60
Skenario 5 Hidung Mimisan Seorang anak laki-laki berusia 13 tahun dibawa ke IGD dengan epitaksis. Perdarahan keluar dari kedua lubang hidung sejak setengah jam yang lalu, awalnya mengucur deras. Kejadian ini sudah ketiga kalinya dialami oleh pasien satu bulan terakhir, dan terjadi saat pasien bermain futsal dengan teman-temannya. Pasien juga sering mengeluh kepalanya pusing dan hidung tersumbat. Pasien tampak anemis dan pada rinoskopi anterior terlihat darah hampir menutupi kedua cavum nasi. STEP I 1. Epitaksis : perdarahan hidung 2. Rhinoskopi : pemeriksaan rongga hidung dari dalam menggunakan spekulum STEP II 1. Bagaimana struktur makroskopis & mikroskopis hidung 2. Bagaimana sirkulasi pembuluh darah 3. Bagaimana sistem koagulasi darah 4. Etiologi epitaksis 5. Bagaimana bisa terjadinya epitaksis 6. Hubungan epitaksis dengan pusing 7. Penegakan diagnosis 1

step 1 - 6 (pbl2) belia

  • Upload
    nova

  • View
    246

  • Download
    2

Embed Size (px)

DESCRIPTION

random

Citation preview

Page 1: step 1 - 6 (pbl2) belia

Skenario 5

Hidung Mimisan

Seorang anak laki-laki berusia 13 tahun dibawa ke IGD dengan epitaksis.

Perdarahan keluar dari kedua lubang hidung sejak setengah jam yang lalu, awalnya

mengucur deras. Kejadian ini sudah ketiga kalinya dialami oleh pasien satu bulan

terakhir, dan terjadi saat pasien bermain futsal dengan teman-temannya. Pasien juga

sering mengeluh kepalanya pusing dan hidung tersumbat. Pasien tampak anemis dan

pada rinoskopi anterior terlihat darah hampir menutupi kedua cavum nasi.

STEP I

1. Epitaksis : perdarahan hidung

2. Rhinoskopi : pemeriksaan rongga hidung dari dalam menggunakan

spekulum

STEP II

1. Bagaimana struktur makroskopis & mikroskopis hidung

2. Bagaimana sirkulasi pembuluh darah

3. Bagaimana sistem koagulasi darah

4. Etiologi epitaksis

5. Bagaimana bisa terjadinya epitaksis

6. Hubungan epitaksis dengan pusing

7. Penegakan diagnosis

8. Penatalaksanaan epitaksis

9. Penyakit yang bisa menimbulkan epitaksis

STEP III

1. Makroskopis

Terbentuk dari os frontal, cartilago

1

Page 2: step 1 - 6 (pbl2) belia

Arteri : a. maxillaries interna, a. etmoidal superior, a. palatine mayor, a.

facialis, a. splenopalatina

Terdiri dari pleksus

Local kissellbech di sekitar cavum nasi

2.

3.

4. Disebabkan oleh kelainan local dan sistemik

Local :

Trauma

Kelainan pem.darah

Infeksi

Sistemik :

Kardiovaskuler

Perubahan udara atau tekanan atmosfer

Gangguan hormonal

5. Patofisiologi timbulnya epitaksis pada penyakit tertentu

Pada hipertensi

Perubahan progresif di tunika media perubahan elastisitas pecah

pembuluh darah

Infeksi

Refleks inflamasi

DHF

Virus menyerang thrombosis

Tumor

Permeabilitas kapiler pembuluh darah

6. Penyebab pusing : rangsang nyeri dari hidung

7. Anamnesis : riwayat perdarahan, keluarga, lokasi

2

Page 3: step 1 - 6 (pbl2) belia

Pem.Fisik : rhinoskopis anterior & posterior, ct-scan, skinning koagulasi,

pemeriksaan darah rutin

8. Prinsip :

Perbaikan keadaan umum

Menghentikan pendarahan

Mencegah komplikasi

Mencegah berulangnya epitaksis

Penatalaksanaan

a. Anterior

Cara konvensional ( tekan hidung)

Pemasangan tempon

b. Posterior

Tampon dengan Vaseline dengan tambahan adrenalin

1:1000

Pemberian antibiotik

STEP IV

1. Makroskopis

Terbentuk dari os frontal, cartilago

Arteri : a. maxillaries interna, a. etmoidal superior, a. palatine mayor, a.

facialis, a. splenopalatina

Terdiri dari pleksus

Local kissellbech di sekitar cavum nasi

2.

3.

4. Disebabkan oleh kelainan local dan sistemik

3

Page 4: step 1 - 6 (pbl2) belia

Local :

Trauma

Kelainan pem.darah

Infeksi

Sistemik :

Kardiovaskuler

Perubahan udara atau tekanan atmosfer

Gangguan hormonal

5. Patofisiologi timbulnya epitaksis pada penyakit tertentu

Pada hipertensi

Perubahan progresif di tunika media perubahan elastisitas pecah

pembuluh darah

Infeksi

Refleks inflamasi

DHF

Virus menyerang thrombosis

Tumor

Permeabilitas kapiler pembuluh darah

6. Penyebab pusing : rangsang nyeri dari hidung

7. Anamnesis : riwayat perdarahan, keluarga, lokasi

Pem.Fisik : rhinoskopis anterior & posterior, ct-scan, skinning koagulasi,

pemeriksaan darah rutin

8. Prinsip :

Perbaikan keadaan umum

Menghentikan pendarahan

Mencegah komplikasi

Mencegah berulangnya epitaksis

Penatalaksanaan

4

Page 5: step 1 - 6 (pbl2) belia

1. Anterior

Cara konvensional ( tekan hidung)

Pemasangan tempon

2. Posterior

Tampon dengan Vaseline dengan tambahan adrenalin

1:1000

Pemberian antibiotik

SKEMA

5

EPITAKSIS

Penegakan diagnosis Etiologi

Makroskopis & Mikroskopis

Hubungan dengan pusing

Patofisiologi

Penatalaksanaan

Page 6: step 1 - 6 (pbl2) belia

STEP V

1. Bagaimana Struktur makroskopis, mikroskopis dan vaskularisasinya ?

2. Bagaimana sistem koagulasi darah ?

3. Patofisiologi epitaksis dengan pusing pada berbagai penyakit ?

4. Apa hubungan epitaksis dengan pusing?

STEP VI

Belajar Mandiri

STEP VII

1. ANATOMI HIDUNG

Hidung terdiri dari:

I. Hidung Luar

II. Hidung Dalam

6

Page 7: step 1 - 6 (pbl2) belia

Gambar 1.2 Makroskopis Hidung (Snell,2014)

I. Hidung Luar

Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke

bawah yaitu:

1. Pangkal Hidung (Bridge), dibentuk oleh os nasal kiri dan kanan

2. Dorsum nasi (batang hidung)

3. Puncak hidung

4. Ala nasi, bagian hidung yang dapat digerakkan

5. Kolumela; pembatas lubang hidung kanan dan kiri

6. Lubang hidung (nares anterior)

Hidung bagian luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan

yang dilapisi oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang

berfungsi untuk melebarkan dan menyempitkan lubang hidung.

(Snell,2014)

7

Page 8: step 1 - 6 (pbl2) belia

Kerangka tulang penyusun hidung luar terdiri dari:

1. Os nasalis (tulang hidung)

2. Prosesus frontalis os maxilla

3. Prosesus nasalis os frontal

Kerangka tulang rawan penyusun hidung luar terdiri dari :

1. Sepasang kartilago nasalis lateralis superior

2. Sepasang kartilago nasalis lateralis inferior (kartilago alar mayor)

3. Beberapa pasang kartilago alar minor

4. Tepi anterior kartilago septum

Lubang hidung dan puncak hidung dibentuk oleh kartilago ala mayor,

yang berbentuk tipis dan fleksibel. Sedangkan kolumela yang memisahkan

kedua lubang hidung dibentuk oleh tepi bawah kartilago septum.

(Snell,2014)

Hidung luar menonjol pada garis tengah diantara pipi dengan bibir

atas, struktur hidung luar dibedakan atas tiga bagian yaitu :

a) Yang paling atas, kubah tulang yang tidak dapat digerakkan.

Belahan bawah aperture piriformis kerangka tulang saja,

memisahkan hidung luar dengan hidung dalam. Disebelah

superior, struktur tulang hidung luar berupa prosesus maxilla yang

berjalan keatas dan kedua tulang hidung semuanya disokong oleh

prosesus nasalis os frontalis dan suatu bagian lamina

perpendikularis os etmoidalis. Spina nasalis anterior merupakan

prosesus maksilaris medial.

8

Page 9: step 1 - 6 (pbl2) belia

b) Dibawahnya terdapat kubah kartilago yang sedikit dapat

digerakkan, dibentuk oleh kartilago lateralis superior yang saling

berfusi digaris tengah dan tepi atas kartilago septum kuadra

angularis.

c) Yang paling bawah adalah lobulus hidung yang mudah

digerakkan dan dipertahankan bentuknya oleh kartilago lateralis

inferior. Lobulus menutup vestibulum nasi dan dibatasi sebelah

medial oleh kolumela. Sebelah lateral oleh ala nasi dan

anterosuperior oleh ujung hidung. Mobilitas lobulus hidung

penting untuk ekspresi wajah, gerakan mengendus dan besin. Otot

ekspresi wajah yang terletak subkutan diatas tulang hidung, pipi

anterior dan bibir atas menjamin mobilitas lobulus.

Jaringan ikat subkutan dan kulit juga ikut menyokong hidung

luar.Jaringan lunak diantara hidung luar dan dalam dibatasi disebelah

inferior oleh kripta piriformis dengan kulit penutupnya, dimedial oleh

septum nasi dan tepi bawah kartilago lateralis superior sebagai batas

superior dan lateral. (Snell,2014)

II. Hidung Dalam / Rongga Hidung / Cavum Nasi

Cavum nasi ( Rongga hidung ) adalah suatu rongga berbentuk

terowongan tempat lewatnya udara pernapasan, yang dipisahkan oleh

septum nasi dibagian tengahnya menjadi cavum nasi kanan dan kiri.

Pintu atau lubang masuk cavum nasi bagian depan disebut nares

anterior dan lubang belakang disebut nares posterior ( koana ) yang

menghubungkan cavum nasi dengan nasofaring.

Batas-batas cavum nasi :

- Anterior : Nares anterior

- Posterior : Nares posterior (koana)

9

Page 10: step 1 - 6 (pbl2) belia

- Lateral : Konka-konka

- Superior : Lamina cribifom

- Inferior : Os maxilla dan Os palatum

Konka inf.vestib

Meatusinf

MeatusmediusKonka media

choanaNares ant.

k.sup sphe

Meatus sup.

Gambar 1.2 Makroskopis Cavum Nasi (Snell,2014)

Bagian – bagian yang terdapat dalam cavum nasi :

A. Vestibulum

- Paling anterior, sejajar dengan ala nasi.

- Bagian yang masih dilapisi kulit yang mempunyai banyak

kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang (vibrise)

B. Septum

- Merupakan dinding medial hidung, bagi cavum nasi sama

besar, lurus mulai dan anterior sampai posterior (koana).

- Dibentuk oleh tulang dan tulang rawan, yaitu:

Bagian tulang :

1. Lamina perpendikularis os etmoideus.

10

Page 11: step 1 - 6 (pbl2) belia

2. Os Vomer.

3. Krista nasalis os maxilla.

4. Krista nasalis os palatina.

Bagian tulang rawan :

1. Kartilago septum (lamina kuadrangularis).

2. Kolumela.

- Dilapisi perikondrium pada bagian tulang rawan dan

periosteum pada bagian tulang , sedang bagian luarnya lagi

dilapisi olaeh mukosa hidung. (Snell,2014)

C. Konka

- Terletak dilateral rongga hidung kanan dan kiri.

- Terdiri dari empat konka, dari atas ke bawah :

1. Konka suprema; biasanya rudimeter.

2. Konka superior; lebih kecil dari konka media.

3. Konka media; lebih kecil.

4. Konka inferior; terbesar dan letak paling bawah.

Merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os

maxilla dan labirin etmoid sedangkan konka suprema,

superior, dan media merupakan bagian dari labirin

etmoid.(Snell,2014)

D. Meatus - meatus

- Terletak diantara konka-konka dan dinding lateral hidung.

- Merupakan tempat bermuara dari sinus paranasal.

- Berdasarkan letaknya dibagi 3, yaitu :

1) Meatus inferior

Terletak antara konka inferior dengan dasar hidung dan

dinding lateral rongga hidung, tempat bermuara duktus

nasoakrimalis.

2) Meatus medius

11

Page 12: step 1 - 6 (pbl2) belia

Celah yang terletak konka media dengan dinding lateral

rongga hidung. Terdapat bula etmoid, prosesus

unsinatus, hiatus semilunaris, dan infundibulum

etmoid.Hiatus semilunaris merupakan celah sempit

melengkung dimana terdapat muara sinus frontal,

maxilla, dan etmoid anterior.

3) Meatus superior

Terletak antara konka superior dan konka media. Disini

terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus

sphenoid.

Kerangka tulang tampaknya menentukan diameter yang pasti

dari rongga udara, struktur jaringan lunak yang menutupi hidung dalam

cenderung bervariasi tebalnya juga mengubah resistensi. Akibatnya

tekanan dan volume aliran udara inspirasi dan ekspirasi. Diameter yang

berbeda-beda disebabkan oleh kongesti dan dekongesti mukosa.,

perubahan badan vascular yang dapat mengembang pada konka dan

septum atas.(Snell,2014)

Ujung-ujung saraf olfaktorius menempati daerah kecil pada bagian

medial dan lateral dinding hidung dalam dan ke atas hingga kubah hidung.

Deformitas struktur demekian pula penebalan atau oedem mukosa

berlebihan dapat mencegah aliran udara untuk mencapai daerah

olfaktorius dan dengan demikian dapat sangat mengganggu penghidu.

Konka umumnya dapat mengkompensasi kelainan septum ( bila tidak

terlalu berat ), dengan memperbesar ukurannya pada sisi yang konkaf dan

mengecil pada sisi lainnya sedemikian rupa agar dapat mempertahankan

lebar rongga udara yang optimum. Jadi meskipun septum nasi bengkok,

aliran udara masih akan ada dan masih normal. Daerah jaringan erektil

12

Page 13: step 1 - 6 (pbl2) belia

pada kedua sisi septum berfungsi mengatur ketebalan dalam berbagai

kondisi atmosfer yang berbeda.(Snell,2014)

E. Sinus Paranasal

a. Sinus maksila adalah sinus terbesar dari semua sinus. Sinus

maksila memiliki bentuk piramida dan dibatasi menjadi empat

bagian yakni dinding anterior yang dibentuk dari permukaan wajah

dari maksila dan berhubungan dengan jaringan lunak pipi. Dinding

posterior berhubungan dengan bagian infratemporal dan fosa

pterygopalatina. Dinding medial berhubungan dengan bagian

pertengahan maksila dengan meatus inferior, pada daerah ini

dinding sangat tipis dan berupa membran sedangkan dasar dari

maksila dibentuk dari prosesus palatine dan alveolar dari maksila

dan terletak kira –kira 1 cm di bawah dasar hidung. (Dhingra, 2007

; Hwang & Abdalkhani, 2009).

Ostium sinus maksila berada di sebelah superior dinding medial

sinus dan bermuara ke hiatus semilunaris melalui infundibulum

etmoid. (Soejipto & Mangunkusumo, 2007)

b. Sinus etmoid mulai berkembang dalam bulan ketiga pada proses

perkembangan janin. Sinus etmoid anterior merupakan evaginasi

dari dinding lateral hidung dan bercabang ke samping dengan

membentuk sinus etmoid posterior dan terbentuk pada bulan

keempat kehamilan. Saat dilahirkan, sel ini diisi oleh cairan

sehingga sukar untuk dilihat dengan rontgen. Saat usia satu tahun,

etmoid baru dapat dideteksi melalui foto polos dan setelah itu

membesar dengan cepat hingga umur 12 tahun. Jumlah sel berkisar

4-17 sel pada sisi masing-masing dengan total volume rata-rata 14-

15 ml. (Dhingra, 2007 ; Hwang & Abdalkhani ,2009).

c. Sinus etmoid berongga – rongga , terdiri dari sel – sel yang

menyerupai sarang tawon, yang terdapat di dalam massa bagian

13

Page 14: step 1 - 6 (pbl2) belia

lateral os etmoid, yang terletak antara konka media dan dinding

medial orbita. Berdasarkan letaknya, sinus etmoid terbagi menjadi

dua yakni sinus etmoid anterior yang bermuara di meatus medius

dan sinus etmoid posterior yang bermuara di meatus superior.

(Soejipto & Mangunkusumo, 2007).

d. Sinus frontal mulai berkembang sepanjang bulan keempat masa

kehamilan yang merupakan suatu perluasan ke arah atas dari sel

etmoidal anterosuperior. Sinus frontal jarang tampak pada

pemeriksaan foto polos sebelum umur 5 atau 6 tahun, setelah itu

pelan-pelan tumbuh, total volume 6-7 ml. Sinus frontal

mengalirkan sekretnya ke dalam resesus frontalis. (Soejipto &

Mangunkusumo, 2007).

e. Sinus frontal kanan dan kiri biasanya tidak simetris, satu lebih

besar daripada yang lainnya dan dipisahkan oleh sekat yang

terletak di garis tengah. Kira –kira 15 % dari orang dewasa hanya

mempunyai satu sinus frontal dan 5% sinus frontalnya tidak

berkembang. Sinus frontal dipisahkan oleh tulang yang relatif tipis

dari orbita dan fosa serebri anterior, sehingga infeksi dari sinus

frontal mudah menjalar kedaerah ini. (Soejipto & Mangunkusumo,

2007).

f. Sinus sfenoid mulai tumbuh sepanjang bulan keempat masa

kehamilan yang merupakan evaginasi mukosa dari bagian superio

posterior rongga hidung. Sinus ini berupa suatu takikan kecil di

dalam os sfenoid sampai umur 3 tahun ketika pneumatisasi mulai

lebih lanjut. Pertumbuhan cepat untuk menjangkau tingkatan sella

tursica pada umur 7 tahun dan menjadi ukuran orang dewasa

setelah berumur 18 tahun, total volume 7.5 ml. Sinus sfenoid

mengalirkan sekretnya ke dalam meatus superior bersama dengan

etmoid posterior. (Hwang & Abdalkhani, 2009).

F. Fisiologi Sinus Paranasal

14

Page 15: step 1 - 6 (pbl2) belia

Fungsi dari sinus paranasal masih belum diketahui dengan

pasti dan masih belum ada persesuaian pendapat. Ada yang

berpendapat bahwa sinus paranasal tidak mempunyai fungsiapa-apa

karena terbentuknya sebagai akibat pertumbuhan tulang muka

(Soetjipto & mangunkusumo, 2000).

Namun karena berhubungan langsung dengan hidung, maka

sinus dapat membantu resonansi suara, penciuman, membersihkan,

menghangatkan, melembabkan udara inspirasi, dan merubah udara

pernafasan. Kebanyakan penulis masih ragu-ragu dan menyatakan

bahwa sinus paranasal hanya berpengaruh sedikit, terutama hanya bila

menderita sakit. (Soetjipto & Mangunkusumo, 2000)

Ada beberapa teori yang dikemukakan sebagai fungsi sinus paranasal:

1) Sebagai pengatur kondisi udara (air coditioning)

Sinus yang berfungsi sebagai ruang tambahan untuk memanaskan dan

mengatur kelembapan udara inspirasi. Namun teori ini mendapat

sanggahan, sebab ternyata tidak didapati pertukaran udara yang

defenitif antara sinus dan rongga hidung. (Soetjipto &

Mangunkusumo, 2000).

Volume pertukaran udara dalam ventilasi sinus kurang lebih

1/1000 volume sinus pada tiap kali bernafas, sehingga dibutuhkan

beberapa jam untuk pertukaran udara total dalam sinus, lagi pula

mukosa sinus tidak mempunyai vaskularisasi dan kelenjar sebanyak

mukosa hidung. (Soetjipto & Mangunkusumo, 2000)

2) Sebagai penahan suhu (thermal insulators)

Sinus paranasal berfungsi sebagai penahan (buffer) panas,

melindungiorbita dan fosa serebri dari suhu rongga hidung yang

berubah-ubah. Akan tetapi kenyataannya sinus-sinus yang besar tidak

terletak diantara hidung dan organ-organ yang dilindungi. (Soetjipto &

Mangunkusumo, 2000)

3) Membantu keseimbangan kepala

15

Page 16: step 1 - 6 (pbl2) belia

Sinus membantu keseimbangan kepala karena mengurangi berat tulang

muka. Akan tetapi bila udara dalam sinus diganti dengan tulang, hanya

akan memberikan penambahan berat sebesar 1% dari berat kepala,

sehingga teori ini dianggap tidak bermakna. (Soetjipto &

Mangunkusumo, 2000)

4) Membantu resonansi suara

Sinus mungkin berfungsi sebagai rongga untuk resonansi suara

danmempengaruhi kualitas suara, akan tetapi ada yang berpendapat,

posisisinus dan ostiumnya tidak memungkinkan sinus berfungsi

sebagai resonator yang efektif, lagipula tidak ada korelasi antara

resonansi suara dan besarnya sinus pada hewan tingkat rendah.

(Soetjipto & Mangunkusumo, 2000)

5) Sebagai peredam perubahan tekanan udara

Fungsi ini berjalan bila ada perubahan tekanan yang besar dan

mendadak, misalnya pada waktu bersin atau membuang ingus.

(Soetjipto & Mangunkusumo, 2000)

6) Membantu produksi mukus

Mukus yang dihasilkan oleh sinus paranasal memang jumlahnya kecil

dibandingkan dengan mukus dari rongga hidung, namun efektif untuk

membersihkan partikel yang turut masuk dengan udara inspirasi

karena mukus ini keluar dari meatus medius, tempat yang paling

strategis. (Soetjipto & Mangunkusumo, 2000)

Perdarahan Hidung

Bagian hidung mendapat perdarahan dari cabang a. maxillaris interna,

diantaranya ujung a.palatina mayor dan a. sfenopalatina yang keluar dari

foramen sfenopalatina bersama n. sfenopalatina dan memasuki rongga hidung

dibelakang ujung posterior konka media.Bagian depan hidung mendapat

perdarahan dari cabang-cabang a. fasialis. (Snell,2014)

16

Page 17: step 1 - 6 (pbl2) belia

Pada bagian depan septum terdapat anostomosis dari cabang-cabang a.

sfenopalatina, a. etmoid, a. labialis superior dan a. palatina mayor yang

disebut pleksus kiesselbach (little’s area) pleksus ini letaknya superfisial dan

mudah cedera oleh trauma sehingga sering menjadi epitaksis terutama pada

anak. (Snell,2014)

Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan

berdampingan dengan arterinya. Vena di vestibulum dan struktur luar hidung

bermuara ke vena oftalmika yang berhubungan dengan sinus

kavernosus.Vena-vena di hidung tidak memiliki katup sehingga merupakan

faktor predisposisi untuk mudahnya penyebaran infeksi sampai ke

intrakranial. (Snell,2014)

Persarafan Hidung

Bagian depan dan atas ronga hidung mendapat persarafan sensoris dari

n. etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari n. nasosiliaris yang

berasal dari n. oftalmikus. (Snell,2014)

Rongga hidung lainnya sebagian besar mendapat persarafan sensoris

dari n. maxilla melalui ganglion sfenopalatina.Ganglion ini selain

memberikan persarafan sensoris juga memberikan persarafan vasomotor atau

otonom untuk mukosa hidung. Ganglion ini menerima serabut sensoris dari n.

maxilla, serabut parasimpatis dari n. petrosus superfisialis mayor dan serabut-

serabut simpatis dari n. petrosus profundus. Ganglion sfenopalatinum terletak

dibelakang dan sedikit diatas ujung posterior konka media. (Snell,2014)

Nervus olfaktorius turun melalui lamina cribrosa dari permukaan

bawah bulbus olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung. (Snell,2014)

Histologi Hidung

Hidung

17

Page 18: step 1 - 6 (pbl2) belia

Luas permukaan cavum nasi kurang lebih 150 cmdan total volumenya

sekitar 15 ml. Sebagian besar dilapisi oleh mukosa respiratorius. Secara

histologis, mukosa hidung terdiri dari palut lendir (mucous blanket ), epitel

kolumnar berlapis semu bersilia, membrana basalis, lamina propria yang

terdiri dari lapisan subepitelial, lapisan media dan lapisan kelenjar profunda

(Mygind 1981).

a. Epitel Epitel mukosa hidung terdiri dari beberapa jenis, yaitu epitel

skuamous kompleks pada vestibulum, epitel transisional terletak tepat di

belakang vestibulum dan epitel kolumnar berlapis semu bersilia pada

sebagian mukosa respiratorius. Epitel kolumnar sebagian besar memiliki

silia. Sel-sel bersilia ini memiliki banyak mitokondria yang sebagian besar

berkelompok pada bagian apeks sel. Mitokondria ini merupakan sumber

energi utama sel yang diperlukan untuk kerja silia. Sel goblet merupakan

kelenjar uniseluler yang menghasilkan mukus, sedangkan sel basal

merupakan sel primitif yang merupakan sel bakal dari epitel dan sel

goblet. Sel goblet atau kelenjar mukus merupakan sel tunggal,

menghasilkan protein polisakarida yang membentuk lendir dalam air.

Distribusi dan kepadatan sel goblet tertinggi di daerah konka inferior

sebanyak 11.000 sel/mmdan terendah di septum nasi sebanyak 5700

sel/mm. Sel basal tidak pernah mencapai permukaan. Sel kolumnar pada

lapisan epitel ini tidak semuanya memiliki silia (Higler 1989; Ballenger

1996; Weir 1997).

Sedangkan pada konka superior ditutupi oleh epitel olfaktorius yang

khusus untuk fungsi menghidu/membau. Epitel olfaktorius tersebut terdiri

atas sel penyokong/sel sustentakuler, sel olfaktorius (neuron bipolar

dengan dendrit yang melebar di permukaan epitel olfaktorius dan bersilia,

berfungsi sebagai reseptor dan memiliki akson yang bersinaps dengan

neuron olfaktorius otak), sel basal (berbentuk piramid) dan kelenjar

Bowman pada lamina propria. Kelenjar Bowman menghasilkan sekret

yang membersihkan silia sel olfaktorius sehingga memudahkan akses

18

Page 19: step 1 - 6 (pbl2) belia

neuron untuk membau zat-zat. Cavum nasi bagian anterior pada tepi

bawah konka inferior 1 cm dari tepi depan memperlihatkan sedikit silia

(10%) dari total permukaan. Lebih ke belakang epitel bersilia menutupi

2/3 posterior kavum nasi (Ballenger 1996; Higler 1997; Weir 1997).

Silia merupakan struktur yang menonjol dari permukaan sel.

Bentuknya panjang, dibungkus oleh membran sel dan bersifat mobile.

Jumlah silia dapat mencapai 200 buah pada tiap sel. Panjangnya antara 2-6

μm dengan diameter 0,3 μm. Struktur silia terbentuk dari duamikrotubulus

sentral tunggal yang dikelilingi sembilan pasang mikrotubulus luar.

Masing-masing mikrotubulus dihubungkan satu sama lain oleh bahan

elastis yang disebut neksin dan jari-jari radial. Tiap silia tertanam pada

badan basal yang letaknya tepat dibawah permukaan sel (Higler 1989;

Ballenger 1996; Weir 1997).

Pola gerakan silia yaitu gerakan cepat dan tiba-tiba ke salah satu arah

(active stroke) dengan ujungnya menyentuh lapisan mukoid sehingga

menggerakan lapisan ini.. Kemudian silia bergerak kembali lebih lambat

dengan ujung tidak mencapai lapisan tadi (recovery stroke). Perbandingan

durasi geraknya kira-kira 1 : 3. Dengan demikian gerakan silia seolah-olah

menyerupai ayunan tangan seorang perenang. Silia ini tidak bergerak

secara serentak, tetapi berurutan seperti efek domino (metachronical

waves) pada satu area arahnya sama (Ballenger 1996).

Gerak silia terjadi karena mikrotubulus saling meluncur satu sama

lainnya. Sumber energinya ATP yang berasal dari mitokondria. ATP

berasal dari pemecahan ADP oleh ATPase. ATP berada di lengan dinein

yang menghubungkan mikrotubulus dalam pasangannya. Sedangkan

antara pasangan yang satu dengan yang lain dihubungkan dengan bahan

elastis yang diduga neksin (Mygind 1981; Waguespack 1995; Ballenger

1996).

Mikrovilia merupakan penonjolan dengan panjang maksimal 2 μm dan

diameternya 0,1 μm atau 1/3 diameter silia. Mikrovilia tidak bergerak

19

Page 20: step 1 - 6 (pbl2) belia

seperti silia. Semua epitel kolumnarbersilia atau tidak bersilia memiliki

mikrovilia pada permukaannya. Jumlahnya mencapai 300-400 buah tiap

sel. Tiap sel panjangnya sama. Mikrovilia bukan merupakan bakal silia.

Mikrovilia merupakan perluasan membran sel, yang menambah luas

permukaan sel. Mikrovilia ini membantu pertukaran cairan dan elektrolit

dari dan ke dalam sel epitel. Dengan demikian mencegah kekeringan

permukaaan sel, sehingga menjaga kelembaban yang lebih baik dibanding

dengan sel epitel gepeng (Waguespack 1995; Ballenger 1996).

b. Palut Lendir Palut lendir merupakan lembaran yang tipis, lengket dan liat,

merupakan bahan yang disekresikan oleh sel goblet, kelenjar seromukus

dan kelenjar lakrimal. Terdiri dari dua lapisan yaitu lapisan yang

menyelimuti batang silia dan mikrovili (sol layer ) yang disebut lapisan

perisiliar (Waguespack 1995; Ballenger 1996; Weir 1997; Lindberg

1997).

Cairan perisiliar mengandung glikoprotein mukus, protein serum,

protein sekresi dengan berat molekul rendah. Lapisan ini sangat

berperanan penting pada gerakan silia, karena sebagian besar batang silia

berada dalam lapisan ini, sedangkan denyutan silia terjadi di dalam cairan

ini. Diduga mukoglikoprotein ini yang menangkap partikel terinhalasi

dandikeluarkan oleh gerakan mukosiliar, menelan dan bersin. Lapisan ini

juga berfungsi sebagaipelindung pada temperatur dingin, kelembaban

rendah, gas atau aerosol yang terinhalasi serta menginaktifkan virus yang

terperangkap (Ballenger 1996; Weir 1997).

Kedalaman cairan perisiliar sangat penting untuk mengatur interaksi

antara silia dan palut lendir, serta sangat menentukan pengaturan

transportasi mukosiliar.(Sakakura 1994).

c. Membrana Basalis Membrana basalis terdiri atas lapisan tipis membran

rangkap dibawah epitel. Di bawah lapisan rangkap ini terdapat lapisan

yang lebih tebal yang terdiri atas kolagen dan fibril retikulin (Mygind

1981).

20

Page 21: step 1 - 6 (pbl2) belia

d. Lamina Propia Lamina propria merupakan lapisan dibawah membrana

basalis. Lapisan ini dibagi atas empat bagian yaitu lapisan subepitelial

yang kaya akan sel, lapisan kelenjar superfisial, lapisan media yang

banyak sinusoid kavernosus dan lapisan kelenjar profundus. Lamina

propria ini terdiri dari sel jaringan ikat, serabut jaringan ikat, substansi

dasar, kelenjar, pembuluh darah dan saraf (Mygind 1981; Ballenger

1996).

Mukosa pada sinus paranasal merupakan lanjutan dari mukosa hidung.

Mukosanya lebih tipis dan kelenjarnya lebih sedikit. Epitel toraknya

berlapis semu bersilia, bertumpu pada membran basal yang tipis dan

lamina propria yang melekat erat dengan periosteum dibawahnya. Silia

lebih banyak dekat ostium, gerakannya akan mengalirkan lendir ke arah

hidung melalui ostium masing-masing. Diantara semua sinus paranasal,

maka sinus maksila mempunyai kepadatan sel goblet yang paling tinggi

(Waguespack 1995; Ballenger 1996; Lindberg 1997).

1) Mukosa Hidung

Secara histoligi dan fungsional dibagi atas :

- Mukosa pernapasan (mukosa respiratori)

- Mukosa penghidu (mukosa olfaktorius)

Mukosa pernapasan terdapat pada sebagian besar rongga hidung.

Epitel organ pernapasan biasanya berupa epitel torak bersilia, bertingkat

palsu (pseudo stratified columnae ephitelium), berbeda-beda pada berbagai

bagian hidung, tergantung pada tekanan dan kecepatan aliran udara, suhu,

dan derajat kelembaban udara. (Snell,2014)

Lapisan mukus yang sangat kental dan lengket menangkap debu,

benda asing dan bakteri yang terhirup, dan melalui kerja silia benda-benda

ini diangkut ke faring, selanjutnya ditelan dan dihancurkan. Lisozim dan

IgA ditemukan pula dalam laapisan mukus, dan melindungi lebih lanjut

21

Page 22: step 1 - 6 (pbl2) belia

terhadap patogen. Lapisan mukus hidung diperbaharui 3-4 kali dalam 1 jam.

Silia begerak serempak secara cepat kearah aliran lapisan, kemudian

membengkok dan kembali tegak dengan lebih lambat. Kecepatan pukulan

silia kira-kira 700 – 1000 siklus per menit. (Snell,2014)

Dalam keadaan normal, mukosa berwarna merah muda dan selalu

basah karena diliputi oleh palut lendir (mucous blanket) pada

permukaannya. Palut lendir ini dihasilkan oleh kelenjar mukosa dari sel-sel

goblet. (Snell,2014)

Mukosa sinus paranasal berhubungan langsung dengan mukosa

rongga hidung didaerah ostium. Mukosa sinus menyerupai mukosa rongga

hidung, hanya lebih tipis dan pembluh darahnya lebih sedikit. Tidak

ditemukan rongga-rongga vaskuler yang besar. Sel-sel goblet dan kelenjar

lebih sedikit dan terutama ditemukan dekat ostium. Palut lendir didalam

sinus dibersihkan oleh silia dengan gerakan menyerupai spiral kearah

ostium. (Snell,2014)

Mukosa penghidu terdapat pada atap rongga hidung, konka

superior,dan sepertiga bagian atas septum. Mukosa dilapisi oleh epitel torak

berlapis semu dan tidak bersilia (pseudo stratified columnar non ciliated

ephitelium. Epitelnya dibentuk oleh tiga macam sel, yaitu sel penunjang, sel

basal, dan sel reseptor penghidu. Daerah mukosa penghidu berwarna coklat

kekuningan. (Snell,2014)

2) Silia

Silia terbentuk dari dua mikrotubulus sentral tungal yang

dikelilingi sembilan pasang mikro tubulus, semuanya terbungkus dalam

membran sel berlapis tiga yang tipis dan rapuh. (Snell,2014)

Silia mempunyai fungsi yang penting. Dengan gerakan silia yang

teratur, palut lendir didalam cavum nasi akan didorong kearah nasofaring.

Dengan demikian mukosa mempunyai daya untuk membersihkan dirinya

22

Page 23: step 1 - 6 (pbl2) belia

sendiri dan juga untuk mengeluarkan benda asing yang masuk ke dalam

rongga hidung. (Snell,2014)

Gangguan pada fungsi silia akan menyebabkan banyak sekret

terkumpul dan menimbulkan keluhan hidung tersumbat. Gangguan

gerakan silia dapat disebabkan oleh pengeringan udara yang berlebihan,

radang, sekret kental dan obat-obatan. (Snell,2014)

3) Area Olfaktorius

Epitel penghidu bertingkat torak terdiri dari tiga jenis sel:

1. Sel saraf bipolar olfaktoris

2. Sel sustentakular penyokong yang besar jumlahnya

3. Sejumlah sel basal yang kecil. Merupakan sel induk dari sel

sustentakular

Sel-sel penghidu ini merupakan satu-satunya bagian sistem saraf pusat

yang mencapai permukaan tubuh. (Snell,2014)

4) Pembuluh Darah

Pembuluh darah pada mukosa hidung mempunyai susunan yang

khas.Arteriol terletak pada bagian yang lebih dalam dari tunika propia dan

tersusun secara pararel dan longitudinal. Arteriol ini memberikan

perdarahan pada anyaman kapiler periglandular dan subepitelial.

(Snell,2014)

Pembuluh eferen dari anyaman kapler ini membuka ke rongga

sinusoid vena yang besar yang dindingnya dilapisi oleh jaringan elastik

dan otot polos.Pada bagian ujungnya sinusoid ini mempunyai sfingter

otot. Selanjutnya sinusoid akan mengaliskan darahnya ke pleksus vena

yang lebih dalam lalu ke venula. (Snell,2014)

Dengan susunan demikian mukosa hidung menyerupai suatu

jaringan kavernosus yang erektil, yang mudah mengambang dan

23

Page 24: step 1 - 6 (pbl2) belia

mengerut. Vasodilatasi dan vasokontriksi pembuluh darah ini dipengaruhi

saraf otonom. (Snell,2014)

5) Suplai Saraf

Yang terlibat langsung saraf kranial pertama untuk penghiduan,

divisi oftalmikus dan maxillaris dari saraf trigeminus untuk impuls afferen

sensorik lainnya, saraf fasialis untuk gerakan otot-otot pernafasan pada

hidung luar, dan system saraf otonom. (Snell,2014)

6) Sistem Limfatik

Suplai limfatik hidung amat kaya dimana terdapat jaringan

pembuluh anterior dan posterior.Jaringan limfatik anterior adalah kecil

dan bermuara di sepanjang pembuluh fasialis yang menuju ke

leher.Jaringan ini mengurus hampir seluruh bagian anterior hidung-

vestibulum dan daerah prekonka. (Snell,2014)

Jaringan limfatik posterior mengurus mayoritas anatomi hidung,

menggabungkan ketiga saluran utama di daerah hidung belakang-saluran

superior, media, dan inferior.Kelompok superior berasal dari konka media

dan superior dan bagian dinding hidung yang berkaitan, berjalan di atas

eustachius dan bermuara pada kelenjar limfe retrofaringea. Kelompok

media, berjalan dibawah tuba eustachius, mengurus konka inferior, meatus

inferior, dan sebagian dasar hidung, dan menuju rantai kelenjar limfe

jugularis. Kelompok inferior berasal dari septum dan sebagian dasar

hidung, berjalan menuju kelenjar limfe di sepanjang pembuluh jugularis

interna. (Snell,2014)

2. Koagulasi Darah

Hemostasis adalah penghentian pendarahan yang terjadi akibat

trauma terputusnya integritas pembuluh darah. Terdapat 4 fase hemostasis.

Fase pertama adalah konstriksi pembuluh darah yang rusak untuk mengurangi

aliran darah distal terhadap luka. Fase kedua terdiri dari pembentukan

24

Page 25: step 1 - 6 (pbl2) belia

sumbatan trombosit yang longgar, atau thrombus putih, pada tempat luka

bekerja sebagai respon terhadap kolagen pengikat trombosit, yang sebagai

respon terhadap kolagen pengikat, mengalami kerusakan struktur interna dan

mebebaskan tromboxan dan ADP. Ini merangsang trombosit lain untuk

melekat pada trombosit yang terikat pada kolagen, membentuk sumbat

trombosit longgar dan sementara. Fase hemostasis ini mengukur dengan

menentukan waktu pendarahan. Fase ketiga adalah pembentukan thrombus

merah (bekuan darah). Fase keempat adalah disolusi (pelarutan) sebagian atau

seluruh bekuan.(Guyton, 2007)

Gambar 2.1 Proses Koagulasi Darah (Guyton, 2007)

Trombosit pecah pada saat menyentuh permukaan luka yang kasar akan

mengeluarkan enzim trombokinase. Enzim trombokinase menyebabkan

perubahab protrombin menjadi trombin. Perubahan tersebut dipercepat oleh

ion kalsium. Selanjutnya, thrombin mengubah fibrinogen menjadi benang-

benang fibrin. (Sherwood, 2001)

25

Page 26: step 1 - 6 (pbl2) belia

Terdapat dua faktor yang menyebabkan pembekuan darah yaitu faktor

instrinsik dan ekstrinsik. Proses yang mengawali pembentukan bekuan fibrin

sebagai respon terhadap cedera jaringan dilaksanakan oleh lintasan ekstrinsik.

Sedangkan lintasan instrinsik terjadi karena pengaruh dari protein kolagen dan

kalikrein di dalam tubuh. Lintasan ekstrinsik dan instrinsik menyatu dalam

lintasan akhir yang sama yaitu pengaktifan protrombin menjadi thrombin.

(Sherwood, 2001)

Gambar 2.2 Mekanisme koagulasi secara instrinsik dan ekstrinsik

(Sherwood, 2001)

26

Page 27: step 1 - 6 (pbl2) belia

Lintasan intrinsik, ekstrinsik, dan lintasan terakhir melibatkan banyak macam

protein yang dapat diklasifikasikan sebagai berikut: zimogen protease,

kofaktor, fibrinogen, transglutaminase, dan protein pengatur. (Sherwood,

2001)

Gambar.2.3 Tabel factor koagulasi (Sherwood L. 2001)

27

Page 28: step 1 - 6 (pbl2) belia

Proses pembekuan darah ini merupakan mekanisme bertingkat yang

melibatkan kesinambungan pengaktifan faktor yang satu dengan yang lainnya.

Pada tahap terakhir trombin akan mengubah fibrinogen menjadi serat fibrin

yang dapat menjaring platelet trombosit, sel darah merah, dan plasma

sehingga terbentuk bekuan darah. Fibrinogen (340 kDa) merupakan

glikoprotein plasma yang bersifat dapat larut, terdiri atas tiga pasang rantai

polipeptida nonidentik, pada kedua rantainya terdapat fibrinopeptida yang

mengandung muatan negatif berlebihan yang turut memberikan sifat dapat

larut. Benang fibrin merupakan produk degradasi fibrinogen oleh trombin,

yang masih memiliki 98% residu yang terdapat dalam fibrinogen. Trombin

menghidrolisis empat ikatan Arg-Gli diantara molekul-molekul fibrinopeptida

sehingga memungkinkan monomer fibrin mengadakan agregrasi spontan

dengan susunan bergiliran sehingga terbentuk bekuan fibrin yang tidak larut.

Polimerisasi fibrin terjadi akibat adanya ikatan hidrogen yang distabilkan oleh

ikatan kovalen. (Sherwood, 2001)

3. Patofisiologi epistaksis pada berbagai penjyakit (etiologi)?

Beberapa penyebab epistaksis dapat digolongkan menjadi etiologi lokal dan

sistemik. (Soepardi, 2012)

Etiologi local

a. Trauma lokal misalnya setelah membuang ingus dengan keras, mengorek

hidung, fraktur hidung atau trauma maksilofasia lainnya.

b. Tumor, baik tumor hidung maupun sinus yang jinak dan yang ganas.

Tersering adalah tumor pembuluh darah seperti angiofibroma dengan ciri

perdarahan yang hebat dan karsinoma nasofaring dengan ciri perdarahan

berulang ringan bercampur lendir atau ingus.

28

Page 29: step 1 - 6 (pbl2) belia

c. Idiopatik yang merupakan 85% kasus epistaksis, biasanya ringan dan berulang

pada anak dan remaja. Ketiga diatas ini merupakan penyebab lokal tersering.

Eiologi lainnya yaitu

a. iritasi gas atau zat kimia yang merangsang ataupun udara panas pada mukosa

hidung;

b. Keadaan lingkungan yang sangat dingin

c. Tinggal di daerah yang tinggi atau perubahan tekanan atmosfir yang tiba tiba

d. Pemakaian semprot hidung steroid jangka lama

e. Benda asing atau rinolit dengan keluhan epistaksi ringan unilateral clsertai

Ingus berbau busuk.

Etiologi sistemik

a. Hipertensi dan penyakit kardiovaskuler lainnya seperti arteriosklerosis.

Hipertensi yang disertai atau tanpa arteriosklerosis rnerupakan penyebab

epistaksis tersering pada usia 60-70 lahun, perdarahan biasanya hebat

berulang dan mempunyai prognosis yang kurang baik,

b. Kelainan perdarahan misalnya leukemia, hemofilia, trombositopenia dll.

c. Infeksi, misalnya demam berdarah disertai trornbositopenia, morbili, demam

tifoid dll.

Termasuk etiologi sistemik lain

a. Lebih jarang terjadi adalah gangguan keseimbangan hormon misalnya pada

kehamilan, menarke dan menopause

b. kelainan kongenital misalnya hereditary hemorrhagic Telangieclasis atau

penyakit Rendj-Osler-Weber;

29

Page 30: step 1 - 6 (pbl2) belia

c. Peninggian tekanan vena seperti pada ernfisema, bronkitis, pertusis,

pneumonia, tumor leher dan penyakit jantung

d. pada pasien dengan pengobatan antikoagjlansia.

Mekanisme :

a) Trauma

Perdarahan dapat terjadi karena trauma ringan misalnya, mengorek hidung,

benuran ringan, bersin atau mengeluarkan ingus terlalu keras atau sebagai

akibat trauma yang lebih hebat seperti kena pukul, jatuh atau kecelakaan lalu

lintas. Selain itu juga bias terjadi akibat adanya benda asing tajam/trauma

pembedahan. (Soepardi, 2012)

b) Neoplasma (Tumor)

Mekanisme pembentukan neoplasma atau tumor ganas disebut dengan

Karsinogenesis. Karsinogenesis merupakan suatu proses multi-tahap.

Sebagian besar karsinogen sebenarnya tidak reaktif (prokarsinogen atau

karsinogen proximate), namun di dalam tubuh diubah menjadi karsinogen

awal (primary) atau menjadi karsinogen akhir (ultimate).SitokromP450 suatu

mono-oksidase dependen retikulum endoplasmik sering mengubah karsinogen

proximate menjadi intermediatedefisienelektron yang reaktif

(electrophils).Intermediate (zat perantara) yang reaktif ini dapat berinteraksi

dengan pusat-pusat di DNA yang kaya elektron (nucleophilic) untuk

menimbulkan mutasi.Interaksi antara karsinogen akhir dengan DNA semacam

ini dalam suatu sel diduga merupakan tahap awal terjadinya karsinogenesis

kimiawi.DNA sel dapat pulih kembali bila mekanisme perbaikannya normal,

namun bila tidak sel yang mengalami perubahan dapat tumbuh menjadi tumor

yang akhirnya nampak secara klinis.Ko-karsinogen (promoter) sendiri bukan

karsinogen.Promoter berperan mempermudah pertumbuhan dan

perkembangan sel tumor dormant atau latent. Waktu yang diperlukan untuk

terjadinya tumor dari fase awal tergantung pada adanya promoter tersebut dan 30

Page 31: step 1 - 6 (pbl2) belia

untuk kebanyakan tumor pada manusia periode laten berkisar dari 15 sampai

45 tahun. (Soepardi, 2012)

c) Penyakit Kardiovaskuler

Pada hipertensi, baroreseptor tidak berespon untuk mengembalikan tekanan

darah ke tingkat normal karena mereka telah beradaptasi atau mengalami reset

(pengaturan ulang) untuk bekerja pada tingkat yang lebihtinggi. Pada tekanan

darah yang meninggi secara kronik, baroreseptor masih berfungsimengatur

tekanan darah, tetapi mereka mempertahankan pada tekanan rata– rata yang

lebihtinggi. (Soepardi, 2012)

Hipertensi menimbulkan stress pada jantung dan pembuluh darah. Jantung

mengalami peningkatan beban kerja karena harus memompa melawan

resistensi perifer total yangmeningkat, sementara pembuluh darah dapat

mengalami kerusakan akibat tekanan internalyang tinggi, terutama apabila

dinding pembuluh melemah akibat proses degenerativeaterosklerosis. Penyulit

hipertensi antara lain adalah gagal jantung kongestif akibat ketidak mampuan

jantung memompa darah melawan peningkatan arteri, stroke akibat rupturnya

pembuluh di otak, atau serangan jantung akibat rupturnya pembuluh koroner.

Perdarahanspontan akibat pecahnya pembuluh– pembuluh kecil di bagian

tubuh lain juga dapat terjadi,tetapi dengan akibat yang relative lebih ringan,

misalnya ruptur pembuluh darah di hidungyang menyebabkan epistaksis.

(Soepardi, 2012)

Pemeriksaan arteri kecil dan sedang pada orang yang berusia menengah dan

lanjut,terlihat perubahan progresif dari otot pembuluh darah tunika media

menjadi jaringan kolagen.Perubahan tersebut bervariasi dari fibrosis

interstitial sampai perubahan yang kompletmenjadi jaringan parut. Perubahan

tersebut memperlihatkan gagalnya kontraksi pembuluhdarah karena hilangnya

otot tunika media sehingga mengakibatkan perdarahan yang banyak dan

lama.Pada orang yang lebih muda, pemeriksaan di lokasi perdarahan setelah

terjadinyaepistaksis memperlihatkan area yang tipis dan lemah.Kelemahan

31

Page 32: step 1 - 6 (pbl2) belia

dinding pembuluh darah inidisebabkan oleh iskemia lokal atau trauma.

(Soepardi, 2012)

d) Tumor (Angiofibroma)

JNA merupakan tumor jinak pembuluh darah di nasofaring yang secara

histologis jinak namun secara klinis bersifat ganas karena berkemampuan

merusak tulang dan meluas ke jaringan di sekitarnya, misalnya: ke sinus

paranasal, pipi, rongga mata atau tengkorak (cranial vault), sangat mudah

berdarah dan sulit dihentikan.

Menurut Tewfik TL (2007), tumor mulai tumbuh di dekat foramen

sfenopalatina. Tumor-tumor yang besar seringkali memiliki dua lobus

(bilobed) atau dumbbell-shaped, dengan satu bagian tumor mengisi nasofaring

dan bagian yang lainnya meluas ke fossa pterigopalatina.

Pertumbuhan anterior terjadi pada membran mukosa nasofaring,

memindahkannya ke anterior dan inferior menuju ke ruang postnasal.Pada

akhirnya, rongga hidung terisi pada satu sisinya, dan septumnya berdeviasi

(“bengkok”) ke sisi lainnya.

Pertumbuhan superior langsung menuju sinus sfenoid, yang dapat juga terjadi

erosi (eroded). Cekungan sinus (cavernous sinus) dapat “diserbu” atau

diinvasi juga jika tumor berkembang lebih lanjut.

Penyebaran lateral langsung menuju fossa pterigopalatina, mendesak dinding

posterior sinus maksila. Lalu, fossa infratemporal dimasuki atau diinvasi.

(Soepardi, 2012)

Adakalanya, bagian sfenoid yang lebih besar (the greater wing of the

sphenoid) dapat ter-erosi, membuka middle fossa dura.Terjadi proptosis dan

atrofi nervus optikus jika fissura orbita didesak oleh tumor. (Soepardi, 2012)

Kejadian angiofibroma ekstranasofaring sangatlah jarang dan cenderung

terjadi pada pasien yang lebih tua, terutama pada wanita, namun tumor jenis

ini lebih sedikit melibatkan pembuluh darah (less vascular) dan kurang agresif

(less aggressive) jika dibandingkan dengan JNA. (Soepardi, 2012)

32

Page 33: step 1 - 6 (pbl2) belia

e) Kelainan darah

Trombositopenia :

Trombositopenia adalah suatu keadaan jumlah trombosit dalam sirkulasi

darah dibawah batas normal . Dalam hal ini,  trombositopenia secara khusus 

didefinisikan sebagai  jumlah trombosit  kurang dari 100.000  trombosit/uL.

Jumlah yang trombosit  rendah trombositopenia, dapat disebabkan  oleh

berbagai keadaan. (Soepardi, 2012). Secara umum, dapat dibagi menjadi :

1. Penurunan produksi trombosit

2. Peningkatan  kerusakan atau konsumsi trombosit

3. Peningkatan sekuestrasi trombosit oleh limpa atau kombinasi dari

mekanisme tersebut

Jumlah trombosit dalam darah disebut juga sebagai jumlah platelet normalnya

adalah antara 150.000 sampai 450.000 per liter mikro (sepersejuta liter)

darah. Jumlah trombosit kurang dari 150.000 ini disebut

trombositopenia.Yang lebih besar dari 450.000 disebut trombositosis. Penting

untuk dicatat bahwa, meskipun, jumlah platelet menurun pada

trombositopenia, namun fungsi mereka biasanya sepenuhnya tetap

utuh. Gangguan lain, berupa disfungsi trombosit meskipun jumlah trombosit

masih normal. (Soepardi, 2012)

Jumlah trombosit yang sangat rendah pada kasus berat dapat menyebabkan

perdarahan spontan atau dapat menyebabkan keterlambatan proses

pembekuan. Pada trombositopenia ringan, mungkin tidak ada pengaruh dalam

jalur pembekuan atau perdarahan. (Soepardi, 2012)

Hemofilia :

Hemofilia adalah penyakit kelainan koagulasi darah congenital karena anak

kekurangan faktor pembekuan VIII (hemofilia A) atau faktor IX (hemofilia B,

atau penyakit Christmas). Penyakit kongenital ini diturunkan oleh gen resesif

33

Page 34: step 1 - 6 (pbl2) belia

terkait-X dari pihak ibu. F VIII dam F IX adalah protein plasma yang

merupakan komponen yang yang diperlukan untuk pembekuan darah; faktor-

faktor tersebut diperlukan untuk pembentukan bekuan fibrin pada tempat

cidera vascular. Proses hemostasis tergantung pada faktor koagulasi,

trombosit dan pembuluh darah. Mekanisme hemostasis terdiri dari respons

pembuluh darah, adesi trombosit, agregasi trombosit, pembentukan bekuan

darah, stabilisasi bekuan darah, pembatasan bekuan darah pada tempat cedera

oleh regulasi antikoagulan, dan pemulihan aliran darah melalui proses

fibrinolisis dan penyembuhan pembuluh darah. Cedera pada pembuluh darah

akan menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah dan terpaparnya darah

terhadap matriks subendotelial. Faktor von Willebrand (vWF) akan teraktifasi

dan diikuti adesi trombosit. (Soepardi, 2012)

Setelah proses ini, adenosine, diphosphatase, tromboxane A2 dan protein lain

trombosit dilepaskan granul yang berada di dalam trombosit dan

menyebabkan agregasi trombosit dan perekrutan trombosit lebih lanjut.

Cedera pada pembuluh darah juga melepaskan tissue faktor dan mengubah

permukaan pembuluh darah, sehingga memulai kaskade pembekuan darah dan

menghasilkan fibrin. Selanjutnya bekuan fibrin dan trombosit ini akan

distabilkan oleh faktor XIII. Kaskade pembekuan darah klasik diajukan oleh

Davie dan Ratnoff pada tahun 1950an. Kaskade ini menggambarkan jalur

intrinsik dan ekstrinsik pembentukan thrombin. Meskipun memiliki beberapa

kelemahan, kaskade ini masih dipakai untuk menerangkan uji koagulasi yang

lazim dipakai dalam praktek sehari-hari.Pada penderita hemofilia dimana

terjadi defisit F VIII atau F IX maka pembentukan bekuan darah terlambat

dan tidak stabil. Oleh karena itu penderita hemofilia tidak berdarah lebih

cepat, hanya perdarahan sulit berhenti. (Soepardi, 2012)

Pada perdarahan dalam ruang tertutup seperti dalam sendi, proses perdarahan

terhenti akibat efek tamponade.Namun pada luka yang terbuka dimana efek

tamponade tidak ada, perdarahan masif dapat terjadi. Bekuan darah yang

terbentuk tidak kuat dan perdarahan ulang dapat terjadi akibat proses

34

Page 35: step 1 - 6 (pbl2) belia

fibrinolisis alami atau trauma ringan. Defisit F VIII dan F IX ini disebabkan

oleh mutasi pada gen F8 dan F9. Gen F8 terletak di bagian lengan panjang

kromosom X di regio Xq28, sedangkan gen F9 terletak di regio Xq27.2,14

Terdapat lebih dari 2500 jenis mutasi yang dapat terjadi, namun inversi 22

dari gen F8 merupakan mutasi yang paling banyak ditemukan yaitu sekitar

50% penderita hemofilia A yang berat. Mutasi gen F8 dan F9 ini diturunkan

secara x-linked resesif sehingga anak laki-laki atau kaum pria dari pihak ibu

yang menderita kelainan ini. (Soepardi, 2012)

Pada sepertiga kasus mutas spontan dapat terjadi sehingga tidak dijumpai

adanya riwayat keluarga penderita hemofilia pada kasus demikian. Wanita

pembawa sifat hemofilia dapat juga menderita gejala perdarahan walaupun

biasanya ringan. Sebuah studi di Amerika Serikat menemukan bahwa 5 di

antara 55 orang penderita hemofilia ringan adalah wanita. (Soepardi, 2012)

35

Page 36: step 1 - 6 (pbl2) belia

Gambar 3.1 Trombositopen (Soepardi, 2012)

Leukimia :

Leukemia akut dan kronis merupakan suatu bentuk keganasan atau maligna

yang muncul dari perbanyakan klonal sel-sel pembentuk sel darah yang tidak

terkontrol.Mekanisme kontrol seluler normal mungkin tidak bekerja dengan

baik akibat adanya perubahan pada kode genetik yang seharusnya

bertanggung jawab atas pengaturan pertubuhan sel dan diferensiasi.

Sel-sel leukemia menjalani waktu daur ulang yang lebih lambat dibandingkan

sel normal. Proses pematangan atau maturasi berjalan tidak lengkap dan

lanbar dan bertahan hidup lebih lama dibandingkan sel sejenis yang normal.

Blastosit abnormal gagal berdiferensiasi menjadi bentuk dewasa, sementara

proses pembelahan berlangsung terus. Sel-sel ini mendesak komponen

36

Page 37: step 1 - 6 (pbl2) belia

hemopoitik normal sehingga terjadi kegagalan sumsum tulang.Disamping itu,

sel-sel abnormal melalui peredaran darah melakukan infiltrasi ke organ-organ

tubuh. (Soepardi, 2012)

Penyebab : Penyebab leukemia belum diketahui secara pasti, namun diketahui

beberapa faktor yang dapat mempengaruhi frekuensi leukemia, seperti:

Faktor leukemogenik

Terdapat beberapa zat kimia yang telah diidentifikasi dapat mempengaruhi

frekuensi leukemia:

1) Racun lingkungan seperti benzena

2) Bahan kimia industri seperti insektisida

3) Obat untuk kemoterapi

f) Kelainan kongenital

Kelainan kongenital merupakan kelainan dalam pertumbuhan strukturbayi

yang timbul sejak kehidupan hasiI konsepsi sel telur.Kelainan kongenitaldapat

merupakan sebab penting terjadinya abortus, lahir mati atau kematiansegera

setelah lahir. Kematian bayi dalam bulan-bulan pertamakehidupannya sering

diakibatkan oleh kelainan kongenital yang cukup berat,hal ini seakan-akan

merupakan suatu seleksi alam terhadap kelangsunganhidup bayi yang

dilahirkan. Bayi yang dilahirkan dengan kelainan kongenitaIbesar, umumnya

akan dilahirkan sebagai bayi berat lahir rendah bahkansering pula sebagai

bayi kecil untuk masa kehamilannya. Bayi berat lahirrendah dengan kelainan

kongenital berat, kira-kira 20% meninggal dalamminggu pertama

kehidupannya. (Soepardi, 2012)

Disamping pemeriksaan fisik, radiologik danlaboratorik untuk menegakkan

diagnose kelainan kongenital setelah bayilahir, dikenal pula adanya diagnosisi

pre/- ante natal kelainan kongenitaldengan beberapa cara pemeriksaan tertentu

misalnya pemeriksaanultrasonografi, pemeriksaan air ketuban dan darah janin.

(Soepardi, 2012)

4. Hubungan epistaksis dengan keluhan pusing pasien ?

37

Page 38: step 1 - 6 (pbl2) belia

Aktivitas yang meningkatkan vasokonstriksi menyebabkan

sakit kepala, pusing karena adanya peningkatan tekanan vaskuler serebral dan

yang berperan dalam tekanan darah adalah sistem baroreseptor arteri terutama

ditemukan pada sinus carotis, tapi juga dalam aorta dan dinding ventrikel.

Baroreseptor ini memonitor derajat tekanan arteri. Sistem baroreseptor

meniadakan peningkatan tekanan arteri melalui mekanisme perlambatan

jantung oleh respon vagal (stimulasi parasimpatis) dan vasodilatasi dengan

penurunan tonus simpatis. Oleh karena itu, refleks kontrol sirkulasi

meningkatkan tekanan arteri sistemik bila tekanan baroreseptor turun dan

menurunkan tekanan arteri sistemik bila tekanan baroreseptor meningkat.

Pengaturan kontrol ini tidak terjadi pada hipertensi sehingga tekanan vaskuler

meningkat secara tidak adekuat yang mengakibatkan peningkatan tekanan

vaskular serebral. Akibat dari peningkatan tekanan dari vaskular tersebut

sehingga menekan serabut saraf otak yang menyebabkan nyeri kepala pada

pasien hipertensi. (Adams, 1997)

Mimisan dan sakit kepala, dalam kedua kombinasi, adalah

tanda-tanda tekanan darah tinggi. Mimisan karena tekanan darah tinggi harus

diatasi sesegera mungkin, untuk menghindari komplikasi lebih lanjut.

Kondisi gabungan ini juga merupakan tanda dari anemia. Pemeriksaan

lengkap harus dilakukan untuk mengetahui apakah seseorang menderita

anemia atau tekanan darah tinggi. (Adams, 1997)

Jika tekanan darah dan hasil tes lainnya normal, ini

menunjukkan bahwa orang tersebut tidak menderita mimisan parah.

Penyebab umum dari mimisan merupakan benturan pada kepala. Sebuah

benturan di kepala bisa menyebabkan pembuluh darah besar hadir pada

bagian belakang hidung yang mengalami kerusakan. Hal ini disebut sebagai

mimisan posterior, yang umum di kalangan orang tua dan mereka yang

menderita tekanan darah tinggi.Dalam kasus tersebut, mimisan disertai

38

Page 39: step 1 - 6 (pbl2) belia

dengan sakit kepala.

Seringkali, kekeringan pada selaput lendir yang melapisi hidung juga bisa

menyebabkan mimisan dan sakit kepala. Keringnya selaput lendir

menyebabkan retak dan pendarahan, yang juga dapat menyebabkan

ketidaknyamanan dan iritasi hidung.

Meskipun infeksi sinus tidak menyebabkan mimisan, itu adalah salah satu

penyebab umum karena terlalu sering menggunakan dekongestan, seperti

semprotan hidung. (Adams, 1997)

39

Page 40: step 1 - 6 (pbl2) belia

Daftar Pustaka

Adams, George L. 1997 Boies: buku ajar penyakit THT (Boeis fundamentals

of otolaryngology).Edisi ke-6. Jakarta: EGC

Guyton, AC. Hall JE. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran.Edisi

11.Jakarta.EGC

Faiz O, Moffat D. Anatomy at a Glance [e-book]. 2002. England: Blackwell

Science.

Soepardi, dkk. 2012. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok

Kepala dan Leher Edisi Ketujuh.Jakarta : EGC

Sherwood L. 2001. Fisiologi manusia dari sel ke sistem. Ed 2. Jakarta : EGC.

40