Upload
made-bram
View
6.672
Download
6
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Studi ini membahas tentang potensi pariwisata Kota Kediri Provinsi Jawa Timur Indonesia serta kajian tentang kebijakan pengembangannya. Berdasarkan studi ini aktivitas kepariwisataan yang berpotensi dikembangkan di Kota Kediri adalah pariwisata budaya, wisata kuliner, wisata belanja, dan wisata olah raga. Pemanfaatan teknologi informasi dapat digunakan untuk mempromosikan objek-objek wisata tersebut.
Citation preview
TESIS
STUDI TENTANG KEBIJAKAN PENGEMBANGAN PARIWISATA KOTA KEDIRI PROVINSI JAWA TIMUR
I MADE BRAM SARJANA
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR 2006
TESIS
STUDI TENTANG KEBIJAKAN PENGEMBANGAN PARIWISATA KOTA KEDIRI PROVINSI JAWA TIMUR
I MADE BRAM SARJANA NIM 0213106110
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI KAJIAN PARIWISATA
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR 2006
i
STUDI TENTANG KEBIJAKAN PENGEMBANGAN PARIWISATA KOTA KEDIRI PROVINSI JAWA TIMUR
Tesis untuk memperoleh Gelar Magister pada Program Magister, Program Studi Kajian Pariwisata
Program Pascasarjana Universitas Udayana
I MADE BRAM SARJANA NIM 0213106110
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI KAJIAN PARIWISATA
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR 2006
ii
Lembar Pengesahan
TESIS INI TELAH DISETUJUI PADA TANGGAL 18 JULI 2006
Pembimbing I
Dr. I Wayan Tjatera, M.Sc NIP 130369687
Pembimbing II
Dr. Ir. A.A.P. Agung Suryawan W., M.ScNIP 131843096
Mengetahui
Ketua Program Studi Magister Kajian Pariwisata
Program Pascasarjana Universitas Udayana
Prof. Dr. I Nyoman Sirtha, SH, MS NIP 130369678
Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana
Prof. Dr. Ir. Dewa Ngurah Suprapta, M.ScNIP 131475047
iii
Tesis ini Telah Diuji pada Tanggal 11 Juli 2006
Panitia Penguji Tesis, berdasarkan SK Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana, No : 268/J14.4/HK.01.23/2006, tanggal 7 Juli 2006
Ketua : Dr. I Wayan Tjatera, M.Sc Sekretaris : Dr. Ir. A. A. P. Agung Suryawan Wiranatha, M.Sc. Anggota :
1. Prof. Dr. I Nyoman Sirtha,SH, MS. 2. Prof. Dr. Dra. N.K. Mardani, MS. 3. Drs. I Nyoman Sunartha, M.Si.
iv
UCAPAN TERIMA KASIH
Perkenankan penulis menghaturkan angayu bagia ke hadapan Ida Sang
Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa, karena atas asung kertha wara
nugraha-Nya tesis ini dapat diselesaikan.
Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada para dosen pembimbing, Dr. I Wayan Tjatera, M.Sc dan
Dr. Ir. Anak Agung Putu Agung Suryawan Wiranatha, M.Sc atas dukungan dan
bimbingannya dalam proses penyusunan tesis ini.
Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Rektor Universitas
Udayana, Prof. Dr. dr. I Made Bakta, Sp.PD (KHOM) dan Prof. Dr. Ir. Dewa
Ngurah Suprapta, M.Sc selaku Direktur Program Pascasarjana Universitas
Udayana atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan
menyelesaikan Program Magister di Universitas Udayana. Penulis juga
menyampaikan terima kasih kepada Prof. Dr. I Nyoman Sirtha, SH, M.S. dan Dra.
Henny Urmila Dewi, M.Si selaku Ketua dan Sekretaris Program Magister Kajian
Pariwisata Universitas Udayana, serta para dosen penguji, Prof. Dr. Dra. N.K.
Mardani, MS dan Drs. I Nyoman Sunartha, M.Si atas berbagai masukan yang
konstruktif dalam rangka penyempurnaan tulisan ini. Terima kasih juga penulis
ucapkan kepada seluruh dosen atas pencerahan dan inspirasi yang diberikan
selama masa-masa perkuliahan, serta para staf sekretariat program atas pelayanan
administrasinya yang prima sehingga sangat membantu proses pendidikan penulis
pada Program Magister Kajian Pariwisata Universitas Udayana.
v
Tidak lupa penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Rony Yusianto
dan Beni di Kediri, Ibu Eka Mahadewi dan Sri Sadjuni, Bapak Arcana dan
Sukardi, serta rekan-rekan mahasiswa Program Magister Kajian Pariwisata
Universitas Udayana khususnya angkatan 2002, Bapak Wayan Suambara, SH,
MM, A.A.G. Raka Yuda, SE dan rekan-rekan pada Bagian Humas dan Protokol
Setda Kabupaten Badung atas motivasi dan kebersamaan yang selalu diberikan,
kakak I Gede Pram Sanjaya dan I Gusti Ayu Wisalawaty termasuk si kecil Jessy,
serta Ketut Widya Purnawati (Tuti), yang senantiasa menjadi pemacu semangat
bagi penulis.
Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada
keluarga Alm. Prof. Dr. I Wayan Bawa dan keluarga Drs. HA Maschut yang
selalu memberikan dukungan dan dorongan kepada penulis. Akhirnya penulis
mengucapkan terima kasih kepada kedua orang tua, Alm. Drs. I Made Darsana
dan Dra. Ni Ketut Suati, atas curahan kasih sayangnya yang teramat tulus dan
berlimpah sejak penulis pertama kali melihat wajah dunia. Tanpa sentuhan tangan
Tuhan melalui perantara mereka, penulis tidak akan pernah mencapai tahapan
kehidupan seperti yang dirasakan saat ini. Kepada merekalah tulisan ini
didedikasikan sepenuhnya.
Proses pendidikan penulis ini juga dapat diselesaikan berkat dukungan dan
kontribusi berbagai pihak lainnya secara langsung maupun tidak langsung.
Kepada mereka penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang
setinggi-tingginya. Semoga Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa
senantiasa memberikan rahmat-Nya kepada kita sekalian.
vi
ABSTRACT
STUDY ON TOURISM DEVELOPMENT POLICY OF KEDIRI CITY, EAST JAVA
Public policy is a product of a complex process connected with many
aspects, wide concepts, and many parties involved. Various changes in local,
national, and international level have driven the complexity of contemporary
world. In accordance with the big changes of the three policy environment levels,
tourism industry plays an important role and becomes a strategic instrument for
the local government to develop local economy.
The government of Kediri City, East Java also considers the tourism
industry as a strategic aspect devised to support local economic development.
However, because of the complexity of problems in those three levels, it seems
very difficult to implement this effort.
Based on the structure of problems, systemic approach was used, and it
was completed with descriptive analysis. This study applied field research to find
out the tourism policy development of Kediri City, some problems that might have
existed, and some efforts that may be done for further development.
The conclusion of this research shows that Kediri is a potential city for
developing historical and spiritual tourism. Policy made by the local government
has aimed to develop tourism resources, but they need to do some restructuring
efforts for further development.
Key words: policy, system, tourism development
vii
ABSTRAK
STUDI TENTANG KEBIJAKAN PENGEMBANGAN PARIWISATA KOTA KEDIRI PROVINSI JAWA TIMUR
Kebijakan publik merupakan sebuah produk dari proses yang bersifat
kompleks karena hal itu terkait dengan banyak aspek, luasnya wawasan yang
terpaut, serta banyaknya pihak yang terlibat. Kompleksitas dunia saat ini
disebabkan oleh berbagai perubahan besar yang terjadi pada level lokal, nasional,
dan internasional. Dalam konteks perubahan-perubahan besar pada ketiga level
lingkungan kebijakan itu industri pariwisata menjadi media yang strategis bagi
kepala daerah untuk memasarkan potensi-potensi ekonomi daerahnya.
Pemerintah Kota Kediri di Provinsi Jawa Timur juga memandang itu
sebagai aspek yang strategis, sehingga pengembangan pariwisata diupayakan
untuk menunjang pembangunan ekonomi daerah. Upaya ini tidak mudah
diwujudkan, karena adanya berbagai permasalahan di tingkat lokal, nasional, dan
internasional.
Berdasarkan struktur permasalahan, penulis menggunakan pendekatan
sistem yang didukung oleh analisa deskriptif serta penelitian lapangan untuk
mengetahui kebijakan pengembangan pariwisata Kota Kediri, permasalahan yang
dihadapi dalam upaya pengembangan pariwisata, serta upaya yang perlu
dilakukan untuk pengembangan pariwisata lebih lanjut.
Dari hasil penelitian diketahui bahwa Kota Kediri adalah kota yang
memiliki potensi untuk pengembangan pariwisata sejarah dan spiritual. Kebijakan
yang ditempuh telah mengarah pada pengembangan potensi tersebut, namun
Pemerintah Kota Kediri perlu melakukan sejumlah upaya restrukturisasi untuk
pengembangan pariwisata pada tahap lebih lanjut.
Kata kunci: kebijakan, sistem, pengembangan pariwisata
viii
DAFTAR ISI
Halaman
Prasyarat Gelar ...................................................................................................... i
Lembar Pengesahan.............................................................................................. ii
Penetapan Panitia Penguji .................................................................................. iii
Ucapan Terima Kasih .......................................................................................... iv
ABSTRACT .......................................................................................................... vi
ABSTRAK ........................................................................................................... vii
DAFTAR ISI....................................................................................................... viii
DAFTAR TABEL ................................................................................................ xi
DAFTAR GAMBAR........................................................................................... xii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1
1.1 Latar Belakang ..................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah ..............................................................................................9
1.3 Tujuan Penelitian .............................................................................................10
1.4 Manfaat Penelitian ...........................................................................................10
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .........................................................................11
2.1 Kerangka Konseptual.......................................................................................11
2.1.1 Kebijakan ................................................................................................12
2.1.2 Analisis kebijakan ..................................................................................15
2.1.3 Lingkungan kebijakan ............................................................................17
2.1.4 Pariwisata ................................................................................................18
2.1.5 Perencanaan pariwisata ...........................................................................25
2.1.6 Kebijakan pariwisata...............................................................................30
2.2 Landasan Teori.................................................................................................32
2.3 Model Penelitian ..............................................................................................35
BAB III METODE PENELITIAN .....................................................................37
3.1 Rancangan Penelitian.......................................................................................37
ix
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ...........................................................................39
3.3 Jenis dan Sumber Data.....................................................................................40
3.4 Instrumen Penelitian dan Teknik Pengumpulan Data......................................41
3.5 Analisis Data ....................................................................................................42
3.6 Cara Penyajian Hasil Analisis Data .................................................................44
BAB IV GAMBARAN UMUM DAN DAYA TARIK WISATA KOTA
KEDIRI .................................................................................................................45
4.1 Kondisi Geografis ............................................................................................45
4.2 Kependudukan dan Tenaga Kerja ....................................................................46
4.3 Perekonomian ..................................................................................................48
4.4 Objek dan Daya Tarik Wisata Kota Kediri ......................................................51
4.4.1 Wisata budaya.........................................................................................51
4.4.1.1 Peninggalan bersejarah ...............................................................53
4.5.1.2 Kesenian dan budaya daerah.......................................................54
4.4.2 Wisata spiritual dan ziarah......................................................................59
4.4.3 Wisata alam.............................................................................................60
4.4.4 Wisata olah raga......................................................................................61
4.4.5 Wisata belanja .........................................................................................63
4.4.6 Wisata pendidikan...................................................................................65
4.4.7 Fasilitas akomodasi .................................................................................66
4.5 Pendapat Masyarakat Tentang Kepariwisataan Kota Kediri ...........................66
BAB V PEMBAHASAN ......................................................................................70
5.1 Kebijakan Kepariwisataan Kota Kediri ...........................................................77
5.1.1 Kebijakan strategis pengembangan pariwisata .......................................71
5.1.2 Sasaran dan arah kebijakan pariwisata....................................................72
5.1.3 Rencana strategis pengembangan pariwisata..........................................73
5.1.4 Promosi pariwisata..................................................................................76
5.2 Permasalahan yang Dihadapi Pemerintah Kota Kediri....................................81
5.2.1 Lingkungan internasional........................................................................81
5.2.2 Lingkungan nasional ...............................................................................86
5.2.3 Lingkungan lokal ....................................................................................88
x
5.3 Kebijakan Pengembangan Pariwisata Lebih Lanjut ........................................95
BAB VI SIMPULAN DAN SARAN .................................................................123
6.1 Simpulan ........................................................................................................123
6.2 Saran ..............................................................................................................125
DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................126
LAMPIRAN........................................................................................................131
xi
DAFTAR TABEL
Halaman
4.1 Jumlah Penduduk Kota Kediri Tahun 1997-2004............................................47
4.2 Mata Pencaharian Penduduk Menurut Lapangan Usaha Tahun 2004 .............48
4.3 Kontribusi Sektor Pembangunan Terhadap PDRB Tahun 1999-2003 ............49
4.4 Pertumbuhan Ekonomi Kota Kediri Tahun 1999-2003 ...................................50
5.1 Rencana Strategi Program Peningkatan Pariwisata dan Pelestarian Budaya...74
5.2 Realisasi Belanja Pembangunan Sektor Pariwisata 2000-2004.......................74
5.3 Peta Masalah Lingkungan Kebijakan Pariwisata Kota Kediri.........................95
5.4 Implementasi Konsep Inskeep Tentang Daya Tarik Wisata............................98
5.5 Objek dan Tipe Aktivitas Wisata di Dalam Kawasan Selomangleng..............99
5.6 Objek dan Tipe Aktivitas Wisata di Luar Kawasan Selomangleng.................99
5.7 Masalah Pada Objek dan Daya Tarik Wisata Kota Kediri.............................107
5.8 Realisasi Pendapatan Sektor Pariwisata Tahun 2001-2003 ...........................109
xii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
2.1 Lingkungan Kebijakan.....................................................................................18
2.2 Pariwisata Sebagai Mobilitas Spasial ..............................................................22
2.3 Model Sistem Politik David Easton .................................................................34
2.4 Model Penelitian ..............................................................................................36
3.1 Model Interaktif Analisis Data Miles-Huberman ............................................43
5.1 Implementasi Model Sistem Pada Perumusan Kebijakan Pengembangan
Pariwisata Kota Kediri .....................................................................................97
5.2 Zonasi Aktivitas Kepariwisataan di Kota Kediri ...........................................103
5.3 Restrukturisasi Pengembangan Pariwisata Kota Kediri.................................122
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1 Tabel Jadwal Kegiatan Penelitian ....................................................131
Lampiran 2 Peta Jawa Timur ...............................................................................132
Lampiran 3 Peta Kota Kediri ...............................................................................133
Lampiran 4 Sketsa Site Plan Kawasan Wisata Selomangleng.............................134
Lampiran 5 Goa Selomangleng............................................................................135
Lampiran 6 Relief Pertapa di Goa Selomangleng................................................136
Lampiran 7 Museum Airlangga ...........................................................................137
Lampiran 8 Tumpeng Tosaren.............................................................................138
Lampiran 9 Kesenian Jaranan ..............................................................................139
Lampiran 10 Ritual Manusuk Sima .....................................................................140
Lampiran 11 Kirab Prasasti Kediri Jayati ............................................................141
Lampiran 12 Pentas Wayang Orang Dalam Rangka Hari Jadi Kota Kediri ........142
Lampiran 13 Festival Panji-Galuh .......................................................................143
Lampiran 14 Pura Dewi Sekartaji ........................................................................144
Lampiran 15 Mesjid Agung Kota Kediri .............................................................145
Lampiran 16 Walikota Kediri Memantau Hutan Maskumambang......................146
Lampiran 17 Pawai Budaya Dalam Rangka Hari Jadi.........................................147
Lampiran 18 Taman Hiburan Pagora...................................................................148
Lampiran 19 Pertandingan Sepak Bola................................................................149
Lampiran 20 Wisata Olah Raga di Lebak Tumpang-Selomangleng ...................150
Lampiran 21 Pusat Penjualan Tahu Takwa di Kota Kediri .................................151
Lampiran 22 Objek Wisata Pendidikan di Pabrik Rokok Gudang Garam ..........152
Lampiran 23 Pedagang di Bibir Goa Selomangleng............................................153
Lampiran 24 Coretan di Dinding Goa Selomangleng..........................................154
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Proses pembuatan kebijakan tidak terjadi dalam ruang sosial yang vakum.
Para pembuat kebijakan politik maupun bisnis bekerja dalam lingkungan eksternal
dan internal yang sangat kompleks dan saling terkait antara satu sama lainnya
(Rosenau, 1980: 368). Kebijakan publik sendiri merupakan sebuah produk dari
proses yang pada umumnya bersifat kompleks karena terkait dengan banyak aspek,
luasnya wawasan yang terpaut, serta banyaknya pihak yang terlibat (Abidin, 2002:
75).
Kompleksitas pada lingkungan kebijakan tersebut didorong oleh
liberalisasi ekonomi serta kemajuan teknologi informasi dan komunikasi yang
sangat cepat sehingga arus informasi, modal, jasa, dan manusia bergerak secara
bebas menembus batas-batas ruang dan waktu. Fenomena tersebut menunjukkan
bahwa dunia telah terintegrasi menjadi suatu jaringan kerja tanpa batas, yang
selalu berubah dengan sangat cepat (Ohmae, 1991: 20). Tidak ada satu masalah
yang hanya bisa dilihat sebagai satu aspek yang berdiri sendiri. Berbagai aspek
saling terkait dan mempengaruhi. Keterkaitan ini tidak terbatas dalam suatu
lingkungan saja, namun juga bisa dipengaruhi dan mempengaruhi lingkungan
yang lebih luas, menyangkut aspek yang berbeda, dan berlangsung dalam waktu
yang sangat cepat (Abidin, 2002 : 14). Kondisi tersebut memunculkan berbagai
peluang sekaligus tantangan, sehingga pembuat kebijakan harus benar-benar
2
memahami lingkungan kebijakannya (Abidin, 2002: 81) serta meresponsnya
dengan membuat pilihan-pilihan secara konstan sepanjang waktu (Holsti, 1992:
271). Kompleksitas lingkungan kebijakan tersebut membuat masa depan menjadi
semakin sulit diprediksi, sehingga para pembuat kebijakan harus memiliki
kemampuan untuk mengenali tanda-tanda perubahan yang akan mempengaruhi
kesuksesan mereka dan segera melakukan inovasi-inovasi (Stigson dalam WRI,
2002: 3).
Dari perspektif pemasaran, Kartajaya (2005: 3) menjelaskan bahwa
kompleksitas dunia saat ini disebabkan oleh berbagai perubahan besar yang terjadi
pada level lokal, nasional, dan regional-internasional. Perubahan di tingkat lokal
didorong oleh implementasi sistem otonomi daerah, yang berimplikasi pada
menguatnya peran pemerintah kabupaten/kota dalam pembangunan wilayah.
Undang-undang No 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-
undang No 34 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah
Daerah dan Pemerintah Pusat merupakan kerangka kerja pelaksanaannya. Pada
sistem ini urusan pemerintahan semakin didekatkan kepada rakyat, sehingga
pemerintah menjadi lebih efektif dan efisien. Pemerintahan menjadi efektif karena
penyelenggaraan pemerintahan berlangsung pada wilayah yang lebih kecil
sehingga dapat lebih memudahkan penguasaan materi permasalahan dan
penyerapan aspirasi masyarakat dalam proses perumusan kebijakan (Abidin,
2002 : 135).
Perubahan yang terjadi di tingkat nasional adalah perubahan sistem politik
yang ditandai dengan runtuhnya rezim orde baru oleh gerakan reformasi.
3
Akibatnya, terjadi penguatan peran masyarakat sipil pada setiap aspek kehidupan
negara. Perubahan sistem ini menuntut pelaksana pemerintahan untuk mengubah
kerangka berpikir dan cara kerjanya dari sentralistik-otoriter pada masa lalu
menjadi desentralistik-partisipatif di masa kini.
Sedangkan pada tingkat regional-global, telah terjadi pola-pola kerja sama
ekonomi kawasan seperti ASEAN Free Trade Area (AFTA) di kawasan Asia
Tenggara, Asia Pacific Economic Cooperation (APEC) di kawasan Asia Pasifik,
dan berbagai forum kerja sama ekonomi kawasan lainnya yang bertujuan
melaksanakan liberalisasi ekonomi. Tren perubahan ekonomi-politik pada ketiga
level itulah yang membuat kepala daerah di masa kini harus mendesain ulang pola
pikir dan cara kerjanya menyerupai cara kerja wirausahawan. Hal ini bermakna
bahwa kepala daerah haruslah inovatif, cerdas membaca tren perubahan, dan
mampu membangun jaringan kerja pada berbagai level untuk membangun
daerahnya. Potensi ekonomi lokal tidak lagi hanya berorientasi pada pasar lokal,
namun dikelola untuk memiliki kemampuan menjangkau pasar global sehingga
dapat memberikan kontribusi ekonomi yang lebih besar. Dalam konteks
perubahan-perubahan besar pada ketiga level lingkungan kebijakan itulah industri
pariwisata menjadi wahana yang strategis bagi kepala daerah untuk memasarkan
potensi-potensi ekonomi daerahnya.
Pada level global, industri pariwisata memberikan kontribusi besar dalam
mendorong pertumbuhan ekonomi dunia. World Tourism Organization (WTO)
mencatat, pariwisata dan industri yang terkait dengannya membentuk 11 persen
Produk Domestik Bruto (PDB) dunia dan menciptakan lapangan pekerjaan untuk
4
200 juta orang di seluruh dunia. Selain itu pariwisata juga membentuk 34 persen
ekspor jasa dunia. Setiap tahunnya terdapat sekitar 700 juta orang yang
diperkirakan melakukan perjalanan internasional (Williams, 2002: 1). Di masa
depan industri pariwisata juga diproyeksikan akan terus berkembang menjadi
industri yang besar. Kenyataan itu membuat pariwisata menjadi salah satu sektor
yang menjadi pilihan bagi banyak negara maju dan berkembang untuk
membangun perekonomiannya.
Demikian pula halnya pada tingkat nasional di Indonesia, pariwisata
merupakan sektor ekonomi penyumbang devisa terbesar kedua setelah ekspor
minyak dan gas (migas). Pada tahun 2002 misalnya, sektor pariwisata
memberikan devisa sebesar 4,5 milyar dolar AS (Bali Post, 5 Juli 2004, hlm 14).
Kontribusi sektor pariwisata yang cukup besar terhadap perekonomian nasional
membuat pemerintah berupaya untuk mengembangkan sektor ini lebih lanjut, dan
menjadikannya sebagai salah satu sektor ekonomi strategis. Kebijakan tersebut
memang sangat beralasan bila melihat wilayah Indonesia yang terdiri dari 17.508
pulau, garis pantai sepanjang 81.000 km, luas laut 5,8 juta km², dan penduduk
mencapai lebih dari 220 juta jiwa. Sumber daya ekonomi yang ada menunjukkan
bahwa Indonesia memiliki potensi besar untuk mengembangkan pariwisata
domestik maupun internasional. Namun potensi tersebut belum dikelola secara
optimal dan merata di berbagai daerah, sehingga kemajuan industri pariwisata
terpusat di Provinsi Bali.
Provinsi Jawa Timur merupakan salah satu wilayah dengan potensi
pariwisata yang besar, namun belum mengalami perkembangan sepesat Provinsi
5
Bali. Menurut Sujana (2004:123), upaya pengembangan pariwisata di Jawa Timur
tergolong tidak mudah, karena harus melalui sebuah proses transformasi budaya
dari agraris menuju industri. Sekalipun pariwisata telah berkembang di beberapa
tempat di Jawa Timur, perubahan ini belum dapat dilakukan secara efektif karena
pariwisata menuntut dukungan kemampuan Sumber Daya Manusia (SDM)
dengan kemampuan khusus untuk memberikan pelayanan secara profesional
dengan standar tertentu. Ketersediaan SDM dengan kemampuan khusus ini
menjadi salah satu kendala pengembangan pariwisata Jawa Timur.
Masalah serupa juga dialami oleh Kota Kediri, salah satu kota sedang di
Provinsi Jawa Timur. Kota ini memiliki sejumlah potensi wisata berupa benda-
benda peninggalan bersejarah, kesenian daerah, dan objek alam. Namun
terbatasnya dukungan SDM yang memiliki kemampuan dalam perencanaan dan
pengelolaan pariwisata menjadi salah satu kendala dalam pengembangan
pariwisata.
Seperti lazimnya daerah-daerah lain yang mengembangkan sektor
pariwisata, salah satu motif yang menjadi dasar pengembangan pariwisata di Kota
Kediri adalah peningkatan ekonomi daerah. Selama ini perekonomian Kota
Kediri utamanya masih digerakkan oleh sektor industri pengolahan dan
perdagangan. Berdasarkan data Bappeda Kota Kediri, pada kurun waktu tahun
1998 hingga 2000, 78 persen lebih Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)
Atas Dasar Harga Berlaku (ADHB) Kota Kediri dibentuk oleh sektor industri
pengolahan, terutama rokok kretek. Sedangkan sektor perdagangan, hotel dan
restoran berada pada peringkat kedua, dan menunjukkan adanya tren peningkatan.
6
Pada tahun 1998, sektor ini memberi kontribusi sebesar 17,09 persen. Pada tahun
1999 kontribusi sektor ini meningkat menjadi 17,53 persen dan selanjutnya pada
tahun 2000 naik lagi menjadi 17,56 persen. Data tersebut menunjukkan bahwa
sektor yang terkait dengan pariwisata memang berpotensi untuk ditingkatkan
kontribusinya dalam upaya peningkatan perekonomian daerah.
Sebagai pijakan dalam upaya pembangunan ekonomi kota, termasuk di
dalamnya pengembangan sektor pariwisata, Walikota Kediri H.A. Maschut yang
menjadi kepala daerah sejak tahun 1999 hingga 2004 untuk periode pertama dan
mulai tahun 2004 hingga 2009 untuk periode yang kedua, menetapkan visi Tri
Bina Cita Kota. Melalui visi tersebut pemerintah berupaya mengembangkan Kota
Kediri sebagai kota industri, perdagangan dan jasa, serta pendidikan. Pada visi
ini upaya pengembangan sub sektor pariwisata termasuk ke dalam sektor
perdagangan dan jasa. Pemerintah berupaya mengembangkan ketiga sektor ini
secara simultan untuk meningkatkan kesejahteraaan masyarakat. Pengembangan
ketiga potensi ekonomi lokal tersebut diharapkan dapat menciptakan lapangan
kerja yang lebih besar, peningkatan investasi, perdagangan, kualitas SDM, serta
peningkatan derajat hidup masyarakat.
Langkah konkrit upaya pengembangan pariwisata Kota Kediri ditunjukkan
pemerintah dengan mengeluarkan sejumlah kebijakan strategis yang didukung
anggaran cukup besar mulai tahun 2002, seperti perayaan hari jadi Kota Kediri
yang selanjutnya ditetapkan sebagai acara rutin tahunan, pembangunan dermaga
di bantaran Sungai Brantas untuk menunjang wisata bahari, rehabilitasi, penataan,
dan pengembangan objek wisata baru. Program prestisius yang ditempuh
7
pemerintah Kota Kediri adalah pengembangan Kawasan Wisata Selomangleng
yang diproyeksikan menjadi pusat kegiatan kepariwisataan di Kota Kediri, bahkan
Provinsi Jawa Timur.
Untuk merealisasikan megaproyek ini pemerintah telah mengalokasikan
anggaran daerah mencapai Rp 19 milyar lebih. Megaproyek ini berupa
pembangunan fasilitas kolam renang dan taman hiburan yang berdasarkan
perencanaan dilengkapi dengan berbagai fasilitas permainan anak-anak, salah
satunya berupa wahana permainan jetcoaster, menyerupai yang terdapat di Taman
Impian Jaya Ancol, Jakarta. Walikota Maschut memandang bahwa taman hiburan
dengan fasilitas seperti itu belum terdapat di wilayah Jawa Timur, sehingga Kota
Kediri ingin mengambil peluang tersebut. Dengan demikian, wisatawan yang
ingin menikmati suasana layaknya taman hiburan di Ancol tidak perlu jauh-jauh
pergi ke Jakarta, namun cukup datang ke Kota Kediri (Radar Kediri, 23 Desember
2002, hlm. 26). Di dalam kawasan ini juga terdapat objek-objek yang dapat
menunjang aktivitas wisata spiritual, budaya, dan alam, sehingga pengembangan
kawasan ini sebagai pusat kegiatan pariwisata di Kota Kediri dinilai sangat tepat.
Namun di tengah upaya gencar pemerintah untuk mengembangkan
pariwisata, berbagai masalah kemudian bermunculan. Pada program
pengembangan kawasan wisata Selomangleng, masalah terjadi karena
perencanaan pengembangan yang terlampau prestisius. Pengembangan taman
hiburan di dalam kawasan wisata Selomangleng yang direncanakan semegah
Ancol dan direncanakan tuntas pada tahun 2004, hingga tulisan ini dilaporkan
ternyata belum dapat direalisasikan. Pemerintah juga belum mampu melakukan
8
penataan kawasan wisata secara memadai. Padahal di sisi lain antusiasme
masyarakat kota untuk memanfaatkan kawasan tersebut sebagai wahana berwisata
semakin tinggi. Hal ini terjadi karena lokasinya yang jauh dari pusat keramaian
kota dan adanya bentangan alam berupa pegunungan. Sejak dahulu kawasan ini
memang telah digunakan masyarakat Kota Kediri untuk berwisata. Akibatnya
pada saat pengunjung yang selalu padat pada hari libur, terjadi kesemrawutan
karena tidak adanya alokasi ruang yang terpisah antara pengunjung, pedagang,
tempat parkir, dan jalur lalu lintas kendaraan.
Upaya-upaya pemeliharaan lingkungan dan aset sejarah yang ada di dalam
kawasan juga belum dilakukan dengan baik sehingga banyak yang terancam
mengalami kerusakan. Sebagian benda-benda bersejarah yang ada terancam rusak
akibat perilaku pengunjung yang tidak bertanggung jawab. Demikian pula dengan
kondisi alamnya yang tergolong kering dan berbatu, sehingga saat musim
kemarau sering terjadi kebakaran hutan, dan di musim hujan terancam dari
longsoran bebatuan yang terdapat di lereng pegunungan.
Demikian pula halnya dengan perayaan hari jadi Kota Kediri yang
ditetapkan setiap tanggal 27 Juli. Perayaan hari jadi yang dirancang sebagai
program pengembangan pariwisata budaya sekaligus promosi tersebut
nampaknya belum dapat menarik minat wisatawan. Masyarakat sebenarnya sangat
menantikan acara ini sebagai ajang untuk menyalurkan kreasi seninya dan
mendapatkan hiburan secara murah-meriah. Namun biaya yang harus ditanggung
pemerintah untuk melaksanakannya sangat besar. Pihak swasta belum ada yang
berminat untuk berpartisipasi sebagai sponsor utama. Setelah dua kali
9
pelaksanaan secara besar-besaran dan meriah sejak tahun 2002, perayaannya
mulai Juli 2004 lalu dibuat menjadi jauh lebih sederhana karena keterbatasan
anggaran.
Pencanangan wisata bahari di bantaran Sungai Brantas pun akhirnya
mengalami kemacetan. Setelah dermaga berdiri, pemerintah tidak memiliki
mekanisme pengelolaan yang jelas. Akibatnya dermaga dan perahu yang telah
disediakan tidak terawat dan rusak. Perkembangan pariwisata di kota ini belum
jelas arah dan sasarannya.
Berbagai perkembangan yang kurang menggembirakan tersebut
menunjukkan bahwa pemerintah sudah selayaknya melakukan evaluasi terhadap
perencanaan pengembangan pariwisata secara keseluruhan. Untuk melakukan
analisis terhadap kebijakan pengembangan pariwisata Kota Kediri tersebut penulis
menggunakan pendekatan sistem dengan analisa deskriptif.
1.2 Rumusan Masalah
Dari uraian di atas terdapat sejumlah masalah yang terkait dengan
fenomena pengembangan dan perkembangan pariwisata di Kota Kediri, yang
dikaji lebih lanjut melalui pertanyaan penelitian sebagai berikut:
1. Bagaimanakah kebijakan kepariwisataan Kota Kediri pada umumnya?
2. Bagaimana peta permasalahan yang dihadapi pemerintah dalam konteks
perubahan di tingkat lokal, nasional, dan global yang perlu menjadi bahan
pertimbangan dalam upaya pengembangan pariwisata?
10
3. Kebijakan apa yang dapat dilakukan pemerintah untuk pengembangan
pariwisata ke depan?
1.3 Tujuan Penelitian
1. Mendeskripsikan kebijakan pengembangan pariwisata di Kota Kediri.
2. Memberikan gambaran umum tentang permasalahan yang dihadapi
pemerintah Kota Kediri dalam upaya pengembangan pariwisata.
3. Memberikan rekomendasi kebijakan pengembangan pariwisata sesuai
dengan potensi dan permasalahan yang ada.
1.4 Manfaat Penelitian
Secara akademis penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi
ilmiah dalam khasanah penelitian kajian pariwisata di Universitas Udayana
melalui studi interdisipliner. Sedangkan dari sisi praktis, penelitian ini diharapkan
dapat menjadi bahan-bahan masukan (input) untuk pengembangan pariwisata
Kota Kediri lebih lanjut.
11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kerangka Konseptual
Analisis kebijakan merupakan disiplin ilmu sosial terapan yang
interdisipliner, sehingga tidak hanya memanfaatkan perangkat keilmuan ilmu
sosial dan perilaku, namun juga administrasi publik, hukum, etika, serta berbagai
macam cabang analisis sistem dan matematika terapan. Analisis kebijakan
bertujuan menghasilkan informasi yang bersifat deskriptif, evaluatif dan
preskriptif/normatif tentang suatu kebijakan (Dunn, 2003 : 97).
Praktek analisis kebijakan secara interdisipliner ini misalnya dilakukan
oleh Hamel (1999) yang menggunakan pendekatan ekonomi-politik dalam
mengkaji kebijakan pemberantasan kemiskinan di pedesaan Indonesia. Menurut
Hamel, alasan yang mendasari pentingnya analisis dengan pendekatan ekonomi-
politik adalah karena pendekatan ini lebih komprehensif, sehingga relatif mampu
mengatasi kelemahan pada pendekatan uni dimensional dari segi ekonomi,
pendekatan sosio-kultural, dan pendekatan kemanusiaan semata. Pendekatan
ekonomi-politik akan dapat mengatasi kelemahan-kelemahan yang terdapat pada
ilmu ekonomi, sekaligus kelemahan pada ilmu politik dalam melakukan analisis
kebijakan ( Hamel, 1999 : 12).
12
2.1.1 Kebijakan
Untuk tujuan ilmiah, kebijakan publik dapat dipandang sebagai variabel
dependen maupun variabel independen. Kebijakan publik dikatakan sebagai
variabel dependen bila perhatiannya tertuju pada faktor politik dan lingkungan
yang mempengaruhi/menentukan isi kebijakan. Bila kebijakan publik dipandang
sebagai variabel dependen maka kajian ditujukan kepada dampak kebijakan
publik terhadap sistem politik dan lingkungannya (Agustino, 2006 : 5).
Banyak definisi yang digunakan oleh para ahli untuk menjelaskan arti
kebijakan. Dye (1978, seperti dikutip dalam Abidin, 2002: 20) menyebutkan
makna kebijakan sebagai pilihan pemerintah untuk melakukan atau tidak
melakukan sesuatu (whatever government chooses to do or not to do). Sedangkan
Lasswell dan Kaplan yang menjelaskan bahwa kebijakan merupakan sarana untuk
mencapai tujuan, menyebutkan kebijakan sebagai program yang diproyeksikan
berdasarkan tujuan, nilai-nilai, dan praktek tertentu (a projected programs of
goals, values, and practices). Ahli lainnya, Heglo, menjelaskan kebijakan sebagai
a course of action intended to accomplish some end atau suatu tindakan yang
bermaksud untuk mencapai tujuan tertentu.
Kebijakan mencakup keterkaitan antara kehendak, tindakan, dan hasil.
Pada level kehendak, kebijakan terefleksikan pada sikap pemerintah, misalnya
pernyataan pemerintah tentang apa yang akan dilakukannya. Pada level tindakan,
kebijakan terefleksikan pada perilaku pemerintah, yaitu apa yang benar-benar
dilakukan pemerintah. Sedangkan pada level hasil, kebijakan terefleksikan pada
konsekuensi dari tindakan-tindakan yang dilakukan pemerintah (Heywood, 1997:
13
382). Kebijakan juga mengandung makna sebuah manifestasi dari penilaian yang
penuh pertimbangan, sehingga kebijakan adalah usaha untuk mendefinisikan dan
menyusun basis rasional untuk melakukan atau tidak melakukan suatu tindakan
(Parsons, 2001 : 15). Sedangkan kebijakan negara merupakan kebijakan yang
dikembangkan atau dirumuskan oleh instansi-instansi serta pejabat-pejabat
pemerintah. Aktor yang terlibat dan mempengaruhi proses pembuatan kebijakan
tidak saja aktor negara, tetapi juga aktor-aktor non negara seperti LSM,
pengusaha, kelompok mahasiswa, dan sebagainya (Wahab, 2002 : 5).
Selanjutnya Young dan Quinn (1991, seperti dikutip dalam Suharto,
2005:44) merangkum beberapa konsep kunci tentang kebijakan publik, yaitu:
a. Tindakan pemerintah yang berwenang. Kebijakan publik adalah
tindakan yang dibuat dan diimplementasikan oleh badan pemerintah
yang memiliki kewenangan hukum, politis, dan finansial untuk
melakukannya
b. Sebuah reaksi terhadap kebutuhan dan masalah dunia nyata. Kebijakan
publik berupaya merespons masalah atau kebutuhan kongkrit yang
berkembang di masyarakat
c. Seperangkat tindakan yang berorientasi pada tujuan. Kebijakan publik
biasanya bukanlah sebuah keputusan tunggal, melainkan terdiri dari
beberapa pilihan tindakan atau strategi yang dibuat untuk mencapai
tujuan tertentu demi kepentingan orang banyak
d. Sebuah keputusan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu.
Kebijakan publik pada umumnya merupakan tindakan kolektif untuk
14
memecahkan masalah sosial. Namun, kebijakan publik juga bisa
dirumuskan berdasarkan keyakinan bahwa masalah sosial akan dapat
dipecahkan oleh kerangka kebijakan yang sudah ada dan karenanya
tidak memerlukan tindakan tertentu
e. Sebuah justifikasi yang dibuat oleh seorang atau beberapa orang aktor.
Kebijakan publik berisi pernyataan atau justifikasi terhadap langkah-
langkah atau rencana tindakan yang telah dirumuskan, bukan sebuah
maksud atau janji yang belum dirumuskan. Keputusan yang telah
dirumuskan dalam kebijakan publik bisa dibuat oleh sebuah badan
pemerintah, maupun oleh beberapa perwakilan lembaga pemerintah.
Menurut Anderson (1984, seperti dikutip dalam Abidin, 2002 : 41),
kebijakan publik merupakan strategi pemerintah untuk mencapai tujuannya.
Tujuan dari tindakan pemerintah tersebut tidak mudah dirumuskan dan tidak
selalu sama, namun secara umum kebijakan publik selalu menunjukkan sejumlah
ciri tertentu, yaitu:
a. Setiap kebijakan merupakan tindakan dan perilaku yang berorientasi
pada tujuan yang jelas, bukan sekadar tindakan yang acak atau
dilakukan karena ada kesempatan membuatnya.
b. Kebijakan publik merupakan kesatuan dari beberapa tindakan.
Kebijakan tidak berdiri sendiri, terpisah dari kebijakan yang lain, yang
dilakukan oleh aparat pemerintah
c. Kebijakan adalah sesuatu yang dilakukan oleh pemerintah, bukan
sesuatu yang dikatakan akan dilaksanakan atau ingin dilaksanakan.
15
d. Kebijakan dapat berupa larangan atau arahan dan anjuran untuk
melaksanakan sesuatu.
e. Kebijakan publik didasarkan pada hukum dan memiliki kewenangan
untuk memaksa masyarakat mematuhinya.
2.1.2 Analisis kebijakan
Kaplan (1971 seperti dikutip dalam Dunn, 2003 : 1) menerangkan analisis
kebijakan sebagai aktivitas menciptakan pengetahuan tentang proses pembuatan
kebijakan. Dalam menciptakan pengetahuan tentang proses pembuatan kebijakan,
analis kebijakan meneliti sebab, akibat, kinerja kebijakan, dan program publik.
Sedangkan menurut Quade (1975 seperti dikutip dalam Dunn, 2003 : 95), analisis
kebijakan adalah suatu bentuk analisis yang menghasilkan dan menyajikan
informasi yang dapat menjadi landasan bagi para pembuat kebijakan dalam
membuat keputusan.
Dalam analisis kebijakan, kata analisis digunakan dalam pengertian yang
paling umum, termasuk penggunaan intuisi dan pengungkapan pendapat yang
mencakup tidak hanya pengujian kebijakan dengan memilah-milahkannya ke
dalam sejumlah komponen-komponen, tetapi juga perancangan dan sintesis
alternatif-alternatif baru. Kegiatan-kegiatan yang tercakup dapat direntangkan
mulai dari penelitian untuk menjelaskan atau memberikan pandangan-pandangan
terhadap isu-isu atau masalah-masalah yang terantisipasi sampai mengevaluasi
suatu program yang lengkap. Beberapa analisis kebijakan ada yang bersifat
informal, sehingga meliputi tidak lebih dari proses berpikir yang keras dan cermat,
16
sementara lainnya ada pula yang memerlukan pengumpulan data secara ekstensif
disertai penghitungan teliti melalui proses matematis yang canggih. Tujuan
analisis kebijakan lebih dari sekadar menghasilkan fakta-fakta, namun juga
mencari cara untuk menghasilkan informasi mengenai nilai-nilai dan arah
tindakan yang lebih baik, sehingga analisis kebijakan meliputi evaluasi kebijakan
dan anjurannya.
Analis kebijakan dapat menghasilkan informasi dan argumen-argumen
yang rasional mengenai tiga macam pertanyaan, yaitu :
1. Nilai, yang pencapaiannya merupakan tolok ukur utama untuk melihat
apakah masalah telah teratasi
2. Fakta, yang keberadaannya dapat membatasi atau meningkatkan
pencapaian nilai-nilai
3. Tindakan yang penerapannya dapat menghasilkan pencapaian nilai-
nilai.
Dalam menghasilkan informasi dan argumen tersebut, analis dapat
menggunakan satu atau lebih pendekatan dalam analisis kebijakan, yaitu empiris,
evaluatif, dan normatif. Pendekatan empiris berupaya menjelaskan sebab dan
akibat dari kebijakan publik, sehingga pertanyaan yang berupaya dijawab adalah
mengenai suatu fakta (apakah sesuatu itu ada dan akan ada). Pada pendekatan ini
analis misalnya dapat menjelaskan atau meramal belanja publik untuk kesehatan,
pendidikan, atau transportasi. Pada pendekatan evaluatif, kegiatan analis
utamanya adalah menentukan nilai dari suatu kebijakan. Pada pendekatan ketiga,
yaitu normatif, analis berupaya memberikan usulan mengenai arah-arah tindakan
17
untuk memecahkan suatu problem kebijakan, sehingga tipe pertanyaannya
mengenai tindakan apa yang harus dilakukan dan tipe informasi yang dihasilkan
bersifat anjuran.
2.1.3 Lingkungan kebijakan
Lingkungan kebijakan merupakan konteks spesifik di mana peristiwa-
peristiwa di sekitar isu-isu kebijakan terjadi (Dunn, 2003: 133). Menurut Evan
(1980, seperti dikutip dalam Abidin, 2002: 158), proses perumusan kebijakan
dapat dipandang sebagai sebuah hubungan antarorganisasi (interorganizational
relations). Lingkungan kebijakan yang mempengaruhi proses pengambilan
keputusan organisasi dibagi dalam tiga lapisan seperti dideskripsikan pada
Gambar 2.1.
Dari perspektif Evan, instansi pemerintah merupakan suatu organisasi
yang berada dalam lingkup wawasan yang lebih luas, dan merupakan salah satu
elemen dari suatu sistem nasional dan internasional. Lapisan pertama pada model
Evan tersebut adalah lingkungan terdekat (intimate environment), yaitu
lingkungan yang dibatasi oleh batasan unit organisasi. Pada lingkungan ini
elemen-elemen dalam satu unit organisasi berintegrasi secara rutin di dalamnya.
Pada lapisan berikutnya yang berada di luar organisasi terdapat unit-unit
organisasi lain yang berinteraksi dalam lingkungan yang lebih luas, disebut
dengan lingkungan antara (intermediate environment). Interaksi pada lingkungan
ini tidak berlangsung secara rutin, hanya sewaktu-waktu. Berikutnya terdapat
18
lingkungan luar (external environment) yang meliputi lingkungan-lingkungan
antara. Lingkungan ini berupa negara, kawasan, atau dunia secara menyeluruh.
Sumber: Abidin, 2002: 163.
2.1.4 Pariwisata
World Tourism Oganization (WTO) mengembangkan definisi-definisi
mendasar tentang konsep-konsep kunci yang terkait dengan kepariwisataan (Gee,
2000 : 267) yaitu:
1. Pariwisata : merupakan aktivitas perjalanan dan tinggal dari orang-
orang menuju ke luar lingkungan mereka yang biasa selama tidak lebih
dari setahun untuk bersenang-senang, bisnis, atau tujuan lainnya
Lingkungan Intermediate
Lingkungan
Intim
Lingkungan Eksternal
Gambar 2.1 Lingkungan Kebijakan
19
2. Wisatawan: merupakan pengunjung yang menginap sedikitnya selama
satu malam pada fasilitas akomodasi di lokasi yang dikunjungi
3. Ekskursionis : pengunjung yang tidak menginap pada fasilitas
akomodasi di lokasi yang dikunjungi
4. Pengunjung : setiap orang melakukan perjalanan ke luar lingkungan
mereka yang biasa selama kurang dari 12 bulan secara berturut-turut
yang tujuan kunjungannya tidak untuk bekerja pada tempat yang
dikunjungi
Sedangkan Soekadijo (2000 : 2) menyebutkan pariwisata sebagai segala
kegiatan dalam masyarakat yang berhubungan dengan wisatawan. Dalam
pengertian tersebut wisatawan dimaknai sebagai orang yang mengadakan
perjalanan dari tempat kediamannya tanpa menetap di tempat yang didatanginya.
Sementara Burkart dan Medlik (1987, seperti dikutip dalam Soekadijo, 2000 : 3)
menyebutkan pariwisata sebagai perpindahan orang untuk sementara dan dalam
jangka waktu pendek, ke tujuan-tujuan di luar tempat di mana mereka biasanya
hidup dan bekerja, termasuk kegiatan-kegiatan mereka selama tinggal di tempat-
tempat itu.
Bila merujuk pada Undang-Undang No 9 tahun 1990 tentang
kepariwisataan, pariwisata adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan
wisata, termasuk pengusahaan objek dan daya tarik wisata serta unsur-unsur yang
terkait di bidang itu. Sedangkan wisata adalah kegiatan perjalanan atau sebagian
dari kegiatan tersebut yang dilakukan secara suka rela serta bersifat sementara
untuk menikmati objek dan daya tarik wisata. Sebaliknya, yang dimaksud daya
20
tarik wisata bisa berhubungan pada budaya atau lingkungan alam yang dimiliki
oleh masyarakat lokal. Lebih lanjut disebutkan bahwa kepariwisataan adalah
segala sesuatu yang berhubungan dengan penyelenggaraan pariwisata. Dengan
memperhatikan pengertian pariwisata seperti uraian di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa pariwisata merupakan gejala sosial yang sangat kompleks,
menyangkut manusia seutuhnya dan memiliki berbagai aspek seperti sosiologis,
budaya, politik, psikologis, ekonomis, dan ekologis.
Pengembangan pariwisata di suatu daerah tentu memiliki tujuan-tujuan
khusus dalam rangka meningkatkan tingkat kehidupan di daerah tersebut. Dalam
UU No 9 tahun 1990 tentang kepariwisataan, tujuan pengembangan
kepariwisataan disebutkan sebagai berikut:
1. Memperkenalkan, mendayagunakan, melestarikan, dan meningkatkan
mutu objek dan daya tarik wisata.
2. Memupuk rasa cinta tanah air dan meningkatkan persahabatan
antarbangsa.
3. Memperluas dan memeratakan kesempatan berusaha serta
memperluas lapangan kerja.
4. Meningkatkan pendapatan nasional dalam rangka meningkatkan
kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.
5. Mendorong pendayagunaan produksi nasional.
Dengan perspektif sistem, Soekadijo (2000) mengkaji pariwisata sebagai
suatu mobilitas spasial. Dalam model mobilitas spasial tersebut Soekadijo
menetapkan sejumlah variabel yang menjadi determinan mobilitas spasial yang
21
terdiri dari motif wisata, atraksi wisata, jasa wisata, dan transferabilitas. Walau
demikian determinan tersebut masih berupa potensi, yang hanya dapat
diaktualisasikan bila didukung oleh aktivitas pemasaran yaitu publikasi, promosi,
dan penjualan seperti terdapat pada Gambar 2.3.
Lebih lanjut Soekadijo (2000 : 34) menjelaskan, mobilitas spasial tersebut
hanya akan terjadi bila ada kesesuaian antara atraksi wisata dan motif wisata.
Manusia hanya dapat bergerak ke suatu tempat untuk mencari sesuatu bila ia
memiliki gambaran bahwa yang dicarinya ada di tempat tersebut. Motif wisata
setiap orang yang mendorong terjadinya perjalanan ini berbeda-beda menurut
tingkat kebudayaannya. Semakin tinggi tingkat kebudayaannya, semakin beragam
kebutuhan dan motifnya.
McIntosh (1972, seperti dikutip dalam Soekadijo, 2000 : 37)
mengklasifikasikan motif-motif wisata sebagai berikut:
a. Motif fisik, yaitu motif-motif yang berhubungan dengan kebutuhan
badaniah seperti olah raga, istirahat, kesehatan, dan sebagainya.
b. Motif budaya, yang harus diperhatikan di sini adalah bahwa yang
bersifat budaya itu motif wisatawan, bukan atraksinya yang dapat
berupa pemandangan alam, flora dan fauna. Wisatawan dengan motif
budaya sering datang ke tempat tujuan wisata ke tempat tujuan wisata
untuk mempelajari atau sekadar mengenal atau memahami tata cara
serta kebudayaan bangsa atau daerah lain yang mencakup kebiasaan,
kehidupan sehari-hari, bangunan unik, musik, tarian, dan sebagainya
22
c. Motif interpersonal, yang berhubungan dengan keinginan untuk
bertemu keluarga, teman, tetangga, atau berkenalan dengan orang-
orang tertentu, berjumpa atau sekadar dapat melihat tokoh-tokoh
terkenal seperti penyanyi, penari, bintang film, tokoh-tokoh politik,
dan sebagainya.
d. Motif status atau prestise. Banyak orang beranggapan bahwa orang
yang pernah mengunjungi tempat-tempat lain dengan sendirinya dapat
melebihi sesamanya yang tidak pernah bepergian. Orang yang pernah
bepergian ke daerah-daerah lain merasa naik gengsi atau statusnya.
Sumber : Soekadijo ( 2000: 25).
Wisatawan
Motif Wisata
Kebutuhan Wisata
Atraksi WIsata
Daerah Tujuan Wisata
Jasa Wisata
Pem
asar
an
Aktu
alisa
si Pe
rjalan
an
Tran
sfer
abilit
as
Angk
utan
= Komplementaritas
Gambar 2.2 Pariwisata Sebagai Mobilitas Spasial
23
Berdasarkan uraian McIntosh tersebut Soekadijo (2000 : 38) membuat
sejumlah subkelas motif wisata dan tipe aktivitas wisatanya, yaitu:
1. Motif bersenang-senang atau tamasya : wisatawan tipe ini ingin
mengumpulkan pengalaman sebanyak-banyaknya, mendengarkan, dan
menikmati apa saja yang menarik perhatiannya.
2. Motif rekreasi : kegiatan-kegiatannya dapat berupa olah raga, tamasya,
atau sekadar bersantai menikmati hari libur.
3. Motif kebudayaan : dalam tipe wisata kebudayaan, orang tidak hanya
menyaksikan dan menikmati atraksi, namun juga mengadakan
penelitian tentang keadaan setempat.
4. Wisata Olah raga : merupakan pariwisata di mana wisatawan
mengadakan perjalanan karena motif olah raga, baik untuk
melaksanakan kegiatan berolah raga maupun untuk menyaksikan suatu
event olah raga.
5. Wisata Bisnis : bentuknya berupa kunjungan, pertemuan, pameran,
yang membuat kontak dalam kegiatan ini berkembang menjadi
hubungan bisnis yang mantap.
6. Wisata Konvensi : bentuknya berupa pertemuan-pertemuan berskala
nasional, global untuk membicarakan suatu masalah tertentu.
Pertemuan ini ada yang diselenggarakan secara rutin oleh suatu
organisasi profesi.
24
7. Motif Spiritual: merupakan tipe wisata yang tertua. Sebelum orang
mengadakan perjalanan untuk rekreasi dan bisnis orang sudah
mengadakan perjalanan untuk berziarah atau untuk keperluan
keagamaan lainnya. Wisata ziarah merupakan bagian dari aktivitas
wisata spiritual ini.
8. Motif Interpersonal: suatu aktivitas perjalanan wisata yang didorong
oleh keinginan untuk bertemu orang lain
9. Motif Kesehatan : suatu bentuk perjalanan wisata yang berorientasi
pada penyembuhan dari suatu penyakit
Faktor mendasar yang mendorong wisatawan melakukan perjalanan wisata
adalah daya tarik yang dimiliki suatu destinasi. Inskeep (1991: 77)
mengelompokkan daya tarik wisata ke dalam tiga kategori yaitu :
a. Daya tarik alam, yang berdasarkan pada kondisi lingkungan alam.
b. Daya tarik budaya, yang berdasar pada aktivitas manusia.
c. Daya tarik khusus, yang merupakan buatan manusia.
Daya tarik alamiah tersebut seperti dijelaskan Inskeep, meliputi iklim,
pemandangan indah seperti pantai dan lautan, flora dan fauna, bentangan alam
khusus, taman nasional dan wilayah konservasi. Daya tarik budaya mencakup
beberapa hal seperti situs arkeologis, situs bersejarah, budaya lokal yang khas,
kesenian, kerajinan tangan, aktivitas ekonomi yang menarik, wilayah perkotaan
yang bagus, museum, fasilitas budaya lainnya, festival budaya, dan keramah-
tamahan penduduk. Daya tarik khusus tersebut tidak terkait dengan daya tarik
alam atau budaya, melainkan dirancang oleh manusia sehingga memiliki nilai
25
daya tarik. Yang termasuk dalam daya tarik khusus ini misalnya taman hiburan,
sirkus, pusat perbelanjaan, pertemuan, konferensi dan pameran, acara-acara
khusus, kasino, hiburan, rekreasi dan olah raga.
Di samping berbagai daya tarik yang telah disebutkan tadi, fasilitas-
fasilitas penunjang aktivitas kepariwisataan juga dapat menjadi daya tarik bagi
wisatawan. Fasilitas wisatawan yang khas dan luar biasa juga dapat menjadi
sumber daya tarik, misalnya hotel dan resort dengan desain yang indah. Mode
transportasi yang unik dan khas pun dapat menjadi daya tarik bagi wisatawan.
Selain itu, makanan juga termasuk faktor yang tidak dapat ditinggalkan sebagai
daya tarik. Ini terjadi bila makanan tersebut disajikan dengan sangat baik dan
bercita rasa tinggi. Tidak itu saja, masih ada banyak faktor lainnya yang perlu
diperhitungkan sebagai sumber daya tarik suatu destinasi, seperti asosiasi
keagamaan, suku bangsa, dan nostalgia. Di luar faktor-faktor tersebut, stabilitas
politik, kesehatan dan keselamatan publik turut menjadi pertimbangan bagi daya
tarik wisatawan. Yang tidak kalah penting, besarnya biaya yang harus dikeluarkan
untuk melakukan perjalanan juga menjadi faktor penting.
2.1.5 Perencanaan pariwisata
Terkait dengan penjelasan Soekadijo, Yoeti (1997:2) mengatakan bahwa
pariwisata bukanlah kegiatan yang dapat diwujudkan secara spontan karena
terdapat sejumlah aspek yang eksistensinya dibutuhkan, dan perlu menjadi bahan
kajian dalam perencanaan dan pengembangan pariwisata, yaitu:
26
1. Wisatawan: pengembangan pariwisata harus didahului dengan
penelitian tentang karakteristik wisatawan yang diharapkan datang.
Dari negara mana saja mereka datang, anak muda atau orang tua,
pensiunan atau pegawai biasa, apa kesukaannya, dan pada musim apa
saja mereka melakukan perjalanan.
2. Pengangkutan: penelitian selanjutnya adalah bagaimana fasilitas
transportasi yang tersedia atau yang akan digunakan, baik untuk
membawa wisatawan dari negara asal ke daerah tujuan wisata yang
akan dituju. Selain itu, bagaimana pula transportasi lokal bila
melakukan perjalanan wisata di daerah tujuan wisata yang dikunjungi.
3. Atraksi/objek wisata: bagaimana objek dan atraksi yang akan dijual,
apakah memenuhi tiga syarat seperti:
- apa yang dapat dilihat (something to see)
- apa yang dapat dilakukan (something to do)
- apa yang dapat dibeli (something to buy), di daerah tujuan wisata
yang akan dikunjungi
4. Fasilitas pelayanan: fasilitas apa saja yang tersedia di daerah tujuan
wisata tersebut, bagaimana akomodasi, perhotelan, restoran, pelayanan
umum seperti bank/money changer, kantor pos, telepon, faksimili,
internet, di daerah tujuan wisata yang akan dikunjungi wisatawan.
5. Informasi dan Promosi: calon wisatawan perlu memperoleh informasi
tentang daerah tujuan wisata yang akan dikunjunginya. Untuk itu perlu
dipikirkan cara-cara publikasi atau promosi yang akan dilakukan.
27
Kapan iklan harus dipasang, ke mana leaflets/brosur harus disebarkan,
sehingga calon wisatawan mengetahui tiap paket wisata yang ada dan
memudahkan calon wisatawan dalam mengambil keputusan.
Agar perkembangan pariwisata di suatu daerah dapat berjalan sesuai
harapan, maka sudah sewajarnya para pembuat kebijakan yang bermaksud
mengembangkan pariwisata di wilayah kerjanya harus melakukan serangkaian
kegiatan perencanaan. Pentingnya perencanaan dalam pengembangan pariwisata
disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut (Paturusi, 2003) :
1. Kegiatan pariwisata merupakan suatu kegiatan ekonomi yang relatif
baru. Dengan demikian pemerintah dan pihak swasta memiliki
informasi dan pengalaman yang terbatas tentang bagaimana
mengembangkan sektor ini dengan baik. Perencanaan pariwisata dapat
menjadi arahan dan pedoman dalam mengembangkannya.
2. Kegiatan pariwisata merupakan kegiatan yang sangat kompleks,
multisektoral, dan melibatkan berbagai bidang seperti pertanian,
perikanan, manufakturing, kebudayaan, pertamanan, berbagai fasilitas
pelayanan dan jasa, transportasi, dan infrastruktur lainnya.
Perencanaan dan koordinasi untuk memadukan unsur-unsur tersebut
menjadi mutlak.
3. Pariwisata dapat mendatangkan keuntungan ekonomis baik secara
langsung maupun tidak langsung. Dengan perencanaan yang baik,
keuntungan ini dapat dioptimalkan.
28
Inskeep (1991:49) menjelaskan serangkaian tahapan yang harus ditempuh
dalam proses perencanaan, sebagai berikut:
1. Persiapan Studi
2. Penentuan Tujuan
3. Survei
4. Analisis dan Sintesis
5. Formulasi Kebijakan dan Perencanaan
6. Rekomendasi
7. Implementasi dan Pengawasan. Ini merupakan tahap akhir dari seluruh
proses perencanaan pengembangan pariwisata.
Tentang perencanaan, strategi pengelolaan, dan evaluasi pariwisata,
Spillane (1997: 28) memaparkan beberapa pendekatan yang dapat digunakan,
yaitu:
1. Pendekatan advocacy: pendekatan ini mendukung pariwisata dan
menekankan keuntungan ekonomis dari pariwisata. Potensi pariwisata
bisa dipakai untuk mendukung bermacam-macam kegiatan ekonomis,
menciptakan lapangan kerja baru, dan memperoleh devisa asing yang
dibutuhkan bagi pembangunan. Perkembangan pendekatan ini
mencapai puncaknya pada tahun 1960-an dan terus menarik perhatian
pengkaji dan pengembang pariwisata
2. Pendekatan cautionary: karena pariwisata baru dipandang dari satu
sisi saja, ada dorongan untuk memunculkan pendekatan lain yang
kemudian dikenal sebagai pendekatan cautionary. Pendekatan ini
29
muncul pada tahun 1970-an, baik yang mempertanyakan maupun yang
menolak sama sekali pendekatan advocacy. Mereka yang berada pada
sisi pendekatan cautionary menekankan bahwa pariwisata dapat
menyebabkan banyak kerugian (disbenefits) dalam berbagai aspek
sosio-ekonomi, seperti menimbulkan lapangan kerja musiman dan
kasar (rendahan), mengakibatkan kebocoran devisa, komersialisasi
budaya, serta menyebabkan berbagai macam konflik.
3. Pendekatan adaptacy: karena kedua pendekatan tersebut saling
berlawanan, muncul bentuk pendekatan baru yang berpandangan
bahwa pariwisata mempunyai unsur positif maupun negatif.
Pendekatan adaptacy menyebutkan bahwa pengaruh negatif pariwisata
dapat dikontrol dengan mencari bentuk lain perkembangan pariwisata
dari yang selama ini dikenal umum, atau dengan menyesuaikan
pariwisata dengan kondisi di negara atau daerah tujuan wisata. Cara
berpikir baru ini didasarkan pada pandangan bahwa alam dan budaya
dapat digabungkan dalam satu konteks. Pendekatan ini mengusulkan
strategi pembangunan pada skala kecil, pariwisata yang terkontrol,
pariwisata yang dapat bertahan lama (sustainable), pariwisata dengan
cara menikmati kehidupan masyarakat setempat, dan pariwisata yang
berkaitan dengan ekologi (eco-tourism). Pendekatan ini membuat
manusia sadar akan bahaya pariwisata massa (mass tourism). Karena
itu pendekatan ini mengusulkan beraneka ragam bentuk alternatif
untuk mengembangkan pariwisata. Contohnya adalah agrowisata,
30
community tourism, cottage tourism, rural tourism. Semua alternatif
tersebut dikenal sebagai pendekatan developmental. Alternatif ini
menganggap bahwa pariwisata dapat disesuaikan dengan keadaan
masyarakat tuan rumah dan peka akan selera masyarakat tuan rumah.
4. Pendekatan knowledge based: pendekatan ini adalah pandangan yang
didasarkan pada ilmu pengetahuan. Dengan memanfaatkan beberapa
hal yang positif dan negatif dari semua pandangan di atas, pendekatan
ini menggunakan pandangan sistematis terhadap pariwisata. Selain itu,
pendekatan ini juga menganggap bahwa pariwisata adalah bidang
penelitian yang multidisipliner dan cenderung menerapkan teori dan
metode dari berbagai bidang yang berkaitan dengan pariwisata.
Pendekatan ini menggabungkan beberapa bidang pengetahuan sebagai
landasannya. Di samping itu, pendekatan ini tetap membuka diri
terhadap ketiga pendekatan lainnya. Pendekatan knowledge based ini
secara selektif menggabungkan ketiga pendekatan lain dengan masing-
masing memberikan kontribusinya sendiri.
2.1.6 Kebijakan pariwisata
Kebijakan pariwisata umumnya dipandang sebagai bagian dari kebijakan
ekonomi. Kebijakan ekonomi terkait dengan struktur dan pertumbuhan ekonomi
yang biasanya diwujudkan dalam suatu perencanaan, misalnya berjangka waktu
10 tahun, yang memproyeksikan kondisi-kondisi yang ingin dicapai pada dekade
mendatang, serta merencanakan pertumbuhan ekonomi pada kurun waktu
31
tersebut. Beberapa faktor kunci yang menjadi perhatian kebijakan ekonomi
misalnya ketenagakerjaan, investasi dan keuangan, industri-industri yang penting,
serta perdagangan (Gee, 2000 : 287).
Berbagai kebijakan suatu negara sangatlah terkait dan merefleksikan
kompleksitas dan dinamika kemajuan masyarakatnya. Perubahan pada satu area
kebijakan akan mempengaruhi terjadinya perubahan pada area kebijakan lainnya.
Karena itu, para pembuat kebijakan pariwisata harus mengadopsi suatu perspektif
yang komprehensif dengan mempertimbangkan berbagai dampak yang mungkin
terjadi, serta keterkaitan antara pariwisata dengan masyarakat.
Lebih lanjut Gee menjelaskan bahwa formulasi kebijakan pariwisata
merupakan tanggung jawab penting yang harus dilakukan oleh pemerintah yang
ingin mengembangkan atau mempertahankan pariwisata sebagai bagian yang
integral dalam perekonomian. Kebijakan pariwisata menunjukkan tujuan-tujuan
dan arah, strategi dan sasaran yang dilakukan untuk mewujudkan kemajuan-
kemajuan dan pembangunan yang diinginkan masyarakatnya.
Hal tersebut membuat kebijakan pariwisata harus mempertimbangkan
sejumlah isu kebijakan misalnya seperti (Gee, 2000 : 287) :
- Peran pariwisata dalam perekonomian (Seberapa penting peran
pariwisata terhadap ekonomia secara keseluruhan?, Seberapa
penting peran pariwisata terhadap industri lainnya?)
- Pengendalian pengembangan pariwisata. (Pengembangan
pariwisata seperti apa yang diinginkan dan sesuai denga kondisi
yang ada? Di mana pengembangan harus dilakukan?)
32
- Administrasi pariwisata. (Pada level mana pariwisata perlu
diwakili pada struktur kelembagaan pemerintah?)
- Dukungan pemerintah terhadap pariwisata. (Seberapa besar jumlah
sumber daya pemerintah yang harus diarahkan untuk mendukung
dan menumbuhkan pariwisata?)
- Dampak pariwisata. (Dampak-dampak seperti apa, baik positif
maupun negatif, yang akan ditimbulkan pariwisata terhadap
masyarakat, kebudayaan, dan lingkungan?)
2.2 Landasan Teori
Teori sistem dalam ilmu sosial merupakan pengembangan dari konsep
sistem yang digunakan dalam ilmu biologi. Sistem sosial termasuk politik
dipandang seperti sistem biologi, yang menjelaskan bahwa setiap sub-sistem
saling memiliki keterkaitan antara satu sama lainnya. Perubahan pada satu
komponen akan mengakibatkan perubahan pada komponen lainnya. Tradisi ini
berkembang pada sekitar abad ke-19, dengan menggunakan konsep-konsep
biologi dalam ilmu politik sebagai pengganti penggunaan konsep fisika yang
sempat banyak digunakan pada abad ke-18. Dalam pendekatan ini negara tidak
lagi dipandang sebagai mesin, melainkan mahluk yang hidup dan berkembang
biak. Karena itu negara harus dipahami dengan teori tentang kehidupan organik
yang berakar dari pemikiran Darwin, bukan teori tentang jagad raya oleh Newton.
(Roskin, et.al, 1994:20). Dengan cara pandang yang baru tersebut maka
pemerintahan juga dipandang sebagai suatu entitas yang dipengaruhi dan diubah
33
oleh lingkungan. Seperti dijelaskan Bronowski (1970, dalam Mas’oed, 1994:
212), pemerintahan dibentuk untuk menjalankan fungsi-fungsi tertentu, dan
fungsi-fungsi itu dijalankan karena desakan untuk hidup atau demi
mempertahankan eksistensinya.
Easton mengadaptasi konsep sistem pada ilmu biologi tersebut menjadi
pendekatan sistem yang intinya menjelaskan bahwa suatu kebijakan tidak
mungkin terbentuk dalam suatu ruang sosial yang vakum, namun suatu kebijakan
terbentuk karena interaksnya dengan lingkungan sekitar. Dalam model ini terdapat
lima instrumen penting untuk memahami proses pengambilan keputusan sebuah
kebijakan yaitu input, proses, output, feedback/umpan balik, dan lingkungan itu
sendiri, seperti terdapat pada Gambar 2.3.
Input dalam sistem politik mencakup tuntutan, dukungan, maupun sikap
apatis yang berasal dari partai politik, warga negara, kelompok kepentingan dan
berbagai komponen infrastruktur politik lainnya yang oleh pembuat kebijakan di
pemerintahan selanjutnya diproses menjadi output berupa tindakan-tindakan dan
keputusan-keputusan yang otoritatif (Apter, 1987: 252). Output dari suatu sistem
politik juga merupakan alokasi nilai-nilai yang otoritatif, dan alokasi-alokasi ini
dinyatakan sebagai kebijakan publik (Thoha, 2002: 117).
Pada tahap berikutnya output ini memberikan dampak kepada lingkungan
ekonomi, politik, dan sosial, baik yang disukai atau tidak disukai masyarakat.
Dampak tersebut selanjutnya menjadi umpan balik berupa input baru, yaitu
tuntutan dan dukungan yang bisa membuat pembuat kebijakan akhirnya
mengubah keputusan sebelumnya. Apa yang terjadi dalam elemen proses pada
34
model ini tidak diungkap, sehingga disebut dengan kotak hitam/black box.
Menurut Easton apa yang terjadi di dalam black box jauh lebih rumit daripada
sekadar pemrosesan tuntutan. Di dalamnya terjadi tarik-menarik kepentingan
antara berbagai komponen di dalam pemerintahan (Roskin, et.al, 1994 : 21).
Sumber: Roskin, et.al, 1994: 21
Teori sistem sangat membantu dalam mengorganisasikan variabel-variabel
dalam analisis kebijakan, seperti bagaimana input lingkungan mempengaruhi
kebijakan publik dan sifat sistem politik? Bagaimana kebijakan publik
mempengaruhi lingkungan dan permintaan kegiatan selanjutnya? Kekuatan dan
faktor lingkungan apakah yang bertindak dalam menimbulkan permintaan pada
sistem politik? Bagaimana sistem politik dapat mengubah tuntutan dalam
kebijakan publik dan mempertahankan dirinya sepanjang waktu? (Agustino, 2006
: 21).
Proses konversi oleh Pembuat Kebijakan di
Pemerintahan
Lingkungan Ekonomi, Sosial, dan Politik
Keputusan dan tindakan
Tuntutan
Apatisme
Dukungan
Output Input
Umpan Balik
Gambar 2.3 Model Sistem Politik David Easton
35
2.3 Model Penelitian
Kebijakan publik merupakan sebuah fenomena yang kompleks, sehingga
untuk memahaminya perlu dilakukan penyederhanaan melalui pengorganisasian
konsep dan ide melalui model-model dan pemetaan (Parsons, 2005 : 59). Model
merupakan abstraksi dari fenomena, yang dibuat untuk memudahkan
memudahkan pemahaman. Dengan penggunaan model, pemikiran tentang
fenomena yang dikaji menjadi lebih sederhana dan jelas, variabel-variabel penting
dalam fenomena akan lebih mudah diidentifikasi, sehingga membantu
mengarahkan penelitian (Mas’oed, 1994 : 217).
Berdasarkan model sistem politik Easton tersebut, penulis selanjutnya
mengkonstruksi model teoritik yang menjadi panduan dalam penelitian ini.
Variabel yang dimasukan ke dalam komponen input adalah lingkungan kebijakan
adalah pariwisata internasional, pariwisata nasional, dan kondisi kepariwisataan di
tingkat lokal. Input tersebut selanjutnya menjalani proses yang menghasilkan
output berupa kebijakan pengembangan pariwisata di Kota Kediri. Model yang
dibangun tersebut digambarkan pada Gambar 2.4.
36
OUTPUT
KEBIJAKAN PENGEMBANGAN
PARIWISATA
PROSES PEMBUATAN KEBIJAKAN
INPUT
PERKEMBANGAN KEPARIWISATAAN DI TINGKAT INTERNASIONAL
TUNTUTAN DAN DUKUNGAN TERHADAP PENGEMBANGAN PARIWISATA DI TINGKAT LOKAL
PERKEMBANGAN KEPARIWISATAAN DI TINGKAT NASIONAL
Umpan Balik
Gambar 2.4 Model Penelitian
37
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Rancangan Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan metode kualitatif, yang
didukung dengan penggunaan teknik-teknik pada studi literatur dan penelitian
lapangan. Studi literatur dilakukan pada literatur teknis dan literatur non teknis
berupa pengkajian terhadap data dan informasi yang relevan tentang kebijakan
dan kepariwisataan Kota Kediri seperti peraturan daerah, dokumen perencanaan
pembangunan daerah, buku profil Kota Kediri, buku laporan pertanggungjawaban
walikota, laporan APBD, petikan data dan informasi dari buku-buku teks dan
penelitian terkait, serta laporan media cetak lokal dan nasional yang terkait
dengan masalah penelitian. Metode ini terutama sekali digunakan untuk
menjawab pertanyaan penelitian no 1 dan 2 pada penelitian ini, yaitu kebijakan
pengembangan pariwisata Kota Kediri serta peta permasalahan kepariwisataan di
tingkat internasional, nasional yang melingkupi kepariwisataan Kota Kediri.
Teknik-teknik pada penelitian lapangan digunakan untuk memecahkan persoalan
seperti terangkum pada pertanyaan penelitian no 3, yaitu kebijakan yang perlu
ditempuh untuk pengembangan pariwisata lebih lanjut.
Merujuk pada pengertian penelitian lapangan menurut Unaradjan (2000 :
211), kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan pada penelitian lapangan ini bertujuan
untuk melakukan eksplorasi, bukan untuk menguji hipotesis tertentu. Sesuai
dengan penelitian lapangan pada umumnya, sasaran awal yang dituju tidak
38
diketahui sebelumnya (open ended), bahkan hasilnya dapat terus berkembang dari
waktu ke waktu.
Berdasarkan penjelasan Neuman (1997 : 344) tentang penelitian lapangan,
maka pada penelitian ini penulis berinteraksi dengan kelompok sosial di Kota
Kediri, seperti kalangan pemerintah, kelompok masyarakat, kalangan pers, untuk
mengetahui dan mempelajari kondisi sosial ekonomi serta masalah-masalah
kepariwisataan Kota Kediri. Selanjutnya tahap-tahap kegiatan yang dilaksanakan
dalam penelitian ini berpedoman pada Neuman (1997) di antaranya yaitu:
1. Membaca literatur-literatur terkait
2. Mencari akses/ijin masuk ke lokasi penelitian.
3. Masuk ke lokasi penelitian dan menjalin hubungan sosial dengan
anggota kelompok sosial.
4. Mengamati, menyimak, dan mengumpulkan data-data penting.
5. Mulai menganalisa data, membangun kerangka pemikiran
6. Melakukan wawancara dengan anggota-anggota kelompok yang
diteliti.
7. Meninggalkan lokasi penelitian.
8. Melengkapi analisis dan menulis laporan.
Berdasarkan panduan Neuman (1997) pula, selama penelitian lapangan ini
penulis melaksanakan sejumlah kegiatan sebagai berikut:
1. Mengamati kejadian-kejadian dan aktivitas harian pemerintahan serta
masyarakat di Kota Kediri, termasuk kejadian-kejadian yang tidak
umum.
39
2. Berinteraksi secara langsung dengan pihak-pihak yang menjadi objek
penelitian dan mengalami secara langsung kehidupan sosial di Kota
Kediri dengan menggunakan beragam teknik dan kemampuan
bersosialisasi yang fleksibel sesuai tuntutan situasi di lingkungan
pemerintah maupun masyarakat Kota Kediri.
3. Mengamati berbagai kegiatan yang dilaksanakan dalam rangka
pengembangan kepariwisataan secara holistik.
4. Memperhatikan aspek eksplisit maupun implisit budaya masyarakat
setempat.
5. Mengamati proses-proses sosial yang terjadi tanpa melakukan campur
tangan.
6. Mengumpulkan data pendukung berupa catatan-catatan, termasuk
diagram, peta, gambar, foto, untuk memberikan deskripsi yang rinci
tentang kepariwisataan Kota Kediri.
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Kota Kediri, Provinsi Jawa Timur.
Pengamatan dan pencarian data dilakukan di objek wisata yang dikembangkan
oleh pemerintah Kota Kediri serta kantor-kantor pemerintahan seperti Kantor
Walikota, Kantor Bappeda, Kantor Pariwisata, dan Perpustakaan Kota Kediri.
Pra penelitian dilakukan pada Januari 2005. Pada tahap ini dilakukan
pengamatan dan pengumpulan informasi-informasi awal, pendataan dokumen-
dokumen yang perlu dicari untuk menunjang dengan penelitian. Selanjutnya
40
dilaksanakan tahap-tahap kegiatan penelitian yang meliputi penyusunan proposal,
seminar proposal, penelitian lapangan, penyusunan laporan, hingga tahap
pelaporan seperti terdapat pada Lampiran 1.
3.3 Jenis dan Sumber Data
Untuk melaksanakan penelitian ini penulis memanfaatkan data primer,
berupa informasi yang didapatkan melalui pengamatan langsung di lapangan dan
wawancara kepada informan-informan baik dari pembuat kebijakan maupun
masyarakat, sehingga sebagian besar data yang didapatkan adalah data kualitatif
berupa kumpulan kata-kata, bukan rangkaian angka.
Selain itu penulis juga memanfaatkan data sekunder yang bersumber dari
literatur teknis seperti laporan tentang kajian penelitian dan karya tulis profesional
yang terkait dengan topik penelitian, maupun literatur non teknis seperti laporan,
kaset video, surat kabar, serta berupa dokumen-dokumen resmi yang diterbitkan
pemerintah Kota Kediri seperti Buku Kota Kediri Dalam Angka, Rencana Strategi
Pemerintah Kota Kediri, Rencana Jangka Pendek dan Menengah (RPJM) Daerah
Kota Kediri, Laporan Pertanggungjawaban Walikota Kediri 1999-2004 yang
menjadi data pendukung dalam pengamatan lapangan.
Sebagai bahan pendukung, penulis juga melakukan pencarian data dan
informasi terkait melalui internet. Situs-situs yang dikunjungi guna mendapatkan
data dimaksud di antaranya seperti situs resmi pemerintah Kota Kediri, yaitu
www.kotakediri.go.id, serta pencarian (browsing) di situs-situs lainnya yang
didapatkan dari mesin pencari (search engine) seperti www.google.com.
41
3.4 Instrumen Penelitian dan Teknik Pengumpulan Data
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Buku catatan dan tape recorder. Instrumen ini digunakan untuk
mencatat data-data penting serta merekam wawancara kepada
informan.
2. Kamera digital dan handycam, yang berguna untuk
mendokumentasikan kondisi lingkungan dan aktivitas sosial,
dengan format foto (still image) maupun gambar bergerak (video).
Ada pun jenis spesifikasi alat-alat tersebut sebagai berikut:
1) Kamera digital:
a) Fujifilm FinePix seri 2800Z. Spesifikasi: 2.0
megapixels, 6 x optical zoom, lensa Fujinon Zoom
Lens, 1: 2.8 – 3.0. f = 6 – 36 mm.
b) Nikon D 100. Spesifikasi : 6.0 megapixels, lensa
AF-S Nikkor 24-120 mm, 1:3.5-5.6.
2) Handycam, merk Sony seri TRV740E PAL. Spesifikasi:
420 x digital zoom, 15 x optical zoom, f = 3.6-54 mm,
1:1.6. Perangkat lunak editing video yang digunakan
adalah Ulead Media Studio versi 7.0.
Sesuai dengan jenis penelitian yang digunakan yaitu penelitian lapangan,
maka sebagian besar kegiatan pengumpulan data dilakukan melalui pengamatan
dan pencatatan. Penulis melakukan aktivitas penelitian seperti dijelaskan Neuman
(1997: 361) yang sebagian besar berupa adalah mengamati, mendengarkan, dan
42
membuat catatan-catatan tentang berbagai kegiatan dan kebijakan pemerintah
yang terkait dengan upaya pengembangan pariwisata. Dalam setiap pengamatan
tersebut peneliti membuat catatan-catatan yang memuat peta, rekaman wawancara
dalam bentuk kaset, hingga dokumentasi berupa foto dan video yang di antaranya
tersaji dalam tulisan ini.
Wawancara pada penelitian ini dilaksanakan secara tidak terstruktur
sehingga penulis hanya berpedoman pada pertanyaan yang bersifat garis besar
yang membuat pelaksanaan wawancara tidak kaku, dan dilakukan waktu dan
konteks yang dianggap paling tepat. Pola wawancara yang dilakukan meliputi
pengajuan pertanyaan, menyimak, mengekspresikan ketertarikan, dan merekam
informasi yang disampaikan informan. Dengan demikian wawancara dilakukan
dengan pertanyaan yang mengarah pada kedalaman informasi, serta tidak
dilakukan secara formal terstruktur guna menggali pandangan subjek yang diteliti
tentang banyak hal yang sangat bermanfaat untuk menjadi dasar bagi penelitian
lebih lanjut. Saat menggali informasi tentang pandangan masyarakat misalnya,
penulis memanfaatkan momentum hari minggu saat olah raga di dalam Kawasan
Wisata Selomangleng. Teknik ini merujuk pada Neuman (1997: 371), Unaradjan
(2000: 212), dan Sutopo (2003: 118).
3.5 Analisis Data
Langkah-langkah yang dilakukan untuk menganalisis data berpedoman
pada penjelasan Miles dan Huberman (1992, seperti dikutip dalam Sutopo 2003:
171) yang meliputi 3 kegiatan, yaitu : reduksi data, penyajian data, dan penarikan
43
simpulan. Miles dan Huberman menyebut rangkaian kegiatan analisis data
tersebut sebagai model interaktif seperti terdapat pada Gambar 3.1 berikut:
Penjelasan kegiatan tersebut adalah sebagai berikut:
a. Reduksi Data
Pada tahap ini penulis melakukan proses pemilihan, pemusatan perhatian,
penyederhanan serta pengabstraksian terhadap data yang diperoleh di
lapangan, kemudian dicari tema atau polanya. Reduksi data dilakukan
terus-menerus selama proses penelitian berlangsung. Reduksi data
merupakan bentuk analisis yang menajamkan, menggolongkan,
mengarahkan, membuang yang tidak perlu, dan mengorganisasi data
dengan cara sedemikian rupa hingga kesimpulan-kesimpulan finalnya
dapat ditarik dan diverifikasi.
b. Penyajian Data
Penyajian Data Pengumpulan Data
Reduksi Data Penarikan Simpulan-simpulan/verifikasi
Gambar 3.1 Model Interaktif Analisis Data Miles-Huberman
Sumber: Sutopo ( 2003 : 172)
44
Penyajian data atau display data dimaksudkan agar memudahkan bagi
peneliti untuk melihat gambaran secara keseluruhan atau bagian-bagian
tertentu dari penelitian. Oleh karena itu penulis menyajikan data dalam
bentuk matriks, grafik, bagan dan tabel.
c. Menarik Simpulan
Verifikasi data dalam penelitian kualitatif ini dilakukan secara terus-
menerus sepanjang proses penelitian berlangsung. Sejak awal memasuki
lapangan dan selama proses pengumpulan data peneliti berusaha untuk
menganalisis dan mencari makna dari data yang dikumpulkan, yaitu
mencari pola, tema, hubungan persamaan, hal-hal yang sering timbul,
hipotesis dan sebagainya yang dituangkan dalam kesimpulan yang bersifat
tentatif, akan tetapi dengan bertambahnya data melalui proses verifikasi
secara terus-menerus maka diperoleh kesimpulan yang bersifat ”grounded”.
Dengan kata lain pada setiap kesimpulan senantiasa terus dilakukan
verifikasi selama penelitian berlangsung.
3.6 Cara Penyajian Hasil Analisis Data
Hasil analisis data-data tersebut selanjutnya disajikan melalui pemaparan
secara naratif yang didukung dengan sajian data dan informasi berupa tabel,
gambar, foto, serta didukung pula dengan cuplikan dokumentasi video objek
penelitian dalam format mpeg/ PAL VCD yang didapatkan langsung oleh penulis
selama proses penelitian di lapangan serta sumber sekunder.
45
BAB IV
GAMBARAN UMUM DAN DAYA TARIK WISATA KOTA KEDIRI
4.1 Kondisi Geografis
Secara astronomis, Kota Kediri berada di antara 111º05´ - 112º03´ Bujur
Timur dan 7º45´ - 7º55´ Lintang Selatan dengan luas 63,40 km². Seperti terdapat
pada Lampiran 2, Kota Kediri terletak sekitar 125 km dari arah barat daya Kota
Surabaya, ibu kota Provinsi Jawa Timur. Letak Kota Kediri cukup strategis,
karena dilintasi 7 jalur lintasan primer di Provinsi Jawa Timur, salah satunya
adalah jalur arteri primer Kota Surabaya-Kabupaten Tulungagung. Kini Kota
Kediri juga menjadi bagian penting dan salah satu pusat pengembangan wilayah
Jawa Timur dan Indonesia pada umumya.
Kota Kediri memiliki curah hujan rata-rata antara 1000-2500 mm/ tahun
dengan jumlah hari hujan sekitar 97 hari per tahun. Adapun suhu udara rata-rata
28°C, dengan suhu minimum 24°C dan maksimum 34°C. Dari aspek topografi,
Kota Kediri terletak pada ketinggian rata-rata 67 m di atas permukaan laut,
dengan tingkat kemiringan bervariasi antara antara 0-40 persen. Struktur wilayah
Kota Kediri yang terdiri dari 3 kecamatan terbagi menjadi wilayah timur dan barat
Sungai Brantas, yang dideskripsikan pada Lampiran 3.
Wilayah dataran rendah Kota Kediri terletak di bagian timur sungai,
yang meliputi Kecamatan Kota dan Kecamatan Pesantren. Sedangkan dataran
tinggi terletak pada bagian barat sungai yang termasuk dalam wilayah Kecamatan
Mojoroto. Wilayah di bagian barat sungai ini merupakan lahan kurang subur yang
46
sebagian besar berada dalam kawasan lereng Gunung Klotok (472 m) dan Gunung
Maskumambang (300 m).
Secara administratif wilayah Kota Kediri terdiri dari 3 wilayah kecamatan,
yaitu:
1. Kecamatan Kota dengan luas wilayah 14,900 km² terdiri dari 17
kelurahan
2. Kecamatan Pesantren dengan luas wilayah 23,903 km² terdiri dari 15
kelurahan
3. Kecamatan Mojoroto dengan luas wilayah 24,601 km² terdiri dari 14
kelurahan
4.2 Kependudukan dan Tenaga Kerja
Berdasarkan data registrasi penduduk dari tahun 1985 hingga tahun 1992,
laju pertumbuhan penduduk rata-rata per tahun untuk seluruh Kota Kediri adalah
sebesar 1,08 persen. Selanjutnya pada periode tahun 1993 hingga 2004 laju
pertumbuhan penduduk sebesar 0,3 persen.
Pada tahun 2004 penduduk Kota Kediri berjumlah 239.329 jiwa yang
terdiri dari jenis kelamin laki-laki sebanyak 117.563 jiwa dan perempuan
sebanyak 121.766 jiwa, dengan tingkat kepadatan penduduk sebesar 3798 jiwa/
km². Bila dirinci per kecamatan, berdasarkan data tahun 2003 maka Kecamatan
Kota mempunyai tingkat kepadatan penduduk tertinggi, yaitu sebesar 5754 jiwa
per km² bila dibandingkan dengan dua kecamatan lainnya. Kepadatan penduduk
di Kecamatan Mojoroto mencapai 3502 jiwa per km² dan 2891 jiwa per km² di
47
Kecamatan Pesantren. Perkembangan jumlah penduduk Kota Kediri antara tahun
1997 hingga 2004 dapat dilihat pada Tabel 4.1 berikut:
Tabel 4.1 Jumlah Penduduk Kota Kediri Tahun 1997-2004
Tahun Laki-laki
(jiwa) Perempuan (jiwa) Jumlah
(jiwa) Kepadatan penduduk (jiwa/ km²)
1997 115.616 119.998 235.614 3716 1998 116.055 120.252 236.307 3727 1999 116.135 120.440 236.575 3731 2000 117.192 121.344 238.536 3762 2001 117.278 121.677 238.955 3769 2002 117.916 122.247 240.163 3788 2003 117.628 121.724 239.352 3775 2004* 117.563 121.766 239.329 3775
* pertengahan tahun 2004 Sumber: BPS Kota Kediri, 2004
Dari jumlah tersebut, penduduk yang terdaftar sebagai pencari kerja di
Kota Kediri pada tahun 2002 sebanyak 2461 orang dan pada tahun 2003 terjadi
peningkatan sebesar 6,95 persen menjadi 2632 orang. Tingkat kenaikan jumlah
pencari kerja ini nampaknya tidak sebanding dengan tingkat pertumbuhan peluang
kerja. Karena itulah pemerintah Kota Kediri berupaya mengembangkan lapangan-
lapangan usaha baru yang berpotensi dikembangkan lebih lanjut untuk mengatasi
masalah pengangguran.
Bila dilihat dari struktur ketenagakerjaan yang ada, sebagian besar
penduduk bermata pencaharian pada sektor industri pengolahan seperti terdapat
pada Tabel 4.2. Berdasarkan data tahun 2004, jumlah penduduk yang bekerja pada
sektor industri pengolahan paling mendominasi bila dibandingkan sektor lainnya,
yaitu mencapai 30.488 jiwa (27,39 persen). Kondisi ini dipengaruhi oleh
48
keberadaan PT Gudang Garam, Tbk beserta anak perusahaannya yang
menggerakkan hampir 98 persen perekonomian Kota Kediri. Mata pencaharian
terbesar kedua di Kota Kediri adalah sektor perdagangan, hotel, dan restoran
sebanyak 26.960 jiwa (24,22 persen).
Tabel 4.2 Mata Pencaharian Penduduk Menurut Lapangan Usaha Tahun 2004
No Lapangan Usaha Jumlah
(Jiwa) %
1 Pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan 4620 4,15 2 Pertambangan dan penggalian 309 0,28 3 Industri pengolahan 30.488 27,39 4 Listrik, gas, dan air minum 308 0,28 5 Bangunan konstruksi 4540 4,02 6 Perdagangan, hotel, dan restoran 26.960 24,22 7 Pengangkutan dan komunikasi 7944 7,14 8 Keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan 1408 1,26 9 Jasa-jasa lain 34.727 31,20
Sumber: BPS Kota Kediri,2004
4.3. Perekonomian
Struktur yang terbentuk pada lapangan usaha mempengaruhi struktur
perekonomian Kota Kediri secara sektoral. Pada kurun waktu tahun 1999 hingga
2003, struktur ekonomi Kota Kediri Atas Dasar Harga Berlaku (ADHB)
mengalami pergeseran yang relatif kecil. Seperti terdapat pada Tabel 4.3, struktur
perekonomian Kota Kediri pada periode tersebut didominasi oleh sektor industri
pengolahan. Sektor ini memberi kontribusi sebesar 79,44 persen pada tahun 1999,
78,55 persen pada tahun 2000, 79,37 persen pada tahun 2001, selanjutnya
mencapai 78,93 persen pada tahun 2002, dan 76,29 persen pada 2003 (Semester I,
bulan Juni). Menyusul pada peringkat kedua adalah sektor perdagangan, hotel,
49
dan restoran yang memberikan kontribusi berturut-turut sebesar 17,53 persen
pada tahun 1999, 17,56 persen pada tahun 2000, 16,87 persen pada tahun 2001,
17,15 persen pada tahun 2002, dan 19,6 persen pada tahun 2003 (Semester I,
bulan Juni).
Tabel 4.3 Kontribusi Sektor Pembangunan (ADHB) Terhadap PDRB Kota Kediri
Tahun 1999-2003
Kontribusi (%) No
Sektor 1999 2000 2001 2002 2003*
1 Pertanian 0,20 0,19 0,18 0,18 0,17 2 Pertambangan dan Penggalian 0,01 0,01 0,01 0,01 0,01 3 Industri Pengolahan 79,44 78,55 79,37 78,93 76,29 4 Listrik, Gas dan Air Bersih 0,17 0,17 0,17 0,19 0,20 5 Bangunan 0,22 0,21 0,19 0,20 0,20 6 Perdagangan, Hotel dan
Restoran 17,53 17,56 16,87 17,15 19,60
7 Pengangkutan dan Komunikasi 0,67 0,68 0,68 0,74 0,79 8 Keuangan, Persewaan dan Jasa
Perusahaan 1,99 1,85 1,78 1,79 1,93
9 Jasa-jasa Lainnya 0,76 0,78 0,75 0,80 0,82 *Posisi Juni 2003 (PDRB Semester I)
Sumber: BPS Kota Kediri, 2004
Pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kota Kediri
Atas Dasar Harga Berlaku (ADHB) dan Atas Dasar Harga Konstan (ADHK) dari
tahun 1999 hingga tahun 2003 mengalami tren peningkatan. Dalam Pidato
Laporan Pertanggungjawaban Akhir Masa Jabatan Walikota Kediri Tahun 1999-
2004 disebutkan bahwa tingkat kenaikan rata-rata PDRB pada kurun waktu
tersebut dapat dikelompokkan sebagai berikut:
a. ADHB (tanpa PT Gudang Garam): 12,6 persen
b. ADHB (dengan PT Gudang Garam): 18,63 persen
c. ADHK (tanpa PT Gudang Garam): 4,04 persen
50
d. ADHK (dengan PT Gudang Garam): 5,57 persen
Pertumbuhan ekonomi Kota Kediri pada tahun 1999 hingga 2003 juga
cenderung mengalami peningkatan seperti terdapat pada Tabel 4.4.
Tabel 4.4 Pertumbuhan Ekonomi Kota Kediri Tahun 1999-2003
Tahun 1999 2000 2001 2002 2003
Tingkat Pertumbuhan 1,41% 5,8% 6,01% 4,94% 5,29%
Sumber: BPS Kota Kediri,2004
Pertumbuhan ekonomi yang progresif tersebut ditunjang oleh kondisi
keamanan yang stabil pada kurun waktu 1999 hingga 2003. Karena itu
berdasarkan penilaian Jawa Pos Institute of Pro Otonomi tahun 2001, Kota Kediri
dinobatkan sebagai daerah teraman se-Jawa Timur. Berdasarkan hasil survei
Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) dan Kadin Provinsi
Jawa Timur berbagai perusahaan lokal, nasional, asing, dan sejumlah data
sekunder, Kota Kediri masuk dalam kategori kota yang menarik untuk investasi,
secara berturut-turut dari tahun 2002, 2003, dan 2004. Pada survei tahun 2002
Kota Kediri berada pada peringkat 5 untuk wilayah Jawa-Bali, dan peringkat 8
untuk tingkat nasional. Sedangkan pada survei tahun 2004 posisi Kota Kediri naik
pada peringkat ke-1 sebagai kota dengan daya tarik investasi tinggi untuk tingkat
nasional. Selanjutnya pada tahun 2005 kota Kediri ditetapkan menjadi salah satu
kota tujuan investasi untuk kedua kalinya. Yakni sebagai kota dengan faktor
tenaga kerja dan produktivitas terbaik tingkat nasional. Penilaian dan penghargaan
itu diberikan oleh Komite Pemantau Penyelenggaraan Otonomi Daerah (KPPOD),
51
sebuah komite independen yang terdiri dari Kamar Dagang dan Industri (Kadin),
United States Aid for International Development (USAID) dan The Asia
Foundation.
4.4 Objek dan Daya Tarik Wisata Kota Kediri
Pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kota
Kediri 2005-2009 disebutkan bahwa sasaran yang ingin dicapai melalui program
tersebut mencakup peningkatan kajian seni budaya dan pengembangan pariwisata
yang sesuai dengan potensi wisata di Kota Kediri, sehingga pengembangan
pariwisata Kota Kediri dititikberatkan pada pariwisata budaya, sejarah dan
spiritual. Wisata sejarah, budaya, dan spiritual tersebut keterkaitan sangat erat
sehingga tidak dapat dipisahkan antara satu sama lainnya. Budaya-budaya lokal
yang berkembang di masyarakat Kota Kediri merupakan produk perjalanan
sejarah Kota Kediri mulai dari era Hindu hingga Islam. Budaya lokal dengan
wujud kesenian serta sistem kepercayaan yang mewakili dua era kesejarahan
Kediri tersebut masih terus hidup dan berlangsung hingga saat ini. Berikut
diuraikan potensi-potensi wisata yang terdapat di Kota Kediri.
4.4.1 Wisata budaya
Kota Kediri memiliki perjalanan sejarah yang sangat tua, karena
kelahirannya yang menurut temuan pada sejumlah prasasti diperkirakan
bersamaan dengan masa berdirinya Kerajaan Kadiri. Hal ini ditunjukkan dengan
banyaknya peninggalan sejarah berupa situs maupun patung, yang pengelolaannya
di masa kini dapat dikembangkan menjadi daya tarik wisata sejarah. Dalam
52
sebuah seminar tahun 2000 yang membahas temuan tim peneliti tentang
penelusuran hari jadi Kota Kediri terungkap bahwa terdapat tiga prasasti yang
dapat menjadi acuan tentang kelahiran Kota Kediri. Berdasarkan Prasasti Hantang,
yang bila dikonversikan pada penanggalan Masehi menunjukkan tanggal 7
September 1135, disebutkan bahwa waktu masa tersebut merupakan era
bersatunya Kerajaan Panjalu dan Jenggala yang mengantarkannya menuju masa
kejayaannya (Panjalu Jayati). Persatuan tersebut diprakarsai oleh Jayabaya, yang
sekaligus mengakhiri konflik berkepanjangan antara dua kerajaan tersebut.
Prasasti lainnya adalah Prasasti Pamwatan yang bila dikonversikan ke
dalam sistem kalender masehi maka kira-kira menunjukkan tanggal 19 Desember
1042. Prasasti ini menjelaskan tentang awal berdirinya Kerajaan Panjalu, suatu era
yang menandakan telah terjadinya perpecahan Kerajaan Kadiri menjadi Kerajaan
Panjalu dan Jenggala. Sedangkan prasasti lainnya adalah Prasasti Kwak yang bila
dikonversikan pada penanggalan sistem Masehi menunjukkan tanggal 27 Juli 879.
Prasasti ini menuliskan bahwa pada masa itu di daerah sekitar Desa Ngadisimo,
Kota Kediri (di masa kini) telah berkembang sebuah komunitas yang religius,
mandiri, dan telah mengembangkan teknologi pertanian untuk membantu
kehidupannya. Catatan sejarah pada Prasasti Kwak ini yang selanjutnya dijadikan
dasar perayaan hari jadi Kota Kediri. Benda-benda peninggalan bersejarah
maupun kesenian daerah yang terdapat di Kota Kediri tersebut merupakan modal
dasar dalam upaya pengembangan pariwisata budaya.
53
4.4.1.1 Peninggalan bersejarah
Kota Kediri sangat kaya akan benda-benda peninggalan bersejarah,
beberapa di antaranya seperti:
1. Goa Selomangleng, yang oleh penduduk setempat diyakini sebagai
tempat petilasan Dewi Kilisuci yang memilih untuk menjalani
kehidupan sebagai seorang pertapa, setelah ayahandanya Prabu
Airlangga berniat mewariskan tahta kerajaan kepadanya. Di sepanjang
dinding goa alam ini terdapat relief-relief yang nampaknya bercerita
tentang kehidupan manusia, namun sejauh ini belum terungkap secara
resmi maknanya. Sumber lain, yaitu Miksic (1997, seperti dikutip
dalam Oey, 1997 : 279) menyebutkan bahwa Goa Selomangleng
merupakan goa meditasi umat Budha. Goa ini terdiri dari 4 ruangan
yang dindingnya dihiasi oleh relief Budha dan adegan-adegan pada
kisah Jataka. Relief-relief pada goa menunjukkan penanggalan pada
dua era yang berbeda, salah satunya pada abad ke-12, dan yang lainnya
pada tahun 1431. Hingga saat ini Goa Selomangleng masih digunakan
oleh sekelompok masyarakat untuk melaksanakan kegiatan ritual dan
meditasi. Gambar Goa Selomangleng dan relief di sepanjang
dindingnya terdapat pada Lampiran 5 dan 6.
2. Koleksi peninggalan sejarah masa Kerajaan Kadiri yang disimpan di
Museum Airlangga. Selain itu, di museum yang diresmikan pada tahun
1993 ini terdapat gedung pameran etnografi sebagai pusat
54
pengumpulan dan restorasi benda-benda etnografis yang ditemukan di
Kota Kediri seperti terdapat pada Lampiran 7.
4.4.1.2 Kesenian dan budaya daerah
Sebagai daerah yang memiiki latar sejarah yang sangat tua, Kota Kediri
juga mewarisi berbagai budaya-budaya lokal yang memiliki kaitan erat dengan
konteks perjalanan sejarahnya. Budaya ini tercermin dalam gaya hidup
masyarakatnya yang religius, serta berbagai bentuk seni budaya masyarakat yang
masih ada. Berbagai kelompok masyarakat secara rutin melaksanakan kegiatan
budaya sebagai bentuk rasa syukur atas limpahan rejeki Sang Pencipta berupa
panen yang sukses, sekaligus mengharapkan berkah untuk kehidupan yang damai
dan tentram, di antaranya Tumpeng Tosaren yang dilaksanakan masyarakat
Kelurahan Tosaren pada setiap bulan Suro. Gambar budaya Tumpeng Tosaren ini
terdapat pada Lampiran 8.
Berbagai kesenian tradisional yang ada kini tengah berupaya dihidupkan
kembali melalui program revitalisasi kelompok-kelompok kesenian. Kesenian-
kesenian tradisional yang masih dikenal dan eksis di kehidupan sehari-hari
masyarakat ini misalnya Jemblung, Jaranan, dan Ronda Thetek yang dijelaskan
sebagai berikut:
1. Kesenian Jemblung. Kesenian Jemblung adalah kesenian daerah
yang berbentuk teater tradisional, biasanya terdiri dari 7 orang,
termasuk di dalamnya panjak sebagai pemukul alat musik dan
seorang dalang sebagai orang yang mengantarkan cerita.
55
Pementasan Jemblung dilengkapi dengan alat-alat musik
tradisional yang terbuat dari kulit dan kayu yang dipukul secara
berirama. Perkembangan kesenian Jemblung di Kota Kediri
terpusat di Desa Bandar dan Lirboyo.
2. Jaranan. Jaranan merupakan kesenian tradisional yang diangkat
dari cerita rakyat. Cerita yang diangkat merupakan kisah berlatar
zaman Kerajaan Ngurawan yang terletak di daerah Kediri, di
bawah pemerintahan Prabu Lembu Amiseno. Kesenian Jaranan,
yang terdapat pada Lampiran 9, dimainkan oleh beberapa orang
dengan mengenakan topeng Singobarong, Celeng, dan sebagainya.
Pada saat memainkan tarian ini, si pemain dapat masuk dalam
kondisi intrans/kesurupan sehingga mereka memakan rumput atau
bunga sesaji yang telah disediakan. Agar kembali ke kondisi
normal, mereka disadarkan oleh pawang dengan jalan membaca
mantra-mantra tertentu.
3. Kesenian Ronda Thethek. Kesenian Ronda Thethek bermula dari
para penjaga kampung/peronda malam yang sedang menjaga
kampungnya. Mereka membunyikan akat-alat bunyian dari bambu
dengan irama tertentu yang dapat menarik siapa pun yang
mendengarnya. Kesenian ini sampai sekarang masih hidup di
beberapa desa di daerah Kota Kediri.
56
4. Kesenian Sendratari. Cerita yang diangkat dalam pentas sendaratari
misalnya Ande-Ande Lumut. Cerita ini merupakan salah satu
legenda yang telah berakar dalam kehidupan masyarakat Kediri.
5. Kethek Ogleng. Kesenian ini merupakan fragmen yang
mengisahkan petualangan Panji Asmoro yang pergi meninggalkan
kerajaan secara diam-diam, ditemani dua orang abdinya.
Sebagai upaya lebih lanjut untuk melestarikan dan mengembangkan
budaya-budaya lokal, setiap tanggal 27 Juli sejak tahun 2002 pemerintah
melaksanakan peringatan Hari Jadi Kota Kediri. Pada kesempatan tersebut digelar
berbagai aktivitas seni budaya tradisional dan modern selama satu bulan penuh,
seperti pentas kesenian jaranan, wayang kulit, wayang orang, hingga panggung
musik. Perayaan hari jadi Kota Kediri yang ke-1123 pada 27 Juli 2002 dan
perayaan hari jadi yang ke-1124 tahun 2003 pemerintah menggelar ritual
Manusuk Sima yang menceritakan ritual pengorbanan hewan berwarna hitam
sebagai simbol upaya menekan sifat-sifat keraksasaan manusia demi terciptanya
kedamaian secara material dan spiritual yang dilanjutkan dengan pembacaan titah
Raja Kediri serta pengarakan prasasti Kwak keliling Kota Kediri seperti terdapat
pada Lampiran 10 dan 11. Selain itu pemerintah juga memprakarsasi Kirab
budaya yang melibatkan berbagai kelompok kesenian dan kepercayaan, serta
pagelaran musik di tiga kecamatan secara serentak. Pada tahun 2002 pemerintah
juga sempat menggelar pagelaran musik selama 30 jam non stop di bantaran
Sungai Brantas yang dihadiri puluhan ribu pengunjung, serta berbagai festival dan
lomba yang melibatkan masyarakat luas.
57
Pemerintah bersama masyarakat juga sukses mencetak rekor penggelaran
tumpeng terpanjang se-Indonesia di Jalan Dhoho, sehingga masuk dalam catatan
Museum Rekor Indonesia (Muri). Untuk menggali kembali warisan budaya lokal,
pada peringatan hari jadi Kota Kediri tahun 2003, pemerintah juga melaksanakan
festival busana khas Kediren untuk menggali kembali budaya leluhur, yang
dirangkaikan pelaksanaan pemilihan Panji-Galuh sebagai duta pariwisata Kota
Kediri.
Pemilihan Panji-Galuh seperti terdapat pada Lampiran 13 ini selanjutnya
menjadi kegiatan rutin pada setiap peringatan hari jadi Kota Kediri. Festival ini
pada perkembangan berikutnya menjadi tonggak mempopulerkan kembali warna
ungu, yang menjadi ciri khas Kota Kediri. Warna ungu tersebut diyakini sebagai
warna busana yang sangat disukai Dewi Kilisuci yang menurut keyakinan
masyarakat pula mencapai moksa di Goa Selomangleng. Karena itulah pada setiap
peringatan hari jadi, Kota Kediri selalu disemarakkan dengan warna ungu di
seluruh pelosok Kota. Popularitas warna khas Kota Kediri ini juga didukung oleh
tim sepak bola Persik Kediri yang menggunakan warna ungu sebagai warna resmi
kostum mereka. Reaktualisasi budaya-budaya khas daerah sebagai warisan leluhur
tersebut juga bertujuan untuk meningkatkan rasa cinta dan kebanggaan
masyarakat terhadap daerahnya.
Selanjutnya pada tahun 2004 dan 2005 peringatan hari jadi dilaksanakan
secara lebih sederhana, lebih difokuskan pada pentas budaya tradisional,
pelaksanaan kegiatan olah raga dan gerakan kebersihan Kota yang dikoordinir
oleh Ketua Tim Penggerak PKK Kota Kediri. Pada peringatan hari jadi ke-1125
58
tersebut, pemerintah menggelar pentas wayang kulit serta pentas Wayang Orang
di halaman kantor Walikota yang melibatkan pejabat-pejabat Pemerintah Kota
Kediri. Kegiatan lainnya lebih difokuskan pada pelaksanaan Pekan Olah Raga
Daerah (Porda) Provinsi Jawa Timur mengingat Kota Kediri mendapat
kepercayaan sebagai tuan rumah.
Perayaan hari jadi ini bertujuan tidak sekadar memberikan hiburan kepada
masyarakat, namun juga untuk memberikan ruang berekspresi bagi kelompok-
kelompok kesenian yang ada di Kota Kediri serta menjadi media untuk pelestarian
seni budaya. Kota Kediri juga memiliki Dewan Kesenian yang perannya dalam
pengembangan seni budaya diupayakan dapat direvitalisasi melalui kegiatan ini.
Target dari peringatan hari jadi juga untuk menambah minat dan perhatian
masyarakat dari luar kota untuk datang ke Kota Kediri. Tujuan lainnnya tentu juga
untuk menunjang wisata budaya di Kota Kediri, sehingga di kemudian hari
diharapkan muncul citra bahwa pada bulan Juli Kota Kediri selalu semarak
dengan berbagai kegiatan dan pentas seni budaya untuk menarik kedatangan
wisatawan ke Kota Kediri. Dalam upaya ini pemerintah Kota Kediri telah
mengambil inisiatif dengan terlibat langsung dalam pementasan wayang orang
serangkaian perayaan hari jadi tersebut. Para pejabat berkolaborasi dengan
seniman wayang orang dalam pentas tersebut ( gambar pada Lampiran 12).
Karena dipandang memiliki peran strategis dalam upaya pengembangan
pariwisata budaya, kegiatan ini ditetapkan menjadi kegiatan rutin tahunan yang
ditetapkan oleh Peraturan Daerah Kota Kediri Nomor 10 Tahun 2001 Tentang
59
Hari Jadi Kota Kediri. Pada pasal 3 Perda No 10 tahun 2001 disebutkan tujuan
penetapan Hari Jadi Kota Kediri sebagai berikut:
1. Menetapkan agenda tahunan yang dapat diperingati dan dibanggakan
oleh setiap warga Kota Kediri
2. Meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan Kota Kediri
3. Mengembangkan potensi kepariwisataan dalam upaya
mempertahankan nilai budaya masyarakat Kota Kediri
4. Meningkatkan kesejahteraan masyarakat Kota Kediri
4.4.2 Wisata spiritual dan ziarah
Kota Kediri memiliki beberapa objek wisata spiritual bernuansa Hindu dan
Islam. Pura Agung Dewi Sekartaji, (lihat Lampiran 14) sangat menarik wisatawan
untuk dikunjungi. Pura yang berlokasi di dalam Kawasan Wisata Selomangleng
ini merupakan objek yang berpotensi dikembangkan menjadi objek wisata
spiritual bagi umat Hindu. Pura ini memiliki keterkaitan sejarah dengan
keberadaan Goa Selomangleng. Karena itulah pada setiap perayaan Tahun Baru
Saka, umat Hindu Kota Kediri melaksanakan ritual tidak hanya di pura, melainkan
juga di Goa Selomangleng, serta mencari air suci pada mata air yang terdapat di
Gunung Klotok.
Di samping objek wisata spiritual yang bernuansa Hindu, juga ada objek
wisata spiritual dan ziarah bernuansa Islam, seperti Kompleks Pemakaman Setono
Gedong, yang di dalamnya terdapat Makam Mbah Wasil yang dikenal sebagai
tokoh penyebar agama Islam di Kota Kediri. Selain itu juga ada Masjid Agung
60
yang dibangun pada tahun 1814 (situasinya dapat dilihat pada Lampiran 15).
Pada tahun 2002 Pemerintah Kota Kediri telah melakukan rehabilitasi objek
Setono Gedong, yang merupakan kompleks pemakaman tokoh-tokoh penyebar
Agama lslam di Kota Kediri. Rehabilitasi ini dilakukan untuk menjaga nilai
historis serta mengantisipasi semakin banyaknya pengunjung dan masyarakat
yang datang untuk melaksanakan ziarah dan ritual keagamaan. Pemugaran secara
bertahap juga dilakukan terhadap Masjid Agung sejak tahun 2003 yang selesai
pada tahun 2005.
Di samping itu di Kota Kediri juga terdapat pondok-pondok pesantren dari
berbagai aliran dalam Agama Islam. Pesantren ini merupakan tempat santri-santri
dari berbagai daerah di luar Kota Kediri menimba ilmu agama. Pondok Pesantren
yang terbesar adalah Pondok Pesantren Lirboyo di Kecamatan Mojoroto yang
merupakan pusat pendidikan santri warga Nahdlatul Ulama (NU). Pada hari-hari
suci tertentu banyak warga dari luar Kota Kediri yang datang untuk melaksanakan
ibadah di pondok-pondok pesantren tersebut.
Selain wisata sejarah, budaya, dan spiritual, Kota Kediri juga memiliki
sejumlah objek yang berpotensi untuk dikembangkan menjadi objek wisata alam,
olah raga, belanja, dan pendidikan.
4.4.3 Wisata alam
Objek wisata alam yang berada di Kota Kediri misalnya Hutan Lindung di
Gunung Klotok dan Maskumambang dan Sungai Brantas. Mengingat kondisi
hutan di Gunung Klotok dan Maskumambang tersebut kurang lestari, pemerintah
61
secara bertahap melakukan gerakan penghijauan yang melibatkan berbagai
komponen masyarakat seperti mulai penduduk setempat, mahasiswa / pelajar,
organisasi kepemudaan/massa, dan pegawai pemerintah. Upaya penghijauan
kembali hutan di dalam kawasan wisata Selomangleng ini pernah dilakukan
pemerintah melalui Pekan Penghijauan Nasional (PPN) Kota Kediri pada Pebruari
dan Maret 2003. Selanjutnya pada Januari tahun 2004 dilakukan Gerakan
Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GN-RHL). Pengecekan kondisi hutan di
Gunung Maskumambang juga pernah dipimpin langsung Walikota Maschut pada
16 April 2004, seperti terdapat pada Lampiran 16.
Bagi warga Kota Kediri, Sungai Brantas memiliki makna khusus karena
dipandang telah memberikan kesejahteraan bagi masyarakat. Berdasarkan sejarah
yang diyakini masyarakat setempat, Sungai Brantas muncul karena keinginan
Raja Kediri, Rake Halu Sri Lokeswara Dharmawangsa Airlangga
Anantawikramatunggadewa untuk membagi kerajaan Kadiri kepada kedua
putranya menjadi dua bagian, yakni Kerajaan Janggala dan Panjalu pada sekitar
1042 Masehi. Pembagian tersebut dilakukan atas bantuan Mpu Bharada (Surya,
23 Juli 2004). Berdasarkan keyakinan maka pada setiap perayaan hari jadi Kota
Kediri pemerintah dan masyarakat melakukan larung sesaji di sungai ini.
4.4.4 Wisata olah raga
Objek-objek yang dapat menunjang pengembangan wisata olah raga di
Kota Kediri misalnya:
62
a. Kolam Renang Kuwak, yang di dalamnya memiliki fasilitas berupa
kolam renang rekreasi dan prestasi sehingga dapat digunakan untuk
rekreasi keluarga, sekaligus untuk melaksanakan berbagai ajang
pertandingan olah raga renang. Salah satu kegiatan lingkup luas yang
pernah memanfaatkan fasilitas kolam renang ini adalah saat Kota
Kediri menjadi tuan rumah penyelenggaraan Pekan Olah Raga Daerah
(Porda) Jawa Timur pada Juli 2004.
b. Taman Wisata Tirtoyoso dan Pagora, gambar pada Lampiran 18. Pada
objek yang terdapat di tengah kota ini terdapat fasilitas penunjang
kegiatan rekreasi dan olah raga seperti kolam renang, panggung
hiburan, alat-alat permainan untuk anak-anak, sehingga sangat cocok
untuk menjadi tempat rekreasi keluarga. Pemerintah Kota Kediri
tengah berupaya meningkatkan kualitas kegiatan wisata serta sarana
dan prasarana yang ada di dalamnya sehingga dapat menarik perhatian
masyarakat yang lebih luas. Kelengkapan tersebut berupa sarana
hiburan bagi anak-anak dan remaja, tempat-tempat pameran dan
pertunjukan kesenian daerah, termasuk di dalamnya peningkatan
jaminan keamanan dan kebersihan lingkungan. Sebagai taman rekreasi
warga kota, pada setiap hari libur pihak pengelola secara rutin
melaksanakan hiburan berupa pentas musik dangdut atau kesenian
tradisional.
c. Pertandingan Sepak Bola Divisi Utama PSSI di Stadion Brawijaya.
Pemerintah Kota Kediri menghidupkan kembali tim sepak bola Persik
63
Kediri (Macan Putih) mulai tahun 1999, yang dibarengi dengan
renovasi Stadion Brawijaya berdaya tampung 20 ribu penonton.
Kehadiran tim sepak bola dan stadion yang khusus difungsikan sebagai
markas Persik Kediri tersebut diharapkan dapat mendorong tumbuhnya
wisata olah raga. Apalagi stadion tersebut telah memenuhi standar
nasional sebagai tempat pertandingan klub divisi utama Liga Indonesia,
bahkan memenuhi persyaratan internasional sehingga pernah menjadi
tempat pertandingan Liga Asian Football Confederation (AFC) pada
tahun 2004 yang mendatangkan SeongNam Ilhwa FC dari Korea
Selatan, Binh Dinh dari Vietnam, dan Yokohama F. Marinos dari
Jepang untuk bertanding melawan Persik Kediri. Gambar terdapat pada
Lampiran 19.
d. Jalan Tembus Lebak Tumpang-Selomangleng yang dibangun untuk
menambah akses masuk ke dalam Kawasan Selomangleng pada
perkembangannya juga menjadi objek untuk melaksanakan wisata olah
raga seperti jogging dan bersepeda seperti terdapat pada Lampiran 20.
4.4.5 Wisata belanja
Untuk meningkatkan dampak ekonomis dari pelaksanaan pertandingan
sepak bola tersebut, di luar stadion juga dibangun ruko-ruko yang ditawarkan
kepada pengusaha yang menggelar berbagai macam barang dagangan, seperti
souvenir tim sepak bola Persik Kediri, makanan, dan sebagainya setiap
pertandingan. Keberadaan ruko ini bertujuan agar pedagang ini dapat berjualan
64
secara lebih tertata dan tidak mengganggu lalu lintas. Ruko-ruko ini juga
ditawarkan kepada pengusaha yang berminat mencoba peluang bisnis di Kota
Kediri.
Kawasan pertokoan Jalan Dhoho, pertokoan modern yang paling pertama
ada di Kota Kediri juga menawarkan daya tarik tersendiri sebagai daerah wisata
belanja. Aktivitas perekonomian di sepanjang kawasan jalan ini berjalan hampir
selama 24 jam. Pada siang hari kawasan jalan ini merupakan daerah pertokoan
yang sangat padat. Namun mulai malam hingga dini hari, kawasan ini menjadi
pusat kegiatan bagi warga kota yang beminat menikmati nasi pecel, nasi liwet,
tahu tek, dan berbagai makanan khas Kota Kediri lainnya yang dijual di sepanjang
emper-emper toko jalan ini. Ketika berbelanja di kawasan ini konsumen akan
dikondisikan pada suasana kesederhanaan, keakraban dan tidak formal karena
mereka akan menikmati hidangannya sambil duduk lesehan. Namun bagi
wisatawan yang lebih menyukai suasana bernuansa kosmopolitan, di Kota Kediri
juga telah terdapat beberapa pusat perbelanjaan modern seperti Pasar Raya Sri
Ratu, Plaza Golden, dan Swalayan Borobudur yang menjual beragam produk
buatan lokal, nasional dan impor.
Souvenir merupakan salah satu komponen penting dalam aktivitas wisata
belanja. Kota Kediri menawarkan berbagai souvenir khas, yang paling terkenal
adalah Tahu Takwa yang dapat dengan mudah ditemui di setiap sudut kota.
Namun daerah yang terkenal sebagai pusat penjualan tahu takwa adalah kawasan
Jalan Yos Sudarso seperti terdapat pada Lampiran 21. Tradisi usaha pembuatan
tahu di Kota Kediri sudah sangat tua, di antaranya ada yang telah membuka
65
usahanya sejak tahun 1930-an dan masih berdiri hingga saat ini. Akibatnya Kota
Kediri juga dikenal dengan sebutan sebagai Kota Tahu, karena keberadaan
produksi tahu takwa yang khas tersebut. Oleh-oleh khas Kota Kediri lainnya
adalah beragam jenis kerupuk bumbu yang banyak dijual di daerah Alun-alun
Kota Kediri. Kerupuk ini memiliki cita rasa yang khas karena proses
pembuatannya yang tidak menggunakan minyak goreng, melainkan menggunakan
pasir.
4.4.6 Wisata pendidikan
Kegiatan-kegiatan industri yang terdapat di Kota Kediri seperti pabrik
rokok Gudang Garam, (gambar terdapat pada Lampiran 22), serta pabrik gula
yang tersebar di tiga kecamatan juga berpotensi untuk dikembangkan menjadi
objek wisata pendidikan, untuk memberikan pemahaman kepada wisatawan yang
berminat mengetahui proses produksi industri tersebut. Aktivitas industri dapat
menjadi daya tarik tersendiri karena nuansa sejarah yang dimilikinya. Pabrik
rokok gudang garam yang kini telah beroperasi dengan peralatan canggih dan
produknya telah diekspor ke luar negeri, bermula dari pabrik kecil yang dirintis
oleh warga Kota Kediri keturunan Tionghoa pada tahun 1940-an. Demikian pula
dengan pabrik gula yang kini menjadi aset PTPN XI (BUMN) pada awalnya
merupakan pabrik gula yang didirikan oleh pemerintah Belanda pada masa
kolonialisme. Aktivitas industri yang telah berumur sangat tua dan hingga kini
masih berdiri tersebut memiliki aspek kesejarahan yang memiliki daya tarik
tersendiri.
66
4.4.7 Fasilitas akomodasi
Upaya-upaya pengembangan pariwisata tersebut juga diperkuat dengan
penciptaan iklim investasi yang menarik bagi kalangan swasta untuk dapat turut
berpartisipasi mendirikan berbagai usaha jasa pariwisata seperti hotel dan restoran,
dan fasilitas yang dapat menunjang aktivitas kepariwisataan untuk memberikan
rasa nyaman dan betah kepada wisatawan selama berkunjung di Kota Kediri.
Berdasarkan data BPS Kota Kediri tahun 2004, di Kota Kediri terdapat 21 hotel
yang beroperasi dengan total jumlah kamar sebanyak 687. Dari jumlah tersebut
klasifikasi yang tertinggi adalah hotel bintang 2. Tarif hotel di Kota Kediri
berkisar dari Rp 60.000 hingga Rp 500.000 per kamar per malam. Sepanjang
tahun 2003, jumlah tamu yang menginap di hotel-hotel di Kota Kediri tercatat
sebanyak 124.182 orang. Antusiasme investor swasta untuk berinvestasi pada
sektor ini juga semakin meningkat. Pada tahun 2005, jumlah hotel di Kota Kediri
bertambah satu dengan pendirian Hotel Surya milik PT Gudang Garam yang
berklasifikasi bintang 4. Hotel termegah yang ada saat ini di Kota Kediri tersebut
berlokasi di tengah-tengah pusat perdagangan Kota Kediri, yaitu di Jalan Dhoho.
Hal ini membuktikan bahwa dunia usaha juga mendukung pengembangan
pariwisata di Kota Kediri.
4.5 Pendapat Masyarakat Tentang Kepariwisataan Kota Kediri
Dari hasil penelusuran penulis, informan yang diminta pendapatnya
menunjukkan sikap mendukung kebijakan pengembangan pariwisata pemerintah,
termasuk di dalamnya program pengembangan Kawasan Wisata Selomangleng.
67
Kebijakan ini dirasakan akan mendorong perbaikan infrastruktur dan penataan
lingkungan kota dengan lebih baik. Selain itu pengembangan pariwisata juga
dipandang akan dapat mendorong pertumbuhan peluang kerja. Terkait
pengembangan Kawasan Wisata Selomangleng, warga juga mendukung karena
kawasan ini memang telah menjadi tempat berwisata sejak dulu. Pengembangan
yang dilakukan pemerintah membuat mereka lebih antusias berkunjung secara
rutin, utamanya pada hari libur. Lokasi kawasan yang berada di luar kota
membuat aktivitas wisatawan tidak mengganggu lalu lintas, sekalipun saat
pengunjung cukup ramai. Mereka juga merasa bahwa pariwisata telah menjadi
salah satu kebutuhan untuk melepas kepenatan dari kesibukan sehari-hari. Namun
mereka juga memandang ada beberapa perbaikan yang perlu dilakukan
pemerintah seperti masalah kebersihan, penataan lokasi parkir dan pedagang, serta
masalah perilaku pengunjung. Hal ini penting mengingat dalam kawasan ini juga
terdapat objek tempat suci, yaitu Pura Sekartaji.
Seperti dinyatakan oleh seorang informan yang ditemui di Kota Kediri,
pengembangan kawasan wisata Selomangleng membuat masyarakat semakin
antusias untuk berkunjung ke kawasan tersebut. Ia sangat merasakan manfaat
pengembangan wisata Selomangleng. Berikut ini penuturannya.
“ Kegiatan di kawasan ini tidak mengganggu arus lalu lintas di jalan raya.
Berbeda halnya dengan kegiatan yang dilaksanakan di Kuwak yang berada di
tengah kota, sehingga sering memacetkan arus lalu lintas. Lagi pula di kawasan
Selomangleng udaranya lebih segar,” terangnya.
68
Ia memandang secara umum pemerintah cukup berhasil mengembangkan
pariwisata. “ Kenyataannya stadion (Brawijaya) juga jadi. Drainase kota juga
dibenahi, sehingga tidak ada banjir lagi. Pemerintah memang memperhatikan
perkembangan pariwisata. Hanya saja katanya setiap tanggal 15 atau setiap bulan
purnama akan dilaksanakan pentas seni di Selomangleng. Mengapa sampai saat
ini belum ada realisasinya?,” ungkapnya mempertanyakan.
Informan lainnya berpendapat bahwa kegiatan wisata di Selomangleng
semakin semarak dengan keberadaan pura. “ Upacara adat keagamaan Hindu juga
sudah ada di sini. Pura di sana (Pura Dewi Sekartaji), tidak hanya digunakan oleh
umat Hindu di Kota Kediri, tapi juga dari Kabupaten Kediri, yang juga cukup
banyak datang ke sini,” jelasnya.
Pihaknya juga menyambut pengembangan kawasan wisata, karena merasa
sangat membutuhkan adanya fasilitas wisata yang murah untuk sekadar berolah
raga sekaligus berekreasi bersama keluarga. “Animo masyarakat berwisata ke sini
cukup tinggi. Anda bisa lihat sekarang di sini. Apalagi kalau ada panggung
hiburan,” ungkapnya.
Menurutnya ada fasilitas yang perlu ditambahkan di Selomangleng untuk
menunjang kenyamanan pengunjung, seperti tempat parkir yang rapi. Hal yang
menurutnya perlu diperhatikan pemerintah adalah retribusi masuk kawasan,
karena dipandang berganda. “ Untuk masuk kawasan harus bayar, selanjutnya
masuk kolam harus bayar lagi. Kalau di Pagora kan hanya satu pintu. Kalau bisa
pengunjung membayar satu kali saja,” harapnya.
69
Selanjutnya, pengempon Pura Dewi Sekartaji yang sekaligus menjadi
informan mengungkapkan bahwa pihaknya juga menyambut baik pengembangan
Kawasan Wisata Selomangleng karena akan memajukan ekonomi masyarakat.
“ Mengingat goa ini merupakan peninggalan sejarah yang tak ternilai dan masih
digunakan sebagai tempat aktivitas spiritual, baik oleh penganut kejawen, Hindu,
dan lainnya kami mengharapkan pengembangan pariwisata dilakukan secara
terkendali agar tidak menimbulkan ekses yang mengganggu kesucian Goa
Selomangleng dan objek spiritual lainnya,” ungkapnya.
Ia juga memandang perlu adanya pola pengaturan yang jelas untuk
menciptakan kebersihan lingkungan dan tata perilaku pengunjung. Hal penting
lain yang menurutnya perlu dilakukan adalah pengaturan lokasi yang tertib antara
pedagang, panggung hiburan, serta akses pengunjung kawasan dan pengunjung
pura agar tidak tercampur sehingga menimbulkan kondisi semrawut terutama saat
hari-hari libur akibat jumlah pengunjung yang sangat banyak.
Dari uraian di atas nampak bahwa masyarakat mendukung kebijakan
pemerintah untuk mengembangkan pariwisata, termasuk di dalamnya
pengembangan Kawasan Wisata Selomangleng.
70
BAB V
PEMBAHASAN
5.1 Kebijakan Kepariwisataan Kota Kediri
Walikota H.A. Maschut yang melaksanakan pemerintahan sejak tahun
1999 hingga 2004 untuk periode pertama dan 2004 hingga 2009 untuk periode
yang kedua menetapkan Tri Bina Cita Kota sebagai pedoman umum pelaksanaan
pembangunan dan pemerintahan Kota Kediri. Dalam Tri Bina Cita Kota,
disebutkan cita-cita untuk mengembangkan Kota Kediri sebagai kota industri,
perdagangan dan jasa, serta pendidikan. Pengembangan pariwisata termasuk
dalam poin perdagangan dan jasa tersebut.
Sebagai pedoman dalam pelaksanaan pemerintahan dalam jangka waktu
lima tahun, ditetapkan visi dan misi daerah. Visi Kota Kediri adalah ”Membangun
Hari Esok yang Lebih Baik”. Selanjutnya untuk merealisasikan visi tersebut,
dirumuskan Misi Kota Kediri yaitu:
1. Mewujudkan kota yang bersih dan masyarakat yang bertakwa
melalui pendekatan kemanusiaan maupun manajemen yang efektif,
efisien, dan berkelanjutan
2. Mewujudkan kota dan masyarakat yang sehat melalui pengaturan
dan pengelolaan kawasan (industri, perdagangan, jasa, hunian dan
fasilitas umum) serta peningkatan kesejahteraan
3. Mewujudkan kota dan masyarakat yang menarik, aman, dan damai
baik bagi warga kota, dunia usaha maupun daerah sekitarnya
71
4. Mewujudkan kota dan masyarakat yang mandiri, indah, dan
inovatif melalui pemberdayaan masyarakat maupun peningkatan
kinerja aparatur pemerintah.
5.1.1 Kebijakan strategis pengembangan pariwisata
Kebijakan strategis yang ditempuh dalam upaya pengembangan pariwisata
sesuai misi dan visi Kota Kediri adalah:
2. Pengembangan Kawasan Wisata Selomangleng, dengan tahapan di
antaranya meliputi:
a. Pembangunan Taman Hiburan dan Kolam Renang di Kawasan
Wisata Selomangleng
b. Pembangunan Jalan Tembus Lebak Tumpang-Selomangleng
3. Rehabilitasi Objek-objek wisata lain
4. Perayaan Hari Jadi Kota Kediri sejak tahun 2002, yang selanjutnya
ditetapkan sebagai acara rutin tahunan, yang diperkuat dengan
Peraturan daerah No 10 tahun 2001
5. Pendirian Kantor Pelayanan Perijinan, untuk mempercepat proses
perijinan sebagai upaya meningkatkan daya tarik investasi Kota
Kediri
6. Peluncuran situs resmi pemerintah Kota Kediri,
www.kotakediri.go.id sebagai media untuk menarik investasi dan
melakukan promosi pariwisata.
72
Berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 12 tahun 2000 tentang Struktur
Organisasi dan Tata Kerja Badan dan Kantor sebagai Lembaga Teknis Daerah,
pemerintah Kota Kediri membentuk Dinas Informasi, Komunikasi, dan Pariwisata
(Inkoparta) sebagai institusi yang bertugas merumuskan dan melaksanakan
kebijakan teknis bidang pengembangan komunikasi, informasi, dan
kepariwisataan sesuai dengan kebijakan umum pembangunan Kota Kediri. Pada
perkembangan berikutnya sesuai tuntutan Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun
2003 tentang Pedoman Organisasi Perangkat Daerah, maka melalui Peraturan
Daerah Nomor 4 tahun 2003 tentang Struktur Organisasi dan Tata Kerja
Lembaga Teknis Daerah, pada tahun 2004 pemerintah melakukan restrukturisasi
organisasi perangkat daerah. Berkenaan dengan fungsi pengembangan pariwisata,
seni, dan budaya, pemerintah membentuk Kantor Pariwisata, Seni, dan Budaya
sebagai lembaga yang berfungsi menyusun perencanaan dan melaksanakan
kebijakan operasional di bidang pemberdayaan potensi pariwisata, seni dan
budaya.
5.1.2 Sasaran dan arah kebijakan pariwisata
Sasaran dan arah kebijakan pengembangan pariwisata Kota Kediri adalah
sebagai berikut:
a. Sasaran
1) Berkembangnya potensi wisata, seni, dan kebudayaan daerah
2) Meningkatnya peran serta masyarakat dalam mendukung
kepariwisataan
73
3) Meningkatnya kajian budaya dan kesenian tradisional
4) Meningkatnya kesadaran dan apresiasi masyarakat terhadap
budaya daerah
b. Arah Kebijakan
1) Tersedia dan terpenuhinya kebutuhan wisata bagi masyarakat Kota
Kediri dan sekitarnya termasuk aktualisasi, pengembangan, dan
pelestarian seni budaya daerah
2) Peningkatan sarana dan prasarana pendukung kepariwisataan
3) Peningkatan partisipasi masyarakat dalam mendukung
kepariwisataan
5.1.3 Rencana strategis pengembangan pariwisata
Strategi pengembangan kepariwisataan dan pelestarian budaya terdapat
pada poin 4 dan poin 6 dalam Rencana Strategis (Renstra) Kota Kediri tahun
2003-2005, seperti terdapat pada Tabel 5.1 Sedangkan komitmen pemerintah
terhadap pengembangan pariwisata selanjutnya diwujudkan melalui dukungan
dari sisi anggaran. Pemerintah mengalokasikan belanja pembangunan sektor
pariwisata yang cukup besar pada APBD dari tahun 2000 hingga 2004. Jumlah
belanja pembangunan untuk pengembangan sektor pariwisata cenderung
meningkat seperti terdapat pada Tabel 5.2.
74
Tabel 5.1 Rencana Strategi Program Peningkatan Pariwisata dan Pelestarian Budaya
Strategi
Pembangunan Program Pokok Kegiatan Indikator Kinerja
Peningkatan Kemampuan Pembiayaan Pembangunan
3. Program Peningkatan Kepariwisataan
1. Peningkatan sarana dan prasarana pendukung kepariwisataan
2. Peningkatan Kerja sama dengan pengusaha jasa wisata
3. Pemberdayaan potensi objek wisata, seni budaya, dan kerajinan daerah
4. Peningkatan promosi dan informasi atraksi wisata
5. Peningkatan kualitas SDM kepariwisataan
6. Peningkatan partisipasi masyarakat dalam mendukung kepariwisataan
1. Terpenuhinya kebutuhan sarana dan prasarana pendukung
2. Terpenuhinya kerja sama dengan pengusaha jasa wisata
3. Berkembangnya potensi wisata dan kebudayaan daerah
4. Meningkatnya jumlah pengunjung/
wisatawan 5. Meningkatnya
kemampuan SDM kepariwisataan
6. Meningkatnya peran serta masyarakat dalam mendukung kepariwisataan
Memperluas Kesempatan Memperoleh Pendidikan dan Peningkatan Kualitas Produk Pendidikan
6. Pelestarian Warisan Budaya Lokal
1. Memperluas penggalian peninggalan sejarah budaya lokal
2. Meningkatkan kajian budaya daerah dan kesenian budaya tradisional Kota Kediri
3. Meningkatkan apresiasi sejarah budaya di seluruh lapisan masyarakat dan Porseni
1. Meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap budaya daerah
2. Terpeliharanya peninggalan budaya dan arkeologi
3. Meningkatnya kajian budaya dan kesenian tradisional
4. Meningkatnya apresiasi sejarah budaya di seluruh lapisan masyarakat
Sumber: Bappeda Kota Kediri, 2002
Tabel 5.2
Realisasi Belanja Pembangunan Sektor Pariwisata dan Telekomunikasi Daerah Tahun 2000-2004
Tahun Realisasi 2000 Rp 72.500.000
2001 Rp 316.250.000 2002 Rp 2.886.696.250 2003 Rp 9.160.000.000
2004 Rp 2.400.000.000 Sumber: LPJ Akhir Masa Jabatan Walikota Kediri, 1999-2004
75
Anggaran tersebut diarahkan untuk melaksanakan dua upaya penting, yang
pertama adalah pemeliharaan dan pengembangan Kawasan Selomangleng menjadi
sebuah kawasan wisata, melalui pembangunan objek baru seperti kolam renang
dan taman hiburan, serta infrastruktur seperti jalan tembus Lebak Tumpang-
Selomangleng. Pembangunan kolam renang dan taman hiburan ini dilakukan
secara bertahap, dengan anggaran mencapai Rp 19 milyar dan luas area yang
dibutuhkan diperkirakan mencapai 25 hektar. Pembangunan objek baru ini
bertujuan untuk menambah daya tarik serta mengembangkan Kawasan
Selomangleng menjadi sebuah kawasan wisata yang diproyeksikan menjadi ikon
pariwisata Kota Kediri. Pengembangan pada kawasan ini dipandang penting
karena di dalamnya terdapat sejumlah objek dan daya tarik wisata sejarah, budaya,
serta spiritual yang didukung oleh bentangan alam yang indah. Selain rekreasi,
kegiatan-kegiatan yang diperbolehkan dilakukan di dalam Kawasan Wisata
Selomangleng adalah olah raga, pendidikan dan penelitian sejarah, perkemahan,
villa, kios makanan, dan suvenir. Sketsa site plan Kawasan Wisata Selomangleng
terdapat pada Lampiran 3.
Upaya-upaya pengembangan dan pemeliharan objek wisata lain yang
terdapat di luar Kawasan Selomangleng juga dilakukan untuk mendukung
pengembangan pariwisata secara umum. Objek penunjang yang turut dibangun
misalnya dermaga di Sungai Brantas untuk mendukung aktivitas wisata bahari,
yang sekaligus dirancang sebagai taman hiburan serta restoran dengan
pemandangan sungai. Pemerintah Kota Kediri juga melakukan rehabilitasi
terhadap objek bersejarah yang terkait erat dengan sejarah perkembangan Agama
76
Islam di Kota Kediri, seperti Makam Setono Gedong yang merupakan makam
para tokoh penyebar Agama Islam di kota ini, serta Masjid Agung Kota Kediri
yang merupakan masjid tertua.
5.1.4 Promosi pariwisata
Untuk mempromosikan daya tarik wisata Kota Kediri, pemerintah juga
mencetak brosur-brosur wisata serta mengikuti festival dan pagelaran-pagelaran
seni budaya di tingkat regional hingga nasional serta pengiriman tim kesenian
pada perayaan hari jadi daerah lainnya. Salah satunya adalah pengiriman tim
kesenian untuk memeriahkan Hari Jadi Kota Negara, Jembrana, Bali pada 15
Agustus 2003. Namun karena keterbatasan anggaran, pengiriman misi kesenian
tidak dapat dilakukan secara berkelanjutan. Demikian pula dengan brosur pesona
wisata Kota Kediri, jumlah cetakan dan penyebarannya amat terbatas.
Upaya-upaya mempromosikan pariwisata Kota Kediri ini dilakukan secara
terus-menerus, baik secara kelembagaan oleh Kantor Pariwisata dan Kebudayaan
Kota Kediri melalui program-program yang telah diuraikan di atas. Namun di
samping itu pada berbagai acara terkait pariwisata baik yang resmi mapun tidak
resmi, promosi bahkan dilakukan langsung oleh pucuk pemerintahan, yaitu oleh
walikota Kediri, Wakil Walikota, serta jajaran pejabat melalui keterlibatan
langsung pada aktivitas pariwisata. Walikota Kediri misalnya, pernah memberikan
keterangan pers dari kolam renang pada suatu kesempatan arisan pejabat
pemerintah Kota Kediri. Demikian pula Wakil Walikota dan pejabat lainnya yang
turut berpartisipasi pada pementasan wayang orang di Balai Kota Kediri dalam
77
rangka perayaan hari jadi. Bentuk keterlibatan langsung dalam mempromosikan
pariwisata ini juga pernah ditunjukkan saat pucuk pimpinan pemerintahan Kota
Kediri dan jajarannya ini juga terlibat pada pawai budaya saat perayaan hari jadi
Kota Kediri tahun 2002 dan 2003.
Terhadap kebijakan strategis tersebut dapat disampaikan sejumlah evaluasi
sebagai berikut:
1. Pengembangan Kawasan Wisata Selomangleng. Terkait dengan upaya
pengembangan Kawasan Selomangleng menjadi sebuah kawasan
wisata ini pemerintah baru sebatas melakukan upaya berupa
pengembangan objek baru seperti kolam renang dan taman hiburan
serta infrastruktur jalan. Untuk pengembangan lebih lanjut menjadi
sebuah kawasan wisata, idealnya pemerintah melaksanakannya
berdasarkan kajian perencanaan yang matang dan terukur, yang
mencakup sejumlah aspek di antaranya seperti pengembangan zonasi,
tata kelola, standarisasi keamanan dan kenyamanan yang terkait
dengan akses masuk ke dalam kawasan, dan sebagainya. Penataan
ruang di dalam kawasan, sejauh ini belum dilakukan oleh pemerintah.
Ini terlihat dengan bercampurnya lokasi pedagang, parkir kendaraan,
lalu lintas pengunjung, hingga pentas kesenian. Di samping untuk
melindungi objek peninggalan bersejarah dan lingkungan di dalam
kawasan, penataan ruang juga perlu dilakukan untuk menciptakan
kenyamanan dan keamanan bagi pengunjung, terlebih pemerintah
berkeinginan untuk mengembangkan kawasan wisata ini menjadi ikon
78
kepariwisataan Kota Kediri. Pengembangan kawasan ini menjadi
sebuah kawasan wisata dapat dilakukan dengan merujuk pada uraian
Gee (2000 : 274) sebagai berikut:
- Menyusun perencanaan yang di dalamnya mencakup pengaturan
pembangunan fasilitas wisata, di antaranya seperti pembuatan
sistem zonasi yang membatasi akses masuk ke lokasi-lokasi yang
sensitif dan mengurangi tekanan pada lokasi-lokasi yang
digunakan secara intensif, membatasi jumlah pengunjung ke dalam
lokasi tertentu, membatasi pelaksanaan pembangunan untuk
mendorong penggunaan arsitektur tradisional, dan
mengembangkan pola pengelolaan limbah secara terpadu
- Membangun infrastruktur pendukung seperti pusat informasi dan
taman
- Mengembangkan rute yang dapat mempermudah aliran
pengunjung di dalam kawasan serta mendorong pengunjung untuk
mengikuti rute yang disarankan
- Mengembangkan program pengawasan untuk mendapatkan
pengetahuan yang tepat tentang perubahan-perubahan yang terjadi
pada lingkungan dan dalam mengembangkan sumber daya yang
ada secara rasional
2. Rehabilitasi Objek-objek wisata lain. Sejauh ini upaya rehabilitasi
telah dilakukan pada sejumlah objek. Namun upaya rehabilitasi ini
perlu dilakukan secara berkelanjutan sehingga dapat memberikan hasil
79
yang optimal. Rehabilitasi ini juga perlu dibarengi dengan upaya
pengelolaan baik sehingga dana yang dikeluarkan tidak terbuang
percuma akibat rusaknya kembali objek yang telah direhabilitasi. Saat
ini objek-objek inti seperti Goa Selomangleng dan Museum Airlangga
tengah membutuhkan rehabilitasi. Berdasarkan pengamatan penulis,
kondisi kedua objek yang justru menjadi objek inti dalam
pengembangan wisata sejarah ini sangatlah kurang, terlihat dari
kondisi goa yang tidak bersih, adanya coretan di dinding goa, serta
kondisi museum dan koleksi yang tidak terawat dan tertata dengan rapi.
Upaya ini berarti harus dibarengi dengan dukungan anggaran yang
memadai untuk objek bersejarah ini, termasuk objek-objek lainnya.
3. Perayaan Hari Jadi Kota Kediri sejak tahun 2002 sebagai agenda
tahunan. Pelaksanaan hari jadi ini pada dasarnya juga ditujukan
menjadi media menarik kedatangan wisatawan ke Kota Kediri.
Mengingat besarnya biaya yang dibutuhkan untuk melaksanakan
kegiatan ini, pemerintah nampaknya perlu membangun jaringan kerja
dengan kalangan swasta tidak terlalu membebani anggaran daerah. Di
samping itu pemerintah juga perlu menggerakkan partisipasi
masyarakat dalam pelaksanaannya, sehingga budaya dan seni di
tingkat masyarakat turut tergerak dalam acara ini, dan kegiatan yang
dilaksanakan pada acara tahunan ini menjadi kian beragam dan tidak
monoton.
80
4. Pendirian Kantor Pelayanan Perijinan, untuk mempercepat proses
perijinan sebagai upaya meningkatkan daya tarik investasi Kota Kediri.
Semangat yang mendasari pendirian kantor pelayanan perijinan ini
adalah pelayanan secara terpadu dan memangkas jalur birokrasi yang
harus ditempuh. Upaya ini sangat sejalan dengan semangat perubahan
pengelolaan pemerintahan dari yang sangat birokratis menjadi
berorientasi kewirausahaan. Pengembangan pariwisata di Kota akan
semakin didukung oleh keberadaan usaha dan jasa yang terkait dengan
pariwisata seperti pusat perbelanjaan, rumah makan, hotel, biro
perjalanan, money changer, warung telekomunikasi/internet dan usaha
lainnya. Keberadaan Kantor Pelayanan Perijinan sangat strategis dalam
mendukung pengembangan pariwisata sehingga perlu dikelola dengan
serius.
5. Peluncuran situs resmi pemerintah Kota Kediri, www.kotakediri.go.id
sebagai media untuk menarik investasi dan melakukan promosi
pariwisata. Media on line sebagai salah satu wujud implementasi
electronic government (e-gov) ini sempat mati suri setelah pertama kali
diluncurkan pada tahun 2002 melalui pengelolaan oleh Dinas
Informasi, Komunikasi, dan Pariwisata. Namun sejak tahun 2005 situs
resmi pemerintah Kota Kediri ini dihidupkan kembali yang dikelola
oleh Bagian Humas. Sesuai dengan tujuan pembuatannya, yaitu
sebagai media pelayanan informasi, promosi wisata dan peluang
investasi, maka pengelolaan situs tersebut perlu dilakukan secara serius
81
oleh lembaga yang diberikan mandat untuk itu serta didukung SDM
dan infrastruktur yang memadai. Pengelolaannya pun dilakukan
melalui pendekatan pemasaran, artinya keberadaan situs resmi
pemerintah ini benar-benar diarahkan dalam rangka pemasaran
potensi-potensi ekonomi dan promosi objek-objek wisata serta seni
budaya Kota Kediri. Aspek kelembagaan ini perlu dibangun, agar
pengelolaan situs dapat berlangsung secara berkelanjutan.
5.2 Permasalahan yang Dihadapi Pemerintah Kota Kediri
5.2.1 Lingkungan internasional
Dalam penyusunan kebijakan pengembangan pariwisata, pembuat
kebijakan di Kota Kediri perlu menyadari adanya saling keterhubungan yang
sangat erat antara lingkungan kebijakan di tingkat lokal, nasional, dan
internasional yang disebut dengan sistem global. Perkembangan global tersebut
menuntut pembuat kebijakan kepariwisataan di Kota Kediri juga harus
mencermati berbagai perkembangan di lingkungan tersebut, yang akan
memunculkan peluang-peluang sekaligus tantangan dalam upaya pengembangan
pariwisata.
Sistem global mencerminkan adanya suatu interdependensi antara satu unit
sosial politik dan unit lainnya di dunia, yang tidak selalu berada dalam kondisi
yang simetris (Holsti, 1992 : 47). Keterhubungan tersebut disebabkan oleh
liberalisasi ekonomi serta kemajuan teknologi informasi dan komunikasi yang
membuat kompetisi ekonomi semakin ketat dan dunia seolah menjadi tanpa batas,
82
menjadi suatu jaringan kerja yang saling tergantung. Karena itulah berbagai isu
strategis di tingkat internasional seperti perdagangan bebas, keamanan global, Hak
Asasi Manusia (HAM), pelestarian lingkungan, pemberdayaan masyarakat, sistem
informasi, dan sebagainya sangat mempengaruhi formulasi dan konstelasi
kegiatan serta pengembangan kepariwisataan di suatu negara dalam sistem
kepariwisataan dunia (Wacik, 2006 : 1 ).
Kondisi ini menyebabkan berbagai destinasi wisata di Indonesia
dihadapkan pada persaingan global yang sangat terbuka. Hal ini menunjukkan
bahwa upaya Kota Kediri dalam mengembangkan pariwisata tidak hanya akan
menghadapi kompetisi dengan sesama destinasi pariwisata lainnya baik di lingkup
Jawa Timur, Pulau Jawa, serta pulau lainnya. Lebih daripada itu, Kota Kediri juga
akan berkompetisi dengan Singapura, Malaysia, Vietnam, Kamboja, dan berbagai
destinasi lainnya di dunia. Kompetisi akan sangat dirasakan Kota Kediri terutama
bila berkeinginan untuk menarik kedatangan wisatawan asing.
Berbagai perkembangan yang terjadi tersebut menuntut adanya perubahan
pola pikir para pembuat kebijakan. Sebelumnya, kebijakan domestik dianggap
sebagai suatu hal yang sangat terpisah dan tidak terkait dengan kebijakan luar
negeri. Kebijakan domestik dianggap sebagai keputusan-keputusan yang hanya
akan mempengaruhi kondisi di dalam batas-batas negara, sedangkan kebijakan
luar negeri hanya mempengaruhi kondisi di luar batas negara. Kini pandangan
tersebut sudah tidak tepat, karena kebijakan domestik suatu negara sebenarnya
menimbulkan konsekuensi tertentu di negara lain, dan kebijakan luar negeri pun
mempengaruhi kondisi internal negara. Karena itu menurut Stern (2000 : 31)
83
keduanya sudah tidak dapat lagi diperlakukan sebagai entitas yang terpisah. Pola
interdependensi tersebut kini sangat berpengaruh besar dalam proses pembuatan
kebijakan di tingkat domestik sekalipun.
Dalam konteks kepariwisataan, bila merujuk tren tengah yang terjadi di
tingkat internasional, aliran pemikiran dan semangat yang kini mendasari setiap
upaya pengembangan pariwisata adalah pariwisata berkelanjutan. Dalam hal ini,
yang dimaksudkan adalah pengembangan pariwisata yang tidak mengakibatkan
terjadinya kerusakan atau degradasi lingkungan alam dan sosial, serta berorientasi
untuk kepentingan generasi masa depan. Artinya, pengembangan pariwisata yang
dilakukan mencerminkan adanya suatu keseimbangan antara motif-motif untuk
mendapatkan keuntungan ekonomis, pelestarian budaya, dan lingkungan (Müller,
1997 : 29).
Perkembangan tersebut menunjukkan bahwa pariwisata yang perlu
dikembangkan di Kota Kediri adalah pariwisata berkualitas, yang penekanannya
tidak semata pada sisi jumlah wisatawan, melainkan kualitas wisatawan yang
datang ke suatu daerah tujuan wisata. Pengertian kualitas tersebut merujuk pada
daya beli dan tingkat apresiasi wisatawan terhadap seni budaya masyarakat lokal
lingkungan, kekayaan flora dan fauna setempat. Salah satu bentuk dari pariwisata
berkelanjutan ini adalah ekowisata.
Penelitian yang dilakukan oleh Eagles dan Higgins (1998), Wearing dan
Neil (1999), serta Weaver (2001) menjelaskan bahwa terdapat 12 negara yang
menjadi sumber wisatawan yang menyukai ekowisata di kawasan Asia Tenggara.
Kedua belas negara ini memberi kontribusi sebesar 27 persen dari seluruh
84
wisatawan yang datang ke daratan Asia Tenggara, dan jumlahnya cenderung terus
bertambah. Di antara kedua belas negara tersebut, Amerika Serikat, Inggris,
Jerman, Australia, and Prancis merupakan negara-negara utama yang menjadi
sumber wisatawan tipe ini yang datang ke Asia Tenggara. Survei lainnya yang
dilakukan oleh WTO menunjukkan bahwa wisatawan tipe ini tertarik dengan
kegiatan mengamati spesies langka, mengunjungi warga lokal, mempelajari
benda-benda peninggalan bersejarah, dan mengamati satwa burung. Selain itu
wisatawan tipe ekowisata juga sangat menyukai tambahan wawasan-wawasan
baru dari pemandu wisata yang berkualitas, serta juga menyukai kegiatan
mengunjungi daerah-daerah terpencil yang tidak ramai.
Dalam industri pariwisata, interdependensi antara ketiga lingkungan ini
sangat nyata. Fenomena yang terjadi pada suatu negara di dunia, akan
berimplikasi pada suatu daerah di negara lain yang telah berkembang menjadi
destinasi pariwisata. Gejolak yang terjadi di negara-negara sumber wisatawan
akan sangat mempengaruhi kepariwisataan di negara tujuan wisatawan.
Liberalisasi ekonomi dunia juga membuat frekuensi perjalanan wisata semakin
tinggi, destinasi dan produk-produk pariwisata menjadi kian beragam dan sangat
kompetitif.
Dari perspektif perkembangan ekonomi dunia, para ahli ekonomi
memproyeksikan adanya perubahan paradigma ekonomi yang akan membuat
industri pariwisata menjadi salah satu industri yang memiliki peran besar dalam
ekonomi global. Industri ini tidak hanya tumbuh dan berkembang di negara-
negara maju, karena negara-negara berkembang pun banyak yang mengandalkan
85
ekonominya dari sektor pariwisata. Pada awal abad ke-21, para ahli ekonomi
mikro yaitu Joseph Pine II dan James H. Gilmore menyebutkan bahwa negara-
negara industri telah mereposisi ekonominya dari brand-based economy (ekonomi
manufaktur berbasiskan produk-produk bermerek) menjadi experience economy
(ekonomi berbasiskan kesan/pengalaman). Experience adalah kegiatan ekonomi
produktif yang menimbulkan efek keterlibatan. Dalam konteks kepariwisataan,
kegiatan seperti diving, fishing, dolphin watching, parasailing, dan sebagainya
masuk dalam kategori ini. Semua aktivitas tersebut merupakan kemasan
pariwisata modern yang menimbulkan pengaruh kenaikan lapangan kerja sebesar
5,3 persen jauh di atas jasa yang hanya tumbuh 2,7% atau manufaktur yang hanya
naik 0,5 persen dalam perekonomian Amerika Serikat antara tahun 1959-1996.
Data tersebut menunjukkan pariwisata telah memiliki peran yang besar dalam
perekonomian (Kasali, 2004).
Tren perkembangan lainnya di tingkat internasional adalah kemajuan
teknologi informasi yang berpengaruh erat dengan pola perilaku calon wisatawan.
Capra (2005: 121) menjelaskan bahwa internet telah menjadi suatu jaringan
komunikasi global yang sangat kuat, dan banyak perusahaan memanfaatkan
internet sebagai media penghubung antara jaringan pembeli dan penyalur.
Kemajuan teknologi informasi tersebut membuat biro perjalanan tidak lagi
menjadi satu-satunya sumber informasi tentang daerah tujuan. Calon wisatawan
dapat mencari secara langsung berbagai informasi tentang objek wisata, fasilitas
akomodasi, dan transportasi yang dibutuhkan untuk mengelola perjalanannya ke
86
suatu destinasi wisata tanpa melalui situs-situs yang memuat informasi pariwisata
di internet.
Menurut Santosa (2002), website telah menjadi saluran ideal dan alat yang
sangat strategis untuk mempromosikan dan memasarkan daerah tujuan wisata
dengan biaya yang sangat murah. Ketika suatu destinasi tidak terpublikasikan
secara on line di internet, sebenarnya destinasi tersebut kehilangan peluang untuk
mendapatkan perhatian jutaan calon wisatawan di berbagai pelosok dunia yang
kini telah memiliki akses terhadap internet. Karena itulah menurutnya kualitas
informasi yang disediakan dalam website juga sangat penting, karena wisatawan
akan mendasarkan keputusannya untuk mengunjungi suatu daerah tujuan wisata
atau obyek wisata pada informasi tersebut. Negara-negara sumber wisatawan yang
masyarakatnya telah memanfaatkan teknologi ini adalah Amerika Serikat, Jerman,
Jepang, dan Inggris.
5.2.2 Lingkungan nasional
Berikutnya, perkembangan kepariwisataan di tingkat nasional ditunjukkan
dengan terjadinya berbagai gangguan keamanan terhadap wisatawan yang sangat
merusak citra pariwisata Indonesia. Keterhubungan antara peristiwa yang terjadi
di tingkat internasional dengan kondisi nasional dan lokal sangat terlihat di sini.
Operasi militer AS dan sekutunya di Afghanistan dan Irak pascatragedi WTC
pada 11 September 2001 ternyata juga memicu timbulnya sentimen anti AS dan
bangsa asing lainnya di Indonesia yang selanjutnya merembet pada aksi-aksi
terorisme di daerah. Peristiwa tersebut seperti ledakan bom di Bali sebanyak dua
87
kali, yaitu pada 12 Oktober 2002 dan 1 Oktober 2005. Kejadian tersebut belum
termasuk berbagai ledakan bom di Jakarta yang seluruhnya menimbulkan dengan
banyak korban jiwa baik warga lokal maupun warga asing. Akibatnya negara-
negara sumber wisatawan mengeluarkan kebijakan mulai tingkat travel advisory
hingga travel ban, yang membuat arus kedatangan wisatawan dari negara-negara
tersebut ke Indonesia mengalami penurunan secara drastis. Target pemerintah
untuk mendatangkan enam juta wisatawan mancanegara pada tahun 2005 tidak
tercapai (Kompas, 5 September 2005).
Ancaman terhadap keamanan wisatawan asing tersebut juga terus berlanjut
dan meluas di berbagai tempat di Pulau Jawa seiring dengan kasus pemuatan
karikatur Nabi Muhammad oleh sebuah harian di Denmark pada bulan Pebruari
2006. Aksi-aksi unjuk rasa tersebut selanjutnya merembet pada aksi perusakan
kantor kedutaan besar Denmark dan AS oleh kelompok tertentu. Bagi pasar
pariwisata di luar negeri, maraknya aksi unjuk rasa bernuansa politik tersebut
merupakan ancaman yang tidak hanya ditujukan pada negara tertentu, namun juga
negara-negara sumber wisatawan lainnya. Posisi Indonesia semakin terpuruk
dalam pasar pariwisata internasional.
Ketika masalah gangguan keamanan tersebut belum mereda, Indonesia
juga dilanda wabah flu burung (avian influenza) yang sejak akhir tahun 2005
hingga Pebruari 2006 ini belum tertuntaskan. Angka kematian akibat flu burung di
Indonesia bahkan tercatat sebagai yang tertinggi dari berbagai kasus flu burung di
seluruh dunia (Bali Post, 20 Pebruari 2006). Kondisi tersebut diperburuk lagi oleh
bencana alam yang terjadi secara bertubi-tubi di Pulau Jawa dan beberapa
88
wilayah lainnya di Indonesia. Citra Indonesia sebagai destinasi wisata
internasional menjadi semakin tidak meyakinkan.
Perkembangan-perkembangan yang kurang menguntungkan tersebut
tentunya menuntut pemerintah untuk segera melakukan upaya-upaya terobosan
untuk pemulihan pariwisata, mengingat industri pariwisata telah menjadi sektor
ekonomi yang strategis dan menjadi sumber devisa nomor dua setelah minyak dan
gas bumi. Kebijakan yang ditempuh pemerintah pusat dalam menghadapi masalah
ini adalah mengembangkan pasar wisatawan nusantara yang selama ini belum
dikelola secara optimal. Pemerintah berupaya menciptakan pertumbuhan rata-rata
perjalanan wisatawan nusantara sebesar 1,4 persen per tahun, dan menargetkan
jumlah pengeluarannya menjadi Rp 105,9 trilyun pada akhir tahun 2009. Jumlah
kunjungan yang ditargetkan dapat tercapai pada tahun tersebut sebesar 218,8 juta
dan perjalanan wisatawan nusantara di setiap provinsi, kabupaten/kota juga
ditargetkan terus meningkat (Wacik, 2006 : 2).
5.2.3 Lingkungan lokal
Di tingkat lokal, implementasi sistem otonomi daerah membuat
keterkaitan antara ketiga lingkungan tersebut bertambah erat. Di satu sisi sistem
akan mendatangkan peluang, namun di sisi lain juga memunculkan hambatan
tersendiri. Peluang ini muncul bila pemerintah daerah dapat memahami otonomi
daerah secara benar, yaitu sebagai momentum untuk mengenali, mengembangkan,
dan memberdayakan potensi-potensi ekonomi lokal secara jauh lebih leluasa tanpa
adanya hambatan yang terlalu banyak oleh lingkungan nasional bila dibandingkan
89
era sebelum otonomi daerah. Pemilik modal asing dapat melakukan penetrasi
langsung ke daerah tanpa terlalu banyak hambatan birokrasi di tingkat
pemerintahan pusat. Demikian pula sebaliknya, dengan kemampuan komparatif
dan kompetitif yang dimiliki, para pengelola pembangunan maupun pebisnis di
daerah dapat menjangkau sumber daya-sumber daya ekonomi di tingkat
internasional untuk disinergikan dengan proses pembangunan di daerah secara
lebih mudah. Karena itulah penyelenggara pemerintahan di pusat dan daerah harus
mulai menggunakan pemasaran strategis (strategic marketing approach) di mana
konsep-konsep pemasaran seperti positioning, diferensiasi, dan branding yang
selama ini hanya dikenal di dalam dunia bisnis harus mulai diadopsi. Kepala
daerah juga harus memiliki gambaran mengenai kondisi terakhir maupun prediksi
3 hingga 5 tahun ke depan tentang kompetitornya, wisatawan-pebisnis-investor
sebagai pelanggan daerah, dan kondisi internal daerah (Kartajaya, 2005).
Kondisi ini menuntut kepala daerah harus tanggap dan dapat merespons
berbagai perubahan besar di tingkat lokal, nasional, dan global yang sangat
berpengaruh terhadap pengelolaan pemerintahan. Merujuk pada berbagai
perkembangan yang terjadi di tingkat internasional dan nasional tersebut, maka
pemerintah Kota Kediri nampaknya perlu melakukan penyesuaian-penyesuaian
terhadap kebijakan pengembangan pariwisata yang telah dilakukan. Bagi
Pemerintah Kota Kediri, sistem ini memberikan peluang sekaligus tantangan
untuk melaksanakan pembangunan daerahnya secara lebih baik.
Dalam pengembangan daya tarik wisata di kawasan Selomangleng
misalnya, pemerintah Kota Kediri perlu merujuk pada pola pariwisata
90
berkelanjutan. Sebagai kota berukuran kecil, yaitu 63,40 km² daya dukung
lingkungan Kota Kediri tentu sangat terbatas. Ini berarti pariwisata yang layaknya
dikembangkan di Kota Kediri bukanlah mass tourism, yang ditandainya dengan
kedatangan wisatawan secara massal, karena akan berimplikasi pada beratnya
tekanan terhadap lingkungan.
Lebih lanjut seiring dengan program pemerintah pusat untuk
mengembangkan pariwisata domestik, pemerintah Kota Kediri pun nampaknya
dapat berupaya untuk menyasar segmen ini. Dalam lingkup regional Kota Kediri
memiliki peluang untuk menarik kedatangan wisatawan dari kabupaten/kota yang
berbatasan langsung dan berdekatan dengan Kota Kediri seperti Kabupaten Kediri,
Blitar, dan Nganjuk, maupun Kabupaten Jombang, Mojokerto, Jombang, Sidoarjo,
Kota Surabaya, dan sebagainya. Hal ini sangat memungkinkan mengingat posisi
Kota Kediri yang berada pada lintasan 7 jalur lintasan primer di Provinsi Jawa
Timur, salah satunya adalah jalur arteri primer Kota Surabaya-Kabupaten
Tulungagung.
Sebuah studi yang dilakukan Yahya (2005), ahli statistik dari ITS,
menunjukkan bahwa pada setiap hari libur warga Kota Surabaya memiliki
kecenderungan untuk berlibur ke luar kota. Ia memperkirakan, pada setiap hari
libur terdapat sekitar 100 hingga 200 ribu kendaraan bergerak ke luar Kota
Surabaya yang mengarah ke Kabupaten Sidoarjo dan daerah-daerah sekitarnya.
Para pelancong ini berangkat pada pagi dan balik pada malam atau sore harinya
(Jawa Pos, 7 Pebruari 2005). Jarak Kota Kediri yang cukup jauh dari Kota
Surabaya sebagai titik distribusi menjadi salah satu persoalan dalam upaya
91
menarik kunjungan wisatawan dari ibu kota Provinsi Jawa Timur tersebut. Jarak
sejauh 125 km, dengan kondisi lalu lintas yang selalu padat, sehingga
membutuhkan waktu tempuh sekitar 2 hingga 2,5 jam menuntut adanya upaya
yang serius untuk meningkatkan daya tarik wisata Kota Kediri, karena harus
bersaing dengan daerah lainnya yang berjarak lebih dekat dengan Kota Surabaya
dan telah lebih memiliki infrastruktur penunjang aktivitas pariwisata yang
memadai seperti Kota Batu, Kabupaten/Kota Malang, dan Kabupaten/Kota
Pasuruan.
Terkait dengan tren pemanfaatan teknologi informasi untuk pemasaran
pariwisata, pemerintah Kota Kediri nampaknya belum melakukan upaya-upaya
terukur dan sistematis untuk memasarkan produk-produk pariwisata Kota Kediri.
Idealnya pemerintah mulai memanfaatkan website resmi pemerintah yang telah
dimiliki, yaitu www.kotakediri.go.id sebagai media untuk mempromosikan dan
memasarkan produk-produk kepariwisataan sekaligus peluang-peluang investasi
di Kota Kediri. Saat penelitian ini dilaksanakan, situs tersebut belum
dimanfaatkan secara optimal untuk memperkenalkan Kota Kediri dan menarik
investor dan wisatawan. Dari segi tampilan website ini kurang menarik serta
belum memuat informasi yang memadai untuk dapat menarik minat pengunjung
situs untuk berwisata maupun untuk berinvestasi ke Kota Kediri. Informasi daya
tarik wisata yang disajikan dalam situs dimaksud sangat terbatas, dan tidak
didukung tampilan foto-foto objek setempat. Padahal foto-foto objek dan daya
tarik yang dimiliki Kota Kediri amatlah banyak, yang sebagian di antaranya
disajikan pada bagian lampiran tulisan ini.
92
Di masa kini peran situs internet untuk mempromosikan daya tarik
pariwisata Kota Kediri menjadi kian strategis, mengingat internet merupakan
merupakan wahana informasi yang dapat menjangkau seluruh pelosok dunia serta
dapat diakses sepanjang waktu yaitu 24 jam sehari, 7 hari seminggu sepanjang
tahun tanpa harus terikat dengan jam kerja. Media ini pun sangat penting menjadi
salah satu basis promosi mengingat pariwisata sendiri merupakan sebuah aktivitas
yang melintasi batas-batas wilayah negara. Informasi yang penting disajikan
melalui media situs web pemerintah Kota Kediri ini misalnya apa dan bagaimana
sejarah Kota Kediri sehingga layak dikunjungi, jenis objek wisata yang
ditawarkan, lokasi dan akses menuju Kota Kediri, fasilitas hotel/restoran dan
pendukung aktivitas wisatawan lainnya, potensi-potensi investasi dan
perdagangan, serta informasi dan foto-foto objek setempat yang menarik. Untuk
menarik minat investor maupun pebisnis dari dalam dan luar negeri maka perlu
juga disampaikan produk-produk khas Kota Kediri, syarat-syarat ijin investasi
serta peraturan-peraturan terkait mulai dari tingkat undang-undang, hingga
peraturan daerah setempat.
Keinginan dan inisiatif untuk memanfaatkan teknologi informasi dalam
upaya mendongkrak arus kedatangan wisatawan juga menjadi keinginan Dinas
Pariwisata Provinsi Jawa Timur. Instansi ini tengah berupaya membangun sebuah
kios interaktif berbasis web yang memuat informasi tentang 120 tempat pariwisata
di Provinsi Jawa Timur. Informasi pada website tersebut direncanakan dapat
diperbarui seminggu sekali ( berdasarkan laporan Jawa Pos, 10 Maret 2005).
93
Namun sayangnya dari penelusuran penulis, hingga tulisan ini dilaporkan kiosk
interactive dimaksud ternyata belum diimplementasikan.
Dari sudut pandang kehumasan, internet juga dapat dimanfaatkan sebagai
media untuk melaksanakan fungsi-fungsi kehumasan dan pemasaran. Perspektif
kehumasan yang berkembang seiring dengan maraknya komunikasi melalui media
internet adalah cyber public relations, atau electronic public relations (e-pr).
Pengertian konsep ini merujuk suatu upaya membangun reputasi dengan
mengkomunikasikan informasi dan mendengarkan permintaan pelanggan melalui
media internet (Onggo, 2004 : xiv) .
Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi menuntut para praktisi PR
untuk membangun hubungan dengan publik melalui media internet. Onggo
menyebutkan, ribuan one to one relations dapat dibangun secara simultan lewat
media internet, sehingga media ini merupakan sarana yang ampuh untuk
membangun relasi, karena sifatnya yang konstan, cepat, hemat, dan interaktif.
Strategi e-pr ini dapat dimanfaatkan Bagian Humas untuk mempublikasikan
kegiatan-kegiatan di bidang pemerintahan, pembangunan, dan sosial
kemasyarakatan kepada publik dengan cepat dan efisien. Walau demikian, ini
tidak berarti e-pr dapat menggantikan fungsi-fungsi offline pr, melainkan bersifat
mendukung. Sisi hubungan kemanusiaan masih sangat berperan besar, dan e-pr
selanjutnya berfungsi untuk memperkuatnya. Ini menunjukkan bahwa
implementasi teknologi informasi dan komunikasi memang sudah sangat sesuai
dengan tantangan dan kebutuhan tugas-tugas kehumasan termasuk pemasaran
pariwisata daerah di masa kini.
94
Dalam upaya mempromosikan pariwisata dan budaya, pemerintah melalui
Kantor Pariwisata dan Seni Budaya telah memprogramkan berbagai bentuk
kegiatan promosi pariwisata dan budaya, seperti pelaksanaan festival kesenian
jaranan untuk menghidupkan kreativitas kelompok-kelompok kesenian di Kota
Kota Kediri, maupun dengan mengikuti berbagai festival budaya yang
dilaksanakan di berbagai kota di Jawa Timur hingga Jakarta, serta pengiriman
misi kesenian ke Bali. Pemerintah Kota Kediri bahkan pernah mengirimkan tim
kesenian pada hari ulang tahun Kota Negara, Jembrana, pada Agustus 2002 dan
2003.
Sebagai penunjang promosi pariwisata, pemerintah juga telah mencetak
brosur-brosur tentang kepariwisataan Kota Kediri. Biaya yang telah dikeluarkan
pemerintah untuk berbagai promosi tersebut sangat besar, namun keterbatasan
tetap saja ada. Pengiriman misi kesenian ke luar daerah misalnya, memang akan
dapat mempromosikan Kota Kediri namun jika dapat dilakukan didukung secara
rutin dan didukung dengan publikasi yang gencar. Namun pada kenyataannya
kemampuan anggaraan untuk melaksanakan promosi pariwisata ini sangat terbatas,
serta dukungan publikasi yang ada tidak sebesar yang dibutuhkan. Begitu pula
halnya dengan penyebaran brosur. Brosur ini tentu tidak dapat menjangkau
seluruh daerah yang berpotensi untuk mendatangkan wisatawan.
Berbagai masalah di setiap level lingkungan kebijakan yang memiliki
keterhubungan yang erat dengan Kota Kediri dirangkum pada Tabel 5.3.
95
Tabel 5.3 Peta Masalah Lingkungan Kebijakan Pengembangan Pariwisata Kota
Kediri
No Lingkungan Internasional Lingkungan Nasional Lingkungan Lokal 1. Tren meningkatnya pendapatan
dan pengisian waktu luang untuk berwisata, sehingga industri pariwisata kian berperan dalam ekonomi dunia
Kontribusi pariwisata terhadap ekonomi nasional cukup besar, menjadi sumber penghasil devisa nomor 2
Sistem otonomi daerah mengharuskan pemerintah mengeluarkan kebijakan pembangunan yang inovatif
2. Perkembangan pariwisata yang sangat pesat sebagai industri massal menimbulkan problem-problem lingkungan, sosial, dan budaya, sehingga kini paradigma bergeser ke pariwisata berkelanjutan
Banyaknya gangguan, dan kondisi keamanan tidak kondusif sehingga arus kedatangan wisatawan asing menunjukkan pertumbuhan negatif
Pembangunan ekonomi belum optimal, anggaran pembangunan masih tergantung pemerintah pusat
3. Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) yang mengubah pola pengelolaan perjalanan wisatawan
Pemerintah berupaya mengembangkan potensi pasar pariwisata domestik yang belum tergarap maksimal
Ada potensi wisata yang belum terkelola, membutuhkan pemeliharaan
5.3 Kebijakan Untuk Pengembangan Pariwisata Lebih Lanjut
Konsekuensi dari semakin eratnya keterkaitan tiga lingkungan tersebut
adalah bahwa pemerintah Kota Kediri harus bekerja dengan kerangka berpikir
yang lebih luas. Pembuat kebijakan dituntut tidak sekadar memiliki pemahaman
terhadap perkembangan yang terjadi pada lingkungan domestik mereka, namun
juga tren perubahan yang sedang terjadi pada lingkungan nasional dan
internasional. Hal ini membuat proses pembuatan kebijakannya pun selayaknya
dilakukan melalui analisis terhadap perkembangan yang terjadi pada ketiga level
lingkungan kebijakan yang melingkupinya. Tujuannya adalah membangun peta
permasalahan yang dapat membantu pemerintah dalam memahami persoalan-
96
persoalan yang dihadapi, beradaptasi dengan perkembangan lingkungannya,
sehingga kebijakan yang dibuat pun akan berdaya guna dan tepat sasaran.
Masalah-masalah di atas selanjutnya menjadi input dalam proses kebijakan
pengembangan pariwisata Kota Kediri. Penjabaran model sistem untuk
menguraikan proses perumusan kebijakan pengembangan pariwisata Kota Kediri
diterangkan pada Gambar 5.1. Berdasarkan model perumusan kebijakan yang
dibangun melalui pendekatan sistem tersebut, pemerintah perlu merumuskan
kembali langkah-langkah perumusan kebijakan pengembangan pariwisatanya agar
sesuai dengan lingkungan yang mengitarinya. Kebijakan tersebut secara garis
besar mencakup pariwisata berkelanjutan, pengembangan pasar domestik, dan
pendayagunaan teknologi informasi sebagai media promosi pariwisata dan budaya.
Berdasarkan kajian penulis, persoalan yang terjadi dalam pengembangan
pariwisata di Kota Kediri adalah lemahnya aspek perencanaan, mulai perencanaan
awal dalam rangka pembangunan fisik hingga perencanaan bisnis. Sejauh ini
dokumen perencanaan yang ada hanyalah sketsa site plan Kawasan Pariwisata
Selomangleng. Padahal objek-objek lain yang berada di luar kawasan juga
merupakan bagian integral yang turut menunjang pengembangan pariwisata. Salah
satu upaya yang perlu dilakukan adalah menyusun peta potensi wisata Kota Kediri.
Dalam tulisan ini penulis menggunakan konsep Inskeep untuk mengenali potensi
wisata yang ada.
97
Melalui implementasi konsep daya tarik wisata menurut Inskeep (1991:77)
dihasilkan pemetaan daya tarik wisata Kota Kediri seperti dijabarkan pada Tabel
INPUT ( Lingkungan Eksternal )
Tren Pariwisata Internasional :
• Pariwisata internasional terus berkembang pesat sebagai industri yang dapat memajukan ekonomi negara/destinasi
• Paradigma yang berkembang adalah pariwisata berkelanjutan
• Kemajuan teknologi informasi bentuk segmen wisatawan khusus
( Lingkungan Intermediate )
Tren Pariwisata Nasional: • Pariwisata sumber
devisa nomor 2 • Pariwisata Indonesia
mengalami pertumbuhan negatif
Pemerintah berupaya lebih mengembangkan pariwisata domestik
( Lingkungan Intim ) Kondisi Pariwisata dan Ekonomi Lokal: Sistem otonomi daerah
mendorong daerah harus kreatif
Pembangunan ekonomi belum optimal, anggaran pembangunan tergantung dari pemerintah pusat
Ada potensi wisata yang belum terkelola dengan baik, butuh pemeliharaan
OUTPUT
Kebijakan Pengembangan
Pariwisata Kota Kediri: Pengelolaan potensi
pariwisata untuk mengembangkan pariwisata berkelanjutan,
Pengembangan pariwisata menitikberatkan pada pariwisata domestik
Pemasaran pariwisata terpadu berbasis web
PROSES
Umpan Balik
Gambar 5.1 Implementasi Model Sistem Pada Perumusan Kebijakan Pariwisata
Kota Kediri
98
5.4 yang dapat terus dikembangkan sesuai pengembangan lebih lanjut oleh
instansi terkait.
Tabel 5.4 Implementasi Konsep Inskeep tentang Daya Tarik Wisata di Kota Kediri
Daya Tarik Alam Daya Tarik Budaya/Sejarah
Daya Tarik Buatan Mode Transportasi Khas
Makanan Khas
a. Gunung Maskumbang
b. Gunung Klotok c. Sungai Brantas
a. Goa Selomangleng b. Masjid Agung c. Pura Dewi
Sekartaji d. Makam Mbah
Boncolono & Tumenggung Mojoroto
e. Koleksi Museum Airlangga
f. Kesenian Jaranan g. Wayang kulit h. Festival Budaya
Hari Jadi Kota Kediri
i. Pemilihan Panji-Galuh
j. Kompleks Makam Setono Gedong
a. Kolam Renang dan Taman Hiburan Selomangleng
b. Taman Rekreasi Pagora dan Kolam Renang Tirtoyoso
c. Jalan Tembus Lebak Tumpang-Selomangleng
d. Pertandingan Sepak Bola di Stadion Brawijaya
e. Mal Sri Ratu & Golden
f. Kawasan pertokoan Jl.Dhoho
g. Kawasan penjualan tahu takwa Jl. Yos Sudarso & Patimura
h. Taman Sekartaji i. Pabrik Gula PTPN
XI j. Pabrik Rokok
Gudang Garam
Becak a. Nasi Pecel Tumpang Kediri
b. Nasi Rawon c. Tahu Takwa d. Nasi Liwet e. Minuman
Sari Kelapa (Legen)
Sumber:Hasil pengamatan penulis
Selanjutnya untuk memudahkan identifikasi yang lebih dalam terhadap
modal kepariwisataan Kota Kediri, penulis membagi objek wisata tersebut ke
dalam dua kelompok, yaitu objek wisata di dalam dan di luar kawasan
Selomangleng. Bila objek yang terdapat di setiap lokasi tersebut dikaitkan dengan
tipe aktivitas wisata yang dapat dilaksanakan, maka dapat disusun pemetaan
seperti terdapat pada Tabel 5.5 dan Tabel 5.6.
99
Tabel 5.5 Objek dan Tipe Aktivitas Wisata di Dalam Kawasan Selomangleng
Tipe Aktivitas Wisata No
Nama Objek Alam Spiritual Olah
Raga Sejarah Belanja Keluarga
Pendidikan
1 Goa Selomangleng
√ √ √
2 Koleksi Museum Airlangga
√ √
3 Pura Dewi Sekartaji
√
4 Gunung Klotok √ √ 5 Bukit
Maskumambang √
6 Jalan Tembus Lebak Tumpang dan Jalan Lingkar Maskumambang
√ √
7 Makam Mbah Boncolono dan Tumenggung Mojoroto
√
8. Kolam Renang dan Taman Hiburan Selomangleng
√
Tabel 5.6 Objek dan Tipe Aktivitas Wisata di Luar Kawasan Selomangleng
Tipe Aktivitas Wisata
No
Nama Objek Alam Spiritual Olah Raga
Sejarah Belanja Keluarga
Pendidikan
1 Dermaga dan Sungai Brantas
√ √
2 Kompleks Makam Setono Gedong
√
3 Mal Sri Ratu dan Golden
√ √
4 Pertokoan Jalan Dhoho
√
5 Kawasan Penjualan Tahu Takwa Jl. Yos Sudarso dan Pattimura
√
6 Taman Rekreasi Pagora dan Kolam Renang Tirtoyoso
√ √
7 Masjid Agung √ √ 8 Pertandingan √
100
Sepak Bola di Stadion Brawijaya
9 Taman Sekartaji
√ √
10 Pabrik gula PTPN XI
√ √
11 Pabrik Rokok Gudang Garam
√ √
Sumber : Hasil pengamatan penulis
Merujuk pada penjelasan Soekadijo (2000 : 50), maka berdasarkan tabel di
atas maka nampak bahwa Kota Kediri sebenarnya memiliki modal kepariwisataan
yang cukup beragam untuk dikembangkan lebih lanjut. Bila setiap daya tarik
tersebut telah dikelola dengan baik, maka berarti Kota Kediri memiliki banyak
produk-produk pariwisata yang dapat ditawarkan kepada calon wisatawan melalui
biro perjalanan wisata.
Pemetaan terhadap tipe aktivitas kepariwisataan tersebut selanjutnya dapat
dijabarkan dalam model zonasi pariwisata Kota Kediri seperti dijelaskan melalui
Gambar 5.2. Gambar dimaksud memposisikan Goa Selomangleng sebagai objek
inti dan menjadi ikon kepariwisataan Kota Kediri sehingga berada dalam zona inti
aktivitas wisata budaya. Ini berarti bahwa objek ini pula yang idealnya menjadi
fokus pengelolaan pemerintah melalui upaya-upaya pelestarian, penelitian dan
pemanfaatan daya tariknya. Upaya penggalian makna eksistensi kesejarahan goa
ini yang perlu dieksploitasi sebagai daya tarik wisata sejarah dan budaya Kota
Kediri. Hal ini perlu dilakukan mengingat di dalam dan sekitar Goa Selomangleng
terdapat objek-objek berupa relief maupun patung yang memiliki makna sejarah
tinggi, namun sejauh ini belum ada dokumen resmi yang menjelaskan makna dari
setiap objek yang terdapat di dalam maupun di lingkungan sekitar goa tersebut.
Untuk menjaga kelestarian Goa Selomangleng, maka intensitas pengunjung ke
101
dalam goa juga perlu diperhatikan, agar tidak menimbulkan dampak yang
berpotensi merusak keaslian goa.
Aktivitas wisata di objek-objek lainnya yang di dalam kawasan merupakan
tambahan daya tarik untuk menahan wisatawan lebih lama berkunjung di dalam
kawasan yang berada pada zona berikutnya. Objek pada zona ini seperti Museum
Airlangga yang menyimpan benda-benda bersejarah era Hindu merupakan objek
yang masih memiliki keterkaitan erat dengan Goa Selomangleng sebagai objek
inti. Ragam aktivitas pada objek ini berupa wisata sejarah dan budaya, serta
pendidikan seperti telah dipetakan melalui Tabel 5.5, merupakan objek yang
ditujukan bagi wisatawan yang lebih berminat pada jenis aktivitas lainnya seperti
wisata keluarga, alam, dan spiritual.
Selanjutnya keberadaan objek-objek di luar kawasan Selomangleng seperti
telah dijabarkan pada Tabel 5.6 juga dapat dikelola dan dimanfaatkan untuk
menahan wisatawan untuk berkunjung lebih lama di Kota Kediri. Bagi wisatawan
yang berminat dengan aktivitas wisata belanja, aktivitas yang memang identik
selalu ada dalam pariwisata, pemerintah dapat menawarkan kawasan pertokoan
Jalan Dhoho, pertokoan penjual tahu takwa di Jl. Yos Sudarso, serta mal Sri Ratu
dan Golden sebagai pemenuh kebutuhan tersebut. Demikian pula bagi wisatawan
yang memiliki minat terhadap wisata olah raga, khususnya sepak bola, pemerintah
dapat menawarkan pertandingan sepak bola di Stadion Brawijaya sebagai jawaban
atas kebutuhan tersebut. Dalam hal ini tentunya pemerintah perlu berkoordinasi
dengan manajemen Persik Kediri mengenai jadwal dan ketersediaan tiket untuk
menyaksikan pertandingan tersebut. Pola-pola kerja sama antara pemerintah dan
102
kalangan swasta ini sebenarnya telah menjadi bagian dalam program
pengembangan pariwisata, namun nampaknya belum banyak dilakukan.
Pertandingan sepak bola ini misalnya, belum dikelola melalui kerangka
pengelolaan wisata olah raga. Bila sudah, tentunya pihak hotel atau biro wisata
tentunya dapat menawarkan pertandingan sepak bola ini sebagai salah satu produk
pariwisata Kota Kediri kepada wisatawan. Dengan demikian wisatawan yang
sedang berwisata ke Kota Kediri dapat sekaligus memesan tiket pertandingan
melalui pihak hotel/biro perjalanan. Aktivitas lainnya yang merupakan
pengembangan lebih lanjut dikembangkan dengan merujuk pada prinsip-prinsip
pariwisata budaya khas Kota Kediri. Dengan demikian, pengembangan pariwisata
Kota Kediri sesuai dengan potensi yang ada dapat dikelompokkan ke dalam
lapisan-lapisan aktivitas wisata mulai dari zona inti, zona penunjang di dalam
kawasan, dan zona penunjang di luar kawasan. Aktivitas wisata budaya yang
dipadukan dengan wisata sejarah dan spiritual menjadi jiwa dari kepariwisataan
Kota Kediri.
Berdasarkan peta permasalahan yang terbangun tersebut, dalam upaya
pengembangan pariwisata lebih lanjut Pemerintah Kota Kediri perlu melakukan
retrospeksi terhadap kebijakan pengembangan yang telah dilakukan selama ini.
Merujuk pada tujuan pengembangan pariwisata, kebijakan tersebut dibuat dalam
rangka peningkatan perekonomian daerah. Hal ini bermakna bahwa pembuat
kebijakan perlu memperjelas target-target yang ingin dicapai melalui kebijakan
tersebut.
103
Kesulitan-kesulitan yang muncul dalam memproyeksikan hasil
pengembangan pariwisata terjadi karena sebelumnya pemerintah kurang
mendapatkan input informasi yang memadai tentang kepariwisataan dalam
lingkup lokal, regional, dan internasional. Hal ini terbukti dengan kenyataan tidak
adanya studi-studi pendahuluan secara menyeluruh tentang perencanaan
pariwisata, sebelum pemerintah memutuskan untuk melakukan pengembangan
pariwisata. Kajian-kajian dan seminar ilmiah yang terkait dengan pengembangan
pariwisata memang pernah dilakukan, namun sifatnya parsial karena hanya
Zona Penunjang
Zona Penunjang di Luar Kawasan
Gambar 5.2 Zonasi Aktivitas Kepariwisataan Kota Kediri
Zona Inti
104
membahas fakta-fakta sejarah yang dapat menjadi dasar penetapan hari jadi dan
busana khas Kota Kediri. Penelitian ilmiah yang dilanjutkan hingga tahap seminar
yang pernah dilakukan pada tahun 2002 hanyalah tentang penetapan hari Jadi
Kota Kediri dan busana khas Kediri. Penelitian atau setidaknya survei lainnya
seperti tipe wisatawan yang diharapkan datang ke Kota Kediri belum pernah
dilakukan.
Masalah yang terjadi akibat tidak memadainya survei pendahuluan terjadi
pada proyek pengembangan kawasan wisata Selomangleng. proyek pembangunan
kolam renang dan taman hiburan ini jaraknya sangat berdekatan dengan Goa
Selomangleng, sehingga menimbulkan protes dari Balai Penelitian Peninggalan
Purbakala di Mojokerto. Proyek ini dikhawatirkan akan sangat berpotensi
mengganggu dan merusak struktur fondasi situs bersejarah Goa Selomangleng.
Protes ini bisa dipahami, mengingat keberadaan Goa Selomangleng sebagai situs
bersejarah harus sangat dilindungi pemerintah sesuai dengan UU No 5 tahun 1992
tentang Cagar Budaya. Secara eksplisit, amanat untuk melindungi benda cagar
budaya tersebut disebutkan pada pasal 18 ayat 1 yang menyebutkan bahwa
pengelolaan benda cagar budaya dan situs adalah tanggung jawab pemerintah.
Pengembangan objek-objek wisata buatan di dalam suatu kawasan yang
menyimpan banyak benda bersejarah tentunya harus dilakukan dengan sangat
berhati-hati dan mengembangkan suatu sistem zonasi. Namun di sisi lain,
pemerintah Kota Kediri nampaknya juga menghadapi dilema. Tanpa adanya
pengembangan objek tambahan sebagai penambah daya tarik Goa Selomangleng
sebagai objek inti, maka pengelolaannya objek wisata sejarah, budaya, dan
105
spiritual sulit dilakukan. Padahal selain Goa Selomangleng objek bersejarah
lainnya di dalam kawasan yang harus dilestarikan sangat banyak, tidak seimbang
dengan kemampuan anggaran pemerintah yang sangat minim. Sejak berlakunya
sistem otonomi daerah, pengelolaan benda-benda bersejarah menjadi tidak jelas.
Tanggung jawab pemeliharaan dan perlindungan masih oleh pemerintah pusat,
termasuk anggaran pelestariannya. objek-objek yang secara fisik berada di
wilayah daerah otonom ini akhirnya jarang mendapatkan perhatian dari instansi
terkait. Pemerintah daerah tentu saja tidak bisa melepaskan tanggung jawabnya.
Sayangnya dari sisi anggaran dan SDM, kondisi pemerintah daerah pun tidak
memungkinkan untuk melakukan pelestarian.
Kondisi-kondisi mendesak ini yang nampaknya membuat pemerintah Kota
Kediri mengambil langkah berani untuk mengembangkan kawasan ini dengan
segera. Sekalipun gesekan antara pemerintah Kota Kediri dan pihak Balai
Penelitian Peninggalan Purbakala ini dapat terselesaikan, ini merupakan suatu
pelajaran betapa pentingnya kajian-kajian perencanaan dilakukan sebelum
pemerintah mengambil langkah lebih jauh. Sebagian masalah yang terjadi pada
sejumlah objek dan daya tarik wisata Kota Kediri saat penelitian ini dilakukan
terangkum dalam Tabel 5.7.
Pengembangan pariwisata di Kota Kediri masih berada pada tahap yang
sangat dini, yaitu penyediaan infrastruktur penunjang. Biaya yang dikeluarkan
juga sangat besar, namun berapa target pendapatannya belum dapat diketahui pasti.
Namun secara politis, citra pemerintah dan kota ini menjadi terangkat. Dana yang
dikeluarkan pemerintah untuk pengembangan pariwisata sangat besar, namun
106
belum dapat diketahui dengan jelas, kapan dan berapa banyak pendapatan yang
akan dihasilkan. Namun kondisi objektif menunjukkan bahwa masyarakat
memang membutuhkan fasilitas untuk berwisata, dan sesuatu yang dapat
dibanggakan di daerahnya. Bila pemerintah tidak berani mengambil keputusan
untuk mengembangkan pariwisata, masyarakat akan beranggapan bahwa
pemerintahan saat ini tidak banyak melakukan perubahan-perubahan, sehingga
tidak jauh berbeda dengan pemerintahan-pemerintahan sebelumnya. Kebijakan
berani untuk mengembangkan pariwisata tanpa suatu kajian perencanaan yang
mendalam ini ternyata sangat ampuh mendongkrak citra pemerintah. Hal ini
terbukti dengan terpilihnya kembali HA Maschut sebagai Walikota Kediri periode
2004-2009.
Masalah-masalah lain juga muncul dari sisi lingkungan sosial dan fisik.
Konsep wisata budaya dan spiritual yang sering dipromosikan pemerintah, oleh
sebagian warga telah dibuat menyimpang, akibat sering menggunakan kawasan
ini untuk memadu asmara yang cenderung menjurus ke arah hubungan seksual pra
nikah. Akibatnya citra kawasan ini sebagai objek bagi pecinta alam, berubah
menjadi objek bagi para penggemar “bercinta di alam”. Ini terjadi akibat masih
minimnya fasilitas penerangan di sekitar kawasan, yang dimanfaatkan sejumlah
muda-mudi untuk bermesraan di malam hari. Maraknya aktivitas bermesraan
dalam kegelapan ini akhirnya membuka peluang terjadinya tindak kriminal berupa
pemalakan. Warga masyarakat beberapa kali melaporkan kasus pemalakan oleh
orang-orang tidak bertanggung jawab terhadap pasangan muda-mudi yang tengah
107
berpacaran di suasana keremangan malam. Faktor gangguan keamanan tentu
sangat merugikan upaya pengembangan pariwisata yang sedang dilakukan.
Tabel 5.7 Masalah Pada Objek dan Daya Tarik Wisata Kota Kediri
No Objek Masalah 1. Goa Selomangleng 1. Rendahnya apresiasi pemerintah dan pengunjung terhadap
objek bernilai sejarah tinggi 2. Tidak adanya upaya konservasi terhadap goa sehingga aset
tak ternilai ini terancam rusak akibat ulah tangan jahil yang melakukan pencoretan dan maupun pembuangan sampah
3. Belum adanya upaya penggalian sejarah keberadaan goa yang dapat menjadi penambah daya tarik bagi wisatawan
2. Museum Airlangga 1. Rendahnya apresiasi pemerintah dan pengunjung terhadap objek bernilai sejarah tinggi. Koleksi museum hanya dipahami sebagai kumpulan patung, belum ada apresiasi terhadap nilai sejarahnya
2. Tidak adanya informasi lengkap tentang latar belakang kesejarahan koleksi-koleksi museum
3. Kurangnya perawatan sehingga museum terkesan kumuh dan tidak terawat
3. Gunung Klotok dan Maskumambang
1. Masih kurangnya upaya-upaya penghijauan secara berkelanjutan, sehingga fungsi objek sebagai wisata alam sekaligus konservasi belum optimal
2. Belum adanya upaya perlindungan hutan sehingga masih ada praktek perladangan yang seringkali menyebabkan kebakaran
4. Kolam Renang dan Taman Hiburan Selomangleng
1. Belum adanya kejelasan status pengelolaan, oleh pemerintah atau swasta
2. Lokasi yang terlalu dekat dengan goa sehingga dikhawatirkan dapat mengganggu struktur fondasi goa.
5. Kolam Renang Pagora
1. Kurangnya pemeliharaan, sehingga kurang nyaman dan bersih bagi pengunjung
Sumber: Hasil pengamatan penulis
Masalah kebersihan juga muncul sebagai dampak aktivitas ekonomi yang
belum terkelola baik di dalam kawasan. Pedagang keliling banyak bermunculan
setiap hari libur untuk mengais rejeki. Sayangnya, mereka menjajakan dagangan
di sembarang tempat. Mulai dari tangga menuju goa, bahkan hingga di pelataran
goa, seperti gambar pada Lampiran 23. Akibatnya jelas, sampah menjadi
berserakan mengotori lingkungan sekitar kawasan yang seharusnya selalu terjaga
108
kebersihan dan keasriannya karena menjadi objek wisata. Sebuah papan
pengumuman yang mewajibkan pengunjung menjaga kelestarian lingkungan di
Goa Selomangleng dan lingkungan sekitarnya sebenarnya sudah terpasang di
dekat lokasi goa. Namun himbauan ini belum diperhatikan oleh pengunjung.
Perkembangan-perkembangan ini akhirnya mengusik ketenangan masyarakat
spiritual, yang sangat menghormati kesucian goa dan lingkungan sekitarnya.
Berdasarkan pengamatan penulis, kondisi tersebut memang menimbulkan
kesemrawutan, sehingga ketika pengunjung sedang ramai, situasi di sekitar goa
menyerupai pasar. Goa, kolam renang, museum, panggung hiburan, dan pura
terletak dalam jarak yang berdekatan. Ketika di panggung hiburan sedang
dilaksanakan hiburan musik dangdut, maka jelas pengunjung Pura Sekartaji juga
akan terganggu. Berbagai objek dengan tipe aktivitas yang berbeda terdapat dalam
jarak yang berdekatan, namun hanya dihubungkan dengan satu akses. Objek
wisata olah raga trekking di daerah pegunungan, Wisata spiritual dan sejarah di
Goa Selomangleng, Makam Mbah Boncolono, dan Pura Dewi Sekartaji, serta
wisata pendidikan di Museum Airlangga. Panggung hiburan yang terletak pada
jarak yang dekat, sekali waktu mementaskan kesenian tradisional jaranan, atau
musik dangdut. Akibatnya pada hari Minggu dan hari libur lain, kebisingan sangat
terasa karena lalu lintas dan mobilitas wisatawan yang cukup padat dari satu objek
ke objek lainnya bercampur dengan aktivitas pedagang yang berjualan di trotoar
dan tepi jalan. Belum adanya konsep pengelolaan kawasan secara terpadu menjadi
akar masalah ketidaknyamanan ini.
109
Problem lain yang kini muncul terkait dengan pembangunan kolam renang
dan taman hiburan adalah belum jelasnya konsep pengelolaan, apakah akan
dikelola oleh Kantor Pariwisata, perusahaan daerah, atau pihak swasta. Sehingga
sangat disayangkan, kolam yang secara fisik sangat megah dan dibangun dengan
biaya yang sangat mahal, namun pengelolaannya tidak dipersiapkan dengan
matang untuk mencapai target pemasukan tertentu.
Pengembangan pariwisata di Kota Kediri telah menghabiskan biaya yang
sangat besar. Bila dijumlahkan, biaya yang telah dikeluarkan pemerintah untuk
pengembangan sektor pariwisata dan telekomunikasi melalui APBD tahun 2000
hingga tahun 2004 telah mencapai sekitar Rp 11,9 milyar lebih. Di luar itu, khusus
untuk pembangunan kolam dan pengadaan sarana penunjangnya telah dihabiskan
dana sebesar Rp 19 milyar. Sayangnya hingga kini belum ada data yang jelas
mengenai besarnya pendapatan pemerintah pada kurun waktu yang sama, sebagai
hasil dari investasi dengan jumlah tersebut. Data yang ada terkait hal ini secara
ringkas sempat terungkap dalam Lampiran II LPJ Akhir Masa Jabatan Walikota
Kediri Tahun 1999-2004. Jumlah pendapatan pemerintah dari sektor ini ternyata
masih sangat rendah bila dibandingkan dengan biaya yang telah dikeluarkan.
Pendapatan asli daerah melalui retribusi seperti yang tertera dalam Tabel 5.8
Tabel 5.8 Realisasi Pendapatan Sektor Pariwisata Tahun 2001-2003
Realisasi Pendapatan
No
Uraian Tahun Anggaran 2001
Tahun Anggaran 2002
Tahun Anggaran 2003 (s.d. 31 Oktober 2003)
1 Retribusi kios kawasan wisata Goa Selomangleng
- Rp 2.238.000 Rp 2.694.000
2 Retribusi tempat khusus parkir di Selomangleng
Rp 906.200 Rp 1.023.600 Rp 1.289.500
110
3 Retribusi tempat rekreasi dan olah raga
Rp 13.670.500 Rp 11.450.100 Rp 11.173.100
4 Ganti rugi kios di Goa Selomangleng
Rp 20.000.000 Rp 16.000.000 Rp 16.500.000
5 Sewa Radio Jayabaya Sumber: LPJ Akhir Masa Jabatan Walikota Kediri tahun 1999-2004
Pembangunan infrastruktur penunjang pariwisata tentu memang tidak
dapat segera mendatangkan hasil. Namun idealnya pemerintah juga memiliki
target dan proyeksi, kapan bisa mencapai titik impas dan kapan dapat meraih
profit atas investasi yang telah dilakukan. Keberadaan infrastruktur fisik, seperti
kolam renang yang indah serta jalan tembus memang mampu mengangkat citra
pariwisata yang sedang dikembangkan. Namun yang juga penting harus
diperhitungkan ke depan adalah bagaimana agar investasi yang besar ini dapat
mendatangkan keuntungan bagi masyarakat dan daerah secara umum, bukan
sekadar kepentingan mengejar prestise.
Pariwisata harus dipandang sebagai suatu sistem perkaitan sosial
(Soekadijo, 2000: 25), sehingga ada sejumlah aspek yang perlu dipelajari. Aspek
pertama, yaitu wisatawan. Kajian mendalam terhadap aspek ini ternyata belum
terpenuhi karena memang pemerintah belum pernah melakukan survei tipe
wisatawan yang ingin didatangkan ke Kota Kediri. Saat ini memang sudah ada
wisatawan yang datang, namun umumnya mereka adalah penduduk dari daerah di
sekitar Kota Kediri, sebagian besar adalah penduduk dari daerah tetangga yaitu
Kabupaten Kediri. Bila pemerintah mampu melakukan pengelolaan dengan baik,
di masa depan kawasan ini dapat dikembangkan menjadi pusat wisata pada
lingkup regional di sekitar eks karesidenan Kediri, yang meliputi Kota Kediri,
Kabupaten Kediri, Kabupaten Nganjuk, Kota Tulungagung, Kabupaten
111
Trenggalek, dan Kabupaten Blitar. Selama ini wisatawan yang sudah datang ke
Kawasan Wisata Selomangleng dan objek-objek lain di Kota Kediri sebagian
besar masih merupakan warga lokal atau warga dari wilayah tetangga tersebut.
Untuk pengembangan lebih lanjut, pemerintah juga perlu mengkaji data-data
terkait perkembangan pariwisata internasional dan nasional sebagai target segmen
pasar pengembangan pariwisatanya.
Kedua, yaitu daya tarik. Agar dampak ekonomi pengembangan pariwisata
benar-benar optimal, daya tarik yang ada harus dapat menarik kedatangan
wisatawan dari kota-kota besar, bahkan luar pulau. Daya tarik yang dapat dilihat
dan aktivitas dilakukan adalah situs bersejarah Goa Selomangleng dan benda-
benda bersejarah yang dihimpun di Museum Airlangga. Segmen wisatawan
dengan kegiatan ini adalah wisatawan yang berminat pada wisata
sejarah/pendidikan. Dari sisi sejarah, Kota Kediri sebenarnya juga berpotensi
memasarkan produk wisata nostalgia, utamanya kepada wisatawan Belanda. Ini
mengingat pada masa penjajahan, di Kota Kediri banyak didirikan infrastruktur
penunjang kegiatan mereka. Infrastruktur tersebut misalnya pabrik gula dan
jembatan lama Sungai Brantas yang umumnya berada dalam kondisi yang kurang
terawat.
Di dalam Kawasan Wisata Goa Selomangleng terdapat sejumlah objek dan
daya tarik wisata dengan tipe kegiatan wisata yang berbeda dan berpotensi untuk
dikembangkan lebih lanjut, yaitu :
1. Goa Selomangleng
112
Goa Selomangleng merupakan objek inti yang terdapat di dalam kawasan
ini. Karena di goa ini terdapat peninggalan bersejarah yang khas, yang tidak
ditemukan di daerah lainnya di sekitar Kota Kediri. Namun hingga kini belum ada
pemandu wisata yang memiliki pemahaman tentang sejarah goa, dan makna-
makna relief yang terdapat di dalamnya. Akibatnya pengunjung memaknai goa
tidak lebih dari goa yang berisi pahatan, tidak lebih dari itu. Tidak adanya cerita
tentang goa ini membuatnya belum memiliki daya jual sebagai objek wisata.
Untuk itulah Kantor Pariwisata perlu menggali sumber-sumber pustaka yang
dapat memberikan penjelasan tentang serba-serbi goa ini. Keberadaan Goa
Selomangleng dan ratusan patung bersejarah lainnya yang terdapat di Museum
Airlangga sebenarnya dapat menjadi potensi tersendiri untuk menarik kedatangan
wisatawan asing dari segmen khusus. Wisatawan yang tertarik pada objek-objek
bersejarah seperti ini umumnya berasal dari kalangan berpendidikan yang sangat
menghargai kebudayaan dan produk-produk budaya negara yang dikunjungi.
Objek ini selayaknya diposisikan sebagai objek inti, menjadi ikon kepariwisataan
Kota Kediri. Untuk itu pemerintah perlu melakukan upaya-upaya penggalian
sejarah keberadaan goa, makna dan hakekat goa tersebut. Keberadaan
dokumentasi kesejarahan goa inilah yang dapat menjadi daya tarik dan
meningkatkan apresiasi pengunjung terhadap Goa Selomangleng. Sejauh ini
pemerintah hanya menjual daya tarik goa secara “fisik”, tanpa adanya sejarah
yang menjadi “jiwa” goa tersebut.
2. Museum Airlangga
113
Tema objek wisata museum ini masih merupakan kelanjutan dari Goa
Selomangleng, yaitu tentang peninggalan-peninggalan bersejarah. Problemnya
juga sama, harus ada pemandu yang mampu memberikan penjelasan tentang
peninggalan-peninggalan tersebut. Tanpa disertai penjelasan, wisatawan tidak
akan memiliki apresiasi yang lebih mendalam. Mereka hanya akan melihat koleksi
benda bersejarah tersebut tidak lebih dari kumpulan batu-batu yang diukir.Untuk
mengelola museum sebagai daya tarik wisata memang dibutuhkan ketrampilan
dan kerja keras tersendiri. Museum-museum yang terdapat di negara-negara maju
umumnya terawat dengan baik, dan menjadi kebutuhan masyarakat maupun
wisatawan. Kondisi ini sangat jauh berbeda dengan kondisi museum di tanah air
yang umumnya terbengkalai, sekalipun menyimpan koleksi-koleksi yang sangat
berharga. Masalah ini nampaknya menjadi masalah yang rumit dan sistemik di
Indonesia. Umumnya, keterbatasan dana yang selalu menjadi alasan
ditelantarkannya benda-benda bersejarah ini.
Hingga kini Indonesia belum meratifikasi Konvensi Internasional
UNESCO tahun 1972 tentang perlindungan aset budaya atau benda peninggalan
sejarah. Tentu saja kondisi ini sangat ironis, mengingat Indonesia merupakan
negara yang memiliki aset budaya terbesar di dunia. Padahal bila pemerintah
Indonesia meratifikasi konvensi itu, Indonesia dapat mengajukan bantuan dana
internasional untuk pemeliharaan warisan-warisan budaya (Media Indonesia, 25
September 2005, hlm. 1).
3. Pura Agung Dewi Sekartaji
114
Pura ini merupakan tempat persembahyangan umat Hindu di Kota Kediri
dan sekitarnya. Namun pura ini tidak hanya dapat berfungsi sebagai tempat
persembahyangan, melainkan juga objek wisata spiritual. Di kalangan umat hindu
di Bali kini tengah berkembang kebiasaan untuk melaksanakan tirta yatra, yaitu
perjalanan suci untuk melaksanakan persembahyangan. Tempat-tempat yang
dituju oleh umat Hindu di Bali tidak hanya pura-pura di Bali, melainkan juga di
luar daerah, termasuk di Jawa Timur. Pura-pura di Jawa Timur yang telah umum
menjadi objek wisata spiritual umat Hindu misalnya Pura Blambangan dan Alas
Purwo di Banyuwangi, Pura Mandara Giri di Lumajang, dan Pura Semeru di kaki
Gunung Semeru. Bila Pura Dewi Sekartaji telah dikenal luas, para pelaku wisata
spiritual ini akan menjadikannya sebagai salah satu objek yang perlu dikunjungi.
Pura-pura di luar Bali yang telah dikenal luas dan menjadi tujuan tirta yatra tentu
akan memunculkan dampak ekonomi lokal. Berdasarkan informasi dari
pemangku pura setempat, beberapa kali umat Hindu dari Bali telah mulai datang
ke pura ini. Uniknya, informasi yang mereka dapatkan tidak diperoleh melalui
publikasi resmi, melainkan dari wahyu. Selanjutnya informasi tentang keberadaan
pura ini berkembang dari mulut ke mulut. Bila segmen wisata spiritual ini
dikembangkan dengan baik, sebenarnya cukup banyak wisatawan yang bisa
didatangkan, baik dari sekitar Kota Kediri, maupun dari luar pulau, seperti Bali.
Sebagian bagian dari upaya mengembangkan pariwisata spiritual, Pemerintah
Kota Kediri perlu melakukan upaya-upaya untuk lebih mempopulerkan objek ini.
4. Gunung Klotok
115
Gunung selalu menjadi objek yang menarik, termasuk Gunung Klotok.
Kondisi alamnya menunjukkan gunung ini dapat menjadi objek wisata alam,
dengan kegiatan seperti trekking, atau pun pendakian. Masyarakat sebenarnya
telah melakukan aktivitas wisata alam di gunung ini. Yang diperlukan adalah
pembenahan objek ini, seperti reboisasi untuk meningkatkan keasriannya. Selain
itu juga perlu dibuat jalur trekking/pendakian agar wisatawan yang baru datang
pertama kali tidak kesulitan melakukan pendakian.
5. Bukit Maskumambang dan Makam Mbah Boncolono
Bukit Maskumambang yang tidak terlalu tinggi, juga dapat menjadi objek
wisata alam. Selain itu, di puncak bukit ini juga terdapat Makam Mbah Boncolono
dan Tumenggung Mojoroto sehingga wisata spiritual juga dapat dilakukan pada
objek ini. Jalan bertangga yang telah dibangun menuju makam akan semakin
menarik minat masyarakat untuk mengunjungi objek ini.
6. Jalan Tembus Selomangleng-Lebak Tumpang dan Jalan Lingkar
Maskumambang
Keberadaan jalan tembus ini tidak sekadar berfungsi sebagai akses
tambahan bagi wisatawan untuk menuju Kawasan Wisata Selomangleng. Dengan
topografinya yang melintasi perbukitan, jalan ini juga dapat menjadi jalur bagi
olah raga bersepeda atau pun lintas alam. Pemandangan Kota Kediri dari kejauhan
dapat terlihat dari jalan ini, sehingga merupakan daya tarik tersendiri.
7. Kolam Renang dan Taman Rekreasi Selomangleng
Tidak semua orang tertarik dengan wisata sejarah. Ada pula yang ingin
sekadar bersenang-senang. Kolam Renang dan Taman Rekreasi dapat menjadi
daya tarik tambahan di kawasan ini. Ketika penelitian ini dilakukan objek Taman
116
Hiburan belum dibangun. Namun kemegahan kolam renang sudah terlihat, dan
bila taman hiburan ini telah tuntas tentu akan terlihat lebih megah lagi.
Di luar kawasan tersebut juga masih terdapat objek yang dapat menjadi
daya tarik pendukung, seperti Jembatan Lama Sungai Brantas , Dermaga Sungai
Brantas untuk wisata bahari, Makam Mbah Wasil untuk wisata spiritual, Mal Sri
Ratu dan Golden serta kawasan Jalan Dhoho, Yos Sudarso, Pattimura dan Taman
Sekartaji untuk wisata belanja. Objek lainnya, yang sudah ada dari dulu, yaitu
Taman Hiburan Pagora dan Kolam Renang Tirtoyoso juga bisa dikembangkan
menjadi objek wisata keluarga dan olah raga. Keberadaan Stadion Brawijaya dan
klub Sepak Bola Persik sebenarnya juga bisa dikelola menjadi objek wisata olah
raga. Keberadaan pabrik-pabrik industri pengolahan seperti pabrik Gula yang
berada di tiga kecamatan, serta Pabrik Rokok Gudang Garam juga dapat
dikembangkan menjadi objek wisata edukasi/pendidikan. Wisatawannya untuk
objek pabrik ini misalnya para pelajar, untuk memberikan wawasan mengenai
proses pengolahan suatu komoditi mentah hingga menjadi komoditi yang siap
dipasarkan.
Jembatan lama Sungai Brantas merupakan jembatan peninggalan masa
penjajahan Belanda yang hingga saat ini masih digunakan sebagai sarana
transportasi. Daya dukung jembatan ini jelas telah tidak memadai untuk
kebutuhan mobilitas saat ini. Jembatan-jembatan lainnya memang sudah ada,
seperti Jembatan Bandar dan Jembatan Semampir. Namun untuk di wilayah
tengah kota, akses terdekat hanya melalui jembatan lama. Karena itu pemerintah
perlu mempertimbangkan pembangunan jembatan tambahan lainnya untuk
117
menjaga kelestarian jembatan lama sebagai salah satu objek bersejarah. Untuk
mengelola sungai ini sebagai objek wisata, pemerintah juga telah membangun
Dermaga Jayabaya di Sungai Brantas pada tahun 2001. Namun sayangnya fasilitas
yang dibangun untuk menghidupkan aktivitas wisata dan ekonomi seperti
restoran apung dan pusat jual ikan tersebut belum dapat menarik investor
(Kompas, 8 Maret 2002).
Selain itu, yang selama ini nampaknya luput dari perhatian adalah
keberadaan pabrik-pabrik gula di Kediri. Pabrik-pabrik yang dibangun pemerintah
Belanda, dan kini ini menjadi aset pemerintah, dalam hal ini PT Perkebunan
Negara (PTPN) XI. Mungkin saja ada bekas-bekas serdadu Belanda yang
memiliki kenangan tersendiri ketika pernah ditugaskan di kota ini. Sejauh ini
Kantor pariwisata dan Budaya belum memiliki data mengenai wisatawan minat
khusus yang pernah berkunjung ke Kota Kediri.
Aksesibilitas/transferabilitas juga menjadi bagian yang penting dalam
menunjang keberhasilan objek wisata. Sebelum proyek pengembangan Kawasan
Wisata Selomangleng dilaksanakan, hanya terdapat 1 jalur yang menjadi jalan
masuk menuju kawasan wisata Goa Selomangleng, yaitu dari Desa Sukorame,
Kecamatan Mojoroto. Pada tahap awal, masalah aksesibibilitas ini diatasi dengan
memasang lampu penerangan jalan terlebih dahulu di sepanjang jalan menuju
kawasan wisata. Desa yang sebelumnya gelap gulita, kini telah terang-benderang.
Kendaraan umum yang beroperasi pada jalur ini juga sudah ada, namun kondisi
dan ketersediaannya belum teratur.
118
Keberadaan jalan tembus yang baru dari Desa Lebak Tumpang menuju
Selomangleng yang kini telah tuntas 100% dapat menjadi akses alternatif bagi
pengunjung yang akan mengunjungi kawasan wisata ini. Kondisi jalan yang
melalui daerah perbukitan pada perkembanganya kemudian ternyata tidak hanya
sekadar menjadi sarana jalan namun juga menjadi daya tarik tersendiri.
Masyarakat menggunakan jalan tembus ini untuk olah raga bersepeda, jalan santai
atau sekadar melihat-lihat pemandangan untuk menghirup udara yang segar.
Pembangunan infrastruktur penunjang pariwisata di Kawasan
Selomangleng berupa Jalan Tembus Lebak Tumpang Selomangleng dan Kolam
Renang mampu meningkatkan citra kawasan ini sebagai pusat kegiatan wisata di
Kota Kediri. Kawasan ini menjadi kian populer, dan masyarakat semakin
bergairah melaksanakan rekreasi di kawasan ini. Hampir setiap kegiatan yang
melingkupi kota Kediri selalu dilaksanakan pada kawasan ini, seperti sepeda
santai yang mengambil start di balai kota dan berakhir di Selomangleng.
Maraknya aktivitas masyarakat untuk melakukan kegiatan wisata di kawasan ini
bahkan mampu mengundang partisipasi masyarakat dalam pengembangannya.
Ahli waris Mbah Boncolono misalnya, secara swadaya mengeluarkan biaya untuk
membangun jalan bertangga menuju makam yang terletak di puncak Bukit
Maskumambang.
Upaya yang perlu dilakukan selanjutnya adalah mengemas berbagai objek
yang ada menjadi suatu daya tarik wisata, yang dipadukan dengan berbagai atraksi
budaya lainnya. Dengan demikian antara objek-objek yang berada di dalam
Kawasan Selomangleng dan objek lainnya yang berada di Kota Kediri pada
119
dasarnya dapat saling mendukung satu sama lainnya, dan menarik berbagai tipe
wisatawan. Karena itulah kawasan ini sebenarnya menawarkan daya tarik wisata
yang beragam. Mulai dari wisata sejarah, dengan objek berupa Goa Selomangleng
serta barang-barang purbakala yang disimpan di Museum Airlangga. Wisata
spiritual yang ditawarkan misalnya dapat berupa tirta yatra di Pura Dewi Sekartaji
atau berziarah ke Makam Mbah Boncolono. Wisata alam yang ditawarkan
pegunungan dan perbukitan, cocok untuk aktivitas pendakian dan lintas alam,
maupun rekreasi yang ditawarkan oleh kolam renang dan taman hiburan yang
sedang dibangun, maupun yang telah rutin diadakan setiap hari Minggu oleh
pengusaha setempat.
Dampak ekonomi yang muncul karena pengembangan pariwisata di Kota
Kediri telah mulai terlihat. Pedagang mulai bermunculan di sekitar areal Goa
Selomangleng, di sekitar Jalan Lingkar Maskumambang, dan sekitar Jalan
Tembus Lebak Tumpang-Selomangleng. Dengan pengelolaan yang lebih optimal
dan padu, tentu dampak ekonomi pariwisata bagi Kota Kediri akan lebih besar.
Konsekuensi berikutnya dari uraian tersebut terdapat pada pola promosi
yang dilakukan. Sarana-sarana promosi yang dibuat pemerintah, baik berupa iklan,
pencetakan brosur, maupun website, harus pula mengedepankan Goa
Selomangleng beserta sejarahnya sebagai ikon kepariwisataan Kota Kediri.
Objek-objek lainnya menjadi objek pendukung yang juga tak terpisahkan dengan
objek inti. Dengan demikian strategi yang dikembangkan kepada benak
wisatawan adalah membentuk citra Goa Selomangleng merupakan objek wisata
120
yang identik dengan Kota Kediri, atau sebaliknya Kota Kediri merupakan daerah
tujuan wisata identik dengan Goa Selomanglengnya.
Kebijakan mencakup wawasan yang luas, menjangkau jangka waktu yang
panjang, mengandung resiko yang besar dan melibatkan banyak pihak. Karena itu,
dalam penerapan kebijakan diharapkan tidak terjadi kegagalan. Pembuatan
kebijakan idealnya tidak dilakukan dengan cara trial and error (Abidin, 2002: 39).
Demikian pula halnya dengan kebijakan pengembangan pariwisata di Kota Kediri,
idealnya tidak boleh terjadi kegagalan mengingat begitu besarnya tenaga, waktu,
dan biaya yang dikeluarkan.
Untuk pengembangan yang lebih lanjut, pemerintah Kota Kediri perlu
melakukan penataan kembali (restrukturisasi) terhadap kebijakan pengembangan
pariwisata yang telah ditempuh selama ini. Upaya ini dapat diawali dengan
menginventarisasi dan mengidentifikasi kembali potensi-potensi wisata yang ada
di Kota Kediri, yang selanjutnya dituangkan dalam sebuah dokumen resmi. Daftar
inventarisasi inilah yang pada tahap berikutnya menjadi dasar dalam penyusunan
dokumen perencanaan pengembangan pariwisata Kota Kediri. Perencanaan
tersebut akan sangat bermanfaat pada kegiatan tahap berikutnya, yaitu
pengembangan maupun revitalisasi objek dan daya tarik wisata Kota Kediri.
Setelah tahap pengembangan inilah, selanjutnya produk-produk pariwisata Kota
Kediri telah siap untuk dipromosikan dan dipasarkan kepada wisatawan.
Bagaimana strategi dan bentuk pemasaran pariwisata tersebut dipengaruhi oleh
pengembangan yang dilakukan, sehingga citra kepariwisataan yang dipasarkan
dapat sesuai atau tidak jauh berbeda dengan kenyataan yang sebenarnya. Semua
121
tahapan dari awal, yaitu inventarisasi potensi wisata hingga tahap pemasaran
tersebut tentunya perlu merujuk pada perkembangan kepariwisataan di tingkat
lokal, nasional dan internasional untuk mendapatkan kejelasan, segmen wisatawan
mana yang menjadi sasaran pengembangan pariwisata Kota Kediri. Terkait
dengan segmen wisatawan bagi Kota Kediri ini, berdasarkan pengamatan penulis
pemerintah nampaknya dapat lebih memfokuskan perhatian pada wisatawan
wisatawan regional yang datang dari daerah di sekitar Kota Kediri seperti yang
telah berkembang saat penelitian ini dilaksanakan. Selain itu potensi yang ada
juga memungkinkan untuk menarik kedatangan wisatawan dari luar pulau bahkan
mancanegara, melalui wisata budaya yang ada. Hal ini juga seiring dengan
perkembangan kepariwisataan internasional saat ini yang ditandai dengan
meningkatnya apresiasi terhadap benda-benda peninggalan bersejarah.
Selanjutnya bagaimana tahap-tahap restrukturisasi kebijakan
pengembangan pariwisata Kota Kediri dapat dilakukan, telah disusun skemanya
pada Gambar 5.3
Gambar 5.3 Restrukturisasi Pengembangan Pariwisata Kota Kediri
Lingkungan
Kebijakan Lokal, Nasional, Dan Internasional
Promosi dan Pemasaran Produk Pariwisata
Pengembangan dan Revitalisasi Objek dan Daya Tarik Wisata
Penyusunan Dokumen Perencanaan
Inventarisasi dan Identifikasi Objek Daya Tarik Wisata serta Tipe Aktivitas Wisata
124
3. Untuk pengembangan pariwisata lebih lanjut, Pemerintah Kota Kediri
perlu melakukan evaluasi terhadap perkembangan kepariwisataan saat ini,
dan selanjutnya mengeluarkan kebijakan untuk merestrukturisasi pola
pengembangan pariwisata yang merujuk pada perkembangan-
perkembangan kepariwisataan di lingkungan internasional, nasional, dan
lokal. Tahapan restrukturisasi tersebut meliputi:
- Inventarisasi dan identifikasi objek dan daya tarik wisata Kota Kediri
serta tipe aktivitas kepariwisataan yang dapat dilakukan. Untuk
menunjang pariwisata budaya dan spiritual Pemerintah Kota Kediri
juga dapat mengembangkan tipe aktivitas kepariwisataan lainnya
seperti wisata alam, wisata olah raga, wisata belanja, serta wisata
pendidikan.
- Penyusunan dokumen perencanaan pariwisata, khususnya rencana
pengembangan kawasan Selomangleng menjadi suatu kawasan wisata
yang akan menjadi ikon kepariwisataan Kota Kediri
- Pengembangan serta revitalisasi objek dan daya tarik wisata yang ada
sehingga menjadi lebih menarik dan memiliki daya jual yang bersaing
bila dibandingkan dengan objek di daerah lainnya
- Melakukan promosi dan pemasaran produk wisata secara berkelanjutan
untuk mengaktualisasikan daya tarik wisata Kota Kediri. Situs resmi
Pemerintah Kota Kediri yang ada, www.kotakediri.go.id perlu
dioptimalkan pemanfaatannya untuk melakukan promosi pariwisata.
Untuk itu dibutuhkan adanya tim teknis yang secara khusus diberikan
125
tugas dan tanggung jawab untuk menangani promosi pariwisata
melalui media internet. Dalam melaksanakan tugasnya tim ini juga
diarahkan untuk menjalin kerja sama berbagai instansi di dalam
lingkungan pemerintah serta para pengusaha pariwisata, untuk
kepentingan mendukung materi promosi di website, sehingga dapat
menjadi media promosi yang terpadu. Media ini dapat dimanfaatkan
untuk menarik kedatangan wisatawan minat khusus, yang umumnya
merupakan wisatawan mancanegara. Sedangkan untuk menarik
kedatangan wisatawan regional/nusantara, pemasaran pariwisata dapat
dilakukan instansi melalui pembentukan jaringan kerja dengan
kalangan swasta, destinasi wisata di kabupaten/kota sekitar Kota
Kediri, termasuk tentunya pemerintah Provinsi Jawa Timur.
6.2 Saran
Pada penelitian ini penulis hanya melakukan studi secara makro dan
umum terhadap kebijakan pengembangan pariwisata Kota Kediri. Pada penelitian
selanjutnya para peneliti lain kiranya dapat melakukan kajian-kajian terhadap
kebijakan kepariwisataan secara mengkhusus, di antaranya seperti kajian
terhadap dampak ekonomi pengembangan industri pariwisata, upaya Pemerintah
Kota Kediri dalam pengembangan Kawasan Selomangleng menjadi suatu
kawasan wisata, aplikasi teknologi informasi dan komunikasi dalam upaya
promosi pariwisata, serta aspek-aspek lainnya pada level mikro sehingga dapat
dihasilkan kajian yang mendalam.
70
BAB V
PEMBAHASAN
5.1 Kebijakan Kepariwisataan Kota Kediri
Walikota H.A. Maschut yang melaksanakan pemerintahan sejak tahun
1999 hingga 2004 untuk periode pertama dan 2004 hingga 2009 untuk periode
yang kedua menetapkan Tri Bina Cita Kota sebagai pedoman umum pelaksanaan
pembangunan dan pemerintahan Kota Kediri. Dalam Tri Bina Cita Kota,
disebutkan cita-cita untuk mengembangkan Kota Kediri sebagai kota industri,
perdagangan dan jasa, serta pendidikan. Pengembangan pariwisata termasuk
dalam poin perdagangan dan jasa tersebut.
Sebagai pedoman dalam pelaksanaan pemerintahan dalam jangka waktu
lima tahun, ditetapkan visi dan misi daerah. Visi Kota Kediri adalah ”Membangun
Hari Esok yang Lebih Baik”. Selanjutnya untuk merealisasikan visi tersebut,
dirumuskan Misi Kota Kediri yaitu:
1. Mewujudkan kota yang bersih dan masyarakat yang bertakwa
melalui pendekatan kemanusiaan maupun manajemen yang efektif,
efisien, dan berkelanjutan
2. Mewujudkan kota dan masyarakat yang sehat melalui pengaturan
dan pengelolaan kawasan (industri, perdagangan, jasa, hunian dan
fasilitas umum) serta peningkatan kesejahteraan
3. Mewujudkan kota dan masyarakat yang menarik, aman, dan damai
baik bagi warga kota, dunia usaha maupun daerah sekitarnya
71
4. Mewujudkan kota dan masyarakat yang mandiri, indah, dan
inovatif melalui pemberdayaan masyarakat maupun peningkatan
kinerja aparatur pemerintah.
5.1.1 Kebijakan strategis pengembangan pariwisata
Kebijakan strategis yang ditempuh dalam upaya pengembangan pariwisata
sesuai misi dan visi Kota Kediri adalah:
2. Pengembangan Kawasan Wisata Selomangleng, dengan tahapan di
antaranya meliputi:
a. Pembangunan Taman Hiburan dan Kolam Renang di Kawasan
Wisata Selomangleng
b. Pembangunan Jalan Tembus Lebak Tumpang-Selomangleng
3. Rehabilitasi Objek-objek wisata lain
4. Perayaan Hari Jadi Kota Kediri sejak tahun 2002, yang selanjutnya
ditetapkan sebagai acara rutin tahunan, yang diperkuat dengan
Peraturan daerah No 10 tahun 2001
5. Pendirian Kantor Pelayanan Perijinan, untuk mempercepat proses
perijinan sebagai upaya meningkatkan daya tarik investasi Kota
Kediri
6. Peluncuran situs resmi pemerintah Kota Kediri,
www.kotakediri.go.id sebagai media untuk menarik investasi dan
melakukan promosi pariwisata.
72
Berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 12 tahun 2000 tentang Struktur
Organisasi dan Tata Kerja Badan dan Kantor sebagai Lembaga Teknis Daerah,
pemerintah Kota Kediri membentuk Dinas Informasi, Komunikasi, dan Pariwisata
(Inkoparta) sebagai institusi yang bertugas merumuskan dan melaksanakan
kebijakan teknis bidang pengembangan komunikasi, informasi, dan
kepariwisataan sesuai dengan kebijakan umum pembangunan Kota Kediri. Pada
perkembangan berikutnya sesuai tuntutan Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun
2003 tentang Pedoman Organisasi Perangkat Daerah, maka melalui Peraturan
Daerah Nomor 4 tahun 2003 tentang Struktur Organisasi dan Tata Kerja
Lembaga Teknis Daerah, pada tahun 2004 pemerintah melakukan restrukturisasi
organisasi perangkat daerah. Berkenaan dengan fungsi pengembangan pariwisata,
seni, dan budaya, pemerintah membentuk Kantor Pariwisata, Seni, dan Budaya
sebagai lembaga yang berfungsi menyusun perencanaan dan melaksanakan
kebijakan operasional di bidang pemberdayaan potensi pariwisata, seni dan
budaya.
5.1.2 Sasaran dan arah kebijakan pariwisata
Sasaran dan arah kebijakan pengembangan pariwisata Kota Kediri adalah
sebagai berikut:
a. Sasaran
1) Berkembangnya potensi wisata, seni, dan kebudayaan daerah
2) Meningkatnya peran serta masyarakat dalam mendukung
kepariwisataan
73
3) Meningkatnya kajian budaya dan kesenian tradisional
4) Meningkatnya kesadaran dan apresiasi masyarakat terhadap
budaya daerah
b. Arah Kebijakan
1) Tersedia dan terpenuhinya kebutuhan wisata bagi masyarakat Kota
Kediri dan sekitarnya termasuk aktualisasi, pengembangan, dan
pelestarian seni budaya daerah
2) Peningkatan sarana dan prasarana pendukung kepariwisataan
3) Peningkatan partisipasi masyarakat dalam mendukung
kepariwisataan
5.1.3 Rencana strategis pengembangan pariwisata
Strategi pengembangan kepariwisataan dan pelestarian budaya terdapat
pada poin 4 dan poin 6 dalam Rencana Strategis (Renstra) Kota Kediri tahun
2003-2005, seperti terdapat pada Tabel 5.1 Sedangkan komitmen pemerintah
terhadap pengembangan pariwisata selanjutnya diwujudkan melalui dukungan
dari sisi anggaran. Pemerintah mengalokasikan belanja pembangunan sektor
pariwisata yang cukup besar pada APBD dari tahun 2000 hingga 2004. Jumlah
belanja pembangunan untuk pengembangan sektor pariwisata cenderung
meningkat seperti terdapat pada Tabel 5.2.
74
Tabel 5.1 Rencana Strategi Program Peningkatan Pariwisata dan Pelestarian Budaya
Strategi
Pembangunan Program Pokok Kegiatan Indikator Kinerja
Peningkatan Kemampuan Pembiayaan Pembangunan
3. Program Peningkatan Kepariwisataan
1. Peningkatan sarana dan prasarana pendukung kepariwisataan
2. Peningkatan Kerja sama dengan pengusaha jasa wisata
3. Pemberdayaan potensi objek wisata, seni budaya, dan kerajinan daerah
4. Peningkatan promosi dan informasi atraksi wisata
5. Peningkatan kualitas SDM kepariwisataan
6. Peningkatan partisipasi masyarakat dalam mendukung kepariwisataan
1. Terpenuhinya kebutuhan sarana dan prasarana pendukung
2. Terpenuhinya kerja sama dengan pengusaha jasa wisata
3. Berkembangnya potensi wisata dan kebudayaan daerah
4. Meningkatnya jumlah pengunjung/
wisatawan 5. Meningkatnya
kemampuan SDM kepariwisataan
6. Meningkatnya peran serta masyarakat dalam mendukung kepariwisataan
Memperluas Kesempatan Memperoleh Pendidikan dan Peningkatan Kualitas Produk Pendidikan
6. Pelestarian Warisan Budaya Lokal
1. Memperluas penggalian peninggalan sejarah budaya lokal
2. Meningkatkan kajian budaya daerah dan kesenian budaya tradisional Kota Kediri
3. Meningkatkan apresiasi sejarah budaya di seluruh lapisan masyarakat dan Porseni
1. Meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap budaya daerah
2. Terpeliharanya peninggalan budaya dan arkeologi
3. Meningkatnya kajian budaya dan kesenian tradisional
4. Meningkatnya apresiasi sejarah budaya di seluruh lapisan masyarakat
Sumber: Bappeda Kota Kediri, 2002
Tabel 5.2
Realisasi Belanja Pembangunan Sektor Pariwisata dan Telekomunikasi Daerah Tahun 2000-2004
Tahun Realisasi 2000 Rp 72.500.000
2001 Rp 316.250.000 2002 Rp 2.886.696.250 2003 Rp 9.160.000.000
2004 Rp 2.400.000.000 Sumber: LPJ Akhir Masa Jabatan Walikota Kediri, 1999-2004
75
Anggaran tersebut diarahkan untuk melaksanakan dua upaya penting, yang
pertama adalah pemeliharaan dan pengembangan Kawasan Selomangleng menjadi
sebuah kawasan wisata, melalui pembangunan objek baru seperti kolam renang
dan taman hiburan, serta infrastruktur seperti jalan tembus Lebak Tumpang-
Selomangleng. Pembangunan kolam renang dan taman hiburan ini dilakukan
secara bertahap, dengan anggaran mencapai Rp 19 milyar dan luas area yang
dibutuhkan diperkirakan mencapai 25 hektar. Pembangunan objek baru ini
bertujuan untuk menambah daya tarik serta mengembangkan Kawasan
Selomangleng menjadi sebuah kawasan wisata yang diproyeksikan menjadi ikon
pariwisata Kota Kediri. Pengembangan pada kawasan ini dipandang penting
karena di dalamnya terdapat sejumlah objek dan daya tarik wisata sejarah, budaya,
serta spiritual yang didukung oleh bentangan alam yang indah. Selain rekreasi,
kegiatan-kegiatan yang diperbolehkan dilakukan di dalam Kawasan Wisata
Selomangleng adalah olah raga, pendidikan dan penelitian sejarah, perkemahan,
villa, kios makanan, dan suvenir. Sketsa site plan Kawasan Wisata Selomangleng
terdapat pada Lampiran 3.
Upaya-upaya pengembangan dan pemeliharan objek wisata lain yang
terdapat di luar Kawasan Selomangleng juga dilakukan untuk mendukung
pengembangan pariwisata secara umum. Objek penunjang yang turut dibangun
misalnya dermaga di Sungai Brantas untuk mendukung aktivitas wisata bahari,
yang sekaligus dirancang sebagai taman hiburan serta restoran dengan
pemandangan sungai. Pemerintah Kota Kediri juga melakukan rehabilitasi
terhadap objek bersejarah yang terkait erat dengan sejarah perkembangan Agama
76
Islam di Kota Kediri, seperti Makam Setono Gedong yang merupakan makam
para tokoh penyebar Agama Islam di kota ini, serta Masjid Agung Kota Kediri
yang merupakan masjid tertua.
5.1.4 Promosi pariwisata
Untuk mempromosikan daya tarik wisata Kota Kediri, pemerintah juga
mencetak brosur-brosur wisata serta mengikuti festival dan pagelaran-pagelaran
seni budaya di tingkat regional hingga nasional serta pengiriman tim kesenian
pada perayaan hari jadi daerah lainnya. Salah satunya adalah pengiriman tim
kesenian untuk memeriahkan Hari Jadi Kota Negara, Jembrana, Bali pada 15
Agustus 2003. Namun karena keterbatasan anggaran, pengiriman misi kesenian
tidak dapat dilakukan secara berkelanjutan. Demikian pula dengan brosur pesona
wisata Kota Kediri, jumlah cetakan dan penyebarannya amat terbatas.
Upaya-upaya mempromosikan pariwisata Kota Kediri ini dilakukan secara
terus-menerus, baik secara kelembagaan oleh Kantor Pariwisata dan Kebudayaan
Kota Kediri melalui program-program yang telah diuraikan di atas. Namun di
samping itu pada berbagai acara terkait pariwisata baik yang resmi mapun tidak
resmi, promosi bahkan dilakukan langsung oleh pucuk pemerintahan, yaitu oleh
walikota Kediri, Wakil Walikota, serta jajaran pejabat melalui keterlibatan
langsung pada aktivitas pariwisata. Walikota Kediri misalnya, pernah memberikan
keterangan pers dari kolam renang pada suatu kesempatan arisan pejabat
pemerintah Kota Kediri. Demikian pula Wakil Walikota dan pejabat lainnya yang
turut berpartisipasi pada pementasan wayang orang di Balai Kota Kediri dalam
77
rangka perayaan hari jadi. Bentuk keterlibatan langsung dalam mempromosikan
pariwisata ini juga pernah ditunjukkan saat pucuk pimpinan pemerintahan Kota
Kediri dan jajarannya ini juga terlibat pada pawai budaya saat perayaan hari jadi
Kota Kediri tahun 2002 dan 2003.
Terhadap kebijakan strategis tersebut dapat disampaikan sejumlah evaluasi
sebagai berikut:
1. Pengembangan Kawasan Wisata Selomangleng. Terkait dengan upaya
pengembangan Kawasan Selomangleng menjadi sebuah kawasan
wisata ini pemerintah baru sebatas melakukan upaya berupa
pengembangan objek baru seperti kolam renang dan taman hiburan
serta infrastruktur jalan. Untuk pengembangan lebih lanjut menjadi
sebuah kawasan wisata, idealnya pemerintah melaksanakannya
berdasarkan kajian perencanaan yang matang dan terukur, yang
mencakup sejumlah aspek di antaranya seperti pengembangan zonasi,
tata kelola, standarisasi keamanan dan kenyamanan yang terkait
dengan akses masuk ke dalam kawasan, dan sebagainya. Penataan
ruang di dalam kawasan, sejauh ini belum dilakukan oleh pemerintah.
Ini terlihat dengan bercampurnya lokasi pedagang, parkir kendaraan,
lalu lintas pengunjung, hingga pentas kesenian. Di samping untuk
melindungi objek peninggalan bersejarah dan lingkungan di dalam
kawasan, penataan ruang juga perlu dilakukan untuk menciptakan
kenyamanan dan keamanan bagi pengunjung, terlebih pemerintah
berkeinginan untuk mengembangkan kawasan wisata ini menjadi ikon
78
kepariwisataan Kota Kediri. Pengembangan kawasan ini menjadi
sebuah kawasan wisata dapat dilakukan dengan merujuk pada uraian
Gee (2000 : 274) sebagai berikut:
- Menyusun perencanaan yang di dalamnya mencakup pengaturan
pembangunan fasilitas wisata, di antaranya seperti pembuatan
sistem zonasi yang membatasi akses masuk ke lokasi-lokasi yang
sensitif dan mengurangi tekanan pada lokasi-lokasi yang
digunakan secara intensif, membatasi jumlah pengunjung ke dalam
lokasi tertentu, membatasi pelaksanaan pembangunan untuk
mendorong penggunaan arsitektur tradisional, dan
mengembangkan pola pengelolaan limbah secara terpadu
- Membangun infrastruktur pendukung seperti pusat informasi dan
taman
- Mengembangkan rute yang dapat mempermudah aliran
pengunjung di dalam kawasan serta mendorong pengunjung untuk
mengikuti rute yang disarankan
- Mengembangkan program pengawasan untuk mendapatkan
pengetahuan yang tepat tentang perubahan-perubahan yang terjadi
pada lingkungan dan dalam mengembangkan sumber daya yang
ada secara rasional
2. Rehabilitasi Objek-objek wisata lain. Sejauh ini upaya rehabilitasi
telah dilakukan pada sejumlah objek. Namun upaya rehabilitasi ini
perlu dilakukan secara berkelanjutan sehingga dapat memberikan hasil
79
yang optimal. Rehabilitasi ini juga perlu dibarengi dengan upaya
pengelolaan baik sehingga dana yang dikeluarkan tidak terbuang
percuma akibat rusaknya kembali objek yang telah direhabilitasi. Saat
ini objek-objek inti seperti Goa Selomangleng dan Museum Airlangga
tengah membutuhkan rehabilitasi. Berdasarkan pengamatan penulis,
kondisi kedua objek yang justru menjadi objek inti dalam
pengembangan wisata sejarah ini sangatlah kurang, terlihat dari
kondisi goa yang tidak bersih, adanya coretan di dinding goa, serta
kondisi museum dan koleksi yang tidak terawat dan tertata dengan rapi.
Upaya ini berarti harus dibarengi dengan dukungan anggaran yang
memadai untuk objek bersejarah ini, termasuk objek-objek lainnya.
3. Perayaan Hari Jadi Kota Kediri sejak tahun 2002 sebagai agenda
tahunan. Pelaksanaan hari jadi ini pada dasarnya juga ditujukan
menjadi media menarik kedatangan wisatawan ke Kota Kediri.
Mengingat besarnya biaya yang dibutuhkan untuk melaksanakan
kegiatan ini, pemerintah nampaknya perlu membangun jaringan kerja
dengan kalangan swasta tidak terlalu membebani anggaran daerah. Di
samping itu pemerintah juga perlu menggerakkan partisipasi
masyarakat dalam pelaksanaannya, sehingga budaya dan seni di
tingkat masyarakat turut tergerak dalam acara ini, dan kegiatan yang
dilaksanakan pada acara tahunan ini menjadi kian beragam dan tidak
monoton.
80
4. Pendirian Kantor Pelayanan Perijinan, untuk mempercepat proses
perijinan sebagai upaya meningkatkan daya tarik investasi Kota Kediri.
Semangat yang mendasari pendirian kantor pelayanan perijinan ini
adalah pelayanan secara terpadu dan memangkas jalur birokrasi yang
harus ditempuh. Upaya ini sangat sejalan dengan semangat perubahan
pengelolaan pemerintahan dari yang sangat birokratis menjadi
berorientasi kewirausahaan. Pengembangan pariwisata di Kota akan
semakin didukung oleh keberadaan usaha dan jasa yang terkait dengan
pariwisata seperti pusat perbelanjaan, rumah makan, hotel, biro
perjalanan, money changer, warung telekomunikasi/internet dan usaha
lainnya. Keberadaan Kantor Pelayanan Perijinan sangat strategis dalam
mendukung pengembangan pariwisata sehingga perlu dikelola dengan
serius.
5. Peluncuran situs resmi pemerintah Kota Kediri, www.kotakediri.go.id
sebagai media untuk menarik investasi dan melakukan promosi
pariwisata. Media on line sebagai salah satu wujud implementasi
electronic government (e-gov) ini sempat mati suri setelah pertama kali
diluncurkan pada tahun 2002 melalui pengelolaan oleh Dinas
Informasi, Komunikasi, dan Pariwisata. Namun sejak tahun 2005 situs
resmi pemerintah Kota Kediri ini dihidupkan kembali yang dikelola
oleh Bagian Humas. Sesuai dengan tujuan pembuatannya, yaitu
sebagai media pelayanan informasi, promosi wisata dan peluang
investasi, maka pengelolaan situs tersebut perlu dilakukan secara serius
81
oleh lembaga yang diberikan mandat untuk itu serta didukung SDM
dan infrastruktur yang memadai. Pengelolaannya pun dilakukan
melalui pendekatan pemasaran, artinya keberadaan situs resmi
pemerintah ini benar-benar diarahkan dalam rangka pemasaran
potensi-potensi ekonomi dan promosi objek-objek wisata serta seni
budaya Kota Kediri. Aspek kelembagaan ini perlu dibangun, agar
pengelolaan situs dapat berlangsung secara berkelanjutan.
5.2 Permasalahan yang Dihadapi Pemerintah Kota Kediri
5.2.1 Lingkungan internasional
Dalam penyusunan kebijakan pengembangan pariwisata, pembuat
kebijakan di Kota Kediri perlu menyadari adanya saling keterhubungan yang
sangat erat antara lingkungan kebijakan di tingkat lokal, nasional, dan
internasional yang disebut dengan sistem global. Perkembangan global tersebut
menuntut pembuat kebijakan kepariwisataan di Kota Kediri juga harus
mencermati berbagai perkembangan di lingkungan tersebut, yang akan
memunculkan peluang-peluang sekaligus tantangan dalam upaya pengembangan
pariwisata.
Sistem global mencerminkan adanya suatu interdependensi antara satu unit
sosial politik dan unit lainnya di dunia, yang tidak selalu berada dalam kondisi
yang simetris (Holsti, 1992 : 47). Keterhubungan tersebut disebabkan oleh
liberalisasi ekonomi serta kemajuan teknologi informasi dan komunikasi yang
membuat kompetisi ekonomi semakin ketat dan dunia seolah menjadi tanpa batas,
82
menjadi suatu jaringan kerja yang saling tergantung. Karena itulah berbagai isu
strategis di tingkat internasional seperti perdagangan bebas, keamanan global, Hak
Asasi Manusia (HAM), pelestarian lingkungan, pemberdayaan masyarakat, sistem
informasi, dan sebagainya sangat mempengaruhi formulasi dan konstelasi
kegiatan serta pengembangan kepariwisataan di suatu negara dalam sistem
kepariwisataan dunia (Wacik, 2006 : 1 ).
Kondisi ini menyebabkan berbagai destinasi wisata di Indonesia
dihadapkan pada persaingan global yang sangat terbuka. Hal ini menunjukkan
bahwa upaya Kota Kediri dalam mengembangkan pariwisata tidak hanya akan
menghadapi kompetisi dengan sesama destinasi pariwisata lainnya baik di lingkup
Jawa Timur, Pulau Jawa, serta pulau lainnya. Lebih daripada itu, Kota Kediri juga
akan berkompetisi dengan Singapura, Malaysia, Vietnam, Kamboja, dan berbagai
destinasi lainnya di dunia. Kompetisi akan sangat dirasakan Kota Kediri terutama
bila berkeinginan untuk menarik kedatangan wisatawan asing.
Berbagai perkembangan yang terjadi tersebut menuntut adanya perubahan
pola pikir para pembuat kebijakan. Sebelumnya, kebijakan domestik dianggap
sebagai suatu hal yang sangat terpisah dan tidak terkait dengan kebijakan luar
negeri. Kebijakan domestik dianggap sebagai keputusan-keputusan yang hanya
akan mempengaruhi kondisi di dalam batas-batas negara, sedangkan kebijakan
luar negeri hanya mempengaruhi kondisi di luar batas negara. Kini pandangan
tersebut sudah tidak tepat, karena kebijakan domestik suatu negara sebenarnya
menimbulkan konsekuensi tertentu di negara lain, dan kebijakan luar negeri pun
mempengaruhi kondisi internal negara. Karena itu menurut Stern (2000 : 31)
83
keduanya sudah tidak dapat lagi diperlakukan sebagai entitas yang terpisah. Pola
interdependensi tersebut kini sangat berpengaruh besar dalam proses pembuatan
kebijakan di tingkat domestik sekalipun.
Dalam konteks kepariwisataan, bila merujuk tren tengah yang terjadi di
tingkat internasional, aliran pemikiran dan semangat yang kini mendasari setiap
upaya pengembangan pariwisata adalah pariwisata berkelanjutan. Dalam hal ini,
yang dimaksudkan adalah pengembangan pariwisata yang tidak mengakibatkan
terjadinya kerusakan atau degradasi lingkungan alam dan sosial, serta berorientasi
untuk kepentingan generasi masa depan. Artinya, pengembangan pariwisata yang
dilakukan mencerminkan adanya suatu keseimbangan antara motif-motif untuk
mendapatkan keuntungan ekonomis, pelestarian budaya, dan lingkungan (Müller,
1997 : 29).
Perkembangan tersebut menunjukkan bahwa pariwisata yang perlu
dikembangkan di Kota Kediri adalah pariwisata berkualitas, yang penekanannya
tidak semata pada sisi jumlah wisatawan, melainkan kualitas wisatawan yang
datang ke suatu daerah tujuan wisata. Pengertian kualitas tersebut merujuk pada
daya beli dan tingkat apresiasi wisatawan terhadap seni budaya masyarakat lokal
lingkungan, kekayaan flora dan fauna setempat. Salah satu bentuk dari pariwisata
berkelanjutan ini adalah ekowisata.
Penelitian yang dilakukan oleh Eagles dan Higgins (1998), Wearing dan
Neil (1999), serta Weaver (2001) menjelaskan bahwa terdapat 12 negara yang
menjadi sumber wisatawan yang menyukai ekowisata di kawasan Asia Tenggara.
Kedua belas negara ini memberi kontribusi sebesar 27 persen dari seluruh
84
wisatawan yang datang ke daratan Asia Tenggara, dan jumlahnya cenderung terus
bertambah. Di antara kedua belas negara tersebut, Amerika Serikat, Inggris,
Jerman, Australia, and Prancis merupakan negara-negara utama yang menjadi
sumber wisatawan tipe ini yang datang ke Asia Tenggara. Survei lainnya yang
dilakukan oleh WTO menunjukkan bahwa wisatawan tipe ini tertarik dengan
kegiatan mengamati spesies langka, mengunjungi warga lokal, mempelajari
benda-benda peninggalan bersejarah, dan mengamati satwa burung. Selain itu
wisatawan tipe ekowisata juga sangat menyukai tambahan wawasan-wawasan
baru dari pemandu wisata yang berkualitas, serta juga menyukai kegiatan
mengunjungi daerah-daerah terpencil yang tidak ramai.
Dalam industri pariwisata, interdependensi antara ketiga lingkungan ini
sangat nyata. Fenomena yang terjadi pada suatu negara di dunia, akan
berimplikasi pada suatu daerah di negara lain yang telah berkembang menjadi
destinasi pariwisata. Gejolak yang terjadi di negara-negara sumber wisatawan
akan sangat mempengaruhi kepariwisataan di negara tujuan wisatawan.
Liberalisasi ekonomi dunia juga membuat frekuensi perjalanan wisata semakin
tinggi, destinasi dan produk-produk pariwisata menjadi kian beragam dan sangat
kompetitif.
Dari perspektif perkembangan ekonomi dunia, para ahli ekonomi
memproyeksikan adanya perubahan paradigma ekonomi yang akan membuat
industri pariwisata menjadi salah satu industri yang memiliki peran besar dalam
ekonomi global. Industri ini tidak hanya tumbuh dan berkembang di negara-
negara maju, karena negara-negara berkembang pun banyak yang mengandalkan
85
ekonominya dari sektor pariwisata. Pada awal abad ke-21, para ahli ekonomi
mikro yaitu Joseph Pine II dan James H. Gilmore menyebutkan bahwa negara-
negara industri telah mereposisi ekonominya dari brand-based economy (ekonomi
manufaktur berbasiskan produk-produk bermerek) menjadi experience economy
(ekonomi berbasiskan kesan/pengalaman). Experience adalah kegiatan ekonomi
produktif yang menimbulkan efek keterlibatan. Dalam konteks kepariwisataan,
kegiatan seperti diving, fishing, dolphin watching, parasailing, dan sebagainya
masuk dalam kategori ini. Semua aktivitas tersebut merupakan kemasan
pariwisata modern yang menimbulkan pengaruh kenaikan lapangan kerja sebesar
5,3 persen jauh di atas jasa yang hanya tumbuh 2,7% atau manufaktur yang hanya
naik 0,5 persen dalam perekonomian Amerika Serikat antara tahun 1959-1996.
Data tersebut menunjukkan pariwisata telah memiliki peran yang besar dalam
perekonomian (Kasali, 2004).
Tren perkembangan lainnya di tingkat internasional adalah kemajuan
teknologi informasi yang berpengaruh erat dengan pola perilaku calon wisatawan.
Capra (2005: 121) menjelaskan bahwa internet telah menjadi suatu jaringan
komunikasi global yang sangat kuat, dan banyak perusahaan memanfaatkan
internet sebagai media penghubung antara jaringan pembeli dan penyalur.
Kemajuan teknologi informasi tersebut membuat biro perjalanan tidak lagi
menjadi satu-satunya sumber informasi tentang daerah tujuan. Calon wisatawan
dapat mencari secara langsung berbagai informasi tentang objek wisata, fasilitas
akomodasi, dan transportasi yang dibutuhkan untuk mengelola perjalanannya ke
86
suatu destinasi wisata tanpa melalui situs-situs yang memuat informasi pariwisata
di internet.
Menurut Santosa (2002), website telah menjadi saluran ideal dan alat yang
sangat strategis untuk mempromosikan dan memasarkan daerah tujuan wisata
dengan biaya yang sangat murah. Ketika suatu destinasi tidak terpublikasikan
secara on line di internet, sebenarnya destinasi tersebut kehilangan peluang untuk
mendapatkan perhatian jutaan calon wisatawan di berbagai pelosok dunia yang
kini telah memiliki akses terhadap internet. Karena itulah menurutnya kualitas
informasi yang disediakan dalam website juga sangat penting, karena wisatawan
akan mendasarkan keputusannya untuk mengunjungi suatu daerah tujuan wisata
atau obyek wisata pada informasi tersebut. Negara-negara sumber wisatawan yang
masyarakatnya telah memanfaatkan teknologi ini adalah Amerika Serikat, Jerman,
Jepang, dan Inggris.
5.2.2 Lingkungan nasional
Berikutnya, perkembangan kepariwisataan di tingkat nasional ditunjukkan
dengan terjadinya berbagai gangguan keamanan terhadap wisatawan yang sangat
merusak citra pariwisata Indonesia. Keterhubungan antara peristiwa yang terjadi
di tingkat internasional dengan kondisi nasional dan lokal sangat terlihat di sini.
Operasi militer AS dan sekutunya di Afghanistan dan Irak pascatragedi WTC
pada 11 September 2001 ternyata juga memicu timbulnya sentimen anti AS dan
bangsa asing lainnya di Indonesia yang selanjutnya merembet pada aksi-aksi
terorisme di daerah. Peristiwa tersebut seperti ledakan bom di Bali sebanyak dua
87
kali, yaitu pada 12 Oktober 2002 dan 1 Oktober 2005. Kejadian tersebut belum
termasuk berbagai ledakan bom di Jakarta yang seluruhnya menimbulkan dengan
banyak korban jiwa baik warga lokal maupun warga asing. Akibatnya negara-
negara sumber wisatawan mengeluarkan kebijakan mulai tingkat travel advisory
hingga travel ban, yang membuat arus kedatangan wisatawan dari negara-negara
tersebut ke Indonesia mengalami penurunan secara drastis. Target pemerintah
untuk mendatangkan enam juta wisatawan mancanegara pada tahun 2005 tidak
tercapai (Kompas, 5 September 2005).
Ancaman terhadap keamanan wisatawan asing tersebut juga terus berlanjut
dan meluas di berbagai tempat di Pulau Jawa seiring dengan kasus pemuatan
karikatur Nabi Muhammad oleh sebuah harian di Denmark pada bulan Pebruari
2006. Aksi-aksi unjuk rasa tersebut selanjutnya merembet pada aksi perusakan
kantor kedutaan besar Denmark dan AS oleh kelompok tertentu. Bagi pasar
pariwisata di luar negeri, maraknya aksi unjuk rasa bernuansa politik tersebut
merupakan ancaman yang tidak hanya ditujukan pada negara tertentu, namun juga
negara-negara sumber wisatawan lainnya. Posisi Indonesia semakin terpuruk
dalam pasar pariwisata internasional.
Ketika masalah gangguan keamanan tersebut belum mereda, Indonesia
juga dilanda wabah flu burung (avian influenza) yang sejak akhir tahun 2005
hingga Pebruari 2006 ini belum tertuntaskan. Angka kematian akibat flu burung di
Indonesia bahkan tercatat sebagai yang tertinggi dari berbagai kasus flu burung di
seluruh dunia (Bali Post, 20 Pebruari 2006). Kondisi tersebut diperburuk lagi oleh
bencana alam yang terjadi secara bertubi-tubi di Pulau Jawa dan beberapa
88
wilayah lainnya di Indonesia. Citra Indonesia sebagai destinasi wisata
internasional menjadi semakin tidak meyakinkan.
Perkembangan-perkembangan yang kurang menguntungkan tersebut
tentunya menuntut pemerintah untuk segera melakukan upaya-upaya terobosan
untuk pemulihan pariwisata, mengingat industri pariwisata telah menjadi sektor
ekonomi yang strategis dan menjadi sumber devisa nomor dua setelah minyak dan
gas bumi. Kebijakan yang ditempuh pemerintah pusat dalam menghadapi masalah
ini adalah mengembangkan pasar wisatawan nusantara yang selama ini belum
dikelola secara optimal. Pemerintah berupaya menciptakan pertumbuhan rata-rata
perjalanan wisatawan nusantara sebesar 1,4 persen per tahun, dan menargetkan
jumlah pengeluarannya menjadi Rp 105,9 trilyun pada akhir tahun 2009. Jumlah
kunjungan yang ditargetkan dapat tercapai pada tahun tersebut sebesar 218,8 juta
dan perjalanan wisatawan nusantara di setiap provinsi, kabupaten/kota juga
ditargetkan terus meningkat (Wacik, 2006 : 2).
5.2.3 Lingkungan lokal
Di tingkat lokal, implementasi sistem otonomi daerah membuat
keterkaitan antara ketiga lingkungan tersebut bertambah erat. Di satu sisi sistem
akan mendatangkan peluang, namun di sisi lain juga memunculkan hambatan
tersendiri. Peluang ini muncul bila pemerintah daerah dapat memahami otonomi
daerah secara benar, yaitu sebagai momentum untuk mengenali, mengembangkan,
dan memberdayakan potensi-potensi ekonomi lokal secara jauh lebih leluasa tanpa
adanya hambatan yang terlalu banyak oleh lingkungan nasional bila dibandingkan
89
era sebelum otonomi daerah. Pemilik modal asing dapat melakukan penetrasi
langsung ke daerah tanpa terlalu banyak hambatan birokrasi di tingkat
pemerintahan pusat. Demikian pula sebaliknya, dengan kemampuan komparatif
dan kompetitif yang dimiliki, para pengelola pembangunan maupun pebisnis di
daerah dapat menjangkau sumber daya-sumber daya ekonomi di tingkat
internasional untuk disinergikan dengan proses pembangunan di daerah secara
lebih mudah. Karena itulah penyelenggara pemerintahan di pusat dan daerah harus
mulai menggunakan pemasaran strategis (strategic marketing approach) di mana
konsep-konsep pemasaran seperti positioning, diferensiasi, dan branding yang
selama ini hanya dikenal di dalam dunia bisnis harus mulai diadopsi. Kepala
daerah juga harus memiliki gambaran mengenai kondisi terakhir maupun prediksi
3 hingga 5 tahun ke depan tentang kompetitornya, wisatawan-pebisnis-investor
sebagai pelanggan daerah, dan kondisi internal daerah (Kartajaya, 2005).
Kondisi ini menuntut kepala daerah harus tanggap dan dapat merespons
berbagai perubahan besar di tingkat lokal, nasional, dan global yang sangat
berpengaruh terhadap pengelolaan pemerintahan. Merujuk pada berbagai
perkembangan yang terjadi di tingkat internasional dan nasional tersebut, maka
pemerintah Kota Kediri nampaknya perlu melakukan penyesuaian-penyesuaian
terhadap kebijakan pengembangan pariwisata yang telah dilakukan. Bagi
Pemerintah Kota Kediri, sistem ini memberikan peluang sekaligus tantangan
untuk melaksanakan pembangunan daerahnya secara lebih baik.
Dalam pengembangan daya tarik wisata di kawasan Selomangleng
misalnya, pemerintah Kota Kediri perlu merujuk pada pola pariwisata
90
berkelanjutan. Sebagai kota berukuran kecil, yaitu 63,40 km² daya dukung
lingkungan Kota Kediri tentu sangat terbatas. Ini berarti pariwisata yang layaknya
dikembangkan di Kota Kediri bukanlah mass tourism, yang ditandainya dengan
kedatangan wisatawan secara massal, karena akan berimplikasi pada beratnya
tekanan terhadap lingkungan.
Lebih lanjut seiring dengan program pemerintah pusat untuk
mengembangkan pariwisata domestik, pemerintah Kota Kediri pun nampaknya
dapat berupaya untuk menyasar segmen ini. Dalam lingkup regional Kota Kediri
memiliki peluang untuk menarik kedatangan wisatawan dari kabupaten/kota yang
berbatasan langsung dan berdekatan dengan Kota Kediri seperti Kabupaten Kediri,
Blitar, dan Nganjuk, maupun Kabupaten Jombang, Mojokerto, Jombang, Sidoarjo,
Kota Surabaya, dan sebagainya. Hal ini sangat memungkinkan mengingat posisi
Kota Kediri yang berada pada lintasan 7 jalur lintasan primer di Provinsi Jawa
Timur, salah satunya adalah jalur arteri primer Kota Surabaya-Kabupaten
Tulungagung.
Sebuah studi yang dilakukan Yahya (2005), ahli statistik dari ITS,
menunjukkan bahwa pada setiap hari libur warga Kota Surabaya memiliki
kecenderungan untuk berlibur ke luar kota. Ia memperkirakan, pada setiap hari
libur terdapat sekitar 100 hingga 200 ribu kendaraan bergerak ke luar Kota
Surabaya yang mengarah ke Kabupaten Sidoarjo dan daerah-daerah sekitarnya.
Para pelancong ini berangkat pada pagi dan balik pada malam atau sore harinya
(Jawa Pos, 7 Pebruari 2005). Jarak Kota Kediri yang cukup jauh dari Kota
Surabaya sebagai titik distribusi menjadi salah satu persoalan dalam upaya
91
menarik kunjungan wisatawan dari ibu kota Provinsi Jawa Timur tersebut. Jarak
sejauh 125 km, dengan kondisi lalu lintas yang selalu padat, sehingga
membutuhkan waktu tempuh sekitar 2 hingga 2,5 jam menuntut adanya upaya
yang serius untuk meningkatkan daya tarik wisata Kota Kediri, karena harus
bersaing dengan daerah lainnya yang berjarak lebih dekat dengan Kota Surabaya
dan telah lebih memiliki infrastruktur penunjang aktivitas pariwisata yang
memadai seperti Kota Batu, Kabupaten/Kota Malang, dan Kabupaten/Kota
Pasuruan.
Terkait dengan tren pemanfaatan teknologi informasi untuk pemasaran
pariwisata, pemerintah Kota Kediri nampaknya belum melakukan upaya-upaya
terukur dan sistematis untuk memasarkan produk-produk pariwisata Kota Kediri.
Idealnya pemerintah mulai memanfaatkan website resmi pemerintah yang telah
dimiliki, yaitu www.kotakediri.go.id sebagai media untuk mempromosikan dan
memasarkan produk-produk kepariwisataan sekaligus peluang-peluang investasi
di Kota Kediri. Saat penelitian ini dilaksanakan, situs tersebut belum
dimanfaatkan secara optimal untuk memperkenalkan Kota Kediri dan menarik
investor dan wisatawan. Dari segi tampilan website ini kurang menarik serta
belum memuat informasi yang memadai untuk dapat menarik minat pengunjung
situs untuk berwisata maupun untuk berinvestasi ke Kota Kediri. Informasi daya
tarik wisata yang disajikan dalam situs dimaksud sangat terbatas, dan tidak
didukung tampilan foto-foto objek setempat. Padahal foto-foto objek dan daya
tarik yang dimiliki Kota Kediri amatlah banyak, yang sebagian di antaranya
disajikan pada bagian lampiran tulisan ini.
92
Di masa kini peran situs internet untuk mempromosikan daya tarik
pariwisata Kota Kediri menjadi kian strategis, mengingat internet merupakan
merupakan wahana informasi yang dapat menjangkau seluruh pelosok dunia serta
dapat diakses sepanjang waktu yaitu 24 jam sehari, 7 hari seminggu sepanjang
tahun tanpa harus terikat dengan jam kerja. Media ini pun sangat penting menjadi
salah satu basis promosi mengingat pariwisata sendiri merupakan sebuah aktivitas
yang melintasi batas-batas wilayah negara. Informasi yang penting disajikan
melalui media situs web pemerintah Kota Kediri ini misalnya apa dan bagaimana
sejarah Kota Kediri sehingga layak dikunjungi, jenis objek wisata yang
ditawarkan, lokasi dan akses menuju Kota Kediri, fasilitas hotel/restoran dan
pendukung aktivitas wisatawan lainnya, potensi-potensi investasi dan
perdagangan, serta informasi dan foto-foto objek setempat yang menarik. Untuk
menarik minat investor maupun pebisnis dari dalam dan luar negeri maka perlu
juga disampaikan produk-produk khas Kota Kediri, syarat-syarat ijin investasi
serta peraturan-peraturan terkait mulai dari tingkat undang-undang, hingga
peraturan daerah setempat.
Keinginan dan inisiatif untuk memanfaatkan teknologi informasi dalam
upaya mendongkrak arus kedatangan wisatawan juga menjadi keinginan Dinas
Pariwisata Provinsi Jawa Timur. Instansi ini tengah berupaya membangun sebuah
kios interaktif berbasis web yang memuat informasi tentang 120 tempat pariwisata
di Provinsi Jawa Timur. Informasi pada website tersebut direncanakan dapat
diperbarui seminggu sekali ( berdasarkan laporan Jawa Pos, 10 Maret 2005).
93
Namun sayangnya dari penelusuran penulis, hingga tulisan ini dilaporkan kiosk
interactive dimaksud ternyata belum diimplementasikan.
Dari sudut pandang kehumasan, internet juga dapat dimanfaatkan sebagai
media untuk melaksanakan fungsi-fungsi kehumasan dan pemasaran. Perspektif
kehumasan yang berkembang seiring dengan maraknya komunikasi melalui media
internet adalah cyber public relations, atau electronic public relations (e-pr).
Pengertian konsep ini merujuk suatu upaya membangun reputasi dengan
mengkomunikasikan informasi dan mendengarkan permintaan pelanggan melalui
media internet (Onggo, 2004 : xiv) .
Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi menuntut para praktisi PR
untuk membangun hubungan dengan publik melalui media internet. Onggo
menyebutkan, ribuan one to one relations dapat dibangun secara simultan lewat
media internet, sehingga media ini merupakan sarana yang ampuh untuk
membangun relasi, karena sifatnya yang konstan, cepat, hemat, dan interaktif.
Strategi e-pr ini dapat dimanfaatkan Bagian Humas untuk mempublikasikan
kegiatan-kegiatan di bidang pemerintahan, pembangunan, dan sosial
kemasyarakatan kepada publik dengan cepat dan efisien. Walau demikian, ini
tidak berarti e-pr dapat menggantikan fungsi-fungsi offline pr, melainkan bersifat
mendukung. Sisi hubungan kemanusiaan masih sangat berperan besar, dan e-pr
selanjutnya berfungsi untuk memperkuatnya. Ini menunjukkan bahwa
implementasi teknologi informasi dan komunikasi memang sudah sangat sesuai
dengan tantangan dan kebutuhan tugas-tugas kehumasan termasuk pemasaran
pariwisata daerah di masa kini.
94
Dalam upaya mempromosikan pariwisata dan budaya, pemerintah melalui
Kantor Pariwisata dan Seni Budaya telah memprogramkan berbagai bentuk
kegiatan promosi pariwisata dan budaya, seperti pelaksanaan festival kesenian
jaranan untuk menghidupkan kreativitas kelompok-kelompok kesenian di Kota
Kota Kediri, maupun dengan mengikuti berbagai festival budaya yang
dilaksanakan di berbagai kota di Jawa Timur hingga Jakarta, serta pengiriman
misi kesenian ke Bali. Pemerintah Kota Kediri bahkan pernah mengirimkan tim
kesenian pada hari ulang tahun Kota Negara, Jembrana, pada Agustus 2002 dan
2003.
Sebagai penunjang promosi pariwisata, pemerintah juga telah mencetak
brosur-brosur tentang kepariwisataan Kota Kediri. Biaya yang telah dikeluarkan
pemerintah untuk berbagai promosi tersebut sangat besar, namun keterbatasan
tetap saja ada. Pengiriman misi kesenian ke luar daerah misalnya, memang akan
dapat mempromosikan Kota Kediri namun jika dapat dilakukan didukung secara
rutin dan didukung dengan publikasi yang gencar. Namun pada kenyataannya
kemampuan anggaraan untuk melaksanakan promosi pariwisata ini sangat terbatas,
serta dukungan publikasi yang ada tidak sebesar yang dibutuhkan. Begitu pula
halnya dengan penyebaran brosur. Brosur ini tentu tidak dapat menjangkau
seluruh daerah yang berpotensi untuk mendatangkan wisatawan.
Berbagai masalah di setiap level lingkungan kebijakan yang memiliki
keterhubungan yang erat dengan Kota Kediri dirangkum pada Tabel 5.3.
95
Tabel 5.3 Peta Masalah Lingkungan Kebijakan Pengembangan Pariwisata Kota
Kediri
No Lingkungan Internasional Lingkungan Nasional Lingkungan Lokal 1. Tren meningkatnya pendapatan
dan pengisian waktu luang untuk berwisata, sehingga industri pariwisata kian berperan dalam ekonomi dunia
Kontribusi pariwisata terhadap ekonomi nasional cukup besar, menjadi sumber penghasil devisa nomor 2
Sistem otonomi daerah mengharuskan pemerintah mengeluarkan kebijakan pembangunan yang inovatif
2. Perkembangan pariwisata yang sangat pesat sebagai industri massal menimbulkan problem-problem lingkungan, sosial, dan budaya, sehingga kini paradigma bergeser ke pariwisata berkelanjutan
Banyaknya gangguan, dan kondisi keamanan tidak kondusif sehingga arus kedatangan wisatawan asing menunjukkan pertumbuhan negatif
Pembangunan ekonomi belum optimal, anggaran pembangunan masih tergantung pemerintah pusat
3. Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) yang mengubah pola pengelolaan perjalanan wisatawan
Pemerintah berupaya mengembangkan potensi pasar pariwisata domestik yang belum tergarap maksimal
Ada potensi wisata yang belum terkelola, membutuhkan pemeliharaan
5.3 Kebijakan Untuk Pengembangan Pariwisata Lebih Lanjut
Konsekuensi dari semakin eratnya keterkaitan tiga lingkungan tersebut
adalah bahwa pemerintah Kota Kediri harus bekerja dengan kerangka berpikir
yang lebih luas. Pembuat kebijakan dituntut tidak sekadar memiliki pemahaman
terhadap perkembangan yang terjadi pada lingkungan domestik mereka, namun
juga tren perubahan yang sedang terjadi pada lingkungan nasional dan
internasional. Hal ini membuat proses pembuatan kebijakannya pun selayaknya
dilakukan melalui analisis terhadap perkembangan yang terjadi pada ketiga level
lingkungan kebijakan yang melingkupinya. Tujuannya adalah membangun peta
permasalahan yang dapat membantu pemerintah dalam memahami persoalan-
96
persoalan yang dihadapi, beradaptasi dengan perkembangan lingkungannya,
sehingga kebijakan yang dibuat pun akan berdaya guna dan tepat sasaran.
Masalah-masalah di atas selanjutnya menjadi input dalam proses kebijakan
pengembangan pariwisata Kota Kediri. Penjabaran model sistem untuk
menguraikan proses perumusan kebijakan pengembangan pariwisata Kota Kediri
diterangkan pada Gambar 5.1. Berdasarkan model perumusan kebijakan yang
dibangun melalui pendekatan sistem tersebut, pemerintah perlu merumuskan
kembali langkah-langkah perumusan kebijakan pengembangan pariwisatanya agar
sesuai dengan lingkungan yang mengitarinya. Kebijakan tersebut secara garis
besar mencakup pariwisata berkelanjutan, pengembangan pasar domestik, dan
pendayagunaan teknologi informasi sebagai media promosi pariwisata dan budaya.
Berdasarkan kajian penulis, persoalan yang terjadi dalam pengembangan
pariwisata di Kota Kediri adalah lemahnya aspek perencanaan, mulai perencanaan
awal dalam rangka pembangunan fisik hingga perencanaan bisnis. Sejauh ini
dokumen perencanaan yang ada hanyalah sketsa site plan Kawasan Pariwisata
Selomangleng. Padahal objek-objek lain yang berada di luar kawasan juga
merupakan bagian integral yang turut menunjang pengembangan pariwisata. Salah
satu upaya yang perlu dilakukan adalah menyusun peta potensi wisata Kota Kediri.
Dalam tulisan ini penulis menggunakan konsep Inskeep untuk mengenali potensi
wisata yang ada.
97
Melalui implementasi konsep daya tarik wisata menurut Inskeep (1991:77)
dihasilkan pemetaan daya tarik wisata Kota Kediri seperti dijabarkan pada Tabel
INPUT ( Lingkungan Eksternal )
Tren Pariwisata Internasional :
• Pariwisata internasional terus berkembang pesat sebagai industri yang dapat memajukan ekonomi negara/destinasi
• Paradigma yang berkembang adalah pariwisata berkelanjutan
• Kemajuan teknologi informasi bentuk segmen wisatawan khusus
( Lingkungan Intermediate )
Tren Pariwisata Nasional: • Pariwisata sumber
devisa nomor 2 • Pariwisata Indonesia
mengalami pertumbuhan negatif
Pemerintah berupaya lebih mengembangkan pariwisata domestik
( Lingkungan Intim ) Kondisi Pariwisata dan Ekonomi Lokal: Sistem otonomi daerah
mendorong daerah harus kreatif
Pembangunan ekonomi belum optimal, anggaran pembangunan tergantung dari pemerintah pusat
Ada potensi wisata yang belum terkelola dengan baik, butuh pemeliharaan
OUTPUT
Kebijakan Pengembangan
Pariwisata Kota Kediri: Pengelolaan potensi
pariwisata untuk mengembangkan pariwisata berkelanjutan,
Pengembangan pariwisata menitikberatkan pada pariwisata domestik
Pemasaran pariwisata terpadu berbasis web
PROSES
Umpan Balik
Gambar 5.1 Implementasi Model Sistem Pada Perumusan Kebijakan Pariwisata
Kota Kediri
98
5.4 yang dapat terus dikembangkan sesuai pengembangan lebih lanjut oleh
instansi terkait.
Tabel 5.4 Implementasi Konsep Inskeep tentang Daya Tarik Wisata di Kota Kediri
Daya Tarik Alam Daya Tarik Budaya/Sejarah
Daya Tarik Buatan Mode Transportasi Khas
Makanan Khas
a. Gunung Maskumbang
b. Gunung Klotok c. Sungai Brantas
a. Goa Selomangleng b. Masjid Agung c. Pura Dewi
Sekartaji d. Makam Mbah
Boncolono & Tumenggung Mojoroto
e. Koleksi Museum Airlangga
f. Kesenian Jaranan g. Wayang kulit h. Festival Budaya
Hari Jadi Kota Kediri
i. Pemilihan Panji-Galuh
j. Kompleks Makam Setono Gedong
a. Kolam Renang dan Taman Hiburan Selomangleng
b. Taman Rekreasi Pagora dan Kolam Renang Tirtoyoso
c. Jalan Tembus Lebak Tumpang-Selomangleng
d. Pertandingan Sepak Bola di Stadion Brawijaya
e. Mal Sri Ratu & Golden
f. Kawasan pertokoan Jl.Dhoho
g. Kawasan penjualan tahu takwa Jl. Yos Sudarso & Patimura
h. Taman Sekartaji i. Pabrik Gula PTPN
XI j. Pabrik Rokok
Gudang Garam
Becak a. Nasi Pecel Tumpang Kediri
b. Nasi Rawon c. Tahu Takwa d. Nasi Liwet e. Minuman
Sari Kelapa (Legen)
Sumber:Hasil pengamatan penulis
Selanjutnya untuk memudahkan identifikasi yang lebih dalam terhadap
modal kepariwisataan Kota Kediri, penulis membagi objek wisata tersebut ke
dalam dua kelompok, yaitu objek wisata di dalam dan di luar kawasan
Selomangleng. Bila objek yang terdapat di setiap lokasi tersebut dikaitkan dengan
tipe aktivitas wisata yang dapat dilaksanakan, maka dapat disusun pemetaan
seperti terdapat pada Tabel 5.5 dan Tabel 5.6.
99
Tabel 5.5 Objek dan Tipe Aktivitas Wisata di Dalam Kawasan Selomangleng
Tipe Aktivitas Wisata No
Nama Objek Alam Spiritual Olah
Raga Sejarah Belanja Keluarga
Pendidikan
1 Goa Selomangleng
√ √ √
2 Koleksi Museum Airlangga
√ √
3 Pura Dewi Sekartaji
√
4 Gunung Klotok √ √ 5 Bukit
Maskumambang √
6 Jalan Tembus Lebak Tumpang dan Jalan Lingkar Maskumambang
√ √
7 Makam Mbah Boncolono dan Tumenggung Mojoroto
√
8. Kolam Renang dan Taman Hiburan Selomangleng
√
Tabel 5.6 Objek dan Tipe Aktivitas Wisata di Luar Kawasan Selomangleng
Tipe Aktivitas Wisata
No
Nama Objek Alam Spiritual Olah Raga
Sejarah Belanja Keluarga
Pendidikan
1 Dermaga dan Sungai Brantas
√ √
2 Kompleks Makam Setono Gedong
√
3 Mal Sri Ratu dan Golden
√ √
4 Pertokoan Jalan Dhoho
√
5 Kawasan Penjualan Tahu Takwa Jl. Yos Sudarso dan Pattimura
√
6 Taman Rekreasi Pagora dan Kolam Renang Tirtoyoso
√ √
7 Masjid Agung √ √ 8 Pertandingan √
100
Sepak Bola di Stadion Brawijaya
9 Taman Sekartaji
√ √
10 Pabrik gula PTPN XI
√ √
11 Pabrik Rokok Gudang Garam
√ √
Sumber : Hasil pengamatan penulis
Merujuk pada penjelasan Soekadijo (2000 : 50), maka berdasarkan tabel di
atas maka nampak bahwa Kota Kediri sebenarnya memiliki modal kepariwisataan
yang cukup beragam untuk dikembangkan lebih lanjut. Bila setiap daya tarik
tersebut telah dikelola dengan baik, maka berarti Kota Kediri memiliki banyak
produk-produk pariwisata yang dapat ditawarkan kepada calon wisatawan melalui
biro perjalanan wisata.
Pemetaan terhadap tipe aktivitas kepariwisataan tersebut selanjutnya dapat
dijabarkan dalam model zonasi pariwisata Kota Kediri seperti dijelaskan melalui
Gambar 5.2. Gambar dimaksud memposisikan Goa Selomangleng sebagai objek
inti dan menjadi ikon kepariwisataan Kota Kediri sehingga berada dalam zona inti
aktivitas wisata budaya. Ini berarti bahwa objek ini pula yang idealnya menjadi
fokus pengelolaan pemerintah melalui upaya-upaya pelestarian, penelitian dan
pemanfaatan daya tariknya. Upaya penggalian makna eksistensi kesejarahan goa
ini yang perlu dieksploitasi sebagai daya tarik wisata sejarah dan budaya Kota
Kediri. Hal ini perlu dilakukan mengingat di dalam dan sekitar Goa Selomangleng
terdapat objek-objek berupa relief maupun patung yang memiliki makna sejarah
tinggi, namun sejauh ini belum ada dokumen resmi yang menjelaskan makna dari
setiap objek yang terdapat di dalam maupun di lingkungan sekitar goa tersebut.
Untuk menjaga kelestarian Goa Selomangleng, maka intensitas pengunjung ke
101
dalam goa juga perlu diperhatikan, agar tidak menimbulkan dampak yang
berpotensi merusak keaslian goa.
Aktivitas wisata di objek-objek lainnya yang di dalam kawasan merupakan
tambahan daya tarik untuk menahan wisatawan lebih lama berkunjung di dalam
kawasan yang berada pada zona berikutnya. Objek pada zona ini seperti Museum
Airlangga yang menyimpan benda-benda bersejarah era Hindu merupakan objek
yang masih memiliki keterkaitan erat dengan Goa Selomangleng sebagai objek
inti. Ragam aktivitas pada objek ini berupa wisata sejarah dan budaya, serta
pendidikan seperti telah dipetakan melalui Tabel 5.5, merupakan objek yang
ditujukan bagi wisatawan yang lebih berminat pada jenis aktivitas lainnya seperti
wisata keluarga, alam, dan spiritual.
Selanjutnya keberadaan objek-objek di luar kawasan Selomangleng seperti
telah dijabarkan pada Tabel 5.6 juga dapat dikelola dan dimanfaatkan untuk
menahan wisatawan untuk berkunjung lebih lama di Kota Kediri. Bagi wisatawan
yang berminat dengan aktivitas wisata belanja, aktivitas yang memang identik
selalu ada dalam pariwisata, pemerintah dapat menawarkan kawasan pertokoan
Jalan Dhoho, pertokoan penjual tahu takwa di Jl. Yos Sudarso, serta mal Sri Ratu
dan Golden sebagai pemenuh kebutuhan tersebut. Demikian pula bagi wisatawan
yang memiliki minat terhadap wisata olah raga, khususnya sepak bola, pemerintah
dapat menawarkan pertandingan sepak bola di Stadion Brawijaya sebagai jawaban
atas kebutuhan tersebut. Dalam hal ini tentunya pemerintah perlu berkoordinasi
dengan manajemen Persik Kediri mengenai jadwal dan ketersediaan tiket untuk
menyaksikan pertandingan tersebut. Pola-pola kerja sama antara pemerintah dan
102
kalangan swasta ini sebenarnya telah menjadi bagian dalam program
pengembangan pariwisata, namun nampaknya belum banyak dilakukan.
Pertandingan sepak bola ini misalnya, belum dikelola melalui kerangka
pengelolaan wisata olah raga. Bila sudah, tentunya pihak hotel atau biro wisata
tentunya dapat menawarkan pertandingan sepak bola ini sebagai salah satu produk
pariwisata Kota Kediri kepada wisatawan. Dengan demikian wisatawan yang
sedang berwisata ke Kota Kediri dapat sekaligus memesan tiket pertandingan
melalui pihak hotel/biro perjalanan. Aktivitas lainnya yang merupakan
pengembangan lebih lanjut dikembangkan dengan merujuk pada prinsip-prinsip
pariwisata budaya khas Kota Kediri. Dengan demikian, pengembangan pariwisata
Kota Kediri sesuai dengan potensi yang ada dapat dikelompokkan ke dalam
lapisan-lapisan aktivitas wisata mulai dari zona inti, zona penunjang di dalam
kawasan, dan zona penunjang di luar kawasan. Aktivitas wisata budaya yang
dipadukan dengan wisata sejarah dan spiritual menjadi jiwa dari kepariwisataan
Kota Kediri.
Berdasarkan peta permasalahan yang terbangun tersebut, dalam upaya
pengembangan pariwisata lebih lanjut Pemerintah Kota Kediri perlu melakukan
retrospeksi terhadap kebijakan pengembangan yang telah dilakukan selama ini.
Merujuk pada tujuan pengembangan pariwisata, kebijakan tersebut dibuat dalam
rangka peningkatan perekonomian daerah. Hal ini bermakna bahwa pembuat
kebijakan perlu memperjelas target-target yang ingin dicapai melalui kebijakan
tersebut.
103
Kesulitan-kesulitan yang muncul dalam memproyeksikan hasil
pengembangan pariwisata terjadi karena sebelumnya pemerintah kurang
mendapatkan input informasi yang memadai tentang kepariwisataan dalam
lingkup lokal, regional, dan internasional. Hal ini terbukti dengan kenyataan tidak
adanya studi-studi pendahuluan secara menyeluruh tentang perencanaan
pariwisata, sebelum pemerintah memutuskan untuk melakukan pengembangan
pariwisata. Kajian-kajian dan seminar ilmiah yang terkait dengan pengembangan
pariwisata memang pernah dilakukan, namun sifatnya parsial karena hanya
Zona Penunjang
Zona Penunjang di Luar Kawasan
Gambar 5.2 Zonasi Aktivitas Kepariwisataan Kota Kediri
Zona Inti
104
membahas fakta-fakta sejarah yang dapat menjadi dasar penetapan hari jadi dan
busana khas Kota Kediri. Penelitian ilmiah yang dilanjutkan hingga tahap seminar
yang pernah dilakukan pada tahun 2002 hanyalah tentang penetapan hari Jadi
Kota Kediri dan busana khas Kediri. Penelitian atau setidaknya survei lainnya
seperti tipe wisatawan yang diharapkan datang ke Kota Kediri belum pernah
dilakukan.
Masalah yang terjadi akibat tidak memadainya survei pendahuluan terjadi
pada proyek pengembangan kawasan wisata Selomangleng. proyek pembangunan
kolam renang dan taman hiburan ini jaraknya sangat berdekatan dengan Goa
Selomangleng, sehingga menimbulkan protes dari Balai Penelitian Peninggalan
Purbakala di Mojokerto. Proyek ini dikhawatirkan akan sangat berpotensi
mengganggu dan merusak struktur fondasi situs bersejarah Goa Selomangleng.
Protes ini bisa dipahami, mengingat keberadaan Goa Selomangleng sebagai situs
bersejarah harus sangat dilindungi pemerintah sesuai dengan UU No 5 tahun 1992
tentang Cagar Budaya. Secara eksplisit, amanat untuk melindungi benda cagar
budaya tersebut disebutkan pada pasal 18 ayat 1 yang menyebutkan bahwa
pengelolaan benda cagar budaya dan situs adalah tanggung jawab pemerintah.
Pengembangan objek-objek wisata buatan di dalam suatu kawasan yang
menyimpan banyak benda bersejarah tentunya harus dilakukan dengan sangat
berhati-hati dan mengembangkan suatu sistem zonasi. Namun di sisi lain,
pemerintah Kota Kediri nampaknya juga menghadapi dilema. Tanpa adanya
pengembangan objek tambahan sebagai penambah daya tarik Goa Selomangleng
sebagai objek inti, maka pengelolaannya objek wisata sejarah, budaya, dan
105
spiritual sulit dilakukan. Padahal selain Goa Selomangleng objek bersejarah
lainnya di dalam kawasan yang harus dilestarikan sangat banyak, tidak seimbang
dengan kemampuan anggaran pemerintah yang sangat minim. Sejak berlakunya
sistem otonomi daerah, pengelolaan benda-benda bersejarah menjadi tidak jelas.
Tanggung jawab pemeliharaan dan perlindungan masih oleh pemerintah pusat,
termasuk anggaran pelestariannya. objek-objek yang secara fisik berada di
wilayah daerah otonom ini akhirnya jarang mendapatkan perhatian dari instansi
terkait. Pemerintah daerah tentu saja tidak bisa melepaskan tanggung jawabnya.
Sayangnya dari sisi anggaran dan SDM, kondisi pemerintah daerah pun tidak
memungkinkan untuk melakukan pelestarian.
Kondisi-kondisi mendesak ini yang nampaknya membuat pemerintah Kota
Kediri mengambil langkah berani untuk mengembangkan kawasan ini dengan
segera. Sekalipun gesekan antara pemerintah Kota Kediri dan pihak Balai
Penelitian Peninggalan Purbakala ini dapat terselesaikan, ini merupakan suatu
pelajaran betapa pentingnya kajian-kajian perencanaan dilakukan sebelum
pemerintah mengambil langkah lebih jauh. Sebagian masalah yang terjadi pada
sejumlah objek dan daya tarik wisata Kota Kediri saat penelitian ini dilakukan
terangkum dalam Tabel 5.7.
Pengembangan pariwisata di Kota Kediri masih berada pada tahap yang
sangat dini, yaitu penyediaan infrastruktur penunjang. Biaya yang dikeluarkan
juga sangat besar, namun berapa target pendapatannya belum dapat diketahui pasti.
Namun secara politis, citra pemerintah dan kota ini menjadi terangkat. Dana yang
dikeluarkan pemerintah untuk pengembangan pariwisata sangat besar, namun
106
belum dapat diketahui dengan jelas, kapan dan berapa banyak pendapatan yang
akan dihasilkan. Namun kondisi objektif menunjukkan bahwa masyarakat
memang membutuhkan fasilitas untuk berwisata, dan sesuatu yang dapat
dibanggakan di daerahnya. Bila pemerintah tidak berani mengambil keputusan
untuk mengembangkan pariwisata, masyarakat akan beranggapan bahwa
pemerintahan saat ini tidak banyak melakukan perubahan-perubahan, sehingga
tidak jauh berbeda dengan pemerintahan-pemerintahan sebelumnya. Kebijakan
berani untuk mengembangkan pariwisata tanpa suatu kajian perencanaan yang
mendalam ini ternyata sangat ampuh mendongkrak citra pemerintah. Hal ini
terbukti dengan terpilihnya kembali HA Maschut sebagai Walikota Kediri periode
2004-2009.
Masalah-masalah lain juga muncul dari sisi lingkungan sosial dan fisik.
Konsep wisata budaya dan spiritual yang sering dipromosikan pemerintah, oleh
sebagian warga telah dibuat menyimpang, akibat sering menggunakan kawasan
ini untuk memadu asmara yang cenderung menjurus ke arah hubungan seksual pra
nikah. Akibatnya citra kawasan ini sebagai objek bagi pecinta alam, berubah
menjadi objek bagi para penggemar “bercinta di alam”. Ini terjadi akibat masih
minimnya fasilitas penerangan di sekitar kawasan, yang dimanfaatkan sejumlah
muda-mudi untuk bermesraan di malam hari. Maraknya aktivitas bermesraan
dalam kegelapan ini akhirnya membuka peluang terjadinya tindak kriminal berupa
pemalakan. Warga masyarakat beberapa kali melaporkan kasus pemalakan oleh
orang-orang tidak bertanggung jawab terhadap pasangan muda-mudi yang tengah
107
berpacaran di suasana keremangan malam. Faktor gangguan keamanan tentu
sangat merugikan upaya pengembangan pariwisata yang sedang dilakukan.
Tabel 5.7 Masalah Pada Objek dan Daya Tarik Wisata Kota Kediri
No Objek Masalah 1. Goa Selomangleng 1. Rendahnya apresiasi pemerintah dan pengunjung terhadap
objek bernilai sejarah tinggi 2. Tidak adanya upaya konservasi terhadap goa sehingga aset
tak ternilai ini terancam rusak akibat ulah tangan jahil yang melakukan pencoretan dan maupun pembuangan sampah
3. Belum adanya upaya penggalian sejarah keberadaan goa yang dapat menjadi penambah daya tarik bagi wisatawan
2. Museum Airlangga 1. Rendahnya apresiasi pemerintah dan pengunjung terhadap objek bernilai sejarah tinggi. Koleksi museum hanya dipahami sebagai kumpulan patung, belum ada apresiasi terhadap nilai sejarahnya
2. Tidak adanya informasi lengkap tentang latar belakang kesejarahan koleksi-koleksi museum
3. Kurangnya perawatan sehingga museum terkesan kumuh dan tidak terawat
3. Gunung Klotok dan Maskumambang
1. Masih kurangnya upaya-upaya penghijauan secara berkelanjutan, sehingga fungsi objek sebagai wisata alam sekaligus konservasi belum optimal
2. Belum adanya upaya perlindungan hutan sehingga masih ada praktek perladangan yang seringkali menyebabkan kebakaran
4. Kolam Renang dan Taman Hiburan Selomangleng
1. Belum adanya kejelasan status pengelolaan, oleh pemerintah atau swasta
2. Lokasi yang terlalu dekat dengan goa sehingga dikhawatirkan dapat mengganggu struktur fondasi goa.
5. Kolam Renang Pagora
1. Kurangnya pemeliharaan, sehingga kurang nyaman dan bersih bagi pengunjung
Sumber: Hasil pengamatan penulis
Masalah kebersihan juga muncul sebagai dampak aktivitas ekonomi yang
belum terkelola baik di dalam kawasan. Pedagang keliling banyak bermunculan
setiap hari libur untuk mengais rejeki. Sayangnya, mereka menjajakan dagangan
di sembarang tempat. Mulai dari tangga menuju goa, bahkan hingga di pelataran
goa, seperti gambar pada Lampiran 23. Akibatnya jelas, sampah menjadi
berserakan mengotori lingkungan sekitar kawasan yang seharusnya selalu terjaga
108
kebersihan dan keasriannya karena menjadi objek wisata. Sebuah papan
pengumuman yang mewajibkan pengunjung menjaga kelestarian lingkungan di
Goa Selomangleng dan lingkungan sekitarnya sebenarnya sudah terpasang di
dekat lokasi goa. Namun himbauan ini belum diperhatikan oleh pengunjung.
Perkembangan-perkembangan ini akhirnya mengusik ketenangan masyarakat
spiritual, yang sangat menghormati kesucian goa dan lingkungan sekitarnya.
Berdasarkan pengamatan penulis, kondisi tersebut memang menimbulkan
kesemrawutan, sehingga ketika pengunjung sedang ramai, situasi di sekitar goa
menyerupai pasar. Goa, kolam renang, museum, panggung hiburan, dan pura
terletak dalam jarak yang berdekatan. Ketika di panggung hiburan sedang
dilaksanakan hiburan musik dangdut, maka jelas pengunjung Pura Sekartaji juga
akan terganggu. Berbagai objek dengan tipe aktivitas yang berbeda terdapat dalam
jarak yang berdekatan, namun hanya dihubungkan dengan satu akses. Objek
wisata olah raga trekking di daerah pegunungan, Wisata spiritual dan sejarah di
Goa Selomangleng, Makam Mbah Boncolono, dan Pura Dewi Sekartaji, serta
wisata pendidikan di Museum Airlangga. Panggung hiburan yang terletak pada
jarak yang dekat, sekali waktu mementaskan kesenian tradisional jaranan, atau
musik dangdut. Akibatnya pada hari Minggu dan hari libur lain, kebisingan sangat
terasa karena lalu lintas dan mobilitas wisatawan yang cukup padat dari satu objek
ke objek lainnya bercampur dengan aktivitas pedagang yang berjualan di trotoar
dan tepi jalan. Belum adanya konsep pengelolaan kawasan secara terpadu menjadi
akar masalah ketidaknyamanan ini.
109
Problem lain yang kini muncul terkait dengan pembangunan kolam renang
dan taman hiburan adalah belum jelasnya konsep pengelolaan, apakah akan
dikelola oleh Kantor Pariwisata, perusahaan daerah, atau pihak swasta. Sehingga
sangat disayangkan, kolam yang secara fisik sangat megah dan dibangun dengan
biaya yang sangat mahal, namun pengelolaannya tidak dipersiapkan dengan
matang untuk mencapai target pemasukan tertentu.
Pengembangan pariwisata di Kota Kediri telah menghabiskan biaya yang
sangat besar. Bila dijumlahkan, biaya yang telah dikeluarkan pemerintah untuk
pengembangan sektor pariwisata dan telekomunikasi melalui APBD tahun 2000
hingga tahun 2004 telah mencapai sekitar Rp 11,9 milyar lebih. Di luar itu, khusus
untuk pembangunan kolam dan pengadaan sarana penunjangnya telah dihabiskan
dana sebesar Rp 19 milyar. Sayangnya hingga kini belum ada data yang jelas
mengenai besarnya pendapatan pemerintah pada kurun waktu yang sama, sebagai
hasil dari investasi dengan jumlah tersebut. Data yang ada terkait hal ini secara
ringkas sempat terungkap dalam Lampiran II LPJ Akhir Masa Jabatan Walikota
Kediri Tahun 1999-2004. Jumlah pendapatan pemerintah dari sektor ini ternyata
masih sangat rendah bila dibandingkan dengan biaya yang telah dikeluarkan.
Pendapatan asli daerah melalui retribusi seperti yang tertera dalam Tabel 5.8
Tabel 5.8 Realisasi Pendapatan Sektor Pariwisata Tahun 2001-2003
Realisasi Pendapatan
No
Uraian Tahun Anggaran 2001
Tahun Anggaran 2002
Tahun Anggaran 2003 (s.d. 31 Oktober 2003)
1 Retribusi kios kawasan wisata Goa Selomangleng
- Rp 2.238.000 Rp 2.694.000
2 Retribusi tempat khusus parkir di Selomangleng
Rp 906.200 Rp 1.023.600 Rp 1.289.500
110
3 Retribusi tempat rekreasi dan olah raga
Rp 13.670.500 Rp 11.450.100 Rp 11.173.100
4 Ganti rugi kios di Goa Selomangleng
Rp 20.000.000 Rp 16.000.000 Rp 16.500.000
5 Sewa Radio Jayabaya Sumber: LPJ Akhir Masa Jabatan Walikota Kediri tahun 1999-2004
Pembangunan infrastruktur penunjang pariwisata tentu memang tidak
dapat segera mendatangkan hasil. Namun idealnya pemerintah juga memiliki
target dan proyeksi, kapan bisa mencapai titik impas dan kapan dapat meraih
profit atas investasi yang telah dilakukan. Keberadaan infrastruktur fisik, seperti
kolam renang yang indah serta jalan tembus memang mampu mengangkat citra
pariwisata yang sedang dikembangkan. Namun yang juga penting harus
diperhitungkan ke depan adalah bagaimana agar investasi yang besar ini dapat
mendatangkan keuntungan bagi masyarakat dan daerah secara umum, bukan
sekadar kepentingan mengejar prestise.
Pariwisata harus dipandang sebagai suatu sistem perkaitan sosial
(Soekadijo, 2000: 25), sehingga ada sejumlah aspek yang perlu dipelajari. Aspek
pertama, yaitu wisatawan. Kajian mendalam terhadap aspek ini ternyata belum
terpenuhi karena memang pemerintah belum pernah melakukan survei tipe
wisatawan yang ingin didatangkan ke Kota Kediri. Saat ini memang sudah ada
wisatawan yang datang, namun umumnya mereka adalah penduduk dari daerah di
sekitar Kota Kediri, sebagian besar adalah penduduk dari daerah tetangga yaitu
Kabupaten Kediri. Bila pemerintah mampu melakukan pengelolaan dengan baik,
di masa depan kawasan ini dapat dikembangkan menjadi pusat wisata pada
lingkup regional di sekitar eks karesidenan Kediri, yang meliputi Kota Kediri,
Kabupaten Kediri, Kabupaten Nganjuk, Kota Tulungagung, Kabupaten
111
Trenggalek, dan Kabupaten Blitar. Selama ini wisatawan yang sudah datang ke
Kawasan Wisata Selomangleng dan objek-objek lain di Kota Kediri sebagian
besar masih merupakan warga lokal atau warga dari wilayah tetangga tersebut.
Untuk pengembangan lebih lanjut, pemerintah juga perlu mengkaji data-data
terkait perkembangan pariwisata internasional dan nasional sebagai target segmen
pasar pengembangan pariwisatanya.
Kedua, yaitu daya tarik. Agar dampak ekonomi pengembangan pariwisata
benar-benar optimal, daya tarik yang ada harus dapat menarik kedatangan
wisatawan dari kota-kota besar, bahkan luar pulau. Daya tarik yang dapat dilihat
dan aktivitas dilakukan adalah situs bersejarah Goa Selomangleng dan benda-
benda bersejarah yang dihimpun di Museum Airlangga. Segmen wisatawan
dengan kegiatan ini adalah wisatawan yang berminat pada wisata
sejarah/pendidikan. Dari sisi sejarah, Kota Kediri sebenarnya juga berpotensi
memasarkan produk wisata nostalgia, utamanya kepada wisatawan Belanda. Ini
mengingat pada masa penjajahan, di Kota Kediri banyak didirikan infrastruktur
penunjang kegiatan mereka. Infrastruktur tersebut misalnya pabrik gula dan
jembatan lama Sungai Brantas yang umumnya berada dalam kondisi yang kurang
terawat.
Di dalam Kawasan Wisata Goa Selomangleng terdapat sejumlah objek dan
daya tarik wisata dengan tipe kegiatan wisata yang berbeda dan berpotensi untuk
dikembangkan lebih lanjut, yaitu :
1. Goa Selomangleng
112
Goa Selomangleng merupakan objek inti yang terdapat di dalam kawasan
ini. Karena di goa ini terdapat peninggalan bersejarah yang khas, yang tidak
ditemukan di daerah lainnya di sekitar Kota Kediri. Namun hingga kini belum ada
pemandu wisata yang memiliki pemahaman tentang sejarah goa, dan makna-
makna relief yang terdapat di dalamnya. Akibatnya pengunjung memaknai goa
tidak lebih dari goa yang berisi pahatan, tidak lebih dari itu. Tidak adanya cerita
tentang goa ini membuatnya belum memiliki daya jual sebagai objek wisata.
Untuk itulah Kantor Pariwisata perlu menggali sumber-sumber pustaka yang
dapat memberikan penjelasan tentang serba-serbi goa ini. Keberadaan Goa
Selomangleng dan ratusan patung bersejarah lainnya yang terdapat di Museum
Airlangga sebenarnya dapat menjadi potensi tersendiri untuk menarik kedatangan
wisatawan asing dari segmen khusus. Wisatawan yang tertarik pada objek-objek
bersejarah seperti ini umumnya berasal dari kalangan berpendidikan yang sangat
menghargai kebudayaan dan produk-produk budaya negara yang dikunjungi.
Objek ini selayaknya diposisikan sebagai objek inti, menjadi ikon kepariwisataan
Kota Kediri. Untuk itu pemerintah perlu melakukan upaya-upaya penggalian
sejarah keberadaan goa, makna dan hakekat goa tersebut. Keberadaan
dokumentasi kesejarahan goa inilah yang dapat menjadi daya tarik dan
meningkatkan apresiasi pengunjung terhadap Goa Selomangleng. Sejauh ini
pemerintah hanya menjual daya tarik goa secara “fisik”, tanpa adanya sejarah
yang menjadi “jiwa” goa tersebut.
2. Museum Airlangga
113
Tema objek wisata museum ini masih merupakan kelanjutan dari Goa
Selomangleng, yaitu tentang peninggalan-peninggalan bersejarah. Problemnya
juga sama, harus ada pemandu yang mampu memberikan penjelasan tentang
peninggalan-peninggalan tersebut. Tanpa disertai penjelasan, wisatawan tidak
akan memiliki apresiasi yang lebih mendalam. Mereka hanya akan melihat koleksi
benda bersejarah tersebut tidak lebih dari kumpulan batu-batu yang diukir.Untuk
mengelola museum sebagai daya tarik wisata memang dibutuhkan ketrampilan
dan kerja keras tersendiri. Museum-museum yang terdapat di negara-negara maju
umumnya terawat dengan baik, dan menjadi kebutuhan masyarakat maupun
wisatawan. Kondisi ini sangat jauh berbeda dengan kondisi museum di tanah air
yang umumnya terbengkalai, sekalipun menyimpan koleksi-koleksi yang sangat
berharga. Masalah ini nampaknya menjadi masalah yang rumit dan sistemik di
Indonesia. Umumnya, keterbatasan dana yang selalu menjadi alasan
ditelantarkannya benda-benda bersejarah ini.
Hingga kini Indonesia belum meratifikasi Konvensi Internasional
UNESCO tahun 1972 tentang perlindungan aset budaya atau benda peninggalan
sejarah. Tentu saja kondisi ini sangat ironis, mengingat Indonesia merupakan
negara yang memiliki aset budaya terbesar di dunia. Padahal bila pemerintah
Indonesia meratifikasi konvensi itu, Indonesia dapat mengajukan bantuan dana
internasional untuk pemeliharaan warisan-warisan budaya (Media Indonesia, 25
September 2005, hlm. 1).
3. Pura Agung Dewi Sekartaji
114
Pura ini merupakan tempat persembahyangan umat Hindu di Kota Kediri
dan sekitarnya. Namun pura ini tidak hanya dapat berfungsi sebagai tempat
persembahyangan, melainkan juga objek wisata spiritual. Di kalangan umat hindu
di Bali kini tengah berkembang kebiasaan untuk melaksanakan tirta yatra, yaitu
perjalanan suci untuk melaksanakan persembahyangan. Tempat-tempat yang
dituju oleh umat Hindu di Bali tidak hanya pura-pura di Bali, melainkan juga di
luar daerah, termasuk di Jawa Timur. Pura-pura di Jawa Timur yang telah umum
menjadi objek wisata spiritual umat Hindu misalnya Pura Blambangan dan Alas
Purwo di Banyuwangi, Pura Mandara Giri di Lumajang, dan Pura Semeru di kaki
Gunung Semeru. Bila Pura Dewi Sekartaji telah dikenal luas, para pelaku wisata
spiritual ini akan menjadikannya sebagai salah satu objek yang perlu dikunjungi.
Pura-pura di luar Bali yang telah dikenal luas dan menjadi tujuan tirta yatra tentu
akan memunculkan dampak ekonomi lokal. Berdasarkan informasi dari
pemangku pura setempat, beberapa kali umat Hindu dari Bali telah mulai datang
ke pura ini. Uniknya, informasi yang mereka dapatkan tidak diperoleh melalui
publikasi resmi, melainkan dari wahyu. Selanjutnya informasi tentang keberadaan
pura ini berkembang dari mulut ke mulut. Bila segmen wisata spiritual ini
dikembangkan dengan baik, sebenarnya cukup banyak wisatawan yang bisa
didatangkan, baik dari sekitar Kota Kediri, maupun dari luar pulau, seperti Bali.
Sebagian bagian dari upaya mengembangkan pariwisata spiritual, Pemerintah
Kota Kediri perlu melakukan upaya-upaya untuk lebih mempopulerkan objek ini.
4. Gunung Klotok
115
Gunung selalu menjadi objek yang menarik, termasuk Gunung Klotok.
Kondisi alamnya menunjukkan gunung ini dapat menjadi objek wisata alam,
dengan kegiatan seperti trekking, atau pun pendakian. Masyarakat sebenarnya
telah melakukan aktivitas wisata alam di gunung ini. Yang diperlukan adalah
pembenahan objek ini, seperti reboisasi untuk meningkatkan keasriannya. Selain
itu juga perlu dibuat jalur trekking/pendakian agar wisatawan yang baru datang
pertama kali tidak kesulitan melakukan pendakian.
5. Bukit Maskumambang dan Makam Mbah Boncolono
Bukit Maskumambang yang tidak terlalu tinggi, juga dapat menjadi objek
wisata alam. Selain itu, di puncak bukit ini juga terdapat Makam Mbah Boncolono
dan Tumenggung Mojoroto sehingga wisata spiritual juga dapat dilakukan pada
objek ini. Jalan bertangga yang telah dibangun menuju makam akan semakin
menarik minat masyarakat untuk mengunjungi objek ini.
6. Jalan Tembus Selomangleng-Lebak Tumpang dan Jalan Lingkar
Maskumambang
Keberadaan jalan tembus ini tidak sekadar berfungsi sebagai akses
tambahan bagi wisatawan untuk menuju Kawasan Wisata Selomangleng. Dengan
topografinya yang melintasi perbukitan, jalan ini juga dapat menjadi jalur bagi
olah raga bersepeda atau pun lintas alam. Pemandangan Kota Kediri dari kejauhan
dapat terlihat dari jalan ini, sehingga merupakan daya tarik tersendiri.
7. Kolam Renang dan Taman Rekreasi Selomangleng
Tidak semua orang tertarik dengan wisata sejarah. Ada pula yang ingin
sekadar bersenang-senang. Kolam Renang dan Taman Rekreasi dapat menjadi
daya tarik tambahan di kawasan ini. Ketika penelitian ini dilakukan objek Taman
116
Hiburan belum dibangun. Namun kemegahan kolam renang sudah terlihat, dan
bila taman hiburan ini telah tuntas tentu akan terlihat lebih megah lagi.
Di luar kawasan tersebut juga masih terdapat objek yang dapat menjadi
daya tarik pendukung, seperti Jembatan Lama Sungai Brantas , Dermaga Sungai
Brantas untuk wisata bahari, Makam Mbah Wasil untuk wisata spiritual, Mal Sri
Ratu dan Golden serta kawasan Jalan Dhoho, Yos Sudarso, Pattimura dan Taman
Sekartaji untuk wisata belanja. Objek lainnya, yang sudah ada dari dulu, yaitu
Taman Hiburan Pagora dan Kolam Renang Tirtoyoso juga bisa dikembangkan
menjadi objek wisata keluarga dan olah raga. Keberadaan Stadion Brawijaya dan
klub Sepak Bola Persik sebenarnya juga bisa dikelola menjadi objek wisata olah
raga. Keberadaan pabrik-pabrik industri pengolahan seperti pabrik Gula yang
berada di tiga kecamatan, serta Pabrik Rokok Gudang Garam juga dapat
dikembangkan menjadi objek wisata edukasi/pendidikan. Wisatawannya untuk
objek pabrik ini misalnya para pelajar, untuk memberikan wawasan mengenai
proses pengolahan suatu komoditi mentah hingga menjadi komoditi yang siap
dipasarkan.
Jembatan lama Sungai Brantas merupakan jembatan peninggalan masa
penjajahan Belanda yang hingga saat ini masih digunakan sebagai sarana
transportasi. Daya dukung jembatan ini jelas telah tidak memadai untuk
kebutuhan mobilitas saat ini. Jembatan-jembatan lainnya memang sudah ada,
seperti Jembatan Bandar dan Jembatan Semampir. Namun untuk di wilayah
tengah kota, akses terdekat hanya melalui jembatan lama. Karena itu pemerintah
perlu mempertimbangkan pembangunan jembatan tambahan lainnya untuk
117
menjaga kelestarian jembatan lama sebagai salah satu objek bersejarah. Untuk
mengelola sungai ini sebagai objek wisata, pemerintah juga telah membangun
Dermaga Jayabaya di Sungai Brantas pada tahun 2001. Namun sayangnya fasilitas
yang dibangun untuk menghidupkan aktivitas wisata dan ekonomi seperti
restoran apung dan pusat jual ikan tersebut belum dapat menarik investor
(Kompas, 8 Maret 2002).
Selain itu, yang selama ini nampaknya luput dari perhatian adalah
keberadaan pabrik-pabrik gula di Kediri. Pabrik-pabrik yang dibangun pemerintah
Belanda, dan kini ini menjadi aset pemerintah, dalam hal ini PT Perkebunan
Negara (PTPN) XI. Mungkin saja ada bekas-bekas serdadu Belanda yang
memiliki kenangan tersendiri ketika pernah ditugaskan di kota ini. Sejauh ini
Kantor pariwisata dan Budaya belum memiliki data mengenai wisatawan minat
khusus yang pernah berkunjung ke Kota Kediri.
Aksesibilitas/transferabilitas juga menjadi bagian yang penting dalam
menunjang keberhasilan objek wisata. Sebelum proyek pengembangan Kawasan
Wisata Selomangleng dilaksanakan, hanya terdapat 1 jalur yang menjadi jalan
masuk menuju kawasan wisata Goa Selomangleng, yaitu dari Desa Sukorame,
Kecamatan Mojoroto. Pada tahap awal, masalah aksesibibilitas ini diatasi dengan
memasang lampu penerangan jalan terlebih dahulu di sepanjang jalan menuju
kawasan wisata. Desa yang sebelumnya gelap gulita, kini telah terang-benderang.
Kendaraan umum yang beroperasi pada jalur ini juga sudah ada, namun kondisi
dan ketersediaannya belum teratur.
118
Keberadaan jalan tembus yang baru dari Desa Lebak Tumpang menuju
Selomangleng yang kini telah tuntas 100% dapat menjadi akses alternatif bagi
pengunjung yang akan mengunjungi kawasan wisata ini. Kondisi jalan yang
melalui daerah perbukitan pada perkembanganya kemudian ternyata tidak hanya
sekadar menjadi sarana jalan namun juga menjadi daya tarik tersendiri.
Masyarakat menggunakan jalan tembus ini untuk olah raga bersepeda, jalan santai
atau sekadar melihat-lihat pemandangan untuk menghirup udara yang segar.
Pembangunan infrastruktur penunjang pariwisata di Kawasan
Selomangleng berupa Jalan Tembus Lebak Tumpang Selomangleng dan Kolam
Renang mampu meningkatkan citra kawasan ini sebagai pusat kegiatan wisata di
Kota Kediri. Kawasan ini menjadi kian populer, dan masyarakat semakin
bergairah melaksanakan rekreasi di kawasan ini. Hampir setiap kegiatan yang
melingkupi kota Kediri selalu dilaksanakan pada kawasan ini, seperti sepeda
santai yang mengambil start di balai kota dan berakhir di Selomangleng.
Maraknya aktivitas masyarakat untuk melakukan kegiatan wisata di kawasan ini
bahkan mampu mengundang partisipasi masyarakat dalam pengembangannya.
Ahli waris Mbah Boncolono misalnya, secara swadaya mengeluarkan biaya untuk
membangun jalan bertangga menuju makam yang terletak di puncak Bukit
Maskumambang.
Upaya yang perlu dilakukan selanjutnya adalah mengemas berbagai objek
yang ada menjadi suatu daya tarik wisata, yang dipadukan dengan berbagai atraksi
budaya lainnya. Dengan demikian antara objek-objek yang berada di dalam
Kawasan Selomangleng dan objek lainnya yang berada di Kota Kediri pada
119
dasarnya dapat saling mendukung satu sama lainnya, dan menarik berbagai tipe
wisatawan. Karena itulah kawasan ini sebenarnya menawarkan daya tarik wisata
yang beragam. Mulai dari wisata sejarah, dengan objek berupa Goa Selomangleng
serta barang-barang purbakala yang disimpan di Museum Airlangga. Wisata
spiritual yang ditawarkan misalnya dapat berupa tirta yatra di Pura Dewi Sekartaji
atau berziarah ke Makam Mbah Boncolono. Wisata alam yang ditawarkan
pegunungan dan perbukitan, cocok untuk aktivitas pendakian dan lintas alam,
maupun rekreasi yang ditawarkan oleh kolam renang dan taman hiburan yang
sedang dibangun, maupun yang telah rutin diadakan setiap hari Minggu oleh
pengusaha setempat.
Dampak ekonomi yang muncul karena pengembangan pariwisata di Kota
Kediri telah mulai terlihat. Pedagang mulai bermunculan di sekitar areal Goa
Selomangleng, di sekitar Jalan Lingkar Maskumambang, dan sekitar Jalan
Tembus Lebak Tumpang-Selomangleng. Dengan pengelolaan yang lebih optimal
dan padu, tentu dampak ekonomi pariwisata bagi Kota Kediri akan lebih besar.
Konsekuensi berikutnya dari uraian tersebut terdapat pada pola promosi
yang dilakukan. Sarana-sarana promosi yang dibuat pemerintah, baik berupa iklan,
pencetakan brosur, maupun website, harus pula mengedepankan Goa
Selomangleng beserta sejarahnya sebagai ikon kepariwisataan Kota Kediri.
Objek-objek lainnya menjadi objek pendukung yang juga tak terpisahkan dengan
objek inti. Dengan demikian strategi yang dikembangkan kepada benak
wisatawan adalah membentuk citra Goa Selomangleng merupakan objek wisata
120
yang identik dengan Kota Kediri, atau sebaliknya Kota Kediri merupakan daerah
tujuan wisata identik dengan Goa Selomanglengnya.
Kebijakan mencakup wawasan yang luas, menjangkau jangka waktu yang
panjang, mengandung resiko yang besar dan melibatkan banyak pihak. Karena itu,
dalam penerapan kebijakan diharapkan tidak terjadi kegagalan. Pembuatan
kebijakan idealnya tidak dilakukan dengan cara trial and error (Abidin, 2002: 39).
Demikian pula halnya dengan kebijakan pengembangan pariwisata di Kota Kediri,
idealnya tidak boleh terjadi kegagalan mengingat begitu besarnya tenaga, waktu,
dan biaya yang dikeluarkan.
Untuk pengembangan yang lebih lanjut, pemerintah Kota Kediri perlu
melakukan penataan kembali (restrukturisasi) terhadap kebijakan pengembangan
pariwisata yang telah ditempuh selama ini. Upaya ini dapat diawali dengan
menginventarisasi dan mengidentifikasi kembali potensi-potensi wisata yang ada
di Kota Kediri, yang selanjutnya dituangkan dalam sebuah dokumen resmi. Daftar
inventarisasi inilah yang pada tahap berikutnya menjadi dasar dalam penyusunan
dokumen perencanaan pengembangan pariwisata Kota Kediri. Perencanaan
tersebut akan sangat bermanfaat pada kegiatan tahap berikutnya, yaitu
pengembangan maupun revitalisasi objek dan daya tarik wisata Kota Kediri.
Setelah tahap pengembangan inilah, selanjutnya produk-produk pariwisata Kota
Kediri telah siap untuk dipromosikan dan dipasarkan kepada wisatawan.
Bagaimana strategi dan bentuk pemasaran pariwisata tersebut dipengaruhi oleh
pengembangan yang dilakukan, sehingga citra kepariwisataan yang dipasarkan
dapat sesuai atau tidak jauh berbeda dengan kenyataan yang sebenarnya. Semua
121
tahapan dari awal, yaitu inventarisasi potensi wisata hingga tahap pemasaran
tersebut tentunya perlu merujuk pada perkembangan kepariwisataan di tingkat
lokal, nasional dan internasional untuk mendapatkan kejelasan, segmen wisatawan
mana yang menjadi sasaran pengembangan pariwisata Kota Kediri. Terkait
dengan segmen wisatawan bagi Kota Kediri ini, berdasarkan pengamatan penulis
pemerintah nampaknya dapat lebih memfokuskan perhatian pada wisatawan
wisatawan regional yang datang dari daerah di sekitar Kota Kediri seperti yang
telah berkembang saat penelitian ini dilaksanakan. Selain itu potensi yang ada
juga memungkinkan untuk menarik kedatangan wisatawan dari luar pulau bahkan
mancanegara, melalui wisata budaya yang ada. Hal ini juga seiring dengan
perkembangan kepariwisataan internasional saat ini yang ditandai dengan
meningkatnya apresiasi terhadap benda-benda peninggalan bersejarah.
Selanjutnya bagaimana tahap-tahap restrukturisasi kebijakan
pengembangan pariwisata Kota Kediri dapat dilakukan, telah disusun skemanya
pada Gambar 5.3
Gambar 5.3 Restrukturisasi Pengembangan Pariwisata Kota Kediri
Lingkungan
Kebijakan Lokal, Nasional, Dan Internasional
Promosi dan Pemasaran Produk Pariwisata
Pengembangan dan Revitalisasi Objek dan Daya Tarik Wisata
Penyusunan Dokumen Perencanaan
Inventarisasi dan Identifikasi Objek Daya Tarik Wisata serta Tipe Aktivitas Wisata
123
BAB VI
SIMPULAN DAN SARAN
6.1 Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan beberapa hal sebagai
berikut:
1. Kebijakan pengembangan pariwisata Kota Kediri diarahkan kepada
pengembangan pariwisata sejarah dan spiritual. Hal ini terlihat dengan
pengembangan-pengembangan yang dilakukan seperti rehabilitasi Makam
Setono Gedong, Masjid Agung, pelaksanaan berbagai pagelaran kesenian
khas pada perayaan hari jadi Kota Kediri.
2. Dalam upayanya mengembangkan pariwisata, Pemerintah Kota Kediri
dihadapkan pada sejumlah persoalan di tingkat internasional, nasional, dan
lokal yang perlu menjadi bahan pertimbangan. Di tingkat internasional
masalah yang ada adalah implementasi paradigma pariwisata
berkelanjutan dan pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi untuk
menunjang industri pariwisata. Di tingkat nasional, masalah yang penting
dipertimbangkan adalah menurunnya jumlah kunjungan wisatawan asing
sehingga kepariwisataan nasional tengah diarahkan kepada optimalisasi
pasar wisatawan domestik. Sedangkan permasalahan di tingkat lokal
adalah adanya kebutuhan masyarakat terhadap keberadaan tempat untuk
berwisata serta keberadaan benda-benda bersejarah yang tidak terkelola
dengan baik.
124
3. Untuk pengembangan pariwisata lebih lanjut, Pemerintah Kota Kediri
perlu melakukan evaluasi terhadap perkembangan kepariwisataan saat ini,
dan selanjutnya mengeluarkan kebijakan untuk merestrukturisasi pola
pengembangan pariwisata yang merujuk pada perkembangan-
perkembangan kepariwisataan di lingkungan internasional, nasional, dan
lokal. Tahapan restrukturisasi tersebut meliputi:
- Inventarisasi dan identifikasi objek dan daya tarik wisata Kota Kediri
serta tipe aktivitas kepariwisataan yang dapat dilakukan. Untuk
menunjang pariwisata budaya dan spiritual Pemerintah Kota Kediri
juga dapat mengembangkan tipe aktivitas kepariwisataan lainnya
seperti wisata alam, wisata olah raga, wisata belanja, serta wisata
pendidikan.
- Penyusunan dokumen perencanaan pariwisata, khususnya rencana
pengembangan kawasan Selomangleng menjadi suatu kawasan wisata
yang akan menjadi ikon kepariwisataan Kota Kediri
- Pengembangan serta revitalisasi objek dan daya tarik wisata yang ada
sehingga menjadi lebih menarik dan memiliki daya jual yang bersaing
bila dibandingkan dengan objek di daerah lainnya
- Melakukan promosi dan pemasaran produk wisata secara berkelanjutan
untuk mengaktualisasikan daya tarik wisata Kota Kediri. Situs resmi
Pemerintah Kota Kediri yang ada, www.kotakediri.go.id perlu
dioptimalkan pemanfaatannya untuk melakukan promosi pariwisata.
Untuk itu dibutuhkan adanya tim teknis yang secara khusus diberikan
125
tugas dan tanggung jawab untuk menangani promosi pariwisata
melalui media internet. Dalam melaksanakan tugasnya tim ini juga
diarahkan untuk menjalin kerja sama berbagai instansi di dalam
lingkungan pemerintah serta para pengusaha pariwisata, untuk
kepentingan mendukung materi promosi di website, sehingga dapat
menjadi media promosi yang terpadu. Media ini dapat dimanfaatkan
untuk menarik kedatangan wisatawan minat khusus, yang umumnya
merupakan wisatawan mancanegara. Sedangkan untuk menarik
kedatangan wisatawan regional/nusantara, pemasaran pariwisata dapat
dilakukan instansi melalui pembentukan jaringan kerja dengan
kalangan swasta, destinasi wisata di kabupaten/kota sekitar Kota
Kediri, termasuk tentunya pemerintah Provinsi Jawa Timur.
6.2 Saran
Pada penelitian ini penulis hanya melakukan studi secara makro dan
umum terhadap kebijakan pengembangan pariwisata Kota Kediri. Pada penelitian
selanjutnya para peneliti lain kiranya dapat melakukan kajian-kajian terhadap
kebijakan kepariwisataan secara mengkhusus, di antaranya seperti kajian
terhadap dampak ekonomi pengembangan industri pariwisata, upaya Pemerintah
Kota Kediri dalam pengembangan Kawasan Selomangleng menjadi suatu
kawasan wisata, aplikasi teknologi informasi dan komunikasi dalam upaya
promosi pariwisata, serta aspek-aspek lainnya pada level mikro sehingga dapat
dihasilkan kajian yang mendalam.
126
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Said Zainal. 2002. Kebijakan Publik. Jakarta: Yayasan Pancur Siwah.
Agustino, Leo. 2006. Dasar-Dasar Kebijakan Publik. Bandung : Alfabeta.
Anonim. 1999. Perencanaan Pariwisata I. Sekolah Tinggi Pariwisata Bali.
---------- 2005. Microsoft Encarta Encyclopedia. Microsoft Corporation.
----------. 2004. Undang-undang No 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan
Daerah. Departemen Dalam Negeri RI.
Apter, David E. 1987. Pengantar Analisis Politik (terjemahan). Jakarta: LP3ES.
Badan Pusat Statistik Kota Kediri. 2004. Kota Kediri Dalam Angka 2003.
Bafadal, Ibrahim. 2003. Teknik Analisis Data Penelitian Kualitatif dalam
Masykuri Bakri (ed.). Metodologi Penelitian Kualitatif: Tinjauan Teoritis
dan Praktis. Surabaya : Lembaga Penelitian Universitas Islam Malang dan
Visipress.
Bali Post, 5 Juli 2004. Pariwisata Nasional Belum Digarap Maksimal, hlm. 14,
kol.7
Bali Post, 20 Pebruari 2006. Pasien Flu Burung Meningkat, hlm. 1, kol. 6.
Bappeda Kota Kediri. 2000. Data Hasil Pelaksanaan Pembangunan Kota Kediri,
Tahun Anggaran 1998/1999 sampai 2000.
------------------------- 2005. Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM)
Daerah 2005-2009.
Bisnis Internasional. 2005. Harmoni Dalam Perbedaan. Edisi 15 April-15 Mei
2005, hlm. 7.
Capra, Fritjof. 2005. The Hidden Connections: Strategi Sistemik Melawan
Kapitalisme Baru (terjemahan). Yogyakarta: Jalasutra.
Dunn, William N. 2003 Pengantar Analisis Kebijakan Publik (terjemahan).
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Dwidjowijoto, Riant Nugroho. 2006. Kebijakan Publik Untuk Negara-Negara
Berkembang. Jakarta : Gramedia.
127
Gee, Chuck Y. (ed.). 2000. International Tourism : A Global Perspective. Hawaii:
WTO Education Network.
Hamel, Victor A. 1999. Retrospeksi Ekonomi-Politik Kebijakan Pemberantasan
Kemiskinan di Pedesaan. Jurnal Kebijakan dan Administrasi Publik
Volume 3 Nomor 2. Yogyakarta : Program Magister Administrasi Publik
Universitas Gadjah Mada.
Heywood, Andrew. 1997. Politics. Houndmills: Macmillan.
Holsti, K.J. 1992. International Politics: A Framework for Analysis. New Jersey:
Prentice-Hall.
Iida, Akira. 2004. Paradigm Theory & Policy Making : Reconfiguring The Future.
Singapore: Tuttle Publishing.
Inskeep, Edward. 1991. Tourism Planning: An Integrated and Sustainable
Development Approach. New York: Van Nostrand Reinhold.
Jawa Pos, 7 Pebruari 2005. Libur, 200 Ribu Kendaraan ke Luar Surabaya, hlm. 9,
kol.1.
Jawa Pos, 10 Maret 2005. Dispar Rilis Kiosk Interactive, hlm. 7, kol.1.
Kartajaya, Hermawan & Yuswohady. 2005. Attracting Tourists Traders Investors:
Strategi Memasarkan Daerah di Era Otonomi. Jakarta: Gramedia.
----------------. 2005. Kepala Daerah Adalah Marketer, Jawa Pos, 7 Juni 2005
halaman 1.
Kasali, Rhenald. 2004. Jangan Abaikan Sektor Bisnis Pariwisata, Kompas, 23
Agustus 2004, hlm. 15.
Kompas, 8 Maret 2002. Wisata Dermaga Jayabaya Akhirnya Mati Suri, hal. 32,
kol. Kol 1.
Kompas, 5 September 2005. Target Enam Juta Wisman Tak Tercapai, hal. 18,
kol.5.
Mas’oed, Mohtar. 1994. Ilmu Hubungan Internasional: Disiplin dan Metodologi.
Jakarta: LP3ES.
Media Indonesia, 25 September 2005. Lemahnya Perlindungan Aset Budaya
Indonesia, hlm. 1, kol.6.
128
Metro, 18 Desember 2002. Wisata Goa Selomangleng Ancolnya Kediri, hal. 6,
kol.2.
Miksic, John. 1997. The Kediri-Blitar Area dalam Eric Oey (ed.). Java. Singapore:
Periplus Editions.
Müller, Hansruedi. 1997. The Thorny Path to Sustainable Tourism Development
dalam Leslie France, (ed.). The Earthscan Reader in Sustainable Tourism.
London: WWF-UK and International Institute for Environment dan
Development.
Neuman, William Lawrence. 1997. Social Research Methods: Qualitative and
Quantitative Approaches, Boston: Allyn & Bacon.
Ohmae, Kenichi. 1991. Dunia Tanpa Batas: Kekuatan dan Strategi di Dalam
Ekonomi yang Saling Mengait (terjemahan). Jakarta: Binarupa Aksara.
----------------------. 2005. The Next Global Stage: Tantangan dan Peluang di
Dunia yang Tidak Mengenal Batas Kewilayahan (terjemahan). Jakarta:
Indeks.
Onggo, Bob Julius. 2004. E-PR: Menggapai Publisitas di Era Interaktif Lewat
Media Online, Yogyakarta: Andi.
Otonomi, Media. Edisi No 7 Tahun I 2005.
Parsons, Wayne. 2005. Public Policy: Pengantar Teori dan Praktik Analisis
Kebijakan (terjemahan). Jakarta: Kencana.
Paturusi, Syamsul Alam. 2003. Perencanaan Kawasan Pariwisata, bahan ajar
Program Magister Kajian Pariwisata Universitas Udayana (tidak
diterbitkan).
Program Pascasarjana Universitas Udayana. 2003. Buku Pedoman Penulisan
Usulan Penelitian, Tesis, dan Disertasi. Denpasar: Universitas Udayana
Radar Kediri, 23 Desember 2002. Paduan Wisata Modern, Religi, Budaya, dan
Alam, hal. 26, kol.2
Radar Kediri, 9 Desember 2003. Awas, Wisata Selomangleng Longsor, hlm. 30,
kol.2.
Radar Kediri, 31 Januari 2004, Hijaukan 100 Hektare Lahan, hal. 29, kol.2.
129
Rosenau, James N. 1980. The Scientific Study of Foreign Policy. London: Frances
Pinter.
Roskin, Michael G., Robert L. Cord, James A. Medeiros, Walter S. Jones. 1994.
Poltical Science: An Introduction. New Jersey: Prentice Hall.
Santosa, Setyanto P. 2002. Pengembangan Pariwisata Indonesia dalam
http://kolom.pacific.net.id/ind/setyanto_p._santosa/artikel_setyanto_p._san
tosa/pengembangan__pariwisata__indonesia.html, diakses pada
September 2005.
Silalahi, Ulber. 1999. Metode dan Metodologi Penelitian. Bandung : Bina
Budhaya.
Soekadijo, R.G. 2000. Anatomi Pariwisata: Memahami Pariwisata Sebagai
Systemic Linkage. Jakarta: Gramedia.
Spillane, James. 1997. Pariwisata Indonesia: Siasat Ekonomi dan Rekayasa
Kebudayaan.Yogyakarta: Kanisius.
Stern. Geoffrey. 2000. The Structure of International Society: An Introduction to
the Study of International Relations. London: Pinter.
Strauss, Anselm & Julia Corbin. 2003. Dasar-dasar Penelitian Kualitatif
(terjemahan). Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Suharto, Edi. 2005. Analisis Kebijakan Publik: Panduan Praktis Mengkaji
Masalah dan Kebijakan Sosial. Bandung: Alfabeta.
Sujana, Naya. 2004. Pendekatan Kebudayaan dalam Pembangunan Industri
Pariwisata di Jawa Timur. Dalam Ayu Sutarto & Setya Yuwana Sudikan
(ed.). Pendekatan Kebudayaan dalam Pembangunan Provinsi Jawa Timur.
Jember: Kompyawisda. hlm 123.
Surya, 7 Pebruari 2003. Menanam 26.000 Pohon Untuk Selamatkan
Selomangleng, hal. 17, kol.2.
Surya, 23 Juli 2004. Buang Buceng Robyong Agar Kota Kediri Aman, hal. 18, kol.
1.
Sutopo, H.B. 2003. Pengumpulan dan Pengolahan Data Dalam Penelitian
Kualitatif dalam Masykuri Bakri (ed.). Metodologi Penelitian Kualitatif:
130
Tinjauan Teoritis dan Praktis. Surabaya : Lembaga Penelitian Universitas
Islam Malang dan Visipress.
Syaukani,HR, Affan Gaffar, Ryaas Rasyid. 2002. Otonomi Daerah Dalam Negara
Kesatuan. Yogyakarta : Pustaka Pelajar dan Puskap.
Thoha, Miftah. 2002. Dimensi-Dimensi Prima Ilmu Administrasi Negara. Jakarta:
RajaGrafindo Persada.
Wacik, Jero. 2006. Rencana Strategik Pariwisata Indonesia-Bali dan Peran
Swasta. Makalah pada seminar dan lokakarya nasional Kadin Provinsi Bali,
25 Pebruari 2006, tidak diterbitkan.
Wahab, Solichin Abdul. 2002. Analisis Kebijaksanaan: Dari Formulasi ke
Implementasi Kebijaksanaan Negara. Jakarta: Bumi Aksara.
Warta Bali, 8 September 2005. Kendala Pariwisata Indonesia, hlm. 8, kol. 1.
Williams, Mariama. 2002. The Political Economy of Tourism Liberalization,
Gender, and the GATS . URL:
http://www.genderandtrade.net/GATS/GATStourism.pdf, diakses pada
Desember 2004.
World Resources Institute (WRI), United Nations Environment Programme
(UNEP), World Business Council for Sustainable Development (WBCSD).
2002. Tomorrow’s Markets: Global Trends and Their Implications for
Business. Baltimore: Hopkins Fulfillment Service.
World Tourism Organization (WTO). 2004. National and Regional Tourism
Planning: Methodologies and Case Studies. Madrid: WTO.
Yoeti, Oka A. 1997. Perencanaan dan Pengembangan Pariwisata. Jakarta:
Pradnya Paramita.
http://research.amnh.org/biodiversity/symposia/archives/tigerintheforest/highlight
s/files/tiger_whtPaper02.htm, diakses pada September 2005.
http://www.sinarharapan.co.id/feature/wisata/2004/0115/wis02.html diakses pada
September 2005.
http://www.pata.org/patasite/index.php?id=95 diakses pada September 2005.
www.kotakediri.go.id
131
Lampiran 1
Jadwal Kegiatan Penelitian
Bulan Kegiatan
Jan-Peb 2005
Mar-April2005
Mei-Juni 2005
Juli-Agust2005
Sept-Okt 2005
Nop-Des 2005
Jan-Peb 2006
Mar- April 2006
Mei-Juni 2006
Pra Penelitian
Penyusunan Proposal
Seminar Proposal
Perbaikan Proposal
Penelitian Lapangan
Penyusunan Laporan
Seminar Hasil Penelitian
Perbaikan
Sidang
132
Lampiran 2
Peta Jawa Timur
133
Lampiran 3
Peta Kota Kediri
134
Lampiran 4
Sketsa Site Plan Kawasan Wisata Selomangleng
135
Lampiran 5
Goa Selomangleng
136
Lampiran 6
Relief Pertapa di Dalam Goa Selomangleng
137
Lampiran 7
Museum Airlangga
138
Lampiran 8
Tumpeng Tosaren
139
Lampiran 9
Kesenian Jaranan
140
Lampiran 10
Ritual Manusuk Sima
141
Lampiran 11
Kirab Prasasti Kediri Jayati
142
Lampiran 12
Pentas Wayang Orang Dalam Rangka Hari Jadi Kota Kediri
143
Lampiran 13
Festival Panji-Galuh
144
Lampiran 14
Pura Dewi Sekartaji
145
Lampiran 15
Mesjid Agung
146
Lampiran 16
Walikota, Pejabat, dan Masyarakat Memantau Hutan Maskumambang
147
Lampiran 17
Pawai Budaya Dalam Rangka Hari Jadi
148
Lampiran 18
Taman Hiburan Pagora
149
Lampiran 19
Pertandingan Sepak Bola di Stadion Brawijaya
150
Lampiran 20
Wisata Olah Raga di Jalan Tembus Lebak Tumpang-Selomangleng
151
Lampiran 21
Pusat Penjualan Tahu Takwa di Kota Kediri
152
Lampiran 22
Objek Wisata Pendidikan di Pabrik Rokok Gudang Garam
153
Lampiran 23
Pedagang di Bibir Goa Selomangleng
154
Lampiran 24
Coretan di Dinding Goa Selomangleng