Upload
rizki-ria-sari
View
494
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
StrokeEllen R. Evans, MD
I. Definisi. Stroke sesuai dengan definisi the National Survey of Stroke,
adalah: suatu sindrom klinis yang terdiri dari awitan secara mendadak
atau cepat suatu konstelasi temuan neurologis yang menetap lebih dari
24 jam akibat dari kecelakaan vaskular.
II. Epidemiologi. Stroke adalah penyakit neurologis yang paling sering
menimbulkan kecacatan dan kematian pada orang dewasa, dan
mencakup separuh dari perawatan di rumah sakit untuk penyakit
neurologi akut. Meskipun insidens dan kematian stroke di Amerika
Serikat sudah semakin menurun sejak 1940-an, sekitar 500.000 orang
masih mengalami stroke setiap tahunnya.
A. Faktor-faktor risiko untuk stroke yang tercatat dengan baik
digolongkan oleh American Heart Association sebagai golongan
yang dapat diobati (hipertensi, penyakit jantung, serangan iskemik
sekilas (TIA), polisitemia, dan penyakit sel sabit) dan golongan
yang tak dapat diobati dalam kaitannya dengan kejadian stroke
(usia [lanjut usia], jenis kelamin, pria, riwayat keluarga, ras [kulit
hitam], diabetes melitus, kejadian stroke sebelumnya, dan bruit
asimtomatlk). Sekitar 75% stroke terjadi pada orang lanjut usia.
Faktor-faktor risiko yang berkait dengan penyakit jantung koroner
juga merupakan faktor untuk stroke: hiperiipidemia, merokok,
konsumsi garam diet yang besar, konsumsi alkohol berat, konsumsi
kopi, dan obesitas.
B. Diagnosis diferensial untuk stroke meliputi lesi-lesi massa
(hematoma subdural, neoplasma), proses infeksi (meningitis, abses
serebral), proses radang (arteritis temporal), dan proses-proses
idiopatik (epilepsi). Riwayat klinis dan pemeriksaan fisik merupakan
1
kunci-kunci untuk menyingkirkan peristiwa-peristiwa noniskemik
yang terkesan dari awitan lambat gejala-gejalanya yang progresif
bertahap dan mengenai banyak daerah perdarahan. Gejala-gejala
iskemi koroner, disritmia jantung, gagal jantung kongestif, dan
penyakit katup membaritu untuk niengideniifikasi etiologi jantung.
C. Jenis-jenis stroke. Stroke aterotrombotik merupakan jenis yang
paling banyak, meliputi 60-70% stroke. Stroke hcrnoragik
mencakup sedikit lebih dari 15% stroke, dan stroke emboli serebral
terjadi sedikit kurang dari 15% kasus. Sepuluh persen stroke
merupakan akibat dari infark lakuna.
D. Prognosis. Kelumpuhan nervus III (yang menunjukkan hemiasi
unkus), umur pasien yang tua, dan kejadian hemoragik berkaitan
dengan prognosis kematian segera. Pada kejadian hemoragik,
defisit motorik unilateral total dan koma mempunyai prognosis yang
buruk. Perdarahan pons mempunyai prognosis yang sangat buruk.
Infark lakuna mempunyai angka kematian yang terendah di antara
semua stroke.
III.Patofisiologi
A. Stroke aterotrombotik disebabkan oleh stenosis arteri progresif
yang akhirnya menimbulkan sumbatan karena pernbentukan plak
aterosklerotik.
B. Stroke hemoragik digolongkan menurut lokasi.
1. Perdarahan intraserebral (ICH) biasanya disebabkan oleh
hipertensi. Penyebab lain ICH termasuk malformasi
arteriovena, tumor, dan diskrasia darah (antikoagulasi).
Angiopati amiloid serebral sekarang semakin dikenali sebagai
etiologi pada pasien yang tua.
2. Perdarahan subaraknoid, tidak seperti jenis stroke lainnya,
mewakili penyebab yang sering pada orang muda dan jarang
terjadi pada orang-orang yang berusia tua. Penyebab stroke
2
biasanya adalah pecahnya aneurisma kongenital yang terletak
dalam sirkulus Willisi, karotis interna, arteri komunikans
anterior, atau arteri serebralis media.
C. Stroke emboli terjadi karena mobilisasi mendadak bahan-bahan
yang menyumbat semua kemungkinan batang atau cabang
pembuluh darah serebral ke dalam aliran darah; fragmen-fragmen
trombus mural yang lunak (jantung, pembuluh besar), kompleks
trombus-bakteri, fragmen kolesterol,, agregat tumor mikroskopik,
gelembung gas, lemak, atau benda asing.
Tabel 87-1 Gambaran Klinis Stroke
Tipe stroke/ arteri atau
daerah yang terkenaGambaran klinis Pemikiran khusus
Stroke aterotrombotik :
- arteri karotis interna (paling sering
ekstrakranial)
- Arteri vertebralis (paling sering
intracranial)
- Arteri basilaris
Awitan tersendat-sendat,
dapat terjadi saat bangun
Infark serebelar
menyebabkan edema
berat/kompresi batang otak
Didahului TIA pada
50% kasus
Stroke embolik:
Arteri serebralis media
Arteri serebralis anterior
Arteri serebralis posterior
Awitan mendadak, defisit
maksimal
Infark lacuna : (arteri yang
mempenetrasi)
- Perforator – lentikulostriata media
- Perforator serebralis posterior
- Arteri basilaris yang
mempenetrasi cabang
Mendadak berat atau
dalam beberapa jam (nyeri
kepala, hilangnya
kesadaran, emesis tidak
terjadi)
Sindrom lakunar;
hemiparese motorik
murni; hilangnya
sensoris murni; krural
dan ataksia / disrtria
(clumsy hand
syndrome)
Perdarahan intraserebral:
- Hemisfer serebralis profunda
(putamen)
- Substantia alba subkortikal
Awitan mulus meskipun
dapat mendadak (terjadi
emesis dan hilangnya
kesadaran)
Evakuasi bekuan
secara bedah
merupakan indikasi
pada pasien terpilih
3
(perdarahan intracranial lobar)
- Serebelar
- Talamik
Perdarahan intracranial
serebelar mempunyai
perjalanan yang tidak
dapat diduga
Perdarahan Subaraknoid (aneurisma
rupture)
- Sirkulus willisi
- Karotis internal
- Arteri komunikans anterior
- Arteri serebralis media
Awitan mendadak (nyeri
kepala “brutal”, emesis,
hilangnya kesadaran
kemudian sadar dengan
nyeri kepala dan leher kaku
Catatan : aneurisma jarang
simptomatik sebelum ruptur
Komplikasi : rupture
ulang, obstruksi liran
cairan spinalis
(hidrosefalus
komunikans);
vasospasme 3-14 hari
setelah mengalami
stroke
D. Sekitar 75% infark lakuna terjadi pada pasien hipertensi. Arteri-
arteri serebralis perforans tersumbat oleh lipohialinosis,
degenerasi hipertensif arterial segmental, atau mikroateroma
(arteri-arteri perforans kecil).
IV. Diagnosis. Ditemukan tiga presentasi klinis yang jeias pada penyakjt
serebrovaskular yang terjadi akut: stroke lengkap (defisit neurologis
statis), strok yang sedang berjalan (defisit-defisit neurologis memburuk
secara progresif, paling banyak dengan trombosis pembuluh darah
besar, tetapi juga dengan lakuna-lakuna dan emboli), dan TIA (defisit
neurologis cepat menghilang yang mungkin merupakan awal bagi
stroke berikutnya).
A. Gejala dan tanda stroke dikaitkan dengan wilayah
serebrovaskular yan terkena proses stroke. Pembuluh-pembuluh
darah yang paling sering terkena dan gejala klinis yang sering
muncul dapat dilihat dalam Tabel 87-1
B. Uji laboratorium (llhat Bab 79, Penyakit Jantung Iskemik)
1. Hitung darah lengkap dan hitung trombosit diperlukan untuk
menylngkirkan anemia dan polisitemia. Pengukurari-pengukuran
kelainan metabolik lain juga dlindikasikan untuk menemukan
4
kemungkinan lain yang memperburuk iskemia serebral: glukosa
darah, elektrolit serum, nitrogen urea darah (BUN), dan
kreatinin. Pemeriksaan profil-profil pembekuan, yakni waktu
protrombin (PT), waktu tromboplastin aktif (PTT), dan hitung
trombosit diperlukan bila dipikirkan pemberian antikoagulasi.
2. Pencitraan otak hendaknya dikerjakan pada saat awal untuk
mendeteksi adanya perdarahan dan untuk menyingkirkan
etiologi-etiologi lain, seperti tumor, abses, atau hematoma
subdural.
a. Tomografi komputer (CT) paling sering digunakan. CT
scan yang normal sering didapat pada infark lakuna atau
batang otak bila lesi-lesinya kecil. Selain itu, pada awal
perjalanan suatu infark iskemik, CT scan biasanya negatif,
meskipun mungkin dapat terdeteksi porubahan-perubahan
edematus awal. Penguatan dengan kontras . tidak
diperlukan secara rutin. Hasil diagnostik dari CT scan pada
iskemia paling besar tujuh hari sotelah peristiwaaya. Infark
akan terdeteksi pada CT scan pada sekitar 75% kasus.
b. Pencitraan resonansi magnetik (MRI) mempunyai manfaat
yang sangat tinggi untuk lokalisasi lesi. Penggunaan zat
kontras para-magnetik pada MRI otak biasanya tidak
membantu. Penggunaan MRI sekarang ini tergantung pada
ketersediaan alat ini dan keperluan untuk mengidentifikasi
suatu proses penyulit atau memperjelas gambaran klinis
yang meragukan.
c. Tomografi emisi positron (PUT), yang mendemonstrasikan
aliran darah regional dan metabolisme. serebral di daerah
tertentu, mempunyai manfaat yang tinggi untuk lokalisasi
lesi. Selain itu, PET mungkin memberikan sebuah metode
untuk menentukan reversibilitas iskemia serebral. Protokol-
protokol riset dan kasus yang pilihan-pilihari terapi utamanya
5
bergantung pada diagnosis adalah situasi-situasi primer
yang sekarang memerlukan pemindatan PET.
d. CT diperjelas xenon dan tomografi komputer emisi foton
tunggal (SPECT) adaiah dua teknik lain untuk memeriksa
fungsi serebral yang sekarang tidak mempunyai peran rutin
pada manajemen sfroke.
3. Pemeriksaan awal pasien yang menunjukkan gejala-gejala
iskemia serebrovaskular akut hendaknya mencakup juga
pemeriksaan karotis non-invasif untuk mencari lesi-lesi yang
nyata pada arteri karotis. Angiografi serebral, standar emas
untuk pemotretan pembuluh darah, hendaknya dilakukan pada
kasus tertentu saja terutama bila dipikirkan akan dilakukan
interyensi bedah. Angiografi resonansi magnetik (MRA), yang
memungkinkan visualisasi arteri dan vena-vena tanpa
menggunakan kontras, potensial akan menggantikan angiografi
serebral.
4. Ekokardiografi dan monitoring Hotter 24 jam diperlukan bila
dicurigai terjadi proses emboli, bila direncanakan intervensi
bedah, atau bila pasien stroke tersebut mempunyai faktor-faktor
risiko yang tinggi untuk mengalami emboli, seperti, fibrilasi
atrium, dicurigai endocarditis infeksiosa, katup jantung prostetik,
kardiomiopati yariy mengalami dilatasi, atau infark miokard
anterior baru.
5. Pungsi lumbal bermanfaat bila pemotretan otak normal dan
dieurigai terjadi perdarahan subaraknoid atau meningitis.
Walaupun cairan serebrospinal biasanya mengandung darah bila
perdarahan hipertensif menyebar ke.ventrikel, pada malformasi
vaskular, dan aneurlsma pecah, cairan yang jernih tidak
menjamin tidak ada perdarahan. Infeksi dicurigai bila ada
leukositosis dalam cairan serebrospinal..
6
6. Elektroensefalografi (EEG) dapat mendemonstrasikan
perlambatan gelombang-gelombarig pada stroke yang
melibatkan korteks dan dilakukan bila terjadi aktivitas kejang
atau dicurigai.
V. Terapi. Begitu diagnosis yang akurat telah ditegakkan, sasaran
perawatan akut adalah stabilisasi klinis pasien dan pencegahan
kerusakan akibat iskemia, Biasanya diperlukan perawatan di rumah
sakit, meskipun pasien-pasien yang menunjukkan stroke lengkap 48-
72 jam setelah peristiwa tanpa tanda-tanda keterlibatan fossa
posterior akan baik dirawat sebagaimana pasien rawat jalan dengan
bantuan sebuah agen perawatan kesehatan rumah yang aktif.
Rehabilitasi hendaknya dimulai sesegera mungkin setelah peristiwa
akut selesai.'
A. Stabilisasi pasien mencakup pengendalian tekanandarah,
deteksi dan terapi aritmia, penempatan pasien yang tepat untuk
menghindari luka tekanan, pencegahan overhidrasi, koreksi pada
gangguan metabolik yang ada dan monitoring progresi stroke
dengan pemeriksaan neurologis.
B. Pembatasan iskemia
1. Temuan-temuan penting pada the North American
Symptomatic Carotid Endarterectomy Trial (NASCET)
mengungkapkan bahwa endar- terektomi karotis (CEA)
mempunyai manfaat yang besar untuk mereka: yang
mengalami stenosis derajat tinggi (70-99%) yang disertai
dengan TIA hemisfer baru atau stroke yang tidak
menimbulkan cacat. Selain itu, plak-plak yang non-oklusif
tetapi mengalami ulserasi pada pasien TIA juga
dipertimbangkan untuk menjalani CEA.
Waktu yang tepat untuk CEA ditentukan oleh luasnya
lesi. Temuan adanya infark sentral besar pada pemotretan
7
otak memerlukan operasi ini pada ernpat minggu setelah
peristiwanya. Infark perifer yang lebih kecil dan TIA boleh
dioperasi lebih cepat. CEA boleh diindikasikan atas dasar
kedaruratan pada pasien dengan stenosis karotis yang
mudah dijangkau, tercatat tidak ditemukan infark serebral
besar pada CT scan atau MRI, dan gejala-gejala strokenya
menjadi berat dan mereda yang disertai dengan selang waktu
fungsi neurologis normal atau crescendo TIA.
2. Terapi antikoagulasi telah dipakai untuk profilaksis dan
terapi untuk stroke, tetapi terapi ini masih kontroversiai.
Rekomendasi-rekomendasi baru rnenyokong penggunaan
terapi antikoagulasi untuk mencegah kambuhnya stroke-
stroke kardioemboli, stroke vertebrobasilar, dar stroke yang
progresif. Pasien-pasien dengan stroke progresif dan
crescendo TIA hendaknya diberi heparin segera bila akan
dilakukan intervensi bedah, angiografi, dan terapi obat lebih
lanjut. Antikoagulasi segera hendaknya mulai pada pasien
dengan embolus serebral yang tidak mengalami perdarahan
besar atau infark besar. (Lihat Bab 15 Dispnea.)
Terapi antikoagulasi jangka panjang dengan
Coumadin (natrium warfarin) dianjurkan pada kasus-kasus
tertentu. Mereka yang bertahan dari stroke dengan etiologi
pasti emboli jantung serta pasien-pasien TIA yang lesinya
tidak dapat dijangkau secara bedah serta masih
menunjukkan gejala dengan terapi aspirin dipertimbangkan
sebagai kandidat untuk antikoagulasi. Terapi antikoagulasi
dikontraindikasikan bila emboli serebralnya disebabkan oleh
endokarditis bakteri subakut; tetapi, terapi cepat untuk
Infeksinya diindikasikan. Terapi hendaknya secara umum
dilanjutkan sekurang-kurangnya enam hingga 12 bulan atau
bahkan sepanjang hidup pasien.
8
3. Nimodipin adalah suatu penyekat (blocker) saluran kalsium
yang terutama mempengaruhi perdarahan sistem saraf pusat.
Obat ini sudah terbukti untuk mengobati iskemia serebral
yang berkaitan dengan perdarahan subaraknoid. Dianjurkan
memulai terapi dalam 96 jam setelah awitan peristiwanya
dongan dosis SO mg yang diberikan per oral setiap empat
jam selama 21 hari.
4. Terapi-terapi obat yang sedang diteliti untuk digunakan
pada kerusakan iskemik yang sebenamya sangat menarik
termasuk penyekat saluran kalsium dan penyekat reseptor N-
metil-D-aspartat (NMDA) (mis., dekstrometorfan).
Pentoksifilin (Trental), yang mengubah morfologi sel darah
merah, dan obat-obat trombolitik (mis., streptokinase
[Strepase], urokinase, dan aktivator plasminogen jaringan)
sedang diteliti.
5. Pada dasamya dua obat digunakan bila pencegahan atau
terapi edema serebral merupakan indikasi.
a. Steroid kadangkala diberikan untuk meredakan edema
serebral dan, mungkin, untuk meningkatkan
penyembuhan. Deksametason (Decadron) dimulai dengan
dosis 4-6 mg intramuskular setiap empat hingga enam
jam dan hendaknya dikurangi secara perlahan (tapering
off) bila pasiennya sembuh,
b. Mannitol adalah suatu diuretika osmotik yang bermanfaat
untuk mengurangi edema serebral. Mannitol (20%)
diberikan dengan dosis . 0,25-1 g/kg secara intravena
setiap tiga hingga enam jam sementara respons klinis,
osmolaritas, dan tekanan intrakranial dimonitor. Dosis
hendaknya dibatasi hingga 100-200 g dalam 24-48 jam.
Mannitol dikontraindikasikan pada pasien dengan kongesti
perdarahan paru.
9
C. Pencegahan berulangnya stroke adalah kunci untuk penurunan
morbiditas dan mortalitas yang berkelanjutan akibat stroke.
Peran CEA (lihat hal 632) untuk mencegah stroke pada pasien
dengan lesi derajat tinggi sudah dibahas. Peranan CEA pada
pasien dengan stenosis kurang dari 70% dan pada pasien
asimtomatik dengan stenosis sedang diteliti.
1. Mengubah faktor-faktor risiko, terutama pengendalian
tekanan darah (tekanan darah arteri rata-rata hendaknya <
100 mm Hg), berhenti merokok, dan terapi penyakit jantung
adalah hal yang penting. Kebanyakah pasien stroke dan TIA
mengalami penyakit jantung.
2. Terapi antitrombosit
a. Aspirin sekarang dianjurkan untuk pasien stroke dan TIA
baik yang sudah menjalani CEA atau belum. Sementara
dosis harian 325 mg masih dipakai, penelitian-penelitian
baru mengindikasikan bahwa dosis harian sampai 30 mg
sama efektifnya. Pasien yang mempunyai risiko tinggi
perdarahan serebral hendaknya disingkirkan.
Dlplridamol (Persantine), 25-50 mg dua hlngga tiga
kali sehari sekurang-kurangnya satu jam sebelum makan,
tidak mempertinggi efek aspirin. .
b. Triklopidjn hidroklorida (Ticlid), 250 mg per oral dua kali
sehari, sekarang diindikasikan untuk digunakan pada
pasien yang tidak toleran terhadap aspirin. Efek samping
meliputi diare dan erupsi kulit. Neutropenia absolut
reversibel merupakan efek samping triklopidin yang jarang
tetapi serius.
VI. Strategi penatalaksanaan. Stroke merupakan penyakit vaskular
yang generalisata; keadaan ini merupakan satu kejadian dalam
proses yang berkepanjangan dan berlangsung lama. Strategi
penatalaksanaan dipusatkan pada pencegahan manifestasi penyakit
10
yang lebih jauh dan memaksimalkan fungsi' pasca-stroke selama tiga
stadium stroke.
A. Stadium I. Stadium akut stroke berlangsung selama minggu
pertama. Perhatian dicurahkan untuk mengevaluasi, memelihara,
dan mengembalikan fungsi, termasuk rentang gerak pasif
ekstremitas, penempatan pasien secara tepat, pengubahan
posisi yang sering, dan pemeliharaan higiene yang baik.
B. Stadium II. Stadium subakut stroke biasanya berlangsung
selama tiga bulan. Pemulihan fungsi neurologis paling besar
pada masa-masa ini. Rehabilitasi yang meliputi penilaian
interdisipliner dan terapi oleh suatu tim yang terdiri dari perawat,
ahli fisloterapi, ahli terapi kerja, ahli terapi wicara, ahli diet, dan
dokter membantu memaksimalkan pengembalian fungsi dan
ketidaktergantungan pasien pada orang lain. Pemilihan tempat
rehabilitasi (mis., unit rehabilitasi formal, rumah perawatan yang
terlatih, rumah pasien dengan koordinasi oleh agen perawatan
kesehatan, atau fasilitas rawat jalan) tergantung pada kondisi
medis pasien, situasi keluarga (dukungan dan kelemahannya),
pertimbangan ekonomi, dan sumber-sumber yang tersedia.
Untuk mengambil keuntungan dari aneka macam rehabilitasi
tersebut, pasien harus mampu berkomunikasi (verbal atau
nonverbal), mengikuti dua sampai tiga langkah perintah, dan
mengingat apa yang telah dipelajarinya. Unit-unit rehabilitasi
menghendaki ketahanan kardiopulmonar pasien memungkinkan
untuk melaksanakan dua sampai tiga jam terapi intensif setiap
hari. Pasien dengan demensla berat, penyakit paru obstruktif
kronik yang berat, keterbatasan cadangan kardiovaskular yang
nyata, atau aneka penyakit sendi yang sangat berat tidak
mungkin mendapatkan * keuntungan dari rehabilitasi.
C. Stadium III. Stadium kronik pemulihan stroke mulai setelah tiga
bulan. Pengembalian neurologis mungkin berlangsung terus
11
sampai selama satu tahun setelah peristiwa dan pemulihan
fungsional dapat terjadi sampai dua tahun Pemeliharaan
pencapaian fungsional yang telah dicapai pada stadium subakut
sangat penting.
1. Keterlibatan keluarga/pemberi perawatan dalam fase akut
dan fase antara pada perawatan stroke akan menambah
pengetahuan tentang kondisi pasien dan harapan-harapan
pasien. Format untuk suatu konferensi keluarga dengan
penyakit kronik dewasa tercantum dalam Tabel 87-2.
Koordinasi keterlibatan pasien dan keluarga secara tepeti"
dengan perencanaan pengeluaran pasien dari rumah sakit
meliputi sesit sesi pengajaran keluarga dan pemberi
perawatan bersama dengan. pasiennya dan dengan masing-
masing ahli terapi regular dan tim perawat yang merawat
pasien.
2. Keterlibatan agen perawatan kesehatan di rumah
memungkinkan transisi yang mulus dan memungkinkan
pemecahan masalah ketika pasien kembali ke rumah.
3. Monitoring pasien oleh dokter secara berkala dan teratur
penting untuk menilai dan meningkatkan strategi-strategi
penatalaksanaan risiko: menemukan dan memberi terapi
penyakit yang mempersulit (indeks Barthel, Tabel 87-3),
membicarakan tentang halangan-halangan potensial
teihadap pemeliharaan fungsi, dan mempermudah
penerimaan kecacatan tersebut oleh pasien.
VII. Perjalanan penyakit dan prognosis. Secara keseluruhah, sebagian
besar pasien yang sejak semula sadar akan berhasil melewati fase
akut stroke. Kematian pada fase akut umumnya disebabkan oleh
gangguan serebral yang berkaitan dengan kegagalan fungsi vital
yang ireversibel pada batang otak. Emboli paru dan gangguan
12
jantung memperbesar kematian dini pada korban stroke. Penyebab
sistemik (mis., pneumonia, emboli paru, penyakit jantung iskemik,
stroke berulang, dll.) merupakan penyebab kematian yang sering
pada fase subakut dan fase kronik. Risiko berulangnya stroke besar
sekali. Komplikasi utama stroke adalah aspirasi, infeksi (mis., infeksi
saluran kencing dan pneumonia), luka tekanan (dekubitus), abrasi
kornea, dan depresi.
Tabel 87-2. Format untuk konferensi keluarga pada penyakit
kronik dewasa
13
1. Pendahuluan anggota-anggota keluarga dan professional perawatan kesehatan
2. Penyajian tentang ringkasan kasus:a. Riwayat medis pasien sekarang inib. Temuan-temuan klinis yang berkaitanc. Masalah-masalah jangka pendek, prognosis, dan rencanad. Masalah-masalah jangka panjang, prognosis, dan rencana
3. Tinjauan tentang genogram keluargaa. Faktor-faktor psikososialb. Faktor-faktor lingkunganc. Dinamika keluarga
4. Mendengarkan respon-respon keluarga/pasiena. Perasaanb. Pertanyaan-pertanyaan tentang kesehatanc. Rencana-rencana masa datang
5. Ringkasana. Perumusan rencanab. Pencapaian consensusc. Penemuan/pengenalan sumber-sumberd. Menetapkan tugas-tugas khusus
Tabel 87-3 indeks barthel
14
Skor di atas 60 berarti diperlukan bantuan perawatan personal kurang dari dua jam sehari.Skor 60 atau kurang menunjukkan empat jam atau lebih bantuan perawatan personal diperlukan setiap hari. Skor 60 diberikan bila satu criteria tidak dapat dipenuhi.
Dengan bantuan tanpa bantuan1. Makan 5 102. Pindah dari tempat tidur ke kursi roda dan 15
Kembali ke tempat tidur lagi (termasuk duduk 5=dibantu hanya saat turun diatas tempat tidur) dari tempat tidur
10 = sedikit dibantu/dengan isyarat3. Merawat diri (cuci muka, menyisir rambut, 0 5
Bercukur termasuk mempersiapkan pisauCukur, gosok gigi, memakai sendiri alat make Up bila pakai)
4. Kegiatan toilet (pergi ke/dari toilet, memegang lap, 5 10Membersihkan, menyetor)
5. Mandi (tub, shower atau mandi spons lengkap) 0 56. Jalan-jalan, 50 yards, permukaan datar
a. Jalan (diperbolehkan dengan alat bantu) 10 15b. Tidak dapat berjalan(mis dengan kursi (0) (5)
Roda)7. Naik/turun tangga (diperbolehkan dengan alat 5 10
Bantu mekanik)8. Berpakaian (termasuk mengikat tali sepatu 5 10
Dan mengenakan alat-alat bantu; tidak termasuk Korset dan pakaian yang tidak diwajibkan olehDokter)
9. Kontinensia buang air besar (diperbolehkan 5 10Dengan supositoria, enema)
10. Kontinensia buang air kecil 5 10
Gagal Jantung Kongestif
Gregory L. Clementz, MD
I. Definisi. Gagal jantung kongestif (GJK) ditandai oleh bendungan
paru atau sistemik abnormal yang berasal dari jantung.
II. Epidemiologi
A. Prevalensi. Terdapat lebih dari dua juta kasus GJK di AS, dan
setiap tahun-nya 400.000 kasus baru didiagnosis. Dari suatu
studi, GJK merupakan diagnosis tersering kesembilan belas
yang ditemukan pada praktik rawat jalan dokter keluarga. GJK
merupakan diagnosis tersering keempat pada pasien-pasien
rawat inap dari dokter keluarga yang tergabung dalam National
Study of the Content of Family Practice.
B. Kesimpulan dari studi Framingham sehubungan dengan
etiologi GJK
1. Sekitar 75% pasien dengan GJK kronik menderita
hipertensi. Baik hipertensi sistolik maupun diastolik
ditemukan sama pentingnya.
2. Penyakit arteri koroner dijumpai pada 46% pria dan 27%
wanita dengan GJK. Faktor-faktor risiko penyakit arteri
koroner seperti merokok, hiperkolesterolemia, dan diabetes
melitus, juga merupakan faktor-faktor risiko yang penting
untuk GJK.
3. Diabetes melitus ditemukan pada 16% pasien GJK.
Kardiomiopati diabetik dapat menjadi penyebab penting dari
GJK, terutama pasien-pasien diabetes melitus tergantung
insulin tanpa penyakit koroner.
4. Sekitar 15% kasus GJK berkaitan dengan kardiomiopati, dan
tiga persen kasus berhubungan dengan penyakit jantung
rematik.
15
C. Faktor-faktor risiko lain pada GJK
1. Jenis kelamin. Terdapat sedikit dominansi pria pada
penderita GJK di bawah usia 65 tahun, dan sedikit dominansi
wanita pada penderita GJK di atas 75 tahun.
2. Usia merupakan suatu faktor risiko yang bermakna pada GJK
karena insidens GJK lebih dari dua kalinya per dasawarsa
mulai usia 45 hingga 75 tahun.
III. Patofisiologi.
A. Sebab-sebab GJK
1. Gangguan fungsi sistolik ventrikel
a. Afterload dan preload yang berlebihan, kontraktilitas
menurun, dan bradi dan takiaritmia dapat menyebabkan
gangguan fungsi sistolik. Penyebab gangguan fungsi
sistolik ventrikel kiri kronik diberikan pada Tabel 73-1.
Gagal ventrikel kanan biasanya disebabkan oleh gagal
ventrikel kiri atau penyakit paru-paru.
b. Fraksi ejeksi (rasio curah sekuncup terhadap volume
akhir diastolik) merupakan suatu parameter klinis yang
penting dalam menentukan fungsi sistolik dan biasanya
kurang dari 45% pada waktu istirahat pada pasien-pasien
GJK yang disebabkan gagal fungsi sistolik.
2. Peningkatan tekanan atrium dengan fungsi sistolik
normal
a. Penyakit katup seperti stenosis trikuspidalis atau mitralis
ataupun regurgitasi trikuspidalis atau mitralis dapat
menyebabkan peninggian tekanan atrium dengan fungsi
sistolik tetap normal.
b. Pasien dengan gangguan fungsi diastolik ventrikel
memiliki tekanan akhir diastolik yang lebih tihggi tanpa
memandang besarnya volume akhir diastolik ventrikel,
16
akibatnya tekanan atrium menjadi tinggi dan timbul
bendungan paru atau sistemik dengan fungsi sistolik
normal.
(1) Gangguan fungsi diastolik ventrikel ki.i terjadi pada
fungsi sistolik ventri-kel kiri yang normal pada 35-40%
pasien dengan GJK klinis. Gangguan fungsi diastolik
seringkali terjadi bersama-sama gangguan fungsi
sistolik, tetapi dapat pula mendahului gangguan
fungsi sistolik pada pasien-pasien penyakit koroner
dan hipertensi.
Tabel 73-1 penyebab gangguan fungsi sistolik
1Kardiomiopati dapat dibatasi sebagai suatu penyakit miokardium yang tidak berkaitan
dengan hipertensi, anomali kongenital, ataupun kelainan vaskular. Seorang pasien
dengan kardiomiopati dapat atau tidak menderita GJK.
(2) Pengisian diastolik yang abnormal dianggap sekunder
dari gangguan relaksasi v/entrikel ataupun
berkurangnya daya regang ventrikel atau bilik
(berkurangnya kelenturan). Penyebab gangguan
fungsi diastolik ventrikel kiri saja diberikan dalam
Tabel 73-2.
(3) Gagal jantung curah tinggi diberi batasan sebagai
gagal jantung kongestif yang terjadi akibat kondisi-
17
Kardiomiopati iskemik kongestif1 ( gangguan fungsi sistolik pada infark miokardium yang mnyembuh)HipertensiPenyakit katup jantung (aorta atau mitralis)Kardiomiopati dilatasi
Idiopatik inflamatorikInfeksi (bakteri, mikobakteri, parasit, riketsia, spiroketa, dan jamur)Non infeksi (penolakan transplantasi, penyakit autoimun, reaksi hipersensitivitas, dan peripartum)Toksik (alkoholik, obat-obat kemoterapi dan katekolamin)Metabolic (endokrinopati dan dan masalahgizi)FamilialMikrovaskulatur koroner abnormal
kondisi yang me-ningkatkan tuntutan hemodinamik
atau metabolik (lihat Tabel 73-3).
B. Mekanisme kompensasi pada GJK terjadi akibat berkurangnya
curah jantung ataupun meningkatnya tekanan atrium. GJK
terkompensasi adalah kondisi dengan fraksi ejeksi rnenurun
tetapi curah jantung dapat dipertahankan oleh mekanisme-
mekanisme berikut ini dengan atau tanpa terapi obat.
1. Mekanisme kompensasi sentral termasuk hubungan Frank-
Starling dan hipertrofi ventrikel akibat peningkatan preload
atau after-load.
Tabel 73-2 penyebab fungsi gangguan diastolik ventrikel kiri saja
2. Mekanisme kompensasi perifer mengakibatkan (1) aktivasi
sistem renin-angiotensin, (2) peningkatan kadar hormon-
hormon endogen lokal dan sirkulasi yang bersifat kontra-
regulasi terhadap renin-angiotensin, (3) aktivasi dari sistem
saraf simpatis dengan peningkatan kadar nor-epinefrin
serum, (4) redistribusi curah jantung untuk mompertahankah
aiiran darah ke jantung dan otak, dan (5) peninggian kadar
2,3-difos-fogliserat (DPG).
18
I. Berkurangnya kelenturan ventrikelA. Hipertrofi ventrikel kiri
1. Penyakit jantung hipertensi2. Kardiomiopati hipertrofik (lihat catatan kaki pada Tabel 73-
1)a. Obstruktifb. Non-obstruktif
B. Kardiomiopati restriktifC. Penyakit perikardium
II. Gangguan relaksasi ventrikel disebabkan oleh penyakit arteri koroneria yang berkaitan dengan iskemia
IV. Diagnosis.
a. Tanda dan gejala. Pasien-pasien dengan gangguan fungsi sistolik
atau dengan peninggian tekanan atrium dengan fungsi sitolik normal
dapat memperlihatkan sejumlah gejala dan temuan yang
memungkinkan diagnosis klinis GJK. Secara umum, gejala-gejala
pasien merupakan petunjuk yang lebih peka dari GJK dibandingkan
temuan-temuan pada pemeriksaan fisik. (Lihat Tabel 73-4 dan 73-5.)
b. Pemeriksaan laboratorium
1. Elektrokardiografi. Suatu elektrokardiogram (EKG) pertu dibuat
pada semua pasien yang baru didiagnosis sebagai GJK atau yang
mengalami eksaserbasi GJK. Tabel 73-6 memberikan temuan-
temuan EKG yang berguna dalam menentukan penyebab GJK.
2. Sinar-X dada. Sinar-X dada sangat penting pada pasien-pasien
yang baru didiagnosis GJK dan pada kebanyakan pasien dengan
eksaserbasi GJK. Sinar-X memungkinkan Kita untuk melakukan
penilaian terhadap ukuran jantung baik secara keseluruhan
maupun pembesaran ruang tertentu, dan bersifat lebih peka
dibandingkan pemeriksaan fisik da|arn mendeteksi peninggian
tekanan vena paru-paru.
Vena-vena paru-paru yang teregang dan menonjol pada
dada atas berkorelasi dengan tekanan vena paru-paru di atas 13
mmHg. Edema paru-paru terjadi bila tekanan vena paru
melampaui 25 mmHg. Edema interstisial paru ditandai oleh
gambaran vaskular paru dan hilus yang tidak jelas. Garis-garis
Kerley B pada kedua dasar paru, cairan pleura yang menumpulkan
sudut kostofrenik, ataupun cairan edema yang menumpuk dalam
ruang-ruang interlobaris. Edema alveolar paru menghasilkan
gambaran "kupu-kupu" pada sinar-X dada.
19
Tabel 73-4 Gejala-gejala Gagal Jantung Kongestif Kronik
Sensitivitas SpesifitasGejala-gejala gagal ventrikel kiri1. Dispnea. Klasifikasi
fungsional New York Heart AssociationI. Pasien tidak memiliki
gejalaII. PAsien dengan dispnea
atau kelelahan pada aktivitas sedang
III. Pasien yang mengalami dispnea atau kelelahan dengan aktivitas ringan
IV. Pasien yang mengalami dispnea atau kelelahan pada saat istirahat dan pada aktivitas ringan
66% 52%
2. Ortopnea 21% 81%3. Dispnea nocturnal
paroksismal33% 76%
4. Batuk malam hari - -5. Insomnia - -6. Diaphoresis - -7. Pernapasan cheyne-stokes - -8. Lemah - -9. Perasaan kacau. Terutama
pada orang tua- -
Gejala-gejala gagal jantung ventrikel kanan
1. Riwayat pertambahan berat badan
- -
2. Riwayat edema - -3. gejala-gejala saluran cerna
seperti anoreksia, mual, kembung, atau nyeri perut kanan atas
- -
4. Riwayat pertambahan lingkar perut
- -
3. Ekokardiografi dan angiografi radionuklid. Ekokardiografi
Doppler, M-mode, dan dua-dimensi, atau jika ini secara teknis
sulit, maka diperlukan angiokardiografi radionuklidfvenlrikulografi
nuklir atau gated pool study untuk menggolongkan pasien-pasien
GJK ber: dasarkan fungsi sistolik normal dan abnormal untuk
20
menentukan terapi yang tepat. Diagnosis gangguan fungsi
diastolik saja dapat dibuat pada banyak pasien GJK dengan salah
satu metode di atas, tetapi hasilnya bergantung pada keahlian
individu dalam menginterpretasikan studi studi ini. Selain itu,
kedua pemeriksaan dapat mendeteksi kelainan kontraksi dinding
regional yang mengisyaratkan suatu penyakit arteri koronaria yang
mendasari. Kedua studi ini juga berguna until mengevaluasi
ventrikel kanan.
Ekokardiografi berguna dalam menggolongkan pasien-
pasien dengan kardiomiopati berdasarkan ukuran ventrikel dan
fungsi yaitu tipe dilatasi, hipertrolik, atau tipe restriktif-konstriktif.
Ekokardiografi dapat menilai penyakit katup jantung dan
memperkirakan keparahannya. Selain itu, ekokardiografi juga
dapat mendeteksi penyakit pericardium, hipertensi paru, dan
trombi intrakardiak.
4. Pemeriksaan laboratorium lainnya. Elektrolit serum, nitrogen
urea darah (BUN) dan kreatinin, uji fungsi hati, profil tiroid, dan
hitung darah lengkap merupakan indikasi pada kebanyakan pasien
GJK yang baru atau pasien GJK dengan eksaserbasi.
Tabel 73-5. Tanda-tanda gagal jantung kongestif
Sensitivitas SpesifitasTanda-tanda GJK kanan dengan atau tanpa gagal ventrikel kiri penyertaPertambahan BB lebih dari 4 kg (sebelum edema)
- -
Edema (sebagai tanda diagnostik dari gagal ventrikel kiri)
8-10% 93-100%
Refluks hepatojugular (sebagai tanda diagnostic gagal ventrikel kiri)
-17-20%
-91-100%
Distensi vena-vena leher pada 45 derajat
(sebagai tanda diagnostik dan gagal ventrikel kiri)
-
10-20%
-
97-100%
21
Hepatomegali - -ASites abdominal - -Bunyi jantung ketiga ventrikel kanan - -Tanda-tanda GJK kiriRonki pada kedua dasar paru-paru
13-20% 91%
Mengi (asma jantung) - -Pekak pada dasar paru (efusi pleura) - -Bunyi jantung ketiga ventrikel kiri 16-31% 95-100%Perasat valsalva
(sebagai suatu tanda gangguan fungsi sistolik)(sebagai suatu tanda gangguan fungsi diastolik)
Sampai 88%Sampai 100%
--
1 Dari MJ Zema dalam Chest 1990; 97 : 772 dan MJ Zema et al dalam BR Heart J 1980; 44:560
a. Hiponatremia sering dijumpai pada pasien-pasien GJK dan
berkaitan baik dengan keparahan GJK maupun dengan kadar renin
serum yang tinggi.
b. Tes fungsi hati yang meninggi dengan sedikit peninggian bilirubin
serum dan enzim-enzim hati sering ditemukan pada pasien GJK dan
dikaitkan dengan bendungan pasif pada hati.
c. Azotemia prarenal sering ditemukan pada pasien-pasien GJK akibat
penurunan curah jantung dan perfusi ginjal.
d. Anemia dan hipo- atau hipertiroidisme dapat menyebabkan
kekambuhan GJK atau mencetuskan GJK pada pasien-pasien
dengan cadangan jantung terbatas (misal, pasien dengan
penurunan fraksi ejeksi hanya saat berlatih fisik).
5. Pemantauan Holter (EKG-24 jam). Enam puluh hingga 90% pasien
dengan GJK memiliki ektopi yang kompleks atau sering, dan hampir
80% pasien GJK mengalami takikardia ventrikular yang tidak menetap.
Oleh sebab itu, setiap pasien GJK yang memperlihatkan gejala-gejala
yang cocok dengan suatu aritmia, misalnya palpitasi, pusing, prasinkop
atau sinkop, perlu dipertimbangkan untuk pemantauan Holter.
Demikian pula tiap pasien GJK dengan fraksi ejeksi kurang dari 40%,
22
dengan penyakit arteri koronaria, atau kardiomiopati hipertrofik perlu
dipertimbangkan untuk pemantauan Holter.
6. Studi-studi elektrofisiologis. Pasien-pasien GJK dengan takikardia
ventrikular yang menetap spontan (takikardia ventrikular yang
Tabel 73-6 Elektrokardiografi Pada Gagal Jantung Kongestif
beriangsung lebih dari 30 detik) telah diidentifikasi, dan beberapa
pasien dengan takikardia ventrikular yang tidak menetap, terutama
mereka yang mendeirta penyakit arteri koronaria, perlu
dipertimbangkan untuk studi-studi elektrofisiologis dan diberi terapi anti-
aritmik yang dipandu secara elektrofisiologis.
V. Pengobatan. Gejala-gejala GJK dapat dikontrol dengan kombinasi
pengobatan farmakologis dan non-farmakologis.
A. Pengobatan non-farmakologis
1. Pasien biasanya dinasehati untuk membatasi aktivitas fisik sesuai
dengan tingkat keparahan GJK. Akan tetapi, latihan isotonik
seperti berjalan atau naik sepeda statis telah dibuktikan dapat
memperbaiki toleransi latihan dan gejala-gejala GJK pada
sebagian pasien GJK ter-kompensasi. Sebaliknya, latihan
isometrik perlu dihindarkan.
2. Pasien-pasien perlu membatasi asupan natrium sainpai dua
hingga empat gram sehari bergantung pada keparahan GJK, guna
mengurangi preload.
B. Pengobatan farmakologis (lihat Tabel 73-7)
1. Diuretik mengurangi preload dan bendungan paru serta sistemik
pada pasien-pasien GJK. Efek samping yang mengkhawatirkan
23
Suatu EKG dapat membantu jika GJK dicetuskan oleh suatu aritmiaPembesaran atrium dapat didiagnosisSuatu kompleks QRS yang meningkat mengisyaratkan hipertrofi ventrikel kiriAda perubahan –petubahan akibat hipertrofi ventrikel kanan yang dapat dikaitkan
dengan gagal jantung kongestif kananKompleks QRS dengan voltage rendah dapat mengarahkan pada amiloidosis atau
penyakit pericardiumEKG dapat memperlihatkan perubahan-perubahan dari infark miokard akut atau gelombang Q abnormal dapat mengarahkan p[ada infark miokard terdahului S atau pola
pseudoinfark dapat ditemukan pada kasus-kasus kardiomiopati dilatasi, hipertrofik, restriktif
Kelainan konduksi seperti hambatan berkas cabang kiri terutama sering ditemukan pada kardiomiopati
dari diuretik pada pasien GJK adalah hipokalemia, hiponatremia,
hipomagnesemia azotemia prarenal, hipotensi ortostatik, dan
penurunan curah jantung.
a. Dosis diuretik perlu dititrasi berdasarkan gejala-gejala pasien,
berat badan, serta hasil pengukuran elektrolit serum dan BUN.
Gunakanlah selalu dosis diuretik terendah yang masih efektif.
b. Tiazid biasanya memadai pada pasien-pasien dengan GJK
ringan bila bersihan kreatinin di atas 30. mL/menit. Diuretik
simpati seperti furosemid sebaiknya diberikan pada pasiien-
pasien GJK sedang hingga berat dan pada pasien-pasien
dengan bersihan kreatinin di bawah 30 mL/menit. dosis diuretik
sampai cukup bevariasi dan terutama bergantung pada fungsi
ginjal dan keparahan GJK. Jika seorang pasien tampaknya
menjadi resisten terhadap satu diuretic simpai, maka pemberian
diuretic simpai lainnya dapat saja efektif. Alternative lain adalah
penambahan suatu diuretik tiazid metolazol pada diuretik
simpai.
c. Pada pasien-pasien GJK, bila perlu suplemen kalium atau
obat- obat homat kalium seperti triamteren, amitorid, atau
spironolakton dapat ditambahkan pada diuretik-diuretik di atas.
hyperkalemia dapat terjadi dengan obat-obat ini jika ada
gangguan ginjal atau jika pasien mendapat suatu penghambat
enzim konversi angiotensin (ACE).
2. Vasodilator mengurangi preload dan afterload pada pasien-pasien
dengan gangguan fungsi sistolik. Obat-obat ini juga dapat
menyebabkan hipotensi pada pasien-pasien GJK dengan gangguan
fungsi diastolic saja, kondisi curah tinggi, atau dengan stenosis
mitralis atau aorta.
a.Nitrat kerja panjang terutama menyebabkan venodilatasi, penu-
runan preload, dan berakibat dengan penurunan tekanan akhir di-
astolik ventrikel. Isosorbid dmitrat atau nitrogliserin transdermal
24
dapat diberikan dengan interval bebas nitrat untuk mencegah
toleransi. Nitrat saja dapat momperbaiki gejala-gejala pasien dan
kemampuan toleransi latihan fisik.
b.Hidralazin adalah suatu vasodilator arteriolar yang mengurangi
alterload dan meningkatkan curah jantung tanpa banyak mem-
pengaruhi tekanan akhir diastolik ventrikel. Hidralazin harus
diberikan bersama nitrat kerja panjang karena hidralazin saja
mungkin tidak dapat memperbaiki gejala-gejala penderita.
c.Penghambat ACE seperti kaptopril atau enalapril memperbaiki
gejala pada hampir 80% pasien GJK dalam enam minggu sejak
terapi dimulai. Kemunduran fungsi ginjal sering diamati pada
pasien GJK fungsionsl kelas III dan IV dengan hiponatremia dan
dengan tekanan darah sistolik di bawah 100 mmHg saat
manggunakan penghambat ACE. Pasien-pasien yang telah
mendapat diuretik biasanya memerlukan penurunan dosis
diuretik setelah pemberian penghambat ACE dimulai. Efek
samping penghambat ACE antara lain neutropenia; proteinuria,
disgeusia, dan mam (kaptopril); dan angioedema dan batuk
(enalapril). Namun, pada umumnya dapat dikatakan pasien-
pasien dengan gagal jantung sistolik dapat men-toleransi
penghambat ACE lebih baik daripada terapi kombinasi hidralazin
dan nitrat kerja panjang.
(1) Penghambat ACE mengurangi preload dan tekanan akhir
diastolik ventrikel dengan meningkatkan ekskresi natrium
dan air dan melalui venodilatasi langsung. Obat-obat ini
menyebabkan vasodilatasi arteriolar dan mengurangi
afterload dengan meng-hambat angiotensin II, menurunkan
tonus simpatis, dan mengaktifkan hormon-hormon lokal
endogen.
(2) Penghambat ACE mengurangi kadai norepinefrin serum
dengan akibat lebih sedikitnya disritmia ventrikel;
25
memperbaiki hiponatremia, dan dapat mencegah dilatasi
ventrikel kiri pada pasien-pasien dengan gangguan fungsi
ventrikel kiri setelah infark miokardium anterior akut.
Tabel 73-7. Terapi Farmakologis untuk Gagal Jantung Kongestif
Ekokardiogram atau gated pool
Kelas Fungsi-onal
Diuretik/terapi pengganti kalium
Vasodilator Digoksin Inotrop negatif
GJK Sistolik I atau II 1. Berikan hidriklorotiazid (HTZ) 12,5-25mgqd. Namun jika bersihan kreatinin kurang dari 30 ml/menit, berikan furosemid saja hingga 20 mg bid untuk diuresis
Berikan ACE pada awalnya dengan suatu diuretic atau diuretik diberikan belakangan jika perlu Berikan katopril 6,25 mg qid, atau enelapril 2,5-20 mgqd
Tambahkan digoksin jika perluDosis awal5-10mcg/kg 24 jam terbagi dalam tiga dosis (tanpa memandang fungsi ginjal)Dosis pemeliharaanJka bersihan kretinin 25-50 ml/menit berikan 0,125-0,1875 mg qd
Pengham bat beta untuk sebagian pasien dengan kardiomio pati dilatasi idiopatik
2. Jika fungsi ginjal pasien normal dan tidak sedang diterapi dengan suatu ACE, maka pemberian suatu diuretic hemat kalium akan sangat menolong: amilorid 5 mg qd, spironolakton 25 mg bid, atau triamteren 50 mg qd. Alternative lain adalah penambahan kalium klorida biasanya 20-40 meq qd, jika perlu dalam dosis terbagi
Mulai (lihat atas) Lihat atas
II atau III 1. Berikan hidroklorotiazid 25-50 mq qd. Jika respons tidak memadai atau jika bersihan kreatinin kurang dari 30 mL/menit, berikan furosemid saja dalam dosis 20-40mg bid hingga 20mg bid efek dieresis
Tambahkan 1. ACE kaptopril 6,25
mg qid hingga 50mg qid, atau enalapril 2,5-20 mg qd
2. Jika perlu tambahkan kalium klorida, biasanya 20-80meq qd dalam dosis terbagi
2. Jika suatu ACE tidak digunakan, berikan isosorbid 40 mg PO bid, atau nitrogliserin transdermal ½-1
26
tiap 6 jam atau dengan atau tanpa hidralazin 25 mg tid hingga 100 mg qid
IV 1. Berikan furosemid 40 mg bid hingga 300mg bid. Jika respons tidak memadai tambahkan metolazon mulai dengan dosis 2,5 mg qd hingga 10 mg qd. Jika rspons masih tak memadai, hentikan furosemid dan mulai bumetanid 0,5 – 2 mg qd hingga 10 mg dalam dua / tiga dosis terbagi, atau asam etakrinat dimulai dengan dosis 50 mg qd dan dapat ditingkatkan hingga 50-100 mg bid
Tambahkan 1. Kaptopril hingga
100 mg dosis individual atau enalapril hingga 40 mg qd atau
2. Terapi nitrat / hidralazin seperti di atas
Berikan (lihat atas) Lihat atas
2. Jika perlu tambahkan kalium klorida, biaasanya 20-80meq qd dalam dosis terbagi
GJK diastolic saja
Seperti di atas Nitrat membantu pada iskemia koronerPenghambat ACE membantu pada pasien hipertensi
Tidak diindikasikan Penghambat saluran kalsium atau penghambat beta terkadang membantu
1Dobutamin tidak diindikasikan meskipun kadang dapat membantu pada pasien GJK sistolik kelas IV. Konsultasi kardiologi dapat dianjurkan pada kebanyakan pasien ini.2Konsultasi kardiologi dapat dianjurkan pada pasien-pasien ini. Ada pertanyaan mengenai pemakaian penghambat beta pada kasus-kasus seperti ini3Konsultasi kardiologi dapat dianjurkan pada pasien-pasien tertentu
3. Obat-obat inotropik meningkatkan kontraktilitas miokardium dan
dapat bermanfaat pada pasien-pasien GJK dengan gangguan
fungsi sistolik. Digoksin seringkali diresepkan pada pasien-pasien
GJK. Meskipun beberapa penghambat fosfodiesterase dan agonis
beta seperti dobutamin dapat memberikan perbaikan hemodinamik
jangka pendek dan perbaikan gejala pada pasien-pasieh GJK yang
27
berat, namun ada kekhawatiran bahwa obat-obat seperti ini dapat
bersifat pro-aritmik dan sebenarnya memperpendek harapan hidup.
a. Digoksin yang dianggap suatu obat inotropik lemah, efektif pada
pasien-pasien GJK dengan fibrilasi atrium yang memperlihatkan
resons ventrikel cepat. Obat ini dapat pula bermanfaat pada
pasien-pasien GJK-tanpa memandang kelas fungsionalnya-
dengan BJ3 dan dilatasi ventrikel atau gangguan fungsi sistolik
pada ekokardiografi. Pemberian digoksin pada pasien dengan
infark miokard akut dan GJK adalah controversial. Digoksin tidak
dianggap bermanfat pada pasien-pasien dengan kor pulmonale
dengan irama sinus normal atau pada pasien-pasien dengan
gangguan fungsi diastolic ventrikel semata.
b. Kadar digoksin serum perlu diperiksa setiap dua minggu setelah
terapi dimulai jika psien tidak mendapatkan dosis beban awal,
dan perlu diperiksa secara berkala sesudahnya. Dosis rumatan
perlu disesuaikan agar kadar serum digoksin antara 0,8-2,0
ng/ml tetapi harus selalu dikaitkan dengan gejala-gejala yang
diperlihatkan pasien. Denyut respons ventrikel biasanya cukup
memadai sebagai panduan pemberian digoksin yang optimal
pada pasien-pasien fibbrilasi atrium.
c. Toksisitas digoksin terjadi pada 15-20% pasien yang
mendapatkan digoksin. Dari pasien-psien yang mengalami
keracunan digoksin, 16% mengalami disritmia yang mengancam
jiwa karena digoksin. Gejala-gejala keracunan digoksin antara
lain anoreksia, mual, penurunan ketajaman penglihatan ataupun
gangguan penglihatan warna, neuralgia fasialis, dan gejala-
gejala neuromuscular atau neuropsikiatrik yang tidak jelas.
Pasien-pasien yang mendapat digoksin yang juga mendapat
kuinidin, verapamil, datau amiodaron harus mengurangi dosis
harian dari digoksin hingga separuhnya guna menghindari
toksisitas digoksin.
28
4. Obat-obat inotropik negative seperti verapamil atau propanolol jika
diberikan bersama diuretic dapat mengatasi gejala-gejala GJK
pada sebagian pasien dengan gangguan fungsi diastolic saja yang
timbul sekunder dari penyakit jantung hipertensif atau kardiomiopati
hipertrofi tanpa obstruksi saat istirahat. Beberapa pasien dengan
kardiomiopati dilatasi idiopatik dan gangguan fungsi sistolik
mengalami perbaikan dalam hal kelas fungsional, hemodinamik
dan kelangsungan hidup dengan dosis rendah dari obat-obat
selektif ß1 eperti metoprolol. Konsultasi kardiologi biasanya dapat
dianjurkan sebelum memulai pemberian metaprolol pada psien-
pasien kardiomiopati dilatasi idiopatik karena obat ini dapat
menimbulkan eksaserbasi GJK pada sebagian pasien.
VI. Strategi penatalaksanaan
A. Menyingkirkan penyebab dasar GJK dapat mencegah penyakit
miokardium progresif
i. Pembedahan, misalnya dapat mempertimbangkan pada
pasien-pasien gagal jantung sekunder dari penyakit katup
ii. Revaskularisasi mekanis perlu dipertimbangkan pada pasien-
pasien dengan penyakit arteri koronaria dan gangguan fungsi
ventrikel kiri
iii. Terapi hipertensi yang memadai diperlukan pada pasien-
pasien yang gagal jantungnya disebabkan oleh hipertensi
(lihat Bab 75)
B. Menyingkirkan faktr-faktor pencetus (dapat ikut membantu) dalam
penatalaksanaan GJK (lihat tabel 73-3)
C. Tindak lanjut pasien
1. Frekuensi kunjungan lanjutan untuk pasien-pasien GJK perlu
didasarkan pada keparahan GJK, usia pasien, dan pada ada
tiaknya masalah medis lain yang menyertai. Sebagian pasien
GJK fungsional kelas I atau II tanpa masalah medis yang nyata
29
lainnya perlu diperiksa setiap tinga hingga empat bulan. Pasien-
pasien GJK fungsional kelas IV atau pasien-pasien dengan
kelas fungsional yang lebih baik namun dengan masalah medis
penyulit lain mungkin perlu lebih sering dikontrol, misalnya tiap
dua hingga empat minggu.
2. Pada tiap kunjungan gejala-gejala GJK perlu ditimbulkan dan
kelas fungsional perlu ditentukan.
1. Berat bdan pasien dan tekanan darah berbaring dan berdiri
perlu dicatat, serta pemeriksaan kardiovaskular dan paru-
paru perlu dilakukan. BUN, kreatini serum, elektrolit dan
kadar digoksin mungkin perlu diukur tergantung usia pasien,
fungsi ginjal, dan tingkat keparahan GJK.
2. Kepatuhan pasien terhadap rejimen terapi termasuk
pemantauan berat badan di rumah perlu dipastikan dan tiap
masalah diatasi. Juga perlu dibicarakan tiap efek samping
obat yang mungkin timbul, demikian pula pencegahan dari
faktor-faktor presipitasi GJK Ilihat tabel 73-3).
VII. Riwayat alamiah dan prognosis
A. Mortilitas. Pasien-pasien dengan awitan gagal jantung baru
memiliki angka kelangsungan hidup lima tahun kurang dari 50%,
sementara pasien-pasien dengan GJK yang berat dapat memiliki
angka kelangusngan hidup satu tahun kurang dari 50%. Mortalitas
tergantung pada etiologi spesifik dari GJK, keparahan gangguan
fungsi ventrikel kiri, kelas fungsional menurut New York Heart
Association, derajat aktivasi neurohormonal, dam keparahan
aritmia ventrikel. Lima puluh persen dari mortalitas pasien-pasien
GJK adalah akibat kematian mendadak yang agaknya disebabkan
oleh takiaritmia ventrikel.
B. Enalapril, 2,5-40 mg/hari, pada kasus-kasus GJK berat, ataupun
suatu kombinasi dengan hidralazin 300 mg/hari dan isosorbid
30
dinitrit 160 mg/hari pada kasus-kasus GJK ringan sampai sedang,
telah dibuktikan dapat mengurangi mortalitas hingga sepertiga
pada satu hingga tiga tahun.
C. Sepuluh hingga 15% pasien-pasien GJK kronik gagal berespons
terhadap terapi medis tradisional. Sebagian dari pasien-pasien ini
dapat dipertimbangkan untuk transplantasi jantung. Pasien-pasien
transplantasi jantung kini memiliki kualitas hidup yang lebih baik
dan angka kelangsungan hidup dua tahun hingga 95%. Namun
demikian, jumlah pasien yang dapat memiliki transplant jantung
terbatas oleh jumlah jantung donor yang tersedia.
31
Penyakit Jantung Iskemik
William E. Neighbor, Jr., MD
I. Definisi. Penyakit jantung iskemik (PJI) menjelaskan suatu
kompleks gejala dan tanda yang diakibatkan oleh porfusi jaringan,
hantaran oksigen, dan pengeluaran metabolit yang tidak adekuat pada
miokardium. Penyakit jantung koroner (PJK) adalah penyakit jantung
iskemik akibat penyakit arteri koronaria (PAK).
PJI merupakan penyebab utama penyakit jantung di Amerika Serikat.
Bersama dengan penyakit kardiovaskular lain, PJI merupakan
penyebab utama mortalitas dan morbiditas dan menempati urutan
kedua setelah kecelakaan dan trauma sebagai penyebab-penyebab
utama kehilangan tahun-tahun kehidupan sebelum usia 65.
Seperempat dari semua kunjungan ke praktik dokter adalah karena
PJI.
II. Epidemiologi '
A. Faktor-faktor risiko yang tak dapat dimodifikasi
1. Usia. Insidens PJI meningkat dengan pertambahan usia pada
wanita dan pria.
2. Jenis kelamin. Angka PJI pada wanita kira-kira separuh dari
pria. Perbedaan ini paling besar pada usia di bawah 50 dan
menghilang kira-kira sepuluh tahun setelah usia 50, yaitu usia
rata-rata menopause.
3. Riwayat keluarga. Individu-individu dengan riwayat PJK
sebelum usia 55 pada kerabat tingkat pertama dalam keluarga
memiliki risiko dua hingga lima kali lebih besar untuk menderita
PJK dibandingkan mereka yang tanpa riwayat ini. Akan tetapi,
sebagian besar kasus PJK di AS terjadi pada individu-individu
di atau usia 55 tanpa riwayat PJK dini dalam keiuarga, dan
32
individu-individu tanpa riwayat keluarga jangan terburu-buru
diyakinkan akan rendahnya risiko.
B. Faktor-faktor risiko yang dapat dimodifikasi
1. Merokok. Perokok mengalami peningkatan insidens serangan
PJK dua hingga tiga kali lebih sering dibandingkan bukan
perokok. Risiko serangan PJK berkurang pada pria dan wanita
terhadap bukan perokok akan berkurang dalam lima hingga
sepuiuh tahun setelah berhenti merokok.
2. Tekanan darah. Peningkatan tekanan darah sistolik dan
diastolik (sistolik dan diastolik) merupakan faktor-faktor risiko
independen untuk PJI. Risiko ini menjadi dua kali lebih besar
pada individu dengan tekanan sistolik di atas 150 mmHg
dibandingkan individu dengan tekanan sistolik di bawah 130
mmHg dan pada individu dengan tekanan diastolik di atas 94
mmHg dibandingkan mereka dengan tekanan diastolik kurang
dari 80 mmHg. Pengobatan hipertensi merendahkan risiko
gangguan serebrovaskular dan gagal jantung kongestif, tetapi
tidak konsisten dalam mengurangi risiko infark miokardium
(IM).
3. Kolesterol. Individu-individu dengan kadar kolesterol total lebih
dari 260 mg/dL memiliki risiko PJK dua kali lebih tinggi
dibandingkan mereka yang memiliki kadar kurang dari 180
mg/dL. Kolesterol lipoprotein densitas rendah (LDL), llpcprotein
B, dari lipoprotein (a) secara sendirl-sendiri memiliki asosiasl
positif dengan risiko PJK. Kolesterol lipoprotein densitas tinggi
(HDL) menunjukkan asosiasi negatif. Penurunan kolesterol LDL
dan peningkatan kolestrol HDL secara signifikan menurunkan
risiko PJK.
4. Diabetes melitus. Diabetes melitus dihubungkan dengan
peningkatan dua kali lipat insidens PJK. Optimlsasi kadar
glukosa darah agaknya menurunkan risiko ini.
33
5. Obesitas. Studi-studi jangka panjang bukan studi jangka
pendek. menunjukkan bahwa obesitas merupakan faktor risiko
independen PJK meskipun lemah. Efek ini terjadi bahkan pada
Individu-individu yang mengalami peningkatan 10% berat relatif
dalam jangka waktu yang panjang.
6. Aktivitas fisik. Aktivitas fisik yang aktual berkaitan secara
independen dengan penurunan risiko.PJI.
7. Pola perilaku. Pola perilaku tipe A, terutama komponen
kekasaran dan kemarahan yang tidak diekspresikan pada pria
berkaitan dengan peninggian risiko PJK baru dua hingga empat
kali dibandingkan perilaku tipe B
8. Hormon-hormon seks eksogen. Studi-studi yang dilakukan
pada tahun 70-an menunjukkan bahwa pemakaian pil
kontrasepsi oral pada wanita berkaitan dengan risiko IM yang
4,5 kali lebih besar pada bukan perokok dan 39 kali lebih besar
pada wanita perokok lebih dari 2 batang per hari (dibandingkan
dengan bukan perokok yang tidak menggunakan pil
kontrasepsi). Pil kontrasepsi oral yang digunakan pada waktu
itu meningkatkan kolesterol LDL secara bermakna dan
menurunkan kolesterol HDL. Sebaliknya, pil-pil dosis rendah
yang kini banya digunakan, mengandung progestin dengan
lebih sedikit sifat androgenik sehingga dapat meningkatkan
kolesterol HDL dan tidak berpengaruh buruk terhadap
kolesterol LDL. Berdasarkan hasil-hasil Nurse Health Study, pil-
pil ini tidak meningkatkan risiko PJK pada bukan perokok.
9. Faktor-faktor lain. Faktor-faktor lain yang terbukti menjadi
factor- faktor risiko PJK yang bermakna antara lain kadar
insulin darah yang meningkat, gangguan toleransi glukosa,
peningkatan kadar fibrinogen darah, kelainan dalam faktor-
faktor pembekuan darah, asupan mineral mineral tertentu, dan
status oksidatif dari lemak darah.
34
III. Patofisiologi
A. Patogenesis dan patologi. Penebalan dinding pembuluh darah
akibat aterosklerosis merupakan penyebab utama dari penyakit
jantung iskemik AS. Lesi awal dari suatu aterosklerosis adalah
bercak lemak yang terbentuk oleh infiltrasi makrofag sarat lemak
(sel busa) ke dalam intima. Bercak lemak ini dapat mengalami
regresi, menetap atau berkembang menjadi pil, fibrosa yang
mengandung makrofag, sel-sel otot polos, dan jaringan ikat padat.
Selanjutnya, sel-sel, otot polos dari tunika media akan bermigrasi
dalam intima dan mengumpulkan lemak pula. Bercak lemak dapat
ditemukan pada 90% atau lebih individu, kulit hitam atau putih, pria
atau wanita, setelah usia 20 tahun. Plak fibrosa dan lesi-lesi yang
lebih lanjut ditemukan pada arteri koronaria lebih dari 50% pria kulit
putih pada usia 30 dan lebih dari 50% wanita sebelum usia 40.
B. Etiologi. Iskemia terjadi jika kebutuhan oksigen miokardium
melampaui suplai lewat aliran arteri koronaria. Episode-episode
iskemia berulang dapat berakibat kerusakan miokardium. Gambar
79—1 menunjukkan rangkaian kejadian pada suatu episode
iskemia miokardium.. Faktor-faktor yang mempengaruhi suplai dan
kebutuhan oksigen miokardium secara sendiri-sendiri atau
borsama-sama menentukan kemampuan hidup sel-sel miokardium
(lihat Tabel 79—1). Kebanyakan pasien mengalami penyakit
aterosklerotik yang permanen maupun vasospasme. Faktor-faktor
tambahan dapat mempengaruhi penggunaan oksigen dan aspek-
aspek metabolisme lain dari sel-sel miokardium.
IV. Diagnosis
A. Tanda dan gejala
1. Tanda-tanda iskemia jantung hamplr selalu tidak ditemukan pada
praktik rawat jalan, namun dapat berupa perubahan
hemodinamik seperti bunyi jantung ketiga dan keempat, impuls
apeks diskinetik, bising sistolik sementara di apeks akibat
35
insufisiensi mitralis, atau suatu bising diastolik yang diduga
akibat aliran turbulen melalui arteri koronaria yang mengalami
stenosis selama episode iskemik. Penyebab PJI non-koroner
dapat ditunjukkan oleh bising kardiomiopati hipertrofik atau
stenosis aorta. Perubahan arteriolar retina, penurunan denyut
perifer, dan bruit arteri menunjukkan penyakit vaskular yang
difus.
Penurunan rasio aliran/kebutuhan miokardium regional
Penurunan kritis P02 regional
Perubahan metabolik miokardium regional
Perubahan hemodinamik
Penurunan aliran darah subendokardium
Perubahan elektrokardiografik
GAMBAR 79—1 .Rangkaian kejadian pada suatu episode iskemia miokardium. (Dimodifikasi dan dlreproduksi atas izin dari Hill JA, Pepine
CJ: Myocardial ischemia and chest pain: A misunderstood and oversimplified relationship? Cardiol Clin 1986;4:621:)
36
Resolusi (episode iskemik tersembunyi)
Manifestasi Minis (Nyeri Dada, Infrak miokardium,
Aritmia, Kematian)
Tabel 79-1 Penyebab iskemia miokardium
Faktor ContohA. Penurunan suplai oksigen
miokardiumPenurunan FIO2 Tempat tinggiPenurunan oksigenasi atau kapaitas angkut oksigen
Penyakit paru-paru, anemia
Penurunan tekanan perfusi HipotensiWaktu perfusi yang tidak memadai TakikardiaPeningkatan resistensi terhadap aliran darahKompresi ekstravaskularPenebalan dinding vascularSpasme vascularPenyempitan intraluminal
Jembatan miokardium transkoroner AterosklerosisAngina varian, angina campuranThrombosis, embolisme, agregasi trombosit
B. Peningkatan kebutuhan oksigen miokardiumPeningkatan tebal dinding Hipertrofi ventrikel kiriPeningkatan ukuran ruang Gagal jantung kongestifPeningkatan denyut jantung Aritmia jantungPeningkatan tekanan akhir diastolic ventrikel kiri
Gagal jantung kongestif, stenosis aorta
Peningkatan kontraktilitas Digitalis
2. Gejala-gejala dari PJI termasuk angina pektoris, nyeri dada
atipik, dan ekuivalen angina, IM akut, gagal jantung kongestif,
kematian mendadak, dan disritmia jantung juga dapat terjadi.
Kata "angina" berarti nyeri spasmodik, mencekik, atau sesak.
Angina pektoris digambarkan sebagai nyeri atau perasaan
berat yang dalam di dada terletak retrosternal, prakordial, atau
pada epigastrium dan seringkaii menyebar ke lengan,leher,
tenggorok, atau rahang, yang seringkali disertai sensasi sesak
atau panik dan memiliki pola menguat-melemah.
Nyeri dada atipik memperlihatkan sebagian namun tidek
semua ciri-ciri dari angina pektoris dan seringkaii lebih sulit
diramalkan sifatnya. Ekuivalen angina termasuk kelelahan,
lemah, mual, dispnea, palpitasi, penurunan toleransi latihan,
perasaan kacau, gamang, atau pingsan. Angina pektoris atau
37
nyeri dada atipik ditemukan pada 70—80% paslen dengan PJI
sebelum usia 80 tetapi kurang dari 50% kasus setelah usia 80
tahun. Setelah usia 80 tahun, ekuivalen angina merupakan
keluhan utama pada PJI.
Pola angina yang lazim antara lain angina kronik stabil,
angina tak stabil, angina varian, angina campuran, dan sindrom
X. Angina kronik stabil menjelaskan bagian dari perjalanan
angina pektoris akibat PJI yang terdiagnosis, dengan nyeri dada
bersifat intermiten dan tidak bermakna dalam hal perubahan
sifat, intensitas, durasi, frekuensi, atau tingkat aktivitas yang
diperlukan untuk mencetuskan nyeri dada. Angin tak stabil
ditandai oleh (1) peningkatan frekuensl, keparahan, ataupun
lamanya episode angina, berlangsung dalam beberapa bulan,
minggu atau hari (angina kresendo); (2) suatu penurunan
bermakna dari tingkat faktor-faktor presipitasi yang diperlukan
untuk memulai gejala (misalnya angina saat istirahat); atau (3)
awitan baru dari angina yang berat dan sering pada beban kerja
yang rendah. Angina varian ditandai oleh nyeri dada yang
terutama terjadi saat istirahat, biasanya tidak pada saat
beraktivitas fisik, dan seringkaii pada malam hari atau saat
bangun (irama sirkadian). Angina ini sering disertai disritmia.
Angina campuran memiliki ciri-ciri angina klasik akibat penyakit
arteri koronaria permanen maupun angina varian akibat
vasospasme. Sindrom X ditandai oleh nyeri dada yang
konslsten dengan iskemia tetapi terjadi tanpa adanya bukti-bukti
PAK atau vasospasme pada angiografi.
B.Pemeriksaan laboratorium
1. Elektrokardiografi (EKG) saat istirahat
a. Indikasi. Suatu EKG 12 hantaran perlu dilakukan pada
semua pasien yang mengeluhkan kemungkinan angina
pektoris. EKG saat istirahat penting untuk menyingkirkan
38
kontraindikasi terhadap EKG saat berlatih dan dalam
membantu memilih antara EKG saat ber-latih dengan uji
radionuklir sebagai uji diagnostik tambahan. EKG saat istirahat
inl tidak direkomendasikan untuk menyingkirkan PAK pada
individu-individu tanpa gejala karena pemeriksaan ini tidak
cukup sensitif maupun spesifik. Pada individu-individu ini, hasil
pameriksaan, tidak memiliki nilai prediktif tambahan di luar
yang telah didapatkan dari pengetahuan akan faktor-faktor
risiko.
b. Temuan-temuan pada PJI termasuk inversi gelombang T
akibat iskemia epikardium, depresi segmen ST akibat cedera
subendokar-dium, elevasi segmen ST akibat cedera
transmural, dan disritmia ventrikel. Gelombang Q patologis
menunjukkan IM lampau. Hipertrofi ventrikel kiri seharusnya
mewaspadakan terhadap kemungkinan obstruksi aliran keluar
atau hipertensi sebagai penyebab iskemia. Karena faktor-
faktor non-iskemik yang mempengaruhi segmen ST,
gelombang T dan gelombang Q, temuan EKG harus
diinterpretasikan sesuai konteks penemuan lain (lihat Tabel 79
—2). Selain itu, derajat perubahan segmen ST tidak secara
konsisten berkorelasi dengan derajat iskemia. EKG saat
istirahat seringkaii normal pada pasien-pasien dengan PJI
yang sudah mapan. Namun, pemeriksaan ini memiliki derajat
sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi pada disritmia jantung,
infark miokardium akut, dan iskemia akut yang disertai gejala-
gejala klinis.
2. EKG saat berlatih. Tipe EKG ini memantau aktivitas listrik
jantung, , hemodinamik, dan gejala-gejala saat mendapat beban
kerja dinamik yang ditingkatkan bertahap yang terutama
meningkatkan kebutuhan oksigen miokardium tanpa
mempengaruhi suplainya. Pasien-pasien yang tidak mampu
39
melakukan latihan hirigga 85—90% dari perkiraan denyut
jantung maksimum periu diperfimbangkan untuk pemeriksaan
latihan lain, uji dipiridamol-thalium, atau jika mungkin
pemantauan EKG ambulatorik (lihat bawah). ,
a. Indikasi termasuk penentuan kemungkinan PAK pada
pasien-pasien dengan gejala yang mencurigakan, untuk
identifikasi pasien yang sebelumnya didiagnosis PAK yang
berisiko tinggi akibat penyakit yang sudah lanjut, evaluasi
kapasitas fungsional, penentuan tingkat pekerjaan dengan
iskemia dan gejala terjadi, dan evaluasi respons terapi.
Tabel 79-2. Penyebab Non Iskemik dari perubahan segmen ST dan gelombang T dan gelombang Q
Perubahan segmen STObat-obatan (antiaritmik, digitalis, fenotiazin, antidepresan trisiklik)Prolaps katup mitralisHipertrofi ventrikel kiriKardiomiopatiMiokarditisKelainan konduksi (missal, blok berkas cabang kiri, sindrom Wolff-Parkonson-White)HIpokalemiaHiperventilasiHipotermia
Perubahan gelombang TObat-obatan (antidepresan trisiklik, antipsikotik, lithium)
Gelombang QKardiomiopati hipertrofikAmiloidosis jantungSindrom Wolff-Parkinson-White
b. Kontraindikasi terhadap EKG saat berlatih maksimal antara
lain IM akut atau baru terjadi (dalam empat hingga enam
minggu), angina pektoris tak stabil, angina saat istirahat,
perikarditis, stenosis aortaf yang berat, gagal jantung
kongestif, disritmia jantung tak terkontrol, gangguan konduksi
40
yang lebih berat dari blok tingkat pertama, hipertensi berat (>
170/100 mm Hg saat istirahat), dan penyakit sistemik akut.
c. Temuan-temuan yang mengarahkan pada PJI antara lain (1)
suatu depresi segmen ST datar sernentara atau menurun 2
mm atau lebih yang menghilang setelah latihan; (2) suatu
depresi segmen ST yang datar atau menurun yang terjadi
saat latihan, dan bertambah buruk setelah latihan, dan
kemudian kembali ke normal; dan (3) elevasi segmen ST.
Derajat perubahan segmen ST tidak konsisten berkorelasi
dengan derajat iskemia sesungguhnya. Temuan- temuan
positif lainnya antara lain penurunan tekanan.darah, respons
denyut jantung submaksimal, nyeri dada saat berlatih, ektopi
ventrikel, dan gallop S3.
3. Pemantauan EKG ambulatorik (AEM). AEM adalah
pemantauan EKG multiple lead untuk jangka waktu yang
bervariasi. Lamanya perekaman untuk mendeteksi iskemia tidak
dapat dipastikan, tetapi 48—72jam biasanya mencukupi.
a. Indikasi adalah evaluasi gejala- gejala yang mengarah pada
kasus-kasus dengan EKG normal pada saat latihan, untuk
memperjelas gejala-gejala spesifik pada pasien dengan CAD,
gejala-gejala yang timbul lemah pada aktivitas sehari-hari
namun meningkat pada saat latihan, menentukan terapi anti-
iskemik, dan identifikasi aktivitas-aktivitas yang berkaitan
dengan iskemia.
b. Temuan-temuan yang mengarahkan pada kemungkinan
penyakit jantung iskemik adalah serupa dengan temuan-
temuan EKG saat berlatih. Perubahan segmen ST dan
gelombang T saat pemantauan EKG ambulatorik dapat
ditimbulkan oleh penyebab iskemik maupun non-iskemik
(lihat Tabel 79—2).
41
4. Pengujian radionuklir saat berlatih (ERT). ERT dengan
skintigrafi thalium 201 dilakukan pada puncak latihan dan empat
jam setelahnya memberikan suatu gambaran grafis dari perfusi
jaringan miokardium yang melengkapi informasi yang didapatkan
dari EKG saat berlatih. Distribusi thalium ditentukan oleh perfusi
dan ambilan selular, yang bergantung pada integritas dari pompa
natrium-kalium.
a. Indikasi. Dalam konteks diagnosis CAD, maka ERT
diindikasikan jika kelainan EKG saat istirahat seperti efek
digitalis ataupun gangguan konduksi akan mengganggu
interpretasi dari EKG saat latihan, yaitu bila EKG saat berlatih
berpola tidak diagnostik pada pasien-pasien dengan
kemungkinan CAD yang cukup tinggi, dan pada evaluasi
pasien-pasien dengan 85% dari denyut jantung maksimum
tidak dapat dicapai pada EKG latihan.
b. Kontralndikasi sama seperti untuk EKG latihan.
c. Temuan-temuan yang menunjukkan PJI antara lain
gangguan perfusi yang reversibel dan ireversibel,
pertambahan ukuran ruangan jantung, dan rasio abnormal
antara jantung dan distribusi pulmonal.
5. Uji dipiridamol-thalium. Dipiridamol intravena meningkatkan
kepekaan arteri koronaria terhadap adenosin, yang
menyebabkan penurunan resistensi koroner dan peningkatan
relatif aliran darah koroner melalui pembuluh-pembuluh yang
tidak mengalami obstruksi. Miokardium yang diperfusi oleh
pembuluh-pembuluh stenotik terlihat mengalami kekurangan
perfusi relatif pada skintigrafi thalium.
a. Indikasi termasuk pasien-pasien yang tidak dapat
menjalankan ERT bahkan untuk porsi latihan tingkat sedang.
b. Perhatian dan kontraindikasi. Dipiridamol dapat
mencetuskan iskemi & jantung dan bronkospasme, oleh
42
sebab itu pengujian perlu dilakukan dengan hati-hati pada
pasien-pasien penyakit jantung iskemik atau penderita
penyakit bronkospastik ringan hingga sedang. Tindakan ini
tidak boleh dilakukan pada pasien-pasien dengan penyakit
bronkospastik berat.
c. Temuan dan interpretasi pada pengujian ini adalah sama
seperti pada ERT.
6. Angiografi koroner
a. Indikasi. Dalam konteks diagnosis CAD, angiografi koroner
merupakan indikasi bila hasil-hasil dari pemeriksaan lainnya
tidak saling mendukung dan meragukan dan bila ada suatu
EKG istirahat yang abnormal pada orang-orang yang
bertanggung jawab terhadap keselamatan publik. Selain itu,
angiografi dipakai untuk menentukan perlu tidaknya terapi
invasif dan menentukan prognosis.
b. Kontraindikasi termasuk kandidat revaskularisasi yang
kurang baik, fasilitas uji yang tidak memadai, dan mortalitas
terkait prosedur yang melampaui perawatan standar. Dokter
pusat kesehatan primer harus memastikan bahwa fasilitas
yang dimiliki memenuhi persyaratan perawatan standar
sebelum melakukan angiografi.
Komplikasi termasuk kematian, infark miokardium,
gangguan peredaran darah otak, disritmia, ganggan vaskular
parlfer, trombosis, embolisme, perdarahan, perforasi jantung,
dan reaksi kontras. Angka mortalitas adalah 0,1—0,2%.
c. Temuan-temuan antara lain lokasi dan keparahan dari
obstruksi vaskular, luas miokardium yang mongalami
gangguan, fungsi ventrikel (tekanan pengisian ventrlkel kiri,
ukuran ruangan fraksi ejeksi, gerakan dinding), dan adanya
gangguan katup. Gangguan yang bermakna dibatasi sebagai
penyempitan lumen arteri utama kiri sebesar 50%, atau
43
penyempitan 75% pada arteri koronaria kanan, desendens
anterior kiri, sirkumfleksa, dan salah satu cabang-cabang
utamanya.
d. Angiografi koroner adalah standar emas yang dipakai untuk
membandingkan pemeriksaan yang lain. Namun, karena
penebalan dinding vaskular dan gangguan intraluminal hanya
dua dari banyak faktor penentu suplai dan kebutuhan oksigen
miokardium, maka anatomi koroner tidak selalu berkorelasi
dengan tingkat iskemia.
C. Strategi diagnostik
1. Angina pektoris yang khas atau pernah infark miokardium. Bila
seorang pasien mengeluhkan angina pektoris klasik atau
mengakui perhah mengalami infark miokardium, maka
kemungkinan CAD adalah sangat tinggi dan diagnosis seiingkali
dapat dibuat tanpa pemeriksaan tambahan. Oleh sebab
hubungan antara faktor-faktor pencetus nyeri dada bergantung
pada keseimbangan dari banyak faktor yang mempengaruhi
suplai dan kebutuhan oksigen miokardium, maka sifat dari nyeri
merupakan indikator yang lebih peka untuk angina akibat
penyakit jantung iskemik dibandingkan faktor-faktor yang
mengawali ataupun membebaskan nyeri. Probabilitas angina
pektoris meningkat dengan jumlah dan lamanya paparan
terhadap faktor-faktor risiko CAD dan IHD. Anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan EKG istirahat perlu dilakukan untuk
mendeteksi sebab-sebab IHD yang lain (misal, anemia, dan
penyakit jantung lainnya yang dapat mempengaruhi keputusan
pengobatan, misalnya blok berkas cabang kiri atau gagal
jantung kongestif). Derajat nyeri dada tidak selalu berkaitan
dengan derajat CAD Angina tak stabil harus disingkirkan dari
anamnesis sebelum diagnosis angina stabil kronik dapat
ditegakkan.
44
2. Nyeri dada atipik, ekuivalen angina, atau risiko penyakit
jantun! koroner yang jelas meninggi. Nyeri tidak khas yang
tidak tepat menggambarkan angina pektoris memberikan
probabilitas penyakit jantung iskemik kurang dari 25% pada
pasien-pasien dengar. sedikit faktor risiko. Sebaliknya, individu-
individu yang berisiko tinggi terhadap penyakit jantung iskemik
dapat saja telah mengalami penyakit tanpa nyeri dada.
Pendekatan diagnostik pada pasien-pasien ini dan pada
individu-individu yang mengalami kemungkinan ekuivalen
angina, dimulai dengan usaha mendapatkan EKG istirehat. Jika
EKG saat istirahat ini abnormal (misal, blok berkas cabang kiri)
akan menyulitkan interpretasi EKG saat berlatih, maka perlu
dilakukan EBT. Untuk pasien pasien dengan EKG istirahat
normal, maka pemeriksaan diagnostik selanjutnya berdasarkan
hasil-hasil EKG saat berlatih. Jika EKG saa berlatih negatif,
maka kemungkinan PAK adalah kecil dan life diperlukan
angiografi koroner. Namun, jika EKG saat berlatih meragukan
terdapat Indikasi ERT. Bila EKG saat berlatih positif tetapi tidak
tirnbul angina, terdapat indikasi ERT atau altematifnya yaitu
angiografi koroner. Jika EKG saat berlatih positif dan tirnbul
angina, maka kemungkinan . PAK besar dan angiografi koroner
tidak diperiukan untuk diagnosis tetapi untuk keputusan terapi.
Pada kasus-kasus yang melakukan ERT, hasil negatif membuat
kemungkinan PAK sangat kecil, sehlngga tidak perlu melakukan
angiografi koroner. Suatu pemeriksaan yang positif memberi
kemungkinan PAK dan pada kasus ini, diagnosis pasti
berlandaskan pada hasil angiografi koroner.
3. Angina varian memerlukan bukti angiografik adanya iskemia
jantung regional akibat spasme dari arteri-arteri koronaria utama
yang terjadi spontan ataupun sebagai reaksi terhadap uji
pfovokatif, seperti uji ergonovin. Perubahan-perubahan EKG
45
ditentukan oleh jaringan yang mengalami iskemia akibat
spasme dan dapat berupa episode-episode elevasi atau depresi
segmen ST dan disritmia jantung serta gangggan konduksi,
termasuk blok jantung total dan takiaritmia ventrikular. Spasme
seringkali pada daerah-daerah lesi aterosklerptik meskipun
anatomi arteri koronaria dapat saja normal.
4. Diagnosis lain. Iskemia miokardium tersembunyi adalah
iskemia yang teridentifikasi pada saat menjalani EKG saat
berlatih ataupun AEM. Iskemia tirnbul tanpa gejala saat
melakukan aktivitas harian. Iskemia tersembunyi dapat
bermanifestasi sebagai ekuivalen angina dan perlu dicurigai
pada pasien-pasien yang memperlihatkan hipertrofi ventrikel
kiri, gangguan konduksi intraventrikular, kelainan segmen ST
dan gelonibang T yang tidak spesifik, atau pada individu-
individu asimtomatik risiko tinggi dengan EKG saat berlatih
positif namun tidak pemah mengalami angina. Dua puluh lima
persen pasien dengan angina stabil kronik dan EKG saat
beriatih positif memperlihatkan depresi ST pada AEM, dan 75%
dari episode ini tirnbul tanpa gejala.
Jika dicungai adanya penyakit jantung iskemik, maka pengujian
spesifik lebih diarijurkan dibandingkan percobaan terapi untuk
menegakkan diagnosis. Hilangnya nyeri epigastrium atau
substernal oleh pemberian antasid tidak menyingkhkan
diagnosis angina pektoris, demikian pula halnya respons
terhadap nitrpglfserin tidak dapat menyingkirkan nyeri dada non-
iskemik.
V. Pengobatan ditujukan untuk meningkatkan suplai oksigen miokardium
dan mengurarigi kebutuhan oksigen dengan manipulasi faktor-faktor
yang dibicarakan pada bagian Patofisiologi (lihat hal. 560). Pasien-
pasien dengan angina tak stabil perlu dirawat dt rumah sakit dan
diiangani sepeiti pasien dalarn ancaman infark miokardium, karena
46
angina seperti itu berkaitan dengan risiko infark miokardium yang
bermakna.
A. Farmakoterapi. Dosis obat, frekuensi dan efek samping diberikan
daiam Tabel 79—3. Pada umumnya, nltrat, antagonis reseptor
beta, dan sebagian penghambat saluran kalsium efektif dalam
penatalaksan-aan iskemia akibat peningkatan kebutuhan oksigen
(serangan terjadi hanya pada saat melakukan latihan fisik),
sementara nitrat dosis tinggi dan sebagian penghambat kalsium
efektif pada iskemia akibat penurunan suplai oksigen miokardium
(serangan terjadi saat melakukan aktivitas biasa, atau serangan
tahpa adanya peningkatan denyut jantung sebagal faktor pen-
cetus, serangan yang memanjang, dan recurensl yang sering).
Aktivitas mental, paparan dingin, ataupun merokok menyebabkan
penurunan suplai dan peningkatan kebutuhan.
Pilihan obat tunggal adalah berdasarkan pertimbangan pola
angina, kejadian pencetus, efek samping dan koeksistensi dari
penyakit jantung \ atau non-jantung lainnya. Karena efek samplng
meningkat dengan pertambah'an jumlah obat yang diberlkan, maka
agen-agen farmakologis perlu diseleksi dengan seksama guna
menekan jumlah Obat yang diberikan namun tetap mencapai
respons terapi yang.memadal.
1. Nitrat
a. Pemilihan (lihat Tabel 79—3). Pengobatan harus dimulai
dengan dosis kecil agar pasien dapat mentolerir efek
samping. Karena Ipreparat nitrogliserin dan isosorbid dinitrat
atau tetranitrat yang kerja panjang dan sedang memiliki
insidens efek samping yang paling rendah, maka obat-obat
ini merupakan obat baris pertama dalam penatalaksanaan
jangka panjang pada angina kronik stabii. Nitrat bersama
penghambat saluran kalsium merupakan obat terpilih pada
pengobatan iskemia miokardium tersembunyi. Pemberian
47
ObatCara
pemberianDosis Komentar
NITRAT Nitro-gliserin
Sublingual 0,15-0,6 mg prn
Mengatasi gejala dalam 30 detik hingga 30 menit. Dosis penuh lazim adalah 0,3-0,6 mg. efektif pada serangan angina akut
Semprotan lingual
1-2 dosis disemprotkan di atas atau di bawah lidah
0,4 mg/inhaler dosis terukur. Waktu simpan yang lebih panjang dibandingkan tablet
Bukal 1-2 mg prn atau tiap 8 jam
Pelepasan konstan. Memerlukan pengajaran mengenai bagaimana menempatkan obat secara bukal, namun dapat ditoleransi baik oleh kebanyakan pasien
Oral, lepas lambat
2,5-13 mg tiap 6 jamm
Awitan 60 menit. Dosis lazim 6,5 mg tid
Perkutan 1-4 inci salep 2 % di atas daerah 6x6 inci yang dtutup dengan balutan non absorben
Awitan 15 menit. Mengandung 15 mg/inci. Peningkatan adalah ½ inci. Peningkatan luas daerah akan meningkatkan kadar darah. Penghentian obat perlu dilakukan penurunan bertahap. Jangan digosokkan ke dalam kulit. Kertas lilin dapat dimanfaatkan sebagai penutup
Trans dermal
2,5-15 mg tiap 24 jam
Awitan 30 menit. Kadar terapeutik plasma 30-60 menit setelah pengolesan dan bertahan selama 30 menit setelah pengangkatan patch. Kecepatan pelepasan bergantung pada merek dagang
Isosorbid dinitrat
Sublingual oral
2,5-10 mg tiap 3-4 jam
Awitan 2-5 menit
Oral, lepas lambat
10-40 mg tiap 8-12 jam atau qhs
Awitan 15-30 menit. Terjadinya toleransi pada dosis tinggi akan lebih rendah jika digunakan kurang dari 2-3 kali sehari
Eritritil tetra-nitrat
sublingual 5 mg prn Awitan 60 menit
Antagonis adrenergik beta
Atenolol oral 50-200 mg tiap 24 jam
Selektivitas B1 rendah, solubilitas lemak rendah. Penyesuaian dosis pada gagal ginjal
metoprolol Oral Selektivitas B1 rendah, solubilitas lemak sedang. Kardioselektivitas hilang pada dosis di atas 100mg/hari
Asebutolol Oral Selektif b1. Aktivitas simptamomimetik intrinsic sedangNadolol Oral Tidak selektif, solubilitas lemak rendah. Penyesuaian dosis
pada gagal ginjalPindolol Oral Tidak selektif., solubilitas lemak sedang, aktivitas
simptamomimetik intrinsik nyata
48
Propranolol
Oral Tidak selektif, solubilitas lemak rendah. Waktu paruh meningkat pada sirosis. Pemberian dosis tiap 12 jam dengan dosis total yang sama dapat memperlihatkan efektifitas yang ekuivalen
Oral, kerja panjang
Tidak selektif, solubilitas lemak tinggi
Timolol oral Tidak selektif, solubilitas lemak sedangLabetalol Oral Tidak selektif, aktivitas penghambat alfa dan beta
Penghambat saluran kalsiumNifedipin Oral, lepas
lambat30-90mg tiap 24 jam
oral 10-20 mg tiap 8 jam
Vasodilatasi sedang. Tidak ada efek terhadap system simpatis ataupun konduksi atrioventrikular. Dipakai pada pengobatan serangan angina akut, memperbaiki hemodinamik. Efek samping antara lain hipotensi, palpitasi, mual, flushing, edema
Nikardipin Oral 20-40mg tiap 8 jam
Efek samping serupa dengan nifedipin. Pengalaman terbatas. Agaknya kurang menyebabkan hipotensi ortostatik dan edema. Vasoselektivitas lenih tinggi dibandingkan dengan nifedipin. Perhatian kejadian angina yang semakin sering lebih tinggi dibandingkan nifedipin
Diltiazem Oral 30-90 mg tiap 6 jam
Vasodilatasi derajat rendah. Menghambat system simpatis dan konduksi AV (moderat). Tidak mengubah hemodinamik. Efek samping antara lain hipotensi, blok AV, flushing dan amat jarang gagal ventrikel kiri
verapamil Oral 80-160mg tiap 8 jam
Vasodilatasi sedang. Hambat reflex simpatik derajat rendah. Efek terhadap konduksi AV nyata. Efek samping termasuk blok AV, konstipasi, nausea, mual, flushing, gagal ventrikel kiri, peningkatan waktu paruh pada sliosis
transdermal dapat memperbaiki gejala, tetapi tampaknya
tidak memperbaiki toleransi latihan dan tidak memiliki
kelebihan dibandingkan cara pemberian lain.
Perkembangan toleransi tidak lazim pada pemberian
nitrogliserin sublingual "seperti yang diperlukan", tapi dapat
terjadi pada kadar nitrogliserin plasma yang tinggi terus
menerus, misalnya pada terapi peroral atau transdermal.
Karena adanya toleransi silang, maka tidak ada gunanya
untuk mencoba nitrat yang lain bila telah timbul toleransi
terhadap suatu nitrat. Suatu interval bebas nitrat malam hari
49
selama 10—12 jam dapat memulihkan kepekaan terhadi
nitrat. Oleh sebab perkembangan ketergantungan nitrat pada
terapi jangka panjang, maka penghentian obat-obat kerja
panjang perlu pemantauan ketat.
i. Kontraindikasi. Kontraindikasi absoiut termasuk
hipersensitivit terhadap nitrat, hipotensi, dan hipovolemia.
Kontraindikasi rel| termasuk kardiomiopati obstruktif
hipeiirofik, kor pulmonale, d hipoksemia arterial. Nitrat
harus digunakan dengan berhati-hati af dihindaii pada
pasien-pasien dengan nyeri kepala berulang krori
terutama yang bersifat vaskular.
ii. Efek samping. Efek samping antara lain hipotensi
postural, reflex takikardia, nyeri kepala, semu merah
pada wajah, bradikardi (jarang), iskemia serebral
(jarang), dan semakin hebatnya edema perifer (kadang-
kadang). Methemoglobinemia dapat terjadi pada
pemakaian dosis tinggi jangka panjang. Preparat kulit
dapat menyebabkan dermatitis kontak.
iii. Interaksi obat. Alkohol dapat meningkatkan efek
hipotensi I nitrat, demikian juga obat-obat lain yang
menyebabkan vasodilatasi
2. Antagonis adrenergik beta
a. Pemilihan (lihat Tabel 79—3). Karena efek terapi dari obat-oba'
adalah serupa, maka pilihan terapi dilakukan menurut lama
kerja, kebutuhan akan kardioselektivitas, dan profil efek
samping
Peningkatan dosis meninggikan efek antiangina, meskipun
tidak lebih jauh menurunkan denyut jantung. Bila menghentikan
pemberian penghambat beta ataupun pengalihan terapi pada
nitrat ataupun penghambat saluran kalsium, maka dosis obat-
obat penghambat beta perlu diturunkan bertahap guna
50
menghindari peningkatan aktivitas adrenergik beta yang dapat
berakibat iskemia miokardium, disritmia, dan kematian
mendadak. Obat-obat penghambat beta in-travena seperti
esmolol, dapat digunakan pada pasien-pasien yang mendapat
penghambat beta jangka panjang yang untuk sementara tidak
dapat melanjutkan pengobatan oral. Waktu paruh biologis untuk
semua obat golongan ini lebih panjang dibandingkan waktu
paruh plasma, sehingga pemberian dosis yang lebih sering
daripada yang ditunjukkan oleh waktu paruh plasma mungkin
efektif.
(1). Kardioselektivitas. Obat-obat non-selektif dapat mence-
tuskan spasme arteri koronaria terutama pada pasien-
pasien yang memiliki komponen vasospastik dari penyakit
jantung iskemik, seperti yang terjadi pada angina varian.
Pada dosis rendah, obat-obat selektif β1 sangat kecil
kemungkinannya menyebabkan bronkokonstriksi dan
konstriksi arteri perifer. Pada pasien-pasien dengan asma
ringan atau bronkospasme, hambatan selektif pada β1 dapat
dilakukan dengan penambahan suatu stimulan β2 per
inhalasi.
Jika gejala-gejala angina menjadi lebih buruk pada pasien
yang mendapat suatu antagonis adrenergik beta non
selektif, pasien dapat dialihkan ke obat yang selektif β1
antagonis alfa atau beta, nitrat, atau suatu penghambat
saluran kalsium. Gejala-gejala angina akan menjadi lebih
berat pada pasien-pasien dengan penyakit arteri koronaria
yang menetap dan mendapat nifedipin, yaitu akibat
fenomena "coronary steal."
(2). Aktivitas simpatomimetik intrinsik (ISA). Obat-obat dengan
ISA dapat menyebabkan kurang bradikardia. Namun, obat-
obat ini kurang efektif dibandingkan atenolol—suatu obat
51
selektif β1 dalam mengurangi jumlah serangan iskemia.
Selain itu, gejala-gejala juga dapat bertambah buruk pada
pasien-pasien dengan angina saat istirahat ataupun angina
malam hari dengan tonus simpatis basal sedemikian rendah
sehingga efek agonistik dari obat-obat ISA dapat
mendominasi.
b. Kontraindikasi. Kontraindikasi absolut termasuk asma atau
bronkospasme yang berat, bradikardia simtomatik, curah
jantung rendah, gagal ventrikel kirl, blok jantung derajat tinggi,
depresi berat, perburukan dari klaudikasio intermiten, nekrosis
kulit, dan gangren. Kontraindikasi relatif antara lain asma ringan,
bronkospasme atau penyakit jalan napas kronik, gagal jantung
terkontrol, angina varian, dosis tinggi dari depresan konduksi
jantung, fenomena Raynaud, penyakit vaskular perifer, diabetes
melitus, gagal ginjal, dan kehamilan. Prosedur ini sebaiknya
tidak dilakukan pada pasien-pssien dengan infark miokardium
akut tanpa pemantauan.
c. Efek samping. Termasuk lethargi, kelemahan, mimpi buruk,
nyeri kepala: depresi, halusinasi, mual, diare, potensiasi dan
tersamamya hipoglikemia, bronkospasme, dispnea saat
berlatih, bradikardia, hipotensf postural, gagal jantung
kongestif, konstriksi vaskular perifer, impotensi, klaudikasio,
dan ratensl garam.
3. Penghambat saluran kalsium
a. Seleksi (lihat Tabel 79—3). Semua penghambat saluran
kalsium efektif untuk pengobatan iskemia miokardium.
Semua obat golongan ini meningkatkan perfusi koroner dan
mengurangi afterload. Pilihan obat adalah
berdasarkahpertimbangan profil efek samping, interaksi
obat, dan efek-efeknya terhadap penyakit penyerta.
Penghambat saluran kalsium adalah pilihan pertama
52
sementara nitrat dosis tinggi menjadi pilihan kedua pada
pengobatan angina varian akibat spasme arteri koronaria.
Individu-individu dengan sindrom X seringkali juga
berespons terhadap obat-obat ini. Penghambat saluran
kalsium, bersama nitrat juga menjadi obat terpilih pada
pengobatan iskemia miokardium tersembunyi.
b. Kontraindikasi terhadap pemakaian verapamil dan
diltiazem termasuk sindrom sinus sakit, gangguan konduksi
atrioventrikular (AV), gagal jantung, hipotensi, keracunan
digitalis dengan blok AV, dan bradikardia sinus. Nifedipin
dikontraindikasikan pada hipotensi.
c. Efek samping. Profil efek samping bergantung pada
obat:obat spesifik seperti yang diberikan pada Tabel 79-3. Nyeri
kepala; semu merah, edema perifer dependen (tanpa penyakit
jantung koroner), gamang, mual dan konstipasi dapat terjadi
dengan semua obat-obat ini. Iskemia dapat menjadi lebih buruk
akibat refieks peringkatan denyut jantung dan kontraktilitas,
serta oleh penambahan aliran darah melalui arteri koronaria
normal, atau penurunan aliran melalui arteri yang stenotik, atau
yang dikenal sebagai "pencurian koroner." Pasien-pasien lanjut
usia tampaknya tidak lebih rentan terhadap efek-efek
farmakologis yang tidak diinginkan dari obat-obat ini.
d. Interaksi obat. Nifedipin dan verapamil dapat menaikkan kadar
digitalis. Diltiazem dan nifedipin menimbulkan efek hipotensi
bahan kon-tras intravena radiografi. Simetidin menurunkan
klirens semua obat
4. Aspirin (asam asetosalisilat). Aspirin mengurangi insidens infark
'miokardium dan kematian mendadak pada pasien dengan angina
tak stabil dan pasca infark miokardium, tetapi tampaknya tidak
mencegah iskemia tersembunyi. Dosis adalah 75-324 mg per hari.
Secara teoritis, aspirin dapat mengurangi vasospasme dengan
53
mempengaruhi agregasi trombosit dan reaktivitas vaskular yang
dipengaruhi oleh trombosit.
5. Agen-agen farmakologik lainnya. Sedatif, penenang, dan
antidepre-san boleh dipertimbangkan jika ansietas dan depresi jelas
menyertai gejala-gejala ataupun kejadian iskemik. Antidepresan
perlu diberikan dengan berhati-hati karena efeknya terhadap
konduktivitas miokardium.
B. Terapi invasif. Indikasi untuk bedah pintas termasuk angina refrakter;
penyakit arteri koronaria cabang utama kiri, penyakit tiga pembuluh
dengan penurunan fungsi ventrikel kiri. Angioplasti koroner
transluminal perkutan (PTCA) diindikasikan pada lesi koroner
proksimal non-kalsifikasi dan kini semakin sering dilakukan pada
penyakit dua atau tiga pembuluh.
1. Cangkok pintas arteri koronaria {coronary artery bypass graf =
CABG)
a. Efek. CABG memperbaiki kelangsungan hidup pasien-pasiert
dengan penyakit arteri koronaria pada cabang utama kiri atau
pada! tiga pembuluh dan dengan penurunan fungsi ventrikel kiri.
Pengobatan ini serupa dengan penatalaksanaan medis pada
angina stabil akibat penyakit tiga pembuluh tanpa adanya gagal
ventrikel kiri. CABG tidak terbukti bermanfaat pada angina tak
stabil ataupun pada penyakit pembuluh kecil seperti yang
dialami penderita diabetes melitus. Cangkokan dapat menutup
pada 10—15% kasus pada , tahun pertama dan sesudahnya
pada satu hingga dua persen ka-sus per tahun
b. Pemilihan pasien. Faktor-faktor yang mempengaruhi pilihan
pengobatan antara lain frekuensi dan beratnya iskemia, ketidak-
mampuan menjalankan pengobatan medis, luas dan distribusi
lesi, luasnya miokardium yang berisiko, serta gaya hidup dan
kualltas hidup.
2. Angioplasti koroner transluminal perkutan (PTCA)
54
a. Efek. Kelebihan PTCA dibandingkan CABG adalah tanpa
anes-tesia umum dan torakbtomi dan biaya yang lebih rendah.
Baik PTCA rnaupun CABG memberikah hasil yang sama untuk
kelangsungan hidup jika berhasil mencapai patensi.
Komplikasi antara lain diseksi, oklusi, infark, spasme, disritmia,
infark miokardium, infeksi, dan perdarahan. Mortalitas kurang
dari satu persen .dan morbiditas 5—10%. Dengan demikian,
semua pasien yang dipertimbangkan untuk PTCA seharusnya
juga dapat menjadi kandidat untuk CABG. Patensi yang
berhasU dapat dicapai pada 80—90% pembuluh. Restenosis
terjadi paaa 20% kasus, tetapi 90% dari pembuluh ini dapat
berhasil dire-dilatasi.
b. Pemilihan pasien. Faktor-faktor seleksi adalah sama seperti
pada CABG. Pasien-pasien yang bukan kandidat CABG dapat
saja cocok untuk PTCA.
VI. Strategi Penatalaksanaan
A. Farmakoterapi kombinasi
1. Antagonis adrenergik beta dan nitrat. Penghambat beta
akan mengumpulkan refieks takikardia yang ditimbulkan nitrat,
sement&ra penurunan preload oleh nitrat merangsang
kecenderungan penghambat beta untuk meningkatkan tekanan
akhir diastolik dan volume ventrikel.
2. Penghambat saluran kalsium dan nitrat. Penghambat
saluran kalsium dapat ditambahkan pada nitrat. Namun karena
nitrat dan nifedipin memiliki profil efek samping yang sama,
maka pada kombinasi bersama nitrat lebih baik menggunakan
diltiazem atau verapamil.
3. Penghambat adrenergik beta dan penghambat saluran
kalsium. Penghambat beta dapat menumpulkan refieks
takikardia yang ditimbulkan nifedipin, sehingga bermanfaat bila
55
diberikan bersama. Penghambat beta, verapamil, dan
diltiazem, semuanya memiliki efek inotropik dan kronotropik
negatif dan sebaiknya digunakan dengan berhati-hati bila
dikombinasi.
B. Penyuluhan pasien. Pasien perlu diberitahu tentang dosis,
frekuensi, efek samping, dan indikasi suatu terapi yang berhasil,
dan pada kebanyakan kasus perlunya penurunan dosis bertahap
sebelum penghentian pengobatan. Semua preparat lepas lambat
perlu ditelan ututi, jangan digerus atau dikunyah.
C. Modifikasi faktor risiko harus dipusatkan pada faktor-faktor yang
meningkatkan kebutuhan oksigen miokardium dan faktor-faktor
yang berkaitah dengan perltembangan penyakit. Kebutuhan
oksigen miokardium dapat diturunkan dengan berhenti merokok,
pengobatan hipertensi, optimasi berat badan, dan modifikasi
perilaku tipe A. Suplai oksigen miokardium dapat ditingkatkan
dengan berhenti merokok dan perubahan perilaku. Berhenti
merokok saja dapat mengurangl risiko infark yang fatal, kematian
mendadak, dan mortalitas total sebesar 20—50% pada pasien-
pasien dengan penyakit arteri koronaria. Terapi perubahan
perilaku dapat mengurangi perilaku Tipe A dan telah dikaitkan
dengan berkurangnya rekurensi infark miokardium. Perkembangan
penyakit diperlambat dengan optimisasi semua faktor risiko,
terutama merokok, tekanan darah, lemak darah, dan diabetes
melitus. Latihan fisik mungkin tidak memperbaiki kolateral koroner,
meningkatkan suplai oksigen miokardium, ataupun mengurangi
mortalitas, koroner dan angka re-infarksi, tetapi mampu
meningkatkan kapasitas kerja, mengurangi denyut jantung.
mengurangi produk frekuensi-tekanan, mengurangi depresi,
memperbaiki kepercayaan diri, dan baik dalam modifikasi berat
badan, kolesterol HDL, dan kepekaan insulin. .
56
D. Tindak lanjut dan rujukan. Pasien-pasien perlu sering
ditindaklanjuti selarna awal pengobatan, dan setidak-tidaknya
setiap enam bulan pada terapi rumatan, dan kembali menjadi lebih
sering bila iskemia memburuk. Pada tiap kunjungan, derajat dan
pola gejala, kepatuhan pada pengobatan, timbulnya efek samping,
denyut jantung, tekanan darah, dan pemeriksaan jantung paru
perlu dilakukan. Faktor-faktor risiko dibuat lebih optimal. Respons
pengobatan dapat dilihat dari perbaikan toleransi latihan baik
secara 1 subjektif, maupun melalui uji latihan, perbaikan faktor-
faktor yang berkaitanl dengan peningkatan kebutuhan oksigen
ataupun penurunan suplai (misal, penurunan denyut jantung dan
tekanan darah), perbaikan gejala-gejala, * peningkatan status
fungsional New York Heart Association, dan perbaikan kualitas
hidup. Pasien-pasien dengan angina yang refrakter terhadaps
penanganan medis, dan mereka yang mempunyai indikasi untuk
CABS atau PTCA harus dirujuk.
VII. Perjalanan penyakit dan prognosis. Faktor-faktor yang
mempengaruh, prognosis diperlihatkan dalam Tabel 79—4.
Kebanyakan pasien hanya; memerlukan EKG saat latihan untuk
menilai variabel-variabel prognostikV Lamanya latihan yang dilakukan
memiliki signifikansi prognostik yang lebih besaf dibandingkan derajat
perubahan segmen ST yang timbul. Kepentingan prognostik dari
iskemia tersembunyi semata tidak jelas. Angka mortalitas keseluruhan
pada pasien dengan angina pektoris adaiah empat persen setahun;
angka ini sekitar dua persen setahun pada kasus angina ringan akibat
penyakit dua pembuluh dengan fungsi ventrikel kiri normal, dan 4,5%
per tahun pada | kasus-kasus dengan penyakit tiga pembuluh.
57