Upload
tio-mala-siburian
View
114
Download
9
Embed Size (px)
Citation preview
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Respirasi merupakan proses ganda, yaitu terjadinya pertukaran gas di dalam jaringan (penafasan dalam) dan yang terjadi di dalam paru-paru (pernafasan luar). Dengan bernafas setiap sel dalam tubuh menerima persediaan oksigennya dan pada saat yang sama melepaskan produk oksidasinya. Oksigen yang bersenyawa dengan karbon dan hidrogen dari jaringan, memungkinkan setiap sel sendiri-sendiri melangsungkan proses metabolismenya, yang berarti pekerjaan selesai dan hasil buangan dalam bentuk karbon dioksida dan air dihilangkan (Pearce, 2008).
System respirasi pada manusia terdiri dari jaringan dan organ tubuh yang merupakan parameter kesehatan manusia. Jika salah satu system respirasi terganggu maka secara system lain yang bekerja dalam tubuh akan terganggu. Hal ini dapat menimbulkan terganggunya proses homeostasis tubuh dan dalam jangka panjang dapat menimbulkan berbagai macam penyakit.
Gangguan sistem respirasi merupakan gangguan yang menjadi masalah besar di dunia khususnya Indonesia diantaranya adalah penyakit pneumonia, TBC, dan asma. Menurut laporan WHO pada tahun 2006, Indonesia merupakan negara dengan tingkat kejadian pneumonia tertinggi ke-6 di seluruh dunia. Berdasarkan Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) pada tahun 2001, pneumonia merupakan urutan terbesar penyebab kematian pada balita. Pneumonia dapat mengenai anak di seluruh dunia, bila diumpamakan kematian anak-anak di seluruh dunia akibat pneumonia, maka setiap jam, anak-anak sebanyak 1 pesawat jet penuh (230 anak) meninggal akibat pneumonia, yang mencapai hampir 1 dari 5 kematian balita di seluruh dunia. Insiden pneumonia di negara berkembang adalah 10-20 kasus/100 anak/tahun (10-20%).
Sedangkan insiden TBC, WHO mencatat peringkat Indonesia menurun ke posisi lima dengan jumlah penderita TBC sebesar 429 ribu orang. Lima negara dengan jumlah terbesar kasus insiden pada tahun 2009 adalah India, Cina, Afrika Selatan, Nigeria dan Indonesia (WHO Global Tuberculosis Control, 2010). Dan insiden asma menurut WHO, sebanyak 100 hingga 150 juta penduduk dunia adalah penyandang Asma. Jumlah ini terus bertambah sebanyak 180.000 orang setiap tahunnya. Di Indonesia, prevalensi asma belum diketahui secara pasti, namun diperkirakan 2 – 5 %5 (3-8%2 dan 5-7%7) penduduk Indonesia menderita asma.
Perawat sebagai tenaga kesehatan yang bertugas untuk memenuhi kebutuhan dasar klien secara holistic memiliki tanggung jawab untuk membantu pemenuhan kebutuhan oksigen klien yang tidak adekuat.
Dalam tindakannya, seorang perawat sebelum memberikan asuhan keperawatan harus melakukan metode keperawatan berupa pengkajian, diagnose keperawatan, intervensi, dan
evaluasi. Diagnosa keperawatan adalah suatu bagian integral dari proses keperawatan. Diagnosa keperawatan ditetapkan berdasarkan analisis dan interpretasi data yang diperoleh dari pengkajian keperawatan klien. Diagnosa keperawatan memberikan gambaran tentang masalah atau status kesehatan klien yang nyata (aktual) dan kemungkinan akan terjadi, dimana pemecahannya dapat dilakukan dalam batas wewenang perawat.
Diagnosa keperawatan pada klien dengan gangguan sistem respirasi dapat berupa ketidakefektifan bersihan jalan nafas, ketidakefektifan pola nafas, gangguan pertukaran gas, disfungsi respon penyapihan ventilator, dan gangguan ventilasi spontan.
1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Setelah proses pembelajaran ini diharapkan mahasiswa mampu memberikan asuhan keperawatan pada klien dengan gangguan system respirasi secara benar.
1.2.2 Tujuan Khusus
1. Memahami pengakajian pada klien dengan gangguan sistem respirasi.2. Memahami diagnosa keperawatan pada klien dengan gangguan sistem respirasi.3. Memahami intervensi dan implementasi pada klien dengan gangguan sistem respirasi.4. Memahami evaluasi pada klien dengan gangguan sistem respirasi.
BAB 2
PEMBAHASAN
2.1 Sistem Respirasi
Secara garis besar pernapasan dibagi menjadi dua yaitu sebagai berikut:
1. Pernapasan dalam (internal)
Pertukaran gas antara organel sel (mitokondria) dan medium cairnya. Hal tersebut menggambarkan proses metabolism intraseluler yang meliputi konsumsi O2 (digunakan untuk oksidasi bahan nutrisi) dan pengeluaran CO2 (terdapat dalam sitoplasma) sampai menghasilkan energy.
1. Pernapasan luar (eksternal)
Absorpsi O2 dan pembuangan CO2 dari tubuh secara keseluruhan ke lingkungan luar. Urutan proses pernapasan eksternal adalah:
1) Pertukaran udara luar ke dalam alveoli melalui aksi mekanik pernapasan yaitu melalui proses ventilasi.
2) Pertukaran O2 dan CO2 yang terjadi di antara alveolus dan darah pada pembuluh kapiler paru-paru melalui proses difusi.
3) Pengangkutan O2 dan CO2 oleh system peredaran darah dari paru-paru ke jaringan dan sebaliknya yang disebut proses transportasi.
4) Pertukaran O2 dan CO2 darah dalam pembuluh darah kapilerjaringan dengan sel-sel jaringan melalui proses difusi.
Gambar 1. Saluran nafas manusia
Saluran pernapasan digolongkan menjadi dua berdasarkan letaknya, yaitu :
1. Saluran nafas bagian atas
Pada bagian ini memiliki fungsi utama yaitu :
1) Air conduction (penyalur udara) sebagai saluran yang meneruskan udara menuju saluran napas bagian bawah untuk pertukaran gas.
2) Protection (perlindungan) sebagai pelindung saluran napas bagian bawah agar terhindar dari masuknya benda asing.
3) Warming, filtrasi,dan humidifikasi sebagai bagian yang menghangatkan, manyaring, dan member kelembapan udara yang dihirup.
1. Saluran nafas bagian bawah
Secara umum terbagi menjadi dua komponen ditinjau dari fungsinya yaitu:
1) Saluran udara konduktif, yang biasa disebut sebagai percabangan trakheobronkhialis yang terdiri atas trakea, bronkus, dan bronkiolus.
2) Saluran respiratorius terminal, yang biasa disebut dengan acini yang berfungsi sebagai penyalur (konduksi) gas masuk dan keluar dari saluran respiratorius terminal yang merupakan tempat pertukaran gas yang sesungguhnya.
2.2 Mekanisme Pernafasan
Agar terjadi pertukaran sejumlah gas untuk metabolisme tubuh diperlukan usahakeras pernafasan yang tergantung pada:
1. Tekanan intrapleural
Dinding dada merupakan suatu kompartemen tertutup melingkupi paru. Dalamkeadaan normal paru seakan melekat pada dinding dada, hal ini disebabkan karenaada perbedaan tekanan atau selisih tekanan atmosfir ( 760 mmHg) dan tekanan intrapleural (755 mmHg). Sewaktu inspirasi diafrgama berkontraksi, volume rongga dada meningkat, tekanan intra pleural dan intra alveolar turun dibawah tekanan atmosfir sehingga udara masuk Sedangkan waktu ekspirasi volum rongga dada mengecilmengakibatkan tekanan intra pleural dan tekanan intra alveolar meningkat diatas atmosfir sehingga udara mengalir keluar.
1. Compliance
Hubungan antara perubahan tekanan dengan perubahan volume dan aliran dikenal sebagai compliance. Ada dua bentuk compliance yaitu:
1) Static compliance, perubahan volum paru persatuan perubahan tekanansaluran nafas (airway pressure) sewaktu paru tidak bergerak. Pada orangdewasa muda normal : 100 ml/cm H2O
2) Effective Compliance: (tidal volume/peak pressure) selama fasepernafasan. Normal ±50 ml/cm H2O
Penurunan compliance akan mengakibatkan meningkatnya usaha nafas. Compliance dapat menurun disebabkan oleh:
1) Pulmonary stiffes : atelektasis, pneumonia, edema paru, fibrosis paru
2) Space occupying prosess: effuse pleura, pneumothorak
3) Chestwall undistensibility: kifoskoliosis, obesitas, distensi abdomen
1. Airway resistance (tahanan saluran nafas)
Resistensi saluran napas adalah oposisi terhadap mengalir disebabkan oleh kekuatan gesekan. Hal ini didefinisikan sebagai rasio dari tekanan mengemudi dengan laju aliran udara. Perlawanan mengalir di saluran udara tergantung pada apakah aliran adalah laminar atau turbulen, pada dimensi jalan napas, dan pada viskositas gas.
Untuk aliran laminar, resistensi cukup rendah. Artinya, tekanan mengemudi relatif kecil dibutuhkan untuk menghasilkan laju aliran tertentu. Perlawanan selama arus laminer dapat dihitung melalui penataan ulang Hukum Poiseuille ini:
Variabel yang paling penting di sini adalah jari-jari, yang, berdasarkan elevasi dengan kekuatan keempat, memiliki dampak luar biasa pada perlawanan.Jadi, jika diameter tabung adalah dua kali lipat, ketahanan akan turun dengan faktor enam belas.
Untuk aliran turbulen, resistensi relatif besar. Artinya, dibandingkan dengan aliran laminar, tekanan mengemudi jauh lebih besar akan diperlukan untuk menghasilkan laju alir yang sama. Karena hubungan tekanan-aliran berhenti menjadi linier selama aliran turbulen, tidak ada persamaan untuk menghitung rapi ada hambatannya.
2.3 Proses Keperawatan
Proses keperawatan adalah suatu pendekatan untuk pemecahan masalah yang memampukan perawat untuk mengatur dan memberikan asuhan keperawatan (Potter & Perry, 2005). Bandman dan Bandman (1995) menguraikan seluruh proses keperawatan sebagai suatu rangkai hubungan cara-hasil (means-ends). Cara adalah keakuratan perawat dalam mengkaji, mendiagnosis, menangani klien, dan hasil adalah peningkatan fungsi dan kesejahteraan klien.
Dalam proses keperawatan terdapat empat tahapan yaitu:
2.3.1 Pengkajian
Pada dasarnya tujuan pengkajian adalah mengumpulkan data objektif dan subjektif dari klien.Adapun data yang terkumpul mencakup klien, keluarga, masyarakat, lingkungan, atau kebudayaan. (Mc Farland & mc Farlane, 1997)
Adapun hal-hal yang perlu diperhatikan selama pengkajian antara lain:
1. Memahami secara keseluruhan situasi yang sedang dihadapi oleh klien dengan cara memperhatikan kondisi fisik, psikologi, emosi, social kultural, dan spiritual yang bisa mempengaruhi status kesehatannya.
2. Mengumpulkan semua informasi yang bersangkutan dengan masa lalu, saat ini bahkan bahkan sesuatu yang berpotensi menjadi masalah bagi klien guna membuat suatu database yang lengkap. Data yang terkumpul berasal dari perawat-klien selama berinteraksi dan sumber yang lain. (Gordon, 1994)
3. Memahami bahwa klien adalah sumber informasi primer.4. Sumber informasi sekunder meliputi anggota keluarga, orang yang berperan penting dan
catatan kesehatan klien.
Pengkajian keperawatan adalah proses sistematis dari pengumpulan, verifikasi, dan komunikasi data tentang klien. Fase proses keperawatan ini mencakup dua langkah yaitu pengumpulan data dari sumber primer (klien) dan sumber sekunder (keluarga, tenaga kesehatan), dan analisis data sebagai dasar untuk diagnosa keperawatan (Bandman dan Bandman, 1995). Metode pengumpulan data meliputi berikut ini :
1. Melakukan wawancara.2. Riwayat kesehatan/keperawatan.3. Pemeriksaan fisik.4. Mengumpulkan data penunjang hasil laboratorium dan diagnostik lain serta catatan
kesehatan (rekam medik).
Pada pasien dengan gangguan system respirasi yaitu sebagai berikut :
1. a. Riwayat Kesehatan
Riwayat kesehatan yang dikaji meliputi data saat ini dan yang telah lalu.Perawat juga mengkaji keadaan pasien dan keluarganya.Kajian tersebut berfokus kepada manifestasi klinik keluhan utama, kejadian yang membuat kondisi sekarang ini, riwayat kesehatan masa lalu, riwayat kesehatan keluarga, dan riwayat psikososial.Riwayat kesehatan dimulai dari biografi pasien. Aspek yang sangat erat hubungannya dengan gangguan sistem pernapasan adalah usia, jenis kelamin, pekerjaan, tempat kerja dan tempat tinggal.
1) Keluhan Utama
Keluhan utama akan mentukan prioritas intervensi dan mengkaji pengetahuan pasien tentang kondisinya saat ini. Keluhan utama yang biasa muncul antara lain :
a) Batuk (Cough)
Batuk merupakan gejala utama pada pasien dengan gangguan sistem pernapasan. Tanyakan berapa lama pasien mengalami batuk dan bagaimana hal tersebut timbul dengan waktu yang spesifik atau hubungannya dengan aktifitas fisik. Tentukan apakah batuk produktif atau non produktif.
b) Peningkatan Produksi Sputum
Sputum merupakan suatu substansi yang keluar bersama dengan batuk atau bersihan tenggorokan. Percabangan trakheobronkial secara normal memproduksi sekitar 3ons mukus setiap hari sebagai bagian dari mekanisme pembersihan normal. Produksi sputum akibat batuk adalah tidak normal. Tanyakan dan catat warna, konsistensi, bau, dan jumlah dari sputum. Jika terjadi infeksi, sputum dapat berwarna kuning atau hijau, putih atau kelabu dan jernih. Pada keadaan edema paru-paru, sputum berwarna merah muda karena mengandung darah dengan jumlah yang banyak.
c) Dispnea
Dispnea merupakan suatu persepsi kesulitan bernapas/napas pendek dan merupakan perasaan subjektif pasien.Perawat mengkaji tentang kemampuan pasien saat melakukan aktivitas.
d) Hemoptisis
Hemoptisis adalah darah yang keluar dari mulut saat batuk. Perawat mengkaji apakah darah tersebut berasal dari paru-paru, perdarahan hidung atau perut. Darah yang berasal dari paru-paru biasanya berwarna merah terang karena darah dalam paru-paru distimulasi segera oleh reflek batuk.
e) Chest Pain
Nyeri dada dapat berhubungan dengan dengan masalah jantung dan paru-paru.Gambaran lengkap dari nyeri dada dapat menolong perawat untuk membedakan nyeri pada pleura, muskuloskeletal, kardiak dan gastrointestinal.
2) Riwayat Kesehatan Masa Lalu
Yang perlu ditanyakan perawat kepada pasien tentang riwayat penyakit pernapasan adalah:
a) Riwayat merokok
Merokok merupakan penyebab utama kanker paru-paru, emfisemia, dan bronkitis kronis.Semua keadaan itu sangat jarang menimpa. Anamnesis harus mencangkup usia mulainya merokok secara rutin, rata-rata jumlah rokok yang dihisap per hari, dan usia menghentikan kebiasaan merokok.
b) Pengobatan saat ini dan masa lalu
c) Alergi
d) Tempat tinggal
3) Riwayat Kesehatan Keluarga
Tujuan menanyakan riwayat keluarga dan sosial pasien penyakit paru-paru ada tiga hal yaitu:
a) Penyakit infeksi
Khususnya tuberkulosis paru ditularkan melalui satu orang ke orang lain. Manfaat menanyakan riwayat kontak dengan orang terinfeksi akan dapat diketahui sumber penularannya.
b) Kelainan alergi
Contohnya asma bronkial
c) Pasien bronkitis kronis
1. b. Kajian Sistem (Review of System)
1) Inspeksi
Prosedur inspeksi yang dilakukan oleh perawat adalah:
a) Pemeriksaan dada dimulai dari dada posterior dan pasien harus dalam keadaan duduk.
b) Dada diobservasi dengan membandingkan satu sisi dengan yang lainnya.
c) Tindakan dilakukan dari atas sampai ke bawah.
d) Inspeksi dada posterior terhadap warna kulit dan kondisinya (skar, lesi dan massa) dan gangguan tulang belakang (kifosis, skoliosis dan lordosis).
e) Catat jumlah (frekuensi napas), irama (reguler/irreguler), kedalaman pernapasan, dan kesimetrisan pergerakan dada.
f) Observasi tipe pernapasan seperti: pernapasan hidung atau pernapasan diafragma serta penggunaan otot bantu pernapasan dan retraksi intercostae.
g) Saat mengobservasi respirasi, catat durasi dari fase inspirasi (I) dan fase ekspirasi (E). Rasio pada fase ini normalnya adalah 1 : 2. Fase ekspirasi yang memanjang menunjukkan adanya obstruksi pada jalan napas dan sering ditemukan pada pasien dengan Chronic Airflow Limititation (CAL) / Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD).
h) Kaji konfigurasi dada dan bandingkan diameter anteroposterior (AP) dengan diameter lateral/transversal (T). Rasio normal berkisar antara 1:2 sampai 5:7, tergantung dari kondisi cairan tubuh pasien.
i) Kelainan pada bentuk dada adalah:
1) Barrel chest
Timbul akibat terjadinya over inflation paru-paru. Terdapat peningkatan diameter AP:T (1:1), sering terjadi pada pasien emfisemia.
2) Funnel chest (pectus excavatum)
Timbul jika terjadi depresi pada bagian bawah dari sternum. Hal ini akan menekan jantung dan pembuluh darah besar yang mengakibatkan murmur. Kondisi ini dapat timbul pada ricketsia, marfan’s syndrome atau akibat kecelakaan kerja.
3) Pigeon chest (pectus carinatum)
Timbul sebagai akibat dari ketidaktepatan sternum yang mengakibatkan terjadi peningkatan diameter AP. Terjadi pada pasien dengan kifoskoliosis berat.
4) Kyphoscoliosis (kifoskoliosis)
Terlihat dengan adanya elevasi scapula yang akan mengganggu pergerakan paru-paru. Kelainan ini dapat timbul pada pasien dengan osteoporosis dan kelainan musculoskeletal lain yang mempengaruhi toraks. Kifosis adalah meningkatnya kelengkungan normal columna vertebrae thoracalis menyebabkan pasien tampak bongkok. Sedangkan skoliosis adalah melengkungnya vertebrae thoracalis ke samping, disertai rotasi vertebrae.
i) Observasi kesimetrisan pergerakan dada. Gangguan pergerakan atau tidak adekuatnya ekspansi dada mengindikasikan penyakit pada paru-paru atau pleura.
j) Observasi retraksi abnormal ruang interkostal selama inspirasi, yang dapat mengindikasikan obstruksi jalan napas.
2) Palpasi
Palpasi dilakukan untuk mengkaji kesimetrisan pergerakan dada dan mengobservasi abnormalitas, mengidentifikasi keadaan kulit, dan mengetahui vocal/tactile premitus (vibrasi). Palpasi toraks berguna untuk mengetahui abnormalitas yang terkaji saat inspeksi seperti massa, lesi, dan bengak. Perlu dikaji juga kelembutan kulit terutama jika pasien mengeluh nyeri.Perhatikan adanya getaran dinding dada yang dihasilkan ketika berbicara (vocal premitus).
3) Perkusi
Perawat melakukan perkusi untuk mengkaji resonansi pulmoner, organ yang ada di sekitarnya, dan pengembangan (ekskursi) diafragma. Jenis suara perkusi ada dua jenis yaitu:
a) Suara perkusi normal
1) Resonan (sonor): dihasilkan pada jaringan paru-paru dan normalnya bergaung dan bersuara rendah.
2) Dullness: dihasilkan di atas bagian jantung atau paru-paru
3) Tympany: dihasilkan di atas perut yang berisi udara umumnya bersifat musical.
b) Suara perkusi abnormal
1) Hiperresonan: bergaung lebih rendah dibandingkan dengan resonan dan timbul pada bagian paru-paru yang abnormal berisi udara.
2) Flatness: nadanya lebih tinggi dari dullness dan dapat didengar pada perkusi daerah paha, dimana seluruh areanya berisi jaringan.
4) Auskultasi
Auskultasi merupakan pengkajian yang sangat bermakna mencangkup mendengar suara napas normal dan suara tambahan (abnormal).Suara napas normal dihasilkan dari getaran udara ketika melalui jalan napas dari laring ke alveoli dan bersifat bersih.
a) Jenis suara napas normal adalah:
1) Bronchial: sering juga disebut tubular sound karena suara ini dihasilkan oleh udara yang melalui suatu tube (pipa), suaranya terdngar keras, nyaring, dengan hembusan yang lembut. Fase ekspirasinya lebih panjang daripada inspirasi dan tidak ada jeda di antara kedua fase tersebut (E > I). Normal terdengar di atas trachea atau daerah lekuk suprasternal.
2) Bronkovesikular: merupakan gabungan dari suara napas bronkhial dan vesikular. Suaranya terdengar nyaring dengan intensitas sedang. Inspirasi sama panjang dengan ekspirasi (E = I). Suara ini terdengar di daerah dada dimana bronkus tertutupoleh dinding dada.
3) Vesikular: terdengar lembut, halus, seperti angin sepoi-sepoi. Inspirasi lebih panjang dari ekspirasi, ekspirasi terdengar seperti tiupan (E < I).
b) Jenis suara napas tambahan adalah:
1) Wheezing: terdengar selama inspirasi dan ekspirasi, dengan karakter suara nyaring, musical, suara terus-menerus yang disebabkan aliran udara melalui jalan napas yang menyempit.
2) Ronchi: terdengar selama fase inspirasi dan ekspirasi, karakter suara terdengar perlahan, nyaring, dan suara mengorok terus-menerus. Berhubungan dengan sekresi kental dan peningkatan produksi sputum.
3) Pleural fiction rub: terdengar saat inspirasi dan ekspirasi. Karakter suara kasar, berciut, dan suara seperti gesekan akibat dari inflamasi pada daerah pleura. Sering kali pasien mengalami nyeri saat bernapas dalam.
4) Crackles, dibagi menjadi dua jenis yaitu:
1. Fine crackles: setiap fase lebih sering terdengar saat inspirasi. Karakter suara meletup, terpatah-patah akibat udara melewati daerah yang lembab di alveoli atau bronkhiolus. Suara seperti rambut yang digesekkan.
2. Coarse crackles: lebih menonjol saat ekspirasi. Karakter suara lemah, kasar, suara gesekan terpotong akibat terdapatnya cairan atau sekresi pada jalan napas yang besar. Mungkin akan berubah ketika pasien batuk.
1. c. Pengkajian psikososial
Pengkajian psikososial meliputi kajian tentang aspek kebiasaan hidup pasien yang secara signifikan berpengaruh terhadap fungsi respirasi.Beberapa kondisi respiratori timbul akibat stres. Penyakit pernapasan kronis dapat menyebabkan perubahan dalam peran keluarga dan hubungan dengan orang lain, isolasi sosial, masalah keuangan, pekerjaan, atau ketidakmampuan. Dengan mendiskusikan mekanisme pengobatan, perawat dapat mengkaji reaksi pasien terhadap masalah stres psikososial dan mencari jalan keluar.
2.3.2 Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah menganalisis data subjektif dan objektif untuk membuat diagnosa keperawatan. Diagnosa keperawatan melibatkan proses berpikir kompleks tentang data yang dikumpulkan dari klien, keluarga, rekam medik, dan pemberi pelayanan kesehatan yang lain.
Diagnosa keperawatan adalah pernyataan yang menguraikan respons aktual atau potensial klien terhadap masalah kesehatan yang perawat mempunyai izin dan berkompeten untuk mengatasinya (Carlson et al, 1991; Carpenito, 1995). Setelah merumuskan diagnosa keperawatan spesifik, perawat menggunakan keterampilan berpikir kritis untuk menetapkan prioritas diagnosa dengan membuat peringkat dalam urutan kepentingannya.Prioritas ditegakkan untuk mengidentifikasi urutan intervensi keperawatan ketika klien mempunyai masalah atau perubahan multiple (Carpenito, 1995).
Proses diagnosa keperawatan dibagi menjadi kelompok interpretasi dan menjamin keakuratan diagnosa dari proses keperawatan itu sendiri. Perumusan pernyataan diagnosa keperawatan memiliki beberapa syarat yaitu mempunyai pengetahuan yang dapat membedakan antara sesuatu yang aktual, risiko, dan potensial dalam diagnosa keperawatan.
Pada pasien dengan gangguan system respirasi yaitu sebagai berikut :
1. a. Ketidakefektifan Bersihan Jalan Nafas
1) Definisi
Yaitu ketidakmampuan untuk membersihkan sekresi atau obstruksi saluran pernapasan guna mempertahankan jalan napas yang bersih.
2) Batasan Karakteristik
a) Subjektif
1) Dispnea.
b) Objektif
1) Bunyi napas tambahan (misalnya Ronkhi basah halus, ronchi basah kasar, dan ronkhi kering).
2) Perubahan pada irama dan frekuensi pernapasan.
3) Batuk tidak ada atau tidak efektif.
4) Sianosis.
5) Kesulitan untuk bersuara.
6) Penurunan bunyi napas.
7) Orthopnea merupakan kesulitan bernafas kecuali dalam posisi duduk atau berdiri dan sering ditemukan pada seseorang yang mengalami kongestif paru.
8) Kegelisahan
9) Sputum.
10) Mata terbelalak (melihat).
3) Faktor yang berhubungan
a) Lingkungan
Merokok, menghirup asap rokok, dan perokok pasif.
b) Obstruksi Jalan Napas
Spasme jalan napas, pengumpulan sekresi, mucus berlebih, adanya jalan napas buatan, terdapat benda asing dari jalan napas, sekresi pada bronchi, dan eksudat pada alveoli.
c) Fisiologis
Disfungsi neuromuskuler, hiperplasi dinding bronchial, PPOK, Infeksi, asma, alergi jalan napas, dan trauma.
4) Hasil yang Disarankan NOC
a) Status Pernapasan ; Pertukaran Gas.
Yaitu pertukaran CO2 atau O2 di alveolar untuk mempertahankan konsentrasi gas darah arteri.
b) Status Pernapasan ; Ventilasi.
Yaitu perpindahan udara masuk dan dan keluar dari paru-paru.
c) Perilaku Mengontrol Gejala
Yaitu tindakan seseorang untuk meminimalkan perubahan sampingan yang didapat pada fungsi fisik dan emosi.
d) Perilaku Perawatan : Penyakit atau Cidera
Yaitu tindakan seseorang untuk mengurangi atau menghilangkan patologi.
1. b. Ketidakefektifan Pola Nafas1. Definisi
Ketidakefektifan pola nafas merupakan kondisi ketika individu mengalami penurunan ventilasi yang adekuat, actual atau potensial, karena perubahan pola nafas.
1. Batasan karakteristik
a) Mayor (harus ada):
1) Perubahan frekuensi dan pola pernafasan (dari nilai dasar)
2) Perubahan nadi (frekuensi, irama, kualitas)
b) Minor (mungkin ada):
1) Ortopnea
2) Takipnea, hiperpnea, hiperventilasi
3) Pernafasan disritmik
4) Pernafasan yang hati-hati
1. Faktor yang berhubungan
a) Patofisiologis
1) Berhubungan dengan sekresi yang berlebihan atau kental ,sekunder akibat: infeksi, inflamasi, alergi, merokok, penyakit jantung atau paru.
2) Berhubungan dengan immobilitas, sekresi yang statis, dan batuk tak efektif, sekunder akibat:
2.1 Penyakit system persarafan, misal: miastenia gravis
2.2 Depresi system saraf pusat (SSP)/ trauma kepala
2.3 Cedera serebrovaskular (stroke)
2.4 Kuadriplegia
b) Terkait Pengobatan
1) Berhubungan dengan immobilitas, sekunder akibat:
1.1 Efek sedative obat (sebutkan)
1.2 Anestesia, umum atau spinal
1.3 Berhubungan dengan penekanan reflek batuk, sekunder akibat (sebutkan)
1.4 Berhubungan efek trakeostomi (perubahan sekresi)
c) Situasional (Personal, Lingkungan)
1) Berhubungan dengan immobilitas, sekunder akibat:
1.1 Pembedahan atau trauma
1.2 Nyeri, takut, ansietas
1.3 Kelelahan
1.4 Gangguan persepsi/kognitif
2) Berhubungan dengan kelembaban yang sangat tinggi atau rendah
3) Untuk bayi, yang berhubungan dengan tidur pada posisi tengkurap
4) Pajanan terhadap udara dingin, tertawa, menangis, allergen, asap.
1. c. Gangguan Pertukaran Gas2. Definisi
Kelebihan dan kekurangan oksigenasi dan/atau eliminasi karbondioksida dimembrane kapiler-alveolar.Ketidakmampuan untuk membersihkan sekresi atau obstruksi saluran pernapasan guna mempertahankan jalan napas yang bersih.
1. Batasan Karakteristik1. Subjektif
1) Dispnea.
2) Sakit kepala pada saat bangun.
3) Gangguan penglihatan.
1. Objektif
1) Gas darah arteri yang tidak normal.
2) pH arteri tidak normal.
3) Ketidaknormalan frekuensi, irama dan kedalaman pernapasan.
4) Warna kulit tidak normal (misalnya pucat atau kehitaman).
5) Konfusi.
6) Cianosis (hanya pada neonates).
7) Karbondioksida menurun.
8) Diaphoresis
9) Hiperkapnia.
10) Hiperkarbia.
11) Hipoksia.
12) Hipoksemia.
13) Iritabilitas.
14) Cuping hidung mengembang.
15) Gelisah.
16) Sputum.
17) Takhikardia.
18) Mata terbelalak.
1. Faktor yang berhubungan
a) Lingkungan
Merokok, menghirupasap rokok, dan perokok pasif.
b) Obstruksi jalan napas
Spasme jalan napas, pengumpulan sekresi, mucus berlebih, adanya jalan napas bantuan, sekresi pada bronki, eksundat pada alveoli.
c) Fisiologis
Disfungsi neuro miskular, PPOK, hyperplasmia dinding bronchial, infeksi asma, alergi jalan naps, dan trauma.
1. Hasil yang Disarankan NOC
a) Status Pernapasan: pertukaran gas, yaitu CO2 atau O2 di alveolar untuk mempertahankan konsentrasi gas darah arteri.
b) Status Pernapasan Ventilasi, yaitu perpindahan udara masuk dan dan keluar dari paru-paru.
c) Perilaku mengontrol gejala: tindakan seseorang yang yang meminimalkan perubahan sampingan yang di dapat pada fungsi fisik dan emosi.
d) Perilaku perawatan: penyakit atau cidera tindakanseseorang untuk mengurangi atau menghilangkan patologi.
1. d. Fungsi Pernafasan, Resiko Ketidakefektifan1. Definisi
Risiko ketidakefektifan pernapasan (ARF) merupakan kondisi ketika individu berisiko mengalami ancaman pada jalan masuk udara menuju saluran pernapasan dan/ ancaman pada pertukaran gas (O2-CO2) antara paru-paru dan system vaskuler.
1. Faktor resiko
Adanya faktor risiko yang dapat mengubah fungsi pernapasan (lihat faktor yang berhubungan)
1. Faktor yang berhubungan
a) Patofisiologis
1) Berhubungan dengan sekresi yang berlebihan atau kental ,sekunder akibat: infeksi, inflamasi, alergi, merokok, penyakit jantung atau paru.
2) Berhubungan dengan immobilitas, sekresi yang statis, dan batuk tidak efektif, sekunder akibat:
2.1 Penyakit system persarafan, missal: miastenia gravis
2.2 Depresi system saraf pusat (SSP)/ trauma kepala
2.3 Cedera serebrovaskular (stroke)
2.4 Kuadriplegia
b) Terkait Pengobatan
1) Berhubungan dengan immobilitas, sekunder akibat:
1.1 Efek sedative obat (sebutkan)
1.2 Anestesia, umum atau spinal
1.3 Berhubungan dengan penekanan reflek batuk, sekunder akibat (sebutkan)
1.4 Berhubungan efek trakeostomi (perubahan sekresi)
c) Situasional (Personal, Lingkungan)
1) Berhubungan dengan immobilitas, sekunder akibat:
1.5 Pembedahan atau trauma
1.6 Nyeri, takut, ansietas
1.7 Kelelahan
1.8 Gangguan persepsi/kognitif
2) Berhubungan dengan kelembaban yang sangat tinggi atau rendah
3) Untuk bayi, yang berhubungan dengan tidur pada posisi tengkurap
4) Pajanan terhadap udara dingin, tertawa, menangis, allergen, asap.
1. e. Disfungsi Respon Penyapihan Ventilator2. Definisi:
Disfungsi respon penyapihan ventilator (DRPV) merupakan suatu keadaan ketika individu tidak dapat menyesuaikan terhadap tingkat terendah dukungan ventilator mekanik sehingga mengganggu dan memeperpanjang proses penyapihan.
1. Batasan karateristik:1. a. Ringan
Mayor
1) Gelisah
2) Frekuensi pernapasan sedikit meningkat dari nilai dasar
Minor
1) Mengekspresikan perasaan tentang peningkatan kebutuhan oksigen, pernapasan tidak nyaman, keletihan, dan hangat
1. b. Sedang
Mayor
1) Tekanan darah meningkat <20 mmHg dari nilai dasar
2) Frekuensi jantung meningkat <20 denyut/menit dari nilai dasar
3) Frekuensi pernapasan meningkat <5 kali/menit dari nilai dasar
Minor
1) Ketakutan
2) Berkeringat
3) Mata melebar
4) Perubahan warna kulit: pucat,agak sianosis
5) Sedikit menggunakan otot aksesoris pernapasan
1. c. Berat
Mayor
1) Agitasi
2) Penyimpangan yang signifikan dalam gas-gas darah arteri dari nilai dasar
3) Peningkatan tekanan darah > 20 mmHg dari nilai dasar
4) Peningkatan frekuensi jantung > 20 kali/menit dari nilai dasar
5) Pernapasan cepat, dangkal > 25 kali/menit
Minor
1) Penggunaan sempurna otot aksesoris pernapasan
2) Pernapasa abdomen paradoksikal
3) Bunyi napas tambahan
4) Sianosis
5) Banyak berkeringat
6) Pernapasan tidak terkoordinasi dengan ventilator
7) Penurunan tingkat kesadaran
1. Faktor yang berhubungan1. Patofisiologis
1) Berhubungan dengan kelemahan dan keletihan sekunder akibat:
1.1 Status hemodinamik tidak stabil
1.2 Penurunan tingkat kesadaran
1.3 Anemia
1.4 Infeksi
1.5 Abnormalitas metabolic atau keseimbangan asam basa
1.6 Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit
1.7 Proses penyakit berat
1.8 Penyakit pernapasan kronis
1.9 Ketidakmampuan neuromuscular kronis
1.10 Penyakit multisystem
1.11 Kurang nutrisi kronis
1.12 Kondisi yang melemah
2) Berhubungan dengan ketidakefektifan bersihan jalan napas
1. Tindakan yang Berhubungan
1) Berhubungan dengan obstruksi jalan napas
2) Berhubungan dengan kelemahan dan keletihan otot sekunder akibat:
2.1 Sedasi berlebihan
2.2 Nyeri tidak terkontrol
3) Berhubungan dengan ketidakadekuatan nutrisi (deficit kalori, kelebihan karbohidrat, ketidakadekuatan asupan lemak dan protein)
4) Berhubungan dengan ketergantungan ventilator jangka panjang (> 1 minggu)
5) Berhubungan dengan ketidakberhasilan upaya penyapihan ventilator sebelumnya
6) Berhubungan dengan langkah yang terlalu cepat dalam proses penyapihan
1. Situasional (Personal, Lingkungan)
1) Berhubungan dengan ketidakcukupan pengetahuan tentang proses penyapihan
2) Berhubungan dengan kebutuhan energy yang sangat berlebihan (aktivitas perawatan diri, prosedur diagnostic dan pengobatan, pengunjung)
3) Berhubungan dengan ketidakadekuatan dukungan social
4) Berhubungan dengan lingkungan tidak aman (bising, kejadian yang membingungkan, ruangan sibuk)
5) Berhubungan dengan keletihan sekunder akibat gangguan pola tidur
6) Berhubungan dengan kemanjuran diri tidak adekuat
7) Berhubungan dengan ansietas sedang sampai berat yang berkaitan dengan upaya pernapasan
8) Berhubungan dengan ketakutan akan perpisahan dari ventilator
9) Berhubungan dengan perasaan ketidakberdayaan
10) Berhubungan dengan perasaan keputusasaan
1. f. Resiko Disfungsi Respon Penyapihan Ventilator2. Definisi
Risiko Disfungsi Respon Penyapihan Ventilator adalah keadaan ketika individu beresiko untuk mengalami suatu ketidakmampuan penyesuaian terhadap dukungan ventilator mekanik tingkat rendah selama proses penyapihan, yang berhubungan dengan ketidaksiapan fisik dan atau psikologis terhadap penyapihan.
1. Faktor Resiko
a) Patofisiologis
1) Berhubungan dengan obstruksi jalan napas
2) Berhubungan dengan kelemahan otot dan keletihan sekunder akibat :
2.1 Gangguan fungsi pernapasan
2.2 anemia
2.3 penurunan tingkat kesadaran
2.4 Infeksi
2.5 Abnormalitas metabolic dan asam basa
2.6 Ketidakseimbangan cairan / elektrolit
2.7 Status hemodinamik yang tidak stabil
2.8 Disritmia
2.9 Kekacaun mental
2.10 Demam
2.11 Proses penyakit yang berat
2.12 Penyakit multisystem
b) Tindakan yang berhubungan
1) Dengan ketidakefektifan bersihan jalan napas
2) Dengan sedasi yang berlebihan, analgesia
3) Dengan nyeri tak terkontrol dan keletihan
4) Dengan ketidakadekuatan nutrisi
5) Dengan ketergantungan pada ventilator jangka panjang lebih dari 1 minggu
6) Dengan ketidakberhasilan upaya penyapihan sebelumnya dan terlalu cepat melakukan proses penyapihan
c) Personal/ Lingkungan
1) Berhubungan dengan kelemahan otot dan keletihan sekunder
2) Berhubungan dengan deficit pengetahuan tentang proses penyapihan
3) Berhubungan dengan ansietas
4) Berhubungan dengan perasaan ketidakberdayaan dan putus asa
5) Berhubungan dengan dukungan sosial yang tidak memadai
6) Berhubungan dengan ketidakpastian lingkungan ( bising, ruangan sibuk, dll)
7) Berhubungan dengan ketakutan terlepas dari ventilator
1. g. Gangguan Ventilasi Spontan2. Definisi
Suatu keadaan ketika individu tidak dapat memepertahankan pernapasan yang adekuat untuk mendukung kehidupannya.Ini dilakukan karena penurunan gas darah arteri, peningkatan kerja pernapasan dan penurunan energy.
1. Batasan Karakteristik
MAYOR Dispnea Peningkatan laju metabolicMINOR Peningkatan kegelisahan ketakutan Peningkatan penggunaan otot-ototPenurunan volume tidal Aksesori pernapasanPeningkatan frekuensi jantung Penurunan PO2Penurunan kerjasama ,
Peningkatan PCO2
Penurunan SaO2
2.3.3 Intervensi
Intervensi keperawatan adalah preskripsi untuk perilaku spesifik yang diharapkan dari pasien dan/atau tindakan yang harus dilakukan oleh perawat.Intervensi dilakukan untuk membantu pasien dalam mencapai hasil yang diharapkan.Intervensi disebut juga implementasi yang merupakan kategori dari perilaku keperawatan dimana tindakan yang diperlukan untuk mencapai tujuan dan hasil yang diperkirakan dari asuhan keperawatan dilakukan dan diselesaikan (Griffith & Christensen, 1986).
Intervensi keperawatan harus spesifik dan dinyatakan dengan jelas.Pengkualifikasian seperti bagaimana, kapan, di mana, frekuensi, dan besarnya memberikan isi dari aktivitas yang direncanakan.Intervensi keperawatan dapat dibagi menjadi dua yaitu mandiri yaitu dilakukan oleh perawat dan kolaboratif yaitu yang dilakukan oleh pemberi perawatan lainnya.
Pada pasien dengan gangguan system respirasi yaitu sebagai berikut :
1. 1. Intervensi Pernafasan, Resiko Gangguan 2. Intervansi Generik
1) Kaji adanya penurunan nyeri yang optimal dengan periode keletihan atau depresi pernapasan yang minimal
2) Beri semangat untuk melakukan ambulasi segera setelah konsisten dengan rencana perawatan medis
3) Jika tidak dapat berjalan, tetapkan suatu aturan untuk turun dari tempat tidur duduk di kursi beberapa kali sehari (misalnya, 1 jam setelah makan dan 1 jam sebelum tidur)
4) Tingkatkan aktivitas secara bertahap, jelaskan bahwa fungsi pernapasan akan meningkat dan dispnea akan menurun dengan melakukan latihan
5) Bantu untuk reposisi, mengubah posisitubuh dengan sering dari satu sisi ke sisi yang lainnya, (setiap jam jika mungkin)
6) Beri semangat untuk melakukan latihan napas dalam dan latihan batuk yang terkontrol lima kali setiap jam
7) Ajarkan individu untuk menggunakan botol tiup atau spidometer intensif setiap jam saat bangun (pada kerusakan neuromuskular berat, ada baiknya individu dibangunkan selama malam hari)
8) Auskultasi bidang paru setiap 8 jam, tingkatkan frekuensi jika ada gangguan bunyi napas
1. Intervensi Pediatrik
1) Observasi terhadap pernapasan cuping hidung, retraksi, atau sianosis
2) Izinkan anak untuk memilih warna air dalam botol tiup
3) Pantau masukan, keluaran, dan berta jenis urine
4) Beri penjelasan sesuai usia untuk latihan napas dalam
1. 2. Intervensi Disfungsi Respons Penyapihan Ventilator2. Intervensi Generik
1) Jika memungkinkan, kaji faktor penyebab ketidakberhasilan upaya penyapihan sebelumnya
a) Ketidakadekutan substrat energi: oksigen nutrisi dan istirahat
b) Status kenyamanan takadekuat
c) Kebutuhan aktivitas berlebihan
d) Penurunan harga diri, rasa percaya diri, kontrol pernapasan
e) Kurangnya pengetahuan tentang perannya
f) Kurangnya hubungan saling percaya dengan staf
g) Keadaan emosional negatif
h) Lingkungan penyapihan yang merugikan
2) Tetapkan kesiapan penyapihan (Geisman, 1989)
a) Konsentrasi oksigen pada ventilator 50% atau kurang
b) Tekanan ekspirasi-akhir positif kurang dari 5 cm tekanan air
c) Frekuensi pernapasan kurang dari 30 kali permenit
d) Ventilasi menit kurang dari 10 liter per menit
e) Tekanan dinamik dan statik rendah, dengan komplains sedikitnya 35 cm tekanan air
f) Kekuatan otot pernapasan adekuat
g) Istirahatkan, kontrol rasa tak nyaman
h) Keinginan untuk mencoba penyapihan
3) Jika kesiapan penyapihan ditetapkan ada, libatkan klien dalam penetapan rencana
a) Jelaskan proses penyapihan
b) Bekerja sama dalam negosiasi tujuan penyapihan progresif
c) Jelaskan bahwa tujuan akan ditelaan kembali setiap hari bersama individu
4) Rujuk ke protokol unit untuk prosedur penyapihan yang khusus
5) Jelaskan perannya dalam proses penyapihan
a) Perkuat perasaan harga diri, kemanjuran diri dan kontrol diri
b) Perlihatkan kepercayaan pada kemampuan pasien untuk penyapihan
c) Pertahankan kepercayaan pasien dengan mengadopsi langkah penyapihan (membutuhkan intruksi dokter) yang akan menjamin keberhasilan dan meminimalkan kemunduran
d) Tingkatkan kepercayaan dalam staf dan lingkungan.
6) Kurangi pengaruh negatif dari ansietas dan keletihan
a) Pantau status dengan teratur untuk menghindari keletihan dan ansietas yang tidak semestinya
b) Beri periode istirahat yang teratur sebelum keletihan berlanjut
c) Jika individu mulai gelisah, bicaralah padanya untuk menennagkan sementara tetap di samping tempat tidur
d) Jika percobaan penyapihan dihentikan, arahkan persepsi pasien pada kegagalan penyapihan. Yakinkan pasien bahwa percobaan adalah latihan yang baik dan bentuk latihan yang sangat berguna.
7) Ciptakan lingkungan penyapihan yang positif, yang meningkatkan perasaan aman individu.
8) Koordinasikan aktivitas yang perlu untuk meningkatkan waktu istirahat atau relaksaai yang adekuat.
9) Koordinasikan jadwal analgesik dengan jadwal penyapihan.
10) Mulai percobaan penyapihan saat individu cukup istirahat, biasanya pada pagi hari setelah tidur malam.
11) Diskusikan elemen proses penyapihan dengna petugas kesehatan lain untuk memaksimalkan kemungkinan keberhasilan penyapihan.
1. Intervensi pediatrik
Tunda pemberian makan per oral 2 jam sebelum upaya penyapihan dan setelah ekstubasi.
1. 3. Intervensi Resiko Disfungsi Respons Penyapihan Ventilator 2. Intervensi Generik
1) Kaji faktor penyebab dan penunjang dari ketidakadekuatan keefektifan diri tentang diri tentang kesiapan penyapihan
a) Ungkapkan kebutuhan lanjut untuk dukungan ventilator
b) Meminta untuk menunda dimulainya penyapihan
c) Merasa prihatin tentang kemempuan penyesuaian terhadap dukungan ventilator derajat rendah atau tentang kemungkinan keberhasilan penyapihan
d) Agitasi ketika penyapihan dibicarakan
e) Peningkatan tekanan darah, nadi dan pernapasan ketika membicarakan penyapihan.
2) Kurangi faktor risiko
Negosiasikan dengan staf medis untuk menunda dimulainya penyapihan dan rencana penyapihan dengan langkah perlahan sehingga dapat memastikan keberhasilan setiap langkah.
1. 4. Intervensi Ketidakefektifan Pola Pernafasan 2. Intervensi Generik
Untuk Hiperventilasi
1) Pastikan individu bahwa tindakan tersebut dilakukan untuk menjamin keamanan
2) Alihkan perhatian individu dari memikirkan tentang keadaan ansietas dengan meminta individu mempertahankan kontak mata dengan anda. Katakan, “Sekarang perhatikan Saya dan bernapaslah perlahan-lahan bersama Saya seperti ini”
3) Pertimbangkan penggunaan kantong kertas jika bermaksud mengeluarkan kembali ekspirasi udara
4) Tetap bersama individu dan latih untuk bernapas perlahan-lahan, bernapas lebih efektif
5) Jelaskan seorang dapat belajar untuk mengatasi hiperventilasi melalui kontrol pernapasan secar sadar apabila penyebabnya tidak diketahui
6) Mendiskusikan kemungkinan penyebab, fisik dan emosional dan metoda penanganan yang efektif
1. Intervensi Pediatrik
Jika anak cenderung bronkospasme, obat-obatan dapat diindikasikan
1. 5. Intervensi Gangguan Pertukaran Gas 2. Aktivitas Utama
1) Kaji bunyi paru, frekuensi napas,kedalaman dan usaha napas serta produksi sputum
2) Pantau saturasi O2 dengan oksimeter nadi
3) Pantau hasil gas darah (misal PaO2 yang rendah, PaCO2 yang meningkat, kemunduran tingkat respirasi)
4) Pantau kadar elektrolit
5) Pantau status mental
6) Peningkatan frekuensi pemantauan pada saat pasien tampak somnolen
7) Observasi terhadap sianosis, terutama membran mukosa mulut
8) Identifikasi kebutuhan pasien akan insersi jalan napas aktual/potensial
9) Auskultasi bunyi napas, tandai area penurunan atau hilangnya ventilasi dan adanya bunyi tambahan
10) Pantau status pernapasan dan oksigenasi
11) Jelaskan penggunaan alat bantu yang diperlukan (oksigen, pengisap,spirometer)
12) Ajarkan teknik bernapas dan relaksasi
13) Jelaskan pada pasien dan keluarga alasan suatu tindakan dilakukan misal: terapi oksigen
14) Ajarkan teknik perawatan di rumah (pengobatan, aktivitas, alat bantu, tanda dan gejala yang perlu dilaporkan)
15) Ajarkan batuk efektif
1. Aktivitas Kolaboratif
1) Konsultasikan dengan dokter tentang kebutuhan akan pemeriksaan gas darah arteri dan penggunaan alat bantu yang dianjurkan sesuai dengan adanya perubahan kondisi pasien
2) Laporkan perubahan sehubungan dengan pengkajian data (misal: bunyi napas, pola napas, analisa gas darah arteri,sputum,efek dari pengobatan)
3) Berikan obat yang diresepkan (misal: natrium bikarbonat) untuk mempertahankan kesiembangan asam-basa
4) Siapkan pasien untuk ventilasi mekanis
5) Berikan oksigen sesuai dengan keperluan
6) Berikan bronkodilator, aerosol, nebulasi
1. Aktivitas Lain
1) Jelaskan kepada pasien sebelum memulai pelaksanaan prosedur untuk menurunkan ansietas dan meningkatkan rasa kendali
2) Beri jaminan kepada pasien selama periode disstres atau cemas
3) Lakukan higiene mulut secara teratur
4) Lakukan tindakan untuk menurunkan konsumsi oksigen (misal mengurangi kecemasan, pengendalian demam dan nyeri)
5) Atur posisi untuk memaksimalkan potensial ventilasi dan mengurangi dispnea
6) Masukkan jalan napas buatan melalui hidung atau nasofaring
7) Lakukan fisioterapi dada sesuai kebutuhan
8) Bersihkan sekret dengan suctioning atau batuk efektif
9) Rencanakan perawatan pasien yang menggunakan ventilator:
a) Meyakinkan keadekuatan pemberian oksigen dengan melaporkan ketidaknormalan gas darah arteri, menggunakan ambubeg yang dilekatkan pada sumber oksigen di sisi bed dan melakukan hiperoksigenasi sebelum melakukan pengisapan
b) Meyakinkan keefektifan pola napas dengan megkaji sinkronisasi dan kemungkinan kebutuhan sedasi
c) Memertahankan kepatenan jalan napas dengan melakukan pengisapan dan memertahankan selang endotrakea atau pindahkan ke sisi tempat tidur
d) Memantau komplikasi (pneumotoraks)
e) Memastikan ketepatan penempatan selang ET
2.3.4 Evaluasi
Evaluasi mengacu kepada penilaian, tahapan, dan perbaikan. Pada tahap ini perawat menemukan penyebab mengapa suatu proses keperawatan dapat berhasil atau gagal. (Alfaro-LeFevre, 1994).Evaluasi adalah perbandingan yang sistematis dan terencana tentang kesehatan pasien dengan tujuan yang telah ditetapkan, dilakukan dengan cara berkesinambungan dengan melibatkan pasien dan tenaga kesehatan lainnya (Griffith & Christensen, 1986).
Perawat menemukan reaksi klien terhadap intervensi keperawatan yang telah diberikan dan menetapkan apa yang menjadi sasaran dari rencana keperawatan dapat diterima. Perencanaan merupakan dasar yang mendukung suatu evaluasi. Menetapkan kembali informasi baru yang diberikan kepada klien untuk mengganti atau menghapus diagnosa keperawatan, tujuan, atau intervensi keperawatan. Menentukan target dari suatu hasil yang ingin dicapai adalah keputusan bersama antara perawat dan klien (Yura & Walsh, 1988).
Evaluasi berfokus pada individu klien dan kelompok dari klien itu sendiri. Proses evaluasi memerlukan beberapa keterampilan dalam menetapkan rencana asuhan keperawatan, termasuk pengetahuan mengenai standar asuhan keperawatan, respon klien yang normal terhadap tindakan keperawatan, dan pengetahuan konsep teladan dari keperawatan.
Evaluasi disimpulkan berdasarkan pada sejauh mana keberhasilan mencapai kriteria hasil, sehingga dapat diputuskan apakah intervensi tetap dilanjutkan, dihentikan, atau diganti jika tindakan yang sebelumnya tidak berhasil.
Pasien mempertahankan patensi jalan napas yang ditunjukkan dengan:
1. Peningkatan jalan napas2. Frekuaensi dan kedalaman napas sesuai3. Gas-gas darah dalam batasan normal
Pasien mempertahankan pola pernapasan yang efektif, frekuensi, irama dan kedalaman pernapasan normal, penurunan dispnea, gas-gas darah batas normal.
Posted by riz liz Posted on 4:50 PM with No comments
Asma Bronkhial 1. Definisi Asma
Asma adalah kondisi jangka panjang yang mempengaruhi saluran napas-saluran kecil yang
mengalirkan udara masuk ke dan keluar dari paru-paru. Asma adalah penyakit inflamasi
(peradangan). Saluran napas penyandang asma biasanya menjadi merah dan meradang. Asma
sangat terkait dengan alergi. Alergi dapat memperparah asma. Namun demikian, tidak semua
penyandang asma mempunyai alergi, dan tidak semua orang yang mempunyai alergi
menyandang asma (Bull & Price, 2007).
Pada penderita asma, saluran napas menjadi sempit dan hal ini membuat sulit bernapas.
Terjadi beberapa perubahan pada saluran napas penyandang asma, yaitu dinding saluran napas
membengkak; adanya sekumpulan lendir dan sel-sel yang rusak menutupi sebagian saluran
napas; hidung mengalami iritasi dan mungkin menjadi tersumbat; dan otot-otot saluran napas
mengencang tetapi semuanya dapat dipulihkan ke kondisi semula dengan terapi yang tepat.
Selama terjadi serangan asma, perubahan dalam paru-paru secara tiba-tiba menjadi jauh lebih
buruk, ujung saluran napas mengecil, dan aliran udara yang melaluinya sangat jauh berkurang
sehingga bernapas menjadi sangat sulit (Bull & Price, 2007).
2. Klasifikasi Asma
Berkaitan dengan gangguan saluran pernapasan yang berupa peradangan dan
bronkokonstriksi, beberapa ahli membagi asma dalam 2 golongan besar, seperti yang dianut
banyak dokter ahli pulmonologi (penyakit paru-paru) dari Inggris, yakni:
a) Asma Ekstrinsik
Asma ekstrinsik adalah bentuk asma yang paling umum, dan disebabkan karena reaksi alergi
penderitanya terhadap hal-hal tertentu (alergen), yang tidak membawa pengaruh apa-apa
terhadap mereka yang sehat. Kecenderungan alergi ini adalah “kelemahan keturunan”. Setiap
orang dari lahir memiliki sistem imunitas alami yang melindungi tubuhnya terhadap serangan
dari luar. Sistem ini bekerja dengan memproduksi antibodi.
Pada saat datang serangan, misalnya dari virus yang memasuki tubuh, sistem ini akan
menghimpun antibodi untuk menghadapi dan berusaha menumpas sang penyerang. Dalam
proses mempertahankan diri ini, gejala-gejala permukaan yang mudah tampak adalah naiknya
temperatur tubuh, demam, perubahan warna kulit hingga timbul bercak-bercak, jaringan-jaringan
tertentu memproduksi lendir, dan sebagainya (Hadibroto & Alam, 2006).
b) Asma Intrinsik
Asma intrinsik tidak responsif terhadap pemicu yang berasal dari alergen. Asma jenis ini
disebabkan oleh stres, infeksi, dan kondisi lingkungan seperti cuaca, kelembapan dan suhu
tubuh. Asma intrinsik biasanya berhubungan dengan menurunnya kondisi ketahanan tubuh,
terutama pada mereka yang memiliki riwayat kesehatan paru-paru yang kurang baik, misalnya
karena bronkitis dan radang paru-paru (pneumonia). Penderita diabetes mellitus golongan lansia
juga mudah terkena asma intrinsik. Penderita asma jenis ini kebanyakan berusia di atas 30 tahun
(Hadibroto & Alam, 2006).
Namun penting dicatat, bahwa dalam prakteknya, asma adalah penyakit yang kompleks,
sehingga tidak selalu dimungkinkan untuk menentukan secara tegas, golongan asma yang
diderita seseorang. Sering indikasi asma ekstrinsik dan intrinsik bersama-sama dideteksi ada
pada satu orang.
Sebagai contoh, dalam kasus asma bronkial (termasuk jenis ekstrinsik) yang kronis, pada saat
menangani terjadinya serangan, dokter akan sering mendiagnosa hadirnya faktor-faktor
kecemasan dan rasa panik. Keduanya adalah emosi yang sifatnya naluriah pada saat seseorang
harus berjuang agar bisa bernapas. Selanjutnya rasa cemas dan panik ini meneruskan lingkaran
setan dan memperparah gejala serangan. Juga akan tercatat, bahwa bahan-bahan iritan
(pengganggu) dari luar seperti asap rokok dan hairspray akan memperparah kondisi penderita.
Kesimpulannya adalah, dari asal asma bronkial (termasuk asma ekstrinsik) akan terlihat juga
hadirnya faktor asma intrinsik.
Demikian pula, seseorang yang punya sejarah bronkitis di masa kanak-kanak sering tumbuh
menjadi orang dewasa yang cenderung menderita asma yang alergik, sebagai akibat kelemahan
bawaan dari masa kanak-kanaknya (Hadibroto & Alam, 2006).
Klasifikasi tingkat penyakit asma dapat dibagi berdasarkan frekuensi kemunculan gejala
(Hadibroto & Alam, 2006).
1. Intermitten, yaitu sering tanpa gejala atau munculnya kurang dari 1 kali dalam seminggu dan
gejala asma malam kurang dari 2 kali dalam sebulan. Jika seperti itu yang terjadi, berarti faal
(fungsi) paru masih baik.
2. Persisten ringan, yaitu gejala asma lebih dari 1 kali dalam seminggu dan serangannya sampai
mengganggu aktivitas, termasuk tidur. Gejala asma malam lebih dari 2 kali dalam sebulan.
Semua ini membuat faal paru realatif menurun.
3. Persisten sedang, yaitu asma terjadi setiap hari dan serangan sudah mengganggu aktivitas, serta
terjadinya 1-2 kali seminggu. Gejala asma malam lebih dari 1-2 kali seminggu. Gejala asma
malam lebih dari 1 kali dalam seminggu. Faal paru menurun.
4. Persisten berat, gejala asma terjadi terus-menerus dan serangan sering terjadi. Gejala asma
malam terjadi hampir setiap malam. Akibatnya faal paru sangat menurun.
Klasifikasi tingkat penyakit asma berdasarkan berat ringannya gejala (Hadibroto & Alam,
2006):
1. Asma akut ringan, dengan gejala: rasa berat di dada, batuk kering ataupun berdahak, gangguan
tidur malam karena batuk atau sesak napas, mengi tidak ada atau mengi ringan, APE (Arus
Puncak Aspirasi) kurang dari 80%.
2. Serangan asma akut sedang, dengan gejala: sesak dengan mengi agak nyaring, batuk
kering/berdahak, aktivitas terganggu, APE antara 50-80%.
3. Serangan asma akut berat, dengan gejala: sesak sekali, sukar berbicara dan kalimat terputus-
putus, tidak bisa barbaring, posisi harus setengan duduk agar dapat bernapas, APE kurang dari
50%.
3. Etiologi
Menurut The Lung Association of Canada, ada dua faktor yang menjadi pencetus asma
(Hadibroto & Alam, 2006):
1. Pemicu (trigger) yang mengakibatkan mengencang atau menyempitnya saluran pernapasan
(bronkokonstriksi). Umumnya pemicu yang mengakibatkan bronkokonstriksi termasuk stimulus
sehari-hari seperti perubahan cuaca dan suhu udara dimana cuaca lembab dan hawa pegunungan
yang dingin sering mempengaruhi asma. Atmosfer yang mendadak dingin merupakan faktor
pemicu terjadinya serangan asma. Serangan asma kadang-kadang berhubungan dengan musim,
seperti: musim hujan, musim kemarau, musim bunga (serbuk sari beterbangan). Selain itu polusi
udara dari luar dan dalam ruang serta asap rokok yang terhirup oleh penderita asma dapat juga
memicu terjadinya serangan asma. Ditambah lagi penderita asma yang memiliki riwayat infeksi
saluran pernapasan misalnya sinusitis dapat mengakibatkan eksaserbasi serangan asma. Penderita
asma harus menjaga kestabilitas dari emosi/stresnya, karena gangguan emosi/stres dapat menjadi
pencetus serangan asma, selain itu juga dapat memperberat serangan asma yang sudah ada.
Selain itu, jangan berolahraga secara berlebihan. Bagi beberapa orang, jenis olahraga tertentu
dapat menyebabkan udara terperangkap di dalam saluran napas dan membuat sulit bernapas.
Kadang-kadang olahraga dapat menyebabkan serangan asma (Bull & Price, 2007).
2. Penyebab (inducer) yang mengakibatkan peradangan (inflammation) pada saluran pernapasan.
Umumnya penyebab (inducer) asma adalah alergen, yang tampil dalam bentuk ingestan dimana
alergen masuk ke tubuh melalui mulut (dimakan/diminum) terutama makanan dan obat-obatan.
Selain itu, bisa juga dalam bentuk inhalan yaitu alergen yang masuk ke tubuh melalui hidung
atau mulut. Jenis alergen inhalan yang utama adalah tepung sari (serbuk) bunga, tanaman, pohon,
tungau, serpihan dan kotoran binatang, serta jamur. Bentuk lainnya yaitu kontak langsung
dengan kulit seperti memakai perhiasan, logam dan jam tangan.
Beberapa faktor orang memiliki kecenderungan yang lebih besar untuk menyandang asma
dibandingkan orang lain (Bull & Price, 2007), di antaranya memiliki riwayat asma atau alergi
lainnya dalam keluarga (keturunan) karena asma dapat diwariskan-diturunkan dari satu anggota
keluarga ke anggota keluarga berikutnya. Beberapa faktor genetik (keturunan) dapat
mempengaruhi perkembangan asma. Jika salah satu orangtua menyandang asma, peluang
berkembangnya asma pada anak-anaknya sekitar dua kali dibandingkan anak-anak yang
orangtuanya tidak menyandang asma. Merokok ketika hamil dimana asap rokok berhubungan
dengan penurunan fungsi paru. Pajanan asap rokok, sebelum dan sesudah kelahiran berhubungan
dengan efek berbahaya yang dapat diukur seperti meningkatkan risiko terjadinya gejala serupa
asma pada usia dini. Baik perokok aktif maupun pasif semasa kanak-kanan. Selain itu pilek atau
infeksi virus dan terpapar iritan di tempat kerja juga dapat mengakibatkan peradangan
(inflammation) pada saluran pernapasan yang berakibat pada terjadinya serangan asma (Ayres,
2003).
Aspek-aspek potensi risiko kemunculan penyakit asma (Widjadja, 2009), antara lain aspek
genetik, kemungkinan alergi dan saluran napas yang memang mudah terserang.
4. Patofisiologi
Berkaitan dengan gangguan saluran pernapasan yang berupa peradangan dan
bronkokonstriksi, beberapa ahli membagi asma dalam 2 golongan besar yakni asma ekstriksi dan
asma intrinsik (Hadibroto & Alam, 2006). Berdasarkan klasifikasi tersebut akan dijabarkan
masing-masing dari patofisiologinya.
a) Asma Ekstrinsik
Pada asma ekstrinsik alergen menimbulkan reaksi yang hebat pada mukosa bronkus yang
mengakibatkan konstriksi otot polos, hiperemia serta sekresi lendir putih yang tebal. Mekanisme
terjadinya reaksi ini telah diketahui dengan baik, tetapi sangat rumit. Penderita yang telah
disensitisasi terhadap satu bentuk alergen yang spesifik, akan membuat antibodi terhadap alergen
yang dihirup itu. Antibodi ini merupakan imunoglobin jenis IgE. Antibodi ini melekat pada
permukaan sel mast pada mukosa bronkus. Sel mast tersebut tidak lain daripada basofil yang kita
kenal pada hitung jenis leukosit. Bila satu molekul IgE yang terdapat pada permukaan sel mast
menangkap satu molekul alergen, sel mast tersebut akan memisahkan diri dan melepaskan
sejumlah bahan yang menyebabkan konstriksi bronkus. Salah satu contoh yaitu histamin, contoh
lain ialah prostaglandin. Pada permukaan sel mast juga terdapat reseptor beta-2 adrenergik. Bila
reseptor beta-2 dirangsang dengan obat anti asma Salbutamol (beta-2 mimetik), maka pelepasan
histamin akan terhalang.
Pada mukosa bronkus dan darah tepi terdapat sangat banyak eosinofil. Adanya eosinofil
dalam sputum dapat dengan mudah diperlihatkan. Dulu fungsi eosinofil di dalam sputum tidak
diketahui, tetapi baru-baru ini diketahui bahwa dalam butir-butir granula eosinofil terdapat enzim
yang menghancurkan histamin dan prostaglandin. Jadi eosinofil memberikan perlindungan
terhadap serangan asma. Dengan demikian jelas bahwa kadar IgE akan meninggi dalam darah
tepi (Herdinsibuae dkk, 2005).
b) Asma Intrinsik
Terjadinya asma intrinsik sangat berbeda dengan asma ekstrinsik. Mungkin mula-mula akibat
kepekaan yang berlebihan (hipersensitivitas) dari serabut-serabut nervus vagus yang akan
merangsang bahan-bahan iritan di dalam bronkus dan menimbulkan batuk dan sekresi lendir
melalui satu refleks. Serabut-serabut vagus, demikian hipersensitifnya sehingga langsung
menimbulkan refleks konstriksi bronkus. Atropin bahan yang menghambat vagus, sering dapat
menolong kasus-kasus seperti ini. Selain itu lendir yang sangat lengket akan disekresikan
sehingga pada kasus-kasus berat dapat menimbulkan sumbatan saluran napas yang hampir total,
sehingga berakibat timbulnya status asmatikus, kegagalan pernapasan dan akhirnya kematian.
Rangsangan yang paling penting untuk refleks ini ialah infeksi saluran pernapasan oleh flu
(common cold), adenovirus dan juga oleh bakteri seperti hemophilus influenzae. Polusi udara
oleh gas iritatif asal industri, asap, serta udara dingin juga berperan, dengan demikian merokok
juga sangat merugikan (Herdinsibuae dkk, 2005).
5. Sel Inflamasi
Sel-sel inflamasi yang terlibat dalam patofisiologi asma terutama adalah sel mast, limfosit,
dan eosinofil.
a) Sel mast
Sel ini sudah lama dikaitkan dengan penyakit asma dan alergi, karena ia dapat melepaskan
berbagai mediator inflamasi, baik yang sudah tersimpan atau baru disintesis, yang bertanggung-
jawab terhadap beberapa tanda asma dan alergi. Berbagai mediator tersebut antara lain adalah
histamine (yang disintesis dan disimpan di dalam granul sel dan dilepas secara cepat ketika sel
mast teraktivasi), prostaglandin PGD2 dan leukotrien LTC4 (yang baru disintesis setelah ada
aktivasi), dan sitokin (yang disintesis dalam waktu yang lebih lambat dan berperan dalam reaksi
fase lambat). Sel mast diaktivasi oleh alergen melalui ikatan suatu alergen dengan IgE yang telah
melekat pada reseptornya (Fcereceptor) di permukaan sel mast. Adanya ikatan cross-linking
antara alergen dengan IgE tersebut memicu serangkaian biokimia didalam Sel yang kemudian
menyebabkan terjadinya degranulasi sel mast. Degranulasi adalah peristiwa pecahnya sel mast
yang menyebabkan pelepasan berbagai mediator inflamasi.
Sel mast terdapat pada lapisan epithelial saluran nafas, dan karenanya dapat berespon
terhadap allergen yang terhirup. Terdapatnya peningkatan jumlah sel mast pada cairan
bronkoalveolar pasien asma mengindasikan bahwa sel ini terlibat dalam patofisiologi asma.
Selain itu, pada pasien asma yang dijumpai penigkatan kadar histamine dan triptase pada cairan
bronkoalveolarnya, yang diduga kuat berasal dari sel mast yang terdegranulasi. Beberapa obat
telah dikembangkan untuk menstabilkan sel mast agar tidak mudah terdegranulasi. Peran sel
mast pada reaksi alergi fase lambat masih belum diketahui secara pasti. Namun,sel mast juga
mengandung faktor kemotatik yang dapat menarik eosinofil dan neutrofil ke saluran nafas.
b) Limfosit
Peran limfosit dalam asma semakin banyak mendapat dukungan fakta, antara lain dengan
terdapatnya produk-produk limfosit yaitu sitokin pada biopsy bronchial pasien asma. Selain itu,
sel-sel limfosit juga dijumpai pada cairan bronkoalveolar pasien asma pada reaksi fase lambat.
Limfosit sendiri terdiri dari dua tipe yaitu limfosit T dan limfosit B. Limfosit T masih terbagi
lagi menjadi dua subtipe yaitu Th1 dan Th2 (T helper 1 dan T helper 2). Sel Th2 memproduksi
berbagai sitokin yang berperan dalam reaksi inflamasi sehingga disebut sitokin prainflamasi,
seperti IL-3, IL-4, IL-6, IL-9, dan IL-13. Sitokin-sitokin ini nampaknya berfungsi dalam
pertahanan tubuh terhadap pathogen ekstrasel. IL-4 dan IL-13 misalnya, dia bekerja
mengaktivasi sel limfosit B untuk memproduksi IgE, yang nantinya akan menempel pada sel-sel
inflamasi sehingga terjadi pelepasan berbagai mediator inflamasi.
c) Eosinofil
Banyak hasil penelitian menunjukkan bahwa eosinofil berkontribusi terhadap patofisiologi
penyakit alergi pada saluran nafas. Dijumpai adanya kaitan yang erat antara keparahan asma
dengan keberadaan eosinofil di saluran nafas yang terinflamasi, sehiingga inflamasi pada asma
atau alergi sering disebut juga inflamasi eosinofilia. Eosinofil mengandung berbagai protein
granul seperti: major inflamasi eosinifilia (MBP), eosinophil peroxidase(EPO), dan eosinophil
cationic probasic protein (ECP), yang dapat menyebabkan kerusakan epitelium saluran nafas,
menyebabkan hiperresponsivitas bronkus, sekresi mediatorbdari sel mast dan basofil, serta secara
langsung menyebabkan kontraksi otot polos saluran nafas (Bussed an Reed, 1993). Selain itu,
beberapa produk eosinofil seperti LCT4, PAF, dan metabolit oksigen toksik dapat menambah
keparahn asma.
6. Manifestasi Klinis
a) Tanda
Sebelum muncul suatu episode serangan asma pada penderita, biasanya akan ditemukan
tanda-tanda awal datangnya asma. Tanda-tanda awal datangnya asma memiliki sifat-sifat sebagai
berikut, yaitu sifatnya unik untuk setiap individu, pada individu yang sama, tanda-tanda
peringatan awal bisa sama, hampir sama, atau sama sekali berbeda pada setiap episode serangan
dan tanda peringatan awal yang paling bisa diandalkan adalah penurunan dari angka prestasi
penggunaan “Preak Flow Meter”.
Beberapa contoh tanda peringatan awal (Hadibroto & Alam, 2006) adalah perubahan dalam
pola pernapasan, bersin-bersin, perubahan suasana hati (moodiness), hidung mampat, batuk,
gatal-gatal pada tenggorokan, merasa capai, lingkaran hitam dibawah mata, susah tidur, turunnya
toleransi tubuh terhadap kegiatan olahraga dan kecenderungan penurunan prestasi dalam
penggunaan Preak Flow Meter.
b) Gejala
(1) Gejala Asma Umum
Perubahan saluran napas yang terjadi pada asma menyebabkan dibutuhkannya usaha yang
jauh lebih keras untuk memasukkan dan mengeluarkan udara dari paru-paru. Hal tersebut dapat
memunculkan gejala berupa sesak napas/sulit bernapas, sesak dada, mengi/napas berbunyi
(wheezing) dan batuk (lebih sering terjadi pada anak daripada orang dewasa).
Tidak semua orang akan mengalami gejala-gelaja tersebut. Beberapa orang dapat
mengalaminya dari waktu ke waktu, dan beberapa orang lainya selalu mengalaminya sepanjang
hidupnya. Gelaja asma seringkali memburuk pada malam hari atau setelah mengalami kontak
dengan pemicu asma (Bull & Price, 2007). Selain itu, angka performa penggunaan Preak Flow
Meter menunjukkan rating yang termasuk “hati-hati” atau “bahaya” (biasanya antara 50%
sampai 80% dari penunjuk performa terbaik individu) (Hadibroto & Alam, 2006).
(2) Gejala Asma Berat
Gejala asma berat (Hadibroto & Alam, 2006) adalah sebagai berikut yaitu serangan batuk
yang hebat, napas berat “ngik-ngik”, tersengal-sengal, sesak dada, susah bicara dan
berkonsentrasi, jalan sedikit menyebabkan napas tersengal-sengal, napas menjadi dangkal dan
cepat atau lambat dibanding biasanya, pundak membungkuk, lubang hidung mengembang
dengan setiap tarikan napas, daerah leher dan di antara atau di bawah tulang rusuk melesak ke
dalam, bersama tarikan napas, bayangan abu-abu atau membiru pada kulit, bermula dari daerah
sekitar mulut (sianosis), serta angka performa penggunaan Preak Flow Meter dalam wilayah
berbahaya (biasanya di bawah 50% dari performa terbaik individu).
7. Komplikasi Asma
Penyakit asma yang tidak ditangani dengan baik lambat-laun akan berakibat pada terjadinya
komplikasi (Mansjoer, 2008) dimana dapat menyebabkan beberapa penyakit sebagai berikut
yaitu, terjadinya pneumotorak, pneumomediastinum, emfisema subkutis, aspergilosis,
atelektasis, gagal napas, bronkitis, fraktur iga, dan bronkopulmonar alergik.
8. Pemeriksaan Diagnostik
a) Pemeriksaan Laboratorium
(1) Pemeriksaan Sputum
Adanya badan kreola adalah karakteristik untuk serangan asma yang berat, karena hanya
reaksi yang hebat saja yang menyebabkan transudasi dari edema mukosa, sehingga terlepaslah
sekelompok sel-sel epitel dari perlekatannya. Pewarnaan gram penting untuk melibat adanya
bakteri, cara tersebut kemudian diikuti kultur dan uji resistensi terhadap beberapa antibiotik
(Muttaqin, 2008).
(2) Pemeriksaan Darah (Analisa Gas Darah/AGD/astrub)
(a) Analisa gas darah pada umumnya normal akan tetapi dapat pula terjadi
hipoksemia, hiperkapnia, atau asidosis.
(b) Kadang pada darah terdapat peningkatan dari SGOT dan LDH.
(c) Hiponatremia dan kadar leukosit kadang-kadang di atas 15.000/mm3 dimana
menandakan terdapatnya suatu infeksi.
(3) Sel Eosinofil
Sel eosinofil pada klien dengan status asmatikus dapat mencapai 1000-1500/mm3 baik asma
intrinsik ataupun ekstrinsik, sedangkan hitung sel eosinofil normal antara 100-200/mm3.
Perbaikan fungsi paru disertai penurunan hitung jenis sel eosinofil menunjukkan pengobatan
telah tepat (Muttaqin, 2008).
b) Pemeriksaan Penunjang
(1) Pemeriksaan Radiologi
Gambaran radiologi pada asma pada umumnya normal. Pada waktu serangan menunjukan
gambaran hiperinflasi pada paru-paru yakni radiolusen yang bertambah dan peleburan rongga
intercostalis, serta diafragma yang menurun.
(2) Pemeriksaan Tes Kulit
Dilakukan untuk mencari faktor alergi dengan berbagai alergen yang dapat menimbulkan
reaksi yang positif pada asma.
(3) Scanning Paru
Dengan scanning paru melalui inhalasi dapat dipelajari bahwa redistribusi udara selama
serangan asma tidak menyeluruh pada paru-paru.
(4) Spirometer
Alat pengukur faal paru, selain penting untuk menegakkan diagnosis juga untuk menilai
beratnya obstruksi dan efek pengobatan.
(5) Peak Flow Meter/PFM
Peak flow meter merupakan alat pengukur faal paru sederhana, alat tersebut digunakan untuk
mengukur jumlah udara yang berasal dari paru. Oleh karena pemeriksaan jasmani dapat normal,
dalam menegakkan diagnosis asma diperlukan pemeriksaan obyektif (spirometer/FEV1 atau
PFM). Spirometer lebih diutamakan dibanding PFM karena PFM tidak begitu sensitif dibanding
FEV. Untuk diagnosis obstruksi saluran napas, PFM mengukur terutama saluran napas besar,
PFM dibuat untuk pemantauan dan bukan alat diagnostik, APE dapat digunakan dalam
diagnosis untuk penderita yang tidak dapat melakukan pemeriksaan FEV1.
(6) X-ray Dada/Thorax
Dilakukan untuk menyingkirkan penyakit yang tidak disebabkan asma.
(7) Pemeriksaan IgE
Uji tusuk kulit (skin prick test) untuk menunjukkan adanya antibodi IgE spesifik pada kulit.
Uji tersebut untuk menyokong anamnesis dan mencari faktor pencetus. Uji alergen yang positif
tidak selalu merupakan penyebab asma. Pemeriksaan darah IgE Atopi dilakukan dengan cara
radioallergosorbent test (RAST) bila hasil uji tusuk kulit tidak dapat dilakukan (pada
dermographism).
(8) Petanda Inflamasi
Derajat berat asma dan pengobatannya dalam klinik sebenarnya tidak berdasarkan atas
penilaian obyektif inflamasi saluran napas. Gejala klinis dan spirometri bukan merupakan
petanda ideal inflamasi. Penilaian semi-kuantitatif inflamasi saluran napas dapat dilakukan
melalui biopsi paru, pemeriksaan sel eosinofil dalam sputum, dan kadar oksida nitrit udara yang
dikeluarkan dengan napas. Analisis sputum yang diinduksi menunjukkan hubungan antara
jumlah eosinofil dan Eosinophyl Cationic Protein (ECP) dengan inflamasi dan derajat berat
asma. Biopsi endobronkial dan transbronkial dapat menunjukkan gambaran inflamasi, tetapi
jarang atau sulit dilakukan di luar riset.
9. Web of Caution (WOC) secara Teorits
10. Penatalaksanaan Medis dan Keperawatan
a) Penatalaksanaan Medis
(1) Terapi Obat
Penatalaksanaan medis pada penderita asma bisa dilakukan dengan pengguaan obat-obatan
asma dengan tujuan penyakit asma dapat dikontrol dan dikendalikan. Karena belum terlalu lama
ini, yakni baru sejak pertengahan tahun 1990-an mulai mengental keyakinan di kalangan
kedokteran bahwa asma yang tidak terkendali dalam jangka panjang bisa menyebabkan
kerusakan pada saluran pernapasan dan paru-paru.
Cara menangani asma yang reaktif, yakni hanya pada saat datangnya serangan sudah
ketinggalan zaman. Hasil penelitian medis menunjukkan bahwa para penderita asma yang
terutama menggantungkan diri pada obat-obatan pelega (reliever/bronkodilator) secara umum
memiliki kondisi yang buruk dibandingkan penderita asma umumnya. Selanjutnya prosentase
keharusan kunjungan ke unit gawat daruat (UGD), keharusan mengalami rawat inap, dan risiko
kematiannya karena asma juga lebih tinggi.
Hal ini membuktikan bahwa pasa asma ekstrinsik, penyebab asma yang mereka derita adalah
karena peradangan (inflamasi), dan bukan karena bronkokonstriksi. Dengan demikian, dokter
masa kini menggunakan obat peradangan sebagai senjata utama, sedang obat-obatan pelega
sebagai pendukung. Keyakinan ini sangat disokong oleh penemuan obat-obatan pencegah
peradangan saluran pernapasan, yang aman untuk digunakan dalam jangka panjang.
Menurut AAAI (Amerika Academy of Allergy, Asthma & Immunology) penggolongan obat
asma (Hadibroto & Alam, 2006) adalah sebagai berikut:
a) Obat-obat anti peradangan (preventer)
(1) Usaha pengendalian asma dalam jangka panjang
(2) Golongan obat ini mencegah dan mengurangi peradangan, pembengkakan saluran napas, dan
produksi lendir
(3) Cara kerjanya adalah dengan mengurangi sensitivitas saluran pernapasan terhadap pemicu asma
yang berupa alergen.
(4) Penggunaannya harus teratur dalam jangka panjang
(5) Daya kerja lambat/gradual, biasanya mengambil waktu sekitar dua minggu baru terlihat
efektivitasnya ayang terukur.
Contoh obat anti peradangan adalah beclometasone [Becotide®], budesonide [Pulmicort®],
fluticasone [Flixotide®], mometasone [Asmanex®], dan montelukast [Singulair®] secara
bertahap mengurangi peradangan saluran napas dan (jika digunakan secara teratur) akan
mengontrol penyakit asma. Obat pencegah biasanya tersedia dalam bentuk inhaler berwarna
cokelat, putih, merah, atau oranye, meskipun beberapa (misalnya montelukast) tersedia dalam
tablet.
b) Obat-obat pelega gejala berjangka panjang
Obat-obat pelega gejala berjangka panjang dalam nama generik yang ada di pasaran adalah
salmeterol hidroksi naftoat (salmeterol xinafoate) dan teofilin (theophylline).
(1) Salmeterol
Obat ini adalah bronkodilator yang bekerja perlahan dimana obat ini bekerja dengan
mengendurkan oto-otot yang mengelilingi saluran pernapasan. Obat ini paling efektif bila
dikombinasikan dengan suatu obat kortikosteroid hirup, dan tidak dapat berfungsi sebagai pelega
seketika dalam hal terjadi serangan asma.
Obat ini umumnya bekerja setelah setengah jam dan daya kerjanya bertahan hingga 12 jam.
Obat ini disajikan dalam bentuk obat hirup dosis terukut dan obat hirup bubuk kering. Obat ini
tidak dapat digunakan untuk anak-anak di bawah 12 tahun.
(2) Teofilin
Obat ini termasuk satu golongan dengan kafein (zat aktif yang terdapat dalam secangkir
kopi) dan termasuk bronkodilator yang lama daya kerjanya. Efek samping obat ini sama seperti
kafein sehingga tidak dianturkan untuk pasien hiperaktif.
(3) Albuterol Sulfat atau Salbutamol.
Bronkolidarot yang paling populer dan disajikan dalam bentuk obat hirup dosis terukur, obat
hirup bubuk kering, larutan untuk alat nebulizer, sirup, tablet biasa, tablet lepas-tunda (extended-
reliase). Bentuk hirup bekerja lebih karena langsung menuju saluran pernapasan yang
bermasalah, ketimbang harus lewat lambung dulu. Efek samping obat ini dapat menyebabkan
stimulasi, jantung berdebar, dan pusing.
Merek yang paling populer adalah Ventolin dan Proventil yang disajikan sebagai obat hirup
dosis terukur. Proventil HFA sebagai obat hirup bubuk kering. Ventolin terdaftar di Indonesia
dalam bentuk sediaan tablet, sirup, nebulizer, dan spray. Merek lain adalah Ascolen.
c) Obat-obat pelega gejala asma (reliever/bronkodilator)
Misalnya salbutamol [Ventolin®], terbutaline [Bricanyl®], formoterol [Foradil®, Oxis®],
dan salmeterol [Serevent®] secara cepat mengembalikan saluran napas yang menyempit yang
terjadi selama serangan asma ke kondisi semula. Obat pereda/pelega biasanya tersedia dalam
bentuk inhaler berwarna biru atau abu-abu.
d) Obat-obatan kortikosteroid oral
Kortikosteroid oral adalah obat yang ampuh untuk mengatasi pembengkakan dan peradangan
yang mencetuskan serangan asma. Obat ini membutuhkan enam hingga delapan jam untuk
bekerja, sehingga makin cepat digunakan makin cepat pula daya kerja yang dirasakan.
Malam hari termasuk waktu dimana serangan asma paling sering terjadi, karena fungsi paru-
paru berada pada titik yang paling rendah di tengan malam. Dari hasil penelitian terbukti bahwa
dosis kortikosteroid oral yang diberikan di siang hari bisa membantu mereka yang mengalami
serangan asma untuk tidur pada malam harinya.
Di sisi lain, efek samping penggunaan kortikosteroid oral juga cukup nyata, seperti
perubahan suasana hati (mood changes), meningkatnya selera makan, perubahan berat badan,
dan gejala demam yang ditekan. Akan tetapi, efek samping dari penggunaan kortikosteroid ini
tidak perlu dikhawatirkan jika penggunaannya hanya dalam jangka pendek dan kadangkala saja.
(1) Prednison (Prednisone)
Prednison adalah preparat kortikosteroid oral yang paling umum digunakan. Obat ini
disajikan dalam bentuk pil maupun sirup.
(2) Prednisolon (Prednisolone)
Prednisolon adalah kortikosteroid oral yang sangat mirip prednisone, dengan kelebihan
rasanya yang lebih bisa diterima anak-anak. Dengan merek Prelone disajikan sebagai sirup 15
mg per 5 ml. Prediaped disajikan sebagai sirup 5 mg per 5 ml.
(3) Metilprednisolon (Methylprednisolone)
Sangat mirip dengan prednisolon, tetapi harganya lebih mahal. Biasanya digunakan di rumah
sakit dengan cara intravenuous.
(4) Deksametason (Dexamethasone)
Dengan merek Decadron, satu dosis tunggalnya berdaya kerja dua hingga tiga kali lebih lama
dibandingkan preparat kortikosteroid yang lain. Cocok untuk pasien anak-anak yang sulit minum
obat.
(2) Alat-alat hirup
Alat hirup dosis terukur atau Metered Dose Inhaler (MDI) disebut juga inhaler atau puffer
adalah alat yang paling banyak digunakan untuk menghantar obat-obatan ke saluran pernapasan
atau paru-paru pemakainnya. Alat ini menyandang sebutan dosis terukur (metered-dose) karena
memang menghantar suatu jumlah obat yang konsisten/terukur dengan setiap semprotan.
Sebagai hasil teknologi mutakhir, alat hirup dosis terukur kini bisa digunakan oleh segala
tingkatan usia, mulai dari balita hingga lansia. Alat hirup dosis terukur memuat obat-obatan dan
cairan tekan (pressurized liquid), biasanya chlorofluorocerbous/CFC, yang mengembang
menjadi gas ketika melewati moncongnya. Cairan yang sebutan populernya adalah propelan
tersebut memecah obat-obatan yang dikandung menjadi butiran-butiran atau kabut halus, dan
mendorongnya keluar dari moncong masuk ke saluran pernapasan atau paru-paru pemakainya.
b) Penatalaksanaan Keperawatan
Penatalaksanaan keperawatan yang dapat dilakukan pada penderita asma adalah sebagai
berikut, yaitu memberikan penyuluhan (pendidikan kesehatan), pemberian cairan, fisiotherapy,
dan beri O2 bila perlu.
11. Kemungkinan Diagnosa Keperawatan
a) Tidak efektifnya bersihan jalan nafas berhubungan dengan gangguan suplai oksigen
(bronkospasme), penumpukan sekret, sekret kental.
b) Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan gangguan suplai oksigen (bronkospasme).
c) Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan gangguan suplai oksigen (bronkuspasme).
d) Risiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan tidak adekuat imunitas.
NoDiagnosa
Keperawatan
Tujuan/
Kriteria HasilIntervensi Rasional
1 Tidak
efektifnya
bersihan
jalan nafas
berhubungan
dengan
gangguan
suplai
oksigen
(bronkospas
me),
penumpukan
sekret, sekret
kental
Pencapaian
bersihan jalan
napas dengan
kriteria hasil
sebagai berikut:
1.
Mempertahanka
n jalan napas
paten dengan
bunyi napas
bersih atau
jelas.
2. Menunjukan
perilaku untuk
memperbaiki
bersihan jalan
nafas misalnya
batuk efektif
dan
mengeluarkan
sekret.
Mandiri
1. Auskultasi bunyi
nafas, catat
adanya bunyi
nafas, ex: mengi
2. Kaji/pantau
frekuensi
pernafasan, catat
rasio
inspirasi/ekspirasi
.
3. Catat adanya
derajat dispnea,
ansietas, distress
pernafasan,
penggunaan obat
bantu.
4. Tempatkan posisi
yang nyaman
pada pasien,
contoh:
meninggikan
kepala tempat
tidur, duduk pada
sandara tempat
tidur.
1. Beberapa derajat
spasme bronkus
terjadi dengan
obstruksi jalan nafas
dan dapat/tidak
dimanifestasikan
adanya nafas
advertisius.
2. Tachipnea biasanya
ada pada beberapa
derajat dan dapat
ditemukan pada
penerimaan atau
selama
stress/adanya proses
infeksi akut.
3. Disfungsi
pernafasan adalah
variable yang
tergantung pada
tahap proses akut
yang menimbulkan
perawatan di rumah
sakit.
4. Peninggian kepala
tempat tidur
5. Pertahankan
polusi lingkungan
minimum,
contoh: debu,
asap dll.
6. Tingkatkan
masukan cairan
sampai dengan
3000 ml/ hari
sesuai toleransi
jantung
memberikan air
hangat.
Kolaborasi
7. Berikan obat
sesuai indikasi
bronkodilator.
memudahkan fungsi
pernafasan dengan
menggunakan
gravitasi.
5. Pencetus tipe alergi
pernafasan dapat
mentriger episode
akut.
6. Hidrasi membantu
menurunkan
kekentalan sekret,
penggunaan cairan
hangat dapat
menurunkan
kekentalan sekret,
penggunaan cairan
hangat dapat
menurunkan spasme
bronkus.
7. Merelaksasikan otot
halus dan
menurunkan spasme
jalan nafas, mengi,
dan produksi
mukosa.
2 Pola nafas
tidak efektif
berhubungan
dengan
gangguan
suplai
Perbaikan pola
nafas dengan
kriteria hasil
sebagai berikut:
1.
Mempertahanka
Mandiri
1. Ajarkan pasien
pernapasan
dalam.
2. Tinggikan kepala
dan bantu
1. Membantu pasien
memperpanjang
waktu ekspirasi
sehingga pasien
akan bernapas lebih
efektif dan efisien.
oksigen
(bronkospas
me)
n ventilasi
adekuat dengan
menunjukan
RR:16-20
x/menit dan
irama napas
teratur.
2. Tidak
mengalami
sianosis atau
tanda hipoksia
lain.
3. Pasien dapat
melakukan
pernafasan
dalam.
mengubah posisi.
Berikan posisi
semi fowler.
Kolaborasi
3. Berikan oksigen
tambahan.
2. Duduk tinggi
memungkinkan
ekspansi paru dan
memudahkan
pernapasan.
3. Memaksimalkan
bernapas dan
menurunkan kerja
napas.
3 Gangguan
pertukaran
gas
berhubungan
dengan
gangguan
suplai
oksigen
(bronkuspas
me)
Perbaikan
pertukaran gas
dengan kriteria
hasil sebagai
berikut:
1. Perbaikan
ventilasi.
2. Perbaikan
oksigen
jaringan
adekuat.
Mandiri
1. Kaji/awasi secara
rutin kulit dan
membrane
mukosa.
2. Palpasi fremitus.
3. Awasi tanda-
tanda vital dan
irama jantung.
Kolaborasi
4. Berikan oksigen
tambahan sesuai
dengan indikasi
hasil AGDA dan
toleransi pasien.
1. Sianosis mungkin
perifer atau sentral
keabu-abuan dan
sianosis sentral
mengindikasikan
beratnya
hipoksemia.
2. Penurunan getaran
vibrasi diduga
adanya pengumplan
cairan/udara.
3. Tachicardi,
disritmia, dan
perubahan tekanan
darah dapat
menunjukan efek
hipoksemia sistemik
pada fungsi jantung.
4. Dapat memperbaiki
atau mencegah
memburuknya
hipoksia.
4 Risiko tinggi
terhadap
infeksi
berhubungan
dengan tidak
adekuat
imunitas
Tidak terjadinya
infeksi dengan
kriteria hasil
sebagai berikut:
1.
Mengidentifikas
ikan intervensi
untuk mencegah
atau
menurunkan
resiko infeksi.
2. Perubahan pola
hidup untuk
meningkatkan
lingkungan
yang nyaman.
Mandiri
1. Awasi suhu.
2. Diskusikan
adekuat
kebutuhan nutrisi.
Kolaborasi
3. Dapatkan
specimen sputum
dengan batuk atau
pengisapan untuk
pewarnaan gram,
kultur/sensitifitas.
1. Demam dapat
terjadi karena
infeksi dan atau
dehidrasi.
2. Malnutrisi dapat
mempengaruhi
kesehatan umum
dan menurunkan
tahanan terhadap
infeksi.
3. Untuk
mengidentifikasi
organisme penyabab
dan kerentanan
terhadap berbagai
anti microbial.
BAB III
KASUS
ASUHAN KEPERAWATAN Nn. G
DENGAN DIAGNOSA ASMA BRONKHIAL
DI RUMAH SAKIT UMUM ARIFIN AHMAD
A. Uraian Kasus
Nn. G 23 tahun suku minang datang dengan keluhan napasnya sesak sewaktu bangun pagi dan
semakin meningkat ketika beraktivitas, klien juga batuk berdahak. Dari hasil pengkajian klien
mengeluh sesak, batuk berdahak dengan dahak berwarna putih, dan klien merasa sesaknya
berkurang setelah dilakukan pengasapan (nebulizer). Klien juga mengatakan mempunyai riwayat
asma sejak kelas 6 SD dan klien mengatakan bahwa ada salah satu anggota keluarganya yang
memiliki riwayat asma, yaitu ibunya. Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan hasil: rongga dada
simetris, retraksi dinding dada (+), taktil fremitus simetris antara kiri dan kanan, suara napas
klien terdengar wheezing, resonan pada perkusi dinding dada, dan sputum berwarna putih kental.
Dari hasil observasi didapatkan hasil: tingkat kesadaran: kompos mentis, dan hasil TTV: TD =
130/70 mmHg, RR = 36x/menit, HR = 76x/menit, suhu = 37o C. Dari hasil pemeriksaan
laboratorium didapatkan hasil: Hb = 15,5 gr%, leukosit = 17.000/mm3, trombosit 260.000/mm3,
Ht = 47vol%. Klien saat ini mendapatkan terapi: IVFD RL 20 tts/i, Pulmicort, Ventolin,
Bisolvon dan O2 dengan nasal kanul 2 L. Pada pemeriksaan penunjang X-ray dada/thorax,
didapatkan hasil paru dalam batas normal.
B. Pengkajian
1. Anamnesa
Identitas Klien
Nama : Nn. G
Umur : 23 tahun
Alasan Masuk (Keluhan Utama)
Klien masuk rumah sakit dengan keluhan napasnya sesak sewaktu bangun pagi dan semakin
meningkat ketika beraktivitas, serta batuk berdahak.
Riwayat Penyakit Dahulu
Klien mengatakan mempunyai riwayat asma sejak kelas 6 SD
Riwayat penyakit Sekarang
Klien mengeluh sesak, batuk berdahak dengan dahak berwarna putih.
Riwayat Penyakit Keluarga
Klien mengatakan bahwa ada salah satu anggota keluarganya yang memiliki riwayat asma, yaitu
ibunya.
2. Pemeriksaan Fisik
a) Tingkat Kesadaran: Compos mentis
b) TTV:
(1) BP : 130/70 mmHg
(2) RR: 36 x/menit
(3) HR: 76 x/menit
(4) T : 37oC
c) Hasil pengkajian:
Inspeksi
Rongga dada simetris, retraksi dinding dada (+), dan sputum berwarna putih kental.
Palpasi
Taktil fremitus simetris antara kiri dan kanan.
Perkusi
Resonan dikedua lapang paru.
Auskultasi
Suara napas klien terdengar wheezing.
3. Pemeriksaan Penunjang dan Laboratorium
Pada pemeriksaan penunjang
X-ray dada/thorax, didapatkan hasil paru dalam batas normal.
Pemeriksaan laboratorium
- Hb = 15,5 gr%
- Leukosit = 17.000/mm3
- Trombosit 260.000/mm3
- Ht = 47vol%.
4. Terapi Pengobatan Saat Ini
IVFD RL 20 tts/i, Pulmicort, Ventolin, Bisolvon dan O2 dengan nasal kanul 2 L.
C. Analisa Data
No Data EtiologiMasalah
Keperawatan
1 DS:
1. Klien
mengatakan
batuk berdahak
dengan dahak
berwarna putih.
Pencetus serangan
(alergen)
↓
Reaksi antigen & antibodi
↓
Dikeluarkannya substansi
Tidak
efektifnya
bersihan jalan
nafas
2. Klien merasa
sesak.
DO:
1. Tanda-tanda
vital:
BP=130/70
mmHg
RR=36 x/menit
HR=76x/menit
T=37oC
2. Klien tampak
sesak nafas
disertai batuk
berdahak,
berwarna putih
agak kental.
3. Suara napas
klien terdengar
wheezing.
4. Terapi yang
diberikan:
oksigen 2L,
IVFD RL 20 tts/i,
Pulmicort,
Ventolin,
Bisolvon.
vasoaktif (histamin,
bradikinin, & anafilaksin)
↓
↑ permeabilitas kapiler
↓
Kontraksi otot polos
Edema mukosa
Hipersekresi
↓
Obstruksi jalan nafas
↓
Tidak efektifnya bersihan
jalan nafas
2 DS:
1. Klien merasa
sesak
DO:
1. Tanda-tanda
Pencetus serangan
(alergen)
↓
Reaksi antigen & antibodi
↓
Pola nafas tidak
efektif
vital:
BP=130/70
mmHg
RR=36 x/menit
HR=76x/menit
T=37oC
2. Klien tampak
sesak nafas
disertai batuk
berdahak,
berwarna putih
agak kental.
3. Suara napas
klien terdengar
wheezing.
4. Terapi yang
diberikan:
oksigen 2L,
IVFD RL 20 tts/i,
Pulmicort,
Ventolin,
Bisolvon.
Dikeluarkannya substansi
vasoaktif (histamin,
bradikinin, & anafilaksin)
↓
Kontraksi otot polos
↓
Bronkospasme
↓
Suplai O2 menurun
↓
Merangsang kemoreseptor
sentral (spons dan medulla
oblongata)
↓
Hiperventilasi
↓
Sesak
↓
Pola nafas tidak efektif
D. Web of Caution (WOC)
E. Asuhan Keperawatan
NoDiagnosa
Keperawatan
Tujuan/
Kriteria HasilIntervensi Rasional
1. Tidak
efektifnya
bersihan jalan
nafas
berhubungan
dengan
gangguan
suplai oksigen
(bronkospasm
e),
penumpukan
sekret, sekret
kental.
Pencapaian
bersihan jalan
napas dengan
kriteria hasil
sebagai berikut:
1.
Mempertahanka
n jalan napas
paten dengan
bunyi napas
bersih atau
jelas.
2. Menunjukan
perilaku untuk
memperbaiki
bersihan jalan
nafas misalnya
batuk efektif
dan
mengeluarkan
sekret.
Mandiri
1. Auskultasi
bunyi nafas,
catat adanya
bunyi nafas,
ex: mengi
2. Kaji/pantau
frekuensi
pernafasan,
catat rasio
inspirasi/ekspi
rasi.
3. Catat adanya
derajat
dispnea,
ansietas,
distress
pernafasan,
penggunaan
obat bantu.
4. Tempatkan
posisi yang
nyaman pada
pasien,
contoh:
meninggikan
kepala tempat
tidur, duduk
pada sandara
1. Beberapa
derajat spasme
bronkus terjadi
dengan
obstruksi jalan
nafas dan
dapat/tidak
dimanifestasika
n adanya nafas
advertisius.
2. Tachipnea
biasanya ada
pada beberapa
derajat dan
dapat
ditemukan pada
penerimaan atau
selama
stress/adanya
proses infeksi
akut.
3. Disfungsi
pernafasan
adalah variable
yang tergantung
pada tahap
proses akut
yang
menimbulkan
tempat tidur.
5. Pertahankan
polusi
lingkungan
minimum,
contoh: debu,
asap dll.
6. Tingkatkan
masukan
cairan sampai
dengan 3000
ml/ hari sesuai
toleransi
jantung
memberikan
air hangat.
Kolaborasi
7. Berikan obat
sesuai
indikasi
bronkodilator.
perawatan di
rumah sakit.
4. Peninggian
kepala tempat
tidur
memudahkan
fungsi
pernafasan
dengan
menggunakan
gravitasi.
5. Pencetus tipe
alergi
pernafasan
dapat mentriger
episode akut.
6. Hidrasi
membantu
menurunkan
kekentalan
sekret,
penggunaan
cairan hangat
dapat
menurunkan
kekentalan
sekret,
penggunaan
cairan hangat
dapat
menurunkan
spasme
bronkus.
7. Merelaksasikan
otot halus dan
menurunkan
spasme jalan
nafas, mengi,
dan produksi
mukosa.
2 Pola nafas
tidak efektif
berhubungan
dengan suplai
oksigen
berkurang
(bronkospasm
e)
Perbaikan pola
nafas dengan
kriteria hasil
sebagai berikut:
1.
Mempertahanka
n ventilasi
adekuat dengan
menunjukan
RR=16-20
x/menit dan
irama napas
teratur.
2. Tidak
mengalami
sianosis atau
tanda hipoksia
lain.
3. Pasien dapat
melakukan
pernafasan
dalam.
Mandiri
1. Tinggikan
kepala dan
bantu
mengubah
posisi.
Berikan posisi
semi fowler.
2. Ajarkan
pasien
pernapasan
dalam.
Kolaborasi
3. Berikan
oksigen
tambahan.
1. Duduk tinggi
memungkinkan
ekspansi paru
dan
memudahkan
pernapasan.
2. Membantu
pasien
memperpanjang
waktu ekspirasi
sehingga pasien
akan bernapas
lebih efektif dan
efisien.
3.
Memaksimalka
n bernapas dan
menurunkan
kerja napas
F. Penatalaksanaan Farmakologi dan Non Farmakologi
1. Penatalaksanan Farmakologi
Belum terlalu lama, yakni baru sejak pertengahan tahun 1990-an mulai mengental keyakinan
di kalangan kedokteran bahwa asma yang tidak terkendali dalam jangka panjang bisa
menyebabkan kerusakan pada saluran pernapasan dan paru-paru. Cara menangani asma yang
reaktif, yakni hanya pada saat datangnya serangan sudah ketinggalan zaman. Hasil penelitian
medis menunjukkan bahwa para penderita asma yang terutama menggantungkan diri pada obat-
obatan pelega (reliever/bronkodilator) secara umum memiliki kondisi yang buruk dibandingkan
penderita asma umumnya. Selanjutnya prosentase keharusan kunjungan ke unit gawat daruat
(UGD), keharusan mengalami rawat inap, dan risiko kematiannya karena asma juga lebih tinggi.
Hal ini membuktikan bahwa pasa asma ekstrinsik, penyebab asma yang mereka derita adalah
karena peradangan (inflamasi), dan bukan karena bronkokonstriksi. Dengan demikian, dokter
masa kini menggunakan obat peradangan sebagai senjata utama, sedang obat-obatan pelega
sebagai pendukung. Keyakinan ini sangat disokong oleh penemuan obat-obatan pencegah
peradangan saluran pernapasan, yang aman untuk digunakan dalam jangka panjang.
Menurut AAAI (Amerika Academy of Allergy, Asthma & Immunology) penggolongan obat
asma (Hadibroto & Alam, 2006) adalah sebagai berikut:
a) Obat-obat anti peradangan (preventer)
(1) Usaha pengendalian asma dalam jangka panjang
(2) Golongan obat ini mencegah dan mengurangi peradangan, pembengkakan saluran napas, dan
produksi lendir
(3) Cara kerjanya adalah dengan mengurangi sensitivitas saluran pernapasan terhadap pemicu asma
yang berupa alergen.
(4) Penggunaannya harus teratur dalam jangka panjang
(5) Daya kerja lambat/gradual, biasanya mengambil waktu sekitar dua minggu baru terlihat
efektivitasnya ayang terukur.
Contoh obat anti peradangan adalah beclometasone [Becotide®], budesonide [Pulmicort®],
fluticasone [Flixotide®], mometasone [Asmanex®], dan montelukast [Singulair®] secara
bertahap mengurangi peradangan saluran napas dan (jika digunakan secara teratur) akan
mengontrol penyakit asma. Obat pencegah biasanya tersedia dalam bentuk inhaler berwarna
cokelat, putih, merah, atau oranye, meskipun beberapa (misalnya montelukast) tersedia dalam
tablet.
b) Obat-obat pelega gejala berjangka panjang
Obat-obat pelega gejala berjangka panjang dalam nama generik yang ada di pasaran adalah
salmeterol hidroksi naftoat (salmeterol xinafoate) dan teofilin (theophylline).
(1) Salmeterol
Obat ini adalah bronkodilator yang bekerja perlahan dimana obat ini bekerja dengan
mengendurkan oto-otot yang mengelilingi saluran pernapasan. Obat ini paling efektif bila
dikombinasikan dengan suatu obat kortikosteroid hirup, dan tidak dapat berfungsi sebagai pelega
seketika dalam hal terjadi serangan asma.
Obat ini umumnya bekerja setelah setengah jam dan daya kerjanya bertahan hingga 12 jam.
Obat ini disajikan dalam bentuk obat hirup dosis terukut dan obat hirup bubuk kering. Obat ini
tidak dapat digunakan untuk anak-anak di bawah 12 tahun.
(2) Teofilin
Obat ini termasuk satu golongan dengan kafein (zat aktif yang terdapat dalam secangkir
kopi) dan termasuk bronkodilator yang lama daya kerjanya. Efek samping obat ini sama seperti
kafein sehingga tidak dianturkan untuk pasien hiperaktif.
(3) Albuterol Sulfat atau Salbutamol.
Bronkolidarot yang paling populer dan disajikan dalam bentuk obat hirup dosis terukur, obat
hirup bubuk kering, larutan untuk alat nebulizer, sirup, tablet biasa, tablet lepas-tunda (extended-
reliase). Bentuk hirup bekerja lebih karena langsung menuju saluran pernapasan yang
bermasalah, ketimbang harus lewat lambung dulu. Efek samping obat ini dapat menyebabkan
stimulasi, jantung berdebar, dan pusing.
Merek yang paling populer adalah Ventolin dan Proventil yang disajikan sebagai obat hirup
dosis terukur. Proventil HFA sebagai obat hirup bubuk kering. Ventolin terdaftar di Indonesia
dalam bentuk sediaan tablet, sirup, nebulizer, dan spray. Merek lain adalah Ascolen.
c) Obat-obat pelega gejala asma (reliever/bronkodilator)
Misalnya salbutamol [Ventolin®], terbutaline [Bricanyl®], formoterol [Foradil®, Oxis®],
dan salmeterol [Serevent®] secara cepat mengembalikan saluran napas yang menyempit yang
terjadi selama serangan asma ke kondisi semula. Obat pereda/pelega biasanya tersedia dalam
bentuk inhaler berwarna biru atau abu-abu.
d) Obat-obatan kortikosteroid oral
Kortikosteroid oral adalah obat yang ampuh untuk mengatasi pembengkakan dan peradangan
yang mencetuskan serangan asma. Obat ini membutuhkan enam hingga delapan jam untuk
bekerja, sehingga makin cepat digunakan makin cepat pula daya kerja yang dirasakan.
Malam hari termasuk waktu dimana serangan asma paling sering terjadi, karena fungsi paru-
paru berada pada titik yang paling rendah di tengan malam. Dari hasil penelitian terbukti bahwa
dosis kortikosteroid oral yang diberikan di siang hari bisa membantu mereka yang mengalami
serangan asma untuk tidur pada malam harinya.
Di sisi lain, efek samping penggunaan kortikosteroid oral juga cukup nyata, seperti
perubahan suasana hati (mood changes), meningkatnya selera makan, perubahan berat badan,
dan gejala demam yang ditekan. Akan tetapi, efek samping dari penggunaan kortikosteroid ini
tidak perlu dikhawatirkan jika penggunaannya hanya dalam jangka pendek dan kadangkala saja.
(1) Prednison (Prednisone)
Prednison adalah preparat kortikosteroid oral yang paling umum digunakan. Obat ini
disajikan dalam bentuk pil maupun sirup.
(2) Prednisolon (Prednisolone)
Prednisolon adalah kortikosteroid oral yang sangat mirip prednisone, dengan kelebihan
rasanya yang lebih bisa diterima anak-anak. Dengan merek Prelone disajikan sebagai sirup 15
mg per 5 ml. Prediaped disajikan sebagai sirup 5 mg per 5 ml.
(3) Metilprednisolon (Methylprednisolone)
Sangat mirip dengan prednisolon, tetapi harganya lebih mahal. Biasanya digunakan di rumah
sakit dengan cara intravenuous.
(4) Deksametason (Dexamethasone)
Dengan merek Decadron, satu dosis tunggalnya berdaya kerja dua hingga tiga kali lebih lama
dibandingkan preparat kortikosteroid yang lain. Cocok untuk pasien anak-anak yang sulit minum
obat.
e) Alat-alat hirup
Alat hirup dosis terukur atau Metered Dose Inhaler (MDI) disebut juga inhaler atau puffer
adalah alat yang paling banyak digunakan untuk menghantar obat-obatan ke saluran pernapasan
atau paru-paru pemakainnya. Alat ini menyandang sebutan dosis terukur (metered-dose) karena
memang menghantar suatu jumlah obat yang konsisten/terukur dengan setiap semprotan.
Sebagai hasil teknologi mutakhir, alat hirup dosis terukur kini bisa digunakan oleh segala
tingkatan usia, mulai dari balita hingga lansia. Alat hirup dosis terukur memuat obat-obatan dan
cairan tekan (pressurized liquid), biasanya chlorofluorocerbous/CFC, yang mengembang
menjadi gas ketika melewati moncongnya. Cairan yang sebutan populernya adalah propelan
tersebut memecah obat-obatan yang dikandung menjadi butiran-butiran atau kabut halus, dan
mendorongnya keluar dari moncong masuk ke saluran pernapasan atau paru-paru pemakainya.
f) Peak Flow Meter
Alat ini memegang peranan yang sangat penting dalam usaha dan program pengendalian
asma, terutama untuk mendeteksi gejala akan datangnya serangan asma. Berpegang pada prinsip
bahwa untuk menatalaksana segala sesuatu dengan baik harus ada tolok ukurnya, maka orangtua
anak penderita asma, maupun anak-anak dan orang dewasa penderita asma sendiri harus
menguasai cara mengukur fungsi paru-paru mereka. Tindakan selanjutnya kemudian adalah
mengambil langkah yang sesuai dengan hasil pengukuran tersebut.
Peak Flow Meter adalah alat sederhana yang bisa digunakan di rumah, termasuk oleh anak-
anak berumur lima tahun ke atas. Alat ini mengukur kekuatan embusan napas pemakainya. Ada
tiga hal yang mempengaruhi kekuatan embusan napas seseorang, yaitu ukuran paru-parunya,
besar usahanya dalam mengembus; dan bukaan (lebar atau sempitnya) saluran pernapasannya.
Untuk menggunakannya, si pemakai menarik napas dan mengisi paru-parunya sepenuh mungkin,
kemudian meniup ke dalam Peak Flow Meter secepatnya dengan sekuat-kuatnya. Seseorang
yang saluran pernapasannya menyempit, tidak akan bisa meniup sekuat bila saluran
pernapasannya terbuka sempurna. Pertanda pertama dari datangnya serangan asma bisanya
terlihat dari menurunnya ukuran catatan Peak Flow Meter seseorang. Ini bahkan sebelum muncul
gejala-gejala yang lain seperti batuk, lendir yang berlebihan, atau sesak napas.
Untuk mengetahui kondisi bukaan saluran pernapasan seseorang, kita membandingkan hasil
pengukuran sesaat dengan patokan ukuran terbaik dari orang tersebut. Untuk memperoleh
patokan terbaik seseorang, lakukan pengukuran dengan Peak Flow Meter pada waktu orang
tersebut berada dalam kondisi asmanya terkendali dengan baik, dan catat hasilnya.
Kondisi asma seseorang dianggap terkendali baik jika hasil pengukuran sesaat ada dalam
rentang 80-100% dari kondisi terbaiknya (masuk zona hijau); antara 60-80% dari kondisi terbaik
ia memasuki zona kuning, yang berarti harus waspada karena terlihat tanda-tanda akan
datangnya serangan asma. Pengukuran di bawah 60% kondisi terbaik memasuki zona merah,
berarti bahaya, dan orang yang bersangkutan harus segera ke dokter untuk menghindari
keharusan dirawat di UGD.
2. Penatalaksanan Non Farmakologi
Penatalaksanaan secara non farmakologi dapat memanfaatkan tanaman-tanaman herbal
dalam penyembuhan berbagai penyakit pasien. Pengobatan yang menggunakan tanaman herbal
sebagai medianya biasa disebut sebagai pengobatan secara tradisional atau pengobatan
menggunakan ramuan herbal. Berikut ini beberapa ramuan herbal yang dapat dimanfaatkan
dalam penanganan asma, yaitu:
a) Resep 1
15 g kulit jeruk mandarin kering
(1) Cuci bersih semua bahan, iris-iris, rebus dengan 600 cc air hingga tersisa 200 cc, lalu saring.
(2) Minum selagi hangat.
(3) Lakukan secara teratur 2 kali sehari (Wijayakusuma, 2008).
b) Resep 2
5 g adas
5 batang serai
20 jari kayu manis
20 g jahe merah
30 g pegagan segar (15 g keringi)
Gula aren secukupnya
(1) Cuci bersih semua bahan, rebus dengan 600 cc air hingga tersisa 200 cc, lalu saring.
(2) Minum selagi hangat.
(3) Lakukan secara teratur 2 kali sehari (Wijayakusuma, 2008).
c) Resep 3
3 g bunga melati kering (10 g segar)
6 lembar daun jinten
(1) Cuci bersih, rebus dengan 600 cc air hingga tersisa 200 cc, lalu saring.
(2) Minum selagi hangat.
(3) Lakukan secara teratur 2 kali sehari (Wijayakusuma, 2008).
d) Resep 4
200 g lobak putih
3 siung bawang putih
30 kencur
(1) Cuci bersih semua bahan, lalu jus atau blender dan saring.
(2) Panaskan airnya dengan api kecil hingga mendidih. Minum hangat-hangat.
(3) Lakukan secara teratur 2 kali sehari (Wijayakusuma, 2008).
e) Resep 5 (pemakaian luar)
Jahe secukupnya, iris dengan ketebalan 3-5 mm
(1) Tempelkan jahe dengan menggunakan koyo hangat pada titik dazhui, yaitu ruas tulang paling
menonjol yang terletak antara ruas tulang belakang leher ketujuh dan ruas tulang belakang dada
yang pertama.
(2) Lakukan secara teratur 2 kali sehari (Wijayakusuma, 2008).
f) Resep 6
6 buah biji cermai merah
8 butir buah lengkeng
4 potong akar kara
8 butir bawang merah
(1) Ditumbuk semua bahan dan direbus dengan 2 gelas air hingga satu setengah gelas.
(2) Diminum satu hari 2 kali minum (Widjadja, 2009).
Selain mengunakan ramuan herbal kita juga bisa menggunakan terapi. Salah satu terapi yang
dapat dilakukan adalah terapi pijat (Hartanti, 2003).
G. Health Education (Pendidikan Kesehatan)
Pendidikan bagi pasien adalah suatu bagian yang penting dalam usaha meningkatkan cara
penanganan asma. Dasar pemikirannya, asma adalah suatu penyakit biasa yang bisa
dikendalikan. Namun, asma juga penyakit yang bersifat Variabel, dalam arti gejala-gejalanya
bisa membaik dan memburuk dari waktu ke waktu. Karena variabilitas ini, sering
penanganannya harus ditinjau ulang dan diubah. Untuk itu dibutuhkan komunikasi yang efektif
antara sang pasien dengan dokternya (Hadibroto & Alam, 2006). Dalam hal ini sebaiknya sang
pasien mempunyai referensi atau pengetahuan tentang:
1. Apakah asma itu, beserta faktor-faktor pemicunya, terutama yang menyangkut dirinya sendiri.
2. Seluk beluk pengobatan asma, dan kemungkinan akibat sampingan dari masing-masing obat.
3. Cara menggunakan alat-alat pengobatan asma secara benar.
4. Tujuan pengobatan dan penatalaksanaan.
5. Pengenalan tanda-tanda dan gejala awal datangnya serangan.
6. Penulisan rencana tindakan (Action Plan).
Rencana tindakan adalah suatu rencana mengatasi kondisi asma yang memburuk, dan rencana
ini harus dimiliki oleh setiap penderita asma. Rencana tindakan menyesuaikan dengan tingakat
keparahan gejala, sehingga si penderita punya pegangan dalam usaha mengendalikan asmanya
(Hadibroto & Alam, 2006). Lengkapnya rencana ini bisa:
a) Memberi pengarahan kapan waktunya untuk mengubah, meningkatkan atau mengurangi, dan
menambah obat-obatan yang digunakan.
b) Memberitahukan apa yang harus dilakukan, juka kondisi sang pasien tidak membaik.
c) Memberikan kesempaatan bagi penderita asma untuk segera dan lebih awal memulai
penanganan, menghadapi gejala asma yang memburuk, untuk mencegah serangan yang lebih
gawat.
Memberi arahan akan kapan dan bagaimana usaha mengurangi penggunaan obat-obatan
hingga dosis seminimal mungkin, begitu asma sudah terkendali.
7. Pengisian Buku Harian asma.
Buku harian asma adalah sarana yang sangat penting untuk mencatat gejala-gejala asma,
obat-obatan yang digunakan, dan catatan prestasi Peak Flow Meter. Jika gejala-gejala semuanya
tercatat, sang pasien akan lebih sadar akan perubahan-perubahan yang mengindikasikan bahwa
asmanya mulai lepas kendali. Dengan demikian ia bisa menyesuaikan pengobatannya
berdasarkan Rencana Tindakan. Buku Harian asma digunakan bersama dengan Rencana
Tindakan, yang disiapkan di bawah pengawasan dan persetujuan dokter yang merawat.
DAFTAR PUSTAKAAsih, Niluh Gede Yasmin. (2003). Keperawatan Medikal Bedah: Klien dengan Gangguan Sistem
Pernapasan. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC
Ayres, Jon. (2003). Asma. Jakarta: PT Dian Rakyat
Bull, Eleanor & David Price. (2007). Simple Guide Asma. Jakarta: Penerbit Erlangga
Hadibroto, Iwan & Syamsir Alam. (2006). Asma. Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama
Hartanti, Vien. (2003). Jadi Dokter di Rumah Sendiri dengan Terapi Herbal dan Pijat. Jakarta: Pustaka Anggrek
Herdinsibuae, W dkk. (2005). Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: PT Rineka Cipta
Mansjoer, Arif dkk. (2008). Kapita Selekta Kedokteran Edisi 3. Jakarta: Media Aesculapius
Muttaqin, Arif. (2008). Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Pernapasan. Jakarta: Penerbit Salemba Medika
Syaifuddin. (2006). Anatomi Fisiologi untuk Mahasiswa Keperawatan Edisi 3. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Widjadja, Rafelina. (2009). Penyakit Kronis: Tindakan, Pencegahan, & Pengobatan secara Medis maupun Tradisional. Jakarta: Bee Media Indonesia.
Wijayakusuma, Hembing. (2008). Ramuan Lengkap Herbal Taklukkan Penyakit. Jakarta: Pustaka Bunda.