Upload
vanthuan
View
217
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
附录
图 1.1 徽州歙县棠樾村七牌坊
《徽州牌坊冠中华,棠樾牌坊冠徽州》.〈http://www.hsyk.com/zjh z/typfq.htm〉
图 1.2 鲍文渊继妻吴氏节孝坊
图 1.3 鲍文龄妻汪氏节孝坊
http://blog.sina.com.cn/s/blog_46fc43dd01007w64.html
致谢
感谢天恩师德,愿上帝降福于我们,在一段时间的路程,这篇论文终
于准时而顺利地完成。编写论文的主要目的为毕业条件,为了获得文学学
士。要踏上成功大门,实现理想,不像翻转手掌那么容易,必须经过层层
的心理考验,外在艰难不拔的挫折。这些路途坎坷笔者在此一学期当中能
顺利地突破,全不仅是本身抽出的力量,而且也是由亲朋师长在后的祈祷
与鼓励。由此,笔者想借此机会向其表示衷心的感谢。
首先笔者向 Prof.Dr.Gerardus Polla, M.App.Sc,建国大学的校长以及
Dra.Ienneke Indra Dewi, M.Hum.,建国大学的院长,不断在后给予关心热
爱,表示感谢。许丽妮老师,中文系主任,在论文讨论会细心地提出建议
以及加以补充主意,笔者对此十分感谢。对三位笔者衷心敬爱的老师,郭
淑琴老师,中文系秘书,在一学期之中为辅导老师,一向给笔者付出苦心
成全, 拓研究思路,支持与鼓励;付若玫老师,始终给笔者分享,补充
意见;曾依嘉老师,为笔者精神上的扇子,您们都是笔者在未来的榜样形
象,对此笔者表示由衷的感谢。
除此之外,感谢三位前辈老师,温清莲老师、深竹金老师和李振像老
师,对笔者的论文十分关心。也感谢笔者心目中的好友,何晓慧和胡丽花
在后的支持热爱,尤其是彭金花默默在后给予极大的鼓励及忠告,使笔者
在编写论文之中不断地振作精神。也特别感谢笔者的小弟弟,在后给火炬
般的鼓励,解决电脑的问题,指导操作电脑的方法。
最后,笔者以报感恩戴德向父母的养育之恩及优厚的关心爱戴表示衷
心的感谢;尤其是母亲,为笔者的终生老师;您天天的忠告,天天的鼓
励,天天的陪伴,如火光普照心上,使笔者在精神衰退时恢复更有信心。
笔者的成功即母亲的功劳,所以这篇论文特别贡献给她。
2008 年 7 月 29 日,印尼雅加达
叶秀荟
KEHIDUPAN WANITA JANDA PADA ZAMAN DINASTI QING DI BAWAH PENGARUH GAPURA KESUCIAN
DITINJAU DARI SEGI PSIKOLOGI SOSIAL
Skripsi
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan Program Strata 1
Jurusan Sastra China
Oleh
OLIVIA 0800739796
Fakultas Sastra
Universitas Bina Nusantara Jakarta
2008
KEHIDUPAN WANITA JANDA PADA ZAMAN DINASTI QING DI BAWAH PENGARUH GAPURA KESUCIAN
DITINJAU DARI SEGI PSIKOLOGI SOSIAL
Skripsi
Oleh
OLIVIA 0800739796
Disetujui :
Pembimbing
Henny Lim, BA D2988
Universitas Bina Nusantara
Jakarta
2008
ABSTRAKSI
Gapura Kesucian adalah gapura yang didirikan khusus untuk menunjukkan wujud teladan, sebagai penghargaan kepada wanita feodal yang rela seumur hidup menjaga kesuciannya, setia dan teguh demi almarhum suaminya. Skala perkembangan Gapura Kesucian pada zaman Dinasti Qing lebih besar dibandingkan Dinasti terdahulu, sedangkan terhadap konsep kesucian yang diterapkan semakin lama semakin keras. Hal ini sangat mendorong penulis untuk melakukan penelitian, guna untuk mengetahui penyebab utama yang memperkuat maraknya penganugerahan kesucian pada zaman Dinasti Qing, dimana memberikan pengaruh terhadap kehidupan wanita janda, diantaranya berupa dampak positif dan negatif dilihat melalui unsur psikologi sosial. Adapun metodologi yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan metode kajian kepustakaan dalam pengumpulan data; menggunakan metode deskriptif untuk memberikan penjelasan keterangan pada data; Sedangkan untuk menganalisa data, penulis menggunakan metode kualitatif. Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh penyebab utama yang memperkuat maraknya penganugerahan kesucian pada zaman Dinasti Qing adalah kekuasaan politik Dinasti Qing dan kehidupan ekonomi Baqi. Maraknya pemberian anugerah kesucian menimbulkan pengaruh kuat yang menberikan dampak positif terhadap kehidupan mereka, yaitu mendapatkan pujian dan penghormatan dari masyarakat, mendapatkan keuntungan material, meningkatkan kedudukan sosial serta meninggalkan nama baik sepanjang abad. Sedangkan dampak negatifnya, demi mendapatkan penghargaan gapura, wanita janda rela mengurung diri dan menjaga kesucian di dalam gedung kesucian, selamanya putus hubungan dengan dunia luar; tidak diperizinkan berhubungan dengan kaum lelaki yang berusia muda atau tua, anak lelakinya yang berusia belas tahunan pun, tidak boleh seatap dengan ibunya; bahkan Pengaruh kuat Gapura Kesucian, mengakibatkan munculnya Kaum wanita harakiri(melakukan tindakan bunuh diri).
Inilah kelihaian permainan paham feodalisme monarki absolut, yang ingin mempertahankan dan memperluas sistem klan patriakal. Pada akhirnya wanita-lah yang dijadikan objek permainan mereka. Gambaran ini bukan merupakan wujud gambaran tata susila feodal kanibalis, melainkan wujud gambaran manusia kanibalis.
Kunci : Wanita janda, kesucian, Gapura
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan YME, atas berkat dan rahmat-
Nyalah, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul “KEHIDUPAN
WANITA JANDA PADA ZAMAN DINASTI QING DI BAWAH PENGARUH
GAPURA KESUCIAN DITINJAU DARI SEGI PSIKOLOGI SOSIAL” dengan
baik dan lancar.
Adapun penyusunan skripsi ini merupakan tugas akhir untuk memenuhi salah
satu syarat dalam menyelesaikan program studi strata 1 Jurusan Sastra China Universitas
Bina Nusantara. Untuk melangkah menuju pintu kesuksesan, mewujudkan cita-cita,
tidak semudah ibaratnya membalikkan telapak tangan, harus melalui berlapis-lapis
gemblengan secara psikologis, serta kegagalan luar yang sulit dilalui. Dalam perjalanan
yang penuh lika-liku ini, penulis dapat menerobosnya dengan lancar di tengah semester
ini, semuanya tidak luput dari kekuatan yang didorong dari diri sendiri, serta doa dan
dorongan dari dosen dan teman-teman.
Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih sedalam-
dalamnya kepada pihak-pihak yang telah memberikan dorongan, bimbingan, petunjuk,
nasehat, serta bantuan baik secara moril maupun material kepada penulis, yang antara
lain adalah:
1. Bapak Prof.Dr.Gerardus Polla, M.App.Sc., selaku Rektor Universitas Bina
Nusantara.
2. Ibu Dra.Ienneke Indra Dewi, M.Hum., selaku Dekan Fakultas Sastra Universitas
Bina Nusantara.
3. Ibu Andyni Khosasih, SE.,BA., selaku Ketua Jurusan Sastra China Universitas
Bina Nusantara.
4. Ibu Henny Lim, BA., selaku Sekertaris Jurusan Sastra China Universitas Bina
Nusantara, serta dosen pembimbing selama dipertengahan semester ini, yang
telah membantu dengan susah payah, membuka jalan pikiran penulis, serta
memberikan dukungan dan dorongan semangat selama menjalani skripsi.
5. Ibu Fu Ruo Mei, BA., dan Elice Chandra, ST.,M.Si., selaku Dosen pendukung
dan penyemangat, yang selalu memberikan ide dan saran, yang sangat membantu
dan membangun, sehingga skripsi ini dapat dijalankan dengan lancar.
6. Seluruh Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Sastra, Jurusan Sastra China Universitas
Bina Nusantara, atas segala bimbingan dan ilmu yang telah diberikan kepada
penulis selama di bangku perkuliahan.
7. Kepada ketiga guru pendahulu, Guru Wen, Guru Shen, Guru Li, yang senantiasa
memberikan dorongan dan perhatian besar selama penulis menjalani skripsi ini.
8. Kepada kedua orangtua penulis, Papa dan Mama yang telah susah payah
mendidik dan membesarkan saya, serta memberikan rasa sayang dan perhatian
yang besar; terutama Mama, selaku guru seumur hidup penulis; nasehat,
dorongan, kebersamaan yang diberikan beliau setiap hari, bagaikan pancaran
sinar api yang menerangi hati, sehingga penulis lebih percaya diri. Keberhasilan
penulis merupakan jasa beliau, untuk itu skripsi ini penulis persembahkan untuk
beliau.
9. selain itu, kepada sahabat penulis, Leonita, Livia, dan Dian yang selalu
memberikan dukungan; terutama Dian senantiasa memberikan dorongan dan
nasehat yang besar, sehingga penulis tidak hentinya mengobarkan semangat sela-
ma menjalani skripsi.
10. Seluruh teman-teman seperjuangan skripsi yang telah banyak membantu
penulisan sehingga skripsi ini dapat penulis selesaikan.
Penulis menyadari dalam penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh
karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca
maupun pihak-pihak yang terkait dalam usaha menyempurnakan materi penulisan
skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca pada umumnya dan
peneliti pada khususnya.
Jakarta, 29 Juli 2008
Olivia
DAFTAR ISI
Halaman Judul Luar …………………………………………………………………. i
Halaman Judul Dalam................................................................................................... ii
Halaman Persetujuan Hard Cover…….......................................................................... iii
Halaman Pernyataan Dewan Penguji.......................................................................... iv
ABSTRAKSI………………………............................................................................... v
UCAPAN TERIMA KASIH …………………………………………………..……... vi
DAFTAR ISI ………………………………………………………………………….. ix
RINGKASAN ISI……………………………………………………..…..................... 1
SIMPULAN DAN SARAN………………………................................................................ 17
BIBLIOGRAFI………………………..................................................................................... 20
RIWAYAT HIDUP
RINGKASAN ISI
Kesucian adalah suatu nilai penting bagi kehidupan wanita, khususnya wanita
pada zaman Dinasti Qing. Pada zaman itu, Kesucian wanita dijadikan sebagai alat untuk
mempertahankan dan memperkokoh sistem feodal, serta memperluas sistem klan
patriakal. Untuk itu, bagi wanita janda yang mentaati diri terhadap asas susila feodal,
menjaga kesuciannya seumur hidup, maka pemerintah feodal akan menganugerahkan
sebuah Gapura Kesucian pada mereka.
Perkembangan penganugerahan Gapura Kesucian pada Dinasti Qing, dimulai
pada saat bangsa Manchuria berhasil memasuki dataran tengah, dan menguasai China.
Saat itu kaisar Shunzhi mulai menggalakkan sistem ajaran Confusiusme,
yaitu ”Menjunjung tinggi Confusiusme, menitikberatkan doktrin” , dimana salah satu
ajaran yang ditekankan adalah menjunjung tinggi kesucian dan memprioritaskan bakti.
Ajaran ini dijadikan sebagai konsep dasar masyarakat saat itu, dan juga menjadi norma
moral bagi kaum wanita janda.
Oleh karena itu, berdasarkan catatan Qing Shi Lu, pada masa kaisar Shunzhi
jumlah total wanita yang mendapatkan penganugerahan kesucian berkisar 403 orang,
kemudian disusul pada zaman kaisar Kangxi, yang meneruskan prinsip dasar kaisar
Shunzhi. Saat itu beliau mulai menetapkan peraturan baru tentang penganugerahan
kesucian, yaitu bagi wanita yang berusia sebelum 30 tahun sudah menjanda, dan
menjaga kesuciannya hingga usia 50 tahun, dianggap sebagai kesucian mutlak, berhak
memperoleh penganugerahan berupa Gapura. Untuk itu, jumlah total wanita janda yang
memperoleh penghargaan saat itu meningkat menjadi 4822 orang. Pada masa kaisar
Yongzheng meningkat lagi menjadi 9995 orang. Kemudian selama berada pada tanduk
kekuasaan kaisar Qianlong dari tahun 1735-1749 jumlah total wanita yang mendapatkan
anugerah berkisar 32521 orang; pada tahun 1750-1795 meningkat lagi hingga mencapai
33679 orang. Tetapi pada zaman kekuasaan kaisar Jiaqing menurun hingga 29179 orang;
kemudian di akhir zaman Dinasti Qing, kaisar Daoguang jumlah wanitanya meningkat
hingga 93668 orang. Sampai dengan kaisar Tongzhi, jumlah total wanita janda yang
mendapat penghargaan melampaui zaman kaisar-kaisar terdahulu, yaitu 190040 orang,
ini merupakan jumlah yang tertinggi selama abad Dinasti Qing.
Berdasarkan jumlah data diatas menunjukkan bahwa, wanita janda zaman
Dinasti Qing sangat berpegang teguh pada kesucian, dan pemerintahan Qing tidak
hentinya memberikan uang 30 tahil untuk mendirikan sebuah simbol teladan---Gapura
Kesucian kepada mereka. Oleh sebab itu, perkembangan Gapura Kesucian pada zaman
Dinasti Qing semakin meledak. Timbullah berbagai macam cara pemberian anugerah,
diantaranya Gapura istimewa (khusus didirikan untuk satu orang), Gapura umum
(khusus didirikan untuk umum). Pada Dinasti awal, pemerintah biasanya mendirikan
Gapura istimewa sebagai penghargaan untuk kaum wanita janda. Karena pengeluaran
pembangunan Gapura kian membesar, dan keuangan pemerintah kian membengkak,
ditambah lagi pembangunan Gapura disalahgunakan untuk kepentingan sendiri,
sehingga pada akhir Dinasti Qing, yaitu di zaman kekuasaan Daoguang lebih banyak
didirikan Gapura umum, Sedangkan Gapura istimewa lebih banyak didirikan untuk
keluarga bangsawan saja.
Penyebab utama yang memperkuat maraknya penganugerahan Gapura Kesucian
pada Dinasti Qing, tidak lain adalah:
1. Membangkitkan konformitas sebagai gada untuk memperkuat kekuasaan politik
Dinasti Qing.
Perseteruan antara bangsa Mancuria dengan bangsa Han, karena adanya satu
tujuan besar, yaitu mempertahankan kedudukan kekuasaan Qing, dengan cara
menyerang dataran tengah, kemudian memperluas kekuasaan politik Qing (bangsa
Mancu) di tengah dataran China, yang pada ujungnya kembali pada aturan kekuasan
feodal yang sudah ada. Tugas ini sangatlah berat untuk dijalankan oleh bangsa
Mancu. Untuk itu, mereka mulai menjalankan penekanan politik serta pemaksaan
politik budaya Mancu kepada bangsa Han. Keadaan ini malah menimbulkan reaksi
negatif dari pihak bangsa Han. Perlawanan terus dilakukan untuk melindungi dan
mempertahankan benteng kekuasaan bangsa Han di dataran China, agar tidak dijajah
oleh bangsa Mancu. Perubahan reaksi masyarakat ini, membangkitkan anti-
konformitas. Seperti yang diungkapkan pada teori Willis (2006), yang mengatakan
bahwa:
“ Konformitas hanya merupakan sal ah satu dari respons sosial. konformitas tidak hanya harus mengandung unsur keselarasan, tapi juga harus mengandung unsur gerak, yaitu perubahan respons dalam kaitannya dengan standar sosial. Tanpa perubahan respons, maka keselarasan tidak dapat dikatakan sebagai konformitas.”
Berdasarkan teori diatas, menurut analisa penulis dari keadaan yang terjadi
bahwa kegagalan penekanan politik dan pemaksaan politik budaya pemerintahan
Qing, justru disebabkan kurangnya unsur keselarasan, yang menimbulkan respon
negatif. Sehingga demi menyelaraskan keadaan masyarakat Han serta
membangkitkan konformitas mereka, bangsa Mancu mengubah siasat baru, yaitu
menggunakan taktik halus untuk bersatu dengan bangsa Han. Mereka mulai
belajarkebudayaan Han, termasuk tradisi, norma, sera tata susila feodal, yang
menjadi salah satu cara untuk memperluas dan mempertahankan kekuasaan politik
Qing.
Setelah berhasil mendobrak masuk dataran China, pemerintahan Qing mulai
memperkuat pertahanan kekuasaan politiknya dengan menggalakkan asas susila
feodal, yaitu ajaran filsafat Cheng Zhu serta sistem ajaran Confusiusme, yaitu
Menjunjung tinggi Confusiusme, menitikberatkan doktrin. Prinsip dasar asas susila
feodal ini telah mempengaruhi seluruh sistem masyarakat Qing, sehingga dijadikan
sebagai norma moral dan etika keluarga pada masyarakat Dinasti Qing.
Untuk itu, penulis berpendapat bahwa pemerintahan Qing menjalankan taktik
pemberian penghargaan secara murah hati dan pemberian hukuman berat,
merupakan salah satu cara untuk mendorong masyarakat menerima baik(bersatu)
dengan orde politik kekuasan Qing, sehingga dapat mencapai keadaan masyarakat
yang selaras, dan juga mendapatkan reaksi positif masyarakat. Sebagaimana teori
yang diungkapkan oleh David Myers (2006), menjelaskan bahwa:
”Penghargaan dan hukum mendorong masyarakat untuk selalu patuh dan tunduk, kemudian bersatu dengan tindakan dan tekanan masyarakat.”
Ini merupakan siasat pemerintahan Qing dalam mengatur tata tertib
masyarakat, mengkontrol tingkah laku masyarakat, yang dijadikan sebagai sebuah
gada untuk memperkuat kekuasaan politik Qing.
2. Mempertahankan niat para wanita janda Baqi yang miskin dalam menjaga kesucian,
serta mengekang perkawinan kedua kalinya.
Baqi (Delapan bendera) merupakan organisasi militer-administratif bangsa
Mancu pada Dinasti Qing. Yang mulanya sebuah organisasi persatuan antara petani
dengan tentara, setelah memasuki Dataran China mengalami perpecahan menjadi 2
blok,yaitu blok petani dan blok tentara. Pada masa Kangxi dan Yongzheng,
kehidupan Baqi mengalami krisis. Hal ini disebabkan karena jumlah penduduk
makin bertambah, jatah makanan pun bertambah pula, mengakibatkan pengeluaran
kebutuhan hidup Baqi kian besar, makin hari mereka mengalami krisis kehidupan.
Berdasarkan keadaan diatas, penulis menganalisa bahwa masalah krisis
kehidupan Baqi-lah sebagai penyebab yang memperkuat maraknya penganugerahan
Gapura Kesucian pada Dinasti Qing, yang merupakan sumber utama krisis
kehidupan wanita janda.
Pada zaman kaisar Qianglong krisis ini lebih cenderung kritis, saat itu
pemerintah sangat memperhatikan keadaan kehidupan para wanita janda yang
terlantar, dengan memberikan bantuan ekonomi, berupa biaya hidup, bahan pangan,
serta jaminan kehidupan lainnya, dan bagi wanita janda yang menjaga kesuciannnya
bertahun-tahun, usia menjandanya sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan
oleh pemerintah, maka pemerintah sendiri akan menganugerahkan sebuah Gapura
Kesucian.
Menurut penulis ini merupakan salah satu siasat politik pemerintah, agar para
wanita janda tidak menikah lagi. Krisis kehidupan yang menyerang mereka,
ditambah lagi hidup tanpa pendamping, ada juga yang tanpa keturunan sekalipun,
menyebabkan ada sebagian wanita janda menikah lagi, ada yang malah
diperjualbelikan oleh keluarga dan mertuanya sendiri, untuk mengurangi jumlah
keluarga, dan mengurangi beban ekonomi. Berdasarkan data statistik yang penulis
kutip dari artikel Wang Yuesheng, yang berjudul ”Analisa kasus wanita janda yang
menikah lagi pada pertengahan Dinasti Qing”, menjelaskan bahwa para wanita
janda yang diperjualbelikan sebagai selir skala perbandingannya lebih tinggi,
berkisar 25%, yang terdiri dari 7 kasus, sedangkan wanita janda yang menikah
dengan pria yang belum berkeluarga, jumlah perbandingannya tinggi mencapai
60,71%, yang terdiri dari 17 kasus. Dari keadaan ini pemerintah mulai
menggalakkan kebijakan pengekangan terhadap mereka yang menikah lagi, yaitu
bagi wanita janda harus berkabung selama 3 tahun, tidak boleh menikah lagi. Jika
mereka melanggar, bukan hanya tidak mendapatkan uang senilai 30 tahil dari
pemerintah untuk mendirikan Gapura Kesucian, juga masuk ke jalur hukum;
termasuk bagi mereka yang menjual dan yang membeli (yang ingin memperistri)
terkena hukuman cambuk 100 kali, seluruh hadiah pertunangan di sita, kemudian
diusir.
Untuk menekan masalah ini, pada masa pemerintahan Qianlong mendirikan
sebuah gedung kesucian sebagai tempat perlindungan bagi para wanita janda, agar
mereka mendapatkan kehidupan yang tenang, tetap mematuhi aturan masyarakat
untuk selalu menjaga kesucian. Sehingga pada 60 tahun usia tanduk kekuasaan
kaisar Qianlong, dari tahun
1735-1795, wanita yang menjaga kesuciannya, dan mendapatkan penganugerahan
kesucian jumlah total yang diperhitungkan adalah 32521 orang, meningkat sampai
33679 orang dan penulis memperkirakan sebagian besar dari wanita-wanita ini
termasuk wanita janda Baqi, yang usia-nya berkisar di atas 15 tahun, dan sudah
berada dalam usia 30 tahun-an.
Masalah krisis kehidupan Baqi tidak berhenti sampai di sini. Pada akhir masa
Dinasti Qing, krisis kehidupan Baqi semakin kritis, hal ini disebabkan setelah perang
ganja, jumlah penduduk Baqi kian meningkat, kebutuhan hidup pun juga meningkat
drastis, dan keadaan keuangan pemerintah saat itu kian memburuk, mengakibatkan
kesulitan bagi sejumlah masyarakat Baqi untuk mendapatkan jatah biaya dan
makanan. Sehingga pada masa kaisar Tongzhi, muncullah sejumlah pengemis wanita
janda Baqi di daerah Guangzhou, kemudian pada 10 tahun pemerintahan Tongzhi
menetapkan bahwa bagi wanita janda yang menjaga kesuciannya hingga 6 tahun
keatas, akan mendapatkan penghargaan. Dari keadaan diatas, penulis memperkirakan
bahwa masa kaisar Tongzhi jumlah total wanita yang mendapatkan penghargaan
berkisar 190040 orang, sebagian besar adalah mereka yang termasuk golongan
pengemis wanita Baqi. Demi kelangsungan hidup mereka, pemerintah mendirikan
lagi gedung kesucian untuk menampung, memberikan perlindungan dan jaminan
hidup, supaya mereka bisa menjaga kesuciannya dengan tenang, dan mereka yang
usia-nya sesuai dengan peraturan pemerintah, akan mendapatkan penghargaan
berupa pembangunan Gapura umum.
Dilihat dari keseluruhan analisa diatas, penulis menyimpulkan bahwa
keseluruhan tindakan yang dilakukan oleh pemerintah sebagai wujud upaya mengatur
tata tertib masyarakat, dengan tujuan tetap mempertahankan asas susila feodal sebagai
kunci utama; dan tentu saja bagi wanita janda sendiri harus tetap menjunjung tinggi
norma moral masyarakat (menjaga kesucian), yang pada akhirnya dari segala maksud
dan tujuan hanya untuk mempertahankan kekuasaan politik feodal Qing, agar tidak
goyah, hanya disebabkan karena masalah krisis kehidupan Baqi .
Penyebab yang mendorong maraknya penganugerahan Gapura Kesucian pada
masa Dinasti Qing, walau sesuatu hal yang luar biasa khidmatnya di mata masyarakat
dan keluarga, tetapi secara psikologi sosial memberikan pengaruh yang besar bagi
kehidupan seumur hidup para wanita janda yang menjaga kesuciannya. Untuk
mengetahui lebih jelas gambaran hidup wanita di bawah pengaruh Gapura kesucian,
penulis mengambil 3 contoh gambaran singkat, untuk mencerminkan para wanita janda
lainnya yang menjalani hidup di bawah pengaruh Gapura, seperti di bawah ini:
Contoh 1: Wanita Janda di dalam Gedung Kesucian.
Gedung kesucian merupakan salah satu simbol asas feodal, dimana bertindak
sebagai wujud pendukung dari Gapura kesucian, yang secara langsung memberikan
kebutuhan hidup berupa material, serta lingkungan yang layak dan tenang kepada
mereka yang bersedia menjaga kesucian. Perkembangan Gedung ini sampai akhir masa
feodal Qing, yang pada akhirnya berubah menjadi gedung kesucian, yang memiliki
sistem khusus untuk membantu dan menolong kehidupan wanita janda.
Berdasarkan kutipan dari Li Munan (2006) dalam bukunya yang berjudul ” Adat
Kebiasaan Perkawinan dan Kelahiran” menggambarkan kehidupan wanita janda secara
singkat yang hidup di dalam gedung kesucian, di mana pada awalnya didirikan pada
masa Tongzhi, di ibukota Jingshi, kabupaten Tianjin. Di bawah ini gambaran keadaan
singkat kehidupan mereka:
”Gedung kesucian, tempat di mana menampung para wanita janda yang kehidupan keluarganya melarat, dan bersedia menjaga kesuciannya. Permohonan diri untuk masuk ke gedung kesucian, dengan ket entuan menjanda dalam usia 30 tahun. Hidup dalam gedung kesucian, dijamin mendapatkan biaya kebutuhan dasar hidup. Selain itu, juga diizinkan membawa anak-anaknya masuk ke gedung. Setelah memasuki gedung kesucian, para wanita janda hampir putus hubungan dengan dunia luar. Ruang hidup mereka terbatas pada gedung kesucian dan ruangan yang kecil dan sempit. mereka juga tidak diizinkan keluar dari pintu utama . Setiap hari hanya ditemani oleh para pengawas gedung kesucian. Kunjungan dari sanak saudara hanya sebatas pada pagar pintu depan. Para wanita diizinkan keluar dari gedung, jika sanak keluarganya sakit atau pada musim semi dan gugur tiba.
Bagi mereka yang tidak tahan penderitaan, atau yang melanggar peraturan gedung akan dikeluarkan dari gedung kesucian. Setelah keluar dari gedung, tidak diizinkan masuk gedung lagi. Tetapi bagi mereka yang dikarenakan tidak tahan akan penderitaan dan keluar dari gedung, maka akan dicela oleh masyarakat setempat. Lingkungan kehidupan mereka akan semakin buruk.” Berdasarkan gambaran keadaan hidup wanita janda diatas, penulis menganalisa
bahwa wanita pada masa Dinasti Qing selalu diakui sebagai wanita yang tidak berbakat
adalah wanita yang berkebajikan. Setelah kehilangan suami, seumur hidup harus
menanggung beban seorang diri, bahkan hidup atau mati pun harus setia pada satu suami,
selamanya menjaga kesucian, inilah nasib hidup wanita janda.
Kehidupan wanita janda dalam gedung kesucian bagaikan terpuruk dalam
penjara neraka. Ruang hidup mereka hanya sebatas pada ruang lingkup yang kecil dan
sempit. setiap pintu utama dalam gedung kesucian, maupun tempat tinggal para janda
sepanjang hari terkunci oleh lumbung bambu. Selain itu, setelah masuk ke dalam gedung
kesucian, tidak diperbolehkan berhubungan dengan lelaki yang berusia muda dan tua,
bahkan anak lelaki-nya yang berusia belasan tahun pun, juga tidak diperbolehkan tinggal
satu atap bersama ibunya. Pada saat pembersihan kuburan(peringatan kematian leluhur)
di musim semi gugur ataupun sanak keluarganya(keluarga kandung dan mertua) ada
yang jatuh sakit, baru diperbolehkan keluar dari gedung. Bisa dilihat wanita janda yang
telah masuk gedung, hampir putus hubungan dengan dunia luar, mereka hanya ditemani
dan diawasi oleh para penjaga yang ada di dalam gedung kesucian.
Memasuki gedung kesucian adalah jalan pintas untuk mempertahankan kesucian
mereka, dengan serangkaian peraturan yang ditetapkan oleh masyarakat, yaitu norma
moral masyarakat sebagai alat pengawas kehidupan. Lu Jiamei dalam buku Psikologinya,
mengatakan bahwa yang dimaksud dengan norma moral adalah sebagai berikut:
” norma moral adalah norma masyarkat, dimana masyarakat demi kelangsungan hidup dan kemajuannya sendiri, menyelaraskan dan mengkontrol kehidupan masyarakat, serta menetapkan serangkaian standar tingkah laku pada anggota masyarakat lainnya, yang dijadikan sebagai norma tingkah laku mereka.”
Menurut teori diatas, penulis berpendapat bahwa, gedung kesucian hanyalah
tempat untuk mempertahankan dan melindungi asas moral feodal. Ini merupakan siasat
para penguasa dan pembela feodal untuk menyelaraskan kehidupan
masyarakat,meningkatkan konformitas terhadap tata susila feodal. Hal ini demi
kelangsungan hidup serta kemajuan diri sendiri, sehingga norma yang diakui dan ditetap
kan oleh masyarakat, menjadi hukum dalam kehidupan individual. Dan bagi kehidupan
wanita janda, mereka tidak akan lepas dari tekanan norma moral masyarakat.
Penulis juga berpendapat walau selama hidup para janda mendapatkan jaminan
kebutuhan hidup, tetapi mereka harus mematuhi peraturan gedung yang ketat, dimana
mereka harus seorang diri membina diri dan menjaga kesuciannya. Dan berakibat fatal
jika mereka melanggar, atau tidak tahan terhadap penderitaan, akan dicemoohkan,dan
dikucilkan oleh masyarakat. Kenyataannya tampak dari luar, mereka terlihat teguh tak
tergoyahkan dalam menghadapi kehidupan pahit mereka, tetapi siapa yang tahu hati
mereka terus berteriak, terus mencela diri. Tekanan kehidupanlah yang menyebabkan
mereka gigih dan pantang menyerah, untuk itu mematuhi tata susila sama dengan
pengawal yang melindungi nyawa mereka, serta mendapatkan pujian dan hormat dari
masyarakat. Adalah cara yang terbaik, menyesuaikan diri dengan keinginan masyarakat,
ibaratnya narapidana dalam tahanan, patuh terhadap peraturan, tidak akan mendapatkan
hukuman; sengaja kabur, bukan hanya menerima hukuman, tapi juga menerima serangan
dari masyarakat.
Inilah penderitaan yang dijalani wanita janda selama hidup di gedung kesucian.
Yang pada akhirnya, jika usia sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan, dan bisa
menahan penderitaan selama pembinaan diri dan penjagaan kesucian, akan mendapatkan
penghargaan gapura, atau boleh mengajukan diri untuk membangun gapura.
Tetapi bagaimana dengan mereka yang sudah meninggal, sebelum mencapai usia
yang telah ditentukan untuk mendapatkan gapura, yang pasti sia-sia sudah pengorbanan
diri mereka selama berada dalam gedung kesucian. Ini membuktikan tidak semua wanita
yang tinggal di gedung kesucian, memiliki kesempatan membangun gapura sendiri.
Mungkin masih banyak wanita janda yang hidup di luar gedung kesucian, yang seumur
hidup mereka menjaga kesucian, tetapi diabaikan, dan tidak mendapatkan kesempatan
sama sekali untuk membangun gapuranya sendiri, bagi mereka tentu saja tidak adil.
Dengan demikian wanita janda yang rela mengurung dirinya dalam gedung
kesucian, seumur hidup menjaga kesucian, dan mendapatkan penghargaan gapura, pada
akhirnya apa yang mereka miliki semuanya kosong, kerugian lebih besar dibandingkan
keuntungan.
Contoh 2: Wanita Huizhou
Pada propinsi Huizhou terdapat 7 Gapura yang berbaris tegak di Kabupaten Xi ,
Desa Tangyue. 7 Gapura yang terdiri dari kesetian, bakti, kesucian, keadilan, dan
sebagainya adalah di bangun oleh keluarga Bao. Diantara 7 gapura terdapat dua Gapura
Kesucian milik nyonya wu, istri Bao Wenyuan dan milik nyonya wang, istri Bao
Wenling. Berikut kisah hidup mereka berdua dalam menjaga kesucian, di mana penulis
mengutip dari salah satu artikel “Yu Xian Zhi”:
“ Nyonya wu, pada usia 22, menjadi menantu keluarga Bao. Dalam hidupnya, pagi hingga malam menjaga adik iparnya yang sakit; usia 29 tahun suami meninggal dunia, saat itu ia berpegang teguh untuk menjaga kesuciannya seumur hidup, sepenuh hati menjaga dan membesarkan anaknya, lalu meneruskan usaha keluarganya. 31 tahun, ia menjaga kesuciannya; pada usia 60 tahun, ia meninggal dunia, dan mendapatkan penghargaan Gapura Kesucian dan bakti.
Sedangkan , nyonya wang, pada usia 25 tahun menjanda, usia 45 tahun meinggal dunia, menjaga kesuciannya sel ama 20 tahun. Selama hidupnya, berkorban demi kesucian dan bakti, menjaga kesuci an demi membesarkan anak. Dalam situasi yang sama mendapatkan penghargaan Gapura bakti dan kesucian. Mereka berdua adalah wanita yang hidup pada masa kaisar Qianlong.”
Inilah kehidupan wanita Huizhou, dalam keluarga bertindak sebagai pengurus
rumah yang rajin dan susah payah. Pria Huizhou hanya bertugas di luar, menjalankan
usahanya, tunggu sampai 10 tahun atau mungkin 20 ,30 tahun baru kembali ke rumah.
Untuk itu, perlu bagi mereka sebuah keluarga yang tenang, di mana istrinya dapat
mengurus rumah dengan baik, menjaga anak dan kedua orang tuanya dengan baik,
sehingga tidak merasa kuatir selama menjalankan usaha di luar. Ini merupakan
keuntungan bagi pria; sedangkan bagi wanita, menunggu kabar suami hingga bertahun-
tahun, suami meninggal harus menjaga kesucian, setiap hari harus melewati siksaan
hidup, serta menahan hawa nafsu dari dalam diri sendiri. Selain itu mereka pun juga
terikat pada aturan tata susila feodal yang kanibalis, yaitu Mati kelaparan adalah hal
kecil, kehilangan kesucian adalah hal besar dan Tiga Tuntutan Empat Kebajikan.
Wanita yang dibodohi oleh penguasa feodal, hanya bisa patuh dan taat pada tata susila,
untuk selalu menjaga kesucian mereka demi almarhum suaminya, dan bagi mereka
yang tulus menjalankannya, pemerintah akan mendirikan sebuah Gapura.
Menurut penulis, tata susila feodal yang diterapkan sebagai norma moral
masyarakat, tertanam dan berkembang di kehidupan masyarakat Huizhou, satu generasi
diwariskan pada satu generasi, dengan satu tujuan, yaitu dengan kekuatan monarki
absolut menyebarkan dan mempertahankan sistem klan patriakal, sehingga wanita
janda sebagai penderita yang hanya bisa tunduk pada tata susial yang dijalankan saat itu.
Keadaan ini seperti yang dituturkan oleh Soerjono soekanto (2007) dalam buku
sosiologinya, yang menjelaskan bahwa:
“ Dalam masyarakat homogen dan tradisional, conformity warga masyarakat cenderung kuat, misalnya di desa-desa yang terpencil, dimana tradisi dipelihara dan dipertahankan dengan kuat, warga masyarakat desa tersebut tidak mempunyai pilihan lain kecuali mengadakan conformity terhadap kaidah-kaidah serta nilai yang berlaku.”
Huizhou adalah masyarakat tradisional dan homogen, di mana berbagai norma
masyarakat yang ditetapkan, entah dalam klan ataupun dari keluarganya sendiri yang
mulanya ditaati berubah menjadi diterima dan disatukan dalam diri. Menerima dalam
arti melalui Observational Learning hingga pengaruh bertahun-tahun menyatukan
norma luar hingga mendarah daging menjadi watak dan moral individu. Sehingga
wanita saat itu mematuhi norma untuk menjaga kesucian adalah suatu hal sudah menja
di kebiasaan bagi hidup mereka. Seperti halnya kedua menantu dari keluarga Bao,
hidup di balik bayangan tata susila feodal, dan penghargaan Gapura Kesucian yang
mulanya dianugerahkan kepada nyonya wu, adalah sebagai simbol teladan bagi nyonya
wang, untuk menjadi seorang wanita yang berwatak moral sesuai dengan tata susila
feodal. Seperti yang diungkapkan teori pembelajaran sosial oleh Bandura (1986) bahwa
sebagai seorang pengamat hidup dalam keadaan yang mirip dengan tingkah laku contoh
teladannya, maka ia akan berperilaku dan bertindak sama dengan contoh teladannya.
Selain itu, melalui Observational Learning watak moral individu akan dengan
sendirinya muncul sebagai suatu kebiasaan yang sangat tetap.
Untuk itu, melalui Gapura Kesucian yang dijadikan sebagai simbol teladan,
guna mendorong para wanita janda untuk bersatu dengan tata susila feodal, dan bagi
mereka yang melanggar norma, sengaja maupun tidak sengaja, masyarakatlah yang
akan menghakimi mereka. Mereka bukan hanya dicela, dikucilkan, juga diusir dari
kehidupan masyarakat. Mereka sudah dianggap sebagai sampah masyarakat. Memang
berdasarkan prinsip aturan hidup masyarakat Huizhou, mentaati aturan wanita sebagai
ajaran leluhur, jika kehilangan kesucian atau menikah lagi sama artinya dengan
memalukan leluhur. Seperti yang dikatakan oleh Soerjono Soekanto (2007) bahwa:
“ Didalam masyarakat desa yang terpencil, apabila seseorang mendirikan rumah, dia akan meniru bentuk-bentuk rumah yang telah ada dan telah institutionalized bentuknya. Jika mendirikan rumah dengan bentuk yang berbeda dengan pola tersebut, maka akan dicela oleh para anggota masyarakat lain. Begitu pula di dalam soal pakaian, penyimpangan sedikit saja akan mengakibatkan celaan-cel aan yang cepat menjalar kemana-mana.”
Dengan demikian, menetap pada lingkup masyarakat seperti itu, individual sendiri
harus mentaati peraturan. Melanggar tata susila yang telah ditetapkan oleh masyarakat,
malah mendapatkan hinaan dan serangan dari masyarakat, yang kemudian diusir dari
masyarakat. “menjaga kesucian” adalah “menjaga rumah”, yang dijadikan sebagai nasib
seumur hidup seorang wanita, walau mendapatkan penderitaan yang bertubi-tubi, tetap
harus menerima nasib.
Gapura kesucian merupakan alat untuk mempertahankan kedudukan feodal.
Wujud feodal ini hanya memberikan para janda dorongan serta dukungan untuk terus
bersatu dengan norma moral feodal. “mati kelaparan adalah hal yang kecil, kehilangan
kesucian adalah hal yang besar”, tata susila ini telah terpendam dalam kesadaran moral
individual, sehingga wanita terus mengejar kesempatan tuk mendapatkan penghargaan
tersebut. Daya pengaruh gapura terhadap wanita dalam menjaga kesuciannya semakin
besar, mengakibatkan wanita makin menjaga kesuciannya makin mengenaskan;
muncullah jumlah wanita janda yang melakukan tindakan harakiri kian bertambah
banyak di propinsi Huizhou. Berdasarkan kutipan dari majalah kabupaten Xi, jumlah
wanita janda yang melakukan tindakan harakiri sampai pada zaman kaisar Xianfeng
Dinasti Qing berjumlah 8606 orang. Inilah merupakan wujud gambaran singkat “akibat
dari manusia kanibalis, bukan akibat dari tata susila kanibalis!”
Contoh 3: Wanita Janda yang Memotong Kedua Jari Tangannya
Demi Penganugerahan Kesucian
Penulis mengutip contoh gambaran singkat ini dari karya Shen Qifeng, pada masa
Dinasti Qing dengan judul bukunya Xie Duo. Di mana isi dari karangannya,
mencerminkan keadaan yang kacau akibat nafsu seks saat itu, pantangan terhadap hal
yang bersifat tidak bermoral, yang penyelesaiannya lebih mengarah pada sebab akibat ,
serta menunjukkan penderitaan wanita selama menjaga kesuciannya.
“ Zhao Rongjiang adalah seorang pelajar yang pernah mengajar anak-anak keluarga Lu di kota bagian timur. Saat itu menantu wanita keluarga Lu baru menjanda, datang ke kamar untuk menggodanya. Hati Zhao yang teguh, dan taat pada tata susila, tidak tergoyah sedikitpun. Malah saat nyonya Lu masuk ke kamar, dan berusaha mendekatinya, ia langsung mengusirnya dengan tegas, hingga saat Zhao akan menutup
pintu kamarnya, tidak sengaja kedua jari tangan nyonya Lu terjepit. Melihat keadaan ini, ia langsung lari ke dalam kamarnya, dan mulai mengintropeksi diri. Saat nyonya Lu sadar akan perbuatannya, ia tidak segan-segan memotong kedua jari tanganya, lalu disimpan di dalam kotak kecil.
Beberapa tahun kemudian, anak lelaki nyonya Lu tel ah menjadi penjabat, dan berniat mengajukan permohonan pada penjabat daerah untuk mendirikan sebuah Gapura kesucian pada ibunya yang sudah menjaga kesuciannya hingga l anjut usia. Tetapi permohonan ditolak oleh penjabat daerah, ternyata penjabat itu sendiri adalah lelaki yang pernah digoda ol eh ibunya. Penolakkan tersebut diberitahukan kepada ibunya. Nyonya Lu saat itu sadar akan perbuatan masa lalu, yang berakibat mendapat tolakan. Untuk itu, ia memperlihatkan kotak yang berisi dua jari tangan yang sudah kering kepada penjabat Zhao. Dan pada akhirnya, ia pun mendapatkan penganugerahan .”
Berdasarkan gambaran cerita di atas, konsep kesucian yang diterapkan oleh
Zhuxi, ahli filsafat dari Dinasti Song, yang menyatakan Menanamkan aturan langit,
memusnahkan nafsu manusia; jika wanita janda kehilangan kesucian, yang disebabkan
karena nafsu pribadi, sama artinya dengan melanggar aturan Tuhan, menanamkan
nafsu manusiawi. Konsep kesucian ini daya pengaruhnya sangatlah kuat, dan sudah
mendarahdaging dalam jiwa masyarakat Qing, sebagai norma moral kehidupan.
Sehingga wanita janda sudah menganggap penjagaan kesucian adalah hal yang biasa,
serta harus dilakukan.
Menurut penulis, ketika kesadaran moral individual terinfiltrasi oleh aturan
moral feodal, segala perkataan dan perilaku harus hati-hati; jikalau wanita melanggar
aturan Tuhan, hati nuraninya telah tersadarkan, otomatis akan merasa tidak tenang dan
bersalah. Keadaan ini sesuai dengan teori yang diungkapkan oleh Lu Jiamei, dengan
teori psikologi-nya yang berkaitan dengan watak dan moral kejiwaan, menyatakan
bahwa:
”Moral luar melalui pendapat masyarakat, pendidikan, pemberian contoh teladan, dan berbagai cara lainnya, perl ahan-l ahan berubah menjadi kesadaran moral intern individual, serta dijadikan sebagai moral yang bergejala dal am masyarakat, yang memiliki sifat sejarah dan sifat berangsur-angsur. Ketika seseorang bertindak berdasarkan prinsip yang diakui oleh masyarakat, tingkah lakunya sudah sesuai dengan moral, dan pasti akan mendapatkan pujian, penghargaan dan pembenaran dari masyarakat, sendiri pun akan merasakan kesenangan dan ketenangan hati; kebalikannya, mendapatkan cel aan dari masyarakat, dan diri sendiri akan merasa bersalah dan tidak tenang.”
Seperti halnya gambaran contoh diatas, nyonya Lu yang sekejap tersesat oleh nafsu,
tidak dapat menjaga aturan hidupnya sebagai wanita yang bermoral. Karena norma
moral masyarakat sudah berubah arah, dan mendarahdaging dalam kesadaran moral
intern individual, celaan hatinya-lah yang membuat ia tersadarkan, dengan memotong
kedua jari tangannya sebagai wujud rasa bertobat terhadap segala kesalahannya;
mengoreksi kesalahan, akan membuat hatinya tenang.
Ini adalah kejamnya aturan moral feodal, yang mengikat kehidupan wanita janda.
ia akan merasa melakukan tindakan yang bodoh, dan pantas mengorbankan nyawanya,
jika melanggar aturan tata susila. Hal ini demi membuktikan kepada masyarakat bahwa
perilaku moral-nya sudah sesuai dengan kebenaran, serta menunjukkan ketulusannya
terhadap aturan susila, untuk memperoleh pujian dan pembenaran dari masyarakat.
Dengan demikian, Gapura Kesucian merupakan penghargaan yang diberikan
kepada wanita janda yang tulus hati terhadap tata susila feodal. Walaupun penampilan
luar kelihatannya begitu berjiwa besar, demi menjaga kesucian, mengekang keinginan
seks, menjaga kesucian demi meperoleh nama kehormatan, sehingga wanita janda
selamanya mendapatkan kebanggaan dan nama harum tersebar ke seluruh pelosok.
Tetapi dibaliknya butuh berbagai pengorbanan, yaitu dengan tindakan pengorbanan
nyawa(harakiri), untuk memperoleh penghargaan tersebut.
SIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan serangkaian hasil analisa diatas, penulis menyimpulkan bahwa
penyebab utama yang mendorong maraknya penganugerahan kesucian (Gapura
Kesucian), dibagi menjadi dua point utama, yaitu: 1 Membangkitkan konformitas
sebagai gada untuk memperkuat kekuasaan politik Dinasti Qing. 2 Mempertahankan niat
para wanita janda Baqi yang miskin dalam menjaga kesucian, serta mengekang
perkawinan kedua kalinya. Hal ini menyebabkan Gapura Kesucian sangat memiliki
pengaruh yang besar terhadap kehidupan wanita janda pada Zaman Dinasti Qing.
Dilihat dari sudut pandang Psikologi sosial (Observational Learning, Conformity,
dan Norma), penulis membuat keseluruhan kesimpulan dari hasil analisa ketiga contoh
kehidupan wanita janda, bahwa mendirikan Gapura Kesucian sama dengan mendirikan
wujud teladan. Melalui Observational Learning serta penanaman pengaruh baik selama
bertahun-tahun, perilaku teladan dan norma moral masyarakat(Tata Susila Feodal) telah
terbentuk dan mendarah daging, menjadi watak dan moral individu, sehingga para
wanita janda rela menjaga kesuciannya, mentaati aturan feodal wanita dengan seksama.
Dilihat secara positif, keadaan ini memang akan membentuk seorang wanita
janda, yang memiliki perilaku susila serta dapat dijadikan teladan sesuai dengan
keinginan masyarakat saat itu. Untuk itulah, mereka yang mendapatkan anugerah dalam
bentuk Gapura, akan mendapatkan pujian dan penghormatan dari masyarakat, juga
mendapatkan keuntungan material dari pihak pemerintah, menaikkan kedudukan
sosialnya, yang pada akhirnya meninggalkan nama harum di tengah masyarakat. Hal ini
bagi mereka adalah sesuatu kebanggaan tiada tara dalam kehidupannya.
Selain itu, dilihat secara negatif, kehidupan wanita janda di bawah pengaruh
Gapura Kesucian, bagai terpuruk dalam penjara neraka, hanya sebagai belenggu bagi
kehidupan mereka. Wanita yang menjanda antara usia 30 tahun, kehidupannya yang
melarat, serta rela menjaga kesuciannya,harus mengurung dirinya di dalam gedung
kesucian yang beruangan sempit, sendiri pun juga bersedia seumur hidup menjaga
kesuciannya; jika usia-nya sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan, baru
mendapatkan penghargaan gapura. Kemudian bagi mereka yang usia-nya tidak sesuai
dengan ketentuan yang telah ditetapkan, dan telah meninggal pula, malah tidak akan
mendapatkan penghargaan tersebut, menjaga kesuciannya selama setengah hidupnya
pun juga sia-sia.
demi mendapatkan penghargaan Gapura Kesucian, harus bisa mengorbankan
kebahagiaan dan kebebasan sendiri, yaitu harus rela mengurung dirinya dalam gedung
kesucian, putus hubungan dengan dunia luar; tidak diperbolehkan berhubungan dengan
lelaki yang berusia muda maupun tua, bahkan anak lakinya yang berusia 3 tahun, tidak
diperbolehkan masuk ke gedung, khususnya anak laki yang berusia belasan tahun tidak
di perbolehkan tinggal satu atap dengan ibunya. Menunggu hingga saat pembersihan
kuburan(peringatan kematian leluhur) di musim semi gugur kedua, atau sanak
keluarganya( keluarga kandung dan mertua) ada yang jatuh sakit, baru diperbolehkan
keluar dari gerbang gedung kesucian. Tahan terhadap segala penderitaan, serta tidak
melanggar peraturan gedung kesucian, baru bisa mendapatkan penghargaan gapura.
Selain itu, daya pengaruh Gapura Kesucian terhadap kehidupan wanita janda
semakin ganas. mementingkan kesucian, meremehkan nyawa tertanam dalam otak
mereka. segala tindakan harakiri wanita janda pun semakin kuat, sehingga hal yang
paling ditakutkan akan terjadi adalah sekali suami meninggal, tindakan harakiri pun
dilakukan oleh si wanita janda. Yang dimana pada akhirnya, demi merebut sebuah
gapura, akan ada banyak wanita janda yang melakukan tindakan harakiri bermunculan
dan menduduki seluruh wilayah. Ini merupakan demi penghargaan kesucian, nyawa pun
dipertaruhkan, untuk membuktikan ketulusan wanita janda terhadap Tata Susila Feodal.
Meskipun wanita seumur hidupnya menjaga dan mentaati aturan feodal wanita,
kemudian mendapatkan penghargaan dari kaisar sekalipun, pada akhirnya pun kosong,
kerugian lebih besar dibandingkan keuntungan.
Inilah kelihaian permainan paham feodalisme monarki absolut, yang hanya ingin
mempertahankan dan memperluas sistem klan patriakal. Dan pada akhirnya
Wanita-lah yang dijadikan objek permainan mereka. gambaran ini bukan merupakan
wujud gambaran tata susila feodal kanibalis, melainkan secara tidak langsung disebut
sebagai wujud gambaran manusia kanibalis.
Pada akhir kata, penulis berharap melalui kesimpulan diatas, para pembaca dapat
memahami dan mempelajari secara mendalam keganasan masyarakat feodal, yang
memberikan sebab akibat terhadap kehidupan wanita. Sehingga dapat dijadikan
cerminan hidup masyarakat sekarang, yaitu sering mengintropeksi diri dari pengalaman
masa lalu yang negatif maupun yang positif, dengan begitu di antara pria dan wanita
tidak ada perbedaan pelapisan sosial lagi, dunia akan damai sentosa.
Sebagai saran, penulis menyadari bahwa masalah kesucian wanita tidak dapat
diteliti dalam waktu yang singkat. Untuk itu, bagi mereka yang tertarik dengan masalah
Gapura Kesucian, atau masalah kesucian wanita sekalipun, dapat meneliti melalui sudut
pandang lain, dengan pokok permasalahan yang berbeda.
BIBLIOGRAFI
Bibliografi China:
1.《婚育习俗》,李慕南,河南大学出版社,2006 年
2.《女人说话》,中央电视台《百家讲坛》栏目组,中国人民大学
出版社,2006 年
3.《女性学》,啜大鹏,北京:中国文联出版社,2001 年 1 月
4.《中国古代史》,郭鹏,北京语言文化大学出版社,2001 年
5.《中国文化史纲》,冯天瑜,北京语言文化大学出版社,1998 年
6.《中国野史》,王小其,新疆人民出版社,2004 年
7.《儒家文化面面观》,杨朝明,济南:齐鲁书社,2005 年 9 月
8.《女儿规》,李振林,甘肃文化出版社,2003 年 10 月
9. 《中国社会通史-宋元卷》,龚书铎,山西教育出版社,1996 年
10.《中国哲学史》,陈清,北京语言大学出版社,2005 年
11.《婚育习俗》,李慕南,河南大学出版社,2006 年
12.《欲望的重新叙述》,程文超 ,广西师范大学出版社,2005 年
13.《中国社会通史-清前期卷》,龚书铎,山西教育出版社,1996 年
14.《心理学》,卢家楣,上海人民出版社,2004 年
15.《社会心理学》,戴维·迈尔斯,人民邮电出版社,2006 年 1 月
16.《中国通史》,张仲裁,北京:光明日报出版社,2004 年
17.《中国社会通史-清晚期卷》,龚书铎,山西教育出版社,1996 年
18.《烟锁重楼》,琼瑶,花城出版社,1996 年
19. 《牌坊的起源》,王凱,
〈http://www.chinaqw.com.cn/hwjy/hykt /200702/02/60467.shtml〉.
20. 《贞节牌坊考述》,辛灵美,
〈http://210.44.8.29/jpkc/zgwhs_qyzh/xszp/贞节牌坊考 述.doc〉.
21. 《从生殖崇拜到处女崇拜看女性社会地位的落差》,柴旭健
〈http://www.lddc2003.com/html/person/suolunwenku/20070418/530.html〉.
22. 《贞节观的变迁》,骆晓戈,
〈http://www.luoxiaoge.com/read.asp?id=240> .
23.《文正斋—清史札记》,郭松义,
〈http://post.blog.hexun.com/ psz4838/trackback.aspx〉.
24. 《阅微草堂笔记》,纪晓岚,
〈http://czgx.cangzhou.net.cn/Article_ Show.asp?ArticleID=260〉.
25.《清代中期妇女再婚的个案分析》,王跃生,
〈http://www.historychina.net/cns /QSYJ/ZTYJ/SHS/12/24/2004/6827.html〉
26. 《凄凄徽商妇》,程富宝,
〈http://www.2cheng.com/bbs/archiver/?tid- 26877.html〉.
27. 《清代的婚姻制度与妇女的社会地位述论》,冯尔康,
〈http://tieba.baidu.com/f?kz=140587497〉.
28.《旗兵制》,
〈http://www.chinajunzheng.com/BBS/ htm_data/76/0801/1413.html〉.
29.《貞節牌坊》,〈http://bk.51player.com/view/56152.htm〉.
30.《处女膜与贞节》,〈http://www.100woman.cn/zxxm/zxfk/m01.htm〉.
31.《贞节牌坊下的鸣咽》,
〈http://www1.dzwww.com/jy/xjy/xzkdc /t20040928_418570.htm〉.
32.《中国奴隶社会中的妇女》,
〈http://ido.3mt.com.cn/Article/200604 /show336673c17p1.html〉.
33.《中国女性五千年的梦魇》,
〈http://meining.blog.hexun.com/4372690 d.html〉.
34.《宋代妇女的贞节观》,
〈http://www.yanruyu.com/jhy/13702.shtml> .
35.《中国古代妇女的社会地位》,
〈http://nick0917.blog.sohu.com/70863827.html〉.
36.《寡妇》,
〈http://zh.wikipedia.org/w/index.php〉.
37.《清代广州八旗官兵的真实生活》,
〈http://blog.sina.com.cn/s/reader_ 48bf372001000ar8.htm〉.
38.《棠樾村的牌坊与女祠》,
〈http://blog.sina.com.cn/s/blog_4b74516e0100082w.html〉.
39.《徽州牌坊冠中华,棠樾牌坊冠徽州》,
〈http://www.hsyk.com/zjhz/typfq.htm〉.
40.《中国古代性文化》第八章,
〈http://www.8881898.cn/qqgwh/gflws/ gxyj/200805/5765.htm〉.
41.《鲍文龄妻汪氏节孝坊》, 〈http://blog.sina.com.cn/s/blog_46fc43dd01007w64.html〉. 42.《节妇烈女》,
〈http://www.hspeak.net/ad/news.asp?ArticleID=1650&classid=28&parentid=27〉 .
Bibliografi Indonesia: 1. Sawono Wirawan, Prof.Dr.Sarlito. (2006). Teori-teori Psikologi Sosial. Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada.
2. Soekanto, Soerjono. (2007). Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
3. Salvatore Rizzello, Margherita Turvani.(June 2002). Subjective Diversity and Social
Learning:A Cognitive Perspective for Understanding Institutional Behavior. Proquest. http://proquest.umi.com/pqdweb?did=501061261&sid=21&fmt=2&clientld=68814&RQT=309&VName=PQD.