107
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit ISPA merupakan salah satu penyakit menular yang meliputi infeksi saluran pernafasan akut bagian atas dan infeksi saluran pernafasan akut  bagian bawah (  Pneumonia). ISPA bagian atas mengakibatkan kematian pada anak dalam jumlah kecil, tetapi dapat menyebabkan kecacatan misalnya otitis media yang me rupa kan pe ny ebab ketuli an. Seda ngkan hamp ir sel ur uh kematian karena ISPA pada anak kecil disebabkan oleh ISPA bagian bawah, (  pneumonia) (!", #$$%).  Pneumonia di juluki de ngan seb ut an &the  forgotten killer of children& yaitu pembunuh anak'anak yang terlupakan dan  penyebab kematian anak'anak paling tinggi dari pada penyakit yang lain (Arta, #$$). Angka kematian akibat penyakit infeksi pernafasan di dunia, mencapai juta kemat ian bayi per tahun dan  Pneumonia menjadi penyebab dari % kemati an pada balita di dunia . Sedan gkan Indonesi a mend uduki pering kat keenam duni a, dengan jum lah kasus  Pneumonia ana k terb any ak (!", #$$*). +enurut data Susenas tahun #$$%, angka kematian anak di Indonesia adalah sebesar *#.$$$ per tahun. ari sur-ei mortalitas yang dilakukan oleh Subd it ISP A tahu n #$$% menempat kan ISPA  Pneumonia sebagai penyebab kematian bayi terbesar di Indonesia, dengan persentase ##,$/ dari seluruh kematian balita.

Skripsi _Della Oktaviani

Embed Size (px)

DESCRIPTION

SKRIPSI FKM UNSRI

Citation preview

BAB I

PAGE 101

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar BelakangPenyakit ISPA merupakan salah satu penyakit menular yang meliputi infeksi saluran pernafasan akut bagian atas dan infeksi saluran pernafasan akut bagian bawah (Pneumonia). ISPA bagian atas mengakibatkan kematian pada anak dalam jumlah kecil, tetapi dapat menyebabkan kecacatan misalnya otitis media yang merupakan penyebab ketulian. Sedangkan hampir seluruh kematian karena ISPA pada anak kecil disebabkan oleh ISPA bagian bawah, (pneumonia) (WHO, 2005). Pneumonia dijuluki dengan sebutan the forgotten killer of children yaitu pembunuh anak-anak yang terlupakan dan penyebab kematian anak-anak paling tinggi dari pada penyakit yang lain (Arta, 2009).Angka kematian akibat penyakit infeksi pernafasan di dunia, mencapai 1 juta kematian bayi per tahun dan Pneumonia menjadi penyebab 1 dari 5 kematian pada balita di dunia. Sedangkan Indonesia menduduki peringkat keenam dunia, dengan jumlah kasus Pneumonia anak terbanyak (WHO, 2006). Menurut data Susenas tahun 2005, angka kematian anak di Indonesia adalah sebesar 162.000 per tahun. Dari survei mortalitas yang dilakukan oleh Subdit ISPA tahun 2005 menempatkan ISPA Pneumonia sebagai penyebab kematian bayi terbesar di Indonesia, dengan persentase 22,30% dari seluruh kematian balita.Di Provinsi Sumatera Selatan tahun 2008, jumlah kasus ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Akut) pada balita mencapai 213.316 kasus. Kota Prabumulih yang merupakan salah satu wilayah yang ada di Sumatera Selatan, memiliki angka kejadian ISPA pada balita yang cukup tinggi. Dari laporan bulanan Program P2 ISPA Dinas Kesehatan Kota Prabumulih tahun 2009, angka kejadian ISPA pada balita mencapai 10.148 kasus (87,04%) untuk seluruh wilayah kerja Dinas Kesehatan Kota Prabumulih. Puskesmas Cambai merupakan salah satu Pusat Layanan Kesehatan Masyarakat yang ada di wilayah kerja Dinas Kesehatan Kota Prabumulih. Berdasarkan data yang ditemukan di Puskesmas Cambai, masalah ISPA masih merupakan masalah kesehatan masyarakat yang perlu diperhatikan. Dari 10 daftar penyakit terbanyak yang ada di Puskesmas Cambai, ISPA menduduki peringkat pertama selama 3 tahun berturut-turut (2007-2009), dan angka kejadian penyakit ISPA pada setahun terakhir ini yaitu tahun 2009 mencapai angka 1.116 kasus ( 54,09%) selama periode Januari-Desember. Puskesmas Cambai mempunyai 5 wilayah kerja yaitu Kelurahan Cambai, Kelurahan Sindur, Kelurahan Pangkul, Kelurahan Muara Sungai, dan Kelurahan Sungai Medang. Dari kelima Kelurahan tersebut, Kelurahan Cambai merupakan Kelurahan yang memiliki angka kejadian ISPA pada balita yang paling tinggi selama kurun waktu 3 tahun terakhir. Pada tahun 2008 angka kejadian ISPA pada balita meningkat menjadi 120 kasus (27,23%) dari tahun 2007 dan kembali meningkat pada tahun 2009 menjadi 262 kasus (52,81%) (Profil Puskesmas Cambai tahun 2009).Lingkungan rumah merupakan salah satu faktor yang memberikan hubungan besar terhadap status kesehatan penghuninya (Notoatmodjo, 2003). Di Indonesia rumah sehat dibagi menjadi tiga kategori yaitu kategori baik, kategori sedang dan kategori kurang. Persentase rumah sehat di Indonesia kategori baik mencapai 35,3%, kategori sedang 39,8% dan kategori kurang 24,9%. Target rumah sehat di Indonesia sebesar 80%, dari kategori rumah sehat di atas tidak ada yang memenuhi target, sehingga rumah sehat di Indonesia belum tercapai (Depkes RI, 2000). Berdasarkan Profil Puskesmas Cambai tahun 2009, rumah penduduk di Kelurahan Cambai dibedakan menjadi 2 yaitu rumah yang memenuhi syarat kesehatan sebanyak 413 rumah (47,4%) dan rumah yang tidak memenuhi syarat kesehatan sebanyak 459 rumah (52,6%).

Masih tingginya kepemilikan rumah atau tempat tinggal yang tidak memenuhi syarat kesehatan dapat mendukung terjadinya penularan penyakit dan gangguan kesehatan, diantaranya adalah infeksi saluran nafas (Yunihasto, 2007). Beberapa hal yang dapat mempengaruhi kejadian penyakit ISPA pada balita adalah kondisi fisik rumah, kebersihan rumah, kepadatan penghuni dan pencemaran udara dalam rumah (Iswarini dan Wahyu, 2006). Selain itu juga faktor kepadatan penghuni, ventilasi, suhu dan pencahayaan (Ambarwati dan Dina, 2007). Menurut penelitian Wicaksono (2009), rumah yang jendelanya tidak memenuhi persyaratan menyebabkan pertukaran udara tidak dapat berlangsung dengan baik, akibatnya asap dapur dan asap rokok dapat terkumpul dalam rumah, bayi dan anak yang sering menghisap asap tersebut di dalam rumah lebih mudah terserang ISPA. Rumah yang lembab dan basah karena banyak air yang terserap di dinding tembok dan cahaya matahari pagi yang sulit masuk dalam rumah juga memudahkan anak-anak terserang ISPA. Berdasarkan hasil penelitian Nindya dan Sulistyorini (2005), diketahui bahwa rumah yang ventilasinya tidak memenuhi syarat kesehatan 74% berpotensi terhadap kejadian Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) pada balita. Selain itu menurut Soemirat (2002), masyarakat dengan tingkat pendidikan dan pengetahuan tentang kesehatan yang rendah tentunya akan berhubungan terhadap status kesehatannya.Namun, hingga saat ini belum ada penelitian yang menganalisa hubungan antara luas lantai rumah, tempat pembuangan sampah, jamban, dan SPAL terhadap kejadian ISPA pada balita. Berdasarkan hal tersebut peneliti ingin mengetahui apakah ada hubungan antara kondisi fisik rumah yang meliputi atap, lantai, dinding, ventilasi, luas lantai, kepadatan penghuni, tempat pembuangan sampah, dan perilaku keluarga (pengetahuan dan sikap) terhadap kejadian ISPA pada balita di Kelurahan Cambai Kota Prabumulih Tahun 2010.B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah apakah ada hubungan antara kondisi fisik rumah dan perilaku keluarga dengan kejadian Penyakit ISPA pada balita di Kelurahan Cambai tahun 2010.C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Mengetahui hubungan kondisi fisik rumah dan perilaku keluarga dengan kejadian penyakit ISPA pada balita di Kelurahan Cambai tahun 2010.2. Tujuan Khususa. Mengetahui gambaran distribusi perilaku keluarga (tingkat pengetahuan dan sikap) terhadap kejadian ISPA pada balita.b. Mengetahui gambaran distribusi kondisi fisik rumah (jenis atap, jenis lantai, dinding, ventilasi, jumlah kepadatan penghuni rumah, luas rumah, tempat pembuangan sampah) terhadap kejadian ISPA pada balita.c. Mengetahui hubungan antara tingkat pengetahuan keluarga dengan kejadian ISPA pada balita.

d. Mengetahui hubungan antara sikap keluarga dengan kejadian ISPA pada balita.

e. Mengetahui hubungan antara kondisi fisik rumah (jenis atap, jenis lantai, dinding, ventilasi, jumlah kepadatan penghuni rumah, luas rumah, tempat pembuangan sampah) dengan kejadian penyakit ISPA pada balita.D. Manfaat Penelitian

1. Bagi Peneliti

a. Menambah wawasan keilmuan di bidang epidemiologi, pendidikan/promosi kesehatan, dan kesehatan lingkungan khususnya mengenai kondisi fisik rumah, perilaku keluarga terhadap kejadian ISPA pada balita.

b. Sebagai sarana untuk mengaplikasikan ilmu yang di dapat di bangku kuliah. 2. Bagi Fakultas Kesehatan Masyarakat

Dapat dijadikan sebagai bahan tambahan kajian dan pengembangan ilmu pengetahuan di bidang Kesehatan Lingkungan (Kesling) dan dapat bermanfaat sebagai bahan kajian untuk pelaksanaan penelitian selanjutnya serta sebagai referensi pengetahuan bagi mahasiswa FKM Unsri.3. Bagi Puskesmas Cambai

Sebagai bahan masukan bagi petugas puskesmas sehingga dapat dikembangkan upaya-upaya untuk memasyarakatkan penanggulangan penyakit ISPA pada balita di wilayah kerjanya.E. Ruang Lingkup Penelitian

1. Lingkup Lokasi

Penelitian ini akan dilaksanakan di Kelurahan Cambai Kota Prabumulih.2. Lingkup Waktu

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April sampai dengan bulan Juni 2010.3. Lingkup Materi

Materi penelitian ini adalah kondisi fisik rumah (jenis atap, jenis lantai, dinding, ventilasi, jumlah kepadatan penghuni rumah, luas rumah, penyediaan air bersih, tempat pembuangan sampah), perilaku keluarga (tingkat pengetahuan dan sikap) yang memiliki balita, serta kejadian ISPA pada balita.BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Rumah Sehat

1. Pengertian Rumah Sehat

Menurut Azrul Azwar (1997) rumah mempunyai arti sebagai berikut:

a. Sebagai tempat untuk melepaskan lelah, beristirahat setelah penat melaksanakan kewajiban sehari-hari.

b. Sebagai tempat untuk bergaul dengan keluarga atau membina rasa kekeluargaan bagi segenap anggota keluarga yang ada.

c. Sebagai tempat untuk melindungi diri dari bahaya yang datang mengancam.

d. Sebagai lambang status sosial yang dimiliki dan masih dirasakan hingga saat ini.

e. Sebagai tempat untuk meletakkan atau menyimpan barang-barang berharga yang dimiliki.

Rumah adalah bangunan yang berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian dan sarana pembinaan keluarga. (Menkes RI, 1999)Rumah adalah struktur fisik terdiri dari ruangan, halaman dan area sekitarnya yang dipakai sebagai tempa t tinggal dan sarana pembinaan keluarga. (UU RI No. 4 Tahun 1992).

Menurut (Dinkes, 2005), rumah sehat adalah proporsi rumah yang memenuhi kriteria sehat minimum komponen rumah dan sarana sanitasi dari tiga komponen (rumah, sarana sanitasi dan perilaku) di satu wilayah kerja pada kurun waktu tertentu. Secara umum rumah dapat dikatakan sehat apabila memenuhi kriteria yaitu (Dinkes, 2005):

a. Memenuhi kebutuhan fisiologis meliputi pencahayaan, penghawaan, ruang gerak yang cukup, dan terhindar dari kebisingan yang mengganggu.

b. Memenuhi kebutuhan psikologis meliputi privacy yang cukup, komunikasi yang sehat antar anggota keluarga dan penghuni rumah.

c. Memenuhi persyaratan pencegahan penularan penyakit antar penghuni rumah meliputi penyediaan air bersih, pengelolaan tinja, limbah rumah tangga, bebas vektor penyakit dan tikus, kepadatan hunian yang tidak berlebihan, dan cukup sinar matahari pagi.

d. Memenuhi persyaratan pencegahan terjadinya kecelakaan baik yang timbul karena keadaan luar maupun dalam rumah, antara lain fisik rumah yang tidak mudah roboh, tidak mudah terbakar dan tidak cenderung membuat penghuninya jatuh tergelincir.Rumah sehat dapat diartikan sebagai tempat berlindung/bernaung dan tempat untuk beristirahat sehingga menumbuhkan kehidupan yang sempurna baik fisik, rohani maupun sosial (Sanropie, 1991).Jadi rumah sehat adalah bangunan tempat berlindung dan beristirahat serta sebagai sarana pembinaan keluarga yang menumbuhkan kehidupan sehat secara fisik, mental dan sosial, sehingga seluruh anggota keluarga dapat bekerja secara produktif.

2. Persyaratan Rumah Sehat

a. Memenuhi Kebutuhan Fisiologis

Menurut Kepmenkes No. 829/Menkes/SK/VII/1999 rumah sehat harus memenuhi kebutuhan fisiologis, misalnya adalah pencahayaan, ventilasi (penghawaan), Gangguan suara/kegaduhan, bahan bangunan, komponen dan penataan ruangan, kualitas udara, serta cukup tempat bermain anak.

1. Pencahayaan

Cahaya matahari sangat penting, karena dapat membunuh bakteribakteri patogen di dalam rumah, misalnya bakteri penyebab penyakit ISPA dan TBC. Oleh karena itu, rumah yang sehat harus mempunyai jalan masuk cahaya yang cukup. Jalan masuk cahaya (jendela) luasnya sekurang-kurangnya 15% sampai 20% dari luas lantai yang terdapat di dalam ruangan rumah (Azwar, 1997). Pencahayaan alami menurut Suryanto (2003), dianggap baik jika besarnya antara 60120 lux dan buruk jika kurang dari 60 lux atau lebih dari 120 lux. Hal yang perlu diperhatikan dalam membuat jendela, perlu diusahakan agar sinar matahari dapat langsung masuk ke dalam ruangan, dan tidak terhalang oleh bangunan lain. Fungsi jendela di sini, di samping sebagai ventilasi juga sebagai jalan masuk cahaya. Lokasi penempatan jendela pun harus diperhatikan dan diusahakan agar sinar matahari lebih lama menyinari lantai (bukan menyinari dinding), maka sebaiknya jendela itu harus di tengah-tengah tinggi dinding (tembok).2. Ventilasi (Penghawaan)

Ventilasi adalah lubang penghawaan pada ruangan agar sirkulasi udara dalam ruangan menjadi baik (Dirjen P2MPL, 2002). Secara umum, penilaian ventilasi rumah dengan cara membandingkan antara luas ventilasi dan luas lantai rumah. Menurut indikator penghawaan rumah, luas ventilasi yang memenuhi syarat kesehatan adalah > 10% luas lantai rumah dan luas ventilasi yang tidak memenuhi syarat kesehatan adalah < 10% luas lantai rumah. Umumnya temperatur kamar 220C 330C sudah cukup segar. Pergantian udara bersih untuk orang dewasa adalah 33 m3/orang/jam, kenyamanan udara berkisar 60% optimum (Sanropie, 1991).Rumah dengan luas ventilasi yang tidak memenuhi syarat kesehatan akan membawa pengaruh bagi penghuninya. Menurut Notoatmodjo (2003), salah satu fungsi ventilasi adalah untuk menjaga agar aliran udara di dalam rumah tersebut tetap segar. Luas ventilasi rumah yang 1 : maka faktor resiko tersebut merupakan faktor resiko yang mampu memberikan efek.F. Definisi OperasionalTabel 4.2Definisi Operasional PenelitianNoVariabelDefinisiCara ukur

Alat ukurHasil ukurSkala

Variabel Independent

Karakteristik Responden

1.UmurLama waktu hidup Respondem, sejak dilahirkan sampai ulang tahun yang terakhir (KBBI, 2001)

Wawancara

Kuesioner

1. Umur < 40 tahun

2. Umur 40 tahun

Nominal

2.PendidikanJenjang pendidikan formal terakhir yang pernah diikuti responden

(KBBI, 2001)

Wawancara

Kuesioner

1. Pendidikan tinggi (Tamat SMA s.d. Perguruan Tinggi)

2. Pendidikan rendah (tidak sekolah s.d. tamat SMP)

(Riset Kesehatan Dasar, 2007)

Ordinal

1. Lingkungan (Kondisi Fisik dan Sanitasi Rumah)

1.AtapSalah satu bahan bangunan rumah yang berfungsi

untuk melindungi agar debu tidak langsung masuk ke dalam rumah.Kuesioner

Wawancara 1) Memenuhi syarat kesehatan: Genting dan menggunakan langit-langit

2) Tdk memenuhi syarat kesehatan: asbes/seng/papan dan tidak menggunakan langit-langit

(Kepmenkes No.829/Menkes/SK/VII/1999)Ordinall

2. Lantai

Salah satu bahan bangunan rumah untuk melengkapi

sebuah rumahKuesioner

Wawancara 1) Memenuhi syarat kesehatan : kedap air dan tidak lembab (kramik dan ubin)2)Tdk memenuhi syarat kesehatan: menghasilkan debu dan lembab (semen dan tanah)

(Kepmenkes

No.829/Menkes/SK/VII/1999)Ordinal

3.DindingSalah satu bahan bangunan rumah untuk

mendirikan sebuah rumah.Kuesioner

Wawancara 1) Memenuhi syarat kesehatan: Permanen atau tembok

2) Tidak memenuhi syarat kesehatan: semi permanen, bambu dan kayu atau papan

(Kepmenkes No.829/Menkes/SK/VII/1999)Ordinal

4. VentilasiLubang angin untuk proses pergantian udara segar

ke dalam dan mengeluarkan udara kotor dari suatu ruangan tertutup

secara alamiah maupun buatanKuesioner

Wawancara 1) Memenuhi syarat kesehatan (10% dari luas lantai)2) Tidak memenuhi syarat kesehatan ( mean/median)

2. Tidak baik (bila skor < mean/median)

(Hastono, 2001)

Bila data berdistribusi normal maka digunakan batasan mean, namun bila data berdistribusi tidak normal maka digunakan batasan median.

Ordinal

2.PengetahuanTingkat pemahaman responden terhadap penyakit ISPA pada balita dan konsep rumah sehatWawancara

KuesionerHasil ukur:

1. Benar = skor 1

2. Salah = skor 0

Kategori

1. Baik, jika total skor 702. Buruk, jika skor < 70(Arikunto, 2006)

Ordinal

3. Variabel Dependen

Kejadian penyakit ISPA pada balita

1.

ISPA

Penyakit infeksi saluran

pernafasan atas yang meliputi infeksi mulai dari rongga hidung sampai

dengan epiglottis dan laring seperti demam, batuk, pilek yang berlangsung selama 14 hari.

Wawancara

Kuesioner

Lihat buku kunjungan Puskesmas

1. ISPA 2. Tidak ISPA

Nominal

BAB VHASIL PENELITIAN

A. Gambaran Umum Kelurahan Cambai Kota Prabumulih

1. Data Wilayah

Kelurahan Cambai merupakan salah satu daerah wilayah kerja Puskesmas Cambai Kota Prabumulih. Kelurahan Cambai mempunyai luas 1200 Ha.

Adapun batas-batas Kelurahan Cambai adalah sebagai berikut:

1. Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Lembak

2. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Prabumulih Timur

3. Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Lembak/Prabumulih Barat

4. Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Lembak.Peta wilayah Kelurahan Cambai

Keterangan : Batas Wilayah

Sungai

Jalan Provinsi

Rel Kereta Api

Nama Desa

Batas Desa

Jalan2. Data Kependudukan

Dari 983 Kepala Keluarga di Kelurahan Cambai, 529 diantaranya mempunyai bayi dan balita yang bermungkinan menderita ISPA pada bulan Maret sampai dengan Juni 2010. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut ini:Tabel 5.1

Data Kependudukan Kelurahan Cambai

Kota Prabumulih Tahun 2009NoKeteranganJumlah

1.Jumlah Penduduk3602

a. Laki-laki1734

b. Perempuan1868

2.Jumlah kepala keluarga (KK)983

3.Jumlah Wanita Usia Subur (WUS)436

4. Jumlah bayi86

5.Jumlah balita 443

Sumber: Profil Puskesmas Cambai Tahun 20093. Data Sarana KesehatanBerikut data mengenai sarana kesehatan yang terdapat di Kelurahan Cambai Kota Prabumulih, yang dapat dilihat pada tabel dibawah ini:Tabel 5.2Sarana Kesehatan Kelurahan Cambai

Kota Prabumulih Tahun 2009

NoNama SaranaJumlah

1.Jumlah Puskesmas Induk1

2.Jumlah Pustu1

3.Jumlah Polindes1

4.Jumlah Praktek Dokter Umum2

5.Jumlah Praktek Dokter gigi1

6.Jumlah Laboratorium Kesehatan1

7.Jumlah Apotek1

Sumber: Profil Puskesmas Cambai Tahun 2009Kurangnya tenaga dan sarana kesehatan di Kelurahan Cambai merupakan salah satu penyebab meningkatnya kejadian ISPA pada balita. Tenaga dan saran kesehatan memegang peranan penting dalam meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, salah satunya melalui penyuluhan kesehatan tentang pencegahan penyakit ISPA pada balita.4. Data Sarana PendidikanBerikut data mengenai sarana pendidikan yang terdapat di Kelurahan Cambai:

Tabel 5.3

Sarana pendidikan Kelurahan Cambai

Kota Prabumulih Tahun 2009NoNama SaranaJumlah

1.Jumlah SD Negeri1

2.Jumlah SMP Negeri1

3.Jumlah SMA Negeri1

4.Jumlah MAN Darussalam1

5.Jumlah MTS Darussalam1

Sumber: Profil Puskesmas Cambai Tahun 2009

Sarana pendidikan diperlukan untuk mendapatkan berbagai informasi, misalnya mengenai hal-hal yang berhubungan dengan kesehatan sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup, termasuk juga informasi mengenai penyakit ISPA.5. Data Perumahan

Tabel 5.4

Data Perumahan di Kelurahan Cambai

Kota Prabumulih Tahun 2009

NOKELURAHAN/ DESARumah SehatCak %Rumah T.SehatCak %TPSSCak %

1Cambai41347,445952,619822,7

2Sindur31081,47118,621055,1

3Pangkul74097,2212,721528,2

4Muara Sungai39881,59018,420241,4

5Sungai Medang52372,320427,79512,9

Jumlah239373,984526,192028,4

Sumber: Profil Puskesmas Cambai Tahun 2009

B. Hasil Penelitian

1. Data Univariata. Karakteristik Responden

Tabel 5.5

Distribusi Karakteristik Responden di Kelurahan Cambai

Kota Prabumulih Tahun 20010

NoVariabelKarakteristik Responden

N = 82

N%

1.

2.

Umur

< 40 Tahun

40 Tahun

Pendidikan

Tinggi

Rendah

7842062

95,14,924,475,6

Sumber: Data Primer

Hasil penelitian ini menunjukan berdasarkan kelompok umur, sebagian besar responden Kelurahan Cambai yang berumur < 40 tahun yaitu sebanyak 78 (95,1%) orang.

Berdasarkan tingkat pendidikan rata rata reponden di Kelurahan Cambai berpendidikan rendah yaitu sebanyak 62 (75,6%) orang.b. Perilaku Keluarga

1) Tingkat PengetahuanTabel 5.6

Distribusi Pengetahuan Responden di Kelurahan Cambai

Kota Prabumulih Tahun 20010

No.Indikator PengetahuanJawaban Responden

Benar

N%

1.2.

3.4.

5.6.7. 8.

9. 10.Pengertian ISPA

Penyebab peny ISPA

Penularan penyakit ISPA

Cara mencegah peny ISPAPerilaku penyebab peny ISPALama peny ISPA

Penyebab anak mudah terkena ISPA

Jenis dinding pada rmh sehat.

Jenis tempat pembuangan

sampah pada rumah sehat

Jenis SPAL pada rmh sehat4270

67

4533516256

4739

51,285,481,754,940,262,275,668,357,347,6

Sumber: Data PrimerVariabel pengetahuan dalam penelitian ini didasarkan pada 10 pertanyaan dalam kuesioner mengenai pemahaman responden tentang kondisi fisik rumah dan kejadian ISPA pada balita. Hasil penelitian menunjukan mayoritas responden Kelurahan Cambai menjawab dengan benar aspek pengetahuan tentang penyebab penyakit ISPA yaitu sebanyak 70 orang (85,4%). Dan mayoritas responden Kelurahan Cambai menjawab salah pada aspek pengetahuan tentang perilaku penyebab penyakit ISPA yaitu sebanyak 33 orang (40,2%).

Berdasarkan perhitungan jumlah skor pada indikator pengetahuan dengan menggunakan metode rating (percentace), maka variabel pengetahuan dikategorikan menjadi kategori baik dan buruk. Hasil penelitian ini dapat dilihat pada tabel 5.7 Berikut :

Tabel 5.7Distribusi Perilaku Keluarga Berdasarkan Tingkat Pengetahuan Keluarga di Kelurahan Cambai Tahun 2010NoTingkat PengetahuanJumlahPersentase

1.Baik4959,8

2.Buruk3340,2

Total82100

Sumber: Data PrimerBerdasarkan tabel 5.7 menunjukkan bahwa dari total responden, 49 orang (59,8%) responden memiliki pengetahuan yang baik terhadap kondisi fisik rumah dan kejadian ISPA pada balita.2) Sikap Tabel 5.8

Distribusi Sikap Responden di Kelurahan Cambai

Kota Prabumulih Tahun 20010

No.Indikator SikapJawaban Responden

N

SS

(%)S

(%)KS

(%)TS

(%)STS

(%)

1.Penyakit ISPA paling banyak terjadi pada anak-anak10(12,2%)38(46,3%)24(29,3%)10

(12,2%)0

(0%)

2.Jumlah penghuni dalam satu kamar tidur maksimal 3 orang.0(0%)47(57,3%)27(32,9%)8(9,8%)0

(0%)

3.Tempat pembuangan sampah harus selalu tertutup dan kedap air.

10(12,2%)38(46,3%)24(29,3%)10(12,2%)0

(0%)

4.ISPA merupakan penyakit yang dapat menular atau ditularkan melalui udara .

50

(61,0%)32(39,0%)0(0%)0

(0%)0(0%)

5.Salah satu cara penangggulangan penyakit ISPA adalah menjauhkan balita dari penderita batuk.

32(39,0%)37(45,1%)13(15,9%)0(0%)0

(0%)

6.Tidak boleh batuk dan membuang ludah di sembarang tempat.32(39,0%)50(61,0%)0(0%)0

(0%)0

(0%)

7.Penderita penyakit ISPA harus dihindari.0(0%)22(26,8%)27(32,9%)33(40,2%)0

(0%)

8.Bila ada orang yang menjauhi penderita ISPA0(0%)19(26,2%)27(32,9%)36(43,9%)0

(0%)

9.Penyakit ISPA adalah penyakit menular dan berbahaya.32(39,0%)36(43,9%)14(17,1%)0(0%)0(0%)

10.Syarat jamban yang baik adalah jamban yang berbentuk leher angsa dan mempunyai septic tank.38(46,3%)44(53,7%)

0(0%)0(0%)0(0%)

SSumber: Data PrimerVariabel sikap dalam penelitian ini didasarkan pada 10 pertanyaan dalam kuesioner tentang penilaian atau pendapat responden mengenai Kondisi fisik rumah dan kejadian ISPA pada balita. Hasil penelitian menunjukan mayoritas responden Kelurahan Cambai menjawab sangat setuju pada aspek sikap bahwa ISPA merupakan penyakit yang dapat menular atau ditularkan melalui udara yaitu sebanyak 50 orang (61%). Dan mayoritas responden Kelurahan Cambai menjawab tidak setuju pada aspek sikap bahwa jika ada orang yang menjauhi penderita ISPA yaitu sebanyak 36 orang (43,9%). Berdasarkan perhitungan jumlah skor pada indikator sikap dengan menggunakan metode rating (percentace), maka variabel sikap dikategorikan menjadi kategori baik dan tidak baik. Hasil penelitian ini dapat dilihat pada tabel 5.9 berikut :Tabel 5.9Distribusi Perilaku Keluarga Berdasarkan Sikap Keluarga di Kelurahan Cambai Tahun 2010NoSikap KeluargaJumlahPersentase

1.Baik4656,1

2.Tidak baik3643,9

Total82100

Sumber: Data Primer

Sebagaian besar responden mempunyai sikap yang baik terhadap kejadian ISPA pada balita sebanyak 46 orang (56,1%).c. Kondisi Fisik Rumah

Tabel 5.10

Distribusi Kondisi Fisik Rumah

Di Kelurahan Cambai Tahun 2010

NoVariabelKondisi Fisik Rumah

N = 82

N%

1.

2.

3.

4.

5.

6.

7.

Atap

Memenuhi syarat

Tdk memenuhi syarat

Lantai

Memenuhi syarat

Tdk memenuhi syarat

Dinding

Memenuhi syarat

Tdk memenuhi syarat

Ventilasi

Memenuhi syarat

Tdk memenuhi syarat

Luas Lantai Rumah

Memenuhi syarat

Tdk memenuhi syarat

Kepadatan Hunian

Tidak padatPadat

Tempat Sampah

Memenuhi syarat

Tdk memenuhi syarat

37

45

35

47

36

46

31

51

40

42

40

42

38

44

45,1

54,9

42,7

57,3

43,9

56,1

37,8

62,2

48,8

51,2

48,8

51,2

46,3

53,7

Sumber: Data PrimerTabel 5.10 menunjukkan atap rumah responden sebagian besar tidak memenuhi syarat kesehatan sebanyak 45 rumah (54,9%). Lantai rumah responden sebagian besar tidak memenuhi syarat kesehatan sebanyak 47 rumah (57,3%). Dinding rumah responden sebagian besar tidak memenuhi syarat kesehatan sebanyak 46 rumah (56,1%). Sebagian besar ventilasi rumah responden tidak memenuhi syarat kesehatan sebanyak 51 rumah (62,2%). Sebagian besar luas lantai dan kepadatan hunian rumah responden tidak memenuhi syarat kesehatan sebanyak 42 rumah (51,2%). Mayoritas tempat pembuangan sampah responden tidak memenuhi syarat kesehatan sebanyak 44 rumah (53,7%). d. Kejadian ISPA pada Balita

Berikut ini merupakan distribusi kejadian ISPA pada balita dalam tabel 5.11.

Tabel 5.11Distribusi Kejadian ISPA pada balita di Kelurahan Cambai Tahun 2010NoKejadian ISPA pada BalitaJumlahPersentase

1.ISPA5364,6

2.Tidak ISPA2935,4

Total82100

Sumber: Data Primer

Dari hasil penelitian dapat diketahui bahwa dari 82 responden, lebih dari separuh anak banlitanya menderita ISPA yaitu sebanyak 53 orang (64,6%).2) Data Bivariata. Perilaku Keluarga

1) Hubungan Tingkat Pengetahuan Keluarga dengan Kejadian ISPA pada Balita

Berdasarkan distribusi data variabel tingkat pengetahuan keluarga dengan kejadian ISPA pada balita, diperoleh tabulasi yang ditunjukkan dalam tabel 5.12.Tabel 5.12Hubungan antara Tingkat Pengetahuan Keluargadengan Kejadian ISPA pada Balita

di Kelurahan Cambai Tahun 2010Pengetahuan KeluargaKejadian ISPATotalPR 95%CIPValue

ISPATidak ISPA

N%N%N%

Baik2755,12244,9491000,330

0,121-0,9040,049

Buruk2678,8721,233100

Total5364,62935,482100

Sumber: Data Primer

Dari hasil analisis hubungan antara tingkat pengetahuan keluarga dengan kejadian ISPA pada balita, diperoleh 27 dari 49 (55,1%) responden yang berpengetahuan baik anak balitanya menderita ISPA. Sedangkan diantara responden yang tingkat pengetahuannya buruk, sebanyak 26 dari 33 (78,8%) responden yang anak balitanya menderita ISPA.Dengan tingkat kepercayaan 95% dan hasil uji statistik dengan Chi Square diperoleh nilai PValue = 0,049 maka dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara tingkat pengetahuan keluarga dengan kejadian ISPA pada balita. Dimana nilai PR = 0,330 dengan 95%, artinya pengetahuan keluarga justru merupakan faktor pencegah ISPA pada balita, yakni balita yang pengetahuan keluarganya baik mempunyai peluang 67% (PR estimasi = 0,330) untuk mencegah balitanya terkena ISPA. Peneliti yakin bahwa 95% populasi risiko terletak antara 0,879 (penurunan risiko 12,1%) sampai 0,96 (penurunan risiko 90,4%).

2) Hubungan Sikap Keluarga dengan Kejadian ISPA pada Balita

Berdasarkan distribusi data variabel sikap keluarga dengan kejadian ISPA pada balita, diperoleh tabulasi yang ditunjukkan dalam tabel 5.13.

Tabel 5.13Hubungan antara Sikap Keluarga dengan Kejadian ISPA pada Balita

di Kelurahan Cambai Tahun 2010

Sikap KeluargaKejadian ISPATotalPR 95%CIPValue

ISPATidak ISPA

N%N%N%

Positif2554,32145,7461000,340

0,128-0,9030,049

Negatif2877,8822,236100

Total5364,62935,482100

Sumber: Data Primer

Dari hasil analisis hubungan antara sikap keluarga dengan kejadian ISPA pada balita, diperoleh 25 dari 46 (54,3%) responden yang bersikap positif anak balitanya menderita ISPA. Sedangkan diantara responden yang sikapnya buruk, sebanyak 28 dari 36 (77,8%) responden yang anak balitanya menderita ISPA.

Dengan tingkat kepercayaan 95% dan hasil uji statistik dengan Chi Square diperoleh nilai PValue = 0,049 maka dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara sikap keluarga dengan kejadian ISPA pada balita. Dimana nilai PR = 0,334 dengan 95%, artinya sikap keluarga justru merupakan faktor pencegah ISPA pada balita, yakni balita yang keluarganya bersikap baik mempunyai peluang 66,6% (PR estimasi = 33,4) untuk mencegah balitanya terkena ISPA. Peneliti yakin bahwa 95% populasi risiko terletak relatif antara 0,872 (penurunan risiko 12,8%) sampai 0,097 (penurunan risiko dari 90,3%).b. Kondisi Fisik Rumah

1) Hubungan Atap Rumah dengan Kejadian ISPA pada Balita

Berdasarkan distribusi data variabel atap rumah dengan kejadian ISPA pada balita, diperoleh tabulasi yang ditunjukkan dalam tabel 5.14.Tabel 5.14Hubungan antara Atap Rumah dengan Kejadian ISPA pada Balita di Kelurahan Cambai Tahun 2010Atap RumahKejadian ISPATotalPR 95%CIPValue

ISPATidak ISPA

N%N%N%

Memenuhi syarat3081,1718,9371004,0991,494-11,2460,010

Tidak memenuhi syarat2329,12248,945100

Total5364,62935,482100

Sumber: Data PrimerDari hasil analisis hubungan antara atap rumah dengan kejadian ISPA pada balita, diperoleh 30 dari 37 (81,1%) responden yang atap rumahnya memenuhi syarat kesehatan anak balitanya menderita ISPA. Sedangkan diantara responden yang atap rumahnya tidak memenuhi syarat kesehatan, sebanyak 23 dari 45 (29,1%) responden yang anak balitanya menderita ISPA.

Hasil uji statistik diperoleh nilai PR = 0,010 dengan 95% CI = 1,494-11,246 artinya responden yang atap rumahnya tidak memenuhi syarat kesehatan berpeluang 4,099 kali lebih besar untuk balitanya terkena ISPA dibandingkan responden yang atap rumahnya memenuhi syarat kesehatan. Berdasarkan interval kepercayaan diperoleh bahwa atap rumah merupakan faktor risiko, sebab di dalam populasi yang diwakili sampel 95% nilai PR terletak diantara 1,494-11,246 tidak mencakup angka 1 (PR>1 menunjukkan bahwa atap rumah merupakan faktor risiko). Nilai PValue = 0,010 maka dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara atap rumah dengan kejadian ISPA pada balita di Kelurahan Cambai tahun 2010.2) Hubungan Lantai Rumah dengan Kejadian ISPA pada Balita

Berdasarkan distribusi data variabel lantai rumah dengan kejadian ISPA pada balita, diperoleh tabulasi yang ditunjukkan dalam tabel 5.15.Tabel 5.15Hubungan antara Lantai Rumah dengan Kejadian ISPA pada Balita

di Kelurahan Cambai Tahun 2010

Lantai RumahKejadian ISPATotalPR 95%CIPValue

ISPATidak ISPA

N%N%N%

Memenuhi syarat3188,6411,4351008,8072,683-28,9060,001

Tidak memenuhi syarat2246,82553,247100

Total5364,62935,482100

Sumber: Data PrimerDari hasil analisis hubungan antara lantai rumah dengan kejadian ISPA pada balita, diperoleh 31 dari 35 (88,6%) responden yang lantai rumahnya memenuhi syarat kesehatan anak balitanya menderita ISPA. Sedangkan diantara responden yang lantai rumahnya tidak memenuhi syarat kesehatan, sebanyak 22 dari 47 (46,8%) responden yang anak balitanya menderita ISPA.Hasil uji statistik diperoleh nilai PR = 8,807 dengan 95% CI = 2,683-28,906 artinya responden yang lantai rumahnya tidak memenuhi syarat kesehatan berpeluang 8,807 kali lebih besar untuk balitanya terkena ISPA dibandingkan responden yang lantai rumahnya memenuhi syarat kesehatan. Berdasarkan interval kepercayaan diperoleh bahwa lantai rumah merupakan faktor risiko, sebab di dalam populasi yang diwakili sampel 95% nilai PR terletak diantara 2,683-28,906 tidak mencakup angka 1 (PR>1 menunjukkan bahwa lantai rumah merupakan faktor risiko). Nilai PValue = 0,001 maka dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara lantai rumah dengan kejadian ISPA pada balita di Kelurahan Cambai tahun 2010.3) Hubungan Dinding Rumah dengan Kejadian ISPA pada Balita

Berdasarkan distribusi data variabel dinding rumah dengan kejadian ISPA pada balita, diperoleh tabulasi yang ditunjukkan dalam tabel 5.16.

Tabel 5.16Hubungan antara Dinding Rumah dengan Kejadian ISPA pada Balita

di Kelurahan Cambai Tahun 2010

Dinding RumahKejadian ISPATotalPR 95%CIPValue

ISPATidak ISPA

N%N%N%

Memenuhi syarat2672,21027,6361001,830

0,717-4,6660,299

Tidak memenuhi syarat2758,71941,346100

Total5364,62935,482100

Sumber: Data PrimerDari hasil analisis hubungan antara dinding rumah dengan kejadian ISPA pada balita, diperoleh 26 dari 36 (72,2%) responden yang dinding rumahnya memenuhi syarat kesehatan anak balitanya menderita ISPA. Sedangkan diantara responden yang dinding rumahnya tidak memenuhi syarat kesehatan, sebanyak 27 dari 46 (58,7%) responden yang anak balitanya menderita ISPA.

Hasil uji statistik diperoleh nilai PR = 1,830 dengan 95% CI = 0,717-4,666, menunjukkan bahwa dinding rumah belum tentu merupakan faktor risiko, sebab di dalam populasi yang diwakili oleh sampel 95% nilai rasio prevalensi terletak diantara 0,717-4,666, mencakup nilai 1 (RP=1 menunjukkan bahwa dinding rumah bersifat netral). Hal tersebut dapat disebabkan oleh 2 hal: dinding rumah memang bukan merupakan faktor risiko untuk terjadinya ISPA pada balita, atau jumlah subjek yang diteliti kurang banyak. Nilai PValue = 0,299 maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara dinding rumah dengan kejadian ISPA pada balita di Kelurahan Cambai tahun 2010.

4) Hubungan Ventilasi Rumah dengan Kejadian ISPA pada Balita

Berdasarkan distribusi data variabel ventilasi rumah dengan kejadian ISPA pada balita, diperoleh tabulasi yang ditunjukkan dalam tabel 5.17.Tabel 5.17Hubungan antara Ventilasi Rumah dengan Kejadian ISPA pada Balita

di Kelurahan Cambai Tahun 2010

Ventilasi RumahKejadian ISPATotalPR 95%CIPValue

ISPATidak ISPA

N%N%N%

Memenuhi syarat2683,9516,1311004,6221,533-13,9390,009

Tidak memenuhi syarat2752,92447,151100

Total5364,62935,482100

Sumber: Data PrimerDari hasil analisis hubungan antara ventilasi rumah dengan kejadian ISPA pada balita, diperoleh 26 dari 31 (83,9%) responden yang ventilasi rumahnya memenuhi syarat kesehatan anak balitanya menderita ISPA. Sedangkan diantara responden yang ventilasi rumahnya tidak memenuhi syarat kesehatan, sebanyak 27 dari 51 (52,9%) responden yang anak balitanya menderita ISPA.

Hasil uji statistik diperoleh nilai PR = 4,622 dengan 95% CI = 1,533-13,939 artinya responden yang ventilasi rumahnya tidak memenuhi syarat kesehatan berpeluang 4,622 kali lebih besar untuk balitanya terkena ISPA dibandingkan responden yang ventilasi rumahnya memenuhi syarat kesehatan. Berdasarkan interval kepercayaan diperoleh bahwa ventilasi rumah merupakan faktor risiko, sebab di dalam populasi yang diwakili sampel 95% nilai PR terletak diantara 1,533-13,939 tidak mencakup angka 1 (PR>1 menunjukkan bahwa ventilasi rumah merupakan faktor risiko). Nilai PValue = 0,009 maka dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara ventilasi rumah dengan kejadian ISPA pada balita di Kelurahan Cambai tahun 2010.

5) Hubungan Luas Lantai Rumah dengan Kejadian ISPA pada Balita

Berdasarkan distribusi data variabel luas lantai rumah dengan kejadian ISPA pada balita, diperoleh tabulasi yang ditunjukkan dalam tabel 5.18.Tabel 5.18Hubungan antara Luas Lantai Rumah dengan Kejadian ISPA pada Balita di Kelurahan Cambai Tahun 2010Luas Lantai RumahKejadian ISPATotalPR 95%CIPValue

ISPATidak ISPA

N%N%N%

Memenuhi syarat3177,5922,5401003,131

1,202-8,1600,032

Tidak memenuhi syarat2252,42047,642100

Total5364,62935,482100

Sumber: Data PrimerDari hasil analisis hubungan antara luas lantai rumah dengan kejadian ISPA pada balita, diperoleh 31 dari 40 (77,5%) responden yang luas lantai rumahnya memenuhi syarat kesehatan anak balitanya menderita ISPA. Sedangkan diantara responden yang luas lantai rumahnya tidak memenuhi syarat kesehatan, sebanyak 22 dari 42 (52,4%) responden yang anak balitanya menderita ISPA.

Hasil uji statistik diperoleh nilai PR = 3,131 dengan 95% CI = 1,202-8,160 artinya responden yang luas lantai rumahnya tidak memenuhi syarat kesehatan berpeluang 3,131 kali lebih besar untuk balitanya terkena ISPA dibandingkan responden yang luas lantai rumahnya memenuhi syarat kesehatan. Berdasarkan interval kepercayaan diperoleh bahwa luas lantai rumah merupakan faktor risiko, sebab di dalam populasi yang diwakili sampel 95% nilai PR terletak diantara 1,202-8,160 tidak mencakup angka 1 (PR>1 menunjukkan bahwa luas lantai rumah merupakan faktor risiko). Nilai PValue = 0,032 maka dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara luas lantai rumah dengan kejadian ISPA pada balita di Kelurahan Cambai tahun 2010.

6) Hubungan Kepadatan Hunian Rumah dengan Kejadian ISPA pada Balita

Berdasarkan distribusi data variabel kepadatan hunian rumah dengan kejadian ISPA pada balita, diperoleh tabulasi yang ditunjukkan dalam tabel 5.19.Tabel 5.19Hubungan antara Kepadatan Hunian Rumah dengan Kejadian ISPA pada Balita di Kelurahan Cambai Tahun 2010Kepadatan Hunian RumahKejadian ISPATotalPR 95%CIPValue

ISPATidak ISPA

N%N%N%

Memenuhi syarat3177,5922,5401003,131

1,202-8,1600,032

Tidak memenuhi syarat2252,42047,642100

Total5364,62935,482100

Sumber: Data Primer

Dari hasil analisis hubungan antara kepadatan hunian rumah dengan kejadian ISPA pada balita, diperoleh 31 dari 40 (77,5%) responden yang kepadatan hunian rumahnya memenuhi syarat kesehatan anak balitanya menderita ISPA. Sedangkan diantara responden yang kepadatan hunian rumahnya tidak memenuhi syarat kesehatan, sebanyak 22 dari 42 (52,4%) responden yang anak balitanya menderita ISPA.

Hasil uji statistik diperoleh nilai PR = 3,131 dengan 95% CI = 1,202-8,160 artinya responden yang kepadatan hunian rumahnya tidak memenuhi syarat kesehatan berpeluang 3,131 kali lebih besar untuk balitanya terkena ISPA dibandingkan responden yang kepadatan hunian rumahnya memenuhi syarat kesehatan. Berdasarkan interval kepercayaan diperoleh bahwa kepadatan hunian rumah merupakan faktor risiko, sebab di dalam populasi yang diwakili sampel 95% nilai PR terletak diantara 1,202-8,160 tidak mencakup angka 1 (PR>1 menunjukkan bahwa kepadatan hunian rumah merupakan faktor risiko). Nilai PValue = 0,032 maka dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara kepadatan hunian rumah dengan kejadian ISPA pada balita di Kelurahan Cambai tahun 2010.

7) Hubungan Tempat Pembuangan Sampah dengan Kejadian ISPA pada BalitaBerdasarkan distribusi data variabel tempat pembuangan sampah dengan kejadian ISPA pada balita, diperoleh tabulasi yang ditunjukkan dalam tabel 5.20.Tabel 5.20Hubungan antara Tempat Pembuangan Sampah dengan Kejadian ISPA pada Balita di Kelurahan Cambai Tahun 2010Tempat Pembuangan SampahKejadian ISPATotalPR 95%CIPValue

ISPATidak ISPA

N%N%N%

Memenuhi syarat2976,3923,7381002,685

1,034-6,9760,068

Tidak memenuhi syarat2454,52045,544100

Total5364,62935,482100

Sumber: Data PrimerDari hasil analisis hubungan antara tempat pembuangan sampah dengan kejadian ISPA pada balita, diperoleh 29 dari 38 (76,3%) responden yang tempat pembuangan sampahnya memenuhi syarat kesehatan anak balitanya menderita ISPA. Sedangkan diantara responden yang tempat pembuangan sampahnya tidak memenuhi syarat kesehatan, sebanyak 24 dari 44 (54,5%) responden yang anak balitanya menderita ISPA.

Hasil uji statistik diperoleh nilai PR = 2,685 dengan 95% CI = 1,034-6,976 artinya responden yang tempat pembuangan sampahnya tidak memenuhi syarat kesehatan berpeluang 2,685 kali lebih besar untuk balitanya terkena ISPA dibandingkan responden yang tempat pembuangan sampahnya memenuhi syarat kesehatan. Berdasarkan interval kepercayaan diperoleh bahwa tempat pembuangan sampah merupakan faktor risiko, sebab di dalam populasi yang diwakili sampel 95% nilai PR terletak diantara 1,034-6,976 tidak mencakup angka 1 (PR>1 menunjukkan bahwa tempat pembuangan sampah merupakan faktor risiko). Nilai PValue = 0,068 maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara tempat pembuangan sampah dengan kejadian ISPA pada balita di Kelurahan Cambai tahun 2010.

BAB VI

PEMBAHASAN

A. Keterbatasan Penelitian

Penulis menyadari adanya kekurangan dalam penelitian ini yang disebabkan oleh keterbatasan yang dimiliki penulis baik dari segi kemampuan dan sarana. Alat ukur yang digunakan pada penelitian ini adalah kuesioner, sehingga jawaban yang diperoleh dari kuesioner bersifat subjekstif. Jawaban responden sangat tergantung pada kejujuran, pemahaman, dan persepsi responden terhadap pertanyaan yang diajukan. Pertanyaan dan jawaban yang tertera di kuesioner belum dapat menampung seluruh pengetahuan dan sikap karena ada kemungkinan responden tidak mengerti dengan apa yang ditanyakan walaupun demikian peneliti sudah berusaha menjelaskan semaksimal mungkin maksud dan tujuan diadakannya penelitian.B. Analisis Univariat

1. Perilaku Keluarga

a. Tingkat Pengetahuan

Dari hasil penelitian dapat diketahui bahwa sebagian besar responden memiliki pengetahuan yang baik terhadap kejadian penyakit ISPA pada balita yaitu sebanyak 49 (59,8%) orang. Hal ini dapat disebabkan karena masyarakat yang menjadi responden telah mendapatkan informasi dari yang tidak di dapat melalui pendidikan formal salah satunya dari penyuluhan yang dilakukan oleh petugas kesehatan.

Hal ini juga di dukung oleh penelitian wahyuni (2007) tentang perilaku ibu dalam upaya pencegahan ISPA pada balita di Kelurahan 20 Ilir Daerah I Kecamatan Ilir Timur I Palembang, menunjukkan bahwa pengetahuan ibu terkait upaya pencegahan penyakit ISPA pada balita sebagian besar tinggi (57,2%).Pada umumnya, pengetahuan erat kaitannya dengan pendidikan. Tingkat pendidikan yang di dapat dari proses belajar memudahkan seseorang untuk menyerap suatu ilmu pengetahuan. Menurut Notoatmodjo (2003), semakin tinggi pendidikan seseorang maka semakin mudah untuk menerima dan menangkap informasi yang disampaikan, atau dengan kata lain semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka pengetahuannya akan semakin tinggi pula.

b. Sikap

Dari hasil penelitian dapat diketahui bahwa sebagian besar responden bersikap baik terhadap kejadian penyakit ISPA pada balita yaitu sebanyak 46 (56,1%) orang. Ini berarti sebagian masyarakat memiliki sikap yang baik terhadap upaya pencegahan penyakit ISPA pada balita.

Hasil penelitian ini juga di dukung oleh penelitian Wahyuni (2007) tentang perilaku ibu dalam upaya pencegahan ISPA pada balita di Kelurahan 20 Ilir Daerah I Kecamatan Ilir Timur I Palembang, menunjukkan bahwa sikap responden positif terkait upaya pencegahan penyakit ISPA pada balita sebagian besar tinggi (53,3%).Pada umumnya, sikap berkaitan dengan ilmu pengetahuan, jika seseorang memiliki pengetahuan yang baik tentang sesuatu maka sikap yang dimilikinya pun cenderung baik. Menurut Notoatmodjo (2003), sikap seseorang dipengaruhi oleh kepribadian, pengalaman dan adat istiadat yang dipegang orang tersebut.

2. Kondisi Fisik Rumaha. Atap Rumah

Dari hasil penelitian dapat diketahui bahwa sebagian besar responden memiliki atap rumah yang tidak memenuhi syarat kesehatan yaitu sebesar 45 (54,9%) orang.

Hasil penelitian ini di dukung oleh penelitian Toanabun (2003) tentang hubungan antara sanitasi fisik rumah dengan kejadian ISPA pada balita di Desa Tual Kecamatan Kei Kecil menunjukkan bahwa sebagian besar responden memiliki atap rumah yang memakai genteng dan tidak beri langit-langit atau plafon. Pada rumah responden di Kelurahan Cambai, kebanyakan memiliki atap rumah yang terbuat dari genteng tetapi tidak memiliki plafon sehingga tidak memenuhi syarat kesehatan.b. Lantai Rumah

Dari hasil penelitian dapat diketahui bahwa sebagian besar responden memiliki lantai rumah yang tidak memenuhi syarat kesehatan yaitu sebesar 47 (57,3%) orang. Hasil penelitian ini di dukung oleh penelitian Oktaviani (2009) di Desa Cepogo Kecamatan Cepogo Kabupaten Boyolali, yang menunjukkan bahwa sebagian besar responden mempunyai lantai rumah yang tidak memenuhi syarat kesehatan (53,2%).Pada rumah responden di Kelurahan Cambai, kebanyakan memiliki lantai rumah yang terbuat dari papan dan semen sehingga tidak memenuhi syarat kesehatan.

c. Dinding Rumah

Dari hasil penelitian dapat diketahui bahwa sebagian besar responden mempunyai dinding rumahnya tidak memenuhi syarat kesehatan yaitu sebesar 46 (56,1%) orang.

Hasil penelitian ini di dukung oleh penelitian Oktaviani (2009) di Desa Cepogo Kecamatan Cepogo Kabupaten Boyolali, yang menunjukkan bahwa sebagian besar responden mempunyai dinding rumah yang tidak memenuhi syarat kesehatan (54,8%).Pada rumah responden di Kelurahan Cambai, kebanyakan memiliki dinding rumah yang terbuat dari papan sehingga tidak memenuhi syarat kesehatan.d. Ventilasi Rumah

Dari hasil penelitian dapat diketahui bahwa sebagian besar responden mempunyai ventilasi rumah yang tidak memenuhi syarat kesehatan yaitu sebesar 51 (62,2%) orang. Hasil penelitian ini di dukung oleh penelitian Oktaviani (2009) di Desa Cepogo Kecamatan Cepogo Kabupaten Boyolali, yang menunjukkan bahwa sebagian besar responden mempunyai ventilasi rumah yang tidak memenuhi syarat kesehatan (62,9%).Pada rumah responden di Kelurahan Cambai, kebanyakan memiliki rumah dengan ventilasi yang tidak memenuhi syarat kesehatan. Kondisi ini dapat dipicu karena kurangnya pengetahuan keluarga tentang rumah sehat dan keadaan ekonomi yang memaksa mereka tinggal di rumah seadanya yang tidak memikirkan kondisi kesehatan mereka sendiri.e. Luas Lantai Rumah

Dari hasil penelitian dapat diketahui mayoritas responden mempunyai luas lantai rumah yang tidak memenuhi syarat kesehatan yaitu sebesar 42 (51,2%) orang. Hasil penelitian ini di dukung oleh penelitian Wahyuni (2010) di Wilayah Puskesmas 4 Ulu Palembang menunjukkan bahwa sebagian besar responden mempunyai luas lantai rumah yang tidak memenuhi syarat kesehatan (59,2%).

Pada rumah responden di Kelurahan Cambai, kebanyakan memiliki luas lantai rumah yang kecil dan dihuni oleh jumlah penghuni yang cukup banyak sehingga tidak memenuhi syarat kesehatan.f. Kepadatan Hunian Rumah

Dari hasil penelitian dapat diketahui bahwa sebagian responden memiliki kepadatan hunian rumah yang tidak memenuhi syarat kesehatan yaitu sebesar 42 (51,2%) orang. Hasil penelitian ini di dukung oleh penelitian Arta (2009) di Puskesmas Sentosa Baru Kota Medan menunjukkan bahwa mayoritas responden memiliki kepadatan hunian yang tidak memenuhi syarat kesehatan (88,7%).Pada rumah responden di Kelurahan Cambai, kebanyakan memiliki rumah yang kecil dan dihuni oleh jumlah penghuni yang cukup banyak sehingga tidak memenuhi syarat kesehatan.g. Tempat Pembuangan Sampah

Dari hasil penelitian dapat diketahui bahwa mayoritas responden tempat pembuangan sampah yang tidak memenuhi syarat kesehatan yaitu sebesar 44 (53,7%) orang.

Pada rumah responden di Kelurahan Cambai, kebanyakan membuang sampah sembarangan seperti di sungai dan pinggir rel kereta api sehingga tidak memenuhi syarat kesehatan.C. Analisis Bivariat

1. Perilaku Keluarga

a. Hubungan Tingkat Pengetahuan Keluarga dengan Kejadian ISPA pada Balita

Dengan tingkat kepercayaan 95% dan hasil uji statistik dengan Chi Square diperoleh nilai PValue = 0,049 maka dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara tingkat pengetahuan keluarga dengan kejadian ISPA pada balita. Dimana nilai PR = 0,330 dengan 95%, artinya pengetahuan keluarga justru merupakan faktor pencegah ISPA pada balita, yakni balita yang pengetahuan keluarganya baik mempunyai peluang 67% (PR estimasi = 0,330) untuk mencegah balitanya terkena ISPA. Peneliti yakin bahwa 95% populasi risiko terletak antara 0,879 (penurunan risiko 12,1%) sampai 0,96 (penurunan risiko 90,4%).

Tingkat pengetahuan berkaitan dengan tingkat pendidikan seseorang. Dengan tingkat pendidikan yang tinggi, maka pengetahuan dan pengalaman yang dimilikinya akan cenderung lebih baik, dan hal ini akan mendorong seseorang untuk berperilaku lebih baik pula. Hal ini dapat di lihat dari hasil penelitian bahwa dari 49 responden yang berpengetahuan baik, lebih dari separuh anak balitanya tidak menderita ISPA, yaitu 22 orang (44,9%).Ini sesuai dengan pernyataan bahwa pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan atau perilaku seseorang (Notoatmodjo, 2003). Dengan kata lain, apabila seseorang memiliki pengetahuan yang baik maka orang tersebut cenderung akan berperilaku baik pula. Namun bisa juga terjadi, orang yang berpengetahuan tinggi dalam suatu hal tidak mempraktekkan pengetahuannya tersebut seperti yang semestinya, sebab untuk mengubah perilaku/kebiasaan seseorang membutuhkan waktu yang cukup lama (Sulistiawati, 2001). Hal ini dapat dilihat dari hasil penelitian dimana dari 49 responden yang berpengetahuan baik, ada 27 orang yang anak balitanya menderita ISPA.Selain itu, pengetahuan tentang kesehatan memang merupakan sesuatu yang penting sebelum perilaku kesehatan seseorang muncul, namun hasrat untuk melakukan perilaku kesehatan mungkin tidak akan muncul sampai dengan seseorang menerima dorongan yang cukup kuat untuk memotivasinya agar bertingkah laku sesuai pengetahuan yang dimilikinya (Hendarwan, 2005).Dari hasil penelitian dapat pula diketahui bahwa dari 33 responden yang berpengetahuan buruk, ada 7 orang (21,2%) diantaranya anak balitanya tidak menderita ISPA.Hasil penelitian ini bersesuai dengan apa yang dikatakan oleh Agustini (2007), walaupun seseorang memiliki pengetahuan yang rendah mengenai penyakit ISPA namun belum tentu mereka memiliki perilaku yang buruk pula dalam upaya pencegahan penyakit ISPA pada balitanya. Hal ini dikarenakan upaya pencegahan terhadap penyakit ISPA tersebut sudah menjadi kebiasaan mereka sehari-hari, seperti menyapu rumah dan sekitarnya, mengepel, membuka jendela setiap pagi, tidak menggendong balita ketika memasak, tidak menggunakan obat nyamuk dan lain-lain namun hal tersebut tidak dapat dilakukan dalam waktu yang singkat karena untuk mengubah perilaku seseorang dibutuhkan waktu yang lama.Pengetahuan ibu tentang penyakit ISPA sangat penting karena hal ini berpengaruh terhadap perilaku ibu dalam melakukan upaya pencegahan penyakit ISPA pada balitanya. Untuk itu pengetahuan ibu tentang penyakit ISPA perlu terus ditingkatkan, sehingga dengan pengetahuan tersebut diharapkan dapat menurunkan angka insiden dan angka kematian yang disebabkan oleh penyakit ISPA pada balita.b. Hubungan Sikap Keluarga dengan Kejadian ISPA pada Balita

Dengan tingkat kepercayaan 95% dan hasil uji statistik dengan Chi Square diperoleh nilai PValue = 0,049 maka dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara sikap keluarga dengan kejadian ISPA pada balita. Dimana nilai PR = 0,334 dengan 95%, artinya sikap keluarga justru merupakan faktor pencegah ISPA pada balita, yakni balita yang keluarganya bersikap baik mempunyai peluang 66,6% (PR estimasi = 33,4) untuk mencegah balitanya terkena ISPA. Peneliti yakin bahwa 95% populasi risiko terletak relatif antara 0,872 (penurunan risiko 12,8%) sampai 0,097 (penurunan risiko dari 90,3%).Notoatmodjo (2003) mengungkapkan bahwa sikap positif terhadap nilai-nilai kesehatan tidak selalu terwujud dalam suatu tindakan nyata (perilaku). Hal ini terbukti dari hasil penelitian didapatkan bahwa dari 46 responden yang bersikap baik terhadap kejadian penyakit ISPA pada balitanya, ada lebih dari separuh anak balitanya menderita ISPA, yaitu sebanyak 25 orang(54,3%). Dan dari 36 responden yang bersikap tidak baik terhadap kejadian penyakit ISPA pada balitanya hanya 8 orang saja (22,2%) anak balitanya yang tidak menderita ISPA. Hal ini dikarenakan banyak komponen yang membentuk sikap seseorang seperti pengetahuan, pikiran, keyakinan, dan emosi orang tersebut. Walaupun orang tersebut mempunyai pengetahuan yang baik tentang ISPA, namun apabila dia tidak yakin dan hal ini bertentangan dengan pikiran dan emosinya maka sikap yang ia miliki akan bertentangan dengan pengetahuan yang dia miliki. Misalnya, secara teori seorang ibu tahu bahwa asap obat nyamuk bakar dapat menyebabkan penyakit ISPA pada balita, namun dia berpikir bahwa berdasarkan pengalaman sebelumnya dimana keluarganya yang selama ini menggunakan obat anti nyamuk bakar tetap berada dalam keadaan sehat. Hal ini membuatnya tidak yakin kalau obat anti nyamuk bakar dapat menyebabkan penyakit ISPA, sehingga ibu tersebut akan tetap menggunakan obat anti nyamuk bakar seperti biasanya. Hal ini di dukung oleh pernyataan yang dikemukakan oleh Newcomb bahwa sikap itu merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak, dan bukan merupakan pelaksana motif tertentu. Dengan kata lain, fungsi sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktifitas, akan tetapi merupakan predisposisi tindakan atau perilaku (Notoatmodjo, 2005).2. Kondisi Fisik Rumah

a. Hubungan Atap Rumah dengan Kejadian ISPA pada Balita

Hasil uji statistik diperoleh nilai PR = 0,010 dengan 95% CI = 1,494-11,246 artinya responden yang atap rumahnya tidak memenuhi syarat kesehatan berpeluang 4,099 kali lebih besar untuk balitanya terkena ISPA dibandingkan responden yang atap rumahnya memenuhi syarat kesehatan. Berdasarkan interval kepercayaan diperoleh bahwa atap rumah merupakan faktor risiko, sebab di dalam populasi yang diwakili sampel 95% nilai PR terletak diantara 1,494-11,246 tidak mencakup angka 1 (PR>1 menunjukkan bahwa atap rumah merupakan faktor risiko). Nilai PValue = 0,010 maka dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara atap rumah dengan kejadian ISPA pada balita di Kelurahan Cambai tahun 2010.Dari hasil analisis hubungan antara atap rumah dengan kejadian penyakit ISPA pada balita diketahui bahwa sebagian besar keluarga yang atap rumahnya tidak memenuhi syarat kesehatan, lebih dari separuh balitanya menderita ISPA (29,1%). Menurut Sanropie (1991), mengatakan bahwa atap rumah yang paling baik adalah yang terbuat dari genteng karena bersifat isolator, sejuk di musim panas dan hangat di musim hujan. Sedangkan atap yang menggunakan asbes dapat menyebabkan penyakit kanker paru-paru. Pembuatan atap agar bila ada hujan tidak terdapat percikan air dari atap maka perlu kemiringan atap di buat dengan sudut miring lebih kurang 300 sedangkan langit-langit jangan terlalu rendah dan jangan terlalu tinggi, sehingga kenyamanan dan kesegaran dalam ruangan tetap terjamin. Hasil penelitian ini diperkuat oleh penelitian Toanabun (2003) menyatakan bahwa atap rumah yang tidak di beri langit-langit atau plafon dapat menyebabkan debu langsung masuk kedalam rumah sehingga mengganggu saluran pernafasan pada balita. Nurhidayah (2007) juga menyebutkan bahwa meningkatnya kejadian ISPA pada balita dikarenakan atap rumah umumnya menggunakan genting dan tidak memakai langit-langit atau plafon. Atap rumah yang baik menggunakan genting dan diberi langit-langit atau plafon agar debu tidak langsung masuk kedalam rumah.b. Hubungan Lantai Rumah dengan Kejadian ISPA pada BalitaHasil uji statistik diperoleh nilai PR = 8,807 dengan 95% CI = 2,683-28,906 artinya responden yang lantai rumahnya tidak memenuhi syarat kesehatan berpeluang 8,807 kali lebih besar untuk balitanya terkena ISPA dibandingkan responden yang lantai rumahnya memenuhi syarat kesehatan. Berdasarkan interval kepercayaan diperoleh bahwa lantai rumah merupakan faktor risiko, sebab di dalam populasi yang diwakili sampel 95% nilai PR terletak diantara 2,683-28,906 tidak mencakup angka 1 (PR>1 menunjukkan bahwa lantai rumah merupakan faktor risiko). Nilai PValue = 0,001 maka dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara lantai rumah dengan kejadian ISPA pada balita di Kelurahan Cambai tahun 2010.Dari hasil penelitian dapat diketahui bahwa dari 47 responden yang lantai rumahnya tidak memenuhi syarat kesehatan, lebih dari separuh anak balitanya menderita ISPA yaitu sebanyak 22 orang (46,8%). Dan dari 35 responden yang lantai rumahnya memenuhi syarat kesehatan, hanya 4 orang (11,4%) anak balitanya menderita ISPA.Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian Oktaviani (2009), mengatakan bahwa kejadian ISPA pada balita lebih banyak terjadi pada responden yang lantai rumahnya tidak memenuhi syarat kesehatan (38,7%). c. Hubungan Dinding Rumah dengan Kejadian ISPA pada BalitaHasil uji statistik diperoleh nilai PR = 1,830 dengan 95% CI = 0,717-4,666, menunjukkan bahwa dinding rumah belum tentu merupakan faktor risiko, sebab di dalam populasi yang diwakili oleh sampel 95% nilai rasio prevalensi terletak diantara 0,717-4,666, mencakup nilai 1 (RP=1 menunjukkan bahwa dinding rumah bersifat netral). Hal tersebut dapat disebabkan oleh 2 hal: dinding rumah memang bukan merupakan faktor risiko untuk terjadinya ISPA pada balita, atau jumlah subjek yang diteliti kurang banyak. Nilai PValue = 0,299 maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara dinding rumah dengan kejadian ISPA pada balita di Kelurahan Cambai tahun 2010.

Suryanto (2003) juga mengungkapkan bahwa rumah yang berdinding tidak rapat seperti papan, kayu dan bambu dapat menyebabkan penyakit pernafasan yang berkelanjutan seperti ISPA, karena angin malam yang langsung masuk ke dalam rumah. Hal ini terbukti dari hasil penelitian diketahui bahwa dari 46 responden yang dinding rumahnya tidak memenuhi syarat kesehatan, sebagian besar anak balitanya menderita ISPA yaitu sebanyak 27 orang (58,7%). Dan dari 36 responden yang dinding rumahnya memenuhi syarat kesehatan, ada 26 orang (72,2%) anak balitanya menderita ISPA. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Oktaviani yang menunjukkan bahwa kejadian ISPA pada balita lebih banyak terjadi pada responden yang lantai rumahnya tidak memenuhi syarat kesehatan (51,6%)

Hasil penelitian ini diperkuat oleh penelitian yang dilakukan oleh Suhandayani (2007), bahwa jenis dinding mempengaruhi terjadinya ISPA, karena dinding yang sulit dibersihkan akan menyebabkan penumpukan debu, sehingga akan dijadikan sebagai media yang baik bagi berkembangbiaknya kuman. Dinding rumah yang baik menggunakan tembok, tetapi dinding rumah di daerah tropis khususnya di pedesaan banyak yang berdinding papan, kayu dan bambu. Hal ini disebabkan masyarakat pedesaan perekonomiannya kurang. d. Hubungan Ventilasi Rumah dengan Kejadian ISPA pada Balita

Hasil uji statistik diperoleh nilai PR = 4,622 dengan 95% CI = 1,533-13,939 artinya responden yang ventilasi rumahnya tidak memenuhi syarat kesehatan berpeluang 4,622 kali lebih besar untuk balitanya terkena ISPA dibandingkan responden yang ventilasi rumahnya memenuhi syarat kesehatan. Berdasarkan interval kepercayaan diperoleh bahwa ventilasi rumah merupakan faktor risiko, sebab di dalam populasi yang diwakili sampel 95% nilai PR terletak diantara 1,533-13,939 tidak mencakup angka 1 (PR>1 menunjukkan bahwa ventilasi rumah merupakan faktor risiko). Nilai PValue = 0,009 maka dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara ventilasi rumah dengan kejadian ISPA pada balita di Kelurahan Cambai tahun 2010.

Rumah dengan luas ventilasi yang tidak memenuhi syarat kesehatan akan membawa pengaruh bagi penghuninya. Menurut Notoatmodjo (2003), salah satu fungsi ventilasi adalah untuk menjaga agar aliran udara di dalam rumah tersebut tetap segar. Luas ventilasi rumah yang 1 menunjukkan bahwa luas lantai rumah merupakan faktor risiko). Nilai PValue = 0,032 maka dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara luas lantai rumah dengan kejadian ISPA pada balita di Kelurahan Cambai tahun 2010.

Kusnoputranto (2000), mengatakan bahwa bangunan yang sempit dan tidak sesuai dengan jumlah penghuninya akan mempunyai dampak kurangnya O2 dalam ruangan sehingga daya tahan tubuh menurun, kemudian cepat timbulnya penyakit saluran pernafasan seperti ISPA. Selain itu, bila salah satu anggota keluarga terkena penyakit infeksi, akan mudah menular kepada anggota keluarga yang lain. Hal ini terbukti dari hasil penelitian diketahui bahwa dari 42 responden yang luas lantai rumahnya tidak memenuhi syarat kesehatan, sebagian besar anak balitanya menderita ISPA yaitu sebanyak 22 orang (52,4%). Dan dari 40 responden yang luas lantai rumahnya memenuhi syarat kesehatan, hanya 9 orang (22,5%) anak balitanya tidak menderita ISPA. Hasil penelitian ini di dukung oleh penelitian Wahyuni (2010) di wilayah kerja Puskesmas 4 Ulu Palembang, yang menunjukkan mayoritas balita yang menderita ISPA mempunyai luas lantai rumah yang tidak memenuhi syarat kesehatan (67,2%). f. Hubungan Kepadatan Hunian Rumah dengan Kejadian ISPA pada Balita

Hasil uji statistik diperoleh nilai PR = 3,131 dengan 95% CI = 1,202-8,160 artinya responden yang kepadatan hunian rumahnya tidak memenuhi syarat kesehatan berpeluang 3,131 kali lebih besar untuk balitanya terkena ISPA dibandingkan responden yang kepadatan hunian rumahnya memenuhi syarat kesehatan. Berdasarkan interval kepercayaan diperoleh bahwa kepadatan hunian rumah merupakan faktor risiko, sebab di dalam populasi yang diwakili sampel 95% nilai PR terletak diantara 1,202-8,160 tidak mencakup angka 1 (PR>1 menunjukkan bahwa kepadatan hunian rumah merupakan faktor risiko). Nilai PValue = 0,032 maka dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara kepadatan hunian rumah dengan kejadian ISPA pada balita di Kelurahan Cambai tahun 2010.

Dari hasil penelitian dapat diketahui bahwa dari 42 responden yang kepadatan hunian rumahnya tidak memenuhi syarat kesehatan, sebagian besar anak balitanya menderita ISPA yaitu sebanyak 22 orang (52,4%). Dan dari 40 responden yang kepadatan hunian rumahnya memenuhi syarat kesehatan, hanya 9 orang (22,5%) anak balitanya tidak menderita ISPA.

Hasil penelitian ini di dukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Arta (2009), bahwa kejadian ISPA pada balita lebih banyak terjadi pada responden yang kepadatan hunian rumahnya tidak memenuhi syarat kesehatan (88,7%).

Penduduk yang padat akan menimbulkan masalah yang kompleks seperti terbatasnya pemukiman, persaingan yang tinggi di dalam dunia kerja, meningkatnya angka pengangguran yang berdampak kepada sosial ekonomi yang rendah dan pada akhirnya menurunnya kualitas kesehatan keluarga dan mudahnya terjadinya penularan penyakit. Kepadatan hunian di dalam rumah dapat menimbulkan efek negatif terhadap fisik, mental maupun moril bagi penghuninya. Hunian yang padat memudahkan terjadinya penularan penyakit. Studi terhadap kondisi rumah menunjukkan hubungan yang tinggi antara koloni bakteri dan kepadatan hunian penghuni per meter persegi, sehingga adanya efek sinergi yang diciptakan dimana sumber pencemaran mempunyai potensi menekan reaksi kekebalan, bersama dengan terjadinya peningkatan bakteri patogen dengan kepadatan penghuni kepada setiap keluarga. Dengan demikian kuman sebagai penyebab penyakit menular saluran pernafasan makin banyak, bila penghuni semakin banyak jumlahnya. Jadi ukuran rumah yang kecil dengan jumlah penghuni yang padat serta jumlah kamar yang sedikit akan memperbesar kemungkinan penularan penyakit melalui droplet dan kontak langsung (Arta, 2009). g. Hubungan Tempat Pembuangan Sampah dengan Kejadian ISPA pada Balita

Hasil uji statistik diperoleh nilai PR = 2,685 dengan 95% CI = 1,034-6,976 artinya responden yang tempat pembuangan sampahnya tidak memenuhi syarat kesehatan berpeluang 2,685 kali lebih besar untuk balitanya terkena ISPA dibandingkan responden yang tempat pembuangan sampahnya memenuhi syarat kesehatan. Berdasarkan interval kepercayaan diperoleh bahwa tempat pembuangan sampah merupakan faktor risiko, sebab di dalam populasi yang diwakili sampel 95% nilai PR terletak diantara 1,034-6,976 tidak mencakup angka 1 (PR>1 menunjukkan bahwa tempat pembuangan sampah merupakan faktor risiko). Nilai PValue = 0,068 maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara tempat pembuangan sampah dengan kejadian ISPA pada balita di Kelurahan Cambai tahun 2010.

Menurut Yamin (2005) bahwa sampah yang tidak disimpan dengan baik atau dalam keadaan terbuka dapat menjadi tempat bersarangnya vector. Vektor ini dapat menyebarkan penyakit kepada manusia. Disamping itu, sampah yang tidak disimpan dengan baik tidak menarik untuk dilihat. Pengaruh sampah terhadap kesehatan dapat dikelompokan menjadi efek langsung dan tidak langsung. Hal ini terbukti dari hasil penelitian diketahui bahwa dari 44 responden yang tempat pembuangan sampahnya tidak memenuhi syarat kesehatan, sebagian besar anak balitanya menderita ISPA yaitu sebanyak 24 orang (54,5%). Dan dari 38 responden yang tempat pembuangan sampahnya memenuhi syarat kesehatan, ada 9 orang (23,7%) anak balitanya tidak menderita ISPA. Hal ini didukung oleh pernyataan yang dikemukakan Mubarak (20009), bahwa secara umum, pembuangan sampah yang tidak memenuhi syarat kesehatan dapat mengakibatkan tempat berkembang dan sarang dari serangga dan tikus, dapat menjadi sumber pengotoran tanah, sumber pencemaran air permukiman/udara, serta menjadi sumber dan tempat hidup dari kuman-kuman yang membahayakan kesehatan.BAB VII

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian, analisis, dan pembahasan yang dilakukan mengenai hubungan perilaku keluarga dan kualitas rumah sehat dengan kejadian ISPA pada balita di Kelurahan Cambai tahun 2010 sebagai berikut:

1. Distribusi perilaku keluarga (pengetahuan dan sikap) antara lain terdapat 59,8% responden dengan tingkat pengetahuan baik dan 43,9% responden yang bersikap tidak baik.2. Distribusi kualitas rumah sehat (atap, plafon, ventilasi, lantai, jumlah kepadatan penghuni rumah, luas rumah, tempat pembuangan sampah, jamban, SPAL) antara lain terdapat 54,9% atap rumah yang tidak memenuhi syarat kesehatan, 57,3% lantai rumah yang tidak memenuhi syarat kesehatan, 56,1% dinding rumah yang tidak memenuhi syarat kesehatan, 62,2% ventilasi rumah yang tidak memenuhi syarat kesehatan, 51,2% luas lantai dan kepadatan hunian rumah yang tidak memenuhi syarat kesehatan, dan 53,7% tempat pembuangan sampah yang tidak memenuhi syarat kesehatan.3. Ada hubungan antara tingkat pengetahuan keluarga dengan kejadian ISPA pada balita (PValue = 0,049), dimana Dimana nilai PR = 0,330 dengan 95%, artinya pengetahuan keluarga justru merupakan faktor pencegah ISPA pada balita, yakni balita yang pengetahuan keluarganya baik mempunyai peluang 67% (PR estimasi = 0,330) untuk mencegah balitanya terkena ISPA. Peneliti yakin bahwa 95% populasi risiko terletak antara 0,879 (penurunan risiko 12,1%) sampai 0,96 (penurunan risiko 90,4%).

4. Ada hubungan antara sikap keluarga dengan kejadian ISPA pada balita (PValue = 0,049), Dimana nilai PR = 0,334 dengan 95%, artinya sikap keluarga justru merupakan faktor pencegah ISPA pada balita, yakni balita yang keluarganya bersikap baik mempunyai peluang 66,6% (PR estimasi = 33,4) untuk mencegah balitanya terkena ISPA. Peneliti yakin bahwa 95% populasi risiko terletak relatif antara 0,872 (penurunan risiko 12,8%) sampai 0,097 (penurunan risiko dari 90,3%).5. Ada hubungan antara atap rumah dengan kejadian ISPA pada balita (PValue = 0,010), dimana nilai PR = 4,099 dengan 95% CI = 1,494-11,246 artinya responden yang atap rumahnya tidak memenuhi syarat kesehatan berpeluang 4,099 kali lebih besar untuk balitanya terkena ISPA dibandingkan responden yang atap rumahnya memenuhi syarat kesehatan. Berdasarkan interval kepercayaan diperoleh bahwa atap rumah merupakan faktor risiko, sebab di dalam populasi yang diwakili sampel 95% nilai PR terletak diantara 1,494-11,246 tidak mencakup angka 1 (PR>1 menunjukkan bahwa atap rumah merupakan faktor risiko).

6. Ada hubungan antara lantai rumah dengan kejadian ISPA pada balita (PValue = 0,001), dimana nilai PR = 8,807 dengan 95% CI = 2,683-28,906 artinya responden yang lantai rumahnya tidak memenuhi syarat kesehatan berpeluang 8,807 kali lebih besar untuk balitanya terkena ISPA dibandingkan responden yang lantai rumahnya memenuhi syarat kesehatan. Berdasarkan interval kepercayaan diperoleh bahwa lantai rumah merupakan faktor risiko, sebab di dalam populasi yang diwakili sampel 95% nilai PR terletak diantara 2,683-28,906 tidak mencakup angka 1 (PR>1 menunjukkan bahwa lantai rumah merupakan faktor risiko).

7. Tidak ada hubungan antara dinding rumah dengan kejadian ISPA pada balita (PValue = 0,299), dimana nilai PR = 1,830 dengan 95% CI = 0,717-4,666, menunjukkan bahwa dinding rumah belum tentu merupakan faktor risiko, sebab di dalam populasi yang diwakili oleh sampel 95% nilai rasio prevalensi terletak diantara 0,717-4,666, mencakup nilai 1 (RP=1 menunjukkan bahwa dinding rumah bersifat netral). Hal tersebut dapat disebabkan oleh 2 hal: dinding rumah memang bukan merupakan faktor risiko untuk terjadinya ISPA pada balita, atau jumlah subjek yang diteliti kurang banyak.

8. Ada hubungan antara ventilasi rumah dengan kejadian ISPA pada balita (PValue = 0,009), dimana nilai PR = 4,622 dengan 95% CI = 1,533-13,939 artinya responden yang ventilasi rumahnya tidak memenuhi syarat kesehatan berpeluang 4,622 kali lebih besar untuk balitanya terkena ISPA dibandingkan responden yang ventilasi rumahnya memenuhi syarat kesehatan. Berdasarkan interval kepercayaan diperoleh bahwa ventilasi rumah merupakan faktor risiko, sebab di dalam populasi yang diwakili sampel 95% nilai PR terletak diantara 1,533-13,939 tidak mencakup angka 1 (PR>1 menunjukkan bahwa ventilasi rumah merupakan faktor risiko).

9. Ada hubungan antara luas lantai rumah dengan kejadian ISPA pada balita (PValue = 0,032), dimana nilai PR = 3,131 dengan 95% CI = 1,202-8,160 artinya responden yang luas lantai rumahnya tidak memenuhi syarat kesehatan berpeluang 3,131 kali lebih besar untuk balitanya terkena ISPA dibandingkan responden yang luas lantai rumahnya memenuhi syarat kesehatan. Berdasarkan interval kepercayaan diperoleh bahwa luas lantai rumah merupakan faktor risiko, sebab di dalam populasi yang diwakili sampel 95% nilai PR terletak diantara 1,202-8,160 tidak mencakup angka 1 (PR>1 menunjukkan bahwa luas lantai rumah merupakan faktor risiko).

10. Ada hubungan antara kepadatan hunian rumah dengan kejadian ISPA pada balita (PValue = 0,032), dimana nilai PR = 3,131 dengan 95% CI = 1,202-8,160 artinya responden yang kepadatan hunian rumahnya tidak memenuhi syarat kesehatan berpeluang 3,131 kali lebih besar untuk balitanya terkena ISPA dibandingkan responden yang kepadatan hunian rumahnya memenuhi syarat kesehatan. Berdasarkan interval kepercayaan diperoleh bahwa kepadatan hunian rumah merupakan faktor risiko, sebab di dalam populasi yang diwakili sampel 95% nilai PR terletak diantara 1,202-8,160 tidak mencakup angka 1 (PR>1 menunjukkan bahwa kepadatan hunian rumah merupakan faktor risiko).

11. Tidak ada hubungan antara tempat pembuangan sampah dengan kejadian ISPA pada balita (PValue = 0,068), dimana nilai PR = 2,685 dengan 95% CI = 1,034-6,976 artinya responden yang tempat pembuangan sampahnya tidak memenuhi syarat kesehatan berpeluang 2,685 kali lebih besar untuk balitanya terkena ISPA dibandingkan responden yang tempat pembuangan sampahnya memenuhi syarat kesehatan. Berdasarkan interval kepercayaan diperoleh bahwa tempat pembuangan sampah merupakan faktor risiko, sebab di dalam populasi yang diwakili sampel 95% nilai PR terletak diantara 1,034-6,976 tidak mencakup angka 1 (PR>1 menunjukkan bahwa tempat pembuangan sampah merupakan faktor risiko). B. Saran

1. Bagi Orang Tua

Untuk mencegah terjadinya penyakit ISPA pada balita, diharapkan orang tua dapat menciptakan lingkungan yang aman bagi balita seperti kebiasaan membuka jendela untuk mengurangi kelembaban udara, tidak merokok di dekat balita dan menjaga jarak apabila menderita ISPA.2. Bagi Puskesmas Cambai Kota Prabumulih

a. Petugas berperan aktif memberikan penyuluhan/informasi secara intensif dan lengkap kepada masyarakat khususnya ibu yang mempunyai balita:

1) Petugas MTBS memberikan penyuluhan tentang pengertian, tanda dan gejala serta pencegahan penyakit ISPA.

2) Petugas bagian kesling memberikan penyuluhan tentang rumah sehat, bahwa sesungguhnya rumah sehat itu tidak selalu rumah yang mewah, namun perilaku penghuni rumah misalnya dalam hal frekuensi membuka jendela merupakan hal yang penting dalam mencegah penyakit pernafasan.

3) Petugas bagian KB memberikan penyuluhan tentang jumlah keluarga yang ideal yaitu cukup dengan 2 orang anak saja, sehingga kepadatan hunian dalam rumah tidak terjadi.b. Kerjasama antara pihak puskesmas, swasta dan pemerintah memberikan pelatihan wirausaha sesuai kemampuan dan kreativitas yang dimiliki ibu-ibu sehingga dapat membantu perekonomian keluarga yang tentunya akan berdampak terhadap kondisi rumah yang lebih baik.3. Bagi MasyarakatSebagai tindakan pencegahan, diharapkan masyarakat bisa bekerja sama menciptakan lingkungan dan perilaku hidup sehat (tidak merokok di dalam ruangan, pemberian ASI Eksklusif pada balita, kebiasaan membuka jendela pada pagi dan siang hari, dan menjaga jarak dengan balita apabila menderita ISPA baik dalam keluarga maupun kehidupan bermasyarakat).4. Bagi Peneliti Lain

a. Dapat melanjutkan penelitian ini di daerah lain untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas dan kemungkinan variabel lain ( Pengaruh penerangan, kelembaban dan kualitas udara: jenis obat nyamuk dan bahan bakar yang digunakan) yang berhubungan dengan dengan kejadian ISPA

b. Dapat melanjutkan penelitian ini dengan fokus pada satu variabel saja sehingga didapatkan gambaran yang lebih jelas dan khusus terhadap kejadian ISPA.

Perilaku Keluarga

Sikap

Pengetahuan

Kejadian ISPA

Lingkungan

Kondisi fisik rumah:

Atap

Lantai

Dinding

Ventilasi

Luas Rumah

Jumlah kepadatan penghuni rumah

Tempat Pembuangan sampah

Perilaku Keluarga

Sikap

Pengetahuan

KejadianISPA

Lingkungan

Kondisi fisik rumah:

Atap

Lantai

Dinding

Ventilasi

Luas Rumah

Jumlah kepadatan penghuni rumah

Tempat Pembuangan sampah

n = N. Z 1- . p.q

d (n-1) + Z 1- .p.q

Genetik

Pelayanan Kesehatan

Pelayanan Kesehatan

Genetika

Sindur

Pangkul

Cambai

M. Sungai

S. Medang

_1337526410.unknown