Upload
dwi-k-pratiwi
View
332
Download
5
Embed Size (px)
Citation preview
SRIKANDI ILMUWAN KOMUNIKASI INDONESIA (Studi Eksploratif pada Pemikiran Prof. Dr. Phil. Astrid S. Susanto
sebagai Tokoh Komunikasi di Indonesia)
SKRIPSI
Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Komunikasi pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik dengan Bidang Minat Manajemen Komunikasi
Oleh:
DWI KURNIAWATI PRATIWI
125120207111030
JURUSAN ILMU KOMUNIKASI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2016
iv
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang
senantiasa membimbing, menemani, dan menguatkan di sepanjang waktu. Atas
rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang
disusun untuk memenuhi sebagian persyaratan memperoleh gelar Sarjana Ilmu
Komunikasi pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Brawijaya,
dengan judul “SRIKANDI ILMUWAN KOMUNIKASI INDONESIA (Studi
Eksploratif pada Pemikiran Prof. Dr. Phil. Astrid S. Susanto sebagai Tokoh
Komunikasi Indonesia)”.
Penulis menyadari akan adanya bantuan dan dorongan moril dari berbagai
pihak yang telah membantu penulis dalam merampungkan Skripsi ini. Oleh
karena itu, pada kesempatan kali ini penulis ingin menyampaikan banyak terima
kasih kepada:
§ Ayahanda (Alm) Muriyanto dan Ibunda Umiyati N. yang senantiasa
mendoakan, membimbing, dan menyemangati putrinya di setiap saat yang
tak pernah lekang oleh jarak dan waktu. Sekaligus Kakakku Yuyun
Kusumawati, yang selalu memotivasi dan mendoakan adiknya. Skripsi ini
saya dipersembahkan untuk Ayahanda (Alm) Muriyanto di surga.
§ Jajaran Dekanat dan Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Brawijaya
§ Bapak Dr. Bambang Dwi Prasetya, M.Si selaku Ketua Jurusan Ilmu
Komunikasi Universitas Brawijaya yang senantiasa menyemangati
mahasiswanya.
§ Bapak Dr. Antoni selaku dosen pembimbing pertama, yang senantiasa
memberikan kesempatan peneliti turut serta dalam tim penelitiannya dan
dengan penuh kesabaran turut meluangkan waktunya untuk mengarahkan,
membimbing dan memberi semangat kepada penulis layaknya keluarga
dalam penyusunan Skripsi ini.
§ Ibu Sri Handayani, S.Pd., M.I.Kom selaku dosen pembimbing kedua, yang
telah membimbing dan menyemangati dengan penuh semangat serta
kesabaran hingga selesainya penulisan skripsi ini.
v
§ Ibu Nisa Alfira, S.I.Kom, M.A, yang senantiasa memberi masukan,
semangat dan kesabarannya yang turut membimbing penulis layaknya
seorang kakak.
§ Bapak Anang Sujoko, D.COMM dan Ibu Fariza Yuniar R, S.I.Kom,
M.I.Kom selaku anggota sidang majelis penguji atas masukan dan
perhatiannya yang diberikan demi kebaikan Skripsi ini.
§ Seluruh dosen Ilmu Komunikasi atas ilmu yang tiada henti diberikan
kepada penulis hingga saat ini.
§ Bapak Airlangga Hadigama beserta keluarga, selaku putra dari Ibu (Almh)
Astrid S. Susanto yang telah memberikan waktu dan kesediaannya berbagi
informasi terkait sosok Srikandi Ilmuwan Komunikasi Indonesia.
§ Bapak Prof. M. Alwi Dahlan, Ph.D, sosok inspiratif Bapak Ilmu
Komunikasi Indonesia yang merupakan Guru Besar Emiritus Departemen
Ilmu Komunikasi FISIP UI, atas khazanah keilmuan yang baru peneliti
dapatkan selama ini.
§ Bapak Drs. Eduard Lukman, M.A, Sekretaris Program Pascasarjasana
Departemen Ilmu Komunikasi FISIP UI, atas segala hal yang diberikan
kepada peneliti baik ilmu, kesabaran, bantuan, hingga pelajaran
kehidupan.
§ Bapak Ronny Adhikarya, Ph.D, sosok inspiratif atas kesediaannya
memberikan waktunya, ilmu, dan pelajaran berharga bagi penulis melalui
“learning how to learn, re-learn, and unlearn” bahwa pengetahuan perlu
disesuaikan dengan perkembangan waktu dan zaman.
§ Bapak Dr. Pinckey Triputra, selaku Ketua Departemen Ilmu Komunikasi
FISIP UI, atas kesediaan waktu dan kerjasamanya dalam memenuhi
kebutuhan pengumpulan data Skripsi ini.
§ Bapak Prof. Dr. Bambang Shergi Laksmono, M.Sc, selaku Guru Besar
Kebijakan dan Perencanaan Sosial Departemen Kesejahteraan Sosial
FISIP UI, atas informasi, ilmu dan kerjasamanya dalam memenuhi
kebutuhan pengumpulan data Skripsi ini.
vi
§ Muhammad Aga, seseorang yang tak pernah lelah untuk selalu membantu,
menyemangati, mendukung, dan mendorong untuk bersama-sama
menggapai cita-cita menjadi sosok yang membanggakan orangtua
nantinya.
§ NDANG LULUS, para sahabat terbaik yang berisikan 13 manusia dengan
satu visi misi yang beraneka ragam, saling mendukung, mendoakan,
menguatkan satu sama lain dan tak pernah lelah saling menyemangati.
§ Tasya Anggia, Sabrina Herdwininda, Fymanda R, Harvi, Safira Aliya,
teruntuk sahabatku sejak 2009 yang selalu menyempatkan waktunya,
mendukung dan saling mendoakan.
§ Seluruh pihak yang telah membantu dan menjadikan ini bermanfaat
baginya sebagai bahan bacaan atau referensi untuk tugas akhirnya, serta
orang-orang yang kemudian menjadikan rekomendasi peneliti menjadi
sebuah penelitian.
Karena kesempurnaan hanya milik Allah SWT, maka dengan segala
kerendahan hati penulis menyadari masih terdapat kekurangan dalam penulisan
Skripsi ini.
Kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan, sehingga
kelak penulis dapat memperbaikinya. Akhir kata, semoga Skripsi ini dapat
memberi manfaat dan sumbangsih bagi semua pihak.
Malang, Juli 2016
Dwi Kurniawati Pratiwi
vii
SRIKANDI ILMUWAN KOMUNIKASI INDONESIA
(Studi Eksploratif pada Pemikiran Prof. Dr. Phil. Astrid S. Susanto
sebagai Tokoh Komunikasi Indonesia)
ABSTRAK
Dwi Kurniawati Pratiwi, dibawah bimbingan Dr. Antoni dan Sri Handayani, S.Pd., M.I.kom. Jurusan Ilmu Komunikasi. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Universitas Brawijaya Prof. Dr. Phil. Astrid S. Susanto merupakan salah satu tokoh ilmuwan komunikasi yang membawa tradisi ilmu sosial Eropa diawal kehadirannya ke Indonesia pada tahun 1960-an. Ia memiliki perhatian lebih terhadap topik pembangunan, ilmu komunikasi dengan berbagai kajian ilmu, perencanaan dan kebijakan, upaya memajukan masyarakat dan emansipasi wanita. Perhatiannya pun didukung oleh tugasnya sebagai seorang pengajar di Universitas Indonesia dan Universitas Padjajaran, disamping itu ia juga memiliki posisi strategis dalam ranah pemerintahan yaitu di BAPPENAS dan sebagai anggota MPR/DPR era Orde Baru. Penelitian ini mengkaji studi pemikiran Astrid S. Susanto, yakni studi yang melihat inti gagasan yang terkandung di dalam karya-karyanya. Hal tersebut menjadi menarik untuk diperbincangkan jika dikaitkan dengan konteks sejarah yang mana tokoh tersebut memiliki pengaruh bagi khalayak luas. Sehingga implikasi penelitian ini dapat turut memetakan perkembangan sejarah ilmu komunikasi dunia hingga di Indonesia melalui perspektif historis. Penelitian ini bersifat eksploratif dengan metode kualitatif yang bertujuan untuk menggali lebih dalam pemikiran-pemikiran Astrid sebagai seorang akademisi sekaligus praktisi sejak tahun 1960-an hingga akhir hayatnya di tahun 2006, salah satunya terhadap ilmu komunikasi. Adapun penelitian ini menggunakan perspektif komunikasi historis, sociology of knowledge, perkembangan kajian ilmu komunikasi, filsafat komunikasi dan komunikasi pembangunan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada ranah sejarah ilmu komunikasi itu sendiri, masih terdapat beberapa serpihan sejarah yang tidak terdokumentasikan dan menunjukkan bahwa perkembangan ilmu komunikasi di Indonesia sudah dimulai jauh sebelum ilmu komunikasi ala Barat masuk ke Asia. Adapun salah satu srikandi ilmuwan yang turut mewarnai perkembangan kajian ilmu komunikasi di Indonesia yaitu Prof. Dr. Phil. Astrid S. Susanto. Kata Kunci: Astrid S Susanto, Ilmu Komunikasi, Komunikasi Historis, Komunikasi Pembangunan
viii
COMMUNICATION SCIENTIST HEROINE OF INDONESIA
(Explorative Study on The Ideas of Prof. Dr. Phil. Astrid S. Susanto
as Indonesian Communication Figure)
ABSTRACT Dwi Kurniawati Pratiwi, under the guidance of Dr. Antoni and Sri Handayani, S.Pd., M.I.kom. Communication Science. Faculty of Social and Political Sciences. Brawijaya University Prof. Dr. Phil. Astrid S. Susanto is one of Indonesian Communication Figures who brought the European Social Science tradition at the beginning of her presence to Indonesia in the 1960s. She has more attention to the topic of development, communication science, planning and policy, efforts to improve the communities and the emancipation of woman. Her attention was supported by her duties as a lecturer at the University of Indonesia and Padjajaran University, beside that she has a strategic position in the sphere of government, namely in the BAPPENAS and as a member of the MPR/DPR New Order era. This research study examines the ideas of Astrid S. Susanto, namely studies that look at the core of the ideas contained in her works. It becomes interesting to be discussed if it’s associated with the historical context in which these figures have implications for a wide audience. So the implications of this research may contribute to map the historical development of science communication in the world to Indonesia through a historical perspective. This study is exploratory research with a qualitative method that aims to dig deeper into ideas of Astrid as and academics and practitioner since 1960s until his death in 2006, one of which for the communication science. As this study used historical perspective of communication, sociology of knowledge, the development of the communication science stud, philosophy of communication and development communication. The results showed that in the sphere of the history of communication science itself, there are still some pieces of history that are undocumented and suggests that the development of communication science in Indonesia began long before Western communication science into Asia. As one scientist in Indonesia, Prof. Dr. Astrid S. Susanto. Keywords: Astrid S Susanto, Communication Science, History of Communication, Development Communication
x
DAFTAR ISI
PERNYATAAN ORISINALITAS ........................................................................ i LEMBAR PERSETUJUAN UJIAN .................................................................... ii LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................. iii KATA PENGANTAR .......................................................................................... iv ABSTRAK .......................................................................................................... viii DAFTAR ISI .......................................................................................................... x DAFTAR TABEL ............................................................................................... xiii DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... xiv BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang .............................................................................................. 1
1.2 Fokus Penelitian .......................................................................................... 17
1.3 Tujuan Penelitian ........................................................................................ 17
1.4 Manfaat Penelitian ...................................................................................... 17
1.4.1 Manfaat Teoretis .................................................................................. 17
1.4.1 Manfaat Praktis .................................................................................... 18
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................... 19
2.1 Sosiologi Pengetahuan (Sociology of Knowledge) ...................................... 19
2.2 Kajian Ilmu Komunikasi dan Perkembangannya ........................................ 21
2.2.1 Kajian Ilmu Komunikasi dan Perkembangannya di ASEAN ............. 27
2.2.2 Kajian Ilmu Komunikasi dan Perkembangannya di Indonesia ........... 31
2.3 Filsafat Komunikasi .................................................................................... 35
2.4 Komunikasi Pembangunan .......................................................................... 41
2.5 Studi Pendahulu .......................................................................................... 51
2.6 Kerangka Pemikiran .................................................................................... 56
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ......................................................... 57
3.1 Paradigma Penelitian ................................................................................... 57
3.2 Sumber Data ................................................................................................ 59
xi
3.3 Teknik Pengumpulan Data .......................................................................... 62
3.4 Teknik Pemilihan Informan ........................................................................ 63
3.5 Teknik Analisis Data ................................................................................... 65
3.6 Keabsahan Data ........................................................................................... 66
BAB IV HASIL PENELITIAN .......................................................................... 69
4.1 Profil Prof. Astrid S. Susanto ...................................................................... 69
4.2 Pandangan Astrid S. Susanto mengenai Pembangunan di Indonesia ......... 79
4.2.1 Komunikasi Pembangunan ................................................................... 84
4.2.2 Upaya Memajukan Masyarakat Indonesia ........................................... 91
4.3 Komunikasi Massa ...................................................................................... 94
4.4 Perhatiannya terhadap Emansipasi Wanita ................................................. 99
4.5 Perencanaan Komunikasi dan Kebijakan Komunikasi (Communication
Planning and Communication Policy) ............................................................ 103
4.6 Adopsi terhadap Komunikasi dan Ilmu ..................................................... 108
4.6.1 Filsafat Komunikasi ........................................................................... 108
4.6.2 Kategorisasi Pemikiran Astrid S. Susanto ......................................... 111
BAB V DISKUSI ............................................................................................... 124
5.1 Pendekatan Sejarah dalam Ilmu Komunikasi ........................................... 124
BAB VI SIMPULAN DAN SARAN ................................................................ 149
6.1 Simpulan ................................................................................................... 149
6.2 Proposisi .................................................................................................... 151
6.3 Saran .......................................................................................................... 151
6.3.1 Saran Akademis ................................................................................. 151
6.3.2 Saran Praktis ....................................................................................... 152
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 153
LAMPIRAN
xii
DAFTAR TABEL Tabel 1: Paradigma dalam filsafat Komunikasi ................................................... 38
Tabel 2: Peristiwa Penting dalam Karier Astrid S. Susanto ................................. 78
Tabel 3: Pendekatan Komunikasi Pembangunan ................................................. 89
Tabel 4: Kategorisasi tulisan Astrid S. Susanto dalam naskah dokumen .......... 116 Tabel 5: Kategorisasi tulisan Astrid S. Susanto dalam bentuk buku ................. 120 Tabel 6: Perkembangan studi Komunikasi menurut Ruben & Steward ............. 132 Tabel 7: Sembilan Perilaku Komunikasi ............................................................ 133
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
1. Transkrip Wawancara (Drs. Eduard Lukman, M.A)
2. Transkrip Wawancara (Airlangga Hadigama)
3. Transkrip Wawancara (Prof. Dr. Alwi Dahlan)
4. Transkrip Wawancara (Dr. Pinckey Triputra)
5. Transkrip Wawancara (Prof. Bambang Shergi)
6. Transkrip Wawancara (Ronny Adhikarya, Ph.D)
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Ilmu komunikasi di Indonesia umumnya dibawa oleh para sarjana Ilmu
Komunikasi yang mengenyam pendidikan di luar negeri, khususnya Amerika dan
Eropa. Hal tersebut berdampak pada tingginya penggunaan literatur dari
pemikiran tokoh-tokoh komunikasi Barat yang kemudian diaplikasikan di negara-
negara berkembang. Astrid S. Susanto merupakan salah satu tokoh yang
membawa tradisi ilmu komunikasi dari Eropa. Pada awalnya pendidikan
komunikasi melalui penamaan jurusan publisistik lebih banyak dipengaruhi oleh
Eropa Barat, setelah kedatangan/pengaruh Dr. Astrid S. Susanto, dkk, yang
menyelesaikan studi komunikasi di Jerman (Budi, 2012, h.39).
Untuk memahami proses masuknya kajian ilmu komunikasi Barat yang
dibawa oleh para tokoh komunikasi ke Indonesia, penting untuk dipahami secara
mendasar bagaimana perjalanan perkembangan ilmu komunikasi secara historis.
Menurut Effendy (2003, h.2) pada abad ke-5 SM untuk pertama kali dikenal suatu
ilmu yang mengkaji proses pernyataan antarmanusia sebagai fenomena sosial,
ilmu ini dinamakan dalam bahasa Yunani “rhetorike” yang dikembangkan di
Yunani Purba. Pada abad ke-17 hingga 18, hadirnya komunikasi menurut
Simonson, dkk (2012, h.13) ketika para filsuf, professor rektorika, ahli bahasa,
pakar ekonomi politik, antropolog, sosiolog dengan berbagai cara memberi
perhatian lebih terhadap bahasa dan komunikasi sosial dalam perspektif sejarah
1
2
yang panjang. Dari tulisan merekalah, “komunikasi” muncul sebagai sebuah ide
yang semakin penting untuk merasakan pembangunan dan organisasi
pengetahuan, masyarakat, kehidupan politik, dan diri sendiri. Kehadiran
komunikasi yang pada awalnya disebut publisistik sebagai bidang ilmu selalu
dikaitkan dengan aktivitas retorika yang terjadi pada zaman Yunani kuno (Rogers,
1997, h. 34-36).
Adanya perkembangan komunikasi manusia yang tak hanya melalui lisan,
kemudian memunculkan generasi selanjutnya yakni melalui tulisan. Menurut
Cangara (2014, h.5-6) awal mula kehadiran persuratkabaran ditandai dengan
ditemukannya mesin cetak pada tahun 1450 oleh Gutenberg dan Coster di Jerman,
secara berturut kemudian terbitlah surat kabar pertama di Italia (1562), penerbitan
majalah pertama di Jerman (1594), dan pendirian mesin cetak surat kabar di
Amerika Utara (1639). Disinilah awal mula terjadinya perhatian lebih jauh
terhadap jurnalistik melalui komunikasi massa.
Sebagai bentuk perkembangannya, pada tahun 1884 studi tentang
komunikasi di Eropa mulai berkembang tidak hanya mengenai retorika namun
juga tentang persuratkabaran (Zaitungskunde) dan media elektronik
(Zaitungswissenchat). Menurut Effendy (2003, h.9) sampai pada tahun 1933 Dr.
Wallter Hageman, seorang guru besar publisistik di Munster Universitat Jerman
dalam pidatonya memperkenalkan bahwa publisistik adalah ajaran tentang
pernyataan umum mengenai isi kesadaran yang aktual. Ia memperkenalkan
publisistik sebagai suatu disiplin ilmu yang mencakup persuratkabaran, media
elektronik, beserta retorika dan pendapat umum sebagai objeknya. Diantara para
3
ahli publisistik paling berpengaruh di Eropa selama tahun 1940-an dan 1950-an
yaitu Profesor Emil Dovifat dan Profesor Walter Hagemann (Adhikarya, 1981,
h.61).
Sementara, pada saat Perang Dunia ke-II Rockafeller Foundation
Communication Seminar memprakarsai sebuah seminar pada tahun 1940 dan
salah satunya Harold D. Lasswell memaparkan model komunikasinya “who-says
what-to whom-in which channel-with what effect” dalam seminar tersebut. Maka
melalui model komunikasi Lasswell lah yang menjadi awal perkembangan pada
ilmu komunikasi. Tak berapa lama, pemerintah Amerika Serikat pun
membenarkan tawaran tersebut (Rogers, 1997, h.12-13).
Namun, ilmu komunikasi yang berkembang hingga saat ini pertama kali
dikenalkan oleh para forerunner atau pendahulu kajian ilmu komunikasi
diantaranya Gabriel Tarde, Goerge Simmel, Robert E. Park, Goerge Herbert
Mead, Kurt Lewin, Harold D. Laswell, Paul Lazarsfeld, Carl I Hovland, Nobert
Wiener, dan Claude E. Shannon. Menurut Rogers (1997, h.xii) mereka disebut
forerunner dikarenakan mereka berkontribusi dalam membuat ilmu komunikasi
menjadi kajian keilmuan yang penting namun mereka tidak mengidentifikasikan
diri mereka sebagai sarjana komunikasi, sedangkan founder atau pendiri kajian
ilmu komunikasi adalah Wilbur Schramm.
Awal terbentuknya ilmu komunikasi berawal ketika Schramm menghadiri
seminar Shannon, ketika itu ia duduk disebelah Weaver seorang ahli matematika
yang mampu menjelaskan secara sederhana kepada orang awam salah satunya
kepada Schramm bahwa “komunikasi” yakni ilmu yang membicarakan jurnalistik,
4
propaganda, seni dan berlaku dimana saja (Dahlan, Wawancara, 25 Januari,
2016).
Mulai dari sinilah, Schramm menuliskan penjelasan komunikasi pada teori
Shannon yang dijelaskan oleh Weaver dalam sebuah buku “When Shannon and
Weaver”. Lalu pada suatu kesempatan, Schramm membuat seminar yang dihadiri
oleh para ilmuwan baik dari sosiologi, psikologi, matematika, dan banyak bidang
lainnya. Ia menjelaskan konsep berdasarkan buku yang ia tulis, dan para ilmuwan
menyetujui akan hadirnya konsep tersebut di seluruh bidang. Kemudian dibukalah
departemen ilmu komunikasi di University of Illinois yang dimulai dari S3.
Everett M. Rogers menjuluki Schramm bukan sebagai perintis atau bapak ilmu
komunikasi, melainkan sebagai “institulizer of communication research” sebagai
pelembaga penelitian komunikasi (Effendy, 2003, h.24).
Lahirnya ilmu komunikasi yang dewasa ini dapat diterima, baik di Eropa
maupun di Amerika Serikat bahkan di seluruh dunia adalah hasil perkembangan
dari publisistik tradisi Eropa dan komunikasi massa tradisi Amerika Serikat
(Antoni, 2004, h.24). Tidak terkecuali dengan negara-negara di Asia Tenggara
(ASEAN). Kajian komunikasi pada sebagian besar negara ASEAN berawal dari
kajian media cetak, khususnya surat kabar antara tahun 1950-1960 (Antoni, 2004,
h.16). Sementara Adhikarya1 menjelaskan bahwa perkembangan ilmu komunikasi
di wilayah ASEAN dipengaruhi oleh masuknya para sarjana ilmu komunikasi
yang mengambil pendidikan di Amerika Serikat (Adhikarya, 1981). Masih
1 Ronny Adhikarya, Ph.D, salah seorang akademisi sekaligus praktisi yang bergerak di bidang Komunikasi Pembangunan dan pernah bekerja di World Bank, PBB, East-West Center dan berbagai organisasi internasional lainnya. Beliau merupakan mantan mahasiswa Astrid S. Susanto saat di Unpad pada tahun 1971.
5
menurut Adhikarya (1981), tingginya ketergantungan mahasiswa sarjana
komunikasi ASEAN yang menimba ilmu di Amerika Serikat dipengaruhi oleh
dua alasan yakni (1) tingginya jumlah sarjana komunikasi ASEAN yang belajar di
Amerika Serikat, (2) tingginya publikasi komunikasi yang dilakukan Amerika
seringkali saling terhubung dengan negara-negara di luar Amerika Serikat yang
tersedia di wilayah ASEAN. Hal tersebut berdampak pada adanya kecenderungan
pengetahuan komunikasi yang didapat oleh para mahasiswa sarjana komunikasi
ASEAN yang sangat berfokus pada Amerika Serikat terhadap sedikitnya relevansi
penggunaannya bagi pengaturan di ASEAN itu sendiri. Menurut Adhikarya
(1981, h.v) tekanan pendidikan komunikasi di Amerika Serikat seakan lebih
kearah media komersial, isu teknologi komunikasi yang tinggi daripada isu-isu
pembangunan ekonomi sosial yang lebih dibutuhkan negara-negara di ASEAN.
Masih menurut Adhikarya (1981), pasca PD II dan hadirnya berbagai
negara-negara di wilayah ASEAN yang merdeka dan konsep komunikasi
pembangunan mengakar pada Negara Dunia Ke-III (baca: sebutan untuk negara
berkembang), maka pembahasan mengenai komunikasi pembangunan kala itu
menjadi sangat menarik oleh banyak sarjana komunikasi ASEAN.
Melalui penelitiannya, Adhikarya memberi masukkan bagi para sarjana
komunikasi ASEAN agar tidak bergantung dengan perspektif dominan empiris
Amerika. Sementara beberapa “critical school” pendekatan komunikasi mungkin
menemukan kegunaan dalam mengembangkan masyarakat seperti rekan-rekan
Amerika Latin dan Eropa, yang sebetulnya dibutuhkan bagi negara-negara
berkembang (Adhikarya, 1981, h.254) yang juga disesuaikan dengan kebudayaan
6
lokal dalam melakukan penelitian komunikasi agar kajian yang dihasilkan dapat
bermanfaat terutama bagi negara-negara di wilayah ASEAN.
Perkembangan ilmu komunikasi pun tak terelakan di negara Indonesia.
Menurut Cangara (2014, h.196) studi ilmu komunikasi dimulai sejak
dikembangkannya ilmu penerangan sebagai matakuliah di Universitas Gadjah
Mada pada tahun 1948 yang kemudian pada tahun 1955 mata pelajaran yang
berorientasi pada ilmu radio berganti nama menjadi publisistik. Sama seperti
pendapat Antoni (2004, h.23) bahwa sesungguhnya kajian ilmu komunikasi di
Tanah Air dimulai dengan nama Publisistik yang ditandai dengan dibukanya
Jurusan Publisistik pada Fakultas Sosial dan Politik di UGM (1950), Fakultas
Hukum dan Ilmu Pengetahuan di UI (1959), Akademi Penerangan dan Perguruan
Tinggi Jurnalistik (1956) yang kemudian jurnalistik berganti menjadi publisistik,
dan dibukanya Fakultas Jurnalistik dan Publisistik di Unpad (1960).
Pada awal didirikannya, Publisistik yang dipelajari hanya sebatas
jurnalistik dan kehumasan yang berkiblat pada perspektif Eropa. Sejak
diperkenalkannya perkembangan pendidikan komunikasi di Amerika Serikat yang
tidak lagi berfokus hanya pada bidang jurnalistik karena dirasa kurang mencakup
berbagai hal dan beralih ke ilmu komunikasi, tersebut pun berdampak pada
pendidikan komunikasi di Indonesia kala itu. Dekan Fakultas Publisistik dan
Jurnalistik Unpad, Astrid S. Susanto (1974) dalam sebuah lokakarya di Bandung
melontarkan pertanyaan apakah masih tetap menggunakan istilah publisistik atau
mengubah menjadi komunikasi kepada seluruh peserta yang terdiri dari para
Ketua Jurusan Publisistik di Seluruh Indonesia (dalam Antoni, 2004). Sejak itulah
7
secara perlahan Jurusan Publisistik di beberapa universitas mengubah namanya
menjadi Jurusan Ilmu Komunikasi. Secara historisnya, perpaduan antara ilmu
publisistik yang berkembang di Eropa, khususnya Jerman, dengan ilmu
komunikasi massa yang lahir di Amerika Serikat menghasilkan sebuah kajian
ilmu yang masuk ke Indonesia dengan dibawa oleh para akademisi yang
mengambil pendidikan di kedua benua tersebut.
Beberapa tokoh berjasa dalam memasukkan serta mengembangkan ilmu
komunikasi di perguruan tinggi seperti Drs. Marbangun Sundoro, Prof. Sujono
Hadinoto, Adinegoro, dan Prof. Dr. Moestopo. Pada tahun 1960-an bertambah
lagi tokoh komunikasi Indonesia yang berjasa pada bidang kajian ini, yakni Dr.
Phil Astrid. Astrid S. Susanto yang belajar publisistik/komunikasi di Jerman Barat
(1964) dan Prof. Dr. M. Alwi Dahlan yang merupakan lulusan universitas di
Amerika Serikat (1967) (Antoni, 2004, h.23).
Salah satu tokoh komunikasi yang turut berkontribusi dalam bidang kajian
ilmu ini, salah satunya yakni Prof. Astrid S. Susanto. (Almh) Astrid S. Susanto
seorang putri bangsa yang dilahirkan di Makassar, pada tahun 1936. Ia merupakan
putri dari Mr. Soenario Sastrowardojo tokoh kemerdekaan Indonesia dan sempat
menjabat sebagai Menteri Luar Negeri pada masa kepemimpinan Presiden Ir.
Soekarno. Sejak dini Astrid sudah diperkenalkan akan perjuangan dan
nasionalisme oleh orangtuanya terutama dalam memajukan masyarakat. Suatu
ketika ia masih duduk di bangku SMA dan ia turut menyumbangkan ide dalam
salah satu kegiatan pada Konferensi Asia Afrika di Bandung (1955). Astrid
memberi saran kepada Mr. Soenario agar seluruh anggota Konferensi Asia Afrika
8
yang begitu banyak berjalan kaki bersama dari Hotel Savoy Nomann menuju ke
lokasi yang letaknya tidak terlalu jauh dengan gedung konferensi yakni di Jalan
Asia Afrika di waktu yang tepat dan diwajibkan untuk menggunakan pakaian khas
kenegaraannya. Usulan tersebut lahir dari idenya yang notabene tidak banyak
diketahui orang bagaimana asal usul dari The Bandung Walk. (Hadigama,
Wawancara, 7 Januari, 2016)
Selepas SMA, Astrid melanjutkan pendidikan diploma di Jerman.
Keinginan awalnya dalam memilih jurusan adalah arkeologi, namun hal tersebut
tidak disetujui oleh Ayahnya, Mr. Soenario. Lantas ia tidak putus asa, kemudian
ia memilih jurusan yang sekiranya mencakup ilmu sejarah, politik, hukum dan
berbagai ilmu lainnya dan pilihannya jatuh pada jurusan publisistik. Pendidikan
terakhirnya ialah Doktor di Freit Universitat, Berlin Barat (1964) dengan
disertasinya “Kekuatan-kekuatan Politik yang Melahirkan Dewan Pers Inggris”
dan mendapat predikat cumlaude dengan gelar Dr. Phil dalam bidang komunikasi,
sejarah politik internasional, dan sosiologi politik.
Setelah menyelesaikan studinya di Jerman, Astrid kembali ke Indonesia
pada tahun 1964 dan memulai karirnya sebagai tenaga pengajar di Fakultas
Publisistik Universitas Padjajaran (1967) Bandung, kemudian atas sumbangsihnya
Astrid pun diangkat menjadi dekan ke-III (1970 – 1975) Fakultas Djurnalistik dan
Publisistik (sekarang bernama FIKOM Unpad), dosen luar biasa di Universitas
9
Hasanudin, Makassar dan sebagai dosen non-reguler SESKOAD Bandung
(1971)2.
Dalam keilmuan, Astrid mengalami pergolakan. Ia dengan berlatar
belakang publisistik Jerman harus bergeser kearah ilmu komunikasi Amerika
Serikat. Perkembangan riset dalam ilmu komunikasi di Jerman terutama untuk
teori-teori kritis dari Frankfurt School, para peneliti pun fokus pada kemungkinan
perubahan sosial dan pembentukan lembaga rasional (Jati, dalam Budi, 2012,
h.139). Sedangkan menurut Kincaid, ilmu komunikasi di Amerika Serikat
cenderung mengkaji fenomena komunikasi dengan pendekatan kuantitatif dan
mencoba menentukan objektivitas sehingga metode kuantitatif menjadi standar
selama bertahun-tahun (dalam Antoni, 2004, h.15). Seperti yang diungkapkan
Alwi Dahlan3 mengenai Astrid S. Susanto yang kala itu selepas studinya di luar
negeri Astrid sampai di Indonesia lebih dulu daripada dirinya dan sudah mengajar
di Unpad. Pada awal kesempatan berdiskusi dengan Astrid, ia membicarakan
topik dasar-dasar komunikasi yang berkembang di Amerika kepadanya dan ia
berpendapat bahwa Astrid tidak terlalu memahami ilmu komunikasi dan dapat
dilihat dari disertasinya yaitu mengenai Dewan Pers yang menurutnya hal tersebut
lebih kepada filsafat dan publisistik Jerman bukan ilmu komunikasi yang
berkembang di Indonesia, meski begitu Astrid kemudian menulis buku-buku
tentang komunikasi (Dahlan, Wawancara, 25 Januari, 2016). Berdasarkan hal
2Riwayat Astrid S. Susanto yang dimuat sebagai lampiran dalam Pidato sebagai Guru Besar UI dengan judul “Komunikasi sebagai Mata Rantai Utama antara Pengendalian Masyarakat dan Pengawasan Sosial.3Prof. M. Alwi Dahlan adalah guru besar Emeritus Departemen Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia, memiliki sebutan sebagai Bapak Komunikasi Indonesia, dan berelasi dengan Astrid S. Susanto sebagai pengajar di UI dan dalam ranah pemerintahan masa orde baru.
10
tersebut, terlihat bahwa terdapat sebuah “pertempuran ilmu” yang Astrid S.
Susanto alami yakni antara pemhaman terhadap komunikasi perspektif Amerika
dengan perspektif Eropa.
Dengan adanya diskusi menarik antara Astrid dengan Alwi Dahlan
mengenai kajian epistimologi dalam filsafat ilmu, lantas tak mematahkan
semangatnya untuk terus belajar dan mengkaji ilmu komunikasi melalui berbagai
perspektif. Pada tahun 1974 ia bergabung bersama Bappenas sebagai Kepala Biro
Komunikasi Sosial, Ilmu Pengetahuan dan Penelitian. Disamping itu, ia pindah ke
Jakarta dan menjadi tenaga pengajar di Universitas Indonesia. Saat itu Astrid
mengajar di mata kuliah Perencanaan Komunikasi dan Sosiologi Pembangunan.
Bersamaan dengan tugasnya di Bappenas dan mengajar di perkuliahan, Astrid
seringkali mengaitkan pengalamannya selama mengajar terutama dalam hal
pembangunan yang mensejahterakan masyarakat. Atas dasar itulah Astrid sempat
memasuki dunia politik Indonesia dengan menjadi anggota MPR/DPR di tahun
1987 – 2002 dan sempat menjadi bagian dari Tim Sembilan Rancangan GBHN
pada tahun 1988.
Perhatiannya terhadap pembangunan terutama dalam komunikasi
pembangunan, secara perlahan mengarahkan Astrid pada suatu pandangan utama
dalam menjaga keutuhan negara melalui sistem komunikasi Pancasila yang
disesuaikan dengan ideologi negeri ini. Sebagai dasar pemahaman, manusia
tentunya akan memiliki rancangan pandangan yang akan dinilai orang lain
terhadapnya sebagai bentuk refleksi (Susanto, 1992, h. 87). Ditambahkan oleh
11
Pinckey Triputra4 mengenai penguasaan Astrid S. Susanto terhadap komunikasi
pembangunan yang banyak terkait pada penguasaan Astrid terhadap publisistik
mengenai bagaimana mengkomunikasikan hal-hal terkait penunjang
pembangunan melalui pengetahuan, attitude, dan praktiknya yang harus dipahami
dalam komunikasi untuk memotivasi masyarakat (Triputra, Wawancara, 29
Januari, 2016).
Dalam mengkaji pembangunan, Astrid cenderung pada kerangka
modernisasi dalam komunikasi pembangunan. Pada masa itu ia bertugas di
Bappenas ketika Indonesia masih dalam masa pemulihan negara-negara
berkembang pasca kemerdekaan, setelah pecahnya Perang Dunia ke-II yang
berdampak pada Dunia Ketiga (The Third World). Menurut Gudykunst & Mody
(2002, h.420) diantara paradigma yang paling kuat setelah Perang Dunia II,
dengan dampak sosial, budaya, dan ekonomi yang sangat besar bagi Dunia
Ketiga, yaitu modernisasi. Dunia ketiga merupakan gambaran negara-negara yang
bermunculan pasca Perang Dunia ke-II yang notabene baru merdeka dan berusaha
berkembang memajukan negaranya sendiri. Saat itu topik pembangunan menjadi
sangat populer di kalangan ilmuwan sosial tak terkecuali dalam kajian ilmu
komunikasi. Di satu sisi, ia merasa bahwa peran wanita sama hal-nya seperti pria,
hal tersebut dilatarbelakangi oleh perkembangan kedudukan wanita dimata dunia
(Susanto, 1977).
4DR. Pinckey Triputra, M.Sc adalah ketua Departemen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Indonesia yang merupakan salah satu mahasiswa Astrid S. Susanto di UI dan pernah memiliki pengalaman bersama dalam penelitian mengenai Papua.
12
Astrid meyakini bahwa dalam proses pembangunan, media dalam
komunikasi massa memiliki peran tersendiri. Dalam ranah komunikasi massa
banyak ahli komunikasi setuju bahwa perubahan struktural harus terjadi terlebih
dahulu untuk menetapkan kebijakan partisipatif komunikasi (Servaes, 2002, h.21).
Seperti yang disampaikan Santoso Hamijoyo (dalam Muhtadi, 2003)
bahwa fungsi pokok media massa ialah memberikan penyadaran (awareness) dan
pengetahuan awal, dan disadari bahwa media massa perlu mendapat dukungan
sosial lain salah satunya peran partisipasi masyarakat sebagai perencana aktif
dalam kegiatan pembangunan, karena masalah sentral dari komunikasi dalam
proses pembangunan ialah faktor manusia dan perubahan sosial, yang mana
keduanya berkaitan erat dengan keyakinan dan nilai sosial budaya, struktur sosial,
percaturan penyebaran informasi dan pembaruan serta sistem pengaturan
kelembagaan politik, ekonomi dan kemasyarakatan yang mana seluruh elemennya
saling menopang satu sama lain.
Sesuai dengan tugasnya di Bappenas yakni membuat kebijakan dan
perencanaan komunikasi Astrid seringkali menggunakan metode kuantitatif
berdasarkan data-data yang telah tersedia. Dengan mengadopsi berbagai kutipan
para ahli maupun hasil penelitian terdahulu, Astrid mampu mengaitkan olahan
angka maupun tulisan yang kemudian dapat digunakan sebagai dasar perencanaan
komunikasi seperti yang diungkapkan Eduard Lukman5 yang merupakan mantan
asisten dosen Astrid di Ilmu Komunikasi UI mengenai pandangannya terhadap
5Drs. Eduard Lukman, M.A adalah Sekretaris Pascasarjana Departemen Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia, pernah mendapat pengajaran langsung dari Wilbur Schramm di University of Hawaii dan mantan asisten dosen Astrid S. Susanto di masa perkuliahannya.
13
Astrid S. Susanto, “Kalau orang berada dalam posisi pembuat kebijakan, dia
butuh figures, data, butuh angka, tidak bisa hanya sifatnya normatif harus begini
harus begitu idealnya seperti itu dsb dan beliau tentu menyadari hal itu, karena
implikasi dari sebuah keputusan yang dia ambil, jika tidak berdasarkan data yang
memadai tentunya akan celaka" (Lukman, Wawancara, 23 Desember, 2015).
Selain itu, keahliannya di bidang filsafat ilmu turut mendasari cara
pandangnya dalam memahami berbagai aspek kehidupan. Dalam berbagai
tulisannya ia seringkali mengaitkan problematika melalui kacamata filsafat,
komunikasi hingga sosiologi yakni ketiga bidang yang ia tekuni selama
menempuh pendidikan di Jerman. Ciri khas tulisan Eropa yang cenderung
filosofis pun terlihat dari bagaimana dominasi kutipan para ahli yang Astrid
adopsi dalam mengkaji suatu ilmu (Lukman, 2015; Dahlan, 2016).
Kelihaiannya dalam memadupadankan data dan angka, peka akan isu-isu
sosial, tingginya rasa nasionalisme yang dimiliki Astrid, dan pengaruhnya yang
besar kala itu sebagai anggota Bappenas terutama di bidang ilmu pengetahuan, ia
mampu melihat berbagai fenomena yang dikaji melalui berbagai kacamata ilmu
sosial salah satunya ilmu komunikasi. Adapun hubungan kekuasaan dan
pengetahuan di Indonesia sudah ada sejak dahulu, seperti yang diungkapkan oleh
Hadiz & Dhakidae (2006) bahwa ilmu sosial di Indonesia sejak masa kolonial
hingga orde baru mengarahkan riset-riset pada positivistik, yang mana hal tersebut
digunakan sebagai alat kekuasaan. Namun Astrid berhasil menyeimbangkannya,
melalui gagasan-gagasan yang pada masanya bermanfaat bagi warga negara
Indonesia, seperti perencanaan pembangunan, persatuan dan kesatuan bangsa
14
yang Bhinneka Tunggal Ika, dan gagasan lainnya baik dalam ranah akademis
maupun praktis.
Meskipun Astrid mengalami pertempuran keilmuan, namun bekal paham
kritisnya pun tidak hilang karena ia belajar dari tradisi Eropa, seperti filsafat,
sejarah. Salah satunya mengenai kritikannya terkait data-data mengenai pers
diawal reformasi yang tergolong cukup kritis, hal tersebut dikarenakan ia cukup
lama belajar di Eropa dan aspek filosofisnya sangat kuat, dan filsafat inilah yang
mengharuskan seseorang untuk berpikir kritis secara mendasar.
Berdasarkan penjelasan yang telah dilakukan, studi pemikiran komunikasi
merupakan jenis kajian yang penting untuk dikaji karena belum banyak
berkembang serta turut berkontribusi dalam memetakan kajian ilmu komunikasi
di Indonesia berdasarkan tokoh-tokoh pengembangnya. Hingga saat ini sudah ada
beberapa hasil studi pemikiran komunikasi, antara lain karya David T. Hill
mengenai Mochtar Lubis, dan karya Mathew Ross dalam thesisnya dan berjudul
‘An Alternative Path: The Intellectual Legacy of James W.Carey’, yang akan
menjadi studi terdahulu dalam penelitian ini.
Selain itu, penelitian yang mengkaji mengenai studi tokoh komunikasi di
Indonesia sebelumnya telah dilakukan oleh Antoni (2004) dalam “Riuhnya
Persimpangan Itu”, karya Antoni, dkk (2014) dalam “Studi Pemikiran Ashadi
Siregar tentang Pers Indonesia”, karya Alfira & Handayani (2015) dalam “Studi
Pemikiran Komunikasi Pembangunan: Upaya Perumusan Model Komunikasi
Pembangunan sebagai Unsur Pendukung Good Governance”, karya Nurudin
mengenai Jakob Oetama (2005) melalui tesis di Pasca Sarjana Komunikasi FISIP
15
UNS, karya Hamidah I.L mengenai Rosihan Anwar (2016) melalui skripsi di
Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP UB. Lalu, penelitian lain yang paralel dengan
penelitian ini dan tengah dalam proses pengerjaan adalah studi pemikiran
mengenai Dedi N. Hidayat, Jalaludin Rakhmat, P. K Ojong, Adam, Adinegoro
dan Jacoeb Oetama.
Penelitian terhadap pemikiran seorang tokoh yang kemudian dapat dikaji
dengan studi pemikiran. Studi pemikiran adalah studi yang melihat inti gagasan
yang terkandung di dalam karya para pemikir (Ibrahim, 2004, h.20). Hal tersebut
menjadi menarik untuk diperbincangkan jika dikaitkan dengan konteks sejarah
yang mana tokoh tersebut memiliki pengaruh bagi khalayak luas. Dengan adanya
penelitian studi pemikiran terhadap tokoh-tokoh yang berpengaruh bagi ilmu
komunikasi di Indonesia melalui perspektif historisnya, maka dapat dilakukan
pemetaan arah kajian ilmu komunikasi di Indonesia.
Dengan begitu, penelitian ini menggunakan paradigma interpretatif yang
bersifat eksploratif untuk menyelidiki persoalan atau fenomena yang sedikit kali
dipahami dan menelusuri seluruh data yang didapat sesuai dengan tujuan
penelitian. Metode analisis data yang digunakan pada penelitian ini adalah teknik
analisis interaktif Miles dan Huberman. Aktivitas analisis dari model interaktif
Miles dan Huberman (2014, h.16-21) yakni terdiri dari tiga sub-proses yang saling
terkait, yakni proses reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan atau
verifikasi. Menurut Miles dan Huberman, kegiatan analisis data kualititatif
dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara terus-menerus hingga tuntas,
sehingga datanya menemukan saturation atau titik jenuh.
16
Berdasarkan hasil pembacaan awal peneliti terhadap tulisan-tulisan Astrid
S. Susanto, ia menaruh perhatian lebih pada persoalan pembangunan, adopsi ilmu
komunikasi pada berbagai kajian, perencanaan komunikasi dan kebijakan
komunikasi, serta pandangannya terhadap komunikasi massa. Terkait
pembangunan, ada beberapa hal yang menjadi perhatiannya antara lain
komunikasi pembangunan, upaya memajukan masyarakat, dan emansipasi wanita
dalam pembangunan. Ada berbagai hal yang melatarbelakangi tema-tema kajian
Astrid tersebut, sehingga penting untuk menelusuri lebih jauh pemikiran Astrid S.
Susanto tertutama terkait pembangunan Indonesia, berdasarkan perspektif
komunikasi, melalui studi pemikiran. Karena studi pemikiran merupakan salah
satu cara yang baik untuk memetakan kajian ilmu komunikasi melalui pemikiran
tokoh dilihat secara historisnya.
Dari literature review yang dilakukan oleh peneliti, terlihat bahwa masih
belum banyak penelitian yang berupaya untuk mengkaji ilmu komunikasi melalui
studi pemikiran tokoh-tokoh komunikasi di Indonesia. Oleh karena itu, peneliti
melakukan penelitian ini untuk menunjukkan corak kajian ilmu komunikasi di
Indonesia melalui studi pemikiran para tokoh-tokoh yang turut berpengaruh dalam
perkembangan ilmu komunikasi di Indonesia, salah satunya yaitu Astrid S.
Susanto. Seperti yang diungkapkan Adhikarya (1981, h.62) bahwa menarik untuk
dicatat bahwa salah satu sarjana komunikasi Indonesia yang sangat disarankan
untuk diperhatikan ketika pergeseran dari orientasi Publisistik Jerman ke orientasi
komunikasi Amerika Serikat adalah Dr. Astrid S Susanto, seorang mahasiswa dari
Profesor Dovifat dan Profesor Hagemann. Atas perannya sebagai pembuat
17
kebijakan di Bappenas yang berlatarbelakang akademisi sehingga membuat
peneliti tertarik untuk meneliti tokoh yang membawa ilmu komunikasi Barat ala
Jerman yang dulunya bernama publisistik ke Indonesia.
1.2 Fokus Penelitian
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, peneliti akan
menjadikan Astrid S. Susanto sebagai subjek penelitian serta mengkaji
pemikirannya mengenai ilmu komunikasi di Indonesia sebagai fokus penelitian
ini.
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mendokumentasikan perkembangan Ilmu
Komunikasi di Indonesia, khususnya melalui studi pemikiran Astrid S. Susanto
sebagai salah satu tokoh komunikasi Indonesia.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Teoretis
Manfaat dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan
kontribusi bagi perkembangan studi ilmu komunikasi di Indonesia,
salah satunya pada kajian studi pemikiran tokoh komunikasi.
18
1.4.2 Manfaat Praktis
Manfaat dari penelitian ini diharapkan dapat mendorong para
akademisi ilmu komunikasi untuk mau mencari tahu lebih jauh dan
dalam mengenai studi pemikiran tokoh komunikasi di Indonesia.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sosiologi Pengetahuan (Sociology of Knowledge)
Sosiologi pengetahuan (Sociology of Knowledge) menurut Mannheim
(dalam Swidler & Arditi, 1994, h. 305) berpusat untuk memahami bagaimana
posisi sosial dari individu atau kelompok mampu membentuk pengetahuan
mereka. Dengan kata lain, sosiologi pengetahuan berfokus pada hubungan antara
pikiran manusia dengan konteks sosial dimana ia berada, dan hubungan antara
pengetahuan dan kenyataan dari tiap individu akan berbeda. Pembentukan
sosiologi pengetahuan pada suatu individu tidak terlepas dari pengaruh sejarah
sosial. Bagaimanapun sejarah sosial, sebagai upaya untuk mengatasi formulasi
stereotip bahwa sosiologi berurusan dengan masyarakat dan sejarah yang unik;
berkaitan dengan konsep struktur sosial dan perubahan dalam masyarakat yang
menarik pada pengetahuan sosiologi (Hardt, 1992, h.23).
Menurut Berger & Luckmann (1991, h.7) sebuah kenyataan dibangun
secara sosial dan bahwa sosiologi pengetahuan (sociology of knowledge) harus
menganalisa proses terjadinya hal tersebut. Kemudian ditambahkan kembali oleh
Schreiter (2006, h.132) bahwa sosiologi pengetahuan ini mencoba menjawab
pertanyaan-pertanyaan: Mengapa ide-ide atau cara-cara berpikir tertentu menjadi
terkemuka pada waktu tertentu? Bagaimana suatu ide menjadi kuno? Apa yang
kita maksudkan bila mengatakan bahwa suatu ide muncul terlalu dini atau terlalu
cepat waktunya? Apakah sifat “waktu” itu dalam contoh masing-masing?,
19
20
Schreiter mempertegas bahwa sosiologi pengetahuan sangat memperhatikan
hubungan antara “ide” dan “masyarakat” dalam menjawab pertanyaan yang
diungkapkan mengenai hubungan antara gagasan dan lingkungan mereka berada.
Dijelaskan oleh Berger & Luckmann (1991, h.25) bahwa untuk
memastikan, sosiologi pengetahuan, seperti semua disiplin ilmu empiris yang
menghimpun bukti mengenai relativitas dan penentuan pemikiran manusia,
mengarah ke pertanyaan epistimologis mengenai sosiologi itu sendiri serta
berbagai badan ilmiah lainnya pengetahuan. Lebih lanjut lagi, sosiologi
pengetahuan harus memperhatikan dirinya dengan segala sesuatu yang lolos
sebagai suatu "pengetahuan" dalam masyarakat.
Penelitian mengenai studi pemikiran ini menggunakan konsep-konsep
untuk memberi kerangka perspektif teoritis mengenai data empiris yang telah
didapat, salah satu konsep yang terkait yaitu sosiologi pengetahuan (Sociology of
knowledge). Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan sosiologi pengetahuan
(sociology of knowledge) untuk mendiskusikan pemikiran Astrid S. Susanto yang
dikaitkan dengan kondisi sosial tertentu. Astrid yang menjadi salah satu
pengembang awal ilmu komunikasi di Indonesia tentunya tidak terlepas bahwa
dirinya merupakan bagian dari masyarakat.
Berdasarkan ide-idenya ia mampu membentuk realitas tertentu melalui
karya-karyanya menjadi suatu pengetahuan di masyarakat, terutama berkaitan
dengan implikasi di masyarakat melalui adopsi komunikasi dan pembangunan di
Indonesia. Hal tersebut didapat melalui bekal pengetahuan filosofis tradisi Eropa
dan pembelajarannya terkait ilmu komunikasi tradisi Amerika Serikat yang
21
dominan berkembang di Indonesia kala itu. Kedua aspek tersebut kemudian
berbaur dengan cita-citanya sejak kecil akan nasionalisme bagi rakyat Indonesia,
yang disesuaikan situasi dan kondisi masyarakat Indonesia kala itu di masa ia
menjadi seorang birokrat, politisi, sekaligus akademisi. Topik terkait pemerataan
kesejahteraan bagi rakyat Indonesia pun kerap menjadi topik yang mendominasi
pemikirannya kala itu baik melalui buku-bukunya, dokumen kertas kerjanya, dan
berbagai gagasan-gagasannya dalam berbagai lokakarya.
2.2 Kajian Ilmu Komunikasi dan Perkembangannya
Komunikasi merupakan suatu disiplin ilmu yang hampir tidak terlepas dari
berbagai aspek kehidupan. Awal perkembangannya, komunikasi hanyalah sebuah
fenomena. Menurut Effendy (2003, h.2) pada abad ke-5 SM untuk pertama kali
dikenal suatu ilmu yang mengkaji proses pernyataan antarmanusia sebagai
fenomena sosial, ilmu ini dinamakan dalam bahasa Yunani “rhetorike” yang
dikembangkan di Yunani Purba. Pada abad ke-17 hingga 18, hadirnya komunikasi
menurut Simonson, dkk (2012, h.13) ketika para filsuf, professor rektorika, ahli
bahasa, pakar ekonomi politik, antropolog, sosiolog dengan berbagai cara
memberi perhatian lebih terhadap bahasa dan komunikasi sosial dalam perspektif
sejarah yang panjang. Dari tulisan merekalah, “komunikasi” muncul sebagai
sebuah ide yang semakin penting untuk merasakan pembangunan dan organisasi
pengetahuan, masyarakat, kehidupan politik, dan diri sendiri. Kehadiran
komunikasi yang pada awalnya disebut publisistik sebagai bidang ilmu selalu
dikaitkan dengan aktivitas retorika yang terjadi pada zaman Yunani kuno (Rogers,
22
1997, h. 34-36). Menurut Aristotles rektorika adalah seni persuasi, suatu uraian
yang harus singkat, jelas, dan meyakinkan, dengan keindahan bahasa yang
disusun untuk hal-hal yang bersifat memperbaiki (corrective), memerintah
(instructive), mendorong (suggestive) dan mempertahankan (defensive) (dalam
Effendy, 2003, h.4). Ditambahkan oleh Susanto (1995, h.105):
“Sebelumnya dalam zaman Yunani Kuno, maka Publisistik diajar sebagai Rhetorika, di mana rhetorika merupakan tehnik (téchné) pemakaian bahasa secara efektif. Dalam prakteknya, maka pendidikan rhetorika mencakup pelajaran tentang hukum publik, politik, filsafat, bahasa, dan sastera. Pentingnya rhetorika dalam zaman Yunani Kuno dan Romawi adalah sebab pendidikan ini merupakan persiapan untuk menjadi negarawan ataupun hakim serta pengacara”
Adanya perkembangan komunikasi manusia yang tak hanya melalui lisan
namun juga melalui tulisan, yang kemudian memunculkan generasi kedua melalui
tulisan. Menurut Cangara (2014, h.5-6) awal mula kehadiran persuratkabaran
ditandai dengan ditemukannya mesin cetak pada tahun 1450 oleh Gutenberg dan
Coster di Jerman, secara berturut kemudian terbitlah surat kabar pertama di Italia
(1562), penerbitan majalah pertama di Jerman (1594), dan pendirian mesin cetak
surat kabar di Amerika Utara (1639). Disinilah awal mula terjadinya perhatian
lebih jauh terhadap jurnalistik melalui komunikasi massa.
Terkait ilmu komunikasi maka awal mula adanya ilmu tersebut adalah
dengan adanya kehadiran publisistik. Menurut Susanto (1995, h.105) Publisistik
sendiri berpangkal pada kata kerja dalam bahasa Latin “publicare” hal mana
berarti “mengumumkan”. Masih menurut Susanto, (1995, h.105) karena sejak
awal kegiatan publisistik merupakan kegiatan individu ataupun kelompok dalam
sebuah ikatan negara maka tidak mengherankan jika kemudian ilmu ini selalu
23
dihubungkan dengan kegiatan politik ataupun kegiatan persuasif terhadap
masyarakat.
Pada tahun 1884 studi tentang komunikasi di Eropa mulai berkembang
tidak hanya mengenai retorika namun juga tentang persuratkabaran
(Zaitungskunde) dan media elektronik (Zaitungswissenchat). Ilmu mengenai
persuratkabaran pada awalnya diperkenalkan di Eropa yang menjadi bahan ajar di
tingkat universitas yakni pada Universitas Bazel di Swiss oleh Prof. Dr. Karl
Bucher (Effendy, 2003). Kemudian pengajaran tersebut dilanjutkan di Jerman.
Sampai pada tahun 1933 Dr. Wallter Hageman, seorang guru besar publisistik di
Munster Universitat Jerman dalam pidatonya memperkenalkan bahwa publisistik
adalah ajaran tentang pernyataan umum bahwa (Effendy, 2003, h.8):
“in Germany this science has originated from ‘Staatswissenshaft’ and philoshopy; in the United States from social sciences. With the latter the science is the best at home, because its subject matters are the human relations however belong to this science: political science of the press does cover the field of information and public opinian including: rethories, press, film, radio and television. There exists a relationship between all these fields although they are differently accentuated. The term ‘science of the press is properly to narrow: ‘Publizistik’ would be better.”
Seperti yang Hagemann paparkan, ilmu persuratkabaran di Amerika Serikat
berasal dari ilmu sosial dan kemudian ia memperkenalkan publisistik sebagai
suatu disiplin ilmu yang mencakup persuratkabaran, media elektronik, beserta
retorika dan pendapat umum sebagai objeknya. Diantara para ahli publisistik
paling berpengaruh di Eropa selama tahun 1940-an dan 1950-an yaitu Profesor
Emil Dovifat dan Profesor Walter Hagemann (Adhikarya, 1981, h.61).
24
Ilmu publisistik lahir di Eropa, sedangkan di Amerika Serikat hal
mengenai persuratkabaran disebut jurnalisme. Namun, berdasarkan
perkembangannya, jurnalisme dirasa kurang mencakup kegiatan media massa
lainnya maka digantilah menjadi Komunikasi Massa. Sementara, pada saat Perang
Dunia ke-II dilakukanlah sebuah pertemuan grup informal yang menghimpun para
ilmuwan dari berbagai interdisipliner ilmu, baik dari ilmu sosial maupun eksak
yang membahas mengenai komunikasi dan Schramm turut berpartisipasi dalam
pertemuan tersebut (Rogers, 1997, h.12). Kemudian, Rockafeller Foundation
Communication Seminar memprakarsai sebuah seminar pada tahun 1940 dan
salah satunya Harold D. Lasswell memaparkan model komunikasinya “who-says
what-to whom-in which channel-with what effect” dalam seminar tersebut.
Menurut Rogers (1997) Rockefeller Foundation menyarankan pemerintah
Amerika Serikat untuk melakukan penelitian komunikasi pada situasi darurat
perang pasca Perang Dunia ke-II serta mengembangkan jenis penelitian
komunikasi lainnya seperti analisis konten, survei, dan studi panel. Maka melalui
model komunikasi Lasswell lah yang menjadi awal perkembangan pada ilmu
komunikasi. Tak berapa lama, pemerintah Amerika Serikat pun membenarkan
tawaran tersebut (Rogers, 1997, h.12-13).
Beberapa penelitian komunikasi yang dilakukan seperti evaluasi pelatihan
film terhadap militer menggunakan persuasi oleh Carl I. Hovland, analisis konten
pada pesan propaganda oleh Harold D. Lasswell, tulisan dari Norbert Wiener
dalam “yellow peril” mengenai bagaimana memperbaiki akurasi tembakan
pesawat dengan menggunakan teori sibernetika, analisis kriptografi oleh Claude
25
E. Shannon menggunakan teori informasi dan juga analisis penyampaian pesan
melalui radio menggunakan Mathematical Communication dan Wilbur Schramm
di Office of Figures (OFF) menyiapkan naskah pidato presiden Roosevelt.
Matematik itu mengabstrakkan, membuat hal yang rumit menjadi sederhana
menurut orang matematik dan berguna untuk banyak hal (Dahlan, wawancara, 25
Januari, 2016).
Ilmu komunikasi pertama kali dikenalkan oleh para forerunner atau
pendahulu kajian ilmu komunikasi diantaranya Gabriel Tarde, George Simmel,
Robert E. Park, Goerge Herbert Mead, Kurt Lewin, Harold D. Laswell, Paul
Lazarsfeld, Carl I Hovland, Nobert Wiener, dan Claude E. Shannon. Menurut
Rogers (1997, h.xii) mereka disebut forerunner dikarenakan mereka berkontribusi
dalam membuat ilmu komunikasi menjadi kajian keilmuan yang penting namun
mereka tidak mengidentifikasikan diri mereka sebagai sarjana komunikasi,
sedangkan founder atau pendiri kajian ilmu komunikasi adalah Wilbur Schramm.
Tokoh utama yang telah membawa ilmu komunikasi massa menjadi
sebuah kajian ilmu komunikasi adalah Wilbur Schramm, sarjana bahasa Inggris
yang tertarik kepada kajian komunikasi karena memimpin sebuat penerbitan
universitas (Antoni, 2004, h.25). Awal terbentuknya ilmu komunikasi berasal
yakni ketika Schramm menghadiri seminar Shannon, singkatnya dijelaskan oleh
Alwi Dahlan:
“Duduklah seseorang disamping Schramm itu orang yang namanya Weaver. Weaver itu adalah ahli matematik dan dia itu dapat menjelaskan matematik secara sederhana kepada orang biasa, itu dia kelebihannya. Willbur Schramm itu mendengarkan dan disebelahnya Weaver, sehabis itu Weaver menjelaskan teori
26
Shannon pada sebuah tissue yang kemudian Schramm simpan di meja kerjanya. Intinya Weaver bilang ‘oh ya sangat penting ini sebetulnya berlaku dimanapun juga, Anda bicara jurnalistik, propaganda, seni, ini berlaku dimana saja. Inilah komunikasi” (Dahlan, Wawancara, 25 Januari, 2016)
Mulai dari sinilah, Schramm menuliskan penjelasan komunikasi pada teori
Shannon yang dijelaskan oleh Weaver dalam sebuah buku “When Shannon and
Weaver”. Lalu pada suatu kesempatan, Schramm membuat seminar yang dihadiri
oleh para ilmuwan baik dari sosiologi, psikologi, matematika, dan banyak bidang
lainnya. Ia menjelaskan konsep berdasarkan buku yang ia tulis, dan para ilmuwan
menyetujui akan hadirnya konsep tersebut di seluruh bidang. Namun disadari
kalau tidak ada tempat untuk mempelajari tersebut, yang kemudian dinamakan
ilmu komunikasi. Kemudian dibukalah departemen ilmu komunikasi di University
of Illinois yang dimulai dari S3. Everett M. Rogers menjuluki Schramm bukan
sebagai perintis atau bapak ilmu komunikasi, melainkan sebagai “institulizer of
communication research” sebagai pelembaga penelitian komunikasi (Effendy,
2003, h.24).
Peralihan kajian komunikasi di Amerika Serikat, mulai dari jurnalisme,
komunikasi massa hingga menjadi ilmu komunikasi merupakan suatu proses yang
tidaklah sederhana. Ditambahkan oleh Effendy (2003, h.13) karena dalam proses
komunikasi secara total komunikasi melalui media massa hanya merupakan satu
dimensi saja; ada dimensi-dimensi lainnya yang menjadi objek studi suatu ilmu
dan ilmu mempelajari dan menelitinya bukanlah ilmu komunikasi massa tetapi
ilmu komunikasi.
27
Setelah adanya kehadiran ilmu komunikasi yang diiringi oleh
perkembangan teknologi maka hadirlah berbagai pendidikan komunikasi yang
terlibat dalam berbagai bidang kajian ilmu lainnya, (Cangara, 2014, h.9) di
negara-negara maju maupun di negara-negara sedang berkembang, lembaga-
lembaga pendidikan mengalami kemajuan yang pesat dengan berbagai macam
nama. Hal tersebut jelas menandakan bahwa ilmu komunikasi merupakan ilmu
yang dibutuhkan oleh berbagai bidang kegiatan manusia.
Berdasarkan sejarah perkembangannya, Littlejohn & Foss (2009, h.7) di
Amerika Serikat para peneliti memulai dengan meneliti komunikasi secara
kuantitatif dan mencoba untuk menetapkan komunikasi sebagai ilmu pengetahuan
sosial, sebaliknya penelitian komunikais Eropa lebih dipengaruhi sudut pandang
Marxis dan bergantung pada metode kritikal atau kultural. Namun, masih menurut
Littlejohn & Foss (2009, h.7) dalam ilmu komunikasi kontemporer ada cukup
interaksi dalam kedua cara tersebut, dengan mengembangkan acuan prosedur
ilmiah di Eropa serta sudut pandang kritikal dan kualitatif lainnya yang
berkembang di Amerika Utara.
2.2.1 Kajian Ilmu Komunikasi dan Perkembangannya di ASEAN
Menurut Antoni (2004, h.24) lahirnya ilmu komunikasi yang dewasa ini
dapat diterima, baik di Eropa maupun di Amerika Serikat bahkan di seluruh dunia
adalah hasil perkembangan dari publisistik tradisi Eropa dan komunikasi massa
tradisi Amerika Serikat. Adanya perkembangan ilmu komunikasi di Amerika
Serikat, lantas turut berdampak pula pada masuknya ilmu komunikasi di negara-
28
negara berkembang wilayah Asia Tenggara. Menurut Kincaid dalam Littlejohn
(1999, h.5) dalam perkembangan teori komunikasi pun hal tersebut jelas terlihat
perbedaan antara pandangan Barat dan Timur, seperti:
1) Teori-teori komunikasi Timur cenderung berfokus pada keutuhan dan
persatuan, sedangkan pandangan Barat kadang-kadang mengukur bagian-
bagian tanpa harus memperhatikan integrasi dasar atau penggabungan
bagian-bagian tersebut.
2) Teori-teori Timur cenderung memandang komunikasi sebagai hasil
rangkaian kejadian yang tidak direncanakan dan terjadi secara alami,
sedangkan teori Barat didominasi oleh pandangan individualisme: semua
orang dianggap berhati-hati dan aktif untuk mencapai tujuan-tujuan
pribadi.
3) Di Timur, simbol-simbol verbal, terutama ucapan, tidak terlalu
diutamakan, bahkan dipandang skeptis sedangkan pola pikir Barat yang
menghargai rasio dan logika juga tidak dipercaya dalam tradisi timur.
4) Hubungan juga dikonsepkan berbeda, dalam pola pikir Barat, hubungan
ada antara dua atau lebih individu; dalam banyak tradisi Timur, hubungan
lebih rumit dan kontekstual, berkembang menurut peranan posisi sosial,
status dan kekuatan.
Adapun perbedaan pada kajian komunikasi Barat dan Timur karena
dipengaruhi oleh faktor sejarah yang berbeda di Eropa, Asia, Afrika dan Amerika.
Selanjutnya, kajian komunikasi pada sebagian besar negara ASEAN berawal dari
kajian media cetak khususnya surat kabar antara tahun 1950-1960 (Antoni, 2004,
29
h.16). Sementara Adhikarya menjelaskan dalam disertasinya yang berjudul
“Transnational Communication Knowledge Transfer and Utilization Process:
The US – ASEAN Case” bahwa perkembangan ilmu komunikasi di wilayah
ASEAN dipengaruhi oleh masuknya para sarjana ilmu komunikasi yang
mengambil pendidikan di Amerika Serikat (Adhikarya, 1981). Tingginya
ketergantungan mahasiswa sarjana komunikasi ASEAN yang menimba ilmu di
Amerika Serikat dipengaruhi oleh dua alasan yakni (1) tingginya jumlah sarjana
komunikasi ASEAN yang belajar di Amerika Serikat, (2) tingginya publikasi
komunikasi yang dilakukan Amerika Serikat dan saling terhubung dengan negara-
negara di luar Amerika Serikat yang tersedia di wilayah ASEAN. Hal tersebut
berdampak pada adanya kecenderungan pengetahuan komunikasi yang didapat
oleh para mahasiswa sarjana komunikasi ASEAN yang sangat berfokus pada
Amerika Serikat terhadap sedikitnya relevansi penggunaannya bagi pengaturan di
ASEAN itu sendiri.
Menurut Adhikarya (1981, h.v) tekanan pendidikan komunikasi di
Amerika Serikat seakan lebih mengarah pada media komersial, isu teknologi
komunikasi yang tinggi daripada isu-isu pembangunan ekonomi sosial yang lebih
dibutuhkan negara-negara di ASEAN. Pasca PD II dan hadirnya berbagai negara-
negara di wilayah ASEAN yang merdeka dan konsep komunikasi pembangunan
mengakar pada Negara Dunia Ke-III (baca: sebutan untuk negara berkembang),
maka pembahasan mengenai komunikasi pembangunan kala itu menjadi sangat
menarik oleh banyak sarjana komunikasi ASEAN dengan penggunaan dari buku
Amerika Serikat yang terkonsentrasi tentang masalah komunikasi dan
30
pembangunan Nasional atau modernisasi. Buku-buku teks komunikasi yang
digunakan oleh banyak sarjana komunikasi di negara-negara ASEAN biasanya
dibatasi dalam wilayah dan keanekaragaman dan terutama terdiri atas buku-buku
yang dikarang Wilbur Schramm, Everett M. Rogers, David K. Berlo, Daniel
Lerner, Scott M. Cutlip, dan Allen H. Center (Antoni, 2004, h.17).
Namun, kurangnya penghargaan secara finansial hingga pengakuan secara
akademik yang kurang sesuai untuk usaha mengubah pengetahuan komunikasi
Amerika Serikat serta pengadaan penelitian yang berorientasi komunikasi lokal
seakan mematahkan semangat para sarjana komunikasi ASEAN untuk
mengembangkan studi komunikasi lebih jauh, sehingga lebih memilih
mengajarkan ilmu komunikasi yang didapatkan dari Amerika Serikat. Lebih jauh
lagi, banyak dari lulusan sarjana ASEAN yang kurang memiliki kemampuan
mengajar dan pengalaman penelitian, serta kurangnya keikutsertaan pada acara-
acara penting, seperti konferensi, seminar dan lain-lain juga menjadi tambahan
masalah tersendiri bagi perkembangan ilmu komunikasi di ASEAN. Selain itu
juga banyak universitas yang memberi gaji mereka dengan murah serta banyaknya
sarjana yang mengambil tambahan pekerjaan untuk memenuhi kebutuhannya juga
memberi pengaruh terhadap perkembangan ilmu komunikasi di ASEAN
(Adhikarya, 1981, h. 261).
Melalui penelitiannya, Adhikarya memberi masukkan bagi para sarjana
komunikasi ASEAN agar tidak bergantung dengan perspektif dominan empiris
Amerika. Sementara beberapa “critical school” pendekatan komunikasi mungkin
menemukan kegunaan dalam mengembangkan masyarakat seperti rekan-rekan
31
Amerika Latin dan Eropa, yang sebetulnya dibutuhkan bagi negara-negara
berkembang (Adhikarya, 1981, h.254) yang juga disesuaikan dengan kebudayaan
lokal dalam melakukan penelitian komunikasi agar kajian yang dihasilkan dapat
bermanfaat terutama bagi negara-negara di wilayah ASEAN.
2.2.2 Kajian Ilmu Komunikasi dan Perkembangannya di Indonesia
Sebagian besar orang Indonesia lebih suka belajar di Eropa dikarenakan
berdasarkan sejarahnya Indonesia merupakan bekas jajahan Belanda, seperti yang
diungkapkan Antoni (2004, h.33):
“Pada era 1940 dan 1950, sebagian besar orang Indonesia lebih suka belajar di Eropa, khususnya Belanda dan Jerman daripada di Amerika Serikat. Berkaitan dengan sejarah Indonesia sebagai jajahan Belanda, bahasa Belanda menjadi bahasa kedua selama dekade 1940 dan 1950. Bagi banyak sarjana Indonesia, bahasa Jerman menjadi bahasa ketiga. Karena publisistik telah diupayakan dalam sejumlah universitas di Jerman pada tahun 1940 dan 1950, orang Indonesia yang tertarik dalam jurnalistik dan komunikasi kemudian pergi ke universitas-universitas di Jerman untuk mengikuti pelatihan jurnalistik. para sarjana Indonesia awal dalam publisistik atau praktisi adalah Adinegoro, Marbangun, Osman Ralibi, dan Munajat Danusaputro yang dididik di Eropa. Di antara para sarjana publisistik di Eropa yang terkenal selama dekade 1940 dan 1950 adalah Profesor Emil Dovifat dan Profesor Walter Hagemann (mantan Direktur The Institut Fur Publizisitik di Universitas Munster) yang berpengaruh selama tahun-tahun awal pendidikan komunikasi di Indonesia muncul. Akhirnya semua lembaga pendidikan komunikasi di Indonesia, tidak seperti lembaga pendidikan komunikasi di negara Asia lainnya, mengadopsi istilah publisistik untuk nama sekolah mereka.”
Perkembangan kajian ilmu komunikasi pun turut dirasakan di Indonesia. Menurut
Cangara (2014, h.196) studi ilmu komunikasi dimulai sejak dikembangkannya
ilmu penerangan sebagai matakuliah di Universitas Gadjah Mada pada tahun 1948
32
yang kemudian pada tahun 1955 mata pelajaran yang berorientasi pada ilmu radio
berganti nama menjadi publisistik. Sama seperti pendapat Antoni (2004, h.23),
bahwa sesungguhnya kajian ilmu komunikasi di Tanah Air dimulai dengan nama
Publisistik yang ditandai dengan dibukanya Jurusan Publisistik pada Fakultas
Sosial dan Politik di UGM (1950), Fakultas Hukum dan Ilmu Pengetahuan di UI
(1959), Akademi Penerangan dan Perguruan Tinggi Jurnalistik (1956) yang
kemudian jurnalistik berganti menjadi publisistik, dan dibukanya Fakultas
Jurnalistik dan Publisistik di Unpad (1960).
Pada awal didirikannya, Ilmu Publisistik yang dipelajari hanya sebatas
jurnalistik dan kehumasan yang berkiblat pada perspektif Eropa. Namun, pada
awal kehadiran ilmu publisistik di Indonesia, terdapat perbedaan antara publisistik
di Indonesia dan yang diajarkan di Eropa seperti yang diungkapkan oleh Alwi
Dahlan:
“Jadi mulanya itu publisistik, publisistik itu mulanya belum seperti di Jerman. Ini jamannya Bung Karno itu sebagai propaganda dan itu saya dengar memang diplomat-diplomat muda dianjurkan belajar publisistik………..sudah dimana-mana itu, ketika komunikasi itu kebanyakan publisistik, di Jogja publisistik, di Bandung publisistik. Tapi disini publisistik itu lebih praktisi hmm komunikasi massa sebetulnya. Teori publisistik, nah kalau disini itu lebih ke praktik dan yang mengajar para publisis namun tidak memiliki latarbelakang pendidikan publisistik.” (Dahlan, Wawancara, 25 Januari, 2016)
Sejak diperkenalkannya perkembangan pendidikan komunikasi di Amerika
Serikat yang tidak lagi berfokus hanya pada bidang jurnalistik saja karena dirasa
kurang mencakup berbagai hal dan beralih ke ilmu komunikasi, maka hal tersebut
pun berdampak pada pendidikan komunikasi di Indonesia kala itu. Astrid S.
Susanto (1974) sebagai Dekan Fakultas Publisistik dan Jurnalistik Unpad dalam
33
sebuah lokakarya di Bandung melontarkan pertanyaan apakah masih tetap
menggunakan istilah publisistik atau mengubah menjadi komunikasi kepada
seluruh peserta yang terdiri dari para Ketua Jurusan Publisistik di Seluruh
Indonesia (dalam Antoni, 2004). Sejak itulah secara perlahan Jurusan Publisistik
di beberapa universitas mengubah namanya menjadi Jurusan Ilmu Komunikasi.
Menurut Ina Mariani Suparto, (dalam Maslog, 1990, h.8) disamping pendidikan
ilmu komunikasi formal di Indonesia pun tersedia pendidikan non-formal seperti
PP PWI Pusat (1971), Pusdiklat Deppen (1974), Citre Foundation (1977), MBM
Tempo (1979), LP3Y (1982) dan LPJ Antara (1988). Perkembangan ilmu
komunikasi berkembang pesat sejak reformasi politik di Indonesia. menurut
Sendjaja (dalam Budi dkk, 2012, h. v) sebelum tahun 1998, jumlah perguruan
tinggi yang mengelola program studi atau jurusan ilmu komunikasi menurut
catatan ISKI kurang lebih 24 institusi.
Hingga pada akhirnya di tahun 1982, dikeluarkanlah Keputusan Presiden
(Keppres) Nomor 107/82 Tahun 1982 tentang penyeragaman nama dari ilmu yang
dikembangkan di Indonesia, termasuk ilmu komunikasi. Perubahan juga terjadi
sejak dikeluarkannya SK Dirjen Dikti 163/DIKTI/Kep/2007 yang menambahkan
poin untuk kajian ilmu komunikasi di perguruan tinggi di antara lain:
1. Penamaan Ilmu Komunikasi untuk semua program studi di strata 1 (satu),
2 (dua), dan 3 (tiga);
2. Hubungan masyarakat dan jurnalistik untuk diploma 3 (tiga); serta
3. Radio, TV, film, dan fotografi masuk ke dalam kajian Seni pada program
strata 1 (satu).
34
Anwar Arifin (dalam Antoni, 2004, h. 22) memaparkan bahwa ilmu
komunikasi yang ada pada saat ini merupakan hasil proses perkembangan yang
panjang. Dampak yang muncul dengan adanya Keppres tersebut sehingga
membawa dampaknya pada penyeragaman nama dari ilmu yang dikembangkan di
Indonesia, termasuk ilmu komunikasi.
Secara historisnya, perpaduan antara ilmu publisistik yang berkembang di
Eropa, khususnya Jerman, dengan ilmu komunikasi massa yang lahir di Amerika
Serikat menghasilkan sebuah kajian ilmu yang masuk ke Indonesia dengan
dibawa oleh para akademisi yang mengambil pendidikan di kedua benua tersebut.
Beberapa tokoh yang berjasa dalam memasukkan serta mengembangkan
ilmu komunikasi di perguruan tinggi seperti Drs. Marbangun Sundoro, Prof.
Sujono Hadinoto, Adinegoro, dan Prof. Dr. Moestopo. Pada tahun 1960-an
bertambah lagi tokoh komunikasi Indonesia yang berjasa pada bidang kajian ini,
yakni Dr. Phil Astrid. Astrid S. Susanto dari Jerman Barat (1964) dan Dr. M. Alwi
Dahlan dari Amerika Serikat (1967) (Antoni, 2004, h.23). Seperti yang
diungkapkan Budi (2012, h.39) bahwa pada awalnya pendidikan komunikasi
melalui penamaan jurusan publisistik lebih banyak dipengaruhi oleh Eropa Barat,
lewat kedatangan/pengaruh Dr. Astrid Susanto, dkk, yang menyelesaikan studi
komunikasi di Jerman.
Berdasarkan penjelasan mengenai perkembangan ilmu komunikasi di
dunia, ASEAN hingga di Indonesia terlihat bahwa terjadi sebuah perubahan lebih
lanjut dari yang hanya berdasarkan praktis hingga menjadi teoretis. Perkembangan
ilmu komunikasi dan kemunculannya di Indonesia ini kemudian digunakan oleh
35
peneliti sebagai acuan analisis terkait dengan studi pemikiran tokoh komunikasi
Indonesia yaitu Astrid S. Susanto.
2.3 Filsafat Komunikasi
Setiap ilmu memiliki filsafatnya, dan hal tersebut tak terlepas dengan ilmu
komunikasi. Menurut Susanto (1995, h.13) filsafat suatu ilmu merupakan
landasan pemikiran dari ilmu yang bersangkutan, titik tolak bagaimana ilmu itu
bermaksud mencapai tujuannya yaitu kebenaran. Masih menurut Susanto, (1995)
dalam menjawab penjelasan terkait kedudukan ilmu, munculah pertanyaan terkait
ilmu tersebut bagi para ilmuwannya: untuk tujuan apakah suatu ilmu
dipergunakan dan disebarkan olehnya? Apakah ilmunya hanya akan dipergunakan
untuk kepentingan dirinya, kepuasan ilmiah bagi para ahlinya, ataukah untuk
diabadikan kepada anggota masyarakat demi perbaikan hidup dan hubungan
antarmanusianya?
Ilmu komunikasi telah banyak diteliti dan menjadi topik yang penting
sejak jaman dahulu. Ketertarikan peneliti terhadap penelitian komunikasi dimulai
setelah Perang Dunia I ketika kemajuan dalam teknologi dan karya tulis
menjadikan komunikasi sebuah topik yang selalu dibicarakan. Setelah Perang
Dunia II, ilmu pengetahuan menjadi ilmu yang sah dan berdampak pada
perkembangan ilmu komunikasi pula yang ditunjukan pada pertengahan abad ke
20 ketika komunikasi menampakkan hasilnya (Littlejohn & Foss, 2009, h. 6).
Filsafat komunikasi menurut Effendy (2003, h.321) adalah suatu disiplin
yang menelaah pemahaman (verstehen) secara fundamental, metodologis,
36
sistematis, analisis, kritis, dan holistis teori dan proses komunikasi yang meliputi
segala dimensi menurut bidangnya, sifatnya, tatanannya, tujuannya, fungsinya,
tekniknya, dan perannya. Salah satu pandangan filsafat komunikasi yakni menurut
Richard L. Lanigan pada karyanya yang berjudul “Communication Models in
Philosophy, Review and Commentary”, bahwa filsafat sebagai disiplin
dikategorikan menjadi sub bidang utama menurut justifikasinya yang dapat
diakomodasikan oleh jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan pokok berikut ini
(Effendy, 2003, h.322): Apa yang aku ketahui? (What do I know?); Bagaimana
aku mengetahuinya? (How do I know it?); Apakah aku yakin? (Am I sure ?);
Apakah aku benar ? (Am I right ?). Keempat hal tersebut dijelaskan oleh Lanigan
(dalam Nimmo, 1979, h.31-32) sebagai berikut:
1. Metafisika
Suatu studi tentang sifat dan fungsi teori tentag realita. Dalam hubungannya
dengan teori komunikasi, metafisika fokus pada beberapa isu seperti (1) sifat
manusia dan hubungannya scara kontekstual dan individual dengan realita
dan alam semesta; (2) sifat dan fakta bagi tujuan, perilaku, penyebab, dan
aturan; (3) problematika pilihan, khususnya kebebasan versus determinisme
pada perilaku manusia.
2. Epistimologi
Cabang filsafat yang menyelidiki asal, sifat metode dan batasan pengetahuan
manusia. Hal tersebut berkaitan dengan metodologi, kebanyakan metode
mengikuti pola umum faktual (1) lokasi, (2) definisi, dan (3) penilaian.
Bahwa dalam prosesnya yang progresif dari kognisi menuju afeksi yang
37
selanjutnya menuju konasi, epistimologi berpijak pada salah satu atau lebih
teori kebenaran.
3. Aksiologi
Studi etika dan estetika dalam filsafat ilmu komunikasi. Jelas penting
bagaimana seorang komunikator ketika ia mengemas pemikirannya sebagai
isi pesan dengan bahasa sebagai lambang, untuk terlebih dahulu melakukan
pertimbangan nilai apakah pesan yang akan ia komunikasikan etis atau tidak,
estetis atau tidak.
4. Logika
Logika berkaitan dengan telaah terhadap asas-asas dan metode penalaran
secara benar. Jelas penting dalam filsafat komunikasi, bagaimana pesan
sebagai hasil olah pikir yang logis dan menjadi sebuah putusan akhir.
Selain Epistimologi dan Aksiologi, satu hal spesifikasi dalam filsafat
komunikasi yang tidak luput menjadi bagian dari pengetahuan yakni Ontologi.
Seperti yang dijelaskan Littlejohn & Foss (2009, h.25-26):
5. Ontologi
Epistimologi dan ontologi berjalan beriringan karena gagasan-gagasan kita
tentang pengetahuan sebagian besar bergantung pada pemikiran kita
mengenai siapa yang mengetahui. Dalam ilmu sosial, ontologi sebagian besar
berhadapan dengan sifat keberadaan manusia; dalam komunikasi, ontologi
berpusat pada sifat interaksi sosial manusia karena cara seorang ahli teori
mengkonseptualisasi interaksi sebagian besar bergantung pada bagaimana
penghubung tersebut dipandang.
38
Adapun bagaimana posisi komunikasi dipandang dalam pembagian
paradigma melalui 3 aspek yakni positivistik, interpretatif, dan kritis dijelaskan
dalam tabel berikut (T. Craig, 1999; Hidayat, 2008):
Paradigma Ontologi Epistimologi Aksiologi Komunikasi
Positivistik Critical realism Ada realitas yang “real” yang diatur oleh kaidah- kaidah tertentu yang berlaku universal; walaupun kebenaran pengetahuan tersebut mungkin hanya bisa diperoleh secara probabilistik.
Ada realitas objektif sebagai suatu realitas yg eksternal di luar diri peneliti. Peneliti harus sejauh mungkin membuat jarak dengan objek penelitian.
Observer • Nilai, etika dan pilihan
moral harus berada di luar proses penelitian.
• Peneliti berperan sebagai disinterested scientist.
• Tujuan penelitian: Eksplanasi, prediksi dan kontrol realitas sosial.
Communication as transmission; deliver information: komunikasi adalah proses pengiriman dan penerimaan pesan atau mentransfer informasi dari satu pikiran ke yang lain.
Interpretatif/ Konstruktivis
Relativism Realitas merupakan konstruksi sosial Kebenaran suatu realitas bersifat relatif, berlaku sesuai konteks spesifik yang dinilai relevan oleh pelaku sosial
Adanya realitas subyektif; pemahaman suatu realitas, atau temuan suatu penelitian merupakan produk interaksi peneliti dengan yang diteliti.
Facilitator • Nilai, etika dan pilihan
moral merupakan bagian tak terpisahkan dari penelitian.
• Peneliti sebagai passionate participant, fasilitator yang menjembatani keragaman subjektivitas pelaku sosial.
• Tujuan penelitian: rekonstruksi realitas sosial secara dialektis antara peneliti dan yang diteliti.
Communication as a culture or meaning; komunikasi pada hakikatnya sebagai makna/budaya berdasarkan interaksi manusia yang bermakna dan tidak dapat diukur tetapi dapat ditafsirkan.
Kritis Historical realism Realitas yang teramati merupakan realitas “semu” (virtual reality) yang telah terbentuk oleh proses sejarah dan kekuatan-kekuatan sosial, budaya, dan ekonomi - politik.
Hubungan peneliti dengan yang diteliti selalu dijembatani nilai- nilai tertentu. Pemahaman tentang suatu realitas merupakan value mediated findings.
Activist • Nilai, etika dan pilihan
moral merupakan bagian tak terpisah- kan dari penelitian.
• Peneliti menempatkan diri sebagai transformative intellectual, advokat dan aktivis
• Tujuan penelitian: kritik sosial, transformasi, emansipasi dan social empowerment.
Communication as a power; komunikasi adalah fenomena pembentukan kesadaran palsu oleh elit yang berkuasa. komunikasi sebagai salah satu proses empowering membela yang lemah dan mendekonstruksi hubungan yg asimetris.
Tabel 1: Tabel paradigma dalam filsafat komunikasi
39
Dalam penelitian ini, peneliti dituntut untuk berfikir secara filsafat pada aspek
epistimologi, (Littlejohn & Foss, 2009, h. 25) bahwa cara akademisi melakukan
penelitian dan menyusun teori-teori sangat bergantung pada asumsi-asumsi
epistimologis mereka karena apa yang mereka pikirkan tentang pengetahuan dan
bagaimana mereka memikirkan tentang pengetahuan itu didapatkan, menentukan
apa yang mereka temukan. Seperti yang telah diungkapkan Lanigan (dalam
Nimmo, 1979, h.31) bahwa epistimologi merupakan cabang filsafat yang
menyelidiki asal, sifat metode dan batasan pengetahuan manusia. Seperti cara
Rogers dalam menulis “A History of Communication Study (Biographycal
Approach)” pada tahun 1997, ia membuat sebuah tulisan sebagai hasil
penelitiannya terhadap para tokoh yang berpengaruh dalam pencetus serta
pengembang ilmu komunikasi di dunia. Dalam melakukan studi pemikiran terkait
ilmu komunikasi secara historis baik pada tataran makro, institusi, history proper,
dan Rogers berfokus pada data-data yang sifatnya heterogen terkait pemikiran
maupun gagasan para tokoh penggagas komunikasi dunia.
Pada bagian awal dan akhir, Rogers menulis mengenai Willbur Schramm,
seorang tokoh yang sangat berpengaruh terhadap munculnya kajian ilmu
komunikasi. Selanjutnya ia mengelompokkan para tokoh tersebut menjadi 2
kelompok, yakni tokoh komunikasi dari Eropa dan Amerika. Sebagian buku
tersebut dikhususkan pada ilmu komunikasi Amerika dengan memuat bab yang
dikhususkan pada penelitian yang tumbuh di sekitar Chicago School, Lasswell,
Lazarsfeld, Lewin, Wiener, dan Shannon. Meski hasil penelitian dominan pada
studi di Amerika dan hal tersebut menandakan bahwa perkembangan ilmu
40
komunikasi menjadi sebuah interdisipliner ilmu yang banyak dikaji di Amerika
dan berkembang, tetapi Rogers menilai bahwa migrasi intelektual Nazi Jerman
antara tahun 1933 dan 1941, termasuk Lewin, Lazarsfeld, dan Frankfurt School
adalah “peristiwa penting dalam peralihan akar teori komunikasi Eropa ke
Amerika” (Rogers, 1997, h.132).
Temuannya inilah yang kemudian banyak disitasi para pengkaji ilmu
komunikasi. Setiap jenis pengetahuan mempunyai ciri-ciri yang spesifik mengenai
apa (ontologi), bagaimana (epistimologi), dan untuk apa (aksiologi) pengetahuan
tersebut disusun (Suriasumantri, 2001, h.105). Terkait pengetahuan yang
diperolehnya dan dimuat menjadi sebuah dasar pengetahuan sejarah
perkembangan ilmu komunikasi, Rogers berpikir secara epistimologi ilmu yang
sifatnya lebih kepada kualitatif dalam menyusun bagaimana sebuah pengetahuan
komunikasi menjadi sebuah ilmu itu tercipta dilihat melalui kacamata historisnya.
Bertolak pada pandangan Rogers di atas, dalam penelitian ini peneliti
menggunakan salah satu kajian filsafat komunikasi yakni epistimologi.
Pengetahuan terkait Astrid S. Susanto menjadi spesifik pada tataran epistimologi
mengenai bagaimana ia membentuk pemahaman akan ilmu komunikasi di
Indonesia yang diaplikasikan pada berbagai aspek kajian keilmuan lainnya.
Implikasi pemahaman inilah yang kemudian berkaitan dengan aspek sociology of
knowledge (sosiologi pengetahuan) Astrid S. Susanto bagi pengetahuan khalayak
luas.
2.4 Komunikasi Pembangunan
Konsep pembangunan mulai hadir di akhir tahun 1960-an, paradigma
dominan dikuasai definisi intelektual dan diskusi pembangunan dan dituntun oleh
program pembangunan nasional (Rogers, 1976, h.1). Rogers (dalam Singhal,
1987, h.19) menjelaskan pembangunan sebagai proses partisipatif yang luas
terhadap perubahan sosial pada masyarakat, diharapkan membawa kemajuan
sosial dan material (termasuk kesetaraan, kebebasan dan kualitas dihargai lainnya)
bagi sebagian besar rakyat melalui perolehan kontrol mereka lebih dari
lingkungan mereka.
Wilbur Schramm adalah salah satu yang pertama mengakui bahwa
komunikasi dapat berperan penting untuk perkembangan negara-negara dunia
ketiga (The Third World1) (Singhal, 1987, h.19), melalui tulisannya pada Mass
Media and National Development (1964). Ia percaya bahwa media massa bisa
memperbaiki kehidupan masyarakat dengan menambah sumber daya informasi
untuk sekolah-sekolah lokal, memperbanyak kontak untuk para pekerja instansi
bidang pembangunan, dan mendorong masyarakat untuk membuka diri mereka
sendiri dan anak-anak mereka untuk mempelajari berbagai kesempatan (Lerner &
Schramm, 1967).
Ide pembangunan yang dicetuskan oleh Schramm mengindikasikan bahwa
media massa mampu memberikan pengaruh bagi pertumbuhan perekonomian
6Funk & Wagnalls (dalam Greene, 1980, h. 14) menjelaskan “Third World” ke dalam dua dimensi yaitu: (1) setiap atau semua negara-negara kurang maju di dunia, terutama negara-negara seperti di Asia atau Afrika yang tidak selaras dengan baik Komunis atau negara Non-Komunis; (2) Mereka yang tidak penduduk di negara-negara dunia ketiga, tetapi secara kolektif diidentifikasi dengan masyarakat mereka, seperti karena ideologi, latar belakang etnis, atau status yang kurang beruntung.
41
42
masyarakat terutama bagi golongan The Third World Countries. Seperti yang
diungkapkan Schramm:
“Sebagai kegiatan ekonomi menyebar ke seluruh sistem, tindakan menyeimbangkan dan berbagi ketegangan dari laporan lebih jauh dan lebih cepat dari jauh dan ketertiban lebih cepat ke pusat-pusat secara tersebar. Komponen harus berhubungan.....pengetahuan harus dikumpulkan secara lebih luas dan berbagi lebih luas. Informasi harus ditransfer lebih cepat.....Negara-negara berkembang harus siap untuk mendukung peningkatan yang maha besar dalam sehari-hari untuk sebuah sistem komunikasi” (dalam Chu, 1974, h.20).
Berdasarkan pemahaman tersebut dapat dikatakan bahwa kehadiran
teknologi komunikasi turut membantu penyebaran informasi di tengah masyarakat
demi melancarkan proses pembangunan. Hal tersebut menjadi jelas, ketika
disampaikan dalam simposium pada tahun 1975 di East-West Center, Honolulu,
Amerika dibahas mengenai apa yang telah dipelajari di tahun sebelumnya yang
berfokus pada e-komunikasi dalam pembangunan, perubahan yang dibutuhkan
Negara Ketiga untuk mendukung komunikasi melalui 4 prioritas bagi pakar
komunikasi, riset komunikasi, dan teknologi komunikasi modern (Singhal, 1987).
Adapun semenjak awal kehadiran kajian mengenai pembangunan, para
pakar pembangunan merujuk pada empat perspektif yang dapat dilakukan sebagai
salah satu pilihan proses pembangunan. Berikut merupakan empat perspektif
tersebut (Melkote, dalam Gudykunst & Mody, 2002, h.420):
1. Modernization (modernisasi), berdasarkan teori ekonomi Neo-Klasik dan
mempromosikan serta mendukung pembangunan ekonomi kapitalistik.
Perspektif ini berasumsi bahwa model pertumbuhan ekonomi Barat yang
43
dapat dipakai di mana saja dan pengenalan teknologi modern yang penting
bagi pembangunan.
2. Critical (kritis), perspektif ini menantang ekspansi ekonomi dan budaya
dan imperialisme modernisasi; mereka berdebat untuk restrukturisasi
politik dan ekonomi untuk menghasilkan lebih banyak pemerataan antara
manfaat dan sumber daya di dalam masyarakat.
3. Liberastic/Monastic (liberal/monarki), perspektif ini memprioritaskan
pembebasan pribadi dan komunal (milik umum) dari penindasan sebagai
kunci kemandirian, yang dipandang sebagai tujuan pembangunan.
4. Empowerment (pemberdayaan), konsep mengenai kekuatan dan kontrol
dalam teori dan praktik pembangunan.
Menurut Servaes & Malikhao (dalam Servaes, 2008, h.158), paradigma
modernisasi yang dominan di kalangan akademisi sekitar tahun 1945-1965,
mendukung transfer teknologi dan budaya sosial-politik masyarakat yang
dikembangkan untuk masyarakat 'tradisional'. Paradigma modernisasi merupakan
paradigma terkuat pasca Perang Dunia ke-II, yang menilai pembangunan melalui
pertumbuhan ekonomi Barat sebagai barometer kemajuan negara-negara yang
tergabung di dalamnya. Selama periode ini, media komunikasi massa dipandang
sebagai instrumen yang kuat dan dapat berhasil digunakan untuk memanipulasi
pendapat dan sikap masyarakat, dan dengan demikian perilaku mereka dalam
waktu yang relatif singkat (Melkote, dalam Gudykunst & Mody, 2002, h.421).
Secara bertahap, disadari bahwa peran komunikasi massa dalam
memfasilitasi pembangunan sering secara tidak langsung dan hanya penyumbang,
44
daripada langsung dan kuat (Rogers, 1976, h.22). Hal tersebut disadari pula oleh
para akademisi dari Amerika Latin dan Asia yang dimulai pada tahun 1970an,
ketika modernisasi dirasa tidaklah sesuai bagi pembangunan di negara-negara
dunia ketiga dimana mendapat banyak kritikan terhadap pandangan negatif
modernisasi terhadap kebudayaan, agama, dan endosentrisme (Melkote, dalam
Gudykunst & Mody, 2002).
Secara bertahap, disadari bahwa peran komunikasi massa dalam
memfasilitasi pembangunan sering secara tidak langsung dan hanya penyumbang,
daripada langsung dan kuat (Rogers, 1976, h.22). Hal tersebut disadari pula oleh
para akademisi dari Amerika Latin dan Asia yang dimulai pada tahun 1970an,
dimana modernisasi dirasa tidaklah sesuai bagi pembangunan di negara-negara
dunia ketiga dimana mendapat banyak kritikan terhadap pandangan negatif
modernisasi terhadap kebudayaan, agama, dan endosentrisme (Melkote, dalam
Gudykunst & Mody, 2002).
Hal tersebut memunculkan dependence theory (teori ketergantungan) yang
dipengaruhi oleh pemikiran Marxisme, menurut Santos (dalam Duvall, 1978,
h.56):
“bahwa dengan ketergantungan kita berarti situasi di mana perekonomian negara tertentu dikondisikan oleh pengembangan dan perluasan ekonomi lain....Hubungan saling ketergantungan antara dua atau lebih negara.....mengasumsikan bentuk ketergantungan ketika beberapa negara....dapat memperluas dan bisa menjadi diri awal, sementara negara-negara lain......dapat melakukan hal ini hanya sebagai refleksi dari ekspansi itu, yang dapat memiliki positif dari efek negatif pada perkembangan langsung mereka.”
Selama tahun 1970, peneliti sistem dunia mempercayai teori ketergantungan,
bahwa ekonomi dunia yang terintegrasi ke dalam satu sistem pasar, sistem
45
kapitalis, dimana surplus ditransfer dari pinggiran ke inti (Igwe, 2010, h.2). Hal
tersebut menjadi sebuah kritikan terhadap teori modernisasi terutama bagi The
Third World Countries, dimana disadari bahwa modernisasi tidaklah selalu dapat
diterapkan bagi negara-negara berkembang yang berada dibawah bayang-bayang
pengaruh kapitalis yang memunculkan keterbelakangan. Menurut Duvall (1978,
h.19) penyebab keterbelakangan terkait dengan hubungan antara negara maju dan
negara-negara terbelakang sebagai pengembangan dan keterbelakangan yang erat
bergabung dengan hubungan umum eksploitasi. Ditambahkan lagi oleh Duvall
(1978, h.64) bahwa pada gilirannya integrasi global ekonomi menjelaskan
hubungan ketergantungan Dunia Ketiga (The Third World), sesuai dengan
pengamatan sistem dunia mengenai ketergantungan (dependence), hal itulah
keterbelakangan (undervelopment).
Selanjutnya, praktisi komunikasi pembangunan selalu berusaha untuk
mencari cara bagaimana mengubah perilaku target pembangunan melalui bentuk
komunikasi yang tepat sasaran. Menurut Rogers (1976, h.19) konsepsi baru
pembangunan dengan mendefinisikan pembangunan sebagai proses yang
partisipatif dalam perubahan sosial masyarakat, dimaksudkan untuk membawa
kedua kemajuan sosial dan material (termasuk kesetaraan, kebebasan, dan kualitas
dihargai lainnya) bagi sebagian besar rakyat melalui kontrol yang lebih besar atas
lingkungan mereka. Dalam praktiknya, komunikasi partisipatif menekankan pada
kolaborasi antara masyarakat dan para ahli dalam berbagai pengetahuan melalui
kedekatan budaya dan konteks lokal, tetapi pencapaian indikator pembangunan
diartikulasikan dalam paradigma modernisasi (Melkote, dalam Gudykunst &
46
Mody, 2002). Dalam hal ini, yang dimaksudkan sebagai sebuah konsepsi baru
dalam pembangunan adalah partisipatory action research dan empowerment.
Participatory action research menawarkan sebuah metode yang
berdidikasi untuk menyadarkan antara kedua kekuatan kaum termarjinalkan
dengan pengetahuan yang populer di kalangan mereka (Melkote, dalam
Gudykunst & Mody, 2002). Pemahaman dasar dalam perspektif ini meyakini
bahwa pemimpin lokal memiliki peran terkemuka bagi trasnsformasi sosial, dan
inilah yang dimanfaatkan dalam menggapai masyarakat terutama di pedesaan
untuk mendapat kepercayaan bagi proses pembangunan.
Selanjutnya, Empowerment (pemberdayaan). Menurut Fawcett dkk,
pemberdayaan masyarakat adalah proses meningkatkan kontrol oleh kelompok-
kelompok melalui dampak hal yang penting bagi anggota mereka dan orang lain
dalam komunitas yang lebih luas (dalam Gudykunst & Mody, 2002, h.431). Pusat
untuk memahami proses pemberdayaan masyarakat yaitu pengakuan bahwa
masyarakat terdiri dari individu dan organisasi yang berinteraksi dalam berbagai
jaringan sosial (McKee, dkk, dalam Servaes, 2008). Dalam hal ini, komunikasi
pembangunan berfokus pada bagaiama proses komunikasi selain
mempertimbangan pesan maupun tujuan akhir juga mempertimbangkan faktor
komunitas lokal, saling menghormati, refleksi kritis, partisipasi kelompok melalui
orang-orang yang kekurangan nilai informasi untuk mendapat akses sumber
informasi yang lebih baik.
Menurut McKee, dkk (dalam Servaes, 2008, h.262) program
pembangunan yang bertujuan untuk memfasilitasi kepemilikan masyarakat,
47
kompetensi dan komitmen untuk mengubah harus mengeksplorasi konsep
pemberdayaan (empowerment) pada tiga tingkatan praktek: individu, organisasi
dan masyarakat:
1. Individual empowerment, memiliki fokus pada efektivitas pribadi dan
kompetensi. Hal ini juga memperhitungkan akal account seseorang
penguasaan dan / atau kontrol atas situasi.
2. Organizational empowerment, menekankan proses yang memungkinkan
individu untuk meningkatkan kontrol dalam struktur formal, dan
organisasi itu sendiri untuk mempengaruhi kebijakan dan keputusan di
komunitas yang lebih besar. Dalam prakteknya, hal ini juga memberikan
kesempatan bagi pertumbuhan individu dan akses ke proses pengambilan
keputusan.
3. Community empowerment, berpusat pada tindakan kolektif dan kontrol
yang didasarkan pada partisipasi baik individu dan organisasi dalam
konteks sosial tertentu. Beberapa manfaatnya, pada tingkat kelompok,
yang kemandirian ekonomi lebih besar dan pengakuan sosial.
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, di tahun kemunculan
komunikasi pembangunan beriringan dengan masa awal kemerdekaan di tahun
1945, Indonesia masih tergolong dalam kelompok The Third World Countries
yang kala itu Asia termasuk di dalamnya kecuali Jepang. Pandangan
pembangunan di Indonesia menurut Badan Perencanaan dan Pembangunan
Nasional, (Bappenas, n.d, h.7) pembangunan merupakan proses perubahan
struktur yang berlangsung secara alami dan ciri-ciri utama pembangunan dapat
48
tercapai, yaitu: terwujudnya kemajuan, kemandirian, dan kesejahteraan dalam
suasana yang berkeadilan, dapat tercapai.
Melihat kembali pembangunan di masa lalu yang tersohor dan
berlangsung dalam waktu yang cukup lama, program pembangunan Indonesia
tersebut di era Orde Baru kala itu dikonsepsikan ke dalam satuan program
Repelita (Rencana Pembangunan Lima Tahun) yang dimulai sejak tahun 1969
hingga 1994 yang dilakukan selama 5 tahap, yang berfokus pada peningkatan
perekonomian.
Pembangunan meliputi aspek kesehatan, pendidikan, ekonomi, sosial, dsb
demi mengejar ketertinggalan dari negara-negara yang telah maju sebelumnya.
Sebagai salah satu negara berkembang yang baru merdeka, di awal kehadiran
konsep pembangunan Indonesia membutuhkan berbagai program maupun
kebijakan demi mencapai kestabilan kondisi ekonomi, salah satunya. Seperti yang
disampaikan Alwi Dahlan (1983, h.1) bahwa ada tiga tujuan utama bagi
pembangunan di Indonesia: tujuan pertama yaitu pertumbuhan ekonomi yang
cepat dan berkelanjutan, yang kedua adalah pemerataan, misalnya
pertumbuhan pendapatan yang adil di antara penduduk, untuk mengurangi
kesenjangan antara yang kaya dan miskin, dan yang ketiga adalah televisi. Salah
satu program pembangunan yakni “Televisi Masuk Desa”, dan inilah yang
menjadi tujuan utama dalam pembangunan menurut Alwi Dahlan.
Untuk menjalankan proses pembangunan terdapat beberapa hal yang perlu
dipertimbangkan seperti, perlunya media yang mampu menjangkau secara luas,
dan budaya komunikasi yang beragam. Indonesia memiliki infrastruktur
49
komunikasi dasar. Satelit domestik diluncurkan pada tahun 1978 dan kami
melakukan eksperimen dengan satelit (Dahlan, 1983, h.5). Satelit tersebut
bernama Satelit Palapa, Indonesia adalah 1 dari 4 negara pertama di dunia yang
menggunakan satelit untuk pendidikan seperti (1) Brazil, (2) India, (3) Amerika
Serikat dan (4) Indonesia (Adhikarya, Wawancara, 8 April, 2016).
“For Indonesians, the Palapa system (also known by Its Indonesian acro- nym SKSD) symbolizes the Communication Revolution. Within only two years after the final decision was made and 18 months after the contract was signed, a whole system capable of overcoming the great distances and natural barriers of the country, was established. High quality, continuous 24-hour, and direct long distance dialing service was suddenly made available.” (Dahlan, 1986, h.1)
Melalui satelit tersebut, penyiaran melalui televisi dan radio mulai
dirasakan oleh hampir seluruh rakyat Indonesia dan menjadi terbukanya akses
informasi bagi Indonesia. Pemerintah turut menyelaraskan hal tersebut dengan
menyediakan stasiun penyiaran radio hingga televisi pedesaan, seperti yang
diungkapkan Dahlan (1983, h.5) bahwa untuk memberikan akses real media kami
(pemerintah) membagikan set televisi umum gratis ke desa-desa terpencil, siaran
radio yang lebih lokal yang dipasang di setiap sub-provinsi.
Pentingnya komunikasi untuk turut menyelaraskan informasi dalam
pembangunan turut membentuk pandangan-pandangan akan komunikasi
pembangunan seperti Alwi Dahlan dan Santoso Hamidjojo, yang mana keduanya
turut mewarnai perkembangan studi komunikasi pembangunan di Indonesia itu
sendiri. Hal tersebut dijelaskan oleh Handayani & Alfira (2016) dalam “Studi
Pemikiran Komunikasi Pembangunan: Upaya Perumusan Model Komunikasi
Pembangunan sebagai Unsur Pendukung Good Governance”:
50
Pemikiran Santoso Hamijoyo mengenai komunikasi pembangunan cenderung pada globalisasi, komunikasi, pembangunan masyarakat, teknologi informasi & komunikasi, dan komunikasi pembangunan untuk perubahan sikap. Sedangkan M. Alwi Dahlan berfokus pada pemerataan akses informasi, kualitas SDM, dan regulasi informasi. Pemikiran Prof Alwi dapat dikategorikan dalam pemikiran yang menitikberatkan aspek pemerataan dan pemberdayaan masyarakat (empowerment). Pemikiran Santoso Hamijoyo dapat dikategorikan dalam kategori pemikiran modernis-partisipatoris karena menitikberatkan pada aspek manusia dan keterlibatannya dalam pembangunan.
Namun, dalam menjalankan berbagai program pembangunan terdapat
beberapa penghambat pembangunan yang mungkin banyak ditemui, menurut
Ronny Adhikarya dalam Journal of Development Communication (dalam Servaes,
2002, h.17) tampaknya setidaknya ada dua masalah utama yang membatasi
efektivitas pembangunan komunikator dalam memberikan kontribusi keberhasilan
untuk mencapai tujuan atau tujuan-tujuan pembangunan: (1) berkaitan dengan
tugas utama biasanya ditugaskan untuk spesialis komunikasi, kebanyakan dari
mereka diharapkan untuk menghasilkan terutama publisitas, hubungan
masyarakat, dan / atau bahan multimedia tanpa banyak keterlibatan di penilaian
kebutuhan informasi, strategi komunikasi dan perencanaan, posisi pesan,
pengobatan, dan desain, dan / atau proses seleksi campuran multimedia; (2) lebih
kritis, kurangnya secara holistik, terpadu, pendekatan disiplin dan lintas multi-
sektoral dalam menganalisis masalah komunikasi serta dalam merancang dan
komunikasi perencanaan strategi dalam mendukung tujuan pembangunan yang
lebih luas.
Sama halnya seperti yang disampaikan Singhal (1987, h.20) bahwa pakar
pembangunan di tahun 1970-an dan 1980-an mengakui akan adanya aktivitas
51
kelompok bagi pembangunan desa, melalui komunikasi dari bawah ke atas, dan
komunikasi horizontal antara warga desa, dipandang menjadi sama pentingnya
dengan komunikasi dari pemerintah pusat ke pedesaan. Sehingga, pemerintah
pusat perlu memperhatikan peran komunikasi massa yang dapat digabungkan
dengan komunikasi interpersonal dan dengan organisasi desa untuk mendorong
pembangunan terutama di negara-negara dunia ketiga. Melalui tulisan Rogers
pada Difussion of Innovations (1995) ditemukan bahwa kemungkinan
pengembangan dimulai dimana media komunikasi terputus: Proses interpersonal
yang sangat berpengaruh penting pada apakah dan kapan khalayak mencoba
sebuah inovasi (dalam Mody & Gudykunst, 2002, h.416). Berangkat dari konsep
inilah bahwa komunikasi pembangunan tidak cukup jika hanya mengandalkan
media massa saja dalam proses penyelarasan informasi sebagai alat pembangunan,
tetapi juga memperhatikan komunikasi interpersonal dan kerjasama dengan
kelompok masyarakat di pedesaan yang cenderung “berkumpul”.
2.5 Studi Pendahulu
Dalam melakukan penelitian ini, peneliti memiliki acuan dalam
melakukan analisis terkait studi pemikiran yakni thesis dan disertasi berjudul “An
Alternative Path: The Intelectual Legacy of James W. Carey” karya dari Mathew
Ross. Dalam penelitian tersebut Ross melakukan analisis menggunakan metode
dialog dengan variasi hermeneutik untuk melihat dan menjelaskan bagaimana
kontribusi James W. Carey dalam studi ilmu komunikasi. Adapaun tujuan dari
penelitian tersebut adalah untuk mengkategorisasikan pemikiran khas Carey yaitu:
52
1) Pandangan Carey terhadap sejarah intelektual melalui komunikasi massa; 2)
Pandangan Carey mengenai Cultural Studies khas Amerika Utara; 3) dan
kritiknya terhadap hal-hal terkait teknologi.
Penelitian Ross diawali dengan perhatiannya terhadap latar belakang
keluarga Carey. Diketahui bahwa ia lahir dari keluarga yang perekenomiannya
tidak stabil, ayahnya bekerja di galangan kapal sedangkan sang Ibu bekerja pada
pabrik tekstil. Namun, orangtua Carey sejak dahulu telah aktif di bidang politik
melalui sebuah aliansi ketika sang Ibu tak lagi bekerja di pabrik tekstil. Pengaruh
keluarganya yang cukup berpengaruh bagi Carey. Hal tersebut terlihat dari usaha
Carey sebagai orang pertama di keluarganya yang mengenyam pendidikan hingga
ke universitas. Carey yang kala itu mengidap penyakit hati sempat
menghambatnya dalam mengenyam pendidikan formal di kala remaja, namun hal
tersebut seakan menjadi pendorongnya untuk maju sehingga ia dapat
mendapatkan beasiswa disabilitas untuk bersekolah di University of Rhodes
Island (Ross, 2013).
Pada bagian awal penelitian tersebut, Ross menjabarkan perhatian Carey
dalam mengkritisi efek tradisi media, review terhadap pandangan positivistik.
Selanjutnya, di bagian kedua dijelaskan mengenai kontribusi Carey sebagai tokoh
pertama yang memprakarsai kajian Cultural Studies dari Ilmu Komunikasi di
Amerika yang berkembang sejak tahun 1960 dan sejak saat itulah Carey dikenal
sebagai tokoh yang dipercaya dalam hal Cultural Studies dari Amerika Utara.
Menurut Carey (dalam Ross, 2013) Cultural Studies menitikberatkan pada
permasalahan gender, kelas sosial, dan budaya. Kemudian di bagian terakhir,
53
dijelaskan mengenai ketertarikan Carey dalam bidang teknologi dan ideology
yang dipengaruhi oleh Marshall McLuhan dan Harold Innis. Menurutnya seperti
yang dituliskan Ross, terdapat dua pendekatan penting terkait bidang teknologi
yakni: (1) pendekatan kritis yang ditulis dalam sebuah essay bersama rekannya
John Quirk. Mereka memberikan kritik terhadap iconic technology sebagai
kategori ideologi; (2) Carey memfokuskan bagaimana struktur fisik dari teknologi
seperti telegraf dipengaruhi oleh penggunanya dan dampaknya pada budaya dan
jurnalisme. Kesimpulan yang dapat diketahui dari penelitian ini adalah kritik
Carey secara teknologi secara jelas terhubung pada tulisannya terkait cultural
studies dan kritiknya terhadap positivisme.
Peneliti menggunakan penelitian terdahulu dari Mathew Ross mengenai
studi pemikiran James Carey dikarenakan adanya persamaan tema penelitian
dengan peneliti dan dalam kajian ilmu komunikasi, namun perbedaan yang jelas
adalah subyek penelitian yang lebih kepada tokoh komunikasi di Indonesia.
Adapun penelitian lainnya yang menjadi studi pendahulu dalam penelitian
ini adalah, “Corak Kajian Komunikasi Salemba School (Studi Ekploratif Kajian
Ilmu Komunikasi di Departemen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Indonesia)”
sebagai skripsi yang ditulis oleh Lailiya Nur Rokhman. Dalam mengawali
tulisannya, Lailiya menggambarkan bagaimana perkembangan ilmu komunikasi
di dunia sampai akhirnya masuk ke Indonesia, terutama pada Universitas
Indonesia yang pada tahun 1959. Awal mulanya yakni dengan dibukanya jurusan
Publisistik di Fakultas Ilmu Hukum dan Ilmu Pengatahuan Masyarakat dan
dibuka langsung oleh Presiden Ir. Soekarno. Kemudian, di UI program studi
54
jurnalistik berubah menjadi program studi ilmu komunikasi. Hal tersebut tidak
terlepas dari pengaruh perkembangan ilmu komunikasi di Eropa maupun Amerika
Serikat. Dikarenakan dosen pengantar ilmu komunikasi dan teori komunikasi saat
itu lulusan sarjana dari ilmu komunikasi Amerika Serikat sekaligus praktisi
bidang pers sehingga kajiannya mengarah ke jurnalistik. Karena, kajian yang
dipelajari tidak hanya mengenai persuratkabaran dan retorika saja namun juga
mencakup jurnalistik.
Universitas Indonesia memiliki berbagai tokoh dengan pengaruh besar
dalam pengembangan ilmu komunikasi, yang bukan hanya di ilmu komunikasi UI
namun juga di Indonesia. Sebut saja, M. Alwi Dahlan yang merupakan orang
pertama Indonesia yang mendapatkan gelar doktor ilmu komunikasi di
Universitas Illinois Amerika Serikat. Beliau merupakan murid langsung dari
Wilbur Schramm yang dikenal sebagai Bapak Komunikasi Dunia. Alwi Dahlan
lah yang memperkenalkan ilmu komunikasi di Indonesia.
Ilmu Komunikasi FISIP UI dikenal dengan Salemba School di kalangan
mahasiswanya, hal tersebut mulanya hadir ketika sosok Dedy N. Hidayat
memberi tanda pada istilah tersebut. Dedy memiliki keinginan agar Departemen
Ilmu Komunikasi FISIP UI memiliki fokus pada suatu pendekatan tertentu,
sehingga mahasiswa diharapkan memahami pentingnya paradigma di dalam suatu
penelitian. Istilah Salemba School bukan dicetuskan oleh Dedy N. Hidayat, tetapi
justru dicetuskan oleh Effendi Ghazali dan Victor Manayang.
Beberapa hal yang dapat ditarik sebagai kesimpulan dalam penelitian ini
yakni: 1) Perkembangan ilmu komunikasi di Departemen Ilmu Komunikasi FISIP
55
UI berdasarkan konteks sosial politik Indonesia. 2) Jurusan Publisistik didirikan
untuk mewadahi praktisi pers sehingga mereka memiliki landasan akademik. 3)
Jurusan publisistik berubah menjadi komunikasi massa dan mulai berkembang
dengan masuknya paradigma positivistik Amerika Serikat. 4) Departemen Ilmu
Komunikasi FISIP UI kembali berkembang dengan munculnya penelitian non-
positivis yang cenderung kritis dalam mencerminkan kondisi masyarakat
Indonesia saat ini. 5) Departemen Ilmu Komunikasi FISIP UI masih belum
memperlihatkan identitasnya sebagai sebuah school. Karena, Salemba School
masih sebatas julukan informal bagi Departemen Ilmu Komunikasi FISIP UI.
Berdasarkan kedua penelitian terdahulu yang telah dijelaskan sebelumnya,
adanya keterkaitan dengan penelitian yang peneliti lakukan adalah dalam
menelusuri sejarah ilmu komunikasi. Namun, yang menjadi fokus berbeda adalah
dengan mengkaji ilmu komunikasi secara historis terutama melalui history proper
pada studi pemikiran tokoh yang berpengaruh dalam perkembangan ilmu
komunikasi di Indonesia yakni Astrid S. Susanto.
56
2.5 Kerangka Pemikiran
57
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Paradigma Penelitian
Sebuah titik awal untuk memahami komunikasi sebagai sebuah bidang dan
teori-teorinya, merupakan proses dasar dalam penelitian itu sendiri (LittleJohn
(2009, h.10). Peneliti selanjutnya memilih prinsip dasar bagi keseluruhan
penelitian yakni bertolak pada paradigma interpretatif. Paradigma diartikan
sebagai kumpulan longgar tentang asumsi yang secara dasar dianut bersama,
konsep, atau proposisi yang mengarahkan cara berpikir dan cara penelitian
(Moleong, 2010, h.14). Paradigma interpretatif yaitu analisis sistematis mengenai
aksi sosial yang bermakna melalui observasi manusia secara terperinci dan
langsung dalam latar alamiah, supaya bisa memperoleh pemahaman dan
interpretasi mengenai cara orang menciptakan dan mempertahankan dunia sosial
mereka (Neuman, 2013, h.116). Dalam penelitian ini, peneliti lebih menekankan
pada refleksi kedalaman berpikir dari peneliti itu sendiri dalam menjawab
permasalahan yang dihadapi yakni memahami pemikiran Astid S. Susanto terkait
ilmu komunikasi di Indonesia.
Berdasarkan paradigma dan tujuan yang telah disebutkan sebelumnya,
penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Menurut Moleong (2010, h. 6)
penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami
fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku,
persepsi, motivasi, tindakan, dll. Fenomena yang melatarbelakangi subyek
57
58
penelitian mencakup beberapa kajian, dalam hal ini (Denzin & Lincoln, 2009, h.2)
penelitian kualitatif mencakup penggunaan subjek yang dikaji dan kumpulan
berbagai data empiris–studi kasus, pengalaman pribadi, introspeksi, perjalanan
hidup, wawancara, teks-teks hasil pengamatan, historis, interaksional, dan visual–
yang menggambarkan saat-saat dan makna keseharian dan problematis dalam
kehidupan seseorang. Metode penelitian ini berusaha menelusuri fenomena pada
subyek penelitian berdasarkan data dan fakta sebenarnya, serta menganalisanya
melalui konsep-konsep yang telah dikembangkan.
Dalam konteks penelitian yang peneliti lakukan, penelitian ini
dikategorikan sebagai penelitian studi eksploratif. Menurut Neuman (2013, h.43)
penelitian eksploratif (exploratory research) yang tujuan utamanya adalah untuk
menyelidiki persoalan atau fenomena yang sedikit sekali dipahami dan
mengembangkan gagasan awal mengenai hal tersebut dan beranjak kepada
penyempurnaan pertanyaan-pertanyaan penelitian. Penelitian eksploratif
berseberangan dengan jenis penelitian lain. Dalam penelitian ini, peneliti langsung
terjun ke lapangan tanpa memulai desain riset terlebih dahulu seperti penelitian
lain. Rumusan masalah nantinya ditemukan di lapangan, data adalah teori, teori
berdasarkan data yang nantinya berkembang selama turun lapangan.
Menurut Roy (dalam Neuman, 2013, h.115) dalam ilmu sosial interpretatif
terdapat beberapa variasi yakni hermeneutika, konstruksionisme, etnometodologi,
kognitif, idealis, fenomenologis, subyektivis, dan sosiologi kualitatif Salah satu
yang peneliti gunakan adalah hermeneutika. Hermeneutika secara hakikatnya
adalah salah satu metode interpretasi, memahami suatu gejala dari bahasanya baik
59
lisan maupun tulisan, dan bertujuan ingin mengetahui suatu gejala dari gejala itu
sendiri yang dikaji secara mendalam (Guba & Lincoln, 2011). Menurut Peters &
McCornik hermeneutika memiliki dua pengertian utama: seni teks bacaan, dan
filsafat tafsir tekstual dan pemahaman manusia (dalam Donsbach, 2008, h.211).
Aplikasi pendekatan variasi hermeneutika dalam menelitian ini karena
peneliti melakukan “pembacaan” mendalam yang fokus terhadap tulisan yang
pernah ditulis Astrid S. Susanto baik dalam bentuk buku, maupun dalam bentuk
kertas kerjanya yang kemudian dihubungkan satu dengan yang lainnya. Dalam
menafsirkan teks yang didapat, peneliti mengumpulkan seluruh data dengan
tujuan mengkaji makna apa yang ditulis Astrid S. Susanto yang turut menjadi
bagian dari perjalanan hidupnya. Pada hakikatnya, peneliti berusaha untuk
merasakan makna (meaning) melalui pembacaan dokumen terkait subjek yang
diteliti dan wawancara terhadap pihak-pihak yang memahami pemikiran subjek
tersebut.
3.2 Sumber Data
Lofland dan Lofland (dalam Moleong, 2010, h.157) menjelaskan bahwa
sumber data utama dalam penelitian kualitatif adalah segala bentuk kata-kata,
tindakan, dan serta tambahan seperti dokumen dan data pendukung lain. Pada
penelitian ini sumber data yang digunakan adalah:
1. Buku yang ditulis oleh Astrid S. Susanto yaitu sebagai berikut:
a. “Filsafat Komunikasi” (FK/1995)
b. “Globalisasi dan Komunikasi” (GDK/1995)
60
c. “Pendapat Umum” (PU/1985)
d. “Komunikasi Kontemporer” (KK/1977)
e. “Komunikasi Pengendalian dan Komunikasi Pengawasan”
(KPKP/1989)
f. “Sosiologi Pembangunan” (SP/1984)
2. Ide dalam bentuk pendapat maupun hasil penelitian dari Astrid S. Susanto
dalam sebuah forum diskusi yang kemudian diarsipkan oleh Bappenas
yaitu:
a. Pemikiran Biografi dan Kesejarahan, suatu kumpulan prasaran pada
berbagai lokakarya yang dikeluarkan oleh Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan pada tahun 1982/1983. (PBDK/1982-83)
b. Indonesia dalam Tahap Transformasi Memasuki Abad ke 21,
dokumentasi teks pada pertemuan MPR/DPR dalam rancangan GBHN
pada tahun 1998. (ITTMA21/1998)
c. Aktualisasi Moral dan Hukum Demi Suatu Masyarakat yang Maju,
Mandiri dan Sejahtera, dokumentasi Bappenas pada tahun 1996.
(AMHDSMS/1996)
d. Pendapat Umum dan Proses Peradilan, dokumen Bappenas pada
tahun 1997. (PUPP/1997)
e. Perencanaan Komunikasi Menghadapi Tinggal Landas, proyek
Pembinaan Pers sebagai materi yang disampaikannya dalam Seminar
61
ISKI di Semarang 21-25 Oktober 1985 yang dikeluarkan pada tahun
1986. (PKMTL/1986)
f. Kerangka Perencanaan Komunikasi Terpadu, dokumen Bappenas
pada tahun 1978. (KPKT/1978)
g. Kemungkinan Pengembangan Pers dalam Repelita III, dokumen
Bappenas pada tahun 1978. (KPPR3/1978)
h. Permasalahan Batas Kebangsaan, makalah untuk Widya Karya
Nasional Antropologi & Pembangunan dalam Kongres Asosiasi
Antropologi Indonesia pada tahun 1997. (PBK/1997)
i. Wanita Desa sebagai Tenaga Produktif dalam Pembangunan,
dokumen Bappenas pada tahun 1977. (WDTP/1977)
j. Komunikasi dengan Masyarakat Desa, dokumen Bappenas pada tahun
1978. (KMD/1978)
k. Kebutuhan Kini Pendidikan Komunikasi Massa, dokumen Bappenas
pada tahun 1978. (KKPKM/1978)
l. Menuju Peningkatan Mutu Kehidupan Masyarakat yang Merata,
dokumen Bappenas pada tahun 1978. (MPMKMM/1978)
m. Some Thoughts on Development Messages for Developing Countries,
dokumen Bappenas pada tahun 1978. (STDMDC/1978)
n. Pengantar: Media Komunikasi sebagai Penunjang Partisipasi Politik
dan Pembangunan Ekonomi, dalam buku Kebijakan dan Perencanaan
Komunikasi Pengalaman Singapura pada tahun 1994. (P-
MKP4E/1994).
62
3. Hasil wawancara pada beberapa tokoh-tokoh yang mengenal dan pernah
berelasi dengan Astrid S. Susanto, terutama mereka yang mengenal
pemikirannya mengenai Ilmu Komunikasi di Indonesia. Informan
wawancara penelitian ini berasal dari Universitas Indonesia seperti Prof.
Alwi Dahlan, Dr. Eduard Lukman, Dr. Pinckey Triputra, Prof. Bambang
Shergi, Ronny Adhikarya, Ph.D dan Airlangga Hadigama. Hal ini
dilakukan untuk memperkuat data yang telah didapat.
3.3 Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data sangatlah penting dalam sebuah penelitian, dikarenakan
data yang diperoleh peneliti dapat digunakan untuk menjawab permasalahan yang
ada. Dalam kegiatan pengumpulan data, teknik pengumpulan data harus
diperhatikan dengan baik agar data yang diperoleh sesuai dengan standarisasi
yang ditetapkan. Sugiyono (2008, h.224) teknik pengumpulan data merupakan
langkah yang paling strategis dalam penelitian, karena tujuan utama dari
penelitian adalah mendapatkan data. Adapun pengumpulan data dalam penelitian
ini meliputi:
1. Dokumentasi
Dokumentasi dilakukan dengan menganalisis tulisan-tulisan Astrid S.
Susanto yang merujuk pada pemikirannya yang menyinggung di bidang
Ilmu Komunikasi maupun kaitannya dengan perspektif ilmu lain. Hal ini
dikarenakan pada beberapa tulisannya terdapat berbagai perpaduan kajian
Ilmu Komunikasi dengan perspektif ilmu lain yang luas.
63
2. Wawancara
Wawancara yang dilakukan peneliti merupakan wawancara penelitian
lapangan, menurut Fonta & Frey (dalam Neuman, 2013, h.494) wawancara
ini melibatkan satu atau lebih orang yang hadir, terjadi di lapangan, dan
bersifat informal dan tidak mengarah (yaitu anggota dapat melakukan
wawancara dalam berbagai arah). Wawancara tersebut dilakukan kepada
beberapa tokoh yang mengenal maupun berelasi dengan subyek penelitian
terutama mereka yang memahami pola pemikiran Astrid S. Susanto
terhadap Ilmu Komunikasi maupun bidang-bidang yang ditekuninya. Hal
ini dilakukan untuk memperkuat data dan analisis yang diperoleh sebagai
bentuk refleksi dari sumber data lainnya.
3.4 Teknik Pemilihan Informan
Teknik pemilihan informan dalam penelitian ini menggunakan teknik
purposive sampling karena peneliti ingin menyeleksi atau menetapkan kriteria
tertentu terhadap informan yang terpilih, berikut kriterianya:
Pernah mengenal dan berelasi langsung dengan Astrid S. Susanto khususnya
sebagai keluarga, rekan kerja, serta mahasiswanya, dan memahami pemikiran
Astrid S. Susanto khususnya di bidang kajian Ilmu Komunikasi di Indonesia.
Berdasarkan kriteria tersebut, peneliti memilih informan untuk menunjang
data dalam penelitian ini, yaitu:
1. Prof. M. Alwi Dahlan, Ph. D. Seorang Guru Besar Emeritus yang masih
aktif di Departemen Ilmu Komunikasi FISIP UI dan sebagai salah satu
64
rekan satu angkatan terdahulu yang memperkenalkan Ilmu Komunikasi di
Indonesia.
2. Drs. Eduard Lukman M.A. yang merupakan Sekretaris Program
Pascasarjana Universitas Indonesia dan dulu pernah menjadi Asisten
Dosen Astrid S. Susanto di Departemen Ilmu Komunikasi FISIP
Universitas Indonesia
3. DR. Pinckey Triputra, M.Sc. yang merupakan Ketua Program Ilmu
Komunikasi Universitas Indonesia dan dulu sebagai mahasiswa Astrid S.
Susanto serta memiliki pengalaman penelitian bersama mengenai Konteks
Bela Negara dari Kementerian Pertahanan di Papua.
4. Prof. Dr. Bambang Shergi Laksmono, M.Sc yang merupakan mahasiswa
bimbingan Astrid S. Susanto dalam menyelesaikan tesisnya di Universitas
Indonesia.
5. Ronny Adhikarya, Ph.D merupakan salah seorang warga negara Indonesia
yang bergerak di bidang Komunikasi Pembangunan dan pernah bekerja di
World Bank, PBB, dan berbagai organisasi internasional lainnya. Beliau
merupakan mantan mahasiswa Astrid S. Susanto saat di Unpad pada tahun
1971.
6. Airlangga Hadigama, yang merupakan putra pertama dari Astrid S.
Susanto dengan Ir. Bambang Susanto
65
3.5 Teknik Analisis Data
Data itu mungkin telah dikumpulkan dalam aneka macam cara (observasi,
wawancara, intisari dokumen, pita rekaman), dan yang biasanya “diproses” kira-
kira sebelum siap digunakan (melalui pencatatan, pengetikan, penyuntingan, atau
alih-tulis), tetapi analisis kualitatif tetap menggunakan kata-kata yang biasanya
disusun ke dalam teks yang diperluas (Miles & Huberman, 2014, h.16). Menurut
Neuman, menganalisis data berarti secara sistematis menyusun, mengintegrasikan,
dan menyelidiki; sewaktu melakukannya, kita mencari pola dan hubungan di
antara rincian spesifik (2013, h.559). Kegiatan analisis data menurut Miles &
Huberman terdiri dari 3 langkah yakni (2014, h.16-21):
1. Reduksi Data (Data Reduction)
Reduksi data dimulai dengan data lapangan yang dituangkan dalam uraian
laporan yang lengkap dan terperinci. Data dan laporan lapangan terkait
Astrid S. Susanto kemudian direduksi baik dalam bentuk teks maupun
wawancara; pengelompokkan dilakukan berdasarkan fokus bahasan pada
tiap-tiap data yang didapat, kemudian dirangkum, dan difokuskan untuk
dipilih yang terpenting kemudian dicari polanya (melalui proses refleksi
data).
2. Penyajian Data (Data Display)
Penyajian data dilakukan untuk mempermudah peneliti melihat gambaran
secara keseluruhan atau bagian-bagian tertentu dari data penelitian. Hal ini
dilakukan sebab peneliti perlu mengkaji proses analisis data sebagai dasar
pemaknaan terhadap pemikiran Astrid S. Susanto. Data-data tersebut
66
kemudian dipilah-pilah untuk disortir menurut kelompoknya dan disusun
sesuai dengan kategori yang sejenis.
3. Penarikan Kesimpulan / Verifikasi
Pada penelitian kualitatif, verifikasi data terkait pemikiran Astrid S.
Susanto pun dilakukan secara terus menerus sepanjang proses penelitian
dilakukan. Sejak pertama memasuki lapangan dan selama proses
pengumpulan data.
3.6 Keabsahan Data
Perlunya peninjauan kembali pada keabsahan data dilakukan setelah
penarikan kesimpulan pada data kualitatif. Hal ini dimaksudkan agar hasil
penelitian bersifat ilmiah karena berkaitan dengan validitas data yang diperoleh
peneliti. Peninjauan ini dapat dilakukan saat proses pengumpulan data dan analisis
data. Adapun pemeriksaan keabsahan data pada penelitian ini menggunakan
Goodness Criteria dari Denzin dan Lincoln (dalam Bryman, 2008, h.273-276)
yang mengacu pada trustworthiness dan authenticity.
Trusthworthiness mencakup empat kriteria diantaranya:
1. Credibility atau kredibilitas, yaitu menyangkut pada bagaimana temuan
hasil penelitian dapat diterima oleh masyarakat yang diteliti. Hal ini pula
yang menunjukkan pemahaman peneliti mengenai masalah yg diteliti.
Teknik dalam menguji kredibilitas biasanya disebut respondent validation
atau member validation.
67
2. Transferbility sama dengan validitas eksternal, yaitu kemungkinan hasil
penelitian dapat diterapkan dalam konteks lain.
3. Dependability sama dengan reliabilitas, yaitu berkaitan dengan
keterbukaan terhadap keseluruhan tahap hingga hasil penelitian untuk
dinilai oleh orang lain. Keterbukaan tersebut memunculkan kemungkinan
penilaian secara keseluruhan dari pihak-pihak yang berhubungan dengan
penelitian ini, dalam penelitian ini dapat diperankan oleh pembimbing
skripsi.
4. Confirmability sama dengan objektifitas. Dalam penelitian, sebisa
mungkin peneliti menyajikan data meminimalisir penggunaan penilaian
pribadi dalam penyajian data.
Authenticity atau keaslian yaitu kriteria keaslian yang menumbuhkan persoalan
yang lebih luas berkaitan dengan dampak politis dari penelitian yang meliputi
(dalam Bruman, 2008, h.276):
a. Fairness, yaitu apakah penelitian kita secara jujur menampilkan berbagai
kalangan secara proporsional. Peneliti tidak hanya menampilkan pendapat
dari satu sumber saja, tetapi berdasarkan beberapa informan yang
heterogen dalam penelitian ini.
b. Ontological authenticity, yaitu apakah penelitian kita membantu
masyarakat untuk memahami lingkungan sosialnya. Hal ini dapat
dilakukan dengan cara berbagi literature penelitian ini kepada masyarakat
luas.
68
c. Educative authenticity, yaitu apakah penelitian ini dapat membantu
masyarakat untuk lebih menghargai pandangan lain di dalam
masyarakatnya. Melalui data dalam penelitian ini sehingga mampu
menyadarkan masyarakat agar lebih menghargai berbagai pandangan di
dalam dunia sosial terutama melalui perspektif historis.
d. Catalytic authenticity, yaitu apakah penelitian ini dapat mendorong
masyarakat untuk terlibat dalam merubah lingkungan sekitarnya. Proses
hingga hasil dalam penelitian ini dapat mendorong pihak-pihak yang
terlibat dalam penelitian untuk melakukan perubahan lebih baik lagi di
lingkungan masyarakat.
e. Tactical authenticity, yaitu apakah penelitian ini telah memberdayakan
anggota untuk mengambil langkah yang perlu untuk terlibat dalam
melakukan tindakan. Pemberdayaan yang dimaksudakan adalah melalui
data yang diteliti inilah dapat meningkatkan pengetahuan.
69
BAB IV
HASIL PENELITIAN
4.1 Profil Prof. Astrid S. Susanto: Ilmuwan, Pendidik & Politisi yang
Berpegang Teguh pada Paham Nasionalisme
Maria Antonia Astrid S. Susanto yang kerap dikenal dengan Astrid S.
Susanto, merupakan salah satu tokoh perempuan yang turut berperan dalam
perkembangan ilmu komunikasi di Indonesia. Sosoknya sangat melekat dengan
Nasionalisme. Hal tersebut dilatarbelakangi oleh lingkungan keluarganya. Ia
terlahir sebagai bagian dari keluarga pejuang kemerdekaan di jaman dahulu, Mr.
Soenario Sastrowardjojo merupakan Menteri Luar Negeri dibawah pimpinan
Presiden Soekarno. Orang tua Astrid pun merupakan salah satu contoh asimilasi
yang mana Mr. Soenario berasal dari Manado Jawa-Timur, menikahi Dina
Pantouw yang berbeda budaya yakni dari Manado. Seperti yang dikatakan putra
pertamanya, Airlangga Hadigama bahwa:
“Bapak dan Ibunya itu ketemu pas Sumpah Pemuda. Ketemunya di Kongres Pemuda, sorry bukan Sumpah Pemuda. Nah, jadi kebudayaanya adalah Indonesia. Jadi memang mereka berdua ini pejuang. Mereka sangat Nasionalis itu memang jadi ngga ada kebudayaan Jawa yang terlalu kental, karena nenek saya itu dari Manado kan. Jadi lebih kental itu Nasionalisme.” (Wawancara, 07 Januari, 2016)
Kemudian lahirlah putri kedua mereka di Makassar, 4 Januari 1936 yang
bernama Astrid S. Susanto. Huruf “S” yang disematkan di tengah namanya
merupakan inisial “Sunarti”, namun kebanyakan orang mengingat inisial tersebut
sebagai nama dari Ayahnya yakni “Soenario”. Tidak banyak yang mengetahui hal
69
70
tersebut karena menurut putra pertamanya, Sunarti merupakan nama kecilnya
sedangkan “Susanto” merupakan nama belakang suaminya. Untuk menghindari
ambiguitas inisial “S” tersebut maka dalam beberapa tulisannya ia menyematkan
“Sunario” di belakang namanya menjadi Astrid S. Susanto-Sunario.
Di saat dewasanya, Astrid kemudian menikah dengan Ir. Bambang
Susanto dan dianugerahi tiga putra/i yang bernama Airlangga Hadigama,
Adiwijaya Astrianto, dan Kencana Wardani. Sejak ia kecil, Ayahnya sudah
menanamkan sikap Nasionalisme dan hal tersebut selalu ia tanamkan pada ketiga
putra/i-nya. Menurut Hadigama (wawancara, 7 Januari, 2016) di keluarga
Soenario pun mengkotak-kotakan daerah itu tidak ada, karena sikap Nasionalisme
lah yang dipegang teguh hingga saat ini. Dalam mendidik ketiga putra/i-nya
Astrid pun membiasakan pola diskusi, apapun itu topiknya ia sangat menerima
dengan tangan terbuka.
Salah satu pengalaman politik Astrid yang dilakukannya di masa remaja
ialah turut aktif membantu sang Ayah dalam menjalankan tugas kenegaraannya,
Mr. Soenario dalam KAA (Konferensi Asia Afrika) yang saat itu menjabat
sebagai Menteri Luar Negeri Indonesia. KAA dilaksanakan di Bandung pada
tahun 1955. Menurut Hadigama (wawancana, 7 Januari, 2016) Astrid memberi
saran kepada sang Ayah untuk melakukan jalan bersama-sama dengan seluruh
peserta Konferensi Asia Afrika, dengan tujuan memudahkan mobilisasi peserta
dari tempat menginap menuju gedung konferensi yang dinamakan The Bandung
Walk. Mr. Soenario ketika itu memikirkan bagaimana caranya agar seluruh
peserta konferensi yang begitu banyak dapat sampai ke lokasi di waktu yang tepat
71
bersama-sama sedangkan seluruh anggota Konferensi Asia Afrika dari berbagai
negara menginap di Hotel Savoy Nomann yang letaknya tidak terlalu jauh dengan
gedung konferensi yakni di Jalan Asia Afrika dan yang menjadi khas adalah
ketentuan jalan bersama adalah seluruh peserta konferensi diwajibkan
menggunakan pakaian khas kenegaraannya. Usulan tersebut lahir dari ide Astrid
S. Susanto yang notabene tidak banyak diketahui orang bagaimana asal usul dari
The Bandung Walk.
Dalam hal pendidikan, Astrid yang memahami bagaimana kualitas
pendidikan di Indonesia lalu mengarahkan putra/i-nya untuk melanjutkan
pendidikan di negara tempat ia menimba ilmu dahulu. Sayangnya, ketiga anaknya
tidak ada yang mengikuti jejak akademisi sepertinya. Dimulai dengan bersekolah
SD di tanah Jawa, yakni di SD Ungaran Yogyakarta kemudian saat di bangku
SMP-SMA ia melanjutkan di Santa Ursula, Jakarta. Seusainya, Mr. Soenario
mengarahkan Astrid untuk melanjutkan pendidikan tingginya ke Jerman, karena
pada saat itu Mr.Soenario adalah Duta Besar Indonesia di London, Inggris dan
pendidikan di Eropa yang dianggap baik saat itu. Dahulu Astrid memiliki
keinginan untuk mengambil jurusan Arkeologi yang kental akan sejarahnya,
namun hal tersebut tidak diizinkan oleh Sang Ayah dengan alasan keselamatan.
Kemudian ia memilih jurusan publisistik yang di dalamnya ia mendapatkan ilmu
sejarah, politik, dan berbagai ilmu lainnya dalam satu jurusan. Melanjutkan
pendidikan di Westfasliche Facultact Münster Universitat Jerman Barat, dan
mengambil doktor di Freit Universitat, Berlin Barat. Astrid lulus pada tahun 1964
dengan disertasinya “Kekuatan-kekuatan Politik yang Melahirkan Dewan Pers
72
Inggris” dan mendapat predikat cumlaude dengan gelar Dr. Phil dalam bidang
komunikasi, sejarah politik internasional, dan sosiologi politik.
Seselesainya ia bersekolah di Jerman, Astrid kembali ke Indonesia dengan
pendidikan publisistik sebagai bekalnya. Memulai karirnya dengan menjadi
tenaga pengajar di Fakultas Publisistik Universitas Padjajaran (1968) Bandung,
kemudian atas sumbangsihnya Astrid pun diangkat menjadi dekan ke-III (1970 –
1975) Fakultas Djurnalistik dan Publisistik (sekarang bernama FIKOM Unpad).
Hal penting yang dapat dicatat dalam era kepemimpinan Astrid adalah Fakultas
Publisistik Unpad pernah mendatangkan sepuluh menteri secara
berkesinambungan untuk memberikan kuliah umum di Unpad, diantaranya adalah
Menteri Luar Negeri, Menteri Pendidikan, Menteri Penerangan, dan Menteri
Pariwisata. (FIKOM Unpad, n.d). Dalam pengalaman mengajarnya ia juga pernah
mengajar di Universitas Hasanudin, Makassar sebagai dosen luar biasa.
Disamping mengajar di Unpad ia juga menjadi dosen non-reguler SESKOAD
Bandung (1971).
Pada tahun 1974 ia bergabung bersama Bappenas sebagai Kepala Biro
Komunikasi Sosial, Ilmu Pengetahuan dan Penelitian. Dikarenakan jarak
Bandung-Jakarta yang tidak dekat, maka ia memutuskan untuk pindah ke Jakarta
dan mengajar di FISIP Universitas Indonesia. Saat itu ia mengajar di mata kuliah
Perencanaan Komunikasi dan Sosiologi Pembangunan. Setelah 16 tahun
mengabdikan dirinya di UI, akhirnya Astrid dikukuhkan menjadi Guru Besar
FISIP UI (1990) dengan pidato “Komunikasi sebagai Matarantai Utama antara
Pengendalian Masyarakat dan Pengawasan Sosial”. Pada tahun 1988 Astrid
73
mulai mengajar menjadi pengajar tidak tetap di Pascasarjana UI. Ciri khasnya
dalam mengajar ialah story teller, seperti yang diungkapkan Eduard Lukman,
Bambang Shergi dan Pinckey Triputra yang mana ia seringkali mencampurkan
kisah-kisah ketika mengajar dan turut menceritakan pengalamannya selama
bekerja di Bappenas, terutama dalam hal perencanaan, komunikasi pembangunan
hingga kerakyatan.
Tumbuh dari keluarga terdidik, sosoknya yang keibuan dan encouraging,
tergambar melalui bagaimana peran sentral Astrid dalam membimbing
mahasiswanya, ia mengarahkan dan juga bertanggung jawab penuh terhadap
mahasiswa bimbingannya seperti yang diungkapkan Bambang Shergi mengenai
peran Astrid sebagai promotornya (wawancara, 21 januari 2016) “…lebih ke pada
hmm mengasah intelektual kita, cara berfikir kita jadi mungkin kalau ditanya
peran apa ya peran substantive, peran quality control, sama mempersiapkan kita
untuk menjadi intelektual yang baik ya”. Astrid pun selalu mencanangkan
pandangan Nasionalisme dan keinginannya untuk terus menjaga kedaulatan
Negara Indonesia melalui pendidikan dan hal tersebut terlaksana dalam ceramah-
ceramah yang dia sampaikan baik di universitas, seminar, maupun kertas
kerjanya.
Karirnya yang cemerlang, kemudian mengantarkan Astrid ke beberapa
peran penting selain menjadi pengajar, Astrid yang bekerja di Bappenas mulai
1974 - 1992 kemudian sempat menjadi Asisten Menteri Negara/Ketua Bappenas
Bidang Ilmu Pengetahuan dan Penelitian (1986), Dewan Riset Nasional
Kelompok V (1977 – 1992), Dewan Pers (1987 – 1992), Anggota Tim 9
74
rancangan GBHN (1988), Anggota MPR (1987 – 1992), dan anggota DPR (1999
– 2002). Dalam akhir kepengurusannya, Astrid dikenakan PAW (Pergantian Antar
Waktu) seperti yang dijelaskan oleh putranya:
“Ya itu karena perbedaan pendapat……...Seperti biasalah sampai sekarang masih ada pengambilan keputusan di DPR kan. Nah lalu, pada waktu itu kasusnya berkaitan dengan GusDur. Saat itu PDKB itu didekati oleh PKB, biasa kan? Jadi pada waktu itu hmm PDKB didekati oleh PKB jadi PDKB memiliki satu posisi. Nah tapi ibu saya melihat posisi ini tidak sesuai dengan hati nurani lah. Nah jadi pada saat pengambilan keputusan, ibu saya memilih abstain. Sebetulnya tidak mengambil posisi kiri atau kanan tetapi abstain. Hmm memang tidak melawan tetapi tidak ada diposisi sepenuhnya PDKB itu. Tapi itu yang membuat ibu kena PAW. Hmm kalau mau lebihnya sih integritas lah.” (wawancara, Hadigama, 07 Januari, 2016)
Astrid terpilih menjadi anggota DPR melalui suara terbanyak Daerah
Pemilihan di Wilayah Papua, itulah yang melatarbelakangi dirinya untuk turut
berkontribusi bagi Indonesia dengan memberikan perhatian khusus kepada
daerah-daerah di Indonesia Timur dan ia sering melakukan penelitian baik di
bidang komunikasi, sosiologi maupun hukum di wilayah tersebut hingga akhir
hayatnya.
Setelah ia mulai turun dari dunia politik, Astrid pun tetap mengibarkan
kiprahnya di dunia pendidikan terutama di Ilmu Komunikasi melalui tulisan-
tulisannya baik buku maupun pada jurnal, dsb. Kegigihannya untuk mendalami
Ilmu Komunikasi pun tidak pernah berhenti. Dimulai sejak dia bekerja di
Bappenas dengan diskusi maupun membaca literatur-literatur yang berkaitan
dengan komunikasi terutama dari Amerika, karena pada dasarnya ia berangkat
75
dari ilmu publisistik Jerman yang mana keduanya merupakan hal yang berbeda
(Dahlan, wawancara, 25 Januari, 2016).
Tidak bisa dipungkiri, Astrid dengan serangkaian latar belakang yang
telah dijabarkan sebelumnya ialah sosok dengan berbagai ide dan sumbangsihnya
terkait ilmu komunikasi. Meski ia berangkat dari ilmu publisistik yang berbeda
dengan ilmu komunikasi itu sendiri, namun kegigihannya untuk terus mempelajari
berbagai bidang ilmu sosial melalui kacamata komunikasi dinilai sebagai sebuah
hal yang tidak biasa. Nampak dalam berbagai tulisan maupun pernyataannya,
Astrid seringkali menyoroti hal-hal mengenai pembangunan, komunikasi massa di
Indonesia, emansipasi wanita, perencanaan komunikasi dan kebijakan
komunikasi, adopsi terhadap komunikasi dan ilmu, serta pemikiran-pemikirannya
yang membawa tradisi Eropa terutama tradisi dalam ilmu sosial Jerman.
Berdasarkan berbagai informasi terkait pengalaman hidup Astrid S.
Susanto, maka berikut adalah daftar kejadian-kejadian penting yang terekam di
masa hidupnya:
76
No. Waktu & Lokasi Peristiwa Deskripsi
1. Makassar, 4 Januari
1936
Kelahiran dari Maria Antonia Astrid Sunarti
Susanto-Sunario
Putri dari Mr. Soenario Sastrowardjojo dan Dina Pantouw, ia lahir ketika Sang Ayah sedang melaksanakan tugasnya sebagai
Menteri Luar Negeri di era kepemimpinan Presiden Soekarno
2. Yogyakarta, 1947 Lulus SD Ungaran
3. Jakarta, 1952 Lulus SMPK Santa Ursula
4. Bandung, 1955
Turut serta dalam Konferensi Asia Afrika
(KAA)
Memprakarsai salah satu ritual “The Bandung Walk” dalam KAA yang
diusulkan kepada Sang Ayah, dan hal tersebut turut menjadi bagian penting dalam
kegiatan KAA hingga saat ini.
5. Jakarta, 1956 Lulus SMAK Santa Ursula
6. Jerman Barat,
1956 – 1960
Menempuh pendidikan S1 di Perguruan Tinggi,
Westfaelische Fakultact Universitaet Muenster.
− Studi Publisistik, Scjarah Eropa dan Politik pada Philosophische Facultact − Hukum Publik pada Juristische
Fakultact.
7. Berlin Barat, 1960 – 1964
Melanjutkan pendidikan S2 di Perguruan Tinggi, di
Freie Universitaet.
− Studi Publisistik, Sejarah Eropa dan Amerika Serikat di Philosophisch
Fakultaet. − Studi Sosiologi Politik dan Hukum Publik pada Otto Suhr Institut Deutche Hochschule Fuer Politik Berlin Barat.
8.
Berlin Barat, 21
Desember 1964
Mencapai gelar “Doctor in der Philosophie” dengan
predikat Cumlaude
Disertasinya berjudul: Die Politischen Kraefte Hinter der
Enststehung des britischen Pressertaes (Kekuatan-kekuatan Politik yang
mendirikan Dewan Pers di Inggris)
9. Indonesia,
24 Agustus, 1964
Kembali ke Tanah Air Indonesia dan menikah
dengan Dipl. Ing. Bambang Susanto
Memiliki 3 orang putra/i yaitu: 1. Airlangga Hadigama (1966) 2. Adiwijaya Astrianto (1967) 3. Kencana Wardani (1974)
10. Bandung, 1 Juli 1968
Memulai karier sebagai staf pengajar di UNPAD
Bandung
Asisten Ahli Muda (golongan IIIa) pada Fakultas Publisistik UNPAD Bandung.
11. Bandung, 1 Oktober
1969
Penata Muda Tingkat I / Asisten Ahli Madya (golongan IIIb) pada Fakultas
Publisistik UNPAD Bandung.
12. Bandung, 1 April 1970 Penata / Lektor Muda (golongan IIIc) pada
Fakultas Publsistik UNPAD Bandung.
13. Bandung,
1 Desember 1970 – 1975
Dekan Fakultas Publisistik UNPAD Bandung
14. Bandung, 1971 – 1990
Dosen Non-Reguler SESKOAD Bandung
Mengajar pada mata pelajaran: − Sosiologi Politik − Sosial Change
77
15. 1971 – 1974 Dosen SESKOPOL, SESKAU, SECAPA,
LEMDISKOGAB
16. Jakarta,
19 Oktober 1974
Tenaga ahli/perbantuan pada Biro Penerangan,
Kebudayaan dan Ilmu Pengetahuan BAPPENAS
17. Jakarta,
17 Oktober 1975
Kepala Biro Penerangan, Kebudayaan, dan Ilmu
Pengetahuan BAPPENAS
18. 1 April 1976
– akhir hayatnya
Dosen di Fakultas Ilmu Sosial UI.
Perpindahan dari UNPAD Bandung, dan mengajar di mata kuliah:
− Perencanaan Komunikasi di Jurusan Komunikasi Massa
− Sosiologi Pembangunan di Jurusan Sosiologi
19 Sejak 1977
Anggota Dewan Juri pada Lomba Penelitian Ilmiah
Remaja (LPIR) DEPDIKBUD bidang
Sosial/Sosiologi
Dilaksanakan oleh DEPDIKBUD (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan)
20. 25 Mei 1980
Mendapat Piagam Penghargaan Dwi Warna Purna, Cendikia Wusana
dari SESKOAD
21. 2 Juli 1983 – 1990
Kepala Biro Komunikasi Sosial dan Ilmu Pengetahuan
BAPPENAS
22. 10
Desember 1985 – 1990
Asisten Menteri Negara Perencanaan Pembangunan
Nasional Bidang Ilmu Pengetahuan dan Penelitian
Pada 7 April 1988 dilakukan pengangkatan kembali.
23. 14
September 1987 – 1992
Anggota MPR/DPR utusan golongan-golongan
24. 27 Oktober 1987
Anggota Panitia AD HOQ I (GBHN) 1988
Anggota Tim Penyiapan Akhir Bahan-bahan GBHN untuk Sidang Umum MPR
tahun 1988 (Tim 9)
25. Jakarta,
1 Oktober 1989
Diangkat sebagai Guru Besar Madya bidang
Komunikasi dan Sosiologi pada Fakultas Ilmu Sosial,
Universitas Indonesia.
− Turut menjadi tenaga pengajar tidak tetap pada Fakultas Pascasarjana Lingkungan
Hidup UI − Pembimbing mahasiswa S2 sejak tahun
1987 − Pembimbing S3 Fakultas Pascasarjana
Universitas Hasanudin sejak tahun 1982
26. 1987 – 1992 Anggota Dewan Pers
27. 1988 Anggota Delegasi untuk
Salah satu anggota delegasi yang dikirim ke Singapura.
78
Asian Pasific Centre for Transfer of Technology (APCTT) of The United
Nation Economic and Social Commission for Asia and The Pasific (UN-ESCAP)
28. 1988 – 1989
Ketua Governing Board dari
Asian Pasific Centre for Transfer of Technology (APCTT) of The United
Nation Economic and Social Commission for Asia and The Pasific (UN-ESCAP)
29. Sejak 1988
Penasehat dan anggota pengarah bidang sosial
budaya pada Proyek Pembangunan Masyarakat
Pedesaan Wamena
Turut bergabung sebagai tim peneliti pada LIPI.
30. 1988
Anggota Delegasi untuk Asian Pasific Centre for Transfer of Technology (APCTT) of The United
Nation Economic and Social Commission for Asia and The Pasific (UN-ESCAP)
Salah satu anggota delegasi yang dikirim ke Bangkok, Thailand.
31. 1990 Anggota steering committee
pada LOKNAS DRN
32. 1999 – 2002 Anggota DPR RI
Turut mendeklarasikan Partai Demokrasi Kasih Bangsa (PDKB) dan menjadi anggota
fraksi PDKB pada tahun 2002.
Kemudian, pindah ke Fraksi Kesatuan Bangsa Kebangsaan Indonesia (F-KKI).
33. Jakarta, 13 April
2006 Wafat pada usia 70 tahun
Di RS Harapan Kita dan dimakamkan di Taman Makam Pahlaman Tanah Kusir,
Jakarta.
Tabel 2: Peristiwa Penting dalam Karier Astrid S. Susanto
79
4.2 Pandangan Astrid S. Susanto mengenai Pembangunan di Indonesia
Kegiatan pembangunan di Indonesia merupakan bentuk inheren dari
perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia, yang menjadi citra harapan di masa
depan. Dalam rentang tahun 1970-1990an jelas terlihat bagaimana Astrid S.
Susanto memiliki perhatian lebih terhadap pembangunan terutama di Indonesia.
Peneliti menyimpulkan dari berbagai literatur terkait pembangunan yang
ditulisnya, ia memberikan pandangannya terkait pembangunan kala itu, Astrid
menunjukkan beberapa hal yakni:
1. Adanya identitas bangsa Indonesia yang tidak kebarat-baratan, yakni
penyesuaian terhadap keluarga dan pendidikan serta keyakinan suatu
individu.
2. Kesejahteraan masyarakat melalui pemerataan informasi di tengah
masyarakat.
3. Komunikasi pedesaan sebagai salah satu upaya pembangunan secara
mikro hingga makro.
4. Emansipasi wanita dengan memperhatikan peran wanita yang sangat besar
dalam pembangunan Nasional.
Hal tersebut dipengaruhi oleh tugas-tugasnya di bidang ilmu pengetahuan dan
Penelitian pada Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas) yang
bergerak berdasarkan GBHN. Astrid seringkali menggunakan data penelitian baik
dari Bappenas, LIPI, Sensus penduduk, maupun dari para peneliti yang meneliti
kondisi Indonesia. Kemudian ia membuat berbagai gagasan pembangunan. Hal
inilah yang melatarbelakangi kemampuan Astrid dalam melakukan perencanaan-
80
perencanaan komunikasi berdasarkan data, seperti yang diungkapkan Eduard
Lukman (wawancara, 23 Desember, 2015):
“Kalau orang berada dalam posisi pembuat kebijakan, dia butuh figures, data, butuh angka, tidak bisa hanya sifatnya normatif harus begini harus begitu idealnya seperti itu dsb. Sebab kebijakan kan harus berbasis angka dan data ya. Dan beliau tentu menyadari hal itu, karena implikasi dari sebuah keputusan yang dia ambil, jika tidak berdasarkan data yang memadai tentunya akan celaka ya. Saya melihat Bu Astrid disitu. Dalam mengambil kebijakan beliau juga memerlukan figures, angka, data, dsb ya.”
Pandangan mendasar bagi Astrid dari pembangunan adalah kemandirian,
dan fungsi dari komunikasi ialah untuk mencapai kemandirian yang dinamis di
berbagai bidang mulai dari wilayah perbatasan hingga ke pusat
(PKMTL/1985/h.29). Tujuan pembangunan (Susanto, 1984, h.5) secara jelas
yakni suatu kegiatan sosial yang mencakupi:
(1) perbaikan hidup dan tingkat pendapatan masyarakat
(2) mengadakan seleksi saran untuk mencapai apa yang dituju
(3) pengadaan atau terjadinya perubahan struktur sosial lama sebagai akibat
kemajuan yang telah dicapai (SP/1984).
Sedangkan, asas dalam Pembangunan Nasional adalah manfaat, usaha
bersama dan kekeluargaan, demokrasi, adil dan merata, perikehidupan dalam
keseimbangan, kesadaran hukum, dan kepercayaan pada diri sendiri.
(MPMKMM/1978/h.2).
Adapun penghambat dalam pembangunan menurut Astrid salah satunya
adalah feodalisme, sebuah paham yang ia hindari karena pada jaman itu seperti
yang dituturkan Hadigama karena kejiwaannya lebih Nasionalis bukan feodalis
(Wawancara, 7 Januari 2016). Nilai feodal yang sebenarnya dapat menghambat
81
hasil-hasil pembangunan dalam pemerataan geografis karena terciptanya nilai-
nilai sosial budaya yang terbatas dalam suatu lingkungan tertututp dikarenakan
sifat kedaerahannya (MPMKMM/1978/h.5). Sikap feodal yang menunjukkan
kekayaan materi dan dapat menciptakan kesenjangan sosial ini pun berdasarkan
kesepahamannya terhadap pemikiran Harold D. Laswell dalam Power and
Personality, bagaimana watak-watak tertentu seperti itulah yang merujuk pada
rasa kurang percaya diri, biasanya diimbangi dengan sikap ingin berkuasa
dsb. Feodalisme sendiri merupakan hal yang seharusnya dihindari untuk
menghilangkan kesenjangan sosial (meski status sosial tidak dapat dihindari) dan
turut meluluskan tujuan dari pembangunan nasional.
Korelasi paham kebangsaan dengan pembangunan merupakan landasan
dasar yang harus dipahami tiap-tiap warga negara dalam menjalaninya di masa
depan. Pada pertemuan MPR/DPR mengenai rancangan GBHN (1998), Astrid
menggagas mengenai Indonesia dalam Tahap Transformasi Memasuki Abad ke
21, adanya perkembangan setelah PD II kemudian muncul sebuh falsafah baru
yakni pragmatisme yang digagas oleh dominasi tokoh dari Amerika Serikat
seperti Whithead, Dewey, James & Pierce. Menurutnya, pragmatisme yang
berkembang di Indonesia banyak "berkiblat" dari AS yakni hanya berdasarkan
kajian dan penilaian dalam hal sos-bud-han-kam, orang akan mendekat pada
kebenaran. Tingginya pertumbuhan sikap pragmatis dan perekonomian dilihat
dari segi materi pun memberikan dampak akan kekhawatiran Astrid terhadap
hilangnya jati diri Indonesia dalam berbangsa dan bernegara. Hal tersebut dinilai
oleh Astrid sebagai pengingat di abad 21 ini mengenai jati diri bangsa agar tidak
82
kehilangan arah, di tengah pendapat-pendapat maupun pembangunan
internasional. Menurutnya, pendapat dari para perintis dan pemikir kemerdekaan
di masa itu (para founding fathers) perlu didokumentasikan yang nantinya jika
dokumen tersebut sudah tidak relevan lagi kemudian dapat dibangun sebuah
konsep baru lainnya. Namun, Astrid menunjukkan ketidakyakinannya jikalau kita
harus membuat pedoman kebangsaan dan jati diri bangsa yang baru
(ITTM21/1998/h.10).
Terkait pembahasan jati diri bangsa, Astrid berharap akan obyektifitas
para pemimpin negera ini dalam mengemukakan jati diri "dimana kita berdiri" di
tengah tingginya arus pendapat-pendapat maupun pembangunan dari
internasional. Hal ini mengisyaratkan ketidaksepakatan atau kritik Astrid terhadap
konsep pembangunan “modernisasi” yang mana hal tersebut juga disadari oleh
para pemikir dari Amerika Latin yang merupakan negara-negara berkembang
yang akhirnya mereka memunculkan teori pembangunan “dependensi” dan
“keterbelakangan” sebagai antithesis dari teori modernisasi.
Dalam seminar ISKI (1985) Astrid menyatakan bahwa sejatinya
keluargalah yang memiliki peran sentral dalam membantu proses pembangunan,
proses industrialisasi dan pembangunan dipengaruhi oleh dua peran terutama
keluarga dan negara, Bagaimana tugas keluarga dalam menjaga keseimbangan
mental yang digabungkan dengan pendidikan agama. Menurut Astrid disinilah
maksud "usaha lepas landas” dalam arti sosial, dimana mematangkan masyarakat
melalui kemandirian dan fleksibilitas untuk siap menghadapi berbagai situasi.
83
Sekiranya dalam menyiapkan lepas landas, Indonesia harus memperhatikan sektor
pendukung pengembangan industri (PKMTL/1986/h.3).
Selama proses pembangunan, bentuk persaingan di tengah tingginya
ekonomi global yang turut dipengaruhi oleh moral maupun hukum masyarakat
untuk mencapai kesejahteraan secara merata terus berlangsung hingga saat ini.
Melalui pembangunan terutama dalam hal ekonomi terkait dunia global.
Munculnya persaingan menurut Astrid memicu terperangkapnya Indonesia dalam
2 pilihan yakni: meningkatkan sikap bersaing demi kepentingan pribadi ataupun
kelompok, atau memilih pembangunan yang lebih lamban di abad 21 sehingga
nantinya dapat berperan menjadi bangsa Indonesia yang besar dan maju dibidang
ekonomi politik (AMHDSM3S/1996/h.13).
Sebagai upaya peningkatan usaha pembangunan, Astrid yakin bahwa
dengan memahami keinginan dasar dari targetnya yang disesuaikan dengan
kebudayaan lokal setempat, salah satunya melalui kerjasama dengan pemuka
pendapat daerah setempat. Namun, yang terpenting dalam memandang
“pembangunan” adalah ketika seseorang menilai peningkatan pemerataan sangat
dipengaruhi oleh nilai yang dianut si penilai yang belum tentu sama seperti yang
masyarakat ingin tingkatkan pendapatan dan taraf hidupnya (SP/1984/h.34). Hal
tersebut tidak terlepas dari kebiasaan tradisional masyarakat Indonesia yang
sebagian besar masih meyakini peran sentral seorang pemuka adat lokal.
Astrid meyakini bahwa dalam proses pembangunan masih banyak nilai-
nilai tradisional yang luhur yang dapat bertahan, hanya penerapan nilai-nilai
tersebut berubah dengan perubahan situasi dan kondisi, lingkungan serta zaman
84
(KPDKP/1989). Tidak dapat dipungkiri bahwa pandangan tradisional tersebut
masih melekat kuat di tengah masyarakat Indonesia, yang menjadi penting adalah
menjaga nilai-nilai tradisional di tengah program pembangunan. Pemahaman
tersebut menjadi dasar Astrid dalam melancarkan berbagai program
pembangunan, baik dalam aspek sosial, ekonomi, maupun budaya.
4.2.1 Komunikasi Pembangunan
Kajian komunikasi pembangunan merupakan kajian yang banyak
diaplikasikan terutama di negara-negara berkembang pasca Perang Dunia ke-II,
dan hal tersebut terjadi di masa Astrid menjabat sebagai salah satu anggota
Bappenas di era Orde Baru. Kajian komunikasi pembangunan yang diaplikasikan
pada kala itu berkiblat pada perspektif modernisasi. Menurut Melkote (dalam
Gudykunst & Mody, 2002) yang berfokus pada adanya peningkatan ekonomi
melalui pengenalan teknologi modern yang penting bagi pembangunan.
Merujuk pada konsep pembangunan yang tersohor dan berlangsung dalam
waktu yang cukup lama, program pembangunan Indonesia tersebut di era Orde
Baru kala itu dikonsepsikan ke dalam satuan program Repelita (Rencana
Pembangunan Lima Tahun) yang dimulai sejak tahun 1969 hingga 1994 yang
dilakukan selama 5 tahap, yang berfokus pada peningkatan perekonomian.
Berdasarkan rekam jejak kejadian penting kehidupan Astrid, ia merupakan salah
satu anggota yang turut menyusun rancangan Repelita pada Tim Sembilan. Hal
tersebut pun didukung oleh tulisannya yang turut menyertakan GBHN yang
85
dikenal keterkaitannya dengan Repelita kala itu, ke dalam catatan kerjanya hingga
buku karangannya. Salah satunya yaitu:
“Suatu hal yang mencolok dalam kesadaran tentang peranan pers dalam masyarakat, dapat kita peroleh apabila kita membandingkan GBHN-73 dengan GBHN-78” (Susanto, 1978, h.1).
Tak hanya sekedar membandingkan secara singkat, namun ia turut menjabarkan bab-bab
dalam GBHN dengan topik terkait yang ia bahas salah satunya dalam Kemungkinan
Pengembangan Pers dalam Repelita III (1978) dan Perencanaan Komunikasi
menghadapi Tinggal Landas (1986). Berdasarkan hal tersebut, Astrid pun
menekankan tugas anggota MPR yang berkaitan pula dengan tugasnya kala itu:
“Mungkin karena periode satu GBHN hanya berumur 5 tahun, maka terlupakan bahwa pengaruh politik MPR yang sama berlangsung juga selama 5 tahun sehingga selama 5 tahun yang bersangkutan ia harus mengikuti, memantau dan mengawasi seberapa jauh norma Pancasila yang telah ia sepakati atas nama seluruh rakyat dilaksanakan seutuhnva atau tidak. Inilah kewenangan penuh dari MPR yang terkait untuk selama 5 tahun tersebut bersama dengan DPR juga melalakukan pemantauan dan pengawasan tersebut untuk mempermasalahkannya apabila memang dianggap bahwa norma-noma tercebut kurang diperhatikrn dalam kehidupan bermasyarakat dan dan bernegara selama 5 tahun tadi” (Susanto, 1996, h.8).
Astrid seringkali menekankan pemahaman akan Pancasila, UUD, dan GBHN
inilah yang tercermin dalam tulisan-tulisannya ia berkomunikasi dengan para
pembaca akan keikutsertaannya sebagai seorang politisi, disamping sebagai
seorang akademisi. Melalui hal inilah ia berinteraksi dengan khalayak luas,
sebagai salah satu usaha pembangunan.
Proses interaksi sosial di masyarakat menghasilkan sebuah komunikasi
dan pemaknaan lambang di masyarakat menuju proses modernisasi. Dalam
menjalankan tugasnya di Bappenas, Astrid memiliki tugas untuk melakukan
modernisasi terhadap masyarakat secara merata demi terlaksananya pembangunan
86
Nasional. Modernisasi dalam hal ini bukanlah suatu hal yang merujuk pada hal
negatif, meskipun dalam perjalanannya akan ada dampak pada sebuah perubahan
salah satunya dalam tatanan masyarakat tradisional menuju kontemporer. Seperti
yang diungkapkan Astrid, mengenai pandangannya terkait komunikasi dan
pembangunan bahwa:
komunikasi dianggap sebagai salah satu akibat dari adanya pembangunan yang
merupakan bagian dari perubahan (Susanto, 1995, h.168). Indonesia pada masa
dimana Astrid berkecimpung di dunia pemerintahan merupakan salah satu negara
berkembang, hal tersebut disampaikan olehnya mengenai keterkaitan komunikasi
– lambang – pembangunan. Di negara berkembang, lambang masih dianggap
sebagai suatau hal primer yang mana pemaknaannya akan lebih jauh dari sekedar
kata. Ilmu komunikasi tidak hanya sekadar melihat efek dari suatu obyek
komunikasi seperti dahulu, namun juga melihat bagaimana impact pada ide atau
lambang yang diberikan pada masyarakat (PU/1985/h.146).
Dalam “Seminar Pembangunan Nasional Jangka Panjang Kedua: Masalah
dan Kebijakan dalam Perspektif Pancasila” (1992) disampaikan pandangan Astrid
mengenai pembangunan sebagai sistem komunikasi Pancasila yang disesuaikan
dengan ideologi negeri ini. Sebagai dasar pemahaman, manusia tentunya akan
memiliki rancangan pandangan yang akan dinilai orang lain terhadapnya sebagai
bentuk refleksi. Dalam bahasa ilmu komunikasi dikatakan bahwa lambang-
lambang dan citra-citra pribadi seseorang demi solidaritas sosial yang tinggi di
kemudian hari (pada masa dewasa) tidak boleh bertentangan dengan citra-citra
publik masyarakat luas/citra publik (Susanto, 1992, h. 87). Maka berdasarkan hal
87
tersebut, tiap-tiap individu akan memiliki citra pribadinya (termasuk tentang
Pancasila). Bagaimana seseorang memandang suatu lambang terhadap penentuan
sikap, Astrid menilai bahwa hal tersebut dipengaruhi oleh hasil interpretasi dan
verifikasinya. Pancasila sebagai sebuah ideologi memiliki sebuah sifat temporal,
yaitu pelaksanaan dan perwujudan Ketuhanan yang Maha Esa, kemanusiaan yang
adil dan beradab.
Astrid merujuk pada tulisan Daniel Lerner & Wilbur Schramm dalam
“Communication and change: the last ten years - and the next” (1976) yang
mencoba membandingkan bagaimana komunikasi di tahun 64 dan 75, dan
hasilnya adalah pembangunan terbukti lebih sulit dan diperlukan strategi yang
lebih kompleks daripada yang telah diantisipasi 10 tahun sebelumnya. Astrid
menanggapi tulisan Schramm dan Lerner tersebut, bahwa di negara berkembang,
tidak semua media massa dapat dijadikan sebagai media pembangunan, namun
dapat dioptimalisasikan dengan menggunakan pendekatan komunikasi
interpersonal terhadap individu-individu yang masih berada dibawah garis
kesejahteraan.
Untuk meningkatkan usaha pembangunan salah satunya ialah dengan
memahami keinginan dasar dari targetnya yang disesuaikan dengan kebudayaan
lokal setempat, salah satunya melalui kerjasama dengan pemuka pendapat daerah
setempat. Karena ajakan modernisasi masyarakat yang sedang berkembang seperti
masyarakat Indonesia sendiri, tidak mungkin apabila saran modernisasi menjauhi
tradisi (PU/1985/h.95). Ketika menjalankan komunikasi dalam pembangunan
Astrid mengharapkan akan kemampuan komunikatornya yang tinggi, dimana
88
mereka harus mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan sosialnya dan mampu
mempersuasif komunikannya. Ketika melakukan persuasi, aspek sosial dan
psikologis komunikannya pun perlu diperhatikan. Seperti yang diungkapkan
Triputra (wawancara, 29 Januari, 2016) akan perhatian Astrid di bidang
komunikasi pembangunan:
“Jadi kalau komunikasi pembangunan itu lebih banyak terkait pada apa yang dikuasai oleh Bu Astrid yaitu ke publisistik. Jadi bagaimana kita mengkomunikasikan hal-hal yang terkait dengan pembangunan. Jadi apa yang harus dilakukan untuk sama-sama masyarakat semua melakukan pembangunan. Itu kan hmm apa komunikasi attitude dan praktek kan. Itu kan selalu campaign-nya seperti itu, selalu seperti itu kan sama dengan prinsip-prinsip publisistik. Jadi bagaimana menyampaikan pesan agar pesan itu dapat dipahami gitu kan, bagaimana kita merancang pesan agar dapat memotivasi masyarakat untuk oh ayo kita bangun hmm kita tunjukkan mental. Paling tidak seperti itu ya yang bisa menunjang pembangunan itu. Pengetahuan, attitude, praktiknya itu harus diketahui dan dalam komunikasi itu kan KAP ya. “
Pentingnya perhatian terhadap aspek tersebut dikarenakan, pendekatan personal
terhadap suatu jenis kelompok melalui norma dan nilai yang ada akan sangat
berpengaruh jika dilakukan dalam situasi nyata untuk mendapatkan kepercayaan
kelompok (FK/1995/h.87). Perhatian Astrid terhadap manusia pada manusia yang
turut berpengaruh dalam pembangunan, salah satunya mengenai moral di tengah
masyarakat Indonesia. Bagaimana bentuk persaingan di tengah tingginya ekonomi
global yang turut dipengaruhi oleh moral maupun hukum masyarakat untuk
mencapai kesejahteraan. Dalam mencapai kesejahteraan itulah diperlukan adanya
upaya untuk memajukan masyarakat Indonesia salah satunya melalui perencanaan
dan kebijakan komunikasi yang tepat.
89
Hal yang mendasar dari pembangunan adalah kemandirian, yang
dimaksud Astrid adalah bahwa fungsi komunikasi ialah untuk mencapai
kemandirian yang dinamis di berbagai bidang mulai dari wilayah perbatasan
hingga ke pusat (PKMLL/1986/h.57). Astrid mengadopsi pemikiran Wimal
Dissanayake mengenai Pembangunan dan Komunikasi. Perencanaan demi
perubahan yang dilakukan seyogyanya melalui beberapa pendekatan, yang ia
adopsi dari tulisan Dissanayake kemudian ia mengelompokkan ke-4 pendekatan
dari 5 pendekatan yang ada berdasarkan persamaan dan perbedaannya sebagai
berikut:
Tabel 3: Pendekatan Komunikasi Pembangunan
Pendekatan makro dilakukan dengan memberikan perhatian khusus
terhadap informasi dan peran pembangunan ekonomi. Astrid menganalisa
90
pendekatan ini melalui rujukan Marc Uri Porat dalam The Information Economy.
Menurutnya penelitian komunikasi terlalu membatasi diri pada 3 unsur
komunikasi saja yaitu komunikator, saluran/pesan dan komunikan sehingga
ketidaksepahaman dalam sistem logika dan sistem pemikiran komunikasi yang
mutlak bagi proses komunikasi.
Adapun kaitannya selama ia bekerja di Bappenas dan pernah menjadi
anggota MPR/DPR dimasa hidupnya dengan kajian-kajian komunikasi
pembangunan yang dilakukannya, Seperti yang dirangkumnya dalam tabel 1
bahwa Astrid cenderung menunjukkan perhatiannya terhadap upaya pemerataan
kesejahteraan masyarakat dalam pertumbuhan ekonomi, sosial, struktur
transformasi masyarakat, dan pembangunan diri melalui perencanaan komunikasi
baik secara mikro hingga makro dengan media massa maupun komunikasi
interpersonal.
Adapun salah satu program komunikasi pembangunan yang ditujukan bagi
pemerataan penyebaran informasi dalam mengkomunikasi pesan pembangunan di
tahun 1970an, salah satunya yakni Proyek Satelit Palapa. Dalam proyek tersebut,
Astrid turut tergabung di dalam tim perencanaannya dari golongan akademisi.
Awal kehadiran Satelit Palapa diadvokasi oleh Iskandar Alisjahbana (ITB) diluar
akademisi komunikasi tetapi memahami pentingnya teknologi komunikasi kala
itu, program tersebut kemudian menjadi bentuk kerjasama sentral antara Bappenas
dengan Departemen Penerangan bersama para praktisi dan akademisi, peran
akademisi menjadi penting untuk mendukung para praktisi dalam hal ini yang
turut bergabung yaitu Alfian (Politik UI), Rusdi Mochtar (Politik UI), Mochtar
91
Pabottingi (Antropologi UI), Alwi Dahlan (Komunikasi UI) dan Astrid S. Susanto
(Komunikasi UI & Bappenas) yang mana perannya saat itu menjadi penting dari
Bappenas untuk menyetujui Blue Book1 yang harus Astrid ajukan atau setujui
usulan proposal satelit saat itu (Adhikarya, Wawancara, 8 April, 2016).
Meski ia menjadi bagian penting dalam proyek tersebut, muncul
kekhawatiran Astrid bahwa kehadiran perkembangan teknologi tentunya memiliki
dampak terhadap ilmu komunikasi. Adanya satelit yang semakin memudahkan
sistem komunikasi yang dapat dilakukan lintas negara maupun wilayah yang
secara tidak langsung, pengaruh negara lain terhadap suatu negara pun akan
semakin besar, dan hal ini menjadi salah satu kekhawatiran negara berkembang
(Susanto, 1985, h.98). Meskipun kemudahan yang hadir contohnya melalui media
massa dapat semakin mudah melakukan kontrol sosial, melalui konten informasi
yang bermanfaat bagi khalayak tentunya. Efektivitas komunikasi kembali lagi
pada manusianya sendiri, seberapa jauh mau atau tidak ditentukan hidupnya oleh
komunikasi melalui media massa (PU/1985/h.98).
4.2.2 Upaya Memajukan Masyarakat Indonesia
Dalam upaya memajukan masyarakat Indonesia, satu hal mendasar yang
perlu diperhatikan adalah moral bangsa itu sendiri. Dan posisi moral sendiri
sangat dipengaruhi oleh perubahan situasi ekonomi, sosial, budaya, dan hukum
1 Blue Book merupakan Dokumen Perencanaan Pinjaman dan Hibah Luar Negeri (DPPHLN) dibawah tanggung jawab Bappenas. Setiap penerimaan Negara baik dalam bentuk devisa dan atau devisa yang dirupiahkan maupun dalam bentuk barang dan atau dalam bentuk jasa yang diperoleh dari pemberi pinjaman luar negeri yang harus dibayar kembali dengan persyaratan tertentu, sedangkan hibah luar negeri tidak perlu dibayar kembali.
92
yang ada di lingkungan. Namun, faktor ideologi dan kepercayaan individunyalah
yang dapat menentukan pula apakah nilai pada moral berubah, tetap atau
menyesuaikan.
Keahliannya untuk mengkaji suatu permasalahan dari berbagai perspektif
ilmu diterapkan pada bagaimana Astrid melihat aspek moral, yakni melalui kajian
antropologi dan sosiologi. Menurutnya, (1) moral berasal dari kebiasaan maupun
falsafah dari kebudayaan dan sosial terdahulu, (2) moral dapat berubah seiring
perubahan situasi ekonomi-sosial-hukum, (3) moral selalu diikuti oleh lembaga-
lembaga sos-bud yang menunjangnya, sehingga pergeseran moral belum tentu
terjadi mengikuti perubahan situasi eko-sos-hum yang baru, (4) perubahan situasi
obyektif sosial-ekonomi-politik menuju perubahan yang bertujuan pun
memerlukan suatu moral yang mendukung, sehingga kemudian output perubahan
sesuai dengan sistem dari lembaga perubahan yang digunakan sebagai medianya.
Pandangan mengenai moral berakar dari ideogi dan budaya yang
melatarbelakangi tiap-tiap individu yang mengacu pada pandangan Mac Iver
sebagai seorang sosiolog.
Menurutnya, moral tak lepas dari unsur hukum yang mana moral terbentuk
sebagai bentuk kebiasaan yang berlangsung lama. Ketika manusia dijatuhkan
oleh beberapa pilihan maka munculah unsur moral dalam dirinya. Bagi Astrid,
dalam menemukan susunan "pegangan" moral masyarakat Indonesia tidaklah
sulit. Hal tersebut sudah tertuang dalam TAP MPR no.II/MPR/1978, dan
menurutnya pedoman tersebut tidak terlalu banyak digunakan sehingga terlupakan
93
begitu saja esensi dari Eka Prasetya Pancakarsa (sebutan untuk Pedoman
Penghayatan dan Pengamalan Pancasila).
Terkait hubungan antara moral dan hukum, ia menyinggung mengenai
persamaan hak yang sepantasnya dimiliki oleh seluruh rakyat Indonesia. Ia
menekankan bahwa luasnya wilayah RI memerlukan pemanfaatan terhadap
daerah-daerah adat yang ada. Dalam hal ini, Astrid mengambil contoh dari
penerapan hukum adat yang masih banyak diterapkan di beberapa wilayah di
Indonesia, seperti di Timor-timor. Ia menuntut akan adanya kesamaan hak bagi
seluruh rakyat Indonesia. Astrid menegaskan bahwa pelaksanaan hukum di
Indonesia perlu adanya kerjasama antara pemerintah daerah dan pusat dalam
menjaga stabilitas sosial masyarakat (AMHDSMS/1996/h.8).
Pemikiran utama untuk meningkatkan taraf kehidupan yang berada di
bawah garis kemiskinan adalah melalui pendidikan. Astrid meyakini bahwa
melalui pendidikan lah sikap tertentu dapat berubah dengan melihat pandangan
jangka panjang, tak hanya melihat dalam jangka pendek yang umumnya menjadi
ciri khas pemikiran tradisional (SP/1984/h.108). Perhatiannya terhadap
pemerataan dan pendidikan dalam pemberantasan kemiskinan sebagai salah satu
tujuan pembangunan pun terlihat dari bagaimana Astrid memulai aspek
pembangunan dari pedesaan. Mengadakan penelitian terhadap keberhasilan dalam
penanggulangan kemiskinan di daerah pedesaan memerlukan data tingkat nasional
maupun tingkat pedesaan (Susanto, 1984, h.111). Berdasarkan data yang ada
maka dapat terlihat apakah kinerja pemerintah dalam melakukan pembangunan
94
terutama dalam hal pemerataan kesejahteraan telah berjalan sesuai harapan atau
tidak.
Dalam melakukan upaya memajukan masyarakat, Astrid menaruh
perhatian lebih terhadap masyarakat Indonesia Timur yang seringkali luput dari
usaha pembangunan yang terpusat di wilayah-wilayah sentral. Hal tersebut
dibenarkan pula oleh Shergi (Wawancara, 21 Januari, 2016):
“Jadi beliau intens membahas isu Papua itu. Itu yang juga memberikan ingatan kepada saya pada saat ini tahun 2012 mendirikan kajian di FISIP yang bernama Papua Center. Ada kaitannya secara langsung atas orientasi beliau melihat secara langsung yang jauh jadi mungkin jika kita membicarakan masalah gap atau jarak pasti ada jarak budaya kan. Budaya dari masyarakat Indonesia di bagian barat dan timur kan berbeda.”
Indonesia terdiri dari beragam kelompok masyarakat, salah satunya yakni
masyarakat pedesaan yang mana menjadi bagian dari pembangunan skala mikro
namun juga berdampak pada skala makro. Hingga akan tiba di satu titik ketika
masyarakat siap lepas landas, menurut Astrid disinilah maksud "usaha lepas
landas” dalam arti sosial, dimana mematangkan masyarakat melalui kemandirian
dan fleksibilitas untuk siap menghadapi berbagai situasi (PKMLL/1986/h.59).
4.3 Komunikasi Massa
Pada dasarnya Astrid “lahir” dari ilmu publisistik, sehingga sangat
menekankan kekuatan seorang publisis dalam menjembatani, mempengaruhi, dan
peka (selaku komunikator) terhadap isu yang ada di sekitarnya. Menurutnya,
dalam konteks seperti ini seorang publisis harus mampu melihat mana hal yang
sesungguhnya terjadi dan mana yang fatamorgana semata. Awal dari kemunculan
95
ilmu komunikasi / publisistik yakni melalui kemunculan media massa yang
memberikan pengaruh pada kehidupan sosial, melalui interpretasi lambang-
lambang yang “dikonsumsi” terus-menerus dan kemudian membentuk suatu
budaya (FK/1995).
Dalam tulisannya pada tahun 1976, Astrid sempat menyinggung mengenai
situasi di abad 20, ketika masyarakat saat itu sangat mencerminkan
ketergantungan akan ekonomi dan “economic insecurity” terhadap golongan-
golongan yang terbatas jumlahnya. Melalui penggabungan antara pendidikan
dengan publisistik maka diharapkan kegiatan publisistik ini mampu menyadarkan
manusia akan luasnya jangkauan (lingkup sosial), dilihat kembali mengenai apa
yang diberi sebagai publisistik yakni semua hal-hal yang berkaitan dengan
pendapat, dilihat dari keadaan pra-pernyataan hingga akibat dari penyebaran suatu
pendapat. Seseorang yang bekerja dalam ranah publisistik ialah seorang publisis,
publisis dan jurnalis tentu berbeda, ranah yang lebih luas yang mana seorang
publisis harus berpengetahuan luas dan mampu menggerakan orang-orang untuk
bertindak maupun menerima sesuai dengan tujuannya (persuasif) (FK/1995).
Salah satu contohnya yakni Walter Lipmann, Rosihan Anwar dan Mochtar Lubis.
Astrid berpendapat bahwa ilmu publisistik ini berusaha agar orang-orang ‘dibalik
layar’ penyebaran menggunakan pengetahuannya untuk kemajuan manuasia
bukan untuk kemunduran zaman.
Astrid menyakini akan pentingnya pendidikan ilmu komunikasi/publisistik
karena dalam ranah pendidikan ada tanggung jawab tersendiri dari media massa.
Dengan capaian yang luas dan pengaruh besar yang mampu menyadarkan
96
masyarakat akan pentingnya nilai-nilai, media massa diharapkan mampu
menghimpun informasi-informasi dari berbagai lapisan masyarakat yang
kemudian disampaikan kepada khalayak luas sebagai bentuk hak demokrasi
(memberikan dan mendapatkan informasi).
Dengan adanya pembinaan dan pengembangan media massa, maka
diharapkan informasi dengan unsur edukatif mampu disampaikan terus menerus
sebagai penunjang antar generasi yang taat akan Pancasila. Terakit fungsi edukatif
pers, dalam sebuah artikel dalam Panji Masyarakat (1982) yang berjudul “Fungsi
Edukatifnya Hilang”, Astrid menyampaikan pandangannya bahwa idealnya pers
memiliki empat fungsi yaitu: (1) memberikan informasi, (2) memberikan
penyuluhan, (3) rekreasi, dan (4) mendidik (edukatif). Namun, pada tahun 80-an
saat artikel tersebut ditulis kondisi media di Indonesia pada kala itu cenderung
kehilangan fungsi edukatifnya. Masih dalam artikel yang sama, Astrid
memberikan kritikan terhadap isi pers sebagai cerminan kualitas redaksinya. Ia
tidak sepakat jika dikatakan bahwa isi surat kabar yang sensasional merupakan
cerminan masyarakatnya, tetapi surat kabar tersebut merupakan cerminan
redaksinya yang memanfaatkan kondisi masyarakat semata-mata untuk
kepentingan komersial.
Kekecewaan serupa pun terulang pada tahun 2002 dalam sebuah
pertemuan antara Komisi I DPR/RI dengan Dewan Pers, Astrid menyampaikan
kejengahannya terhadap pers kala itu (dalam Andrie, 2002):
“Etika pers sekarang sudah menipis, banyak undang-undang yang dilanggar pers, masyarakat saja yang malas untuk nuntut…..karena pers berada di ruang publik berarti pers harus bertanggung jawab pada publik……kalau dulu tanggung jawab yang besar tak diikuti
97
dengan kebebasan yang besar, sekarang kebebasannya besar tapi tanggungjawabnya tak dipenuhi”
Terlihat bahwa kekecewaan Astrid mengenai etika pers yang menurutnya semakin
rendahnya nilai edukasi dalam penyampaian informasi, yang mana hal tersebut
merupakan salah satu pelanggaran kode etik pers. Perlu diperhatikan bahwa
menurut media massa mampu membawa perubahan, de-sosialisasi maupun
sosialisasi sebagai tanggung jawab pers terhadap pengendalian masyarakat.
Sosialisasi dilakukan oleh media, apabila media menganjurkan norma-norma dan
nilai-nilai yang sudah berlaku dalam masyarakat dan dengan demikian
mengukuhkan kelembagaan (ekonomi, sosial, politik) yang ada
(KPKP/1989/h.53)
Salah satu tanggung jawab media massa dalam aspek kebudayaan salah
satunya adalah inventarisasi budaya yang dapat dikelola dan disebarluaskan untuk
aspek komunikasi sosial budaya. Dalam sebuah pidato pada kegiatan kerjasama
antara Departemen Penerangan dengan Departemen Kebudayaan, Astrid (1981)
mengungkapkan penting akan adanya pemerataan dan pendaerahan mengenai
kehadiran media massa elektronik di tengah rakyat Indonesia, yang mana ketika
itu televisi, radio, dan film berada dibawah pengawasan Departemen Penerangan.
TVRI dan RRI saat itu merupakan satu-satunya tv dan radio nasional. Beliau
menyoroti bagaimana sebuah televisi nasional harus mengedukasi masyarakat
melalui tayangan-tayangan yang disesuaikan dengan unsur budaya dan tidak luput
untuk menyisipkan nilai-nilai sejarah serta pendidikan di dalamnya. Media massa
di Indonesia memiliki tugas besar yakni untuk menjaga keanekaragaman budaya
daerah di Indonesia yang heterogen (PBDK/1982/h.83).
98
Namun, kehadiran perkembangan teknologi juga berdampak terhadap ilmu
komunikasi. Adanya satelit yang semakin memudahkan sistem komunikasi yang
dapat dilakukan lintas negara maupun wilayah. Secara tidak langsung, pengaruh
negara lain terhadap suatu negara pun akan semakin besar. Dan hal tersebut
menurut Astrid menjadi salah satu kekhawatiran negara berkembang. Meskipun
kemudahan hadir dan salah satunya melalui media massa, yang mana dapat
semakin mudah melakukan kontrol sosial, melalui konten informasi yang
bermanfaat bagi khalayak tentunya. Bagi Astrid, efektivitas komunikasi kembali
lagi pada manusianya sendiri, seberapa jauh mau atau tidak ditentukan hidupnya
oleh komunikasi melalui media massa (PU/1985/h.183).
Muncul berbagai pemikirannya yang kritis di awal masa reformasi
dikarenakan telah terlepasnya ia dari perasaan terkungkung pada masa orde baru
kala itu. Menurutnya, media massa sebagai salah satu bagian dari agen perubahan
pun memiliki tanggung jawab besar dalam membawa masyarakat kearah yang
lebih baik. Hal tersebut dikarenakan media massa memiliki kemampuan "massive
impact" dalam menyuarakan informasi secara satu arah kepada khalayak luas.
Seorang jurnalis pun memiliki tugas besar dalam mengemas suatu berita, apakah
akan membawa perubahan kearah positif atau negatif nantinya. Menurut Astrid,
sebagai agen perubahan seorang komunikator media massa harus
memperhitungkan sikap dan selera berbagai publik atau dengan kata lain public
oriented. Mengadopsi pemikiran Schramm dalam tulisannya mengenai Mass
Media and National Development, proses demokrasi yang digulirkan oleh media
99
massa dalam mengumpulkan partisipasi masyarakat pun turut mengarahkan pada
social change (PU/1985).
Adapun pengaruh media massa bagi komunikasi internasional tidak lebih
besar daripada pengaruh komunikasi nasional (PU/1985). Hal tersebut didasari
oleh bahasa yang digunakan, dan isi pesan yang mudah dipahami. Umumnya
informasi yang disampaikan menggunakan bahasa internasional seperti bahasa
inggris dan hal tersebut dikuasai oleh jumlah masyarakat yang terbatas. Hal
tersebut berbeda, jika pesan yang disampaikan menggunakan bahasa daerah
sekitar atau bahasa nasional.
4.4 Perhatiannya terhadap Emansipasi Wanita
Dalam menjalankan tugasnya di Bappenas, Astrid kerap membuat tulisan
berdasarkan data terkait pembangunan yang dikaji melalui berbagai perspektif
ilmu sosial. Pada tahun 70-an mulai terlihat perhatian Astrid terhadap emansipasi
wanita melalui tulisannya. Menurut Astrid, kedudukan wanita tidak terlepas dari
kedudukan sosial yang diperoleh dari lingkungannya. Peran wanita sama hal-nya
seperti pria, hal tersebut dilatarbelakangi oleh perkembangan kedudukan wanita di
mata dunia (WDTP/1977/h.6). Terkait pembangunan, peranan wanita dalam
pembangunan pun tidak dapat dielakan. Hal tersebut tercantum dalam GBHN
1978 dan bahan rencana kerja UNICEF untuk Repelita III. Astrid melihat bahwa
peran wanita dalam pembangunan dan pembinaan bangsa adalah
(MPMKMM/1978/h.6):
100
• Wanita dan pria turut serta secara maksimal di berbagai bidang sehingga
adanya kesetaraan antara pria dan wanita.
• Peran wanita di dalam keluarga tidak terlepas dari memberi pendidikan
bagi calon generasi bangsa.
• Perlunya meningkatkan keterampilan dan pengetahuan sesuai di
bidangnya.
Astrid berusaha memahami emansitasi ataupun peran perempuan,
sekalipun ia menuntut kesetaraan antara pria dan perempuan, namun dirinya tidak
mengelakkan peran perempuan di dalam keluarga untuk mendidik anak sebagai
calon generasi bangsa Indonesia.
Adapun Indonesia terdiri dari beraneka ragam etnografi yang tentunya
mempengaruhi sulitnya melakukan penelitian mengenai wanita di Indonesia.
Meski begitu, Astrid yang kala itu memiliki akses kesana pun dapat melakukan
penelitian berdasarkan data-data seperti dari LEKNAS - LIPI dan dari BPS,
namun didukung oleh penelitian dengan pendekatan kualitatif milik Ann Stoler
yang mana bukan merupakan warga negara Indonesia. Diketahui bahwa jumlah
terbesar sub-kelompok wanita dari kelompok penduduk terbesar di Indonesia
adalah mereka yang hidup di pedesaan yang berkaitan dengan subyek wanita
dilihat dari geografis pulau Jawa (WDTP/1977/h.3).
Pada saat itu, tingkat urbanisasi penduduk pedesaan ke kota besar seperti
Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya masih < 50% hasil data dari Suharso
dalam Migration and Education in Jakarta. Berdasarkan kumpulan data yang
kemudian disimpulkan, jika situasi wanita pedesaan yang akan memburuk apabila
101
bermigrasi ke kota, hal tersebut dikarenakan kurangnya bekal pendidikan dan
keterampilannya (WDTP/1977/h.18). Berdasarkan kenyataan itulah Astrid merasa
perlunya mengkaji permasalahan seperti ini dilihat dari sisi ekonomi, sosial dan
ketenagakerjaan. Dalam hal sosial, pendidikan mental anak; situasi dimana 30%
lebih wanitanya terlibat untuk memenuhi kebutuhan minim keluarga, perlu adanya
pendidikan informal dari sebuah keluarga terutama peran seorang ibu
(WDTP/1977/h.37). Dari sisi ketenagakerjaan dan ekonomi, seperti yang
tercantum dalam Repelita III pun tertera mengenai pentingnya pemerataan bagi
penduduk Indonesia yang relatif besar ini, baik dalam hal pekerjaan maupun
keterampilan. (MPMKMM/1978/h.11)
Ia mengkritisi hasil data dengan pendekatan kuantitatif kondisi wanita di
pedesaan hingga di perkotaan, yang mana wanita saat itu partisipasinya bagi
bangsa masih dinilai rendah. Sedangkan, melalui penelitian kualitatif terlihat
bahwa wanita bahkan partisipasinya melebihi peran seorang laki-laki dalam
memenuhi kebutuhan minim keluarga. Berdasarkan hal tersebut, Astrid
menekankan bahwa penelitian kuantitatif hasilnya belum tentu selalu “pasti”
karena terdapat beberapa substansi kajian ilmu yang hanya dapat dilihat melalui
pendekatan kualitatif (WDTP/1977/h.2). Astrid meyakini bahwa wanita sebagai
penyeimbang berjalannya pembangunan, namun seringkali ditemui kesenjangan
status sosial yang dipengaruhi oleh faktor budaya maupun pendidikan. Maka dari
itu diperlukan adanya kerjasama antara individu itu sendiri dengan dirinya,
dengan organisasi wanita, dan negara dalam memfasilitasi melalui Menteri Muda
102
urusan Peranan Wanita demi mencapai pemerataan kualitas di Indonesia
(MPMKMM/1977/h.6).
Sejatinya, kesempatan untuk berpartisipasi dalam pembangunan baik
langsung maupun tidak bagi wanita indonesia pun masih cukup banyak. Salah
satunya dalam komunikasi pembangunan, wanita tentunya dapat ikut serta
menjadi bagian penting bagi masyarakat yakni melalui jurnalistik. Pers wanita
diartikan sebagai kegiatan pers untuk wanita; kegiatan wanita dalam bidang pers;
media mana yang ditujukan bagi masyarakat luas.
Astrid menyarankan akan bahasan yang seharusnya diperbincangkan
dalam majalah wanita salah satunya berisikan penjelasan dalam kehidupan sehari-
hari yang bersifat informatif Sehingga khalayaknya dapat menemukan
keseimbangan antara kehidupan keluarga dan lingkungan dengan memperhatikan
aspek pengetahuan dan pendidikan (FK/1995/h.83). Meski diawal kehadiran pers
wanita di awal abad 20-an terutama di Eropa topik pembahasannya penuh dengan
hal-hal ringan seperti ‘berita burung’ dsb yang dirasa kurang mengedukasi
pembacanya (FK/1995/h.83). Dalam tulisannya, Astrid merasa perlu meyediakan
pembinaan bagi anggota pers wanita sesuai dengan fungsi pers yakni membina.
Wanita sebagai makhluk Tuhan tentunya memiliki permasalahan yang rumit di
tengah kehidupan, tidak hanya sekedar informasi mode saja tetapi juga mengenai
bidang-bidang yang sukar dipahami kaum wanita. Kesetaraan perlakukan akan
hak wanita dan pria lah yang menjadi salah satu perhatian Astrid semasa hidupnya
yang turut mewarnai pemikirannya.
103
4.5 Perencanaan Komunikasi dan Kebijakan Komunikasi
(Communication Planning and Communication Policy)
Menurut Astrid perencanaan sosial perlu untuk diadakan dalam bidang
komunikasi terutama bagi negara berkembang dikarenakan (KK/1977/h.41):
1. Sarana komunikasi dan informasi merupakan suatu sumber yang masih
terdapat dalam jumlah yang terbatas, yang menyebabkan perlu
diadakannya perencanaan sehingga pemanfaatan sarana komunikasi ini
dapat tersebar seluas mungkin.
2. Untuk mengetahui bagaimana dan seberapa jauh hasil yang diperoleh dari
komunikasi serta input yang telah diadakan sebelumnya.
3. Perencanaan dalam bidang komunikasi merupakan suatu kegiatan yang
bersifat rasional dalam menentukan terlebih dahulu bagaimana kegiatan-
kegiatan sosial yang relevan dan bagaimana pola kegiatannya.
Dalam melakukan perencanaan dan kebijakan komunikan, kala itu Astrid
turut tergabung dalam anggota Tim Sembilan Rancangan GBHN (1988) dan
Dewan Riset Nasional Kelompok V (1977-1992). Kemampuannya dalam
melakukan riset dan perencanaan diantaranya dituangkan dalam beberapa
tulisannya. Pentingnya perencanaan dan kebijakan yang menjadi suatu substansi
kajian dalam ilmu komunikasi pun disampaikan olehnya bahwa (Astrid, 1978):
“Substansi dari penelitian ilmu komunikasi sejak dulu sudah dilakukan dalam hal praktis yakni penelitian masyarakat secara keseluruhan. Namun, teori-teori dalam ilmu komunikasi belum banyak yang hasil akhirnya sesuai, sehingga masih dapat diperbaharui mengenai teori tersebut. Hal tersebut dipengaruhi oleh faktor sosial budaya. Yang kemudian UNESCO mengeluarkan spesialisasi ilmu komunikasi seperti perencanaan komunikasi dan kebijaksanaan komunikasi.”
104
Menurut Astrid (dalam Kuo & Chen, 1994) kebijakan dibagi menjadi 2 yakni:
perencanaan infrastruktur (fisik) sarana komunikasi, dan perencanaan
operasionalisasi komunikasi. Menurutnya, dalam infrastruktur tentu dapat dengan
mudah dilakukan oleh para teknisi komunikasi, namun dalam hal operasionalisasi
lain halnya dan tidak dapat disepelekan karena aspek ini sebagai bagian dari
pembangunan sosial. Pembangunan sosial dalam banyak hal dinilai sebagai
‘aspek sosial dari perencanaan ekonomi’. Sehingga pada sektor komunikasi,
khususnya komunikasi massa yang kemudian dihimpit antara kegiatan
komunikasi demi politik dengan kegiatan ekonomi penunjang pembangunan
(KPK/1994/h.viii).
Astrid sempat menyinggung bahwa: "Tiap negara dalam melakukan
perencanaan tentunya akan berbeda, tergantung oleh sistem politik yang berlaku.”
Bergantung pada sistem politik tertentu, karena sistem politik suatu negara akan
mempengaruhi bagaimana perekonomian berjalan dan sistem sosialnya serta
aspek kehidupan di suatu negara. Ujarnya “pendapat dan kebebasan pendapat
bukan saja terbatas peninjauannya kepada aspek ekonomik, tetapi juga perlu
ditinjau dari segi politik yakni tanggung jawab individu terhadap masyarakat”.
Dalam melakukan perencanaan tentunya diperlukan data untuk
memperkuat cara yang akan ditempuh nantinya sehingga menjadi relevan dengan
tujuannya. Perencanaan dengan aplikasi yang disesuaikan dengan situasi dan
kondisi budaya sosial ekonomi setempat, sebaiknya diadakan untuk mencapai
suatau tahap setingkat antardaerah di masa depan sehingga dalam proses
pembangunan tidak terjadi perbedaan tingkat dan kesenjangan fasilitas
105
pemanfaatan hasil pembangunan (SP/1984/h.251). Kala ia mengajar di ilmu
komunikasi FISIP UI, ia mengajar mata kuliah Perencanaan Komunikasi dan ia
menjelaskan secara praktis sebagaimana tugasnya selama di BAPPENAS turut
mempengaruhi pengajarannya:
“Pada mata kuliah perencanaan dan kebijakan komunikasi, oleh Bu Astrid ditambahkan oleh ilustrasi yang alami, karena beliau sebagai policy maker. Oleh karena itu saya sebagai asistennya juga merasa mendapat pengalaman yang berharga. Karena tidak mungkin orang mengajarkan kebijakan komunikasi tapi tidak punya pengalaman dalam policy making…….Dan itu yang daridulu saya sadari bahwa mata kuliah perencanaan dan kebijakan komunikasi itu mata kuliah yang sangat penting. Karena komunikasi itu harus direncanakan, harus ada strateginya.” (Lukman, Wawancara, 23 Desember, 2015)
Memandang bagaimana pembangunan dalam perencanaannya di
Indonesia, Astrid membandingkan data se-ASEAN dan menurutnya para ilmuwan
sosial negeri ini kurang memeperhatikan hasil penelitian negara luar yang turut
meneliti aspek sos-bud negara Indonesia. Astrid berharap dalam perencanaan
maupun evaluasi pembangunan, peran peneliti sosial lebih nyata lagi karena
sumbangsih ilmu baik dalam skala makro dan mikro antara ilmuan sosial, budaya
dengan ekonomi dan ilmu lainnya sangat memberikan nilai bantuan besar dalam
pelaksanaan pembangunan secara pra-politik. Karena menurut Astrid masih
sedikit sekali data yang didapat dan memiliki relevansi dengan tingkat makro
yang berorientasi masa depan. Sehingga dalam beberapa penelitiannya, Astrid
seringkali menggunakan data-data dari penelitian terdahulu yang biasanya
dilakukan oleh para peneliti dari luar Indonesia mengenai pembangunan Indonesia
melalui perspektif lain.
106
Beberapa data-data dalam buku Sosiologi Pembangunan, dalam
merancang perencanaan dan kebijakan komunukasi Astrid menggunakan data-
data dari Sandra Wallman mengenai Perceptions of Development dari Cambridge,
David M. Smith mengenai Where the grass is greener dari New York, Samuel P.
Huntington & Joan M. Nelson mengenai No Easy Choice: Political Participation
in Developing Countries dari Harvard University. Berdasarkan data-data tersebut,
Astrid menyatakan bahwa terkait perkembangan teknologi di negara berkembang
diperlukan peran kerjasama antara pemerintah, rakyat, dan para usahawan
terutama dalam hal ekonomi dan industri. Di Indonesia perkembangannya saat itu
masih dari agraria menuju industri, namun menurutnya suatu saat nanti Indonesia
akan menjadi negara industri, hal tersebut dikarenakan Indonesia tidak menutup
diri terhadap hal-hal positif dari luar.
Dalam melihat pembangunan ke depan, Astrid cenderung mengambil
contoh dari negara Amerika Serikat yang telah dulu berkembang dan menjadi
negara maju. Ia bahkan lebih mencontoh bagaimana Jepang dalam manajemennya
sehingga lepas landas memang diperlukan suatu pendekatan komunikasi dan
integrasi antarbidang dengan efektivitas yang tinggi. Contoh lainnya ada dalam
tulisannya sebagai pengantar buku “Kebijakan dan Perencanaan Komunikasi
(Pengalaman Singapura)” Astrid melihat bahwa pembangunan yang dilakukan
negara tersebut terhitung cepat hingga dapat menjadi negara maju di Asia. Faktor
keberhasilan Singapura yakni dikarenakan (1) wilayah negaranya yang tidak
terlalu besar, (2) dalam masa penjajahan Inggris, negara tersebut telah dibekali
sistem peradilan hukum yang sudah mantap, (3) kebijakan menggunakan
107
pendekatan pemasaran dan manajemen korporatif dalam operasionalisasi (media)
komunikasinya (KPK/1994/h.xvi). Adanya kepercayaan pengendalian media
massa yang ketat yang malah sebaliknya membuat tingginya khalayak dalam
mengkonsumsi media massa. Hal ini menandakan bahwa Singapura telah berhasil
dalam pembangunan sosialnya. Dampaknya adalah tingginya rasa percaya rakyat
Singapura terhadap media massa, meski Singapura kala itu sempat menerapkan
sensor serta pengawasan ketat terhadap jalur komunikasi yang seakan
menggambarkan bahwa begitu banyak nilai dan budaya politik yang berkembang
namun ditimpa oleh faktor sejarah politik Negara berkembang tersebut. Astrid
menilai bahwa kemajuan negara Singapura dikarenakan adanya perencanaan dan
kebijakan komunikasi yang sesuai diterapkan di negara tersebut.
Meski mencontoh pembangunan dari negara maju seperti Amerika Serikat
dan Singapura, Astrid yang juga sebagai pembuat kebijakan pun memiliki pijakan
bahwa perencanaan komunikasi terutama bagi pembangunan di Indonesia demi
terwujudnya suatu pembangunan yang membahagiakan manusia Indonesia
(KK/1977/h.52). Perencanaan komunikasi di Indonesia juga diarahkan kepada
kemungkinan dan kemampuan untuk berkomunikasi timbal balik, dengan
komunikasi pembangunan sebagai salah satu aspeknya yang mana hal tersebut
dilakukan melalui komunikasi antara masyarakat dengan pemerintah untuk
memahami keinginan dari masyarakat.
Pada akhirnya aspek pembangunan akan sangat berkaitan erat dengan
aspek perencanaan dan kebijakan komunikasi. Demi mencapai pembangunan
yang baik, maka diperlukan perencanaan yang matang dan kebijakan yang
108
menunjang pembangunan. Hingga tujuan Astrid dari pembangunan ala
Nasionalisme terealisasi dengan memperhatikan aspek-aspek sosial, budaya, dan
komunikasi terutama media massa dan teknologi komunikasi.
4.6 Adopsi terhadap Komunikasi dan Ilmu
4.6.1 Filsafat Komunikasi
Dalam sejarah perkembangan ilmu publisistik/komunikasi, terdapat
perbedaan antara substansinya yakni jika di Eropa lebih memperhatikan
sistematika dalam komunikasi, sedangkan di Amerika Serikat lebih
menitikberatkan pada ilmu-ilmu sosial dan psikologi. Membahas mengenai
sejarah ilmu komunikasi dan perkembangannuya, Astrid banyak memaparkan
pandangan tokoh komunikasi seperti Everett M. Rogers, Wilburr Schramm,
Harold Laswell, dan Bauer. Sejarah Ilmu Komunikasi, diawali pada zaman
romawi kuno yakni adanya retorika sebagai alat kekuasaan ketika itu yang
meliputi ilmu filsafat, politik, dan bahasa melalui penggunaan bahasa seefektif
mungkin.
Pada PD ke-II Ilmu komunikasi/publisistik hingga kini pun masih erat
hubungannya dengan alat propaganda politik (FK/1995). Publisistik berasal dari
kata “publik” yang mana secara langsung maupun tidak langsung mempunyai
hubungan dengan negara dan hukum. Ilmu publisistik yang fokus bergerak dalam
mencari sebuah kebenaran maupun pembentukan pikiran-pikiran yang dianggap
benar di masyarakat. Hubungan di masyarakat tercipta melalui adanya
komunikasi/publisistik yang dalam hal ini berusaha untuk mengetahui sumber
109
kesalahpahaman antarmanusia pada komunikasi, meskipun dalam hal ini disadari
bahwa tidak dapat diatasi sepenuhnya.
Dalam memandang sesuatu, Astrid selalu memanfaatkan kemampuan
filsafatnya baik dari sisi kemanusiaan maupun dari sisi keilmuan lainnya yang
lebih luas. Hal tersebut dibenarkan oleh salah satu mahasiswa yang ia promotori
di FISIP Universitas Indonesia kala itu yakni, Shergi (Wawancara, 21 Januari,
2016):
“Yang mungkin kalau ditanyain menjadi pokok ya hmm mungkin soal ini ya yang saya baru tangkap sekarang, harus berfikir holistic. Mencoba melihat segala sesuatu dari segala multidimensi mungkin itu relevan dengan apa yang dialami dalam konteks saya ya dia selalu berinovasi untuk menghadirkan dimensi inovatif yang sangat penting, yang sebetulnya merupakan kelengkapan dari gambaran fenomena yang ada.”
Dari sisi keilmuan, kemampuan filsafatnya tercermin melalui teknis
penulisannya. Ia selalu menyertakan pandangan-pandangan filsafat, sosiologi,
sejarah, komunikasi dan kajian keilmuan lainnya terkait tema-tema tertentu yang
ia teliti. Salah satu contohnya dalam buku Pendapat Umum (1985), ia memulai
pembahasan dengan pengertian dasar pendapat umum melalui kacamata filsafat,
pendapat umum dalam sosiologi, pendapat umum berdasarkan sejarahnya,
pendapat umum dalam ilmu komunikasi. Hal serupa hampir terjadi di seluruh
buku tulisan Astrid S. Susanto terhadap tema utama yang dikajinya kala itu.
Terkait filsafat ilmu, Astrid S. Susanto banyak mengadopsi pemikiran dari
para filsuf Eropa, seperti Inggris dan Jerman. Menurutnya, filsafat adalah ibu dari
segala ilmu karena melalui filsafat ilmu dapat diketahui kebenarannya (FK/1995).
Dan hal tersebut merupakan suatu hal yang pantas untuk diperdalam. Seperti yang
110
dikutip beliau mengenai ilmu “Ketuhanan” dari ilmuwan fisika Albert Einstein,
serta filsuf Arab seperti Ibnu Sina, Al-Kindi, dan Al-Farabi. Jika semakin dalam
seseorang mempelajari filsafat maka semakin tinggi juga kecintaannya kepada
Tuhan.
Ciri khas filosofis Astrid inilah yang kemudian jika ditarik ke belakang
akan berujung pada bekal ilmu yang ia dapatkan dari tradisi Eropa. Tradisi Eropa
sangatlah kental akan nilai filosofinya, yang mana hal tersebut berdampak pada
cara penulisan maupun penyampaian Astrid dalam segi keilmuan. Hal tersebut
dibenarkan oleh Eduard Lukman (Wawancara, 23 Desember, 2015) bahwa ciri
orang yang belajar di Jerman itu panjang kalimatnya dan merujuk pada aspek-
aspek filosofis pada topik-topik yang diangkat.
Ilmu Komunikasi/publisistik kian berkembang dan terjadi perubahan yang
dipengaruhi oleh objek formalnya yaitu manusia yang melakukan proses
pengiriman pesan, dan disadari pula bahwa komunikan pun turut memiliki tujuan
tertentu. Sehingga berdasarkan analisis awal mengenai filsafat komunikasi bahwa
aspek komunikasi menitikberatkan pada pesan dan komunikatornya saja pun tidak
cukup untuk menganalisis hasil interpretan pesan, hal lainnya pun turut
mempengaruhi perkembangan ilmu komunikasi seperti sosiologi dan ilmu sosial
lainnya.
Astrid S. Susanto, berlatar belakang filsafat publisistik mengemukakan
harapannya bagi para akademisi ilmu komunikasi yang mampu membawa ilmu
tersebut kearah yang lebih jelas. Beliau mengemukakan hasil seminar yang
diadakan UNESCO di Kuala Lumpur Malaysia (1974) mengenai diperolehnya
111
kurikulum Ilmu Perencanaan Komunikasi Dan hal tersebut dinilai mengancam
Ilmu Komunikasi, apakah Ilmu Komunikasi mampu bertahan “sendiri” atau
menerima begitu saja ilmunya diserap oleh ilmu lain yang sedang berkembang
(FK/1995). Namun, pertempuran keilmuan terjadi pada Astrid dimana bekal
pendidikannya di Eropa ketika itu adalah publisistik, sedangkan di Bappenas ia
diharuskan untuk mengkaji hal-hal melalui kacamata komunikasi yang berangkat
dari Amerika dan perspektif ilmu sosial lainnya (Dahlan, wawancara, 25 Januari
2016).
4.6.2 Kategorisasi Pemikiran Astrid S. Susanto
Selama masa kariernya, Astrid yang memiliki hobi menganalisis dan
menulis pun tertuang dalam dokumen maupun buku yang ditulisnya pada rentang
tahun 1970-1990-an berdasarkan pengumpulan data peneliti yaitu dengan porsi:
50% (1970-an), 22% (1980-an) dan 28% (1990-an).
Pada kebanyakan penelitiannya, Astrid cenderung pada ranah peneliti
kualitatif dan juga kuantitatif. Ranah kualitatif dengan paradigm kritisnya lahir
melalui pembekalannya selama mengenyam pendidikan di Eropa, dan
keahliannya dalam mengolah data dan angka pada ranah kuantitatif dengan
paradigma positivistik merupakan hasil pembelajarannya terhadap dengan kajian
komunikasi dari Amerika Serikat yang cenderung positivistik. Hal tersebut
terlihat dari bagaimana ia mengkaji ilmu komunikasi, (Astrid, 1995) bahwa dalam
sejarah perkembangan ilmu publisistik/komunikasi, terdapat perbedaan antara
substansinya yakni jika di Eropa lebih memperhatikan sistematika dalam
112
komunikasi, sedangkan di Amerika Serikat lebih menitikberatkan pada ilmu-ilmu
sosial dan psikologi.
Pekerjaananya selama di Bappenas turut membawa dampak positif bagi
studi komunikasi di Indonesia, seperti yang diungkapkan Lukman:
“Ketika beliau mengajar tidak terlepas dari pengalaman beliau di birokrasi. Sebagai birokrat, sebagai policy maker, ya? Karena dulu beliau punya wewenang yang besar itu untuk memutuskan anggaran…......khususnya di bidang komunikasi, media massa, tv. Ya betul, dan itu sebetulnya membawa keuntungan bagi studi komunikasi. Karena kalau saya dengar dari senior-senior saya Bu Astrid memfasilitasi itu berbagai hal untuk perkembangan komunikasi dari segi infrastruktur, sebagai sarana, juga sebagai pendidikan tinggi di berbagai universitas karena adanya beliau di posisi itu.” (Wawancara, 23 Desember, 2015)
Tak hanya berdampak pada studi komunikasi di Indonesia secara infrastruktur
saja, namun pekerjaannya di Bappenas pun turut mempengaruhi tulisan-tulisan
yang ia buat di masa itu yakni didominasi pada beberapa topik tertentu pada tahun
1970-1990an bertepatan dengan masa kerjanya di Bappenas (1974 – 1992).
Dalam menjalankan tugasnya, Astrid dituntut untuk memahami berbagai kajian
ilmu pengetahuan yang tak hanya pada ranah komunikasi saja, meskipun pada
akhirnya terlihat pola penelitian yang ia lakukan cenderung pada aspek
komunikasinya. Hal tersebut terlihat dari tulisan lepasnya yang peneliti dapatkan
dari arsip Bappenas, berikut merupakan pengkategorisasian tulisannya:
No. Judul Tahun Bidang Kajian Paradigma Gagasan 1. Permasalahan
Batas Kebangsaan
1977 Komunikasi Pembangunan
Interpretatif Pentingnya menjaga harmonisasi antar suku, antar kelompok, maupun individu di negeri ini melalui pembangunan yang merata sebagai bagian dari negara yang masih berkembang untuk mencapai tujuan bersama. Mengingat Indonesia merupakan negara yang beragam suku dan adatnya.
113
2. Wanita Desa sebagai Tenaga
Produktif dalam
Pembangunan
1977 Emansipasi Wanita
Komunikasi
Pembangunan
Interpretatif Peran wanita tidak dapat dilihat hanya melalui data kuantitatif saja. Wanita di pedesaan memiliki potensi untuk mengembangkan pembangunan di Indonesia. Melalui keterampilan ataupun pendidikan yang mana pada akhirnya memberikan output bagi negeri ini baik di ranah sosial maupun ekonomi. Astrid menekankan akan adanya pemerataan demi tercapainya keserasian
3. Komunikasi dengan
Masyarakat Desa
1978 Komunikasi Pembangunan
Interpretatif Dalam mengkomunikasikan suatu pesan terutama bagi pembangunan, kepada khalayak yang cenderung tradisional perlu adanya pendekatan personal dan budaya tentunya karena masyarakat pedesaan cenderung “menutup diri” terhadap informasi yang sekiranya tidak bermanfaat baginya di masa depan.
4. Kebutuhan Kini
Pendidikan Komunikasi
Massa
1978 Perencanaan dan Kebijakan Komunikasi
Interpretatif Ilmu komunikasi terutama di Indonesia mengacu pada bagaimana lembaga akademis formal yakni universitas mampu berupaya memberikan substansi ilmu yang saling menunjang antara teori dan praktik.
5. Menuju Peningkatan
Mutu Kehidupan Masyarakat yang Merata
1978 Emansipasi Wanita dan
Pembangunan
Interpretatif Tertuang pada TAP/MPR menjadi bagian dari GBHN akan keseimbangan peran wanita dan pria dalam pembangunan. Menurut Astrid, feodalisme lah yang menjadi salah satu penyebab penghambar pemerataan secara geografis. Sehingga penting untuk diingat bahwa feodalisme perlu dihilangkan.
6. Kerangka Perencanaan Komunikasi
Terpadu
1978 Perencanaan Komunikasi
Komunikasi
Pembangunan
Positivistik Dalam merencanakan strategi, perlu melihat lebih jauh bagi tujuan jangka panjang, dalam melakukan pembangunan perlulah strategi dan proses perencanaannya, singkatnya adalah (1) mengetahui tujuannya, kekuatan & kelemahan, serta analisis lingkungannya. Ia mengingatkan untuk tidak lupa akan aspek budaya dalam pembangunan, komunikasi yang dilakukan harus disesuaikan
114
dengan nilai kebudayaan yang ada.
7. Some Thoughts on Development Messages For
Developing Countries
1978 Komunikasi Pembangunan
Interpretatif Optimalisasi pendekatan komunikasi interpersonal terhadap individu-individu yang masih berada dibawah garis kesejahteraan. Untuk meningkatkan usaha pembangunan ialah dengan memahami keinginan dasar dari targetnya yang disesuaikan dengan kebudayaan lokal setempat, salah satunya melalui kerjasama dengan pemuka pendapat daerah setempat.
8. Kemungkinan Pengembangan
Pers Dalam Repelita III
1978 Komunikasi Massa
Interpretatif Perlunya kerjasama antara pihak pemerintah dengan pihak swasta terkait pembangunan di daerah-daerah terkait media massa cetak untuk menghindari monopoli pemerintah. Ia turut mengingatkan selalu adanya integrasi terkait komunikasi maupun informasi antara pemerintah dengan pihak swasta yang lain dan tak bukan adalah bagian dari masyarakat.
9. Pemikiran Biografi dan Kesejarahan
1982-1983
Komunikasi Pembangunan
Kebudayaan dan
Komunikasi
Interpretatif Dalam perencanaan nasional terkait kerjasama departemen kebudayaan dan penerangan, perlu adanya program TV yang menarik dan memiliki unsur edukasi. Media massa elektronik seperti TV harus mampu mengedukasi masyarakat melalui tayangan-tayangan audio visual, namun tidak lupa untuk memperhatikan kondisi psikologis khalayaknya (melalui riset terlebih dahulu).
10. Perencanaan Komunikasi Menghadapi
Tinggal Landas
1986 Komunikasi Pembangunan
Perencanaan Komunikasi
Interpretatif Usaha lepas landas sebagai bagian dari pembangunan dengan mematangkan masyarakat melalui kemandirian dan fleksibilitas untuk siap menghadapi berbagai situasi. Pentingnya aspek komunikasi yakni pada proses penyebaran informasi yang dilakukan secara merata bagi masyarakat (dengan pemerintah, lembaga swasta dan sesama masyarakat), dan perlunya komunikasi dua arah agar pembangunan yang dilakukan dapat dinikmati seluruh
115
rakyat Indonesia. Peran komunikasi ialah dalam menghubungkan kepentingan mikro ke makro.
11. Pengantar: Media
Komunikasi sebagai
Penunjang Partisipasi Politik dan
Pembangunan Ekonomi
1994 Kebijakan Komunikasi
Positivistik Kebijakan dibagi 2: perencanaan infrastruktur (fisik) sarana komunikasi, dan perencanaan operasionalisasi komunikasi Media yang diatur ketertibannya oleh pemerintah seperti di Singapura dinilai negatif tetapi menghasilkan dampak yang positif. Penyesuaian terhadap kondisi di Indonesia yakni pada pentingnya hal operasionalisasi untuk melancarkan pembangunan Nasional saja terutama melalui media massa.
12. Aktualisasi Moral dan
Hukum Demi Suatu
Masyarakat yang Maju, Mandiri dan
Sejahtera
1996 Pembangunan Interpretatif Posisi moral sangat dipengaruhi oleh perubahan situasi ekososbudhum yang ada di lingkungan. Namun, faktor ideologi dan kepercayaan individun yang dapat menentukan apakah nilai pada moral berubah, tetap atau menyesuaikan. Ia menuntut akan adanya kesamaan hak bagi seluruh rakyat Indonesia. Astrid menegaskan bahwa pelaksanaan hukum di Indonesia perlu adanya kerjasama antara pemerintah daerah dan pusat dalam menjaga stabilitas sosial masyarakat.
13. Pendapat Umum dan
Proses Peradilan
1997 Komunikasi Massa
Interpretatif Fenomena pendapat umum dalam proses keadilan menunjukkan akan tingginya kesadaran masyarakat dalam mencurahkan pemikiran dan perasaannya melalui media massa, dan hal tersebut ditandai sebagai mulai tumbuhnya pembangunan di tengah masyarakat terkait berpendapat. Dan seharusnya “pembangunan” dan “berpendapat” tidak terbatas oleh satu kepemimpinan saja, namun dapat dijalankan hingga kapanpun sampai terciptanya kesejahteraan dan keserasian di tengah masyarakat.
14. Indonesia dalam Tahap Transformasi
1998 Komunikasi Pembangunan
Kritis Korelasi paham kebangsaan dengan pembangunan merupakan landasan dasar yang harus
116
Memasuki Abad ke 21
dipahami tiap-tiap warga negara dalam menjalaninya di masa depan. Paham tersebut hadir melalui gagasan para founding fathers dahulu kala, ia menganggap bahwa landasan kebangsaan yang digagas para founding fathers perlu didokumentasikan dan disebarluaskan melalui media massa secara berkala. Hal tersebut sebagai pengingat di abad 21 ini mengenai jati diri bangsa agar tidak kehilangan arah, ditengah pendapat-pendapat maupun pembangunan internasional.
Tabel 4: Kategorisasi tulisan Astrid S. Susanto dalam bentuk naskah dokumen Berdasarkan data tersebut, baik ceramah yang dikonversikan kedalam
tulisan maupun hasil laporan penelitiannya maka dapat terlihat bahwa porsi
diantara paradigma positivistik 15%, kritis 5%, dan interpretatif 80%. Hal ini
menunjukkan bahwa Astrid cenderung menggunakan paradigma interpretatif
dalam tulisan-tulisan lepasnya dengan bidang kajian yang didominasi oleh topik
komunikasi pembangunan. Pemahaman Astrid akan komunikasi pembangunan
yang menjadi perhatiannya kala itu pun dibenarkan oleh Triputra:
“jadi kalau komunikasi pembangunan itu lebih banyak terkait pada apa yang dikuasai oleh Bu Astrid yaitu ke publisistik. Jadi bagaimana kita mengkomunikasikan hal-hal yang terkait dengan pembangunan. Jadi apa yang harus dilakukan untuk sama-sama masyarakat semua melakukan pembangunan. Itu kan hmm apa komunikasi attitude dan praktek kan. Itu kan selalu campaign-nya seperti itu, selalu seperti itu kan sama dengan prinsip-prinsip publisistik.” (Wawancara, 29 Januari, 2016)
Melalui bekal pendidikan publisistiknya yang turut mempengaruhi ia
dalam mengkaji suatu fenomena, hal tersebut terlihat dari bagaimana ia melihat
suatu hal dari aspek filsafatnya. Berbeda dengan tokoh komunikasi Alwi Dahlan
117
yang kala itu tiba di Indonesia di masa yang sama dengan Astrid pada tahun
1960an. Hal tersebut dibenarkan oleh Lukman:
“Pak Alwi Dahlan itu belajar komunikasi berkembang yang hingga komunikasi saat ini kita kenal. Bu Astrid memulai start yang berbeda. Gitu.. Tentu itu berujung pada publisistik dan itu beliau tentu punya andil besar……..Eropa juga belajar banyak dari pendekatan positivistik Amerika ya. Saling menutup kekurangan dan membawa kelebihan-kelebihan ya. Sekarang di Eropa juga belajar komunikasi ya lengkap ya hanya yang critical atau kualitatif atau lebih ke filosofis tidak.. Tradisi positivistik juga kuat. Amerika juga gitu.”
Sejak awal kembali dari studinya di Jerman , Astrid kembali ke Indonesia
dan kemudian dipercayai untuk mengajar di Fakultas Publisistik dan Jurnalistik
Universitas Padjajaran Bandung. Fenomena persinggungan ilmu pun terjadi pada
dirinya, tatkala dirinya dengan segudang bekal ilmu publisitik Jerman harus
menyesuaikan diri dengan ilmu komunikasi di Indonesia yang cenderung berkiblat
pada tradisi Amerika. Hal tersebut diungkapkan oleh Dahlan:
“Nah di Bandung itu tidak jurnalistik ya lebih ke publistik ke teori. Teorinya tidak teori komunikasi, teorinya filsafat, sosiologi, nah itu untuk apa mengenai propaganda. Itu berbeda itu. Jadi itu lebih rumit secara teoritis yah……Nah di Bandung itu tidak jurnalistik ya lebih ke publistik ke teori.. Teorinya tidak teori komunikasi, teorinya filsafat, sosiologi, nah itu untuk apa mengenai propaganda. Itu berbeda itu. Jadi itu lebih rumit secara teoritis yah.” (Wawancara, 25 Januari 2016)
Astrid memulai ilmu komunikasi dari aspek yang berbeda yakni dari
publisistik, tetapi ia tidak berhenti memperdalam ilmu komunikasi sejak
sesampainya ia di Indonesia. Usahanya terlihat dari berbagai penelitian-
penelitiannya baik dalam bentuk arsip dokumen maupun buku cetak yang dijual
bebas, seringkali ditemui berbagai kutipan para tokoh dalam buku tulisannya. Hal
tersebut berbeda dengan arsip dokumen yang peneliti temukan di Bappenas,
118
penggunaan kutipan untuk mendukung argumennya tidak sebanyak pada buku-
bukunya. Berikut merupakan kategorisasi tokoh yang menjadi rujukan Astrid
dalam tulisannya:
No. Judul Tahun Bidang Kajian Paradigma Tokoh Rujukan
1. Filsafat Komunikasi
1995 • Sejarah Ilmu Komunikasi
• Perencanaan Komunikasi
• Filsafat Komunikasi
• Komunikasi Massa
• Komunikasi Pembangunan
Positivistik
Teoritis
Sosiolog: Ferdinand Toennies, Emile Durkheim, Parker & Anderson, William G. Sumner, René Koenig, John Locke, Mac Iver, Karl Mannheim, Winfriend Schulz. Filsuf: G.E Moore, Bertrand Russel, Wust (Jerman), Aristoteles, Plato, Ibnu Sina, Langeveld, Driesch, John Dewey, Alfred N. Whitehead, Antropolog: Margaret Mead Psikolog: David McLelland Politisi: Noelle-Neumann, Komunikasi: Herbert Blumer, Pierre Martineu, Crispin Maslog, Wilbur Schramm, Phillips Ruop, George F. Moot, Harold. D Lasswell, Eugene Shaw, Everett M. Rogers, Cutlip & Center, Philip Kotler. Publisistik: Gunter Kieslich, Gustav Radbruch, Peter R. Hofstätter, Gerhard Lemhbruch, Walter Hagemann, Walter Lippmann.
2. Pendapat Umum
1985 • Pendapat Umum • Publisistik • Komunikasi
Pembangunan • Komunikasi
Internasional • Komunikasi
Massa
Positivistik
Teoritis & Praktis
Sosiolog: Paul Lazersfeld, J.S Roucek, Mac Iver, C. Wright C. Mills, Karl Mannheim, Herbert Blumer, Habermas, Herbert Blumer, Ortega Y. Gazet, Ferdinand Toennies, Roucek, Filsuf: John Dewey, Politisi: Ernest Barker, Edward H. Carr, David Cushman, Hukum: W. Friedmann, Montesquie.
119
Komunikasi: Cutlip & Center, Roger Fisher, Charles Beard, Hutchins, Fred S. Siebert, Bernard Berelson, Harold Lasswell, Wilbur Schramm, Lazarsfeld, Crispin Maslog, Leo Bogart. Publisistik: Walter Lippmann, John Millton, John Locke, Emil Dovifat.
3. Sosiologi Pembangunan
1984 • Pembangunan • Sosiologi
Pembangunan • Upaya
memajukan Masyarakat
• Perencanaan dan kebijakan
Interpretatif Sosiolog: Talcott Parsons, Emile Durkheim, Ferdinan Tocnnies, Neil Smelser, Robert L. Heilbroner.
4. Globalisasi dan
Komunikasi
1995 • Pembangunan • Media Massa • Kebudayaan
Daerah • IpTek • Komunikasi
Interpretatif
(penggunaan data
kuantitatif)
Sosiolog: Pieter Jan Bouman, Bierens De Haan, Hendropuspito, Edward Shils, Karl Mannheim Komunikasi: Charles R. Berger, Steven Chafee, Melvin DeFleur, Denis McQuail Development: Bryant, Coralie, Louise G. White, Johnston Ann, Albert Sasson Antropolog: Sastrosupomo Suprihadi, Soedjito, Koentjaraningrat, Robert B. Textor Psikolog: Abraham Maslow
5. Komunikasi Pengendalian
dan Komunikasi Pengawasan
1989 • Ilmu komunikasi dari berbagai disiplin ilmu sosial
• Pengawasan sosial
• Pengendalian masyarakat
• Pendapat Umum • Media Massa
Positivistik Sosiolog: Bruce J Cohen, Jurgen Habermas, Chester L. Hewit, Paul B. Horton, MacIver, Karl Mannheim, Talcott Parsons, William F. Ogburn, Nimkoff F. Meyer, Komunikasi: Melvin DeFleur, George Gerbner, Edward T. Hall, Harold D. Lasswell, Denis McQuail, Gerhard Maletzke, Everett M. Rogers, Charles R. Wright, Wonohito (wartawan Indonesia).
120
Politik: Ernerst Barker, Robert A. Dahl, Harold D. Laski, Robert E. Lane, David O. Sears, Noelle Neumann, Lucian Pye, William Graham Sumner, Antropolog: Richard A. Barret, Clifford Geertz, Koentjaraningrat, Levi Strauss, Pembangunan: Denis Goulet, Sejarawan: E. H. Carr, Sartono Kartodirdjo Hukum: Wolfgang Friedmann Filsuf: Bertrand Russel, Yves Simon
6. Komunikasi Kontemporer
1977 • Komunikasi pembangunan
• Perencanaan Komunikasi
• Komunikasi massa
• Teknologi dan komunikasi
• Komunikasi Internasional
Positivistik Sosiolog: William F. Ogburn, Meyer F. Nimkoff , Komunikasi: Charles R. Berger, Harold D. Lasswell, Wilburr Schramm, Lewis Dexter Politik: Gabriel A. Almond, Samuel P. Huntington, Harry M. Clor Filsuf: Manzoor Ahmed (India) Antropolog: Everett E. Hagen, Edward T. Hall, Psikologis: Abraham Maslow Ekonom: Rudolf Bicanic
Tabel 5: Kategorisasi tulisan Astrid S. Susanto dalam bentuk buku yang dipublikasikan luas
Berdasarkan data yang ada, dapat terlihat perbedaan antara paradigma dan bentuk
pengutipan Astrid dalam penelitiannya maupun dalam karya tulis. Paradigma
positivistik dominan pada karya tulis bukunya, meski penerapannya dapat
dikatakan percampuran antara teoritis dan praktis. Hal tersebut dipengaruhi oleh
kebutuhan literasi kajian ilmu komunikasi di awal tahun kehadirannya masih
sedikit ditemui, dan salah satunya adalah karangan Astrid S. Susanto.
121
Dominasi paradigm positivistik pada literatur buku tulisannya didasari
sebagai kebutuhan untuk memenuhi literatur lokal mengenai komunikasi, yang
mana pada saat itu dapat dikatakan literature ilmu komunikasi cukup sedikit. Hal
tersebut disepakati juga oleh Eduard Lukman bahwa buku-buku karangan Astrid
S. Susanto banyak dijadikan rujukan ditahun 1970an-1980an (Lukman,
Wawancara, 25 Desember, 2015). Dalam karangan bukunya, berdasarkan tabel
diatas terlihat bahwa ia selalu merujuk pada tokoh sosial seperti kelompok
Sosiologi, Komunikasi, Filsafat, Sejarah, Antropologi, dan Politik. Hal tersebut
menjadi wajar, karena menurut pengakuan Astrid S. Susanto dalam suasana
diskusi informal dengan Ronny Adhikarya di awal kedatangannya di Unpad ia
menyampaikan bahwa ia mengajar publisistik, tetapi tidak sepenuhnya karena ia
multidisipliner di bidang filsafat, sejarah dan sosiologi yang mana ia sangat
memperhatikan dari segi masyarakatnya (Adhikarya, Wawancara, 6 April 2016).
Dapat dikaitkan bahwa pemahaman Astrid mengenai ilmu komunikasi yang baru
ia pahami ketika kembali ke Indonesia melalui pembelajaran dan penyesuain
dengan ilmu komunikasi yang lebih kearah Barat.
Kelompok sosial tersebut didominasi oleh tokoh Eropa terutama tokoh
sosiologi, tetapi ia juga merujuk pada tokoh komunikasi Amerika yang selalu ia
adopsi yakni pemikiran Schramm, Rogers, dan Berger. Tokoh-tokoh tersebut
sangat dikenal di kalangan akademisi ilmu komunikasi terutama di masa awal
eksistensi ilmu komunikasi di Amerika yang turut mempengaruhi Astrid dalam
studi komunikasinya. Tak hanya itu, perpaduan dengan tradisi Eropa yang
dibawanya turut mewarnai kajian ilmu yang Astrid hasilkan yakni terdapat sedikit
122
pemikiran kritis salah satunya terlihat dari salah satu tulisannya Jurgen Habermas
yang ia kutip dalam “Komunikasi Pengendalian dan Komunikasi
Pengawasan”(1989) bahwa gerakan komunikatif adalah sama dengan prose
pembentukan pendapat umum yang bermuara di pengawasan sosial, hal tersebut
sama halnya dengan komunikasi/kerjasama antarmedia massa ataupun antara
media massa – bidang politik ataupun bidang politik – bidang ekonomi sebagai
gerakan komunikasi yang sama-sama mewujudkan pendapat yang serasi tentang
berbagai kepentingan bersama/kepentingan umum (Susanto, 1989, h.35)
Dominasi paradigma interpretatif/konstruktivis yang Astrid banyak
diterapkan dalam penelitiannya yang didominasi ketika ia bertugas di Bappenas,
dikarenakan pengaruh atas perannya sebagai pembuat kebijakan (policy maker)
perlu mendapat dukungan pemerintah dan masyarakat sehingga tulisan-tulisan
yang ia keluarkan lebih mengarah pada “titik tengah” yang dapat menguntungkan
kedua belah pihak baik pemerintah maupun masyarakat. Tidak banyak kritikan
yang ia lontarkan bagi peran pemerintah karena pada zaman orde baru dibawah
pimpinan Presiden Soeharto tersebut pemikiran kritis bagaikan “pisau bermata
dua”.
Keinginannya untuk terus pro terhadap rakyat terlihat dari berbagai
tulisannya yang mengharapkan peran media massa, lembaga pendidikan, maupun
pemerintah untuk lebih memperhatikan pemerataan demi kesejahteraan rakyat
Indonesia. Perhatiannya terhadap masyarakat Indonesia Timur pun turut
mengantarkannya menjadi anggota DPR terpilih di wilayah Papua dan mendapat
julukan “Mama” (Hadigama, Wawancara, 7 Januari, 2016).
123
Dalam menjalankan tugasnya sebagai seorang policy maker saat itu
posisinya sangatlah strategis yang juga merangkap sebagai seorang akademisi,
seperti yang disampaikan oleh Ronny Adhikarya bahwa:
“Peran dia penting, karena di Bappenas bukan orang-orang tukang nulis, dia lebih luas kan. Nah karena itu, mulai punya peran. Peran mengenai hubungan antara komunikasi dengan infrastruktur ini penting untuk investasi harus ada orang yang bisa memposisikan dirinya yang mendukung hmm kebijakan misalnya mengenai berapa banyak fasilitas komunikasi dibutuhkan untuk apa saja. Di bidang pendidikan, ia mempengaruhi Bappenas untuk memiliki investasi di bidang komunikasi yang diperlukan masyarakat. Dan saya kira, saya mendukung Bu Astrid saat itu karena beliau juga melihat kesenjangan antara the information need dan information tool.” (Adhikarya, Wawancara, 6 April 2016).
Berdasarkan analisis terhadap karya tulisnya yang telah disebutkan sebelumnya,
terlihat beberapa ciri khas Astrid S. Susanto dalam menulis sebuah karya baik
tulisan maupun dokumen lepas secara teknis:
1. Menyertakan penjelasan topik utama dilihat dari aspek filsafat,
komunikasi, sosiologi, politik, dan ilmu sosial lainnya.
2. Argumen penulisan dimuat dalam bentuk paragraf campuran.
3. Menyertakan hasil penelitian terdahulu dalam bentuk statistik, dsb.
4. Buku didominasi oleh hasil makalah di berbagai forum yang dibukukan,
sedangkan dokumen merupakan hasil pemikiran dalam sebuah forum yang
ditulis ulang dan diarsipkan dalam bentuk cetak maupun digital oleh
lembaga yang menaunginya seperti Bappenas.
124
BAB V
DISKUSI
5.1 Pendekatan Sejarah dalam Ilmu Komunikasi
Ketika menjelaskan pentingnya komunikasi, tidak dapat dipungkiri bahwa
peran historis memiliki dampak terhadap perkembangan kajian komunikasi
sebagai suatu disiplin ilmu dalam ranah pengetahuan. Menurut Nerone (2006,
h.254) bidang kajian komunikasi selalu menekankan pada masa depan, yang
tumbuh dari kebutuhan untuk dapat dimengerti dari pertemuan dengan teknologi
novel dan pembentukan budaya di Amerika Serikat––sejak akhir abad ke 19
perjumpaan dengan budaya massa pada surat kabar populer dan majalah,
kemudian sejak awal abad ke 20 perjumpaan dengan film dan penyiaran hiburan,
namun pada asalnya juga kajian ilmu komunikasi selalu memiliki dorongan kuat
untuk rencana penulisan kesejarahan. Sejarah ilmu komunikasi sendiri jika
dikaitkan dengan konteks penulisan kesejarahan di Indonesia, dapat dilakukan
dengan mengkaji pemikiran tokoh-tokoh yang berperan dalam menyebarluaskan
ilmu komunikasi di Indonesia.
Berdasarkan perspektif historiografi komunikasi, di awal kehadirannya
ilmu komunikasi selalu dikaitkan dengan media massa strategis maupun
persuratkabaran yang kemudian mengalami pergeseran. Pergeseran signifikan
pertama dalam historiografi komunikasi adalah untuk membuat pertimbangan
seperti yang lebih luas dari politik, hukum, ekonomi, dan budaya yang lebih
teratur, elemen intim, untuk menenun benang mereka lebih erat ke dalam
124
125
permadani dari jurnalisme dan sejarah media tertentu (Rowland, dalam Crowley
& Heyer, 2016, h.1). Komunikasi secara historis berfokus pada kajian media dan
jurnalisme, kemudian Schudson (1999) mengkategorikan ranah kajian komunikasi
menjadi tiga kategori yakni perspektif historis, yakni macro history, the history
proper of communication, dan institutional history. Berdasarkan kategorisasi
ranah kajian komunikasi dari Schudson, penelitian mengenai pemikiran Astrid S.
Susanto yang paling mendekati perspektif history proper of communication, yakni
mengkaji hubungan media dengan kebudayaan, politik, ekonomi, dan sejarah
sosial. Pembahasan mengenai bagaimana perubahan komunikasi membawa
pengaruh pada aspek-aspek lain dalam masyarakat yang pada gilirannya
membawa perubahan sosial. Salah satunya Astrid S. Susanto ketika bertugas di
BAPPENAS terutama melalui perannya sebagai salah satu pembuat kebijakan
terkait pembangunan kala itu.
Kajian mengenai sejarah komunikasi telah banyak dilakukan oleh peneliti
di luar negeri seperti tulisan dari Jurgen Habermas (1989) pada “The Theory of
Communicative Action Vol. 2” ia meneliti peran komunikasi dalam
perkembangan demokrasi yang dikenal dengan konsep ruang publik. Lalu tulisan
Charles W. Mills (1959) pada “The Sociological Imagination”, (Antoni, 2004,
h.168) melalui buku tersebut Mills mengkaji pemikiran tokoh Paul F. Lazarsfeld
dan melakukan kritik terhadap gaya Lazarsfeld sebagai analisis sosial, khususnya
pada tingkat individu.
Selain itu, Everett M. Rogers (1997) dengan “A History of
Communication: A Biographical Approach” yang mengupas biografi tokoh-tokoh
126
yang berpengaruh dalam perkembangan ilmu komunikasi yang dibagi menjadi
dua kelompok yakni tokoh Eropa dan Amerika. Dalam tulisannya tersebut,
Rogers memperkenalkan Wilbur Schramm sebagai founding father ilmu
komunikasi yang berhasil menginstitusikan komunikasi, serta para forerunner
yakni Paul Lazarsfeld, Kurt Lewin, Carl I. Hovland, dan Harold D. Lasswell yang
berkontribusi dalam studi ilmu komunikasi meski tidak teridentifikasi sebagai
sarjana Ilmu Komunikasi. Hal tersebut didukung oleh Alwi Dahlan (Wawancawa,
25 Januari, 2016) bahwa studi komunikasi mulai berkembang di Amerika Serikat
ketika masa Perang Dunia ke-II yang memberi perhatian lebih terhadap cara
mempengaruhi, teknologi komunikasi dan informasi, hingga propaganda (yang
banyak berkembang dan dipelajari di Eropa terlebih dahulu dengan sebutan
Publisistik). Publisistik sebelumnya telah dikenal di Belanda dan Jerman, sebagai
sebuah konsep penerangan satu arah yang digunakan Nazi Jerman kala itu.
Berdasarkan perkembangannya ketika itu, komunikasi dirasa perlu dan
penting untuk dipelajari. Pada tahun 1930an masyarakat Amerika Serikat
dihadapkan pada isu menghadapi Perang Dunia II dan ancaman dari Nazi Jerman,
sehingga pemerintah Amerika Serikat memerlukan dukungan publik menghadapi
peperangan melalui pentingnya kajian propaganda dan opini publik (Antoni,
2004). Ditandai dengan digelarnya sebuah seminar yang diprakarsai oleh
Rockefeller Foundation Communication Seminar pada tahun 1940 dengan salah
satu pematerinya yakni Harold D. Lasswell memaparkan model propaganda
komunikasi “who-says what-to whom-in which channel-with what effect” dan
melalui seminar tersebut pemerintah Amerika Serikat mendapat dorongan untuk
127
melakukan penelitian komunikasi pada situasi darurat pasca Perang Dunia ke-II .
Tak berapa lama, pemerintah Amerika Serikat pun membenarkan tawaran tersebut
(Rogers, 1997, h.12-13).
Schramm turut menjadi bagian dari seminar tersebut, kemudian ia pun
menghadiri sebuah seminar Shannon yang menjelaskan model matematika
komunikasi. Singkatnya, dalam seminar tersebut ia mendapat penjelasan
mengenai model Shannon melalui secarik tissue yang lebih mudah dipahami yaitu
oleh Weaver seorang ahli matematika. Weaver berpesan bahwa model tersebut
penting untuk dipahami disegala kondisi, berkaitan dengan jurnalistik,
propaganda, seni dll yang berlaku dimana saja dan itulah Komunikasi (Dahlan,
Wawancara, 25 Januari, 2016). Pemahamannya inilah yang kemudian
membuatnya untuk melakukan seminar yang dihadiri oleh berbagai disiplin ilmu
sosial maupun eksak, dirasa sebagai sebuah kajian yang penting untuk dipelajari
namun tidak ada ruang ilmu tersendiri maka berdasarkan kesepakatan forum
terciptalah ilmu komunikasi.
Pantas jika Schramm dianggap sebagai pelembaga penelitian komunikasi
atas usahanya memperjuangkan komunikasi sebagai sebuah kajian ilmu hingga
membuka departemen Ilmu Komunikasi pertama kali di University of Illinois.
Melalui tulisan Rogers (1997) inilah terlihat bagaimana melihat ilmu komunikasi
melalui perspektif historis dan pengelompokkannya berdasarkan Eropa – Amerika
hingga biografi tokoh-tokoh yang terlibat di masa itu.
Awal kemunculan ilmu komunikasi di Amerika Serikat disebut sebagai
study effect, kepentingan untuk belajar ilmu komunikasi kala itu berfokus pada
128
“mempengaruhi” khususnya saat Perang Dunia, dan juga untuk “mempersuasif”
sehingga efek tersebut menjadi dominan terhadap studi di Amerika. Namun,
seperti yang diungkapkan Berger & Chafee (1987, h.15):
“Concentration upon persuasive impact has given way to such concerns as the ways people use media information and how they develop mutual definitions of their social relationship with others. Communication is no longer viewed as simply a way to change others's attitudes and action”
Efek linier komunikasi melalui cara persuasif, tidak lagi sekadar untuk mengubah
sikap dan suatu tindakan. Mulai disadari bahwa tiap efek yang diberikan dapat
berupa powerful, limited, conditional, dan minimal. Berdasarkan
perkembangannya, bahkan diketahui bahwa komunikasi massa dampaknya tidak
selalu powerful karena terbatas oleh topik tertentu dan audiens tertentu (Lukman,
Wawancara, 6 Mei, 2016).
Kemudian komunikasi berkembang pada perspektif lain yakni perspektif
meaning, pemaknaan orang yang satu dengan yang lain belum tentu sama. Hal
tersebut dijelaskan oleh Bowers & Bradac (dalam Burgoon, 1982) mengenai 7
aksioma komunikasi, tulisan tersebut dimuat dalam Communication Yearbook 51
(1982) dan sebagai dasar untuk memahami komunikasi sebagai sebuah ilmu
dengan mengkajinya melalui metateori dan filsafat ilmu pengetahuan. Aksioma
adalah pernyataan yang dapat diterima sebagai kebenaran tanpa pembuktian
(KBBI, 2016). Jika dikaitkan, mengenai mahzab dan aksioma maka masuk pada
tataran aksioma 1b. Communication is the generation of meaning (komunikasi
8 Communication Yearbook 5 (1982) disusun oleh Michael Burgoon, yang memuat berbagai tulisan dari para ilmuwan komunikasi dan dipublikasikan oleh International Communication Association (ICA) , Amerika Serikat
129
adalah generasi makna) dimana sebuah informasi sekecil apapun akan dapat
memunculkan berbagai penyimpulan yang berbeda (Bowers & Bradac, 1982, h.2).
Jika aksioma satu dengan yang lainnya berbeda maka hal tersebut berdampak
pada perubahan definisi, substansi dan metodenya.
Pada akhir tulisannya, Bowers & Bradac (1982) mengungkapkan bahwa
ilmu komunikasi sudah siap menjadi bagian dari ilmu pengetahuan berdasarkan
aksioma yang telah dijabarkan, tugas selanjutnya dalam ilmu ini adalah berteori
yang sarat akan ilmu komunikasi. Komunikasi merupakan ilmu yang mempelajari
implikasi komunikasi dari berbagai disiplin lain, seperti psikologi, sosiologi,
politik, ekonomi, dsb. Menjadi penting bahwa dasar-dasar tersebut perlu diajarkan
untuk dipahami minimal pada tataran sarjana ilmu komunikasi.
Selanjutnya, salah satu tulisan menarik lainnya dalam buku
Communication Yearbook 5 (1982) yakni milik Everett M. Rogers mengenai “The
Empirical and the Critical Schools of Communicative Research” mahzab empiris
dan kritis, empiris berbicara bahwa segalanya dapat diukur dan dibuktikan
sedangkan kritis tidak karena lebih kualitatif, filsafat, dan historis. Keduanya
saling berkaitan, di Amerika awalnya didominasi oleh positivistik, sedangkan
kritis banyak berkembang di Eropa. Namun, ilmu komunikasi yang terus
berkembang lantas menghapus batasan antara keduanya. Amerika tidak selalu
pada positivistik, sebaliknya Eropa tidak selalu kritis karena satu dan yang lainnya
saling membaur. Pasca Perang Dunia ke-II banyak orang Eropa yang berpindah ke
Amerika untuk berlindung, sehingga hal tersebut turut mempengaruhi pembauran
mahzab ilmu komunikasi.
130
Menurut Eduard Lukman (Wawancara, 6 Mei, 2016) atas tulisan Rogers
itulah setahun kemudian muncul perdebatan dalam Journal of Communication
(1983) Ed: Summer yaitu “Ferment in The Field” dalam jurnal tersebut munculah
berbagai kaum critical dengan beragam tulisan ‘berbau’ kritis dari berbagai
spektrum dan hal tersebut merupakan jasa Rogers yang memulai perbincangan
mengenai mahzab kritis melalui sudut pandang empiris. Empirical memiliki
kelemahan yaitu mereduksi sebuah fenomena kedalam kategori, kemudian
melalui proses operasionalisasi konsep, seakan fenomena tersebut hanya itu saja
yang sebenarnya dilain sisi terdapat berbagai fenomena yang tidak terukur.
Penting untuk dipahami, bahwa setiap metode memiliki kelebihan dan
kekurangannya masing-masing.
Usaha memahami komunikasi sebagai ilmu secara mendasar Ruben &
Stewart (1998) menjelaskannya dalam “Communication and Human Behavior
Ed: 4th ” mengenai definisi dan teori komunikasi, perkembangan ilmu
komunikasi, komunikasi sebagai proses dasar kehidupan, hingga pokok-pokok
komunikasi manusia. Mereka berhasil menyajikan literatur ilmu komunikasi ke
dalam sebuah buku melalui pemaparan yang sederhana dan mudah dipahami.
131
Pada bagian perkembangan studi komunikasi, Ruben & Stewart mengelompokkan
menjadi 9 tahapan waktu (1998, h.19):
1. Early Communication Study • Rhetoric and Speech • Journalism
2. The 1990s – 1930s: Development of Speech and Journalism
3. The 1940s aand 1950s: Interdisciplinary Growth
• Laswells’s View of Communication
• Shannon and Weaver’s Model • Schramm’s Model • Katz and Lazarsfeld’s Model • Westley and Maclean’s Model
4. The 1960s: Integration • Dance’s Model
• Watzlawick, Beavin and Jackson’s Model
• Thayer’s Model of Communication
5. The 1970s and Early 1980s:
Growth and Specialization • The Popularity of Communication • Discipline, Activity, and
Profession • Communication and
Communications
6. The Late 1980s and 1990s: The Information Age
• Information As a Commodity • New and Converging Media • Economic and Marketplace
Influences • Communication As a Process • Strengthening Interdisciplinary
Connections
7. Reflections on the Evolution of Communication Theory
• Paradigms and Anomalies • Communication Theory Today
8. The Evolution of The Discipline • Ancient and Newly Emergent
• Interdisciplinary Heritage • Field of Study, Activity, and
Profession • Traditions of Science, Arts, and
Humanities • The Role of Media
Tabel 6: Perkembangan Studi Komunikasi menurut Ruben & Stewart
132
Berdasarkan pengelompokan tersebut terlihat bahwa perkembangan ilmu
komunikasi dimulai dengan memberikan perhatian lebih terhadap rektorika,
pidato dan jurnalisme, hingga berkembang kearah evolusi disiplin ilmu yang lebih
jauh. Dapat dikatakan bahwa bidang ilmu komunikasi merupakan produk abad ke-
20, sebagai disiplin yang menguntungkan melalui pendekatan humaniora dan ilmu
perilaku, dan wilayah ketika media menjadi perhatian lebih lanjut (Ruben &
Stewart, 1998).
Berdasarkan pemaparan sebelumnya, sehingga penting untuk dipahami
oleh para peserta didik ilmu komunikasi mengenai konsep dasar perilaku yang
mengarahkan pada kegiatan komunikasi itu sendiri. Salah satu tokoh komunikasi
Littlejohn (1999) dalam bukunya “Theories of Human Communication Ed: 6th “
merujuk pada pemikiran Frans Dance, yang kemudian disederhanakan kembali ke
dalam tabel menjadi sembilan perilaku yang dapat dipertimbangkan untuk masuk
sebagai konteks
komunikasi. Sembilan
perilaku komunikasi
tersebut berupaya
menjawab dua pertanyaan
dasar, yaitu (1) Must
ommunication be
intentional?; (2) Must communication be received? (Littlejohn, 1999, h. 7).
Menjadi miris jika hal yang dasar dari ilmu komunikasi tidak diajarkan sejak awal
Tabel 7: Tabel Sembilan Perilaku Komunikasi
133
mengemban studi komunikasi karena pemahaman mengenai komunikasi harus
mulai ditanamkan sejak awal memilih studi komunikasi.
Selanjutnya, tulisan dari Peter Simonson, dkk (2012) dengan “The
Handbook of Communication History” memaparkan mengenai komunikasi
sebagai suatu ide sentral, praktik sosial, media komunikasi yang dikembangkan di
wilayah geografis waktu, budaya dan dunia melalui penyelidikan khusus terhadap
sejarah bentuk-bentuk komunikasi dan studi terhadap media. Peter Simonson, dkk
dalam tulisannya memberikan sebuah masukkan mengenai pentingnya de-
westernize yaitu meneliti sejarah ilmu komunikasi di luar Amerika dan salah
satunya di Asia.
Berkaitan dengan topik de-westernize, dalam salah satu chapter di buku
tersebut tulisan dari Ming-Chen, Minahara & Sun-Kim (2012) berjudul “East
Asian Communication Studies” yang berfokus pada asal-usul dan perkembangan
terbaru dari studi komunikasi di Cina, Jepang dan Korea Selatan dengan
memperhatikan kembali komunikasi sejarah di wilayah tersebut. Menurut G.
Chen, para akademisi berpendapat bahwa komunikasi di Cina, Jepang, dan Korea
Selatan harus dipelajari dalam arahan asal muasalnya sendiri, dengan
mempertimbangkan keyakinan filosofis dan religius yang mendalam yang telah
dipertahankan dalam sejarahnya seperti Buddha dan Konghucu (dalam Simonson,
2012, h.477) dan hal tersebut berperan penting dalam membentuk dan memelihara
praktik sosial masyarakat di Asia Timur.
Berkaitan dengan masukan dari Simonson, dkk inilah pada kenyataannya
diakui penelitian studi komunikasi di Asia masih terbatas. Namun, terdapat salah
134
satu penelitian studi komunikasi terdahulu melalui pendekatan sejarah di Asia
terutama di ASEAN yaitu oleh Ronny Adhikarya. Ronny Adhikarya (1981)
melalui disertasinya yang berjudul “Transnational Communication Knowledge
Transfer and Utilization Process: The U.S – ASEAN Case” dalam tulisannya ia
memaparkan bagaimana transfer ilmu orang-orang yang dididik di Amerika
Serikat yang berdampak pada ketergantungan pendidikan ilmu komunikasi di
ASEAN (yang kala itu masih sebatas 5 negara yang tergabung yakni Indonesia,
Singapura, Malaysia, Thailand dan Filipina) yang mana lulusannya banyak
berasal dari Amerika Serikat sehingga kecenderungan adopsi ilmu dari Amerika
Serikat masih sangat terlihat, dan belum banyak ilmuwan komunikasi ASEAN
yang mengadopsi nilai-nilai kebudayaan negara sendiri terhadap ilmu komunikasi
yang mandiri. Pada awal tujuan penelitiannya tersebut adalah untuk mencari tahu
apakah ada konspirasi Amerika Serikat dalam transfer ilmu di ASEAN, dan
ternyata hasilnya tidak ada kaitannya hal tersebut murni dilatarbelakangi oleh
tingginya daftar warga ASEAN yang mengambil jurusan Ilmu Komunikasi di
Amerika kala itu (Adhikarya, Wawancara, 8 April, 2016).
Jika dinilai kualitasnya dari ke-5 negara ASEAN kala itu yang memiliki
program ilmu komunikasi terbaik di Asia Tenggara adalah Filipina karena
penguasaan bahasa inggris yang baik sehingga lebih mudah memahami ilmu
komunikasi yang notabene dari Barat (Wawancara, 8 April, 2016).
Di samping itu, penelitian mengenai perkembangan ilmu komunikasi di
Asia pun pernah dilakukan oleh Crispin C. Maslog, dkk (1990) terhadap beberapa
negara yang tergabung dalam Communication Association Assistance Foundation
135
seperti Indonesia, India, Malaysia, Nepal, Filipina, dan Thailand yang melihat
ilmu komunikasi melalui aspek sejarah, status pendidikan, pendidikan komunikasi
formal dan non-formal, dan permasalahan serta prospek kedepan dalam
perkembangannya. Dalam penelitian tersebut terlihat sebuah homogenitas yakni
dominasi model Barat, sebagian besar berorientasi perkotaan, pengharapan adanya
multi-bahasa meskipun didominasi bahasa Inggris di 2 negara, keseragaman
ketika dilanda masalah dan masih berjuang untuk mendapatkan pengakuan
wartawan professional dan komunikasi professional di wilayah tersebut (Maslog
dkk, 1990)
Tulisan lainnya melalu pendekatan historis komunikasi yakni oleh Antoni
(2004) “Riuhnya Persimpangan Itu: Profil dan Pemikiran Para Penggagas
Kajian Ilmu Komunikasi” ia memaparkan bagaimana runtutan sejarah
perkembangan ilmu komunikasi dalam kurun waktu tertentu secara global hingga
sampai di Indonesia termasuk berbagai perdebatan-perdebatan akademis di
dalamnya. Dalam buku tersebut, Antoni turut menyertakan profil-profil para
penggagas komunikasi Barat melalui beberapa kategori seperti penggagas konsep
dasar komunikasi, tokoh kajian media, pandangan alternatif kajian media,
pendekatan kritis kajian media, cultural studies, komunikasi pembangunan dan
komunikasi internasional, penggagas komunikasi antarpersonal, komunikasi
pemasaran, dan lain-lain. Dalam tulisan Antoni tersebut, terangkum bagaimana
perkembangan komunikasi secara global sudah mulai terlihat juga di Indonesia.
Berbicara mengenai kajian ilmu komunikasi perspektif historis di
Indonesia jika diibaratkan seperti untaian benang yang tidak terjalin dengan rapat,
136
terdapat beberapa bagian yang tidak terikat secara kuat. Salah satu bagian yang
dimaksud yakni bahwa jurnalistik telah diajarkan di sebuah institut di Bandung,
jauh sebelum ilmu penerangan (atau publisistik) yang selama ini diketahui sebagai
cikal bakal pendidikan ilmu komunikasi di Indonesia. Hal tersebut terdapat dalam
tulisan Tuti Kakiailatu (1997) dalam “B.M Diah; Wartawan Serba Bisa”. Institut
yang dimaksud bernama Moderne Middelbare Handelsschool yang berdiri
berdasarkan Schoolvereneging Middelare Ksatrian Instituut dan berlokasi di
Bandung, Jawa Barat. Salah satu kejuruannya adalah Middelbare Journalisten
School yaitu sekolah jurnalis yang dipilih oleh B.M Diah untuk mendapat
pendidikan kewartawanan dimana ia selalu mendapat nilai memuaskan di mata
pelajaran jurnalistik (Kakiailatu, 1997).
Institut Ksatrian kala itu dipimpin oleh seorang Belanda, dr. Douwes
Dekker 2 , ia merupakan seorang wartawan yang menerbitkan Bataviaasch
Nieuwsblad (1903) dan tulisannya selalu pro kaum pribumi, kemudian ia bersama
dr. Tjipto Mangunkoesoemo mendirikan harian Het Tijdschrifft disusul oleh
harian Express (1912) yang banyak menyinggung cita-cita kemerdekaan. Tak
sampai disitu, kemudian ia bersama dr. Tjipto dan Ki Hadjar Dewantara
menerbitkan harian Hindia Poetra dan kemudian bersama-sama masuk ke dunia
politik dengan mendirikan Indische Partij.
Tak hanya itu, terdapat salah satu warga negara Indonesia yang
mengenyam pendidikan publisistik di Eropa yaitu Adinegoro pada tahun 1926,
9Menjelang PD-II ia sempat dibuang ke Suriname. Namun, pada tahun 1947 Douwes Dekker kembali ke Indonesia. Ia sangat mencintai negeri ini yang kemudian ia berganti nama menjadi Danu Dirdjo Setya Budhi, atau biasa kita sebut dengan Setiabudi. Kemudian pada tahun 1971 ia diangkat sebagai Perintis Pers Indonesia (Kakiailatu, 1997, h.43)
137
jauh sebelum Astrid S. Susanto dikenal sebagai salah seorang lulusan publisistik
Jerman di tahun 1960-an. Hal tersebut disampaikan oleh Subagio (1987) dalam
“Adinegoro: Pelopor Jurnalistik Indonesia” bahwa Adinegoro melakukan sebuah
perjalanan ke Eropa sebagai bentuk pembelajarannya mengamati perkembangan
pers disana untuk dijadikan pembelajaran sekembalinya ia ke Indonesia.
Perjalannya menariknya terjadi ketika di Jerman, ia menuju Berlin, ke Munchen,
dan juga Wurzburg, masing-masing satu semester untuk belajar jurnalistik, 4
semester untuk geografi dan kartografi, dan 2 semester untuk geopolitik filosofi
dan jurnalistik (Subagio, 1987, h.29). Kemudian pada pertengahan 1931
Adinegoro kembali ke Indonesia, melalui pengalamannya di Eropa yang kala itu
menuntut ilmu jurnalistik atau publisistik yang merupakan ilmu baru bagi
kebanyakan anak muda Indonesia, bersamaan dengannya yang turut menuntut
ilmu sejenis di tempat berbeda lainnya yakni Mochammad Tabrani dan Yahya
Yacub (Subagio, 1987).
Pada masa kehadiran ilmu komunikasi yang sontar terdengar dari Barat,
dulu ilmu komunikasi di Indonesia tidak dikenal sebagai “ilmu komunikasi” yang
berkembang di Amerika Serikat tetapi dengan nama “publisistik” seperti di Eropa.
Dikarenakan di era 1940 – 1950 sebagian besar orang orang Indonesia lebih suka
belajar di Eropa, khususnya Belanda dan Jerman daripada di Amerika sedangkan
pada masa itu publisistik telah diupayakan dalam sejumlah universitas-universitas
di Jerman (Antoni, 2004).
Untuk pertama kalinya, ilmu penerangan diajarkan sebagai mata kuliah di
UGM (1948), dan istilah publisistik diperkenalkan oleh Drs. Marbangun
138
Hardjowiroga (1955) di Akademi Dinas Luar Negeri Yogyakarta yang kemudian
merubah ilmu penerangan menjadi ilmu publisistik. Hal tersebut bertepatan
dengan awal berdirinya Jurusan Publisistik di UGM seiring dengan
berkembangnya pendidikan tinggi Publisistik dalam kurun waktu 1960 – 1970an
seperti UI (1959), Universitas Hasanuddin (1960), Universitas Padjajaran (1964),
Universitas Diponegoro (1967), dll.
Publisistik ala Indonesia di masa Presiden Soekarno lebih mengarah pada
percampuran antara jurnalistik dan propaganda secara praktik, berdeda dengan
publisistik Eropa yang sarat akan filsafat, sosiologi dan politik yang lebih pada
tataran teoritis (Dahlan, 2016). Salah satu usaha Presiden Soekarno yaitu dengan
mendirikan jurusan jurnalistik untuk mendidik para wartawan agar mempunyai
bekal dan pelajaran selevel universitas, dengan semangat jargon yang terkenal
pada saat itu “demi revolusi” (Lukman, Wawancara, 6 April, 2016). Menurut Ina
Mariani (dalam Maslog, 1990) hal tersebut dilaksanakan untuk mewujudkan
harapan dari para wartawan surat kabar di Jakarta yang juga membutuhkan
pendidikan di bidangnya tersebut. Jurusan jurnalistik yang dibuka langsung oleh
Presiden Soekarno berada di Universitas Indonesia (UI), yang kemudian jurusan
tersebut berubah nama menjadi jurusan publisistik.
Perubahan ilmu jurnalistik di Amerika Serikat menjadi ilmu komunikasi
pun berdampak pada perubahan ilmu publisistik di Indonesia, melalui Lokakarya
(1974) yang dipimpin oleh Astrid S. Susanto di Bandung dengan pertimbangan
bahwa ilmu komunikasi sudah mencakup seluruh bidang seperti jurnalistik
maupun publisistik. Astrid yang sempat dihadapkan dengan “pertempuran ilmu”
139
antara ilmu publisistik yang selama ini ia pelajari di perguruan tinggi dan
berorientasi pada filsafat, sejarah, serta sosiologi. Di sisi lain ia harus
menyesuaikan diri dengan ilmu komunikasi di Indonesia yang cenderung
Amerikasentris kala itu. Hal tersebut terlihat dari banyaknya tulisannya mengenai
topik komunikasi. Salah satu bentuk pembelajarannya terhadap ilmu komunikasi
yang berkembang di Amerika terjadi di awal kehadirannya di Indonesia melalui
diskusi dengan Alwi Dahlan satu-satunya lulusan ilmu komunikasi Amerika
Serikat membahas mengenai bagaimana komunikasi yang sebenarnya (Dahlan,
Wawancara, 2016).
Jika berbicara mengenai paradigma dalam Ilmu Komunikasi di Indonesia
yang kala itu banyak dipengaruhi oleh Amerika yang dominan positivistik dengan
pengajaran statistik, metode kuantitatif, dsb hingga tidak sadar bahwa diluar sana
terdapat pendekatan kritis. Alwi Dahlan merupakan salah satu hasil tokoh
komunikasi di Indonesia yang empirical, karena ia mengenamban pendidikan
ilmu komunikasi di Amerika yang notabene kala itu banyak menganut mahzab
empiris. Kemudian, Universitas Indonesia baru mulai membuka diri terhadap
pendekatan kritis pada tahun 1976-1977 ketika pengajar tamu datang dari
Belanda, dan mengajarkan pendekatan kritis seperti Frankfurt School (Lukman,
Wawancara, 6 Mei, 2016). Ed Hollander sang pengajar tamu tersebut pun
menyampaikan dalam buku “Pendidikan dan Perkembangan Komunikasi Massa
Universitas Indonesia” mengenai topik Teori Komunikasi Kritis (1981). Teori
komunikasi kritis lahir pada masa aksi-aksi politik sekitar tahun 60-an Eropa
Barat, di Jerman Barat ia lahir sekitar tahun 1967 ketika terjadi aksi-aksi
140
mahasiswa yang menuntut demokratisasi di universitas-universitas. Menurut
Hollander (1981, h.27) riset kritis pada mulanya dimulai dari suatu pandangan
terhadap masyarakat, yaitu suatu teori kemasyarakatan yang umum; kemudian
dari sudut teori kemasyarakatan yang umum tersebut dilihat apa yang dapat
dikatakan tentang gejala komunikasi massa yang akan diteliti.
Berkisar antara tahun 70-80an Indonesia mulai membuka diri terhadap
pendekatan keilmuan lain selain positivistik. Dalam berbagai kajian ilmu sosial
termasuk ilmu komunikasi, pemahaman antara mahzab empirical dan critical
tidak bisa dipaksakan untuk menjadi mahzab yang terbaik, karena jika dilihat dari
kebutuhan pasar diantaranya menuntut akan adanya kemampuan empiris seperti
perencanaan, sedangkan dalam memperjuangkan hak seluruh rakyat perlu adanya
kemampuan critical. Kedua mahzab tersebut saling mengisi satu sama lain,
seperti yang diungkapkan Rogers di atas.
Meski begitu, tidak dapat terelakan bahwa penggunaan literasi dari Amerika
Serikat cukup tinggi di masa itu seperti yang diungkapkan Ronny Adhikarya
dalam disertasinya. Perlahan tapi pasti, ilmu komunikasi di Indonesia turut
mengalami perubahan mulai dari orientasi pendidikan dari praktis kemudian
menuju teoritis ditandai sebagai bentuk evolusi perkembangan ilmu. Penting
untuk dipahami bahwa ilmu komunikasi merupakan bagian dari kehidupan
manusia, sehingga menjadi perlu untuk dikembangkan dan disesuaikan dengan
faktor budaya serta kemajuan teknologinya. Seperti yang diungkapkan Berger &
Chaffee (1987, h. 895) dengan adanya teknologi sehingga dapat mempengaruhi
141
bagaimana seseorang memperoleh informasi, interaksi sosial yang tercipta dalam
masyarakat, serta hubungan dan tingkah laku masyarakat dalam sebuah institusi.
Melihat kembali satu dekade setelah penelitian dari Ronny Adhikarya
mengenai ilmu komunikasi di ASEAN yang dilakukan di akhir tahun 70an, Ia
menilai bahwa Indonesia belum cukup peduli terhadap perkembangan ilmu
komunikasi melalui SDM-nya. Hal tersebut terlihat dari minimnya lulusan S3
komunikasi dari luar negeri yang kala itu hanya ada Alwi Dahlan. Untuk harapan
kedepannya, Adhikarya (2016) menilai bahwa ilmu komunikasi di Indonesia
harus bisa berkembang dengan ciri khas nya dan memperhatikan kebudayaan
lokal. Hal tersebut didukung oleh pendapat Eduard Lukman (2016) bahwa ilmu
komunikasi di Indonesia tidak seharusnya bersifat homogen dengan ditandainya
peminatan di berbagai jurusan ilmu komunikasi di Indonesia yang serupa seperti
Public Relations, Jurnalistik, Advertising saja tetapi melihat aspek heterogenitas
keilmuan yang ditingkatkan sesuai dengan kebudayaan lokal.
Tantangan yang dihadapi ilmu komunikasi di Indonesia saat ini adalah
apakah tetap mengikuti arus pembidangan ilmu komunikasi yang sudah tidak
relevan atau berdiri sendiri dan menciptakan SDM hingga kurikulum yang
menunjang proses pembelajaran yang saling menunjang dan memiliki identitas
ciri khas dari tiap lembaga yang berbeda-beda. Sehingga pada nantinya, ilmu
komunikasi di Indonesia dan tidak konstan dapat semakin mengembangkan ranah
kajiannya.
Dalam penelitian ini, peneliti dituntut untuk berpikir secara filsafat pada
aspek epistimologi, (Littlejohn & Foss, 2009, h. 25) bahwa cara akademisi
142
melakukan penelitian dan menyusun teori-teori sangat bergantung pada asumsi-
asumsi epistimologis mereka karena apa yang mereka pikirkan tentang
pengetahuan dan bagaimana mereka memikirkan tentang pengetahuan itu
didapatkan, menentukan apa yang mereka temukan.
Membuka satu persatu sejarah yang berkaitan dengan perkembangan ilmu
komunikasi sejak diawal perkembangannya di awal abad 19, peneliti dituntut
untuk memiliki pemahaman terhadap realitas di masa itu. Temuan data dalam
penelitian merupakan produk interaksi antara peneliti dengan yang diteliti seperti
dokumentasi dan wawancara yang kemudian ditafsirkan secara menyeluruh
melalui asumsi epistimologis studi pemikiran.
Kehadiran Astrid S. Susanto dalam perkembangan ilmu komunikasi di
Indonesia turut berpengaruh dan dipengaruhi oleh historis komunikasi secara
global baik pengaruh dari Eropa maupun Amerika kala itu. Pengaruh tradisi Eropa
yang mempengaruhinya pada aspek kritis karena pendidikan di Jerman kala itu
mengedepankan aspek keilmuan seperti filsafat. Hal tersebut salah satunya terkait
data-data mengenai pers diawal reformasi yang tergolong agak vocal atau kritis
sebagai ciri khas tradisi Eropa. Karena Astrid cukup lama belajar di Eropa dan
aspek filosofisnya sangat kuat, dan filsafat inilah yang mengharuskan seseorang
untuk berpikir kritis secara mendasar.
Adapun pengaruh Astrid bagi kemajuan ilmu komunikasi di Indonesia
melalui perannya selama di bidang pemerintahan, ia turut serta dalam pengadaan
satelit telekomunikasi Palapa, mengadakan program “Televisi Masuk Desa”,
pemberian infrastruktur bagi lembaga-lembaga pendidikan ilmu komunikasi, dan
143
memperjuangkan Indonesia bagian Timur agar mendapat perhatian lebih oleh
masyarakat. Komunikasi Timur yang dimunculkan oleh Astrid dalam berbagai
tulisannya, mengindikasikan bahwa (1) komunikasi turut menjadi bagian dari
proses kegiatan bermasyarakat yang sangat memperhatikan nilai-nilai kebudayaan
hingga adat istiadat tertentu; (2) penyampaiannya yang high context inilah turut
menjadi ciri khas Astrid dalam berbagai gagasannya, bahwa konsep hubungan
lebih penting daripada konsep pesan yang berkembang berdasarkan peran sosial,
status, hingga kekuatan dalam bermasyarakat; (3) komunikasi dianggap sebagai
salah satu upaya dalam menjaga persatuan dan kesatuan, terutama dalam
memahami keinginan dasar tiap-tiap masyarakat Indonesia dari Barat hingga
Timur.
Meskipun berdasarkan temuan data yang peneliti dapatkan, dapat dikatakan
bahwa Astrid tidak tergolong dalam pelaksana komunikasi tetapi lebih kepada
policy maker (pembuat kebijakan) meski begitu perannya bagi pembangunan
Indonesia di masa orde baru tidak dapat terelakan. Posisi Astrid yang cukup
strategis di masa itu yakni sebagai seorang praktisi, sekaligus seorang akademisi
pun berdampak pada bagaimana ia menyampaikan bentuk pengajaran terhadap
mahasiswanya. Penjelasan secara praktis dan story telling itulah yang kemudian
menjadi ciri khas pola ajarnya di kelasnya kala itu terutama terkait topik-topik
pembangunan, kemasyarakatan, komunikasi, dsb.
Meski begitu, terdapat sebuah pandangan kritis terhadap ilmuwan di masa
Orde Baru menurut Hadiz & Dhakidae (2006, h.8) bahwa seorang ilmuwan sosial
bisa duduk di puncak bidangnya dan menjadi suatu figur berwibawa besar bukan
144
semata-mata karena mutu karya dan penelitiannya, tetapi karena kedekatan dan
kesetiaannya kepada rezim. Rezim Soeharto dikenal sebagai masa yang
menekankan pada aspek pembangunan. Astrid S. Susanto yang kala itu turut
menjadi pembuat kebijakan di era orde baru pun dapat dikatakan bahwa
penelitian-penelitiannya diarahkan pada penggunaan data kuantitatif. Dapat
terlihat bahwa meskipun ia menggunakan data kuantitatif ia turut menyertakan
pandangannya, salah satunya dalam tulisan mengenai Wanita dan Pembangunan,
bahwa tidak selalu data kuantitatif dapat dijadikan acuan karena penelitian
kualitatif pun diperlukan untuk menjawab persoalan-persoalan sosial yang tidak
dapat didatakan melalui data statistik. Bahkan menurut Ananta (dalam Hadiz &
Dhakidae, 2006, h. 99) satatistik dapat dipakai mengarahkan penerima informasi
ke suatu persepsi yang salah tanpa si pemberi informasi dapat disalahkan, karena
angka yang disajikan memang benar. Penggunaan statistik sangat bergantung
kepada orang yang mempersepsikannya, dapat dikatakan bermanfaat jika
digunakan untuk meningkatkan harmonisasi suatu bangsa namun dapat pula
dikatakan sebagai penghancur jika digunakan untuk memecah belah suatu
kelompok masyarakat. Hal inilah yang kemudian membuat Astrid bersitegang
dengan dirinya sendiri, di satu sisi ia ingin tetap berada sebagai pemerhati rakyat
Indonesia tetapi di sisi lain ia tetap harus berada dalam pola yang sudah dibentuk
di era Orde Baru kala itu.
Secara personal, Astrid memiliki kecenderungan minat terkait persoalan
budaya dan masyarakat. Perhatiannya terhadap masyarakat inilah yang kemudian
membuatnya “bertahan” di tengah sistem pengetahuan dan sistem kekuasaan pada
145
masa itu, melalui hasil penelitian-penelitiannya yang cenderung interpretatif di
tengah tingginya tuntutan penelitian positivistik yang tak hanya menampilkan data
yang dikuantitatifkan saja, tetapi juga menghadirkan diskusi wacana yang pro
rakyat melalui berbagai perencanaan maupun kebijakan di Bappenas.
Sama halnya jika membicarakan minatnya terkait budaya. Hal tersebut
terungkap melalui latar belakang personalnya yang bercita-cita mendalami
arkeologi dan terlihat dari pendekatan riset dalam proyek-proyeknya di Bappenas
kala itu, untuk memahami masyarakat yakni melalui pesan dengan pendekatan
interpretatif. Salah satu penelitiannya yakni mengenai Indonesia Timur, Astrid
yang kala itu turut bergabung dalam tim penelitian pada Proyek Pembangunan
Masyarakat Pedesaan Wamena dan penelitian terhadap Aspek-aspek Hukum Adat
Timor-Timur yang berlaku dalam Kehidupan Masyarakat (1994).
Atas perannya inilah, Astrid pun turut mewarnai perkembangan kajian ilmu
komunikasi dengan turut serta dalam perubahan perspektif publisistik kearah ilmu
komunikasi dari Amerika. Meski di tengah perjalanannya sempat dihadapkan
dengan “pertempuran ilmu”. Bekal pendidikannya di Eropa yang cenderung kritis
pun tidak serta merta dapat diaplikasikannya ketika ia kembali ke Indonesia,
perlunya penyesuaian ilmu komunikasi ala Amerika dan tugasnya sebagai seorang
birokrat pun membentuknya sebagai akademisi sekaligus praktisi yang berpegang
pada paradigma interpretatif. Melalui dokumen-dokumen yang peneliti dapatkan,
kecenderungan penelitian kualitatif pun menjadi dominan diantara berbagai hasil
kerjanya yang turut memasukan data yang telah dikuantitatifkan. Inilah yang
menjadi keunikan Astrid dalam mengolah data statistik.
146
Berdasarkan penelurusan terhadap data-data historis ilmu komunikasi di
Indonesia pun ditemui bahwa terdapat beberapa tokoh komunikasi di Indonesia
yang turut berpengaruh bagi perkembangan ilmu komunikasi baik untuk
negerinya hingga untuk dunia. Melalui kedekatan hubungan antara para ilmuwan
Indonesia yang pernah mengenyam pendidikan di Amerika maupun di Eropa
dengan para ilmuwan Barat, yang mana turut berdampak pada perhatian lebih
dunia kepada Indonesia. Tokoh-tokoh tersebut salah satunya yakni Alwi Dahlan,
Ronny Adhikarya, Alfian, Ismid Hadad, F.X Rachmadi, dan Nawawi yang turut
bergabung dalam East-West Communication Institute, AS.
Dokumentasi pribadi Ronny Adhikarya
147
Dokumentasi pribadi Ronny Adhikarya
Dokumentasi pribadi Ronny Adhikarya
148
Dokumentasi pribadi Ronny Adhikarya
Penelitian mengenai studi pemikiran tokoh komunikasi Indonesia melalui
pendekatan sejarah tergolong relatif baru dan belum banyak dilakukan. Hal
tersebut menjadi penting untuk melakukan penelitian komunikasi perspektif
historis ini, baik secara global hingga sampai di Indonesia. Tujuannya adalah
merujuk pada pemenuhan kebutuhan terhadap keutuhan informasi mengenai
sejarah perkembangan ilmu komunikasi, yang dapat digunakan sebagai batu
loncatan untuk memahami fenomena sosial di masyarakat secara mendasar
melalui perspektif historis. Hal ini dilakukan sebagai salah satu langkah awal
untuk membumikan ilmu komunikasi di Indonesia, seperti yang diharapkan oleh
Prof. Alwi Dahlan sebagai Bapak Komunikasi Indonesia.
149
BAB VI
SIMPULAN DAN SARAN
6.1 Simpulan
Berdasarkan uraian dan penjelasan pada bab sebelumnya, dapat
disimpulkan hal-hal yang berkaitan dalam penelitian ini. Pertama, studi pemikiran
dalam penelitian ini memperhatikan data yang dilatarbelakangi oleh beberapa
variabel yakni: 1) latar belakang keluarga; 2) pendidikan; 3) peran sosial; 4)
lingkungan sosial dan kolega, menjadi beberapa hal yang mempengaruhi
bagaimana pemikiran Astrid S. Susanto. Kedua, fenomena pertarungan ilmu yang
dialami Astrid S. Susanto dalam perkembangan ilmu komunikasi di Indonesia
turut mempengaruhi dirinya dalam mengembangkan kualitas akademiknya,
sebagai lulusan publisistik di Eropa yang sangat filosofis ia harus menyesuaikan
diri dengan ilmu komunikasi yang turut berkembang saat itu yang berasal dari
Amerika.
Dalam hal penulisan, Astrid pun memiliki ciri khasnya seperti (1)
penjelasan yang high context, (2) selalu menyertakan “pengertian” dari topik yang
dibahas melalui perspektif sosiologi, sejarah, dan komunikasi, (3) tingginya
rujukan terhadap pada tokoh sosiolog maupun filsuf Eropa dan beberapa tokoh
komunikasi Amerika, (4) terdapat perbedaan tulisannya versi buku dengan jurnal
lepasnya, (5) tema-tema pokok yang menjadi perhatiannya terkait dengan program
pembangunan di masa peran sentralnya di pemerintahan.
149
150
Kajian mengenai komunikasi perspektif historis menempatkan Astrid S.
Susanto sebagai tokoh yang turut mewarnai perkembangan perkembangan bidang
kajian ilmu komunikasi di Indonesia. Meskipun ia bukanlah pelaksana studi
komunikasi tetapi lebih kepada pembuat kebijakan komunikasi sebagai bagian
dari tugasnya kala itu, dengan peran dan tanggung jawab yang sangat besar
dimana Astrid sangat memperhatikan adanya pemerataan kesejahteraan rakyat
Indonesia. Meski banyak merujuk pada literatur Barat, tetapi pandangannya yang
berangkat dari faktor kemasyarakatan turut menyumbangkan pandangan keilmuan
berbasis lokal yang disesuaikan dengan situasi ekonomi, sosial, dan budaya di
masa pembangunan Indonesia kala itu.
Sejauh ini penelitian studi pemikiran khususnya tokoh komunikasi di
Indonesia belum banyak berkembang, hal tersebut dibuktikan dari rendahnya
literatur lokal yang membahas topik sentral seperti perspektif historis komunikasi.
Sehingga penelitian ini diharapkan dapat memetakan arah studi komunikasi di
Indonesia serta mengisi kekosongan literatur-literatur berbasis lokal sebagai acuan
dasar pemahaman perspektif historis, untuk membumikan ilmu komunikasi di
Indonesia salah satunya melalui mengintervarisasi tokoh-tokoh komunikasi
Indonesia. Hal tersebut sebagai bentuk perwujudan wacana global mengenai
tuntutan akan adanya kontribusi Indonesia di Asia, untuk mengembangkan ilmu
komunikasi.
151
6.2 Proposisi
Penelitian mengenai studi pemikiran tokoh komunikasi Indonesia Astrid S.
Susanto ini menghasilkan beberapa proposisi sebagai berikut, yakni:
Pertama, posisi Astrid S. Susanto sebagai akademisi sekaligus praktisi
merupakan perpaduan yang khas melekat pada dirinya sebagai salah satu tokoh
komunikasi di Indonesia.
Kedua, kondisi sosial, ekonomi, politik, budaya di Indonesia ketika ia
berkontribusi bagi negara di Bappenas turut mempengaruhinya dalam membuat
kebijakan di masa Orde Baru.
Ketiga, fokus pemikiran Astrid S. Susanto didasari oleh keinginan yang
telah tertanam sejak dini untuk menjaga Bhinneka Tunggal Ika negara Indonesia.
Hal tersebut tercermin dari bagaimana ia membawa implikasi tersebut bagi
lingkungannya.
6.3 Saran
Bentuk refleksi yang telah dilakukan sepanjang penelitian ini, maka
peneliti memberikan beberapa saran akademis maupun praktis yang dapat
dilakukan peneliti selanjutnya yang memiliki kesamaan tema penelitian.
6.3.1 Saran Akademis
− Mengembangkan bidang pendekatan historis dalam kajian komunikasi,
sebagaimana yang disarankan oleh Simonson, dkk dalam “Handbook of
Communication History” (2013, h.85) mengenai upaya de-westernize,
152
yakni mengkaji sejarah komunikasi di luar Amerika Utara dan Eropa Barat
terutama di Asia.
− Mengembangkan studi pemikiran melalui pendekatan filsafat komunikasi
dan pendekatan historis, karena disadari bahwa masih banyak tokoh-tokoh
yang memiliki peran penting bagi ilmu komunikasi di Indonesia hingga
dunia yang turut berpengaruh menyebarluaskan ilmu pengetahuan.
− Mengembangkan kajian komunikasi mengenai School of Communication
atau kecenderungan komunikasi yang tumbuh di beberapa perguruan
tinggi di Indonesia seperti di UGM, Undip, Unpad, Unhas, USU, dan
UNS.
6.3.2 Saran Praktis
Saran praktis lebih kepada institusi seperti akademisi di perguruan tinggi,
lembaga kesejarahan/kearsipan agar lebih memperhatikan data, literatur, dan
bahan terkait sejarah perkembangan ilmu komunikasi sehingga dapat tertata rapih.
DAFTAR PUSTAKA
Adhikarya, R. (1981). Transnational communication knowledge transfer and
utilization process. the U.S-ASEAN case. USA: Stanford University Alfira, N. & Handayani, S. (2015). Studi Pemikiran Komunikasi Pembangunan:
Upaya Perumusan Model Komunikasi Pembangunan sebagai Unsur Pendukung Good Governance. Naskah belum diterbitkan. Malang: Universitas Brawijaya
Andrie, T. (2002, Mei). Media kepala batu. Diakses pada 1 Maret, 2016, dari
http://www.pantau.or.id/index.php/?/=165 Antoni. (2004). Riuhnya persimpangan itu: Profil dan pemikiran para penggagas kajian ilmu komunikasi. Solo: Tiga Serangkai Berger P.L. & Chaffee, S. H. (1987). Handbook of communication science. Newbury Park, CA: SAGE Berger P.L. & Luckmann, T. (1991). The social construction of reality: A treatise in the sociology of knowledge. Inggris: Penguin Book Ltd. Braun, V. & Clarke, V. (2006) Using thematic analysis in psychology. Qualitative
research in psychology, 3 (2), 77-101. ISSN 1478-0887 Braun, V. & Clarke, V. (2013). Theaching thematic analysis: Overcoming challenges and developing strategies for effective learning. The psychologist, 26 (2), 120-123. ISSN 0952-8229 Bryman, A. (2008). Social research methods. Oxford: University Press Budi HH, dkk. (2012). Communication review: Catatan tentang pendidikan
komunikasi di Indonesia, Jerman, dan Australia. Yogyakarta: ASPIKOM dan Buku Litera
Cangara, H. (2014). Pengantar ilmu komunikasi. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada Craig, R. T. (1999). Communication theory as a field. Journal of communication
theory. Vol. IX (2). pp. 119-161 Creswell, J.W. (2013). Research design: Pendekatan kualitatif, kuantitatif, dan
mixed. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
153
154
Dahlan, A. (1983). Communication and change in Indonesia: an overview. Singapore: Asian Mass Communication Research & Information Centre _________. (1986). The Palapa project and rural development in Indonesia. Singapore: Asian Mass Communication Research & Information Centre Donsbach, W. (2008). The international encyclopedia of communication. Oxford: Blackwell Publishing Ltd. Duvall, R. D. (1978). Dependence and dependencia theory: Notes toward precision of concept and argument. International Organization. Vol. 32. No. 1. pp 51-78 Effendy, O.U. (2003). Ilmu, teori, dan filsafat komunikasi. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. Effendy, O.U. (2011). Ilmu komunikasi: Teori dan raktek. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Guba, E. G & Lincoln, Y. S. (1994). Competing paradigm in qualitative research in N. K. Denzin & Y. S. Lincoln (Eds.), Handbook of qualitative research (pp. 105-117). Thousand Oaks, California: SAGE Gudykunst, W. B. & Mody, B. (2002). Handbook of International and intercultural communication (2nd Ed). USA: SAGE Publications Hadiz, V. D & Dhakidae, D. (2006). Ilmu sosial dan kekuasaan di Indonesia. Jakarta: Equinox Publishing Hardt, H. (2008). Critical communication studies, history and theory in America.
New York: Routledge Hidayat, D. N. (2008). Dikotomi kualitatif – kuantitatif dan varian paradigmatik
dalam penelitian kualitatif. Jurnal ilmiah SCRIPTURA, Vol. 2 (2), 81-94 Hollander, E. (1981). Teori komunikasi kritis. Pendidikan dan perkembangan
komunikasi massa Universitas Indonesia. Jakarta: Departemen Ilmu Komunikasi Massa Fakultas Ilmu-Ilmu Sosial Universitas Indonesia
Ibrahim, I.S. (2004). Dari nalar keterasingan menuju nalar pencerahan: Ruang
publik dan komunikasi dalam pandangan Soedjatmoko. Yogyakarta: Jalasutra
Igwe, E. (2010). Underdevelopment in Africa: Western and African perspectives,
1950 – 2010. (Doctor’s dissertation). New York: St. John University
155
Kakiailatu, T. (1997). B. M Diah: Wartawan serba bisa. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan Littlejohn. (1999). Theories of human communication 6th ed. USA: Wadsworth
Publishing Company
Littlejohn, S.W. & Foss, K.A. (2009). Teori komunikasi: Theories of human communication 9th ed.. (Hamdan, M. Y, Ter.), Jakarta: Salemba Humanika.
Maslog, C.C, dkk. (1990). Communication education in Asia: Status and trends in India, Indonesia, Malaysia, Nepal, Philippines, and Thailand. Filipina: Press Foundation of Asia.
Miles, M. & Huberman, M. (1992). Analisis data kualitatif: Buku sumber tentang metode-metode baru. Jakarta: Universitas Indonesia (UI-Press).
Moleong, L. J. (2010). Metode penelitian kualitatif: Edisi revisi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Muhtadi, A. S. (2003). Guruku: Kharismatik dan komunikatif kenanagan dan
pengabdian 76 tahun Santoso S. Hamijoyo. Bandung: ASM Neuman ,W. L. (2013). Metode penelitian sosial: Pendekatan kualitatif dan
kuantitatif (7th Ed). Dalam Edina T.S (Ter). Jakarta: PT Indeks Nerone, J. (2006). The future of communication history. Critical Studies in Media
Communication. Vol 23. pp. 254-262. Nimmo, D. (1979). Communication yearbook 3. New Jersey: Transaction Books. Noeradi, W, dkk. (2008). 75 Tahun M. Alwi Dahlan: Manusia komunikasi,
komunikasi manusia. Jakarta: Departemen Ilmu Komunikasi FISIP UI dan Kompas
Rogers, E. M. (1997). A History of communication study: A Biographical
approach. New York: The Free Press ____________. (1979). Communication and development: The passing of the
dominant paradigm. Journal of Communication and development: critical perspectives. London: SAGE, pp. 121-48
____________. (1983). Difussion of innovation (3rd Ed). New York: The Free
Press Ross, M. (2013). An alternative path: The intellectual legacy of James W. Carey.
University of South Carolina.
156
Ruben, B. D & Stewart, L. P. (1998). Communication and human behavior 4th ed. Boston: Allyn and Bacon
Scotland, J. (2012). Exploring the philosophical underpinnings of research: Relating ontology and epistemology to the methodology and methods of the scientific, interpretative, and critical researh paradigm. English Language Teaching, 5(9): 1-9
Schramm, W. (1979). Mass media and national development. USA: East-West
Communication Institute, Honolulu Schreiter, R. J. (2006). Rancang bangun teologi lokal. Jakarta: Gunung Mulia Schudson, M. (1991). “Historical Approaches to Communication Studies. Dalam
Handbook of Qualitative Methods for Mass Communications Research, editor Nicholas W. Jankowski and Klaus Burhn Jensen, 175-189. New York: Routledge.
Servaes, J. (2002). Approaches to development communication. Paris: UNESCO ________. (2008). Communication for development and social change. New
Delhi: SAGE Publishing India Etd Simonson, P, Peck. J, Craig, R. T, Jackson, J. P. (2013). The handbook of
communication history. New York: Rouledge Singhal, A. (1987). Wilburr Schramm portrait of a development communication
pioneer. Journal of communicator. Vol. XXII (1-4) Subagio, I. N. (1987). Adinegoro: Pelopor jurnalistik Indonesia. Jakarta: Haji
Masagung Suriasumantri, J. (2001). Filsafat Ilmu; Sebuah pengantar populer. Jakarta: CV
Muliasari
Susanto, A.S. (1986). Filsafat komunikasi. Bandung: Binacipta __________. (1985). Pendapat umum. Bandung: Binacipta __________. (1984). Sosiologi pembangunan. Bandung: Binacipta __________. (1977). Komunikasi kontemporer. Bandung: Binacipta __________. (1989). Komunikasi pengendalian dan komunikasi pengawasan. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan
157
__________. (1995). Globalisasi dan komunikasi. Jakarta: Midas Surya Grafindo Swidder, A. & Arditi, J. (1994). The new sociology of knowledge. Annual
Reviews. 20 (329), 305-329
TRANSKRIP WAWANCARA DRS. EDUARD LUKMAN. M.A 23 des 2015
Universitas Indonesia Salemba, Jakarta
Dwi : Bagaimana hubungan relasi Bapak dengan Bu Astrid? Pak Edu : Ya dalam satu semester porsi saya mengajar banyak ya disamping
beliau, karena beliau itu di BAPPENAS, jadi sibuk. Dwi : Iya sempat di BAPPENAS lama Pak. Lalu bagaimana
interaksi Bapak dengan Bu Astrid? Pak Edu : Ya saya sering lebih banyak mengajar, jadi kesempatan
berinteraksi dengan Bu Astrid juga terbatas dibanding dengan Pak Alwi Dahlan, ya sama mengenal beliau udah 35 tahun lebih, sampai sekarang. Jadi saya, ngga bisa terlalu banyak cerita tentang Bu Astrid. Tapi saya hmmm saya juga pernah jadi murid Bu Astrid di mata kuliah Komunikasi Internasional, kalau ngga salah.. Ya.. Nah beliau itu kan buku-bukunya dulu dipakai sebagai rujukan tuh. Ya.. Filsafat Komunikasi terus ada lagi tuh Komunikasi Massa Jilid I tuh ya sampe jilid berapa tuh haha
Dwi : Iya sampe jilid IV, Pak. Lalu bagaimana tanggapan Bapak mengenai tulisan beliau? Pak Edu : Haha kamu masih ingat ya.. walopun kalau boleh saya
tambahkan, dengan segala hormat ke Bu Astrid, ya buat saya juga yah, ngga mudah baca buku Astrid. Ya.. Ya.. Panjang kalimatnya untuk anak-anak ya.. tapi itu ciri orang yang belajar di Jerman. Tulisan jerman begitu. Panjaaang begitu kita di ekor kalimat kita lupa tadi yang di depannya, balik lagi. Buku Bu Astrid memang tidak mudah ya. Beda dengan tulisan Pak Alwi Dahlan atau tulisannya Pak Deddy, atau orang Politik juga Dr. Alfian. Cuma ya setelah terbiasa membaca tulisan Bu Astrid ya bisa juga.. Style-nya beda lah begitu. Nah, lagipula mungkin Bu Astrid di dalam tulisannya khususnya yang komunikasi massa I sampai IV itu banyak menyinggung isu-isu yang mungkin berkaitan dengan tugas beliau di BAPPENAS, ya.. begitu. Sehingga ada komentar buku-buku Bu Astrid tuh mungkin belum tentu mudah dibaca oleh mahasiswa yang baru belajar komunikasi semester 1, semester 2 ya? Mungkin itu lanjutan untuk orang yang sudah semester 5 keatas ya.. Tapi banyak tempat saya lihat itu dijadikan bacaan wajib semester 1. Saya pernah ngajar di UNNAS (Universitas Nasional) dan saya lihat kok bacaan wajibnya kok ini?
Dwi : Yang Bapak maksudkan apakah buku-buku tulisan Bu Astrid tergolong cukup sulit bagi mahasiswa komunikasi di awal perkuliahan Pak? Pak Edu : Ya cukup sulit untuk anak semester 1. Tuh, jadi saya tawarkan
bacaan yang lain, lebih baik baca yang ini, baca yang ini, cuma ya memang itu juga berarti bahwa pada waktu itu khususnya dulu mungkin textbook komunikasi tidak banyak.. Orang yang nulis terbatas sekali ya. Salah satunya Bu Astrid, itu yang menjadi apa namanya? ya apa boleh buat itu aja yang dibaca ya, walopun tidak mudah bagi anak semester 1 atau tingkat 1. Sama buku-bukunya Pak Onong Effendi, sampe sekarang masih dikutip itu.. di dalam thesis ya.. Onong Uryana Effendi. Ya bukannya mengdeskriditkan beliau.. tetapi kita juga mesti paham konteks buku-buku itu kan dulu 30-35 tahun yang lampau. Boleh dibaca sebagai pelengkap tetapi harus memahami konteksnya.
Dwi : Menurut Bapak sendiri, sosok Bu Astrid sendiri seperti apa
Pak? Kalau ketika beliau mengajar? Pak Edu : Beliau itu storyteller hehe. Mungkin saya juga terpengaruh haha
karena saya juga story teller. Hmmm tapi guru-guru saya di Komunikasi umumnya story teller. Kadang-kadang larut, lupa, topik bahasan hari itu apa. Misalkan beliau baru pulang dari sebuah negeri atau pulang dari sebuah daerah. Nah Bu Astrid pasti ceritanya tentang itu.. Kadang lupa mungkin bahwa sub topik kuliah hari itu topiknya lain lagi. Tapi ya kita sih enak enak aja denger cerita begitu ya.. Nah beliau juga keibuan. Hmm dan tidak boleh lupa juga kalau beliau ini keluarga pejuang
Dwi : Iya Pak, Bapak beliau adalah Prof. Soenario
Sastrowardjojo. Pak Edu : Bapaknya Pak Soenario pernah menjadi berbagai menteri ya.
Menjadi menteri luar negeri pernah ya.. Dan cerita-cerita beliau selalu penuh semangat kebangsaan. Kebangsaan bahwa bangsa ini luas, susah, majemuk dan ini harus dikawal. Bagaimana mengawalnya? Kita orang komunikasi pasti mengawalnya dengan komunikasi. Kalau saya tangkap pesannya seperti itu.
Dwi : Beliau sendiri ini kan lulusan Jerman dari Freit Universitat,
sedangkan kalau dari buku yang saya baca, belum banyak tokoh komunikasi yang menjadi rujukannya. Beliau itu lebih banyak mengadopsi tokoh-tokoh komunikasi Amerika. Bagaimana tanggapan Bapak?
Pak Edu : Ya sebetulnya, karena beliau belajar di Jerman, rujukan beliau lebih banyak ke Eropa. Karena beliau itu belajar disana kalau tidak salah itu Filsafat ya? Atau sosiologi ya? Bukan komunikasi yang dikenal di Amerika. Orang yang pertama kali belajar
komunikasi seperti yang dikenal di Amerika dan dominan sekarang disini sebetulnya adalah Pak Alwi Dahlan. Pak Alwi Dahlan itu belajar komunikasi berkembang yang hingga komunikasi saat ini kita kenal. Bu Astrid memulai start yang berbeda. Gitu.. Tentu itu berujung pada publisistik dan itu beliau tentu punya andil besar. Beliau mengawali karirnya itu di Unpad. Unpad memang publisistik, Fakultas Publisistik, ya.. Ada 3 jurusan kalau tidak salah Jurnalisme, Penerangan sama Humas. Gitu.. yang pada waktu itu memang tepat. Kalau sekarang tentunya sudah jadul itu ya. Masa penerangan ya? Tapi beliau mulai darisana, dan itu tepat karena beliau punya akar Jerman dan Eropa. Dimana asal muasal publisistik itu lahir.
Dwi : Hal tersebut menandakan pola beliau beliau yang filsafat
sekali ya Pak? Lalu apa yang menjadi ‘berbeda’ dari beliau Pak?
Pak Edu : Iya, beda dengan pendekatan Pak Alwi ya. Amerika, karena beliau murid langsungnya Pak Schramm. Dan kajian-kajian komunikasi memiliki tradisi Amerika yang sangat positivistik. Tapi jangan lupa banyak pelarian-pelarian Eropa yang jaman Hittler itu banyak lari ke Amerika. Nah itu mewarnai profil komunikasi di Amerika, ya? Ada Hertz, Harold Laswell, semua itu kemudian memperkaya profil hmm disiplin komunikasi di Amerika. Apa artinya? Itu kontribusi Eropa ya. Untuk melengkapi dua-duanya. Melengkapi. Eropa juga belajar banyak dari pendekatan positivistik Amerika ya. Saling menutup kekurangan dan membawa kelebihan-kelebihan ya. Sekarang di Eropa juga belajar komunikasi ya lengkap ya hanya yang critical atau kualitatif atau lebih ke filosofis tidak.. Tradisi positivistik juga kuat. Amerika juga gitu. Critical dibawah universitat kuat, termasuik di Wisconsine tempatnya Pak Deddy. Pendekatan itu semua kayak fashion, berganti-ganti, nanti ini yang dominan, itu yang dominan ya. Nah disini juga begitu, jaman saya dulu semua positivistik bikin skripsi pake statistik, gak passion kalo ngga bikin pake statistik.
Dwi : Lalu apakah yang kualitatif jarang atau memang tidak ada
Pak di ilmu komunikasi UI kala itu? Pak Edu : Mungkin kami tidak kenal, kemudian critical ya.. Analisis
wacana ya. Hmm apa namanya konstruksi sosial, konstruksi media ya.. Political economy, ekonomi media ya. Tetapi nanti hal tersebut bisa berubah lagi. Saya perhatikan content analysis yang kualitatif sudah mulai ada lagi. Itu dulu pada 80 awal hmm framing analysis pernah dominan juga. Wah banyak sekali ya.. tapi sekarang mulai memudar sesuai fashion, ada modelnya, ada musimnya ya. Ketika dia muncul menjadi model yang baru, ada bentuknya, ada sintesa dari yang lain-lain hingga mencapai bentuk yang baru.
Dwi : Saya ingin memastikan, Bu Astrid sendiri kan lebih lama di
UI daripada di Unpad ya Pak? Beliau lebih lama di UI sedangkan ketika beliau mengajar di UI beliau juga bekerja di BAPPENAS, otomatis apakah ada pengaruh beliau ketika mengajar dengan pandangan-pandangan perpolitikan ataupun kemasyarakan yang beliau pegang?
Pak Edu : Iya benar. Sedikit ada. Ketika beliau mengajar tidak terlepas dari pengalaman beliau di birokrasi. Sebagai birokrat, sebagai policy maker, ya? Karena dulu beliau punya wewenang yang besar itu untuk memutuskan anggaran. Khususnya di bidang komunikasi, media massa, tv. Ya betul, dan itu sebetulnya membawa keuntungan bagi studi komunikasi. Karena kalau saya dengar dari senior-senior saya Bu Astrid memfasilitasi itu berbagai hal untuk perkembangan komunikasi dari segi infrastruktur, sebagai sarana, juga sebagai pendidikan tinggi di berbagai universitas karena adanya beliau di posisi itu. Saya dengar dari senior-senior saya ya? Termasuk guru saya Pak Alwi Dahlan juga ya. Itu sebetulnya beliau punya circle of influence yang besar, karena beliau punya power, punya wewenang ya dan beliau punya orang akademik itu dibawa ya. Tentu hal itu juga membuat satu kelebihan bahwa beliau ketika menerima masukkan untuk kebijakan beliau berangkat dari pemahaman akademik yang berbasis pengetahuan, tidak serta merta hanya sebatas perhitungan-perhitungan politis tetapi juga dari segi pengetahuan yang benar-benar akademik dari segi keilmuan.
Dwi : Ada beberapa tulisan beliau, lebih kearah rangkuman diskusi
beliau ketika itu diminta oleh Departemen Penerangan Pak. Dan tulisan beliau tergolong dominan menggunakan paradigma positivistik, bagaimana tanggapan Bapak?
Pak Edu : Begini, kalau orang berada dalam posisi pembuat kebijakan, dia butuh figures, data, butuh angka, tidak bisa hanya sifatnya normatif harus begini harus begitu idealnya seperti itu dsb. Sebab kebijakan kan harus berbasis angka dan data ya. Dan beliau tentu menyadari hal itu, karena implikasi dari sebuah keputusan yang dia ambil, jika tidak berdasarkan data yang memadai tentunya akan celaka ya. Kalian bisa baca tulisannya Rogers tahun 82 di Communication Yearbook Vol. 5 kalian lihat. Rogers bercerita mengenai mahzab, penelitian komunikasi itu ada mahzab administrative (kuantitatif), positivisitik, dan critical (filosofis, historical). Dua duanya sebetulnya bisa bersintesa, critical mengangkat isu-isu yang penting concern pada keprihatinan; kritik. Tetapi dia juga harus dibantu oleh administrative yang mensuplai dengan data dan angka. Sehingga dapat bersatu, jangan hanya melihat kekurangan-kekurangan apa yang dapat diambil
dari satu mahzab dengan mahzab yang lain. Tidak semua orang setuju dengan hal itu. Tapi itu kan pendapat Rogers, dan dia punya argumen tentang itu. Dan selama berkembang banyak yang dapat dikritik, ketimpangan struktural, ketimpangan ekonomi, ketimpangan pembangunan, di Negara Amerika Latin apalagi di Negara kita. Saya melihat Bu Astrid disitu. Dalam mengambil kebijakan beliau juga memerlukan figures, angka, data, dsb ya.
Dwi : Bu Astrid sendiri memiliki perhatian khusus pada aspek-
aspek yang sudah saya singgung sebelumnya Pak. Lalu apakah hal tersebut mempengaruhi bidang Sosiologi Komunikasi Pak?
Pak Edu : Ya tentu ada. Kalau kalian membaca buku beliau tentu ada pesannya walopun secara implisit, tersirat dimana-mana. Beliau tahu, beliau kan ahli sosiologi beliau juga ahli komunikasi. Sebagai orang yang tahu itu tentu beliau paham bahwa komunikasi itu ada dalam konteks kebudayaan. Ngga bisa engga, justru di muka bumi itu semua orang berkomunikasi, bagaimana berkomunikasi, kapan berkomunikasi, apa yang dikomunikasikan itu tergantung konteks budaya. Beliau paham.. Kalau ngga salah salah satu fokus beliau yang intens itu ke Indonesia Timur.
Pendekatan kita ke Timur tidak bisa disamakan dengan yang
lazim dilakukan di Barat atau di Jawa, itu tidak bisa. Saya ingat cerita beliau, kalau kita ingin membangun rumah untuk orang Papua. Kita tidak bisa pakai konsep rumah seperti di Jawa, bagaimana rumah dibangun seperti ada pagarnya, jalan yang membatasi blok ini dsb ya.. Di Kalimantan rumah itu rumah besar orang Dayak satu keluarga besar tinggal disitu. Di Papua juga begitu, ada Honai rumah orang sana. Kita ngga bisa memaksakan konsep orang sana, bubar, hmm apatuh sistem sosial mereka bubar. Itukan bertolak dengan pemahaman beliau tentang Sosiologi Komunikasi ya. Seharusnya orang-orang memang seperti itu, orang yang berada pada pembuatan kebijakan komunikasi punya pemahaman pakaran di bidang itu.
Dwi : Kalau berdasarkan pengalaman Bapak yang pernah
menjadi asisten dosen Bu Astrid, menurut Bapak ada tidak sesuatu yang bener-bener khas diluar dari hal-hal yang sudah bapak jelaskan tadi? Yang kira-kira dari segi komunikasi yang sangat melekat mungkin Pak?
Pak Edu : Saya hanya bisa cerita dari yang saya alami sendiri ya? Mungkin beliau memiliki kepercayaan kepada asisten-asistennya. Tapi itu juga mungkin berangkat dari kesibukan beliau ya pada zamannya ketika beliau di puncak karir birokrasi ya. Dan karena itu, mungkin yang ditunjukkan sebagai ketua program memang
orang-orang yang dipercayailah. Dan Alhamdulillah saya dipercayai, ketika itu ketua program jurusan adalah Prof. Harsono Soewardi meminta saya untuk membantu Bu Astrid. Sering saya hanya, “Edu kamu nanti sebulan kedepan ngajar, ini bahannya. Sebagai dosen muda saya ya grogi juga ya. Saya hanya ambil sebuah buku yang barangkali tidak mudah dibaca ya. Tapi hal tersebut memberi saya pengalaman bahwa ketika kita diberita kepercayaan maka harus dijaga sebaik baiknya. Walaupun bebannya berat.
Dwi : Lalu bagaimana cara beliau mengontrol asistennya Pak? Pak Edu : Oh iya, kan saya tetap melapor. Bu Astrid ini yang sudah saya
kerjakan. Walaupun saya harus ke BAPPENAS. Tapi nanti menjelang akhir beliau yang mengajar lagi ya.. itu memberi pengalaman yang besar bagi saya sehingga saya setiap sebelum mengajar harus menguasai topik yang akan saya ajarkan walaupun sudah saya pelajari 30 tahun lebih ya.
Dwi : Seperti apa penilaian Bapak terhadap Bu Astrid terhadap
Ilmu Komunikasi itu sendiri? Bu Astrid ini tokoh komunikasi generasi awal juga, tetapi mengapa beliau tidak pernah ‘terdengar’ namanya?
Pak Edu : Barangkali itu karena perkembangan, orang lebih mengenal terminologi komunikasi ya. Publisistik sudah ketutup. Tapi begini, betul saya setuju bahwa tidak bisa kalau dilupakan atau diabaikan bahwa Bu Astrid juga sebagai peletak dasar pendidikan ilmu komunikasi di level perguruan tinggi ya. Yang menjadi awal hingga sekarang posturnya menjadi seperti sekarang. Jangan lupa bahwa Bu Astrid itu lebih dulu pulang ke Indonesia daripada Prof. Alwi selisih sedikit ya. Lalu beliau langsung masuk ke dunia pendidikan dan berkecimpung disitu. Berbeda dengan Prof. Alwi, beliau tidak langsung berkecimpung di dunia pendidikan walaupun langsung mengajar, beliau sempat berkarir di swasta di beberapa perusahaan dan humas serta sebagai konsultan komunikasi. Background beliau sama seperti Bu Astrid, pernah bekerja di birokrasi, punya pengalaman juga di bidang akademik. Itu sangattt mempengaruhi para guru-guru saya ketika menyampaikan pengetahuan kepada murid-muridnya. Bu Astrid punya pengalaman di bidang birokrasi, akademik, penelitian.. Hal itu tentu memberikan bekal yang mewarnai pendidikan ilmu komunikasi.
Pada mata kuliah perencanaan dan kebijakan komunikasi, oleh Bu
Astrid ditambahkan oleh ilustrasi yang alami, karena beliau sebagai policy maker. Oleh karena itu saya sebagai asistennya juga merasa mendapat pengalaman yang berharga. Karena tidak
mungkin orang mengajarkan kebijakan komunikasi tapi tidak punya pengalaman dalam policy making. Oleh sebab itu saya merasa, orang-orang yang mengajar mata kuliah itu haruslah orang-orang yang berpengalaman semacam itu. Proses policy making itu dinamis, harus memiliki pengalaman tidak hanya sekedar melihat teori saja namun juga didukung praktiknya. Seandainya beliau masih ada pasti bisa menceritakan yang luar biasa ya. Dan itu yang daridulu saya sadari bahwa mata kuliah perencanaan dan kebijakan komunikasi itu mata kuliah yang sangat penting. Karena komunikasi itu harus direncanakan, harus ada strateginya.
TRANSKRIP WAWANCARA PAK AIRLANGGA HADIGAMA (PUTRA KE-1 BU ASTRID)
7 Jan 2016 Plaza Senayan, Jakarta
Dwi : Saya tanyakan pertanyaan mulai dari yang sederhana dulu
mungkin yah Pak. Jadi gini, nama lengkap Bu Astrid itu Astrid S. Susanto. “S” nya itu Soenario, bener ngga Om?
Pak Airlangga : Hmm, kebetulan ada 2 jadi aslinya itu Sunarti. Oh itu memang suka dipakai juga sebagai Soenario, memang dua-duanya bisa gitu. Jadi, kadang-kadang pake nama bapaknya Soenario, kadang pake nama Sunarti. Kalau nama kecilnya itu Sunarti.
Dwi : Lalu bapak beliau, Prof. Soenario itu profilnya seperti apa? Pak Airlangga : Kalau Prof. Soenario itu lahirnya di Madiun. Kalau mau dicatat
barangkali bisa menolong, saat itu Prof. Soenario itu hmm bukan Prof ya jaman itu, Mister (Mr) kali yah. Mr. Soenario pada waktu itu 3 ya Nad ya yang terkenal itu? Cuma kalau apa namanya hmm kalau mau pakai nama lengkapnya itu Soenario Sastrowardjojo. Nah itu yang membedakan dengan yang lain. Karena biasanya saya manggilnya “Mbah” ya. Mbah tuh ngga pernah pake nama Sastrowardjojo. Karena pada jaman itu, jaman kemerdekaan ya jadi supaya lebih Nasionalis, karena kejiwaannya lebih Nasionalis bukan feodalis. Jadi menghindari ke-feodal-an itu dia meninggalkan nama belakangnya. Jadi dia cuma menggunakan nama Soenario nya aja. Tapi sebetulnya kalau mau membedakan dengan yang lain karena ada Soenario lain. Nah, Sastrowardjojo itu.
Dwi : Baik, masih berkenaan dengan profil keluarganya Pak.
Bagaimana profil ibunda dari Bu Astrid, Pak? Lalu Bu Astrid sendiri ini lahir dari kebudayaan yang seperti apa?
Pak Airlangga : Ibunya? Hmm namanya panjang banget. Kalau dipendekin, Dina. Jadi namanya Dina Pantouw. Nah, mau dibilang gitu jadi gini. Bapak dan Ibunya itu ketemu pas Sumpah Pemuda. Ketemunya di Kongres Pemuda, sorry bukan Sumpah Pemuda. Nah, jadi kebudayaanya adalah Indonesia. Jadi memang mereka berdua ini pejuang. Jadi mereka sangat Nasionalis itu memang jadi ngga ada kebudayaan Jawa yang tidak terlalu kental, karena nenek saya itu dari Manado kan. Jadi lebih kental itu Nasionalis kan.
Dwi : Oke.. jadi saya mau memastikan dulu, apakah benar kalau Bu Astrid lahir 4 Januari 1936 di Makassar? Apakah ada kisah terkait kelahiran beliau?
Pak Airlangga : Iya benar, di Makassar. Nah itu kalau mau ditambahin, lahirnya itu masih menjadi bagian dari perjuangan. Jadi Mr. Soenario pada waktu itu berkeliling mulai dari tinggal. Jadi kakak dari ibu saya itu tinggal di Medan, jadi pada waktu itu Mr. Soenario sedang di Medan tugas hmm pekerjaannya sih pada waktu itu menjadi advokat yah. Tapi sebetulnya mereka itu tuh diantara pejuang-pejuang itu memang menyebarkan nilai-nilai Nasionalisme itu. Awalnya di Medan dan disana ya itu. Pada dasarnya ya sebelum memperjuangkan Indonesia itu.
Dwi : Oh jadi bener-bener keluarga Bu Astrid dari keluarga
pejuang dan rasa tersebut lahir dari situasi perjuangan. Sehingga rasa Nasionalisnya sudah tertanam sejak kecil ya Om. Dan rasa Nasionalis itu apakah ikut tumbuh hingga punya anak? Lalu bagaimana peran beliau di dalam keluarga Pak?
Pak Airlangga : Iya, sangat masih. Sebenarnya sama seperti sosok Ibu. Kalau mau agak beda kaitannya ya dengan Nasionalis itu. Jadi mungkin ibu saya bilang dahulu pada waktu itu kepada anak-anaknya biasanya dirumah itu hmm diskusi politik di meja makan itu jadi hal yang sudah biasa. Sampe dia (Nadhira; putri Pak Airlangga) mulai umur 4 tahun udah ikut ngobrol.
Dwi : Dapat dikatakan bahwa sejak kecil sudah ditanami untuk
jadi kritis ya? Lalu kebiasaan beliau seperti apa yang paling dikenang Pak?
Pak Airlangga : Iya. Kita boleh berbeda pendapat. Kita bisa diskusi dan itu biasa. Paling dikenang? Wah ini susah nih haha diskusi kali ya. Jadi mungkin kalau beliau itu tipe yang pekerja keras. Beliau ngga pernah diem. Jadi tuh suka baca buku, ngetik, jadi tuh pulang kerja sering klipping berita. Sampai akhir hayatnya tuh.
Dwi : Lalu dari pihak keluarga Bu Astrid apakah ada sosok yang
paling disegani selain ayahnya yang memiliki pengaruh besar gitu Pak?
Pak Airlangga : Hmm kalau disegani saya kira cuma orangtuanya ya. Artinya yang dominan ya. Kalau kakak ya, kakaknya kan kebetulan memang agak mirip ininya sama-sama dosen, bisa di-browsing juga Prof. Soenaryati Hartono S.H. nah itu jadi dewanya Nadhira. Usia 85 ini dia masih mengajar di UNPAR. Juni ini 85, dan beliau masih mengajar. Dan mungkin diskusi antara beliau dengan ibu saya ini nah itu sangat seringlah. Nah mungkin karena pekerjaannya suka nyambung kali ya. Ya kayak dalam, ibu saya di BAPPENAS, hmm kakaknya pada waktu itu di BPHN. Jadi, ada ajalah yang hmm terakhir di Ombudsman. Jadi bukan hanya dari segi keilmuan tetapi juga dari pekerjaan ada nyambungnya lah gitu.
Dwi : Kalau tadi nilai kehidupan itu Nasionalis kan ya, contohnya
yang diterapkan itu seperti apa ya Pak? Nasionalis seperti apasih yang selalu ditekankan beliau bagi anak-anak beliau?
Pak Airlangga : Sebenernya simpel ajasih. Hmm Indonesia ini terlahir dari perjuangan. Untuk kita sangat terasa karena ada kakek yah atau ayahnya beliau yang ikut berjuang. Katakanlah kalau mau ditarik dari Belanda kan Perhimpunan Indonesia. Mr. Soenario itu sudah memulai Perhimpunan Indonesia dari Belanda kan? Jadi itu perjuangannya dari tahun hmm Perhimpunan Indonesia dari tahun berapa? 1922 yah? Sekitar itu kali ya.. Mbah mulainya sekitar segitu atau 25. Hmm dengan Hatta. Dan sesudah itu mendirikan PNI. Kalau browsing juga, Mr. Soenario dengan Soekarno. Nah itu bersama-sama mendirikan PNI.
Nah memang benar perjuangan itu terasa buat kita. Karena
tokohnya ada di tengah kita. Dan dari perjuangan itu jadi hmm mungkin bisa hmm Indonesia itu sebetulnya nilai ke-Indonesiaan itu sudah dimulai dari kakek itu sendiri. Beliau itu menikah dengan orang Manado ya dan untuk masa itu bukan Indonesia loh. Dan jika kita bayangkan pada masa itu belum ada Indonesia loh, belum terbentuknya Indonesia. Mr. Soenario sebagai orang Jawa menikah dengan orang Manadom dan itu di keluarga masing-masing itu punya masalah. Masing-masing punya pantangannya, tidak semudah itu. Tapi itu ke-Indonesiaan yang dibangun, ada perbedaan suku, dan dalam kenyataannya di dalam keluarga Soenario itu hmm kita memang macem-macem. Jadi ada berbagai suku, ada Padang, Ambon, dsb. Jadi buat kita kedaerahan itu ngga ada tuh. Dan itu harus dipertahankan, nah masalahnya disitu tuh. Nah seperti masalah-masalah yang ada saat ini tuh..
Dwi : Dan apakah hal tersebut juga mempengaruhi Bu Astrid
dalam tulisan-tulisannya? Beliau ini concern-nya melihat permasalahan Indonesia Timur. Dan sempat membahas mengenai pers wanita juga. Kalau di bagian media massa beliau ini cenderung policy maker kah, dan beliau ini cenderung mengarahkan bukan yang mengkritisi. Lalu kalau di keluarga sendiri beliau termasuk cukup mengarahkan anak-anaknya kah Pak?
Pak Airlangga : Iya bener concern-nya. Hmm kalau di keluarga sih engga, maksudnya ngga kaku ya. Mungkin diarahkan ada ya, kadang diarahkan baiknya seperti apa tapi ngga kaku sih. Kita selalu punya ruang untuk diskusi. Oh ya mungkin kalau yang policy maker itu bisa ditambahin, mungkin karena beliau rajin menulis dan meneliti hmm tapi dari sisi beliau contohnya kan di BAPPENAS. Di BAPPENAS itu barangkali bisa dibilang hmm pekerjaannya
berkaitan dengan bidangnya. Misalkan, dulu ada masanya yang dipegang itu Departemen Penerangan. Jadi itu yang dipegang, masalah pengembangan televisi, radio, jadi tuh beliau bisa ikut disitu ikut mengarahkan. Tapi disamping itu berikutnya juga sampai di kebudayaan/arkeologi. Terus terakhir itu di ilmu pengetahuan kayaknya tuh. Terakhir di BAPPENAS di ilmu pengetahuan ya? Jadi banyak dari LIPI. Akhir-akhirannya itu banyak di lingkungan, ilmu pengetahuan, hmm iptek. Tapi juga itu, memanfaatkan LIPI itu juga untuk daerah yang misalnya di Papua, dsb. Jadi kalau tadi dibilang concern lebih ke Indonesia Timur itu misalnya kayak gitu.
Dwi : Oh ya Pak apakah bener kalau beliau pernah mendapat
penghargaan dari masyarakat NTT atau daerah timur lain karena kontribusinya mungkin?
Pak Airlangga : Kalau kayak penghargaan itu ngga inget. Kita mungkin ngga inget, kayak ada dulu kan Timor-timor ya itu juga sangat banyak bikin penelitian disana. Jadi memang cukup banyak juga orang yang datang kerumah, dan orang-orang tersebut sangat menghormati ibu ya. Terus di Papua itu apalagi ya lebih banyak lagi, kalau di Papua itu dipanggil “mama” tapi kalau penghargaan kalau dalam bentuk itu kurang tahu. Terakhir kalau itu kan sebagai anggota DPR ya. Nah itu sebetulnya berkaitan dari itu, artinya kan dia mendapat daerah pemilihannya itu di Papua. Dan karena sudah mendapat penghormatan ini dan itulah yang memudahkan untuk mendapatkan kursi di DPR. Jadi selalu kontribusinya masih selalu ke Papua itu.
Bisa dibilang seluruh provinsi di Indonesia itu udah pernah ia
datangi tapi memang yang terakhir-terakhir itu fokus di Papua. Sampai terakhir jadi anggota DPR, walaupun semenjak di DPR pembahasannya jadi lebih Nasional ya. Jadi bukan hanya untuk Papua saja tapi Nasional. Jadi kembali ke masalah tadi lagi, ibu saya bilang itu enaknya sebagai anggota DPR adalah disitu ya itu policy maker. Jadi sebagai anggota DPR itu punya kebebasan lebih khusus terhadap itu. Dan scoop nya nasional.
Dwi : Lalu apakah benar beliau menjadi anggota DPR/MPR itu
pada tahun 1987-1992? dan masuk sebagai tim rancangan GBHN pada tahun 1988?
Pak Airlangga : 1987-1992 kalau itu anggota MPR karena itu pada saat itu ibu saya itu masuk ke tim 9. Iya, tim rancangan GBHN pada tahun 1988 Kalau pada waktu itu MPR, kalau menjadi anggota DPR itu pada periode tahun 1999 – 2003. Hmm sebenarnya kalau om bisa cerita hmm agak diluar ini sih ya masalah politik. Kena PAW
(Pergantian Antar Waktu), jadi tuh diberhentikan sebelum masa periodenya itu. Itu lupa ya, 2002 ya.
Dwi : Mohon maaf Pak, apakah hal tersebut berkaitan dengan
permasalahan di PDKB kala itu Pak? Saya ingin mengkonfirmasi hal tersebut ke Pak Manase Malo namun dapat kabar kalau beliau sudah meninggal.
Pak Airlangga : Iya bener itu masalah politik. Bukan masalah komunikasi haha mungkin kamu ngga butuh infonya karena beda ranah. Oh iya ya? Ya itu perbedaan pendapat. Kalau mau diambil ini nya tuh, jadi kita ngga usah liat masalah kulit. Tapi yang jelas sikap. Yang penting itu sih kalau kita. Jadi pada waktu itu mungkin bisa dibikin simple ceritanya. Seperti biasalah sampai sekarang masih ada pengambilan keputusan di DPR kan? Nah lalu, pada waktu itu kasusnya berkaitan dengan GusDur. Pada waktu itu PDKB itu didekati oleh PKB, biasa kan? Nah jadi PDKB pada waktu itu GusDur dari PKB kan? Jadi pada waktu itu hmm PDKB didekati oleh PKB jadi PDKB memiliki satu posisi yakan? Nah tapi ibu saya melihat posisi ini hmm tidak sesuai dengan hati nurani lah. Nah jadi pada saat pengambilan keputusan, ibu saya memilih abstain. Sebetulnya tidak mengambil posisi kiri atau kanan tetapi abstain. Hmm memang tidak melawan tetapi tidak ada diposisi sepenuhnya PDKB itu. Tapi itu yang membuat ibu kena PAW. (re: pemberhentian jabatan awal) hmm kalau mau lebihnya sih integritas lah, harus sesuai dengan hati nurani.
Dwi : Oh begitu.. lalu apakah Bapak menyimpan tulisan-tulisan Bu
Astrid Pak? Pak Airlangga : Hmm ada kali yah haha banyak tapi mesti dicari dulu kayaknya
karena pindahan kali yah kan masuk kotak yang mana jadi agak susah tuh.. Tapi ngga saya pengen tahu aja, jadi bukunya itu oke pada jamannya lah.
Oh iya PAW tadi ya? Itu 2002 nah itu masalah politik. Bagian ini
sebenarnya politik. Kalau kamu pernah mempelajari tentunya menarik. Ibu saya dulu memang pernah mempelajari politik. Kalau tidak salah itu thesis hmm disertasinya itu mengenai pers di Inggris. Nah itu kaitannya di politik, karena pada waktu dia di Jerman itu memang politik salah satunya yang harus dipelajari, politik sejarah nah itu. Itu bagian daripada itu. Jadi memang politik menjadi bagian dari hidupnya itu, karena itu terakhir dia benar-benar masuk ke dunia politik.
Dwi : Oh oke berarti Bu Astrid juga lebih kearah komunikasi
politik ya? Bapak sendiri tau tidak kalau beliau ini juga dikenal sebagai tokoh sosiologi komunikasi?
Pak Airlangga : Hmm tau pastinya sih ngga.. tapi sepertinya sih iya. Kayaknya mama juga pernah nulis buku ada sosiologi-sosiologinya ya.
Dwi : Iya Pak bener. Lalu apakah ada kaitannya dengan tulisan
beliau ketika beliau masih di BAPPENAS? Misalkan mengenai pertelevisian maupun radio Pak?
Pak Airlangga : Karena kalau kaitannya dengan dunia tv dan radio itu langsung sih. Hmm karena di BAPPENAS itu kan pembentukan anggaran, kalau BAPPENAS jaman dahulu itu betul-betul Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. Jadi, perencanaan itu betul-betul di BAPPENAS. Jadi pada waktu itu, oke katakan Departemen Penerangan memiliki rencana tapi perencanaan seperti anggaran dsb kan tetap dilakukan oleh BAPPENAS.
Dwi : Lalu jika berbicara mengenai filsafat komunikasi, apakah
beliau pernah mendiskusikan hal-hal yang berbau filsafat di keluarganya Pak?
Pak Airlangga : Hmm belum pernah baca filsafat komunikasi, dan punya ibu saya pun juga engga. Kalau kearah ini sih engga ya tapi ada ya yang lebih aplikasi lebih kearah tulisannya. Semisal seperti yang di Papua, ada buku yang membahas hal itu tapi saya lupa judulnya. Kalau yang terlalu teori ini saya engga deh kayaknya haha tapi kalau dalam diskusi sih muncul ya masalah filsafat dan berbagai macam kita diskusikan. Tapi ngga inget kaitannya dengan filsafat komunikasi.
Dwi : Baiklah.. lalu bagaimana riwayat pendidikan Bu Astrid? Pak Airlangga : SMA Santa Ursula, SMP Santa Ursula, SD di Yogyakarta hmm
tahun brp tuh ya? 48 udh di Jakarta ya? Jaman agresi itu pas di jogja ya kalo ngga salah.. Mama diploma di Münster terus doktor di Berlin. Nah di freit universitat itu kan di Berlin, nah s1 nya itu karena disana itu diploma karena pakenya itu diploma. Jadi gini, kalo kita disini kan s1, s2, s3 nah kalau disana tuh ngga gitu. Jadi kalau disana s2 langsung s3 ngga ada s1. Dulu itu ambil publisistik ya kalau ngga salah, iya he eh publisistik.
Dwi : Oh ya Pak, Bu Astrid ini kan lebih ke komunikasi ya, apakah
anak-anak beliau ada yang mengikuti jejak seperti beliau? Pak Airlangga : Ngga sama sekali ngga ada hehe jadi dosen pun ngga ada. Dwi : Lalu apa yang melatarbelakangi Bu Astrid kala itu
melanjutkan studinya ke Jerman Pak? Pak Airlangga : Kenapa melanjutkan? Sebetulnya bukan melanjutnya, tapi
memang sudah dari s1 nya ya. Sebetulnya simple, jadi hmm kakek dan nenek itu kan sangat mementingkan pendidikan. Nah kalau mau diliat mungkin kakek sendiri kan lulusan dari Belanda kan.
Dan kebetulan pada waktu itu kakek saya itu pas menjadi Dubes di
Inggris, di London. Jadi Menlu itu tahun 53-55 dan 55-60 kalo ngga salah di London. Jadi karena itu juga kuliah itu di Jerman ya artinya Eropa lah pada waktu itu, dan yang cocok ya di Jerman. Yang aku inget itu salah satu Profesor di kampus mama itu, hmm aku lupa namanya yang aku inget itu si Prof ini adalah salah seorang yang pokoknya tokoh dalam memecahkan masalah korea utara-selatan. Jadi garis antara itu? Nah iya jadi Prof nya itu jadi salah satu dari tim penyelesaian masalah itu lah. Jadi itu mungkin menjadi salah satu yang berpengaruh ya.
Dwi : Hmm mungkin Bapak lebih sering berkomunikasi dengan
beliau ya ketika dulu, mungkin Bapak tahu alasan beliau masih mengajar dan bergelut di akademisi hingga akhir hayatnya? Karena kan bisa aja istirahat di waktu luangnya di masa tuanya mungkin Pak
Pak Airlangga : Hmm ngga sih ngga bisa istirahat haha orangnya ngga bisa diem banget. Dalam mengajar, satu keuntungannya adalah beliau ini tidak hanya teori, Indonesia pun udah kemana-mana ke luar negeri pun juga. Saya sih ngga pernah ikutan kuliahnya ya. Cuma pas ada undangan dimana gitu kadang pernah dateng lah nganter ikut nonton. Itu memang kelebihannya, karena pemahamannya itu datang dari pengalaman. Kalau cerita itu bukan teori tapi ya itu memang praktek. Jadi gini, beliau itu pulang dari Jerman langsung ngajar di Unpad, lalu ke Jakarta itu bukan untuk ngajar di UI tapi di BAPPENAS dulu. Jadi saat itu diminta untuk memperbantukan di BAPPENAS gitu. Nah karena di Jakarta, maka mengajarnya jadi di UI. Pada awalnya masih pindah masih bolak-balik Bandung. Mungkin karena kesibukan jadi capek kan nah jadi pindah.
Dwi : Oh.. lalu beliau ketika di Unpad bagaimana kisahnya Pak? Pak Airlangga : Oh dia ngajar dulu. Nah kita pindah ke Jakarta itu pas masih di
Unpad. Jadi gini, mulai di Bandung itu tahun 67. Jadi hmm bisa dibayangin dari 67-70 itu dosen. Jadi ya baru 70-75 itu jadi dekan. Pertama datang ke Indonesia ya langsung jadi dosen di Unpad itu. Beliau ini sempat mengajar juga di Unhas tapi cuma jadi dosen pengajar tidak tetap hmm mungkin dosen luar biasa ya kalau disana. Hmm nanti coba kita carikan deh ya CV yang terakhir mama tulis mungkin bisa lebih detail ya. Atau mungkin sama kontak-kontak yang bisa kamu hubungin.
Dwi : Terima Kasih Pak.. lalu kembali lagi, tau tidak alasan kenapa
beliau memilih jurusan publisistik? Pak Airlangga : Hmm mungkin gini ya, sebetulnya passion awalnya pada jaman
awal kuliah gitu ya itu sebetulnya lebih ke sejarahnya. Tapi pada
waktu itu apalagi arkeologi, kebayang lah ya pada jaman dulu seperti apa yak an bener-bener nyari ke hutan-hutan segala macem hmm jadi ngga diijinin. Orangtuanya tidak mengizinkan untuk kuliah arkeologi karena berisiko itu. Sebetulnya passionnya ya disitu awalnya. Kalau saya ngga salah nangkep, sebetulnya ngambil satu jurusan yang akhirnya dapet semua, sejarah masih dapet, politik itu salah satu passion ya mungkin karena sejak kecil diskusi dengan bapaknya kan. Hmm dan pada akhirnya kombinasinya lewat publisistik itu mungkin melalui itulah salah satu cara menggabungkan passion-nya.
Mungkin karena beliau ini lebih banyak mengaplikasikannya di
masyarakat yang katakanlah Indonesia Timur, jadi yang kebudayaannya beda. Dan mungkin itu poinnya adalah Sumpah Pemuda ya. Memang Indonesia itu bhinneka tunggal ika, jadi yang kurang diangkat itu ke-bhinneka-annya. Mungkin kalau ditarik dari pandangan komunikasi, bagaimana menjaga komunikasinya itu agar kita yang terbagi-bagi dapat tetap menjadi satu. Itu tantangannya sih mungkin ya karena banyak terjadi hmm ada yang mau memisahkan diri mungkin masalahnya di miss communication. Seperti apa mereka yang katakanlah hidup di pedalaman Papua, kebudayaan seperti apa gitu kan? Jadi hmm apa kebutuhan mereka, apa keinginan mereka. Nah mungkin disitu komunikasinya ya. Kalau mau ditarik ke Indonesia ya mungkin kelebihan ibu saya disitu. Yang terakhir-terakhir dan memang dipelajari itu memang Papua hmm Timur-Timur juga sebelum lepas ya. Sering ke Timur-Timur dulu membuat penelitian ya tapi yaudah itu lepas. Terakhir Papua.
Dwi : Ada tidak ya penelitian beliau mengenai Indonesia Timur
yang dibukukan atau di Koran mungkin Pak yang masih diarsipkan oleh Bapak?
Pak Airlangga : Penelitian tentang Indonesia Timur ada beberapa mestinya hehe kalau tulisan ada pasti beberapa tapi ngga tau dimana dapetnya. Dulu istri saya juga ikut penelitian di Timor-Timor.
Bu Noenik : Iya, jadi karena ada beberapa bidangnya dan ada juga tentang
lingkungannya. Kayaknya di LIPI ada deh yang TimTim itukan sama LIPI. Tapi bidangnya ngga banyak di komunikasi, lebih ke sosiologi hmm lingkungan gitu ya. Kalau yang aku liat di Papua maupun di TimTim kan lebih kesana.
Pak Airlangga : Nah mungkin kalau mau bisa cek di LIPI. Hmm mungkin salah
satu yang menarik juga kaitannya dengan Asia Afrika. Tau ngga jalan yang historical itu, jalan yang dari hotel Homan jalan ke gedung konferensi itu ada namanya hmm jadi kan pada waktu itu
delegasi berjalan dari Hotel Homan ya. Istilahnya apa ya hmm kemaren kan waktu 60 tahun itu diulang lagi kan. Semuanya pada jalan dari hotel ke gedung konferensi Asia-Afrika yang bandung itu, maksudnya seluruh delegasi jalan. Nah itu idenya dari ibu saya. Jadi pada waktu itu hmm namanya apa ya? Jadi kepala Negara itu berjalan-jalan dari hotel Homan ke gedung konferensi, nah jadi pada waktu itu diskusi politik dengan Ayahnya itu. “ini gimana ya semua kepala Negara kan di Hotel Homan, konferensi disini, gimana nih apa pake mobil” kayak gitu kan kira-kira. Nah kenapa ngga jalan aja dengan memakai pakai khas Negara masing-masing? Pada saat itu beliau Menlu kan, dan bertanggung jawab dengan jalannya kegiatan KAA kan. Nah itu jadi salah satu contoh diskusi politik yang menjadi hmm betapa realnya diskusi politik antara ibu saya dengan bapaknya. Itu tahun 55 dan itu artinya Ibu saya abru berumur 19 tahun baru lulus SMA.
Dwi : Bu Astrid sendiri berapa bersaudara ya Om? lalu beliau ini
apakah memang memiliki concern lain selain komunikasi pembangunan yaitu politik ya Pak?
Pak Airlangga : Anak kedua dari 5 bersaudara. Hmm kalau menurut saya politik itu hanya sebagai sarana. Mengenai komunikasi pembangunan mungkin melihat apa-apa saja alasan suatu daerah berkembang mungkin mengapa masih ada yang terbelakang misalkan. Kalau politik sebenernya sarana aja, hmm tadi fokus komunikasinya. Kalau kaitannya dengan tv dan radio oh media massa itu hanya sarana saja. Mungkin jamannya orba sebetulnya, hmm mungkin ibu saya lebih ke akademis komunikasi. Ohya itu tadi namanya The Bandung Walk. Itu ngga pernah dibahas dimana-mana dan ngga ada yang cerita ya haha jadi itu ide Bu Astrid punya.
Dwi : Baik Pak, karena saya juga akan coba ke BAPPENAS
mungkin ada tulisan lepas beliau yang masih tersimpan. Pak Airlangga : BAPPENAS nanti kita cariin kontaknya deh ya. Hmm kita masih
ada kenal orang sih cuman ya itu ngga ada kontaknya. Jadi kalau Ibu saya itu memang lebih ke akademik yak arena lebih banyak ngajar, disamping itu memang praktek juga. Jadi ya di BAPPENAS dan policy nya lebih ke DPR. Kalau akademiknya memang mengajar tidak pernah berhenti seperti sudah mendarah daging. Kalau menggambarkan mendarah daging, meninggalnya itu mendadak ya. Nah itu pada waktu itu kita taunya beliau tidak enak badan, tapi masih terus bekerja ngetik dsb gitu kan. Terus besoknya, 2 hari hmm sehari sebelum kita bawa ke RS itu masih di depan komputer. Kayak tadi ditanya kenapa ngga diem istirahat dirumah ya karena memang ngga bisa diam haha
Dwi : Mohon maaf Pak, kalau boleh tahu beliau meninggal karena apa yah?
Pak Airlangga : Yang membuat meninggal itu stroke. Sakit jantung itu pernah ada tahun 90 sekitar itulah, sempat ada serangan jantung 89-90 lah. Tapi itu udah ditangani dan udah oke lah. Tapi terakhir itu yang membuat ngga ada itu stroke.
Dwi : Baik mungkin cukup pertanyaannya.. Terima kasih banyak
Pak Airlangga & Bu Noenik juga Nadhira sudah mau bantu jadi informan Dwi. Nanti mungkin saya bisa kontak kembali kalau ada data-data yang masih kurang.
Pak Airlangga : Iya sama-sama Dwi sukses ya skripsinya. Semoga cepet lulus juga yah
TRANSKRIP WAWANCARA PROF. ALWI DAHLAN 25 Januari 2016
Kediaman beliau di Jalan Puri Mutiara, Cipete, Jakarta
Pak Alwi : Mengenai Bu Astrid ya hmm dulu dia banyak di Unpad sih, jadi Anda mencarinya dari segi komunikasi atau secara umum tentang tokoh ini?
Dwi : Dari segi komunikasinya Pak Pak Alwi : Sepanjang yang Anda ketahui apa hubungan saya dengan Bu
Astrid itu seperti apa? Dwi : Bapak ketika masa-masa awal Bapak kembali dari Amerika,
Bu Astrid juga kembali dari Eropa. Seperti itu Pak, mungkin pengajaran komunikasi di Indonesia lebih banyak diaplikasikan pengajaran dari Bapak. Karena Bu Astrid lebih ke publisistik kan ya dulu pak. Oke.. jadi sejauh apa sih Pak kedekatan Bapak dengan beliau?
Pak Alwi : Ya jadi saya tidak tahu betul ya Bu Astrid pulangnya itu kapan ya. Tapi memang kami kan sebetulnya berbeda hmm pemahaman, cara pandang mengenai komunikasi. Bu Astrid ketika pertama bertemu itu beliau itu tidak bicara tentang komunikasi. Sebab di Eropa kan tidak ada komunikasi ya, adanya publisistik dan kalau saya tidak salah. Anda sudah cari di internet apa disertasinya?
Dwi : Sudah, Pak. Mengenai Pers Inggris ketika itu, kekuatan-
kekuatan politik yang melahirkan dewan pers Inggris. Pak Alwi : Dewan Pers ya. Jadi disana itu kan lebih ke filsafat ya publisistik
dan kalau ada itu lebih ke faedahnya ya. Dasar-dasar komunikasi itu berkembangnya di Amerika. Jadi memang waktu saya baru pulang, Bu Astrid sudah pulang tapi agak jauh sedikit dan beliau ngajar di Unpad ya. Kita ngobrol-ngobrol, saya jelaskan komunikasi kemudian Bu Astrid nulis buku-buku tentang komunikasi ya? Salah satunya yang perlu cari adalah apasih program yang diikuti Bu Astrid disana. Tapi kemudian Bu Astrid banyak menulis tentang komunikasi ya. Jadi sebetulnya di Jerman itu kuliah-kuliahnya apa? Lantas hmm kemudian apakah itu komunikasi apa tidak? Lalu beliau nulis-nulis buku itu kenapa? Karena buku-bukunya komunikasi, sudah liat bukunya?
Dwi : Baru 4 saja Pak. Filsafat komunikasi, globalisasi dan
komunikasi, pendapat umum. Ditulis sekitar tahun 80-an Pak.
Pak Alwi : Sudah di Bappenas belum?
Dwi : Seinget saya masih, Pak. Mulai tahun 74 di Bappenas. Pak Alwi : Oke, jadi sebetulnya kalau melihat adalah sebelum beliau di
Bappenas ya. Jadi waktu saya ketemu dengan Bu Astrid itu beliau masih mengajar di Unpad ya. Siapa yang menjadi dekan ketika itu? Coba cari ya. Karena itu menentukan apa sebetulnya apa yang diajarkan di Unpad sebab berbeda yang diajarkan di Unpad dan di UI ya. Karena disana titik tolaknya publisistik dan tokohnya itu Bu Astrid ya. Tapi sebelum Bu Astrid siapa saya lupa. Pak Onong ya? Oh itu dari jogja, Anda perlu tahu itu latar belakangnya. Ya kalau itu lebih ke komunikasi massa ya. Bahkan latar belakangnya perlu diketahui oleh tim Anda ya. Jadi pertama kali menerbitkan itu Pak Onong ya dari Jogja satu lagi dari Bandung aduh siapa ya saya lupa. Tapi menurut saya tidak terlalu mendasar ya, karena mereka itu bukan murni komunikasi. Mungkin mereka lebih ke publisistik. Itu jadi Anda harus tahu juga. Publisistik waktu jaman bung karno dulu ya. Ada latar belakang berbeda. Siapa yang meneliti pemikiran saya ya?
Dwi : Pak Antoni beserta tim Pak. Pak Alwi : Oh belum bertemu saya ya, karena sebetulnya ada perbedaan
antara Unpad itu kemudian sebelumnya antara di Jogja ada seperti yang saya bilang Pak Onong ya, terus yang satunya juga menulis buku publisistik itu tapi dia dari Unpad saya lupa. Itu sebelum Bu Astrid. Jadi ada gambaran tentang publisistik, tapi publisistiknya belum publisistik Jerman itu. Lalu datang Bu Astrid yang publisistik Jerman itu ya. Nah tapi waktu saya kembali saya ketemu Bu Astrid, dia publisistik saya komunikasi benar ya. Saya jelaskan pada waktu itu ya, hmm nah saya tidak tahu waktu itu Bu Astrid masih tetap. Nah itu cara Anda mengetahui adalah menelusuri siapa murid-murid Bu Astrid yang lebih tua. Saya lupa itu angkatan itu Syam itu siapa ada beberapa lah itu. Tapi kalau Anda membandingkan publisistik Unpad dengan Salemba School itu jauh di belakang.
Sebelum Salemba School murid pertama kali itu ada Pak Assegaf,
Pak Marbangun, itu yang komunikasi betul. Tapi yang pendidikan komunikasi betul ya. Tapi Bu Astrid tetap karena di Unpad sudah publisistik yah. Nah itu. Tapi karena Anda mewawancarai saya tentang UI ya saya tidak cerita ya haha. Tapi sesampainya saya ke Indonesia, saya dihubungi oleh Pak Assegaf, Pak Assegaf ini wartawan kawakan ya yang merasa ini publisistik tuh nggak lengkap.. Dia bekas hmm wartawan Indonesia Raya jaman Mochtar Lubis, kemudian dia wartawan Suara Karya, kemudian dia ketua redaksi apa gitu ya.. Sampai dia tidak jadi ketua PWI tapi orang penting PWI. Itu harus dilihat itu hubungan-hubungannya tuh. Jadi cara Anda melihat harus begitu kalau tidak
nanti Anda tidak menangkap ya. Tapi kalau Anda tanya Astrid ya saya cerita Astrid. Nah di Bandung itu tidak jurnalistik ya lebih ke publistik ke teori..
Dwi : Lalu apakah publisistik lebih ke teorinya saja Pak? Pak Alwi : Teorinya tidak teori komunikasi, teorinya filsafat, sosiologi, nah
itu untuk apa mengenai propaganda. Itu berbeda itu. Jadi itu lebih rumit secara teoritis yah. Tapi karena tugas Anda terutama mengenai Bu Astrid maka saya ceritakan Bu Astrid. Tapi Anda mesti tahu hal itu ya. Waktu Bu Astrid pun sebelumnya ada Pak Onong itu hmm di Unpad siapa lagi ya saya lupa. Itu sebetulnya jurnalistik campur apa, tapi dinamakan publisistik. Kenapa? Publisistik itu jaman Bung Karno dan intinya itu propaganda. Jadi kalau Anda bicara Bu Astrid waktu Bu Astrid pulang itu ada itu. Itu Bu Astrid saya tidak tahu itu kenapa dia belajar publisistik saya pun tidak pernah tanya.
Dwi : Saya tahu dari anak beliau kalau awalnya dia ingin kuliah
arkeolog, Pak. Namun, sama Mr.Soenario tidak diizinkan karena khawatir buat wanita, ketika itu kan arkeolog benar-benar berbeda dengan sekarang, Pak. Beliau ini akhirnya memikirkan kira-kira kuliah apa yang sekiranya dia dapat sejarah, politik, dan dapat hmm mengenai kemasyarakatan. Nah makanya beliau ambil publisistik di Jerman.
Pak Alwi : Oh dia itu anaknya Pak Soenario? Oh.. Nah jadi itu ya. Jadi saya pulang, saya komunikasi, ya. Tidak hanya komunikasi massa tapi komunikasi seluruhnya ya. Disini orang baru tahu jurnalistik publisistik ya. Ada pemahaman beberapa orang seperti Pak Assegaf dia berjasa dalam komunikasi massa. Tapi teman-teman di UI waktu itu, Pak Assegaf, Pak Mahidin, itu angkatan jaman pertama UI. Saya ngga tahu ya karena saya di luar negeri sih.
Lebih filosofis ya tulisannya.. dan karena Bu Astrid saya tidak
tahu, bukan dari golongan orang penulis ya. Seperti Pak Muhidin, Pak Assegaf itu penulis iya wartawan jadi kalau mereka menjelaskan lebih enak.
Jadi mulanya itu publisistik, publisistik itu mulanya belum seperti
di Jerman. Ini jamannya Bung Karno itu sebagai propaganda dan itu saya dengar memang diplomat-diplomat muda dianjurkan belajar publisistik. Jadi mungkin itu pemikiran Mr. Soenario karena sebelumnya itu beliau Menlu ya. Mungkin begitu ya. Nah tapi belum ada jurusan publisistik, tapi publisistik itu disebut-sebut. Nah kemudian terbit saya nggak tahu mana yang duluan. Muncul 2 buku dari Pak Onong sama siapa ya itu agak komunikasi. Saya agak lupa.. tapi mereka bukan wartawan kalau
saya tidak salah, mereka itu pengajar di Jogja tapi satu di Unpad Pak Onong. Jadi sudah publisistik ya, tapi publisistiknya tidak dilatarbelakangi teoritis seperti Bu Astrid. Tapi Pak Onong itu kalau saya tidak salah entah wartawan atau apa dia keluar negeri ke Amerika, program singkat tapi tidak di komunikasi.. Pada waktu itu semua orang yang diundang oleh Kedutaan Amerika, seperti pejabat hmm tapi belum pejabat betul ya. Tapi semuanya itu walaupun dia dari PU hmm darimanapun juga programnya walau pun 1-1,5 tahun pada akhirnya harus mengikuti ceramah Berlo. Ini agak ini ya sebetulnya saya sudah pernah memikirkan kerangka ini tapi saya belum sempat nulis. Nah bagaimana saya tahu? Karena sebetulnya Berlo itu tamatan salah satu angkatan pertama program komunikasi yang pertama dari Illinois. Tapi Berlo ini semua orang-orang dari Asia yang sedang menginap di Amerika diajak untuk ikut programnya. Jadi dia pintar ini, dia menawarkan program singkat mengenai komunikasi itu penting. Dibiayai oleh pemerintah Amerika, semua orang-orang itu kemudian ikut. Nah saya dapat kesan, Pak Onong itu, itu dasarnya. Dia itu buku pertamanya tentang Komunikasi Massa atau apa gitu ya, ditertibkan di Jogya nah itu lama itu dipakai. Anaknya Bu Astrid sudah bertemu ya? Ada menyinggung nama saya nggak?
Dwi : Tidak Pak. Lalu apa yang membedakan pengajaran Bu
Astrid dengan ilmu komunikasi di Indonesia kala itu? Pak Alwi : Iya karena anaknya lebih inget Bu Astrid dan persoalan
BAPPENAS. Okay ya jadi Bu Astrid dia ngajar di bidang publisistik. Soal latar belakangnya bukan komunikasi, tapi publisistik Jerman. Ibu Astrid itu publisistik yang benar, karena dia pakai sosiologi dari Jerman, disini ada publisistik yang lebih praktis yang lebih terkait dengan diplomasi dan pemecahan seperti Pak Soenario dan Bung Karno ya. Nah murid pertamanya itu Pak Assegaf dan ada beberapa. Nah kemudian saya pulang sudah berbeda pendapatnya. Tapi dimana-mana di Indonesia ini semuanya sudah publisistik cuma publisistiknya itu. Hmm maksud saya sudah dimana-mana itu, ketika komunikasi itu kebanyakan publisistik, di Jogja publisistik, di Bandung publisistik. Tapi disini publisistik itu lebih praktisi hmm komunikasi massa sebetulnya. Di Bu Astrid, publisistiknya itu Jerman ya berbeda.
Dwi : Berarti di Jerman atau Eropa itu lebih teoritis sedangkan di
Indonesia lebih ke praktis, apakah seperti itu maksudnya Pak?
Pak Alwi : Teori publisistik, nah kalau disini itu lebih ke praktik dan yang mengajar para publisis namun tidak memiliki latarbelakang
pendidikan publisistik sepertinya. Nah kemudian kan saya kembali ya, Bu Astrid mengajar. Nah entah bagaimana apakah kurang puas dengan tugas mengajar akhirnya Bu Astrid juga bekerja di Bappenas. Nah dulu pekerjaan Bu Astrid di Bappenas pernah ditawarkan ke saya. Tapi akhirnya Bu Astrid yang menerima, sekarang coba pikir Bu Astrid itu latar belakangnya teori publisistik, filsafat, pemikiran Jerman kan. Kemudian beliau mendapat tugas untuk mengurusi komunikasi massa ya program komunikasi massa pembangunan. Nah itu ada dana besar, jadi Bu Astrid itu ya itu jadi buat dia sibuk. Ini saya tahu karena saya di pemerintahan juga di Lingkungan Hidup. Kenapa Bu Astrid mulai ada perubahan besar itu? Sebab itu muncul yang namanya hmm belum komunikasi pembangunan, komunikasi yang menentukan pembangunan. Itu baru mulai Schramm mengenai komunikasi pembangunan ya disana. Jadi Bu Astrid terlalu banyak lagi disana tapi di Bappenas, mengurus pembukaan stasiun-stasiun televisi dan radio karena dana besar ya. Ini baru ada satelit Palapa, itu setelah ada satelit itu urusan komunikasi tapi tidak publisistik tapi Bu Astrid mengurusi. Kalau betul itu Bu Astrid mulai menulis buku-buku itu apa waktu sudah di Bappenas coba tanya anaknya. Mungkin Bu Astrid menulis buku-buku itu karena perlu untuk pekerjaan di Bappenas itu juga ya. Nah kembali, saat di Bappenas Bu Astrid itu mulai bergumul dengan manajemen dana ya untuk komunikasi pembangunan, berarti komunikasi massa dan komunikasi untuk program-program pembangunan. Karena pada saat itu pertama kali muncul program komunikasi pembangunan dan Bu Astrid ditugaskan hal tersebut.
Pak Alwi : Apa yang terjadi kalau praktis kan kita membicarakan tentang
media, tentang penulisan dan sebagainya. Nah pertanyaannya, apakah di Amerika itu lebih banyak kegiatan itu atau tidak dibandingkan di tempat lain ya? Sering orang cuma melihat oh itu kejadian disana di Amerika. Padahal memang disanalah berkembang industri komunikasi ini, tentu dengan demikian berkembanglah ilmu atau kiat-kiat untuk itu ya ketika orang di tempat lain cuma bicara menulis ya? Karena orang tidak banyak bisa. Nah orangnya waktu itu Pak Marbangun, saya tidak tahu latar belakangnya tapi dia punya perhatian terhadap industri pers ya.
Kemudian saya sadari ketika saya di Amerika, di Eropa juga tidak
dikenal. Nah studi audiens itu terkenal ya di Amerika, kenapa? Karena memang industri komunikasi massa itu berkembang di Amerika, orangnya banyak, dan mencari informasi, dari informasi dia maunya berita bukan pendapat-pendapat atau pidato. Nah makanya lalu kenapa di Eropa yang berkembang itu publisistik,
propaganda macam-macam. Karena itulah di Amerika orang anti propaganda, tidak suka orangnya ya di Amerika ada etik tidak boleh ya jadi kode etik wartawan kan ada ini ini. Sedangkan di publisistik ini macam-macam caranya ya, kita ambil misalkan ya Eropa itu tidak hanya Jerman saja ya? Jadi di Eropa itu termasuk Negara-negara timur ya. Di Negara timur itu Negara Rusia, Rumania dan macam-macam, apa yang berkembang? Namanya Agitasi, ilmu loh itu Agitasi dan propaganda. Tidak pernah Anda dengar kan? Bagaimana saya tahu? Ketika saya memperhatikan, semua hmm pengurus PKI itu ya orang nomor 2 nya adalah ahli Agitasi dan Propaganda. Jadi ketika saya sekolah di Amerika, saya bilang ke guru saya ini penting ini. Guru saya sampai terheran-heran, disana sekolah-sekolah itu untuk agitasi.
Jadi publisistik itu beda, jadi kenapa berkembang cepat di
Amerika ya karena disanalah berkembang industrinya. Disanalah berkembang kebutuhkan industri hidup kan. Karena orang memerlukan untuk baca koran, semua orang baca koran, semua orang ingin dengar radio. Kenapa? Karena industri radionya disana, betul itu. Di Jerman menciptakan radio buatan Jerman ada kan tapi terbatas. Jadi karena perkembangan itu saya tidak bilang Amerika hebat tapi memang mencerminkan perkembangan ilmu, industri, dsb seperti keadaan sesungguhnya disana.
Nah makanya di Indonesia ada kementerian Penerangan kan
dulu? Ya propaganda yang penting. Di Eropa itu coba, banyak berkembang ilmu filsafat, ideologi ya menghadapi pemerintahan disana ya. Jadi yang banyak disebutkan critical school itu dimulai di Jerman. Frankfurt itu, semua orang-orang Frankfurt itu orang mana? Orang Yahudi, kenapa dia begitu? Karena dia lagi dibawa Hittler, Nazi ya. Jadi tidak boleh Anda mempelajari bagaimana orang mempelajari. Tapi orang mempelajari itu tidak tepat.
Dwi : Perkembangan ilmu komunikasi di Indonesia itu berarti
dipengaruhi oleh Eropa dan Amerika itu ya berarti Pak? Pak Alwi : Tidak, di Eropa itu malah tidak berkembang ilmu komunikasi.
Publisistik di Indonesia sendiri pun berbeda dengan di Eropa. Seperti publisistik yang sudah saya jelaskan tadi. Di Eropa orang belajar publisistik macam-macam yang sesuai dengan kebutuhan disana, dan perhatian orang yang berilmu. Kalau orang sana sibuk bicara politik dimana mana jadi politisi, tidak terpikir oleh dia kenapa kok koran laku, orang Koran disana nggak laku kok. Kan gitu. Nah di Amerika karena ilmu komunikasi berkembang karena langkah demi langkah, sebenarnya ilmu komunikasi itu bermacam macam, ada film, acting, dan radio.
Bagaimana di Indonesia? Indonesia ini kan sebetulnya karena
ilmu ini kan dibawa oleh orang-orang yang belajar disana. Dan kemudian ilmu apa yang diperlukan adalah ilmu yang dianggap berguna. Bagaimana publisistik mulanya publisistik mulanya di UI, Bung Karno minta supaya diadakan publisistik. Loh kenapa? Apa publisistiknya seperti Eropa? Ya tidak, ya yang ada dipikiran Bung Karno pada waktu itu untuk diplomat-diplomat. Karena diplomat Indonesia itu tidak bisa bicara, tidak bisa bergaul, dan tidak bisa menulis di koran. Nah malahan yang sekolah disana terutama wartawan-wartawan, ada Pak Assegaf. Jadi munculnya begitu ya.
Walaupun namanya publisistik juga ya jelas berbeda, ilmu disana
ya akar ilmu pubisistik disana di Eropa. Disini kebutuhan pada waktu itu siapa yang bisa ngajar kan. Lalu datang anak-anak muda ini kan datangnya darisana-darisana. Kalau berbicara ilmu komunikasi, ya ilmu komunikasi berkembangnya di Amerika ya. Tapi ada orang yang salah tangkap ya, orang yang ada Amerika itu dia lihat darimana asalnya orang itu. Jadi ada beberapa nama yang kalau kita lihat orang ini berasal dari Eropa, tapi ketika di Eropa orang itu tidak mempelajari ilmu komunikasi. Dia ilmunya masing-masing ada filsafat ada statistik ya. Tiba di Amerika dia perlu kerja kemudian dia bisa menyerap statistiknya itu untuk pendapat umum, apakah berarti ilmu itu berasal dari Eropa? Menurut saya tidak. Sekarang kalau lihat pemberitaan Amerika, semua orang berasal dari Eropa kan, Asia ada Cina ada tapi tidak menyumbangkan ilmu kan? Ya. Tapi kok di Indonesia dijadikan bertentangan, kenapa? Menurut saya, ketika sudah ada critical school dan banyaknya orang yang berkembag itu di Eropa seperti marxisme. Di Amerika tidak berkembang, buat apa memikirkan marxisme. Nah di Indonesia ada beberapa orang Amerika mempelajari itu, ketika membicarakan marx tentu saja marx itu orang darimana asalnya yang mempertentangkan. Jadi kalau melihat ilmu itu dimana berkembangnya dan bagaimana. Kapan ilmu komunikasi muncul?
Dwi : Tahun 1940. Pak Alwi : Kata siapa? Darimana munculnya istilah itu? Yang bikin muncul
itu siapa? Nah jadi Anda harus paham benar sejarah ilmu komunikasi, bagaimana perkembangan itu? Jadi sebetulnya kan, ini saya jadikan sederhana saja ya. Jadi jaman perang dunia ke-II banyak sekali masalah-masalah yang tidak dapat dikelompokka hanya dibawah satu bidang. Jadi misalkan orang perang, karena dari segi ilmu propaganda ya maka musuh itu harus dibeginikan ya? Tapi tidak pernah terpikirkan bagaimana supaya terpengaruh
orang lain ya? Dan dalam bahasa apa. Di jaman perang itu dulu Amerika, para tentara itu kumpul, dan dari berbagai disiplin itu gabung. Ada dari berbagai segi yang penting di perang itu diselidiki bagaimana. Ternyata tidak hanya persoalan bagaimana mempengaruhi musuh. Misalnya salah satu masalah itu mengirim pesan, ini ada kapal mau berangkat ke Eropa membawa pasukan. Padahal pada waktu itu radio tidak secanggih sekarang, itu akan mudah disadap oleh Jerman. Nah kalau dia tau kita mau lewat sini-sini, bermacam-macam hal melalui sandi misalkan. Pokok permasalahannya adalah bagaimana pesan itu sampai, ya. Dan itu tidak hanya fakta-fakta itu, pake teori juga itu, teori Shannon.
Tapi kemudian saya sederhanakan, sebelumnya hal ini masih
terpisah-pisah ya padahal sebetulnya bagian sebagian atau kumpulan bagian yang sebenarnya menyangkut komunikasi. Di dalam ilmu hmm telekomunikasi dsb nya, itu dinamakan komunikasi. Maka lahirlah teori yang sangat teoritis yaitu Mathematical Communication dari Shannon. Kenapa matematik? Matematik itu mengabstrakkan, membuat hal yang rumit menjadi sederhana menurut orang matematik ya dan berguna untuk banyak hal. Okay munculah teori tersebut. Di tempat lain ada teori sikap, ada teori apa, teori hmm lambang-lambang, rumit sekali ya. Jadi sementara itu berbagai hal ini sepotong-sepotong dipelajari di berbagai tempat. Lantas banyak orang yang ingin menerbitkan tulisan Schramm ya, tapi waktu itu keadaan sulit tidak segampang disini menerbitkan. Jadi ada suatu penelitian di UII itu (University of Illinois) itu yang pemimpinnya itu Willbur Schramm, dia ini penulis, pernah jadi dosen sastra, dsb dsb jadi dia pun pernah memikirkan apakah persamaan-persamaan ini.
Pada suatu hari dia diundang mendengarkan ceramah dari
Shannon itu, kalau orang matematik cerita kan wuhhh gitu bingung. Disamping Shannon itu duduk orang yang namanya Weaver. Weaver itu adalah ahli matematik dan dia itu dapat menjelaskan matematik secara sederhana kepada orang biasa, itu dia kelebihannya. Willbur Schramm itu mendengarkan dan disebelahnya Weaver, Schramm mengganggung dan Weaver tanyakan “you ngerti tuh?” “yaa ya” gitu gitu dia nggak berani bilang tidak takut dibilang bodoh kan. “Nanti saya ceritakan ke kamu tapi you teraktir saya makan” kata Weaver.
Jadi ditraktir lah makan, ini betul-betul loh kejadian. Pada waktu
makan itu oleh si Weaver diambil tissue kemudian dicorat-coret hingga penuh tissuenya. Ini Anda tidak akan dapat cerita seperti ini, saya heran kenapa tidak ada yang menceritakan ini. Tapi cerita ini cerita bener, karena saya mendengar dari Willbur
Schramm sendiri. Dikamar kerjanya ya. Coret-coretannya itu disimpan oleh Schramm, sebenarnya saya sedang nulis buku tentang ini ya. Kemudian saya ditunjukkan ‘ini loh’ ya, jadi apa? Intinya Weaver bilang “oh ya sangat penting ini sebetulnya berlaku dimanapun juga, Anda bicara jurnalistik, propaganda, seni, ini berlaku dimana saja. Inilah komunikasi”, kemudian Schramm heran “Ah masa sih?”. Lalu ia menerbitkan buku dibawah UII itu Illinois ya. Tapi Schramm minta “Okay Weaver, tapi you bikin tulisan yang sederhana yang menjelaskan itu.” Jadi buku itu, When Shannon & Weaver ya. Sebetulnya tulisan Weaver itu menjelaskan apa teori Shannon itu. Nah buku itu diterbitkan. Lalu Schramm membuat seminar yang kemudian dihadiri banyak-banyak bidang. Itu dijelaskan, kemudian orang sosiologi bilang “loh itu kan dari sosiologi”, nanti orang drama bilang “oh ya”, orang matematik juga. Nah istilah itu kemudian muncul communication. Kemudian dia bikin itu kotak-kotak apa betul komunikasi itu mulai dari pemikiran sampai ya Anda tahu lah itu modelnya. Lalu model Shannon itu dilihat oleh orang sosiologi bermacam-macam dan setuju, itu hebat. Kemudian disadari kalau tidak ada tempat untuk mempelajari ini, maka kemudian ada ilmu Komunikasi.
Jadi intinya adalah dari Shannon itu. Nah kemudian hasil itu
dibukakan lah kelas Ilmu Komunikasi di UII itu. Tapi program ilmu komunikasi itu dimulai dari S3, memang harus disana karena sudah gabungan dari berbagai ilmu sudah ada abstraksinya. Dan yang mengajar disana juga macam-macam orang mencoba melihat. Nah tamatan-tamatan ini kemudian mengajar di berbagai universitas membuka program S2. Rupanya orang jurnalistik bilang kalau yang kita pelajari selama ini tidak terpecahkan sebetulnya itu komunikasi, maka munculah komunikasi massa. Lantas di sekolah-sekolah jurnalistik, drama macam-macam minimal ada kuliah komunikasi massa. Yang intinya apa sih komunikasi. Tidak ada dari Eropa datang itu. Dan itu keseluruhan itu dari Amerika.
Kemudian muncul pertanyaan kok isinya orang matematika dsb
yang lebih kuantitatif lalu kita buat saja lah yang lebih mudah yaitu kualitatif. Kemudian ada orang-orang yang menjadi pertentangan, menurut saya tidak. Memang bersamaan pada waktu itu ada sinom yang lain. Ada itu ahli propaganda ya bisa dibilang ahli politik, itu apa sih yang terjadi yang bisa menjadi propaganda ya. Maka orang itu membuat sederhana apa itu komunikasi, yakni “who-says what-to whom-in which channel”, yang sebetulnya sama dengan Shannon hanya saja bisa diperhitungkan bisa masuk sana sini, cuma bedanya kalau ini
hanya untuk koran. Itu secara sederhananya. Nah harus dipahami itu.
TRANSKRIP WAWANCARA PAK PINCKEY TRIPUTRA 29 Januari 2016
Gedung Komunikasi Universitas Indonesia, Depok
Dwi : Bagaimana hubungan relasi Bapak dengan Bu Astrid kala itu?
Pak Pinckey : Ya, waktu itu ya hmm kebetulan kami dapat tugas dari Kementerian Pertahanan ke Jayapura dengan Bu Astrid. Direktorat Jenderal Potensi Ketahanan. Nah potensi ketahanan itu adalah hmm menggalang gitu ya potensi-potensi masyarakat yang ada. Jadi bukan dengan macem-macem, tapi dengan potensi masyarakat. Itu dalam konteks bela Negara kan, ah salah satunya hmm adalah dengan menyatukan dulu gitu kan? Menyatukan potensi-potensi yang ada itu dengan komunikasi. Nah komunikasi kan? Kayak konflik itu harus diselesaikan dengan komunikasi dst, nah itu kalau kita tidak pernah berkomunikasi dengan saudara-saudara kita di tempat-tempat yang lain ya konfliknya betul-betul dan dapat diatasi dengan komunikasi. Nah concern beliau sebetulnya itu. Jadi ya hmm kami kebetulan disana melihat tentang kehidupan sana dsb. Ya memang perlu sekali strategi komunikasi pake manajemen konflik di daerah seperti itu, seperti Papua, Maluku atau bahkan di Sulawesi.
Dwi : Iya di Indonesia Timur ya Pak seperti concern beliau. Jadi
kalau dari sepengalaman ini penelitian yang Bapak pernah lakukan dengan Bu Astrid itu hanya itu ya Pak ya? Oke..
Pak Pinckey : Jadi hmm ya budaya komunikasi, kultur juga menjadi perhatian beliau. Karena keragaman kultur di Indonesia bagian Timur khususnya konteks persatuan dan kesatuan itu menjadi menarik. Dan beliau jadi antusias dengan hal ini. Bagaimana hmm beliau dengan penguasaan ilmunya ya kami berkontribusi untuk hmm ya itu tadi manajemen konflik dengan komunikasi, kita terbuka dengan siapa sehingga itu bisa menyelesaikan masalah.
Dwi : Kalau menurut Pak Bambang Shergi yang bukan orang
komunikasi, menurut beliau itu sepertinya Bu Astrid itu lebih ke komunikasi Pembangunan. Sebetulnya yang membedakan antara komunikasi pembangunan dengan sosiologi komunikasi sendiri itu apa sih, Pak?
Pak Pinckey : Okay, jadi kalau komunikasi pembangunan itu lebih banyak terkait pada apa yang dikuasai oleh Bu Astrid yaitu ke publisistik. Jadi bagaimana kita mengkomunikasikan hal-hal yang terkait dengan pembangunan. Jadi apa yang harus dilakukan untuk sama-sama masyarakat semua melakukan pembangunan. Itu kan hmm apa komunikasi attitude dan praktek kan. Itu kan selalu
campaign-nya seperti itu, selalu seperti itu kan sama dengan prinsip-prinsip publisistik. Jadi bagaimana menyampaikan pesan agar pesan itu dapat dipahami gitu kan, bagaimana kita merancang pesan agar dapat memotivasi masyarakat untuk oh ayo kita bangun hmm kita tunjukkan mental. Paling tidak seperti itu ya yang bisa menunjang pembangunan itu. Pengetahuan, attitude, praktiknya itu harus diketahui dan dalam komunikasi itu kan KAP ya.
Nah itu komunikasi pembangunan, sama Pak Assegaf itu sama
prinsip-prinsip jurnalistik yang digunakan dalam pembangunan. Kalau sosiologi komunikasi itu lebih luas lagi, kita lebih banyak pada konsepsi atau teori-teori sosiologi dalam melihat bagaimana dinamika komunikasi itu. Kebetulan saya ngajar sosiologi komunikasi juga hehe jadi ya hmm bagaimana misalnya sebuah produk komunikasi hmm produknya itu film. Film itu dianggap sebagai representasi dari realitas sosial gitu kan, jadi kalau kita lihat kan mengacu dari kejadian yang sebenarnya. Nah untuk melihat tatanan masyarakat yang direpresentasikan oleh film itu kan bisa dilihat dari teori-teori sosiologi. Jadi ada sosiologi yang konflik, yang simbolik, dan yang structural functionalism. Nah itu ngeliatnya gimana gitu kan dari positivism, atau constructivism, atau dari critical. Nah itu sosiologi komunikasi, jadi keadaan sosial yang dilihat melalui film itu baru dibedah dari salah satu perspektif itu. Secara structural functionalism ada hubungan structural antara pemegang peran-peran di dalam film seperti itu.
Dwi : Lalu menurut Bapak bagaimana pendapat Bapak pandangan kebijakan-kebijakan Bu Astrid yang berkaitan dengan media massa?
Pak Pinckey : Hmm tidak hanya itu saja, apalagi ketika beliau di BAPPENAS dia harus bicara tentang komunikasi dalam perspektif yang lebih luas lagi bukan hanya dari perspektif media saja atau publisistik saja tetapi dari aspek yang lain. Nah itu masuk sosiloginya, ya itu yang ada. Jadi ya itu menunjukkan kalau setiap orang itu berkembang jadi bagaimana penguasaan ilmu itu berkembang. Bu Astrid juga seperti itu, yang tadinya publisistik kemudian berkembang ke komunikasi dst. Komunikasi kan lebih luas lagi seperti itu. Jadi betul, beliau terakhir-terakhir itu aspek kultur jadi perhatian beliau. Dari itu menunjukkan bahwa perhatian itu bisa berkembang. Hmm ya itu yang saya kenal dengan Bu Astrid ya, sebetulnya yang deket yang paling banyak tahu itu ya Pak Alwi, Pak Edu gitu ya.
Dwi : Lalu ada tidak sesuatu yang sangat melekat dari beliau itu
seperti apa yang masih sangat teringat?
Pak Pinckey : Ya dia tipe orang yang apa ya hmm menurut kami dulu sosok yang dididik dalam sebuah keluarga yang sangat pendidik lah dan punya perhatian dengan Indonesia. Jadi beliau itu mungkin masih ada didikan Belanda dari orang tuanya itu melekat jadi disiplin itu diperoleh dari pendidikan keluarga itu, sehingga hmm itu yang pertama. Oleh karena dididik dari keluarga yang berpendidikan jadi Bu Astrid itu jadi dosen dst memperoleh jejak tinggi pendidikan seperti itu. Ya itu memang karena keluarga, jadi saya tahu itu disiplin tentunya ya. Sedangkan dalam pengetahuan itu bertambah hmm pejabat di Bappenas dan terus berkembang seperti kita juga ya? Terus berkembang..
Dwi : Oke.. lalu menurut Bapak bagaimana kontribusi beliau
dalam perkembangan ilmu komunikasi? Pak Pinckey : Ya hmm jelas, menuliskan tulisan-tulisan tentang komunikasi
tentunya itu hmm paling tidak memberi gambaran apa itu komunikasi bagi mereka yang belajar komunikasi pada jamannya ya. Itu ya kontribusinya, tulisan-tulisan beliau dalam komunikasi. Hmm tapi perkembangan komunikasi itu kita juga belum punya, jadi orang-orang yang benar-benar mengembangkan komunikasi di Indonesia itu kecuali cuma Pak Alwi aja ya. Dalam buku beliau komunikasi manusia, manusia komunikasi. Tapi itu juga belum dirumuskan secara formal ya ini loh komunikasi Indonesia ya sampai sekarang belum, komunikasi Indonesia yang orisinil komunikasi. Komunikasinya kita masih gado-gado; referensinya artinya masih campur-campur referensinya dari luar.
Dwi : Lalu apakah Bapak menyadari kejanggalan kalau Bu Astrid
ini kan lulusan Jerman, Eropa tetapi tulisan beliau cenderung banyak mengadopsi tokoh komunikasi Amerika?
Pak Pinckey : Oh itu tuntutan, orang yang hmm memiliki pengetahuan jadi ilmu yang didapat ini itu tidak akan bertambah kalau kita tidak berusaha menggali lagi. Oleh karena itu, segala macam sumber yang ada itu hmm seperti Bu Astrid itu lulusan Jerman tapi dia bisa mengakses buku-buku dari Amerika untuk menambah. Seperti kita lah, kayak saya dulu belajar perspektif-perspektif komunikasi dari Amerika tapi belakangan ini banyak perspektif-perspektif kritis yang dari Eropa. Banyak sekali justru lebih banyak baca sumber-sumber yang muncul di Eropa. Sama, semua juga seperti itu. Jadi hmm kira-kira ya penguasaan pengetahuan kita terhadap suatu bidang harus ditunjang oleh perspektif. Hmm gitu ya jadi menarik kalau membicarakan orang-orang dulu.
TRANSKRIP WAWANCARA PAK RONNY ADHIKARYA 8 Apr 2016
Plaza Senayan, Jakarta
Dwi : Bagaimana kisah Bapak mengenai Bu Astrid, dimulai ketika awal pertemuan Bapak dengan beliau?
Pak Ronny : minggu pertama dia tiba di UNPAD, kita bicara di kantor biro pers mahasiswa Unpad masih ingat banget saya. Itu dia baru seminggu datang ke universitas, bicara dengan saya dan beberapa kawan lain yang baru meninggal Pak Tedy Karsadi, dan Pak Noke Kiroyan. Nah itu kita bertiga kenal Bu Astrid sejak itu, dan Noke itu tokoh terkenal di Indonesia dulu CEO-nya Newmount dia muridnya Bu Astrid juga seinget saya. Saya kebetulan waktu itu hampir berangkat ke Amerika di bulan yang sama kalau nggak salah, itu 2 minggu terakhir saya. Dia cerita kan, karena saat itu dia belum menjadi dekan baru menjadi staf pengajar karena suaminya kerja di tempatnya Nurtantio (Perusahaan Pesawat Terbang di Bandung) lalu berubah jadi dirgantara di penerbangan baru kembali itu dari Jerman. Lalu ya siapa ini ya? Karena kita taunya Sunario “oh ini anaknya menteri luar negeri kita nih pernah..” nah disitu dia mulai menceritakan dirinya siapa dan kenapa dia masuk ke UNPAD. Saya cuma tahu dia saat itu dan dia cerita.
1,5 tahun – 2 tahun itu paling lama saya kembali lagi selesai S2 di Cornell, lalu saya udah kerja di East West Communication Center dengan Wilburr Schramm. Saya kembali kesini hmm banyak tugas lah waktu itu saya punya project disana dengan Everett M. Rogers, Lerner, dan kebetulan saya yang termuda waktu itu. Saat itu Bu Astrid saat itu masih di UNPAD mula-mulanya lalu jadi dekan tahun 70-an, terus setiap kali saya datang karena pekerjaan saya di bidang komunikasi sering kita konsultasi setiap kali saya datang. Saya dikasih project keluarga berencana, pertanian. Nah jadi saya kalau kesini sering ke BKKBN, ke UI nah UI itu masih Pak Assegaf. Nah Pak Assegaf itu dulu managing saya di Indonesia Raya, tapi bos saya yang paling tinggi Mochtar Lubis lah ya. Belum di UI itu tapi masih jadi wartawan aja hmm editor. Jadi saya sering berhubungan dengan orang-orang UI, nah saat itu Bu Astrid belum disitu tapi sudah ada seperti Pak Alwi, Harsono Suwardi. Pak Harsono itu dulu promotornya Dedy & Sasa. Lalu Bu Astrid jadi dekan, kemudian pindah ke Jakarta.
Dwi : Berdasarkan data saya tahun 74 beliau sudah mengajar di UI
Pak, tapi menjadi dekan di UNPAD sampai 75, bagaimana ya Pak?
Pak Ronny : Mungkin mengajar di UI tapi masih menjadi dekan di UNPAD dan masih di Bandung. Nah terus dia pindah ke Jakarta, tapi di UI itu dulu agak protective ya pada saat-saat itu tapi sekarang udah terbuka ya. Tapi waktu itu masih orang-orang UI tuh, Pak Alwi dulu juga agak susah tuh masuknya tapi dia bukan orang UI karena S1-S3 nya diluar seperti saya. Dulu tuh masih dikuasai orang-orang UI seperti Pak Djayusman, Pak Budiyatna hmm jadi agak susah. Jadi dia (Bu Astrid) itu dapat posisi di UI sebagai dosen luar biasa.. kemudian juga bekerja di BAPPENAS. BAPPENAS waktu itu belum terlalu tertarik dengan komunikasi, masih lebih ke ekonomi. Tapi akhirnya dia (Bu Astrid) masuk, mungkin Pak Widjoyo menarik dia masuk ke BAPPENAS karena pada saat itu tahun-tahun mid 70 itu ada project besar yang Indonesia sangat bangga yaitu satelit Palapa.
Satelit palapa ini investasi besar, mulanya hmm yang mengadvokasi itu Pak Iskandar Alisjahbana dari ITB. Dia ini bukan orang komunikasi, tapi dia ngerti komunikasi dan dia hebat sangat visionary sekali. Indonesia adalah 1 dari 4 negara pertama di dunia yang menggunakan satelit untuk pendidikan. Ini mungkin nggak banyak yang tahu, bahwa Indonesia pada saat tahun 75-76, seperti (1) Brazil, (2) India, (3) AS dan (4) Indonesia. Di India terdapat SITE (Satelite Instructional Television Experiment) dan Indonesia turut ikut menyediakan broadcast pendidikan secara langsung; satu-satunya yang secara khusus satelit digunakan untuk pendidikan non formal untuk desa-desa ke petani. Lalu di AS juga digunakan di Alaska untuk telemedician, dan terdapat sebutan barefoot (dokter pedesaan; bukan dokter yang memiliki pendidikan dokter) jadi melalui radio dapat berkomunikasi yang dokternya di San Fransisco dsb misalkan. Jadi konsultasi maupun penyuluhan kesehatannya lewat radio itu. Jadi India, Brazil, AS (paling terkenal di Alaska dan American Samoa). American Samoa menggunakannya untuk pulau-pulau kecil hmm jadi untuk networking antarpulau-pulau itu yang belakangan juga dilakukan oleh Universitas Terbuka Indonesia yang dibiayai USAID. Cerita Satelit yang penting untuk diketahui adalah BAPPENAS memberikan persetujuan tapi yang besar namanya adalah Perumtel (re: sekarang Indosat Ooredo) yang dulu menjadi perusahaan negara yang sekarang sudah dijual. Departemen Penerangan (re: dep-pen) dulu itu agak susah masuknya padahal mereka penting, tapi ini sepertinya dimonopoli oleh orang-orang satelit karena satelitnya tidak hanya digunakan untuk pendidikan tetapi juga untuk komunikasi militer atau komunikasi data untuk bisnis. Saat itu satelit palapa sangat besar, memiliki kapasitas yang besar, jadi masih banyak channel yang belum terpakai sebelumnya.. jadi nggak efisien
tapi harus masuk pendidikan. Nah masuk lah grup dari Dep-pen.. grup dari Dep-pen ini penting karena dibantu oleh akademisi sedangkan disana kebanyakan praktisi seperti Pak Samsul Sugito, Rahmadi, nanti coba diliat lagi ya orang-orang penting ini. Mereka harus didukung oleh akademisi nah siapa yang masuk? Pak Alfian (ilmu politik UI), tapi dia satu-satunya orang yang meneliti social impact televisi bagi masyarkat lalu dia bawa Pak Rusdi Mochtar (anak buahnya Pak Alfian yang sekarang professor di LIPI), Pak Marsudi Rauf juga politik itu juga masuk ke kelompok komunikasi padahal bukan orang komunikasi.. lalu masuk juga Bu Astrid posisinya strategis di BAPPENAS. Nah Pak Alfian, Marsudi, Rusdi itu dari akademisi dia tidak punya political power, lalu Pak Alwi juga ikutan masuk walaupun nggak full time.
Pemikiran-pemikiran penggunaan satelit itu, Bu Astrid itu harus mendukung dari BAPPENAS kalo nggak nanti gak masuk buku biru (blue book). Blue book itu anggaran belanja kita, itu tidak bisa di-approve kalau tidak masuk blue book, kalau tidak nanti tidak ada anggaran untuk project tersebut. Jadi, Bu Astrid harus mengajukan atau menyetujui usulan atau proposal mengenai apa saja termasuk satelit itu. Nah terjadilah akhirnya.. beberapa konflik antara orang-orang yang lain latarbelakang disiplin dan lain pandangan tentang satelit. Tapi ini memang project yang relatif besar, sangat besar waktu itu. Karena mahal, salah satu investasi yang mahal saat itu. Tapi sangat visionary, sangat baik investasi, sudah tahun-tahun jaman dulu karena tahun 70an mid 70’s itu luar biasa. Ini gebrakan yang luar biasa dan banyak orang yang kurang tahu padahal ini sesuatu yang patut kita banggakan.
Dwi : Wah seperti itu.. Lalu bagaimana pandangan Bapak mengenai Bu Astrid sebagai seorang akademisi sekaligus orang pemerintahan kala itu? Pak Ronny : Jadi kita harus mengetahui latar belakang Bu Astrid. Bu Astrid
benar masuk di fakultas publisistik di bandung. Waktu itu sebenarnya publisistik bukan komunikasi. Tahu sebabnya? Diajarin ngga di sekolah? Dulu sebelum ada komunikasi yang dulu banget itu ada Wilbur Schramm di Amerika. Sebelum itu di negeri Belanda & Jerman sudah ada, tapi hmm konsepnya berbeda. Mereka mengambil konsep dari propaganda yakan jamannya natzi dulu. Jadi lebih ke penerangan.. ke satu arah, bukan komunikasi. Nah di negeri Belanda sudah ada yang bicara soal itu, ada seorang yang selalu disitir bahkan barangkali orang satu-satunya pada saat itu yaitu Emil Dovifat. Dia sudah kearah situ, propaganda, public speaking. Sedangkan di Jerman, ada orang barangkali lebih muda dari Dovifat yaitu Walter Hageman. Walter Hageman ini salah satu gurunya Bu Astrid.
Nah waktu Bu Astrid datang, waktu itu kan saya di biro pers saya orang komunikasi: “oh ibu mengajar dimana?” “publisistik” “oh ibu mengajar di publisistik?” tapi jawabannya diplomatis iya atau tidak sepenuhnya, “saya sebetulnya multidisipliner” “multidisipliner apa bu?” “oh saya tiga bidang, filsafat, sejarah, dan sosiologi. Komunikasi enggak” “loh bu? Kok langsung ke publisistik?” “oiya tapi kan dasarnya harus ada itu. Saya ngeliatnya lebih ke segi masyarakatnya” lalu kami tanyakan, “sekolah dimana bu?” “di munster dan freit jerman” ya maklum kan masih muda-mudanya sekitar umur 23 itu tahun 1969 seinget saya bulan November atau desember.
Dwi : Publisistik di Indonesia sendiri seperti apa sih memang Pak
terutama di kala itu di masa Bu Astrid? Pak Ronny : Publisistik itu lebih ke ‘tukang’ di publisistik itu cuma ada pilihan
mau jadi jurnalis atau PR seperti penerangan pada waktu itu ada Pak Rukomi, Pak Kertapati (Dep-pen Bdg) orang-orang itu cuma vocational education process. Waktu itu kan tukang nulis ya jurnalis, tukang radio ya penyiar, ya tukang kan jaman dulu tv itu masih jarang, terus ada penerangan yang lebih ke propaganda. Eh ada ini orang nih wah litanya dari masyarakat, dari segi hubungan masyarakat, media, oh penting saya bilang. Terus dia bilang “oh saya banyak belajar dari ahli komunikasi yang banyak dikenal; Walter Hageman” tapi saya nggak pernah dapatkan bukti itu terjadi, hanya dari percakapannya aja kan. Jadi, coba diliat aja dari thesis atau disertasinya itu kan public record. Lalu saya tanya “ibu mengajar apa?” “oh saya tidak mengajar jurnalistik” Nah ini penting ya karena publisistik saat itu mayoritasnya adalah yang kejuruan lebih ke skill oriented. Belum masuk mengenai process and effect, komunikasi pembangunan, media and society, itu kan baru masuk tahun 70an. Dia termasuk minoritas, karena disana waktu itu ada Pak Rohadi, Pak Onong, Pak hmmm banyak lah saya agak lupa. Pokoknya semuanya tuh lebih ke skill oriented, nah saat itu masih belum banyak yang seperti dia. Dia kan jadi dekan karena dia satu-satunya Ph.D saat itu, dekan pertamanya itu Bu Ummi Abdurrahman dia saja masih master of journalism saja, baik sekali orangnya. Satu-satunya saat itu yang sudah Ph.D communication ya Pak Alwi. Nah akhirnya jadi dekan kan tidka terlalu lama ya sekitar 70-75, kemudian dia pindah ke UI tapi kurang klop akhirnya dia masuk BAPPENAS.
Dwi : Lalu bagaimana peran Bu Astrid di BAPPENAS Pak? Pak Ronny : Peran dia penting, karena di BAPPENAS bukan orang-orang
tukang nulis, dia lebih luas kan. Nah karena itu, mulai punya peran. Peran mengenai hubungan antara komunikasi dengan infrastruktur ini penting untuk investasi harus ada orang yang bisa memposisikan dirinya yang mendukung hmm kebijakan misalnya mengenai berapa banyak fasilitas komunikasi dibutuhkan untuk apa saja. Kalau mau pendidikan, siapa yang harus di bidang komunikasi apakah itu dewan nsurface training orang-orang yang sudah ada di lapangan di tingkatkan keahlian berkomunikasi bisa penyuluh lapangan, penyuluh pertanian, health educaters, itu kan policy bagaimana mengalokasi dana. Atau beli alat produksi, misalkan saya fokus pada communication skills waktu itu belum banyak produksi hmm ada sudah mulai tapi belum banyak.
Nah mempengaruhi BAPPENAS untuk memiliki investasi di bidang
komunikasi yang diperlukan masyarakat. Dan saya kira, saya mendukung Bu Astrid saat itu karena beliau juga melihat kesenjangan antara the information need dan information tool. Waktu itu, berlainan sekali dengan jaman sekarang informasi sudah banyak sekali malah ada information explosure. Jaman dulu susah sekali koneksinya, uang tidak bisa membeli buku, membeli sekolah, dsb jadi salah satu tugas dari orang-orang yang membuat kebijakan komunikasi adalah bagaimana memberikan informasi yang lebih luas dan berkualitas dengan cara yang lebih mudah & murah. Pada jaman itu orang-orang sudah mulai memiliki kecenderungan membeli barang yang modern dan mahal.
Nah saya keselnya sedikit pada waktu itu, ketika master saya itu sengaja belajar mengenai tradisi komunikasi tradisional diantaranya wayang. Saya itu belajar wayang kulit, golek, ludruk itu malah dari luar negeri. Jadi saya belajar di Cornell mengenai wayang karena thesis saya mengenai penggunaan wayang kulit. Tapi kalau kita bilang bagaimana jika keluarga berencana, wayang, dsb banyak kawan-kawan kita yang di bidang itu “ahh tapi kan itu udah past, tradisional, nggak ada duitnya haha di wayang, logistiknya” malah mereka yang mau malah Betamax (re: kaset untuk video recording Sony) itu yang populer. Ada juga mobil unit yang muter-muter desa, muterin film, dsb haha seperti itu.. Nah Bu Astrid itu ngerti, kita harus hati-hati sama yang begitu. Nah jadi di BAPPENAS sudah mulai diregulasi yang penting imteknya. Jadi, prioritasnya Bu Astrid orang yang sedikit ngerti dan cocok untuk jaman itu. Yang lebih penting lagi interfensi dia saat ada satelit tapi yang lebih mahal lagi itu ‘konten’ bagaimana membuat konten yang relevan untuk di-broadcast direct, dididik orang yang
melakukan itu, lalu yang meneliti Pak Alfian yang dari political science melihat karena mereka researcher bukan practicioner mereka bukan orang akademi. Kebetulan saya satu grup dengan grupnya Gatwinchu ya? Itu yang membiayai itunya penelitiannya itu ada uang Deppen juga pokoknya Gotwinchu ikut dibiayai. Jadi mereka melihatnya lebih ke positive negative impact dari suatu televisi lebih kepada komunikasi di televisi untuk kepentingan apa, nah tapi adanya juga sedikit tention antara perusahaan indosat (re: dulu belum berubah menjadi indonesat namanya) dengan grup peneliti ini Pak Alfian, dsb. Jadi ini kalian harus teliti lagi, ada beberapa saya kira review mengenai ini Phillip Knightley ada buku mengenai ini, television culture and something. Lalu ini mengenai dinamika antara beberapa groupthinks program satelit.
Dwi : Lalu bagaimana pandangan Bapak mengenai Bu Astrid dan
sepak terjangnya di ilmu komunikasi? Pak Ronny : Jadi saya sih tidak banyak tahu apa yang diajarkan karena saya
tidak diajarkan, tapi yang saya tahu sepak terjangnya di bidang komunikasi saat dia di BAPPENAS. Saya kira Bu Astrid ini agak lama hmm atau tidak begitu banyak wawasan dari sosiologi komunikasi dan saya kira dia ini tidak melihat dirinya sebagai seorang komunikasi banget seperti Pak Alwi dan saya.. dia lebih melihat dirinya sebagai sosiolog yang melihat peran masyarakat, media, yang sebenarnya penting lagi sekarang saat sosial media masuk. Tapi waktu itu mayoritas tahun kita tahun 70-akhir 70 masih banyakan yang dididik itu sekolah komunikasi ‘pertukangan’ apakah advertising, PR, atau kah jurnalisme atau broadcasting.
Nah menurut saya Bu Astrid memiliki peranan yang penting pada
kurun waktu itu, dimana tidak terlalu banyak orang lihat hubungan antarmasyarakat dan memang menggunakan komunikasi untuk me-reduce communication gap. Dan apa yang diperlukan untuk melancarkan proses komunikasi dari segi pembiayaan, investasi, infrastruktur dst. Dan saya kira tempat dia di BAPPENAS sebagai kepala biro perencanaan komunikasi atau biro penerangan dsb lalu dia naik pangkat jadi asisten menteri. saya tidak tahu setelah itu dia sebagai asisten menteri seperti apa.. tapi kalau sudah asisten menteri berarti dia punya influence yang besar.
Dwi : Lalu apakah ada perbedaan kajian ilmu yang Bapak dan Bu Astrid
dalami? Pak Ronny : Hmm lain sekali yah kalau dengan saya dan Pak Alwi aliran
komunikasinya itu behavioral science, lain dengan yang muda-muda sekarang itu sebutannya critical communication ya kan. Di kurun
waktunya saya Wilbur Schramm, diffusion of innovation Rogers. Saya kolaborator dan dekat sekali dengan Rogers dan yang penting waktu itu, saat diserang dengan orang-orang latin amerika waktu itu murid-muridnya juga di bukunya communication development tahun 86 dia memang berubah. Memang banyak berubah mengenai diffusion of innovation kekurangan-kekurangannya, karena itu dia dan saya menulis di prisma mengenai communication and inquiteable development benefit.
Nah itu merupakan perubahan yang dasar, perubahan paradigma.
Saya memang lamanya di yang itu karena saya spesialisasinya itu untuk program pembangunan, komunikasi pembangunan lebih ke keluarga bencana, lingkungan hidup hmm. Bu Astrid juga nggak terlalu banyak kesitu, walaupun harusnya lebih banyak kesitu tapi karena dia tidak begitu pada penerapan komunikasi.
Orang kayak saya lebih ke penerapan komunikasi, aplikasinya
sedangkan dia lebih ke sosiologi hubungan-hubungan antaramanusianya mengenai problem solving. Tapi memang tugas dia di BAPPENAS penting adalah memberikan dukungan mengenai komunikasi apakah pendidikannya apakah penelitiannya, apakah hardwarenya, dst nah itu kan penting untuk didukung harus ada uangnya ada dananya, political support. Nah saya melihat sumbangannya Bu Astrid disitu dan pada saat yang diperlukan, mungkin sekarang lain, dan saya kira dia lebih efektif di BAPPENAS daripada di UI atau Unpad.
Dwi : Lalu bagaimana tanggapan Bapak dengan jabatan beliau
ketika di BAPPENAS jika dikaitkan dengan ilmu komunikasi kala itu?
Pak Ronny : Tapi dia menyuarakan pentingnya hal-hal ini dan dia sebagai pejabat di BAPPENAS itu sangat tepat jadi saya sih positif melihatnya, sebagai professor nggak tau dah saya nggak bisa menilai karena saya nggak pernah diajar oleh beliau. Tapi sebagai pejabat yang cukup mengerti permasalahan komunikasi, dan bagusnya dia bukannya orang-orang yang pertukangan komunikasi dia. Kalau seandainya dia tuh sama seperti Pak Onong hmm Pak Rohedi segala rupa yang dididik jaman itu sebagai kyk kejuruan hmm komunikasi ‘pertukangan’ itu tidak tepat di BAPPENAS.. tapi karena dia punya wawasan sosiologi melihat adanya kesenjangan, ketimpangan, gap, perlunya komunikasi pedesaan ditingkatkan bagaimana caranya hmm lewat satelit lewat mobile unit. Saya kira saat itu dia orang yang cukup tepat disana. Mungkin kalau Pak Alwi disana lebih baik.. mungkin.. Nah maka dari itu sedikit orang yang mampu di level dia. Kuncinya adalah pengertian kita itu perspektif kurun masa apa yang kita bicara. Pada saat itu dia orang yang cukup tepat disitu,
mempunyai pengetahuan holistic yang luas. Jasanya Pak Widjojo yang memasukan dia disana setahu saya sih.. Pak Widjojo Nitisastro kan arsitek dari program pembangunan ini tuh masih idenya Soekarno. Nah waktu itu di BAPPENAS kebanyakan orang ekonom, jadi masuknya orang seperti Bu Astrid yang bukan ekonom itu.. sesuatu yang luar biasa.
Dwi : Bergeser sedikit ke topik sejarah, sejarah komunikasi masuk
Asia itu seperti apa sih Pak? Disertasi bapak di Stanford kan mengenai hal tersebut. Lalu apakah masih relevan jika dikaitkan dengan kondisi sekarang?
Pak Ronny : hmm kita bicarakan konteks ASEAN ya. kita mulai tahun 70 itu Indonesia yang saya tahu baru ada 3 tempat komunikasi, saya nggak bisa menghitung lebih dari 30 orang yang dididik di bidang komunikasi. Karena orang-orang seperti Pak Sasa aja belum ada. Jadi, di UI yang pendidikannya betul-betul komunikasi hmm komunikasi yang saya katakana disini masih komunikasi yang ‘pertukangan’ ya hmm itu ½ nya masih sekitar 5 atau 6 yang udah komunikasi betul. Lalu di Indonesia hanya ada 3-4, lalu disertasi saya juga bisa dilihat. Saya mensurvei 100 orang dari 10 universitas kalau nggak salah di 5 negara karena ASEAN dulu hanya ada 5 negara baru; Filipina, Thailand, Indonesia, Malaysia, Singapura.
Jadi saya coba melihat bagaimana transfer daripada konsep-konsep
oleh orang-orang yang dididik di Amerika atau yang belajar lewat buku dari orang-orang itu ditransfer di 5 negara yakan? Main jiplak/ada adaptasi/ada penelitian mendukung sebelum diajarkan lagi ke anak didik. Ini kan penting! Melihat adakah dominasi dari Amerika. Kebetulan saya kenal banyak pengajar-pengajar itu, jadi di sampel saya 70-80% itu sekolah di AS. Ada sebagian yang enggak tapi mayoritas sekolah disana, saya mau lihat sampai berapa jauh buku-buku di Amerika dipake disini, apakah sudah nulis buku sendiri disini. Ya anda bisa bayangkan atau pikirkan jawabannya, semua main copy, semua main jiplak, bahan ajarnya berdasarkan notes yang didapatnya haha tidak banyak ada penelitian karena tidak ada dana penelitian.. kita miskin sekali itu nggak seperti jaman sekarang. Mereka nggak punya kantor, mesin tik pun mereka tidak punya kadang-kadang mereka mesti pinjam dari kantor.. miskin sekali.. kalian ini harus bersyukur yah. Jadi soal creature-nya sudah jelas tidak.
Yang saya pertanyakan: “apakah ini konspirasi?” ada teori-teori
yang mengatakan oh ini direkayasa oleh orang-orang AS agar dll dsb karena banyak, kan pengajarannya personal ownership, cara-cara pemberitaan, jadi kita nanti didominasi lewat pengajaran itu kita
‘dicekokin’. Wah pada jaman itu kan banyak sekali pelajaran konspirasi.. tapi menurut saya sih itu tidak. Ini secara kebetulan aja karena keadaan yang kurang sempurna, kurang dana, kurang insentif, orang kalau kerja harus 6 kerjaan, gaji apa hmm gaji dosen bahkan hanya bisa untuk makan 4 hari, karena itu mahasiswa banyak yang gak lulus kuliah cepet bisa 8 tahun dll ya. Jadi, itulah yang terjadi.
Lalu saya juga lihat dimana yang baik dimana yang kurang baik.
- Singapura: Nanyang University - Thailand: Tamasav dengan Churalakor University - Malaysia: USM dan hmm Inaputra UPM - Filipina: Losbanyos UPIMC.
Nah ternyata yang paling baik pada waktu itu tahun 70-an adalah di Filipina yang paling maju. Singapura yang Nanyang itu berubah menjadi chinese school, professor-profesornya lebih banyak orang chinese. Jadi kurang menguasai bahasa inggris. Demikian juga di Thailand, cukup baik kemajuannya menurut saya nomer 2 terbaik kala itu. Ada satu pioneer-nya yang belum Ph.D hanya master yaitu Bungrungsuk wah dia sangat berjasa sekali itu. Di USM Malaysia itu hmm hampir belum ada yang sekolah di AS, baru ada 2 atau tiga waktu saya penelitian itu sekolahnya di Filipina nggak di luar neger. Jadi pada saat itu keadannya masih belum maju komunikasi sana, karena itu akhirnya buku-bukunya copy.. begitu dia pulang mengajar menggunakan bahan darisana hmm sangat-sangat parah lah permasalahannya. Nah sekarang kita bicara 5 tahun setelah itu. 5 tahun setelah atau 10 tahun setelah itu lah kita katakana. Terlihat langsung bedanya karena negara Thailand, Singapore baru belakangan tahun 2000an. Malaysia sama Thailand itu banyak uangnya nggak tahu tapi darimana uangnya, digunakan untuk membiayai orang-orangnya sekolah ke AS.
Dwi : Apakah hanya dibiayai ke Amerika saja Pak? Pak Ronny : Banyak, Thailand tuh ada namanya hmm Sampan hmm Kasim Siri
Sampan, dia juga sangat berjasa ditambah satu orang yang udah hebat dia udah selesai Ph.D namanya Gunler Subadinlo teman saya itu keluaran Wisconsine University jadi sudah ada saat itu. Baru 4 orang yang sekolah diluar negeri dan baru 1 yang Ph.D. sedangkan Indonesia belum, Indonesia yang punya Ph.D nya cuma Pak Alwi, Pak Harsono baru pulang tahun 74-75 bersama saya itu. Tapi tahun 80-90an Malaysia maju berkembang cepat tapi tentu itu dari luar neger. Makanya saya pernah 2 tahun jadi professor tamu disana, kenapa? Karena nggak ada orang-orang Malaysianya lagi dikirim ke
luar negeri buat sekolah, karena kosong itu. Nah Indonesia, kan kita lihat generasi keduanya 10 tahun itu masih lokal. Nah orang seperti Pak Sasa barangkali baru setelah S2 nya baru 5 tahun keluar negeri dapet Ph.D, tapikan memerlukan waktu sebelum ada cukup professor doktor kan belum bisa ada S3 program doktor itu lama jadinya. Buat inventarisasi orang-orang yang dihasilkan dari luar negeri lalu lihat tahunnya kapan dia lulusnya. Keliatan pola untuk mendapat gelar doktor itu membutuhkan waktu, mereka itu belum ada yang level S3 dari luar negeri. 80an itu banyak orangnya.
Disertasinya saya itu tahun 79 penelitiannya, lalu kita bandingkan 10
tahun.. kesan di dua negara Filipina sudah mulai dengan adanya program perencanaan, program-program pembangunan, dsb. Tapi yang paling besar 2; Malaysia dan Thailand. Itu 10 tahun setelah saya. Nah baru setelah itu mulai belakangan dan setelah tahun 2000 orang yang sekolah itu bukan saja ke Amerika tapi juga ke Eropa. Sudah banyak pemikiran yang lebih structural, sebenernya yang lebih ke kiri-kirian. Nah dari segitu itu kan bagaimana masih valid kah yang saya temukan tahun 70an untuk sekarang? Sampai berapa jauh bahan-bahan yang digunakan untuk penelitian atau pengajaran pendidikan kita sudah divalidasi atau sudah dites berdasarkan budaya Indonesia. Gitu kan pertanyaannya? Hmm menurut saya, saya nggak begitu banyak waktu untuk meneliti itu, itu jadi tugas kalian buat neliti itu. Tapi dari kasat mata menurut saya, masih kurang. Karena saya pergi banyak kuliah umum, banyak hal-hal terjadi di luar negeri itu tidak banyak diikuti.
Banyak orang yang tidak mengerti.. padahal tidak ada alasan orang
untuk tidak tahu orang sekarang ada di Google. Jaman dulu kalau nggak tahu memang susah, karena informasi masuknya susah. Kedua, masalah yang saya lihat adalah bahwa komunikasi itu masih komunikasi yang tradisional, masih PR, advertising, broadcasting woah banyak kan komunikasi sekarang yang selalu nomer 2 atau 3 yang paling populer. Menurut saya sih more of the shame.. terlalu banyak pengaruhnya. Kualitas menurun, karena banyak yang tidak baik. Tercemarlah nama komunikasi.
Nah menurut saya juga kalau kalian ikuti keynote speakers saya di
berbagai negara, komunikasi sudah diambil alih oleh knowledge management. Sekarang ada ilmu baru yaitu bidang knowledge management.. dan sekarang adanya di ITB haha
Dwi : Wah, Knowledge management itu bidang studi seperti apa ya Pak? Pak Ronny : bahwa yang penting sekarang adalah takes knowledge. Semua yang
tidka ada di google itu yang masih ada value nya, yang masih bisa diperjualbelikan, yang masih ada nilai tambahnya. Sebenarnya itu
kan yang ada di google tidak ada nilai tambah. you tahu semua orang tahu, asal ada koneksi ya kan. Ini yang saya sebut adanya demokratisasi, jadi level plan field nya itu rata. Jadi fair you sama saya kompetisinya sama. Saya lebih banyak uang saya bisa sekolah dan bisa beli buku, sekarang nggak perlu lagi. Dan informasi itu explotion. Yang terpenting adalah bagaimana mengelola, me-manage knowledge itu dan menghubungkan dots-nya seperti yang Steve Jobs katakan dan how to make senses. Yang terpenting sekarang adalah “learning how to learn, to unlearn, and to relearn” jadi yang lebih penting bukan subjeknya, itu berubahnya begitu cepat.
Saya salah satu promotor yang mengatakan “degree” itu kita berikan
license 5 tahun seperti SIM. Karena hanya 5 tahun validitasnya. You harus tahu bagaimana cara belajar, karena informasinya banyak. Nah sekarang bagaimana menghubungkannya, menyaringnya, itu proses pembelajaran. Proses learning how to learn. Kebanyakan masalah orang adalah gabisa un-learn. Dosen deh, dia tuh memberikan kuliah yang sudah berusia 20an tahun kan? Anak dididiknya malah lebih pinter, anak mudanya malah lebih nggak gaptek ya diketaian kan haha jadi ini semua, isu-isu yang dibicarakan di knowledge management.
Dan salah satu yang terbaik itu diajarkan di ITB, bukan di UI atau
UGM. Dan secara praktis, perusahaan-perusahaan membicarakannya knowledge management. Orang-orang kita nih hebat, kita disebut knowledge broker haha calo informasi. Kita mesti tahu needs-nya dimana, supply-nya dimana kan kita perlu tahu. Middle man, kita tuh broker of knowledge. Saya guru, dan you listen to me kan udah nggak lagi. Sekarang kan udah convergent models, jadi sekarang you perlunya apasih, dalam proses pembangunan. Jadi berubah cara berfikirnya, berubah konsepnya, jadi kalau kita bicara komunikasi ya itu proses.. aduhh udah jelas kita perlu. Tapi dari segi disiplin, segi practical, segi problem solving ya kita harus lihatnya ke knowledge management. Coba lihat thesisnya.. Relevansinya di bidang itu. Kalau misalkan universitas-universitas di Indonesia di bidang komunikasi tidak melihat perubahan-perubahan mendasar seperti ini jelas menjadi masalah. Ini sudah saya tulis lama.
Dwi : Oh ya Pak lalu siapakah promotor Bapak dalam menulis
disertasi? Pak Ronny : Rogers. Masih diajarin? Saya takutnya anak-anak sekarang nggak
tahu siapa itu Wilbur Schramm, Everett M. Rogers, Berlo. Kalian pasti bacanya Littlejohn ya? Ahhh.. harusnya belajarnya dari dasarnya dong. Yang paling penting adalah buku process and effect communication (buku Wilbur Schramm dan Don muridnya). Itu saya
yakin nggak mungkin ahli komunikasi belum pernah baca buku itu. Harus tahu bangsa gituan para bapak-bapak komunikasi. Lalu di bidang komunikasi pembangunan harus tahu Rogers ya.. diffusion of innovation tapi itu juga Daniel Lerner seorang sosiologi jasanya sangat besar hmm mengenai modernisasi. Buku-buku dia tuh sangat penting. Lalu ada lagi satu buku Laksmana Raw itu bukunya atau disertasinya yakni communication and development itu bukunya penting. Lalu kalau sudah baca buku Rogers yg diffusion of innovation itu terbit tiap 5 tahun sekali, 72-82-92-2002, terakhir itu ada tapi bukan karangan dia hmm dibikin sama rekan-rekannya seperti saya. Communication and development yang tahun 2002 dari sixth edition, dibuat untuk dia.
Saya malah kerjasama promotornya dia, George Bill. Saya
sebenernnya punya “kakek”, kalau ayah saya Rogers, tapi saya kerja sama gurunya Rogers yaitu George Bill namanya di East West Center. Berdasarkan disertasinya keluarlah diffusion of innovation tahun 1962. Namun pada tahun keduanya, buku tersebut sempat diganti menjadi communication of innovation. Karena difusi inovasi; penyebaran inovasi itu dipakai diberbagai bidang seperti marketing, teknik, manajemen, dsb karena itu dikenal luas.
TRANSKRIP WAWANCARA PROF. BAMBANG SHERGI 21 Januari 2016
FISIP Universitas Indonesia, Depok
Dwi : Seperti apa sosok Bu Astrid dimata Anda Pak? Pak Bshergi : Ya jadi beliau ini sangat keibuan, memberikan banyak dorongan.
Karena kita kuliah S3 bukan hanya menyelesaikan tugas-tugas sederhana. Intinya kan menjadi cukup ya intens bertemu. Walaupun sifatnya intens dalam pengertian lebih kepada elemen hubungan akademik ya. Hubungan akademik itu kan kira-kira lebih kearah mengasah ya.. mengasah berfikir. Itu hal yan mungkin agak spesifik tapi itu lebih dari itu kan teknis ya. Menulis, mengarahkan disertasi penelitian, penulisan, penajaman materi, menguji. Tapi hmm keliatannya kalau saya yang berpesan adalah sebetulnya lebih ke pada hmm mengasah intelektual kita, cara berfikir kita. Jadi kalau mau diawali ya awalnya saya ikut kuliah beliau itu waktu masih S1 namanya Sosiologi Pembangunan.
Dwi : Oh, ada bukunya juga itu Pak.. Pak Bshergi : Iya, jadi dia mengajar di Sosiologi Pembangunan. Wah saya
dikasih A seneng banget ya itu haha mungkin karena itu ya.. Itu awalnya gitu, jadi saya pikir hmm kita awalnya kan seperti didorong positif. Saya ngga tau apakah bener dapet A dapakah artinya hmm tapi kita ngerasa di-appreciate menjadi semacam pada usia seperti itu kita perlu tokoh ya, panutan hmm panutan tuh artinya kita ingin bergantung pada orang untuk memberikan arahan gitu.. Sampe-sampe beliau menawarkan pada waktu itu mau kerja di BAPPENAS atau ngga. Jadi hmm karena nilai paper saya bagus kemudian dapat nilainya bagus kemudian saya pikir saya ingin me hmm mendekatkan diri, untuk mencari informan selanjutnya saya harus bagaimana, saya harus meneruskan minat saya karir saya hmm kebetulan beliau di BAPPENAS ya dan juga sebagai dosen. Kita kan pada jaman itu melihat wah ini tokoh nasional jadi kita tertarik lah. Jadi saya mengajukan diri pada waktu itu untuk kesediaan beliau sebagai promotor.
Dwi : Kalau disini tuh sistemnya kita mengajukan ya Pak dan Bapak
mengajukan Bu Astrid sebagai promotor Bapak kala itu? Mengapa memilih beliau Pak?
Pak Bshergi : Iya, waktu saya ada kesempatan mengajukan ya untuk promotor S3 saya. Pembimbing, promotor. Nah jadi itulah kelanjutan cerita kuliah. Jadi beliau di BAPPENAS, kuliah sudah selesai, saya bikin skripsi, lalu saya mendekatkan diri kepada beliau untuk kesediaannya pembimbing disertasi saya. Oke.. Ya beliau bersedia, karena saya ketika itu kan mengajukan suatu tema yang punya
kaitannya dekat dengan isu-isu yang beliau tangani tentang Pembangunan, mengenai “Program Penanggulangan Program Kemiskinan” hmm jadi beliau menyampaikan itu ya, menyampaikan buku-buku, pandangan, pengalaman dan apa yang beliau kerjakan disana. Nah itu, penguatannya buat saya untuk mengenal relevansi materi disertasi saya dengan studi yang atau hmmm studi atau ranah perbincangan yang saya kembangan pada waktu itu.
Dwi : Wah lalu tema kemiskinan dan pembangunan seperti apa yang
Bapak pilih kala itu? Pak Bshergi : Tema kemiskinan terutama program penanggulangan, tapi lebih
spesifik kearah akses. Jadi aksesibilitas jadi judulnya “Permasalahan Akses di dalam Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan” ya.. Sebetulnya ada hal-hal yang mungkin sebenenarnya saya ngga begitu mengenal. Kan beliau memang lebih produktifnya di Komunikasi Pembangunan ya. Saya pada waktu itu ngga begitu kenal beliau, dalam arti kepakarannya sangat spesifik di bidang komunikasi ya. Saya pikir karena beliau di BAPPENAS jadi lebih ke pembangunan dan kemiskinan, tapi lebih kepada kita beliau menerima ya. Mungkin kalau beliau kritis beliau ngga welcome atau mungkin merasa ada tanggung jawab pada kita ya orang ini mungkin bilang kalau temanya ini tidak terlalu spesifik apa yang beliau geluti karena lebih ke Komunikasi Pembangunan ya. Kalau saya lebih ke aspek sosiologi, program penanggulangan kemiskinan. Jadi aspek kelembagaan.
Dwi : Apakah Bapak tahu kalau Bu Astrid sejak masuk sebagai
pengajar di UI juga langsung mengajar sosiologi dan komunikasi ya Pak?
Pak Bshergi : Iya, hmm saya ambilnya kuliah Sosiologi Pembangunan. Jadi kalau ngga salah itu mata kuliahnya sosiologi deh. Saya mungkin harus menelusuri kembali ya kalau ngga salah itu memang diselenggarakan oleh departemen sosiologi. Jadi saya ngambil kuliah pilihan itu, ya mungkin core nya untuk sosiologi. Saya kan bidangnya ilmu kesejahteraan sosial hmm istilahnya itu mata kuliah piihan yang banyak diambil oleh mahasiswa yang lain juga.
Dwi : Oke.. lalu bagaimana peran sentral Bu Astrid sebagai
promotor thesis bapak ini? Pak Bshergi : Saya kira sekilas mungkin memberikan penguatan dan istilahnya
membangun standar kualitas minimum. Jadi penguatan substansi dan menetapkan kualitas standar minimum kajian substansi kita ya itu bahasa akademiknya ya.. jadi kita kan kalau mahasiswa kan pikir apakah ini sudah berbobot apa tidak, mungkin sangat berbobot dan mungkin tidak sama sekali. Dan pembimbing itu
promotor kita yang memberikan judgement tentang sebetulnya mungkin kamu okelah ngga bagus-bagus banget tapi cukup lah. Kira-kira begitu yang dia bilang kalau liat disertasi saya kayaknya cukup doang ya. Cukup untuk dikatakan layak sebagai karya doktor. Itu tuh penting banget karena kita kan ngga tau ya mungkin ada orang yang sangat perfect ya ngga usah dibimbing pun udah jadi bagus ya. Kalau saya kan ya perlu didorong dan kira-kira cukup lah. Ya jadi itu menetapkan pertama membantu untuk membangun substansinya, istilahnya standar kualitas minum apa yang seharusnya.
Selebihnya beliau kemudian membimbing yang hmm saya
kemukakan lebih kearah penajaman/penguatan cara berfikir kita. Jadi beliau memberikan ada beberapa buku lain yang tidak terkait dengan bahasan disertasi. Jadi beberapa buku yang saya lupa judulnya itu sangat hmm istilahnya membentuk cara berfikir saya melalui buku itu. Jadi tentang demokrasi, bukan tentang apa itu demokrasi tapi lebih ke orang yang dapat menjalankan sistim demokrasi. Buku itu istilahnya ngga ada kaitannya banget sama disertasi saya tapi dia bilang tolong baca ini. Terus sosiologi politik dia juga minta saya baca itu. Ada 2 buku itu saya baca mendalam dan saya pikir buku itu jadi buku yang terbaik istilahnya dalam masa hidup saya yang sangat terasa sebagai buku yang berpengaruh itu ya buku dari beliau. Jadi mungkin kalau ditanya peran apa ya peran substantive, peran quality control, sama mempersiapkan kita untuk menjadi intelektual yang baik ya. Jadi dia kasih buku-buku yang hmm diluar dari bahasan disertasi saya. Itu kesan saya seperti itu lebih kearah yang terakhir itu ya..
Dwi : Sebelumnya ketika Bapak mendapat pengajaran beliau di
mata kuliah Sosiologi Pembangunan itu apakah Bapak tahu kalau beliau itu anak dari Mantan Menlu?
Pak Bshergi : Nah, Mr. Soenario ya. Saya ngga tau. Kita kayaknya waktu itu mahasiswa yang ngga terlalu serius ya haha hmm mungkin saya bertanya ya apakah beliau ada sering ke Jerman. Beliau itu tiap tahun ke Jerman, pasti jadi kalau akhir tahun christmas atau holiday dia pasti break year end nya ke Jerman.
Dwi : Lalu hal terkait beliau itu sendiri yang masih melekat menurut
Bapak itu seperti apa sih? Pak Bshergi : Saya kira hmm itu ya basis buku yang baca itu mungkin walaupun
beliau menyampaikannya ngga secara langsung ya. Tetapi bahwa sistem kelembagaan demokrasi membutuhkan orang-orang yang berjiwa demokrat. Bukan parta demokrat ya haha tapi berjiwa demokrat. Artinya berjiwa demokrat orang-orang yang mampu bekerja dalam sebuah sistem demokrasi saja ya tetapi orang-orang
yang mempunyai nilai-nilai menghargai kemudian plural kemudian tertib itu yang apa namanya hmm mungkin beliau ingin sampaikan. Tapi yang lain saya kira adalah profesionalisme beliau adalah orang yang mempunyai wawasan sangat luas ya. Terakhir-terakhir ketika saya masih bertemu beliau itu beliau masih aktif sekali untuk mengkaji isu-isu Papua. Jadi mungkin kalau ke BAPPENAS studi-studi tentang hmm manuscript-manuscript atau working paper-nya atau apa mungkin masih bisa ditemui. Jadi beliau intens membahas isu Papua itu. Itu yang juga memberikan ingatan kepada saya pada saat ini tahun 2012 mendirikan kajian di FISIP yang bernama Papua Center. Ada kaitannya secara langsung atas orientasi beliau melihat secara langsung yang jauh jadi mungkin jika kita membicarakan masalah gap atau jarak pasti ada jarak budaya kan. Budaya dari masyarakat Indonesia di bagian barat dan timur kan berbeda.
Saya dulu masih berfikir apa dan kenapa beliau harus pergi jauh
apalagi Papua pada zaman itu saya belum bisa ngerti. Tapi setelah saya ikut, ya saya sudah 20-30 tahun setelah itu sekitar 95-99. Jadi saya pikir itu juga memberikan konteks pemahaman pentingnya kita melepaskan diri dari comfort zone kita dalam memahami sesuatu yang simple, menuju sesuatu yang jauh ya kompleks ya jarak budaya yang jauh di Papua.
Pak Bshergi : Mungkin layak dicoba ya di BAPPENAS mungkin ada kompilasi
atau sisipan tulisan-tulisan beliau. Saya juga hari ini rencananya mau kesana tapi belum sempat ya kesana. Karena kajian tentang pembangunan dan etnografi kayaknya dia. Jadi pembangunan yang berhubungan dengan etnografi atau kesukuan pegunungan. Mungkin ya di pegunungan kebetulan beliau pada waktu itu antara lain hmm masyarakat Papua Pegunungan. Ya Indonesia Timur ya, tapi saya ngga tau sakitnya beliau apa ya?
Dwi : Stroke pak.. terakhir itu stroke dan sebelumnya sempat ada
track record jantung. Tapi wafatnya itu memang karena stroke aja kalau kata anak beliau Pak. Beliau 2 hari sebelum wafat itu masih sempat menulis meneliti dsb Pak nah makanya anak-anak beliau menilai sakitnya itu hanya sakit biasa. Oh ya Bapak berarti termasuk enjoy ya Pak ketika diajar oleh beliau?
Pak Bshergi : Saya tuh lupa-lupa ingat ya tapi saya pada waktu itu enjoy aja sih.
Hmm mungkin karena sebetulnya pada waktu itu karena kekagumannya melihat sosok orang yang mempunya profile nasional hmm dan mungkin membayangkan BAPPENAS pada jaman itu kan sebuah institusi yang luar biasa pamongnya
mengenai pembangunan nasional yang berdasarkan GBHN, kan pusat pengkoordinasian pembangunan itu kan ada di BAPPENAS dan peran dulu belum disentralisasi kan? Jadi hmm citra dan fungsi kelembagaan pada waktu itu sebagai peran sentral, menterinya beken kemudian berpengaruh. Jadi saya pertama mungkin ngerasa kagum gitu ya, dan hmm enjoy nya dalam hal itu ya. Kedua, saya kira kalau seinget saya hmmm beliau itu pasti dikelas itu bisa mencakup banyak tema ya. Jadi emang semua tema kayaknya dia bisa. Bisa menjembatani mungkin itu ya karena beliau terbuka terhadap mahasiswa, memberikan tema-tema yang luas dan bisa memberikan tanggapan yang baik terhadap mahasiswanya pada berbagai tema.
Dwi : Jadi concern beliau itu sudah dibahas ya Pak bahwa beliau ini
lebih ke kajian-kajian pembangunan serta etnografi ya Pak? Pak Bshergi : Hmm khusus dalam hal minat beliau meneliti isu pembangunan
Indonesia Timur ya, dan khususnya Papua itu. Tapi seperti yang kita omongin juga ternyata beliau keahliannya komunikasi pembangunan tapi yang saya kenal langsung lebih kepada aspek Sosiologi Pembangunannya. Lalu saya berlanjut di disertasi. Tapi saya tidak tahu banyak apa yang kemudian beliau sendiri sebagai personal berminat dalam hal lain ya. Ya saya pada waktu itu masih muda ya ibaratnya taunya kepentingan itu doang. Tapi ya pengalaman kelas dan bimbingannya saja ya.
Dwi : Oke.. karena saya ini kan harus mencari fokus beliau.
Berdasarkan beberapa buku yang saya baca. Beliau memiliki ketertarikannya lebih kepada topik isu-isu sosial dalam tulisannya Pak. Lalu bagaimana tanggapan Bapak?
Pak Bshergi : Saya jadi teringat hmm mungkin ketika dia memberikan beberapa
buku ke saya yang sifatnya lebih ke sosiologi politik mungkin dia pengennya ngomongnya begini kali, apa yang anda baca atau kaji tentang sosiologi itu hanya sebagian dari kompleksitas yang sebenarnya. Jadi, beyond apa yang anda lakukan ya dari luar jauh dari apa yang sedang kamu lakukan atau saya dalam disertasi itu mengenai kompleksitas atau realita manusia dalam kehidupan politik itu ya ini. Jadi ya saya bisa ngerti kalau beliau ngomong filsafat, studi komunikasi dan mungkin pembangunan masyarakat timur. Mungkin ada konteks studi saya ini dia bilang “tolong baca ini untuk bisa memahami complexity” tentang pembangunan dan politik pembangunan. Ini saya baru inget kenapa beliau memberikan gambaran itu, sebetulnya kalau saya punya waktu lebih panjang dalam mengkaji thesis saya itu mungkin akan menyentuh satu pemahaman yang lebih kompleks tentang realita pembangunan yang sebenarnya. Jadi kembali ke filsafat karena itu
banyak sisi pengetahuannya kita menangkap sisi pengetahuan ada buntutnya, ekornya, belalai, kan gitu ya? Haha
Dwi : Selama Bapak menjalankan disertasi kan beliau pernah
memberikan buku, lalu gagasan-gagasan seperti apalagi Pak yang diberikan oleh beliau?
Pak Bshergi : Sebenarnya ngga banyak sih mungkin beliau ngga cukup waktu karena kesibukan beliau pada waktu itu di BAPPENAS ya lalu juga kemudian jadi consultant di salah satu study center penelitian dari BAPPENAS mungkin ya di Kuningan. Yang mungkin kalau ditanyain menjadi pokok ya hmm mungkin soal ini ya yang saya baru tangkap sekarang, harus berfikir holistic. Mencoba melihat segala sesuatu dari segala multidimensi mungkin itu relevan dengan apa yang dialami dalam konteks saya ya dia selalu berinovasi untuk menghadirkan dimensi inovatif yang sangat penting, yang sebetulnya merupakan kelengkapan dari gambaran fenomena yang ada.
Mungkin gini ya ceritanya, kalau kita bikin disertasi itu kan semakin spesifik semakin bagus. Orang kalau bikin disertasi kan sangat fokus pada satu pertanyaan yang sangat simple, tapikan itu justru menghilangkan payung atau setting persoalan yang luas. Karena kita membicarakan hal yang sangat luas, mungkin beliau mencoba mengaitkan itu dengan hal yang lebih besar lagi. Bahkan sampai kepada hal-hal yang holistic atau issue tapi lebih kepada bagaimana kita meng-approach persoalan itu ya. Jadi buku yang saya dikasih itu lebih kearah membangun apa kelengkapan berfikir kita dalam berhadapan pada suatu sistim yang disebut demokrasi tadi. Menurut saya ya agak-agak lumayan membekas ya.. nah haha jadi kayak gitu sih. Mungkin selebihnya bisa dicek lagi di BAPPENAS.
Dwi : Oh iya Pak sebenarnya Sosiologi Pembangunan itu apa sih
Pak? Pak Bshergi : Sosiologi pembangunan itu adalah ketika Negara-negara khususnya
yang baru merdeka mencoba untuk melakukan proses, proses mengejar ketinggalan, mengatasi kemiskinan, mengatasi keterbelakangan, jadi sosiologi pembangunan itu lebih kearah bagaimana formula-formula yang dapat dikembangkan dalam melakukan percepatan pembangunan. Ada ekonomi pembangunan, sosiologi pembangunan, komunikasi pembangunan gitu kan.
Dwi : Sosiologi pembangunan itu lebih kearah apasih sebenarnya
mungkin seperti pangkalnya atau kan ada lagi menurut bapak ada ekonomi pembangunan, sosiologi pembangunan nah berarti pangkalnya itu ada di sosiologi pembangunan dulu atau?
Pak Bshergi : Antara ekonomi pembangunan dan sosiologi pembangunan itu tergandeng dua sisi. Instrumen-instrumennya itu biasanya ekonomi karena emang ekonomi punyai “tangan-tangan” yang lebih kuat untuk menggerakan pembangunan dengan payung konsepnya itu sosiologi. Misalkan kita kan gini, sosiologi pembangunan kan menggulirkan istilah modernisasi, itu kan konsep sosiologis tapi di dalam itu kan terdapat konsep teknologi, ada produktivitas, ada macem-macem kan. Perkembangan teknologi saja tidak cukup karena harus ada investasi uang harus ada pabriknya dsb. Lalu pemerintah melakukan efisiensi, kelembagaan pada politik yang lebih modern.
Dwi : Selain di teks book itu, ide-ide beliau apalagi sih Pak yang
mungkin dikelas sempat disampaikan? Pak Bshergi : Kalau di kelas sebetulnya menangkap berbagai dimensi-dimensi
aktual. Misalkan dimensi kesehatan hmm media massa artinya isu-isu komunikasi. Tapi tema dasarnya itu ya modernisasi. Jadi pembaharuan dari masyarakat yang agraris menjadi industrial, kehidupan masyarakat perkotaan, urbanisasi, kan gitu-gitu kan. Jadi seperti tadi yang muncul dalam diskusi kelas kan tema-tema yang sangat luas. Jadi beliau hmm katakanlah menjangkau banyak tema.
Dwi : Beliau pernah ini tidak Pak ketika mengajar nih gini
menyampaikan gagasan beliau mengenai harapan Indonesia yang seperti apa gitu misalkan Pak?
Pak Bshergi : Saya kira menuju masyarakat modern dan perubahan. Dengan skema perubahan yang hmm karena dalam sosiologi orang belajar bagaimana tahap-tahap dalam proses pembangunan itu sendiri kan misalkan melalui apa instrumen apa.. khususnya melalui media komunikasi ya.
Dwi : Bagaimana cara beliau mengajar di kelas Pak? Apakah ada
kesan tersendiri? Pak Bshergi : Beliau ini sangat encouraging. Jadi mungkin ya saya agak ge-er ya
haha nilai saya bagus saya mikir apa beneran bagus tapi mungkin beliau tidak melihat, jadi dia bisa dibilang murah dalam memberikan nilai. Beliau memberikan nilai itu mungkin untuk mendorong orang lebih giat, jadi positif. Cuma ngga tau murid yang lain ya tapi saya kira dia pasti kasih nilai ngga pernah jelek. Dia coba mendorong mahasiswanya hmm ngga tau ya mungkin ini istilah saya sendiri, membangun minat mahasiswa untuk mengenal realitas pembangunan itu seperti apa. Kebetulan beliau punya sisi langsung, alami, yang bisa langsung di-share di kelas. Tapi paling ngga itu yang saya tangkap ya, ketika mengambil kuliah beliau kita juga ada tujuan melihat bahwa beliau adalah seorang akademisi
yang memiliki sisi pengalaman professional di pembangunan. Seperti yang saya katakan bahwa BAPPENAS sebagai sebuah lembaga yang peran sentral, jadi menurut saya itu menjadi satu nilai tambah yang pasti terasa lebih dari kelas yang kita ikuti pada saat itu.
Dwi : Sudah terjawab semua nih Pak pertanyaannya bahkan belum
ditanya tapi sudah dijawab.. Terima Kasih banyak Pak Bshergi atas waktunya ya Pak.
Pak Bshergi : Sudah ketebak sih haha ya ngga apa-apa nanti kalau ada pertanyaan
lagi bisa via telfon atau email aja.. Iya, sama-sama ya Sukses selalu untuk Dwi ya.