115
SINTESA HASIL PENELITIAN PENGELOLAAN HUTAN ALAM PRODUKSI LESTARI Oleh: Dr.Ir. Darwo, M.Si. Kontributor data: Ir. Djoko Wahjono, M.S. Ir. Abdurachman, M.P. Lutfi Abdullah, S.Hut.,M.Si. Dr. Farida Herry Susanty, S.Hut, M.P. Dr. Ika Herdiansyah, S.Hut., M.Agr. Dr. Ir. Diana Prameswari, M.Si. Dr. Haruni Krisnawati, S.Hut., M.Si. Rinaldi Imanuddin, S.Hut. Ir. Sudin Panjaitan, M.P. Asef K. Hardjana, S.Hut., M.Sc. Karmilasanti, S.Hut. Ir. Relawan Kuswandi.,M.Sc. Baharinawati W. Hastanti, S.Sos.,M.Sc. Aswandi, S.Hut., M.Si. Cica Ali, S.Si., M.P. Arif Irawan, S.Si PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PENINGKATAN PRODUKTIVITAS HUTAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEHUTANAN KEMENTERIAN KEHUTANAN 2014

sintesa hasil penelitian pengelolaan hutan alam produksi lestari

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: sintesa hasil penelitian pengelolaan hutan alam produksi lestari

SINTESA HASIL PENELITIAN PENGELOLAAN HUTAN ALAM PRODUKSI LESTARI

Oleh: Dr.Ir. Darwo, M.Si.

Kontributor data: Ir. Djoko Wahjono, M.S. Ir. Abdurachman, M.P. Lutfi Abdullah, S.Hut.,M.Si. Dr. Farida Herry Susanty, S.Hut, M.P. Dr. Ika Herdiansyah, S.Hut., M.Agr. Dr. Ir. Diana Prameswari, M.Si. Dr. Haruni Krisnawati, S.Hut., M.Si. Rinaldi Imanuddin, S.Hut. Ir. Sudin Panjaitan, M.P. Asef K. Hardjana, S.Hut., M.Sc. Karmilasanti, S.Hut. Ir. Relawan Kuswandi.,M.Sc. Baharinawati W. Hastanti, S.Sos.,M.Sc.

Aswandi, S.Hut., M.Si. Cica Ali, S.Si., M.P. Arif Irawan, S.Si

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PENINGKATAN PRODUKTIVITAS HUTAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEHUTANAN KEMENTERIAN KEHUTANAN 2014

Page 2: sintesa hasil penelitian pengelolaan hutan alam produksi lestari

KATA PENGANTAR

Dalam rangka mendukung suksesnya kebijakan prioritas Kementerian Kehutanan, Badan Litbang Kehutanan telah menyusun program kerja yang kemudian dijabarkan dalam paket-paket kegiatan penelitian yang terpadu. Data dan informasi yang diperoleh diharapkan menjadi dasar penetapan kebijakan Kementerian Kehutanan, sekaligus diperoleh suatu paket teknologi yang aplikatif yang dapat digunakan oleh para pelaksana lapangan sebagai pedoman pengelolaan hutan alam produksi yang lestari.

Salah satu kegiatan penelitian yang tergabung dalam Rencana Penelitian Integratif (RPI) adalah Pengelolaan Hutan Alam Produksi Lestari. Kegiatan penelitian ini melibatkan peneliti-peneliti di pusat dan peneliti di daerah (UPT). Ruang lingkup penelitian dalam RPI ini berkaitan dengan penyelesaian permasalahan dalam pengelolaan hutan alam produksi lestari.

Hasil sintesa ini merupakan hasil penelitian tahap awal (5 tahun pertama) dari rencana penelitian jangka panjang 15 tahun (setengah rotasi), sehingga kesimpulan-kesimpulan yang diperoleh pada umumnya masih bersifat indikatif yang masih memerlukan pengamatan dan perlakukan-perlakuan penelitian lebih lanjut. Namun demikian beberapa aspek sudah menunjukkan hasil akhir.

Sangat disadari bahwa sintesa ini belum sempurna, namun demikian dengan partisipasi aktif semua yang terlibat baik peneliti maupun struktural, maka kesempurnaan akan dapat diwujudkan sehingga hasilnya akan bermanfaat bagi pengelolaan hutan alam produksi yang berkelanjutan.

Bogor, Desember 2014

Penyusun

Page 3: sintesa hasil penelitian pengelolaan hutan alam produksi lestari

RINGKASAN

Pengelolaan hutan alam produksi di Indonesia telah berjalan hampir 45 tahun. Banyak hasil pembangunan di Indonesia yang merupakan andil dari hasil pemanfaatan hutan hutan alam produksi. Namun demikian, peranan hutan alam produksi tersebut tidak diimbangi dengan upaya-upaya yang signifikan untuk mempertahankan dan meningkatkan produktivitasnya. Hutan alam produksi hanya dijadikan obyek pengurasan untuk dijadikan modal pembangunan. Hutan alam produksi mempunyai kemampuan yang sangat terbatas, rentan terhadap perubahan yang ektrem. Ekologi hutan alam produksi umumnya berada pada tanah-tanah yang sangat peka terhadap perubahan yang ektrem tersebut. Hutan alam sebagian besar telah berubah kondisinya menjadi hutan sekunder yang rusak, belukar, padang alang-alang bahkan menjadi tanah kosong yang miskin dan tandus. Kondisi tersebut di atas adalah cerminan kinerja pengelolaan hutan alam produksi yang selama ini diagung-agungkan karena dapat menghasilkan devisa, tanpa ingat bahwa hutan alam produksi juga bisa menghasilkan bencana apabila tidak dikelola dengan baik dan benar. Saat ini baru disadari oleh para pengambil kebijakan itupun setelah kondisinya sudah sangat parah dan karena adanya tekanan-tekan baik yang berasal dari dalam negeri maupun internasional.

Tujuan dari sintesa ini adalah menyediakan informasi dan teknologi untuk meningkatkan kualitas hutan alam produksi dalam rangka pemanfaatan hasil hutan yang optimal, rasional dan aman secara ekologis menuju pengelolaan hutan alam produksi yang lestari. Sasarannya adalah menghasilkan data/informasi dan teknologi tepat guna yang dapat diaplikasikan secara efektif dan efisien untuk meningkatkan kualitas hutan alam produksi. yaitu: pengklasifikasi tipologi hutan, rehabilitasi hutan yang rusak, pembinaan hutan untuk meningkatkan potensi dan kualitas hutan, informasi dinamika pertumbuhan tegakan hutan dan pengaturan hasil yang lestari. Penyusunan sintesis ini menggunakan metode systematic review.

Untuk mengembalikan kondisi hutan alam produksi seperti semula, diperlukan komitmen serius lintas sektoral dan usaha keras yang komprehensif. Hutan alam produksi yang sudah rusak harus segera direhabilitasi untuk meningkatkan produktifitas dan kualitasnya. Hutan alam produksi yang masih baik harus dikelola dengan hati-hati mengikuti kaidah-kaidah silvikultur yang sudah ditetapkan. Untuk menunjang dan memandu upaya dan usaha dalam pengelolaan hutan alam produksi tersebut perlu segera diciptakan teknologi-teknologi tepat guna sebagai dasar atau pedoman operasional di lapangan. Beberapa teknologi yang sangat mendesak diperlukan pada saat ini antara lain: (a) sistem silvikultur yang berlaku luwes, aman dan tepat; (b) teknik pengaturan hasil tebangan yang optimal dan rasional; (c) teknik penebangan di hutan alam yang ramah lingkungan; dan (d) teknik pembinaan tegakan tinggal yang praktis; dan teknik rehabilitasi hutan yang telah rusak. Teknologi tersebut yang telah dihasilkan dari RPI ini antara lain:

Page 4: sintesa hasil penelitian pengelolaan hutan alam produksi lestari

1. Inventarisasi tegakan pada areal hutan yang sangat luas dan beragam kondisi kerapatannya, maka metode penarikan contoh yang digunakan harus efektif dan efisien serta memberikan hasil dugaan potensi yang akurat. Salah satu cara yang dapat digunakan adalah menggunakan bantuan citra satelit dalam untuk melakukan stratifikasi sehingga intensitas sampling yang digunakan akan lebih kecil. Dengan stratifikasi citra satelit intensitas sampling yang dapat digunakan adalah sekitar 4% sedangkan apabila tidak digunakan startifikasi intensitas samplingnya sekitar 10-15%. Berdasarkan data pengambilan contoh di lapangan dan nilai pixel dari data digital citra satelit dapat disusun persamaan alometri berbentuk persamaan regresi sederhana untuk menduga potensi dan sebaran tegakan di aral hutan alam produksi dengan lebih cepat dan cukup akurat.

2. Sebagian besar IUPHHK tidak melaksanakan tahapan sistem silvikultur TPTI sesuai dengan pedoman. Dari tahapan TPTI yang ditetapkan pada umumnya tahap 1-4 dikerjakan dengan baik, tahap berikutnya kurang/tidak dikerjakan sesuai pedoman dengan berbagai alasan teknis dan ekonomis. Penyederhanaan tahapan TPTI menjadi 8 tahapan yaitu PAK, PWH, ITSP, Penebangan, ITT (pohon inti dan pohon sisa), pengkayaan (t+2),pembinaan I (t+5) dan pembinaan II (t+15) bisa menghemat biaya operasioan. Sebagai kunci pokok dalam tahapan tersebut adalah perlindungan dan pengamanan tiap tahun yang harus dilaksanakan. Pemanfaatan kayu dari hutan alam tidak boleh melebihi riap tegakannya dan sebaiknya jumlah pohon yang ditebang tidak melebihi 15 pohon per hektar.

3. Sistem silvikultur TPTJ-Silin mempunyai prospek yang baik untuk diterapkan secara operasional dalam rangka pengelolaan hutan alam produksi di LOA yang potensi tegakannya rendah atau di hutan rawang dengan potensi tegakan kurang 20 m3/ha, lokasi berdekatan dengan masyarakat agar ada pengakuan dari masyarakat bahwa hutan alam dikelola dengan baik sehingga tidak menjadi ajang perambahan lahan atau penebangan liar. Pemilihan jenis tanaman yang unggul dan pemeliharaan yang intensif menjadi kunci keberhasilannya, selain perlindungan dan pengamanan tegakan terhadap gaangguan.

4. Teknik pengkayaan yang intensif di areal bekas jalan sarad dengan menggunakan jenis S. leprosula dan S. parvifolia mampu tumbuh dengan baik. Tahapan selanjutnya yang perlu diperhatikan adalah penyiapan lubang tanam dengan pemberian top soil dan pupuk organik, serta pemeliharan secara intensif akan menghasilkan tanaman pengkayaan yang prospektif sebagai andalan pohon yang produktif pada rotasi berikutnya. Hasil penelitian awal menunjukkan bahwa persen jadi tanaman dan pertumbuhannya lebih baik dibandingkan dengan pengkayaan yang asal-asalan.

5. Pembinaan tegakan merupakan kegiatan dalam suatu pengelolaan hutan produksi yang paling utama, selain untuk meningkatkan riap atau produktivitas tegakan juga bertujuan untuk meningkatkan kualitas kayu/pohon yang akan diperoleh pada akhir rotasi. Namun demikian, dalam pengelolaan hutan alam sangat berlaku hukum ekonomi sebagai

Page 5: sintesa hasil penelitian pengelolaan hutan alam produksi lestari

akibat kendala ekologis, yaitu pembatasan produktivitas harus diimbangi dengan efisiensi penggunaan anggaran. Oleh karena itu, agar lebih efektif dan efisien dalam melakukan tindakan pembinaan tegakan tinggal, maka perlu dibatasi jumlah individu pohon yang dibebaskan. Pohon inti yang berdiameter 20-39 cm sebagai pohon penyusun tegakan dimasa depan perlu mendapatkan prioritas untuk dibina, prioritas berikutnya adalah permudaan tingkat tiang berdiamater 10–19 cm.

6. Keakuratan hasil kegiatan inventarisasi sangat didukung oleh ketersediaan perangkat pendugaan volume pohon dari setiap jenis pohon yang ada. Melalui penyusunan model pendugaan volume pohon dan sekaligus dihasilkan tabel volume pohon per jenis secara alometri terbukti menghasilkan dugaan volume yang cukup teliti dan sederhana sehingga dapat digunakan dalam praktek di lapangan.

7. Pertumbuhan tegakan tinggal di hutan alam produksi pada tebangan lebih dari 3 tahun, menunjukkan kondisi yang masih cukup baik, srtruktur tegakan berbentuk J terbalik, pohon berdiameter lebih dari 40 cm masih tersisa cukup, pohon inti lebih dari 25 pohon/ha, dan permudaan masih cukup tinggi dan riap diameter berkisar antara 0,5–1,8 cm/tahun di hutan tanah kering sedangkan di hutan tanah basah antar 0,39–0,43 cm/tahun. Hasilnya menggambarkan bahwa riap/pertumbuhan tegakan sangat bervariasi tergantung pada site dan kinerja unit pengelola serta keamanan dari hutan tersebut.

8. Hasil uji coba penanaman pada hutan alam produksi yang telah rusak, menunjukkan bahwa pemilihan jenis yang tepat merupakan kunci utama keberhasilan rehabilitasi, selain perlakuan silvikultur seperti penyiapan lahan, pemupukan dan pemeliharaan, serta waktu pelaksanaan penanaman. Pada lahan yang terbuka (tanah semak-belukar, dan bekas TPn) telah ditemukan indikator jenis yang mampu tumbuh dengan baik pada kondisi cahaya penuh yaitu: Dryobalanops aromatica, Hopea mangarawan, Hopea odorata dan Shorea belangeran, sungkai (Peronema canescens), nyatoh (Palaquium spp.), binuang bini (Octomeles sumatrana), nyawai (Ficus veriegata), linggua (Pterocarpus indicus) dan bintangur (Calophyllum soulattri). Jenis-jenis tersebut cocok juga jika ditanam di kiri-kanan jalan utama IUPHHK-HA.

9. Perlunya penyesuaian sistem silvikultur yang berbasis pada kondisi kawasan hutan dan karakteristik lingkungan setempat. Sistem tersebut harus berpedoman pada prinsip pengelolaan hutan lestari, yaitu menguntungkan secara ekonomis, dapat dipertanggungjawabkan secara ekologis, sosial dan tetap realistik mengarah pada kelestarian hutan, teknik pelaksanaan di lapangan sederhana, memiliki fungsi perlindungan terhadap lingkungan, dan memungkinkan adanya pengawasan di lapangan yang bisa dilaksanakan. Sistem silvikultur yang disarankan dapat digunakan pada penerapan Multisistem Silvikultur pada areal hutan produksi di areal IUPHHK terdiri dari TPTI, TPTJ, TPTJ-Silin, THPB dan THPB pola Agroforestry. Oleh karena itu, startegi penerapan sistem silvikultur di hutan alam produksi sebagai berikut: a. Kawasan yang aman dari perambahan dan illgal logging diterapkan

TPTI dan/atau TR. Jika ada lahan yang kosong, maka pemegang ijin

Page 6: sintesa hasil penelitian pengelolaan hutan alam produksi lestari

berkewajiban untuk merehabilitasinya dengan menanam jenis-jenis pohon yang mampu tumbuh dengan baik di kondisi lahan tersebut.

b. Kawasan hutan alam bekas tebangan dengan potensi tegakan yang rendah, rawan terhadap perambahan dan illegal logging diterapkan TPTJ-Silin.

c. Kawasan hutan alam bekas tebangan yang rusak (semak-belukar dan alang-alang) yang rawan terhadap perambahan diterapkan THPB dan dapat menerapkan sistem agroforestry.

Page 7: sintesa hasil penelitian pengelolaan hutan alam produksi lestari

DAFTAR ISI

Halaman KATA PENGANTAR ............................................................... i RINGKASAN ........................................................................... ii DAFTAR ISI ............................................................................. vi DAFTAR TABEL ..................................................................... vii DAFTAR GAMBAR ................................................................. viii DAFTAR LAMPIRAN .............................................................. x I. PENDAHULUAN .............................................................. 1 1.1. Latar Belakang ......................................................... 1 1.2. Rumusan Masalah ................................................... 3 1.3. Tujuan dan Sasaran ................................................. 6 1.4. Luaran/Output .......................................................... 7 II. METODE SINTESA ......................................................... 9 2.1. Kerangka Pikir .......................................................... 9 2.2. Metode ..................................................................... 10 2.3. Ruang Lingkup ......................................................... 11 III. HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................... 12 3.1. Kajian Klasifikasi Tipologi dan Potensi Sebaran

Hutan Produksi .......................................................... 12

3.2. Teknik Peningkatan Produktivitas Hutan Alam Produksi ....................................................................

19

3.3. Informasi Dinamika Pertumbuhan/Riap Tegakan di Hutan Alam Produksi ..............................................

54

3.4. Startegi Pengelolaan Hutan Alam Produksi ke Depan .................................................................

65

3.5. Kegiatan Penelitian Yang Diperlukan Untuk Yang Akan Datang ............................................................

75

IV. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ............................. 79 DAFTAR PUSTAKA ................................................................ 84 LAMPIRAN .............................................................................. 90

Page 8: sintesa hasil penelitian pengelolaan hutan alam produksi lestari

DAFTAR TABEL Nomor Halaman 3.1. Kesalahan sampling tanpa menggunakan stratifikasi . 16 3.2. Kesalahan sampling menggunakan stratifikasi .......... 16 3.3. Persamaan pendugaan potensi tegakan dengan

menggunanan citra satelit .......................................... 16

3.4. Jenis-jenis pohon yang cocok untuk ditanam di kiri-kanan jalan utama IPHHK -HA dan lahan kosong (bekas TPn) ...............................................................

28

3.5. Pertumbuhan jenis-jenis pohon pada sistem silvikultur Tebang Rumpang di Kintap, Kalimantan Selatan .......................................................................

54

3.6. Persamaan pendugaan volume pohon beberapa jenis pohon di hutan alam di Kalimantan ...................

57

3.7. Tabel volume lokal beberapa jenis kayu komersial pada beberapa lokasi di Papua .................................

59

3.8. Struktur tegakan di hutan alam produksi bekas tebangan ...................................................................

62

3.9. Riap diameter dan riap volume tegakan di hutan alam 62 3.10. Laju mortality, ingrowth dan upgrowth berdasarkan

kelas diameter untuk jenis-jenis pohon di hutan alam 65

Page 9: sintesa hasil penelitian pengelolaan hutan alam produksi lestari

DAFTAR GAMBAR Nomor Halaman

2.1 Kerangka pikir pengelolaan hutan alam ................. 9 3.1 Teknik klasifikasi tegakan dengan citra landsat ...... 14 3.2 Contoh hasil klasifikasi tajuk atau penutupan hutan 15 3.3 Kegiatan penelitian inventarisasi potensi tegakan .... 17 3.4 Filosofi pendugaan potensi tegakan dengan Indeks

Citra Landsat ........................................................... 18

3.5 Hasil simulasi model penduga potensi tegakan ..... 19 3.6 Kondisi hutan alam produksi dua tahun pasca

penebangan (LOA) ................................................... 20

3.7 Teknik pembuatan LRB di kiri-kanan dan lahan kosong (bekas jalan sarad, bekas TPn, bekas jalan cabang dan kiri-kanan jalan utama ..........................

27

3.8 Teknik penanaman meranti di jalan sarad ............... 30 3.9 Performan tanaman meranti hasil pengkayaan di

jalan sarad pada umur 3 tahun ................................ 31

3.10 Pembebasan tegakan tinggal .................................. 36 3.11 Kondisi hutan setelah tebang naungan dan

persiapan jalur tanam .............................................. 37

3.12 Tanaman umur 2 tahun di jalur tanam di PT SBK ... 39 3.13 Tanaman umur 4 tahun di jalur tanam di PT SBK ... 39 3.14 Kurva pertumbuhan diameter dan tinggi Shorea

leprosula di PT. Austral Byna, Kalimantan Tengah .. 40

3.15 Kondisi bibit cabutan dan persemaian untuk penanaman di TPTJ-Silin, Kalimantan Tengah .......

41

3.16 Kurva prediksi dan kurva harapan pertumbuhan diameter tanaman meranti di jalur tanam TPTJ-Silin di PT. SBK, Kalimantan Tengah ......................

43

3.17 Tanaman umur 9 tahun di jalur tanam di PT SBK, Kalimantan Tengah ..................................................

44

3.18 Kondisi hutan rawang yang ada di areal KHDTK Haurbentes, Jawa Barat ..........................................

45

Page 10: sintesa hasil penelitian pengelolaan hutan alam produksi lestari

3.19 Dryobalanops aromatica, Peronema canascens, Hopea mangarawan dan Shorea balangeran mampu tumbuh baik di tempat terbuka ..................

47

3.20 Pembuatan permudaan buatan di dalam Tebang Rumpang .................................................................

51

3.21 Pengambilan data pohon model (pohon contoh) ..... 56 3.22 Pengukuran pohon pada Petak Ukur Permanen

(PUP) ........................................................................ 61

3.23 Kurva riap tahun berjalan (CAI) diameter tegakan di hutan alam, Maluku ..............................................

63

3.24 Strategi penerapan sistem silvikultur di hutan alam produksi ..................................................................

75

Page 11: sintesa hasil penelitian pengelolaan hutan alam produksi lestari

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman 1. Karakteristik tempat tumbuh beberapa jenis

komersial yang sedang diamati pertumbuhannya .......... 91

2. Foto jenis-jenis tanaman umur 1 tahun yang sedang diuji tingkat pertumbuhan di Jalur tanam TPTJ-Silin, Kabupaten Barito Utara, Kalimantan Tengah ................

101

3. Shorea pinanga pada areal hutan alam bekas tebangan (a & b) dan area l semak belukar (c & d) di KHDTK Siali-ali, Kabupaten Padang Lawas-Sumatera Utara ...............................................................................

104

Page 12: sintesa hasil penelitian pengelolaan hutan alam produksi lestari

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Pada periode tahun 1980-1996 luas hutan Indonesia terjadi

penyusutan sebesar 20 juta hektar atau 1,7 juta hektar per tahun

dan tahun 1990-2010 mengalami penurunan dari 118 juta hektar

menjadi 94 juta hektar. Deforestasi Indonesia pada periode 2010-

2012 sebesar 450.637 hektar per tahun (Kemenhut, 2012).

Produksi kayu dari hutan alam dari kurun waktu 1994–2012 telah

terjadi penurunan. Tahun 1994 IUPHHK-HA masih dapat

berproduksi 17,31 juta m3, tetapi pada tahun 2012 hanya mampu

berproduksi 5,14 juta m3 (Kemenhut, 2012). Penurunan luas hutan

dan produksi kayu dari hutan alam berdampak pada penurunan

kontribusi sub sektor kehutanan terhadap Produk Domestik Bruto

(PDB) Indonesia. Tahun 1997 PDB sub sektor kehutanan

menyumbangkan 1,57%, tahun 2006 kontribusinya sebesar 0,90%

dan tahun 2012 kontibusinya turun menjadi 0,67% (Rukmantara,

2014).

Oleh karena itu, para pihak yang terlibat dalam pengelolaan

hutan alam produksi harus mempunyai komitmen untuk mengelola

hutan alam secara berkelanjutan. Pengelolaan sumber daya hutan

yang berkelanjutan pada dasarnya adalah pengelolaan hutan yang

terencana. Artinya, pada setiap level dan bentuk pengelolaan

sumber daya hutan harus dikelola berdasarkan suatu rencana

pengelolaan yang mengarah kepada pemanfaatan secara

menyeluruh, rasional, optimal, sesuai daya dukung, serta tidak

semata-mata berorientasi kepada pemanfaatan masa kini, tetapi

juga untuk menjamin kehidupan masa depan. Namun demikian,

Page 13: sintesa hasil penelitian pengelolaan hutan alam produksi lestari

2 kenyataannya sebagaian besar dari pengelolaan hutan alam yang

dilakukan saat ini masih kurang atau tidak mengarah para

pengelolaan hutan yang terencana sehingga dikawatirkan hutan

alam yang dikelola tidak akan terjamin kelestariannya di masa

depan. Kondisi ini telah diketahui dan diantisipasi oleh semua

pihak, baik di tingkat nasional maupun internasional. Secara

nasional, pemerintah Indonesia telah banyak mengeluarkan

kebijakan-kebijakan baik yang bersifat preventif maupun yang

bersifat represif, namun hasilnya masih belum signifikan. Oleh

karena itu, lembaga internasional mulai memberikan tekanan yang

lebih serius dalam pengelolaan hutan alam, diantaranya adalah

International Tropical Timber Organisation (ITTO) dan International

Monetary Fund (IMF). Sejak tahun 2000 telah dicanangkan

sebagai era ekolabel bagi produk-produk kayu yang berasal dari

negara yang memliki hutan tropis termasuk Indonesia.

Indonesia sebagai salah satu anggota ITTO yang ikut

menandatangani komitmen/kesepakatan ITTO Target 2000 di Bali,

bahwa Indonesia harus melaksanakan dan mengupayakan

pengelolaan hutan secara lestari, baik hutan tanaman maupun

hutan alam. Hal ini berarti mulai tahun 2000 semua produk kayu

dari Indonesia yang diperdagangkan harus berasal dari hutan yang

dikelola secara lestari (Pusdiklat, 2002). Sebenarnya masalah

kelestarian hutan sejak dari awal telah dijadikan azas dalam

pengelolaan hutan di Indonesia, hal itu tertuang dalam Undang-

Undang Pokok Kehutanan Nomor 5 tahun 1967, yang saat ini

sudah diperbaharuhi dengan Undang-Undang Kehutanan Nomor

41 tahun 1999, beserta peraturan-peraturan lain mengenai

pengelolaan hutan yang lestari. Namun dalam pelaksanaannya

Page 14: sintesa hasil penelitian pengelolaan hutan alam produksi lestari

3 masih jauh dari harapan, sehingga perlu dipacu dan dilaksanakan

secara lebih tegas dan terarah apabila masih mengharapkan

sumber devisa dari hasil hutan.

1.2. Rumusan Masalah

Permasalahan dalam pengelolaan hutan alam produksi tidak

hanya masalah teknis semata, tetapi banyak masalah-masalah

non-teknis yang mempengaruhi sehingga mengancam tujuan

pengelolaan hutan alam yang lestari. Permasalah non-teknis

antara lain: illegal logging, perambahan hutan, bencana alam,

euforia reformasi, otonomi daerah, kepastian kawasan, kepastian

usaha, dan lain-lain. Masalah yang satu dengan yang lain

umumnya saling berkaitan sehingga perlu diselesaikan secara

komprehensif; akan tetapi masalah-masalah non-teknis ini tidak

termasuk dalam cakupan RPI ini.

Seperti telah dijelaskan di muka, bahwa masalah teknis

dalam pengelolaan hutan alam produksi dikelompokkan

berdasarkan kondisi areal hutan yang ada saat ini, yaitu masalah

teknis pada hutan alam produksi yang masih dalam kondisi baik

(primer dan LOF yang masih produktif); hutan alam produksi yang

sudah kurang produktif; dan hutan alam produksi yang sudah rusak

menjadi belukar, alang-alang dan tanah kosong. Untuk mengatasi

masalah teknis di setiap kelompok kondisi hutan tersebut, maka

diperlukan teknologi yang dapat digunakan untuk mengatasi

masalah-masalah yang telah, sedang dan akan terjadi pada setiap

kondisi hutan yang dikelola.

Page 15: sintesa hasil penelitian pengelolaan hutan alam produksi lestari

4

Sampai saat ini teknologi yang tersedia untuk mengatasi

masalah-masalah teknis tersebut masih belum tepat dan praktis.

Teknologi yang sudah ada masih perlu disempurnakan agar lebih

baik lagi dan luwes untuk diterapkan. Tanpa dukungan teknologi

dari hasil penelitian/kajian, maka niscaya harapan pengelolaan

hutan alam lestari sulit untuk tercapai. Permasalahan teknologi

yang dimaksud antara lain:

1. Dinamika perubahan hutan alam produksi saat ini sangat cepat

sehingga sangat menyulitkan untuk mengetahui kondisi hutan

dan sebarannya dengan cepat dan akurat. Untuk itu diperlukan

penelitian/kajian untuk mendapatkan teknologi yang tepat

dalam melakukan klasifikasi tipologi, potensi dan sebaran

hutan alam produksi, sehingga dapat membantu menetapkan

kebijakan pengelolaan yang akan diputuskan.

2. Kondisi hutan alam produksi sangat beragam, ada

kecenderungan penggunaan sistem silvikultur yang tidak tepat,

sementara itu, sistem silvikultur yang telah tersedia masih

belum sempurna, terindikasi kurang efektif dan efisien

sehingga penerapannya tidak optimal untuk meningkatkan

kualitas hutan alam produksi. Untuk itu, perlu dilakukan

penelitian/pengkajian terhadap penerapan sistem silvikultur

yang telah ada, dan perlu pula diupayakan sistem silvikultur

alternatif yang sesuai dengan kondisi hutan dan lebih efektif

dan efisien dalam meningkatkan kualitas hutan alam produksi.

3. Hutan alam produksi yang telah rusak perlu direhabilitasi,

sementara itu teknologi dalam rangka rehabilitasi hutan alam

yang telah rusak saat ini belum lengkap tersedia, sehingga

Page 16: sintesa hasil penelitian pengelolaan hutan alam produksi lestari

5

untuk mengatasi hal ini pemerintah mengambil kebijakan/solusi

yang paling mudah, yaitu mengkonversi hutan alam menjadi

hutan tanaman monokultur, walaupun solusi ini sebenarnya

juga tidak salah ditinjau dari kebutuhan kayu yang sangat

mendesak sementara bahan baku dari hutan alam semakin

berkurang, dan pemerintah tidak mampu membiayai

rehabilitasi hutan alam yang sangat luas (mencapai lebih dari

15 juta hektar). Oleh karena itu, agar eksistensi hutan alam

tidak semakin berkurang, maka perlu diupayakan pencegahan

kerusakan hutan alam dan menyediakan teknologi rehabilitasi

hutan alam yang tepat, murah dan praktis sehingga hutan alam

dapat dikembalikan lagi sesuai dengan fungsinya semula.

4. Potensi dan pertumbuhan tegakan hutan alam harus

meningkat atau paling tidak sama antar rotasi tebang

berikutnya, salah satu upaya yang belum dilakukan dengan

baik adalah pembinaan tegakan tinggal pasca tebangan.

Teknologi pembinaan tegakan tinggal yang ada belum mampu

meningkatkan produktivitas tegakan bahkan cenderung kurang

efektif dan efisien. Untuk itu, perlu dilakukan penelitian dan

kajian terhadap teknik silvikultur khususnya teknik pembinaan

(pembebasan tegakan tinggal dan teknik pengayaan) yang

intensif, efektif dan efisien, sehingga pertumbuhan/riap tegakan

akan meningkat untuk rotasi tebang berikutnya.

5. Sistem pengaturan hasil yang berlaku saat ini di TPTI

menggunakan rumus 1/30 dari standing stock dengan asumsi

pertumbuhan hutan alam selalu sama, sementara itu kondisi

hutan saat ini sudah sangat berubah dan berbeda dengan

Page 17: sintesa hasil penelitian pengelolaan hutan alam produksi lestari

6

kondisi awalnya dengan riap tegakan yang berbeda untuk

setiap tapak (site) dan kondisi hutannya, sehingga ada

kecenderungan pemanfaatan hutan alam kurang rasional dan

optimal. Untuk itu, perlu dilakukan penelitian/kajian untuk

mendapatkan informasi yang akurat mengenai dinamika

pertumbuhan tegakan di hutan alam produksi yang dapat

dijadikan sebagai dasar dalam menetapkan preskripsi kunci

pengaturan hasil dan mendapatkan metode pengaturan hasil

yang paling tepat sesuai dengan kemampuan pertumbuhan

tegakan di tiap site dan unit manajemen, sehingga besarnya

kayu yang dipanen (etat) lebih optimal dan tidak melebihi

besarnya riap tegakan.

6. Jenis-jenis pohon di hutan alam sangat banyak dengan nilai

komersial yang cukup tinggi. Sampai saat ini baru

diperoleh/diketahui beberapa jenis unggul yang telah dikuasai

persyaratan tumbuh dan teknik silvikulturnya. Untuk itu, perlu

dilakukan penelitian yang lebih intensif untuk mendapatkan

jenis-jenis lainnya yang prospektif untuk dikembangkan pada

berbagai kondisi areal hutan produksi, sehingga hutan produksi

Indonesia mempunyai nilai kompetitif yang tinggi dalam

perdagangan kayu di dunia.

Penelitian-penelitian untuk mendukung tersusunnya teknologi yang

diperlukan di atas sebagian sudah dilakukan, sebagian sedang

dilakukan dan sebagian belum dilakukan.

1.3. Tujuan dan Sasaran

Tujuan yang ingin dicapai dari sintesa ini adalah menyediakan

informasi dan teknologi untuk meningkatkan kualitas hutan alam

Page 18: sintesa hasil penelitian pengelolaan hutan alam produksi lestari

7 produksi dalam rangka pemanfaatan hasil hutan yang optimal,

rasional dan aman secara ekologis menuju pengelolaan hutan

alam produksi yang lestari.

Sasaran yang hendak diwujudkan dalam RPI ini adalah

menghasilkan data/informasi dan teknologi tepat guna yang dapat

diaplikasikan secara efektif dan efisien untuk meningkatkan

kualitas hutan alam produksi. yaitu: pengklasifikasi tipologi hutan,

rehabilitasi hutan yang rusak, pembinaan hutan untuk

meningkatkan potensi dan kualitas hutan, informasi dinamika

pertumbuhan tegakan hutan dan pengaturan hasil yang lestari.

1.4. Luaran/Output Luaran/output yang diharapkan dari RPI ini dapat diperoleh

dari setiap kegiatan kajian/penelitian yang akan dilakukan antara

lain adalah:

1. Teknik pengklasifikasian tipologi hutan alam lahan kering, peta

klasifikasi tipologi, potensi dan sebaran hutan alam lahan kering,

untuk mempermudah menetapkan langkah kebijakan dalam

pengelolaannya.

2. Teknik rehabilitasi dan pembinaan hutan alam bekas tebangan

(LOF) yang tepat dan praktis sehingga mampu mengembalikan

fungsi dan kualitas hutan alam secara cepat dan ekonomis.

Penyempurnaan sistem silvikultur yang sudah operasional

(TPTI/TPTJ/TR) yang dapat digunakan dalam pengelolaan

hutan alam produksi.

3. Perangkat pengaturan hasil di hutan alam produksi meliputi:

model pendugaan volume pohon (tabel volume) jenis/kelompok

jenis pohon-pohon di hutan alam, teknik pendugaan cepat

Page 19: sintesa hasil penelitian pengelolaan hutan alam produksi lestari

8

potensi (inventarisasi) tegakan di hutan alam, model kuantifikasi

dinamika pertumbuhan (struktur tegakan) dan riap tegakan di

hutan alam dan pengaturan hasil di hutan alam.

Page 20: sintesa hasil penelitian pengelolaan hutan alam produksi lestari

9

II. METODOLOGI

2.1. Kerangka Pikir Saat ini kebutuhan teknologi pengelolaan hutan alam

produksi sudah sangat mendesak, maka dukungan hasil penelitian

untuk dapat menghasilkan teknologi yang tepat guna yang mampu

meningkatkan kembali kualitas hutan alam sebagai sumber bahan

baku kayu perlu segera diwujudkan.

Gambar 2.1. Kerangka pikir pengelolaan hutan alam

Berdasarkan Roadmap dan Program Badan Litbang Kehutanan

tahun 2010‒2014 dalam upaya pengelolaan hutan alam adalah

yang berkaitan dengan: (1) teknologi pengklasifikasian tipologi

kondisi hutan alam produksi; (2) teknik rehabilitasi hutan untuk

Page 21: sintesa hasil penelitian pengelolaan hutan alam produksi lestari

10 mengembalikan fungsi hutan baik fungsi produksi, fungsi ekologi

maupun fungsi sosial; (3) teknik pembinaan intensif untuk

meningkatkan kualitas pertumbuhan hutan; (4) kajian-sistem-

sistem silvikultur yang tepat sesuai dengan site dan kondisi hutan;

(5) teknik pengaturan hasil yang mengakomodasi kondisi dan

dinamika pertumbuhan tegakan hutan yang dikelola.

2.2. Metode Untuk memberikan arah yang jelas dalam penyusunan

sintesis sesuai dengan tujuan yang diharapkan, maka

metodologinya menggunakan metode systematic review.

Systematic review adalah suatu metode penelitian untuk

melakukan identifikasi, evaluasi dan interpretasi terhadap semua

hasil penelitian yang relevan terkait permasalahan, topik tertentu

dan fenomena yang menjadi perhatian. Pada prinsipnya

systematic review merupakan metode penelitian yang merangkum

hasil-hasil penelitian primer untuk menyajikan fakta yang lebih

komprehensif dan berimbang melalui analisis deduktif dan induktif.

Dalam metode systematic review dilakukan meta-analisis yaitu

salah satu cara untuk melakukan sintesa hasil secara teknik

kuantitatif, dan juga melakukan sintesis hasil melalui teknik naratif.

Systematic review akan sangat bermanfaat untuk melakukan

sintesis dari berbagai hasil penelitian yang relevan dengan

pengelolaan hutan alam produksi lestari, sehingga fakta yang

disajikan kepada penentu kebijakan menjadi lebih komprehensif

dan berimbang.

Fokus analisis sintesa dalam RPI ini dilakukan di kawasan

hutan alam produksi yang pada saat ini masih terdapat unit-unit

Page 22: sintesa hasil penelitian pengelolaan hutan alam produksi lestari

11 pengelolaan hutan alam produksi dalam bentuk Ijin Usaha

Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Alam (IUPHHK-HA) yang

potensial dan cukup representatif terhadap keterwakilan adanya

Unit Pelaksana Tugas Badan Penelitian dan Pengembangan

Kehutanan.

2.3. Ruang Lingkup Sintesa hasil penelitian ini mencakup beberapa hal yang

berkaitan dengan permasalahan yang menyebabkan menurunnya

kuantitas dan kualitas hutan alam sehingga apabila permasalahan

tersebut tidak segera diatasi, maka tujuan pengelolaan hutan alam

lestari tidak akan tercapai. Berdasarkan hal tersebut, maka ruang

lingkupnya dititikberatkan pada beberapa aspek yang diperlukan

dalam pengelolaan hutan alam produksi yang lestari, meliputi

hutan alam produksi yang masih primer, hutan alam produksi

bekas tebangan (LOF) yang masih baik, LOF yang kurang produktif

maupun LOF yang sudah terdegradasi/rusak berupa belukar atau

alang-alang di kawasan hutan alam produksi baik yang telah

dikelola melalui ijin pemanfaatan.

Page 23: sintesa hasil penelitian pengelolaan hutan alam produksi lestari

12

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

Aspek-aspek penelitian yang tercakup dalam RPI ini pada

umumnya adalah penelitian yang berjangka panjang. Namun

demikian secara bertahap dapat dihasilkan data dan informasi

antara walaupun masih bersifat sementara sudah dapat

dimanfaatkan sebagai bahan untuk menyusun kebijakan teknis

dalam rangka pengelolaan hutan alam produksi yang lestari.

Sampai dengan tahun kelima (tahun 2014) dari taget lima tahun

pertama (tahap 1), telah dihasilkan data dan informasi hasil

penelitian yang mengindikasikan hasil penelitian yang prospektif

walaupun secara keseluruhan masing terdapat banyak kekurangan

yang perlu disempurnakan.

Hutan alam produksi termasuk hutan yang sangat rentan

terhadap perubahan lingkungan, produktivitasnyapun sangat

rendah. Oleh karena itu, dalam pemanfaatan hutan alam produksi

diperlukan suatu teknologi dari hasil penelitian yang praktis, tepat

dan akurat agar hutan yang dikelola tetap lestari dengan

produktivitas meningkat sehingga memberikan manfaat ekonomi

untuk kesejahteraan masyarakat.

3.1. Kajian Klasifikasi Tipologi dan Potensi sebaran Hutan

Produksi Dalam inventarisasi tegakan pada areal hutan yang sangat

luas dan beragam kondisi kerapatannya, maka metode penarikan

contoh yang digunakan harus efektif dan efisien serta memberikan

hasil dugaan potensi yang akurat. Salah satu cara yang dapat

digunakan adalah menggunakan bantuan citra satelit untuk

Page 24: sintesa hasil penelitian pengelolaan hutan alam produksi lestari

13 melakukan stratifikasi sehingga intensitas sampling yang

digunakan akan lebih kecil. Adapun tujuan kajian/penelitian teknik

inventarisasi potensi tegakan menggunakan kombinasi antara citra

satelit dan cara teristris adalah:

1. Mendapatkan gambaran sampai sejauhmana sebaran kelas

kerapatan tegakan (spatial) dengan ciri kerapatan jumlah pohon

atau massa tegakannya dapat dideteksi oleh citra satelit

(Landsat ETM, SPOT, Radarsat, Ikonos atau Quickbird).

2. Mendapat suatu teknik/metode/kunci pengenalan kerapatan

hutan pada citra satelit tersebut yang cukup memadai untuk

dipakai sebagai alat menstratifikasi dalam kegiatan inventarisasi

hutan.

3. Sasaran yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah tersedianya

metode stratifikasi hutan alam untuk kegiatan inventarisasi

hutan.

Penggunaan citra satelit cukup relevan karena hal-hal berikut:

1. penggunaan citra satelit di lapangan sudah umum dilakukan

oleh para pengelola pengusahaan hutan,

2. kemudahan memperoleh data tersebut di pasar,

3. data citra satelit yang ada dapat ditemui dalam bentuk data

digital maupun hasil cetakan,

4. data satelit direkam dalam berbagai gelombang yang mana

setiap gelombang mencirikan selang kemampuan obyek-obyek

dalam memantulkan cahaya,

5. perekaman data dilakukan secara teratur sehingga

ketersediaan data terkini sangat memungkinkan untuk diperoleh

dengan mudah di pasar.

Page 25: sintesa hasil penelitian pengelolaan hutan alam produksi lestari

14 Secara sederhana prinsip atau pendekatan yang dapat dilakukan

dalam melaksanakan teknik inventarisasi mengunakan bantuan

citra satelit dan validasi teristris adalah sebagai berikut:

METODOLOGIMETODOLOGI

CITRA SATELIT KLASIFIKASI GROUNDCHECK

Jumlah Kelas/Strata

Jumlah Sample/Plot

Teknik Inventarisasi

Gambar 3.1. Teknik klasifikasi tegakan dengan citra landsat

Setelah data terkumpul maka analisis selanjutkan dapat

dilakukan sebagai berikut:

1. Pengolahan Awal Citra (Interpretasi Visual Citra Satelit,

Pemilihan kombinasi band terbaik, Koreksi Radiometrik dan

Geometrik)

2. Pengolahan Citra Satelit (Klasifikasi Citra Digital Satelit,

Klasifikasi Terbimbing)

3. Persamaan Regresi pendugaan potensi (N dan V) dengan

peubah bebas Nilai Band (DN)

4. %10005,0 x

XSext

SE =

Page 26: sintesa hasil penelitian pengelolaan hutan alam produksi lestari

15

Hasil analisis menunjukkan bahwa dengan stratifikasi citra

satelit intensitas sampling yang dapat digunakan adalah 4%

sedangkan apabila tidak digunakan startifikasi intensitas

samplingnya 10-15%. Berdasarkan data pengambilan contoh di

lapangan dan nilai-nilai pixel dari data digital citra satelit dapat

disusun persamaan alometri berbentuk persamaan regresi

sederhana untuk menduga potensi dan sebaran tegakan di areal

hutan alam produksi dengan lebih cepat dan cukup akurat,

dibandingkan dengan inventarisasi secara manual atau teristris

saja pada intensitas sampling yang sama kesalahan samplingnya

bisa lebih besar mencapai 1,5 kalinya, bahkan kalau kesalahan

samplingnya samapun cara kombinasi ini lebih unggul dalam

kecepatan waktu pelaksanaan, lebih mudah dan tentunya lebih

hemat dalam biaya.

SKALA 1 : 1000000

Gambar 3.2. Contoh hasil klasifikasi tajuk atau penutupan hutan

Page 27: sintesa hasil penelitian pengelolaan hutan alam produksi lestari

16 Tabel 3.1. Kesalahan sampling tanpa menggunakan stratifikasi

Intensitas sampling (%)

Kesalahan dugaan (%) Jumlah batang (N) Volume (V)

20

10

4

2

16,50

18,32

21,58

22,19

14,35

16,91

23,33

23,92

Tabel 3.2. Kesalahan sampling menggunakan stratifikasi

Intensitas sampling (%)

Kesalahan dugaan (%)

Jumlah batang (N) Volume (V) 20

10

4

2

12,87

13,98

16,84

22,01

12,73

13,51

14,04

23,61 Adapun rumus yang dapat digunakan dalam menduga potensi

tegakan berdasarkan citra satelit (Tabel 3.3).

Tabel 3.3. Persamaan pendugaan potensi tegakan dengan menggunanan citra satelit

Lokasi Persamaan Koefisien determinasi

PT. Sindo Lumber Kalimantan Tengah

V = 1240,229 + 6,135 B5 – 33,589 B4 + 11,808 B3 0,913

N = 1172,308 + 0,198 B5 – 30,714 B4 + 16,118 B3 0,432

PT. Segara Indochem Kalimantan Timur

V = 887,455 + 4,134 B5 – 15,647 B4 + 2,856 B3 0,958

N = 713,484 + 4,373 B5 + 3,147 B4 – 9,598 B3 0,319

Secara umum rumus pendugaan potensi menggunakan cara

digital citra setelit tersebut cukup baik khususnya dalam menduga

Page 28: sintesa hasil penelitian pengelolaan hutan alam produksi lestari

17 potensi tegakan, namun untuk menduga jumlah batang masih

diperlukan modifikasi atau perbaikan model yang lebih akurat lagi,

disamping itu dalam penampilan citra memang sangatlah sulit

untuk mengetahui jumlah pohon dalam suatu penampilan

penutupan tajuk, ini satu kelemahan yang perlu dicarikan solusinya

lebih lajut.

Gambar 3.3. Kegiatan penelitian inventarisasi potensi tegakan Metode klasifikasi tipologi dengan citra landsat dapat

menggunakan indeks vegetasi dan indeks tanah. Kedua indeks ini

kemudian dikorelasikan dengan hasil survey potensi pada petak-

petak pengamatan berukuran 30 x 30 m. Berdasarkan Gambar 3.4,

maka wilayah berhutan lebat jika NDVI lebih dari 0 dan cenderung

turun begitu mendekati +1. Sementara indeks tanah berada pada

angka 80-150. Hasil overlay kedua indeks ini akan dibangun model

penduga statistika dengan basis data GCP (Ground Check Point).

Adapun persamaan penduga NDVI dan BI adalah sebagai berikut:

Page 29: sintesa hasil penelitian pengelolaan hutan alam produksi lestari

18 1. NDVI è

2. BI è

Gambar 3.4. Filosofi pendugaan potensi tegakan dengan Indeks

Citra Landsat

Model penduga potensi tegakan yang dihasilkan sebagai berikut:

Dimana X = indeks hasil overlay NDVI dan BI.

Adapun hasil simulasi model statistik disajikan pada Gambar 3.5.

Berdasarkan model tersebut dapat dihasilkan sebaran potensi

tegakan.

Kerapatan Tegakan

NDVI

(BI)

-1 (0)

+1 (200) +0 (100)

Page 30: sintesa hasil penelitian pengelolaan hutan alam produksi lestari

19

Gambar 3.5. Hasil simulasi model penduga potensi tegakan

3.2. Teknik Peningkatan Produktivitas Hutan Alam Produksi

Kondisi hutan alam lahan kering sangat beragam. Penerapan

sistem silvikultur pada suatu areal hutan alam akan menentukan

tingkat produktivitas hutan. Hasil-hasil penelitian yang telah diteliti

dalam RPI ini diharapkan bisa memberikan informasi dan

rekomendasi dalam pengelolaan hutan alam produksi yang tepat

sesuai dengan karakteristik tipologi hutannya. Sistem silvikultur

yang dikaji meliputi sistem silvikultur TPTI, TPTJ-Silin dan Tebang

Rumpang.

3.2.1. Sistem Silvikultur TPTI

Dalam pengelolaan hutan alam produksi salah satu kunci

keberhasilannya adalah dalam pemilihan sistem silkultur yang tepat

serta penerapannya secara konsekuen. Sistem silvikultur TPTI

adalah salah satu sistem silvikultur yang digunakan dalam

pemanfaatan hutan alam produksi. Namun karena kondisi hutan

alam di Indonesia sangat beragam, maka penggunaan sistem

Page 31: sintesa hasil penelitian pengelolaan hutan alam produksi lestari

20 silvikultur TPTI yang berlaku seringkali menemukan banyak

masalah. Berdasarkan kajian/penelitian menunjukkan bahwa

sebagian besar IUPHHK tidak melaksanakan tahapan sistem

silvikultur TPTI sesuai dengan pedoman. Dari 11 tahapan TPTI

yang ditetapkan pada umumnya hanya tahap 1‒4 dikerjakan

dengan baik, selebihnya tahap 5‒11 berikutnya kurang/tidak

dikerjakan sesuai pedoman dengan berbagai alasan teknis dan

ekonomis.

Gambar 3.6. Kondisi hutan alam produksi dua tahun pasca

penebangan (LOA) Tahapan yang penting dalam rangka penerapan sistem

silvikultur TPTI adalah pembinaan tegakan tinggal belum atau

bahkan tidak dilaksanakan di lapangan, padahal tegakan tinggal

adalah merupakan aset utama tegakan pada rotasi mendatang.

Kondisi tegakan setelah tebangan umumnya (sampai t+5) masih

sangat baik dan cukup potensial sebagai standing stock rotasi

berikutnya (tegakan sisa, pohon inti dan permudaan). Hal ini dapat

dilihat dari hasil inventarisasi tegakan tinggal (ITT). Namun kondisi

LOA setelah t+5 umumnya mulai rusak, kurang terpelihara dan

kurang terjaga, hal ini ditunjukkan oleh kerapatan dan potensinya

yang cenderung menurun, serta ditunjukkan oleh banyaknya

Page 32: sintesa hasil penelitian pengelolaan hutan alam produksi lestari

21 penebangan-penebangan liar di lapangan dan pengelola tidak

mampu mencegahnya.

Pembinaan tegakan tinggal yang seharusnya merupakan

kunci utama dalam upaya peningkatan produktivitas hutan juga

belum dilaksanakan secara konsisten di lapangan. Hasil

penelusuran melalui data pengambilan contoh di lapangan dan

dialog dengan pengelola diperoleh informasi bahwa kegiatan

pembinaan tegakan tinggal memang belum atau hanya sedikit

dilakukan, selain belum dikuasainya teknik-teknik pembinaan

tegakan, mereka juga menilai prakteknya cukup sulit dan kurang

bisa terukur kinerjanya di lapangan serta mereka masih

menganggap dis-insentive. Hal ini sebenarnya mengingkari

komitmen yang sudah disepakati sewaktu mereka mengajukan

permohonan IUPHHK. Sementara itu hasil pengamatan terhadap

tahapan pasca tebangan terutama pedoman atau petunjuk teknis

pembinaan tegakan tinggal yang terdapat dalam pedoman TPTI

dan pelaksanaannya di lapangan terdapat hal-hal yang sekiranya

perlu dikaji dan disempurnakan.

Berdasarkan hasil kajian dari 7 kegiatan tahapan pasca

tebangan, beberapa kegiatan nampaknya bisa diringkas atau

disatukan, diantaranya adalah perapihan dan ITT. Dalam kegiatan

ini intinya hanya untuk mengetahui areal-areal mana yang

sekiranya akan dilakukan tindakan atau kegiatan yang lebih intensif

khususnya tindakan silvikulutur pengayaan. Sedangkan tindakan

pembebasan sebaiknya dilakukan hanya dua kali saja. Pertama

yaitu ketika tanaman hasil pengayaan sudah cukup besar dan

perlu dilakukan seleksi, dan dilaksanakan sekaligus bersamaan

dengan tindakan pembebaan pohon-pohon binaan yang prospektif.

Page 33: sintesa hasil penelitian pengelolaan hutan alam produksi lestari

22 Pembebasan yang kedua, dilakukan apabila tanaman pengkayaan

dan pohon-pohon binaan terseleksi sudah mulai menunjukkan

penurunan riapnya yaitu ketika terjadi persaingan antar tajuk

dengan pohon-pohon lain di sekitarnya. Tindakan silvikultur

penjarangan sudah tidak diperlukan lagi, selain karena sudah

terakomodasikan dalam tahap pembebasan kedua juga untuk

efisiensi biaya sementara hasil penjarangan juga belum jelas

pemanfatannya, bahkan apabila dilakukan penjarangan cenderung

akan dapat menyebabkan kerusakan tegakan yang sudah dibina

dengan baik. Mengingat sebaran dan kondisi tegakan hutan alam

yang berpola acak dengan struktur tajuk yang berlapis-lapis, tidak

seperti tegakan di hutan tanaman yang teratur sehingga mudah

diantisipasi dalam pelaksanaan penjarangannya.

Oleh karena itu, berdasarkan hasil penelitian ini disarankan

untuk dapat dilakukan penyederhankan tahapan TPTI yaitu

menjadi 8 tahapan yaitu PAK, PWH, ITSP, Penebangan, ITT (t+1),

Pengkayaan (t+2), Pembinaan I (t+5) dan Pembinaan II (t+10), dan

ditambahkan tahapan perlindungan dan pengamanan. Saran-saran

ini telah terakomodir dalam penyempurnaan pedoman TPTI tahun

2010 sebagaimana tertuang dalam Keputusan Dirjen BPK No.

P.9/BPK/2009.

Tahapan penebangan dalam sistem silvikultur TPTI semata-

mata bukan hanya bertujuan untuk memanen kayu saja tetapi

sebenarnya adalah suatu tindakan silvikultur yang bertujuan untuk

meningkatkan produktivitas dari suatu kondisi hutan alam produksi

yang sudah mencapai pertumbuhan klimak dimana pada kondisi ini

riap tegakan sudah sangat kecil atau sama dengan nol. Mengingat

struktur tegakan hutan alam klimak yang padat dan berlapis-lapis

Page 34: sintesa hasil penelitian pengelolaan hutan alam produksi lestari

23 dan terdiri dari pohon tua, dewasa dan muda, maka perlu segera

dilakukan pembebasan atau penjarangan agar pohon-pohon yang

dewasa dan pohon-pohon muda yang prospektif mendapatkan

peluang untuk tumbuh lebih cepat dan lebih baik. Pohon-pohon tua

yang sudah miskin riap bisa dimanfaatkan secara ekonomi

daripada nantinya mati dan membusuk di dalam hutan tak

termanfaatkan. Tindakan pemanfaatan kayu pada kondisi hutan

yang telah optimal/klimak ini tidak lain adalah penebangan/

pemanenan karena dari hasil kegiatan ini pohon-pohon yang

ditebang adalah pohon-pohon yang berdiameter besar dan

mempunyai nilai ekonomis untuk dimanfaatkan.

Mengingat kondisi hutan alam produksi (virgin) umumnya

sangat rapat, dimana letak dan posisi pohon per pohon tersebar

acak, maka dalam proses pemanfaatan menggunakan teknik

merebahkan pohon, menyarad dan mengangkut melalui darat,

tidak bisa dihindari terjadinya kerusakan tegakan tinggal, bahkan

pada tempat-tempat tertentu akan terbuka seperti bekas jalan/jalur

sarad, jalan cabang dan tempat penimbunan kayu sementara.

Demikian pula pada tempat-tempat tertentu yang pemanfaatan

kayunya cukup intensif sebagai akibat pola sebaran pohon yang

terkadang bisa juga mengumpul pada satu tempat, maka pasca

pemanenan kondisinya akan sangat terbuka dan biasanya

permudaannya juga akan sangat kurang ketika belum terjadi masa

berbuah sewaktu pemanenan dilakukan. Oleh karena itu, untuk

memperbaiki kondisi pasca pemanenan ini sekaligus sebagai

upaya untuk meningkatkan produktivitas tegakan hutan alam

menjadi lebih baik dari kondisi semula sebelum pemanenan

Page 35: sintesa hasil penelitian pengelolaan hutan alam produksi lestari

24 dilakukan, maka diperlukan tindakan-tindakan silvikultur

diantaranya adalah pengayaan dan pembebasan tegakan tinggal.

Pengayaan adalah suatu tindakan silvikultur untuk menanami

kembali areal-areal terbuka pasca penebangan menggunakan

jenis-jenis pohon yang unggul dan prospektif mempunyai nilai

ekonomi tinggi diantaranya pada areal-areal bekas jalan sarad dan

bekas TPn. Kegiatan ini sebenarnya identik dengan kegiatan

rehabilitasi areal hutan yang rusak, namun pemberdaannya pada

lokasi kegiatannya. Kegiatan pengayaan dilakukan pada petak-

petak pasca dilakukan penebangan, sedangkan rehabilitasi

dilakukan pada areal hutan yang telah lama rusak dari berbagai

sebab antara lain illegal logging, kebakaran dan perambahan

hutan. Mengingat kondisi fisik dan kesuburan tanah pada lokasi-

lokasi tersebut sudah kurang baik, umumnya tanahnya padat,

topsoil mengelupas dan kesuburan tanah rendah atau miskin hara,

maka untuk melaksanakan pengayaan harus dilakukan

menggunakan teknik silvikultur yang tepat agar tanamana hasil

pengayaan dapat hidup dan tumbuh dengan baik sebagai aset

tegakan masa depan.

Berkenaan dengan telah terbitnya Permenhut Nomor

P.11/Menhut-II/2009, dimana telah diputuskan untuk menurunkan

limit diameter tebang dari 50 cm menjadi 40 cm di hutan alam

produksi lahan kering, maka dapat dipastikan akan meningkatkan

jumlah kayu yang dimanfaatkan atau jumlah pohon yang ditebang

apabila tidak hati-hati di dalam pelaksanaan penebangan.

Akibatnya kerusakan tegakan tinggal akan semakin tinggi dengan

areal yang terbuka menjadi lebih luas. Menurut Heriansyah (2012)

bahwa dampak pemanenan kayu dengan limit diameter 40 cm

Page 36: sintesa hasil penelitian pengelolaan hutan alam produksi lestari

25 telah menimbulkan banyak pohon-pohon yang rusak, sehingga

tegakan tinggal menjadi tegakan yang kurang produktif dan jauh

dari harapan. Pemanenan kayu baik di hutan primer maupun di

hutan bekas tebangan menyisakan hutan produksi yang sulit untuk

dipulihkan kembali. Tingkat kerusakan yang terjadi akibat

pemanenan lebih dari 40%.

Sesungguhnya, penurunan limit diameter tidak masalah dan

tidak bertentangan dengan kaidah ilmiah dalam PHAPL, karena di

hutan alam banyak terdapat pohon-pohon tua dan bernilai ekonomi

tinggi, tetapi diameternya tidak besar atau kurang dari 40 cm.

Namun demikian, mengingat adanya korelasi yang positif antara

jumlah pohon yang ditebang dengan kerusakan tegakan tinggal,

maka haruslah dilakukan antisipasi agar tidak terjadi kerusakan

yang dapat mengancam kelestarian hutan, antara lain dengan

membatasi jumlah pohon yang ditebang dan/atau membatasi

jumlah produksi kayu agar tidak melebihi riap tegakan dengan

membatasi jumlah pohon yang ditebang tidak melebihi 15 pohon

per hektar. Oleh karena itu, penurunan limit diameter pohon yang

bisa ditebang tidak bisa diterapkan di semua tipe hutan alam, perlu

memperhatikan karakteristik dan kondisi hutan alamnya. Tidak

harus semua diameter pohon komersial di atas 40 cm ditebang

semua, prioritaskan diameter pohon yang besar-besar terlebih

dahulu.

Mengingat insentif yang diberikan berupa penurunan limit

diameter tebang, maka seyogyanya ada kompensasi yang harus

diberikan oleh pemegang IUPHHK-HA, yaitu jaminan kelestarian

hutan alam produksi yang salah satunya adalah aktualisasi nyata

kegiatan re-investasi berupa penanaman di areal-areal kosong

Page 37: sintesa hasil penelitian pengelolaan hutan alam produksi lestari

26 sebagai kewajiban melakukan pengayaan intensif di hutan bekas

tebangan khususnya pada areal-areal yang terbuka seperti bekas

jalan sarad, bekas TPn dan kiri-kanan jalan utama.

Kondisi lahan di bekas jalan sarad, bekas TPn dan kiri-kanan

jalan utama pada umumnya mengalami kerusakan adalah sifat

fisik, kimia dan biologi yang disebabkan oleh pemadatan, erosi dan

hilangnya top soil. Sifat fisik tanah yang mengalami kerusakan

akibat penyaradan kayu di hutan alam antara lain pemadatan

tanah dan permiabilitas tanah (Rab, 2004), porositas tanah (Muhdi,

2001; Najafi et al., 2009), kandungan air. Sifat kimia tanah juga

terpengaruh oleh aktivitas pemanenan. Pembuatan jalan sarad dan

TPn menyebabkan penurunan kesuburan tanah akibat hilangnya

bahan organik di lapisan top soil, erosi tanah, miskin hara dan

kehilangan permudaan alami yang relatif besar di areal bekas jalan

sarad (Elias, 2008). Hilangnya bahan organik dapat berdampak

terhadap populasi dan aktivitas mikroorganisme tanah (Makineci et

al., 2007).

Untuk itu, teknologi yang efektif untuk merehabilitasi dan

pengkayaan di lahan-lahan yang mengalami pemadatan seperti di

areal bekas jalan sarad, bekas TPn dan kiri-kanan jalan utama

dengan menerapkan teknik kombinasi antara pembuatan guludan

(cross drain) dan Lubang Resapan Berpori (LRB). Teknik ini

mampu menurunkan pemadatan tanah di sekitar tanaman,

mengurangi erosi, meningkatkan resapan air, meningkatkan

kesuburan tanah dan menurunkan aliran permukaan. Hasilnya

berdampak positif terhadap peningkatan geometri akar (akar

tanaman berkembang dengan baik) dan pertumbuhan meranti

meningkat secara signifikan (Prameswari, 2014). Lebih lanjut

Page 38: sintesa hasil penelitian pengelolaan hutan alam produksi lestari

27 Prameswari (2014) menyatakan bahwa bangunan guludan dibuat

setiap 40 m dengan lebar guludan 4 m dan tinggi 1 m. Agar

bangunan guludan tidak mudah berubah posisi, maka diperkuat

dengan papan untuk mengurangi limpasan air. Untuk membuat

LRB, maka teknik pembuatannya sebagai berikut:

a. Lubang tanam berukuran 30 x 40 x 40 m (ukuran lubang 40 x 40

dengan kedalaman lubang 30 cm).

b. Lubang tanam diisi top soil sebanyak volume lubang tanam.

c. LRB dibuat sebanyak 4 buah dengan jarak 25 cm dari tanaman.

Ukuran LRB berdiameter 10 cm dengan kedalaman 50 cm. LRB

diisi kompos/serasah hutan yang berfungsi untuk sarana

menampung limpasan air, menambah kesuburan tanah dan

meningkatkan kapasitas memegang air (Gambar 3.7).

Pembuatan LRB bersamaan saat pembutan lubang tanam.

d. Jarak tanam di kiri-kanan jalan 2 m x 5 m, lahan kosong (bekas

TPn 2 m x 3 m), jalan sarad dan jalan cabang 3 m x 3 m.

Gambar 3.7. Teknik pembuatan LRB di kiri-kanan dan lahan kosong (bekas jalan sarad, bekas TPn, bekas jalan cabang dan kiri-kanan jalan utama

Lubang Resapan Berpori (LRB)

Tanaman

Page 39: sintesa hasil penelitian pengelolaan hutan alam produksi lestari

28 e. Jenis-jenis pohon yang cocok untuk ditanam di kiri-kanan jalan

dan lahan kosong (bekas TPn) disajikan pada Tabel 3.4.

Tabel 3.4. Jenis-jenis pohon yang cocok untuk ditanam di kiri-kanan jalan utama IPHHK-HA dan lahan kosong (bekas TPn)

No. Jenis pohon Famili Jenis tanah Tekstur tanah

Tipe Iklim

Ketinggian tempat (m dpl)

A. Kelompok Dipterocarpaceae:

1. Kapur (Dryobalanops aromatica)

Dipterocarpaceae - Aluvial - Tanah liat berpasir

A, B 60 – 400

2. Merawan (Hopea mengarawan Miq.)

Dipterocarpaceae - Tanah berpasir, tanah liat atau tanah berbatu

A, B ≤ 1.000

3. Hopea odorata Dipterocarpaceae Tanah berpasir, tanah liat atau tanah berbatu

A, B ≤ 1.000

B. Kelompok Non Dipterocarpaceae:

1. Nyatoh (Palaquium spp.)

Sapotaceae Tanah berpasir, tanah liat A 20 – 500

2. Sungkai (Peronema canescens Jack.)

Verbenaceae Tanah berpasir, tanah liat A, B, C ≤ 600

3. Gmelina (Gmelina arborea Roxb.)

Verbenaceae Tanah lembab, drainase baik

A, B, C ≤ 800

4. Mahoni daun kecil (Swietenia mahagoni)

Meliaceae Tanah liat dan tanah berpasir

A, B, C 50 – 1.000

5. Pulai (Alstonia scholaris R.Br.)

Apocynaceae Tanah liat dan tanah berpasir yang kering atau digenangi air dan lereng bukit berbatu

A, B, C ≤ 1.000

6. Agathis (Agathis dammara A.B. Lamb)

Araucariaceae Tanah berpasir, berbatu-batu atau liat yang selamanya tidak tergenangi air

A, B ≤1.700

7. Nyawai (Ficus variegata Bl.)

Moraceae - Aluvial lembab A, B ≤ 1.500

8. Binuang bini (Octomeles sumatrana Miq.)

Datiscaceae -Tanah liat,tanah liat berpasir

A, B, C ≤ 600

9. Sengon (Falcataria molucana)

Leguminosae -Aluvial, podsolik - Tanah liat, tanah liat

berpasir

A, B ≤ 1.000

10. Jabon putih (Antocepalus cadamba Miq.)

Rubiaceae - Aluvial lembab - Tanah liat, tanah lempung - Podsolik coklat, tanah tuf

halus atau tanah lempung berbatu yang tidak sarang

A,B,C ≤ 600

11. Puspa (Schima walichii Korth.)

Theaceae Tidak memilih keadaan tekstur dan kesuburan tanah

A, B, C 250–1.600

Sumber:Martawijaya et al. (2005); Darwo & Effendi (2013); Darwo et al. (2014)

Page 40: sintesa hasil penelitian pengelolaan hutan alam produksi lestari

29

Hal lain yang perlu diperhatikan untuk mendukung

keberhasilan pengkayaan adalah menyediakan bibit yang baik.

Bibit yang ditanam pada kegiatan pengkayaan di IUPHHK-HA

masih menggunakan bibit cabutan alam. Keberhasilan pembuatan

bibit cabutan masih rendah. Untuk itu, hasil penelitian Darwo

(2004) menyatakan bahwa teknik pengemasan bibit dan teknik

pembuatan sungkup mampu menghasilkan persen tumbuh bibit

cabutan di atas 80%. Tata cara pengemasan bibit dan pembuatan

sungkup sebagai berikut:

a. Material bibit cabutan berupa anakan yang berdaun lebih dari 2

daun sampai tinggi anakan kurang dari 30 cm.

b. Material anakan alam dari lapangan digunting sebagian

daunnya untuk mengurangi penguapan.

c. Jika material anakan akan dibawa jauh (butuh waktu

diperjalanan 1-4 hari), maka material anakan dibalut dengan

kertas koran basah dan dimasukan dalam kardus yang telah

dilapisi plastik untuk mengurangi penguapan.

d. Cari lokasi tegakan yang teduh dengan kelembaban udara di

atas 80%.

e. Siapkan polybag berisi media top soil berukuran 17 x 20 cm.

f. Polybag disiram sampai jenuh.

g. Anakan langsung ditanam dalam polybag tanpa diberi

perangsang pertumbuhan dan bibit disiram kembali, lalu

disungkup dengan plastik benih sampai rapat.

h. Periksa sungkup setiap hari, jika dalam sungkup plastik

tersebut banyak embun air (titik-titik air), maka kelembaban

udara masih di atas 80%. Selama embun tersebut tetap

Page 41: sintesa hasil penelitian pengelolaan hutan alam produksi lestari

30

banyak, maka sungkup tidak boleh dibuka dan tidak perlu

disiram.

i. Jika sungkup ada yang bolong terkena ranting yang jatuh,

sungkup plastik tersbut ditambal dengan selotif benih.

j. Jika embun dalam sungkup tersebut sedikit, segera disiram

bibit tersebut sampai jenuh dan sungkup ditutup rapat.

k. Sungkup plastik bisa dibuka setelah bibit tumbuh daun baru

lebih dari 4 helai (dibutuhkan waktu 3 bulan).

l. Sungkup plastik dibuka selama 4 bulan.

m. Setelah bibit berumur 7 bulan, maka bibit sudah siap ditanam

di lapangan.

Hasil ujicoba pengkayaan di areal bekas lajan sarad dengan

menggunakan meranti (Shorea leprosula, S. Johoriensis dan S.

parvifolia). Teknik silvikultur yang diterapkannya yaitu

menggunakan tinggi bibit 50-70 cm, lubang tanam 30 x 40 x 40 cm

dan diberi topsoil sebanyak volume lubang tanam (Gambar 3.8).

Gambar 3.8. Teknik penanaman meranti di jalan sarad

Page 42: sintesa hasil penelitian pengelolaan hutan alam produksi lestari

31

Tanaman meranti pada umur 3 tahun persen hidup 80%,

diameter antara 6–10 cm (MAI diameter 2,0–3,3 cm/tahun) dan

tinggi mencapai 6–10 meter (MAI tinggi riap 2–3,3 m/tahun).

Kondisi pertumbuhan tanaman tersebut sangat memberikan

harapan sebagai aset tegakan di masa yang akan datang (rotasi

berikutnya) (Gambar 3.9.). Penelitian akan diteruskan untuk

melihat perkembangan tajuk dan riap (MAI dan CAI) sebagai dasar

penetapan waktu penjarangan dilakukan.

Gambar 3.9. Performan tanaman meranti hasil pengkayaan di jalan

sarad pada umur 3 tahun Hasil penelitian melalui teknik pengkayaan intensif di bekas

jalan sarad dan bekas TPn cukup memberikan harapan

peningkatan produktivitas hutan alam produksi di masa yang akan

datang. Disamping itu, pengkayaan intensif di bekas jalan sarad

dan bekas TPn mempunyai beberapa kelebihan dibandingkan

dengan kegiatan sejenis misalkan TPTJ-Silin, yaitu:

a. Biaya lebih rendah, karena tidak diperlukan pembuatan jalur

tanam, jalur tanam sudah tersedia yaitu bekas jalan sarad dan

TPn.

Page 43: sintesa hasil penelitian pengelolaan hutan alam produksi lestari

32 b. Bentuk/pola jalan/jalur sarad mengikuti kontur sehingga secara

ekologi lebih tepat.

c. Ukuran lebar jalan/jalur sarad cukup ideal dan optimal untuk

pertumbuhan tanaman Dipterocarpaceae (meranti) yaitu sekitar

5-6 meter.

d. Penanaman/pengkayaan di bekas jalan sarad akan mencegah

terjadinya erosi, mencegah akses pencuri kayu dan perambah

masuk ke dalam hutan, dan tentunya meningkatkan

produktivitas hutan alam produksi.

f. Penanaman pengkayaan di bekas jalan sarad dan bekas TPn

merupakan bentuk kompensasi terhadap insentif penurunan limit

diameter tebang (> 40 cm), sehingga sudah selayaknya dan

sepantasnya pengelola melaksanakan re-investasi dalam bentuk

penanaman pengkayaan di bekas jalan sarad dan bekas TPn.

g. Hasil pengkayaan di bekas jalan sarad dan bekas TPn dapat

dijadikan indikator atau tolok ukur utama keberhasilan/kinerja

PHAPL dalam sertifikasi mandatory atau voluntury.

h. Setiap petak tebang dibuatkan peta sebaran pengkayaan di

bekas jalan sarad, di lapangan diberi tanda-tanda yang jelas

sebagai pengumuman terhadap pengelolaan hutan.

i. Menurut Elias (2002), pasca tebangan TPTI dengan sistem

konvensional mengakibatkan keterbukaan tajuk antara 28‒45%,

termasuk di dalamnya adalah luas jalan sarad 4‒6% (luas jalan

sarad 400‒600 m2 per hektar luas hutan bekas tebangan)

(Ruslim, 2011). Jika dibandingkan dengan TPTJ-Silin

keterbukaan tajuk bisa mencapai >70%.

j. Teknik silvikultur yang dapat diterapkan adalah Teknik

Pengkayaan Intensif, dengan beberapa perlakuan untuk

Page 44: sintesa hasil penelitian pengelolaan hutan alam produksi lestari

33

meningkatkan kualitas pertumbuhan tanaman di bekas jalan

sarad dan bekas TPn. Menurut Darwo et al. (2014), bekas jalan

sarad dapat dilakukan pengkayaan dengan menggunakan S.

leprosula sebanyak dua larikan dengan jarak tanam 3 m x 3 m

dan pola tanam selang-seling (zig-zag). maka jumlah pohon

yang bisa ditanam antara 44-66 pohon per hektar.

k. Perkiraan produksi akhir rotasi (khusus di bekas jalan sarad)

adalah dengan asumsi riap diameter pada akhir daur 30 tahun

sebesar 1,33 cm/tahun (1 m3/pohon) dan persen hidup 60%,

maka akan diperoleh tambahan potensi tegakan dari bekas jalan

sarad antara 26-39 m3/ha pada siklus tebang 30 tahun.

Untuk lebih memantapkan hasil penelitian ini, maka

pengamatan akan diteruskan sampai mendapatkan teknik

pengkayaan, khususnya teknik pembinaan sehingga diperoleh

hasil tanaman pengkayaan yang maksimal sebagai potensi

tegakan pada rotasi yang akan datang.

Selain kegiatan pengkayaan intensif, kegiatan lainnya yang

sangat diperlukan dalam upaya peningkatan produktivitas tegakan

tinggal (pasca penebangan) adalah kegiatan pembebasan tegakan

tinggal. Kegiatan ini dilakukan untuk membebaskan permudaan

alam baik berupa pohon dewasa dan pohon muda, yang

mempunyai prospek sebagai pohon-pohon penyusun tegakan yang

akan dimanfaatkan pada rotasi yang akan datang. Pembebasan

yang dimaksudkan adalah menebang pohon-pohon yang

mengganggu pohon-pohon binaan baik terhadap persaingan untuk

mendapatkan hara tanah (horizontal) maupun terhadap cahaya

matahari (vertikal).

Page 45: sintesa hasil penelitian pengelolaan hutan alam produksi lestari

34

Teknik pembebasan yang telah dilakukan adalah melakukan

peneresan terhadap pohon-pohon yang berdiameter besar (>20

cm) dan/atau dengan menebang terhadap pohon-pohon yang

berdiameter kecil, dan diamati efektifitasnya untuk mendapatkan

ukuran dan kadar arborisida yang paling tepat dan aman terhadap

lingkungan. Jumlah pohon yang dibina/dibebaskan adalah dipilih

pohon-pohon yang mempunyai prospek tumbuh mencapai limit

diameter tebang sesuai ketentuan TPTI yaitu ≥ 40 cm. Pohon-

pohon yang ditebang agar tidak menimbulkan kerusakan tegakan

yang bisa ditolerir yaitu tidak melebihi kerusakan tegakan tinggal

lebih dari 40%. Diharapkan akan diperoleh jumlah pohon inti yang

memadai sehingga akan menghasilkan tegakan pada akhir daur

dengan potensi yang cukup tinggi serta kualtitas kayu yang baik

(besar dan lurus). Teknik pembebasan yang digunakan adalah

kombinasi pembebasan horisontal dan vertikal. Teknik ini telah

diujicobakan sebelumnya dan menunjukkan hasil peningkatan

pertumbuhan tegakan yang paling optimal. Jumlah pohon yang

ditebang tergantung pada posisinya terhadap pohon binaan, intinya

bahwa pohon binaan tajuknya tidak ternaungi oleh tajuk pohon di

sekitarnya.

Hasil penelitian teknik pembebasan tegakan menunjukan

bahwa teknik pembebasan (horisontal + vertikal) nampaknya cukup

prospetif untuk menghasilkan riap/pertumbuhan diameter yang

cukup meningkat mencapai lebih dari 1 cm/tahun, dibandingkan

dengan tanpa tindakan pembebasan yang umumnya kurang dari

0,7 cm/tahun. Pohon-pohon berdiameter 10‒20 cm menunjukkan

pertumbuhan yang meningkat lebih tinggi dibandingkan dengan

pohon-pohon berdiameter lebih dari 20 cm. Hal ini disebabkan

Page 46: sintesa hasil penelitian pengelolaan hutan alam produksi lestari

35 pohon-pohon yang masih muda berada dalam phase pertumbuhan

yang cepat dibanding pohon-pohon berdiameter lebih dari 20 cm.

Namun demikian, ada juga diameter pohon yang berukuran kurang

dari 20 cm pertumbuhannya lambat, hal ini dikarenakan telah lama

ternaungi oleh pohon-pohon yang besar di sekitarnya sebelum

penebangan, dan kemungkinan pohon-pohon ini sudah berumur

tua. Sedangkan jumlah pohon tidak menunjukkan perbedaan yang

signifikan terhadap kecepatan pertumbuhan tegakan, artinya

berapapun jumlah pohon per hektar dari yang diujicobakan yang

menjadikan penyebab perbedaan kecepatan pertumbuhan adalah

ukuran diameter pohon dan posisi tajuk yang terbebas dari pohon-

pohon di sekitarnya. Riap tegakan pada perlakuan pembebasan

untuk jenis Dipterocarpaceae sekitar 1,4 cm/tahun, sedangkan

non-Dipterocarpaceae sekitar 0,6 cm/tahun. Namun, ada juga

ditempat lain seperti hasil penelitian Abdurachman (2012)

menyatakan bahwa antara perlakuan pembebasan, penjarangan

dan kontrol tidak mempengaruhi riap diameter pohon dengan rata-

rata riap diameter pohon untuk kelompok komersial sebesar 0,65

cm/tahun dan kelompok non komersial sebesar 0,33 cm/tahun.

Oleh karena itu, dalam pelaksanaan kegiatan pembebasan

sebaiknya hanya dipilih pohon-pohon prospektif yang masih muda

untuk dibebaskan, tidak terpaku pada jumlahnya, hanya saja

sebaiknya diupayakan tersebar merata dalam satu petak tebang,

dan disesuaikan dengan jumlah pohon yang akan ditebang di akhir

rotasi yang menimbulkan kerusakan minimal, dalam hal ini

pembebasan 25 pohon per hektar bisa menjadikan pilihan.

Page 47: sintesa hasil penelitian pengelolaan hutan alam produksi lestari

36

Gambar 3.10. Pembebasan tegakan tinggal

Hanya saja beberapa teknik yang lebih tepat dan efisien

masih perlu dilakukan penelitian dan kajian lanjutan agar diperoleh

perlakuan yang terbaik dalam rangka peningkatan produktivitas

tegakan di hutan alam produksi bekas tebangan, khususnya teknik

pengkayaan intensif dan teknik pembinaan tegakan yang intensif.

Sistem silvikultur TPTI jika diterapkan sesuai dengan aturan

yang ada, maka kelestarian hutan alam produksi dapat terwujud

dengan memperhatikan tiga aspek, yaitu fungsi produksi, ekologi

dan sosial. Prinsip dasar yang diterapkan dalam mengelola hutan

alam melalui sistem silvikultur TPTI adalah pemanenan kayu tidak

boleh melampaui produktivitas hutannya (riap tegakan). Jika para

pemegang ijin berkomitmen menjalankan prinsip tersebut, maka

hutan alam akan tetap lestari.

3.2.2. Sistem Silvikultur TPTJ-Silin

Selain TPTI pada saat ini telah dikembangkan sistem

silvikultur baru yaitu Sistem silvikultur TPTJ (TPTII). Penelitian ini

hampir sama dengan penelitian TPTI yaitu mengkaji semua

Page 48: sintesa hasil penelitian pengelolaan hutan alam produksi lestari

37 tahapan TPTJ-Silin ditinjau dari aspek teknis, ekonomis dan

ekologis.

Berdasarkan kajian secara teknis hasil penelitian

menunjukkan bahwa walaupun secara teori yang telah dituangkan

dalam pedoman pelaksanaan cukup jelas dan mudah untuk

dilaksanakan, baik dari tahap perencanaan, tahap pembukaan

naungan, penyiapan jalur tanam, penanaman, pemeliharaan dan

pemanenan, namun kenyataan dalam praktek di lapangan

diperlukan keahlian, keseriusan dan kehati-hatian yang cukup

tinggi. Diperlukan perencanaan yang sangat matang dalam rangka

pembukaan naungan sebagai upaya memberikan peluang

masuknya cahaya yang lebih optimal guna memacu pertumbuhan

tanaman khususnya di jalur tanam. Kondisi topografi dan

kemiringan lahan haruslah menjadikan pertimbangan yang sangat

serius, agar pelaksanaan operasional tebang naungan tidak

menimbulkan kerusakan, baik tegakan tinggal (jalur antara)

maupun kerusakan lingkungan (Gambar 3.11).

Gambar 3.11. Kondisi hutan setelah tebang naungan dan persiapan jalur tanam

Page 49: sintesa hasil penelitian pengelolaan hutan alam produksi lestari

38

Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan hal-hal yang

masih belum secara serius mengupayakan kerusakan tegakan

yang minimal, kerusakan tegakan tinggal khususnya di jalur antara

masih sangat tinggi bisa mencapai lebih 60%, pohon-pohon yang

tersisa di jalur tanam kondisinya sangat memprihatikan karena

tertimpa pohon-pohon sebagai akibat pembuatan jalur tanam yang

sekedar merobohkannya ke jalur antara. Karena jarak antara dua

jalur tanam yang hanya sekitar 20 meter, maka akibat

penebangan/pembuatan jalur tanam ini, maka jalur antara menjadi

semakin parah. Dampaknya pada akhir rotasi akan menimbulkan

menurunya potensi kayu di jalur antara. Demikian pula penyiapan

jalur bersih 3 meter sebagai jalur tanam yang lurus memotong

kontur harus dilaksanakan secara hati-hati. Walaupun disebut

sebagai jalur bersih bukan berarti tumbuhan bawah harus

dibersihkan sampai hanya kelihatan tanahnya saja. Praktek di

lapangan menunjukkan hal-hal yang demikian, umumnya dibuat

bersih dengan membabat dan mendongkel tanaman/tumbuhan

bawah yang terdapat di jalur tanam. Ini cukup membahayakan

akan menyebabkan erosi yang cukup tinggi khususnya pada areal

dengan lereng yang curam. Hal ini terbukti dari hasil penelitian

yang menunjukkan terjadi peningkatan erosi menjadi lebih dari dua

kali dibandingkan dengan areal yang tidak dibabat. Pada tahun

ketiga pasca penanaman jalur terjadi erosi sebesar 0,279

ton/ha/tahun, sedangkan di jalur antara hanya sekitar 0,114

ton/ha/tahun. Namun, erosi yang terjadi di jalur bersih sampai

kemiringan lahan kurang dari 15% di TPTJ-Silin dengan kondisi

tebal solum tanah kurang dari 30 cm termasuk kategori tingkat

bahaya erosi yang aman.

Page 50: sintesa hasil penelitian pengelolaan hutan alam produksi lestari

39

Gambar 3.12. Tanaman umur 2 tahun di jalur tanam di PT. SBK

Gambar 3.13. Tanaman umur 4 tahun di jalur tanam di PT. SBK

Hasil pengamatan pertumbuhan tanaman di jalur tanam pada

awal-awal penanaman sangat memberikan harapan yang sangat

signifikan. Persen jadi tanaman mencapai lebih dari 90 persen

sampai tanaman berumur tiga tahun dengan riap pertumbuhan

diameter lebih dari 3 cm/tahun. Namun demikian, setelah tanaman

berumur lebih dari tiga tahun, percepatan pertumbuhan tanaman

mulai menurun, dan sangat terlihat nyata pada tanaman berumur

lebih dari lima tahun. Data hasil pengamatan di lapangan terhadap

tanaman yang berumur lebih dari lima tahun, baik di PT Sari Bumi

Kusuma maupun di PT. Erna Juliawati menunjukan pertumbuhan

riap diameter tanaman mulai menurun (1,6 cm/tahun) (Gambar

Page 51: sintesa hasil penelitian pengelolaan hutan alam produksi lestari

40 3,12 dan 3,13). Hasil penelitian kawasan hutan alam produksi di

Kabupaten Barito Utara, Kalimantan Tengah menunjukkan bahwa

pada umur 4 tahun, tanaman di jalur tanam pada TPTJ-Silin terjadi

perpotongan riap tahun berjalan (CAI) dan riap rata-rata tahunan

(MAI) (Gambar 3.14). TPTJ-Silin ini dilaksanakan pada hutan alam

bekas tebangan (LOA) dengan potensi tegakan yang tinggi (baik).

Gambar 3.14. Kurva pertumbuhan diameter dan tinggi Shorea

leprosula jalur tanam TPTJ-Silin di Kabupaten Barito Utara, Kalimantan Tengah

Oleh karena itu, setelah umur 4 tahun perlu dilakukan

pelebaran jalur tanam agar pertumbuhan diameter dan tinggi

tanaman meningkat. Hal ini disebabkan telah terjadi persaingan,

baik persaingan untuk mendapatkan sinar matahari maupun dalam

mengambil unsur hara. Tajuk-tajuk pohon yang berada di kanan-

kiri jalur tanam sudah mulai menutupi jalur tanam, akibatnya sinar

matahari semakin sedikit yang masuk ke jalur tanaman. Apabila

tidak dilakukan tindakan silvikultur berupa pembukaan naungan

lebih lebar, maka kerugian terhadap tegakan hutan alam sudah

pasti akan terjadi yaitu tanaman jalur sebagai andalan potensi

Umur (tahun)

Page 52: sintesa hasil penelitian pengelolaan hutan alam produksi lestari

41 tegakan di masa depan tidak akan terwujud. Dalam waktu singkat

bisa menimbulkan degradasi hutan alam sebagai akibat penerapan

TPTJ-Silin yang tidak menggunakan teknik silvikultur yang tepat.

Gambar 3.15. Kondisi bibit cabutan dan persemaian untuk penanaman di TPTJ-Silin, Kalimantan Tengah

Berdasarkan hasil kajian ini disarankan untuk memperjelas

persyaratan areal yang akan dilakukan untuk sistem silvikultur

TPTJ-Silin. Sistem silvikultur TPTJ-Silin diperlukan pembukaan

tajuk secara bertahap hingga mencapai 60% agar tanaman di jalur

tanam dapat tumbuh secara maksimal (Herdiansyah, 2008).

Persyaratan lainnya yang perlu diperhatikan adalah topografi

dengan kemiringan lahan maksimal 25%, dan apabila terdapat

suatu bagian areal yang mempunyai lereng > 25%, maka

sebaiknya TPTJ-Silin di lokasi tersebut tidak dilakukan untuk

menghindari resiko yang mungkin terjadi seperti erosi dan

kerusakan lingkungan lainnya yang lebih parah. Selain itu,

disarankan untuk menyempurnakan teknik-teknik silvikultur yang

diterapkan dalam TPTJ-Silin seperti jumlah jalur tanam dari 5 jalur

menjadi 3 jalur, dan lebar jalur tanam supaya diperlebar secara

bertahap mengikuti perkembangan pertumbuhan tegakan atau

Page 53: sintesa hasil penelitian pengelolaan hutan alam produksi lestari

42 sesuai kebutuhan sinar matahari. Selanjutnya perlu dipilih jenis-

jenis pohon unggulan setempat yang mampu tumbuh cepat

dengan intensitas sinar matahari yang rendah. Bibit tanaman

segera dihasilkan dari stek pucuk yang terjamin asal pohon induk

plus dan hindari menggunakan bibit cabutan alami asalan dan

waktu pengambilan yang sudah jauh dari masa berbuahnya

(cabutan tua).

Saat ini di areal TPTJ-Silin sedang dilakukan pengamatan

tingkat pertumbuhannya untuk jenis Shorea leprosula, S.

mecisopteryx, S. palembanica, S. parvifolia, S. smithiana, Hopea

odorata, Dryobalanops aromatica., Vatica resak, nyatoh (Palaquim

sp.), nyawai (Ficus variegate), binuang bini (Octomeles

sumatrana), dan Sungkai (Peronema canescens). Karaketeristik

tempat tumbuh dan kegunaan jenis-jenis tersebut disajikan pada

Lampiran 1. Foto uji jenis di areal TPTJ-Silin, Kabupaten Barito

Utara-Kalimantan Tengah dapat dilihat pada Lampiran 2,

sedangkan hasil penanaman di areal hutan alam bekas tebangan

di Kabupaten Padang Lawas, Sumatera Utara dapat dilihat pada

Lampiran 3.

Hasil penelitian tanaman S. lepeosula di jalur tanam pada

TPTJ-Silin jika diterapkan di LOA yang baik dengan lebar jalur

bersih 3 m, rata-rata diameter tegakan akan mencapai 35 cm pada

akhir daur 25 tahun sehingga target diameter tegakan di atas 40

cm pada daur 25 tahun tidak bisa tercapai. Padahal S. leprosula

jika ditanam pada kondisi keterbukaan tajuk yang tepat diameter

tegakan bisa mencapai 55 cm pada daur tebang 25 tahun dan

untuk mencapai diameter tegakan 50 cm dibutuhkan waktu 21

tahun (Gambar 3.16). Apabila TPTJ-Silin di LOA yang baik dan

Page 54: sintesa hasil penelitian pengelolaan hutan alam produksi lestari

43 melakukan pelebaran jalur tanam secara bertahap, maka akan

beresiko terjadi kerusakan tegakan di jalur antara maupun dijalur

tanam dan akan menambah biaya operasional.

Gambar 3.16. Kurva prediksi dan kurva harapan pertumbuhan

diameter tegakan S. leprosula di jalur tanam TPTJ-Silin

Saran penerapan sistem silvikultur TPTJ-Silin sebaiknya tidak

dilakukan di hutan alam bekas tebangan (LOA) dalam kondisi yang

baik, mestinya TPTJ-Silin diterapkan pada kondisi LOA sedang dan

bahkan bisa diterapkan di hutan rawang (potensi tegakan < 20

m3/ha).

Page 55: sintesa hasil penelitian pengelolaan hutan alam produksi lestari

44

Gambar 3.17. Tanaman umur 9 tahun di jalur tanam di PT. SBK,

Kalimantan Tengah Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara teknis hutan

rawang bisa pulihkan asalkan faktor non teknis bisa atasi (seperti:

perambahan, kebakaran, konflik lahan serta gangguan lainnya).

Untuk merehabilitasi hutan rawang dengan menggunakan jenis-

jenis andalan setempat. Pola tanamnya menggunakan sistem

jalur, yaitu jalur bersih (jalur tanam) selebar 2 m, jalur antara 3 m

dan jarak antar tanaman dalam jalur tanam 2,5 m sehingga jarak

tanamnya 2,5 m x 5 m (jumlah tanaman 800 tanaman per hektar).

Karakteristik tempat tumbuh hutan rawang yang ada di

KHDTK Haurbentes sebagai berikut:

1. Lokasi berada pada ketinggian ± 250 m dpl dan jenis tanah

termasuk Podsolik.

2. Berdasarkan klasifikasi Schmidt dan Ferguson, termasuk tipe

curah hujan A dengan tidak memiliki bulan kering. Rata-rata

curah hujan tahunan 4.276 mm/tahun dengan curah hujan

tertinggi jatuh pada bulan April (475 mm/bulan) dan terendah

pada bulan Agustus (199 mm/bulan). Rata-rata suhu tertinggi

28ºC dan terendah 23ºC; kelembaban udara antara 70-83%;

dan intensitas cahaya antara 9.000–20.600 lux.

Page 56: sintesa hasil penelitian pengelolaan hutan alam produksi lestari

45 3. Jenis-jenis yang sedang diujikan adalah Shorea leprosula, S.

pinanga, S. mecistopteryx, S. selanica, S. palembanica, S.

Stenoptera Burma., S. stenoptera Burck., H. mangarawan,

Dipterocarpus sp. dan V. resak. Sampai umur 1 tahun, jenis-

jenis tersebut mampu tumbuh baik di hutan rawang. Kondisi

hutan rawang dapat dilihat pada Gambar 3.18.

Gambar 3.18. Kondisi hutan rawang yang ada di areal KHDTK

Haurbentes, Jawa Barat

Selanjutnya pada lahan kosong dan lahan tidak produktif

lainnya di hutan alam produksi perlu direhabilitasi. Ada beberapa

areal hutan alam bekas tebangan yang perlu direhabilitasi yaitu

areal bekas TPn, bekas jalan cabang, kiri-kanan jalan utama,

bekas perladangan dan semak belukar. Pemilihan jenis yang tepat

merupakan kunci utama keberhasilan rehabilitasi, selain perlakuan

silvikultur seperti penyiapan lahan, pemupukan dan pemeliharaan,

serta waktu pelaksanaan penanaman yang tepat.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis-jenis yang cocok

untuk merehabiliasi di areal bekas TPn dan kiri-kanan jalan utama

Page 57: sintesa hasil penelitian pengelolaan hutan alam produksi lestari

46 dapat menggunakan jenis Dryobalanops aromatica, Hopea

mangarawan, Hopea odorata, sungkai (Peronema canescens),

nyatoh (Palaquium sp.) dan gmelina (Gmelina arborea) (Darwo et

al., 2014). Jika jenis-jenis tersebut akan dikembangkan di areal

tersebut, maka persyaratan tempat tumbuh menjadi mutlak harus

diperhatikan.

Untuk areal bekas perladangan dan semak belukar dapat juga

menggunakan jenis-jenis yang sama seperti di areal bekas jalan

sarad, bekas TPn dan kiri-kanan jalan utama (Tabel 3.4). Hasil

penelitian Irawan (2014) menunjukkan bahwa rehabilitasi di areal

semak belukar muda di Kabupaten Bolaangmondow Utara,

Provinsi Sulawesi Utara pada ketinggian 412 m dpl dapat

menggunakan jenis bintangur (Calophyllum soulattri Bruu.f.var.),

nantu (Palaquium obtusifolium Burck.) dan linggua (Pterocarpus

indicus Willd.). Ketiga jenis tersebut mampu tumbuh baik dengan

persen hidup di atas 80% pada umur 12 bulan. Aswandi et al.

(2014) menyatakan bahwa rehabilitasi di areal terbuka terdegradasi

pada kondisi tipe iklim C di KHDTK Siali-ali, Kabupaten Pandang

Lawas, Provinsi Sumatera Utara dapat menggunakan jenis mahoni

(Swietenia macrophylla). Pada areal terbuka di lahan gambut dan

peralihan lahan gambut dapat menggunakan Shorea belangeran

(Gambar 3.19). Jenis Dipterocarpaceae (Dryobalanops aromatica,

Hopea mangarawan, Hopea odorata dan Shorea belangeran)

mampu tumbuh baik di areal terbuka. Keempat jenis tersebut

memiliki karakterisitk berdaun tebal dan mengkilap permukaannya.

Karakteristik tempat tumbuh dan kegunaan dari jenis-jenis tersebut

disajikan pada Lampiran 1.

Page 58: sintesa hasil penelitian pengelolaan hutan alam produksi lestari

47

. Kapur (Dryobalanops aromatica) Sungkai (Peronema canescens)

Hopea mangarawan S. balangeran di lahan Gambut

Gambar 3.19. Dryobalanops aromatica, Peronema canascens, Hopea mangarawan dan Shorea balangeran mampu tumbuh baik di tempat terbuka

3.2.3. Sistsem silvikultur Tebang Rumpang

Sistem tebang rumpang (TR) merupakan hasil kajian dan

ujicoba Balai Teknologi Reboisasi Banjarbaru sejak 1985 di Hutan

Penelitian Kintap, Kalimantan Selatan. Sistem TR ini sering disebut

juga sebagai ”Gap Simulation System”. Sistem Tebang Rumpang

Page 59: sintesa hasil penelitian pengelolaan hutan alam produksi lestari

48 ini berbasis permudaan alami, dan menjadi salah satu sistem yang

ditawarkan kepada pemerintah untuk dijadikan suatu sistem

silvikultur alternatif untuk pengelolaan hutan alam produksi

(Sagala, 1994). Sistem TR ini pada awal pembentukannya

dilakukan pada areal hutan yang relatif masih primer, dimana

permudaan alami jenis-jenis primer masih tidak menjadi masalah.

Pada areal hutan yang telah terfragmentasi berat, TR ini belum

diujicoba secara tuntas. Pada saat ini, apakah tebang rumpang

berbasis permudaan alami ini masih efekif untuk areal hutan yang

telah terfragmentasi. Pertanyaan ini, perlu dijawab melalui

serangkaian ujicoba kembali TR di areal hutan yang telah

terfragmentasi berat, dimana keberadaan permudaan alami jenis

primer menjadi kendala.

Apapun sistem silvikutultur yang digunakan pada dasarnya

adalah menciptakan ruang-ruang terbuka di dalam hutan. Ruang-

ruang terbuka tersebut dapat menjadi suatu triger bagi

keberlangsungan proses dinamika hutan yang lebih cepat, tetapi

dapat menjadi penghancur keberlangsungan proses dinamika

hutan yang ada. Semua itu sangat tergantung dari luas, bentuk

dan pola penyebaran ruang terbuka yang tercipta, serta tergantung

dari kualitas ruang terbuka bagi perkembangan regenerasi

(Brokaw, 1985). Hutan produksi dengan misi ekonomi dan ekologi yang sama

pentingnya dapat diterapkan sistem slivikultur TR . Dalam hal ini

yang dapat direkayasa adalah ”spatial rumpang”, bukan struktur

dan komposisi tegakan hutan seperti pada sistim silvikultur tebang

pilih (Sagala, 1999; Panjaitan dan Supriadi, 2004). Rumpang (gap)

merupakan pembukaan kanopi hutan yang disebabkan oleh

Page 60: sintesa hasil penelitian pengelolaan hutan alam produksi lestari

49 tumbangnya satu atau lebih pohon. Hal ini adalah bentuk utama

dari gangguan alami (disturbance) dalam suatu sistem hutan alam.

Rumpang ini memainkan peranan penting dalam ekologi hutan

yaitu pengaturan keanekaragaman dalam hutan, mempengaruhi

siklus hara, dan memfasilitasi proses suksesi.

Bukaan kanopi hutan (rumpang) akan memfasilitasi cahaya

untuk mencapai lantai hutan. Cahaya yang sampai lantai hutan ini

sangat berperan dalam regenerasi alam (Hu, et al., 2010).

Rumpang ini akan membentuk mosaik yang kontinyu sebagai

suatu proses dari regenerasi hutan. Penelitian Amir (2012)

menunjukkan proses regenerasi hutan berupa mosaik rumpang

akan mencapai 25,5 ± 6,9 tahun. Hal tersbut menunjukkan bahwa

dinamika rumpang akan mewujudkan kondisi hutan yang lestari.

Rumpang adalah faktor kunci dalam regenarasi alami seperti

halnya di hutan mangrove. Waktu pulih tersebut dijadikan dasar

dalam rotasi tebangan pada pengelolaan hutan.

Ukuran rumpang sangat beragam dari 10 m2 hingga lebih dari

5.000 m2. Menurut Schliemann et al. (2011) menyarankan bahwa

luas rumpang optimal adalah 1.000 m2. Balai Penelitian Kehutanan

Banjarbaru dalam penelitiannya tidak memberikan luasan rumpang

dalam angka luas yang mutlak tetapi berdasarkan tinggi pohon tepi

pada tapak aktual yang akan dibuat rumpang, yaitu lingkaran lahan

yang berdiameter 1–1,5 kali tinggi pohon tepi. Indikasi dari luas

optimal ini adalah tetap terjaganya iklim mikro dan tidak

melonjaknya pertumbuhan tumbuhan bawah seperti alang-alang,

pakis-pakisan dan lain-lain.

Prosedur pembuatan rumpang (Panjaitan, 1997) sebagai

berikut:

Page 61: sintesa hasil penelitian pengelolaan hutan alam produksi lestari

50 a. Pemilihan tempat penumpukan kayu sementara (TPn). TPn ini

merupakan tempat penumpukan log penyaradan, yang berada

di tepi areal tebangan.

b. Memetakan semua jaringan sarad yang menuju ke TPn tersebut.

c. Menentukan titik-titik tebang sebagai calon rumpang.

d. Penandaan batas pada setiap calon rumpang (diameter

rumpang 1–1,5 kali pohon tepi), dan penandaan semua pohon

yang ditebang untuk disarad/dimanfaatkan.

e. Sensus semua tingkat pohon yang tidak dimanfaatkan, yaitu

vegetasi berdiameter ≥ 10 cm.

f. Inventorisasi tingkat permudaan, yaitu tiangkat semai dan

pancang. Penentuan permudaan ini dilakukan dengan Line

Intercept Method (LIM). “LIM” ini adalah semua permudaan

yang menyinggung garis pengamatan. Garis pengamatan yang

dibuat adalah dua garis tengah rumpang yang saling

berpotongan tegak lurus. Karatersitik yang diamati adalah jenis

dan jumlah individu.

h. Penebangan pohon di dalam rumpang.

i. Penyaradan batang pohon yang dimanfaatkan.

j. Perapihan rumpang, yaitu dengan cara penebangan dan

pencincangan semua individu di dalam rumpang.

k. Jika permudaan alamnya kurang, maka dapat dilakukan

pengkayaan dengan menanam jenis andalan setempat. Apabila

permudaan alaminya tidak ada, maka bisa dibuat permudaan

buatan dengan menanam jenis andalan setempat dengan jarak

tanam 2,5 m x 2,5 m yang dimulai dari titik tengah menuju 4 m

sebelem sampai ke tepi rumpang (Panjaitan, 2014) (Gambar

3.20).

Page 62: sintesa hasil penelitian pengelolaan hutan alam produksi lestari

51 l. Pada rumpang dengan permudaan alami dan buatan harus

dilakukan penandaan dengan menggunakan ajir.

Gambar 3.20. Pembuatan permudaan buatan di dalam Tebang

Rumpang

Hasil pengamatan pertumbuhan tanaman meranti di dalam

rumpang berumur 16 tahun dan berumur 17 tahun, menunjukan

bahwa tanaman dapat hidup baik pada kondisi tidak terganggu

naungan pohon sekitarnya. Berdasarkan data tersebut, tanaman

mampu tumbuh dengan riap diameter 1,6 cm/tahun untuk Shorea

parvisipulata, sedangkan untuk jenis Shorea johorensis sebesar

1,3 cm/tahun pada umur 16‒17 tahun. Lebar tajuk sebagai

indikator penutupan ruang tumbuh 4,6‒9,0 m dengan rasio

diameter tajuk dengan diameter batang adalah 27,5‒31,5. Rasio ini

mengindikasikan bahwa untuk tumbuh normal, maka pohon

tersebut memerlukan ruang terbuka (bebas naungan) 30 kali

diameter batang pohonnya (Panjaitan, 2014).

Ukuran individu tanaman ternaungi jauh lebih kecil

dibandingkan dengan individu normal. Pengaruh naungan tersebut

terlihat sangat signifikan baik terhadap pertumbuhan. Kondisi

naungan ekstrim mengakibatkan tajuk menipis dan pertumbuhan

Page 63: sintesa hasil penelitian pengelolaan hutan alam produksi lestari

52 tanaman mengalami stagnasi. Fakta di atas mengindikasikan

bahwa dinamika tegakan di hutan tropika basah (pertumbuhan dan

komposisi jenis) sangat ditentukan oleh ukuran atau luas, bentuk

dan periodisitas pembukaan kanopi (gaps) (Brokaw, 1985). Jenis-

jenis komersil yang dibalak, hampir semuanya merupakan jenis

kanopi utama. Pertumbuhan permudaan jenis kanopi atas

memerlukan ruang terbuka berupa rumpang (gaps), pada fase ini

pertumbuhan tinggi paling dominan, setelah mencapai kanopi atas,

maka pertumbuhan tinggi melambat dan secara praktis berhenti

kemudian pertumbuhan tajuk pohon dan pertumbuhan diameter

berlangsung (Whitmore, 1975; Halle et al.,1978). Tingkat

pertumbuhan tanaman dalam TR disajikan pada Tabel 3.5.

Tabel 3.5. Pertumbuhan jenis-jenis pohon pada sistem silvikultur

Tebang Rumpang di Kintap, Kalimantan Selatan

Hasil penelitian pertumbuhan tanaman pada dalam TR di

KHDTK Kintap, Kalimantan Selatan menunjukan bahwa rata-rata

riap tahunan (MAI) diameter meranti pada umur 13 tahun mencapai

2,1 cm. Kondisi kontras terjadi pada rumpang permudaan alam

umur 14 tahun di PT AYI, Kalimantan Selatan yang hanya memiliki

MAI sebesar 0.9 cm/tahun. Gambaran ini menunjukkan adanya

No. Jenis pohon Umur (tahun)

Diameter pohon (cm)

Tinggi total (m)

Riap

Diameter (cm/th)

Tinggi (m/th)

1. Shorea parvistipulata 17 27,2 - 1,60 -

2. Shorea johorensis 17 22,1 - 1,30 -

3. Shorea voiciflora 6 4,0 4,40 0,66 0,73

4. Shorea stenoptera 4 3,4 3,45 0,84 0,86

Page 64: sintesa hasil penelitian pengelolaan hutan alam produksi lestari

53 perbedaan riap tegakan dikarenakan kondisi tapak yang berbeda,

perbedaan perlakuan, dimana di Kintap dilakukan pembebasan

sampai umur 2 tahun, sedangkan di PT AYI tidak ada

pembebasan.

Riap diameter di dalam rumpang permudaan alam lebih tinggi

dibandingkan dengan permudaan buatan. Hal ini disebabkan oleh

karaktersitik permudaan alam sudah mampu beradaptasi daripada

bibit yang ditanam, terutama dalam sistem perakarannya.

Menurut Sagala (1994) bahwa keuntungan TR sebagai

berikut:

a. TR secara alami mampu mengelola unsur tanah, iklim mikro,

dan seresah terdekomposisi dengan baik.

b. Areal tebangan bisa dikelola karena mempunyai Unit Homogen.

c. Manajemen mempunyai kepastian usaha.

d. Sistem ekologi hutan tidak rusak sebab proses rumpang adalah

bagian dari sistem ekologi hutan.

e. Areal tebangan tidak rawan kebakaran karena pada kondisi iklim

mikro rumpang populasi rumput tidak melonjak.

f. Tidak akan terjadi erosi/kepunahan genetik sebab tidak

melakukan tebang pilih.

g. Penyebaran jenis mudah dipetakan.

h. Kayu berdiameter besar untuk plywood, kayu ukuran sedang

untuk penggergajian, sedangkan kayu kecil, rotan, anggrek,

tumbuhan obat untuk penduduk setempat. Jadi kuvio bentuk

rumpang dapat diterima baik dari segi manajemen, teknik,

ekologi, bahaya api, ekonomi dan penduduk setempat.

Untuk itu, mengelola hutan alam harus dilakukan secara

sistematik artinya kawasan hutan harus dikelola bagian per bagian

Page 65: sintesa hasil penelitian pengelolaan hutan alam produksi lestari

54 ke dalam unit pengelolaan. Sagala (1999) menyatakan bahwa

hutan alam dituntut untuk dapat berperan sebagai:

.a. Tempat tinggal jutaan makhluk hidup dalam keadaan seimbang

yang terdiri dari masyarakat tumbuhan, masyarakat fauna dan

masyarakat jasad renik.

b. Menekan pelonjakan populasi organisme tertentu yang dapat

membahayakan organisme lain.

c. Gudang penyimpanan bahan genetik atau plasma nutfah.

d. Sumber kayu dan hasil hutan lain seperti rotan, tumbuhan obat,

anggrek dan lain-lain.

e. Pengendalian debit air dan sumber air bersih.

f. Penyimpan karbon dan penghasil udara bersih.

g. Sumber ilmu pengetahuan.

h. Tempat rekreasi dan lain sebagainya.

Sagala (1994) menyatakan bahwa ada beberapa sifat hutan alam

yaitu: (a) hutan alam merupakan mosaik rumpang, (b) tanah, iklim

mikro dan tumbuhan merupakan satu kesatuan, (c) komposisi dan

struktur tegakan yang beragam dengan jumlah jenis banyak dan

struktur mulai tingkat pohon, tiang, pancang dan semai bercampur.

Oleh karena itu, dalam TR diperlukan lima tingkat desain lapangan,

yaitu: (a) desain tingkat tegakan rumpang, (b) desain tingkat jalan

sarad, (c) desain tingkat kuvio, (d) desain tingkat petak, dan (e)

desain tingkat unit pengelolaan.

3.3. Informasi Dinamika Pertumbuhan/Riap Tegakan di Hutan

Alam Produksi Kelestarian hutan alam produksi selain sangat dipengaruhi

oleh pemilihan sistem silvikultur yang tepat disertai dengan

Page 66: sintesa hasil penelitian pengelolaan hutan alam produksi lestari

55 tindakan-tindakan silvikultur dalam rangka peningkatan

produktivitasnya, tidak kalah pentingnya adalah dalam rangka

pengaturan produksi kayu yang boleh dimanfaatkan. Pemanfaatan

kayu yang berlebihan akan dapat merusak hutan sekaligus

menghambat pertumbuhan tegakan tinggal atau memperpanjang

rotasi, tetapi pemanfaatan yang kayu yang sedikit akan menjadi

tidak ekonomis. Pemanfaatan kayu yang optimal adalah

pemanfaatan kayu yang didasarkaan pada besarnya riap tegakan.

Menurut pengalaman secara perhitungan ekonomis pemanfaatan

kayu sesuai riap tegakan sudah cukup layak dalam suatu

operasional pengelolaan hutan. Untuk melakukan pengaturan hasil

yang tepat diperlukan suatu teknik kuantifikasi pertumbuhan yang

tepat yang diperoleh dari hasil penelitian yang konsisten. Adapun

hasil penelitian sementara aspek-aspek kuantifikasi pertumbuhan

yang sudah dilakukan.

Telah dihasilkan model pendugaan volume pohon dari

beberapa jenis pohon komersial di hutan alam produksi. Model

pendugaan volume yang dihasilkan cukup praktis dan akurat,

sehingga dapat digunakan sebagai dasar penyusunan tabel

volume pohon yang dapat digunakan dalam membantu kegiatan

inventarisasi potensi tegakan. Namun mengingat volume pohon

dipengaruhi jenis dan tempat tumbuh, maka perlu disusun model

pendugaan volume untuk setiap jenis dan lokasi unit pengelolaan

hutan produksi. Adapun model yang digunakan adalah:

Vdu = f(D,H,hdu)

Vh = f(D,H,h)

Page 67: sintesa hasil penelitian pengelolaan hutan alam produksi lestari

56 Dimana: Vdu : volume batang pohon sampai diameter ujung tertentu (m3), Vh : volume batang pohon dengan panjang tertentu (m3), D : diameter setinggi dada (cm),

H : tinggi pohon (m) → tinggi sampai pucuk atau bebas cabang, hdu : tinggi diameter ujung tertentu (m).

Gambar 3.21. Pengambilan data pohon model (pohon contoh)

Sampai dengan tahun kelima telah disusun tabel volume pohon di

hutan alam produksi di beberapa lokasi penelitian yaitu: Shorea

semithiana, Vatica sp., Dipterocarpus spp. (keruing), bangkirai,

meranti merah, kapur, medang, dan jenis-jenis Diperocarpaceae

lainnya (Hardjana, 2014). Model persamaan tabel volume yang

telah disusun untuk beberapa lokasi penelitian disajikan pada Tabel

3.6 dan model pendugaan volume pohon untuk di wilayah Papua

disajikan pada Tabel 3.7 (Kuswandi, 2014).

Page 68: sintesa hasil penelitian pengelolaan hutan alam produksi lestari

57 Tabel 3.6. Persamaan pendugaan volume pohon beberapa jenis

pohon di hutan alam di Kalimantan Jenis Persamaan Regresi Terpilih Lokasi

Shorea laevis

Vbc = 0,0015(D)2 ‒ 0,0254(D) + 0,0448

Samboja, Kab. Kutai Kartanegara, Kaltim

Shorea smithiana log Vbc = ‒2,986511 + 2,08686 log (D) ‒5,217938 (1/D)

Labanan, Kab. Berau, Kaltim

Vatica sp. log Vbc = ‒2,290659+1,738784 log (D) ‒12,09475 (1/D)

Hopea sp. log Vbc = 1,9388 log D + 0,9309 log T ‒ 4,0872 Labanan, Kab. Berau, Kaltim

Dipterocarpus sp. log Vbc = ‒4,2058 + 2,1295 log D + 0,6646 log T

log Vbc = ‒4,0560 + 2,5478 log D

Tanjung, Kalsel

Dipterocarpaceae log Vbc = ‒3,4216 + 1,8989 log D + 0,9287 log T Segah, Kab. Berau, Kaltim

Dipterocarpus acutangulus

log Vbc = ‒3,6751 + 2,4022 log D Labanan, Kab. Berau, Kaltim

Dipterocarpus sp. Vbc = 0,333 – 0,023(D) + 0,001(D2) PT. Ratah Timber, Kab. Kutai Barat Dipterocarpus

lanceolata log Vbc = –3,336 + 2,205(log D) – 6,956(1/D)

Dipterocarpus sp. Vbc = 0,184 – 0,0204(D) + 0,001(D2) PT. Kemakmuran Berkah Timber, Kab. Kutai Barat

Dipterocarpus lanceolata

log Vbc = –4,0621 + 2,449(log D)

Dipterocarpus sp. log Vbc = –3,808 + 2,416(log d) – 2,530(1/d) PT. Rizki Kacida Reana, Kab. Paser Dipterocarpus

lanceolata log Vbc = –3,703 + 2,391(log d) – 1,868(1/d)

Parashorea spp.

Vbc = ‒0,4123 + 0,0059 D + 0,0012 D2 Labanan, Kab. Berau, Kaltim

Dipterocarpus confertus

Vbc = 0,2758 ‒ 0,0286 D + 0,0014 D2 Muara Wahau, Kab. Kutim, Kaltim

Shorea macrophylla

log Vbc = ‒3,3545 + 2,2249 log D ‒ 3,9328(1/D)

Muara Wahau, Kab. Kutai Timur, Kaltim

Page 69: sintesa hasil penelitian pengelolaan hutan alam produksi lestari

58

Jenis Persamaan Regresi Terpilih Lokasi

Dipterocarpus glabrigemmatus

log Vbc = 0,64229 + 0,4443 log D Labanan, Kab. Berau, Kaltim

Dipterocarpus stellatus

Log Vbc = ‒1,995519 + 1,0198 log D – 1.3262 (1/D)

Labanan, Kab. Berau, Kaltim

Bangkirai

(Shorea aevifolia)

Vbc = 0,00008 D2,61996

Vbc = 0,00007 D2,28586 T0,52249

V7 = 0,00007 D2,65279

V7 = 0,00006 D2,40252 T0,39138

PT Hutanindo Lestari Raya Timber, Kalteng

Mersawa

(Anisopthera sp.)

Vbc = 0,00011 D2,51110

Vbc = 0,00009 D2,17697 T0,53113

V7 = 0,00009 D2.60524

V7 = 0,00008 D2,47890 T0,20084

Ulin

(Eusideroxylon zwageri)

Vbc = 0,00029 D2,19842

Vbc = 0,00022 D2,09417 T0,26747

Keruing

(Dipterocarpus sp.)

Vbc = 0,00014 D2,44480

Vbc = 0,00013 D2,22417 T0,35545

V7 = 0,00011 D2,52320

V7 = 0,00010 D2,38990 T0,21477

PT Telagamas, Kaltim

Medang

(Litsea spp.)

Vbc = 0,00022 D2,39477

Vbc = 0,00009 D2,08420 T0,69790

V7 = 0,00030 D2,37143

V7 = 0,00017 D2,18600 T0,41680

Shorea parvifolia Vbc = 0,00007979 D2,67646 PT. Intraca wood Manufacturing, Kab. Tarakan,

Kaltar

Shorea dasyphylla Vbc = 0,00005024 D2,80036

Shorea leprosula Vbc = 0,000082137 D2,67286

Keterangan: Vbc = volume tinggi bebas cabang (m3); V7 = Volume sampai diameter ujung 7 cm (m3); D = diameter setinggi dada (cm); dan T = tinggi sampai bebas cabang (m).

Page 70: sintesa hasil penelitian pengelolaan hutan alam produksi lestari

59 Tabel 3.7. Tabel Volume Lokal Beberapa Jenis Kayu Komersial

pada Beberapa Lokasi di Papua No. Jenis Pohon Lokasi Angka

Bentuk Model pendugaan volume

pohon (m3)

1. Merbau (Intsia sp.) Bonggo-Jayapura

0,69 Vbc = 0,003898 D 1,56222

2. Merbau (Intsia sp.) Bintuni-Manokwari

0,70 Vbc = 0,001471 D 1,89844

3. Merbau (Intsia sp.) Kuatisore-Nabire

0,70 Vbc = 0,00082 D 1,9872

4. Merbau (Intsia sp.) Sorong 0,71 Vbc = 0,00026 D 2,3764

5. Merbau (Intsia sp.) Wasior-Biak 0,70 Vbc = 0,00029D 2,4468

6. Merbau (I. palembanica) P.Salawati Sorong

0,71 Vbc = 0,00026D 2,3764

7. Matoa (Pometia sp.) Bintuni-Manokwari

0,65 Vbc = 0,002414 D 1,731491

8. Matoa (Pometia sp.) Bonggo-Jayapura

0,66 Vbc = 0,00055 D 1,936867

9. Matoa (Pometia sp.) Kuatisore-Nabire

0,64 Vbc = 0,00035 D 2,1104

10. Matoa (Pometia sp.) Wasior-Manokwari

0,65 Vbc = 0,00002 D 2,9941

11. Resak (Vatica Sp) Kuatisore-Nabire

0,71 Vbc = 0,00072 D1,9892

12. Ketapang (Terminalia sp.) Kaimana-Fakfak

0,70 Vbc = 0,00061 D 2,2076

13. Mersawa (Anisopthera sp.) Wasior-Manokwari

0,74 Vbc = 0,00025 D 2,6754

14. PT. Manokwari Mandiri Lestari

- - Vbc = 0,000427 D 2,15

(untuk semua jenis)

15. PT. Wapoga Mutiara Timber

- - Vbc = 0,000457 D 2,16

(untuk semua jenis)

Keterangan: Vbc = volume tinggi bebas cabang (m3); dan D = diameter setinggi dada (cm).

Page 71: sintesa hasil penelitian pengelolaan hutan alam produksi lestari

60

Hasil penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan perangkat

pengaturan hasil adalah penelitian pertumbuhan tegakan tinggal.

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan model struktur dan

dinamika tegakan tinggal serta model pendugaan riap tegakan di

hutan alam bekas tebangan sebagai dasar pengelolaan hutan alam

produksi yang lestari. Pendekatan yang digunakan adalah dengan

membuat dan mengukur secara berulang Petak Ukur Permanan

(PUP). Jumlah PUP minimal tiga buah dengan ukuran PUP

biasanya seluas satu hektar atau 100 m x 100 m, dipilih pada areal

hutan bekas tebangan biasanya tiga tahun setelah tebangan, yang

representatif dan aksesibilitasnya mudah.

Pengamatan pertumbuhan tegakan tinggal di hutan alam

produksi pada tebangan >3 tahun, menunjukkan kondisi yang

masih cukup baik, struktur tegakan berbentuk J terbalik, pohon

berdiameter >50 cm masih tersisa cukup, pohon inti > 25 pohon/ha,

dan permudaan masih cukup tinggi. Berdasarkan hasil pengukuran

berulang terhadap PUP yang telah dibuat menunjukkan riap

diameter berkisar antara 0,5–1,8 cm/tahun di hutan tanah kering

sedangkan di hutan tanah basah antar 0,39–0,43 cm/tahun

(Wahjono, 2007; Abdurachman, 2012; Abdurachman, 2014;

Abdullah dan Darwo, 2014) (Tabel 3.9). Hasil sementara ini

memberikan gambaran bahwa riap/pertumbuhan tegakan sangat

bervariasi tergantung pada site dan kinerja unit pengelola serta

keamanan dari hutan tersebut. Mengingat riap diameter sangat

beragam, sementara limit diameter tebang telah ditetapkan >40

cm, maka rotasi tebang seharusnya lebih dari 30 tahun, atau

seandainya limit diameter tetap 40 cm dan rotasi tetap 30 tahun,

maka limit diameter pohon inti harus dinaikan.

Page 72: sintesa hasil penelitian pengelolaan hutan alam produksi lestari

61

Gambar 3.22. Pengukuran pohon pada Petak Ukur Permanen (PUP)

Analisa DataModel Struktur Tegakan Awal

N = k e -(aD)

Model dinamika struktur tegakan(Ingrowth, upgrowth, mortality)

Model Proyeksi Pertumbuhan/dinamika tegakan

Strategi Pengaturan Hasil

Nj,t+1 = Nj,t + Ij + Uj - Mj

ΔD = f (D,N,t)

ΔV = f (G,D,N,t)

ΔG = f (D,N,t)

Page 73: sintesa hasil penelitian pengelolaan hutan alam produksi lestari

62

Ndit = k e-f(Di, N0di, t)

Vdit = Ndit x V → Vtotal = Σ Vdit

No IUPHHK/HPH Provinsi Persamaan1 PT Sumalindo Lestari Jaya II Kaltim N = 366,072 e -0,071D

2 PT Aya Yayang Indonesia Kalsel N = 457,965 e -0,064D

3 PT Diamond Raya Timber Riau N = 204,579 e -0,041D

4 PT Intracawood Manufacturing Kaltim N = 377,907 e-0.06540 D

5 PT Asri Nusa Prima Mandiri Riau N = 799,169 e-0.07114D

6 PT Anugerah Alam Barito Kalteng N = 352,915 e -0,06345D

7 PT Central Kalimantan Abadi Kalteng N = 387,196 e -0,05612D

8 PT Aya Yayang Indonesia Kalsel N = 462,345 e -0,06774D

Tabel 3.8. Struktur tegakan di hutan alam produksi bekastebangan

Tabel 3.9. Riap diameter dan riap volume tegakan di hutan alam

No. Lokasi Perlakuan Riap Diameter (cm/th) Riap Volume

(m3/ha/th)

K NK S K NK S

1.

PT Sumalindo Lestari Jaya II, Kaltim - 0,54 0,49 0,53 2,287 0,104 2,391

2.

PT Diamond Raya Timber, Riau - 0,40 0,33 0,38 2,563 0,246 2,808

3.

PT Intracawood Manufacturing, Kaltim - 0,62 0,54 0,60 3,584 0,557 4,141

4.

PT Aya Yayang Indonesia, Kalsel - 0,66 0,39 0,67 2,547 0,334 2,881

5.

KHDTK Labanan, Kaltim

Kontrol 0,53 0,29 - - - -

Pembebasan 0,84 0,36 - - - -

Penjarangan 0,57 0,33 - - - -

6. Kalimantan Barat Anisoptera spp 0,18-0,46 -

Dryobalanops spp. 0,35-0,70 -

Hopea spp. 0,07-0,46 -

Shorea spp. 0,53-0,66 - Keterangan: K = Komersial, NK = Non komersial, S = Seluruh jenis, Dbh = Diameter setinggi dada.

Page 74: sintesa hasil penelitian pengelolaan hutan alam produksi lestari

63

Dalam penentuan riap diameter tegakan di hutan alam, para

peneliti selalu membuat rata-rata semua kelas diameter.

Padahal hasil penelitian Abdullah dan Darwo (2014)

menunjukkan bahwa semakin besar kelas diameter, maka CAI

semakin menurun. Bentuk persamaan pendugaan riap tahun

berjalan (CAI) diameter di hutan alam Maluku adalah “CAI diameter = 2,54998 ‒ 0,41087 ln (Dbh)” dengan koefisien

determinasi (R2 = 97%). Kurva hubungan antara CAI dengan

Dbh di hutan alam, Provinsi Maluku disajikan pada Gambar

3.23.

Gambar 3.23. Kurva riap tahun berjalan (CAI) diameter tegakan

di hutan alam, Maluku

Produktivitas hutan dapat dianggap sebagai laju produksi

biomassa yang dihasilkan oleh satu luasan tegakan hutan dalam

periode waktu terentu. Dalam konteks hutan produksi, biomassa

tersebut yang direpresentasikan dalam bentuk volume batang

pohon. Produktivitas tersebut merupakan akumulasi dari

pertumbuhan pohon dan vegetasi lainnya di dalam hutan.

Produktivitas hutan sangat erat hubungannya dengan kelestarian.

Kelestarian sumberdaya hutan akan terjaga, jika hutan selalu

Page 75: sintesa hasil penelitian pengelolaan hutan alam produksi lestari

64 berada dalam tingkat kapasitas produktif maksimumnya (Fujimori,

2001). Oleh karena itu, apapun sistem silvikultur yang digunakan

dalam suatu kawasan hutan, maka kelestarian akan terjamin jika

tetap mampu menjaga level kapasitas produksi maksimum hutan

yang bersangkutan.

Parameter lainnya yang mempengaruhi produktivitas hutan

alam adalah kerapatan tegakan. Kerapatan tegakan yang diamati

dari PUP-PUP yang dibangun di setiap lokasi penelitian relatif

sedang sampai cukup rapat. Kondisi tegakan didominasi oleh

pohon-pohon berdiameter kecil (kursng dari 30 cm). Model struktur

tegakan awal yang disusun pada setiap lokasi penelitian cukup

memadai untuk menduga struktur tegakan tinggal. Laju mortality

lebih kecil dibandingkan laju ingrowth/upgrowth yang menunjukkan

bahwa kondisi tegakan pada rotasi berikutnya relatif masih aman

(Tabel 3.10). Untuk mendapatkan model pertumbuhan dan model

dinamika struktur tegakan yang representatif diperlukan data hasil

pengukuran yang meliputi rentang waktu yang cukup lama. Oleh

karena itu, penelitian (pengamatan dan pengukuran ulang) secara

kontinyu dari PUP yang telah dibuat dalam penelitian ini perlu

dilanjutkan, sehingga pola dan kecepatan pertumbuhan tegakan

secara matematis dapat diformulasikan untuk memproyeksikan

struktur tegakan pada waktu yang akan datang.

Page 76: sintesa hasil penelitian pengelolaan hutan alam produksi lestari

65 Tabel 3.10. Laju mortality, ingrowth dan upgrowth berdasarkan

kelas diameter untuk jenis-jenis pohon di hutan alam

Kelas Diameter (cm) Laju (%) Ingrowth Upgrowth Mortality

10 – 20 7,058 - 1,074 20 – 30 - 2,166 0,799 30 – 40 - 1,424 0,408 40 – 50 - 0,852 0,117 50 – 60 - 0,280 0,030 60 – 70 - 0,284 0,078 70 up - 0,148 0,000

3.4. Strategi Pengelolaan Hutan Alam Produksi ke Depan Kondisi hutan alam produksi di Indonesia termasuk dalam

ekosistem hutan tropika humida dengan ekosistem yang

rapuh sehingga hutan alam mengalami fragmerntasi. Sejak tahun

1970-an, hutan alam Indonesia telah dipungut/dimanfaatkan,

namun kondisi hutan sudah banyak mengalami kerusakan, akibat

eksploitasi yang berlebihan, alih fungsi, kebakaran, penjarahan dan

sebagainya. Kegiatan pengusahaan hutan alam akibat eksploitasi

yang berlebihan menyebabkan terjadinya penurunan kualitas hutan

yang berdampak jumlah kayu tersedia untuk panenan siklus

tebang kedua dan seterusnya jauh lebih rendah dari yang

diharapkan.

Kondisi hutan alam produksi memiliki ekosistem yang

beragam, baik dalam volume standing stock, komposisi, faktor

lingkungan dan sebagainya, sehingga memerlukan penanganan

yang berbeda pula. Sampai saat ini, sistem silvikultur yang

diterapkan dalam pengelolaan hutan alam menggunakan Tebang

Pilih Tanam Indonesia (TPTI) dengan menetapkan sistem

pemanenan yang seragam untuk areal hutan di seluruh wilayah

Page 77: sintesa hasil penelitian pengelolaan hutan alam produksi lestari

66 Indonesia, tanpa memperhatikan tipe dan kondisi hutannya.

Bedasarkan Permenhut P11/Permenhut-II/2009 yang menetapkan

batas siklus tebang dan limit diameter tebang pada hutan daratan

tanah kering pada sistem silvikultur TPTI, yaitu siklus tebang 30

tahun dengan limit diameter pohon yang ditebang 40 cm pada

Hutan Produksi Tetap (HP) dan/atau Hutan Produksi yang dapat

Dikonversi (HPK) dan limit diameter 50 cm pada Hutan Produksi

Terbatas. Sistem ini bisa mengakibatkan pemanenan berlebih di

banyak areal, sehingga hutan tidak dapat pulih dalam waktu 30

tahun untuk dapat menghasilkan kayu pada rotasi berikutnya.

Kebijakan ini sebetulnya mengandung resiko hutan alam produksi

pada rotasi berikutnya akan semakin menurun lagi. Untuk itu, perlu

memperhatikan, yaitu:

a. Pemanfatan/penebangan tidak melebihi riap tegakan.

b. Tidak semua pohon pada batas limit diameter ditebang semua,

tetapi jumlah pohon yang ditebang dibatasi yaitu batas

keterbukaan tajuk aman antara 30‒40% (setara dengan jumlah

pohon yang ditebang 15 pohon per hektar dengan menerapkan

Reduce Impact Logging (RIL). Diharapkan tegakan persediaan

pada siklus tebang berikutnya tidak turun.

Hutan primer saat ini telah hampir habis dan pada

pengelolaan selanjutnya sudah harus beralih ke hutan bekas

tebangan. Karena itu, upaya peningkatan produktivitas dengan

input energi (biaya) serendah-rendahnya dan tanpa merugikan

lingkungan (ekosistem). Hutan alam telah membentuk

keanekaragaman jenis yang tinggi sehingga akan membentuk

struktur tertentu baik secara vertikal (stratifikasi tajuk dan/atau

Page 78: sintesa hasil penelitian pengelolaan hutan alam produksi lestari

67 perakaran) maupun horizontal. Mekanisme internal seperti inilah

yang dapat membentuk stabilitas ekosistem.

Sistem silvikultur TPTI yang digunakan dengan satu aturan

untuk seluruh hutan alam di Indonesia, walaupun sistem ini adalah

sistem silvikultur yang relatif paling aman untuk diterapkan

dibanding yang lain dalam hal jasa lingkungannya. Hal ini,

menunjukkan bahwa tidak adanya batasan maksimum jumlah

volume kayu atau jumlah batang yang dapat ditebang per satuan

areal. Penebangan pohon yang terlalu banyak di setiap unit areal

dapat mengakibatkan terciptanya kondisi yang mengganggu

pertumbuhan jenis-jenis kayu komersial.

Sesuai dengan prinsip pengelolaan hutan alam produksi yang

dituntut untuk memberikan produk yang selalu meningkat dan

kelestarian yang tetap terjamin. Untuk memenuhi tuntutan tersebut

tidak mudah, tetapi pada pihak yang terlibat harus berkomitmen

untuk mencari peluang sistem silvikultur alternatif agar hutan alam

produksi tetap lestari. Upaya yang perlu dilakukan dalam

pengelolaan hutan alam produksi ke depan antara lain:

a. Sistem silvikultur jangan diterapkan secara seragam, tetapi perlu

menerapkan sistem silvikultur dan aturan pengelolaan lainnya

yang sesuai dengan tipe dan kondisi tipologi hutan alam

produksi. Untuk itu, Kepala Kesatuan Pengelolaan Hutan

Produksi (Kepala KPHP) harus mampu menerapkan sistem

silvikultur yang tepat.

b. Pemanfaatan hutan alam produksi tidak hanya mengandalkan

produk kayu, namun harus menjalankan kemampuan optimal

suatu ekosistem hutan alam. Oleh karena itu, dalam

pengelolaan hutan alam produksi penentuan AAC (Annual

Page 79: sintesa hasil penelitian pengelolaan hutan alam produksi lestari

68

available Cut) atau Jatah Produksi Tahunan (JPT) harus

berbagai jenis produk hasil hutan. Karena itu, diperlukan

reorientasi pemikiran baru untuk mendapatkan produktivitas

hutan yang optimal. Pola konsumsi produk hasil hutan dalam

bentuk apapun harus didasarkan pada kemampuan ekosistem

hutannya. Hal ini mendukung pendapat (Schliemann, et al.,

2011), bahwa penerapan sistem silviklutur di hutan alam tidak

hanya untuk menghasilkan kayu saja tetapi bagaimana

pengelolaan hutan didesain mirip dengan proses alami yang

terjadi di hutan alam. Hal tersebut dilakukan dengan harapan

sistem silvikultur yang diterapkan akan mengembalikan kondisi

hutan sealami mungkin dan pada sisi lain dapat mengoptimalkan

hasil panen.

c. Kondisi hutan primer semakin menipis, maka pengelolaan hutan

alam beralih ke hutan bekas tebangan. Para pemegang

IUPHHK-HA tidak boleh ada lagi tebangan cuci mangkok

(tebang ulang sebelum waktunya) dan pemerintah harus

melaksanakan penegakan hukum yang tegas terhadap para

pelanggar. Hutan bekas tebangan perlu dipelihara untuk terus

meningkatkan produksinya atau setidaknya kembali ke keadaan

semula. Oleh sebab itu, pembinaan tegakan tinggal hutan alam

bekas tebangan menjadi aspek yang sangat penting. Kegiatan

pembinaan hutan alam bekas tebangan pada sistem silvikultur

TPTI yang berupa perapihan, pembebasan pertama, pem-

bebasan kedua dan ketiga tidak diperlukan lagi. Namun kegiatan

pengayaan dengan menanam pada areal kosong (bekas jalan

sarad, kiri-kanan jalan utama, bekas TPn dan hutan

rawang/rusak). Penerapan penjarangan tajuk diperlukan untuk

Page 80: sintesa hasil penelitian pengelolaan hutan alam produksi lestari

69

mempercepat pertumbuhan tegakan tinggal. Hal ini terjadi

karena tindakan penjarangan memberikan ruang tumbuh optimal

bagi pohon binaan yang terdiri atas pohon inti dan permudaan

tingkat di bawahnya. Pohon-pohon yang dijarangi hanya

terbatas pada pohon-pohon tidak sehat, sementara pohon

binaan tetap berfungsi sebagai pembentuk struktur tegakan

sehingga terus memberikan jasa lingkungan dan/atau atribut

fungsionalnya.

d. Dalam jangka panjang, harus mulai dipikirkan untuk mengelola

hutan berdasarkan konsep kesesuaian lahan. Pengelolaan

hutan alam produksi harus berbasis ekosistem. Pengelolaan

hutan produksi didasarkan pada unit-unit ekologis yang

merupakan resultante dari seluruh faktor lingkungan (biofisik dan

abiotik) sehingga terbentuk kesatuan pengelolaan yang

berkemampuan sama baiknya antara produktivitas dan jasa

lingkungan.

e. Penerapan sistem silvikultur yang sekiranya mampu menjanjikan

peningkatan produktivitas hutan, hendaknya terlebih dahulu di-

kaji secara mendalam agar kerusakan hutan alam dapat lebih

eliminir.

f. Keberhasilan pengelolaan hutan alam produksi sangat

tergantung sumber daya manusianya. Karena itu, penyiapannya

perlu dilakukan dengan sebaik-baiknya.

Dari hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan, maka startegi

pengelolaan hutan alam produksi ke depan yang perlu dilakukan

yaitu:

a. Sistim silvikultur TPTI paling sesuai untuk menjamin kelestarian

manfaat jangka panjang melalui rotasi tebang serta kesuburan

Page 81: sintesa hasil penelitian pengelolaan hutan alam produksi lestari

70

tanah melalui siklus hara. Sistem silvikultur TPTI sebaiknya

diterapkan pada hutan alam primer atau hutan alam bekas

tebangan yang aksesibilitasnya sulit dijangkau masyarakat (jauh

dari pemukiman, aman dari penebangan liar dan perambahan

lahan). Jika di areal tersebut terdapat hutan rawang dan lahan

kosong, maka pemegang ijin harus merehabilitasi dengan

menanam jenis-jenis andalan setempat yang cocok dengan

kondisi lahannya.

b. Sistim silvikultur TR dapat diterapkan sebagai sistem silvikultur

alternatif yang dilakukan di areal hutan primer dan LOA baik

(≥40 m3/ha) dengan permudaan alami. Pada LOA sedang (20-

40 m3/ha) dapat diterapkan TR dengan permudaan alami dan

permudaan buatan. Hasil penelitian TR pada level teknik

silvikultur bisa diimplementasikan di lapangan, namun efektivitas

dan efisiensi dalam skala usaha masih perlu kajian lebih lanjut

untuk menjawab aspek pengaturan hasil dan kelayakan usaha,

yaitu seberapa banyak pohon yang dapat ditebang pada akhir

siklus tebang, dimana arealnya, kapan waktu panen kayunya

untuk mencapai limit diameter pohon yang bisa ditebang dan

berapa keuntungan yang dapat diperoleh.

c. Sistem silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur dengan menerapkan

Teknik Silvikultur Intensif (TPTJ-Silin) hanya diterapkan di areal:

● Hutan Produksi Tetap (HP) pada LOA dengan potensi

tegakan yang rendah dan hutan rawang dengan potensi ≤ 20

m3/ha. Tidak boleh diterapkan pada LOA baik.

● Aksesibilitasnya mudah dijangkau masyarakat (lokasi

berdekatan dengan lahan masyarakat) agar ada pengakuan

Page 82: sintesa hasil penelitian pengelolaan hutan alam produksi lestari

71

masyarakat bahwa hutan dikelola dengan baik, intensif dan

mudah dilihat sehingga tidak dijadikan ajang perambahan.

● Kemiringan lahan kurang dari 25%, agar tidak menimbulkan

dampak erosi melebehi ambang batas yang dijinkan.

● Jenis-jenis pohon dari famili Dipterocarpaceae yang

direkomendasikan untuk ditanam di TPTJ-Silin adalah Shorea

leprosula, S. parvifolia, S. johorensis, S. ovalis, S.

platyclados, S. selanica, S. macrophylla, S. javanica,

Dryobalanops sp., S. palembanica, S. mecistopteryx, S.

stenoptera, S. pinanga, Hopea mangarawan, H. odorata dan

Vatica resak (Soekotjo at al., 2005; Darwo, 2014). Untuk

menetapkan daur tebang jenis-jenis tersebut sedang diteliti

lebih lanjut.

d. Sistem silvikultur THPB yang diterapkan di hutan alam produksi

dilakukan di kondisi hutan rawang (< 20 m3/ha), semak belukar

dan lahan kosong dengan menggunakan jenis-jenis andalan

setempat.

Strategi penetapan sistem silvikulutur yang diterapkan selalu

mencakup tiga fungsi atau perlakuan dasar, yaitu (a) permudaan

(regeneration), (b) pemeliharaan (tending) dan (c) pemanenan

(harvesting). Aplikasi aktual dari semua jenis perlakuan, urutan,

tata-waktu kegiatan serta intensitasnya sering berbeda dari satu

tegakan hutan ke tegakan lainnya, tergantung dari tujuan pemilik

dan kondisi ekologisnya. Kesinambungan yang tak terputus dari

ketiga siklus fungsi dasar tersebut menjadi kriteria utama

keefektifan penarapan sistem silvikultur dalam pengelolaan hutan

alam produksi lestari.

Page 83: sintesa hasil penelitian pengelolaan hutan alam produksi lestari

72

Melihat kondisi hutan alam produksi telah terfragmentasi

menjadi berbagai tutupan lahan, maka pada areal IUPHHK

membutuhkan adanya fleksibilitas pengelolaan yang dapat

menyesuaikan dengan kondisi hutan serta berbagai tuntutan

terhadap hutan tersebut. Untuk itu, perlu menerapan silvikultur

alternatif yang mampu mengelola. pada berbagai kondisi areal

tersebut. Sistem silvikultur alternatif yang dimaksud adalah

Multisistem silvikultur (MSS).

Multisistem Silvikultur adalah sistem pengelolaan hutan

produksi lestari yang terdiri dari dua atau lebih sistim silvikultur

yang diterapkan pada suatu IUPHHK dan merupakan multiusaha

dengan tujuan: mempertahankan dan meningkatkan produksi kayu

dan hasil hutan lainnya serta dapat mempertahankan kepastian

kawasan hutan produksi (Indrawan, 2008).

Multisistem silvikultur memanfaatkan berbagai habitat pada

suatu unit IUPHHK baik hutan alam primer dan LOA TPTI yang

masih baik potensinya maupun hutan alam yang sudah

terdegradasi menjadi hutan sekunder yang tidak produktif, semak

belukar dan alang-alang. Melalui strategi ini, diharapkan potensi

hutan alam produksi di areal kerja IUPHHK dapat dipertahankan

dan ditingkatkan sehingga mampu menghasilkan kayu dan hasil

hutan lainnya secara lestari tanpa mengabaikan kelestarian fungsi

ekologi dan fungsi sosial (Indrawan, 2013).

Legalitas penerapan Multisistem Silvikultur di kawasan hutan

mengacu pada Peraturan Pemerintah No. 3/2008 Pasal 38 ayat 1

yang berbunyi pada hutan produksi, pemanfaatan hasil hutan kayu

pada HTI dalam hutan tanaman sebagaimana dimaksud pada

Pasal 37 huruf a, dapat dilakukan dengan satu atau lebih sistem

Page 84: sintesa hasil penelitian pengelolaan hutan alam produksi lestari

73 silvikultur sesuai dengan karakteristik sumber daya hutan dengan

lingkungannya.

Didukung pula oleh Permenhut Nomor P30/Menhut-II/2005

tentang Standar Sistem Silvikultur Pada Hutan Alam Tanah Kering

dan/atau Hutan Alam Tanah Basah/Rawa, pasal 6 ayat 2 yang

berbunyi mengingat beragamnya kondisi hutan alam produksi pada

KPHP atau areal IUPHHK, maka dalam satu KPHP atau IUPHHK

dapat terdiri lebih dari satu sistem silvikultur, yaitu sistem silvikultur

yang sesuai dengan karakteristik sumberdaya hutan dengan

lingkungannya. (Permenhut Nomor P30/Menhut-II/2005 dinyatakan

tidak berlaku lagi oleh Peraturan Menhut No. P11/Menhut-II/2009).

Peraturan Menhut No. P11/Menhut-II/2009 juga memuat

dalam satu KPHP atau IUPHHK dapat terdiri lebih dari satu sistem

silvikultur, yaitu sistem silvikultur yang sesuai dengan karakteristik

sumberdaya hutan dengan lingkungannya (Menimbang pada PP

No. 6/2007 Pasal 34 ayat 2 dan Pasal 38 ayat 1 Jo. PP No.

3/2008). Kepmenhut No. P40 tahun 2007 bahwa sistem silvikultur

disesuaikan dengan kondisi hutan yang ada di dalam areal kerja.

Sistem silvikultur yang digunakan pada suatu areal IUPHHK perlu

disesuaikan dengan kondisi tapak habitat pada kawasan hutan di

areal tersebut baik pada IUPHHK Hutan Alam maupun IUPHHK

Hutan Tanaman. Hal ini sejalan dengan Pasal 42 ayat 1 pada UU

41 tahun tahun 1999 tentang Kehutanan yang menyatakan bahwa

Rehabilitasi Hutan dan Lahan berdasarkan kondisi biofisik.

Pemilihan jenis pohon harus sesuai dengan keadaan habitat dan

ekologi jenis pohon terpilih.

Hal tersebut mendasari perlunya penyesuaian sistem

silvikultur yang berbasis pada kondisi kawasan hutan dan

Page 85: sintesa hasil penelitian pengelolaan hutan alam produksi lestari

74 karakteristik lingkungan setempat. Sistem tersebut harus

berpedoman pada prinsip pengelolaan hutan lestari, yaitu

ekonomis menguntungkan ekologis dapat dipertanggungjawabkan,

secara sosial kondusif dan tetap realistik mengarah pada

kelestarian hutan, teknik pelaksanaan di lapangan sederhana,

memiliki fungsi perlindungan terhadap lingkungan, dan

memungkinkan adanya pengawasan di lapangan yang bisa

dilaksanakan.

Sistem silvikultur yang disarankan dapat digunakan pada

penerapan Multisistem Silvikultur pada areal hutan produksi di

areal IUPHHK terdiri dari TPTI, TPTJ, TPTJ-Silin, THPB dan

THPB pola Agroforestry. Oleh karena itu, startegi penerapan

sistem silvikultur di hutan alam produksi sebagai berikut:

a. Kawasan yang aman dari perambahan dan illgal logging

diterapkan TPTI dan/atau TR. Jika ada lahan yang kosong,

maka pemegang ijin berkewajiban untuk merehabilitasinya

dengan menanam jenis-jenis pohon yang mampu tumbuh

dengan baik di kondisi lahan tersebut.

b. Kawasan hutan alam bekas tebangan dengan potensi tegakan

yang rendah, rawan terhadap perambahan dan illegal logging

diterapkan TPTJ-Silin.

c. Kawasan hutan alam bekas tebangan yang rusak (semak-

belukar dan alang-alang) yang rawan terhadap perambahan

diterapkan THPB. Dalam penerapan THPB dapat juga

menerapkan sistem agroforestry sebagai salah satu solusi

penyelesaian konflik lahan dengan masyarakat dan sekaligus

meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan..

Page 86: sintesa hasil penelitian pengelolaan hutan alam produksi lestari

75 Strategi penerapan sistem silvikultur di kawasan hutan alam

produksi disajikan pada Gambar 3.24.

Gambar 3.24. Strategi penerapan sistem silvikultur di hutan alam

produksi 3.5. Kegiatan Penelitian Yang Diperlukan Untuk Yang Akan

Datang Sampai saat ini teknologi yang tersedia untuk mengatasi

masalah-masalah teknis tersebut masih belum tepat dan praktis.

Teknologi yang sudah ada masih perlu disempurnakan agar lebih

baik lagi dan luwes untuk diterapkan. Tanpa dukungan teknologi

dari hasil penelitian/kajian, maka niscaya harapan pengelolaan

hutan alam lestari sulit untuk tercapai. Permasalahan teknologi

yang dimaksud antara lain:

1. Kondisi hutan alam produksi yang rusak dan tingkat

produktivitasnya yang rendah. Ada kecenderungan penggunaan

sistem silvikultur yang tidak tepat. Sementara itu, sistem

silvikultur yang telah tersedia masih belum sempurna, terindikasi

Page 87: sintesa hasil penelitian pengelolaan hutan alam produksi lestari

76

kurang efektif dan efisien sehingga penerapannya tidak optimal

untuk meningkatkan kualitas hutan alam produksi. Untuk itu,

perlu dilakukan penelitian/pengkajian terhadap penerapan

sistem silvikultur yang sesuai dengan kondisi hutan. Pada lahan

tertentu dapat diterapkan teknik silvikultur intensif. Dengan

demikian, pengelolaan hutan alam produksi perlu menerapkan

lebih dari satu sistem silvikultur agar produktivitas hutan alam

meningkat.

2. Hutan alam produksi yang telah rusak perlu direhabilitasi,

sementara itu teknologi dalam rangka rehabilitasi hutan alam

yang telah rusak saat ini belum lengkap tersedia, sehingga

untuk mengatasi hal ini, maka perlu diupayakan pencegahan

kerusakan hutan alam dan menyediakan teknologi rehabilitasi

hutan alam yang tepat, murah dan praktis sehingga hutan alam

dapat dipulihkan lagi sesuai dengan fungsi semula.

3. Jenis-jenis pohon di hutan alam sangat banyak dengan nilai

komersial yang cukup tinggi. Sampai saat ini baru

diperoleh/diketahui beberapa jenis unggul yang telah dikuasai

persyaratan tumbuh dan teknik silvikulturnya. Untuk itu, perlu

dilakukan penelitian yang lebih intensif untuk mendapatkan

jenis-jenis lainnya yang prospektif untuk dikembangkan pada

berbagai kondisi areal hutan produksi agar produktivitas hutan

alam dan nilai jual kayunya meningkat. Selain itu, dalam rangka

meningkatkan persen tumbuh hasil penanaman/pengkayaan,

maka perlu diujicobakan teknik “dormansi” bibit. Teknik

“dormansi” bibit adalah teknik penanaman dengan cara

memotong batang utama dan cabang sampai tinggi tertentu

untuk mengurangi penguapan yang berlebihan akibat kondisi

Page 88: sintesa hasil penelitian pengelolaan hutan alam produksi lestari

77

bibit yang rusak setelah sampai di tempat penanaman (seperti

tanah di polybag sudah banyak yang hilang).

4. Potensi dan pertumbuhan tegakan hutan alam harus meningkat

atau paling tidak sama antar rotasi tebang berikutnya, salah satu

upaya yang belum dilakukan dengan baik adalah pembinaan

tegakan tinggal pasca tebangan. Teknologi pembinaan tegakan

tinggal yang ada belum mampu meningkatkan produktivitas

tegakan bahkan cenderung kurang efektif dan efisien. Untuk itu,

perlu dilakukan penelitian dan kajian terhadap teknik silvikultur

intensif khususnya teknik pengkayaan yang intensif, sehingga

pertumbuhan/riap tegakan akan meningkat untuk rotasi tebang

berikutnya.

5. Sistem pengaturan hasil yang berlaku saat ini menggunakan

rumus 1/30 dari standing stock dengan asumsi pertumbuhan

hutan alam selalu sama, sementara itu kondisi hutan saat ini

sudah sangat berubah dan berbeda dengan kondisi awalnya

dengan riap tegakan yang berbeda untuk setiap tapak (site) dan

kondisi hutannya, sehingga ada kecenderungan pemanfaatan

hutan alam kurang rasional dan optimal. Untuk itu, perlu

dilakukan penelitian/kajian untuk mendapatkan informasi yang

akurat mengenai dinamika pertumbuhan tegakan di hutan alam

produksi yang dapat dijadikan sebagai dasar dalam menetapkan

preskripsi kunci pengaturan hasil dan mendapatkan metode

pengaturan hasil yang paling tepat sesuai dengan kemampuan

pertumbuhan tegakan di tiap site dan unit manajemen,

sehingga besarnya kayu yang dipanen (etat) lebih optimal dan

tidak melebihi besarnya riap tegakan. Selain itu, perlu dilakukan

penelitian perangkat perencanaan hutan yang meliputi:

Page 89: sintesa hasil penelitian pengelolaan hutan alam produksi lestari

78

penyusunan tabel volume, penentuan kriteria dan indikator

dalam penerapan sistem silvikultur dengan memperhatikan

karakteristik kondisi hutan, lahan dan sosial.

6. Adanya dampak negatif penerapan sistem silvikultur terhadap

lingkungan hutan alam produksi. Hal ini disebabkan karena

adanya penurunan biodiversitas, penurunan keanekaragaman

genetik, penurunan kesuburan tanah, peningkatan sedimentasi,

dan kesehatan hutan yang semakin menurun. Untuk

mengetahui sejauhmana dampak yang terjadi, maka perlu

melakukan penelitian/pengkajian biodiversitas, keragaman

genetik, sedimentasi, kesuburan tanah, dan tingkat serangan

hama dan penyakit akibat penerapan sistem silvikultur di hutan

alam produksi. Oleh karena itu diperlukan dukungan IPTEK

agar dampak negatif yang terjadi bisa dieliminir.

7. Kurangnya informasi analisis finansial dan penyelesaian sosial

dalam pengelolaan hutan alam produksi. Hal ini akibat dari: (a)

belum adanya informasi teknik penangan konflik lahan di

kawasan hutan alam produksi, (b) kurangnya informasi hasil

analisis finansial dalam penerapan multi sistem silvikultur di

berbagai kondisi hutan dan tapaknya, dan (c) kurangnya

informasi model penanganan sosial di kawasan hutan alam

produksi.

Page 90: sintesa hasil penelitian pengelolaan hutan alam produksi lestari

79

IV. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 1. Dalam melakukan inventarisasi tegakan pada areal hutan yang

sangat luas dan beragam kondisi kerapatannya, maka metode

penarikan contoh yang digunakan harus efektif dan efisien serta

memberikan hasil dugaan potensi yang akurat. Salah satu cara

yang dapat digunakan adalah menggunakan bantuan citra satelit

dalam untuk melakukan stratifikasi sehingga intensitas sampling

yang digunakan akan lebih kecil. Dengan stratifikasi citra satelit

intensitas sampling yang dapat digunakan adalah sekitar 4%

sedangkan apabila tidak digunakan startifikasi intensitas

samplingnya sekitar 10-15%. Berdasarkan data pengambilan

contoh di lapangan dan nilai pixel dari data digital citra satelit

dapat disusun persamaan alometri berbentuk persamaan regresi

sederhana untuk menduga potensi dan sebaran tegakan di aral

hutan alam produksi dengan lebih cepat dan cukup akurat.

2. Sebagian besar IUPHHK tidak melaksanakan tahapan sistem

silvikultur TPTI sesuai dengan pedoman. Dari tahapan TPTI

yang ditetapkan pada umumnya tahap 1-4 dikerjakan dengan

baik, tahap berikutnya kurang/tidak dikerjakan sesuai pedoman

dengan berbagai alasan teknis dan ekonomis. Namun

sebenarnya kondisi tegakan setelah tebangan umumnya masih

potensial sebagai standing stock rotasi berikutnya (tegakan sisa,

pohon inti dan permudaan). Penyederhanaan tahapan TPTI

menjadi 8 tahapan yaitu PAK, PWH, ITSP, Penebangan, ITT

(pohon inti dan pohon sisa), pengkayaan (t+2), pembinaan I

(t+5) dan pembinaan II (t+15) bisa menghemat biaya

Page 91: sintesa hasil penelitian pengelolaan hutan alam produksi lestari

80

operasional. Sebagai kunci pokok dalam tahapan tersebut

adalah perlindungan dan pengamanan tiap tahun yang harus

dilaksanakan. Pemanfaatan kayu dari hutan alam tidak boleh

melebihi riap tegakannya dan sebaiknya jumlah pohon yang

ditebang tidak melebihi 15 pohon per hektar.

3. Sistem silvikultur TPTJ-Silin menunjukkan prospek yang baik

untuk diterapkan secara operasional dalam rangka pengelolaan

hutan alam produksi di LOA yang kurang baik (potensi tegakan

kurang 20 m3/ha), lokasi berdekatan dengan masyarakat agar

ada pengakuan dari masyarakat bahwa hutan alam dikelola

dengan baik sehingga tidak menjadi ajang perambahan lahan

atau penebangan liar. Pemilihan jenis tanaman yang unggul

dan pemeliharaan yang intensif menjadi kunci keberhasilannya,

selain perlindungan dan pengamanan tegakan terhadap

gaangguan.

4. Teknik pengkayaan yang intensif di areal bekas jalan sarad

dengan menggunakan jenis S. leprosula dan S. parvifolia

mampu tumbuh dengan baik. Tahapan selanjutnya yang perlu

diperhatikan adalah penyiapan lubang tanam dengan pemberian

top soil dan pupuk organik, serta pemeliharan secara intensif

akan menghasilkan tanaman pengkayaan yang prospektif

sebagai andalan pohon yang produktif pada rotasi berikutnya.

Hasil penelitian awal menunjukkan bahwa persen jadi tanaman

dan pertumbuhannya lebih baik dibandingkan dengan

pengkayaan yang asal-asalan.

5. Pembinaan tegakan merupakan kegiatan dalam suatu

pengelolaan hutan produksi yang paling utama, selain untuk

meningkatkan riap atau produktivitas tegakan juga bertujuan

Page 92: sintesa hasil penelitian pengelolaan hutan alam produksi lestari

81

untuk meningkatkan kualitas kayu/pohon yang akan diperoleh

pada akhir rotasi. Namun demikian, dalam pengelolaan hutan

alam sangat berlaku hukum ekonomi sebagai akibat kendala

ekologis, yaitu pembatasan produktivitas harus diimbangi

dengan efisiensi penggunaan anggaran. Oleh karena itu, agar

lebih efektif dan efisien dalam melakukan tindakan pembinaan

tegakan tinggal, maka perlu dibatasi jumlah individu pohon yang

dibebaskan. Pohon inti yang berdiameter 20-39 cm sebagai

pohon penyusun tegakan dimasa depan perlu mendapatkan

prioritas untuk dibina, prioritas berikutnya adalah permudaan

tingkat tiang berdiamater 10–19 cm.

6. Keakuratan hasil kegiatan inventarisasi sangat didukung oleh

ketersediaan perangkat pendugaan volume pohon dari setiap

jenis pohon yang ada. Melalui penyusunan model pendugaan

volume pohon dan sekaligus dihasilkan tabel volume pohon per

jenis secara alometri berdasarkan persamaan regresi antara

peubah volume dengan diameter dan/atau tinggi pohon terbukti

menghasilkan dugaan volume yang cukup teliti dan sederhana

sehingga dapat digunakan dalam praktek di lapangan. Namun

mengingat volume pohon dipengaruhi jenis dan tempat tumbuh,

maka perlu disusun model pendugaan volume untuk setiap jenis

dan lokasi unit pengelolaan hutan produksi. 7. Hasil pengamatan pertumbuhan tegakan tinggal di hutan alam

produksi pada tebangan lebih dari 3 tahun, menunjukkan kondisi

yang masih cukup baik, srtruktur tegakan berbentuk J terbalik,

pohon berdiameter lebih dari 40 cm masih tersisa cukup, pohon

inti lebih dari 25 pohon/ha, dan permudaan masih cukup tinggi

dan riap diameter berkisar antara 0,5–1,8 cm/tahun di hutan

Page 93: sintesa hasil penelitian pengelolaan hutan alam produksi lestari

82

tanah kering, sedangkan di hutan tanah basah antar 0,39–0,43

cm/tahun. Hasil sementara ini memberikan gambaran bahwa

riap/pertumbuhan tegakan sangat bervariasi tergantung pada

site dan kinerja unit pengelola serta keamanan dari hutan

tersebut.

8. Hasil uji coba penanaman pada hutan alam produksi yang telah

rusak, menunjukkan bahwa pemilihan jenis yang tepat

merupakan kunci utama keberhasilan rehabilitasi, selain

perlakuan silvikultur seperti penyiapan lahan, pemupukan dan

pemeliharaan, serta waktu pelaksanaan penanaman. Pada

lahan yang terbuka (tanah semak-belukar, dan bekas TPn) telah

ditemukan indikator jenis yang mampu tumbuh dengan baik

pada kondisi cahaya penuh yaitu: Dryobalanops aromatica,

Hopea mangarawan, Hopea odorata dan Shorea belangeran,

sungkai (Peronema canescens), nyatoh (Palaquium spp.),

binuang bini (Octomeles sumatrana), nyawai (Ficus veriegata),

linggua (Pterocarpus indicus) dan bintangur (Calophyllum

soulattri). Jenis-jenis tersebut cocok juga jika ditanam di kiri-

kanan jalan utama IUPHHK-HA. 9. Perlunya penyesuaian sistem silvikultur yang berbasis pada

kondisi kawasan hutan dan karakteristik lingkungan setempat.

Sistem tersebut harus berpedoman pada prinsip pengelolaan

hutan lestari, yaitu menguntungkan secara ekonomis, dapat

dipertanggungjawabkan secara ekologis, sosial dan tetap

realistik mengarah pada kelestarian hutan, teknik pelaksanaan

di lapangan sederhana, memiliki fungsi perlindungan terhadap

lingkungan, dan memungkinkan adanya pengawasan di

lapangan yang bisa dilaksanakan. Sistem silvikultur yang

Page 94: sintesa hasil penelitian pengelolaan hutan alam produksi lestari

83

disarankan dapat digunakan pada penerapan Multisistem

Silvikultur pada areal hutan produksi di areal IUPHHK terdiri dari

TPTI, TPTJ, TPTJ-Silin, THPB dan THPB pola Agroforestry. Oleh karena itu, startegi penerapan sistem silvikultur di hutan

alam produksi sebagai berikut: a. Kawasan yang aman dari perambahan dan illgal logging

diterapkan TPTI dan/atau TR. Jika ada lahan yang kosong,

maka pemegang ijin berkewajiban untuk merehabilitasinya

dengan menanam jenis-jenis pohon yang mampu tumbuh

dengan baik di kondisi lahan tersebut.

b. Kawasan hutan alam bekas tebangan dengan potensi

tegakan yang rendah, rawan terhadap perambahan dan

illegal logging diterapkan TPTJ-Silin.

c. Kawasan hutan alam bekas tebangan yang rusak (semak-

belukar dan alang-alang) yang rawan terhadap perambahan

diterapkan THPB dan dapat menerapkan sistem agroforestry.

Page 95: sintesa hasil penelitian pengelolaan hutan alam produksi lestari

84

DAFTAR PUSTAKA

Abdurachman. 2012. Riap diameter hutan bekas tebangan setelah 20 tahun perlakuan perbaikan tegakan tinggal di Labanan Berau, Kalimantan Timur. Jurnal Penelitian Dipterokarpa, Vol. 6 (2): 121-129.

___________. 2014. Sintesa Hasil Penelitian: Penelitian Pembinaan/Pengayaan Intensif di Hutan Alam Pasca Tebangan. Balai Besar Penelitian Dipterokarpa. Samarinda. Tidak diterbitkan.

___________. 2014. Sintesa Hasil Penelitian: Penelitian Pertumbuhan dan Hasil di Hutan Alam Produksi. Balai Besar Penelitian Dipterokarpa. Samarinda. Tidak diterbitkan.

Amir, A. A. 2012. Canopy gaps and the natural regeneration of Matang mangroves. Forest Ecology and Management 269:60-67

Brokaw, N.V. 1985. Treefals, Regrowth, and Community Structure in Troomi Forests. In: Pickett S.T.A. and P.S. Whde (editors): The Ecology of Natural Disturbance and Patch Dynamics. Academic Press Inc. Odarbdo, F~. p 53-69

Aswandi, C.R. Kholibrina, C. Ali, dan M.H. Saputra. 2014. Sintesa Hasil Penelitian: Teknik Rehabilitasi Hutan Bekas Tebangan pada Hutan Alam Lahan Kering di Sumatera Utara. Balai Penelitian Kehutanan Aek Nauli. Aek Nauli. Tidak diterbitkan.

Basri, A. 1980. Pengaruh penebangan dan penaradan mekanis terhadap kerusakan tegakan sisa pada keadaan lereng yang berbeda di PT. Georgia Pasific Indonesia. [Skripsi]. Universitas Mulawarman, Samarinda. Tidak diterbitkan.

[BUK] Bina Usaha Kehutanan. 2013. Draft Road Map Implementasi Sistem Tebang Pilih Tanam Jalur Teknik Silvikultur Intensif (TPTJ–Silin) Indonesia 2020. Direktorat Jenderal Bina Usaha Kehutanan. Kementerian Kehutanan. Jakarta.

Darwo, R. Effendi dan M. Soleh. 2014. Laporan Hasil Penelitian: Uji Jenis-jenis Komersial yang Cocok untuk Rehabilitasi Hutan Alam Produksi yang Telah Rusak. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peningkatan Produktivitas Hutan. Bogor. Tidak diterbitkan.

[Dephut] Departemen Kehutanan. 2002. Data Strategis Kehutanan. Departemen Kehutanan. Jakarta.

Page 96: sintesa hasil penelitian pengelolaan hutan alam produksi lestari

85 Elias. 2002. Reduced Impact Logging Buku 1. IPB Press.,Bogor Fujimori , T. 2001. Ecological and silvicultural strategies for

sustainable forest management. Elsevier Science B.V. Amsterdam. 398 pp.

Halle, F., R.A.A. Oldeman and P.B. Tomlinson. 1978. Tropical trees and forest. Springer-Verlag. Heidelberg.

Hardjana, A.K. 2014. Sintesa Hasil Penelitian: Penelitian Model Pendugaan Volume Pohon di Hutan Alam Produksi. Balai Besar Penelitian Dipterokarpa. Samarinda. Tidak diterbitkan.

Hastanti, B.W. 2014. Sintesa Hasil Penelitian: Kajian Efektivitas Sistem-sistem Silvikultur (TPTI/TPTJ/TR) Terhadap Kelestarian Produksi Hutan Alam Lahan Kering. Balai Penelitian Kehutanan Manokwari. Manokwari. Tidak diterbitkan.

Hendromono dan Komsatun. 2008. Nyawai (Ficus variegata Bl.) jenis yang berprospek baik untuk dikembangkan di hutan tanaman. Mitra Hutan Tanaman. Vol. 3 (3): 122-130.

Heriansyah, I. 2012. Laporan Hasil Penelitian: Strategi Silvikultur dalam Rehabilitasi Areal Bekas Tabengan yang Rusak. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peningkatan Produktivitas Hutan. Bogor. Tidak Diterbitkan.

Hu, L., B. Yan, X. Wu, J. Li. 2010. Calculation method for sunshine duration in canopy gaps and its application in analyzing gap light regimes. Forest Ecology and Management 259:350-359

Karmilasanti. 2014. Sintesa Hasil Penelitian: Kajian Efektivitas Sistem-sistem Silvikultur TPTJ/TPTI/TR Peningkatan Produktivitas Hutan Ditinjau dari Aspek Produksi/Ekonomi, Ekologi dan Sosial (Studi Kasus: Kajian Efektivitas Sistem Silvikultur TPTJ). Balai Besar Penelitian Dipterokarpa. Samarinda. Tidak diterbitkan.

Kemenhut [Kementerian Kehutanan]. 2012. Statistik Kehutanan Indonesia tahun 2011. Kementerian Kehutanan. Jakarta.

Irawan, A. Kinho, J. Hidayah, N.H. Kafiar, J. Patandi, S.N. Diwi, M.S.R. Mamonto. 2011. Laporan Hasil Penelitian: Pembangunan Demplot Sumber Benih Unggulan Lokal. Balai Penelitian Kehutanan Manado. Tidak dipublikasikan.

Kinho, J. dan Mahfudz. 2011. Prospek Pengembangan Cempaka di Sulawesi Utara. Balai Penelitian Kehutanan Manado.

Kuswandi, R. 2014. Sintesa Hasil Penelitian: Kajian Model Pendugaan Volume Pohon di Hutan Alam Lahan Kering di

Page 97: sintesa hasil penelitian pengelolaan hutan alam produksi lestari

86

Papua. Balai Penelitian Kehutanan Manokwari. Manokwari. Tidak diterbitkan.

Indrawan, A. 2008. Sejarah Perkembangan Sistem Silvikultur di Indonesia. Prosiding Lokakarya Nasional Penerapan Multisistem Silvikultur pada Pengusahaan Hutan Produksi dalam Rangka Peningkatan Produktivitas dan Pemantapan Kawasan Hutan. Kerjasama antara Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor dengan Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan, Departemen Kehutanan. Bogor.

__________ 2010. Konsep dan Filosofi Multisistem Silvikultur. Dipresentasikan pada Workshop Multisistem Silvikultur. Optimasi Pemanfaatan Kawasan Hutan Produksi Melalui Multisistem Silvikultur. Kerjasama antara Balai Besar Penelitian Dipterocarpa (Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Kementerian Kehutanan) dengan Balai Pemantauan Pemmanfaatan Hutan Produksi Wilayah X (Direktorat Jenderal Bina Usaha Kehutanan, Kementerian Kehutanan). Pontianak , 4 November 2010

__________. 2013. Pengelolaan Ekosistem Hutan Produksi Lestari di Indonesia dengan Penerapan Multisistem Silvikultur. Dalam Suharjito, D., dan H.R. Putro. Pembangunan Kehutanan Indonesia Baru: Refleksi dan Inovasi Pemikiran. Bogor. IPB Press.

Irawan, A. 2014. Sintesa Hasil Penelitian: Uji Coba Teknik Rehabilitasi Hutan Alam Produksi yang Telah Terdegradasi. Balai Penelitian kehutanan Manado. Manado. Tidak diterbitkan.

Martawijaya A, I. Kartasujana, K. Kadir, dan S.A. Prawira. 2005. Atlas Kayu Indonesia, Jilid I. Departemen Kehutanan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Bogor.

Martawijaya A, I. Kartasujana, Y.I. Mandang, S.A. Prawira dan K. Kadir. 2005. Atlas Kayu Indonesia, Jilid II. Departemen Kehutanan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Bogor.

Makineci, E., M. Dimer, A. Comez, and E. Yilmaz. 2007. Chemical characteristics of the surface soil, herbaceous cover and organic layer of a compacted skid road in a fir (Abies bornmulleriana Mattf.) forest. Trnasportation Research Part D 12: 453-459.

Muhdi. 2001. Studi kerusakan tegakan tinggal akibat pemanenan kayu konvensional dan pemanenan kayu berdampak rendah

Page 98: sintesa hasil penelitian pengelolaan hutan alam produksi lestari

87

di hutan alam Ketapang, Provinsi Kalimantan Barat. [Tesis]. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Tidak diterbitkan.

Murniati. 2012. Teknik pengayaan pada lahan garapan masyarakat di Hutan Penelitian Carita. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam. Vol. 9:1, Hal. 69-83.

Najafi, A. A. Solgi, and S.H. Sadeghi. 2009. Soil distrubance following four wheel rubber skidder logging on the steep trail in the north mountainous forest of Iran. Soil & Tillage Research 103: 165-169.

Panjaitan, S., dan Supriadi. 1997. Penggunaan Kuvio Bentuk Rumpang di Areal Tebangan Hutan Perbukitan di Kintap : Pembuatan Kuvio dan Register Tegakan Rumpang. Desain Lapangan Unit Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (unit PHPL)” Menggunakan Kuvio Bentuk Rumpang Di Semua Tipe Hutan dan Kondisi Tegakan. Materi Ekspose Di Departemen Kehutanan. Balai Teknologi Reboisasi Banjarbaru.

Panjaitan, S. 2014. Sintesa Hasil Penelitian: Kajian Efektivitas Sistem Silvikultur Tebang Rumpang terhadap Peningkatan Produktivitas dan Kelestarian Hutan Alam Produksi. Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru. Banjarbaru. Tidak diterbitkan.

[PP] Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2008, tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Huta. Jakarta.

[Permenhut] Peraturan Menteri Kehutanan No. P 30/Menhut-II/2005, tentang Keputusan Menteri Kehutanan No. 10172/Kpts-II/2002 dinyatakan tidak berlaku lagi. Departemen Kehutanan. Jakarta.

[Permenhut] Peraturan Menteri Kehutanan No. P 11/Menhut-II/2009, tentang Sistem Silvikultur dalam Areal Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Produksi. Departemen Kehutanan. Jakarta.

Prameswari, D. 2014. Kajian teknik cross drain, lubang resapan berpori dan penanaman meranti di bekas jalan sarad. [Disertasi]. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Tidak diterbitkan.

Page 99: sintesa hasil penelitian pengelolaan hutan alam produksi lestari

88 [Pusdiklat] Pusat Pendidikan dan Latihan Kehutanan. 2002. Materi

Pelatihan Kriteria dan Indikator Pengelolaan Hutan lestari untuk Sektor Pemerintah. Pusdiklat. Bogor.

Rab, M.A. 2004. Recovery of soil physical properties from compaction and soil profil disturbance caused by logging of native forest in Victorian Central Highlands, Australia. Forest Ecology and Management 191: 329-340.

Rimbawanto, A., T. Pamungkas, L. Hakim, Prastyono, dan D. Eko. 2005. Database jenis-jenis prioritas untuk konservasi genetik dan pemuliaan. Buku 1. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman. Bogor.

Rukmantara. 2014. Menyiasati Kompleksnya Persoalan Daya Saing Kehutanan Menghadapi Asean Economic Community 2015? http://www.jpnn.com/m/ news.php?id=219789. Diakses 26 Agustus 2014.

Ruslim, Y. 2011. Penerapan Reduced Impact Logging Menggunakan Monocable Winch (Pancang Tarik). Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman. Samarinda.  

Sagala, A.P.S. 1994. Mengelola Lahan Kehutanan Indonesia. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.

____________ 1999. Desain Kehutanan Holistik. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta. 56 p.

Schliemann, S.A., and J.G. Bockheim. 2011. Methods for studying treefall gaps: A review. Forest Ecology and Management 261: 1143-1151.

Setyarso, A. 1992. Analisis rotasi tebang hutan alam produksi di kawasan PT Inhutani II Pulau Laut, Kalimantan Selatan. Tidak diterbitkan.

Soekotjo, A. Subiakto dan S. Warsito. 2005. Project completion report ITTO. PD 41. Faculty of Forastry. Gajah Mada University. Yogyakarta.

Soekotjo. 2009. Teknik Silvikultur Intensif. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.

Suhartana, S. dan Dulsalam. 1994. Kerusakan tegakan tinggal akibat kegiatan penebangan dan penyaradan: Kasus di suatu perusahaan hutan di Riau. Jurnal Penelitian Hasil Huan. Volume 12 No. 1.

Sumarna. K, Wahjono.D, dan Haruni K. 2002. Proyeksi potensi hutan alam produksi bekas tebang pilih dan konsep perhitungan jatah produksi tahunan. Diskusi penentuan AAC hutan produksi alam sekunder. Jakarta.

Page 100: sintesa hasil penelitian pengelolaan hutan alam produksi lestari

89 Sumarni, G, M.Muslich, N. Hadjib, Krisdianto, D. Malik, S. Suprapti,

E.Basri, G. Pari, M.I. Iskandar dan R.M. Siagian. 2009. Sifat dan Kegunaan Kayu : 15 Jenis Andalan Setempat Jawa Barat. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor.

Susanty, F.H., A,K. Hardjana, A. Rustami, dan Edy. 2014. Laporan Hasil Penelitian: Penelitian Model Pendugaan Volume Pohon di Hutan Alam Produksi (Model Pendugaan Volume Pohon Jenis Dipterocarpaceae di Hutan Alam Produksi). Balai Besar Penelitian Dipterokarpa. Samarinda. Tidak diterbitkan.

Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Wahjono. D dan Haruni K. 2000. Penyusunan model dinamika

struktur tegakan dan pendugaan riap tegakan sebagai dasar pengaturan hasil yang lestari di hutan alam bekas tebangan. Tidak diterbitkan.

Wahjono, Dj. 2007. Pertumbuhan dan riap tegakan tinggal di beberapa Unit Pengelolaan Hutan Alam Produksi. Info Hutan pada Pusat Penelitian dan pengembangan Hutan dan Konservasi Alam. Vol.: IV(5): 419-248.

Whitmore, T.C., 1975. Tropical Rain Forest of The Far East, Clarendon Press, Oxford.

Page 101: sintesa hasil penelitian pengelolaan hutan alam produksi lestari

90

LAMPIRAN

Page 102: sintesa hasil penelitian pengelolaan hutan alam produksi lestari

91 Lampiran 1. Karakteristik tempat tumbuh beberapa jenis komersial

yang sedang diamati pertumbuhannya 1. Kapur (Dryobalanops aromatica Gaertn)

Pohon kapur termasuk famili Dipterocarpaceae dan daerah

penyebarannya meliputi Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat,

Riau dan seluruh Kalimantan. Tinggi pohon antara 35-45 m

dengan tinggi bebas cabang sampai 30 m, diameter 80-100 cm.

Bentuk batang sangat baik, lurus dan silindris dengan tajuk kecil,

kadang-kadang berbanir. Umumnya tumbuh di hutan hujan tropis

tanah rendah dengan tipe curah hujan A dan B, pada tanah

daratan yang kering, datar dan sarang, juga pada pinggir-pinggir

lembah dan di atas tanah liat berpasir pada ketinggian 60-400 m

dpl. Kebanyakan tumbuh berkelompok dan hamper murni.

Kebutuhan cahaya untuk permudaan kapur termasuk semi toleran.

Berat jenis 0,81 (0,63 – 0,94), kelas kuat I-II, kelas awet II-III. Kayu

kapur digunakan untuk balok, tiang, rusuk dan papan pada

bangunan perumahan dan jembatan, serta dapat juga untuk peti

mati, dan kayu lapis (Martawijaya et al., 2005; Indrawan, 2013).

2. Keruing (Dipterocarpus hasseltii Bl.)

Keruing termasuk famili Dipterocarpaceae

dan daerah penyebarannya meliputi Seluruh

Sumatera, Jawa dan Kalimantan. Tinggi pohon

dapat mencapai 50 m dengan tinggi bebas

cabang sampai 35 m, diameter mencapai 120

cm. Bentuk batang silindris, berbanir.

Umumnya tumbuh di hutan hujan tropis dengan tipe curah hujan A

dan B. Jenis ini tumbuh di tempat-tempat yang sewaktu-waktu

Page 103: sintesa hasil penelitian pengelolaan hutan alam produksi lestari

92 digenangi air tawar dan di tanah rawa, tetapi lebih banyak tumbuh

pada tanah daratan kering di punggung bukit pada tanah berpasir,

tanah liat, tanah berbatu, latosol atau podsolik merah kuning pada

ketinggian sampai 1.000 m dpl (Martawijaya, 2005; Rimbawanto et

al., 2005). D. hasseltii pada umur 1 tahun setelah tanam di

Kalimantan Timur persen hidup 83,3%; riap tinggi 22,3 cm/tahun;

dan riap diameter 0,18 cm/tahun. Sedangkan di KHDTK Carita

persen hidup 67,3%; riap tinggi 22,7 cm/tahun dan riap diameter

0,33 cm/tahun (Murniati, 2012). Berat jenis 0,70 (0,60 – 0,98),

kelas kuat II, kelas awet III-IV. Kayu keruing cocok untuk konstruksi

bangunan, lantai, karoseri (kerangka, lantai dan dinding),

bangunan pelabuhan, bantalan kerata api, perkapalan (dek dan

kulit tongkang), bagian rumah (balok, tiang, papan dan kerangka

atap), dan plywood (Martawijaya et al., 2005; Rimbawanto et al.,

2005).

3. Meranti merah (Shorea spp.)

Meranti merah (Shorea spp.)

termasuk famili Dipterocarpaceae

(terutama S. leprosula Miq., S.

palembanica Miq., S. macrophylla Ashton,

S. parvifolia Dyer, S. pinanga Scheff., S.

smithiana Sym., dan S. stenoptera Burck,

S. selanica Bl., S. platyclados V.SI., S.

Johorensis Foxw.), S. mecistopteryx

Ridley. Selanjut-nya jenis-jenis ini dikelompokkan lagi menjadi

Shorea penghasil tengkawang, yaitu S. macrophylla Ashton/S.

stenoptera Burma., S. stenoptera Burck, S. pinanga Scheff., S.

Page 104: sintesa hasil penelitian pengelolaan hutan alam produksi lestari

93 mecistopteryx Ridley dan S. splendida (de Vriese) P. (Rimbawanto

et la., 2005). Shorea penghasil tengkawang ini cocok juga

dikembangkan untuk pengembangan hutan kemasyarakatan.

Daerah penyebarannya meliputi Sumatera, Kalimantan dan

Maluku. Tinggi pohon dapat mencapai 50 m dengan tinggi bebas

cabang sampai 30 m, diameter mencapai 100 cm. Kulit luar

berwarna kelabu atau coklat, tebal kulit kurang dari 5 mm. Bentuk

batang silindris, tidak berbanir. Meranti merah tumbuh di hutan

hujan tropis dengan tipe curah hujan A dan B. Jenis ini tumbuh

pada tanah latosol, podsolik kuning pada ketinggian sampai 1.300

m dpl. Jenis S. stenoptera, S. pinanga, S. macrophylla, dan S.

palembanica tumbuh pada tanah rendah yang tergenang air

selama musim hujan dan di tepi sungai pada tanah alluvial sampai

ketinggian 1.000 m dpl (Martawijaya et al., 2005; Rimbawanto et

la., 2005). Kayu meranti merah dapat dibuat venir tanpa

pe7rlakuan pendahuluan. Kayu meranti merah terutama

digunakan untuk venir dan kayu lapis, di samping itu dapat juga

dipakai untuk konstruksi bangunan (rangka, balok, galar, kaso,

pintu, jendela, dinding, lantai dan lain-lain). Selain itu dapat juga

dipakai sebagai kayu perkapalan (perahu, kapal kecil dan bagian-

bagian kapal), peti pengepak, mebel murah, peti mati dan alat

music (pipa organ). Buah/biji tengkawang yang didapat dari pohon

S. pinanga mengandung lemak sebagai bahan dasar pembuatan

coklat, margarin, sabun, lilin dan kosmetik sehingga lebih sering

disebut pohon tengkawang. Berat jenis dan kelas kuat masing-

masing adalah S. johorensis 0,50 (0,32-0,69), III-IV; S. leprosula

0,52 (0,30-0,86), III-IV; S. macrophylla 0,40 (0,29-0,60), III-IV; S.

palembanica 0,55 (0,37-0,69), III-IV; S. parvifolia 0,45 (0,29-0,83),

Page 105: sintesa hasil penelitian pengelolaan hutan alam produksi lestari

94 III-IV; S. pinanga 0,42 (0,31-0,57), III-IV; S. platyclados 0,67 (0,34-

0,86), II-(IV); S. selanica 0,46 (0,39-0,52), III; S. smithiana 0,50

(0,30-0,72), III-II; dan S. stenoptera 0,49 (0,43-0,52), III. Keawetan

meranti merah umumnya termasuk kelas awet III-V (Martawijaya et

al., 2005).

4. Merawan (Hopea mengarawan Miq.)

Merawan termasuk famili Dipterocarpaceae dan daerah

penyebarannya meliputi seluruh Sumatera, seluruh Kalimantan dan

Papua. Tinggi pohon 30-40 m dengan tinggi bebas cabang sampai

15-25 m, diameter 75-150 cm. Kulit luar berwarna kelabu-coklat,

coklat sampai hitam, beralur dangkal. Berat jenis 0,71 (0,52-0,91),

kelas kuat II-(III-I), kelas awet II-III. Kayu merawan banyak

digunakan untuk balok, tiang, papan, kayu perkapalan, tong air,

ambang jendela, kerangka rumah, talenan dan barang bubutan.

Tumbuh di hutan hujan tropis dengan tipe curah hujan A dan B

pada dataran kering atau di rawa-rawa, pada tanah pasir, tanah liat

atau tanah berbatu-batu dengan ketinggian sampai 1.000 m dpl

(Martawijaya et al., 2005).

5. Resak (Vatica resak Bl.)

Resak termasuk famili Dipterocarpaceae dan daerah

penyebarannya seluruh Sumatera kecuali Lampung, Seluruh

Kalimantan dan Sulawesi, Jawa Barat, Maluku dan Papua. Tinggi

pohon 25-35 m dengan tinggi bebas cabang sampai 10-20 m,

diameter 40-80 cm dan tidak berbanir. Kulit luar berwarna kelabu-

putih, tidak beralur, sedikit mengelupas, mengeluarkan dammar

berwarna putih atau putih-kuning. Berat jenis 0,60 (0,49-0,65),

Page 106: sintesa hasil penelitian pengelolaan hutan alam produksi lestari

95 kelas kuat II, kelas awet III. Kayu resak cocok tiang dalam tanah

dan air, balok, rusuk dan papan lantai, kayu pertambangan, balok

gerbong, tiang listrik, perkapalan, sirap, ambang jendela, rangka

pintu dan jendela, bantalan, barang bubutan dan cabinet. Tumbuh

secara berkelompok atau tersebar dalam hutan tropis dengan tipe

curah hujan A dan B, pada ketinggian sampai 350 m dpl, pada

tanah berpasir atau tanah liat yang secara periodik tergenang air

tawar seperti di pinggir sungai atau dapat juga tumbuh pada

dataran kering (Martawijaya et al., 2005).

6. Nyatoh (Palaquium spp.)

Nyatoh termasuk famili Sapotaceae

dan daerah penyebarannya seluruh

Indonesia. Di daerah Sulawesi, jenis kayu ini

biasa disebut juga dengan kuma, kume,

nyatoh, nato, nantu, sodu-sodu. Selain itu

masyarakat juga banyak mengenal kayu ini

dengan sebutan kayu merah, karena

disebabkan warnanya yang eksotis yaitu

berwarna merah kecoklatan. Tinggi pohon 30-45 m dengan tinggi

bebas cabang sampai 15-30 m, diameter 50-100 cm. Bentuk

batang lurus dan silindris, kadang-kadang berbanir. Kulit luar

berwarna coklat, merah-coklat. Berat jenis 0,73 (0,58-0,88), kelas

kuat II-III, kelas awet III-IV. Kayu nyatoh umumnya baik untuk

papan perumahan, tiang, balok, rusuk dan papan lantai. Tumbuh

pada tipe curah hujan A, tanah berawa dan sebagian pada tanah

kering, dengan jenis tanah liat atau tanah berpasir, di daerah

Page 107: sintesa hasil penelitian pengelolaan hutan alam produksi lestari

96 banyak hujan pada ketinggian 20 – 500 m dpl (Martawijaya et al.,

2005).

7. Sungkai (Peronema canescens Jack.)

Sungkai termasuk famili Verbenaceae dan

daerah penyebarannya Sumatera Barat,

Jambi, Bengkulu, Sumatera Selatan,

Lampung, Jawa Barat dan seluruh

Kalimantan. Tinggi pohon 20-25 m dengan

tinggi bebas cabang sampai 15 m, diameter

mencapai lebih dari 60 cm, batang lurus dan

sedikit berlekuk dangkal, tidak berbanir, ranting penuh dengan bulu

halus. Kulit luar berwarna kelabu atau sawo muda, beralur dangkal

dan mengelupas kecil-kecil tipis. Berat jenis 0,63 (0,52-0,73), kelas

kuat II-III dan kelas awet III. Kayu sungkai cocok untuk rangka atap

karena ringan dan cukup kuat. Selain itu dipakai juga untuk tiang

rumah dan bangunan jembatan. Karena mempunyai gambar yang

menarik berupa garis-garis indah sehingga baik untuk vinir mewah,

mebel, cabinet dan lain-lain. Tumbuh di tempat terbuka seperti

belukar, alang-alang, bekas perladangan atau bekas tebangan.

Sungkai tumbuh di dalam hutan hujan tropis dengan tipe curah

hujan A sampai C pada tanah kering atau sedikit basah dengan

ketinggian sampai 600 m dpl (Martawijaya et al., 2005).

8. Binuang bini (Octomeles sumatrana Miq.)

Binuang bini termasuk famili Datiscaceae dan daerah

penyebarannya meliputi Aceh, Sumatera Barat, Bengkulu,

Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Sulawesi,

Page 108: sintesa hasil penelitian pengelolaan hutan alam produksi lestari

97 Maluku, Papua. Tinggi pohon bisa mencapai lebih dari 45 m

dengan tinggi bebas cabang sampai 30 m, diameter sampai lebih

dari 90 cm. Batang tegak, berbanir, kulit luar tebal 5 mm berwarna

kelabu, beralur dangkal dan mengelupas kecil-kecil tipis. Umumnya

tumbuh pada tanah kering atau kadang-kadang pada tanah lembab

di pinggir sungai dengan tekstur tanah liat atau tanah liat berpasir.

Iklim yang dihendaki yaitu iklim basah hingga agak kering dengan

tipe curah hujan A-C dan ketinggian sampai 600 m dpl. Binuang

bini termasuk jenis tumbuh cepat, pada umur 11 tahun dapat

mencapai tinggi 10 m dengan diameter 14 cm. Berat jenis 0,33

(0,16 – 0,48), kelas kuat IV-V, kelas awet V dan dapat dibuat vinir

dengan hasil baik tanpa perlakuan pendahuluan. Kayu binuang

bini cocok untuk lapisan dalam kayu lapis dan lapisan luar, peti

pembungkus, cetakan beton, kotak korek api, peti mati, perahu,

kano, dan pertukangan (Martawijaya et al., 2005).

9. Nyawai (Ficus variegata Bl.)

Nyawai termasuk famili Moraceae yang

merupakan jenis pohon cepat tumbuh dan

berpotensi menjadi alternatif substitusi kayu

pertukangan (Mindawati, 2010). Penyebaran

nyawai meliputi daerah Pulau Jawa,

Sumatera, Kalimantan, Maluku, dan

Sulawesi. Nyawai dapat tumbuh pada

ketinggian 0-1.500 m dpl dan tipe curah hujan A dan B. Nyawai

termasuk jenis yang memerlukan cahaya penuh (intoleran) dan

termasuk jenis pionir yang tersebar bersama dengan jenis pionir

lainnya seperti jabon putih (Neolamarkia cadamba), mahang

Page 109: sintesa hasil penelitian pengelolaan hutan alam produksi lestari

98 (Macaranga spp.), dan benuang bini (Octomeles sumatrana).

Tinggi pohon nyawai di hutan bekas terbakar dapat mencapai 20-

25 m dengan batang bebas cabang 10-15 m serta diameter

setinggi dada mencapai 40 cm (Hendromono dan Komsatun,

2008). Kayu nyawai dapat digunakan untuk kayu lapis, konstruksi

bangunan ringan, moulding, interior, laci, kotak, pulp dan kertas

(Sumarni et al., 2009). Vinir nyawai dapat digunakan untuk vinir

muka (face veneer) karena bercorak kayu yang baik yaitu berwarna

kuning keputihan, dan dalam proses pembuatan vinirnya tidak

memerlukan perlakuan. Kayu lapis nyawai telah memenuhi Standar

Nsional Indonesia (SNI), Standar Jepang (JAS), dan Standar

Jerman (DIN). Sifat fisik kayunya antara lain; berat jenis 0,27

(0,20-0,43), kelas kuat V, kelas awet V-III, dan kelas keterawetan I

yaitu mudah diawetkan (Sumarni et al., 2009).

10. Bintangur (Calophyllum soulattri Bruu.f.var.)

Bintangur merupakan jenis yang memiliki

habitat asli di Brunei Darussalam, Kamboja,

Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand, dan

Vietnam. Bintangur merupakan kayu dengan

kelas awet IV. Tinggi pohon ini dapat mencapai

30 m, panjang batang bebas cabang hingga 21

m, dengan diameter 80 cm. Bentuk batang lurus

dan berdiri tegak dengan percabangan mendatar, tidak berbanir.

Kulit luar berwarna kelabu atau putih. Beralur dangkal dan

mengelupas besar-besar tipis.

Kayu bintangur cocok digunakan sebagai bahan pembuatan

kapal (kayu bengkok digunakan sebagai gading-gading, batang

Page 110: sintesa hasil penelitian pengelolaan hutan alam produksi lestari

99 yang lurus digunakan sebagai tiang layar dan pedayung). Selain

itu, kayu bintangur juga lazim digunakan sebagai bahan

perumahan seperti balok, tiang, papan lantai, peti, dan konstruksi

ringan (Martawijaya et al., 2005).

11. Cempaka (Magnolia elegans (Blume.) H.Keng)

Jenis kayu cempaka termasuk dalam

kelas awet II dan kelas kuat III dengan

berat jenis 0,41-0,61, kerapatan kayu 400 –

500 kg/m3, ukuran maksimum pada pohon

dapat mencapai tinggi 45 m, diameter 150-

200 cm, tinggi bebas cabang 12-16 m,

kadang-kadang dijumpai berukuran agak

pendek dan bercabang banyak, batang

silindris, berwarna putih abu-abu kecoklatan, stipula dan tangkai

daun muda tanpa bulu. Daun berbentuk menjorong (ellipticus)

dengan letak daun bersilangan, ukuran daun 7-36 x 4-16 cm, tidak

berbulu atau berbulu balik dipermukaan daun. Ujung daun

meruncing (acuminatus), pangkal daun membulat (rotundatus),

kadang-kadang tumpul (obtusus). Tangkai daun tidak berbulu atau

berindumentum seperti ranting, panjang tangkai daun 1-2,4 cm.

Kayu cempaka telah diperdagangkan sejak lama baik dalam

bentuk kayu bulat, kayu gergajian dan konstruksi jadi seperti

furniture, lemari, pintu, jendela maupun rumah jadi, perahu, panel,

alat olahraga, alat musik kolintang dan plywood. Kayu

Cempaka merupakan bahan baku utama dalam konstruksi

rumah panggung Minahasa (Kinho dan Mahfudz, 2011).

Umumnya kayu nantu digunakan sebagai bahan baku untuk

Page 111: sintesa hasil penelitian pengelolaan hutan alam produksi lestari

100 papan perumahan, tiang, balok dan rusuk. Kayu nantu dapat pula

dipakai sebagai bahan untuk membuat perahu atau kano, papan

lantai, panil, dinding pemisah dan alat rumah tangga, sedangkan

kayu banirnya biasa dipakai untuk dayung, roda gerobak, gagang

pacul dan tangkai kapak (Irawan et. al., 2011)

12. Linggua ((Pterocarpus indicus Willd.)

Linggua atau Angsana atau juga biasa

disebut dengan sonokembang adalah

jenis pohon penghasil kayu berkualitas tinggi

yang berasal dari suku Fabaceae. Ketinggian

pohon linggua dapat mencapai 45 meter,

dengan panjang batang bebas cabang berkisar

antara 2 meter hingga 16 meter, dengan

diameter mencapai 150 cm. Tekstur kayu agak halus sampai agak

kasar, arah serat lurus atau bergelombang tidak teratur, warnanya

kuning jerami, coklat karat muda, sampai coklat karat tua.

Permukaan licin dan mengkilap indah. Berat jenis berkisar 0,39

hingga 0,94, termasuk golongan kelas kuat IV hingga kelas kuat I.

Penggunaan pengering modern dapat menjadikan kayu

linggua dapat mengering dengan baik tanpa cacat. Warna dan

motif serat kayunya yang indah kemerah-merahan, menjadikan

kayu linggua banyak dimanfaatkan sebagai kayu pilihan untuk

pembuatan mebel, kabinet berkelas tinggi, alat-alat musik,

lantai parket, panil kayu dekoratif, gagang peralatan, konstruksi

perumahan, kayu vinir, rangka bangunan, tiang, pilar, serta untuk

dikupas sebagai venir dekoratif untuk melapisi kayu lapis dan meja

berharga mahal.

Page 112: sintesa hasil penelitian pengelolaan hutan alam produksi lestari

101 Lampiran 2. Foto jenis-jenis tanaman umur 1 tahun yang sedang

diuji tingkat pertumbuhan di Jalur tanam TPTJ-Silin, Kabupaten Barito Utara, Kalimantan Tengah

S. leprosula S. mecisopteryx,

S. palembanica S. parvifolia

Page 113: sintesa hasil penelitian pengelolaan hutan alam produksi lestari

102

S. smithiana Hopea odorata

Dryobalanops aromatica Vatica resak

Page 114: sintesa hasil penelitian pengelolaan hutan alam produksi lestari

103

Nyatoh (Palaquim sp.) Nyawai (Ficus variegate)

binuang bini

(Octomeles sumatrana) Sungkai

(Peronema canescens)

Page 115: sintesa hasil penelitian pengelolaan hutan alam produksi lestari

104 Lampiran 3. Shorea pinanga pada areal hutan alam bekas

tebangan (a & b) dan areal semak belukar (c & d) di KHDTK Siali-ali, Kabupaten Padang Lawas-Sumatera Utara

d. Umur 3 tahun c. Umur 1,5 tahun

b. Umur 3 tahun a. Umur 1,5 tahun