50
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sirosis masih merupakan masalah di seluruh dunia. 1 Di negara maju, sirosis hati merupakan penyebab kematian terbesar ketiga pada pasien yang berusia 45-46 tahun (setelah penyakit kardiovaskular dan kanker). Di seluruh dunia sirosis menempati urutan ketujuh penyebab kematian. Sekitar 25.000 orang meninggal setiap tahun akibat penyakit ini. 2 Perkiraan prevalensi sirosis di United States sebesar 0,15% dari jumlah populasinya dan diperkirakan sebanyak lebih dari 1% yang belum terdeteksi. Jumlah yang hampir sama juga dilaporkan dari Eropa, dan bahkan jumlah tertinggi dilaporkan terdapat di Asia dan Afrika. Etiologi yang mendasari penyakit sirosis ini tergantung dari geografis sebuah tempat. Konsumsi alkohol dan hepatitis C kronik adalah penyebab utama sirosis pada negara barat. Hepatitis B kronik memiliki endemik tinggi pada Asia Pasifik dan merupakan penyebab paling utama dari sirosis. 1 Sirosis hati merupakan penyakit hati yang sering ditemukan di Indonesia. Di RS Dr. Sardjito Yogyakarta tahun 2004, jumlah pasien sirosis hati yang dirawat di 1

SIROSIS DEKOMPENSATA

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Referat Sirosis Dekompensata

Citation preview

BAB IPENDAHULUAN

A. Latar BelakangSirosis masih merupakan masalah di seluruh dunia.1 Di negara maju, sirosis hati merupakan penyebab kematian terbesar ketiga pada pasien yang berusia 45-46 tahun (setelah penyakit kardiovaskular dan kanker). Di seluruh dunia sirosis menempati urutan ketujuh penyebab kematian. Sekitar 25.000 orang meninggal setiap tahun akibat penyakit ini.2 Perkiraan prevalensi sirosis di United States sebesar 0,15% dari jumlah populasinya dan diperkirakan sebanyak lebih dari 1% yang belum terdeteksi. Jumlah yang hampir sama juga dilaporkan dari Eropa, dan bahkan jumlah tertinggi dilaporkan terdapat di Asia dan Afrika. Etiologi yang mendasari penyakit sirosis ini tergantung dari geografis sebuah tempat. Konsumsi alkohol dan hepatitis C kronik adalah penyebab utama sirosis pada negara barat. Hepatitis B kronik memiliki endemik tinggi pada Asia Pasifik dan merupakan penyebab paling utama dari sirosis.1Sirosis hati merupakan penyakit hati yang sering ditemukan di Indonesia. Di RS Dr. Sardjito Yogyakarta tahun 2004, jumlah pasien sirosis hati yang dirawat di Bagian Penyakit Dalam sekitar 4,1%, sedangkan di Medan ditemukan sebanyak 819 (4%) dalam waktu 4 tahun. Hasil penelitian tahun 2001 di Bangsal Penyakit Dalam RSUP Dr. M. Djamil Padang, penderita sirosis hati dijumpai 388 (64,99%) dari 597 penderita penyakit hati.3 Menurut laporan rumah sakit umum pemerintah di Indonesia, rata-rata prevalensi sirosis hepatis adalah 3,5% dari seluruh pasien yang dirawat di Bangsal Penyakit Dalam atau rata-rata 47,4% dari seluruh pasien penyakit hati yang dirawat.4 Penderita sirosis hati lebih banyak dijumpai pada kaum laki-laki jika dibandingkan dengan kaum wanita sekitar 1,6:1 dengan umur terbanyak antara golongan umur 30-59 tahun.5Di Maluku, belum ada laporan mengenai prevalensi sirosis hati. Prevalensi penyakit ini hanya tersirat dari prevalensi penyebabnya. Berdasarkan Riskesdas tahun 2007, prevalensi nasional minum alkohol selama 12 bulan terakhir adalah 4,6%. Maluku merupakan salah satu provinsi yang memiliki prevalensi minum alkohol selama 12 bulan terakhir di atas prevalensi nasional yaitu sebesar 8,2%.6

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

A. DefinisiSirosis merupakan suatu keadaan histopatologis dan memiliki gejala klinis yang bervariasi.7 Sirosis adalah keadaan akhir dari suatu kerusakan pada hati yang berakhir pada tahap fibrosis dan regenerasi nodular.8 Gambaran ini terjadi akibat nekrosis hepatoselular. Jaringan penunjang retikulin kolaps disertai deposit jaringan ikat, distorsi jaringan vaskular, dan regenerasi nodularis parenkim hati.9Sirosis hati secara klinis dibagi menjadi sirosis hati kompensata yang berarti belum adanya gejala klinis yang nyata dan sirosis hati dekompensata yang ditandai gejala-gejala dan tanda klinis yang jelas. Sirosis hati kompensata merupakan kelanjutan dari proses hepatitis kronik dan pada satu tingkat tidak terlihat perbedaannya secara klinis. Hal ini hanya dapat dibedakan melalui pemeriksaan biopsi hati.9

B. EtiologiPenyebab sirosis adalah :1. Kongenital10a. HemokromatosisMerupakan penyakit keturunan terhadap metabolisme besi yang berakhir pada peningkatan deposisi besi hepatik yang progresif, dimana lama-kelamaan akan mengarah pada pembentukan fibrosis portal kemudian berkembang menjadi sirosis, gagal hati, dan kanker hepatoselular.7b. Penyakit WilsonMerupakan penyakit keturunan terhadap homeostasis tembaga dimana terjadi kegagalan ekskresi jumlah tembaga yang berlebih, mengarah kepada suatu akumulasi dalam hati.7

c. Gangguan metabolik lainnya (defisiensi anti-tripsin 1)Merupakan penyakit keturunan yang menyebabkan penggandaan abnormal protein 1AT, sehingga terjadi kegagalan sekresi protein tersebut dari hati.7

2. Didapat10a. Konsumsi alkoholb. Hepatitis kronik (autoimun, hepatitis B, C, dan D, obat-obatan)c. Sirosis bilier primerd. Sirosis bilier sekunder (batu kandung empedu, striktur, kolangitis)e. Obstruksi vena (sindrom Budd-Chiari)f. Idiopatik

C. Gambaran PatologisBerdasarkan gambaran patologis, sirosis terbagi menjadi8 :1. MikronodularKhas pada penyakit hati akibat alkohol (sirosis Laennec). Gambarannya berupa ukuran nodul-nodul tidak lebih besar dari lobules hati yang masih normal. Rata-rata ukurannya adalah 1 mm.

Gambar 1. Gambaran mikronodular pada sirosis82. MakronodularDicirikan dengan nodul yang besar, yang dapat memiliki ukuran beberapa sentimeter dan dapat berisi vena sentral. Bentuk ini dapat memperlihatkan suatu proses sirosis yang post-nekrotik.

Gambar 2. Gambaran makronodular pada sirosis8

D. Patofisiologi1. Sirosis akibat alkoholEtanol pada umumnya diserap di usus halus dan sebagian besar melalui lambung. Gastric alcohol dehydrogenase (ADH) memulai suatu metabolisme alkohol. Terdapat 3 (tiga) sistem enzim yang berperan dalam metabolisme alkohol di hati, yaitu sitosolik ADH, microsomal ethanol oxidizing system (MEOS), dan katalase peroxisomal. Sebagian besar oksidasi etanol berubah ke dalam bentuk acetaldehyde melalui ADH, dimana merupakan molekul reaktif tinggi yang mungkin memiliki banyak efek. Pada akhirnya, acetaldehyde dimetabolisme menjadi asetat oleh aldehyde dehydrogenase (ALDH). Masukan etanol mengakibatkan terjadi peningkatan akumulasi trigliserida melalui peningkatan pengeluaran asam lemak dan melalui pengurangan oksidasi asam lemak dan sekresi lipoprotein. Sintesis protein, glikosilasi, dan sekresinya menjadi terganggu. Kerusakan membran hati akibat oksidasi terjadi karena adanya pembentukan spesies oksigen reaktif; acetaldehyde adalah molekul reaktif tinggi yang berikatan dengan protein dan membentuk ikatan yang kovalen. Ikatan ini dapat dibantu dengan aktivitas enzim spesifik, termasuk pembentukan mikrotubular dan protein hati. Dengan adanya kerusakan hati akibat acetaldehyde, hasil reaktif oksigen tertentu dapat berakhir pada aktivasi sel Kupffer. Sebagai akibatnya, sitokin profibrogenik diproduksi untuk mengawali dan memperpanjang aktivasi sel stellate, dengan produksi akhirnya yaitu kolagen dan matriks ekstraselular yang berlebihan. Jaringan ikat timbul pada daerah periportal dan perisentral dan akhirnya menghubungkan tiga rangkai portal dengan vena sentral membentuk nodul regeneratif. Terjadi kerusakan sel hati, disertai peningkatan produksi dan deposisi kolagen, bersamaan juga dengan destruksi sel hati berkelanjutan, maka hati kontraksi dan menjadi kecil. Proses ini umumnya berjalan dari tahun ke tahun hingga terjadi kerusakan yang berulang.7

2. Sirosis hati akibat hepatitis kronikPasien yang terpapar virus Hepatitis C (HCV) sekitar 80% menderita hepatitis kronik C, dan dapat mengalami sirosis lebih dari 20-30 tahun; tetapi mekanismenya masih belum jelas. HCV merupakan virus non-sitopatik, dan kerusakan hati kemungkinan merupakan proses imun. Progresivitas penyakit hati karena hepatitis kronik C digambarkan dengan fibrosis portal dengan jembatan fibrosis dan pembentukan nodul, pada akhirnya menjadi sirosis.7

3. Sirosis biliarisSirosis biliaris memiliki gambaran patologis yang berbeda dari sirosis alkoholik atau pun sirosis post-hepatis.7 Kerusakan sel hati yang dimulai di sekitar duktus biliaris akan menimbulkan pola sirosis yang dikenal sebagai sirosis biliaris. Tipe ini merupakan 2% penyebab kematian akibat sirosis.11Penyebab tersering sirosis biliaris adalah obstruksi biliaris pascahepatik. Stasis empedu menyebabkan penumpukan empedu di dalam massa hati dan kerusakan sel-sel hati. Terbentuk lembar-lembar fibrosa di tepi lobulus, namun jarang memotong lobulus seperti pada sirosis alkoholik. Hati membesar, keras, bergranula halus, dan berwarna kehijauan. Ikterus selalu menjadi bagian awal dan utama dari sindrom ini, demikian pula pruritus, malabsorpsi, dan steatorea.11Sirosis biliaris primer menampilkan pola yang mirip dengan sirosis biliaris sekunder, namun lebih jarang ditemukan. Penyebab keadaan ini tidak diketahui. Sirosis biliaris primer paling sering terjadi pada perempuan usia 30 hingga 65 tahun dan disertai dengan berbagai gangguan autoimun (misalnya tiroiditis autoimun atau arthritis rheumatoid). Antibodi anti-mitokondrial dalam sirkulasi darah (AMA) terdapat dalam 90% pasien. Sumbat empedu sering ditemukan dalam kapiler-kapiler dan duktulus empedu, dan sel-sel hati seringkali mengandung pigmen hijau. Saluran empedu ekstrahepatik tidak ikut terlibat. Hipertensi portal yang timbul sebagai komplikasi, jarang terjadi. Osteomalasia terjadi pada sekitar 25% penderita sirosis biliaris primer (akibat menurunnya absorpsi vitamin D).11

Gambar 3. Patofisiologi sirosis hati12

E. Manifestasi KlinikSirosis menggambarkan tahap akhir dari semua penyakit hati kronik.13 Gambaran klinis dan komplikasi sirosis hati umumnya sama untuk semua tipe tanpa memandang penyebabnya, meskipun beberapa tipe sirosis yang tersendiri mungkin memiliki gambaran klinis dan biokimia yang agak berbeda.11 Gejala dini sirosis (kompensata) bersifat samar dan tidak spesifik yang meliputi kelelahan, anoreksia, dispepsia, flatulen, perubahan kebiasaan defekasi (konstipasi atau diare), dan berat badan sedikit berkurang. Mual dan muntah lazim terjadi (terutama pagi hari). Nyeri tumpul atau perasaan berat pada epigastrium atau kuadran kanan atas terdapat pada sekitar separuh penderita. Ada sebagian besar kasus, hati keras dan mudah teraba tanpa memandang apakah hati membesar atau mengalami atrofi.11 Sirosis hati kompensata dapat menetap untuk beberapa tahun sebelum berkembang menjadi sirosis hati dekompensata.13 Bila sudah menjadi sirosis hati dekompensata, gejala-gejala lebih menonjol terutama bila timbul komplikasi kegagalan hati dan hipertensi portal.9 Manifestasi kegagalan hati adalah ikterus, edema perifer, kecenderungan perdarahan, eritema palmaris (telapak tangan merah), angioma laba-laba, fetor hepatikum, dan ensefalopati hepatik. Gambaran klinis yang terutama berkaitan dengan hipertensi portal adalah splenomegali, varises esofagus dan lambung, serta manifestasi sirkulasi kolateral lain. Asites (cairan dalam rongga peritoneum) dapat dianggap sebagai manifestasi kegagalan hepatoselular dan hipertensi portal.11

1. Manifestasi kegagalan hati11Ikterus terjadi sedikitnya pada 60% penderita selama perjalanan penyakitnya dan biasanya hanya minimal. Hiperbilirubinemia tanpa ikterus lebih sering terjadi. Penderita dapat menjadi ikterus selama fase dekompensasi disertai gangguan reversibel fungsi hati. Ikterus intermiten merupakan gambaran khas sirosis biliaris dan terjadi bila timbul peradangan aktif hati dan saluran empedu (kolangitis).Gangguan endokrin sering terjadi pada sirosis. Hormon korteks adrenal, testis, dan ovarium dimetabolisme dan diinaktifkan oleh hati normal. Angioma laba-laba terlihat pada kulit, terutama di sekitar leher, bahu, dan dada. Angioma ini terdiri atas arteriola sentral tempat memancarnya banyak pembuluh halus. Angioma laba-laba, atrofi testis, ginekomastia, alopesia pada dada dan aksila, serta eritema palmaris semuanya diduga disebabkan oleh kelebihan estrogen dalam sirkulasi. Peningkatan pigmentasi kulit diduga akibat aktivitas hormon perangsang melanosit yang bekerja secara berlebihan.Gangguan hematologik yang sering terjadi pada sirosis adalah kecenderungan perdarahan, anemia, leukopenia, dan trombositopenia. Penderita sering mengalami perdarahan hidung, gusi, menstruasi berat, dan mudah memar. Masa protrombin dapat memanjang. Manifestasi ini terjadi akibat berkurangnya pembentukan faktor-faktor pembekuan oleh hati. Anemia, leukopenia, dan trombositopenia diduga terjadi akibat hipersplenisme. Limpa tidak hanya membesar tetapi juga lebih aktif menghancurkan sel-sel darah dari sirkulasi. Mekanisme lain yang menimbulkan anemia adalah defisiensi folat, vitamin B12, dan besi yang terjadi sekunder akibat kehilangan darah dan peningkatan hemolisis eritrosit. Penderita lebih mudah terserang infeksi.Edema perifer umumnya terjadi setelah timbulnya asites, dan dapat dijelaskan sebagai akibat hipoalbuminemia dan retensi garam dan air. Kegagalan sel hati untuk menginaktifkan aldosteron dan hormon antidiuretik merupakan penyebab retensi natrium dan air.Fetor hepatikum adalah bau apek manis yang terdeteksi dari napas penderita (terutama pada koma hepatikum) dan diyakini terjadi akibat ketidakmampuan hati dalam memetabolisme metionin.Gangguan neurologis yang paling serius pada sirosis lanjut adalah ensefalopati hepatik (koma hepatikum), yang diyakini terjadi akibat kelainan metabolisme ammonia dan peningkatan kepekaan otak terhadap toksin.

2. Manifestasi hipertensi portal11Hipertensi portal didefinisikan sebagai peningkatan tekanan vena porta yang menetap di atas nilai normal yaitu 6 sampai 12 cm H2O. Tanpa memandang penyakit dasarnya, mekanisme primer penyebab hipertensi portal adalah peningkatan resistensi terhadap aliran darah melalui hati. Selain itu, biasanya terjadi peningkatan aliran arteria splangnikus. Kombinasi kedua faktor yaitu menurunnya aliran keluar melalui vena hepatika dan meningkatnya aliran masuk bersama-sama menghasilkan beban berlebihan pada sistem portal. Pembebanan berlebihan system portal ini merangsang timbulnya aliran kolateral guna menghindari obstruksi hepatik (varises). Tekanan balik pada sistem portal menyebabkan splenomegali dan sebagian bertanggung jawab atas tertimbunnya asites.Saluran kolateral penting yang timbul akibat sirosis dan hipertensi portal terdapat pada esophagus bagian bawah. Pirau darah melalui saluran ini ke vena kava menyebabkan dilatasi vena-vena tersebut (varises esophagus).Sirkulasi kolateral juga melibatkan vena superfisial dinding abdomen, dan timbulnya sirkulasi ini mengakibatkan dilatasi vena-vena sekitar umbilikus (kaput medusa). Sistem vena rektal membantu dekompensasi tekanan portal sehingga vena-vena berdilatasi dan dapat menyebabkan berkembangnya hemoroid interna. Splenomegali pada sirosis dapat dijelaskan berdasarkan kongestif pasif kronis akibat aliran balik dan tekanan darah yang lebih tinggi pada vena lienalis.Cara sederhana untuk menentukan tingkat keparahan sirosis melalui klasifikasi Child-Turcotte-Pugh (CTP) (Tabel 1). Pasien yang termasuk dalam CTP kelas A berada dalam sirosis hati kompensata, sedangkan pasien yang berada dalam CTP kelas B dan C berada dalam sirosis hati dekompensata.13

Tabel 1. Sistem skoring Child-Turcotte-Pugh14

Pemeriksaan Klinik dan LaboratoriumSKOR

123

Ensefalopati (tingkat*)

Asites

PT memanjang(atau INR)

Albumin (g/dL)

Bilirubin (mg/dL)Tidak ada

Tidak ada

< 4< 1,7

> 3,5

< 21-2

Ringan (terkontrol oleh diuretik)

4-61,7-2,3

2,8-3,5

2-33-4

Sedang meskipun dengan diuretik

> 6> 2,3

< 2,8

> 3

Sistem skor :Kelas A (resiko rendah) = 5-6 poinKelas B= 7-9 poinKelas C (resiko tinggi)=10-15 poin

*Tingkat 1 : gangguan tidur, gangguan konsentrasi, depresi, gelisah, atau lekas marah.Tingkat 2 :perasaan mengantuk, disorientasi, ingatan jangka pendek yang kurang, tingkah laku yang tidak bisa dibatasi.Tingkat 3 :Somnolen, kebingungan, amnesia, marah, paranoid, atau tingkah aneh lainnya.Tingkat 4 :Koma

Gambar 4. Manifestasi klinis sirosis11F. KomplikasiStatus klinis pada pasien sirosis seringkali memiliki komplikasi berupa sejumlah keadaan penting yang dapat terjadi tanpa menghiraukan penyakit yang mendasari. Keadaan-keadaan penting ini adalah hipertensi portal dan resikonya terhadap perdarahan esofagus, splenomegali, asites, ensefalopati hepatik, spontaneous bacterial peritonitis (SBP), sindrom hepatorenal, dan karsinoma hepatoselular.7

1. Hipertensi portalSistem vena portal secara normal mengalirkan darah dari perut, usus, limpa, pankreas, dan kandung empedu, dan vena porta dibentuk oleh pertemuan vena splenik dan vena mesenterika superior. Darah tidak teroksigenasi dari usus kecil mengalir ke dalam vena mesenterika superior terus bersama dengan darah dari kaput pankreas, kolon asenden, dan sebagian kolon transversal. Sebaliknya, vena splenik mengaliri limpa dan pankreas dan tergabung melalui vena mesenterika inferior, yang membawa darah dari kolon transversal dan desenden sebaik dari dua-pertiga rektum superior. Sehingga, vena porta secara normal menerima aliran darah dari seluruh traktus gastrointestinal.7 Pasien-pasien yang sudah sampai pada komplikasi hipertensi portal akan mengalami perdarahan gastrointestinal. Pada manusia, tekanan portal diukur agak tidak langsung, karena vena porta tidak mudah diakses untuk kanulasi. Tekanan sumbatan pada vena hepatik diukur, dan berdasarkan pengukuran ini digambarkan sebuah tekanan bebas vena hepatik (atau tekanan vena cava); hasilnya disebut gradien vena porta-hepatik. Tekanan normalnya adalah < 5 mmHg. Perdarahan dari hipertensi portal tidak akan terlihat kecuali gradiennya sudah > 12 mmHg.15Hipertensi portal didefinisikan sebagai peningkatan gradien vena porta-hepatik (HPVG) adalah > 5 mmHg. Penyebabnya adalah kombinasi dari gabungan 2 (dua) proses hemodinamik yang terjadi bersamaan, yaitu7 :a. peningkatan resistensi aliran darah intrahepatik karena adanya sirosis dan nodul regeneratif,b. peningkatan aliran darah splangnik mengarah pada vasodilatasi di dalam pembuluh darah splangnik. Penyebab hipertensi portal biasanya dikategorikan dalam prehepatik, intrahepatik, dan posthepatik. Penyebab prehepatik yaitu adanya gangguan pada sistem vena porta sebelum masuk ke hati; contohnya trombosis vena portal dan trombosis vena splenik. Penyebab ekstrahepatik yaitu adanya gangguan pada vena hepatik dan aliran vena ke dalam hati; contohnya BCS, penyakit oklusif vena, dan kongesti jantung kanan. Penyebab intrahepatik dapat dibagi menjadi penyebab presinusoid (fibrosis hepatik congenital dan schistosomiasis), sinusoid (berhubungan dengan sirosis dari macam-macam penyebab), dan postsinusoid (penyakit oklusif vena).7

Gambar 5. Kategori penyebab hipertensi portal16Hipertensi portal secara langsung berperan terhadap 2 (dua) komplikasi besar yaitu perdarahan varises dan asites.7 Hipertensi portal dapat menyebabkan asites menjadi lebih buruk karena penghambatan aliran limfe. Hal ini dapat menyebabkan trombositopenia akibat splenomegali dan pembentukan varises esofagus. Defisiensi faktor pembekuan aktif, trombositopenia, dan varises dapat menyebabkan perdarahan yang hebat. Akhirnya, hipertensi portal dapat menyebabkan enteropati eksudatif. Hal ini akan meningkatkan asites karena hilangnya albumin dari plasma, selain memberi kesempatan pada bakteri usus besar untuk diberi makan dengan protein yang telah melewati lumen usus sehingga meningkatkan pelepasan ammonium yang bersifat toksik terhadap otak.12

2. SplenomegaliKetika hipertensi portal terjadi, limpa akan membesar dan menampung leukosit juga trombosit, menurunkan jumlahnya dalam darah. Jumlah trombosit yang rendah dalam darah dapat menjadi bukti pertama bahwa seseorang memiliki penyakit sirosis.17

3. AsitesAsites merupakan komplikasi tersering dari sirosis sehingga memerlukan perawatan di rumah sakit18, dan kira-kira 60% pasien dengan sirosis kompensata akan mengalami asites dalam 10 tahun perjalanan penyakitnya. Asites hanya terjadi jika ada hipertensi portal dan secara khusus terhubung dengan ketidakmampuan ekskresi jumlah sodium ke dalam urin, mengarah pada suatu keseimbangan sodium.19Asites didefinisikan sebagai timbunan cairan dalam rongga peritoneal yang dapat disebabkan oleh berbagai penyakit terutama terjadi pada sirosis hati. Selain sirosis, asites juga dapat disebabkan oleh keganasan (10%), gagal jantung (3%), tuberkulosis (2%), dan pankreatitis (1%).20Terbentuknya asites pada sirosis merupakan suatu proses patofisiologis dengan mekanisme yang kompleks. Kelainan pertama yang tampak pada sirosis adalah hipertensi portal. Pada saat terjadi peningkatan hipertensi portal, nitric oxide (NO) sebagai vasodilator dikeluarkan ke daerah splanknik, sehingga menurunkan aliran darah arteri yang efektif dan tekanan arteri. Vasodilatasi yang progresif menyebabkan aktivasi vasokonstriktor dan mekanisme antinatriuretik, yang merupakan upaya untuk mengembalikan tekanan perfusi normal. Mekanisme yang terlibat termasuk sistem rennin-angiotensin, sistem saraf simpatik, dan hormon antidiuretik (vasopressin). Efek utamanya adalah retensi natrium dan air. Pada pasien sirosis yang makin lanjut, akumulasi cairan bebas semakin menonjol dengan retensi natrium dan menyebabkan hiponatremia hipervolemia.20

Sirosis Resistensi aliran portal Hipertensi porta Vasodilatasi splanknik Tekanan kapiler splanknik Pembentukan KGB yang melebihi aliran balik limfe Asites Arterial underfilling Reseptor arteri dan kardio-pulmonal Aktivasi vasokonstriktor dan faktor antinatriuretik Vasokonstriksi renal Sindrom hepatorenal Gangguan ekskresi free-water Hiponatremia dilusional Retensi sodium dan air Ekspansi volume plasma

Gambar 5. Patofisiologi asites20Keparahan asites ditentukan berdasarkan sistem grading asites. Dalam hal menilai derajat asites telah digunakan sistem yang lama yaitu dari +1 sampai +4, tergantung pada pendeteksian cairan pada pemeriksaan fisik. Akhir-akhir ini, sistem penilaian yang berbeda telah digunakan yaitu dari grade 1 sampai grade 3. Grade 1 yaitu jika asites hanya dapat terdeteksi melalui pemeriksaan ultrasonografi. Grade 2 jika asites menyebabkan distensi abdomen yang simetris. Grade 3 jika asites menyebabkan marked distensi abdominal.20Komplikasi dari asites adalah asites refrakter. Asites refrakter terjadi pada 5-10% dari pasien sirosis dengan asites yang menandakan prognosis buruk. Asites refrakter adalah kurangnya respon terhadap diuretik dosis tinggi (400 mg spironolakton dan 160 mg furosemid per hari), atau asites yang sering kambuh setelah paracentesis terapeutik. Untuk mencegah kekambuhan asites, dapat dilakukan tindakan Transjugular Intrahepatic Portosistemic Shunt (TIPS), namun tergantung dari klasifikasi Child-Pugh.20

4. Ensefalopati hepatikGangguan mental merupakan keadaan yang sering pada sirosis yang sudah lanjut.21 Kadang juga disebutkan dengan istilah ensefalopati portosistemik. Istilah ini menunjukkan pada suatu sindrom neuropsikiatri kronik pada penyakit hati kronik.22 Pada kasus yang lebih berat, sirosis dapat menyebabkan ensefalopati (gangguan fungsi otak), dengan gejala yang berawal dari kebingungan hingga menjadi koma atau meninggal. Ensefalopati hepatik diakibatkan oleh peningkatan jumlah toksin intestinal dalam darah, terutama ammonia, yang kemudian berakumulasi dalam otak. Ensefalopati dapat dipicu oleh banyak kondisi berbeda termasuk di dalamnya perdarahan internal, infeksi, konstipasi, dan dehidrasi.21Gejala awal ensefalopati hepatik adalah kebingungan, cepat lupa, dan gangguan konsentrasi. Perubahan mendadak pada status mental pasien, contohnya menghasut atau kebingungan, mengindikasikan kondisi emergensi. Gejala lain yaitu bau nafas fruity-smelling dan tremor. Gejala ensefalopati tahap akhir adalah stupor dan biasanya koma.21

5. Spontaneous Bacterial Peritonitis (SBP)Pasien sirosis hati dengan asites sering timbul infeksi tanpa diketahui faktor pencetusnya. Hal ini didiagnosis sebagai SBP. SBP harus dicurigai bila adanya penurunan klinis pasien sirosis dengan asites. Diagnosis SBP berdasarkan jumlah sel cairan asites yang lebih dari 250 sel PMN/mm3.15 Translokasi bakteri merupakan mekanisme yang diduga terjadi, dimana flora usus melewati usus ke dalam nodus limfa mesenterika, mengarah ke keadaan bakteremia dan adanya cairan ascitic.7Organisme yang sering ditemukan adalah Escherichia coli dan bakteri usus lainnya; contoh bakteri gram positif (Streptococcus viridans, Staphylococcus aureus, dan Enterococcus sp.) juga dapat ditemukan.7

6. Sindrom hepatorenalSebuah komplikasi yang ditakuti dari sirosis dengan asites adalah sindrom hepatorenal (SHR). Pada SHR tipe 1 yang paling membahayakan adalah memburuknya fungsi ginjal, mencerminkan peningkatan kreatinin yang mudah mengakibatkan kematian. Sindrom ini hampir selalu terjadi pada sirosis dengan asites yang berlanjut. Diagnosis ditegakkan bila tidak ada penyebab lain dari insufisiensi ginjal, terutama hipovolemia karena diuretik, infeksi, atau perdarahan. SHR meningkat pada pasien dengan kreatinin > 1,5 mg/dL yang tidak membaik dengan pemberian diuretik, terjadi ekspansi volume meskipun dengan pemberian albumin, tidak adanya obstruktif atau penyakit ginjal parenkim (ditandai dengan ultrasonografi, proteinuria), dan tidak adanya penggunaan obat nefrotoksik atau pemberian material kontras intra vena.20

7. Karsinoma hepatoselularKarsinoma hepatoselular merupakan satu dari 10 kanker terbanyak di dunia. Faktor resiko tinggi untuk terjadinya karsinoma hepatoselular adalah pasien yang memiliki hepatitis B dan hepatitis C, tergantung dari daerah endemiknya. Mekanisme terjadinya berdasarkan integrasi DNA virus hepatitis B ke dalam genom hepatosit penjamu dan replikasi virus.22

G. PenatalaksanaanSetelah dilihat dari presentasi klinik, pasien perlu dievaluasi lagi lebih hati-hati. Evaluasi ini termasuk pemeriksaan fungsi hati, darah lengkap, HbSAg, anti-HCV, tampilan dan derajat varises, asites dengan/tanpa peritonitis, dan ensefalopati hepatik. Skor Child-Turcotte-Pugh (CTP) dan Model for End Stage Liver Disease (MELD) adalah sistem skor spesifik untuk hati dan digunakan sebagai patokan penilaian keparahan pasien dengan sirosis. MELD awalnya dikembangkan untuk memprediksi mortalitas jangka pendek pasien yang menjalani TIPS. Penatalaksanaan standar yang diberikan pada pasien sirosis hati dekompensata tergantung pada tampilan klinisnya, termasuk kontrol asites, perdarahan, infeksi atau ensefalopati, harus dilakukan secara tepat dan adekuat.23

1. Sirosis alkoholikBerhenti konsumsi alkohol merupakan pusat terapi terhadap pasien sirosis alkoholik. Selain itu, pasien butuh nutrisi dan pemantauan pengobatan jangka panjang untuk mengatur komplikasi yang akan berkembang. Glukokortikoid kadang-kadang digunakan untuk pasien hepatitis alkoholik berat tanpa infeksi. Pengobatan ini dibatasi pada pasien dengan nilai discriminant patient (DF) > 32. DF dihitung dari serum bilirubin total dijumlahkan dengan selisih kadar protrombin dikalikan dengan 4,6.7 Pengobatan lain yaitu pentoxifylline oral, yang menurunkan produksi TNF- dan sitokin proinflamasi lainnya. Berbeda dengan glukokortikoid, pentoxifylline oral lebih baik untuk digunakan dan memiliki efek samping yang lebih sedikit. Pengobatan nutrisi dapat diberikan melalui parenteral atau enteral.7Beberapa penelitian mencoba pemberian penghambat TNF- melalui parenteral, yaitu Infliximab atau Etanercept. Hasil terbaru membuktikan bahwa tidak ada efek samping yang ditimbulkan. Steroid anabolik, propylthiouracil, antioksidan, kolsikin, dan penisilamin juga diteliti namun tidak menunjukkan keuntungan yang jelas dan tidak direkomendasikan.7Kegunaan asetaminofen sering tidak membawa hasil bagi pasien dengan penyakit hati, namun jika tidak lebih dari 2 gram per hari, maka biasanya tidak ada masalah.7

2. Sirosis akibat hepatitis B atau CPada pasien dengan hepatitis B kronik, banyak penelitian yang menunjukkan efek menguntungkan dari terapi antivirus, dimana efektif pada supresi virus, menurunkan kadar aminotransferase dan DNA virus hepatitis B, memperbaiki histologi hati melalui penurunan inflamasi dan fibrosis. Ada juga beberapa penelitian yang menunjukkan bahwa pasien sirosis hati dekompensata dapat menjadi sirosis hati kompensata melalui pengobatan antivirus. Pengobatan antivirus yang dimaksud adalah Lamivudine, Adefovir, Telbivudine, Entecavir, dan Tenofovir. Interferon- dapat juga digunakan untuk hepatitis B, tapi tidak untuk sirosis.7 Dosis Lamivudine yang direkomendasikan adalah 100 mg per hari.24 Ada penelitian di Taiwan menunjukkan bahwa permulaan pengobatan Lamivudin pada pasien dengan kadar bilirubin < 20 mg/dL memiliki hubungan yang signifikan dengan angka mortalitas yang rendah, tetapi tidak pada kadar bilirubin > 20 mg/dL.18 Penelitian oleh Shim et al. menunjukkan bahwa penggunaan Entecavir 0,5 mg per hari dapat memberikan angka kesuksesan sebesar 90%.24Pengobatan terhadap sirosis akibat hepatitis C lebih sulit karena efek samping dari interferon dan Ribavirin sering kali sulit untuk ditanggulangi. Tampilan sitopenia (trombosit, leukosit, eritrosit) atau efek samping yang lebih berat dapat terjadi jika pengobatannya dihentikan. Meskipun demikian, jika pasien dapat mentoleransi pengobatan yang diberikan, dan jika berhasil, keuntungannya sangat besar dan progresifitas penyakit dapat berkurang.7

3. Hipertensi portalPengobatan untuk perdarahan varises sebagai komplikasi dari hipertensi portal terbagi ke dalam 2 (dua) kategori, yaitu profilaksis primer dan pencegahan perdarahan berulang. Profilaksis primer adalah skrining rutin melalui endoskopi bagi semua pasien sirosis. Sekali varises meningkatkan resiko terjadinya perdarahan, maka profilaksis primer dapat dicapai baik melalui penggunaan -bloker nonselektif atau melalui ligasi varises. Pasien yang diberikan -bloker nonselektif memiliki resiko lebih rendah untuk terkena perdarahan varises dan menurunkan mortalitasnya.7Endoscopic variceal ligation (EVL) telah mencapai kesuksesan dan membuat kenyamanan terhadap para ahli penyakit dalam yang menangani pasien dengan komplikasi hipertensi portal ini. Sehingga, pasien dengan sirosis yang melalui skrining diketahui memiliki hipertensi portal dan ditemukan adanya varises yang besar, maka direkomendasikan pada pasien ini untuk menerima terapi -bloker nonselektif atau profilaksis primer dengan EVL.7Pendekatan terhadap pasien ketika mereka baru pertama kali memiliki perdarahan varises adalah pertama-tama menangani perdarahan akutnya, dimana pengobatan ini berjalan seumur hidup dan kemudian mencegah perdarahan berulang. Pencegahan perdarahan berulang biasanya disempurnakan dengan pengulangan ligasi varises sampai varises hilang. Penatalaksanaan perdarahan akut memerlukan pergantian cairan dan transfusi darah.7 Cairan yang dibutuhkan adalah koloid. Transfusi darah berupa transfusi sel darah merah, bisa juga fresh frozen plasma dan trombosit jika pasien tersebut mengalami koagulopati dan/atau trombositopenia.13Obat-obatan yang diberikan pada perdarahan varises akut termasuk penggunaan vasokonstriktor, biasanya Somatostatin atau Octreotide. Ocreotide diberikan dalam dosis 50-100 g/jam melalui infus yang berlanjut. Tamponade balon (Sengstaken-Blakemore tube atau Minnesota tube) digunakan pada pasien yang tidak dapat terapi endoskopi dengan segera atau pasien yang membutuhkan stabilisasi terlebih dahulu untuk mendapatkan terapi endoskopi. Endoskopi digunakan sebagai tindakan lini pertama untuk mengontrol perdarahan akut.7Ligasi varises digunakan untuk mengontrol perdarahan akut pada hampir 90% kasus dan harus diulang sampai semua varises hilang. Ketika varises esofagus menjalar sampai ke bagian proksimal abdomen, ligasi kurang berhasil. Pada keadaan seperti ini, TIPS harus dipikirkan, tetapi hati-hati pada pasien yang sudah tua karena efek samping dari TIPS adalah ensefalopati. TIPS harus dilakukan terhadap pasien yang gagal endoskopi atau pengobatan.7

4. AsitesPasien dengan asites minimal biasanya ditindaki hanya dengan diet sodium. Rata-rata komposisi diet di Amerika Serikat berisi 6-8 gram sodium per hari, dan jumlah ini akan bertambah jika pasien makan di restoran atau tempat makan siap saji. Hal ini sering membuat sulit pola diet yang diberlakukan karena jumlahnya akan > 2 gram sodium per hari, dimana jumlah ini yang direkomendasikan. Rekomendasi yang sederhana juga berupa makan makanan yang segar, hindari makanan yang dimasak atau diawetkan, dimana makanan-makanan ini biasanya diawetkan dengan sodium. Ketika jumlah cairan asites bertambah, pengobatan diuretik biasanya dibutuhkan. Biasanya, Spironolakton 100-200 mg/hari dosis tunggal, dan Furosemid ditambahkan 40-80 mg/hari, khususnya pada pasien dengan edema perifer. Jika dosis tersebut tidak berhasil, maka dosis dinaikkan menjadi Spironolakton 400-600 mg/hari dan Furosemid 120-160 mg/hari. Jika asites tetap ada ketika diberikan peningkatan dosis, maka pasien ini mengalami asites refrakter dan penatalaksanaan alternatif yaitu parasintesis berulang atau prosedur TIPS.7 Diuretik harus dihentikan sementara pada pasien yang memiliki penurunan sodium dibawah 120-125 mmol/L.19Pada pasien dengan asites, ada beberapa obat yang merupakan kontraindikasi. OAINS seperti Indometasin, Ibuprofen, Aspirin, dan Sulindac menambah resiko untuk terjadinya gagal ginjal akut, hiponatremia, dan resistensi diuretik. Penghambat angiotensin-converting enzyme, walaupun diberikan dengan dosis rendah, harus dihindari dari pasien sirosis dengan asites sejak obat-obatan ini dapat merangsang hipotensi arterial dan gagal ginjal. Demikian juga, 1-adrenergic blocker seperti Prazosin harus digunakan dengan waspada karena dapat mengganggu retensi sodium renal dan air sehingga asites atau edema bertambah. Untuk obat kardiovaskular, yang perlu dihindari adalah Dipyridamole karena dapat merangsang gangguan ginjal. Pemakaian Aminoglikosid secara tunggal atau dikombinasikan dengan Ampisilin, Sepalotin, atau Mezlosilin harus dihindari ketika terjadi infeksi bakteri, karena dapat mengakibatkan nefrotoksisitas.19

5. Spontaneous Bacterial Peritonitis (SBP)Ketika diagnosis SBP ditegakkan, maka terapi antibiotik harus segera dimulai. Antibiotik yang secara luas dipakai adalah Cefotaxime dengan dosis 2 gram I.V setiap 4 jam dan 2 gram I.V setiap 12 jam, namun dosis yang direkomendasikan adalah 2 gram I.V setiap 12 jam. Sefalosporin generasi ketiga, contohnya Ceftriaxone juga digunakan dengan dosis 1-2 gram I.V setiap 24 jam. Pada suatu penelitian, kombinasi Amoksisilin I.V dengan Asam Clavulanic menunjukkan bahwa sama efektif dan aman dengan penggunaan Cefotaxime. Kombinasi Amoksisilin I.V dengan Asam Clavulanic diberikan dalam dosis 1-0,2 gram I.V setiap 8 jam. Albumin I.V merupakan pengobatan tambahan yang penting terhadap terapi antibiotik pada pasien dengan SBP. Alasan rasional digunakannya albumin adalah menurunkan volume darah arterial yang berasal dari SBP sehingga dapat memicu disfungsi renal. Albumin harus diberikan pada pasien dengan resiko tinggi disfungsi renal, yaitu kadar bilirubin > 4 mg/dL, nitrogen urea darah > 30 mg/dL dan/atau kreatinin > 1,0 mg/dL. Dosis yang diberikan adalah 1,5 gram/kgBB selama 6 jam pertama, diikuti 1 gram/kgBB pada hari ketiga.13Terapi antibiotik dapat dengan aman dihentikan ketika jumlah PMN berada dibawah 250/mm8, dimana hal ini terjadi rata-rata dalam 5 hari pengobatan. Pada suatu studi perbandingan, pengobatan 5 hari dengan Cefotaxime sama efektifnya dengan pengobatan 10 hari, sehingga direkomedasikan pengobatan antibiotik harus diberikan minimal 5 hari.13Untuk SBP yang berulang, diberikan Norfloksasin 400 mg oral sekali sehari. Pengobatan alternatif yaitu Siprofloksasin atau Levofloksasin. Siprofloksasin diberikan 750 mg per minggu. Selain itu diberikan Trimethoprim/Sulfamethoxazole setiap hari, selama 5 hari per minggu.13

6. Sindrom hepatorenalDiagnosis sindrom hepatorenal biasanya ditegakkan jika ada tampilan asites dalam jumlah besar pada pasein yang mengalami peningkatan kreatinin secara bertahap dan progresif. Sindrom hepatorenal tipe 1 dicirikan dengan gangguan fungsi renal progresif dan penurunan klirens kreatinin dalam 1-2 minggu. Sindrom hepatorenal tipe 2 dicirikan dengan penurunan laju filtrasi glomerulus disertai peningkatan kadar serum kreatinin, tetapi tipe 2 ini tampaknya agak stabil dan pasien dengan sindrom hepatorenal tipe 2 ini terlihat lebih baik daripada pasien dengan sindrom hepatorenal tipe 1.7Sindrom hepatorenal sering terlihat pada pasien dengan asites refraktr. Sayangnya pengobatan terhadap sindrom hepatorenal sangat sulit, dan di waktu dulu diberikan Dopamin atau analog Prostaglandin untuk vasodilator renal. Tetapi sekarang pasien telah diobati dengan Midodrine, sebuah agonis , bersamaan dengan Ocreotide dan Albumin I.V. Midodrine diberikan secara oral dengan dosis awal 2,5 sampai 75 mg/8 jam kemudian dinaikkan menjadi 12,5 mg/8 jam dan Ocreotide diberikan secara subkutan dengan dosis awal 100 g/8 jam, kemudian dinaikkan menjadi 200 g/8 jam. Peningkatan dosis ini dilakukan jika tidak ada tanda-tanda adanya gangguan fungsi ginjal. Pengobatan terbaik yaitu transplantasi hati.7

7. Ensefalopati hepatikPenatalaksanaan pada ensefalopati hepatik berupa diet rendah protein. Selain itu, identifikasi dan hilangkan kemungkinan faktor-faktor resiko, berikan pencahar dan enema untuk mengosongkan usus besar dari substansi nitrogen. Laktulosa (10-30 mL tiga kali sehari) adalah pencahar osmotik yang menurunkan pH kolon dan membatasi absorpsi ammonia. Mengatur nutrisi dengan kalori adekuat, diberikan jika ada keperluan. Pemberian antibiotik yaitu Rifaximin; tidak diserap dan toleransi dengan baik dalam jangka panjang. Metronidazole (200 mg empat kali sehari) efektif pada situasi akut.22

8. Karsinoma hepatoselularPembedahan reseksi kadang-kadang memungkinkan. Jika pada pasien sirosis hepatis memiliki tumor yang kecil, maka dimungkinkan untuk melakukan transplantasi hati. Kemoterapi atau radioterapi tidak banyak membantu.22

H. PrognosisSecara umum, pasien sirosis hati memiliki resiko kematian karena sepsis lebih tinggi akibat imunosupresi.3 Mengingat pengobatan sirosis hati hanya merupakan simptomatik dan mengobati penyulit, maka prognosisnya jelek. Jika pasien masih mengalami sirosis hati kompensata, prognosisnya masih baik.2 Pasien sirosis alkoholik memiliki pertahanan hidup < 50% selama 5 tahun. Tetapi pertahanan hidup ini akan berlangsung lama jika pasien berhenti meminum alkohol. Prognosis untuk pasien sirosis dengan asites sangat buruk, dan ada penelitian yang menunjukkan bahwa < 50% bertahan hidup dalam 2 tahun setelah mengalami asites.7 Sekarang ini mortalitas untuk SBP telah menurun 10-15% tergantung dari keparahan penyakitnya. Prognosis untuk ensefalopati hepatik adalah buruk karena komplikasi ini memiliki mortalitas yang tinggi.22

BAB IIIKESIMPULAN

Sirosis masih merupakan masalah di seluruh dunia. Di negara maju, sirosis hati merupakan penyebab kematian terbesar ketiga pada pasien yang berusia 45-46 tahun (setelah penyakit kardiovaskular dan kanker). Di seluruh dunia sirosis menempati urutan ketujuh penyebab kematian. Sirosis hati merupakan penyakit hati yang sering ditemukan di Indonesia. Di RS Dr. Sardjito Yogyakarta tahun 2004, jumlah pasien sirosis hati yang dirawat di Bagian Penyakit Dalam sekitar 4,1%, sedangkan di Medan ditemukan sebanyak 819 (4%) dalam waktu 4 tahun. Hasil penelitian tahun 2001 di Bangsal Penyakit Dalam RSUP Dr. M. Djamil Padang, penderita sirosis hati dijumpai 388 (64,99%) dari 597 penderita penyakit hati. Di Maluku, belum ada laporan mengenai prevalensi sirosis hati. Prevalensi penyakit ini hanya tersirat dari prevalensi penyebabnya. Berdasarkan Riskesdas tahun 2007, prevalensi nasional minum alkohol selama 12 bulan terakhir adalah 4,6%. Maluku merupakan salah satu provinsi yang memiliki prevalensi minum alkohol selama 12 bulan terakhir di atas prevalensi nasional yaitu sebesar 8,2%.Sirosis adalah keadaan akhir dari suatu kerusakan pada hati yang berakhir pada tahap fibrosis dan regenerasi nodular. Sirosis hati secara klinis dibagi menjadi sirosis hati kompensata yang berarti belum adanya gejala klinis yang nyata dan sirosis hati dekompensata yang ditandai gejala-gejala dan tanda klinis yang jelas.Gejala dini sirosis (kompensata) bersifat samar dan tidak spesifik yang meliputi kelelahan, anoreksia, dispepsia, flatulen, perubahan kebiasaan defekasi (konstipasi atau diare), dan berat badan sedikit berkurang. Mual dan muntah lazim terjadi (terutama pagi hari). Nyeri tumpul atau perasaan berat pada epigastrium atau kuadran kanan atas terdapat pada sekitar separuh penderita. Bila sudah menjadi sirosis hati dekompensata, gejala-gejala lebih menonjol terutama bila timbul komplikasi kegagalan hati dan hipertensi portal. Manifestasi kegagalan hati adalah ikterus, edema perifer, kecenderungan perdarahan, eritema palmaris (telapak tangan merah), angioma laba-laba, fetor hepatikum, dan ensefalopati hepatik. Gambaran klinis yang terutama berkaitan dengan hipertensi portal adalah splenomegali, varises esofagus dan lambung, serta manifestasi sirkulasi kolateral lain. Asites (cairan dalam rongga peritoneum) dapat dianggap sebagai manifestasi kegagalan hepatoselular dan hipertensi portal.Setelah dilihat dari presentasi klinik, pasien perlu dievaluasi lagi lebih hati-hati. Evaluasi ini termasuk pemeriksaan fungsi hati, darah lengkap, HbSAg, anti-HCV, tampilan dan derajat varises, asites dengan/tanpa peritonitis, dan ensefalopati hepatik. Skor Child-Turcotte-Pugh (CTP) dan Model for End Stage Liver Disease (MELD) adalah sistem skor spesifik untuk hati dan digunakan sebagai patokan penilaian keparahan pasien dengan sirosis.Status klinis pada pasien sirosis seringkali memiliki komplikasi berupa sejumlah keadaan penting yang dapat terjadi tanpa menghiraukan penyakit yang mendasari. Keadaan-keadaan penting ini adalah hipertensi portal dan resikonya terhadap perdarahan esofagus, splenomegali, asites, ensefalopati hepatik, spontaneous bacterial peritonitis (SBP), sindrom hepatorenal, dan karsinoma hepatoselular.Secara umum, pasien sirosis hati memiliki resiko kematian karena sepsis lebih tinggi akibat imunosupresi. Mengingat pengobatan sirosis hati hanya merupakan simptomatik dan mengobati penyulit, maka prognosisnya jelek. Jika pasien masih mengalami sirosis hati kompensata, prognosisnya masih baik.

DAFTAR PUSTAKA

1. Ismail BES, Cabrera R. Management of liver cirrhosis in patients with hepatocellular carcinoma. Chin Clin Oncol 2013;2(4):342. Sutadi SM. Sirosis hepatis. Universitas Sumatera Utara, 2003.3. Regina V, Arnelis, Edward Z. Hubungan kadar limfosit total dengan prognosis penyakit pada penderita sirosis hati di Bagian Penyakit Dalam RSUP Dr. M. Djamil Padang tahun 2011. Jurnal Kesehatan Andalas. 2013; 2(2)4. Emiliana W. Sirosis hepatik child pugh class dengan komplikasi asites grade III dan hiponatremia. Medula, Volume 1, Nomor 5, Oktober 20135. Danastri CN. Sirosis hepatis pada pasien dengan riwayat mengkonsumsi alkohol kronik. Medula, Volume 1, Nomor 2, Oktober 20136. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Riset Kesehatan Dasar Laporan Nasional. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Desember 20087. Longo DL, et al. Cirrhosis and its complications. In: Harrisons Principles of Internal Medicine, 18th ed, 2012.8. McPhee SJ, Papadakis MA. Cirrhosis. In: Current Medical Diagnosis and Treatment. Mc-Graw Hill, 2008.9. Nurdjanah S. Sirosis hati. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata MK, Setiati S, editors. Edisi IV. Jilid I. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI, 2006, hal. 443-510. McLatchie G, Borley N, Chikwe J. Liver, Pancreatic, and Biliary Surgery. In: Oxford Handbook of Clinical Surgery. 3rd ed. Oxford University Press, 2007.11. Lindseth GN. Gangguan hati, kandung empedu, dan pankreas. Dalam: Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Price SA, Wilson LM, editors. Jakarta: EGC, 2005. hal. 493-50112. Silbernagl S, Lang F. Color Atlas of Pathophysiology. New York, 200013. Tsao-Garcia G, Lim J, et al. Management and treatment of patients with cirrhosis and portal hypertension: recommendations from the department of veterans affairs hepatitis C resource center program and the national hepatitis C program. Am J Gastroenterol. 2009 (104).14. Beers MH, Porter RS, Jones TV, Kaplan JL, Berkwits M. The Merck Manual of Diagnosis and Therapy. 18th ed. Merck Research Laboratories, 2006. p. 215-915. Stoller JK, Michota FA, Mandell BF. The Cleveland Clinic Intensive Review of Internal Medicine. 5th ed. Philadelphia, 2009.16. Boon NA, Cumming AD, John G. Davidsons Principle and Practice of Medicine. 20th ed. 17. National Institute of Diabetes and Digestive and Kidney Diseases. Cirrhosis. 2008.18. Runyon BA. Management of adult patients with ascites due to cirrhosis: update 2012. Hepatology, Februari 2013.19. European Association for the Study of the Liver. EASL clinical practice guidelines on the management of ascites, spontaneous bacterial peritonitis, and hepatorenal syndrome in cirrhosis. Journal of Hepatology 2010 (53).20. Maimunah U. Ascites in liver cirrhosis and its complication. Dalam: Naskah Lengkap Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Penyakit Dalam Surabaya XXVIII, 2013. hal. 276-8021. Simon H. Cirrhosis. University of Maryland Medical Center, 2012.22. Kumar P, Clark M. Clinical Medicine 6th ed. 23. Peng CY, Chien RN, Liaw YF. Hepatitis B virus-related decompensated liver cirrhosis: Benefits of antiviral therapy. Journal of Hepatology, 2012 (57)24. Guan R, Lui HF. Treatment of Hepatitis B in Decompensated Liver Cirrhosis. International Journal of Hepatology, 2011.29