

aplikasi mekanisme constitutional complaint tanpa aturan yang jelas justru

akan merusak semangat perlindungan konstitutional itu sendiri.

Kehidupan dan kebebasan beragama di Indonesia sangat terkait

dengan perlindungan hak-hak konstitusional. Hal ini karena hanya terdapat

garis yang tipis antara perlindungan terhadap kehidupan dan kebebasan

beragama dengan kewenangan pemerintah dalam melindungi masyarakat

dari ajaran-ajaran yang berkembang di Indonnesia. Sering kali kebijakan

pemerintah terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kebebasan dan

kehidupan beragama disangkutpautkan dengan pelanggaran HAM. Banyak

pihak pun sering berpendapat bahwa pemerintah telah melalukan

pelanggaran konstitusional terhadap hal tersebut sehingga apabila ada

mekanisme constitutional complaint dalam Mahkamah Konstitusi, maka

kebijakan pemerintah tersebut dapat diajukan untuk dibatalkan misal saja

dalam kasus Jemaat Ahmadiyah dan pengaturan pendirian rumah ibadah.

2. Pengertian Constitutional Complaint

Mekanisme constitutional complaint atau dalam bahasa Jerman

disebut verfassungsbeschwerde merupakan hak yang dimiliki oleh setiap

orang atau kelompok tertentu untuk melakukan pernyataan sikap tidak

setuju atau menolak terhadap perlakuan pemerintah terhadapnya. Dalam hal

ini orang atau kelompok tertentu tersebut merasa hak-hak kosntitusionalnya

dilanggar oleh pemerintah (Anonim, Federal Constitutional Court of

Germany, (http://wikipedia.com/> [26 April 2012 pukul 20.00 WIB]).

Page 137: digilib.uns.ac.id/Studi... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user STUDI KOMPARASI KEWENANGAN KELEMBAGAAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA DAN MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Tujuan dari constitutional complaint ini adalah agar setiap orang atau

kelompok tertentu memiliki kebebasan dan persamaan kedudukan dalam

berpartisipasi dalam sebuah negara dan untuk menegakan prinsip-prisnsip

demokrasi termasuk tanggung jawab mengenai perlindungan terhadap

kekuatan konstitutional yang dimiliki oleh masyarakat (Anonim, Federal

Constitutional Court -Press Office-, Press release Number 72/2009 of 30

June 2009, Zum Anfang des Documents,

(http://www.bundesverfassungsgericht.de/> [26 April 2012 pukul 23.00

WIB]).

Constitutional complaint memberikan jaminan agar dalam proses-

proses menentukan dalam penyelenggaraan negara, baik dalam pembuatan

perundang-undangan, proses administrasi negara dan putusan peradilan

tidak melanggar hak-hak konstitusional (Slamet Riyanto, Perlindungan

Hak-Hak Konstitutional dengan Mekanisme Constitutional Complaint

melalui Mahkamah Konstitusi, (http://riyants.wordpress.com/> [29 April

2012 pukul 21.00 WIB]). Di Jerman sendiri mekanisme constitutional

complaint yang diatur dalam Pasal 38 ayat (1) juncto Pasal 93 ayat (1) butir

4 huruf a GG Undang-Undang Dasar Republik Jerman, sejak tahun 1951

terhitung hanya sekitar 2,5 % gugatan yang termasuk dalam kategori

constitutional complaint yang dinyatakan diterima oleh pengadilan

konstitusi di Jerman. Namun kasus yang masuk ke meja Mahkamah

Konstitusi di Jerman yang terbanyak merupakan kasus yang diselesaikan

melalui mekanisme constitutional complaint dimana hingga saat ini lebih

dari 146.539 permohonan telah diperiksa oleh Mahkamah Konstitusi Jerman

dan 141.023 diantaranya adalah permohonan mengenai constitutional

complaint. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Genhard Dannemann dalam

bukunya “Constitutional Complaints : The European Perspective”

menyimpulkan bahwa kewenangan constitutional complaint yang

sebelumnya hanya dimiliki oleh beberapa negara Eropa, kini sudah

berkembang pesat dan telah diadopsi hampir di seluruh negara-negara Eropa

Page 138: digilib.uns.ac.id/Studi... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user STUDI KOMPARASI KEWENANGAN KELEMBAGAAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA DAN MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Tengah dan Timur (Pan Mohamad Faiz, Constitutional Review dan

Perlindungan Kebebasan Beragama, (http://panmohamadfaiz.com> [25

April 2012 pukul 08.00 WIB]).

3. Hak Konstitusional Masyarakat

Hak konstitutional masyarakat adalah hak dasar masayarakat yang

dijamin oleh konstitusi. Di dalam konstitusi, hak atau hak-hak dasar

merupakan salah satu bagian yang penting karena menjadi bagian yang

menentukan materi dari konstitusi itu sendiri. Menurut Mr. J. G. Steenbeek

sebagaimana dikutip Sri Soemantri mengungkapkan bahwa secara umum

konstitusi memuat tiga hal pokok, yaitu : adanya jaminan terhadap hak-hak

asasi manusia dan warga negaranya, ditetapkannya susunan ketatanegaraan

suatu negara yang bersifat fundamental, dan adanya pembagian dan

pembatasan tugas ketatanegaraan suatu negara yang bersifat fundamental

(Sri Soemantri, 2006 : 59).

Menurut Miriam Budiardjo setiap Undang-Undang Dasar memuat

ketentuan-ketentuan mengenai (Miriam Budiardjo, 2008 : 177-178) :

a. Organisasi negara.

b. Hak-hak asasi manusia (biasanya disebut Bill of Rights kalau berbentuk

naskah tersendiri).

c. Prosedur mengubah UUD (amandemen).

d. Ada kalanya memuat larangan untuk mengubah sifat tertentu dari

Undang-Undang Dasar.

e. Merupakan aturan hukum yang tertinggi yang mengikat semua warga

negara dan lembaga negara tanpa terkecuali.

Dari pendapat kedua tokoh di atas mengenai materi konstitusi

memang dapat dibedakan satu sama lain. Dalam hal ini, pendapat Miriam

Budiardjo lebih luas karena ada prosedur perubahan konstitusi. Tetapi ada

kesamaan yang paling mendasar antara keduanya, yaitu adanya pembagian

Page 139: digilib.uns.ac.id/Studi... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user STUDI KOMPARASI KEWENANGAN KELEMBAGAAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA DAN MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

kekuasaan dan perlindungan hak asasi manusia. Dengan adanya paham

mengenai pembagian kekuasaan dan perlindungan hak asasi manusia maka

bisa disebut bahwa suatu konstitusi yang berpaham konstitusionalisme.

Dengan kata lain, semua tindakan atau perilaku seseorang ataupun penguasa

berupa kebijakan yang tidak didasarkan atau menyimpangi konstitusi,

berarti tindakan tersebut adalah tidak konstitusional (Dahlan Thaib, Jazim

Hamidi dan Ni’matul Huda, 2008 : 1).Sehingga penguasa dalam setiap

mengeluarkan kebijakan wajib mendahulukan segala aturan yang berkaitan

dengan ruang lingkup kewenangan dan hak-hak konstitusional masyarakat

agar kebijakannya tersebut memiliki sifat melindungi masyarakat yang

dikuasainya.

Pada penerapannya di Indonesia masih ada beberapa tindakan

pemerintah atau kelompok tertentu yang didukung pemerintah terhadap

kelompok tertentu di suatu wilayah tertentu yang diindikasi melanggar hak-

hak konstitusional yang dimiliki masyarakat. Kehadiran perlindungan HAM

telah diatur dalam Bab XA UUD RI 1945 tidak begitu saja membuat

proteksinya berjalan efektif karena memang belum ada suatu mekanisme

yang diatur dalam RI UUD 1945 dalam mengadili pelanggaran hak

konstitusi (Ahmad Syahrizal, 2007 : 64).

Seperti yang telah diketahui bahwa pengaturan HAM dalam Bab XA

UUD RI 1945 mengambil alih ketentuan HAM yang tercantum dalam

Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Nomor 39

Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Ahmad Syahrizal menyebutkan

bahwa Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

lebih dulu terbit daripada hasil Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar

1945 Tahun 2000 yang mengadopsi norma-norma HAM. Pemunculan HAM

dalam UUD 1945 melahirkan hak konstitusional, yaitu hak asasi manusia

yang dijamin konstitusi negara. Maka, negara wajib secara simultan

melindungi dan mewujudkan hak konstitusional warganya.

Page 140: digilib.uns.ac.id/Studi... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user STUDI KOMPARASI KEWENANGAN KELEMBAGAAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA DAN MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Sifat hak konstitusional yang fundamental tentu memiliki posisi yang

berbeda dengan hak-hak lain yang diatur dalam undang-undang atau

peraturan perundang-undangan lain yang ada di bawahnya. Dalam undang-

undang dan peraturan perundang-undangan di bawahnya juga diatur secara

khusus tentang hak-hak masyarakat juga tentang HAM, misalnya saja di

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia,

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan

Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik, Undang-Undang Nomor

1/PNPS/1965 juncto Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969 tentang

Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, dan sebagainya.

Hak konstitusional memiliki konstruksi yang umum dan secara tegas diatur

dalam konstitusi. Ciri dari hak konstitusional adalah adanya klausula “setiap

orang atau warga berhak…” yang terdapat dalam aturan-aturan di konstitusi.

4. Sinkronisasi Constitutional Complaint dengan Sistem Hukum di

Indonesia

Aplikasi suatu konsep baru pada dasarnya harus disertai dengan

melakukan adaptasi terlebih dahulu terhadap suatu sistem yang sudah ada.

Hal tersebut sangat penting karena dikhawatirkan apabila aplikasi konsep

tanpa suatu adaptasi menimbulkan ketidakstabilan sistem asli yang sudah

ada. Begitu juga dengan wacana akan diterapkannya konsep constitutional

complaint ke dalam salah satu bagian sistem hukum di Indonesia. Untuk

melakukan hal tersebut perlu suatu proses sinkronisasi. Sistem hukum yang

dimaksud adalah suatu sistem yang sudah ada terlebih dahulu di ranah

hukum Indonesia dimana dalam hal ini sistem tersebut diterapkan

constitutional complaint.

Sistem yang pertama adalah mengenai tindakan hukum pemerintah di

Indonesia. Dari tindakan pemerintah yang akan dibahas ini akan diketahui

batasan-batasan jenis posisi kasus seperti apa yang bisa dimasukkan ke

dalam kategori “dapat diselesaikan secara constitutional complaint”. Seperti

Page 141: digilib.uns.ac.id/Studi... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user STUDI KOMPARASI KEWENANGAN KELEMBAGAAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA DAN MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

yang telah diketahui bahwa Indonesia sebagai negara hukum diartikan

merupakan negara yang berdasarkan hukum. Dengan kata lain dalam

kaitannya dengan kebijakan, pemerintah wajib menggunakan hukum tertulis

dalam melakukan sebuah tindakan atau bisa disebut dengan norma.

Dari segi kepada siapa suatu norma ditujukan, maka norma hukum

dapat dibagi menjadi dua, yaitu norma hukum umum dan individual. Norma

hukum umum adalah suatu norma hukum yang ditujukan untuk orang

banyak (addressatnya umum) dan tidak tertentu sedangkan norma hukum

individual adalah norma hukum yang ditujukan atau dialamatkan hanya

kepada seseorang, beberapa orang atau banyak orang yang telah tertentu

atau dengan kata lain dapat didefinisikan siapakah orang atau golongan

orang tersebut (Maria Farida, 2007 : 26-27). Contoh dari norma hukum

umum adalah undang-undang, peraturan daerah, peraturan menteri dan

sebagainya. Sedangkan contoh dari norma hukum khusus adalah keputusan

atau beschikking yang berasal dari lembaga eksekutif.

Di antara kedua jenis norma hukum yang bisa dilakukan upaya

constitutional complaint adalah norma hukum yang berlaku khusus. Hal ini

sesuai dengan hakikat dari constitutional complaint yang dapat dilakukan

oleh orang atau kelompok tertentu. Sedangkan norma hukum umum sudah

jelas pengaduan yang akan ditempuh. Apabila berada di bawah undang-

undang maka dibawa ke MA dan apabila berupa undang-undang maka

dibawa ke Mahkamah Konstitusi. Upaya uji norma hukum umum harus

berdasarkan hierarki perundang-undangan karena pembentukannya memang

berdasarkan jenjang hierarki perundang-undangan.

Upaya constituional complaint terhadap keputusan atau beschikking

bukan berarti mengesampingkan peradilan tata usaha negara. Hal ini karena

dapat ditarik sebuah kesimpulan yang sangat jelas antara manakah sebuah

keputusan yang lebih baik diajukan ke pengadilan tata usaha negara atau

diselesaikan secara constitutional complaint. Menurut Ni’matul Huda,

Page 142: digilib.uns.ac.id/Studi... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user STUDI KOMPARASI KEWENANGAN KELEMBAGAAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA DAN MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

alasan pembatalan beschikking didasarkan pada dua hal, yang pertama yaitu

illegal ekstern yang meliputi : (1) tanpa kewenangan dan (2) kekeliruan

bentuk atau kekeliruan prosedur. Alasan pembatalan yang kedua yaitu

illegal intern yang meliputi : (1) bertentangan dengan undang-undang atau

peraturan hukum lainnya dan (2) adanya penyalahgunaan kekuasaan

(Ni’matul Huda, 2005 : 75-76).

Dari alasan-alasan pembatalan beschikking tersebut tidak ditemui

satupun alasan yang membatalkan putusan pemerintah karena melanggar

hak konstitusionalitas masyarakat. Apa yang dimaksud dengan illegal intern

juga bukan termasuk melanggar hak konstitusionalitas karena dasar

terbitnya putusan pemerintah tidak berasal dari UUD RI 1945, tetapi berasal

dari peraturan diatasnya melalui pejabat yang berwenang. Namun tidak

sedikit yang materinya justru disinyalir bertentangan dengan hak

konstitusionalitas masyarakat di UUD RI 1945. Oleh karena itu, sudah jelas

dasar kerja constitutional complaint yaitu memeriksa keputusan pemerintah

yang dianggap bertentangan dengan hak-hak asasi warga negara yang diatur

dalam UUD RI 1945.

Sinkronisasi yang selanjutnya mengenai penerapan constitutional

complaint terhadap sistem hukum di Indonesia adalah terhadap suatu produk

hukum di bawah undang-undang yang telah diajukan ke MA sebelumnya.

MA tidak akan memeriksa peraturan undang-undang di bawah undang-

undang dengan menggunakan UUD RI 1945 sebagai alat ujinya. Sehingga

adakalanya walapun telah diujikan ke MA tetapi belum tentu hasil

putusannya tidak melanggar hak-hak konstitusi warga negaranya. Di sinilah

constitutional complaint mengambil peranannya untuk menilai apakah

putusan dari MA tersebut melanggar hak-hak konstitusional masyarakat

atau tidak. Hal ini juga berlaku terhadap putusan pengadilan mengenai suatu

kasus tertentu, namun tetap saja produk hukum yang berasal dari ranah MA

harus didahului dengan upaya-upaya hukum yang telah disediakan oleh

aturan perundang-undangan. Secara umum, kasus yang akan diajukan ke

Page 143: digilib.uns.ac.id/Studi... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user STUDI KOMPARASI KEWENANGAN KELEMBAGAAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA DAN MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Mahkamah Konstitusi untuk bisa diselesaikan melalui constitutional

complaint sebelumnya harus ada upaya hukum terlebih dahulu dari si

pemohon ke lembaga berwenang mengenai tindakan yang dianggap

inkonstitusional yang dideritanya.

Dalam Pasal 68 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi Korea

Selatan, gugatan atau komplain dapat diajukan oleh pihak-pihak yang

sedang berperkara di pengadilan dengan cara meminta hak uji terhadap

peraturan perundang-undangan yang terkait dengan isi perkara kepada

pengadilan agar peraturan tersebut diuji terlebih dahulu sebelum diterapkan

dalam pokok perkara. Pihak yang berperkara itu mengajukan gugatan atau

komplain ke Mahkamah Konstitusi melalui pengadilan (diwakili oleh

hakim) yang memeriksa perkara tersebut (Abdul Rasyid Thalib, 2006 : 188).

Hal ini bisa saja diterapkan di Indonesia, namun apabila dilihat dari

efektivitas penyelesaian perkara di pengadilan dengan melihat jangka waktu

penyelesaian perkara di Indonesia yang cukup lama tanpa adanya prosedur

tersebut, maka penulis berpendapat bahwa gugatan melalui mekanisme

constitutional complaint milik Korea Selatan belum perlu diterapkan di

Indonesia.

Selain hal di atas, dalam Pasal 41 Undang-Undang Mahkamah

Konstitusi Korea Selatan juga memungkinkan kepada para hakim untuk

menjalankan fungsi Mahkamah Konstitusi untuk melaksanakan uji

konstitusional terhadap peraturan perundang-undangan yang diduga tidak

konstitusional. Hal ini juga tidak bisa atau sulit diterapkan di Indonesia

karena dapat mengaburkan posisi Mahkamah Konstitusi sebagai the

guardian and interpreter of constitution sehingga Mahkamah Konstitusi

kehilangan kekhususannya lagi karena ranah kerja Mahkamah Konstitusi

disentuh oleh pihak di luar Mahkamah Konstitusi.

Dapat disimpulkan bahwa setiap produk hukum baik yang dikeluarkan

oleh eksekutif, legislatif maupun yudikatif bisa dilakukan upaya uji

Page 144: digilib.uns.ac.id/Studi... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user STUDI KOMPARASI KEWENANGAN KELEMBAGAAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA DAN MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

konstitusionalitas agar produk hukum tersebut masih dalam ranah untuk

memproteksi hak-hak konstitusional masyarakat. Sebelum adanya

constitutional complaint, kontan hanya produk hukum dari legislatif berupa

undang-undang yang bisa dilakukan uji konstitusionalitas terhadap UUD RI

1945 yaitu dengan mekanisme judicial review melalui pengaduan terhadap

Mahkamah Konstitusi. Sedangkan uji konstitusionalitas terhadap produk

eksekutif (berupa keputusan) dan produk yudikatif (berupa putusan) hanya

bisa diajukan uji konstitusionalitas apabila ada mekanisme constitutional

complaint.

Mengenai prosedur pengajuan permohonan agar suatu kasus bisa

diajukan ke Mahkamah Konstitusi untuk diselesaikan secara contitutional

complaint, penulis berpendapat bahwa syarat formil yang diajukan

seharusnya tidak terlalu sulit dan rumit. Hal ini bisa sama dengan pengajuan

permohonan di Mahkamah Konstitusi seperti yang diatur dalam Undang-

Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi juncto

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-

Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Namun yang

perlu menjadi perhatian adalah dalam hal pengajuan permohonan

constitutional complaint seharusnya tidak diwajibkan untuk disertai oleh

pengacara atau kuasa hukum. Setiap warga negara berhak untuk membela

hak-hak konstitusional di hadapan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi.

Interaksi langsung dari yang bersangkutan seperti ini justru lebih mendidik

warga negara untuk memahami lebih jauh tentang konstitusinya. Tidak

perlu suatu keahlian khusus bagi warga negara untuk mengetahui hal-ihwal

kasusnya karena konstitusi berasal dari suara rakyat yang berjalan bersama

rakyat. Adapun berkas yang masuk dan bisa sampai dalam tahap penelitian

mengenai perkara berarti telah dianggap memenuhi persyaratan formil.

Hanya perlu sosialisasi yang optimal dari Mahkamah Konstitusi mengenai

tahapan-tahapan prosedural beserta persyaratan yang harus dipenuhi agar

suatu kasus bisa masuk dan diselesaikan dengan mekanisme constitutional

Page 145: digilib.uns.ac.id/Studi... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user STUDI KOMPARASI KEWENANGAN KELEMBAGAAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA DAN MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

complaint. Setidaknya hal ini bisa memberikan pemahaman bagi si

pemohon yang bersangkutan secara langsung untuk mengetahui perihal

penyelesaian kasusnya terlepas apakah permohonannya disetujui atau tidak

oleh Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi.

Dengan tidak mewajibkan adanya kuasa hukum atau pengacara seperti

halnya di Jerman dalam mekanisme constitutional complaint, bukan berarti

mengesampingkan peran pengacara dalam memberikan advokasi terhadap

warga negara yang mencari keadilan. Tetapi dalam ranah constitutional

complaint ini lain. Hal yang diutamakan adalah mengenai jiwa dari

konstitusi itu sendiri yang berasal dari rakyat secara umum. Lain halnya

apabila dihadapkan dengan persoalan pidana atau perdata. Adapun kuasa

hukum atau pengacara bisa berperan sebelum suatu kasus diajukan melalui

mekanisme constitutional complaint yaitu ketika kasus tersebut masih harus

melalui beberapa tahapan upaya hukum ke lembaga yang berwenang.

Kategori dan prosedur pengaduan melalui mekanisme constitutional

complaint adalah perihal sebelum perkara diperiksa oleh Hakim Konstitusi.

Mengenai pemeriksaan yang dilakukan oleh Hakim Konstitusi tentu saja

menggunakan UUD RI 1945 sebagai alat ujinya entah ditafsirkan secara

tekstual ataupun konstektual. Lantas, bagaimana dengan sifat putusan dari

Hakim Konstitusi, masih menimbulkan perdebatan. Satu sisi menghendaki

putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat gugatan menurut Laica

Marzuki, putusannya menyatakan “batal serta tidak sah suatu objectum

litis”. Putusan yang berasal dari permohonan, putusannya di samping

menyatakan “batal atau tidak sah”, juga dapat memberikan “rekomendasi

atau fatwa”. Putusan yang bersifat rekomendasi atau fatwa lebih tepat

dilakukan agar tidak tampak telah terjadi kekuasaan yudikatif terhadap

kasus produk hukum yang diselesaikan melalui mekanisme constitutional

complaint. Dari rekomendasi atau fatwa tersebut, selanjutnya juga perlu

ditanggapi oleh pejabat yang berwenang mengeluarkan produk hukum

tersebut.

Page 146: digilib.uns.ac.id/Studi... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user STUDI KOMPARASI KEWENANGAN KELEMBAGAAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA DAN MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

5. Posibilitas Keadaan Sosial di Indonesia Pasca Penerapan Constitutional

Complaint

Dalam wacana aplikasi constitutional complaint, selain memberikan

batasan-batasan kasus yang bisa masuk dalam mekanisme constitutional

complaint, menurut penulis perlu rasanya untuk memperkirakan adanya

kemungkinan suatu gerak sosial. Suatu tekanan bertahun-tahun yang dialami

oleh suatu kelompok tertentu di Indonesia yang merasa hak

konstitusionalnya dirugikan oleh pemerintah tentu saja tidak membuat

kelompok tersebut akan tinggal diam apabila nantinya constitutional

complaint benar-benar diterapkan di Indonesia. Banyaknya pengaduan

dengan menggunakan constitutional complaint tidak dapat dihindari terlepas

dari sesuai atau tidaknya kasus tersebut dimasukkan ke dalam kategori

mekanisme constitutional complaint.

Besarnya mobilisasi pengaduan agar kasus-kasus yang diajukan bisa

diselesaikan secara constitutional complaint dapat dianalogikan bahwa

masyarakat melakukan gerak sosial vertikal (Soerjono Soekanto, 2003 :

249-251). Hal ini karena adanya usaha dari individu ataupun golongan

masyarakat tertentu yang selama ini merasa berada di bawah suatu taraf

rata-rata tertentu untuk bisa naik sehingga merasa memiliki kedudukan

dengan taraf yang sama dengan masyarakat lainnya dalam prespektif

penghormatan hak-hak dasar yang dijamin oleh konstitusi. Namun hal ini

wajar dalam proses demokratisasi yang sedang dialami Indonesia.

Setidaknya masyarakat di Indonesia tidak takut lagi terhadap tindakan

pemerintah yang dianggap merugikan hak konstitusionalnya karena sudah

ada prosedur untuk memproteksi hak-hak konstitusional masyarakat.

Hal ini tentu saja bisa membendung timbulnya pemerintahan yang

otoriter di Indonesia. Terlepas apakah pengaduan dengan mekanisme

constitutional complaint disetujui oleh Mahkamah Konstitusi atau tidak.

Seiring dengan berjalannya waktu, masalah tentang banyaknya pengaduan

Page 147: digilib.uns.ac.id/Studi... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user STUDI KOMPARASI KEWENANGAN KELEMBAGAAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA DAN MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

tentunya akan teratasi seiring dengan kedewasaan masyarakat dalam

memahami konstitusi yang tidak hanya dalam tataran konseptual saja tetapi

sudah menjangkau ke arah mekanisme.

Page 148: digilib.uns.ac.id/Studi... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user STUDI KOMPARASI KEWENANGAN KELEMBAGAAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA DAN MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan pada permasalahan dan pembahasan yang telah penulis uraikan

pada bab-bab sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

Mahkamah Konstitusi melakukan uji undang-undang adalah untuk menjaga

dan menegakkan konstitusi apabila terjadi pelanggaran konstitusi oleh undang-

undang. Dengan mekanisme ini jelas bahwa peranan Mahkamah Konstitusi dalam

ketatanegaraan Indonesia adalah untuk menjaga jangan sampai terjadi

pelanggaran konstitusi oleh lembaga negara.

Ide pembentukan Mahkamah Konstitusi ke dalam konstitusi negara kita

sebagai organ konstitusional baru yang sederajat kedudukannya dengan organ

konstitusi lainnya. Fungsi Mahkamah Konstitusi telah dilembagakan berdasarkan

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi juncto

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang

Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Pembentukan Mahkamah

Konstitusi di Afrika Selatan, pada tahapan agenda, setting mereka lebih dulu

menyiapkan paradigma constitution making, Langkah awal Afrika Selatan

melakukan reformasi konstitusi adalah membuat prosedur pembuatan konstitusi

yang lebih demokratis.

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dalam menjalankan perannya

sebagai penjaga konstitusi, maka diberi kewenangan seperti yang diatur dalam

Pasal 24C ayat (1) UUD RI 1945 yang kemudian dipertegas dalam Undang-

Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi juncto Undang-

Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor

24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Kewenangan Mahkamah

Page 149: digilib.uns.ac.id/Studi... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user STUDI KOMPARASI KEWENANGAN KELEMBAGAAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA DAN MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Konstitusi Afrika Selatan langsung disebutkan dalam konstitusinya/Undang-

Undang Dasarnya (Konstitusi Republik Afrika Selatan 1996/Constitution Of The

Republic Of South Africa Number 108 Of 1996), sama halnya seperti wewenang

Mahkamah Konstitusi Indonesia yang sama-sama wewenangnya diberikan dan

disebutkan langsung dalam UUD RI 1945. Mahkamah Konstitusi adalah peradilan

tertinggi yang memutus permasalahan konstitusional baik di Republik Afrika

Selatan maupun di Republik Indonesia, Mahkamah Konstitusi memiliki

kewenangan untuk memutus perkara-perkara konstitusional dan atas

permasalahan yang berkaitan dengan putusan pada tingkat peradilan lain atas

perkara konstitusional.

Aplikasi constitutional complaint setelah diadaptasi dengan sistem hukum

di Indonesia tidak mengalami banyak perubahan. Namun ada beberapa hal yang

perlu ditegaskan antara lain, apabila bentuk tindakan pemerintah yang dianggap

merugikan adalah keputusan, maka keputusan tersebut tidak mengandung illegal

ekstern maupun illegal ekstern karena apabila mengandung salah satu tersebut,

maka diselesaikan dengan upaya hukum yang sudah ada terlebih dahulu. Begitu

juga mengenai adanya indikasi pelanggaran hak konstitusional di putusan

pengadilan yang harus ada upaya hukum biasa terlebih dahulu.

Upaya untuk memproteksi hak konstitusional masyarakat dalam kehidupan

dan kebebasan beragama adalah dengan melakukan pemilihan kasus yang selektif

terhadap kasus yang masuk. Hal ini karena tidak bisa suatu aturan atau keputusan

pemerintah yang bertujuan untuk mengatur dan memfasilitasi kehidupan dan

kebebasan beragama justru dipandang sebagai suatu tindakan yang

inkonstitusionalisme.

Mekanisme constitutional complaint diharapkan menjadi sarana dalam

upaya untuk menjaga dan melindungi hak-hak konstitusional masyarakat dalam

kehidupan dan kebebasan beragama serta pengajuannya seharusnya diawali

dengan adanya sosialisasi yang maksimal terlebih dahulu ke masyarakat agar

kedekatan masyarakat dengan konstitusinya menjadi lebih baik.

Page 150: digilib.uns.ac.id/Studi... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user STUDI KOMPARASI KEWENANGAN KELEMBAGAAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA DAN MAHKAMAH KONSTITUSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

B. Saran

Berdasarkan hasil penelitian ini, penulis memberikan saran sebagai berikut :

1. Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia hendaknya mengejar garis

kewenangan umum dari Mahkamah Konstitusi yaitu tidak adanya mekanisme

keluhan konstitusi atau consitutional complaint. Pada negara hukum modern

yang demokratis, constitutional complaint merupakan upaya hukum untuk

menjaga secara hukum martabat yang dimiliki manusia yang tidak boleh

diganggu gugat agar aman dari tindakan kekuasaan negara. Tidak adanya

mekanisme constitutional complaint di Indonesia akan mengurangi legitimasi

Indonesia sebagai negara hukum modern yang demokratis karena tidak adanya

upaya yang dimiliki masyarakat untuk mempertanyakan perlakuan dari

penguasa yang diindikasi melanggar hak asasinya yang telah dijamin oleh

UUD RI 1945.

2. Masyarakat sebaiknya dilibatkan dalam kehidupan berkonstitusi. Hal ini tentu

saja bisa membendung timbulnya pemerintahan yang otoriter di Indonesia.

Terlepas apakah pengaduan dengan mekanisme constitutional complaint

disetujui oleh Mahkamah Konstitusi atau tidak. Seiring dengan berjalannya

waktu, masalah tentang banyaknya pengaduan tentunya akan teratasi seiring

dengan kedewasaan masyarakat dalam memahami konstitusi yang tidak hanya

dalam tataran konseptual saja tetapi sudah menjangkau ke arah mekanisme.

3. Pihak Pemerintah seharusnya juga mengawali pemahaman tentang kehidupan

berkonstitusi dengan cara sosialisasi yang maksimal terlebih dahulu kepada

masyarakat agar kedekatan masyarakat dengan konstitusinya menjadi lebih

baik. Sehingga mekanisme constitutional complaint diharapkan menjadi sarana

dalam upaya untuk menjaga dan melindungi hak-hak konstitusional masyarakat

dalam kehidupan dan kebebasan beragama.