58
DAFTAR ISI BAB I PENDAHULUAN................................................3 A. Latar Belakang..............................................3 B. Rumusan Masalah.............................................4 C. Tujuan......................................................4 D. Metode......................................................4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA..........................................5 A. Hutan Mangrove..............................................5 B. Luas, Sebaran dan Kondisi Mangrove..........................7 C. Peranan, Fungsi dan Manfaat Kawasan Hutan Mangrove..........8 D. Peran Ekosistem Mangrove....................................9 BAB III KONDISI UMUM MUARA ANGKE................................13 A. Sejarah Kawasan Mangrove Muara Angke Jakarta...............13 B. Kondisi Fisik dan Keanekaragaman Hayati....................18 1. Letak dan Batas Geografis................................18 2. Pemanfaatan Lahan........................................18 3. Suaka Margasatwa Muara Angke.............................19 4. Hutan Lindung Angke Kapuk................................20 5. Kondisi Mangrove Pesisir Muara Angke.....................22 6. Kondisi Sosial, Ekonomi, dan Budaya......................22 7. Penduduk.................................................24 BAB IV PEMBAHASAN...............................................26 A. Kebijakan Terkait Pengelolaan Hutan Mangrove...............26 B. Analisis Kebijakan Rencana Tata Ruang Wilayah DKI Jakarta. .29 C. Upaya Perlindungan Kawasan Mangrove dan Pantai Muara Angke. 31 D. Kelembagaan Pengelolaan Mangrove Muara Angke...............33 E. Strategi Pengelolaan Kawasan Mangrove Muara Angke..........34 1. Prioritas Kebijakan......................................35 Halaman | 1

Strategi Kebijakan Pengelolaan Kawasan Hutan Mangrove: Kajian di Kawasan Muara Angke

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Strategi Kebijakan Pengelolaan Kawasan Hutan Mangrove di Kawasan Muara Angke, Jakarta

Citation preview

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN3A.Latar Belakang3B.Rumusan Masalah4C.Tujuan4D.Metode4BAB II TINJAUAN PUSTAKA5A.Hutan Mangrove5B.Luas, Sebaran dan Kondisi Mangrove7C.Peranan, Fungsi dan Manfaat Kawasan Hutan Mangrove8D.Peran Ekosistem Mangrove9BAB III KONDISI UMUM MUARA ANGKE13A.Sejarah Kawasan Mangrove Muara Angke Jakarta13B.Kondisi Fisik dan Keanekaragaman Hayati181.Letak dan Batas Geografis182.Pemanfaatan Lahan183.Suaka Margasatwa Muara Angke194.Hutan Lindung Angke Kapuk205.Kondisi Mangrove Pesisir Muara Angke226.Kondisi Sosial, Ekonomi, dan Budaya227.Penduduk24BAB IV PEMBAHASAN26A.Kebijakan Terkait Pengelolaan Hutan Mangrove26B.Analisis Kebijakan Rencana Tata Ruang Wilayah DKI Jakarta29C.Upaya Perlindungan Kawasan Mangrove dan Pantai Muara Angke31D.Kelembagaan Pengelolaan Mangrove Muara Angke33E.Strategi Pengelolaan Kawasan Mangrove Muara Angke341.Prioritas Kebijakan352.Penguatan Kelembagaan Pengelolaan Mangrove Muara Angke363.Peningkatan Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolan Mangrove374.Konservasi Mangrove385.Penggunaan Teknologi Pengelolaan Kawasan Mangrove39BAB V KESIMPULAN40A.Kesimpulan40B.Saran41DAFTAR PUSTAKA42

BAB I PENDAHULUAN

1. Latar BelakangIndonesia merupakan negara kepulauan dengan jumlah pulau sekitar 17.508 pulau dan panjang pantai kurang lebih 81.000 km, memiliki sumberdaya pesisir yang sangat besar, baik hayati maupun nonhayati. Pesisir merupakan wilayah perbatasan antara daratan dan laut, oleh karena itu wilayah ini dipengaruhi oleh proses-proses yang ada di darat maupun yang ada di laut. Sebagai salah satu ekosistem pesisir, hutan mangrove merupakan ekosistem yang unik dan rawan. Ekosistem ini mempunyai fungsi ekologis dan ekonomis. Fungsi ekologis hutan mangrove antara lain: pelindung garis pantai, mencegah intrusi air laut, habitat (tempat tinggal), tempat mencari makan (feeding ground), tempat asuhan dan pembesaran (nursery ground), tempat pemijahan (spawning ground) bagi aneka biota perairan, penahan bencana tsunami, serta sebagai pengatur iklim mikro. Sedangkan fungsi ekonominya antara lain sebagai penghasil keperluan rumah tangga (arang) dan keperluan industri, dan penghasil bibit.Posisinya yang berada di pantai yang seringkali berbenturan dengan kepentingan pembangunan seperti pelabuhan, tambak, wasan wisata dan seterusnya, serta manfaat hutan mangrove bagi manusia antara lain sebagai penghasil arang dan kebutuhan lainnya menyebabkan terjadinya intervensi dan eksploitasi berlebihan terhadap mangrove dan ekosistemnya. Hal ini dapat dilihat dari adanya alih fungsi lahan (mangrove) menjadi tambak, pemukiman, industri, dan sebagainya maupun penebangan oleh masyarakat untuk berbagai tujuan keperluan.Di sisi lain perusakan terhadap hutan bakau di Indonesia masih banyak terjadi. Sebagai dampak dari rusaknya hutan bakau, maka menyebabkan rusaknya ekosistem perairan pantai, berkurangnya ikan di sekitarnya, dan mengakibatkan sulitnya masyarakat pesisir sendiri dalam memenuhi kebutuhan akan protein yang bersumber dari ikan. Selain itu, hilangnya habitat lainnya dalam rantai jaring makanan dalam ekosistem hutan bakau, terjadinya erosi pantai, dan hilangnya perlindungan pesisir dari gelombang dan kemungkinan bencana tsunami.Eksploitasi hutan bakau dan kurangnya pemahaman akan peraturan peraturan terkait hutan mangrove dan lemahnya penaatan hukum, serta kurangnya sosialisasi atas peraturan tersebut kepada para pihak terkait (stakeholders).Guna melindungi dan menjaga lingkungan ekosistem mangrove dari pencemaran, pengrusakan dan merosotnya kualitas lingkungan mutu serta demi menjamin kelestariannya sangat penting untuk dilakukan upaya penegakan hukum.1. Rumusan MasalahKajian singkat ini berusaha untuk menjawab pertanyaan tentang upaya penegakkan hukum bagi pelestarian hutan mangrove di kawasan DKI Jakarta, khususnya di Suaka Margasatwa Muara Angke.Berdasarkan kondisi dan permasalahan serta pengembangan pengelolaan kawasan lindung DKI Jakarta, maka tulisan ini berusaha mencari jawaban atas rumusan permasalahan meliputi:1. Bagaimana kondisi lingkungan ekosistem mangrove di Muara Angke?1. Bagaimana strategi kebijakan Pengelolaan Muara Angke?1. TujuanAdapun kajian singkat ini ditujukan antara lain untuk:1. Mendeskripsikan kondisi lingkungan ekosistem mangrove di Muara Angke1. Mendeskripsikan strategi kebijakan pengelolaan hutan mangrove Muara Angke1. Sebagai pemenuhan tugas mata kuliah Kebijakan Publik yang disampaikan oleh Dr. Andreo Wahyudi Atmoko, MSi.1. MetodeKajian ringkas ini diperoleh dengan menggunakan metode kajian pustaka melalui buku, jurnal, artikel, tesis dan disertasi yang terkait dengan pengelolaan mangrove secara umum dan khususnya di kawasan muara angke. Upaya observasi sebaiknya dilakukan, namun berhubung keterbatasan waktu pada penulis. Penyampaian laporan disampaikan melalui analisis desktriptif.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

1. Hutan MangroveHutan mangrove dapat diartikan sebagai suatu tipe hutan yang tumbuh di daerah pasang surut yang tergenang pada saat air pasang dan tidak tergenang pada saat air surut seperti laguna dan muara sungai dimana tumbuhannya memiliki toleransi yang tinggi terhadap kadar garam. Hutan mangrove merupakan hutan yang spesifik jika dibandingkan dengan ekosistem lainnya hal ini dikarenakan hutan mangrove memiliki vegetasi yang hampir seragam, menyukai habitat yang berlumpur dan selalu tergenang, yaitu di daerah yang berbeda dalam jangkauan pasang surut seperti muara, delta, muara sungai dan sungai-sungai berlumpur.Kata mangrove merupakan kombinasi antara bahasa Portugis mangue dan bahasa Inggris grove. Dalam bahasa Inggris kata mangrove digunakan baik untuk komonitas tumbuhan yang tumbuh di daerah pasang-surut. Sedangkan dalam bahasa Portugis kata mangrove digunakan untuk menyatakan komonitas tumbuhan yang hidup di daerah pasang surut. Tidal forest, coastal woodland, vloedbosschen dan hutan payau (bahasa melayu), hutan bakau adalah nama lain dari hutan mangrove yang sering disebut oleh masyarakat Indonesia dan Asia Tenggara.Mangrove merupakan suatu tempat yang bergerak akibat adanya pembentukan tanah lumpur dan daratan secara terus-menerus sehingga secara perlahan berubah menjadi semi daratan. Berbagai pengertian mangrove yang berbeda-beda sebenarnya memiliki arti yang sama yaitu formasi hutan daerah tropika dan subtropika yang terdapat di pantai rendah dan tenang, berlumpur serta mendapat pengaruh pasang surut air laut. Hutan mangrove juga merupakan mata rantai penting dalam pemeliharaan keseimbangan siklus biologi suatu perairan.Beberapa ahli mengemukakan definisi hutan mangrove, Soerianegara dan Indrawan (menyatakan bahwa hutan mangrove adalah hutan yang tumbuh di daerah pantai, biasanya terdapat di daerah teluk dan di muara sungai yang dicirikan oleh: (1) tidak terpengaruh iklim, (2) dipengaruhi pasang surut, (3) tanah tergenang air laut, (4) tanah rendah pantai, (5) hutan tidak mempunyai struktur tajuk, (6) jenis-jenis pohonnya biasanya terdiri atas Api-api (Avicenia spp.), Pedada (Sonneralia spp.), Bakau (Rhizopora spp.), Lacang (Bruguiera spp), Nyirih (Xylocarpus spp.), Nipah (Nypa spp.) dan lain-lain.Mangrove adalah suatu komunitas tumbuhan atau suatu individu jenis tumbuhan yang membentuk komunitas tersebut di daerah pasang surut. Ekosistem mangrove adalah suatu sistem yang terdiri atas lingkungan biotik dan abiotik yang saling berinteraksi di dalam suatu habitat mangrove.Menurut Steenis (1978), yang dimaksud dengan Mangrove adalah vegetasi hutan yang tumbuh di antara garis pasang surut. Nybakken (1988) menyatakan hutan mangrove adalah sebutan umum yang digunakan untuk menggambarkan suatu komunitas pantai tropik yang didominasi oleh beberapa spesies pohon yang khas atau semak-semak yang mempunyai kemampuan tumbuh dalam perairan asin. Menurut Snedaker (1984), hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di sepanjang garis pantai tropis sampai sub tropis yang memiliki fungsi istimewa di suatu lingkungan yang mengandung garam dan bentuk lahan berupa pantai dengan reaksi tanah an-aerob.Sedangkan menurut Aksornkoe (1993), hutan mangrove adalah tumbuhan halofit (tumbuhan yang hidup pada tempat-tempat dengan kadar garam tinggi atau bersifat alkalin) yang hidup disepanjang areal pantai yang dipengaruhi oleh pasang tertinggi sampai daerah mendekati ketinggian rata-rata air laut yang tumbuh di daerah tropis dan sub-tropis. Secara ringkas hutan mangrove dapat didefinisikan sebagai suatu tipe hutan yang tumbuh di daerah pasang surut (terutama di pantai yang terlindung, laguna, muara sungai) yang tergenang pada waktu pasang dan bebas dari genangan pada saat surut yang komunitas tumbuhannya bertoleransi terhadap garam.Hutan mangrove yang tumbuh karena dipengaruhi pasang air laut ini, sering juga kita menyebutnya dengan hutan bakau yang sebenarnya kurang tepat, karena bakau, dari keluarga Rhizophora itu sendiri adalah hanya salah satu dari sekian jenis yang tumbuh di ekosistem hutan Mangrove ini. Hutan Manggrove adalah tipe hutan yang berkarakteristik unik, mengingat didaerah payau ini berpadu 4 ( empat ) unsur biologis penting yang fundamental, yaitu daratan, air, pepohonan, dan fauna.Hutan mangrove adalah hutan yang tumbuh di muara sungai, daerah pasang surut atau tepi laut. Tumbuhan manggrove bersifat unik karena merupakan gabungan dari ciri-ciri tumbuhan yang hidup di darat dan di laut. Umumnya mangrove mempunyai sistem perakaran yang menonjol yang disebut akar nafas (pneumatofor). Sistem perakaran ini merupakan suatu cara adaptasi terhadap keadaan tanah yang miskin oksigen atau bahkan anaerob. Hutan mangrove juga merupakan habitat bagi beberapa satwa liar yang diantaranya terancam punah, seperti harimau Sumatera (Panthera Tigris Sumateranensis), Bekantan (Nasalis Larvatus), Wilwo (Mycteria Cinerea), Bubut Hitam (Centropus Nigrorufus) dan Bangau Tongtong (Leptopilus Javanicus) serta tempat persinggahan bagi burung-burung. Hutan Mangrove disebut juga coastal woodland (hutan pantai) atau tidal forest (hutan surut)/hutan bakau, yang merupakan tumbuhan litoral yang karakteristiknya terdapat di wilayah tropika.1. Luas, Sebaran dan Kondisi Mangrove Hutan mangrove tumbuh di bagian hutan tropis dunia, terbentang dari utara ke selatan dari Florida (Amerika Serikat) di bagian utara ke pantai Argentina di Amerika Serikat. Hutan mangrove juga terdapat di sepanjang barat dan timur pantai Afrika dan terpencar sampai ke anak benua India hingga Ryukyu di Jepang. Labih jauh ke selatan, hutan mangrove terdapat di New Zealand dan membentuk kawasan Indo-Malaysia. Di Indonesia perkembangan hutan mangrove terjadi di daerah pantai yang terlindung dan di muara-muara sungai. Hutan mangrove tumbuh hampir di seluruh provinsi di Indonesia, dengan luas kawasan yang berbeda secara spesifik.Di Indonesia, hutan-hutan mangrove yang luas terdapat di seputar Dangkalan Sunda (Sumatera, Kalimantan bagian selatan, Jawa khususnya pantai utara dan Bali) dengan ciri perairan relatif tenang dan merupakan tempat bermuara sungai-sungai besar. Di pantai utara Jawa, hutan-hutan ini telah lama terkikis oleh kebutuhan penduduknya terhadap lahan.Di bagian timur Indonesia, di tepi Dangkalan Sahul, hutan-hutan mangrove yang masih baik terdapat di pantai barat daya Papua, terutama di sekitar Teluk Bintuni. Mangrove di Papua mencapai luas 1,3 juta ha, sekitar sepertiga dari luas hutan bakau Indonesia.Menurut Kementrian Kehutanan (2006), luas hutan mangrove Indonesia 7.804.444,80 ha dan hasil interpretasi tahun 2010 seluas 3.685.241,16 ha. Sedangkan menurut Bakosurtanal (2009), luas hutan mangrove Indonesia sekitar 3.244.018,46 ha. Perbedaan hasil pengukuran ini dikarenakan metode yang dipergunakan berbeda. Hasil pengukuran Bakosurtanal didasarkan atas perhitungan luas lahan mangrove yang bervegetasi, sedangkan hasil pengukuran Kementrian Kehutanan (2006) didasarkan atas lahan bervegetasi dan land system yang termasuk mangrove.Dalam kurun waktu enam tahun (1993 s/d 1999) total area mangrove berkurang 1,3%. Meski demikian angka ini relatif lebih kecil dibandingkan kurun 1982 1993. Berdasarkan hasil penghitungan yang dilakukan Kusmana (2010) diketahui bahwa kurun waktu 1982 1999 (11 tahun) luasan mangrove turun 11,3% (4,5 juta ha pada 1983 menjadi 3,7 juta ha pada 1993) atau 1% per tahun (Dephut, 2004). Kajian yang dilakukan USAID pun menunjukkan penurunan luasan mangrove di Indonesia. Jika sebelumnya seluas 3,7 ha pada 1993, dua tahun kemudian (1995) berkurang 1,5 juta ha (USAID, 2008). 1. Peranan, Fungsi dan Manfaat Kawasan Hutan MangroveKeterkaitan dengan potensi hutan mangrove ada beberapa fungsi dan manfaat baik yang langsung maupun tidak langsung yang dapat dirasakan oleh manusia dan Iingkungannya. 0. Fungsi fisik0. Menjaga garis pantai agar tetap stabil. 0. Melindungi pantai dan tebing sungai dan proses erosi atau abrasi. 0. Mengurangi atau menyerap tiupan angin kencang dan taut ke darat. 0. Meredam dan menahan hempasan badai tsunami. 0. Menahan sedimen secara periodik sampai terbentuk lahan baru. 0. Sebagai kawasan penyangga proses intrusi atau rembesan air laut ke darat, atau sebagai filter air asin menjadi tawar 0. Fungsi kimia1. Sebagai tempat terjadinya proses daur ulang yang menghasilkan oksigen dan menyerap karbondioksida. 1. Sebagai pengolah bahan-bahan limbah hasil pencemaran industri dan kapal-kapal di lautan. 0. Fungsi biologi 1. Merupakan penghasil bahan pelapukan (decomposer) yang merupakan sumber makanan penting bagi invertebrata kecil pemakan bahan pelapukan (detritus), yang kemudian berperan sebagai sumber makanan bagi hewan yang lebih besar1. Sebagai kawasan pemijah (spawning ground) atau asuhan (nursery ground) bagi udang, ikan, kepiting, kerang, dan sebagainya, yang setelah dewasa akan kembali ke lepas pantai1. Merupakan kawasan untuk berlindung, bersarang, serta berkembang biak bagi burung dan satwa lain1. Sebagai sumber plasma nutfah dan sumber genetika1. Sebagai habitat alami bagi berbagai jenis biota darat dan laut lainnya0. Fungsi sosial ekonomi 1. Penghasil bahan bakar; bahan, baku industri, obat-obatan, perabot rumah tangga, kosmetik, makanan, tekstil, lem, penyamak kulit dan lainnya. 1. Penghasil bibit/benih ikan, udang, kerang, kepiting, telur burung, madu, dan lainnya. 1. Sebagai kawasan wisata, konservasi, pendidikan dan penelitian. 1. Peran Ekosistem Mangrove Sumber daya ekosistem mangrove termasuk dalam sumber daya wilayah pesisir, merupakan sumber daya yang bersifat alami dan dapat terbaharui (renewable resources) yang harus dijaga keutuhan fungsi dan kelestariannya, supaya dapat menunjang pembangunan dan dapat dimanfaatkan seoptimal mungkin dengan pengeIolaan yang lestari. Selain ekosistem mangrove di wilayah pesisir terdapat juga ekosistem lain, baik yang bersifat alami (natural) maupun buatan (manmade). Ekosistem alami yaitu terumbu karang (coral reefs), padang lamun (sea grass bed), pantai pasir (sandy beach), pantai berbatu (rocky beach), formasi pescaprae, formasi barringtonia, estuaria, laguna, dan delta. Sedangkan ekosistem buatan antara lain tambak, sawah pasang surut, perkebunan, kawasan pariwisata, industri dan permukiman. Sumber daya mangrove mempunyai beberapa peran baik secara fisik, kimia, maupun biologi yang sangat menunjang pemenuhan kebutuhan hidup manusia dan berfungsi sebagai penyangga keseimbangan ekosistem di wilayah pesisir. 1. Sebagai pelindung dan Penahan Pantai Tumbuhan mangrove mempunyai sistem perakaran yang khas berupa akar tunjang, pneumatofor, dan akar lutut dapat menghambat arus air dan ombak. Perakaran tumbuhan menyebabkan kekuatan arus dan ombak menjadi lemah dan garis pantai terhindar dari pengikisan (abrasi). Bahkan dengan melemahnya arus akan menyebabkan massa lumpur yang terbawa air akan mengendap dan terjebak di antara akar-akar mangrove sehingga dapat menyebabkan garis pantai bergerak ke arah taut. Sebagai salah satu penghalang atau benteng untuk meredam gelombang tsunami, penahan pantai alami dan komunitas mangrove juga sangat dianjurkan selain dengan metode atau tahapan-tahapan lain secara terintegrasi. Rimbunan tajuk pohon mangrove juga menjadi penahan tiupan angin taut sehingga kawasan di belakang hutan pantai dapat terhindar dari kerusakan oleh angin laut yang kencang. Secara keseluruhan akan memengaruhi iklim mikro dari kawasan tersebut. 1. Sebagai Penghasil Bahan Organik Hutan mangrove merupakan mata rantai utama dalam jaringan makanan di ekosistem mangrove. Kehidupan dalam air biasanya dimulai dari fitoplankton (plankton nabati) sebagai rantai makanan yang terendah. Namun, untuk kawasan hutan mangrove agak berbeda, karena konsentrasi fitoplankton lebih sedikit dibandingkan dengan perairan laut. Hal ini karena fungsi fitoplankton telah disubstitusi oleh daun-daun pohon pantai, terutama mangrove. Daun mangrove yang gugur sebagai serasah daun akan didekomposisi oleh jasad renik yang akan menjadi zat hara atau detritus. Zat hara sangat berguna sebagai penyubur tanah dan sebagai makanan mikrofauna di hutan mangrove. Mikrofauna pemakan ditritus akan dimakan oleh ikan-ikan atau fauna yang lebih besar, dan pada akhirnya ikan-ikan yang Iebih besar akan dimakan tingkat fauna yang Iebih tinggi. Rantai makanan tersebut akan terus berputar pada ekosistem hutan mangrove asal tidak ada pemutusan terhadap unsur pada rantai makanan tersebut. 1. Sebagai Habitat Fauna Mangrove Hutan mangrove berfungsi sebagai tempat mencari makan, berlindung, berpijah, dan pembesaran bagi jenis-jenis binatang air seperti ikan dan udang serta organisme air Iainnya. Hutan mangrove juga menjadi tempat berkembang biak berbagai jenis binatang darat, seperti burung air dan kalong. Bahkan banyak burung pengembara yang datang dari daratan atau daerah Iainnya yang memanfaatkan hutan mangrove. Termasuk satwa-satwa yang dilindungi oleh pemerintah. Jenis ikan komersial yang memanfaatkan perlindungan hutan mangrove adalah ikan kakap putih (Lates calcarifer), bandeng (Chanos chanos), belanak (MugiI sp), udang windu (Penaeus monodon Fabricus), udang putih (Penaeus merguensis atau Penaeus indicus), udang galah atau udang satang (Macrobrachium rosenbergii), dan kepiting (Scylla serrata). Kondisi perairan yang tenang serta terlindung dengan berbagai macam tumbuhan dan bahan makanan menyebabkan perairan hutan mangrove menjadi tempat yang sangat baik untuk berkembang biak.

1. Sebagai Sumber Bahan Industri dan Obat-obatan Hutan mangrove sangat penting artinya terutama bagi penduduk yang menggantungkan hidupnya pada sumber daya alami ini, misalnya sebagai sumber bahan bangunan, kayu bakar (fire wood), arang (charcoal), bahan baku kertas (pulp), tatal kayu olahan (woodchips), dan lem. Kayu bakau dan mangrove pada umumnya dapat dipakai untuk tiang-tiang rumah serta perabot rumah tangga di tepi pantai. Seiring dengan perkembangan teknologi maka kayu bakau banyak digunakan sebagai bahan baku kertas dan papan buatan. Selain itu, kulit pohon Rhizophora, Bruguiera, dan Ceriops banyak mengandung tanin yang dapat digunakan sebagai bahan penyamak kulit. Kecenderungan pola hidup masyarakat kembali kepada alam (back to nature), mengakibatkan tanaman mangrove dimanfaatkan sebagai bahan obat-obatan, karena memang beberapa jenis mangrove mempunyai khasiat pengobatan untuk beberapa jenis penyakit. Tentu tidak menutup kemungkinan bahwa pemanfaatan mangrove sebagai bahan obat-obatan dapat dikembangkan dengan proses teknologi modern.1. Sebagai Kawasan Pariwisata dan Konservasi Pantai berpasir terutama pantai yang memiliki pasir putih dan butiran pasirnya halus, biasanya dijadikan kawasan pariwisata pantai karena keindahan alam dan kebersihan pantainya, seperti pantai Sanur dan Kuta di Bali, Pangandaran, Pelabuhan Ratu, dan Carita di Jawa Barat, Parang Tritis di Jawa Tengah, Kepulauan Seribu di Jakarta, Kepulauan Karimunjawa di Jepara, dan Pasir Putih di Jawa Timur; Pantai tersebut mempunyai nilai jual yang tinggi bagi pariwisata Pengelolaan ekosistem hutan mangrove di Indonesia masih mengizinkan adanya konversi mangrove, eksploitasi kayu, dan pemanfaatan jasa lainnya. Kecenderungan masyarakat dunia dari beberapa negara di dunia termasuk China dan Thailand saat ini telah melarang adanya konversi mangrove untuk kegiatan budidaya dan pembangunan Iainnya. Hal ini dilandasi akan kesadaran bahwa manfaat dan fungsi ekosistem mangrove sangat tinggi dan penting bagi sistem penyangga kehidupan. Dalam kaitannya dengan konservasi mangrove, Pemerintah Indonesia merupakan salah satu negara yang turut meratifikasi Konvensi Lahan Basah dengan terbitnya Keppres 48 tahun 1999. Dalam konvensi tersebut, ekosistem mangrove dikategorikan sebagai ekosistem lahan basah yang harus dilindungi. Oleh sebab itu, Pemerintah Indonesia mempunyai tanggung jawab untuk melakukan perlindungan terhadap ekosistem mangrove. Sesuai dengan prinsip kelestarian hutan yang. merupakan pedoman dalam mengusahakan hutan maka dalam pengusahaannya hutan mangrove harus diperhatikan segi kelestariannya. Penebangan dilakukan secara selektif terhadap pohon mangrove yang berdiameter lebih dari 10 cm, kelestarian hutan pantai merupakan salah satu aspek yang sangat penting dalam kegiatan pengusahaan hutan. Pada pengusahaan hutan mangrove juga dikenal berbagai sistem silvikultur yang mengatur pelaksanaan penebangan. Pemanfaatan sumber daya alam termasuk hutan mangrove pengusahaan fungsi ekonominya lebih menonjol daripada fungsi yang lain. Pemanfaatan hutan mangrove yang sifatnya masih tradisional biasanya cenderung masih terkendali. Karena hanya mengambil keuntungan ekonomi dari lingkungan sekitar tumbuhnya mangrove. Namun dalam perjalanan selanjutnya permanfaatan berkembang ke dalam bentuk usaha besar-besaran, baik untuk memanfaatkan kayu maupun membuka hutan untuk memfungsikan lahannya. Pengelolaan kawasan mangrove harus menggunakan paradigma baru dalam pengelolaan hutan yang berorientasi pada komponen sumber daya hutan sebagai ekosistem (forest resources management) dan menempatkan masyarakat desa hutan sebagai mitra (community based forest management).

BAB III KONDISI UMUM MUARA ANGKE

0. Sejarah Kawasan Mangrove Muara Angke JakartaHutan mangrove Muara Angke adalah bagian dari kawasan hutan mangrove (bakau) Tegal Alur-Angke Kapuk di pantai utara Jakarta yang termasuk wilayah Kecamatan Penjaringan, Kotamadya Jakarta Utara. Pada tahun 1977, Menteri Pertanian dengan Keputusan Nomor 16/Um/6/1977 tanggal 10 Juni 1977 menetapkan kembali peruntukan kawasan hutan Angke Kapuk sebagai: hutan lindung, dengan kawasan pantai sepanjang 5 km dan lebar 100 m; cagar alam Muara Angke; hutan wisata; kebun Pembibitan Kehutanan; Lapangan Dengan Tujuan Istimewa (LDTI).Pembangunan Kawasan Angke-Kapuk digagas oleh Pemerintah DKI, Jakarta sesuai arahan RUTR (Rencana Umum Tata Ruang) DKI 1965-1985, bertujuan untuk mengembangkan areal tambak dan eks-hutan Angke-Kapuk yang terbengkalai, untuk perumahan dan fungsi perkotaan lainnya. Keinginan ini mendapat tanggapan dari kelompok usaha PT. Metropolitan Kencana, sebagaimana tertuang dalam surat perusahaan tersebut kepada Direktur Jenderal Kehutanan, selaku pihak yang memiliki kewenangan legal-formal atas kawasan itu, No. 652/MK/V/81 tertanggal 22 Mei 1981.Menanggapi surat di atas, Direktur Jenderal Kehutanan dalam suratnya No. 2755/DJ/I/1981 tertanggal 27 Juli 1981 memberikan penjelasan tentang status pengelolaan kawasan dimaksud dan kemungkinan bagi PT. Metropolitan Kencana untuk berpartisipasi dalam pengembangannya. Beberapa butir penting isi surat dimaksud adalah sebagai berikut:1) Wilayah tanah hutan Angke-Kapuk seluas 1.144 ha berada di bawah pengelolaan Dinas Kehutanan DKI Jakarta (berdasarkan Piagam Kerjasama antara Pemda DKI Jakarta dengan Departemen Pertanian cq Direktorat Jenderal Kehutanan yang ditandatangani tanggal 24 Juni 1977, dan dalam rangka pelaksanaan Otonomi Daerah). Tujuan kerjasama dimaksud adalah untuk mengelola, memanfaatkan, dan membina kawasan hutan seluas 1.144 ha yang terletak di kelurahan Kapuk Muara, dan Kamal Muara; 2) Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 161/Kpts/Um/6/1977 tanggal 10 Juni 1977, ditetapkan kembali fungsi kawasan hutan Tegal Alur, Angke Kapuk, dan Cagar Alam Muara Angke, sebagai berikut:0. Sebagai hutan lindung, 5 km sepanjang pantai selebar 100 meter0. Sebagai Cagar Alam Muara Angke0. Sebagai Hutan Wisata0. Sebagai Kebun Pembibitan0. Sebagai Lapangan Dengan Tujuan Istimewa (LDTI).Selanjutnya, disebutkan pula dalam Piagam Kerjasama itu bahwa Pemda DKI Jakarta dapat bekerjasama dengan pihak lain, dalam pelaksanaan pembangunan dan pengelolaan tanah kawasan hutan tersebut di atas. Pada surat No. 842/A/K/BKD/78 tanggal 25 Mei 1978, Gubernur DKI Jakarta mengajukan permohonan kepada Presiden RI melalui Menteri Negara Penertiban Aparatur Negara (PAN), agar tanah bekas kawasan hutan Angke Kapuk secara formil dihapuskan sebagai kawasan hutan dan menyerahkan hak pengelolaannya kepada Pemda DKI Jakarta, dengan alasan:0. Pada kenyataannya, kawasan hutan di wilayah Angke Kapuk tidak lagi berfungsi (sebagai hutan)0. Peruntukannya tidak sesuai dengan RUTR DKI Jakarta (1965-1985)0. Kesulitan pemerintah dalam penyediaan tanah untuk pembangunan rumah murahMenanggapi surat di atas, Menteri Negara PAN memprakarsai pertemuan yang dihadiri oleh para Pejabat Pemda DKI, Sekretaris Menteri Negara PAN dan Direktorat Jenderal Kehutanan, dengan menghasilkan kesimpulan sebagai berikut:1. Penyelesaian masalah hutan Angke Kapuk berpegang pada Program Kerjasama antara Departemen Pertanian c.q Direktorat Jenderal Kehutanan dengan Pemda DKI Jakarta tanggal 24 Juni 1977. Untuk merealisir Program Kerjasama tersebut, akan:2. Segera disusun Feasibilitas Study (FS) oleh Pemda DKI Jakarta/Perumnas2. Diadakan pembicaraan kembali antara Departemen Pertanian, Pemda DKI Jakarta dan Perumnas, setelah ada FS, untuk menentukan langkah-langkah selanjutnya2. Membalas surat Dirjen Kehutanan No.2755/DJ/I/1981, Pemrakarsa dengan surat No.929/MK/VII/81 tanggal 28 Juli 1981 menyampaikan antara lain tidak perlu dirubahnya 25 ha Cagar Alam, 100 ha Hutan Wisata dan 50 ha Perumahan Nelayan. Sedangkan sisa lahan (dari 1.150 ha), akan dimanfaatkan untuk berbagai fungsi perkotaan (hunian, komersial, prasarana/sarana, dll)

1. Menanggapi usulan di atas, Dirjen Kehutanan pada suratnya No.26/DJ/I/1982 tanggal 5 Januari 1982 menyampaikan bahwa, Pemrakarsa dinilai mampu melaksanakan proyek Pengembangan Kawasan Hutan Angke Kapuk dan diminta dapat bekerjasama dengan Pemda DKI Jakarta1. Melalui suratnya No.352/MK/III/82 tanggal 17 Maret 1982, Pemrakarsa mengajukan kerjasama dengan Pemda DKI. Selanjutnya wakil Gubernur Bidang I, atas nama Gubernur DKI, melalui surat No.04280/VI/1982 tanggal 19 Juni 1982 menyampaikan persetujuan kerjasama dengan Pemrakarsa1. Menindaklanjuti berbagai kesepakatan atau persetujuan prinsip yang telah dicapai, kemudian disusun atau ditandatangani:1. Perjanjian tukar-menukar sebagian tanah kawasan Hutan Angke-Kapuk di Wilayah DKI Jakarta, antara Menteri Kehutanan RI dengan Direktur/Komisaris PT. Mandara Permai (subsider PT. Metropolitan Kencana Group), ditandatangani di Jakarta tanggal 14 Juni 1984. Isi perjanjian ini antara lain: pengaturan perbandingan luas dan lokasi lahan pengganti (DKI Jakarta atau di Bogor, Tangerang, dan Bekasi yang disetujui oleh Pihak Menteri Kehutanan RI)1. Perjanjian kerjasama pembangunan pengembangan tanah Kawasan Hutan Angke-Kapuk di DKI Jakarta. Isi dari perjanjian tersebut antara lain:1. Peruntukan lahan: 50% dari luas kawasan hutan (581,24 ha) dapat dikembangkan1. Kewajiban pihak PT. Mandara Permai untuk membayar biaya penyediaan prasarana (sebagai presentase dari luas yang akan dikembangkan 831,63 ha) yang menghubungkan kawasan dengan areal luarnya, sementara biaya pembangunan prasarana di dalam tapak, seluruhnya menjadi beban dan tanggung jawab pihak PT. Mandara Permai1. Berita acara serah terima penyerahan biaya prasarana sebagaimana diatur dalam butir 21. Berita acara serah terima tukar/menukar sebagian tanah kawasan Angke-Kapuk dan tanah penggantinya, dalam berita acara ini antara lain disebutkan:0. Dua bidang tanah (luas seluruhnya 39 ha), terletak di Pulau Penjaliran Barat dan Pulau Penjaliran Timur, Kecamatan Kepulauan Seribu, Jakarta Utara0. Tiga bidang tanah (luas 75 ha) terletak di Kampung Sawah dan Cipinang, Desa Rumpin, Kecamatan Rumping, Kabupaten Bogor, Jawa Barat0. Satu bidang tanah (luas 350 ha), terletak di Kecamatan Nagrek, Kabupaten Sukabumi Jawa Barat0. Sepuluh bidang tanah (luas 1.190 ha), terletak di Kecamatan Sukanagara dan Campaka, Kabupaten Cianjur Jawa Barat.0. Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 097/Kpts-II/88 tanggal 29 Februari 1988 tentang Pelepasan Kawasan Hutan Angke-Kapuk seluas 831,63 ha di DKI Jakarta0. Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 463/Kpts-II/88 tanggal 24 September 1988 tentang Pelepasan Kawasan Hutan Angke-Kapuk seluas yang dipergunakan untuk perkampungan nelayan dan pendaratan ikan di Delta Muara Angke seluas 56 ha dan penunjukan areal tambak perikanan aset Pemda DKI Jakarta seluas 52 ha sebagai Kawasan Hutan. Selanjutnya kedua areal di atas akan dimanfaatkan dan dikembangkan oleh PT. Mandara Permai. Berkaitan dengan adanya pembangunan permukiman di kawasan ini, maka pada tahun 1984 Departemen Kehutanan melakukan pengukuran dan pemancangan batas ulang yang antara lain menghasilkan kawasan hutan yang tetap dikuasai oleh Pemerintah, yaitu seluas 322,6 ha terdiri atas:0. Hutan Lindung: 49,25 ha0. Cagar Alam Muara Angke: 21,45 ha0. Hutan Wisata: 91,45 ha0. Kebun Pembibitan Kehutanan: 10,47 ha0. Cengkareng Drain: 29,05 ha0. Jalur Transmisi PLN: 29,90 ha0. Jalan Tol dan Jalur Hijau: 91,37 haHasil pengukuran dan penataan batas ulang tersebut kemudian ditetapkan dengan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 097/Kpts-II/1988 tanggal 29 Februari 1988 yang menetapkan bahwa kawasan hutan yang dipertahankan adalah seluas 335,50 ha terdiri atas:0. Hutan Lindung: 50,80 ha0. Cagar Alam Muara Angke: 25,00 ha0. Hutan Wisata: 101,60 ha0. Kebun Pembibitan Kehutanan: 10,47 ha0. Cengkareng Drain: 28,36 ha0. Jalur Transmisi PLN: 25,90 ha0. Jalan Tol dan Jalur Hijau: 91,37 haBerdasarkan hasil tata batas di lapangan dan Berita Acara Tata Batas yang ditandatangani pada tanggal 25 Juli 1994 oleh Panitia Tata Batas yang diangkat dengan Keputusan Gubernur Kepala Daerah Ibukota Jakarta Nomor 924 tahun 1989, diketahui bahwa hutan yang dipertahankan adalah seluas 327,70 ha. Sehubungan dengan itu, Menteri Kehutanan menetapkan kembali peruntukan danfungsi kelompok Hutan Angke Kapuk sebagai:0. Hutan Lindung : 44,76 ha0. Hutan Wisata : 99,82 ha0. Cagar Alam Muara Angke : 25,02 ha0. Hutan Dengan Tujuan Istimewa (LDTI):1. Kebun Pembibitan : 10,51 ha1. Transmisi PLN : 23,07 ha1. Cengkareng Drain : 28,93 ha1. Jalan tol dan Jalur Hijau : 95,50 haDengan demikian Jumlah luas kawasan hutan 327,70 hektar (Kompas, 6 September 2012).Cagar Alam Muara Angke dikukuhkan sebagai Suaka Margasatwa berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 097/Kpts- II/98, dengan luas areal 25,02 ha. Batas kawasan hutan mangrove Muara Angke adalah di sebelah Utara berbatasan dengan Laut Jawa, sebelah Timur dengan Sungai Angke (S. Angke) dan Perkampungan Nelayan Muara Angke, sebelah Selatan dengan areal pertambakan dan Sungai Kamal, dan di sebelah Barat dengan Jalan Tol Prof.Sedyatmo dan kawasan Industri Tegal Alur.

0. Kondisi Fisik dan Keanekaragaman Hayati5. Letak dan Batas GeografisKawasan Muara Angke terletak di pantai utara Pulau Jawa dan secara geografis kawasan ini terletak di antara 60 05` - 60 10` Lintang Selatan serta antara 1060 43` -1060 48` Bujur Timur. Berdasarkan administrasi pemerintahan terletak di dalam dua kelurahan, yaitu Kelurahan Kamal Muara dan Kelurahan Kapuk Muara. Di bagian utara dibatasi Laut Jawa, bagian selatan berbatasan dengan PT. Mandara Permai, bagian Timur berbatasan dengan Sungai Angke dan perkampungan dan bagian Barat berbatasan dengan Sungai Kamal (seperti tertera pada Gambar 1).

Gambar 1: Lokasi kawasan hutan Muara Angke DKI Jakarta

(Sumber: Dinas Kelautan dan Pertanian DKI Jakarta 2011)

5. Pemanfaatan LahanPada era 1910-an, dataran Kapuk masih berupa rawa mangrove dan sebagian kecil yang dibuka untuk tambak. Sekitar 1963 wilayah tersebut dibuka secara besar-besaran untuk pertambakan dan pada 1987, sebagian besar rawa ini telah berubah menjadi area pertambakan. Mangrove hanya tersisa di Cagar Alam Angke seluas 15 ha dan di tepi Utara yang berbatasan dengan laut. Sejak awal 1982 sebagian tambak yang ada di Timur Sungai Angke mulai diurug untuk perumahan nelayan dan perumahan teratur sebagai perluasan kegiatan Badan Pengawas Pelaksanaan Pengembangan Lingkungan (BPPPL) Pluit. Sebagian mangrove yang ada di Utara delta angke mulai ditebang dan di bagian Timurnya pada 1981 telah digunakan untuk pelabuhan ikan Muara Angke.Hutan mangrove yang ada dewasa ini merupakan jalur di sepanjang pantai dari sekitar Muara Sungai Angke sampai dengan sebelah Timur sungai Kamal. Sekitar satu dekade yang lalu, di tepi Timur sungai Kamal tersebut terdapat jalur tipis mangrove, namun dewasa ini daerah sekitar sungai Kamal tererosi berat sehingga selain tambak dan mangrove tererosi, sebagian rumah penduduk desa Kamal yang terletak di tepi pantai hancur tererosi.Pada tahun 1982 bagian tengah daerah pertambakan kapuk dipotong untuk dibangun saluran (Cengkareng Drain). Pemotongan tersebut juga mengenai jalur mangrove yang ada di tepi pantai Utara tersebut. Pada 1981 juga telah dibuat kanal tempat pendaratan (pelabuhan) batu dan pasir di Desa Dadap untuk keperluan pengembangan pelabuhan udara Soekarno-Hatta dan jalan tol Prof. Soediyatmo. Hasil analisis laboratorium menunjukkan bahwa sifat fisik tanah di kawasan hutan mangrove Muara Angke mengandung 39,5%, liat 31,5%, dan pasir 29%.5. Suaka Margasatwa Muara AngkeBerbatasan dengan tanggul kawasan Pantai Indah Kapuk ke arah suaka margasatwa sebagian besar digenangi air, sehingga tumbuhan di kawasan ini merupakan vegetasi rawa yang langsung terkena pengaruh pasang surut air laut. pohon Pidada atau Bidara (Sonneratia alba) merupakan jenis yang sering dijumpai selain Api-api(Avicenia marina), Jangkar (Bruguiera sp), Api-api (Rhizopora sp), Waru laut (Thespesia populnea), Buta-buta (Ezcoecaria agallocha), Nipah (Nypa fruticans) dan Ketapang (Terminalia catapa), luas Suaka Margasatwa Muara Angke pada 2010 adalah 25,02 Ha.Suaka margasatwa Muara Angke ditetapkan sebagai kawasan hutan mangrove yang seharusnya didominasi oleh pohon, namun kondisinya saat ini merupakan lahan rawa terbuka yang didominasi oleh herba seperti Warakas (Acrostichum aureum) dan Seruni (Wedelia biflora). Salah satu keunikan ekosistem khas mangrove di kawasan Muara Angke adalah adanya tumbuhan rotan (Calamus sp) yang spesifik. Keberadaan pohon relatif sporadis. Pada lahan rawa terbuka tumbuh vegetasi bukan spesifik penghuni hutan mangrove seperti Gelagah (Saccharum spontaneum), Putri malu (Mimosa pudica), Talas lompong (Colocasia sp), dan Kangkung (Ipomoea sp). Tumbuhan di atas merupakan tumbuhan yang hidup pada kondisi bukan payau.Suaka margasatwa Muara Angke dihuni oleh burung dengan jenis yang sama dengan penghuni suaka margasatwa P. Rambut, oleh karena sebagian besar burung tersebut mencari makan di pesisir Teluk Jakarta. Macaca fascicularis yang dikenal sebagai Monyet Ancol juga menghuni kawasan ini, yang diperkirakan jumlahnya tinggal 40 ekor. Fauna liar lainnya yang dijumpai adalah kelompok reptilia, seperti Biawak (Varanus salvator), Kadal (Mabula multifasciata), ular Hijau (Dryophis prasinus)dan ular Cincin (Boiga dendrophila).Untuk mempertahankan kondisi suaka margasatwa Muara Angke sebagai ekosistem mangrove, telah diusahakan penanaman Bakau (Rhizopora mucronata) dan Api-api(Avicenia sp) yang telah berlangsung sejak bulan Agustus 1999 melalui kerjasama antara Lembaga Pengkajian Mangrove, Yayasan Kehati, Kanwil Kehutanan DKI Jakarta dan Dinas Kehutanan DKI Jakarta.5. Hutan Lindung Angke KapukKawasan hutan lindung Angke Kapuk yang mempunyai luas pada 2010 sebesar 44,76 Ha, letaknya memanjang sejajar pantai sepanjang 5 Km dengan lebar 100 meter dari garis pasang surut yang terbentang mulai dari batasan hutan wisata Kamal ke arah timur hingga suaka margasatwa Muara Angke. Dibandingkan tahun sebelumnya, tidak terdapat perubahan yang berarti sampai tahun 2010. Di dalamnya terdapat areal permukiman Pantai Indah Kapuk dengan batas sebelah Selatan adalah jalan tol Prof. Sedyatmo dan jalan Kapuk Muara. Keberadaan flora ditampilkan oleh flora khas pesisir, bakau atau mangrove, hingga keberadaannya menjadi spesifik jika dibandingkan dengan kawasan permukiman.Jenis vegetasi yang tumbuh di hutan lindung relatif terbatas, sedang tumbuhan bawah jarang terlihat oleh karena di pengaruhi pasang-surut. Tumbuhan bawah hanya terdapat pada area yang cenderung lebih ke darat. Ketebalan hutan lindung sekitar 40 meter. Vegetasi yang tumbuh di kawasan lindung relatif homogen, didominasi Api-api (Avicennia sp), sedangkan Bakau (Rhizoposa sp) hanya tumbuh di beberapa area yang sempit sehingga tumbuhan tersebut tampak sporadis. Jenis vegetasi yang ada pada tingkat pohon adalahAvicennia marina, A. officinalis, A. alba, Delonix regia, Sonneratia caseolaris, Thespesia popoulne; sedangkan Rhizopora mucronata danExcoecaria agallocha pada tingkat tiang. Pada tingkat sapihan yang menonjol adalah Avicennia marina, A. officinalis, A. alba, Rhizopora mucronata, Acasia auliculiformis dan Delonix regia.Beberapa bagian hutan lindung Angke Kapuk mengalami abrasi yang cukup kuat oleh gempuran ombak. Dalam upaya mempertahankan keberadaan hutan lindung, di beberapa bagian pantai di lakukan penanaman vegetasi bakau. Keberhasilan tumbuh vegetasi tersebut mengalami hambatan oleh gelombang laut yang cukup besar.Fauna yang terdapat di hutan lindung Angke Kapuk antara lain didominasi oleh burung pantai yang berjenis sama dengan yang terdapat di suaka margasatwa P. Rambut, yaitu Pecuk ular (Anhinga melanogaster), Kowak maling (Nycticorax nycticorax), Kuntul putih (Egretta sp), Kuntul kerbau (Bubulcus ibis), Cangak abu (Ardea cinerea), Blekok (Ardeola speciosa), Belibis (Anas gibberrfrons), Cekakak (Halycon chloris), Pecuk (Phalacrocorax sp) dan Bluwak (Mycteria cineria). Satwa lain selain jenis burung adalah Biawak(Varanus salvator), Monyet ekor panjang (Macaca fascicularis)dan beberapa jenis ular.Terletak pada permukaan tanah yang relatif datar, elevasi permukaan tanah di bagian selatan lebih tinggi kemudian menurun dengan kemiringan yang rendah ke arah utara sampai ke tepi pantai. Secara keseluruhan kawasan ini merupakan daratan empang dengan sungai-sungai kecil yang bermuara di Teluk Jakarta. Pada umumnya bagian utara dataran rendah ini merupakan hutan mangrove. Keadaan tanah di kawasan ini dapat diklasifikasikan sebagai berikut:1. Bagian utara sampai dengan Pantai Jawa, terdiri dari alluvial kelabu tua dan gley humus rendah. Batuan induk tanah ini berupa endapan tanah liat daratan pantai1. Makin rendah ke selatan terdiri dari regosol coklat yang terbentuk dari endapan vulkanik, daerah ini merupakan tanah lempung berpasir dengan topografi datar1. Bagian tenggara terdiri dari alluvial kelabu tua. Tanah hutan lindung mangrove di sebelah barat Muara Angke mempunyai persentase kandungan debu, pasir, dan bahan organik yang lebih besar dibandingkan dengan hutan mangrove di sebelah timur Muara Angke dimana tanah tersebut mempunyai kandungan unsur hara (K, Ca, Mg), logam berat (Pb, Cu) dan kapasitas tukar kation (KTK) yang lebih kecil.5. Kondisi Mangrove Pesisir Muara AngkeHutan mangrove di kawasan pesisir Muara Angke terjadi di pesisir Tegal Alur Angke Angke Kapuk dan sekitar Kepulauan Seribu. Hasil kajian dari IPB pada 2011, ekosistem mangrove di Pesisir Muara Angke sebagian dalam kondisi rusak. Kondisi ini diduga karena adanya konversi lahan menjadi kawasan perumahan, budidaya perairan, infrastruktur pelabuhan dan industi. Tingginya konversi lahan ini mengakibatkan adanya perubahan tata guna lahan dan pemanfaatan sumberdaya alam secara berlebihan. Kondisi ini menyebabkan ekosistem mangrove dengan cepat menjadi semakin rusak dan berkurang. Adanya berbagai pencemar berupa limbah cair dan padat serta sampah semakin memperburuk keadaan.Hasil kajian LPP mangrove menunjukkan bahwa kerusakan mangrove di kawasan hutan lindung Muara Angke disebabkan oleh abrasi dan pemanfaatan oleh masyarakat dengan cara menebang yang tidak disertai oleh penanaman kembali. Para penduduk sekitar kawasan melakukan penebangan hutan bagi keperluan rumah tangga, berikutnya menyebabkan abrasi. Meningkatnya permintaan akan kayu arang dan lainnya dari produksi mangrove, menyebabkan eksploitasi berlebihan terhadap hutan kawasan ini. Kegiatan signifikan lain atas rusaknya mangrove adalah pembukaan tambak-tambak untuk budidaya perairan. 5. Kondisi Sosial, Ekonomi, dan BudayaAksesibilitas terhadap kawasan konservasi yang berada di DKI Jakarta ini sangat tinggi, maka peranan sosial ekonomi masyarakat sekitar menjadi sangat penting dalam pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke. Kondisi sosial ekonomi masyarakat ini sangat mempengaruhi upaya konservasi sumberdaya alam hayati di kawasan tersebut, terutama berupa tekanan-tekanan terhadap keberadaan dan integritas sumberdaya alam (Dinas Kehutanan DKI Jakarta dan Pusat Pengkajian Keanekaragaman Hayati Tropika Lembaga Penelitian IPB 1997).Menurut data Monografi dan Laporan Tahunan Kelurahan 2010, Kelurahan Kamal Muara dengan luas wilayah 1.053 ha mempunyai jumlah penduduk sebanyak 8.960 jiwa dengan kepadatan 9,0 jiwa/ha dengan laju pertumbuhan penduduk 0,4 %. Kelurahan Kapuk Muara dengan luas wilayah 1005,5 ha mempunyai jumlah penduduk sebesar 23.522 jiwa dengan kepadatan 23 jiwa/ha dan laju pertumbuhan 10,9 %.Kedua wilayah tersebut mempunyai perbedaan komposisi mata pencaharian (basis ekonomi) yang mencolok. Kelurahan Kapuk Muara mayoritas bermata-pencaharian sebagai buruh atau karyawan swasta yaitu sebesar 15.339 jiwa atau hampir 2/3 dari jumlah penduduk di kelurahan ini. Selanjutnya, kelurahan Kamal Muara mata pencaharian terbesar adalah nelayan atau tani sebanyak 3.165 jiwa. Jumlah penduduk dengan mata-pencaharian tani atau nelayan Kapuk Muara hanya sebanyak 33 jiwa. Lapangan pekerjaan karyawan atau buruh di kedua wilayah cukup besar dibandingkan dengan mata pencaharian lainnya (Laporan Hasil Pembinaan dan Kegiatan Pemerintah Kelurahan 2010).Komposisi penganut agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa menunjukan sebagian besar beragama Islam. Kelurahan Kamal Muara dan Kapuk Muara Penjaringan mempunyai persentase pemeluk agama Islam berturut turut adalah 56 % dan 75 %. Kegiatan masyarakat yang berhubungan langsung dengan hutan lindung adalah: sebagai nelayan, pencari bibit mangrove, penyedia bibit dan penanaman mangrove, pencari ikan (mancing dan menjala), berekreasi dengan memancing, dan pemulung plastik (Laporan Hasil Pembinaan dan Kegiatan Pemerintah Kelurahan 2010).Sebagai nelayan yang mencari ikan di laut, sebagian kecil nelayan menambatkan perahu dan bertempat tinggal sementara di hutan lindung dengan membuat gubuk. Pencari ikan mencari ikan dengan memancing dan menjala atau memasang bubu di hutan lindung, sungai atau tambak di belakang hutan mangrove, sedangkan pada hari-hari libur masyarakat sekitar areal hutan lindung dengan menggunakan sepeda atau sepeda motor berekreasi sambil memancing.Kegiatan masyarakat yang berdampak langsung terhadap hutan lindung di jalur Ekowisata mangrove Tol Soediyatmo adalah pemanfaatan lahan sebagai kolam pemancingan di antara guludan-guludan mangrove. Pemanfaatan jenis ini tidak terlalu mengkawatirkan akan kelestarian mangrove. Sebaliknya, adanya intensitas peningkatan penanaman mangrove dengan metode guludan oleh pemerintah, swasta, akademisi, dan lainnya secara tidak langsung menggeser keberadaan mereka di sekitar lokasi kawasan lindung mangrove Jakarta.Kepemilikan pengguna lahan di Kelurahan Kapuk Muara adalah sebagai berikut: 23,2% (pertanian); 5,0% (industri); 53,8% (pemukiman); 3,1% (perkantoran); 0,6% (perdagangan); lain-lain sebesar 14,3%. Di Kamal Muara kepemilikan penggunaan lahan adalah sebagai berikut: 52,0% (pertanian); 43,87% (perkantoran, pemukiman, dan perdagangan); lain-lain sebesar 4,13%. Khusus di areal hutan lindung, areal yang ada saat ini berupa:1. Areal hutan yang dipadati tegakan pohon atau hutan, terutama di sekitar Cengkareng Drain dan sekitar break water PT. Mandara Permai1. Areal tambak, yaitu areal hutan lindung yang berupa parit atau kolam untuk tambak ikan dan digarap oleh masyarakat1. Tanggul-tanggul batas tambak, tanggul timbunan sampah dan tanggul pencegah abrasi.Berdasarkan fungsi, areal hutan lindung dikembangkan untuk: (1) perlindungan, (2) konservasi, dan (3) rekreasi alam, sedangkan berdasarkan areal kunjungan akan dikembangkan ruang dengan orientasi terhadap: (1) penerimaan, (2) transisi, dan (3) ekologis. Luas areal hutan lindung yang semula hanya 44,67 ha setelah dikembangkan atau diperluas diperkirakan akan menjadi 81,7 ha (Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta dan Fakultas Kehutanan IPB 2000).5. PendudukSecara administratif hutan mangrove Muara Angke termasuk wilayah Kelurahan Kapuk Muara dan Kelurahan Kamal Muara, namun Kelurahan Penjaringan, Kelurahan Tegal Alur dan Kelurahan Pluit juga berinteraksi dengan kawasan mangrove Muara Angke. Laporan Sensus Penduduk Jakarta Utara (2010) luas wilayah Kodya Jakarta Utara 146,66 km2, dengan jumlah penduduk tahun 2010 sebanyak 1.645.312 jiwa (300.970 KK) dengan rincian jumlah laki-laki 824.159 jiwa (50%) dan jumlah perempuan 821.153 jiwa (50%). Kecamatan yang paling tinggi tingkat kepadatan penduduknya adalah Kecamatan Koja sebesar 23.529 jiwa per km2 sedangkan yang paling rendah adalah Kecamatan Penjaringan sebesar 6.748 jiwa per km2.Jumlah penduduk per kecamatan tertinggi di Kecamatan Tanjung Priok sebesar 22,80% (375.131 jiwa) dan kecamatan Penjaringan sebesar 18,62% (300.434 jiwa). Tingginya tingkat kepadatan penduduk di Kodya Jakarta Utara ini dikarenakan tingkat urbanisasi yang tinggi.Dalam laporan sensus penduduk Jakarta Utara (2010) luas wilayah Kecamatan Penjaringan 35,49 km2, dengan jumlah penduduk 306.351 jiwa (152.584 jiwa laki-laki dan 153.767 jiwa perempuan), kepadatan penduduk 6.748 jiwa/km2.Penduduk yang berdekatan dengan hutan mangrove Muara Angke adalah penduduk yang tinggal di Kelurahan Pluit. Di samping itu beberapa anggota masyarakat luar juga ikut memberikan pengaruh terhadap keberadaan hutan mangrove, seperti Kelurahan Tegal Alur, Kelurahan Kamal Muara, dan Kelurahan Teluk Gong.

BAB IV PEMBAHASAN

Ketentuan pengelolaan mangrove sudah jelas tercantum dalam Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pesisir dan Kelautan. Beberapa konsep pengelolan yang ada seharusnya diterapkan untuk menjadi acuan pengelolaan mangrove sehingga potensi mangrove dalam melindungi pantai dari kerusakan dan juga memiliki fungsi konservasi pantai dapat terakomodasikan dengan baik.Sesuai dengan pedoman pengelolaan ekosistem mangrove tercantum bahwa pemerintah daerah mempunyai kewajiban dan kewenangan pengelolaan mangrove sesuai dengan kondisi dan strategi lokal serta sesuai dengan strategi nasional. Mengacu pada hal tersebut beberapa kebijakan yang sudah ada perlu adanya penyesuaian dan pengakomodasian kebijakan pengelolaan mangrove.

0. Kebijakan Terkait Pengelolaan Hutan MangroveDalam sejarahnya, kebijakan terkait pengelolaan mangrove secara signifikan dimulai dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Bersama Menteri Pertanian dan Menteri Kehutanan No. KB.555/264/Kpts/4/1984 dan Nomor 082/Kpts-II/1984, tanggal 30 April 1984. Dalam surat keputusan terebut di antaranya disebutkan bahwa lebar sabuk hijau hutan mangrove adalah 200 m. Surat Keputusan Bersama ini dibuat selain dengan tujuan utamanya untuk memberikan legitimasi terhadap perlindungan hutan mangrove, juga dibuat untuk men yelaraskan peraturan mengenai areal perlindungan hutan mangrove di antara instansi instansi yang terkait. Surat Keputusan Bersama ini lebih lanjut dijabarkan oleh Departemen Kehutanan dengan mengeluarkan Surat Edaran Nomor 507/IV-BPHH/1990 yang di antaranya berisi penentuan lebar sabuk hijau pada hutan mangrove, yaitu selebar 200 m di sepanjang pantai dan 50 m di sepanjang tepi sungai. Penentuan lebar sabuk hijau sebagaimana terseut diperkuat dengan Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung. Dalam Keppres tersebut ditetapkan bahwa perlindungan terhadap sempadan pantai dilakukan untukmelindungi wilayah pantai dari kegiatan yang menggangu kelestarian fungsi pantai, di mana kriteria sempadan pantai yang dimaksud adalah daratan sepanjang tepian yang lebarnya proporsional dengan bentuk dan kondisi pantai, minimal 100 meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat. Selain ketetapan tersebut, berdasarkan hasil kajian ekologis disarankan lebar sabuk hijau pada kawasan pantai berhutan mangrove minimal selebar 130 dikalikan nilai rata-rata perbedaan antara air pasang tertinggi dan terendah tahunan diukur dari air surut terendah ke arah darat. Misalnya pada suatu kawasan pantai berhutan mangrove, nilai rata-rata selisih antara pasang tertinggi dan surut terrendah tahunan sebesar 1,5 meter, maka lebar sabuk hijau yang harus dipertahankan (sempadan pantai) adalah 130 x 1,5 meter =195 meter. Peraturan berikutnya dikeluarkan oleh Kementerian (LH dan Kehutanan), yakni dalam bentuk Surat Keputusan Nomor 677/1999 (direvisi pada 2001 dengan SK 31/2001) yang isinya antara lain tentang koperasi masyarakat yang bisa mengontrak hutan selama 25 tahun dengan persetujuan pihak pemerintah yang berkewenangan, setelah rencana pengelolaan disepakati bersama. Dengan demikian menjadi jelas bahwa masyarakat sesungguhnya secara bersama bisa mengelola sebuah kawasan mangrove untuk tujuan meningkatkan kesejahteraan mereka. Kebijakan tertinggi terkait dengan pengelolaan mangrove diatur dalam Undang Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Di dalam undang-undang tersebut disebutkan bahwa mangrove merupakan ekosistem hutan, dan oleh karena itu, maka pemerintah bertanggungjawab dalam pengelolaan yang berasaskan manfaat dan lestari, kerakyatan, keadilan, kebersamaan, keterbukaan dan keterpaduan (Pasal 2). Landasan hukum ini sebenarnya sudah cukup kuat bagi pemerintah untuk segera bertindak menangani degradasi yang terjadi pada hutan mangrove. Demikian pula Pemerintah Indonesia telah meratifikasi Konvensi Keanekaragaman Hayati (Convention on Biological Biodivercity) melalui Undang-Undang No. 5 Tahun 1994 dengansalah satu pasalnya mensyaratkan bahwa setiap negara yang meratifikasi konvensi ini wajib membentuk/membangun sistem kawasan konservasi untuk keanekaragaman hayati (Pasal 8). Dalam pasal itu juga disebutkan bahwa setiap negara yang meratifikasi harus mengakui, menghormati, melestarikan dan memelihara pengetahuan, inovasi dan kegiatan kegiatan asli masyarakat setempat, yang terkandung di dalam kehidupan mereka yang relevan dengan upaya konservasi dan pemanfaatan keanekaragaman hayati secara lestari; mempromosikan aplikasinya secara lebih luas dan meningkatkan peranserta para pihak; serta mendorong terwujudnya kesetaraan dalam berbagi manfaat/keuntungan dari pemanfaatan kawasan konservasi. Dengan penaatan tersebut, Pemerintah Indonesia harus menggeser paradigma dalam mengelola sumber daya alam sebagai konsekuensi logis diratifikasinya Konvensi Keanekaragaman Hayati. Pergeseran paradigma tersebut antara lain meliputi hal-hal sebagai berikut. (1) Memandang kawasan yang dilindungi yang semula semata-mata sebagai kawasan perlindungan keanekaragaman hayati menjadi kawasan perlindungan keanekaragaman hayati yang mempunyai fungsi sosial-ekonomi jangka panjang yang mendukung pembangunan masyarakat secara berkelanjutan; 2. Penentuan kebijakan yang semula topdown menjadi bottom-up; (3) Pengelolaan berbasis pemerintah menjadi pengelolaan berbasis multistakeholders dan atau berbasis masyarakat lokal; (4) Pelayanan pemerintah dari birokratis normatif menjadi profesional-responsiffleksibel- netral; tata pemerintahan dari sentralistik menjadi disentralistik; serta peran pemerintah dari provider menjadi enabler dan fasilitator; (5) Beban pengelolaan yang semula ditanggung pemerintah menjadi beban bersama antara pemerintah dan penerima manfaat.Itikad baik pemerintah dalam menggeser paradigma pengelolaan hutan tampak antara lain dari dikeluarkannya Peraturan Menteri Kehutanan No. P. 19/Menhut- II/2004 tentang Kolaborasi Pengelolaan Kawasan Suaka Alam (KSA) dan Kawasan Pelestarian Alam (KPA). Dalam peraturan tersebut ditegaskan bahwa Kolaborasi Pengelolaan KSA dan KPA merupakan kegiatan atau penanganan suatu masalah dalam rangka membantu meningkatkan efektivitas pengelolaan KSA dan KPA secara bersama dan sinergis oleh para pihak atas dasar kesepahaman dan kesepakatan bersama sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku (Pasal 1). Adapun yang dimaksud dengan para pihak adalah mereka yang memiliki minat, kepedulian, atau kepentingan dengan upaya konservasi KPA dan KSA, antara lain lembaga pemerintah pusat dan lokal, masyarakat setempat, LSM, BUMN, BUMD, swasta nasional, perorangan maupun masyarakat internasional, perguruan tinggi, lembaga pendidikan, dan lembaga ilmiah. Kolaborasi pengelolaan KSA dan KPA dimaksudkan guna membantu meningkatkan efektivitas dan kemanfaatan KSA dan KPA bagi kesejahteraan masyarakat (Pasal 2); sedangkan tujuannya adalah terwujudnya visi, misi, dan langkah-langkah strategis dalam mendukung, memperkuat, dan meningkatkan penfelolaan KSA dan KPA sesuai dengan kondisi fisik, sosial, budaya, dan aspirasi setempat. Dalam melaksanakan pengelolaan kawasan mangrove perlu meletakkan perspektif atau paradigma yang nantinya akan dijadikan pijakan dalam berpikir dan bertindak. Adapun perspektif pengelolaan kolaboratif dapat dirumuskan sebagai berikut:1. Pengelolaan hutan mangrove pada tingkat lokal dengan cara-cara yang sesuai dengan cara-cara lokal. 2. Melibatkan sejumlah keputusankeputusan pemerintah yang berkenaan dengan pelibatan masyarakat lokal dalam pengelolaan hutan mangrove.3. Pengelolaan sumberdaya hutan yang melibatkan berbagai pihak yang berkepentingan dalam kawasan yang sama.4. Pengelolaan hutan mangrove yang mengkaitkan secara simultan tujuantujuan lingkungan, ekonomi, dan sosial - budaya.

0. Analisis Kebijakan Rencana Tata Ruang Wilayah DKI JakartaPemerintah DKI Jakarta telah menetapkan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) DKI Jakarta melalui Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta No. 1 Tahun 2012 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah DKI Jakarta 2030. Terkait dengan pengelolaan hutan lindung dan kawasan hutan mangrove, disebutkan pada Pasal 69 (Rencana Pola Ruang), bahwa 1. Kawasan suaka alam di wilayah DKI Jakarta meliputi:0. kawasan cagar alam di kawasan Cagar Alam Pulau Bokor;0. kawasan suaka margasatwa Pulau Rambut; dan0. kawasan suaka margasatwa Muara Angke.1. Kawasan cagar alam ditetapkan dengan ketentuan:1. memiliki keanekaragaman jenis tumbuhan, satwa, dan tipe ekosistem; atau1. memiliki formasi biota tertentu dan/atau unit penyusunnya; atau1. memiliki kondisi alam baik biota maupun fisika yang masih asli; atau1. memiliki luas dan bentuk tertentu; atau1. memiliki ciri khas.1. Kawasan Suaka margasatwa ditetapkan dengan ketentuan sebagai berikut:1. tempat hidup dan perkembangbiakan satwa yang perlu dilakukan konservasi; atau 1. memiliki keanekaragaman satwa yang tinggi; atau1. tempat dan kehidupan bagi jenis satwa migran tertentu; atau1. memiliki ciri khas berupa keragaman dan/atau keunikan1. jenis satwa untuk kelangsungan hidupnya; atau1. memiliki luas yang cukup sebagai habitat jenis satwa yang bersangkutan.1. Kawasan konservasi suaka margasatwa merupakan kawasan hutan mangrove untuk melindungi abrasi pantai.1. Pemanfaatan dan pengelolaan ruang kawasan hutan suaka alam dilaksanakan melalui:1. perlindungan keanekaragaman biota, ekosistem, dan keunikan alam bagi kepentingan plasma nutfah, ilmu pengetahuan, dan pembangunan;1. pelestarian kekhasan tumbuhan, satwa, dan ekosistem agar dapat berkembang secara alami; dan1. pemanfaatan kawasan terpilih sebagai kawasan pariwisata dan rekreasi alam.Pada pasal 70 disebutkan bahwa:1. Kawasan pelestarian alam meliputi:1. Taman Nasional Kepulauan Seribu; dan1. Taman Wisata Alam (TWA) Angke Kapuk.1. Taman Nasional ditetapkan dengan ketentuan:1. memiliki ekosistem pesisir yang lengkap berupa ekosistem pantai, ekosistem mangrove, padang lamun dan terumbu karang;1. memiliki luas yang cukup untuk menjamin kelangsungan proses ekologi secara alami;1. memiliki sumber daya alam yang khas dan unik berupa jenis tumbuhan, satwa, biota laut langka dan ekosistem, serta gejala alam yang masih utuh;1. memiliki paling sedikit satu ekosistem yang terdapat didalamnya yang secara materi atau fisik tidak boleh diubah; dan1. memiliki keadaan alam yang asli dan memiliki estetika untuk dikembangkan sebagai pariwisata alam.1. Taman wisata alam ditetapkan dengan ketentuan:1. memiliki daya tarik alam berupa tumbuhan, satwa, dan ekosistem sumber daya alam hayati;1. memiliki akses yang baik untuk keperluan pariwisata;1. memiliki luas yang cukup untuk menjamin pelestarian sumber daya alam hayati dan ekosistem untuk dimanfaatkan bagi kegiatan wisata alam; dan1. kondisi lingkungan disekitar untuk mendukung upaya pengembangan kegiatan wisata alam.1. Pemanfaatan dan pengelolaan ruang kawasan pelestarian alam dilaksanakan melalui:1. pengembangan wisata bahari dan alam tanpa mengubah bentang alam;1. pemanfaatan ruang untuk kegiatan budi daya diizinkan1. hanya untuk penduduk asli dengan luasan tetap dan terbatas, tidak mengurangi fungsi lindung dan di bawah pengawasan ketat; dan1. pelarangan pemanfaatan ruang untuk kegiatan budi daya yang berpotensi mengurangi tutup vegetasi atau terumbu karang.Dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) 2013-2017, kawasan Muara Angke bersama normalisasi Kali Pesanggrahan dan Kali Sunter, diarahkan sebagai sistem tata air yang optimal dalam mendukung upaya pengendalian banjir, banjir rob dan dampak perubahan iklim lainnya, melalui pengembangan sistem tata air terpadu.0. Upaya Perlindungan Kawasan Mangrove dan Pantai Muara AngkePerambahan dan perombakan kawasan mangrove oleh masyarakat sebagai wahana pertambakan masyarakat, merupakan salah satu faktor penyebab hilangnnya kawasan mangrove. Salah satu bukti yang cukup menonjol dillihat dari beberapa wilayah pantai menjadi lokasi penelitia ini. Di DKI Jakarta misalnya dari inventarisasi kawasan mangrove di sekitar Cagar Budaya di Wilayah Jakarta Utara tercatat 8,5 ha. Dengan kondisi kawasan yang masih relatif baik ditinjau dari habitat dan kehadiran jenisnya. Namun demikian, kawasan seluas tersebut di atas kini berubah total menjadi hamparan pertambakan. Mencermati hal tersebut, serta rendahnya pengetahuan masyarakat awam terhadap makna konservasi sumber daya mangrove, maka kondisi dan keberadaan kawasan mangrove secara alamiah di DKI Jakarta dihadapkan pada tiga tantangan strategis yaitu: 1. Pengelolaan secara profesional untuk tujuan pelestarian, penyelamatan (pengamanan), dan pemanfaatan secara terbatas berdasarkan peranan fungsinya. 1. Meningkatkan kualitas baik terhadap habitat dan jenis, untuk mempetahankan keberadaan sebagai akibat terdegradasinya kawasan, baik karena ulah aktivitas manujsia yang tidak bertanggung jawab, maupun secara alami (abrasi), sedimentasi dan pencemaran limbah padat (sampah) 1. Pengembangan kawasan-kawasan berhabitat mangrove, untuk dijadikan kawasan hijau hutan kota berbasis mangrove Dengan semakin menurunnya kawasan konservasi mangrove di wilayah DKI Jakarta,serta munculnya kiprah koordinasi pemulihan yang diprakarsai oleh Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) Provinsi DKI Jakarta merupakan langkah awal yang cukup strategis dalam arti penyelematan dan pelestariannya. Hal ini mengingat bahwa tujuan yang hendak dicapai, berupaya untuk memulihkan kembali melalui penyelamatan dan pelestarian kawasan mangrove. Adapun dasar pertimbangan perlunya pemulihan antara lain mencakup hal-hal sebagai berikut: 1. Pembinaan dan penanganan kawasan pelestarian alam, di wilayah DKI Jakarta, kini sebagaian telah menjadi tanghgunjhg jawab Pemda DKI Jakarta. 1. Kawasan mangrove di DKI Jakarta, merupakan bagian dari RTH lingdung DKI Jakarta, yang perlu dipertahankan karena peranan fungsinyanya sebagai koridor hijau pengendali lingkungan fisik kritis perkotaan, dan habitat serta sangtuari kehidupan satwa liar. 1. Dimanfaatkannya kawasan-kawasan pelestarian alam, sebagai hutan wisata dengan kombinasi sebagai wahana rekreasi dan laboratorium alam, tampaknya kini dinantikan oleh masyarakat luas. Mengacu terhadap Undang-udang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati bahwa pengertian konservasi pada hakekatnya merupakan upaya untuk mengelola sumberdaya alam hayati yang manfaatnya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediaaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya. Dalam pada itu, tindakan konservasi yang dilakukan mencakup tiga kegiatan yaitu: (1) perlindungan sistem penyangga kehidupan, (2) pengawetan keragaman jenis baik plora dan fauna termasuk ekosistemnya, dan (3) pemanfaatan sumberdaya alam hayati dan ekkosistemnya secara optimal dan berkelanjutan. Dalam konteks itu konservasi ragam hayati (biodiversity), merupakan bagian tak terpisahkan dari pengertian sumberdaya alam hayati, di mana kawasan jalur penyangga wilayah pantai, termasuk di dalamnya. Hal ini mengingat ada tiga komponen konservasi yang harus ditangani yaitu: 0. Degradasi kawasan penyangga 1. Tatanan kehidupan sosial masyarakat, dan 1. Keikutsertaan masyarakat dalam hal pemanfaatan sumberdaya secara optimal berkelanjutan Di DKI Jakarta, keanekaragaman hayati (ragam hayati) merupakan sumberdaya vital, karena sebagai penyangga dan penyeimbang lingkungan hidup wilayah perkotaan yang diperankan oleh habitat dan ekosistemnya. Pengaruh aktivitas manusia sejak dekade abad XVII telah berlangsung, namun demikian pada abad terakhir ini pengaruh tersebut meningkat secara dramatis. Berkurang dan berubahnya kawasan mangrove di jalur penyangga sempadan pantai bukan saja akibat pengaruh alam, akan tetapi lebih nyata akibat desakan alih fungsi kawasan. Sebagai akibat yang ditimbulkannya, hilangnya jenis-jenis satwa liar karena daya dukung habitatnya yang tidak memadai lagi. 0. Kelembagaan Pengelolaan Mangrove Muara AngkeKawasan mangrove Muara Angke yang masih tersisa saat ini sekitar 478 ha yang terdiri atas kawasan hutan atau tanah negara (hutan lindung, hutan wisata, arboretum atau kebun benih, lahan dengan tujuan istimewa, transmisi PLN, dan suaka margasatwa) seluas 327,7 ha dan lahan tambak milik masyarakat 93,0 ha, dan lahan tambak penelitian KKP (Kementrian Kelautan dan Perikanan) 57,3 ha. Ditinjau dari status kawasan, maka kawasan hutan mangrove Muara Angke telah berstatus cukup kuat (Hutan Lindung, Suaka Margasatwa, Taman Wisata Alam). Lahan tambak KKP (tanah negara) yang peruntukannya untuk penelitian dan pengembangan, sedangkan lahan tambak masyarakat (93 ha) telah dibeli Pemda DKI seluas 32 ha sebagai pengganti kawasan LDTI yang dipakai untuk jalan rel kereta api Bandara Soekarno-Hatta. Dengan demikian keseluruhan tanah negara (kawasan hutan dan lahan tambak KKP) menjadi 401,0 ha, sedangkan lahan tambak milik masyarakat tinggal 61,0 ha.Memperhatikan kondisi potensi kawasan saat ini dan status kawasan mangrove Muara Angke, tidak memungkinkan dilakukan kegiatan pemanfaatan hasil hutan kayu atau ekstraksi sumberdaya. Pada kawasan hutan lindung, suaka margasatwa dan taman wisata alam hanya memungkinkan dilakukan kegiatan pemanfaatan jasa lingkungan (wisata alam, pendidikan dan penelitian). Hal ini diperkuat oleh kondisi mangrove yang tidak mampu lagi menjalankan fungsinya dengan baik, karena tingginya tekanan lingkungan (pencemaran limbah cair, limbah padat/sampah, dan dinamika pembangunan yang kurang memperhatikan kelestarian ekosistem mangrove).Pada kawasan mangrove 478 ha terdapat 7 (tujuh) pihak yang terkait langsung dalam pengelolaan, yaitu: (1) Dinas Kelautan dan Pertanian, (2) Balai Konservasi Sumberdaya Alam, (3) PT. Murindra Karya Lestari, (4) Litbang Kementerian Kelautan dan Perikanan, (5) Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah, (6) PT. Kapuk Naga Indah dan Group, dan (7) Masyarakat pemilik lahan tambak. Masing-masing pihak memiliki rencana pengelolaan sendiri (Rencana Pengelolaan Hutan Lindung, LDTI, Suaka Margasatwa, dan Hutan Wisata) serta lahan Tambak Penelitian Kementerian Kelautan dan Perikanan, serta tidak ada mekanisme KISS (koordinasi, integrasi, sinkronisasi dan sinergis) d antara pemangku kepentingan. Dengan kondisi itu permasalahan yang dihadapi kawasan mangrove Muara Angke tidak teratasi dengan baik.Status hutan konservasi (Suaka Margasatwa dan taman Wisata Alam) merupakan tanggung jawab Pemerintah (Kementrian Kehutanan), sehingga BKSDA sebagai unit pusat di daerah yang bertanggung jawab terhadap pengelolaan kawasan Suaka Margasatwa dan Taman Wisata Alam, merasa tidak perlu melibatkan Dinas Kelautan dan Pertanian DKI Jakarta dalam menyusun program dan kegiatan. Demikian pula instansi/sektor lain dalam melakukan penyusunan program dan implementasinya.Ditinjau dari keberadaan kawasan mangrove dan bentang alam (lansekap), kondisi kawasan mangrove (478 ha) dengan status pengelolaan dan luasan yang kecil dan tingkat gangguan yang tinggi, maka kurang efektif dalam menjalankan fungsinya apabila tidak ada satu kesatuan dalam pengelolaan.Memperhatikan kondisi dan status kawasan mangrove Muara Angke, serta kegiatan pemanfaatan yang telah berjalan, maka status hutan konservasi yang lebih sesuai untuk pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke adalah Taman Hutan Raya. Hal ini juga didukung oleh kebijakan pengelolaan Taman Hutan Raya (Peraturan Pemerintah No. 28 tahun 2011 yang menyebutkan bahwa :0. Penyelenggaraan Kawasan Suaka Alam (KSA) dan Kawasan Pelestarian Alam (KPA) kecuali taman hutan raya dilakukan oleh Pemerintah0. Untuk taman hutan raya, penyelenggaraannya dilakukan oleh pemerintah provinsi atau pemerintah kabupaten/kota0. Penyelenggaraan KSA dan KPA oleh Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh unit pengelola yang dibentuk oleh Menteri0. Penyelenggaraan taman hutan raya oleh pemerintah provinsi atau pemerintah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh unit pengelola yang dibentuk oleh gubernur atau bupati/walikotaMemperhatikan hal tersebut, maka apabila status pengelolaan seluruh kawasan mangrove Muara Angke menjadi Taman Hutan Raya, maka peran Pemerintah Provinsi akan semakin kuat dalam melakukan koordinasi pengelolaan dan implementasinya, termasuk dalam pengalokasian anggaran.

0. Strategi Pengelolaan Kawasan Mangrove Muara AngkeGuna menjalankan berbagai kebijakan berdasarkan prioritasnya, maka diperlukan strategi yang saling mendukung untuk mencapai efektivitas dan efisiensi kebijakan pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke. Hasil kajian Santoso (2019) memberikan penentuan strategi pengelolaan didasarkan atas berbagai faktor yang telah diidentifikasi dan disesuaikan dengan kondisi ekologi, ekonomi, dan sosial budaya masyarakat setempat antara lain penguatan kelembagaan, peningkatan partisipasi masyarakat, kegiatan konservasi, penggunaan teknologi pengelolan kawasan mangrove.1. Prioritas KebijakanBerdasarkan kajian dalam disertasi Arifuddin (2009), telah disusun kebijakan pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke dalam rangka meningkatkan nilai keberadaan dan untuk peningkatan pendapatan masyarakat melalui kegiatan wisata alam dengan memperhatikan faktor eksternal dan internal yang mempengaruhinya yang merupakan faktor-faktor komponen SWOT.Hasil analisis SWOT menunjukkan bahwa komponen peluang (O) menempati urutan teratas dalam penentuan kebijakan pengelolaan kawasan mangrove, kemudian diikuti oleh komponen kekuatan (S), kelemahan (W), dan ancaman (T).Berdasarkan peringkat faktor-faktor kekuatan tersebut, ternyata bahwa faktor nilai keberadaan kawasan mangrove merupakan faktor kekuatan yang utama dalam upaya peningkatan kegiatan wisata alam. Dengan demikian, faktor ini diharapkan dapat dimaksimalkan kinerjanya melalui berbagai strategi yang akan dilaksanakan di masa mendatang. Di samping itu nilai historik ekosistem mangrove di wilayah Propinsi DKI Jakarta juga merupakan faktor penguat terhadap nilai keberadaan, karena merupakan ekosistem alam yang masih tersisa di Jakarta dan berada pada pintu gerbang Negara Republik Indonesia.Dari komponen kelemahan, faktor-faktor yang menentukan dalam penentuan kebijakan pengelolaan kawasan mangrove untuk kegiatan wisata alam adalah sebagai berikut: (1) Koordinasi kelembagaan pengelolaan, (2) Kesadaran masyarakat, (3) Kerusakan habitat, dan (4) Komitmen Pemerintah Daerah.Berdasarkan peringkat faktor-faktor kelemahan di atas, ternyata bahwa rendahnya koordinasi kelembagaan pengelolaan merupakan faktor kelemahan yang mendasar dalam upaya peningkatan pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke. Untuk itu perumusan berbagai strategi yang akan dilaksanakan di masa mendatang perlu mempertimbangkan faktor ini agar strategi tersebut dapat berjalan sesuai dengan yang diharapkan.Dari komponen opportunities, faktor-faktor yang menentukan dalam penentuan kebijakan pengelolaan kawasan mangrove untuk wisata alam adalah sebagai berikut: (1) Permintaan kegiatan wisata alam; (2) Potensi dana CSR; (3) Perhatian peneliti dari perguruan tinggi dan lembaga swadaya masyarakat.Berdasarkan peringkat faktor-faktor peluang di atas, ternyata bahwa komitmen Pemda DKI Jakarta merupakan faktor peluang yang penting dalam upaya pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke yang berkelanjutan. Faktor tersebut didukung pula dengan tingginya permintaan kegiatan wisata alam, sehingga pencapaian keberlanjuutan pengelolaan sangat tergantung dari komitmen Pemda DKI Jakarta. Dengan demikian, kedua faktor tersebut diharapkan dapat diakomodasi ke dalam berbagai strategi kebijakan pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke.Komponen SWOT yang paling rendah bobotnya adalah komponen threats (ancaman). Dari komponen threats, faktor-faktor yang menentukan dalam penentuan kebijakan pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke adalah sebagai berikut: (1) Abrasi, banjir pasang (rob), dan interusi air laut, (2) Tingginya tingkat pencemaran lingkungan, dan (3) Kebutuhan lahan.Sementara itu prioritas alternative kebijakan bagi nelayan di Muara Angke bagi kegiatan terkait sumberdaya berkelanjutan antara lain bidudaya ikan hias, modernisasi nelayan tangkap, peningkatan nilai tambah paska produksi pada produk perikanan, ekowisata, dan penyediaan pemandu wisata.

1. Penguatan Kelembagaan Pengelolaan Mangrove Muara AngkePenguatan kelembagaan pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke akan efektif jika dilakukan juga perubahan status kawasan pengelolaan menjadi Taman Hutan Raya. Oleh karena itu untuk mewujudkan strategi penguatan kelembagaan pengelolaan perlu dilakukan beberapa langkah-langkah sebagai berikut:0. Penyusunan konsep rencana pengelolaan Taman Hutan Raya, yang di dalamnya terdapat blok perlindungan, blok pemanfaatan, blok lainnya, berikut dengan program dan kegiatan pengelolaan. Konsep pengelolaan Taman Hutan Raya dinilai mampu menyatukan kelembagaan pengelolaan, keterpaduan program, dan kegiatan pengelolaan, serta sinergitas pengelolaan mangrove Muara Angke dengan pengelolaan pemukiman Pantai Indah Kapuk, termasuk antisipasi terhadap reklamasi pantai dan pengelolaan hutan konservasi yang berada di Kepulauan Seribu (Cagar Alam Pulau Bokor dan Suaka Margasatwa Pulau Rambut), mengingat keberadaan jenis-jenis burung air menggunakan Pulau Rambut dan Muara Angke sebagai habitat pendukung kehidupannya;0. Kelembagaan dan sarana pendukung pengelolaan in situ (di Muara Angke), agar mudah dan cepat dalam implentasi pengelolaan;0. Sosialisasi dan penggalangan dukungan dari para pihak (stakeholders) yang berkaitan dengan pengelolaan mangrove Muara Angke dalam kelembagaan Taman Hutan Raya, nama Taman Hutan Raya;0. Menyiapkan usulan status pengelolaan Taman Hutan Raya kepada pengambil kebijakan di tingkat pemerintah daerah (Walikota Jakata Utara, Gubernur DKI Jakarta);0. Membuat proposal usulan pengelolaan kawasan mangrove dalam kerangka kelembagaan Taman Hutan Raya untuk diajukan kepada Menteri Kehutanan;0. Mempresentasikan di hadapan Menteri Kehutanan dan jajarannya.

1. Peningkatan Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolan MangrovePartisipasi masyarakat, baik masyarakat setempat, swasta, perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat, peneliti dan pemerhati sangat penting untuk ditingkatkan guna meningkatkan efektivitas dan efisiensi pengelolaan. Beberapa langkah-langkah yang perlu dilakukan adalah:1. Sosialisasi tujuan, program, dan kegiatan pengelolaan Taman Hutan Raya, berikut manfaat dan keuntungan pengelolaan, serta bentuk partisipasi yang dapat dilakukan masyarakat1. Mengidentifikasi peran dan ketersediaan berpartisipasi para pihak dalam pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke1. Merumuskan program dan kegiatan yang dapat dilakukan para pihak (masyarakat, swasta, pemerhati, peneliti, dan LSM) dalam rangka pengelolaan kawasan mangrove berkelanjutan1. Melakukan dialog dengan DPRD Propinsi DKI Jakarta, lembaga internasional yang bergerak di bidang lingkungan dan pembangunan (UNEP, UNESCO, WWF, ITTO, JICA, OISCA, KOICA, ISME, dan sebagainya) untuk mendapatkan dukungan program dan kegiatan, serta peluang pendanaan pengelolaan1. Merumuskan program dan kegiatan pemberdayaan ekonomi masyarakat sekitar kawasan mangrove Muara Angke (penyuluhan, pelatihan, pendampingan, pemasaran, dan penguatan kelembagaan)1. Merumuskan program dan kegiatan wisata alam yang menyatukan obyek di dalam kawasan mangrove Muara Angke dengan obyek wisata di luar kawasan mangrove Muara Angke (pasar ikan Kamal Muara dan Kapuk Muara, obyek wisata kota tua, pasar Mangga Dua dan pasar Tanah Abang, serta Taman Impian Jaya Ancol, dan sebagainya dalam satu kesatuan paket wisata alam yang disusun dengan pertimbangan alokasi atau ketersediaan waktu dan keragaman obyek1. Mengusulkan kelengkapan sarana pendukung pengelolaan kawasan Taman Hutan Raya, seperti: perkantoran, peralatan, lapangan parkir, pintu gerbang, batas kawasan, batas zonasi, papan nama dan papan himbauan, dan papan informasi.

1. Konservasi Mangrove Konservasi mangrove dilakukan melalui peningkatan kualitas lingkungan, dan komunitas vegetasi mangrove, serta keanekaragaman hayati yang ada di dalamnya. Kegiatan konservasi mangrove, meliputi:1. Menyusun rencana program dan kegiatan rehabilitasi mangrove (luas dan lokasi, jenis yang ditanam, penanaman dan pemeliharaan, monitoring dan evaluasi, serta teknik rehabilitasi mangrove yang dipergunakan)1. Melakukan identifikasi jenis yang sesuai untuk kegiatan rehabilitasi1. Mengalokasikan kegiatan rehabilitasi bagi parapihak yang minat dan mendukung (swasta, lsm, pelajar dan mahasiswa, peneliti dan pemerhati, dan sebagainya)1. Memperbaiki sistem drainase bagi aliran air laut menuju kawasan mangrove agar salinitas air dapat dipertahankan dalam kondisi payau (salinitas antara 1 - 18%)1. Melakukan pengawasan dan pencegahan terjadinya perburuan satwaliar, penebangan pohon mangrove, dan penyerobotan lahan1. Melakukan pengendalian populasi satwa yang berpotensi mengganggu masyarakat1. Menyusun buku pengenal flora dan fauna mangrove Muara Angke, poster, booklet dan lealet1. Melakukan advokasi dan publikasi keberadaan dan nilai manfaat mangrove Muara Angke1. Melengkapi dan meningkatkan sarana prasarana pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke.

1. Penggunaan Teknologi Pengelolaan Kawasan MangrovePengendalian dampak abrasi pantai, banjir pasang (rob), dan intrusi air laut perlu dilakukan dengan menerapkan teknologi dan sekaligus meningkatkan kualitas mangrove Muara Angke. Penerapan teknologi pengelolaan limbah cair dan limbah padat (sampah) perlu dikembangkan untuk mengurangi pencemaran lingkungan, baik di wilayah hulu dan hilir.

BAB V KESIMPULAN

0. KesimpulanHutan mangrove Muara Angke adalah bagian dari kawasan hutan mangrove (bakau) Tegal Alur-Angke Kapuk di pantai utara Jakarta yang termasuk wilayah Kecamatan Penjaringan, Kotamadya Jakarta Utara. Hutan mangrove di kawasan pesisir Muara Angke terjadi di pesisir Tegal Alur Angke Angke Kapuk dan sekitar Kepulauan Seribu. Hasil kajian dari IPB pada 2011, ekosistem mangrove di Pesisir Muara Angke sebagian dalam kondisi rusak. Kondisi ini diduga karena adanya konversi lahan menjadi kawasan perumahan, budidaya perairan, infrastruktur pelabuhan dan industi. Tingginya konversi lahan ini mengakibatkan adanya perubahan tata guna lahan dan pemanfaatan sumberdaya alam secara berlebihan. Kondisi ini menyebabkan ekosistem mangrove dengan cepat menjadi semakin rusak dan berkurang. Adanya berbagai pencemar berupa limbah cair dan padat serta sampah semakin memperburuk keadaan.Hasil kajian LPP mangrove menunjukkan bahwa kerusakan mangrove di kawasan hutan lindung Muara Angke disebabkan oleh abrasi dan pemanfaatan oleh masyarakat dengan cara menebang yang tidak disertai oleh penanaman kembali. Para penduduk sekitar kawasan melakukan penebangan hutan bagi keperluan rumah tangga, berikutnya menyebabkan abrasi. Meningkatnya permintaan akan kayu arang dan lainnya dari produksi mangrove, menyebabkan eksploitasi berlebihan terhadap hutan kawasan ini. Kegiatan signifikan lain atas rusaknya mangrove adalah pembukaan tambak-tambak untuk budidaya perairan. Sementara itu pencemaran dari sungai Cisadane dan Ciliwung yang cukup intens, serta kebutuhan akan adanya lahan bagi perumahan penduduk di kawasan sekitarnya juga menambah buruk kondisi mangrove Muara Angke.Status kelembagaan hutan konservasi (Suaka Margasatwa dan taman Wisata Alam) merupakan tanggung jawab Pemerintah (Kementrian Kehutanan), sehingga BKSDA sebagai unit pusat di daerah yang bertanggung jawab terhadap pengelolaan kawasan Suaka Margasatwa dan Taman Wisata Alam, merasa tidak perlu melibatkan Dinas Kelautan dan Pertanian DKI Jakarta dalam menyusun program dan kegiatan. Demikian pula instansi/sektor lain dalam melakukan penyusunan program dan implementasinya.Ditinjau dari keberadaan kawasan mangrove dan bentang alam (lansekap), kondisi kawasan mangrove (478 ha) dengan status pengelolaan dan luasan yang kecil dan tingkat gangguan yang tinggi, maka kurang efektif dalam menjalankan fungsinya apabila tidak ada satu kesatuan dalam pengelolaan.Arahan kebijakan pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke berkelanjutan dalam penelitian ini melalui kebijakan pengelolaan, yaitu: (1) Penguatan kelembagaan pengelolaan kawasan mangrove, (2) Peningkatan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan mangrove, (3) Konservasi mangrove, dan (4) Teknologi pengelolaan lingkungan mangrove. Strategi kebijakan penguatan kelembagaan pengelolaan mangrove; strategi peningkatan partisipasi masyarakat; konservasi mangrove untuk mempertahankan dan meningkatkan nilai keberadaan dan nilai ekonomi mangrove; dan pemanfaatan serta penggunaan teknologi pengelolaan kawasan mangrove 0. SaranMemperhatikan kondisi dan status kawasan mangrove Muara Angke, serta kegiatan pemanfaatan yang telah berjalan, maka status hutan konservasi yang lebih sesuai untuk pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke adalah Taman Hutan Raya. Hal ini juga didukung oleh kebijakan pengelolaan Taman Hutan Raya (Peraturan Pemerintah No. 28 tahun 2011.Upaya perbaikan pemerintah dan pengelola kawasan hutan mangrove Muara Angke perlu ditingkatkan terutama dalam hal penegakkan hukum atas perlindungan kawasan tersebut, termasuk dalam pengawasan dan penindak-pidanaan bagi pihak-pihak yang melawan hukum di kawasan tersebut. Peningkatan mekanisme dan sistem pengawasan berbasis masyarakat perlu dikembangkan agar masyarakat turut mengelola dan mengawasi kawasan tersebut. Sebagai upaya kebijakan, diperlukan kajian dan penelitian lanjutan mengenai pengawasan dan penegakkan hukum dalam pelaksanaan pengelolaan kawasan hutan mangrove Muara Angke Jakarta.

DAFTAR PUSTAKA

Aksornkoae, S. (1993). Ecology and Management of Mangroves. Gland, Switzerland,IUCN: Wetlands and Water Resources Programme

Arifuddin, Omar Abdallah (2009). Alternatif Kebijakan Pemberdayaan Masyarakat Nelayan Berwawasan Lingkungan di Muara Angke, Jakarta Utara. Disertasi, IPB: Bogor.

BPLHD DKI Jakarta (2013) Status Lingkungan Daerah Provinsi DKI Jakarta 2010. Website: www.bplhd.jakarta.go.id diakses 1 Juni 2013.

Giesen, W (1993). Indonesias Mangroves: An Update on Remaining Area and Main Management Issues. Asia Wetlands Bureau: Bogor.

Giesen, W. [ed.] (2007). Mangrove Guidebook for Southeast Asia. FAO and Wetlands International, Dharmasarn Co.Ltd.: Bangkok

ICEL Aecen USAID (2008). Environmental Compliance and Enforcement in Indonesia: Rapid Assessment.

Kompas (6 September 2012). Dinas Pertanian Bantah Hutan Mangrove Tinggal 45 Ha.

Kusmana, Cecep (2012). Management Mangrove Ecosystem in Indonesia, makalah dan Workshop Replantasi Mangrove dan Rehabilitasi EKosistem Pesisir, Fakultas Kehutanan UGM: Yogyakarta.

Kusmana, Cecep (2010). Manajemen Hutan Mangrove di Indonesia. Prosiding Simposium Penerapan Ekolabel Hutan, Fakultas Kehutanan, IPB.

Kusmana, Cecep (1996). Nilai Ekologis EKosistem Hutan Mangrove dalam Jurnal Media Konservasi, Vol. V No. (1), hal 17-24.

Nybakken, J.W. (1988). Marine Biology: An Ecological Approach. Harper & Row Publishers, NY. 514pp.

Pramudji (2000). Hutan Mangrove di Indonesia: Peranan, Permasalahan dan Pengelolaannya dalam Jurnal Oceana, Vol. XXV, no. 1, hal 13-20

Puslitbang Hukum dan Peradilan (2006). Naskah Akademis Hukum Lingkungan. Mahkamah Agung RI: Jakarta.

Santoro, Nyoto (2012). Arahan Kebijakan dan Strategi Pengelolaan Kawasan MangroveBerkelanjutan di Muara Angke Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Disertasi, IPB: Bogor.

Snedaker, S.C. (1993). Mangrove and Sea Level Rise dalam Maul, G.A. (ed.). Climatic Change in the Intra-Americas Sea. UNEP: London.

Snedaker, S.C. and C.D. Getter (1985). Coastal Resources Management Guidelines. Research Planning Institute: Columbia USA. hal. 205.

Soedarsono, Teguh Prof. Dr. M.Si. (2013). Presentasi Mata Kuliah Hukum Lingkungan, Program Studi Ilmu Lingkungan, Universitas Indonesia.

Soemodihardjo & Soerianegara (1989). Country report: Indonesia. The Status of Mangrove Forests in Indonesia dalam Soerianegara et al. (Eds.). Symposium on Mangrove Management: Its Ecological and Economic Considerations. Bogor, 9-11 Agustus 1988, hal. 73-113. BIOTROP special publication No. 37.

Soerianegara, I (2010). Aspek Ekologi dalam Pengelolaan Hutan Alam Produksi Lestari dalam Prosiding Simposium Penerapan Ekolabel Hutan, IPB: Bogor.

Soerianegara, I & Irawan, A. (1998). Ekologi Hutan Indonesia. Laboratorium Ekologi Kehutanan, Fakultas Kehutanan, IPB: Bogor

Sonjaya, J.A. (2007). Kebijakan untuk Mangrove: Mengkaji Kasus dan Merumuskan Kebijakan. International Union for Conservation of Nature and Natural Resources. IUCN: Cambridge, UK.

Steenis, C.G.G.J. (1978). Flora. Pradnya Paramita: Jakarta

Halaman| 3