Upload
hanifahsa
View
107
Download
6
Embed Size (px)
DESCRIPTION
sindrom nefrotik
Citation preview
RESUME KASUS 2
Hanifah Shalihah A
220110120107
Tutor 3
Anatomi dan Fisiologi Glomerulus
Glomerulus merupakan filter utama dari nefron dan terletak dalam Bowman'scapsule.
Glomerulus dan seluruh Bowman's capsule membentuk renal corpuscle, unitfiltrasi dasar dari
ginjal. Dari Bowman capsule, keluar pembuluh sempit, disebutproximal convoluted tubule. Tubule
ini berkelok-kelok sampai berakhir pada saluran pengumpul yang menyalurkan urin ke renal pelvis.
Darah melewati glomerulus/ kapiler tersebut dan disaring sehingga terbentukfiltrat (urin
yang masih encer) yang berjumlah kira-kira 170 L/hari, kemudian dialirkan melalui pipa/saluran
yang disebut Tubulus. Urin ini dialirkan keluar ke saluran ureter,kandung kencing, kemudian ke
luar melalui uretra.
Volume ultrafiltrat tiap menit per luas permukaan tubuh disebut glomerulafiltration rate
(GFR). GFR normal dewasa : 120 cc/menit/1,73 m2 (luas pemukaantubuh). GFR normal umur 2-12
thn : 30-90 cc/menit/luas permukaan tubuh anak.
Glomeruli mengandung kapiler-kapiler arteri yang tekanan hidrostatiknya lebihtinggi
daripada tekanan hidrostatik pada kapiler-kapiler lain. Tekanan ini sekitar 75mmHg. Filtrasi
glomerulus dibentuk akibat tekanan hidrostatik darah dimana gaya-gayayang melawan tekanan
hidrostatik yaitu: tekanan osmotik koloid plasma (30 mm Hg),tekanan cairan yang terdapat dalam
bagian tubulus nefron (10 mm Hg), tekananinterstitial didalam parenkin ginjal (10 mm Hg), yang
bekerja pada kapsul bowman yangditeruskan ke cairan kapsuler.
Tekanan hidrostatik adalah 75 mm Hg dan jumlah total gaya-gaya yang melawannya adalah
50 mm Hg. Gaya filtrasi yang dihasilkan kira-kira 25 mm Hg.
Ginjal mempertahankan keasaman (pH) plasma darah pada kisaran 7,4 melalui pertukaran
ion hidronium dan hidroksil. Akibatnya, urin yang dihasilkan dapat bersifat asam pada pH 5 atau
alkalis pada pH 8. Kadar ion natrium dikendalikan melalui proses homeostasis yang melibatkan
aldosteron untuk meningkatkan penyerapan ion natriumpada tubulus konvulasi. Kenaikan atau
penurunan tekanan osmotik darah karenakelebihan atau kekurangan air akan segera dideteksi oleh
hipotalamus yang akanmemberi sinyal pada kelenjar pituitari dengan umpan balik negatif. Kelenjar
pituitarimensekresi hormon antidiuretik (vasopresin) untuk menekan sekresi air sehingga
terjadiperubahan tingkat absorpsi air pada tubulus ginjal. Akibatnya konsentrasi cairan jaringan
akan kembali menjadi 98%.
Kedua ginjal menghasilkan sekitar 125 mL filtrat per menit. 125 mL diabsorsi danyang 1
mL dikeluarkan kedalam kaliks sebagai urin. Setiap 24 jam dibentuk sekitar 1500mL urin
(Nursalam, 2008).
A. Definisi
Sindrom nefrotik merupakan tanda dan gejala yang ditandai dengan proteinuria (terurama
albuminuria) lebih dari 1 g/ m2/ 24 jam, dengan hipoproteinemia (terutama albumin) dengan
protein total kurang dari 5,5 g/dL dan albumin serum kurang dari 2,5 g/dL, dengan
hiperkolesterolemia (>250 mg/dL), dan dengan edema (Behrman, 2010).
Menurut Baughman (2000), nefrotik syndrom merupakan kelainan klinik yang ditandai
dengan proteinuria, hipoalbuminemia, edema, dan hiperkolesterolemia. Sedangkan menurut
Sowden (2002) nefrotik syndrom adalah keadaan klinis yang disebabkan oleh peningkatan
permeabilitas glomerulus terhadap protein plasma yang menimbulkan proteinuria,
hipoalbuminemia, hiperlipidemia, dan edema (Suharyanto, 2009).
B. Etiologi
Penyebab nefrotik syndrom dibagi mejadi 2, yaitu:
a. Primer, dikenal dengan nama nefrosis idiopatikdan relatif sering dijumpai pada
anak.Kebanyakan (90%) anak yang menderita sindrom nefrotik mempunyai beberapa
bentuk sindrom nefrotik idiopatik, diantaranya ; sindrom nefrotik perubahan minimalsekitar
85%, proliferasi mesangium 5%, dan sklerosis setempat 10%. Pada 10% anak sisanya
menderita nefrosis. Sindrom nefrotik sebagian besar diperantarai oleh beberapa bentuk
glomerulonefritis dan yang tersering adalah membranosa dan membranoproliferatif.
b. Sekunder, terjadi sebagai manifestsi klinis setelah atau menyerta kerusakan glomerulus
yang disebabkan oleh etiologi yang diketahui. Misalnya, akibat diabetes mellitus, lupus
eritematosus sistemik, sifilis, dan lain-lain.
c. Kongenital, yang diturunkan sebagai kelainan autosomal-resesif.
(Suharyanto, 2009 dan Wong, 2003).
C. Faktor Resiko
1. Jenis kelaminPada ana, NS mempunyai predominasi laki-laki sebesar hampir 2:1. Data
ISKDC (International Study of Kidney Disease inChildren) menunjukkan bahwa 66%
pasien sindrom nefrotik adalah laki-laki.Sementara untuk orang dewasa perbandingannya
sama antaralaki-laki dan perempuan.
2. Usia Biasanya banyak terjadi di usia 2-6 tahun.
3. Gangguan pertumbuhan dalam rahimatau intrauterine growth retardation (IUGR) dan berat
lahir rendah cukup bulanDiet rendah protein selama kehamilan menyebabkanterjadinya
penurunan pembentukan nefron dan supresisistem renin-angiotensin yang menyetuskan
peningkatantekanan darah dan penurunan laju filtrasi. Pada bayi IUGR,pertumbuhan ginjal
tidak sebaik pertumbuhan organ tubuhlainnya, sehingga ukuran ginjal tampak lebih kecil
saat lahir.Jumlah penelitian yang dipublikasikan mengenai fungsi ginjalsetelah kelahiran
masih sedikit, tetapi data yang adamemperlihatkan bahwa ginjal pada bayi berat lahir
rendahberukuran lebih kecil dibandingkan dengan ginjal padabayi berat lahir sesuai masa
kehamilan (SMK). Berkurangnya jumlah nefron pada bayi berat lahirrendah diduga
merupakan dasar mekanisme etiopatogenesiskelainan ginjal tersebut.
4. Seseorang yang menderita penyakit imun (Smeltzer, 2001 dan Wong, 2003).
D. Klasifikasi
Ada beberapa macam pembagian klasifikasi pada sindrom nefrotik. Menurut berbagai penelitian,
respon terhadap pengobatan steroid lebih sering dipakai untuk menentukan prognosis
dibandingkan gambaran patologi anatomi.5 Berdasarkan hal tersebut, saat ini klasifikasi SN
lebih sering didasarkan pada respon klinik, yaitu :
1) Sindrom nefrotik sensitif steroid (SNSS) : Sindrom nefrotikdimana terjadi remisi pada
pengobatan prednison dosis penuh 2 mg/kgBB/hari dalam4 minggu.
2) Sindrom nefrotik resisten steroid (SNRS) : Sindrom nefrotik dimana tak terjadi remisi pada
pengobatan prednisondosis penuh 2 mg/kgBB/hari selama 4 minggu. (
Catatan :
Beberapa definisi/batasan yang dipakai pada SN adalah:
Remisi : proteinuria negatif atau trace (proteinuria < 4 mg/m2 LPB/jam) 3
hari berturut-turut dalam 1 minggu.
Relaps : proteinuria ≥ 2+ (proteinuria ≥ 40 mg/m2 LPB/jam) 3 hariberturut-turut dalam
1 minggu.
Relaps jarang : relaps terjadi kurang dari 2 kali dalam 6 bulan pertamasetelah respons
awal atau kurang dari 4 kali per tahunpengamatan.
Relaps sering (frequent relaps) : relaps terjadi ≥ 2 kali dalam 6 bulan pertama
setelah respons awal atau ≥ 4 kali dalam periode 1 tahun.
Dependen steroid : relaps terjadi pada saat dosis steroid diturunkan ataudalam 14 hari
setelah pengobatan dihentikan, dan hal ini terjadi 2kali berturut-turut.
Resisten steroid : tidak terjadi remisi pada pengobatan prednison dosispenuh (full dose)
2 mg/kgBB/hari selama 4 minggu (Hidayat, 2008).
E. Manifestasi
Manifestasi utama sindrom nefrotik adalah edema. Edema biasanya bervariasi dari bentuk
ringan sampai berat (anasarka). Edema umumnya ditemukan disekitar mata (periorbital) dan
berlanjut ke area abdomen, daerah genitalia,dan ekstermitas bawah.
Gejala lain yang muncul pada sindroma nefrotik meliputi : menurunnya nafsu makan,
malaise,produksi urin dapat menurun dan renal faillure dapat terjadi jika terjadi kebocoran cairan
dari dalam pembuluh darah ke jaringan sehingga suplai darah ke ginjal berkurang.
Abdomen mungkin membesar karena adanya akumulasi cairan (asites), dan sesak napas
dapat terjadi karena adanya cairan pada rongga pleura (efusi pleura) ataupun akibat tekanan
abdominal yang meningkat akibat asites. Pada keadaan asites berat dapat terjadi hernia
umbilikasis.
Defisiensi zat gizi dapat terjadi karena hilangnya nutrien dalam urin serta anoreksia, dapat
terjadi gagal tumbuh serta hilangnya kalsium tulang. Diare sering dialami oleh pasien dalam
keadaan edema, keadaan ini rupanya bukan berkaitang dengan adanya infeksi, namun diduga
penyebabnya adalah edema di mukosa usus (Alpers, 2006).
F. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisikdilakukan melalui inspeksi, palpasi, dan auskultasi. Pada inspeksi kita
perhatikan adanya edema. Abdomen mungkin membesar karena adanya akumulasi cairan di
intraperitoneal (asites), dan sesak napas dapat terjadi karena adanya cairan pada rongga
pleura (efusi pleura) ataupun akibat tekanan abdominal yang meningkat akibat asites. Pada
pasien terlihat penggunaan otot bantu pernafasan, retraksi dinding dada karena adanya sesak
nafas. Kemudian kita palpasi daerah yang mengalami edema untuk mengetahui derajat
edema. Derajat edema yaitu :
Derajat I : kedalamannya 1- 3 mm dengan waktu kembali 3 detik
Derajat I I : kedalamannya 3-5 mm dengan waktu kembali 5 detik
Derajat III : kedalamannya 5-7 mm dengan waktu kembali 7 detik
Derajat IV : kedalamannya 7 mm atau lebih dengan waktu kembali 7 detik
Auskultasi suara nafas dan kaji adanya suara nafas tambahan.
2. Urinalisis dan bila perlu biakan urin
Pada analisa urin didapatkan proteinuria +3 atau +4, mungkin terdapat hematuria
mikroskopis, tetapi jarang ditemukan hematuria makroskopis.Pada NS, hasil pemeriksaan
urin didapatkan :
Protein urin – meningkat
Berat jenis urin – meningkat
Biakan urin dilakukan apabila terdapat gejala klinik yang mengarah pada infeksi saluran
kemih (ISK).
3. Pemeriksaan darah
Pada pasien NS, hasil pemeriksaan darah didapatkan :
Albumin serum – menurun
Kolesterol serum – meningkat
Hemoglobin danhematokrit – meningkat
Laju endap darah (LED) – meningkat
Elektrolit serum – bervariasi tergantung keadaan penyakit perorangan
4. Ultrasonografi (USG)
Pemeriksaan USG sering dilakukan sebagai pilihan utama karena pemeriksaan ini jauh
lebih cepat, aman dan bebas dari zat-zat yang berbahaya (zat kontras dan radiasi ion), dan
tak bergantung kepada keadaan fungsi ginjal. Resolusi ultrasound berkisar 1-2 cm dapat
dipergunakan untuk memeriksa korteks, medula, piramid ginjal dan area ureter. Namun
USG ini tidak dapat menilai gangguan fungsi akibat obsrtuksi.
5. Tomografi Komputer (CT)
Pemeriksaan CT berguna untuk memeriksa lebih lanjut kelainan-kelainan yang terdapat
pada USG. CT dilakukan dengan memakai kontras kecuali jika yang ingin dilihat hanya
terbatas untuk kelainan perdarahan atau kalsifikasi. Media kontras ini akan difiltrasi oleh
glomeruli dan dikonsentrasikan di tubulus sehingga dapat memperhatikan kelainan pada
pemeriksaan ginjal dan neopalsma atau kista. Pembuluh darah ginjal dan ureter juga dapat
dilihat. CT juga berguna untuk mengevaluasi lesi massa atau penumpukan cairan pada ginjal
atau rongga retroperitoneal teruama sekali bila dengan pemeriksaan USG terhalang oleh
adanya gas atau pasiennya gemuk.
6. Pemeriksaan Biopsi Ginjal
Biopsi ginjal dilakukan dengan menusukkan jarum biopsi melalui kulit ke dalam
jaringan renal atau dengan melakukan biopsi terbuka melalui luka insisi yang kecil didaerah
pinggang. Pemeriksaan ini berguna untuk mengevaluasi perjalanan penyakit ginjal dan
mendapatkan spesimen bagi pemeriksaan mikroskopik. Khususnya bagi penyakit
glomerulus. Sebelum biopsi dilakukan, pemeriksaan koagulasi perlu dilakukan lebih dahulu
untuk mengidentifikasi resiko terjadinya perdarahan pascabiopsi (Muttaqin, 2011 dan
Suharyanto, 2009).
G. Penatalaksanaan
1. Terapeutik
Obat yang digunakan dalam penatalaksan nefrotik sindrom mencakup kortikosteroid,
levamisone, cyclosphospamid, dan cyclosporine. Respon terhadap pengobatan dengan
kortikosteroid berhubungan dengan tipe histopatologi sindrom nefrotik.
Pengobatan kortistreroid (prednison) dimulai dengan dosis 60 mg/m2/24jam atau 2
mg/kgBB/hari (maksimal 80 mg/hari), dibagi menjadi tiga atau empat dosis. Waktu yang
dibutuhkan untuk berespon dengan prednison dosis penuh sekitar 4 minggu, responnya
ditetapkan pada saat urin bebas protein 3 hari berturut-turut dalam 1 minggu. Apabila dalam
empat minggu pertama telah terjadi remisi, dosis prednison diturunkan menjadi 40
mg/m2LPB/hari atau 1,5 mg/kgBB/hari, diberikan selang satu hari, dan diberikan satu hari
sekali setelah makan pagi.Jika anak berlanjut menderita proteinuria (+2 atau lebih) setelah
satu bulan pemberian prednison dosis penuh, maka disebut resisten steroid dan terindikasi
melakukan biopsi ginjal untuk menentukan penyebab penyakit yang tepat.
Setiap relaps nefrosis diobati dengan cara yang sama. Kekambuhan didefinisikan
sebagai berulangnya edema dan bukan hanya proteinuria. Karena pada anak dengan keadaan
ini menderita proteinuria intermiten yang menyembuh spontan. Sejumlah kecil pasien yang
berespon terhadap terapi dosis terbagi setiap hari, akan mengalami kekambuhan segera
setelah perubahan ke atau setelah penghentian terapi selang sehari, penderita demikian
disebut tergantung steroid.Bila ada kekambuhan berulang dan terutama jika anak menderita
toksisitas steroid (muka cushingoid, hipertensi, gagal tumbuh) harus dipikirkan terapi
immunosupresif lain.
- Siklofosfamid, dosis siklofosfamid 3 mg/kg/24jam sebagai dosis tunggal, selama total
pemberian 12 minggu (8 minggu). Terapi prednison tetap diteruskan selama pemberian
siklosfosfamid. Selama terapi dengan siklofosfamid, leukosit harus dimonitor setiap
minggu dan obatnya dihentikan jika jumlah leukosit menurun dibawah 5000/mm3.
komplikasi lain berupa supresi sumsum tulang,hair loss, azoospremia, hemorrhagic
cystitis, keganasan, mutasi dan infertilitas.
- Levamison, adalah imunosimultan dengan efek steroid-sparing yang lemah sehingga
perlu penghentian terapi prednison. Dosis yang dipakai adalah 2,5 mg/kg selama 4-12
bulan. Efek samping jarang ditemukan, tetapi dilaporkan dapat terjadi neutropenia dan
encelopathy. Obat ini tidak umum digunakan.
- Cyclosporin, adalah inhibitor fungsi limfosit T dan diindikasikan bila terjadi relaps
setelah terapi dengan cyclosfosfamid. Cyclosporin lebih disukai digunakan pada anak
laki-laki dalam masa pubertas yang beresiko menjadi azoospermia akibat induksi
siklosfosfamid. Cyclosporin dapat bersifat nefrotoksik, dan dapat menyebabkan
hisurtism, hipertensi dan hipertropi ginggiva.
2. Pengobatan supotif
Dalam penanganan pasien sindrom nefrotik harus diperhatikan tidak saja pendekatan
farmakologis terhadap penyakit glomerular yang mendasarinya. Pengobatan suportif sangat
penting bagi pasien yang tidak memberi respon terhadap pengobatan imunosupresif dan
karena itu mudah mendapat komplikasi sindrom nefrotik yang berkepanjangan.
a. Terapi diet
- Masukan garam dibatasi ± 2gram/hari untuk mengurangi keseimbangan natrium
yang positif.
- Diet tinggi kalori, protein dibatasi ± 2 gram/kgBB/hari.
- Diet vegetarian yang mengandung kedelai lebih efektif menurunkan
hiperlipidemia.
b. Pengobatan terhadap edema.
Dengan pemberian diuretik tiazid ditambah dengan obat penahan kalium
(spirinolakton, triamteren). Bila tidak ada respon dapat digunakan furosemid,
asam etekrinat atau bumetamid. Dosis furosemid 25-1000mg/ hari dan paling
sering dipakai karena toleransinya baik walau dengan dosis tinggi.
c. Antibiotik profilaksis
Di beberapa negara, pasien SN dengan edema dan asites diberikan
antibiotikprofilaksis dengan penisilin oral 125-250 mg, 2 kali sehari, sampai
edemaberkurang.Di Indonesia tidak dianjurkan pemberian antibiotik
profilaksis,tetapi perlu dipantau secara berkala, dan bila ditemukan tanda-tanda
infeksisegera diberikan antibiotik. Biasanya diberikan antibiotik jenis
amoksisilin,eritromisin, atau sefaleksin.
d. Proteinuria dan hipoalbuminemia
ACE inhibitor mempunyai efek antiproteinuria, efek bergantung pada dosis,
lama pengobatan dan masukan natrium. Pengobatan ACE inhibitor dimulai
dengan dosis rendah dan secara progresif ditingkatkan sampai dosis toleransi
maksimal.
Obat-obat anti inflamasi nonsteroid dapat menurunkan protreinuia sampai 50%,
efek ini disebabkan karena menurunnya permeabilitas kapiler terhadap protein,
nenurunnya tekanan kapiler intraglomerural dan atau karena menurunnya luas
permukaan filtrasi. Indometasin (150mg/hari) dan meklofenamat
(200-300mg/hari) merupakan obat yang sering dipakai.
n-3 asam lemak takjenuh (polyunsaturated fatty acid) dapat mengurangi
proteinuria sebanyak 30% tanpa efek samping yang berarti.
e. Hiperlipidemia
Pada saat ini penghambat HMG-CoA, seperti lovastatin, pravastatin dan
simvastatin merupakan obat pilihan untuk mengobati hiperlipidemia pada sindrom
nefrotik.
f. Hiperkoagulabilitas
Pemakaian obat anti koaagulan terbatas pada keadaan terjadinya resiko
tromboemboli seperti; tirah baring lama, pembedahan, saat dehidrasi, atau saat
pemberian kortikosteroid IV dosis tinggi (Behrman, 2010 dan Axton, 2013).
H. Prognosis
Prognosis pasien nefrotik sindrom bervariasi bergantung tipe kelainan histopatologi.
Prognosis untuk nefrotik sindrom kongenital adalah buruk, pada banyak kasus dalam 2-18 bulan
akan terjadi kematian karena gagal ginjal. Sedangkan prognosis untuk anak dengan kelainan
minimal glomerulus sangat baik. Karena pada kebanyakan anak respon tehadap terapi steroid;
sekitar 50% mengalami 1-2 kali relaps dalam 5 tahun dan 20% dapat relaps dalam kurun waktu
10 tahun setelah didiagnosis. Hanya 30 % anak yang tidak pernah relaps setelah inisial episode.
Setidaknya sekitar 3% anak yang respon terhadap steroid menjadi steroid resisten. Progresif
renal insufisiensi terjadi pada kurang dari 1% pasien, dan kematian pada pasien kelainan
minimal biasanya disebabkan oleh infeksi dan komplikasi ekstra renal.
Hanya sekitar 20% pasien sindrom nefrotik dengan fokal segmental glomerulonefritis
sklerosis, yang mengalami remisi derajat protenurianya, banyak pasien yang mengalamai relaps
menjadi steroid dependen atau resisten. Penyakit renal stadium akhir terjadi pada 25-30% pasien
dalam lima tahun, dan 30-40% dalam sepuluh tahun.
Lima puluh persen pasien dengan difuse mesangial proliferation mengalami remisi komplit
dari proteinuria dengan steroid terapi, sekitar 20% terjadi delayed remisi. Dua puluh persen
menjadi proteinuria yang berlanjut dan sekitar 6% menjadi renal isufisiensi yang progresif.
Prognosis pada pasien dengan membranoproliferatif glomerulonephropaty umumnya kurang
baik, dan keuntungan terapi steroid tidak begitu jelas. Pada beberapa study dinyatakan, tidak ada
perbedaan evidence hasil antara pemberian pengobatan dengan tanpa pengobatan pada pasien
ini, karena sekitar 30% pasien akan menjadi penyakit renal stadium akhir dalam 5 tahun
(Behrman, 2010).
I. Komplikasi
1. Infeksi
Pada SN mudah terjadi infeksi dan yang paling sering adalah selulitis danperitonitis.
Hal ini disebabkan karena terjadi kebocoran IgG dan komplemenfaktor B dan D di urin.
Pemakaian obat imunosupresif menambah risikoterjadinya infeksi. Bila terjadi
peritonitis primer (biasanya disebabkan olehkuman Gram negatif dan Streptococcus
pneumoniae) perlu diberikan pengobatanpenisilin parenteral, dikombinasikan dengan
sefalosporin generasi ketiga yaitusefotaksim atau seftriakson, selama 10-14 hari.
2. Tromboemboli
Pada SN dapat terjadi trombosis karena adanya hiperkoagulasi, peningkatankadar
fibrinogen, faktor VIII, dan penurunan konsentrasi antitrombin III.Trombosis dapat
terjadi di dalam vena maupun arteri. Adanya dehidrasimeningkatkan kemungkinan
terjadinya trombosis.
Pencegahan tromboemboli dapat dilakukan dengan pemberian aspirindosis rendah
(80 mg) dan dipiridamol, tetapi sampai saat ini belum ada studiterkontrol terhadap
efektivitas pengobatan ini.9 Heparin diberikan bila sudahterjadi trombosis.
3. Hiperlipidemia
Pada SN relaps atau resisten steroid terjadi peningkatan kadar kolesterol LDLdan
VLDL, trigliserida, dan lipoprotein (a) (Lpa), sedangkan kolesterol HDLmenurun atau
normal. Zat-zat tersebut bersifat aterogenik dan trombogenik.
Pada SN sensitif steroid, karena peningkatan zat-zat tersebut bersifatsementara,
cukup dengan pengurangan diet lemak. Pada SN resisten steroiddapat dipertimbangan
pemberian obat penurun lipid seperti questran, derivatfibrat dan inhibitor HMgCoA
reduktasia (statin), karena biasanya peningkatankadar lemak tersebut berlangsung lama,
tetapi manfaat pemberian obat tersebutmasih diperdebatkan.
4. Hipokalsemia
Pada SN dapat terjadi hipokalsemia karena:
1. Penggunaan steroid jangka panjang yang menimbulkan osteoporosis danosteopenia
2. Kebocoran metabolit vitamin D
Oleh karena itu pada SN relaps sering dan SN resisten steroid
dianjurkanpemberian suplementasi kalsium 500 mg/hari dan vitamin D. Bila telah
terjaditetani, diobati dengan kalsium glukonas 50 mg/kgBB intravena.
5. HipovolemiaPemberian diuretik yang berlebihan atau dalam keadaan SN relaps
dapatmengakibatkan hipovolemia dengan gejala hipotensi, takikardia,
ekstremitasdingin, dan sering disertai sakit perut. Pasien harus segera diberi infus
NaClfisiologik dan disusul dengan albumin 1 g/kgBB atau plasma 20 ml/kgBB(tetesan
lambat 10 per menit).Bila hipovolemia telah teratasi dan pasien tetapoliguria, diberikan
furosemid 1-2 mg/kgBB intravena.
6. Malnutrisi
7. Gagal ginjal (Alpers, 2006 dan Behrman, 2010).
Etiologi primer dan sekunder
Kerusakan glomerulus
Perubahan permeabilitas membran glomerulus
Protein terfiltrasi
Hipoalbuminemia
Penurunan tekanan onkotik
Peningkatan tekanan hidrostatik
Perpindahan cairan dari intrasel ke intertisial
Peningkatan sintesa protein di hati
Pemecahan lemak & protein
Peningkatan kolestrol darah
Hiperlipidemia
Penurunan sist. imun
Risiko tinggi infeksi
EdemaPenurunan volume intravaskuler
Kelebihan volume cairan
HipovolemiaParu-paru
Efusi pleura
Asites
Menekan saraf vagus
Persepsi kenyang
Gangguan pemenuhan Nutrisi
Sekresi reninangiotensin
Sekresi ADH dan AldosteronPeningkatan
tekanan abdominal
Penurunan compliance paru
Penurunan O2
Reabsobsi Na Reabsobsi air
Hipoksia
Iskemia
Nekrosis
Kelemahan
Gangguan Mobilitas Fisik
Peningkatan volume plasma
Peningkatan tekanan darah
Gangguan integritas kulit
Beban jantung meningkat
Ekspansi paru tdk adekuat
Perubahan perfusi jaringan
Gangguan pola nafas tidak efektif
Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian 1. Biodata
Nama : An. X
Usia : 4 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : -
Pekerjaan : -
Diagnosa medis : Sindrom Nefrotik
2. Keluhan utama :Edema anasarka
3. Riwayat kesehatan:Menurut ibunya, 1 bulan yang lalu anakya mengalami bengkak
pada periorbita terutama saat bangun tidur, muka sembab dan pusing. Kemudian 1
tahun yang lalu, anaknya mengalami bengkak-bengkak diseluruh tubuh dan kelopak
mata. Ketika dibawa ke RS Majalaya dikatakan bocor ginjal. Pasien kontrol 3 bulan
tidak ada perbaikan. Dibawa ke RS Al Ihsan sejak 2012 dan diberi tablet berwarna
hijau 3x2 selama 2 bulan selanjutnya 4 tablet per hari selang sehari keluhan tidak
berubah.
4. Riwayat kesehatan keluarga:-
5. Hasil pengkajian fisik
1. Pemeriksaan fisik
a. Inspeksi : edema anasarka, rasio inspirasi: ekspirasi (1:1)
b. Palpasi : asites (+)
c. Perkusi : -
d. Auskultasi : -
2. TTV
a. Tekanan darah :130/90 mmHg
b. HR : 112x/menit
c. RR : 30x/menit
d. Suhu : 36oC
3. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan darah
Hb : 13 mg/dl
Hematoktit : 44%
Protein total :6,0
Albumin : 2,1
Kolesterol total : 345
Trigliserida : 172
BUN : 30 mg%
Serum kreatinin : 0.9 mg %
Pemeriksaan urin
Albumin urin : (+)
Warna urin : kuning
Kejernihan : keruh
Ph : 6.5
BJ : 1,010
Glukosa urin : -
Keton : +
Nitrit : -
Urobilinogen : 0,1
*Catatan nilai normal :
a. Protein urin
Penilaian:
- : tidak ada kekeruhan
+ : kekeruhan ringan tanpa butir-butir (0,01 – 0,05%)
++ : kekeruhan mudah dilihat dan Nampak butir-butir dalam kekeruhan tersebut (0,05
– 0,2%)
+++ : urin jelas keruh dan kekeruhan berkeping-keping (0,2 – 0,5%)
++++ : sangat keruh bahkan bergumpal/memadat (> 0,5%)
b. Serum kolesterol
Anak :
Normal : < 170 mg/dL
Border line : 170 – 199 mg/dL
Tinggi : >200 mg/dL
c. Serum kreatinin: sampah metabolisme yang dilakukan oleh aktivitas otot.
Laki-laki dewasa : 0,8 – 1,4 mg/dL
Wanita dewasa : 0,6 – 1,1 mg/dL
Anak : BBL : 0,8 – 1,4 mg/dL
Bayi : 0,7 – 1,4 mg/dL
2 – 6 tahun : 0,2 – 1,0 mg/dL
6 – 12 tahun : 0,4 – 1,2 mg/dL
d. BUN (Blood Urea Nitrogen): sampah metabolisme yang mengandung nitrogen.
Dewasa : 10 – 20 mg/dL
Anak : 5 – 18 mg/dL
e. Serum albumin: protein yang mengatur keseimbangan dalam sel, memberi gizi sel,
mengeluarkan produk sisa, dan mempertahankan pengaturan cairan dalam tubuh.
Dewasa : 3,5 – 5 g/dL
Anak : 2,9 – 5,5 g/dL
f. Nilai normal urin (24 jam)
Usia : 1 – 2 hari : 30 – 60 ml
3 – 10 hari : 100 – 300 ml
10 hari – 2 bln : 250 – 450 ml
2 bln – 1 tahun: 400 – 500 ml
1 – 3 tahun : 500 – 600 ml
3 – 5 tahun : 600 – 700 ml
5 – 8 tahun : 650 – 800 ml
8 – 14 tahun : 800 – 1400 ml
g. Hb
Dewasa laki-laki : 14 - 18 g/dL
Dewasa perempuan : 12 - 16 g/dL
Remaja : 11,5 – 14,8 g/dL
Anak 3 -5 tahun : 9,5 – 12,5 g/dL
BBL : 13,6 – 19,6 g/dL
h. Ht
Dewasa laki-laki : 40 – 54 %
Dewasa perempuan : 37 – 47 %
Anak : 33 – 38 %
i. Nilai normal hasil laboratorium lainnya :
Kolesterol total 150-200 mg/dL
HDL 45-65 mg/dL
LDL 35-55 mg/dL
Trigliserida 120-190 mg/dL
Kadar natrium dalam air kemih adalah rendah, normalnya :
Dalam serum
1. dewasa 135-145 mEq/L
2. anak 135-145 mEq/L
3. bayi 135-150 mEq/L
Dalam urin : 40-220 mEq/L/24 jam
Kadar kalium dalam air kemih adalah tinggi :
Dalam darah
1. dewasa 3,5-5,0 mEq/L
2. anak 3,6-5,8 mEq/L
3. bayi 3,6-5,8 mEq/L
Dalam urin : 25-120 mEq/L/24 jam
Kadar urobilinogen : 0,1-1,0 EU/dl
Berat jenis urin : 1,001-1,040
Pemeriksaan darah lainnya pada anak usia 4 tahun
Leukosit : 6.000-17.500
Trombosit : 150.000-450.00 sel/mm3
2. Analisis Data
No. Data Etiologi Masalah
1. DO : Ascites (+) TD 130/90, HR
112x/menit, RR 30x/menit, Rasio
inspirasi&ekspirasi 1:1, Antropometri BB
30, TB 121,5 cm, Lingkar Kepala 68cm.
DS : Menurut ibunya sekitar sebulan yang
lalu klien mengalami bengkak pada
periorbita terutama pada saat bangun
tidur, muka sembab, mengeluh pusing.
Etiologi primer dan sekunder
Kerusakan glomerulus
Perubahan permeabilitas
membran glomerulus
Protein terfiltrasi
Hipoalbuminemia
Penurunan tekanan onkotik
Kelebihan volume cairan
Peningkatan tekanan hidrostatik
Perpindahan cairan dari intrasel ke
intertisial
Edema
Kelebihan volume cairan
2. DO : Dari pemeriksaan fisik didapatkan
ascites (+) TD 130/90, HR 112x/menit,
RR 30x/menit, Rasio inspirasi&ekspirasi
1:1.
DS :
Etiologi primer dan sekunder
Kerusakan glomerulus
Perubahan permeabilitas
membran glomerulus
Protein terfiltrasi
Hipoalbuminemia
Penurunan tekanan onkotik
Peningkatan tekanan hidrostatik
Perpindahan cairan dari intrasel ke
intertisial
Edema
Asites
Gangguan pola nafas tidak efektif
Peningkatan tekanan abdominal
Penurunan compliance paru
Ekspansi paru tdk adekuat
Gangguan pola nafas tidak efektif
3. Diagnosa Keperawatan
Kelebihan volume cairan berhubungan dengan akumulasi cairan dalam jaringan dan
retensi natrium serta air
Tujuan: Dalam waktu 1x24 jam tidak terjadi kelebihan volume cairan sistemik.Kriteria evaluasi:
- Edema berkurang atau teratasi.- Penurunan keluhan sesak napas- Produksi urin >600 ml/hari
intervensi RasionalKaji adanya edema Mengetahui lokasi dan derajat edema, dan bila
terjadi edema ekstremitas dapat diindikasikan terjadinya gagal kongestif.
Istirahatkan atau tirah baring klien pada saat edema masih terjadi.
Menjaga klien dalam keadaan tirah baring selama beberapa hari diperlukan untuk meningkatkan diuresis guna mengurangi edema.
Pantau tekanan darah. Merupakan salah satu cara untuk mengetahui peningkatan jumlah cairan yang dapat diketahui dengan meningkatnya beban kerja jantung dan dapat dilihat dari hasil pengukuran tekana darah.
Pantau intake dan output. Penurunan curah jantung, mengakibatkan gangguan perfusi ginjal, retensi natrium dan air, dan penurunan urine output.
Timbang berat badan Perubahan tiba-tiba dari berat badan menunjukkan gangguan keseimbangan cairan.
Berikan oksigen tambahan dengan kanula nasal/masker sesuai dengan indikasi.
Meningkatkan sediaan oksigen untuk kebutuhan miokard berguna untuk melawanefek hipoksia/iskemia.
Kolaborasi : Berikan diet tanpa garam
Natrium meningkatkan retensi cairan dan meningkatkan volume plasma.
Kolaborasi : Berikan diet rendah protein tinggi
Diet rendah protein membantu menurunkan insufisiensi renal dan retensi nitrogen yang akan
kalori. meningkatkan BUN. Diet tinggi kalori membantu menyimpan cadangan energi dan mengurangi katabolisme protein.
Kolaborasi : Berikan diuretik, contoh : Furosemide.
Diuretik bertujuan untuk menurunkan volume plasma dan menurunkan retensi cairan di jaringan sehingga menurunkan risiko terjadinya edema paru.
Kolaborasi : Kortikosteroid, contoh : Prednison.
Kortikosteroid dapat membantu mengatasi peradangan pada glomerulus yang membantu menurunkan permeabilitas kapiler glomerulus sehingga dapat menurunkan proteinuria.
Kolaborasi : Pantau data laboratorium elektrolit
kalium.
Pasien yang mendapat terapi diuretik mempunyai risiko terjadi hipokalemia sehingga perlu dipantau.
Sumber : (Alpers, 2006, Doenges, 2000, dan Muttaqin, 2011).
LO
1. Tumbuh kembang anak usia 4 tahun !Jawab :
Mampu berjalan sendiri
Belajar berpakaian dan membuka pakaian
Menggambar garis silang
Menggambar orang hanya kepala dan badan
Mengenal 2 – 3 warna
Bicara dengan baik
Menyebut namanya, jenis kelamin dan umurnya
Banyak bertanya
Bertanya bagaimana anak dilahirkan
Mengenal sisi atas, bawah, muka dan belakang
Bermain dengan anak lain dan menunjukan rasa sayang kepada saudaranya
Dapat melaksanakan tugas sederhana
Dari 4 – 5 tahun
Melompat dan menari
Mengganbar orang terdiri dari kepala, lengan, badan
Menggambar segi empat dan segi tiga
Pandai bicara
Dapat menghitung jari - jarinya
Dapat menyebut hari – hari dalam seminggu
Mendengar dan mengulang hal – hal penting dan cerita
Minat kepada kata baru dan artinya
Memprotes bila dilarang apa yang diingininya
Mengenal 4 warna
Memperkirakan bentuk dan besarnya benda, membedakan besar dan kecil
Menaruh minat kepada aktifitas orang dewasa (Wong, 2003).
DAFTAR PUSTAKA
Alpers, Ann. 2006. Buku Ajar Pediatri Rudolph, Ed. 20, Vol. 2. Jakarta : EGC.
Axton, Sharon. 2013. Rencana Asuhan Keperawatan Pediatrik, Ed. 3. Jakarta : EGC.
Baradero, Mary,SPC,MN & Dayrit, Mary Wilfrid, SPC, MAN, dkk.(2008). Seri Asuhan
Keperawatan Klien Gangguan Ginjal.Jakarta:EGC.
Basuki B. Purnomo. 2000. Dasar-Dasar Urologi. Malang. Fakultas kedokteran
Brawijaya.
Behrman, Richard E. 2010. Esensi Pediatri Nelson, Ed. 4. Jakarta : EGC.
Doenges, E. Marilynn. 2000. Rencana Asuhan keperawatan : Pedoman Untuk
Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta: EGC.
Hidayat, Aziz Alimul A. 2008. Pengantar Ilmu Keperawatan Anak. Jakarta : Salemba
Medika.
Muttaqin, Arif. 2011. Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem Perkemihan. Jakarta:
Salemba Medika.
Nursalam. 2008. Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Gangguan Sistem
Perkemihan. Jakarta : Salemba Medika.
Smeltzer, Suzanne C. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner &
Suddarth, Ed.8, Vol. 2. Jakarta : EGC.
Suharyanto, Toto. 2009. Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Gangguan Sistem
Perkemihan. Jakarta: Trans Info Media.
Wong, Donna L. 2003. Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik, Ed. 4. Jakarta : EGC.