37
FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA (UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA) Jl. Arjuna Utara No.6 Kebun Jeruk – Jakarta Barat KEPANITERAAN KLINIK STATUS ILMU BEDAH FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA SMF BEDAH RUMAH SAKIT BAYUKARTA KARAWANG Nama Mahasiswa : Eka Putri Maulani Tanda Tangan : NIM : 11-2013-104 Dokter Pembimbing : dr. Rio Andreas, SpB I. IDENTITAS PASIEN Nama lengkap : Sdr. FB Jenis kelamin : Laki-laki Tempat / tanggal lahir : Karawang, 5 Mei 1994 Suku bangsa : Jawa Status perkawinan : Belum menikah Pekerjaan : Karyawan Swasta Umur : 20 tahun Agama : Islam Alamat : Kp. Kebon I RT 1/1 Pendidikan : SMA Tanggal masuk rumah sakit : 15- 03-2015, pukul : 11:37 Page | 1

Status Traumatik

Embed Size (px)

DESCRIPTION

medicine

Citation preview

Page 1: Status Traumatik

FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA

(UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA)

Jl. Arjuna Utara No.6 Kebun Jeruk – Jakarta Barat

KEPANITERAAN KLINIK

STATUS ILMU BEDAH

FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA

SMF BEDAH

RUMAH SAKIT BAYUKARTA KARAWANG

Nama Mahasiswa : Eka Putri Maulani Tanda Tangan :

NIM : 11-2013-104

Dokter Pembimbing : dr. Rio Andreas, SpB

I. IDENTITAS PASIEN

Nama lengkap : Sdr. FB Jenis kelamin : Laki-laki

Tempat / tanggal lahir : Karawang, 5 Mei 1994 Suku bangsa : Jawa

Status perkawinan : Belum menikah Pekerjaan : Karyawan Swasta

Umur : 20 tahun Agama : Islam

Alamat : Kp. Kebon I RT 1/1 Pendidikan : SMA

Tanggal masuk rumah sakit : 15-03-2015,

pukul : 11:37

II. ANAMNESIS

Diambil dari: Autoanamnesis, Tanggal : 15-03-2015 , Jam : 13:00 WIB

Keluhan Utama: Nyeri pada kaki kanan setelah kecelakaan motor 8 jam SMRS.

Anamnesis :

Os jatuh dari motor saat sedang melakukan perjalanan pulang ke rumah selepas kerja

malam kira-kira pukul 04.00 WIB. Karena rasa kantuk yang tak tertahankan saat mengemudi

motor, os merasa kehilangan keseimbangan, kemudian os menabrak tiang listrik. Os terpental

dan tidak sadarkan diri setelah kejadiaan kecelakaan tersebut. Os terjatuh dalam keadaan

Page | 1

Page 2: Status Traumatik

menggunakan helm, namun kaki kanan diduga membentur tiang listrik lalu kemudian os

terbanting jatuh ke aspal. Os mengaku mengendarai motor dalam kecepatan tinggi, namun

tidak tahu persis berapa kecepatannya. Saat kejadian, os dalam keadaan tidak sadarkan diri.

Os mulai sadar saat dibawa ke salah satu rumah sakit terdekat sebelum dirujuk ke UGD RS.

Bayukarta. Mual, pusing dan nyeri pada kaki kanan dikeluhkan oleh os. Muntah disangkal

oleh pasien.

Mechanism of Injury :

8 jam SMRS pasien jatuh dari motor dengan posisi kaki kanan membentur tiang listrik lalu

terbanting dan jatuh ke aspal. Pasien tidak sadarkan diri saat kejadian.

Primary Survey

Airway : Clear

Breathing : Adekuat/spontan.

Circulation : Nadi lemah 120 kali/menit, TD 80/40 mmHg, pasien terlihat pucat.

Disability : GCS 15 (E4 V5 M6), compos mentis/Alert.

Exposure : Patah tulang tertutup 1/3 distal femur dextra dengan tanda-tanda kompartmen

syndrome.

Secondary Survey

Keadaan umum : pasien tampak sakit berat

Kesadaran : Compos Mentis

Tanda-tanda vital : TD : 80/40 N : 120 x/menit RR : 28 x/menit S : 37,1 0C

Kepala : dalam keadaan normal

Mata : konjungtiva anemis, sklera tidak ikterik, kornea jernih, pupil bulat,

isokor.

Telinga : Bentuk normal, sekret -/-, serumen -/-

Hidung : Bentuk normal, tidak ada deviasi septum nasi, sekret -/-, krepitasi(-)

Mulut : Simetris

Leher : Bentuk normal

Thorax :

Paru-paru :

Inspeksi : Bentuk normal, tampak simetris dalam statis dan dinamis, retraksi sela iga

(-)

Page | 2

Page 3: Status Traumatik

Palpasi : tidak teraba adanya kelainan

Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru

Auskultasi : Bunyi nafas vesikuler (+/+), wheezing(-/-), Ronkhi (-/-)

Jantung :

Inspeksi : Ictus cordis tak tampak

Palpasi : Ictus cordis teraba i.c.s. V midclavicula line sinistra., kuat angkat

Perkusi : Redup pada ; batas atas : i.c.s. II parasternal line sin.

batas kanan : midsternal line

batas kiri : i.c.s. V midclavicula line sin.

Auskultasi : Bunyi jantung I dan II reguler murni, murmur (-), gallop (-)

Abdomen :

Inspeksi : Datar, tidak terdapat luka post op, ataupun kelainan lainnya

Palpasi : Supel, hepar dan lien tidak teraba membesar, nyeri tekan (-) di daerah perut

bawah, defense muskular(-)

Perkusi : Timpani, meteorismus (-), pekak (-)

Auskultasi : Bising usus (+) normal

Ekstremitas

Kanan Kiri

Tonus : normotonus normotonus

Massa : normotrofi normotrofi

Sendi : normal normal

Gerakan : tidak bisa bergerak normal

Kekuatan : 3 5

Edem : (-) (-)

Lain-lain :

III.STATUS LOKALIS

Fraktur tertutup 1/3 distal femur dextra dan fraktur terbuka 1/3 proximal tibia dextra.

Look : edema (+), terlihat deformitas berupa pemendekan.

Palpasi : teraba bengkak, nyeri tekan (+).

Move : ROM menurun, tidak bisa menggerakkan sendi panggul dan tungkai kanan.

Page | 3

Page 4: Status Traumatik

IV. DIAGNOSIS

Fraktur tertutup 1/3 distal femur dextra dan fraktur terbuka 1/3 proximal tibia dextra.

Dasar diagnosis : terdapat nyeri pada daerah tungkai kanan bawah, edema (+), tampak

tulang patah dalam keadaan terbuka, perdarahan (+), tungkai tidak dapat digerakkan. Pada

hasil radiologi ditemukan fraktur os femur dan tibia dextra sepertiga distal, displaced.

V. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan Hasil Nilai Normal Satuan

Darah Rutin

Page | 4

Page 5: Status Traumatik

Hemoglobin

Leukosit

Hematokrit

LED/BSE

Trombosit

Eritrosit

7,1

23,7

20

3

181

2,43

11,5-18

4,6-10,2

37-54

0-20

150-400

3,8-6,5

g/dl

K/uL

%

mm/1jam

K/uL

M/uL

Hitung Jenis Leukosit

Basofil

Eosinofil

Batang/stat

Limfosit

Monosit

Segmen

0

0

0

9

7

84

0-1

0-3

0-5

25-50

2-10

50-80

%

%

%

%

%

%

Nilai eritrosit rata-rata

VER (MCV)

HER (MCH)

KHER (MCHC)

83,1

29,2

35,1

80-100

26-32

31-36

fL

pg

g/dl

Pemeriksaan Hasil Nilai Normal Satuan

Golongan Darah +

Rhesus

Golongan darah ABO

Rhesus

A

Positif

Faktor Pembekuan

Masa Perdarahan

Masa Pembekuan

4

10

1-6

4-15

Menit

Menit

Fungsi Ginjal

Ureum

Creatinin

Uric acid

22

0,6

6,6

20-40

0,5-1,5

2,5-7

Mg/dl

Mg/dl

Mg/dl

Page | 5

Page 6: Status Traumatik

Gula Darah Sewaktu

GDS 148 80-140 Mg/dl

VI. RINGKASAN

Laki-laki, 21 tahun, mengalami kecelakaan kerja saat pulang bekerja dengan membawa

motor. Kecelakaan akibat menabrak tiang listrik, mengakibatkan kaki kanan luka dan

patah secara terbuka. Luka cukup kotor dan mengeluarkan banyak darah.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan tanda-tanda vital : RR 28 x/menit , Nadi 120

kali/menit, TD 80/40 mmHg, suhu: 37,1°C terdapat luka patah terbuka di bagian

tungkai kanan bawah. Terdapat luka robek di sekitarnya dan mengeluarkan cukup

banyak darah, disertai dengan luka lecet ringan di beberapa tempat.

Inspeksi : pucat pada wajah, conjungtiva anemis, tampak fraktur terbuka di 1/3 distal

dextra disertai dengan vulnus laceratum dan ekskoriasi, edema (+)

Palpasi : tonus otot baik, nyeri di kaki kanan yang patah.

Auskultasi : BN vesikuler (+/+), wheezing(-/-), ronkhi(-/-)

VII. DIFFERRENTIAL DIAGNOSIS

-

VIII.PENATALAKSANAAN

- Infus RL 20 tpm

- ATS injeksi

- Ketorolac 1 ampul

- Reduksi tulang yang patah.

- Pemasangan spalex

- Observasi TTV setiap setengah jam.

- Edukasi

- Rencana Operasi

IX. RENCANA TATALAKSANA

Tindakan : Amputasi cruris 1/3 distal.

Post Operasi : infuse RL 30 tpm

X. RENCANA PEMERIKSAAN LANJUTAN

Page | 6

Page 7: Status Traumatik

Foto rontgen femur dan cruris 1/3 distal dextra.

Observasi post operasi.

XI. PROGNOSIS

Ad vitam : dubia ad bonam

Ad functionam : dubia ad malam

Ad sanationam : dubia ad malam

Tinjauan Pustaka

Page | 7

Page 8: Status Traumatik

DEFINISI FRAKTUR

Fraktur terputusnya kontinuitas jaringan tulang atau tulang rawan yang disebabkan

oleh rudapaksa.1

ANATOMI TUNGKAI

Fungsi utama tungkai adalah untuk menunjang tubuh dan menjadi tumpuan sewaktu

berdiri, berjalan dan berlari, mereka dikhususkan sebagai daya penggerak. Kedua tulang paha

di posterior bersendi melalui arteri sacroiliaca yang kuat dan di anterior bersendi melalui

symphysis pubis. Akibatnya tungkai lebih kokoh dan dapat menahan berat badan sewaktu

berdiri, berjalan dan berlari. Setiap tungkai dapat dibagi dalam regio glutealis, paha, lutut,

kaki, pergelangan kaki dan kaki.2

A. Otot-Otot Ekstremitas Bawah

1. Otot Paha :

M. Rectus femoris

M. vastus lateralis

M. vastus medialis

M. vastus intermedius

M. Sartorius

M. gracilis

M. biseps femoris

M. semitendinosus

M. semimembranosus

2. Otot yang menggerakkan lutut dan kaki

M. tibialis anterior

M. ekstensor digiti longus

M. ekstensor hallucis longus

M. peroneus tersier

M. peroneus longus

M. peroneus brevis

M. gastrocnemius

M. soleus

M. plantaris

Page | 8

Page 9: Status Traumatik

M. popliteus

M. tibialis posterior

M. fleksor digitorum longus

M. fleksor hallucis longus

B. Tulang-Tulang Ekstremitas Bawah

1. Femur

2. Tulang tungkai :

Tibia

Fibula

3. Pergelangan kaki : tarsal

4. Kaki : metatarsal

5. Jari-jari kaki : phalanges

Mekanisme Trauma

Kebanyakan suatu fraktur terjadi karena kegagalan tulang menahan tekanan terutama tekanan

membengkok, memutar dan tarikan.

Trauma bisa bersifat :3

1. Trauma langsung, dimana menyebabkan tekanan langsung pada tulang dan terjadi

fraktur pada daerah tekanan. Fraktur yang terjadi biasanya bersifat fraktur transversal dan

jaringan lunak ikut mengalami kerusakan. Benturan yang lebih kerasa disertai dengan

penghimpitan tulang akan mengakibatkan garis fraktur kominutif diikuti kerusakan

jaringan lunak yang lebih luas.

2. Trauma tidak langsung, apabila trauma dihantarkan ke daerah lebih jauh dari daerah

fraktur, misalnya jatuh dengan tangan ekstensi dapat menyebabkan fraktur pada klavikula.

Pada keadaan ini biasanya jaringan lunak tetap utuh.

Gejala Klasik Fraktur3

1. Adanya riwayat trauma.

2. Rasa nyeri dan bengkak di wilayah tulang yang patah.

3. Deformitas pada daerah yang patah.

4. Nyeri tekan.

5. Krepitasi.

6. Gangguan fungsi muskuloskeletal akibat nyeri.

7. Gangguan neurovascular.

Page | 9

Page 10: Status Traumatik

Klasifikasi Fraktur

Berdasarkan hubungan dengan dunia luar terbagi atas :3

1. Tertutup : bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar.

2. Terbuka : bila terdapat hubungan antara fragmen dengan dunia luar karena adanya

perlukaan dikulit.

Patah tulang terbuka dibagi menjadi tiga derajat, yang ditentukan oleh berat ringannya luka

dan fraktur yang terjadi.

Tabel 1. Derajat Fraktur Terbuka

Derajat Luka Fraktur

I Laserasi < 1 cm kerusakan

jaringan tidak berarti, relatif

bersih.

Sederhana, transversal atau

oblik.

II Laserasi > 1 cm, tidak ada

kerusakan jaringan yang

hebat atau avulsi. Ada

kontaminasi.

Dislokasi fragmen jelas.

III Terjadi kerusakan jaringan

lunak luas, meliputi struktur

kulit, otot, dan

neurovascular. Kontaminasi

derajat tinggi.

Kominutif, segmentasi,

fragmen tulang ada yang

hilang.

IIIA Jaringan lunak yang

menutupi fraktur tulang

adekuat, meskipun terdapat

laserasi.

IIIB Kehilangan jaringan lunak

dengan fraktur tulang yang

terpapar, adanya kontaminasi

massif.

IIIC Luka pada pembuluh

arteri/syaraf perifer yang

harus diperbaiki tanpa

Page | 10

Page 11: Status Traumatik

melihat kerusakan jaringan

lunak.

Berdasarkan garis patah :3

1. Komplit : bila garis patah melalui seluruh penampang tulang atau melalui kedua korteks

tulang.

2. Inkomplit : bila garis patah tidak melalui seluruh penampang tulang, seperti :

Hairline fracture (patah retak rambut)

Buckle fracture atau torus fracture, bila terjadi lipatan dari satu korteks dengan

kompresi tulang spongiosa di bawahnya, biasanya pada radius distal anak-anak.

Greenstick fracture mengenai satu korteks dengan angulasi korteks lainnya yang

terjadi pada tulang panjang anak.

Berdasarkan jumlah garis patah :3

1. Simple : satu garis patah.

2. Segmental : garis patah lebih dari satu tetapi tidak berhubungan. Bila dua garis

patah disebut fraktur bifocal.

3. Multipel : garis patah lebih dari satu tetapi pada tulang yang berlainan

tempatnya, misalnya fraktur femur, fraktur kruris, dan fraktur tulang belakang.

4. Kominutif : lebih dari satu garis fraktur dan saling berhubungan.

Berdasarkan arah garis patah :

1. Transversal : garis fraktur atau patahan tulang tegak lurus dengan sumbu tulang.

2. Oblik : garis fraktur membentuk garis diagonal terhadap sumbu tulang.

3. Spiral : garis patahan membentuk spiral.

4. Avulsi : bagian fragmen fraktur masuk (menusuk) ke dalam otot.

Berdasarkan dislokasi fragmen :3

Undisplaced (tidak bergeser), garis patah komplit tetapi kedua fragmen tidak

bergeser, periosteumnya masih utuh.

Displaced (bergeser), terjadi pergeseran fragmen-fragmen fraktur yang terbagi

menjadi :

Page | 11

Page 12: Status Traumatik

a. Bersampingan d. Distraksi

b. Angulasi e. Over-riding

c. Rotasi f. Impaksi

Etiologi fraktur

Fraktur terjadi bila ada suatu trauma yang mengenai tulang, dimana trauma tersebut

kekuatannya melebihi kekuatan tulang. Ada 2 faktor yang mempengaruhi tejadinya fraktur,

yaitu :1

Ekstrinsik meliputi kecepatan dan durasi trauma yang mengenai tulang, arah dan

kekuatan trauma.

Intrinsik meliputi kapasitas tulang mengabsorbsi energi trauma. Kelenturan, kekuatan,

dan densitas tulang.

Apabila kedua hal ini terjadi maka akan terjadi fraktur, dimana posisi dari fraktur

tersebut dapat mengalami perubahan dari posisi semulanya sehingga bisa menyebabkan

gangguan lebih berat ke struktur sekitarnya.

Patofisiologi

Fraktur biasanya disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik. Kekuatan dan sudut dari

tenaga tersebut, keadaan tulang, dan jaringan lunak di sekitar tulang akan menentukan apakah

fraktur yang terjadi itu lengkap atau tidak lengkap. Fraktur lengkap terjadi apabila seluruh

tulang patah, sedangkan pada fraktur tidak lengkap tidak melibatkan seluruh ketebalan

tulang.1,3

Fraktur terjadi apabila ada suatu trauma yang mengenai tulang, dimana trauma

tersebut kekuatannya melebihi kekuatan tulang, ada 2 faktor yang mempengaruhi terjadinya

fraktur itu ekstrinsik (meliputi kecepatan, sedangkan durasi trauma yang mengenai tulang,

arah, dan kekuatan), intrinsik meliputi kapasitas tulang mengabsorbsi energi trauma,

kelenturan, kekuatan adanya densitas tulang-tulang yang dapat menyebabkan terjadinya patah

pada tulang bermacam-macam, antara lain trauma langsung dan tidak langsung, akibat

keadaan patologi serta secara spontan.3

Diagnosis

1. Anamnesis2

Anamnesis dilakukan untuk menggali riwayat mekanisme cedera (posisi

kejadian) dan kejadian-kejadian yang berhubungan dengan cedera tersebut. Riwayat

cedera diikuti sampai dengan ketidakmampuan menggunakan tungkai yang

Page | 12

Page 13: Status Traumatik

mengalami cedera. Perlu diperhatikan fraktur yang terjadi tidak selalu terjadi di

tempat cedera, suatu pukulan pada lutut dapat menyebabkan fraktur pada patella,

kondilus femur, batang femur atau bahkan asetabulum. Umur pasien dan mekanisme

cedera itu penting. Kalau fraktur terjadi akibat cedera ringan curigailah lesi patologik.

Nyeri, memar dan bengkak adalah gejala yang sering dijumpai, tetapi cedera ini tidak

membedakan fraktur dengan cedera jaringan lunak. Deformitas jauh lebih

mendukung.

Tanyakan mengenai gejala cedera yang berkaitan : baal atau hilangnya

gerakan, kulit yang pucat atau sianosis, darah dalam urine, nyeri perut, hilangnya

kesadaran untuk sementara. Tanyakan riwayat fraktur sebelumnya, riwayat sosial

ekonomi, pekerjaan, obat-obatan yang dia konsumsi, merokok, riwayat alergi dan

riwayat osteoporosis serta penyakit lain.

2. Pemeriksaan Fisik2

a. Inspeksi

Pembengkakan, memar dan deformitas (penonjolan yang abnormal, angulasi,

rotasi, pemendekan) mungkin terlihat jelas, tetapi hal yang penting apakah kulit

itu utuh, kalau kulit robek dan luka memiliki hubungan dengan fraktur maka

disebut cedera terbuka.

b. Palpasi (Feel)

Terdapat nyeri tekan setempat, tetapi perlu juga memeriksa bagian distal dari

fraktur untuk merasakan nadi dan untuk menguji sensasi. Cedera pembuluh darah

adalah keadaan darurat yang memerlukan pembedahan.

c. Pergerakan (Movement)

Krepitus dan gerakan abnormal dapat ditemukan, tetapi lebih penting untuk

menanyakan apakah pasien dapat menggerakkan sendi-sendi di bagian distal

cedera.

d. Pemeriksaan Neurologis

Pemeriksaan neurologis berupa pemeriksaan saraf secara sensoris dan motoris

serta gradasi kelainan neurologis yaitu neuropraksia, aksonotmesis atau

neurotmesis. Kelainan saraf yang didapatkan harus dicatat dengan baik karena

dapat menimbulkan masalah asuransi dan tuntutan (klaim) penderita serta

merupakan patokan untuk pengobatan selanjutnya.

Page | 13

Page 14: Status Traumatik

3. Pemeriksaan Radiologis

Macam-macam pemeriksaan radiologi yang dapat dilakukan untuk menetapkan

kelainan tulang dan sendi :1,2

a. Foto Polos

Dengan pemeriksaan klinik, sudah dapat mencurigai adanya fraktur.

Walaupun demikian pemeriksaan radiologis diperlukan untuk menentukan

keadaan, lokasi serta ekstensi fraktur. Untuk menghindarkan bidai yang bersifat

radiolusen untuk imobilisasi sementara sebelum dilakukan pemeriksaan

radiologis.

b. CT-Scan

Suatu jenis pemeriksaan untuk melihat lebih detail mengenai bagian tulang

atau sendi, dengan membuat foto irisan lapis demi lapis. Pemeriksaan ini

menggunakan pesawat khusus.

c. MRI

MRI dapat digunakan untuk memeriksa hampir semua tulang, sendi, dan

jaringan lunak. MRI dapat digunakan untuk mengidentifikasi cedera tendon,

ligament, otot, tulang rawan, dan tulang.

Penatalaksanaan

Fraktur biasanya menyertai trauma. Untuk itu sangat penting untuk melakukan

pemeriksaan terhadap jalan napas (airway), proses pernafasan (breathing) dan sirkulasi

(circulation), apakah terjadi syok atau tidak. Bila sudah dinyatakan tidak ada masalah lagi,

baru lakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik secara terperinci. Lakukan anamnesis dan

pemeriksaan fisik secara cepat, singkat dan lengkap. Kemudian lakukan foto radiologis.

Pemasangan bidai dilakukan untuk mengurangi rasa sakit dan mencegah terjadinya kerusakan

yang lebih berat pada jaringan lunak selain memudahkan proses pembuatan foto.1-3

Prinsip Penanganan Fraktur

Prinsip-prinsip tindakan/penanganan fraktur meliputi reduksi, imobilisasi, dan pengembalian

fungsi dan kekuatan normal dengan rehabilitasi.3,4

a. Reduksi

Yaitu restorasi fragmen fraktur sehingga didapati posisi yang dapat diterima.

Reduksi fraktur (setting tulang) berarti mengembalikan fragmen tulang pada

kesejajarannya dan posisi anatomis normal.

Page | 14

Page 15: Status Traumatik

Sasarannya adalah untuk memperbaiki fragmen-fragmen fraktur pada posisi

anatomik normalnya.

Metode untuk reduksi adalah dengan reduksi tertutup, traksi, dan reduksi

terbuka. Metode tertentu yang dipilih bergantung sifat fraktur, namun prinsip

yang mendasarinya tetap sama. Biasanya dokter melakukan reduksi fraktur

sesegera mungkin untuk mencegah jaringan lunak kehilangan elastisitasnya

akibat infiltrasi karena edemadan perdarahan. Pada kebanyakan kasus, reduksi

fraktur menjadi semakin sulit bila cedera sudah mengalami penyembuhan.

Metode Reduksi

1. Reduksi tertutup, pada kebanyakan kasus reduksi tertutup dilakukan dengan

mengembalikan fragmen tulang ke posisinya (ujung-ujungnya saling

berhubungan) dengan “manipulasi dan traksi manual”. Sebelum reduksi dan

imobilisasi, pasien harus dimintakan persetujuan tindakan, analgetik sesuai

ketentuan dan bila diperlukan diberi anesthesia. Ekstremitas dipertahankan

dalam posisi yang diinginkan. Sementara gips, bidai atau alat lain dipasang

oleh dokter. Alat imobilisasi akan menjaga reduksi dan menstabilkan

ekstremitas untuk penyembuhan tulang. Sinar-X harus dilakukan untuk

mengetahui apakah fragmen tulang telah dalam kesejajaran yang benar.

2. Traksi, dapat digunakan untuk mendapatkan efek reduksi dan imobilisasi.

Beratnya traksi disesuaikan dengan spasme otot yang terjadi.

Macam-macam traksi :

Skin traction : tujuan menarik otot dari jaringan sekitar fraktur

sehingga fragmen akan kembali ke posisi semula. Beban maksimal 4-5

kg karena bila kelebihan kulit akan lepas.

Skeletal traction : K-wire, Steinmann pin atau Denham pin. Dipasang

pada distal tuberositas tibia (trauma sendi koksea, femur, lutut), pada

tibia atau kalkaneus (fraktur kruris).

3. Reduksis terbuka, pada fraktur tertentu memerlukan reduksi terbuka. Dengan

pendekatan bedah, fragmen tulang direduksi. Alat fiksasi interna dalam bentuk

pin, kawat, sekrup, plat, paku atau batangan logam dapat digunakan untuk

mempertahankan fragmen tulang dalam posisinya sampai penyembuhan

tulang yang solid terjadi.

Page | 15

Page 16: Status Traumatik

b. Imobilisasi

Setelah fraktur direduksi, fragmen tulang harus diimobilisasi, atau

dipertahankan dalam posisi dan kesejajaran yang benar sampai terjadi

penyatuan.

Sasarannya adalah mempertahankan reduksi di tempatnya sampai terjadi

penyembuhan.

Metode untuk mempertahankan imobilisasi adalah dengan alat-alat “eksternal”

(bebat, brace, case, pen dalam plester, fiksator eksterna, traksi, balutan) dan

alat-alat “internal” (nail, lempeng, sekrup, kawat, batang).

c. Rehabilitasi

- Sasarannya meningkatkan kembali fungsi dan kekuatan normal pada bagian

yang sakit.

- Untuk mempertahankan dan memperbaiki fungsi dengan mempertahankan

reeduksi dan imobilisasi adalah peninggian untuk meminimalkan bengkak,

memantau status neurovaskuler, mengontrol ansietas dan nyeri, latihan

isometric dan pengaturan otot, partisipasi dalam aktivitas hidup sehari-hari,

dan melakukan aktivitas kembali secara bertahap dapat memperbaiki

kemandirian fungsi. Pengembalian bertahap pada aktivitas semula diusahakan

sesuai batasan terapeutik.

Penyembuhan dan Penyatuan Tulang

Berbeda dengan jaringan lain, tulang dapat sembuh secara sempurna tanpa disertai

pembentukan jaringan parut, disini berbagai faktor berpengaruh, seperti suplai darah dan

posisi dari tulang yang fraktur sendiri, itulah sebabnya memposisikan tulang sedemikian rupa

sangat diperlukan. Penyembuhan tulang terdiri dari beberapa fase, diantaranya :5

1. Fase Kerusakan Jaringan dan Hematoma

Fraktur menyebabkan kerusakan pada pembuluh darah kecil di dalam

kanalikuli havers, akibatnya terbentuk hematoma yang mengelilingi kedua sisi

fraktur. Tulang pada permukaan fraktur, kehilangan pasokan darah, mati kembali

untuk satu atau dua millimeter.

2. Fase Radang dan Proliferasi Selular

Dalam waktu 8 jam setelah fraktur terdapat reaksi radang akut disertai

proliferasi sel dibawah periosteum dan di dalam saluran medulla yang tertembus.

Page | 16

Page 17: Status Traumatik

Ujung fragmen dikelilingi oleh jaringan sel, yang menghubungkan tempat fraktur.

Hematoma yang membeku perlahan-lahan di absorbsi dan kapiler baru yang halus

berkembang ke dalam daerah itu.

3. Fase Pembentukan Kalus

Sel yang berkembang biak memiliki potensi kondrogenik dan osteogenik, bila

diberikan keadaan yang tepat, sel itu akan mulai membentuk tulang dan dalam

beberapa keadaan, juga kartilago. Populasi sekarang juga mencakup osteoklas

(mungkin dihasilkan dari pembuluh darah baru) yang mulai membersihkan tulang

yang mati. Massa sel yang tebal, dengan pulau-pulau tulang yang imatur dan

kartilago, membentuk kalus atau bebat pada permukaan periosteal dan endosteal.

Sementara tulang fibrosa yang immature menjadi lebih padat, gerakan pada tempat

fraktur semakin berkurang dan pada 4 minggu setelah cedera fraktur menyatu.

4. Fase Konsolidasi

Bila aktivitas osteoklasik berlanjut, anyaman tulang berubah menjadi tulang

lamelar. Sistem itu sekarang cukup kaku untuk memungkinkan osteoklas menerobos

melalui reruntuhan pada garis fraktur, dan dekat di belakangnya osteoblas mengisi

celah-celah yang tersisa diantara fragmen dengan tulang yang baru. Ini adalah proses

yang lambat dan mungkin perlu beberapa bulan sebelum tulang cukup kuat untuk

membawa beban yang normal. Woven bone akan berubah menjadi lamellar bone,

dimana proses ini berlangsung cukup lama, bisa beberapa bulan hingga terbentuk

kesatuan yang kuat. Kalus primer mulai berubah menjadi kalus intermediate.

5. Fase Remodelling

Fraktur telah dijembatani oleh suatu manset tulang yang padat. Selama beberapa

bulan, atau bahkan beberapa tahun, pengelasan kasar ini dibentuk ulang oleh resorpsi

dan pembentukan tulang yang terus-menerus. Lamella yang lebih tebal diletakkan

pada tempat yang tekanannya tinggi, dinding-dinding yang tidak dibutuhkan dibuang,

rongga sumsum di bentuk. Akhirnya terbentuk proses remodeling untuk merapikan

penyatuan tulang. Bagian yang berlebihan akan diresorpsi oleh osteoclast, sementara

kalus intermediate akan berubah menjadi tulang kompak, lengkap dengan

pembentukan sistem havers dan pembentukan ruang sumsum.

Perbaikan fraktur adalah suatu proses yang terus-menerus. Proses yang terjadi diantaranya :5,6

Penyatuan (union)

Page | 17

Page 18: Status Traumatik

Perbaikan yang tidak lengkap, kalus meliputinya akan mengalami kalsifikasi.

Secara klinik tempat fraktur masih sedikit nyeri dan meskipun tulang dapat bergerak

sebagai satu potong tulang (dan dalam arti ini sudah menyatu), usaha menekuknya

akan menimbulkan nyeri. Sinar-X memperlihatkan garis fraktur yang masih jelas

terlihat. Dengan kalus mirip bulu halus di sekitarnya. Perbaikan tidak lengkap dan

tidaklah aman untuk membiarkan tulang yang tidak terlindungi itu menghadapi

tekanan.

Konsolidasi

Perbaikan yang lengkap, kalus berkapur itu mengalami osifikasi. Secara klinik

tempat fraktur tidak nyeri. Fragmen-fragmen tidak dapat bergerak dalam percobaan

angulasi tidak terasa nyeri. Sinar-X memperlihatkan garis fraktur hampir terhapus dan

dijembatani oleh trabekula tulang, dengan kalus yang jelas di sekitarnya. Perbaikan

lengkap dan tidak perlu perlindungan lebih jauh.

Lama waktu pemulihan

Tidak ada jawaban yang tepat untuk mengetahui waktu pemulihan. Tetapi

dapat dilakukan perkiraan yang mendekati dan jadwal Perkins. Fraktur spiral pada

tungkai atas bersatu dalam 3 minggu, untuk konsolidasi kalikan dengan 2 lagi, jadi

untuk fraktur melintangn kalikan dengan 2. Rumus lainnya adalah sebagai berikut :

fraktur spiral pada tungkai atas memakan waktu 6-8 minggu untuk konsolidasi,

tungkai bwah perlu 2x lebih lama. Tambahkan 25% kalau fraktur tidak bersifat spiral

atau kalau fraktur melibatkan femur. Fraktur pada anak-anak, tentu saja akan

menyambung lebih cepat.

Non-union

Kadang-kadang proses normal dalam perbaikan fraktur terhalang dan tulang gagal

menyatu. Penyebab ketidakmampuan menyatu ini adalah : distraksi dan pemisahan

fragmen, interposisi jaringan lunak diantara fragmen-fragmen, terlalu banyak gerakan

pada garis fraktur dan persediaan darah lokal yang buruk.

Proliferasi sel terutama fibroblastic, celah fraktur diisi dengan jaringan fibrosa dan

fragmen tulang tetap dapat bergerak, menciptakan sendi palsu atau pseudoartosis.

Pada beberapa kasus, pembentukan tulang periosteum berlangsung aktif sehingga

tulang yang baru gagal menjembatani celah fraktur, ujung fragmen akan menebal atau

melebar, non-union hipertrofik ini pada akhirnya akan berlanjut ke penyatuan asalkan

Page | 18

Page 19: Status Traumatik

fragmen-fragmen tulang dan dipertahankan kurang lebih tidak bergerak hingga terjadi

proses penciptaan jembatan. Pada kasus lain pembentukan tulang tampaknyaberhenti

sama sekali, mengakibatkan non-union atrofikyang tidak akan pernah sembuh kecuali

kalau fragmen-fragmen diimobilisasi dan dicangkok dengan tulang berspon.

Komplikasi fraktur :

komplikasi patah tulang dibagi menjadi komplikasi segera, komplikasi dini, dan komplikasi

lambat. Komplikasi segera terjadi pada saat terjadinya patah tulang atau segera setelahnya,

komplikasi dini terjadi dalam beberapa hari setelah kejadian, dan komlikasi lambat terjadi

lama setelah patah tulang. Ketiganya dibagi lagi masing-masing menjadi komplikasi lokal

dan umum.3,6

a. Komplikasi segera

Lokal

- Kulit dan otot : vulnus (abrasi, laserasi), kontusio, avulsi.

- Vaskular : terputus, kontusio, perdarahan.

- Organ dalam : jantung, paru-paru (pada fraktur costa), buli-buli

(fraktur pelvis).

Umum

- Trauma multipel, syok

b. Komplikasi dini

Lokal

Nekrosis kulit-otot, sindrom kompartemen, thrombosis, infeksi sendi,

osteomielitis.

Umum

ARDS, emboli paru, tetanus.

c. Komplikasi lambat

Lokal

- Tulang : malunion, nonunion, delayed union, osteomielitis, patah

tulang rekuren, gangguan pertumbuhan.

- Sendi : ankilosis, penyakit degeneratif sendi pasca trauma.

- Distrofi refleks

- Kerusakan saraf

Umum

Page | 19

Page 20: Status Traumatik

- Batu ginjal (akibat imobilisasi lama di tempat tidur dan hiperkalsemia)

- Neurosis pasca trauma.

DEFINISI AMPUTASI

Trauma amputasi adalah hilangnya bagian tubuh biasanya jari, jari kaki, lengan,

atau kaki yang terjadi sebagai hasil dari kecelakaan atau trauma. Sebuah amputasi traumatik

dapat melibatkan bagian tubuh, termasuk lengan, tangan,  jari tangan, kaki, jari kaki, telinga,

hidung, kelopak mata dan alat kelamin. Anggota tubuh bagian atas termasuk jari-jari (falang),

tangan (metakarpal), pergelangan tangan (carpals), lengan (radius/ulna), lengan atas

(humerus), tulang belikat (tulang belikat) dan tulang kerah (klavikula). Amputasi ekstremitas

lebih dari 65% dari traumatik amputasi, sementara orang yang dapat  terlibat dalam amputasi

korban kebanyakan antara usia 15 dan sebagian besar korban 80% adalah laki-laki.7

 Etiologi

          Trauma adalah penyebab paling sering dari suatu amputasi, cedera terkait pekerjaan,

aktivitas di alam bebas, kecelakaan lalu lintas, kecelakaan kendaraan bermotor dan cedera

terkait pekerjaan. Terdapat suatu insiden yang lebih besar dari hilangnya ekstermitas bawah,

meliputi hampir 10% tindakan amputasi, terutama pada kecelakaan kerja.

Amputasi ekstremitas bawah dapat dilakukan untuk alasan-alasan berikut :8

1. Penyakit vaskular perifer (PVD)

Kebanyakan amputasi dilakukan adalah untuk penyakit iskemik, terutama

pada orang tua dengan diabetes mellitus. Pasien-pasien ini sering mengalami

neuropati perifer yang berkembang menjadi ulkus dan selanjutnya gangren dan

osteomielitis.

2. Trauma

Patah tulang terbuka yang parah (IIIc) dengan cedera pada arteri poplitea dan

nervus tibialis posterior dapat diobati dengan teknik-teknik terkini, namun dengan

biaya yang tinggi, dan beberapa pembedahan diperlukan. Hasilnya sering merupakan

kaki yang terasa sakit, nonfungsional, dan kurang efisien daripada prosthesis.

3. Tumor

Amputasi jarang dilakukan dengan munculnya teknik-teknik penyelamatan

ekstremitas yang semakin maju.

4. Infeksi

Page | 20

Page 21: Status Traumatik

Pengobatan sepsis dengan agen vasokonstriktor kadang-kadang dapat

menyebabkan sumbatan pembuluh darah dan selanjutnya dapat menjadi nekrosis,

sehingga perlu amputasi. Di lain waktu, eradikasi sumber infeksi yang sulit

menyebabkan dilakukannya amputasi untuk menghilangkan sumber infeksi tersebut.

5. Defisiensi ekstremitas kongenital (Congenital limb deficiency)

Amputasi karena defisiensi ekstremitas kongenital dilakukan terutama pada

populasi pediatrik karena kegagalan pembentukan tungkai sebagian atau komplit.

Defisiensi ekstremitas kongenital telah diklasifikasikan sebagai longitudinal,

transversal, atau intercalary. Defisiensi radialis atau tibialis disebut sebagai preaxial,

sedangkan defisiensi ulnaris dan fibula disebut sebagai postaxial.

  Patofisiologi

          Amputasi sendiri bisa diartikan sebagai diskontinuitas jaringan tulang dan otot yang

dapat mengakibatkan terputusnya pembuluh darah dan syaraf serta kehilangan bagian tubuh,

dimana pada terputusnya pembuluh darah dan syaraf ini akan menimbulkan rasa nyeri yang

sering kali berdampak pada resiko terjadinya infeksi pada luka yang ada dan gangguan

mobilitas fisik yang dapat menimbulkan resiko kontraktur fleksi pinggul. Selain disebabkan

oleh nyeri, gangguan mobilitas fisik juga bisa disebabkan oleh kehilangannya bagian tubuh

terutama pada ekstremitas bawah. Kehilangan bagian tubuh juga dapat menimbulkan stress

emosional dikarenakan gangguan psikologis yang disebabkan oleh adanya perubahan dari

struktur tubuh yang berdampak pada timbulnya gangguan citra diri dan penurunan intake

oral. Pada penurunan intaka oral ini biasanya akan menimbulkan resiko kurangnya

pemenuhan nutrisi (kurang dari kebutuhan tubuh dan akan terjadi kelemahan fisik serta resiko

penyembuhan luka yang lambat.7

Jenis-Jenis Amputasi8,9

a.    Amputasi selektif atau terencana, amputasi jenis ini dilakukan pada penyakit yang

terdiagnosis dan mendapat penanganan yang baik serta terpantau secara terus-menerus.

Amputasi dilakukan sebagai salah satu tindakan alternatif terakhir.

b.    Amputasi akibat trauma, ini merupakan amputasi yang terjadi sebagai akibat trauma dan

tidak terencana. Kegiatan tim kesehatan adalah memperbaiki kondisi lokasi amputasi serta

memperbaiki kondisi umum klien.

Page | 21

Page 22: Status Traumatik

c.    Amputasi darurat, kegiatan amputasi ini dilakukan secara darurat oleh tim kesehatan.

Biasanya merupakan tindakan yang memerlukan kerja yang cepat seperti trauma dengan

patah tulang multiple dan kerusakan kulit yang luas.

Komplikasi

Komplikasi amputasi meliputi perdarahan, infeksi, dan kerusakan kulit. Karena ada

pembuluh darah besar yang dipotong, dapat terjadi perdarahan masif. Infeksi merupakan

infeksi pada semua pembedahan. Dengan peredaran darah yang buruk atau kontaminasi luka

setelah amputasi traumatika, risiko infeksi meningkat. Penyembuhan luka yang buruk dan

iritasi akibat prostesis dapat menyebabkan kerusakan kulit.7

INDIKASI

Amputasi adalah pengobatan pilihan untuk penyakit pada tungkai dan cedera

ekstremitas bawah yang mana upaya menyelamatkan dan merekonstruksi memerlukan waktu

yang panjang, emosi dan finansial mahal, dan memiliki hasil yang kurang memuaskan.

Indikasi untuk penghapusan ekstremitas mencakup PVD, trauma, tumor, infeksi, dan

anomaly kongenital.1

Meskipun ada peralatan yang lebih aman dan perbaikan dalam operasi

menyelamatkan anggota tubuh telah dilakukan, kehilangan anggota tubuh akibat trauma terus

terjadi karena kecelakaan industri dan kecelakaan kendaraan bermotor. Kecelakaan ini

melibatkan fraktur terbuka dengan derajat yang lebih tinggi dengan keterlibatan cedera saraf,

kehilangan jaringan lunak, iskemia dan cedera neurovaskular yang unreconstructable. Dalam

kasus ini, mungkin pada awalnya menyelamatkan ekstremitas dapat berhasil, tetapi hanya

akan berakhir pada ujung yang terinfeksi dan menyakitkan pasien yang mempengaruhi

aktivitas kehidupan sehari-hari dan pekerjaannya.

Page | 22

Page 23: Status Traumatik

Gambar. MESS Score

KONTRAINDIKASI

Satu-satunya kontraindikasi untuk amputasi adalah kesehatan yang buruk yang

mengganggu kemampuan pasien untuk menerima obat-obat anestesi dan pembedahan.

PEMERIKSAAN

Pemeriksaan Laboratorium9,10

C-reactive protein (CRP): marker inflamasi ini merupakan indikator terhadap adanya

infeksi. Kadar CRP kurang dari 1,0 mg / L menunjukkan bahwa tidak ada infeksi;

lebih besar dari 8 mg / L menunjukkan infeksi signifikan.

Hemoglobin: hasil pengukuran hemoglobin yang lebih besar dari 10 g / dL

diperlukan. Darah yang banyak mengandung oksigen diperlukan untuk penyembuhan

luka.

Hitung limfosit absolut: Kurang dari 1500/μ/L menunjukkan defisiensi imun dan

peningkatan limfosit kemungkinan infeksi.

Kadar Albumin Serum: kadar 3,5 g / dL atau kurang menunjukkan malnutrisi dan

hilangnya kemampuan untuk penyembuhan luka.

Page | 23

Page 24: Status Traumatik

Penatalaksanaan

Penyembuhan dipercepat dengan penanganan lembut terhadap sisa amputasi, pengontrolan

edema, dengan balutan kompres lunak atau rigit dan menggunakan teknik aseptik dalam

perawatan luka untuk meghindari infeksi.11

a.    Balutan rigit tertutup, ini sering digunakan untuk mendapat kompresi yang merata,

menyangga jaringan lunak dan mengontrol nyeri dan mencegah kontraktur.

b.    Balutan lunak, dengan atau tanpa kompresi dapat digunakan bila diperlukan inspeksi

berkala sesuai kebutuhan. Bidai imobilisasi dapat dibalutkan dengan balutan. Hematoma

(luka) puntung dikontrol dengan alat drainase luka untuk meminimalkan infeksi.

DAFTAR PUSTAKA

Page | 24

Page 25: Status Traumatik

1. R. Sjamsuhidajat R, KarnadihardjaW, Prasetyono TOH, Rudiman R. Buku ajar ilmu

bedah Sjamsuhidajat-de-jong. Edisi ke-3. Jakarta : EGC; 2010. h. 1039-62.

2. Rasjad, Chairuddin. Pengantar ilmu bedah ortopedi. Jakarta : Penerbit PT. Yarsif

Watampone; 2009. h. 82-5, 92-4, 355-64.

3. Apley GA, Solomon L. Buku ajar ortopedi dan fraktur sistem Apley. Edisi ke-7.

Jakarta : Widya Medika ; 2007.

4. Sylvia A. Price, Lorraine M. Wilson. Patofisiologi konsep klinis proses-proses

penyakit. Edisi ke-6. Volume ke-2. Jakarta : EGC; 2005. h. 1365.

5. Rasad, Sjahrar. Radiologi Diagnostik. Edisi ke-2. Jakarta : FKUI ; 2006. h. 31

6. James E Keany, MD. Femur fracture. [online]. 2009. [Cited August 10]. Available

from http://emedicine.medscape.com/article/824856-overview#showall

7. Taylor SM, Kalbaugh CA, Blackhurst DW et al. Preoperative clinical factors predict

postoperative functional outcomes after major lower limb amputation: an analysis of

553 consecutive patients. J Vasc Surg 2005; 42: 227-35.

8. Ertl W. Amputations of the Lower Extremity dalam www.emedicine.com. Updated

Maret 2008.

9. Jawaid M, Ali Irfan, Kaimkhani GM. Current indications for major lower limb

Amputations at civil hospital, Karachi. Pakistan Journal of Surgery. Vol 24, issued 4.

2008. p 228-231.

10. Edward A. Athanasian. chapter 121: amputations of the upper extremity. Chapman's

Orthopaedic Surgery, 3rd Edition. 2001 Lippincott Williams & Wilkins. New York.

11. Tooms RE. Amputations. In: Crenshaw AH, ed. Campbell's Operative

Orthopedics. Vol 1. 7th ed. St. Louis, Mo: Mosby-Year Book; 2007:597-637.

Page | 25