skripsi sosiologi sastra

Embed Size (px)

Citation preview

SKRIPSI NGARTO FEBRUANAKONFLIK SOSIAL DAN POLITIK DALAM NOVEL NYALI KARYA PUTU WIJAYA Sebuah Tinjauan Sosiologi Sastra

(Tugas akhir untuk memenuhi persyaratan meraih gelar sarjana sastra pada Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Gadjah Mada. Dalam ujian di bawah penguji Dr. Faruk HT, Imran T. Abdullah, pada akhir 1994, skripsi ini memperoleh nilai B) BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkembangan sastra Indonesia pasca 1965 tidak ter- lepas dari faktor situasi sosial politik pada masa awal kelahiran Orde Baru. Pada periode tersebut terjadilah peristiwa penting baik pada bidang sosial, politik, maupun kebudayaan. Dalam bidang kebudayaan termasuk di dalamnya kesusastraan, peristiwa yang cukup penting dan menentukan bagi kehidupan kesusastraan untuk masa berikutnya adalah kemenangan kubu Manikebu dengan paham humanisme universalnya dan kekalahan kubu Lekra dengan paham realisme sosialnya. Teeuw (1986: 43) mencatat bahwa di bidang kebudayaan, segala macam kelompok dan perorangan, yang praktis tutup mulut sejak 8 Mei 1964, menjadi kembali bergerak dan mulai memperdengarkan suara mereka. Koran-koran dan majalah yang pernah dilarang pada masa Orde Lama, memulai kembali penerbitannya. Juga terbit majalah baru, yakni Horison sebagai majalah sastra. Keith Foulcher (Prisma, 1988: 20) mengatakan bahwa sebagian dari karya sastra terpenting awal periode Orde Baru dapat dilihat sebagai pemekaran energi yang kemungkinan tampak tidak mempunyai tempat dalam iklim sekitar tahun 1965, ketika pendefisian kesetiaan politik mendominasi sebagian kerja dan hasil kreatif orang Indonesia. Kemungkinan-kemungkinan tersebut adalah munculnya pembaruan dan eksperimen penciptaan karya sastra yang lebih bebas. Berkaitan dengan munculnya pembaruan dan eksperimen penciptaan karya sastra, Jakob Surmadjo (1984: 6-7) membuat analisis sosiologis dengan menyebut tiga faktor sebagai titik tolak. Latar belakang sosiologis munculnya pembaruan dan inovasi tersebut, selain karena situasi sosial politik awal Orde Baru, Jakob Sumardjo menambahkan dengan faktor maecenas Dewan Kesenian Jakarta dan faktor pergantian generasi sastra. Dengan adanya Dewan Kesenian Jakarta, aktivitas kesenian memperoleh subsidi dari pemerintah DKI. Dewan ini memberikan kesempatan kepada para seniman untuk berkreasi secara merdeka. Dengan demikian, kebebasan yang dimiliki ditambah dengan penyediaan fasilitas menyebabkan kegairahan mencipta semakin semarak. Sedangkan faktor pergantian generasi sastra menekankan pada munculnya kecenderungan untuk bereksperimen pada sastrawan yang baru mulai karier kesastraannya pada dekade 70-an, seperti Sutardji Calzoum Bachri, Danarto, Budi Darma dan Putu Wijaya. Putu Wijaya merupakan salah seorang sastrawan yang produktif. Karya-karya Putu Wijaya

banyak mendapatkan tanggapan dari para kritikus sastra. Berbagai komentar terhadap novelnovel Putu Wijaya baik yang bersifat sekilas atau yang sifatnya mendalam dalam bentuk esei bermunculan di media massa, buku, maupun dalam forum-forum seminar. Demikian pula karyakarya Putu Wijaya banyak dipergunakan sebagai objek penelitian bagi penyusunan skripsi oleh mahasiswa fakultas sastra. Imran T. Abdullah dkk. (1978 :12) mengatakan bahwa sebagai seorang novelis, Putu Wijaya menempatkan dirinya tak jauh dari kelihaiannya sebagai penulis naskah drama. Dalam prosanya ia cenderung mempergunakan gaya atau metode objektif dalam pusat pengisahannya dan gaya stream of consciousness dalam pengungkapannya. Ia lebih berani mengungkapkan kenyataan hidup karena dorongan naluri yang terpendam dalam bentuk bawah sadar, lebih-lebih libodo seksual yang ada dalam daerah kegelapan id. Jakob Sumardjo (1983 : 133) menyebut Putu Wijaya sebagai tokoh utama sastrawan Indonesia pada dasa warsa 1970-an. Lebih lanjut Jakob mengatakan bahwa Putu Wijaya muncul dan berkembang dalam dekade itu. Dialah sastrawan paling produktif dan paling kreatif pada saat itu. Novel Putu Wijaya juga penuh potongan-potongan kejadian yang padat, intens dalam pelukisan, ekspresif bahasanya dan disatukan oleh suasana tema (ibid : 133). Y.B. Mangunwijaya (1988 : 50) telah membuat esei tentang novel Telegram (1973) dan mengatakan bahwa novel tersebut merupakan karya yang matang dan dewasa, sedangkan bentuknya sangat berhasil. Sementara itu, Mursal Esten (1990 : 49) mengatakan bahwa novelnovel Putu Wijaya : Telegram dan Stasiun dan pada naskah-naskah drama yang ditulisnya seperti Anu, Aduh, dan Lho merupakan klimaks dari proses perubahan yang terjadi dan telah diperlihatkan sebelumnya. Analisis yang lebih mendalam dilakukan oleh Jiwa Atmaja dalam bukunya Novel Eksperimental Putu Wijaya (1993). Dalam bukunya tersebut Jiwa Atmaja menganalisis salah satu novel Putu Wijaya yaitu Keok (1978). Jiwa Atmaja juga telah berhasil merekonstruksi kelas sosial pengarang dan menemukan pandangan dunia Putu Wijaya. Pada bagian kesimpulan, Jiwa Atmaja (1993 : 86-87) menyebutkan: Sekalipun "struktur dalam" novelnya menunjukkan sifatnya yang kompleks namun masih mungkin dilihat keterikatannya dengan subjeknya, yakni kelompok intelektual yang di dalamnya termasuk pengarangnya. Kondisi sosial menjelang dan sesudah Orde Baru memang belum memberi kemungkinan bagi kelompok ini menempatkan diri pada posisi yang menentukan arah perkem- bangan politik dan ekonomi. Meskipun demikian, kelompok ini masih mencoba tampil ke depan sebagai subjek yang penuh percaya diri dalam menanggapi perubahan sosio-budaya berdasarkan visi dunianya. Usaha-usaha yang dilakukan antara lain, berupa perlawanan terhadap sistem (dalam novel Keok) terimplisit dalam sistem lalu lintas yang kacau, penyesuaian diri malahan pengasingan diri yang terimplisit melalui adegan tokoh wanita menutup mulut dan tidak mau melakukan komunikasi. Sesungguhnya masih banyak tanggapan positif dari kritikus sastra terhadap karya-karya Putu Wijaya yang tidak mungkin penulis uraikan satu per satu. Tanggapan dan analisis serta esei tersebut menunjukkan perhatian yang cukup besar terhadap karya-karya Putu Wijaya. Demikian pula hal itu membuktikan bahwa posisi Putu Wijaya cukup penting dalam percaturan kesusastraan Indonesia. Namun demikian, tidak semua karya Putu Wijaya memperoleh porsi yang sama. Dari sekian banyak komentar, Telegram, Stasiun, Pabrik, dan Keok memperoleh porsi yang besar. Karena itu, analisis terhadap karya Putu Wijaya yang lain patut di-lakukan.

Dalam penelitian ini penulis membatasi hanya pada novel Nyali (1983) yang merupakan novel Putu Wijaya yang kurang banyak mendapat tanggapan dibadingkan Telegram dan Stasiun, padahal novel Nyali tidak kalah menarik dibanding novel-novel Putu Wijaya yang lain. Hal yang menarik dalam novel Nyali adalah permasa- lahan yang diungkapkannya. Novel ini mengungkap konflik sosial dan politik yang penuh dengan kekejaman. Konflik sosial dan politik tersebut memiliki kesejajaran dengan konflik sosial dan politik dalam sejarah Indonesia. Keith Foulcher (dalam Robert Cribb, ed, 1990 : 104) memberikan komentarnya terhadap novel ini sebagai novel luar biasa yang mempunyai kemiripan dengan peristiwa sejarah sekitar tahun 1965, meskipun samar-samar dan dalam bentuk yang berlainan dari tradisi kesusastraan Indonesia. Sesungguhnya banyak novel yang menyinggung atau memiliki latar peristiwa sejarah sekitar tahun 1965. Ashadi Siregar pada tahun 1979 menerbitkan novelnya yang berjudul Jentera Lepas (1979) yang menceritakan nasib sebuah keluarga yang berkaitan dengan PKI sesudah peristiwa tahun 1965. Yudistira ANM dengan novelnya Mencoba Tidak Menyerah (1979) yang melukiskan kesengsaraan sebuah keluarga setelah sang bapak yang disangka oleh masyarakat beraliran komunis ditahan oleh aparat pemerintah. Demikian juga dengan novel Kubah (1980) karya Ahmad Tohari juga bercerita tentang seorang yang terlibat dalam Partai Komunis Indonesia ditahan di Pulau Buru. Sekembalinya dari tahanan ia kembali ke masyarakat dan sadar serta taat kepada agama. Novel Ahmad Tohari yang berikutnya yakni trilogi Ronggeng Dukuh Paruk sedikit banyak juga menyinggung permasalahan ini. Tema dan permasalahan serupa juga termuat dalam novel karya Ayip Rosidi yang berjudul Anak Tanah Air Secercah Kisah (1985). Hal lain yang menarik pada novel Nyali bila diban- dingkan dengan novel yang menyinggung atau bercerita tentang peristiwa sejarah sekitar tahun 1965 lainnya, adalah gaya penceritaannya tidak menunjuk secara langsung tentang konflik politik yang terjadi pada kurun sejarah sekitar tahun 1965. Demikian juga novel Nyali tidak menunjuk secara langsung pada latar tempat dan nama-nama tokoh yang terlibat dalam peristiwa sejarah tersebut. Namun sesungguhnya konflik sosial dan politik dalam novel Nyali mempunyai kesejajaran dengan konflik sosial dan politik yang terjadi dalam sejarah Indonesia sekitar tahun 1965. Hal inilah yang menjadi latar belakang penulis untuk menganalisis novel Nyali dan penulis ingin membuktikan bahwa konflik sosial dan politik dalam novel Nyali punya kesejajaran dengan sejarah Indonesia sekitar tahun 1965. 1.2. Permasalahan dan Ruang Lingkup Karya sastra merupakan dunia kemungkinan, artinya ketika pembaca berhadapan dengan karya sastra, maka ia berhadapan dengan kemungkinan penafsiran. Setiap pembaca berhak dan seringkali berbeda hasil penafsiran terhadap makna karya sastra. Pembaca dengan horison harapan yang berbeda akan mengakibatkan perbedaan penafsiran terhadap sebuah karya sastra tertentu. Hal ini berkaitan dengan masalah sifat, fungsi dan hakikat karya sastra. Sifat- sifat khas sastra ditunjukkan oleh aspek referensialnya (acuan), "fiksionalitas", "ciptaan" dan sifat "imajinatif" (Wellek dan Warren, 1993:18-20). Sedangkan fungsi sastra tergantung dari sudut pandang serta ditentukan pula oleh latar ideologinya. Hakikat keberadaan karya sastra selalu berada dalam ketegangan antara konvensi dan inovasi. Ketiga unsur itulah yang menyebabkan masalah yang luas dan kompleks dalam dunia sastra. Hal ini juga telah memungkinkan

beragamnya teori dan pendekatan terhadap karya sastra, beragamnya aliran dalam sastra dan memungkinkan beragamnya konsep estetik karya sastra. Mengingat masalah yang ditawarkan dunia sastra sangat luas dan kompleks, dalam kesempatan ini penulis membatasi ruang lingkup permasalahannya dengan maksud agar pembicaraan tidak terlalu mengambang. Pembatasan tersebut adalah pemahaman terhadap novel Nyali dengan berdasarkan sosiologi sastra. Sesungguhnya sosiologi sastra itu pun sangat rumit dan luas, karena itu penulis membatasi ruang lingkup permasalahan hanya dari aspek karya sastra sebagai cermin masyarakat atau dengan kata lain karya sastra dilihat sebagai dokumen sosial budaya. Berkaitan dengan pendekatan yang penulis pergunakan dalam penelitian ini, dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimana konflik sosial dan politik yang terkandung dalam novel Nyali dengan analisis sosiologis. 2. Bagaimana korelasi antara novel Nyali dengan kenyataan dalam sejarah masyarakat Indonesia. 1.3. Tujuan Penelitian Alasan-alasan yang telah dikemukakan pada bagian latar belakang merupakan faktor pendorong dilakukannya penelitian ini. Sedangkan tujuan penelitiannya menyangkut masalah teoritis dan praktis. Hal ini berkaitan dengan latar belakang penulis sebagai orang yang bergerak dalam kalangan akademik sastra yang selalu dituntut untuk menitikberatkan landasan ilmiah dalam kegiatan penelitian sastra. Secara ringkas tujuan penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut: Pertama, melalui penelitian ini diharapkan dapat membuktikan sejauh mana sosiologi sastra dapat diaplikasikan kepada novel Indonesia modern dalam hal ini novel Nyali dilihat sebagai dokumen sosio-budaya. Kedua, meskipun penelitian terhadap novel karya Putu Wijaya sudah banyak dilakukan, namun demikian, penelitian ini diharapkan dapat melengkapi penelitian yang sudah ada dengan cara dan persepsi yang berbeda sehingga dapat diperoleh keanekaragaman pemahaman dan penafsiran dengan masing-masing argumentasi yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Ketiga, menyangkut tujuan praktis, penelitian ini diharapkan membantu pembaca untuk memahami novel Putu Wijaya. 1.4. Kerangka Teori Kritik sastra memiliki korelasi yang erat dengan perkembangan kesusasteraan. Menurut Andre Hardjana (1991 : 1) kritik sastra merupakan sumbangan yang dapat diberikan oleh para peneliti sastra bagi perkembangan dan pembinaan sastra. Hal senada juga diungkapkan oleh Subagio Sastrowardoyo (1983:6) bahwa untuk bisa menentukan bagaimana sesungguhnya perkembangan kesusasteraan Indonesia, dibutuhkan suatu kritik. Pendekatan dalam kritik sastra cukup beragam. Pendekatan-pendekatan tersebut bertolak dari empat orientasi teori kritik. Yang pertama, orientasi kepada semesta (universe) yang melahirkan teori mimesis. Kedua, teori kritik yang berorientasi kepada pembaca (audience) yang disebut teori pragmatik. Penekanannya bisa pada

pembaca sebagai pemberi makna dan pembaca sebagai penerima efek karya sastra. Resepsi sastra merupakan pendekatan yang berorientasi kepada pembaca. Ketiga, teori kritik yang berorientasi pada elemen pengarang dan disebut sebagai teori ekspresif. Keempat adalah teori yang berorientasi kepada karya (work) yang dikenal dengan teori objektif (Abrams, 1976: 6-29). Sosiologi sastra merupakan pendekatan yang bertolak dari orientasi kepada semesta (universe), namun bisa juga bertolak dari orientasi kepada pengarang dan pembaca. Dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan sosiologi sastra sebagai landasan teori dalam menganalisis novel Nyali. Menurut pandangan teori ini, karya sastra dilihat hubungannya dengan kenyataan, sejauh mana karya sastra itu mencerminkan kenyataan. Kenyataan di sini mengandung arti yang cukup luas, yakni segala sesuatu yang berada di luar karya sastra dan yang diacu oleh karya sastra. Wilayah sosiologi sastra cukup luas. Wellek dan Warren (1993: 111) membagi telaah sosiologis menjadi tiga klasifikasi yaitu: a. Sosiologi pengarang: yakni yang mempermasalahkan tentang status sosial, ideologi politik, dan lain-lain yang menyangkut diri pengarang. b. Sosiologi karya sastra: yakni mempermasalahkan tentang suatu karya sastra; yang menjadi pokok telaah adalah tentang apa yang tersirat dalam karya sastra tersebut dan apa tujuan atau amanat yang hendak disampaikannya; c. Sosiologi sastra: yang mempermasalahkan tentang pembaca dan pengaruh sosialnya terhadap masyarakat. Klasifikasi tersebut tidak jauh berbeda dengan bagan yang dibuat oleh Ian Watt (Damono, 1979: 3) dengan melihat hubungan timbal balik antara sastrawan, sastra, dan masyarakat. Telaah suatu karya sastra menurut Ian Watt akan mencakup tiga hal, yakni: a. Konteks sosial pengarang, yakni yang menyangkut posisi sosial masyarakat dan kaitannya dengan masyarakat pembaca, termasuk di dalamnya faktor-faktor sosial yang bisa mempengaruhi diri pengarang sebagai perseorangan di samping mempengaruhi isi karya sastranya. b. Sastra sebagai cermin masyarakat, yang ditelaah adalah sampai sejauh mana sastra dianggap sebagai pencerminan keadaan masyarakat. c. Fungsi sosial sastra, dalam hal ini ditelaah sampai berapa jauh nilai sastra berkaitan dengan nilai sosial, dan sampai seberapa jauh pula sastra dapat berfungsi sebagai alat penghibur dan sekaligus sebagai pendidikan masyarakat bagi pembaca. Umar Junus (1986 : 3) mengemukakan bahwa yang menjadi pembicaraan dalam telaah sosiologi sastra adalah sebagai berikut: 1. Karya sastra dilihat sebagai dokumen sosio-budaya; 2. Penelitian mengenai penghasilan dan pemasaran karya sastra; 3. Penelitian tentang penerimaan masyarakat terhadap sebuah karya sastra seorang penulis

tertentu dan apa sebabnya; 4. Pengaruh sosio-budaya terhadap penciptaan karya sastra, misalnya pendekatan Taine yang berhubungan dengan bangsa, dan pendekatan Marxis yang berhubungan dengan pertentangan kelas. 5. Pendekatan strukturalisme genetik dari Goldman; dan 6. Pendekatan Devignaud yang melihat mekanisme universal dari seni, termasuk sastra. Dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan yang pertama yakni karya sastra dilihat sebagai dokumen sosio-budaya yang mencatat kenyataan sosio-budaya suatu masyarakat pada suatu masa tertentu. Pendekatan ini bertolak dari anggapan bahwa karya sastra tidak lahir dari kekosongan budaya. Bagaiamanapun karya sastra itu mencerminkan masyarakatnya dan secara tidak terhindarkan dipersiapkan oleh keadaan masyarakat dan kekuatan-kekuatan pada zamannya (Abrams, 1981:178). Demikian pula objek karya sastra adalah realitas kehidupan, meskipun dalam menangkap realitas tersebut sastrawan tidak mengambilnya secara acak. Sastrawan memilih dan menyusun bahanbahan itu dengan berpedoman pada asas dan tujuan tertentu (Saini, 1986: 14-15). Henry James (Michel Zerraffa dalam Elizabeth and Burns, 1973:36) mengatakan bahwa sastrawan menganalisis "data" kehidupan sosial, memahaminya dan mencoba menentukan tanda yang esensial untuk dipindahkan ke dalam karya sastra. Apabila realitas itu adalah sebuah peristiwa sejarah, maka karya sastra dapat, pertama, mencoba menterjemahkan peristiwa itu dalam bahasa imajiner dengan maksud untuk memahami peristiwa sejarah menurut kadar kemampuan pengarang; kedua, karya sastra dapat menjadi sarana bagi pengarangnya untuk menyampaikan pikiran, perasaan dan tanggapannya mengenai peristiwa sejarah dan ketiga seperti juga karya sejarah, karya sastra dapat merupakan penciptaan kembali peristiwa sejarah dengan pengetahuan dan daya imajinasi pengarang (Kuntowijoyo, 1987: 127). Hubungan dialektik antara karya sastra dan realitas sosial budaya memperkuat anggapan bahwa sastra merupakan salah satu institusi sosial. Sastra tidak hanya mendapat pengaruh dari realitas sosial tetapi juga dapat mem- pengaruhi realitas sosial. Memang benar sastra mengambil sebagian besar karakternya dari bahasa, namun bentuk dan isi novel lebih banyak berasal dari fenomena sosial daripada dari seni lain, terkecuali film; novel seringkali merupakan ikatan dengan momentum tertentu dalam peristiwa sejarah masyarakat (Michel Zerraffa dalam Elizabeth and Burns, 1973:35). Lebih lanjut Zerraffa (ibid) mengatakan bahwa karya sastra merupakan analisis estetis dan sintesis sebuah realitas tertentu dan novelis senantiasa melakukan analisis dan sintesis sebelum memulai menulis. Dalam mengaplikasikan pendekatan ini, karya sastra tidak dilihat sebagai keseluruhan, melainkan hanya tertarik pada unsur sosio-budaya di dalamnya yang dilihat sebagai unsur-unsur yang lepas dari kesatuan karya. Sehubungan dengan analisis terhadap novel Nyali, penulis mengambil unsur yang dominan dalam karya tersebut, yakni konflik sosial dan politik. Untuk menganalisis konflik sosial dan politik dibutuhkan teori yang relevan dengan permasalahan yang dianalisis, yakni teori konflik. Dalam penelitian ini teori konflik yang penulis pergunakan adalah klasifikasi konflik politik yang dikemukakan oleh Ramlan Surbakti (Memahami Ilmu Politik, 1992), Lewis A. Coser (dalam David L. Sills, The International Encyclopedia of The Social

Sciences, 1968), Maurice Duverger dalam bukunya Sosiologi Politik (1993), dan Tom Bottomore dalam bukunya Sosiologi Politik (1992). Sebagaimana telah penulis sebutkan bahwa konflik sosial dan politik yang terkandung dalam novel Nyali memiliki kesejajaran dengan konflik sosial dan politik dalam sejarah Indonesia sekitar tahun 1965. Sedangkan penulisan novel tersebut dilakukan pada tahun 1980-an. Dalam penelitian ini penulis tidak memfokuskan pada faktor genesis kelahiran novel tersebut, tetapi menitikberatkan pada faktor mimesis. Hal ini mengingat peristiwa dominan yang terbayang dalam novel tersebut terjadi pada sekitar tahun 1965. Dengan kata lain rentang waktu antara tahun novel tersebut ditulis dan peristiwa yang tersirat dalam novel tersebut cukup jauh. 1.5. Metode Metode yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. Pertama-tama dipilih salah satu unsur dalam novel Nyali yakni aspek konflik sosial dan politik. Selanjutnya konflik sosial dan politik dalam novel tersebut dideskripsikan dengan dibantu oleh teori-teori tentang konflik serta dihubungkan dengan peristiwa sekitar tahun 1965. Deskripsi ini dilengkapi dengan data-data sejarah yang diperoleh dari kepustakaan. 1.6. Kerangka Penyajian Skripsi ini terdiri atas lima bab yang terbagi dalam bab yang bersifat teoritis, bab yang berisi analisis dan interpretasi, dan bab yang bersifat konklusi. Bab I merupakan pendahuluan yang mengemukakan tentang latar belakang, ruang lingkup dan permasalahan, tujuan penelitian, landasan teori dan metode, serta sistematika pe- nulisan. Bab II berupa analisis sosiologis yang membahas aspek konflik sosial dan politik dalam novel Nyali. Bab III mengungkapkan masalah realitas sosial, yakni membahas kesejajaran antara konflik sosial dan politik dalam novel Nyali dengan konflik sosial dan politik dalam sejarah Indonesia. Bab IV membahas aspek simbolis dalam novel Nyali. Bab V berupa kesimpulan. BAB II KONFLIK SOSIAL DAN POLITIK DALAM NOVEL NYALI

Konflik merupakan fenomena yang sering terjadi dalam masyarakat. Konflik bisa terjadi dalam hubungan proses produksi yang termanifestasikan dalam pemogokan buruh yang memiliki tuntutan ekonomis berupa kenaikan upah dan perbaikan kondisi kerja. Pertikaian antar kelompok etnis yang berbeda dalam memperebutkan sumber yang sama juga tidak jarang terjadi dalam masyarakat yang mejemuk. Demikian juga konflik yang memiliki motif keagamaan. Pertentangan antara kelompok keagamaan yang satu dengan kelompok ke- agamaan yang lain sering kali terjadi, karena masing- masing berusaha mempertahankan kemurnian ajaran yang diyakininya. Sedangkan dalam kehidupan politik masyarakat sering dihadapkan pada konflik dalam rangka untuk mendapatkan dan atau memperjuangkan sumber daya langka yang tidak jarang disertai dengan kekerasan.

Konflik terjadi karena dalam masyarakat terdapat kelompok-kelompok kepentingan(Surbakti, 1992:109). , lembaga-lembaga, organisasi, dan kelas-kelas sosial yang tidak selalu memiliki kepentingan yang sama dan serasi. Di antara kelompok- kelompok tersebut memiliki perbedaan

taraf kekuasaan dan wewenang. Demikian pula dengan distribusi dan alokasi sumber daya yang langka di antara kelompok-kelompok masyarakat tidak selalu seimbang. Kondisi seperti ini tidak terelakkan, sehingga konflik merupakan gejala yang senantiasa terjadi dalam masyarakat. Weber (Coser dalam David L. Sills 1968 : 232) berpendapat konflik tidak dapat dipisahkan dari kehidupan sosial. Simmel (Soerjono Soekanto, 1988 : 69) berpendapat bahwa terjadinya konflik tidak terelakkan dalam masyarakat. Masyarakat dipandang sebagai struktur sosial yang mencakup proses-proses asosiatif dan disosiatif yang hanya dapat dibedakan secara analisis. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa konflik merupakan pencerminan pertentangan kepentingan dan naluri untuk bermusuhan. Menurut Ramlan Surbakti (1992:18), mengingat konflik merupakan gejala yang serba hadir dalam masyarakat, maka konflik tidak mungkin dihilangkan, melainkan hanya dapat diatur mekanisme penyelesaiannya. Thomas Hobbes, seorang filosof sosial terkemuka abad tujuh belas, berpendapat tentang konflik yang bertolak dari keadaan alamiah masyarakat. Thomas Hobbes (Soerjono Soekanto, 1988:9) menyatakan: Keadaan alamiah masyarakat manusia senantiasa di- liputi oleh rasa takut dan terancam bahaya kematian karena kekerasan. Kehidupan manusia selalu dalam keadaan menyendiri, miskin, penuh kekotoran dan ke- kerasan serta jangka waktu kehidupan pendek. Apabila manusia dibiarkan menanggung nasibnya sendiri, maka manusia akan menjadi korban keinginan merebut ke- kuasaan dan keuntungan, sehingga sebetulnya manusia dikuasai oleh motif-motif untuk memenuhi kepentingan dirinya. Dalam menghadapi situasi yang secara potensial mengembangkan hasrat untuk berperang dan adanya konflik, perlu diciptakan suatu organisasi dan ketertiban sosial yang dapat dipelihara dengan baik. Konflik bisa ditinjau dari aspek sosial dan politik. Konflik sosial bisa diartikan sebagai perjuangan untuk mendapatkan nilai-nilai atau pengakuan status, kekuasaan dan sumber daya langka. Tujuan kelompok-kelompok yang berkonflik tidak hanya mendapatkan nilai-nilai yang di- inginkan tapi juga menetralkan, melukai atau mengurangi saingan-saingan mereka (Lewis A. Coser dalam David L. Sills : 232). Konflik bisa terjadi di antara individu dan individu, antara individu dan organisasi atau kelompok, antara organisasi yang satu dengan organisasi yang lain, dan dalam komponen sebuah organisasi atau kelompok (Robert C. North dalam David L. Sills 1968 : 226). Istilah konflik dalam ilmu politik seringkali dikaitkan dengan kekerasan, seperti kerusuhan, kudeta, teror- isme, dan revolusi. Konflik politik dirumuskan secara longgar sebagai perbedaan pendapat, persaingan, dan pertentangaan di antara sejumlah individu, kelompok, ataupun organisasi dalam upaya mendapatkan dan atau mempertahankan sumber-sumber dari keputusan yang dibuat dan dilaksanakan pemerintah (Surbakti, 1992: 151). Secara sempit konflik politik dapat dirumuskan sebagai kegiatan kolektif warga masyarakat yang diarahkan untuk menentang kebijakan umum dan pelaksanaannya, menentang perilaku penguasa beserta segenap aturan, struktur, dan prosedur yang mengatur hubungan-hubungan di antara partisipan politik (ibid).Konsep konflik seringkali dipertentangkan dengan harmoni dan integrasi. Konflik sering dianggap sebagai patologi sosial, perilaku abnormal, dan sebagai sebuah penyimpangan yang mengganggu keberhasilan integrasi masyarakat. Ketiadaan konflik dan adanya kerja sama dan peng- aturan kadang digunakan sebagai acuan keberhasilan integrasi atau stabilitas masyarakat. Namun sesungguhnya, konflik memiliki fungsi positif bagi masyarakat. Menurut Dahrendorf (Surbakti, 1992: 150) konflik berfungsi sebagai pengintegrasian masyarakat dan sebagai sumber

perubahan. Selain itu, konflik berfungsi untuk menghilangkan unsur- unsur pengganggu dalam suatu hubungan. Dalam hal ini konflik sebagai penyelesaian ketegangan antara unsur-unsur yang bertentangan, yang mempunyai fungsi stabilisator dan menjadi komponen untuk mempererat hubungan (Nasikun via Surbakti 1992: 150). Konflik juga berfungsi sebagai unsur pengikat di antara kelompok-kelompok yang sebetulnya tidak berhubungan. Lewis A. Coser (dalam David L. Sills : 232) juga menilai secara positif fenomena konflik. Coser mengatakan bahwa: Konflik adalah unsur penting bagi integrasi sosial. Selama ini konflik selalu dipandang sebagai faktor negatif yang memecah belah. Konflik sosial dalam beberapa cara memberikan sumbangan pada keutamaan kelompok serta mempererat hubungan interpersonal. Gluckman ( Laura Nader dalam David L. Sills :238) berpendapat bahwa konflik tidak mengacaukan sistem sosial, akan tetapi memberikan kontribusi menuju terpeliharanya masyarakat. Ia mengambil contoh kasus di Afrika Selatan. Gluckman menjelaskan bahwa perjuangan antara ratu-ratu Zulu Afrika Selatan untuk memperebutkan tahta terjadi dalam keberlangsungan sistem sosial. Dalam contoh ini masyarakat memimpin dan mengontrol perselisihan melalui konflik kesetiaan, sehingga meskipun pembrontakaan terjadi di antara masyarakat Zulu, sistem sosial tidak berubah. Pendapat senada juga diungkapkan oleh Duverger (1993:33) yang berpendapat bahwa setiap fenomena politik memiliki aspek konflik dan integrasi. Kekuasaan merupakan salah satu fenomena politik yang penting. Kekuasaan merupakan sumber daya langka yang menjadi penyebab konflik. Orang yang mempunyai kekuasaan cenderung untuk mempertahankan kekuasaan. Di samping itu, ada pihak lain yang menentang kekuasaan dan ingin merebut kekuasaan itu untuk tujuan yang sama. Kekuasaan mempunyai aspek integrasi dalam arti bahwa kekuasaan dipergunakan untuk menegakkan ketertiban dan keadilan; sebagai pelindung kepentingan dan kesejahteran umum melawan tindakan berbagai kelompok kepentingan. Selanjutnya Duverger (1993: 275) mengatakan: Konflik dan integrasi bukan dua aspek yang kontradiktif di dalam politik; mereka juga saling melengkapi satu sama lain. Dalam mempelajari sebab-sebab antagonisme, kita mendapatkan bahwa hal ini agak ambivalen. Antagonisme menghasilkan konflik, akan tetapi, dalam kesempatan tertentu, juga menolong membatasi konflik dan meningkatkan integrasi. Berbicara secara umum, integrasi dalam hal-hal tertentu muncul sebagai akibat terakhir dari antoganisme politik, dan paham integrasi memainkan peranan penting justru di dalam perkembangan konflik. Setiap tantangan tehadap ketertiban sosial yang ada meliputi suatu visi dan rencana bagi suatu ketertiban sosial yang lebih tinggi dan lebih otentik. Setiap per- juangan berisikan tujuan tentang perdamaian dan merupakan usaha untuk merealisir tujuan tersebut. Banyak yang berpendapat bahwa konflik dan integrasi tidak berlawanan, akan tetapi menjadi bagian tak terpisahkan dari proses umum yang sama -- bahwa antoganisme cenderung, justru oleh perkembangannya, ke arah menghapus dirinya sendiri dan berikutnya menghasilkan harmoni sosial. Dalam penelitian ini, penulis menekankan pada konflik sosial dan politik. Sesungguhnya konflik yang ber- aspek sosial dan konflik yang beraspek politik tidak bisa diadakan pembatasan yang tegas. Dalam beberapa kasus konflik sosial bisa mengarah kepada konflik politik. Ketidaksepakatan yang terjadi antara dua orang atau dua kelompok yang memiliki perbedaan kepentingan yang bisa diselesaikan oleh kedua orang atau kelompok tersebut tanpa melibatkan lembaga-lembaga politik dan pemerintah adalah konflik yang bisa dikategorikan sebagai konflik

sosial. Akan tetapi, apabila pertentangan tersebut diselesaikan dengan keterlibatan pemerintah dan lembaga politik, maka konflik tersebut berkembang menjadi konflik politik. Demikian pula dengan pemogokan buruh akibat perselisihan dengan pengusaha. Pada umumnya pemogokan tersebut beraspek sosial dan ekonomi. Akan tetapi, bisa berubah menjadi konflik politik apabila pemogokan tersebut berkembang menjadi besar dan memiliki tuntutan politis, serta melibatkan lembaga-lembaga politik dan pemerintah. Gerakan- gerakan sosial yang nampak tidak punya tendensi politik terkadang memiliki tujuan politik untuk masa jangka panjang. Demikian pula dengan gerakan-gerakan intelektual seperti pendirian organisasi-organisasi intelektual yang melibatkan tokoh-tokoh yang punya sumber kekuasaan potensial bisa dijadikan sarana politik dan ada kemungkinan bisa menimbulkan konflik politik. Konflik yang murni beraspek politik misalnya konflik di antara kelompok masyarakat yang satu dengan kelompok masyarakat yang lain dalam usaha mendapatkan dan atau mempertahankan sumber-sumber yang dikuasai pemerintah. Demikian juga dengan ketidakpuasan sekelompok masyarakat terhadap pemerintah yang berkembang menjadi gerakan separatis atau pemberontakan. Dalam novel Nyali karya Putu Wijaya, konflik yang dominan adalah konflik politik. Namun demikian konflik sosial dalam novel tersebut juga dianalisis karena konflik politik dan konflik sosial dalam novel Nyali saling berkaitan. Konflik sosial merupakan akibat dari terjadinya konflik politik dan mempunyai pengaruh terhadap situasi politik. 2.1. Konflik Sosial Jenis konflik yang dapat dikategorikan sebagai konflik sosial antara lain konflik dalam lembaga perkawinan, konflik dalam merebut jabatan, persaingan, permusuhan, dan konflik etnis. Dalam novel ini terdapat konflik yang bisa dikategorikan sebagai konflik sosial, yakni konflik dalam rangka memperebutkan jabatan. Konflik ini tidak murni beraspek sosial akan tetapi mempunyai tendensi politik. Akan tetapi, jenis konflik ini bisa ditinjau dari aspek sosial. Konflik semacam ini seringkali terjadi dalam sebuah organisasi dan biasanya disertai dengan persaingan. Dalam persaingan biasanya disertai dengan pertikaian tidak langsung. Perebutan jabatan terjadi dalam dinas kemiliteran. Jendral Leonel memiliki kedudukan yang baik dalam dinas kemiliteran. Ia punya wewenang untuk menentukan kebijakan yang menyangkut keamanan negara. Atas dasar kedudukan itu ia memiliki kecenderungan mempertahankan jabatan ini. Segala usaha dilakukan termasuk pembunuhan yang memiliki motif politik. Ia berusaha menghambat saingan-saingannya, termasuk mencurigai bawahannya yang punya reputasi dan karier yang baik. Dalam novel tersebut diceritakan bahwa kematian ayah Krosy sesungguhnya masih misterius. Kolonel Krosy menduga bahwa kematian ayahnya karena dibunuh oleh Jendral Leonel. Hal ini dilakukan karena ayah Krosy punya peluang yang baik untuk menjadi saingan. kematian tersebut. Ia curiga kalau itu semua dilakukan oleh Jendral Leonel yang waktu itu masih berpangkat kolonel. Seluruh reputasi Leonel sangat terpuji, kecuali dalam kasus ayah Krosy. Semua orang menyadari bahwa Leonel berada satu strip di bawahnya. Dan tak seorang pun dapat membayangkan apa yang bisa atau mungkin mendorong Leonel untuk membetot teman seperjuangannya itu

---seandainya memang Leonel yang bertanggung jawab. Krosy sendiri tak bisa memastikan. Ia sempat menyusun beberapa teori. Seandainya saja Leonel yang membunuh ayahnya, pastilah itu ia lakukan dalam keadaan terjepit, atas desakan orang lain. Atau semacam kekhilapan : yang kemudian terus-menerus disesalinya. Ayah Krosy meninggal sebagai seorang pahlawan. Ia disergap di sebuah bukit dengan tiba-tiba oleh gerombolan Zabaza...Sejak itu Leonel memegang kekuasaan tertinggi di wilayah. (halaman 19-20). Kematian Kolonel Krosy juga tidak terlepas dari persaingan jabatan ini. Kolonel Krosy punya reputasi yang baik dan menjadi calon untuk menduduki jabatan penting dalam dinas kemiliteran, bahkan mungkin lebih dari itu, yakni peluang untuk mendapatkan kedudukan yang punya wewenang untuk menentukan kebijakan secara luas. Selain peluang, ia juga mempunyai ambisi untuk memperoleh ke- dudukan yang baik tersebut. Tak pelak lagi, ia menjadi calon yang paling meyakinkan untuk mengganti kedudukan jendral itu, apabila masa pensiunnya tiba. Tapi masih beberapa tahun lagi. Krosy hampir tak sabar. Ia ingin memegang pimpinan dan menentukan garis besar segala kebijaksanaan. Bukan hanya sebagai pelaksana semata-mata. (halaman 19) Sejak kecil Krosy selalu bercita-cita mencapai puncak dari kekuasaan militer.... (halaman 19) Kematiannya sesungguhnya bukan karena ditembak oleh Kropos, akan tetapi sengaja dibunuh oleh Jendral Leonel. Sewaktu Kropos menembaknya, Kolonel Krosy tidak mati. Ia sempat di bawa ke rumah sakit. Dokter Combla tidak sanggup untuk mengembalikan Kolonel Krosy seperti semula. Krosy tidak mati karena tembakan saudara. Ia dibunuh oleh Leonel....(halaman 35) 2.2. Konflik Politik Konflik politik dalam novel Nyali merupakan konflik yang dominan. Konflik tersebut meliputi hampir keseluruhan cerita. Konflik tercermin dalam tema, alur, penokohan dan latar. Analisis sosiologis terhadap novel Nyali dengan mengambil konflik politik meliputi penyebab terjadinya konflik, tipe konflik, struktur konflik, tujuan konflik, intensitas konflik, pengaturan konflik, serta konflik dan perubahan politik. Novel Nyali mengisahkan pergolakan politik yang terjadi di sebuah negara. Negara ini senantiasa mengalami konflik yang tajam, pemberontakan dan kekerasan serta fragmentasi dalam tubuh militer. Hal ini disebutkan secara eksplisit oleh pengarangnya: "....Baginda tahu sendiri selain Zabaza banyak sekali dendam, sengketa, keinginan membunuh yang ada di seluruh kerajaan...." (halaman 42) Negara ini mengalami dua periode sejarah, yakni masa Orde Lama dan Orde Barusejarah monarkhi dan Orde Baru untuk masa periode sejarah dengan sistem republik. . Orde Lama ditandai dengan sistem politik otokrasi tradisional atau monarkhi. Kepala negara adalah seorang raja (Baginda Raja). Sedangkan Orde Baru ditandai dengan sistem pemerintahan republik dengan presiden sebagai kepala negara. Konflik politik terjadi pada masa Orde Lama

dan Orde Baru. Konflik politik yang terjadi pada masa Orde Baru merupakan akibat dari konflik politik pada masa Orde Lama. 2.2.1. Penyebab KonflikKondisi yang harus ada bagi timbulnya konflik adalah kemajemukan struktur masyarakat, baik kemajemukan kultural maupun sosial. Kemajemukan sosial dan kultural ini dikategorikan sebagai kemajemukan horisontal (Surbakti, 1992: 151). Selain itu kemajemukan vertikal juga merupakan kondisi yang memungkinkan terjadinya konflik. Kemajemukan vertikal ditandai dengan struktur masyarakat yang ter- polarisasi menurut pemilikan kekayaan, pengetahuan, dan kekuasaan. Kemajemukan tersebut memungkinkan perbedaan kepentingan di antara kelompok-kelompok masyarakat. Kemajemukan horisontal kultural dapat menimbulkan konflik karena masing-masing unsur kultural berupaya mempertahankan identitas dan karakteristik budayanya dari ancaman kultur lain. Sedangkan kemajemukan horisontal sosial dapat menimbulkan konflik sebab masing-masing kelompok yang mendasarkan pekerjaan dan profesi serta tempat tinggal tersebut memiliki kepentingan berbeda bahkan saling bertentangan. Kemajemukan vertikal dapat menimbulkan konflik sebab sebagian besar masyarakat tidak memiliki atau hanya memiliki sedikit kekayaan dan kekuasaan. Namun demikian, perbedaan-perbedaan masyarakat ini akan menimbulkan konflik apabila kelompok-kelompok tersebut memperebutkan sumber-sumber yang sama dan manakala terdapat benturan kepentingan. Taraf kepincangan distribusi yang diungkapkan oleh Jonathan H. Turner (Soerjono Soekanto, 1988: 66) merupakan pendapat yang punya kesejajaran dengan penyebab konflik di atas. Menurut Turner, taraf kepincangan pada distribusi sumber daya akan mempengaruhi keleluasaan bagian-bagian suatu sistem sosial untuk mengungkapkan konflik kepentingan. Semakin tidak seimbang distribusi sumber daya langka dalam sebuah sistem, konflik kepentingan antara kelompok dominan dan subordinat dalam sebuah sistem semakin meningkat Demikian pula dengan pendapat Coser yang menitik- beratkan pada sistem distribusi. Coser menyatakan bahwa penyebab terjadinya konflik adalah kondisi-kodisi yang menyebabkan ditariknya legitimasi dari sistem distribusi yang ada dan intensifikasi tekanan terhadap kelompok- kelompok tertentu yang tidak dominan (ibid: 93). Maurice Duverger (1993) mengajukan penyebab konflik bertolak dari sudut pandang pelaku konflik. Menurut Duverger (1993: 174) penyebab antagonisme politik (konflik politik) meliputi sebab-sebab individual dan sebab- sebab kolektif. Sebab-sebab individual menurut Duverger, karena terdapat perbedaan bakat individual di antara manusia. Ia mendasarkan diri pada konsepkonsep biologi Charles Darwin tentang struggle for life yang menyatakan bahwa setiap individu harus bertempur melawan yang lain untuk kelangsungan hidup dan hanya yang paling mampu akan memenangkannya. Dari kecenderungan ini menjelma menjadi perjuangan untuk memuaskan kebutuhan manusia. Dalam arena politik hal ini menjadi perjuangan untuk posisi utama. Selain itu, dalam diri manusia terdapat naluri untuk berkuasa yang dianggap sebagai kecenderungan manusiawi yang fundamental. Ambisi individual ini merupakan faktor primer di dalam konflik politik. Konflik politik yang disebabkan oleh kolektif bertolak dari kondisi masyarakat. Di dalam masyarakat terdapat kelas-kelas sosial yang mempunyai perbedaan kepentingan. Kontradiksi yang tajam antara kelas sosial yang satu dengan kelas sosial yang lain mengakibatkan perjuangan kelas yang disertai dengan kekerasan. Perjuangan kelas merupakan bentuk konflik politik.

Bentuk-bentuk konflik lainnya seperti konflik antara buruh dan pengusaha, petani dengan tuan tanah, konflik kelompok-kelompok ideologis menurut analisis ini adalah pencerminan dari perjuangan kelas. Konflik politik dalam kerajaan yang diceritakan dalam novel Nyali terpolarisasi dalam kelompok-kelompok sosial yang memiliki perbedaan-perbedaan peran dan kepentingan. Dengan kata lain kondisi sosial dan kultural serta kondisi politiknya sangat majemuk. Struktur masyarakatnya terpolarisasi menurut kekayaan, pengetahuan dan kekuasaan. Sistem sosial dan struktur masyarakatnya belum stabil. Hal ini ditandai dengan tiadanya konsensus politik dan ideologis, yakni konsensus yang disepakati bersama dan dilaksanakan untuk kepentingan umum. Kekuasaan dan wewenang merupakan sumber daya langka yang sering kali menjadi penyebab terjadinya konflik dan perubahan pola-pola yang telah melembaga. Distribusi sumber kekuasaan dalam negara tidak seimbang. Dalam negara dengan sistem politik otokrasi tradisional kekuasaan mutlak pada raja. Distribusi kekuasaan pada partai-partai politik tidak ada karena kerajaan tersebut tidak memiliki partai politik atau kelompok-kelompok korporatis yang bisa digunakan sebagai pengendali konflik politik, sehingga kelompok dominan dalam hal ini raja memiliki kekusaan mutlak (absolut). Adanya ketidakseim-bangan distribusi sumber kekuasaan ini merupakan penyebab terjadinya konflik politik. Dalam negara ini terdapat tiga pihak yang terlibat dalam konflik. Pihak pertama adalah Baginda Raja. Kelompok kedua adalah gerombolan Zabaza. Pihak ketiga yaitu Jendral Leonel yang pada awalnya memanfaatkan kelompok kedua. Ketiga pihak tersebut mempunyai kepentingan yang berbeda dan masing-masing berusaha mewujudkan kepentingannya sehingga terjadi perbenturan kepentingan. Baginda Raja mempunyai kepentingan untuk mempertahankan sistem sosial dan struktur masyarakat yang lama, yakni sistem pemerintahan kerajaan dan sistem perekonomian yang mengandalkan agraris. Sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam kerajaan ia memiliki kewenangan yang sah untuk menggunakan paksaan fisik dalam menyelesaikan konflik. Sarana paksaan fisik adalah tentara, intelejen, persenjataan, penjara, kerja paksa, pengadilan dan lainlain. Pihak kedua yakni gerombolan yang bernama Zabaza mempunyai tujuan mengadakan revolusi kepribadian, yakni mereka ingin menegakkan moral baru bagi masyarakat. Masyarakat yang dicita-citakan adalah semua orang menjadi hamba kerajaan yang baik. Setiap orang atau kelompok tidak memiliki ambisi dan kepentingan yang berbeda dengan kebijakan pemerintah. Dengan demikian pertentangan-perten- tangan dalam masyarakat bisa dihindarkan. Gerakan gerombolan ini merupakan satu kelompok yang bersimpati terhadap pandangan sosial atau doktrin tertentu, yang mengaktualisasikan diri dalam konflik dengan bentuk pemberontakan. Gerakan ini memiliki ideologi tertentu yang berfungsi sebagai alat untuk menyatukan komunitas anggotanya dengan cara mendorong setiap anggota untuk menerima kekuasaan yang memerintahnya dan dengan mengembangkan rasa kepatuhan terhadap yang memerintah. Ideologi ini juga berfungsi sebagai tujuan perjuangan. Selain itu, ideologi ini bersifat doktriner yang mampu meningkatkan antusiasme dan komitmen untuk mendukung kegiatan politik. Doktrin ini menjanjikan bentuk alter- natif masyarakat baru yang menjadikan setiap warga negara menjadi hamba kerajaan yang baik untuk menggantikan bentuk masyarakat lama yang

dikendalikan oleh kekuatan fasisme yang hirarkis dan otoriter. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa gerakan gerombolan ini adalah revolusioner, karena mempunyai tujuan mengadakan perubahan sosial. Menurut Surbakti (1992:71) sebuah gerakan revolusioner menekankan motivasi dan tindakan merealisasikan ide-ide revolusioner, sedangkan keberhasilan gerakan tersebut menjadi pertimbangan kedua. Motivasi untuk mencapai tujuan sangat kuat, apabila harapan keberhasilan sangat tinggi. Pihak ketiga, yakni Jendral Leonel memanfaatkan kelompok pertama dan kedua demi meraih tujuan pribadi. Ia mempunyai ambisi untuk merebut kekuasaan dengan cara yang tidak sesuai dengan konsensus kerajaan. Ambisi untuk merebut kekuasaan ini menimbulkan konflik-konflik politik yang mendalam dan luas. Kemungkinan terjadinya konflik politik semakin lebar jika negara tidak memiliki konsensus berupa konstitusi yang mengatur penyelesaian konflik. Dalam kerajaan ini tidak memiliki konsensus tersebut. Selain itu, cara yang dipergunakan oleh pihak yang bertikai memiliki konsekwensi timbulnya pertentangan yang bersifat kekerasan. Ketiga pihak yang terlibat dalam konflik politik tersebut sama-sama mempunyai sumber kekuasaan. Baginda Raja mempunyai sumber kekuasaan karena kedudukannya sebagai raja yang memperoleh legitimasi karena tradisi. Kekuasaan dan peralihan kewenangannyayakni dengan diadakannya pemilihan umum. berlangsung secara turun temurun. Pemimpin gerombolan Zabaza, yakni Kropos memiliki sumber kekuasaan potensial karena dia memiliki massa yang terorganisasi secara rapi dan berdisiplin tinggi. Ia menggunakan sumber kekuasaan tersebut untuk aktivitas politik berupa gerakan untuk mengadakan revolusi kepribadian dengan menggunakan cara-cara kekerasan seperti teror- isme dan kudeta berdarah. Dengan demikian, sumber kekuasaan tersebut menjadi kekuasaan aktual. Demikian halnya dengan Jendral Leonel. Ia memiliki sumber kekuasaan potensial karena kedudukannya sebagai panglima militer yang punya wewenang untuk mengatur kebijaksaan dalam bidangnya. Sebagai panglima militer berarti ia memiliki massa terorganisasi berupa tentara. Ia juga punya kekuasaan aktual karena dia telah menggunakan sumber-sumber kekuasaan di dalam kegiatan politik secara efektif. Setelah ia berhasil merebut kekuasaan dan menjadi pemimpin negara, ia memiliki kewenangan. Berdasarkan penyebab konflik yang diajukan oleh Duverger, maka penyebab konflik politik dalam masyarakat yang dikisahkan oleh Nyali hanya memiliki relevansi dengan sebab-sebab individual. Dalam novel tersebut tidak digambarkan adanya kelas-kelas sosial seperti halnya dalam masyarakat industri. Masyarakat dalam kerajaan tesebut masih dalam tahap feodaltradisional sesungguhnya adalah negara yang berada dalam tahap feodalisme. . Dalam masyarakat feodal tidak terdapat kelas-kelas sosial seperti konsep Marx, yakni kelas kapitalis dan buruh (proletar). Kelas borjuasi (kaum kapitalis) dan kelas proletar (buruh) hanya terdapat dalam masyarakat industri dengan sistem kapitalisme.Sebab-sebab individual tercermin dari ambisi-ambisi pribadi untuk berkuasa. Kolonel Krosy punya ambisi untuk menduduki jabatan yang lebih tinggi. Jendral Leonel memiliki ambisi untuk merebut kekuasaan dan menggantikan sistem pemerintahan dan bentuk negara. Kepentingan pribadi ini didukung oleh sumber kekuasaan potensial berupa jabatannya sebagai panglima tertinggi dalam dinas kemiliteran.

Ads by BlueAds

2.2.2. Tipe Konflik Dalam teori konflik politik dikenal dua tipe konflik. Paul Conn membuat kategori tipe konflik, yakni konflik positif dan konflik negatif (Surbakti 1992: 153). Yang dimaksud dengan konflik positif ialah konflik yang tidak mengancam eksistensi sistem politik, yang biasanya disalurkan lewat mekanisme penyelesaian konflik yang dise- pakati bersama dalam konstitusi. Sebaliknya konflik negatif ialah konflik yang dapat mengancam eksistensi sistem politik yang biasanya disalurkan lewat cara-cara nonkonstitusional seperti kudeta, separatisme, terorisme dan revolusi (Surbakti, 1992: 71). Kedua tipe konflik ini berkaitan dengan tipe masyarakat, yakni masyarakat yang mapan dan masyarakat yang belum mapan. Masyarakat yang mapan telah memiliki dan mendayagunakan struktur kelembagaan yang diatur dalam konstitusi. Sedangkan masyarakat yang belum mapan tidak memiliki struktur kelembagaan yang mendapat dukungan penuh dari seluruh masyarakat. Tipe konflik politik dalam novel Nyali dapat dikategorikan sebagai tipe konflik negatif. Konflik tersebut mengancam eksistensi sistem sosial dan politik serta struktur masyarakat. Apalagi pihak-pihak yang berkonflik menggunakan cara kekerasan untuk memperjuangkan kepen- tingannya dan mempertahankan sistem lama. Tipe konflik negatif juga mempunyai karakteristik dipergunakan cara- cara kekerasan oleh pihak yang bertikai seperti kudeta, separitisme, revolusi dan terorisme. Konflik politik yang dalam novel tersebut tidak mungkin diselesaikan lewat mekanisme konstitusional karena tidak ada konstitusi dan konsensus yang disepakati oleh masyarakat dan mengatur penanganan konflik. Struktur masyarakat yang dikisahkan dalam novel tersebut adalah struktur masyarakat yang belum mapan atau belum stabil. Masyarakat yang belum stabil pada umumnya belum punya konsensus yang disepakati bersama sehingga sering dihadapkan pada konflik untuk memperebutkan atau memperjuangkan aspirasi dari kelompok-kelompok masyarakat. Tiadanya konsensus yang mampu mengakomodir dan mengatur kepen- tingankepentingan berbeda dari berbagai kelompok masyarakat semakin memperlebar konflik. Bagaimanapun negara harus mampu menampilkan diri sebagai pengemban kepentingaan umum dan mampu mengatasi kemajemukan dan antagonisme dalam masyarakat. Bagi kelompok dominan yang punya kewenangan dan kekuasaan berusaha mempertahankan sistem yang dipergu nakan walau belum secara penuh mendapatkan legitimasi dari masyarakat yang diperintah. Kondisi seperti ini memungkinkan konflik berlangsung berkepanjangan dan punya konsekwensi lebih jauh yakni terancamnya sistem yang ada. Ke- tiadaan kelompok-kelompok korporatis atau partai yang bisa dipergunakan sebagai alat pengendali konflik akan cenderung memperparah kondisi ini. Pihak-pihak yang bertikai menggunakan cara-cara kekerasan. Sekelompok masyarakat yang terorganisasi dalam sebuah gerombolan bernama Zabaza mempergunakan cara-cara terorisme dan kekerasan untuk mewujudkan tujuannya. Zabaza menekankan aspek paksaan fisik atau kekerasan sehingga cenderung mengarah pada pertentangan dan konflik yang berkepanjangan. Zabaza yang punya disiplin tinggi, terorganisasi secara rapi, punya pola kepemimpinan yang ketat dan hirarkis, memang sengaja dibentuk dengan menggunakan cara kekerasan untuk mencapai tujuan. Zabaza tidak meng- inginkan cara-cara damai tetapi menggunakan perang dan kekerasan untuk merombak masyarakat. Dengan kata lain Zabaza

mencita-citakan revolusi kepribadian dengan tujuan agar setiap orang menjadi hamba kerajaan yang baik. Hal ini secara eksplisit disebutkan oleh pengarangnya : "....Gerombolan ini tidak memiliki target merebut pemerintahan. Dia adalah usaha untuk menegakkan moral baru. Semacam revolusi kepribadian yang membuat setiap orang menjadi hamba kerajaan yang baik. Ini terjadi karena sekarang setiap orang sudah terlalu banyak bicara tentang kepentingan-kepentingannya. Dalam kelompok Zabaza, tidak ada lagi kepentingan pribadi. Setiap orang merasa dirinya alat...." (Halaman 65-67) Pihak kerajaan dalam hal ini tentara kerajaan tidak menggunakan cara lain dalam mengatur konflik ini. Tentara yang dipimpin oleh Jendral Leonel juga menggunakan cara kekerasan dalam rangka membasmi gerombolan Zabaza. Beberapa bawahannya ada yang mengusulkan diadakan perundingan, tetapi Jendral Leonel tidak setuju. Teror dan pembunuhan politik yang dilakukan gerom- bolan Zabaza sangat kejam dan tanpa kompromi. Zabaza membunuh Kolonel Krosy yaitu bekas atasan Kropos dalam dinas kemiliteran. Demikian juga dengan penyerbuan ke sebuah desa yang merupakan pertahanan paling kuat tentara kerajaan, yaitu Desa Tongtong. Desa tersebut dihancurkan dan penduduknya dibinasakan sama sekali. Pada saat yang tepat Zabaza melakukan penyerbuan ke istana, tapi mampu digagalkan oleh tentara kerajaan. Ini memang sesuai dengan rencana Jendral Leonel. Ia menghendaki Zabaza menyerbu istana dan ia menghendaki Baginda Raja terbunuh. Lalu tentara akan menumpas seluruh anggota gerombolan. Pada akhirnya konflik ini mengancam eksistensi sistem politik yang lama yaitu sistem otokrasi tradisional yang mengandalkan sistem agraris. Negara dalam bentuk kerajaan ini diubah secara total dan menjadi republik seperti yang dikehendaki Jendral Leonel.

Short Story Contest 2.2.3. Struktur Konflik Menurut Paul Conn (Surbakti, 1992: 154) struktur konflik dibedakan menjadi dua, yakni konflik menang-kalah (zero-sum conflict) dan konflik menang-menang (non zero- sum conflict). Konflik memang-kalah ialah situasi konflik yang bersifat antagonistik sehingga tidak memungkinkan tercapainya suatu kompromi di antara pihak-pihak yang terlibat dalam konflik. Ciri utama dari struktur konflik menang-kalah adalah tidak mungkin diadakan kerja sama dan kompromi. Sedangkan konflik menang-menang memiliki ciri bahwa pihak-pihak yang terlibat dalam konflik masih mungkin untuk mengadakan kompromi dan bekerja sama sehingga semua pihak akan mendapatkan bagian dari konflik tersebut. Kompromi adalah salah satu fungsi politik yang utama. Dalam masyarakat demokratis, lembaga-lembaga disesuaikan dengan tujuan ini. Prosesproses demokratis tidak saja berlaku luntuk mengungkapkan pergolakan politik oleh cara- cra non violent; mereka juga ditentukan untuk memutuskan konflik dengan kompromi (Duverger, 1993:346). Konflik politik yang terjadi di sebuah negara yang diceritakan dalam novel Nyali ini memiliki

struktur konflik menang-kalah. Situasi konflik tidak memungkinkan diadakannya kompromi dan kerja sama. Atau dengan kata lain konflik ini bersifat antagonistik. Dalam konflik seperti ini hanya terdapat dua pilihan, yakni ada pihak yang menang dan pihak lain mengalami kekalahan. Gerombolan Zabaza tidak punya keinginan untuk mengadakan kompromi. Sesungguhnya Baginda Raja menawarkan diadakannya kompromi agar tidak terlalu banyak jatuh korban. Akan tetapi Jendral Leonel yang sesunggguhnya merupakan otak dari seluruh rencana tidak menghendaki cara-cara damai melalui perun- dingan. "....Saya tak ingin jalan damai, tapi jalan yang berdarah. Bukan karena haus darah, tapi karena segala kekerasan ini akan mengatur suasana tertentu. Dia merupakan satu proses yang akan berguna untuk menyeleksi rakyat kita menuju hari depan yang gemilang. Di masa depan, bayangan saya kerajaan ini akan menjadi satu republik dengan rakyat pilihan...." (Halaman 41) Karena tidak mungkin diadakan kompromi maka jalan satu-satunya adalah ada pihak yang memenangkan konflik dan pihak lain terkalahkan. Ketika terjadi kudeta oleh gerombolan Zabaza, Baginda Raja beserta keluarganya terbunuh. Dalam cerita ini tidak disebutkan siapa yang sesungguhnya membunuh keluarga raja. Zabaza sesungguhnya tidak punya niat untuk membunuh Baginda Raja. Kemudian tentara kerajaan yang dipimpin langsung oleh Jendral Leonel berhasil menumpas gerombolan, walau pemimpin gerombolan yakni Kropos berhasil lolos. Dengan tertumpasnya gerombolan Zabaza berarti gerombolan ini merupakan pihak yang kalah. Akan tetapi pihak kerajaan dalam hal ini Baginda Raja beserta seluruh keluarganya juga merupakan pihak yang kalah. Pihak yang menang adalah Jendral Leonel. Dengan kata lain ia berhasil mengalahkan kedua lawannya untuk mencapai tujuan yakni merebut kekuasaan dengan cara memanipulasi keadaan yang sesungguhnya. Hal ini sesuai dengan rencana Jendral Leonel. Ia dapat dikatakan pihak yang menang dan memperoleh jalan untuk merebut kekuasaan dan mengganti sistem negara yang otokrasi tradisional dengan sistem republik dengan program industrialisasi yang menggantikan sistem agraris. 2.2.4. Tujuan Konflik Secara umum tujuan konflik dapat dirumuskan sebagai mendapatkan dan atau mempertahankan sumber-sumber yang dianggap penting. Menurut Surbakti (1992: 163) tujuan konflik dapat dikategorikan sebagai berikut: 1. Pihak-pihak yang terlibat dalam konflik memiliki tujuan yang sama, yakni sama-sama berupaya mendapatkan; 2. Disatu pihak hendak mendapatkan, sedangkan di pihak lain berusaha keras mempertahankan apa yang dimiliki. Sesungguhnya pihak yang berkonflik ada tiga, yakni gerombolan Zabaza, Jendral Leonel dan Baginda Raja. Gerombolan Zabaza mempunyai tujuan untuk menegakkan moral baru, untuk mengadakan revolusi kepribadian yang menjadikan setiap warga negara menjadi hamba kerajaan yang baik. Ia tidak punya ambisi untuk merebut pemerintahan. Ia juga tidak punya tujuan membunuh Baginda Raja beserta keluarganya. Dengan adanya Zabaza tentara kerajaan yang sebelumnya mempunyai moral yang kurang baik menjadi bersatu karena dihadapkan pada musuh yang kuat. Mengingat Zabaza tidak memiliki tujuan merebut ke- kuasaan maka ia bisa dipandang sebagai

kelompok penekan (pemaksa). Menurut Duverger (1993: 292) kelompok penekan tidak berusaha untuk merebut kekuasaan atau berpartisipasi di dalam pelaksanaan kekuasaan; tujuannya adalah mempengaruhi mereka yang memegang kekuasaan, membawakan "tekanan" yang harus dipikulnya. Sedangkan pihak kedua adalah Baginda Raja. Ia punya keinginan untuk tetap mempertahankan sistem lama, yakni sistem kerajaan (monarkhi) yang mengandalkan sistem per- ekonomian agraris. Ia memiliki dasar legitimasi bagi kewenangan untuk berkuasa. Legitimasi yang mendasari kewenangan Baginda Raja adalah sah, karena terdapat konsensus dalam masyarakat berupa tradisi peralihan kewe- nangan secara turun temurun. Sedangkan pihak ketiga adalah Jendral Leonel. Ia menghendaki bentuk legitimasi yang lain, yakni peralihan kewenangan secara demokratis melalui pemilihan umum. Negara yang diinginkan Jendral Leonel adalah negara re- publik. Dengan kata lain ia memiliki kepentingan untuk merebut kekuasaan dan mengganti sistem otokrasi tradisi- onal dengan sistem republik. Jadi apabila disimpulkan, dalam konflik ini ada pihak yang menginginkan perubahan dan ada pihak lain yang mempertahankan sistem dan struktur sosial masyarakat yang lama. Pada akhirnya konflik dimenangkan oleh pihak ketiga yang memperalat pihak pertama. Gerombolan Zabaza diciptakan oleh Jendral Leonel sebagai alat untuk meraih tujuannya. Ketika gerombolan sudah besar, Zabaza diserahkan kepada Kropos. Ia juga menyalahgunakan otoritas yang dimilikinya. Otoritas Jendral Leonel yang besar terhadap kontrol kekuatan militer cenderung menjadikan militer tidak berada dalam kekuasaan Baginda Raja. Leonel menyalahgunakan otoritas ini untuk kepentingan pribadinya, akibatnya militer dijadikan senjata politik oleh Jendral Leonel untuk melakukan kudeta dengan cara yang halus dan melimpahkan kesalahan tersebut kepada gerombolan Zabaza. Selanjutnya gerombolan Zabaza ditumpas sampai habis. 2.2.5. Intensitas Konflik Intensitas konflik lebih merujuk pada besarnya energi (ongkos) yang dikeluarkan dan tingkat keterlibataan partisipan dalam konflik. Menurut Surbakti (1992: 156-158) intensitas konflik ditentukan oleh berbagai faktor: 1. Konflik akan cenderung intens apabila dari stratifikasi sosial ekonomi, pertentangan antara pihak- pihak yang berkonflik mencakup pelbagai jenis. 2. Terdapat kelas yang dominan dalam industri. 3. Apabila pihak yang berkonflik menilai tidak mungkin terjadi peningkatan status bagi dirinya. 4. Besar kecilnya sumber-sumber yang diperebutkan dan tingkat resiko yang timbul dari konflik tersebut. Semakin besar sumber-sumber yang diperebutkan, maka konflik akan semakin intens. Demikian pula dengan resiko. Semakin besar tingkat resiko yang akan ditimbulkan maka konflik akan semakin intens. Coser (Soejono Soekanto, 1988: 94) mengajukan proposisi intensitas konflik sebagai berikut: 1. Semakin disadarinya kondisi yang menyebabkan pecahnya konflik, maka konflik semakin intens.

2. Semakin besar keterlibatan emosional peserta dalam konflik, maka konflik semakin intens. 3. Semakin ketat struktur sosial, tidak tersedianya alat yang melembaga untuk menyerap konflik dan ketegangan, konflik semakin intens. 4. Semakin besar perlawanan kelompok-kelompok dalam konflik terhadap kepentingan objektif mereka, maka konflik semakin intens. Secara kronologis konflik politik dalam novel Nyali semakin intens. Faktor meningkatnya intensitas konflik adalah sumber yang diperebutkan yakni kekuasaan. Kekuasaan merupakan sumber yang sangat besar dan langka. Demikian juga dengan resiko yang akan ditanggung. Masing-masing pihak yang bertikai akan memiliki resiko yang besar apabila kalah dalam konflik. Baginda Raja akan terguling dari kekuasaannya jika ia kalah. Demikian juga dengan gerombolan Zabaza. Apabila gerombolan ini kalah maka resikonya adalah tidak tercapai citacitanya dan akibat lebih jauh adalah kehancuraan bagi gerombolan itu. Sedangkan bagi Jendral Leonel kekalahan dalam konflik akan berakibat pada hancurnya seluruh reputasi dan kemungkinan mati atau dipenjara seumur hidup. Karena itu konflik semakin intens. Pihak-pihak yang terlibat dalam konflik politik tersebut telah menyadari kondisi objektif masyarakat, terutama kondisi yang menyebabkan terjadinya konflik. Masyarakat tersebut memiliki struktur yang ketat dan tidak memiliki sarana atau lembaga-lembaga politik dan konstitusi untuk menyerap konflik. Demikian juga dengan keterlibatan emosional dan tingkat perlawanan kelompok-kelompok dalam konflik yang semakin tinggi, sehingga konflik semakin intens. Keterlibatan emosional peserta konflik sangat besar. Gerombolan Zabaza mempunyai ideologi yang sangat dipatuhi oleh setiap anggotanya. Mereka bersedia mati demi ke- muliaan tujuan. Apapun dilakukan dengan sikap patuh tanpa sedikit pun merasa gentar. Demikian juga dengan tekad Jendral Leonel. Ia bertekad untuk menghancurkan gerombolan Zabaza dengan kekerasan. Jendral Leonel tidak menghendaki jalan damai. Keterlibatan emosional yang besar dari pihakpihak yang bertikai ini semakin meningkatkan intensitas konflik. Hal ini berakibat semakin besar perlawanan masing-masing kelompok yang terlibat dalam konflik politik. Gerombolan Zabaza terus-menerus meningkatkan perla- wanannya dengan menghancurkan kubu-kubu pertahanan tentara kerajaan. Di pihak tentara kerajaan juga meningkatkan pertahanannya dan perlawanannya terhadap gerombolan Zabaza. Besarnya tingkat perlawanan ini juga menjadi faktor semakin intensnya konflik politik tersebut. 2.2.6. Pengaturan Konflik Pengaturan konflik merujuk pada bentuk-bentuk pengendalian konflik yang lebih diarahkan pada manifestasi konflik daripada sebab-sebab konflik. Dengan asumsi konflik tidak akan dapat diselesaikan dan dibasmi maka konflik dapat diatur saja sehingga konflik tidak mengakibatkan perpecahan masyarakat (Surbakti, 1992: 160). Ralf Dahrendorf menyebutkan tiga bentuk pengaturan konflik (ibid). Pertama bentuk konsiliasi seperti parlemen atau kuasi-parlemen yang membuka kemungkinan semua pihak berdiskusi dan berdebat secara terbuka dan mendalam untuk mencapai kesepakatan tanpa ada pihak-pihak yang memonopoli pembicaraan atau memaksakan kehendak. Kedua, bentuk me- diasi, yakni kedua pihak yang berkonflik sepakat mencari nasihat kepada pihak ketiga (sebagai mediator) tetapi nasihat ini tidak mengikat. Ketiga

bentuk arbitrasi, yakni kedua pihak sepakat untuk mendapatkan keputusan akhir yang bersifat legal sebagai jalan keluar konflik pada pihak ketiga sebagai arbitrator. Metode pengaturan konflik yang dikemukakan ilmuwan lain lebih melihat pengaturan konflik yang cenderung bersifat kekerasan (political violence) . Metode ini dilandasi oleh asumsi bahwa negara (pemerintah) mewakili kewenangan yang sah dalam melakukan pengendalian konflik tersebut. Ziegenhagen (Surbakti, 1992: 161) berpendapat bahwa pemerintah dapat melakukan salah satu dari tiga kebijaksanaan intervensi sebagai upaya mengendalikan konflik politik, yaitu kemampuan pemaksaan secara fisik (coercive capacity) dan ancaman penggunaannya, penggunaan sanksi negatif atas salah satu atau kedua pihak yang berkonflik, dan pengurangan atau penghapusan sanksi negatif. Namun perlu diperhatikan bahwa sanksi kekerasan terhadap konflik akan melahirkan kekerasan yang berkepanjangan. Pengaturan konflik politik dalam Nyali tidak menggunakan bentuk mediasi, maupun arbitrasi, tetapi menggunakan political violence. Pengaturan konflik yang diterapkan oleh pemerintah memiliki karakteristik diberikannya tempat yang lebih besar bagi diterapkannya unsur paksaan demi komitmen umum terhadap common values guna mempertahankan bentuk masyarakat lama dan sistem pemerintahan lama. Cara pengaturan konflik dengan kekerasan ini mengingat negara ini tidak mempunyai alat-alat politik lain dalam mengendalikan konflik seperti partai politik, kelompok kor- oratisFilm, Badan Pertimbangan Pendidikan Nasional merupakan beberapa contoh kelompok korporatis. , serta konsensus dan konstitusikonstitusi. . Selain itu Kerajaan ini tidak memungkinkan perjuangan politik secara terbuka yang tidak menggunakan cara-cara kekerasan dan yang bisa diselesaikan dengan cara-cara tanpa kekerasan seperti perdebatan di parlemen, petisi, pemogokan buruh dan demonstrasi secara damai (tanpa tindakan anarkis), dan dengar pendapat di lembaga perwakilan rakyat, sehingga aspirasi politik dan ketidakpuasan dari kelompok-kelompok masyarakat diungkapkan dalam bentuk perjuangan tersembunyi, seperti terbentuknya gerombolan pembrontak dan klik politik Jendral Leonel. Perjuangan secara tertutup ini pada akhirnya akan meletus sebagai pembrontakan terbuka seperti kudeta dan revolusi. Kelompok-kelompok yang bertikai dalam hal ini adalah gerombolan pemberontak menggunakan cara kekerasan dalam perjuangannya, sehingga penggunaan kekerasan untuk menyelesaikan konflik politik sulit dihindari, meskipun sesungguhnya politik adalah alat untuk menghapus keke- rasan, untuk menggantikan konflik berdarah dengan bentuk perjuangan sipil yang lebih dingin dan untuk menghapus peperangan. Negara menggunakan kekuatan militer untuk mengatasi konflik. Hal ini mengandung makna bahwa ke- kuasaan mempergunakan kekerasan untuk menghindari ke- kerasan yang lebih besar. Kekerasan yang dipergunakan oleh negara adalah kekerasan yang legal karena negara memiliki keabsahan mempergunakan paksaan fisik demi melindungi kepentingan dan kebaikan umum. Meskipun demikian kekerasan yang ditimbulkan oleh konflik politik tidak dapat diberantas seluruhnya. Duverger (1993: 334) mengatakan , meskipun politik adalah usaha untuk memberantas penggunaan ke- kerasan, ia tidak pernah berhasil seluruhnya. Kekerasan senantiasa ada, bahkan di dalam masyarakat yang paling beradab, paling baik diorganisir, dan paling demokratis. Negara ini mempunyai kekuatan militer yang tangguh dan senantiasa siap melakukan paksaan fisik terhadap aksi politik yang tidak sesuai dengan kehendak penguasa, yakni pemberontakan dan kekerasan.

dan siap menumpahkan darah. Mereka setia kepada kerajaan sampai titik darah yang penghabisan....(halaman 43) Dalam melakukan pengaturan konflik dengan menggunakan kekuatan militer ini, kerajaan sering mengalami kegagalan. Gerombolan Zabaza sangat kuat dan senantiasa melakukan penyerangan ke kubu-kubu pertahanan kerajaan. Pada saat penyerbuan ke istana, tentara kerajaan berhasil menumpas gerombolan Zabaza sampai ke akar-akarnya. Namun keber- hasilan ini tidak untuk jangka panjang, sebab pada waktu- waktu berikutnya sisa-sisa gerombolan ini tumbuh lagi. Dengan kata lain cara kekerasan militer tidak mampu untuk menyelesaikan konflik politik antara negara dengan gerombolan Zabaza. Sesungguhnya Baginda Raja bermaksud mempergunakan cara damai dalam rangka pengaturan konflik ini. Pada suatu malam ia memanggil Jendral Leonel untuk menghadap di istana. Semula Jendral Leonel mengira bahwa Baginda Raja hendak meminta pertanggungjawaban atas kekalahan tentara kerajaan di Desa Tongtong, tetapi dugaan itu keliru. Baginda Raja dan Jendral Leonel terlibat dalam pembicaraan mengenai nasib kerajaan yang dilanda sengketa dan pertumpahan darah. Dalam pembicaraan itu Baginda Raja mengusulkan perundingan untuk menyelesaikan konflik agar tidak jatuh korban lebih banyak lagi. "Aku ingat kalau kita mengadakan pesta dan memperalat gelas-gelas minuman untuk menyembunyikan perasaan- perasaan kita yang sebenarnya. Malam ini, itu tidak perlu terjadi. Jadi Anda sudah merencanakan untuk mengadakan perombakan dalam kerajaan ini?" Leonel terdiam. Ia memandang ke kejauhan. "Kenapa Anda tidak bicara langsung dengan aku? Apa perlu begitu banyak tumpah darah. Mereka yang tak berdosa itu?" (halaman 40) Usul Baginda Raja tidak disetujui oleh Jendral Leonel. Ia menghendaki cara kekerasan dalam menyelesaikan konflik politik tersebut. "....Saya tak ingin jalan damai, tapi jalan yang berdarah. Bukan karena haus darah, tapi karena segala kekerasan ini akan mengatur suasana tertentu. Dia merupakan satu proses yang akan berguna untuk menyeleksi rakyat kita menuju hari depan yang gemilang. Di masa depan, bayangan saya kerajaan ini akan menjadi satu republik dengan rakyat pilihan. Yang tak berhak untuk hidup harus cepat dibuang." (halaman 41) Mengingat ada pihak yang tidak sepakat menggunakan cara damai dalam rangka pengaturan konflik, maka jalan kekerasan dipergunakan oleh Jendral Leonel untuk menghancurkan gerombolan Zabaza sekaligus untuk mewujudkan tujuan Jendral Leonel, yakni memenangkan konflik dan mengubah bentuk pemerintahan. 2.2.7. Konflik dan Perubahan Politik Perubahan politik dapat ditimbulkan oleh konflik kepentingan dan gagasan atau nilai-nilai baru (Surbakti, 1992: 246). Tom Bottomore (1992: 82) menjelaskan secara rinci tentang perubahan sosial dan politik. Menurut Tom Bottomore (ibid), perubahan yang cukup berarti dapat timbul dari diperkenalkannya suatu teknologi baru, perdagangan atau perang; kudeta istana, perubahan dinasti, tampilnya ke puncak kekuasaan raja yang kompeten atau yang tidak, ataupun karena

munculnya seorang pemimpin politik yang talentanya begitu hebat, gerakan-gerakan budaya dan intelektual, pasang surutnya kelompok-kelompoik sosial tertentu, termasuk para elit yang menunjukkan kepentingan sosial yang berbeda. Salah satu bentuk utama konflik adalah perang. Ke- lahiran negara-negara baru banyak yang diakibatkan karena peperangan, baik perang negara terjajah terhadap kolonial maupun perang saudara. Peperangan di dalam negara bangsa nation-state juga akan mengakibatkan perubahan sosial dan politik. Tom Bottomore mencatat bahwa perang punya pengaruh terhadap perubahan politik dan perkembangan masyarakat. Perang sebagai sarana perluasan masyarakat manusia dan perang merupakan faktor utama dalam pembentukan negara itu sendiri (1992:87). Selanjutnya Tom Bottomore mengatakan bahwa perang itu merupakan sarana kebijakan dan bentuk penjelmaannya sangat dipengaruhi oleh kondisi sosial dan budaya (ibid). Perubahan politik dibedakan menjadi tiga, yaitu perubahan sistem, perubahan di dalam sistem, dan perubahan karena dampak berbagai kebijakan umum (Surbakti, 1992: 243). Lebih lanjut Surbakti menjelaskan: Perubahan sistem ialah perubahan yang terjadi pada ketiga elemen sekaligus. Perubahan ini bersifat radi- kal (perubahan dengan akar-akarnya) karena tidak saja struktur dan strategi kebijakan yang berubah, tetapi juga sistem yang lain yang justru mempengaruhi ketiga objek revolusi, yaitu kegiatan kolektif warga masyarakat yang sedikit banyak bersifat kekerasan untuk mengganti sistem politik yang ada dengan sistem baru yang dianggap lebih baik. Perubahan di dalam sistem menjadi garis politik kaum reformis. Pada tipe ini sistem nilai, struktur kekuasaan dan strategi menangani proses kebijakan pada dasarnya tidak mengalami perubahan yang berarti meskipun pemimpin pemerintahan dan isi kebijakan umum mengalami perubahan. Perubahan yang diperjuangkan di dalam kerangka sistem politik yang ada. Tipe perubahan ketiga berkaitan dengan dampak berbagai kebijakan pemerintah terhadap lingkungan masyarakat dan lingkungan fisik. Dahrendorf membedakan perubahan sosial dan politik menjadi perubahan secara tiba-tiba (sudden) dan perubahan secara radikal (dalam Surbakti, 1992: 245). Ia menilai bahwa perubahan elit politik atau pemimpin pemerintahan merupakan kondisi bagi perubahan sistem nilai, struktur kekuasaan , dan strategi menangani kebijakan umum. Perubahan secara tiba-tiba atau revolusioner (yang biasanya ditimbulkan dengan konflik yang bersifat kekerasan) belum tentu menghasilkan perubahan struktural secara radikal, tetapi perubahan yang ditimbulkan oleh konflik yang sangat intens cenderung bersifat radikal. Menurut Dahredorf, makin intens konflik kelas, makin radikal perubahan yang ditimbulkan, dan semakin bersifat kekerasan suatu konflik kelas maka semakin tiba- tiba perubahan yang terjadi. Konflik sosial dan politik dalam kerajaan yang dikisahkan dalam Nyali mengakibatkan perubahan yang cukup radikal. Gerakan pemberontakan dan kudeta terhadap pe- merintahan (Baginda Raja) mengakibatkan berubahnya sistem negara tersebut. Sebelumnya negara ini menganut sistem pemerintahan monarkhi (otokrasi tradisional) dengan raja sebagai kepala negara. Negara ini pada mulanya mengandalkan sistem agraris sebagai penopang perekonomian. Berdasarkan distribusi kekuasaan, maka kekuasaan Baginda Raja adalah model elit (lihat Surbakti, 1992: 74-75). Kelas yang memerintah terdiri dari sedikit orang, melaksanakan fungsi politik, memonopoli kekuasaan, dan menikmati keuntungan-keuntungan yang ditimbulkan

kekuasaan. Kekuasaan model ini menghindari perubahan yang revolusioner dan mobilitas nonelit untuk mencapai kedudukan elit berjalan lambat. Di dalam negara dengan model elit yang memerintah, seringkali muncul kelompok-kelompok pelawan elit. Seringkali pelawan elit ini menggunakan kekerasan dalam memper- juangkan aspirasinya. Menurut tipe ini, para pemimpin berorientasi pada khalayak dengan cara menentang segala bentuk kemampanan. Kelompok elit terdiri dari sayap kiri yang menuntut perubahan secara radikal dan revolusioner dan sayap kanan yang menentang perubahan sosial, budaya, ekonomi dan politik (lihat Surbakti: 1992:76).Tetapi setelah terjadinya kudeta dan terjadinya peralihan kewenangan secara paksa dari Bagainda Raja kepada Jendral Leonel, maka sistem negara tersebut diubah menjadi republik dengan industri sebagai penopang utama perekonomian. Ia bersedia menjadi pemimpin menggantikan baginda, tetapi ia tidak mau sebuah kerajaan. Ia menginginkan sebuah republik. Diluar dugaan keinginannya itu tidak mendapat tantangan. Apa saja yang dikehendakinya, asal saja ia mau menjadi pemimpin, pasti akan diterima. (halaman 80) Rakyat menikmati buah kemerdekaan setelah pertumpahan darah yang penghabisan (halaman 83) Usaha untuk menjadikan negeri itu untuk tidak tergantung lagi pada tanah sudah mulai dilakukan. Rencana- rencana pembangunan beberapa buah industri disebarkan. Sawah dirubah menjadi rimba beton yang setiap hari akan gemuruh menggerakkn asap ke udara --sambil menghisap ribuan tenaga kerja. (halaman 84) Sejalan dengan datangnya perdamaian dan masa-masa pembangunan wajah setiap orang menemukan bentuknya. Pribadi masing-masing berkembang. Ilmu digalakkan dan diserakkan lebih objektif. Jalan pikiran tumbuh dengan bebas.... (halaman 84) Kepemimpinan Leonel setelah menumbangkan rezim lama bersifat ekstrimis. Ia berupaya menghancurkan seluruh rezim lama dan menggantinya dengan sistem yang sama sekali baru. Organisasi politik, yakni militer yang dimilikinya sangat kuat, patuh dan disiplin dan menggunakan kekerasan dalam mencapai tujuannya. Masa peralihan kewenangan dan kekuasaan ini merupakan masa transisi. Meskipun dalam Nyali masa transisi telah terlewati, namun sesungguhnya terdapat benih-benih konflik. Sistem politik mengalami masa transisi, karena terjadinya perubahan masyarakat dari bentuk tradisional yang berstruktur sederhana menjadi masyarakat modern yang berstruktur kompleks. Struktur masyarakat yang kompleks ditandai oleh deferensiasi struktur dan spesialisasi peranan dan hubungan-hubungan impersonal yang sudah meluas sehingga masyarakat ini memerlukan pengaturan-pengaturan yang bersifat tertulis dan rasional (Surbakti,1992:88) Pada situsi ini terjadi banyak perubahan termasuk tingkat pendidikan, peningkatan aspirasi dan harapanharapan baru. Karena perubahan-perubahan tersebut tidak aneh jika terjadi krisis, sehingga berakibat masyarakat mempertanyakan prinsip-prinsip yang mendasari legitimasi kewenangan Jendral Leonel sebagai presiden. Krisis ini juga ditandai oleh melemahnya dukungan masyarakat terhadap lembaga- lembaga politik. Pada akhirnya kewenangan Jendral Leonel kehilangan legitimasinya karena banyak orang tidak mengakui hak moral penguasa untuk memerintah. Perubahan yang terjadi tidak memuaskan semua orang. Beberapa kalangan mempertanyakan perubahan ini. Pada suatu ketika Jendral Leonel mendapat pertanyaan langsung dari seseorang

tentang perubahan tersebut. "Jendral, apa gunanya kerajaan yang bebas dan merdeka ini harus merubah sistem pemerintahan menjadi re- publik? Apa yang ingin dicapai? Apa yang tidak tercapai ketika dulu tampak pemerintahan dipegang turun- temurun oleh Baginda Raja?" Perubahan ini akhirnya menimbulkan konflik baru. Konflik tersebut diakibatkan oleh ketidakpuasan sebagian rakyat terhadap kepemimpinan Jendral Leonel. Beberapa keteledoran pada pelaksanaan program kebijakan menyebabkan semakin memanasnya situasi politik. Pengadilan memutuskan perkara secara tidak adil, sehingga menimbulkan kehebohan di kalangan media massa. Korupsi tidak dapat dihindarkan lagi. Demikian juga dengan tuntutan terhadap rekonstruksi peristiwa berdarah pada akhir Orde Lama dan awal Orde Baru semakin memperparah keadaan. Rakyat menuntut agar Jendral Leonel mengungkapkan fakta yang sesungguhnya dari peristiwa pada masa lalu yang meminta banyak korban. Tuntutan ini termanifestasi dalam bentuk demonstrasi mahasiswa dan artikel-artikel di media massa. "Tidak ada batasnya untuk meragukan. Untuk menilai sesuai dengan kodrat kita sebagai bangsa yang mawas diri. Segala sumbangan pikiran untuk pembangunan adalah kongkrit dan mutlak adanya. Menyuruh orang berhenti untuk meragukan dan mengkritik sama saja dengan menegakkan tirani, satu hal yang saya kira sangat ditentang oleh Yang Terhormat Jendral Leonel sendiri. Karena itu buka. Kalau perlu bentuk sebuah tim khusus untuk menangani soal besar ini. Sidangkan. Beberkan kepada rakyat. Jangan disembunyikan lagi. Kita semua orang merdeka dan pantas melihat kebe- naran!" (halaman 87) Pada saat situasi politik semakin memanas karena munculnya konflik baru ini, sisa-sisa gerombolan Zabaza memulai lagi aktivitasnya. Kropos yang mengasingkan diri di sebuah ladang yang sunyi dijemput oleh beberapa orang sisa gerombolan Zabaza dan mengajak untuk memulai aktivitasnya. Kropos setuju dengan ajakan in BAB III NOVEL NYALI DAN REALITAS SOSIAL Dalam bab ini penulis membahas kaitan antara sastra dan realitas sosial . Seperti yang telah disebutkan pada bab pendahuluan bahwa karya sastra mencerminkan kenyataan sosial. Demikian halnya dengan novel Nyali. Dalam konteks ini penulis membuktikan adanya kesejajaran antara konflik sosial dan politik dalam novel Nyali dengan konflik sosial dan politik pada kurun sejarah tersebut. Namun demikian, sebagai sebuah karya kreatif kesejajaran tersebut bukan sebagai menjiplak realitas sejarah. Karya sastra memilih bahan yang terdapat dalam masyarakat (termasuk realitas sejarah), mengolahnya dengan dipadu oleh imajinasi pengarang, sehingga realitas dalam novel Nyali dengan realitas dalam sejarah masyarakat Indonesia tidak sama persis. Kesejajaran antara novel Nyali dengan kenyataan sejarah masyarakat Indonesia pada masa Orde Lama dan sekitar kelahiran Orde Baru ditekankan pada konflik sosial dan politik yang terjadi pada kurun waktu sejarah tersebut. Kesejajaran ini bukan berarti sama persis, akan tetapi hanya pada beberapa bagian dari sejarah tersebut mempunyai kesamaan dengan konflik sosial dan politik yang tercermin dalam novel Nyali. Kesejajaran tersebut menyangkut periode sejarah, kondisi sosial dan politik yang mengakibatkan timbulnya konflik, kekuatan-kekuatan yang terlibat dalam konflik, serta konflik dan perubahan sosial-politik. Kurun waktu sejarah yang

relevan dengan permasalahan ini adalah pada masa menjelang dan kurun waktu Demokrasi Terpimpinlagi sebagai ideologi melainkan wujud dari pimpinan yang berupa pribadi seorang pemimpin (Gazali, dkk. 1989:100). , yakni mulai tahun 1957 sampai dengan 1965, peristiwa G-30-S/PKI dan masa kelahiran Orde Baru. 3.1.. Periode Sejarah Seperti yang telah penulis bahas pada bab sebelumnya bahwa negara yang dikisahkan dalam novel Nyali memiliki dua periode sejarah, yakni pada masa monarkhi dan masa republik. Pada masa monarkhi (Orde Lama)sejarah. negara (kerajaan) senantiasa diwarnai oleh konflik sosial dan politik yang tajam yang mencapai puncaknya pada peristiwa pem- brontakan atau kudeta. Kudeta dan pembersihan terhadap gerombolan yang dianggap bertanggungjawab terhadap tin- dakan itu serta tampilnya tentara (Jendral Leonel) telah mengantarkan negara itu kepada zaman baru, yakni masa republik (Orde Baru). Pada masa Orde Baru muncul konflik politik yang termanifestasi dalam bentuk demonstrasi- demonstrasi yang menggugat kebijakan pemerintahan Jendral Leonel dan menuntut rekonstruksi peristiwa berdarah pada masa lalu. Demonstrasi-demonstrasi ini diduga didalangi oleh Zabaza baru. Dalam situasi yang penuh konflik, sisa- sisa gerombolan Zabaza mengkonsolidasikan diri dan memulai aktivitasnya seperti pasa masa Orde Lama (masa kerajaan). Hal ini mempunyai kesejajaran dengan periode sejarah Indonesia pasca kemerdekaan, yakni Orde Lama dan Orde Baru. Pada masa Orde Lama, Indonesia terus menerus dihadapkan pada konflik sosial dan politik yang mencapai puncaknya pada tahun 1965 dengan meletusnya Gestapu atau G-30-S/PKI. Kudeta dan tampilnya militer (Angkatan Darat) yang dipimpin oleh Mayjen Soeharto dalam menumpas pim- pinan, kader-kader, dan anggota PKI beserta organisasiorganisasi yang berafiliasi dengannya telah mengantarkan Indonesia memasuki masa baru yang dinamakan Orde Baru. Pada masa Orde Baru ini muncul konflik baru yang termanifestasikan dalam bentuk demonstrasi mahasiswa yang memprotes beberapa kebijakan pemerintahan Orde Baru, diantaranya kasus tanah, perburuhan, pendekatan keamanan, dan hak azasi manusia. Dalam beberapa kasus, ketika muncul aksi protes, pemerintah sering melontarkan tuduhan bahwa aksi tersebut didalangi oleh sisa-sisa PKI. Kasus pem- bangunan waduk Kedong Ombo misalnya, para petani dituduh didalangi oleh sisa-sisa PKI. Pada masa Orde Baru juga terdapat indikasi bahwa sisa-sisa anggota PKI mulai mengkonsolidasikan diri. 3.2. Kondisi Sosial dan Politik Negara yang dikisahkan dalam novel Nyali senantiasa dihadapkan pada konflik sosial dan politik yang berkepanjangan. Konflik termanifestasikan dalam bentuk fragmentasi dalam tubuh militer, perbedaan pendapat tentang bentuk pemerintahan, pertentangan ideologi, kekerasan, sampai menjurus kepada pembrontakan yang mengakibatkan jatuhnya banyak korban dan berakibat pada berubahnya sistem sosial dan politik. "....Baginda tahu sendiri selain Zabaza banyak sekali dendam, sengketa, keinginan membunuh yang ada di seluruh kerajaan...." (halaman 42)

Sejarah Indonesia pada masa Orde Lama juga senantiasa diwarnai oleh konflik sosial dan politik. Pada masa Orde Lama, baik pada masa Demokrasi Liberal maupun Demokrasi Terpimpin, sistem politik dan struktur masyarakatnya belum stabil. Hal ini mengingat kemajemukan masyarakat Indonesia. Kemajemukan masyarakat ini ditandai dengan beraneka suku bangsa, agama, aliran politik, bahasa, adat istiadat, dan lain-lain. Selain itu dalam bidang politik masyarakat terpolarisasi dalam beberapa aliran politik dan ideologi yang kadang saling bertentangan. Demikian juga dengan perbedaan kepentingan di antara kelompok-kelompok masyarakat. Perbedaan kepentingan inilah merupakan penyebab timbulnya konflik. Selain itu upaya dalam memperjuangkan kepentingan yang berbeda merupakan faktor yang memperlebar konflik; perjuangan untuk memperebutkan dan atau mempertahankan sumber daya langka. Demikian halnya dengan sistem distribusi kekuasaan dan perekonomian yang tidak memiliki keseimbangan. R. J. Robinson membuat analisis mengenai distribusi kekuasaan ini dan membandingkan dengan distribusi bidang-bidang ekonomis strategis. Menurut R. J. Robinson: Distribusi kekuasaan dan kendali ekonomi dapat dilihat dari peranan birokrat politik yang menguasai jabatan-jabatan kuasa dan kendali wibawa dalam partai dan peralatan negara. Ciri penting dari birokrat politik baru ini ialah terjadinya pencampuran (fusi) antara kekuasaan politik dan otoritas birokrasi, artinya, perangkat negara diraih oleh sekelompok kecil pemimpin partai. Wahana yang digunakan untuk meraih kekuasaan negara ini ialah partai-partai politik dan faksifaksi yang menjamin kendali atas sektor-sektor peralatan negara yang strategis sebagai objek permainan dan pertarungan dan membagi diantara mereka departemen-departemen yang mengawasi jalur perdagangan dan kebijakan ekonomi, bank-bank, dan perusahaan-perusahaan negara. Kedudukan dan jabatan yang secara ekonomis strategis ditempati oleh para pejabat partai dan militer, pendukung politik dan para kerabat, dengan tujuan untuk membiayai operasi politik oleh faksi-faksi yang bersangkutan dan menciptakan basis untuk membangun kemakmuran pribadi para individu pemegang kuasa. Dengan menggunakan kekuasaan yang diperolehnya dengan cara di atas untuk melangsungkan pembagian lisensi, konsesi, kredit dan kontrak, kaum birokrat politik ini berhasil mengamankan kedudukan-kedudukan monopoli dalam sektor impor sebagai distributor komoditi.an yang ditinjau dari akar sejarah lahirnya borjuasi nasional.

Kondisi seperti tersebut di atas telah menyebabkan timbulnya konflik dalam bidang ekonomi. Dalam kaitan ini Robinson. ibid menjelaskan:Dalam lapangan ekonomi konflik yang terjadi terlihat dari pertarungan memperebutkan lisensi impor yang dibagikan melalui program banteng, dan dalam konflik tentang kebijaksanan fiskal pemerintah pusat; kebijaksanaan tersebut sangat merugikan para produsen di luar Jawa dan turut menimbulkan pembrontakan daerah melawan pusat pada akhir tahun 1950-an. Selama dekade pertama, kekuasaan politik berada di tangan koalisi partai-partai politik, suatu koalisi yang sering goyah dan silih berganti. Tidak satu pun dari partai-partai ini yang bersandar atas suatu basis sosial yang kuat dan tangguh. Konflik politik cenderung berbentuk pertarungan memperebutkan jabatan politik. Pada masa Orde Lama ini konflik politik terjadi baik pada masa Demokrasi Liberal dan Demokrasi Terpimpin. Pada masa Demokrasi Liberal diwarnai dengan konflik politik yang tidak

jarang menimbulkan bentrokan fisik. Alfian mencatat: Pada masa Demokrasi Liberal kekuasaan politik boleh dikatakan seluruhnya berada di tangan kaum politisi sipil yang berpusat di parlemen. Dalam badan legislatif itu sendiri duduk politisipolitisi yang mewakili banyak partai politik atau golongan. Kekuasaan kaum politisi sipil dengan multipartai dan parlemennya merupakan ciri khas dari Demokrasi Liberal yang juga sering disebut sebagai Demokrasi Parlementer. Akan tetapi, proses politik yang berkembang di dalam sistem itu diwarnai oleh konflik-konflik politik dan ideologi yang kadang-kadang melahirkan bentrokan fisik atau pembrontakan. Terlalu banyaknya partai politik dan semakin meningkatnya pertentangan pen- dapat atau ideologi telah menjadikan Demokrasi Liberal suatu sistem politik yang tidak stabil, sebagaimana terlihat sering bergantinya kabinet.. Lihat Alfian. 1992. Pemikiran dan Perubahan Politik. Jakarta: Gramedia. Halaman 3-4.

Lebih lanjut Alfian mengatakan bahwa: Zaman Demokrasi Liberal konflik politik terjadi secara bebas dan praktis tanpa kekangan, sehingga sering memperlihatkan sifat-sifatnya yang negatif. Konflik yang pada awalnya berkadar rendah berupa perbedaan pendapat dengan mudah bergejolak tinggi, mengeras menjadi bentrokan fisik atau pembrontakan.. ibid. Halaman 6. Pembrontakan atau kudeta pada masa Orde Lama dapat dicatat antara lain pembrontakan Republik Maluku Selatan (RMS), Darul Islam di bawah pimpinan Kartosuwiryo di Jawa Barat, Kahar Muzakar di Sulawesi Selatan, dan di Aceh di bawah pimpinan Daud Beureueh. Demikian juga dengan bentuk- bentuk pembangkangan daerah terhadap pusat pada tahun 1956. Pada tanggal 20 Desember 1956 Ahmad Husein, Panglima Sumatra Barat mengadakan kudeta dengan mengambil alih pemerintahan propinsi. Pada bulan yang sama juga terjadi gerakan pembangkangan serupa di Sumatra Utara di bawah pimpinan Kolonel Simbolon selaku Panglima di Sumatra Utara. Sedangkan di Sumatra Selatan, Kolonel Barlian memutuskan ketergantungannya pada Jakarta. Pada tanggal 2 Maret 1957, Kolonel Samual, Panglima Indonesia bagian Timur mengumumkan negara dalam keadaan darurat perang di seluruh wilayah komandonya. Tujuan tindakannya adalah menempatkan administrasi sipil pemerintahannya di bawah militer yang pengaruhnya sama dengan kudeta yang dilakukan Kolonel Husein di Sumatra Barat. Di Sulawesi, pengambil- alihan kekuasaan oleh Samual telah disertai dengan suatu pengumuman Piagam Perjuangan Semesta/Permesta.. Lihat John D. Legge. 1985. Sukarno, Sebuah Biografi Politik. Jakarta: Sinar Harapan. Hal. 328-329. Konflik politik yang tajam juga terjadi dengan munculnya gerakan-gerakan daerah seperti Dewan Gadjah (Sumatra Utara) dan Dewan Banteng (Sumatra Barat) sesudah pemilihan umum 1955. Hal ini disebabkan oleh ketidakpuasan atau ketidakpercayaan terhadap kebijaksanaan pemerintah pusat. Konflik ini diperparah dengan pertentangan ideologi serta sikap kaku yang diambil oleh sejumlah pimpinan dan politisi, yang selanjutnya membawa krisis politik Indonesia kepada meletusnya prmbrontakan PRRI/Permesta di tahun 1958.. Uraian selanjutnya lihat Alfian. op cit. Halaman 36. Selain pembrontakan juga sering terjadi penyelundupan sebagai akibat dari konflik ekonomi yang mempunyai ten- densi politik. Penyelundupan tersebut antara lain terjadi di Sulawesi Utara

yang didukung oleh tentara. Letkol Worang dan Andi Mattalata melakukan penyelundupan berdasarkan perintah Kolonel J. F. Warrouw dan Kolonel Simbolon. Rekor penyelundupan terbesar terjadi pada bulan Juli 1956 di teluk Nibong yang diprakarsai oleh Kolonel Simbolon. Dan Divisi Diponegoro sejak tahun 1958 melakukan penyelundupan, ekspor-impor berbagai barang, dan per- dagangan gula dan kapuk. Menurut analisis Alfian. Ibid , penyelundupan tersebut merupakan manifestasi dari perebutan dan persaingan antara daerah dalam kaitannya dengan perekonomian, terutama karena masalah pendapatan devisa luar negeri. Barang-barang ekspor diambil dari pulau-pulau di luar Jawa, sehingga menimbulkan anggapan bahwa Jawa yang padat penduduknya hidup sebagai parasit dari hasil-hasil mereka. 3.3. Kekuatan Politik Dominan Seperti yang telah diuraikan pada bab tiga, bahwa kekuatan politik yang terlibat dalam konflik ada tiga, yakni Baginda Raja, Gerombolan Zabaza dan Jendral Leonel (tentara kerajaan). Sedangk