If you can't read please download the document
Author
cendra-mulya
View
228
Download
1
Embed Size (px)
SKENARIO-1
HUBUNGAN INFEKSI DENGAN PENCEMARAN TANAH OLEH
TELUR CACING YANG DITULARKAN MELALUI TANAH DAN
PERILAKU ANAK SEKOLAH DASAR DI KELURAHAN
TEMBUNG KECAMATAN MEDAN TEMBUNG
ABSTRAK
Infeksi cacing usus yang ditularkan melalui tanah (Soil-Transmitted
Helminths) masih merupakan problem kesehatan masyarakat terutama di daerah
tropik dan sub tropik, termasuk di Indonesia. Cacing yang cukup tinggi prevalensinya
di Indonesia adalah Ascaris lumbricoides, cacing tambang dan Trichuris trichiura.
Telah dilakukan penelitian secara cross sectional terhadap anak usia SD
di Kelurahan Tembung Kecamatan Medan Tembung, Kota Medan pada bulan Juni
2007.
Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui hubungan pencemaran tanah oleh
telur cacing dan perilaku anak usia SD dengan infeksi STH di Kelurahan Tembung
Pengambilan sampel secara acak sebanyak 80 sampel tinja anak yang terinfeksi dan
80 sampel tanah di pekarangan rumah anak tersebut. Pemeriksaan tinja dilakukan
dengan metode Kato-Katz sedangkan pemeriksaan sampel tanah dengan cara
Modifikasi Metode Suzuki. Untuk mengetahui perilaku anak dipakai kuesioner yang
isinya mengenai pengetahuan, sikap dan perilaku anak terhadap infeksi cacing STH.
Analisa statistik dengan uji Chi square untuk hubungan perilaku anak dengan
infeksi STH sedangkan untuk pencemaran tanah dan intensitas infeksi STH diuji
dengan Korellasi Pearson.
Dari hasil penelitian ini didapat prevalensi cacingan di SD Kecamatan
Tembung adalah 73% dan tingkat intensitas ringan dan sedang. Proporsi tanah yang
tercemar dan tidak tercemar telur adalah 52,5% dan 47,5%. Ada perbedaan yang
bermakna antara tindakan siswa yang baik dan kurang baik pada pencemaran tanah
oleh telur cacing. Ada korelasi yang bermakna antara pencemaran telur dan tingkat
intensitas infeksi A. lumbricoides.Tetapi tidak ada hubungan yang bermakna antara
perilaku anak dengan tingkat intensitas STH.
Kata Kunci: Ditularkan Melalui Tanah, Pencemaran Tanah dan Perilaku.
ABSTRACT
Intestinal worm infection which transmitted by soil (Soil-Transmitted
Helminths) is still the healthy problem of society especially in the tropic and sub
tropic area, including in Indonesia. The high prevalence of worms in Indonesia are
Ascaris lumbricoides, hookworm and Trichuris trichiura.
It has been research in sectional cross to primary school children in Kelurahan
Tembung Kecamatan Tembung Medan City at June 2007.
The research purpose is to know the connection of soil contamination by the
egg worm and primary school children behavior with STH infection in Tembung
district. The samples are taken randomly amounting to 80 samples of children faeces
which infected and 80 samples of soil in their house yard. The examination of faeces
is used by Kato-Katz method meanwhile the modification of Suzuki method is for
examining of soil. To know the children behavior are used questionnaire which
content of knowledge, attitude and behavior of the children to STH worm infection.
Statistic analysis with Chi square test is to connect the children behavior with
STH infection meanwhile to soil contamination and the intensity of STH infection is
tested by Pearson Correlation.
From the result of this research is obtained the wormy prevalence in primary
school of Tembung sub district is 73% and the level of light and medium intensity.
Soil proportion which polluted egg and not are 52,5% and 47,5%. There are
significant distinguish between student practice/behavior which good and rather not
good to soil contamination of egg worm. There are correlation between egg
contamination and intensity level of A.lumbricoides infection. But there no significant
relationship between children behavior and intensity of STH infection.
Key word: Soil-Transmitted Helminths, Soil contamination and Behavior.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Infeksi cacing usus yang ditularkan melalui tanah (Soil - Transmitted
Helminths) masih merupakan problem kesehatan masyarakat terutama di daerah
tropik dan subtropik, termasuk di Indonesia. Parasit ini banyak terdapat di daerah
pedesaan dan daerah kumuh perkotaan.
Dari laporan WHO diketahui bahwa lebih dari 1 milyar orang menderita
infeksi cacing yang ditularkan melalui tanah, lebih dari 250 juta oleh Ascaris
lumbricoides, 46 juta oleh Trichuris trichiura dan 151 juta oleh cacing tambang
(Montresor et al, 1998).
Cacing yang ditularkan melalui tanah yang prevalensinya cukup tinggi
di Indonesia adalah Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura dan cacing tambang
sedangkan Strongyloides stercoralis prevalensinya sangat rendah. Hasil survey
Subdit Diarhe pada tahun 2002 dan 2003 pada 40 Sekolah Dasar (SD) di 10 provinsi
menunjukkan prevalensi kecacingan berkisar antara 2,2% - 90,3% (Depkes R.I,
2004).
Infeksi dapat terjadi pada semua umur, baik pada balita, anak-anak ataupun
orang dewasa. Infeksi paling banyak terjadi pada anak usia SD disebabkan anak pada
usia tersebut yang paling banyak kontak dengan tanah.
Infeksi cacing ini dapat mengakibatkan terjadinya anemi, gangguan gizi,
gangguan pertumbuhan dan gangguan kecerdasan. Dalam jangka panjang apabila
terjadi infeksi terus menerus akan menurunkan kualitas sumberdaya manusia
(Montressor et al, 1998; Haju, 1998).
Menurut Subakti (1980) adanya infeksi cacing usus dapat menyebabkan
gangguan absorpsi zat gizi. Infeksi Asacaris lumbricoides pada tingkat ringan akan
menyebabkan gangguan penyerapan nutrien kira-kira 3% dari kalori yang dicerna,
sedangkan pada infeksi berat mengakibatkan 25% dari kalori yang dicerna tidak dapat
dimanfaatkan oleh tubuh (Maharani, 2005).
Anak yang terinfeksi terutama dengan derajat infeksi yang tinggi seringkali
diiringi dengan infeksi bakteri serta penyakit yang lain (Albright et al, 2005).
Pencemaran lingkungan, keadaan sanitasi, ada atau tidak ada jamban dan
perilaku manusia sangat berperan pada penularan infeksi cacing. Pencemaran tanah
dengan tinja merupakan media penularan yang baik bagi penularan Soil Transmitted
Helminths (STH). Telur yang dibuahi akan berkembang dengan cepat pada keadaan
lingkungan yang menguntungkannya dan menjadi telur yang infektif dalam waktu
beberapa minggu. Infeksi pada manusia terjadi melalui tangan yang tercemar telur
cacing yang infektif, lalu masuk kemulut bersama makanan atau larva menembus
kulit pada infeksi cacing tambang (Ulukanligil et al, 2001). Tinggi rendahnya
frekwensi penularan penyakit ini berhubungan erat dengan tercemarnya tanah dengan
tinja yang mengandung telur cacing, yang dapat digunakan sebagai indikator untuk
mengetahui adanya pencemaran di suatu tempat (Mardiana et al, 2000).
Penelitian tentang epidemiologi sudah cukup banyak dilakukan di Indonesia.
Kebanyakan penelitian berdasarkan pemeriksaan tinja. Masih sedikit penelitian telur
cacing yang mencemari tanah (Nurdiana, 2004). Beberapa penelitian yang pernah
dilaporkan adalah penelitian oleh Hadijaya (1992) di Kelurahan Pisangan Baru
Jakarta Timur menemukan 18,0% telur Ascaris lumbricoides di halaman rumah
penduduk. Sedangkan Mardiana (2000) menemukan telur Ascaris lumbricoides 5,6%
yang terpapar di tanah halaman sekitar rumah penduduk di 4 Desa Kecamatan Paseh
Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Dari hasil penelitian Hawin (2005) ditemukan
46,15% telur STH di tanah sekitar rumah di 3 RT di Desa Patemon, Kecamatan
Gunung Pati, Kodya Semarang. Di Sumatera Utara, Arrasyd (1999) menemukan
pencemaran tanah oleh telur Ascaris lumbricoides di P. Samosir 30,24%.
Penelitian Pasaribu (2003) di Desa Suka Kabupaten Tanah Karo menemukan
45,8% telur Ascaris lumbricoides yang terpapar di tanah sebelum diberi pengobatan
dan setelah 1 tahun pengobatan turun menjadi 10,4%. Di Kota Medan penulis belum
mendapatkan data tentang pencemaran tanah melalui STH.
Faktor kebersihan pribadi merupakan salah satu hal penting, karena manusia
sebagai sumber infeksi dapat mengurangi kontaminasi/pencemaran tanah oleh telur
ataupun larva cacing atau sebaliknya akan menambah polusi lingkungan sekitarnya.
Perilaku yang dapat membantu pencegahan cacingan adalah kebiasaan memelihara
kebersihan kuku tangan dan kaki serta kebersihan sesudah buang air besar (Maharani,
2005).
1.2.
Perumusan Masalah
1. Pemberantasan cacing dengan cara pengobatan belum memadai.
2. Keadaan infeksi cacing yang tetap tinggi dari tahun ketahun disebabkan oleh
adanya infeksi yang berulang-ulang. Reinfeksi STH dapat terjadi bila
pencemaran tanah oleh telur terus-menerus berlangsung. Tanah di sekitar
rumah merupakan salah satu sumber infeksi cacingan bagi anak-anak karena
tanah sering dimanfaatkan sebagai tempat bermain.
3. Kebersihan pribadi dan lingkungan, adalah merupakan faktor yang penting
untuk pencegahan cacingan.
1.3.
Tujuan Penelitian
1.3.1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui hubungan pencemaran tanah oleh telur cacing dan perilaku
anak usia SD dengan infeksi STH di Kelurahan Tembung.
1.3.2. Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui intensitas infeksi STH pada anak usia SD di Kelurahan
Tembung.
2. Untuk mengetahui proporsi pencemaran tanah oleh telur STH di Kelurahan
Tembung.
3. Untuk mengetahui perilaku anak usia SD yang dapat mempengaruhi
terjadinya infeksi STH di Kelurahan Tembung.
1.4.
Hipotesis
1. Ada hubungan antara pencemaran tanah oleh telur cacing dengan infeksi STH
di Kelurahan Tembung.
2. Ada hubungan antara perilaku anak usia SD dengan infeksi STH di Kelurahan
Tembung.
1.5.
Manfaat Penelitian
Diperolehnya gambaran yang jelas tentang pola hubungan antara pencemaran
tanah oleh telur cacing dengan perilaku anak pada infeksi STH untuk penataan
program pemberantasan cacingan.
1.6.
Kerangka Konsep
Pencemaran tanah
oleh telur STH
Infeksi STH pada
Anak usia SD
Perilaku Anak
Usia SD
Status gizi
Sosial ekonomi
Higiene/sanitasi
Keterangan : ___________ diamati pada penelitian
----------------- sebagai data pendukung
Gambar 1.1. Kerangka Konsep
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Soil Transmitted Helminths
Soil Transmitted Helmints (STH) adalah cacing yang untuk menyelesaikan
siklus hidupnya perlu hidup di tanah yang sesuai untuk berkembang menjadi bentuk
yang infektif bagi manusia.
Prevalensi Soil Transmitted Helminths yang paling banyak di Indonesia
adalah Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura dan cacing tambang (Gandahusada
et al, 1998; Margono, 2003).
2.1.1. Morfologi dan Daur Hidup
2.1.1.1. Ascaris lumbricoides
Cacing jantan berukuran 10 30 cm, sedangkan yang betina 22 35 cm.
Stadium dewasa hidup di rongga usus muda. Seekor cacing betina dapat berelur
sebanyak 100.000 200.000 butir sehari, terdiri dari telur yang dibuahi dan yang
tidak dibuahi.
Telur yang dibuahi, besarnya kurang lebih 60 x 45 mikron dan yang tidak
dibuahi 90 x 40 mikron. Dalam lingkungan yang sesuai, telur yang dibuahi
berkembang menjadi bentuk infektif dalam waktu kurang lebih 3 minggu. Bentuk
infektif ini, bila tertelan oleh manusia, menetas di usus halus. Larvanya menembus
dinding usus halus menuju pembuluh darah atau saluran limfe, lalu dialirkan ke
jantung, kemudian mengikuti aliran darah ke paru. Larva di paru menembus dinding
pembuluh darah, lalu dinding alveolus, masuk rongga alveolus, kemudian naik ke
trakea melalui bronkiolus dan bronkus. Dari trakea larva ini menuju laring, sehingga
menimbulkan rangsangan pada laring. Penderita batuk karena rangsangan ini dan
larva akan tertelan ke dalam esofagus, lalu menuju ke usus halus. Di usus halus larva
berubah menjadi cacing dewasa. Sejak telur matang tertelan sampai cacing dewasa
bertelur diperlukan waktu kurang lebih 2 bulan. Ascaris lumbricoides dapat hidup 12
18 bulan (Brown, 1979; Ganda Husada, 1998).
Gambar 2.1. Daur Hidup Ascaris lumbricoides
2.1.1.2. Trichuris trichiura
Cacing betina panjangnya kira-kira 5 cm, sedangkan cacing jantan kira-kira 4
cm. Bagian anterior halus seperti cambuk, panjangnya kira-kira 3/5 dari panjang
seluruh tubuh. Bagian posterior bentuknya lebih gemuk, pada cacing betina
bentuknya membulat tumpul dan pada cacing jantan melingkar dan terdapat satu
spikulum. Cacing dewasa ini hidup di kolon asendens dan sekum dengan bagian
anteriornya yang seperti cambuk masuk kedalam mukosa usus. Seekor cacing betina
diperkirakan menghasilkan telur setiap hari antara 3000 10.000 butir. Telur
berukuran 50 54 x 32 mikron, berbentuk seperti tempayan dengan semacam
penonjolan yang jernih pada kedua kutub. Kulit telur bagian luar berwarna kekuning-
kuningan dan bagian dalamnya jernih. Telur yang dibuahi dikeluarkan dari hospes
bersama tinja. Telur tersebut menjadi matang dalam waktu 3 minggu di tanah. Telur
matang ialah telur yang berisi larva dan merupakan bentuk infektif. Cara infeksi
langsung yaitu bila secara kebetulan hospes menelan telur matang, larva keluar
melalui dinding telur dan masuk kedalam usus halus. Sesudah menjadi dewasa cacing
turun ke usus bagian distal dan masuk ke daerah kolon, terutama sekum. Jadi cacing
ini tidak melalui siklus paru. Masa pertumbuhan mulai dari telur yang tertelan sampai
cacing dewasa betina meletakkan telur kira-kira 30 90 hari (Gandahusda, et al,
1998). Trichuris trichiura dapat hidup bertahun-tahun, kira-kira 5 14 tahun (Brown,
1979; Markell, et al, 1999).
Gambar 2.2. Daur Hidup Trichuris trichiura
2.1.1.3.Cacing Tambang
Cacing dewasa hidup dirongga usus halus, dengan mulut yang melekat pada
mukosa dinding usus. Cacing betina N. americanus tiap hari mengeluarkan telur kira-
kira 9000 butir, sedangkan A. duodenale kira-kira 10.000 butir.
Cacing betina berukuran panjang kurang lebih dari 1 cm, cacing jantan kurang
lebih 0,8 cm. Bentuk badan N. americanus biasanya menyerupai huruf S, sedangkan
A. duodenale menyerupai huruf C. Rongga mulut kedua jenis cacing ini besar. Pada
mulut N. americanus terdapat kitin, sedangkan pada mulut A. duodenale ada dua
pasang gigi. Cacing jantan mempunyai bursa kopulatriks.
Telur yang besarnya kira-kira 60 x 40 mikron, berbentuk bujur dan
mempunyai dinding tipis, di dalamnya terdapat beberapa sel. Telur dikeluarkan
dengan tinja dan setelah menetas dalam waktu 1 1,5 hari keluarlah larva
rhabditiform yang berukuran kira-kira 250 mikron. Dalam waktu kira-kira 3 hari
larva rhabditiform tumbuh menjadi larva filariform yang berukuran kira-kira 600
mikron dan dapat hidup selama 7 8 minggu di tanah. Larva filariform akan
menembus kulit dan ikut aliran darah ke jantung terus ke paru-paru. Larva menembus
alveoli dan masuk ke bronkus lalu ke trakea dan laring dari laring, larva ikut tertelan
dan masuk ke dalam usus halus dan menjadi cacing dewasa.
Infeksi terjadi bila larva filariform menembus kulit. Infeksi A. duodenale juga
mungkin dengan menelan larva filariform. Cacing tambang dapat hidup 1 14 tahun
(Zaman, 1988).
Gambar 2.3. Daur Hidup Cacing Tambang
2.1.2. Aspek Klinis
Larva Ascaris lumbricoides di paru-paru dapat menyebabkan gejala-gejala:
batuk, sesak, demam, pada roentgen foto terlihat bayangan infiltrat yang setiap hari
berubah dan akan bersih setelah 1 2 minggu. Sedangkan cacing dewasanya
menyebabkan gangguan usus yang ringan. Pada infeksi berat terutama pada anak
dapat menyebabkan malabsorbsi, dan juga dapat terjadi penggumpalan cacing dalam
usus sehingga terjadi ileus. Dapat juga terjadi ectopic infection, cacing dewasa
mengembara ke organ lain misalnya appendiks dan saluran empedu.
Pada trikuriasis ringan gejala-gejala yang muncul seperti mual atau diare.
Pada infeksi berat dapat menimbulkan sindrom disentri bahkan dapat menyebabkan
prolapsus recti/ani. Infeksi oleh cacing tambang pada saat larva filariform menembus
kulit menyebabkan terjadinya perubahan pada kulit yang disebut ground itch
sedangkan cacing dewasa menyebabkan terjadinya anemi defisiensi besi.
2.1.3. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan dengan menemukan telur, larva atau cacing dewasa
dalam tinja.
2.1.4. Epidemiologi
Infeksi STH tersebar di seluruh dunia, terutama di daerah tropis dan subtropis.
Masyarakat pedesaan atau daerah perkotaan yang padat dan kumuh merupakan
sasaran yang sangat mudah terkena infeksi. Pada umumnya frekwensi tertinggi
infeksi Ascaris dan Trichuris pada anak umur 5 15 tahun. Cacing tambang
frekwensi dan intensitas tinggi pada orang dewasa.
Epidemiologi Soil Transmitted Helminths dipengaruhi oleh 3 faktor yaitu
faktor parasit manusia dan lingkungan. Yang termasuk dalam faktor lingkungan
faktor iklim, tanah, kelembaban dan faktor sosio ekonomi.
Faktor Iklim
Iklim tropis sangat sesuai untuk pertumbuhan telur dan larva cacing untuk
mencapai tahap infektif. Suhu optimal untuk perkembangan telur-telur Ascaris
lumbricoides sekitar 25 C - 30 C. Telur Trichuris trichiura kira-kira 30 C, telur
Necator americanus 28 C 32 C, sedangkan A.duodenale 23 C 25 C. Sesuai
dengan iklim, cacing tambang yang paling banyak di Indonesia adalah Necator
americanus. Panas yang langsung, akan mematikan telur dan larva pada suhu 45 C
50 C
Faktor Tanah
Tanah yang sesuai untuk pertumbuhan telur A. lumbricoides dan Trichuris
trichiura adalah tanah liat. Untuk pertumbuhan larva cacing tambang diperlukan
tanah berpasir. Diantara butir-butir tanah pasir ini larva dapat dengan leluasa
mengambil O2.
Faktor Kelembaban
Kelembaban yang tinggi akan menunjang pertumbuhan telur dan larva. Telur
Ascaris dan Trichuris dapat bertahan ditanah lembab bertahun-tahun (Depary, 1994).
Ascaris
lumbricoides dan
Trichuris
trichiura
mempunyai
sifat-sifat
epidemiologi yang sama sehingga infeksi keduanya selalu bersamaan pada orang
yang sama.
Faktor Manusia
Masih kurangnya perhatian tentang kebersihan lingkungan dan perorangan
mempertinggi prevalensi infeksi cacing usus. Pembuangan tinja di halaman sekitar
rumah akan memungkinkan telur dan larva berkembang terus menjadi bentuk infektif.
Kebiasaan memakan sayuran yang tidak dimasak dan terkontaminasi/tercemar telur
cacing yang matang, karena dipupuk dengan tinja juga menambah reinfeksi.
Pada anak-anak perilaku atau kebiasaan tidak mencuci tangan sebelum makan
memperbesar faktor penularan cacing usus terutama yang ditularkan melalui tanah.
Selain itu kebiasaan tidak memakai alas kaki mempermudah terjadinya infeksi oleh
cacing tambang.
2.2.
Perilaku Kesehatan
Perilaku adalah semua kegiatan atau aktifitas manusia. Perilaku merupakan
bentuk respons atau reaksi terhadap stimulus atau rangsangan dari luar.
Menurut Notoatmojo, Perilaku Kesehatan adalah suatu respons seseorang
(organisme) terhadap stimulus atau objek yang berkaitan dengan sakit dan penyakit,
system pelayanan kesehatan, makanan dan minuman, serta lingkungan.
Menurut Becker (1979), perilaku hidup sehat adalah perilaku-perilaku yang
berkaitan dengan upaya atau kegiatan seseorang untuk mempertahankan dan
meningkatkan kesehatannya (Notoatmojo, 2003).
2.2.1. Domain Perilaku
Secara teori perubahan perilaku atau seseorang mengadopsi perilaku baru
dalam kehidupannya melalui 3 tahap yaitu Pengetahuan (Knowledge), Sikap
(Attitude) dan Praktek (Practice) atau K A P.
a. Pengetahuan (Knowledge)
Pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan ini terjadi setelah orang
melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui
pancaindera manusia. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata
dan telinga.
Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam
membentuk tindakan seseorang (overt behaviour).
Penelitian Rogers (1974) mengungkapkan bahwa sebelum orang mengadopsi
perilaku baru, di dalam diri orang tersebut terjadi proses yang berurutan, yakni:
Awereness (kesadaran), Ineterest, Evalution, Trial dan Adoption.
Namun demikian dari penelitian selanjutnya Rogers menyimpulkan bahwa
perubahan perilaku tidak selalu melewati tahap-tahap di atas (Notoatmojo, 2003).
Apabila penerimaan perilaku baru melalui proses seperti ini didasari oleh
pengetahuan, kesadaran dan sikap yang positif, maka perilaku tersebut akan bersifat
langgeng (long lasting). Sebaliknya apabila perilaku itu tidak didasari oleh
pengetahuan dan kesadaran maka tidak akan berlangsung lama (Notoatmojo, 2003).
Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket
yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subjek penelitian.
b. Sikap (attitude)
Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang
terhadap suatu stimulus atau objek. Sikap belum merupakan suatu tindakan atau
aktifitas, akan tetapi merupakan predisposisi tindakan atau perilaku.
Dalam bagian lain Allport menjelaskan bahwa sikap itu mempunyai
komponen pokok, yaitu:
a. Kepercayaan (keyakinan), ide dan konsep terhadap suatu objek.
b. Kehidupan emosional atau evaluasi emosional terhadap suatu objek.
c. Kecenderungan untuk bertindak.
Ketiga komponen ini secara bersama-sama membentuk sikap yang utuh (total
attitude). Dalam penentuan sikap ini, pengetahuan, berfikir, keyakinan dan emosi
memegang peranan penting. Sebagai contoh, seorang anak mendengar mengenai
penyakit cacingan (penyebabnya, akibatnya, pencegahannya dan sebagainya).
Pengetahuan ini akan membawa anak untuk berfikir dan berusaha supaya tidak
terkena cacingan. Dalam berfikir ini komponen emosi dan keyakinan ikut bekerja
sehingga anak tersebut berniat akan berusaha mencegahnya.
Pengukuran sikap dilakukan secara langsung dan tidak langsung. Secara
langsung dapat ditanyakan bagaimana pendapat atau pernyataan responden terhadap
suatu objek. Secara tidak langsung dapat dilakukan dengan pernyataan-pernyataan
hipotesis, kemudian ditanyakan pendapat responden (sangat setuju, setuju, tidak
setuju, sangat tidak setuju).
c. Praktek atau Tindakan (Practice)
Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan (overt behavior),
atau dalam bidang kesehatan disebut juga dengan perilaku kesehatan. Untuk
mewujudkan sikap menjadi suatu perbuatan nyata diperlukan faktor pendukung atau
suatu kondisi yang memungkinkan, antara lain fasilitas. Sikap anak yang positif
terhadap pencegahan cacingan harus didukung dengan fasilitas misalnya tersedianya
tempat buang air besar (jamban), tempat cuci tangan berikut sabun, alas kaki dan lain
sebagainya.
Pengukuran perilaku dapat dilakukan secara tidak langsung yakni dengan
wawancara terhadap kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan beberapa jam, hari, atau
bulan yang lalu (recall). Pengukuran juga dapat dilakukan secara langsung, yakni
dengan mengobservasi tindakan atau kegiatan responden.
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1.
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di Kelurahan Tembung Kecamatan Medan Tembung,
Kota Medan, Sumatera Utara pada bulan Juni 2007.
3.2.
Desain Penelitian
Penelitian ini menggunakan rancangan sekat lintang (cross sectional study)
karena semua kondisi diamati pada waktu yang sama.
3.3.
Populasi dan Sampel
3.3.1. Populasi
Anak usia SD yang cacingan dan tanah pekarangan rumah tempat tinggal anak
tersebut di Kelurahan Tembung.
3.3.2. Sampel
Sebagian dari anak usia SD yang cacingan dan tanah pekarangan rumah yang
jumlahnya berdasarkan perkiraan sampel dan kriteria inklusi dan eksklusi
di Kelurahan Tembung.
3.4.
3.5.
3.6.
Kriteria Inklusi
1. Rumah yang mempunyai anak usia 6-13 tahun, usia SD yang menderita
cacingan.
2. Bersedia mengikuti penelitian.
Kriteria Eksklusi
1. Rumah yang mempunyai halaman semen/bukan tanah.
Perkiraan Besar Sampel
Ditentukan dengan rumus
n
Z x
d
2
Keterangan:
Z = nilai batas normal dari tabel Z yang besarnya tergantung pada yang
diterima, = 0,05
1,96
= simpang baku 18344 telur dalam tinja, Pasaribu (2003)
d = presisi (tingkat ketepatan) yang diingini: 4000
Dari perhitungan yang didapat besar sampel minimal 80.
Sampel diambil secara acak sederhana.
3.7.
Cara Kerja
3.7.1. Pemeriksaan Tinja
Dilakukan pemeriksaan tinja anak usia SD dengan metode Kato-Katz.
Tempat pemeriksaan di Laboratorium FK-UISU Medan. Dari pemeriksaan tinja
didapat prevalensi dan intensitas STH.
Bahan yang diperlukan:
1. Cellophan selebar 2,5 x 3 cm.
2. Larutan Kato.
3. Kawat kasa selebar 3 x 4 cm untuk menyaring tinja.
4. Karton ukuran 3 x 4 cm, tebal 1,5 mm, ditengah berlubang dengan diameter 6
mm.
5. Isi lubang karton telah diketahui sebelumnya 41,7 mg.
6. Kaca benda.
7. Tutup botol dari karet.
8. Kertas saring ukuran 10 x 10 cm.
9. Kertas minyak tidak tembus air ukuran 10 x 10 cm.
10. Potongan lidi/bambu.
11. Tinja yang akan diperiksa.
Cara Kerja:
1. Letakkan kertas saring di atas kertas berminyak di meja laboratorium.
2. Ambil tinja yang banyak dengan lidi dan letakkan di atas kertas saring di meja
laboratorium.
3. Letakkan kawat kasa di atas tinja.
4. Ambil kaca benda dan letakkan kertas karton di atas kaca benda, lubang kertas
karton harus di tengah kaca benda.
5. Dengan lidi tekan kawat kasa di atas tinja, kemudian dengan lidi tinja di atas
kawat kasa dimasukkan ke dalam lubang kertas karton.
6. Isilah lubang karton sampai rata dengan permukaan kertas karton.
7. Angkatlah kertas karton, dan tinja dalam lubang akan tertinggal di atas kaca
benda.
8. Tutuplah kaca benda dengan cellophane.
9. Tekan cellophane dengan kaca benda lain atau tutup botol dari karet untuk
meratakan tinja di bawah cellophane.
10. Letakkan sediaan secara terbalik di atas kertas saring.
11. Biarkan sediaan selama 20 30 menit.
12. Hitunglah telur cacing, jumlah telur cacing di kali 24 sama dengan jumlah
telur cacing dalam 1 gram tinja.
3.7.2. Pemeriksaan Tanah Pekarangan
Cara Modifikasi Metode Suzuki (Arrasyid, 1999)
Prosedur pengambilan sampel:
1. Sampel tanah dikikis dari permukaan tanah pekarangan kiri, kanan, depan
dan belakang rumah dan dimasukkan pada pot plastik yang berbeda sesuai
dengan lokasi pengambilan dan diberi label.
2. Sampel dimasukkan kedalam Ice box dan dibawa ke laboratorium.
Di laboratorium, sampel disimpan di lemari es sampai saat pemeriksaan bila
tidak sempat diperiksa langsung.
Tekhnik pemeriksaan:
1. Sampel 2 gram dilarutkan dengan 10 ml air kran.
Masukkan kedalam tabung sentrifuse melalui saringan teh yang dilapisi kain
kasa basah.
2. Sentrifuse selama 2 menit dengan kecepatan 2000 RPM.
3. Supernatan dibuang dengan hati-hati, pada sedimen tambahkan 10 ml.
Larutan Magnesium Sulfat BJ 1.260 (282 gram/liter Aquadest; Phillipson,
1962). Kocok dengan baik sampai larut betul.
4. Sentrifuse 2500 RPM selama 5 menit.
5. Tambahkan larutan Magnesium Sulfat dengan hati-hati sampai penuh/
concave tanpa melimpah.
6. Tutup secara vertikal dengan cover glass.
7. Tunggu 15 20 menit.
8. Cover glass diangkat secara vertikal dan diletakkan pada object glass dan
segera periksa.
3.7.3. Kuesioner untuk Mengetahui Perilaku Anak yang Berpengaruh terhadap
Infeksi STH
3.8.
Definisi Operasional
1. Infeksi STH adalah infeksi oleh Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura atau
cacing tambang yang di diagnosa dengan dijumpainya telur cacing, larva atau
cacing dewasa di dalam tinja.
2. Intensitas adalah standar yang dipakai untuk menentukan derajat berat
penyakit secara tidak langsung berdasarkan jumlah telur STH yang keluar
pergram tinja.
Intensitas
Ringan
Sedang
Berat
A.lumbricoides
1 4.999
5.000 49.000
>50.000
T.trichiura
1 999
1.000 9.999
>10.000
Ccg tambang
1 1.999
2.000 3.999
>4.000
3. Pencemaran tanah oleh telur STH adalah ditemukan telur STH di halaman
rumah yang diambil dari 4 lokasi yaitu depan, belakang kanan dan kiri rumah
dan dijadikan satu hasil untuk setiap rumah.
4. Perilaku anak
a. Pengetahuan: yaitu pengetahuan tentang jenis cacing, tanda-tanda
cacingan, penularan, akibat yang ditimbulkannya dan cara pencegahan.
Kategori 1. Kurang baik : bila dapat menjawab benar sebanyak 80%
b. Sikap: yaitu setuju, kurang setuju atau tidak setuju anak dalam hal
memberantas cacingan dengan memakan obat secara teratur, menghindari
penularan penyakit cacingan dengan mencuci tangan dengan sabun
sebelum makan dan memakai alas kaki, bab di jamban, memotong kuku
secara teratur, tidak jajan dan mencuci tangan dan kaki setelah bermain-
main di luar rumah.
Kategori: 1. Kuramg Baik
2. Baik
: bila menjawab setuju < 80%
: bila menjawab setuju > 80%
c. Tindakan/perilaku: yaitu kebiasaan buang air besar di jamban, mencuci
tangan sebelum makan, mencuci tangan dengan sabun, makan dengan
memakai sendok, memakai alas kaki di luar rumah, memotong kuku setiap
minggu dan kebiasaan jajan.
Kategori: 1. Kurang Baik : bila menjawab ya sebanyak < 80%
2. Baik
: bila menjawab ya sebanyak > 80%
3.9.
Variabel
Variabel bebas
Variabel tergantung
: pencemaran tanah oleh telur, perilaku anak
: infeksi STH
3.10.
Analisa Statistik
Untuk melihat hubungan jumlah telur cacing ditanah dengan intensitas infeksi
STH diuji dengan Korellasi Pearson bila data berdistribusi normal, kalau tidak
normal dipakai uji Sperman.
Untuk melihat hubungan antara perilaku anak dengan infeksi STH digunakan
uji Chi Square.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1.
Hasil
Sampel diambil dari murid kelas 1 sampai dengan kelas 6 SD Negeri No.
067240 Jl. Benteng Hulu No. 40 B Kecamatan Medan Tembung sebanyak 374 orang.
Setelah dilakukan pemeriksaan tinja terdapat 273 (73%) siswa menderita cacingan
yaitu Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura, cacing tambang dan Hymenolepis
nana.
Tabel 4.1. Prevalensi Cacing Usus di SD Negeri No. 067240, Kecamatan Medan
Tembung (n= 273)
Species
Ascaris lumbricoides
Trichuris trichiura
Jumlah Sampel N (%)
174 (46,52 %)
237 (63,37 %)
Cacing tambang
Hymenolepis nana
2
2
(0,53 %)
(0,53 %)
Trichuris trichiura + A.lumbricoides
T.trichiura + A.lumbricoides + C.tambang
136 (36.33 %)
2 (0,53 %)
T.trichiura + H.nana
2
(0,53 %)
Dari Tabel 4.1 tampak prevalensi yang paling tinggi adalah Trichuris
trichiura (63,37%). Ascaris lumbricoides (46,52%) sedangkan cacing tambang hanya
0,53%, Hymenolepis nana 0,53%.
Dijumpai infeksi ganda Ascaris lumbricoides dan Trichuris trichuira
sebanyak 36,33%. Triple infeksi Trichuris trichiura, Ascaris lumbricoides dan cacing
tambang sebanyak 0,53%.
Tabel 4.2. Distribusi Jenis Cacing pada Anak Usia SD yang Tinggal di Kelurahan
Tembung (n = 80)
Species
Jumlah N (%)
Ascaris lumbricoides
Trichuris trichiura
A. lumbricoides + T. trichiura
56
68
46
(70 %)
(85 %)
(57,5 %)
Dari Tabel 4.2, tampak distribusi cacing di Kelurahan Tembung dengan
sampel 80 didapat Ascaris lumbricoides 70% Trichuris trichiura 85% dan infeksi
campuran A. lumbricoides dan T. trichiura 57,5%.
Tabel 4.3. Karakteristik Sampel (n= 80)
Jenis kelamin
Karakteristik
n (%)
Jumlah
n; x SD
Laki-laki
Perempuan
Umur
6 8 tahun
9 - 11 tahun
12 13 tahun
Kelas
37 (46,3%)
43 (53,8%)
33 (41,3%)
34 (42,6%)
13 (16,1 %)
I
II
III
IV
V
VI
Umur (tahun)
Tinggi Badan (cm)
Berat Badan (kg)
28
14
4
13
15
8
(32,5%)
(17,5%)
(5.0%)
(16,3%)
(18,8%)
(10,0%)
80; 9,34 2,00
80; 128,56 10,52
80; 22,96 6,83
Dari Tabel 4.3, tampak frekwensi laki-laki sebanyak 37 orang (46,3%) dan
perempuan sebanyak 43 orang (43,8%). Kalau ditinjau dari umur, tampak umur 6 8
tahun sebanyak 33 orang (41,3%) sedangkan kelompok umur 9 11 tahun sebanyak
34 orang (42,6%) dan kelompok umur 12 -13 tahun sebanyak 13 orang (16,1%).
Ditinjau dari kelas, kelas I sebanyak 28 orang (32,5%), kelas II 14 orang
(17,5%), kelas III 4 orang (5,0%), kelas IV 13 orang (16,3%), kelas V 15 orang
(18,8%) dan kelas VI 8 orang (10,0%).
Umur rata-rata dari siswa adalah 9,34 2,00 (tahun), Tinggi Badan rata-rata
adalah 128,56 10,52 (cm) dan Berat Badan rata-rata 22,96 6,83 (kg).
Tabel 4.4. Intensitas Infeksi STH pada Anak Usia SD di Kelurahan Tembung (n = 80)
Tingkat Intensitas Infeksi STH
Spesies
Ringan
n %
Sedang
n %
Berat
n %
Jumlah
N %
Ascaris lumbricoides
Trichuris trichiura
39 66
64 91
17
5
34
9
-
56
69
100
100
Dari Tabel 4.4, intensitas infeksi STH pada anak usia SD di Kelurahan
Tembung, Ascaris lumbricoides tingkat Intensitas ringan sebanyak 66%, intensitas
sedang 34% sedangkan intensitas berat 0%. T. trichiura intensitas ringan 91%,
intensitas sedang 9% sedangkan intensitas berat 0%.
Tabel 4.5. Hubungan Perilaku Anak dengan Intensitas Infeksi A. lumbricoides
Tingkat Intensitas A.lumbricoides
Ranah Perilaku
Tidak infeksi Ringan
Sedang
Jumlah
P
n
%
n
%
n
%
n
%
Pengetahuan
Baik
Kurang baik
0
24
0,0
31,6
2
37
50,0
48,7
2 50,0
15 19,7
4
76
100
100
0,234
Sikap
Baik
Kurang baik
1
23
20,0
30,7
3
36
60,0
48,0
1
16
20,0
21,3
5
75
100
100
0,852
Tindakan
Baik
Kurang baik
10
14
41,7 10
25,0 29
41,7
51,8
4 16,7
13 23,2
24 100
66 100
0,325
Dari Tabel 4.5, tampak pengetahuan anak tentang cacingan tidak ada
hubungan dengan intensitas infeksi A. lumbricoides (p>0.05). Demikian pula sikap
dan tindakan anak tidak ada hubungan dengan intensitas infeksi A. lumbricoides
(p>0,05).
Tabel 4.6. Hubungan Perilaku Anak dengan Intensitas Trichuris trichiura
Tingkat Intensitas Trichuris trichiura
p
Ranah Perilaku
Tidak Infeksi
Ringan
Sedang
Jumlah
n
%
n
%
n
%
n
%
Pengetahuan
Baik
Kurang baik
0
11
0,00
14,5
4
60
100
78,9
0
5
0,00
6,6
4
76
100
100
0,591
Sikap
Baik
1
20,0
4
80,0
0
0,00
5
100
0,785
Lanjutan Tabel 4.6.
Kurang baik
10
13,3
60
80,0
5
6,7
75
100
Tindakan
Baik
Kurang baik
5
6
20.8
10,7
19
45
79,2
80,0
0
5
0,00
8,9
24
56
100
100
0,183
Dari Tabel 4.6, tampak pengetahuan anak tentang cacingan tidak ada
hubungan dengan intensitas infeksi T. trichiura (p>0,05). Demikian pula Sikap dan
tindakan terhadap cacingan tidak ada hubungan dengan intensitas infeksi T. trichiura
(p>0,05).
Tabel 4.7. Hubungan Perilaku Anak dengan Pencemaran Tanah oleh Telur Cacing
Pencemaran Tanah oleh Telur
Ranah Perilaku
Tidak Tercemar Tercemar Jumlah
P
n % n % n %
Pengetahuan
Baik
Kurang baik
3
35
75.0
46,1
1
41
25,0
53,9
4
76
100,0
100,0
0,258
Sikap
Baik
Kurang baik
3
35
60,0
46,7
2
40
40,0
53,3
5
75
100,0
100,0
0,563
Tindakan
Baik
Kurang baik
7
31
29,2
65,4
17
25
70,8
44,6
24
56
100,0
100,0
0,032*
Pada Tabel 4.7, tidak ada perbedaan bermakna prevalensi infeksi cacing untuk
siswa pengetahuan baik dengan siswa pengetahuan kurang baik pada lingkungan
yang tidak tercemar telur cacing maupun pada lingkungan yang tercemar (p > 0,05).
Begitu pula tidak ada perbedaan bermakna prevalensi infeksi cacing untuk siswa yang
mempunyai sikap yang baik dengan siswa yang kurang baik pada lingkungan tidak
tercemar maupun pada lingkungan yang tercemar telur cacing (p> 0,05). Tetapi ada
perbedaan bermakna prevalensi infeksi cacing untuk siswa yang mempunyai
tindakan yang baik dengan siswa yang mempunyai tindakan kurang baik pada
lingkungan rumah yang tercemar maupun pada lingkungan yang tercemar telur
cacing (p 0,05).
Demikian pula dengan infeksi T. trichiura, anak yang tidak terinfeksi
Trichuris sebanyak 11 orang. Anak yang berpengetahuan kurang sebanyak 11 orang
(14,5%) dan juga anak yang bersikap kurang baik sebanyak 10 orang (13,3%) dan
tindakan yang kurang baik sebanyak 6 orang (10,7%). Dengan uji statistik chi square
didapat bahwa tidak ada hubungan antara tingkat intensitas infeksi Trichuris trichiura
dengan perilaku anak SD (p > 0,05).
Proporsi tanah pekarangan rumah yang tidak tercemar oleh telur cacing
adalah 38 (47,5%) sedangkan yang tercemar 42 (52,5%). Dan pekarangan depan
merupakan bagian yang paling banyak dijumpai telur. Jumlah telur yang dijumpai
berkisar 1 9 butir. Pasaribu (2003) pada penelitiannya di Desa Suka, Kecamatan
Tiga Panah Tanah Karo menemukan telur berkisar 1 5 butir dan yang paling banyak
di pekarangan belakang. Telur yang paling banyak dijumpai adalah telur Ascaris. Hal
ini sesuai dengan jumlah telur yang keluar bersama tinja 1 (satu) hari yaitu kira-kira
200.000 butir dibandingkan dengan telur Trichuris hanya 5.000 butir sehari.
Dari 80 siswa yang terinfeksi cacing di mana 4 siswa dengan pengetahuan
baik, 3 siswa berada di lingkungan rumah yang tidak tercemar telur cacing. 1 (25%)
siswa berada pada lingkungan rumah yang tercemar telur cacing. Sedangkan 76 siswa
dengan pengetahuan kurang baik 35 (46,1%) siswa berada pada lingkungan rumah
yang tidak tercemar telur cacing, 41 (53,9%) siswa berada pada lingkungan rumah
yang tercemar telur cacing. Dengan uji statistik Chi Square,tidak ada perbedaan yang
bermakna prevalensi infeksi cacing untuk siswa pengetahuan baik dengan siswa yang
pengetahuan kurang baik pada lingkungan yang tidak tercemar telur maupun
lingkungan yang tercemar telur cacing (p > 0,05%).
Dari 80 siswa terinfeksi cacing di mana 5 siswa dengan sikap yang baik,
3 (60%) siswa berada pada lingkungan rumah yang tidak tercemar telur cacing,
2 (40%) siswa berada pada lingkungan rumah yang tercemar telur cacing. Sedangkan
75 siswa dengan sikap yang kurang baik, 35 (46,7%) siswa berada pada lingkungan
rumah yang tidak tercemar telur cacing, 40 (53,3%) siswa berada pada lingkungan
rumah yang tercemar telur cacing. Dengan uji statistik Chi Square tidak ada
perbedaan yang bermakna prevalensi infeksi cacing siswa yang mempunyai sikap
baik dengan siswa yang mempunyai sikap kurang baik pada lingkungan tidak
tercemar maupun pada lingkungan yang tercemar telur cacing (p > 0,05%).
Dari 80 siswa terinfeksi cacing di mana 24 siswa dengan tindakan yang baik,
7 (29,2%) siswa berada pada lingkungan rumah yang tidak tercemar telur cacing, 17
(70,8%) siswa berada pada lingkungan yang tercemar telur cacing. Sedangkan 56
siswa dengan tindakan yang kurang baik 31 (65,4%) siswa berada pada lingkungan
rumah yang tidak tercemar telur cacing, 25 (44,6%) siswa berada pada lingkungan
rumah yang tercemar telur cacing. Ada perbedaan bermakna prevalensi infeksi
cacing untuk siswa yang mempunyai tindakan baik dengan siswa yang mempunyai
tindakan kurang baik pada lingkungan tidak tercemar telur cacing maupun pada
lingkungan tercemar telur cacing (p < 0,05).
Siswa yang menderita infeksi STH pada lingkungan tidak tercemar
kemungkinan mendapat infeksi dari tempat bermain yang lain atau siswa tidak
mencemari lingkungan rumahnya dengan tinja yang mengandung telur.
Ada korelasi yang bermakna antara jumlah telur ditanah dan intensitas infeksi
A. lumbricoides. Semakin banyak telur ditanah semakin bertambah tingkat intensitas
infeksi cacing. Seperti yang dinyatakan oleh Gandahusada dkk, (1998) semakin
banyak telur ditemukan di sumber kontaminasi (tanah, debu, sayuran dan lain-lain)
semakin tinggi derajat endemi di suatu daerah dengan infeksi yang semakin berat.
Namun berbeda dengan dengan Ascaris, jumlah telur Trichuris ditanah tidak
mempunyai korelasi yang bermakna dengan intensitas infeksi Trichuris trichiura. Ini
dimungkinkan karena jumlah telur yang dikeluarkan oleh satu ekor cacing betina
Trichuris hanya kira-kira 5000 butir telur/hari.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1.
Kesimpulan
1. Prevalensi cacingan di Sekolah Dasar Kecamatan Tembung adalah 73%.
Intensitas infeksi hanya ringan dan sedang sedangkan intensitas berat tidak
dijumpai.
2. Proporsi tanah yang tercemar dan tidak tercemar telur adalah 52,5% dan
47,5%.
3. Ada perbedaan yang bermakna antara tindakan yang baik dan yang kurang
baik pada pencemaran tanah oleh telur.
4. Ada korelasi yang bermakna antara pencemaran tanah oleh telur dan intensitas
infeksi Asacaris lumbricoides.
5. Tidak ada hubungan bermakna antara perilaku anak dengan tingkat
Intensitas STH.
5.2.
Saran
1. Dianjurkan untuk dilakukan penyuluhan kesehatan baik kepada orang tua
ataupun siswa mengenai STH ataupun infeksi cacing usus lainnya.
2. Pada pengobatan massal untuk anak SD disarankan memakai obat yang
efektif untuk STH dan bersifat ovisidal sehingga pencemaran tanah oleh telur
yang dapat menjadi infektif akan menurun.
3. Pemberantasan dengan cara program terpadu lintas sektoral.
DAFTAR PUSTAKA
Albright J.W, Nur Rokhmah Hidayati, Jasna Basaric-Keys. 2005. Behavioral and
Hygiene Characteristic of Primary School of Geohelminth Infections: A
Study in Central Java, Indonesia Southeast Asian Journal of Tropical
Medicine and Public Health 36 (3): 629-41.
Arrasyd N.K. 1999. Kontaminasi Tanah oleh Soil Transmitted Helminth di Ambarita-
Pagururan pulau Samosir. Laporan Penelitian. Fakultas Kedokteran USU.
Brown H.W. 1979. Dasar Parasitologi Klinis. Edisi Ketiga Jakarta. Gramedia. 177-
216.
Depary, A.A. 1994. Epidemiologi Soil Transmitted Helminthiasis di Indonesia.
Makalah Simposium Peran Serta Masyarakat dalam Usaha Penanggulangan
Penyakit Kecacingan. FK-USU.
Departemen Kesehatan RI. 2004. Buku Pedoman Pemberantasan Penyakit Cacingan.
Gandahusada S, Ilahudde HD, Pribadi, W. 1998. Parasitologi Kedokteran. Edisi
Ketiga. BPFKUI. Jakarta. 8-29.
Hadijaya P, Sri S. Margono, Adi Sasongko dan Rumsah Rasad. 1992. Dampak
Pengobatan, Perbaikan lingkungan dan Sanitasi serta Penyuluhan Kesehatan
terhadap Prevalensi Infeksi Ascaris lumbricoides, Maj. Parasitol, Ind. 5 (1):
115-20.
Haju
V, L. S. Stephenson, HO. Muhammad, DD Bowman and RS Parker. 1998.
Improvement of Growth, apetite and Phisical Activity in: Helminth Infected
Schoolboys 6 Months After Single Dose of Albendazole. Asia Pacific 7 ((2) J
Clin Nutr): 170-76.
Hawin N. 2005. Pengaruh Tingkat Pengetahuan Pengasuh dari Anak usia 1-12
Tahun yang Kecacingan terhadap Polusi Tanah di Sekitar Rumah oleh Soil
transmitted Helminths. Saintica Medika, 2 (1): 9-24.
Mardiana L, Agustina, N. Riris, Djarismawati dan Sukijo. 2000. Telur Ascaris
lumbricoides pada Tinja dan Kuku Anak Balita serta Tanah di Kecamatan
Paseh, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Maj. Parasitol Ind. 13 (1-2): 28-32.
Maharani A. 2005. Infeksi Nematoda Usus pada Siswa Sekolah Dasar Negeri (SDN)
Karang Mulya 02, Kecamatan Pegandon, Kabupaten Kendal. Jurnal
Kedokteran Yarsi 13 (1): 24-34.
Margono S.S. 1996. Pemeriksaan Tanah, Debu, Usap Jari dan Kotoran Kuku
terhadap Telur Ascaris lumbricoides. Maj. Kedok.Indon; 46 (11): 621-626.
Margono S.S, 2003. Impotan Human Helminthiasis in Indonesia. In: Crompton DWT,
Montresor A, Nesheim MC, Savioli L, eds. Controlling Disease Due to
Helminth Infections. World Health Organisation. Geneva.
Markell, E.K. 1999. Markell & Voges Medical Parasitology. 8 th Ed., W.B Saunders
Co.
Montressor A., CROMPTON, DWT., Hall, Bundy, D A P, Savioli, L, Guidelines for
the evaluation of soil transmitted helminthiasis and schistomiasis at
community level,WHO/ctd/SIP/98.
Notoatmodjo S. 2003. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Edisi Kesatu. Rineka
Cipta. Jakarta. hal. 114-34.
Nurdiana Y. 2004. Soil Contamination By Intestinal Parasite Eggs In Two Urban
Villages of Jember. Jurnal ILMU DASAR 5 (1): 50-54.
Pasaribu S. 2003. Penentuan optimal Pengobatan Massal Askariasis dengan
Albendazole Pada Anak Usia Sekolah Dasar di Desa Suka. Ringkasan
Desertasi. Program Pasca Sarjana USU. Medan.
Sastroasmoro S, Sofyan Ismael. 2002. Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Klinis.
Edisi Kedua. Jakarta. Sagung Seto.
Tigor C. 2006. Efek Pemberian Obat Albendazole terhadap Intensitas Infeksi, Status
Nutrisi dan Fungsi Kognitif pada Anak Sekolah Dasar yang Terinfeksi
Ascaris lumbricoides, Tesis. Program Pascasarjana Tropical Medicine. USU.
Medan.
Ulukanligil M, Adnan Seyrek, Gonul Aslan, Hatice Ozbilge, Suleiman Atay. 2001.
Environmental Pollution with Soil Transmitted Helminths in Salinurfa.
Turkey Mem Inst.Ozwaaldo Cruz, Rio de Janeiro. 96 (7) : 903-907.
Wachidanijah. 2002. Pengetahuan, Sikap dan Perilaku Anak serta Lingkungan
Rumah dan Sekolah dengan Kejadian Infeksi Kecacingan Anak Sekolah
Dasar: Studi di Kecamatan Prembun, Kabupaten Kebumen. Availablefrom
URL :http://digilib.litbang.depkes.go.id/go.php?id-jkpkbppk-gdl-res-2002-
wachidanijah.
Zaman V and LOH, A.K. 1988. Handbook of Medical Parasitology. ADIS Health
Science Press, New York, Tokyo, Mexico, Sydney, Auckland, Hongkong.
Zulkarnain M. 1999. Worm Infections among Primary School Children in
Palembang, South Sumatera, Indonesia. Majalah Kedokteran Sriwijaya 31
(3): 8-19.