Sistem Koordinat Dan Proyeksi

Embed Size (px)

Citation preview

Sistem Koordinat dan Proyeksi PetaPosted on 17 Juni 2010 Sistem Hitungan Geodesi Geoid Geoid adalah salah satu bidang ekuipotensil gaya berat yang berimpit dengan permukaan air laut rata-rata diseluruh bumi (Vanicek and Krakiwsky, 1982) Ellipsoid Sebagaimana telah dijelaskan diatas, untuk keperluan hitungan Geodesi iperlukan suatu bidang analitis yang mempunyai bentuk dan ukuran mendekati geoid. Bidang yang teratur , yang bentuk dan ukuanya mendekati geoid adalah bidang ellipsoid Penentuan Ellipsoid Metode-metode yang digunakan untuk menentukan bentuk dan ukuran dari ellipsoid adalah sebagai berikut (Purworahardjo, 1986) : Pengukuran busur di muka bumi (metode Astro Geodesi) Pengukuran Variasi gravitasi dimuka bumi (metode Astrogravimetrik) Pengukuran medan gravitasi bumi dari orbit satelit buatan Sistem Koordinat Sistem koordinat lokal Sistem Koordinat Polar Sistem Koordinat Kartesian Sistem Koordinat Global Sistem Koordinat Astronomis (Lintang Astronomis dan Bujur Astronomis) bidang terhadap Geoid Sistem Koordinat Geodetik (Lintang geodetic dan Bujur Geodetik) bidang terhadap ellipsoid Sistem Koordinat Kartesian Tiga Dimensi Gambar Sistem Koordinat Geodetik Lintang Geodetik (L) dari suatu titik adalah besar sudut lancip yang dibentuk oleh arah normal pada ellipsoid dengan bidang ekuator geodetic Bujur geodetic (B) yaitu sudut yang dibentuk antara bidang meridian dari titik tersebut dengan bidang meridian nol BIH Titk geodetik / geometrik (h) didefinisikan sebagai jarak dari bidang ellipsoid kea rah normal sampai titik tinngi yang di maksud Sisitem Koordinat Kartesian Tiga Dimensi Posisidari suatu titik dinyatakan dalam besaran X,Y dan Z. dengan arah arah dari sumbu-sumbu koordinat didefinisikan sebagai berikut Sumbu Z berimpit dengan sumbu rotasi bumi, yang didefinisikan sebagai CTP (Conventional Terrestrial Pole) Sumbu X mengarah ke meridian nol, yaitu meridian nol Greenwich yang ditetapkan oleh BIH

(Bureau International de lHeure) yang terletak pada bidang ekuator ellipsoid. Sumbu Y adalah sumbu yang terletak pada bidang ekuator serta tegak lurus terhadap sumbu X dan Z berdasarkan aturan tangan kanan Datum Geodetik Datum Geodetik adalah titik asal dari sistem perhitungan dan permukaan tempat dilakukannya perhitungan-perhitungan (Rais, 1975) Datum geodetik adalah himpunan parameter parameter yang menggambarkan hubungan antara ellipsoid local dan sistem refrensi geodetik global (Seeber, 1993) Pendefinisian Datum Konvensional Ditetapkan parameter ellipsoid refrensi yang dipilih yaitu setengah sumbu panjang (a) dan pegepengan (f) Wllipsoid refrensi menyinggung geoid pada satu titik yang telah ditentukan (titik datum) Pada titik datum, didefinisikan bahwa lintang geodetik (L), bujur geodetik (B) dan Azhimuth geodetik (A) sama lintang astronomi, bujur astronomi san azimuth astronomi serta tinggi suatu geometric yaitu tinggi titik diatas ellipsoid (h), sama dengan tinggi di atas geoid (H) atau dengan perkataan lain undulasi (N) pada titik datum sama dengan nol. Sumbu putar ellipsoid dan bidang meridian nol geodetik sejajar sumbu menengah bumi dan bidang nol astronomi. Pendefinisian Datum Modern Parameter dari ellipsoid refrensi yang dipilih, yaitu setengah sumbu panjang (a) dan pegepengan (f). Parameter translasi (X, Y, Z) titik asal salib sumbu X,Y dan Z terhadap geocenter (pusat massa bumi) atau titik asal satu CTS (conventional Terrestrial System) tertentu Parameter rotasi (Ex,Ey,Ez) sistem salib sumbu X,Y dan Z terhadap CTS Faktor skala (s) Datum yang digunakan di Indonesia Datum Genuk Bidang hitungan yang digunakan adalah permukaan ellipsoid Bessel 1841 yang mempunyai dimensi sebagai berikut Setengah sumbu panjang (a) = 6377397.155 m Pegepengan (f) = 1/299.15 Datum Moncong Lowe Datum Gunung Serindu Datum Indonesia 1974 (DI74) Speroid / ellipsoid yang diadopsi ialah SNI (Speroid Nasional Indonesia), yaitu suatu modifikasi (pembulatan parameter) ellipsoid GRS67 (Geodetic Reference System 1967). Parameter parameter ellipsoid SNI ialah : Setengah sumbu panjang (a) = 6378160.000 m Pegepengan (f) = 1/298.247 Datum Indonesia 1995 (DI95) = WGS84 Parameter parameter dari datum Indonesia 1995 ini sama dengan parameter parameter datum WGS 84, yang mirip parameter GRS 80 (Geodetic Reference System 1980), yaitu sistem referensi

Geodesi yang diperkenalkan oleh international Association of Geodesy (IAG) pada tahun 1979. Adapun parameter parameter yang diakai untuk pendefinisian dari datum DI95 adalah Subarya dan Matindas, 1995) : Setengah sumbu panjang (a) = 638137.000 m Setengah sumbu pendek (b) = 6356752.3142 m Pegepengan (f) = 1/298.257223563 Proyeksi Peta Proyeksi peta adalah teknik teknik yang digunakan untuk menggambarkan sebagian atau keseluruhan permukaan tiga dimensi yang secara kasaran berbentuk bola ke permukaan datar dua dimensi dengan distorsi sesedikit mungkin. Dalam proyeksi peta diupayakan sistem yang memberikan hubungan antara posisi titik titik di muka bumi dan di peta.

Sistem proyeksi peta dipilih untuj menyatakan posisi titik titik pada permukaan bumi ke dalam sistem koordinat bidang datar yang nantinya bias digunakan untuk perhitungan jarak dan arah antar titik. Menyajikan secara grafis titik titik pada permukaan bumi ke dalam sistem koordinat bidang datar yang selanjutnya bias digunakan untuk membantu studi dan pengambilan keputusan berkaitan dengan topografi, iklim, vegetasi, hunian dan lain-lainya yang umumnya berkaitan dengan ruang yang luas Pertimbangan Ekstrinsik Bidang Proyeksi yang digunakan Proyeksi Azimutal / zenital : bidang proyeksi bidang datar Proyeksi kerucut : bidang proyeksi bidang selimut kerucut Proyeksi silinder : bidang proyeksi bidang selimut silinder Persinggungan bidang proyeksi dengan pola bumi Proyeksi tangent : bidang proyeksi bersinggungan dengan pola bumi Proyeksi Secant : bidang proyeksi berpotongan dengan pola bumi Proyeksi Polysuperficial : banyak bidang proyeksi Posisi sumbu simetri bodang proyeksi terhadap sumbu bumi Proyeksi normal : Sumbu simetri bidang proyeksi berimpit dengan sumbu pola bumi Proyeksi miring : Sumbu simetri bidang proyeksi miring terhadap sumbu pola bumi Proyeksi transversal : Sumbu simeri bidang proyeksi terhadap sumbu pola bumi Pertimbangan Instrinsik Sifat asli yang dipertahankan : Proyeksi Ekuivalen : Luas daerah yang pertahankan : Luas pada peta setelah disesuaikan dengan

skala peta = luas asli pada muka bumi Proyeksi Konfrom : Bentuk daerah dipertahankan, sehingga sudut sudut pada peta dipertahankan sama dengan sudut sudut dimuka bumi Proyeksi Ekuidistan : Jarak antar titik di peta setelah disesuaikan dengan skala peta sama dengan jarak asli di muka bumi Cara penurunan peta Proyeksi geometris : Proyeksi perspektif atau proyeksi sentral. Proyeksi Matematis : Semua di peroleh dengan hitungan matematis Proyeksi Semi Geometris : Sebagian peta diperoleh dengan cara proyeksi dan sebagian lainya diperoleh dengan cara matematis Pertimbangan Pemilihan Proyeksi Ditorsi pada peta berada pada batas batas kesalahan grafis Sebanyak mungkin lembar peta yang bias digabungkan Perhitungan plloting setiap lembar sesederhana mungkin Plotting manual bias dibuat dengan cara semudah mudahnya Menggunakan titik control sehingga posisinya segera bias diplot Jenis Proyeksi dan Kedudukan Terhadap Bidang Datum

Proyeksi Polyeder Sistem proyeksi kerucut, Normal, Tanggent dan Konfrom Keuntungan Proyeksi Polyeder : Karena perubahan jarak dan sudut pada satu bagian derajat 20 x 20, sekitar 37 km x 37 km bias diabaikan, maka proyeksi ini baik untuk digunakan pada pemetaan teknis skala besar. Kerugian proyeksi Polyeder : Untuk pemetaan daerah luas harus serring pindah bagian derajat, memerlukan transformasi

koordinat. Grid kurang praktis karena dinyatakan dalam bentuk kilometer fiktif Tidak praktis untuk skala kecil dengan cangkupan luas Kesalahan arah maksimum 15 m untuk jarak 15 km Proyeksi UTM UTM merupakan sistem proyeksi Silinder, Konform, Secant, Tranversal ketentuan selanjutnya : Bidang silinder memotong bola bumi pada dua buah meridian yang disebut meridian standar dengan factor skala 1 Lembar Zone 6 dihitung dari 180 BB dengan nomor zone 1 hingga ke 180 BT dengan nomor zone 60. tiap zone mempunyai meridian tengah sendiri Perbesaran di meridian tengah = 0.9996 Batas paalel tepi atas dan tepi bawah adalah 84 LU dan 80 LS

Proyeksi dari bidang datum ke bidang proyeksi

Sistem Grid UTM Global

Zone UTM Indonesia

TM-3

Ketentuan TM-3 Ketentuan sistem proyeksi peta TM-3 : Proyeksi : TM dengan lebar zone 3 Sumbu pertama (Y) : Meredian Sentral dari seiap zone Sumbu kedua (X) : Ekuator Satuan : Meter Absis semu (T) : 200 000 meter + X Ordinat semu 1 500 000 meter + Y Faktor skala pada meridian sentral : 0.9999

Pengukuran Kerangka Kontrol VertikalPosted on 23 Juni 2010 Di dalam ukur tanah selain pengukuran sudut horisontal (mendatar), sesungguhnya juga dalam waktu/posisi persamaan pada station point tempat alat ukur sudut (Theodolit) diletakkan, dilakukan pada pengukuran sudut vertikal. Tujuan dan Fungsi : Tujuan pengukuran sudut vertikal adalah untuk menentukan : ?Besarnya sudut tegak yang terbentuk antara dua titik terhadap arah mendatar atau arah vertikal. ?Jarak mendatar antara 2 (dua) titik, yang biasa dinamakan jarak optis ?Jarak tegak antara 2 (dua) titik, yang biasa dinamakan beda tinggi (h) o Fungsi dari pengukuran sudut vertikal ialah untuk menentukan nilai ketinggian (elevasi) suatu titik terhadap titik yang lain Ada 2 (dua ) Sistem Dasar Pengukuran Sudut Vertikal: 1. Sudut yang dihitung terhadap arah mendatar pada skala lingkaran vertikal yang disebut sudut miring (helling) (h). Artinya: Bila teropong dalam keadaan mendatar, bacaan sudut vertikal = 0. 1. Sudut yang terbentuk dihitung terhadap arah vertikal (tegak) pada skala lingkaran vertikal disebut sudut zenit (Z). Artinya: Bila teropong dalam keadaan mendatar bacaan sudut vertikal = 90? . Dasar penentuan besarnya sudut vertikal pada 2 sistem tersebut disebabkan karena perbedaan jenis/konstruksi theodolit yang umumnya perbedaan konstruksi pada skala lingkaran vertikal. Untuk jenis theodolit yang menggunakan helling sebagai sudut vertikal h: Besarnya sudut miring dengan batasan ?90? 0 bila target lebih tinggi dapada teropong theodolit h < 0 bila lebih rendah dari pada teropong theodolit ?Untuk jenis theodolit yang menggunakan zenit sebagai sudut vertikal Z:

Besar sudut zenit dengan batasan 0? Z, 180?dan 180?< Z < 360? , Bila target bidik lebih tinggi dari pada teropong theodolit, maka Z < 90?atau 270?< Z < 270? Hubungan antara sudut miring helling (h) dan sudut zenit (Z) adalah: h + Z = 90? Keterangan : A, B : Nama titik/patok Dm : Jarak Miring D : Jarak Datar h : Jarak Vertikal/Beda Tinggi H : Sudut Miring Z : Sudut Zenit Ti : Tinggi Alat P : Jarak Vertikal/Garis Mendatar Terhadap Bacaan Tengah Benang Dari kondisi diatas maka dapat ditentukan jarak mendatar (D) secara optis dan beda tinggi antara titik A dan titik B. Persamaan yang diperoleh dalam hal ini adalah sebagai berikut : Jarak Miring: Dm = (Ba- Bb) x 100. sin Z Jarak miring dengan sudut Zenit Dm = (Ba ?Bb) x 100. cos h Jarak miring dengan sudut helling JarakDatar Dm= Dm x sinZ Jarak datar dengan sudut Dm=Dm x sinh Zenit Jarak datar dengan sudut helling Dengan demikian persamaan menjadi : Dm = (Ba ?Bb) x 100. sin2 Z Dm = (Ba ?Bb) x 100. cos2 h Sedangkan untuk menentukan jarak vertikal (beda tinggi) antara titik A dan titik B dapat digunakan sebagai berikut : h = (P + Ti) ?Bt P = D x Ctg Z = D x 1 / tan Z 1. Pengukuran Dengan Alat Penyipat Datar Pengetahuan Dasar Penyipat datar adalah menentukan/mengukur beda tinggi antara dua titik atau lebih. Ketelitian penentuan ukuran tergantung pada alat ?alat yang digunakan serta pada ketelitian pengukuran dan yang dapat dilaksanakan. Biasanya kayu sipat merupakan alat pertolongan yang paling sederhana pada penentuan beda tinggi beberapa titik tertentu. Kayu sipat biasanya berupa papan yang lurus dan sekitar 3.00 m panjangnya, kita pegang horisontal dengan bantuan sebuah nivo tabung. Kemudian dengan sebuah rambu ukur beda tinggi antara dua titik tertentu. Pada penentuan beda tinggi dua titik yang jauh, pengukuran dengan kayu sipat menjadi sukar dan kurang teliti. Tetapi kayu sipat dipakai lima kali dan di horisontalkan dengan nivo tabung pada titik

dan sepanjang sisi kayu sipat dan membaca rambu ukur. Sasaran itu lebih mudah kita capai dengan alat bidik sederhana atan dengan celah pejera dan pejera seperti pada sebuah bedil. Alat ini dapat dipasang pada sebuah statif (kaki tiga) atau dipegang dengan tangan saja. Pada alat bidik yang dipegang tangan kita harus memperhatikan sasaran dan nivo sekaligus. Tetapi alat bidik ini masih kurang teliti karena kita membaca rambu ukur langsung (tanpa teropong) jaraknya agak terbatas. (F, Heintz.1979) 1. Alat Penyipat Datar Apabila kita ingin menentukan beda tinggi pada jarak jauh dengan teliti, bidik garis kita tentukan dengan suatu alat bidik dengan teliti tanpa ada paralaks dan untuk membaca mistar diperlukan sebuah teropong. Atas dua dasar ketelitian ini di konstruksikan semua alat penyipat datar. Alat ?alat penyipat datar yang sederhana terdiri dari sebuah teropong dengan garis bidiknya (garis vizier) dapat dibuat horisontal dengan sebuah nivo tabung. Untuk mencari sasaran sembarang sekeliling alat penyipat datar, maka teropong dan nivo tabung dapat diputar pada sumbu utama yang dapat di atur pada sekrup pendatar. Dengan sekrup penyetel fokus bayangan rambu dapat di setel tajam. Dengan sekrup penggerak horisontal bayangan dapat di setel tajam. Cermin yang dapat diputar keatas memungkinkan kita mengawasi nivo tabung dari okuler teropong. Dalam keadaan tertutup cermin itu melindungi nivo tabung Makin lama alat penyipat datar mengalami perkembangan. Suatu perlengkapan menentukan garis bidik horisontal secara automatis oleh pengaruh gaya berat, maka garis bidik disetel dahulu kira ? kira dengan ketelitian ?beberapa menit busur, menggantikan nivo tabung. (F, Heintz. 1979) 1. Penyipat Datar Memanjang Apabila jarak antara dua titik 1 dan 5 yang harus ditentukan selisih tingginya, menjadi demikian besar, sehingga rambu ukur tidak: dapat dilihat dengan terang dan pembacaan menjadi kurang teliti, atau kalau saja keadaan lapangan menjadi sedemikian rupa, sehingga garis bidik tidak kena rambu ukur karena jatuh diatas atau dibawah rambu ukur maka terpaksa jarak antara titik 1 dan titik 5 itu dibagi atas jarak-jarak yang lebih kecil, sehingga pengukuran dapat dilakukan dengan mudah dan baik. Jarak bidik biasanya dipilih antara 50 ?60 m. Untuk menentukan beda tinggi antara dua titik I dan titik 5 yang jaraknya besar, maka cara penyipat datar menjadi : Gambar 2. Pengukuran penyipat datar memanjang dan melintang Satu rambu ukur kita dirikan pada 1 titik dan kita pilih untuk untuk alat penyipat datar J1, sedemikian rupa, sehingga garis bidik masih kena rambu ukur pada titik 1. Rambu ukur kedua didirikan diatas titik 2 yang dipilih sedemikian rupa, sehingga rambu ukur pada titik 2 dan jarak alat penyipat datar dengan kedua rambu ukur masing-masing sama. Sekarang kita lakukan pembacaan rambu ukur depan dan pembacaan rambu ukur muka Setelah pembacaan dilakukan dan ditulis pada buku ukur, alat penyipat datar dipindahkan ketitik Jz. Rambu ukur pada titik 2 kita putar hati-hati ke arah alat penyipat datar pada titik J2. Kita baca rambu ukur R2, pindahkan rambu ukur kemudian ketitik 3, sehingga kita dapat membaca rambu ukur muka V2 dan sebagainya. Peketjaan ini kita ulangi sampai dengan pembacaan rambu ukur muka Va pada titik 5. Titik Pembacaan Rambu ukur belakangR Rambu ukur mukaV P2 R2 2,900 P3 V3 2,390

P4 V4 0,950 P5 V5 0,840 Lb=2,900 Lm=4,18 Total = Lb Lm = -1,28m Pembacaan-pembacaan R1 s/d R7 dan V1, s/d V14 kita catat sebagai tabel pada buku ukur seperti berikut ini : Tabel 1.. Pembacaan rambu ukur Apabila kita hanya mencari selisih tinggi antara titik 1 dan titik 5, maka dapatlah semua jumlah pembacaan rambu ukur muka dikurangi jumlah semua pembacaan rambu ukur belakang. Pada contoh 1 ini selisih tinggi antara titik 1 dan titik 5 menjadi + 4.375 m, atau secara umum : h = (R4+R2+R3 ?+Rn) ?(V1 +V2+V3 ?+Vn) Penentuan RI, RII, dan VI dan V2 dsb. Pada contoh ini dan contoh berikut hanya kita pilih untuk memudahkan pengertian pada tabel-tabel. Jikalau perlu juga menentukan tinggi titik-titik antara 2, 3, dan 4 maka antara dua titik berturut-turut kita tentukan beda tingginya dengan rumus : R ?V. Walaupun pada tabel harus menulis tiap-tiap titik dua kali, satu pembacaan rambu ukur muka dan satu kali pembacaan rambu ukur belakang, sehingga dapat menghindarkannya dengan menulis pembacaan rambu ukur muka dan pembacaan rambu ukur belakang pada satu garis seperti dilihat pada tabel 2.2 berikut. Selalu kita hanya memperhatikan titik-titik tempat kita mendirikan rambu ukur dan bukan titik meletakkan alat penyipat datar. Perbedaan tinggi titik 1 dan titik 2 misal kita dapatkan dari hasil pengurangan Rl ?V2. Nilai ini sebaiknya ditulis pada garis antara titik 1 dan titik 2, dan misalnya kita gunakan satu baris untuk hasil pengurangan yang positif (+) dan satu baris untuk negatif (-) yang memudahkan pekerjaan/perhitungan selanjutnya. Titik Pembacaan Belakang R Rambu ukur muka V R-V +P2 R2 2,900 2,900 P3 R2 2,900 V3 2,390 0,51 P4 R2 2,900 V4 0,950 1,95 P5 R2 2,900 V5 0,840 2,06 Tabel.2. Hasil pengurangan R dan V Hasil pengurangan antara jumlah semua pembacaan rambu ukur belakang [R] dan jumlah semua pembacaan rambu ukur muka [V] menjadi beda tinggi titik: 1 dan titik 5. Hasil yang sama harus kita dapat sebagai jumlah baris [R - V]. Maka rumus [R] ?[R - VI] selalu kita lakukan sebagai pemeriksaan tabel tersebut. cara penyipat datar ini sering dilakukan pada jarak yang jauh. Pada peristiwa ini kita harus melakukan kontrol yang mantap. Kontrol tidak hanya menemukan kekeliruan dalam pembacaan melainkan juga membuktikan ketelitian pengukuran ?pengukuran kita. Misalkan kita tidak mengetahui tinggi dua titik yang berjauhan jaraknya, maka kita penyipat datar bolak ?balik. Hasil pengurangan jumlah R dan jumlah V sebetulnya hams menjadi nol. Tetapi dalam prakteknya akan selalu terjadi perbedaan kecil. Kesalahan akhir ini terdiri dari

kesalahan yang sistematis dan kesalahan yang kebetulan, kesalahan ?kesalahan yang tidak dapat dihindarkan. Kesalahan yang sistematis menjadi kesalahan yang merambat, misalnya oleh statif alat penyipat datar yang makin lama makin lebih masuk dalam tanah yang lemah atau oleh penurunan rambu ukur pada waktu memindahkan alai penyipat datar. Pengalaman menunjukan, bahwa kesalahan yang sistematis dapat diperkecil dengan meletakkan statif alat penyipat datar haruslah stabil dan sekuat mungkin pada titik- titik yang telah ditentukan di lapangan. Sebaiknya kita memeriksa dan membaca rambu ukur beberapa kali dengan harapan memperbaiki hasil bacaan, maka kemungkinan timbul kesalahan yang sistematis justru makin lama makin besar. Untuk menghemat waktu kita juga boleh menggunakan dua rambu ukur untuk pembacaan rambu ukur belakang dan pembacaan rambu ukur muka. Kesalahan acak (kebetulan) timbul dengan tanda (+) maupun biasanya kesalahan acak saling menghapuskan dan menjadi kecil sekali. Kesalahan acak misalnya timbul dari nivo tabung yang tidak disetel cukup teliti dan sebagainya. Nilai kesalahan yang diperbolehkan ditentukan oleh jenis dan tugas alat penyipat datar dan ketelitian yang diharapkan. Akan tetapi ketelitian yang diharapkan menentukan juga tipe alat penyipat datar yang harus digunakan. Kesalahan yang timbul biasanya kita bagi atas semua titik ? titik yang diperhatikan pada penyipat datar. Perhitungan penyipat datar selalu dilakukan pada buku ukur dalam orginal untuk menghindari kesalahan pada waktu menyalin. Karena itu buku ukur harus cukup besar supaya menghindari kekurangan baris ?baris perhitungan pada saat kita mengolah data. (F. Heintz. 1979) 1. Profil Memanjang Profil memanjang diperlukan untuk membuat trase jalan kereta api, jalan raya, saluran air, pipa air minum, dan sebagainya. Dengan jarak dan perbedaan tinggi titik ?titik di atas permukaan bumi, di dapatlah irisan tegak lapangan yang di namakan profil memanjang pada sumbu proyek Bersama dengan profil melintang dan peta situasi kita dapatkan dasar ?dasar pada perencanaan proyek terse but diatas. Penyipat datar pada profil memanjang dapat dilakukan. Biasanya timbul juga banyak titik di antaranya (Z) kita harus menggunakan satu perhitungan yang lebih sederhana. Bentuk profil memanjang dapat dilihat pada gambar. 1. Profil Melintang Profil melintang diperlukan untuk menggambarkan bentuk penampang melintang suatu jalan ataupun saluran air yang direncanakan. Dengan jarak dan perbedaan tinggi titik-titik di atas permukaan bumi, didaptlah irisan arah melintang yang dinamakan profil melintang. Bentuk profil memanjang dapat dilihat pada gambar di bawah ini.