Upload
others
View
9
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
SOSIODEMOGRAFIS DAN INFESTASI PARASIT
PADA KELOMPOK TERNAK SAPI DI KECAMATAN RENDANG,
KARANGASEM BALI
Damriyasa, I M., A. A. G. Arjana dan N.S Dharmawan
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR
2020
2
RINGKASAN
Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh data sosisodemografis dan infestasi parasit pada beberapa kelompok ternak sapi di Kecamatan Rendang, Kabupaten Karangasem Bali. Data ini sangat dibutuhkanbdalam menyususn model pencegahan dan pengendalian penyakit parasiter yang efektif, murah dan ramah lingkungan berbasis partisipasi masyarakat melalui pembinaan kelompok ternak. Untuk daerah tropis seperti Indonesia, penyakit parasiter masih merupakan kendala utama dalam meningkatkan produktivitas ternak khususnya sapi. Hasil penelitian memiliki dampak langsung pada peningkatan produktivitas ternak sehingga dapat meningkatkan pendapatan peternak.
Penelitian ini dilakukan di empat kelompok ternak sapi di Desa Pempatan, Kecamatan Rendang. Status sosial ekonomi serta tingkat kesejahteraan anggota empat kelompok ternak binaan yang masih rendah. Oleh karena itu perlu dilakukan program untuk meningkatkan produktivitas ternak pada kelompok ternak binaan tersebut. Karena ternak sapi merupakan satu satunya peternakan yang sangat potensial untuk menunjang perekonomian masyarakat di wilayah tersebut karena didukung oleh ketersediaan pakan ternak yang terdapat di lereng Gunung Agung. Salah satu penyebab rendahnya produktivitas ternak sapi adalah tingginya infeksi penyakit parasit pada ternak.
Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh dari pengambilan data melalui kuisioner serta pemeriksaan laboratorium ditemukan bahwa status sosial ekonomi anggota kelompok ternak binaan masih rendah sehingga tingkat kesejahteraannya juga rendah. Peternakan sapi merupakan satu satunya penunjang perekonomian kelompok ternak binaan di Kabupaten Karangasem. Sedangkan prevalensi penyakit parasit saluran pencernaan pada kelompok ternak binaan cukup tinggi.
Kata kunci: sosiodemografis, kelompok ternak sapi, parasit
3
LATAR BELAKANG
Pemenuhan kebutuhan protein hewani yang bersumber dari daging sapi di
Indonesia masih merupakan masalah serius, sehingga Indonesia masih melakukan upaya
impor daging sapi. Indonesia memiliki berbagai berbagai jenis sapi yang sangat potensial
untuk dikembangkan. Salah satunya adalah sapi bali yang memiliki daya adaptasi yang
cukup tinggi. Kebutuhan daging di Indonesia terus meningkat sejalan dengan
meningkatnya jumlah penduduk dan kesadaran masyarakat akan pentingnya peran protein
hewani. Pada tahun 2012 kebutuhan daging diperkirakan mencapai 490.000 ton, dan yang
bisa dipenuhi oleh produksi ternak di dalam negeri hanya berkisar 82%, sedangkan sisanya
dari impor. Pada tahun 2014 diharapkan impor daging tidak lebih dari 10% dari kebutuhan
daging nasional. Ini artinya 90% produksi daging harus dapat dipenuhi dari produksi
ternak di dalam negeri. Untuk mencapai ini diperlukan peningkatan produktivitas ternak
yang salah satunya adalah dengan melakukan pembinaan pada kelompok kelompok ternak.
Sapi Bali merupakan salah satu jenis ternak potong asli Indonesia yang sudah
beradaptasi dengan lingkungan di daerah tropis. Hal ini tercermin dari tingginya tingkat
reproduksi dan sifat yang tidak terlalu selektif terhadap pakan yang tersedia, sehingga sapi
Bali sangat berpotensi untuk ditingkatkan produktivitasnya. Populasi sapi bali di Bali
selama lima tahun terakhir sekitar 600 – 700 ribu ekor. Salah satu faktor yang menghambat
pertumbuhan populasi adalah ketersediaan bibit sapi bali yang berkualitas masih kurang.
Kondisi ini sangat menghambat peningkatan produksi ternak dalam upaya memenuhi
swasembada daging tahun 2014. Oleh karena itu perlu upaya-upaya yang lebih riil dalam
meningkatkan populasi ternak yang salah satunya adalah menyediakan bibit ternak dengan
kualitas yang baik..
4
Salah satu contoh penyakit cacingan pada sapi adalah Penyakit cacing hati
(fascioliasis/distomatosis) yang merupakan penyakit yang berlangsung akut, subakut, atau
kronik, disebabkan oleh trematoda genus Fasciola, Fascioloides, dan Dicrocoelium
(Kaufmann,1997). Pada tahun 1991 pernah dilaporkan bahwa kerugian ekonomi akibat
penyakit ini diperkirakan sekitar 500 milyar setiap tahun (Anonymous, 1990). Kerugian
tersebut akibat kerusakan hati yang harus diafkir, pertumbuhan terhambat serta kerugian
lainnya. Prevalensi fasciolosis pada sapi pernah dilaporkan mencapai 90% ( Suhardono et
al., 1991)
Dwinata et al., (2009) melaporkan hasil pemeriksaan koproskopis pada sapi di
Kelompok ternak Kerta Nandini Kabupaten Badung ditemukan 87% sapi yang dipelihara
terinfeksi oleh cacing. Kondisi yang sama dapat diasumsikan terjadi juga pada kelompok
ternak lainnya di Bali. Dari uraian diatas maka untuk mengurangi dampak yang
ditimbulkan oleh penyakit parasit pada sapi, maka strategis yang tepat dan efisien serta
ramah lingkungan sangat mendesak perlu dilakukan.
Strategi dengan obat cacing (deworming) telah banyak dilakukan dan hasilnya
cukup memuaskan terutama pada ternak yang digembalakan (Williams et al, 1986).
Misalnya dengan pemberian salah satu obat cacing seperti Moxidectin yang merupakan
generasi kedua dari komponen endectocide yang sangat potensial membunuh endo dan
ektoparasit pada sapi (Hubert et al., 1995; Morin et al., 1996; Chick et al., 1993).
Pengendalian dengan obat-obatan kimiawi telah berhasil dilakukan dalam beberapa
dekade, namun belakangan ini diketahui dapat menyebabkan evolusi parasit tertentu.
Situasi ini menyebabkan fokus perhatian pengendalian tidak terlalu optimistis dengan
penggunaan obat-obatan kimia. Banyak dilaporkan adanya resistensi parasit tertentu
(Nematoda and Arthropoda) terhadap obat obatan kimia akibat penggunaan yang kurang
tepat. Penggunaan obat-obatan kimia secara masif dan kurang tepat juga dapat
5
menyebabkan kerusakan lingkungan karena membunuh ornasime yang bukan menjadi
target (non-target organisms). Penggunaan obat antiparasit kimiawi yang kurang tepat juga
dapat menyebabkan penurunan kualitas pupuk kandang serta mempengaruhi ekosistem
mikroorganisme pada kotoran sapi. Hal ini juga mempengaruhi ekosistem serangga yang
siklus hidupnya memerlukan kotoran sapi (Barth, 1993; Halley et al., 1989; Herd, 1995;
Lumaret et al., 1993; McKellar 1992; Wall and Strong 1987; Wrdhaugh et al., 1998;
Wardhaugh et al., 2001).
Infeksi cacing pada saluran pencernaan sapi merupakan salah satu penyakit
infeksius yang bersifat subklinis (tanpa menunjukkan gejala klinis yang menciri) dan
menyebabkan kerugian ekonomi yang cukup tinggi, seperti yang pernah dilaporkan di
Belanda secara ekonomi pernah dianalisis oleh Gross et al., (1999) bahwa kerugian
ekonomi yang hanya disebabkan oleh infeksi cacing nematoda mencapai 90 juta Euro per
tahun. Kerugian ini akibat penurunan berat badan atau terhambatnya pertumbuhan serta
faktor pencetus terjangkitnya penyakit infeksius lainnya yang disebabkan oleh virus
maupun bakteri.
Peternakan sapi di lokasi kelompok ternak sapi binaan di Kabupaten Karangasem
merupakan salah satu ternak yang sangat potensial ditingkatkan produktivitasnya, karena
didukung dengan ketersediaan pakan sapi yang berlimpah dan berkelanjutan dengan
memanfaatkan lereng gunung sebagai tempat tanam rumput gajah. Dengan meningkatkan
produktivitas tentunya akan dapatmeningkatkan penghasilan dan pendapatan peternak.
Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh data sosisodemografis dan infestasi parasit
padabeberapa kelompok ternak sapi di Kecamatan Rendang, Kabupaten Karangasem Bali.
6
METODE PENELITIAN
Penentuan Kelompok Ternak Sapi
Sasaran adalah kelompok ternak sapi di beberapa kecamatan di kabupaten
Karangasem Bali. Sebelum dilakukan penentuan kelompok ternak sapi dilakukan
penentuan lokasi. Kelompok ternak sapi binaan akan dipilih 4 kelompok ternak dengan
persyaratan kelompok sebagai berikut: a). kelompok peternak aktif yang terdaftar di Dinas
Peternakan Kabupaten/Kota , b). jumlah anggota minimum 40 orang, c) tidak bermasalah baik
dengan perbankan maupun sumber permodalan lainnya, dan d) bersedia menjadi kelompok
ternak binaan.
Untuk menentukan kelompok ternak sapi, dari 542 kelompok ternak sapi yang
tersebar di 7 Kecamatan di Kabupaten Karangasem dikunjungi secara acak ke masing-
masing kecamatan dengan jumlah kelompok ternak sapi di masing-masing kecamatan
sebanyak 2 sampai 3 kelompok ternak. Kunjungan ke masing-masing kelompok ternak
bersama dengan petugas Bidang Produksi Ternak dari Dinas Peternakan, Kelautan dan
Perikanan Kabupaten Karangasem. Dalam kunjungan tersebut dilakukan wawancara
dengan ketua kelompok ternak untuk mengetahui profil kelompok ternak serta potensi
untuk dilakukan program pembinaan dalam meningkatkan produktivitas yang didukung
oleh potensi pakan ternak yang bisa menunjang kelangsungan kelompok ternak tersebut.
Secara acak dikunjungi 18 kelompok ternak yang tersebar di 7 kecamatan di
Kabupaten Karangasem. Kunjungan ke masing masing kelompok ternak diawali pada
bulan April 2015. Berdasarkan hasil kunjungan dan dilakukan diskusi dengan bidang
7
produksi Dinas Peternakan, Kelautan dan Perikanan Kabupaten Karangasem, maka
diputuskan 4 kelompok ternak dilakukan di dua kelompok ternak sapi yaitu; 1). Kelompok
Ternak Sapi Wana Merta, 2). Kelompok Ternak Sapi Dukuh Sari, 3). Kelompok Ternak
Sapi Arta Wiguna dan 4). Kelompok Ternak Sapi Margi Lestari
Keempat kelompok ternak sapi tersebut berada di Banjar Keladian, Desa Pempatan,
Kecamatan Rendang. Kelompok ternak tersebut berlokasi di lereng selatan Gunung Agung
yang didukung oleh ketersedian pakan (rumput gajah) yang sangan memedai.
Survei Penyakit Parasit
Kegiatan ini diawali dengan pertemuan di masing-masing kelompok ternak sapi untuk
mendapatkan data karakteristik manajemen peternakan pada kelompok ternak dan anggota
kelompok. Selanjutnya dilakukan kunjungan ke masing-masing anggota untuk pengambilan
sampel darah dan tinja. Sampel darah dan tinja kemudian dilakukan pemeriksaan laboratorium
di Laboratorium Center for Studies on Animal Diseases (CSAD) FKH Unud.
Dalam penelitian tahun pertama dilakukan survei penyakit parasiter pada sapi yang
ada pada kelompok ternak binaan. Survei penyakit parasiter dilakukan secara langsung
dengan pemeriksaan koproskopis terhadap parasit yang menginfeksi saluran pencernaan.
Pemeriksaan koproskopis dilakukan dengan pemeriksaan keberadaan stadium
tertentu dari parasit yang berada dalam saluran pencernaan melalui pemeriksaan feses.
Feses sapi diambil secara langsung pada rektum kemudian ditampung dalam kontainer
feses yang tanpa pengawet dan dengan pengawet Sodium Acid Formaldehyde (SAF).
Sampel feses tanpa pengawet disimpan di lemari es sebelum dilakukan pemeriksaan
laboratorium. Pemeriksaan laboratorium secara keseluruhan yang dilakukan seperti tabel
berikut:
8
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kelompok Ternak Sapi
Kabupaten Karangasem merupakan salah satu kabupaten di Bali yang sangat
potensial dikembangkan ternak sapi. Di wilayah Kabupaten Karangasem terdapat 592
kelompok ternak yang sebagian besar merupakan Kelompok ternak sapi, selain itu terdapat
kelompok ternak babi, kelompok ternak itik dan kelompok ternak ayam. Dari 592
kelompok ternak tersebut 524 (88,51%) merupakan kelompok ternak sapi yang tersebar di
7 Kecamatan (Gambar1).
Gambar 1. Sebaran Kelompok Ternak Sapi di 7 Kecamatan di Kabupaten Karangasem
Kelompok ternak sapi Wana Merta terdiri dari 20 anggota dengan populasi sapi
183 ekor, kelompok ternak sapi Dukuh Sari terdiri dari 20 anggota dengan populasi sapi
sebanyak 167 ekor, Kelompok ternak Arta Wiguna terdiri dari 20 anggota dengan populasi
18
92
108
64
98103
41
9
sapi sebesar 166 ekor, dan Kelompok ternak Margi Lestari terdiri dari 17 anggota dengan
populasi sebesar 128 ekor yang terdiri dari sapi induk, penggemukan dan pedet. Sapi di
keempat kelompok ternak sapi tersebut dilakukan pemeriksaan kondisi tubuh masing-
masing sapi serta pendataan data sapi dan data peternak yang merupakan faktor risiko
penyakit parasiter. Data kondisi ternak dan faktor risiko diperoleh dengan menggunakan
kwisioner.
Rata-rata kepemilikan ternak pada masing masing anggota kelompok ternak adalah
sebanyak 8 ekor per anggota, yang secara rinci rata rata kepemilikan sapi disajikan pada
gambar 2 berikut:
Gambar 2. Rata-rata kepemilikan ternak pada masing-masing kelompok ternak binaan
Dari data yang diperoleh menunjukkan bahwa keempat kelompok ternak binaan ini
mempunyai potensi pengembangan karena didukung oleh keberadaan pakan yang
memadai. Di samping itu kelompok ternak binaan memanfaatkan lereng gunung sebagai
10.75
5.766.35 6.5
KTTArtaWiguna KTTMargiLestari KTTWanaMerta KTTDukuhSari
10
lahan rumput gajah. Pemanfaatan ini selain untuk peternakan juga bermanfaat dalam
mencegah terjadinya erosi.
Sosio-demografi Kelompok Ternak Binaan
Indikator sosio-demografis kelompok ternak binaan pada program ini berdasarkan
penghasilan per bulan, kondisi rumah, kepemilikan barang seperti alat transportasi, tingkat
pendidikan kepala rumah tangga maupun anak.
Dari data rata rata penghasilan per bulan yang diperoleh menunjukkan bahwa rata
rata penghasilan per bulan dari anggota kelompok tani ternak adalah Rp. 1.032.467. Rata-
rata penghasilan masing-masing kelompok tani ternak disajikan pada gambar 3.
Gambar 3. Rata-rata penghasilan perbulan pada kelompok tani ternak
Dari data penghasilan per bulan menunjukkan bahwa kondisi ekonomi peternak
masih relatif rendah, oleh karena itu perlu dilakukan pembinaan agar terjadi peningkatan
pendapatan peternak melalui peningkatan produktivitas ternak sapi yang dipelihara.
Rendahnya pendapatan peternak sangat terkait dengan tingkat pendidikan dari peternak
tersebut. Tingkat pendidikan peternak sebagian besar masih rendah yaitu Sekolah Dasar
dan Sekolah Menengah Pertama, seperti tersaji pada gambar 4.
845000
582352.94
1185000
1450000
KTTArtaWiguna KTTMargiLestari KTTWanaMerta KTTDukuhSari
11
Gambar 4. Tingkat pendidikan anggota kelompok tani ternak
Dari data tersebut menunjukkan bahwa hanya 6,5% anggota kelompok tani ternak
memiliki tingkat pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA). Bahkan tidak ada anggota
kelompok tani ternak yang memiliki tingkat pendidikan perguruan tinggi. Perbedaan
tingkat pendidikan untuk masing-masing kelompok tani ternak secara statistik berbeda
signifikan, seperti tersaji pada gambar 5.
Gambar 5. Perbedaan tingkat pendidikan anggota masing masing kelompok ternak.
0
70
30
0
TidakSekolah SD SMP SMA
0
10
20
30
40
50
60
70
80
ARTAWIGUNA MARGILESTARI WANAMERTA DUKUHSARI
TidakSekolah SD
12
Tingkat pendidikan anak dari anggota kelompok ternak binaan 50,6% Dekolah
Dasar, 24,7% Sekolah Menengah Pertama, 22,1% Sekolah Menengah Atas dan masih ada
2,6% tidak sekolah. Perbedaan tingkat pendidikan anak pada masing-masing kelompok
ternak binaan tersaji pada gambar 6.
Gambar 6. Perbedaan tingkat pendidikan anak masing-masing kelompok ternak.
Hampir seluruh (98,7%) anggota kelompok ternak merupakan petani, dan hanya
satu anggota kelompok ternak memiliki kerja sampingan sebagai wiraswasta. Hal ini
menunjukkan bahwa kehidupan para anggota kelompok ternak di wilayah ini tergantung
pada sektor pertanian yaitu sektor peternakan. Ternak sapi merupakan satu satunya
penopang perekonomian di wilayah ini. Hal ini ditunjukkan dari 77 anggota kelompok
ternak, 75 (97,4%) menyatakan bahwa ternak sapi yang dipelihara sanat mendukung
kebutuhan keluarga seperti biaya sekolah anak, upacara adat serta kepentingan lainnya.
Kondisi rumah kelompok ternak binaan diukur berdasarkan lantai rumah. Lantai
rumah diklasifikasikan menjadi tiga yaitu lantai tanah, lantai semen dan lantai keramik.
Derajat kualitas lantai tersebut dapat dipakai indikator derajat ekonomi anggota kelompok
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
TidakSekolah SD SMP SMA
ARTAWIGUNA MARGILESTARI WANAMERTA DUKUHSARI
13
ternak. Sebagian besar (70,1%) anggota kelompok ternak binaan memiliki rumah dengan
lantai semen, sedangkan yang memiliki lantai keramik sebanyak 20,8%, dan masih ada
sebanyak 9,1% anggota kelompok ternak binaan tinggal di rumah dengan lantai tanah.
Perbedaan jenis lantai rumah pada masing-masing kelompok ternak binaan disajikan pada
gambar 7.
Gambar 7. Perbedaan lantai rumah pada masing-masing kelompok ternak.
Kepemilikan alat transportasi dapat juga digunakan sebagai salah satu indikator
status ekonomi masyarakat. Alat transportasi yang dimiliki oleh kelompok ternak binaan
sebagian besar (84,4%) adalah sepeda motor, 2,6% anggota kelompok ternak memiliki
sarana transportasi mobil, dan 13% anggota kelompok ternak binaan memiliki sepeda
motor dan mobil.
Dari data sosio-demografis anggota kelompok ternak binaan pada program ini
menunjukkan bahwa kondisi sosial ekonomi yang masih rendah. Hal ini ditunjukkan oleh
tingkat pendidikan yang sebagian besar sekolah dasar dengan penghasilan yang rendah.
Ditinjau dari potensi pengembangan peternakan sapi bali di wilayah kelompok ternak
0 20 40 60 80 100 120
ARTAWIGUNA
MARGILESTARI
WANAMERTA
DUKUHSARI
KERAMIK
SEMEN
TANAH
14
binaan maka peternakan sapi akan mampu meningkatkan kondisi sosial ekonomi
masyarakat di wilayah tersebut.
Terkait dengan pengembangan ternak sapi pada kelompok ternak binaan tersebut
telah mendapat perhatian dari berbagai instansi baik pemerintah maupun suasta. Dari
empat kelompok ternak binaan tersebut dua kelompok ternak sudah pernah mendapat
bantuan. Bantuan tersebut diberikan dalam bentuk bibit ternak maupun bantuan lainnya.
Pada program ini akan dilakukan program pembinaan dan pendampingan dalam
meningkatkan produktivitas melalui pemberantasan penyakit parasit.
Karakteristik Peternakan Sapi Kelompok Ternak Sapi
Berdasarkan data yang diperoleh dari karakteristik peternakan sapi kelompok
ternak binaan menunjukkan bahwa sistem pemeliharaan tradisional. Selain memelihara
sapi juga memelihara aneka ternak lainnya. Lebih dari setelah (59,7%) anggota kelompok
ternak binaan selain memelihara sapi juga memelihara ternak lainnya.
Peternakan sapi di kelompok ternak binaan ini sangat didukung oleh ketersediaan
pakan berupa rumput gajah yang ditanam dan tumbuh subur di lereng gunung agung.
Sebagian besar (76%) anggota kelompok ternak binaan menyatakan bahwa ketersediaan
pakan di wilayahnya sangat mencukupi (Gambar 8).
Gambar 8. Ketersediaan pakan pada kelompok ternak binaan
15
Selain rumput gajah sebagai pakan utama, peternak juga menggunakan pakan
tambahan berupa konsentrat maupun pakan tambahan lainnya. Namun tidak semua
anggota kelompok ternak menyatakan bahwa mereka menggunakan pakan tambahan.
Sebagian (50,6%) menyatakan menggunakan pakan tambahan dan sisanya 49,4%
menyatakan bahwa mereka tidak menggunakan pakan tambahan. Keragaman penggunaan
pakan tambahan tersaji pada gambar 9.
Gambar 9. Keragaman penggunaan pakan tambahan pada kelompok ternak binaan
Sapi yang dipelihara oleh kelompok ternak binaan 36,4% diperoleh di pasar hewan,
39% menyatakan bahwa dari ternak sendiri dan 24,7% menyatakan bahwa sapi yang
dipelihara dari peternakan sendiri dan pasar.
Survei Penyakit Parasiter
Data yang terkait dengan penyakit parasiter pada sapi diperoleh melalui kuisioner,
terutama pengetahuan dan pemahaman tentang penyakit parasiter. Penyakit parasiter yang
umum diketahui masyarakat adalah kecacingan. Hanya 27,3% anggota kelompok ternak
binaan mengetahui bahwa kecacingan juga terjadi pada ternak. Tetapi apakah ternak sapi
juga terinfeksi oelh cacing, 100% menyatakan tidak tahu tentang kecacingan dan
dampaknya pada sapi. Dari pemahaman dan pengetahuan tersebut maka sangat perlu
YA0
20406080
100
YA
TIDAK
16
diberikan pemahaman terutama bahaya penyakit parasiter pada sapi. Selain masalah
penyakit parasiter, penyakit lainnya juga merupakan maslah pada ternak di kelompok
ternak binaan tersebut. Hampir semua (98,7%) anggota kelompok ternak binaan yang
mengalami masalah kesehatan ternaknya melapor pada petugas peternakan.
Penyakit pada ternak tidak hanya berdampak pada kesehatan ternak, juga beberapa
penyakit pada ternak dapat menular ke manusia yaitu bersifat zoonosis. Salah satu penyakit
zoonosis yang dapat ditularkan melalui daging sapi adalah penyakit cacing pita pada
manusia. Dalam siklus hidup dan penularan ke manusia sangat didukung oleh faktor
sanitasi. Data yang dieproleh pada penelitian ini 98,7% anggota kelompok ternak binaan
tidak memiliki jamban. Kondisi seperti ini sangat potensial terjadinya penyebaran penyakit
zoonosis tersebut.
Infeksi Parasit Gastrointestinal
Hasil pemeriksaan laboratorium secara koproskopis, 78,9 % sapi yang dipelihara
pada kelompok ternak binaan terinfeksi oleh cacing pada saluran pencernaanya. Dari hasil
pemeriksaan mikroskopis ditemukan adanya telur cacing Fasciola spp, Paramphistomum
spp, Trichuris spp dan Toxocara vitulorum. Di samping itu ditemukan juga ookista
Eimeria spp., dengan prevalensi berturut turut 42%, 36%, 24%, 40% dan 77%. Keragaman
prevalensi pada masing-masing kelompok ternak binaan tersaji pada gambar 10.
17
Gambar 10. Prevalensi parasit gastrointestinal pada sapi di masing-masing kelompok ternak binaan
Dari data di atas menunjukkan bahwa prevalensi parasit saluran pencernaan pada sapi di
masing-masing kelompok ternak binaan cukup tinggi. Parasit tersebut sangat
mempengaruhi pertumbuhan dan produktivitas ternak
Berdasarkan temuan infeksi parasit pada penelitian tahun pertama, yang didukung dari data-data
yang diperoleh melalui kuissioner diantaranya rendahnya pemahaman terhadap kerugian infeksi
parasite pada ternak serta data sosio-demografis yang ditandai dengan rendahnya pendidikan
peternak, tingkat kesejahteraan yang rendah. Tahun kedua dilakukan program pembinaan dan
pendampingan s terutama dalam pemberantasan penyakit parasite pada sapi.
Data sosio-demografis menunjukkan bahwa kondisi ekonomi peternak masih relatif
rendah, oleh karena itu perlu dilakukan pembinaan agar terjadi peningkatan pendapatan
peternak melalui peningkatan produktivitas ternak sapi yang dipelihara. Hampir seluruh
0 20 40 60 80 100
FASCIOLA
PARAMPHISTOMUM
TRICHURIS
TOXOCARA
EIMERIA
DUKUHSARI
WANAMERTA
MARGILESTARI
ARTAWIGUNA
18
anggota kelompok ternak adalah petani. Sehingga kehidupan para anggota kelompok
ternak di wilayah ini tergantung pada sektor pertanian yaitu sektor peternakan. Ternak sapi
merupakan satu satunya penopang perekonomian di wilayah ini. Hal ini ditunjukkan dari
pernyataan peternak bahwa ternak sapi yang dipelihara sangat mendukung kebutuhan
keluarga seperti biaya sekolah anak, upacara adat serta kepentingan lainnya.
Tingkat pendidikan yang sebagian besar sekolah dasar dengan penghasilan yang
rendah. Ditinjau dari potensi pengembangan peternakan sapi bali di wilayah kelompok
ternak binaan maka peternakan sapi akan mampu meningkatkan kondisi sosial ekonomi
masyarakat di wilayah tersebut.
Data karakteristik peternakan sapi kelompok ternak binaan menunjukkan bahwa
sistem pemeliharaan ternak secara tradisional. Selain memelihara sapi juga memelihara
aneka ternak lainnya. Peternakan sapi di kelompok ternak binaan ini sangat didukung oleh
ketersediaan pakan berupa rumput gajah yang ditanam dan tumbuh subur di lereng gunung
Agung. Selain rumput gajah sebagai pakan utama, peternak juga menggunakan pakan
tambahan berupa konsentrat maupun pakan tambahan lainnya.
Prevalensi infeksi cacing gastrointestinal pada ternak sapi kelompok binaan masih
cukup tinggi. Parasit tersebut sangat mempengaruhi pertumbuhan dan produktivitas ternak.
Uji serologis dengan menggunakan metoda ELISA, 8% sapi terdeteksi adanya antibodi
(IgG) terhadap Neospora caninum. Infeksi Neospora pada sapi menyebabkan kerugian ekonomi,
karena mengalami gangguan reproduksi termasuk keguguran. Sapi yang terinfeksi neospora
mengalami penurunan efisiensi reproduksi, produksi susu berkurang, berat badan menurun,
(Baszler, 2003 ).
Dari hasil yang disajikan diatas dapat disimpulkan bahwa untuk mengurangi
dampak ekonomi akibat penyakit parasit pada sapi terutama pada peternakan tradisional
sangat mendesak dilakukan program pengendalian penyakit tersebut. Dalam program
19
pengendalian penyakit tersebut juga harus menjadi perhatian dampak negatif seperti
resistensi dan kerusakan ekosistem mikroorganisme yang ditimbulkan akibat penggunaan
obat obatan kimia yang kurang tepat. Oleh karena strategi pengendalian yang tepat untuk
wilayah Indonesia adalah pengendalian yang selektif, aman dan efisien berbasis
pemeriksaan laboratorium melalui pembinaan kelompok ternak.
20
DAFTAR PUSTAKA
Anonymous, 1990. Data ekonomi akibat penyakit. Direktorat jenderal Peternakan, Jakarta.
Barr, B. C., J. P. Dubey, D. S. Lindsay, J. P. Reynolds, and S. J. Wells. 1998.Neosporosis: its prevalence and economic impact. Comp. Cont. Edu. Pract.Vet. 20:1–16.
Barth D., 1993: Importance of the methodology in the interpretation of factors affecting degradation of dung, Vet. Parasitol. 48. 99-108.
Bisset SA, Morris CA, McEwan JC, Vlassoff A: 2001. Breeding sheep in New Zealand that are less reliant on anthelmintics to maintain health and productivity. N Z Vet J, 49:236-246.
Chick B, McDonald D, Cobb R, Kieran PJ, Wood I. 1993. The efficacy of injectable and pour-on formulations of moxidectin against lice on cattle. Aust Vet J. Jun;70(6):212–213.
Damriyasa IM., N.S. Dharmawan, Ibk Ardana, A.A.S Kenderan, 2004. Pemberantasan Ekto Dan Endoparasit Pada Babi Untuk Meningkatkan Produktivitas Ternak Rakyat Di Desa Bebandem Karangasem. Udayana Mengabdi 3 (1) P. 7-8
Damriyasa, IM., Schares G. And C. Bauer (2010) Seroprevalence of Antibodies to Neospora Caninum In Bos Javanicus (Bali Cattle) From Indonesia. Trop. Anim. Health Prod. 42: 95-98
Dharmawan, N.S., A.A.S. Kenderan, I.B.K. Ardana, I G. Mahardika, N. Sulabda And I M. Damriyasa. (2009). Studies On The Hematology Status Of Bali Cattle In Bali. Proc. International Conference On Biotechnology, Bali, September, 15-16, 2009.
Dharmawan, N.S., I M. Damriyasa, I N. Kapti, P. Sutisna, M. Okamoto And A. Ito. (2009). Experimental Infection Of Taenia Saginata Eggs In Bali Cattle: Distribution And Density Of Cysticercus Bovis. Jurnal Veteriner 10 No. 4;178-183
Dwinata I M, I B M Oka dan I M. Damriyasa. 2009; Pemberantasan Penyakit Parasiter Berbasis Pemeriksaan Koproskopis Pada Kelompok Ternak Sapi Kerta Nandini Desa Petang. Laporan Pengabdian Penerapan Iptek
Gross SJ, Ryan WG, Ploeger HW (1999): Anthelmintic treatment of dairy cows and its effect on milk production. Vet Rec, 144:581-587.
Halley B.A., Nessel R.J., Lu A.Y.H., 1989: Environmental aspects of ivermectin usage in livestock: general considerations, in: CampbellW.C. (Ed.), Ivermectin and Abamectin, Springer Verlag, New York, , pp. 162-172
Herd R. 1995: Endectocidal drugs: ecological risks and counter-measures, Int. J. Parasitol. 25 875-885.
21
Hubert J, Kerboeuf D, Cardinaud B, Blond F. 1995. Persistent efficacy of moxidectin against Dictyocaulus viviparus and Ostertagia ostertagi in cattle. Vet Rec. Mar 4;136(9):223–224.
Kendran A. A. S., I M Damriyasa, N S Dharmawan, I B K Ardana, L D Anggreni (2012). Profil Kimia Klinik Darah Sapi Bali. Veteriner Vol. 13 No. 4; 410-415
Ketzis JK, Vercruysse J, Stromberg BE, Larsen M, Athanasiadou S, Houdijk JG: 2006. Evaluation of efficacy expectations for novel and non-chemical helminth control strategies in ruminants. Vet Parasitol, 139:321-35.
Le Jambre L.F., RoyalW.M.,MartinP.J.: 1979. The inheritance of thiabendazole resistance in Haemonchus contortus, Parasitology 78. 107-119.
Lumaret J.-P., Galante E., Lumbreras C., Mena C.,BertrandM., Bernal J.L.,Cooper J.-F., Kadiri N., Crowe D., 1993: Field effects of antiparasitic drug ivermectin residues on dung beetles, J. Appl. Ecol. 30 428-436.
McCracken D.I., 1993: The potential for avermectins to affect wildlife, Vet. Parasitol. 48 273-280.
Morin D, Valdez R, Lichtensteiger C, Paul A, DiPietro J, Guerino F. 1996. Efficacy of moxidectin 0.5% pour-on against naturally acquired nematode infections in cattle. Vet Parasitol. Oct 15;65(1-2):75–81.
Reichel, M. P. 2000. Neospora caninum infections in Australia and New Zealand. Aust. Vet. J. 78:258–261.
Sangster N.C., Redwin J.M., Bjørn H.: 1998. Inheritance of levamisole and benzimidazole resistance in an isolate of Haemonchus contortus, Int.J. Parasitol. 28 503-510.
Stear MJ, Doligalska M, Donskow-Schmelter K: 2007. Alternatives to anthelmintics for the control of nematodes in livestock. Parasitology, 134:139-151.
Suhardono, S. Widjajanti, P. Stevenson and I.H. Carmichael. 1991. Control of Fasciola gigantica with triclabendazole in Indonesia cattle. Trop. Anim. Health and Production, 23: 217 – 220.
Wall R., Strong L., 1987: Environmental consequences of treating cattle with antiparasitic drug ivermectin, Nature 327. 418-421.
Wardhaugh K.G., Longstaff B.C., Lacey M.J., 1998: Effects of residues of deltamethrin in cattle faeces on the development and survival of three species of dung-breeding insects, Aust. Vet. J. 76. 273-280.
Wardhaugh K.G., Longstaff B.C.,MortonR., 2001: A comparison of the evelopment and survival of the dung beetle, Onthophagus taurus (Schreb.) when fed on the faeces of cattle treated with pour-on formulations of prinomectin or moxidectin,Vet. Parasitol. 99. 155-168.
22
Williams JC, Corwin RM, Craig TM, Wescott RB. 1986.Control strategies for nematodiasis in cattle. Vet Clin North Am Food Anim Pract. Jul;2(2):247–260.
Anziani, O. S., Zimmermann, G., Guglielmone, A. A., Vazquez,R. and Suarez, V. 2001. Avermectin resistance in Cooperia pectinatain cattle in Argentina. Vet. Rec.149: 58–59.
Bailey, W. S. 1949. Studies on calves experimentally infected with Cooperia punctata(v.
Linstow, 1907) Ransom, 1907. Am. J. Vet. Res.10: 119–129. Coles, G. C., Stafford, K. A. and MacKay, P. H. S. 1998. Ivermectin-resistant Cooperia
species from calves on a farm in Somerset. Vet. Rec.142: 255–256. Demeler, J., Küttler, U. and von Samson-Himmelstjerna, G. 2010. Adaptation and
evaluation of three different in vitrotests for the detection of resistance to anthelmintics in gastro intesti-nal nematodes of cattle. Vet. Parasitol.170: 61–70.
Demeler, J., Kleinschmidt, N., Küttler, U., Koopmann, R. and von Samson-Himmelstjerna,
G. 2012. Evaluation of the egg hatch assay and the larval migration inhibition assay to detect anthelmintic resistance in cattle parasitic nematodes on farms. Parasitol. Int.61: 614-618.
Demeler, J., Van Zeveren, A. M. J., Kleinschmidt, N., Ver-cruysse, J., Höglund, J.,
Koopmann, R., Cabaret, J., Claerebout, E., Areskog, M. and von Samson-Himmelstjerna,G. 2009. Monitoring the efficacy of ivermectin and albendazole against gastro intestinal nematodes of cattle in Northern Europe. Vet. Parasitol.160: 109–115.
Demeler, J., Küttler, U., El-Abdellati, A., Stafford, K., Rydzik, A., Varady, M., Kenyon,
F., Coles, G., Höglund, J., Jackson, F., Vercruysse, J. and von Samson-Himmelstjerna, G. 2010. Stan-dardization of the larval migration inhibition test for the detec-tion of resistanceto ivermectin in gastro intestinal nematodes of ruminants. Vet. Parasitol.174: 58–64.