36
BAB I SKENARIO Ny. X , 48 th, datang periksa ke poli klinik FKU-UWKS dengan keluhan badan panas tinggi, sakit kepala, sesak napas. Pemeriksaan darah lengkap didapatkan peningkatan sel darah putih. Oleh dokter jaga dirujuk kerumah sakit dikarenakan pasien selanjutnya mengalami penurunan kesadaran.

sgd skenario 4

Embed Size (px)

DESCRIPTION

4

Citation preview

Page 1: sgd skenario 4

BAB I

SKENARIO

Ny. X , 48 th, datang periksa ke poli klinik FKU-UWKS dengan keluhan badan panas tinggi, sakit kepala, sesak napas. Pemeriksaan darah lengkap didapatkan peningkatan sel darah putih. Oleh dokter jaga dirujuk kerumah sakit dikarenakan pasien selanjutnya mengalami penurunan kesadaran.

Page 2: sgd skenario 4

BAB II

KATA KUNCI

1. Panas tinggi

2. Sesak napas

3. Peningkatan sel darah putih

4. Penurunan kesadaran

Page 3: sgd skenario 4

BAB III

PROBLEM

1. Apa yang terjadipada Ny. X?2. Bagaimana cara mendiagnosanya?3. Bagaimana penatalaksanaannya?4. Bagaimana prognosanya?

Page 4: sgd skenario 4

BAB IV

PEMBAHASAN

4.1 Batasan

1. Panas tinggi/DemamDemam adalah kenaikan suhu tubuh di atas normal. Bila diukur padanrektal >38°C

(100,4°F), diukur pada oral >37,8°C, dan bila diukur melalui aksila >37,2°C (99°F) (Schmitt, 1984).

2. Sesak napasDispnea atau sesak napas adalah perasaan sulit bernapas ditandai dengan napas

yang pendek danpenggunaan otot bantu pernapasan. Dispnea dapat ditemukan pada penyakit kardiovaskular, emboli paru, penyakit paru interstisial atau alveolar, gangguan dinding dada, penyakit obstruktif paru (emfisema, bronkitis, asma), kecemasan (Price dan Wilson, 2006).

3. Peningkatan sel darah puith/leukositosisLeukositosis adalah peningkatan sel darah putih (leukosit) di atas nilai normal.

Nilai normal leukosit berbeda pada bayi, anak, dan dewasa. Leukositosis dapat disebabkan oleh infeksi, radang (inflamasi), reaksi alergi, keganasan, dan lain-lain.

4. Penurunan kesadaranKesadaran adalah keadaan awas waspada  terhadap lingkungan. Sedangkan 

penurunan kesadaran (koma) adalah sebaliknya, dimana dijumpai hilangnya kewaspadaan terhadap lingkungan sekalipun dirangsang dari luar.  

4.2 SIRS dan Sepsis

SIRS (Systemic Infl ammatory Response Syndrome) adalah respons klinis terhadap rangsangan (insult) spesifi k dan nonspesifi k. Dikatakan SIRS apabila terdapat 2 atau lebih dari 4 variabel berikut:1. Suhu > 38°C atau < 36°C2. Denyut jantung > 90 denyut/menit3. Respirasi >20/menit atau PaCO2 < 32 mmHg4. Hitung leukosit > 12.000/mm3 atau >10% sel imatur

Sepsis adalah SIRS ditambah tempat infeksi yang diketahui. Meskipun SIRS, sepsis dan syok sepsis biasanya berhubungan dengan infeksi bakteri, tidak harus terdapat bakteriemia.

Dikatakan atau dicurigai menderita sepsis bila terdapat gejala dan tanda minimal dua dari kriteria berikut ini :1. Denyut jantung meningkat (tachycardia) saat istirahat2. Demam atau hipotermia 3. RR meningkat 4. WBC abnormal5. Kadang mual dan muntah6. Garis-garis merah atau alur-alur merah pada kulit (tidak seluruhnya terjadi)

Page 5: sgd skenario 4

Sepsis berat adalah sepsis yang berkaitan dengan disfungsi organ, kelainan hipoperfusi, atau hipotensi. Kelainan hipoperfusi meliputi :

1. Asidosis laktat2. Oliguria3. Atau perubahan akut pada status mental

Terdapat beberapa kriteria diagnostik baru untuk sepsis, diantaranya memasukkan pertanda biomolekuler yaitu procalcitonin (PCT) dan C-reactive protein, sebagai langkah awal dalam diagnosis sepsis (Hermawan, 2007).

Syok merupakan keadaan dimana terjadi gangguan sirkulasi yang menyebabkan perfusi jaringan menjadi tidak adekuat sehingga mengganggu metabolisme sel/jaringan. Syok septik merupakan keadaan dimana terjadi penurunan tekanan darah (sistolik < 90mmHg atau penurunan tekanan darah sistolik > 40mmHg) disertai tanda kegagalan sirkulasi, meski telah dilakukan resusitasi secara adekuat atau perlu vasopressor untuk mempertahankan tekanan darah dan perfusi organ (Chen dan Pohan, 2007).

4.3 Etiologi

Penyebab terbesar dari sepsis adalah bakteri gram negatif. Produk yang berperan penting terhadap sepsis adalah lipopolisakarida (LPS), yang merupakan komponen terluar dari bakteri gram negatif. LPS merupakan penyebab sepsis terbanyak, dapat langsung mengaktifkan sistem imun seluler dan humoral, yang dapat menimbulkan gejala septikemia. LPS tidak toksik, namun merangsang pengeluaran mediator inflamasi yang bertanggung jawab terhadap sepsis. Bakteri gram positif, jamur, dan virus, dapat juga menyebabkan sepsis dengan prosentase yang lebih sedikit. Peptidoglikan yang merupakan komponen dinding sel dair semua kuman, dapat menyebabkan agregasi trombosit. Eksotoksin dapat merusak integritas membran sel imun secara langsung (Hermawan, 2007).

4.4 Patogenesis

Sepsis melibatkan berbagai mediator inflamasi termasuk berbagai sitokin. Sitokin proinflamasi dan antiinflamasi terlibat dalam patogenesis sepsis. Termasuk sitokin proinflamasi adalah TNF, IL-1, interferon (IFN-γ) yang membantu sel menghancurkan mikroorganisme yang menginfeksi. Termasuk sitokin antiinflamasi adalah interleukin 1 reseptor antagonis (IL-1ra), IL-4, IL-10, yang bertugas untuk memodulasi, koordinasi atau represi terhadap respon yang berlebihan. Apabila terjadi ketidakseimbangan kerja sitokin proinflamasi dengan antiinflamasi, maka menimbulkan kerugian bagi tubuh.

Endotoksin dapat secara langsung dengan LPS dan bersama-sama membentuk LPSab (Lipo Poli Sakarida antibodi). LPSab dalam serum penderita kemudian dengan perantara reseptor CD14+ akan bereaksi dengan makrofag, dan kemudian makrofag mengekspresikan imunomodulator. Hal ini terjadi apabila mikroba yang menginfeksi adalah bakteri gram negatif yang mempunyai LPS pada dindingnya.

Eksotoksin, virus dan parasit yang merupakan superantigen setelah difagosit oleh monosit atau makrofag yang berperan sebagai Antigen Presenting Cell (APC), kemudian ditampilkan dalam APC. Antigen ini membawa muatan polipeptida spesifik yang berasal dari Major Histocompatibility Complex (MHC). Antigen yang bermuatan pada peptida MHC kelas II akan berikatan dengan CD4+ (limfosit Th1 dan Th2) dengan perantaraan TCR (T cell receptor).

Limfosit T kemudian akan mengeluarkan substansi dari Th1 yang berfungsi sebagai immunomodulator yaitu: IFN-γ, IL-2 dan M-CSF (Macrophage Colony stimulating factor). Limfosit Th2 akan mengekspresikan IL-4, IL-5, IL-6, dan IL-10. IFN-γ

Page 6: sgd skenario 4

merangsang makrofag mengeluarkan IL-1β dan TNF-α. IFN-γ, IL-1β dan TNF-α merupakan sitokin proinflamasi, pada sepsis terdapat peningkatan kadar IL-1β dan TNF-α dalam serum penderita. Sitokin IL-2 dan TNF-α selain merupakan reaksi sepsis, dapat merusakkan endotel pembuluh darah, yang mekanismenya sampai saat ini belum jelas. IL-1β sebagai imunoregulator utama juga mempunyai efek pada sel endotel, termasuk pembentukan prostaglandin E2 (PG-E2) dan merangsang ekspresiintercellular adhesion molecule-1 (ICAM-1). Dengan adanya ICAM-1 menyebabkan neutrofil yang telah tersensitisasi oleh granulocyte-macrophage colony stimulating factor (GM-CSF) akan mudah mengadakan adhesi. Interaksi neutrofil dengan endotel terdiri dari 3 langkah, yaitu :1. Bergulirnya neutrofil P dan E selektin yang dikeluarkan oleh endotel dan L-selektin

neutrofil dala mengikat ligan respektif2. Merupakan langkah yang sangat penting, adhesi dan aktivasi neutrofil yang mengikat

intergretin CD-11 atau CD-18, yang melekatkan neutrofil pada endotel dengan molekul adhesi (ICAM) yang dihasilkan oleh endotel

3. Transmigrasi neutrofil menembus dinding endotel.

Neutrofil yang beradhesi dengan endotel akan mengeluarkan lisozyme yang melisiskan dinding endotel, akibatnya endotel terbuka. Neutrofil juga termasuk radikal bebas yang mempengaruhi oksigenasi pada mitokondria dan siklus GMPs, sehingga akibatnya endotel menjadi nekrosis, dan rusak. Kerusakan endotel tersebut menyebabkan vascular leak, sehingga menyebabkan kerusakan organ multipel. Pendapat lain yang memperkuat pendapat tersebut bahwa kelainan organ multipel disebabkan karena trombosis dan koagulasi dalam pembuluh darah kecil sehingga terjadi syok septik yang berakhir dengan kematian.

Untuk mencegah terjadinya sepsis yang berkelanjutan, Th2 mengekspresikan IL-10 sebagai sitokin antiinflamasi yang akan menghambat ekspresi IFN-γ, TNF-α dan fungsi APC. IL-10 juga memperbaiki jaringan yang rusak akibat peradangan. Apabila IL-10 meningkat lebih tinggi, maka kemungkinan kejadian syok septik pada sepsis dapat dicegah (Hermawan, 2007).

4.5 Penyakit yang Berhubungan1. Pancreatitis

a. Pankreatitiss Akut Gejala Klinis : _

1) Nyeri epigastrium hebat menjalar ke punggung, sakit seperti disayat-sayat, sakit berkurang bila membungkuk kedepan/duduk

2) Mual, muntah3) Perut gembung4) Demam5) Hipotensi (30 – 40 %)6) Ileus (10%)7) Hiperbilinemia (40%)8) Grey Turner’s sign : kebiruan disudut costovertebra9) Cullen’s sign : kebiruan di daerah periumb

Pemeriksaan :Laboratorium1) Enzim pankreas ↑ (Amilase, lipase)→Gold standard2) Lekositosis, KGD & CRP (> 100 insufisiensi pankreas)3) Albumin↓, creatinin ↑ (dehidrasi)

Page 7: sgd skenario 4

4) Hiperglikemia5) ↑ Bilirubin6) Hematokrit ↑

Radiologi1) Foto Polos abdomen→colon cut – off sign, menyingkirkan ileus obstruksi,

perforasi usus.2) USG→batu traktus biliaris,Oedematous pankreas, peri pankreatitis3) CT scan→komplikasi lokal

Peripancreatic & retroperitoneal edema

b. Pankreatitis Kronis Gejala Klinis :

1) Nyeri perut (tersering)2) Malabsorbsi (Insufisiensi Eksokrin)

- Diare dan steatore- Penurunan BB dan kurang gizi yang hebat- Edema karena hipoproteinemia- Defisiensi vitamin yang larut dalam lemak

3) Diabetes Melitus (Insufisiensi Endokrin) Pemeriksaan :

Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala atau adanya riwayat pankreatitis akut. Pemeriksaan darah kurang bermanfaat dalam mendiagnosis pankreatitis kronis, tetapi bisa menunjukan adanya peningkatan kadar amilase dan lipase. Pemeriksaan darah juga dapat digunakan untuk mengetahui kadar gula darah, yang mungkin akan meningkat. Foto rontgen perut dan pemeriksaan USG bisa menunjukan adanya batu pada pankreas.

Endoskopi pankreatografi retrograd (tehnik sinar X yang memperlihatkan struktur dari saluran pankreas) bisa memperlihatkan saluran yang melebar, penyempitan saluran atau batu pada saluran. CT scan bisa memperlihatkan adanya perubahan ukuran, bentuk dan tekstur dari pankreas.

2. Hypovolaemic shock Faktor pemicu shock hipovolemik:

1) Perdarahan (pembedahan, trauma, perdarahan GI, gangguan pembekuan darah, ruptur varises eosophagus)

2) Hilangnya cairan intravaskuler dari kulit menuju3) Jaringan cedera, misal luka bakar4) Hilangnya volume darah karena dehidrasi berat5) Hilangnya cairan tubuh melalui sistem GI; muntah,6) Diare, suction nasogastrik7) Hilangnya cairan akibat pengguanaan diuretik,8) Diabetes inspidus9) Ascites, efusi pleura, obstruksi intestinal

Gejala :Jika kehilangan darah >1000ml :- Hypotensi- Pernafasan cepat- Kulit dingin, pucat- Status mental : cemas, bingung, agitasi

Page 8: sgd skenario 4

- Oliguri (<30ml/jam)- Haus, asidosis, hiperkalemia, CRT menurun.

Jika kehilangan 35%-50% volume darah;- Hypotensi; sistolik <80mmHg- Pols cepat/lemah- Pernafasan cracles/whezing- Cyanosis- Status mental : letargi, koma- Anuria

Langkah DiagnosisPemeriksaan Laboratoriuma. Setelah anamnesis dan pemeriksaan fisik dilakukan, langkah diagnosis

selanjutnya tergantung pada penyebab yang mungkin pada hipovolemik, dan stabilitas dari kondisi pasien itu sendiri.

b. Pemeriksaan laboratorium awal yang sebaiknya dilakukan antara lain : analisis Complete Blood Count (CBC), kadar elektrolit (Na, K, Cl, HCO3, BUN, kreatinin, kadar glukosa), PT, APTT, AGD, urinalisis (pada pasien yang mengalami trauma), dan tes kehamilan. Darah sebaiknya ditentukan tipenya dan dilakukan pencocokan.

3. Cardiogenic shock Penyebab :

1) Infark miokard2) Pericarditis3) Henti jantung4) Disritmia ; fibrilasi atau takikardi ventrikel5) Perubahan patologik pada katup6) Komplikasi ok pembedahan jantung7) Gangguan elektrolit ok perubahan potassium dan calcium8) Obat-obatan yang berefek terhadap kontraktilitas otot jantung9) Cedera kepala yang menyebabkan kerusakan pada pusat cardioregulatory

Gejala :1) Hypotensi2) Crackles/whezing, edema paru3) Kulit : dingin, pucat, sianosis4) Status mental : letargi, koma5) Oliguri-anuri6) Edema , CVP meningkat, aritmia

Pemeriksaan Diagnostik1) Electrocardiogram (ECG)2) Sonogram3) Scan jantung4) Kateterisasi jantung5) Roentgen dada6) Enzim hepar7) Elektrolit oksimetri nadi8) AGD9) Kreatinin10) Albumin / transforin serum

Page 9: sgd skenario 4

11) HSD

4. Shock Sepsis Penyebab :

1) Sistem urinari : kateterisasi, cystoscopy2) Sistem respirasi : suctioning, aspirasi, trakeostomi, ETT, ventilator3) Sistem GI : ulkus peptikum, ruptur appendiks, peritonitis4) Integumen : luka bedah, kateter intravena, kateter intra-arteri,

monitoring invasif, ulkus dekubitus, luka bakar, trauma

5) Sistem reproduksi wanita : infeksi intrapartal/postpartal, STD Gejala :

Awal (warm) shock septik1) TD normal/hypotensi2) Pernafasan : cepat/dalam3) Kulit hangat4) Status mental : alert, orientasi5) Urin output normal6) Temperatur meningkat, kelemahan, mual, muntah,diare, CVP menurun

Lanjut (cold) shock septik1) Hypotensi2) Pols : tachicardi, aritmia3) Pernafasan : cepat/dalam, dypsnea4) Kulit dingin, pucat, edema5) Urin output : oliguri/anuri6) Temperatur menurun, CVP menurun

DiagnosisPengenalan dini syok septik sangat esensial untuk memperoleh outcome yang

baik. Syok septik merupakan suatu diagnosis klinis, yang ditandai oleh adanya perfusi yang menurun. Stadium awal syok septik dapat dikenali dengan ditemukan takikardi, bounding pulse, serta perubahan kesadaran. Stadium lebih lanjut dapat ditemukan waktu pemanjangan pengisian kapiler, dan akhirnya tanda lambat yang timbul adalah hipotensi. Syok septik harus didiagnosis secara klinis sebelum timbulnya hipotensi, yaitu hipotermi, atau hipertermi, perubahan status mental, vasodilatasi perifer (warm shock) atau vasokontriksi dengan capillary refill > 3 detik (cold shock). Ambang batas denyut jantung yang berhubungan dengan meningkatnya mortalitas pada bayi dengan keadaan critically ill adalah HR < 90 x/menit atau > 160x/menit.

Syok septik harus dicurigai pada bayi baru lahir yang mengalami takikardi, respiratory distress, malas menetek, tonus buruk, sianosis, takipnea, diare, atau penurunan perfusi, khususnya dengan adanya riwayat ibu dengan korioamnionitis atau ketuban pecah lama. Pemeriksaan laboratorium lengkap harus dilakukan pada pasien syok septik, meliputi pemeriksaan darah lengkap, urinalisis, dan elektrolit, serta mencari sumber infeksi dengan pemeriksaan rontgen toraks. Pemeriksaan kultur dari darah dan urin juga dilakukan, pungsi lumbal untuk kultur cairan serebrospinal (CSF), dan kultur yang secara klinis diperlukan atau sesuai indikasi dapat membantu menegakan diagnosis. Petanda biologis sebagai suatu respon terhadap infeksi yang meningkat salah satunya adalah C-reactive protein (CRP)

Page 10: sgd skenario 4

yang membutuhkan waktu 12-24 jam untuk mencapai kadar dalam darah yang dapat di ukur.

Page 11: sgd skenario 4

BAB VDATA PASIEN

Nama : Ny. X

Jenis Kelamin : Perempuan

Umur : 48 tahun

Alamat : jalan Dukuh Kupang Surabaya

Anamnesis1. Keluhan utama : panas, sakit kepala, sesak napas, kesadaran menurun.2. Riwayat penyakit sekarang :

a) Enam hari batuk produktif berdahak disertai badan panas dan sesak napas tersenggal3. Riwayat penyakit dahulu:

a) Pasien pernah sakit batuk seperti ini sebulan yang lalu4. Riwayat keluarga

a) Tidak ada keluarga seperti iniPemeriksaan fisik Vital Sign

1) Tensi 90/602) Nadi 120x/menit3) RR : 34x/menit4) Suhu : 39 ◦C

Kepala/Leher1) Anemia (+), ikterus (+), sianosis (-), dyspneu (+)2) Tidak didapatkan pembesaran kelenjar getah bening

Thorax1) Paru : Inspeksi gerak napas simetris

Palpasi paru kana tertinggalPerkusi redupAuskultasi ronki kasar +, wheezing –

2) Jantung : S1,S2 tunggal, regular, murmur (-)3) Abdomen :

a. Teraba hepar 2 jari bawah arkus costae, nyeri tekanb. Bising usus menurun

4) Ekstremitas : Akral dinginPemeriksaan Penunjang Laboratorium klinik

1) Darah lengkap2) Kultur darah dan tes kepekaan antibiotika3) Pemeriksaan serologi penanda biomaker sepsis prokalsitonin4) CRP5) Monitor kadar parameter kimia klinik glukosa, bilirubin, elektrolit, analisis gas daah6) Radiologi

Page 12: sgd skenario 4

BAB VI

HIPOTESIS AWAL

1. SIRS

2. Sepsis

Page 13: sgd skenario 4

BAB VII

ANALISIS DIFFERENTIAL DIAGNOSIS

Page 14: sgd skenario 4

BAB VIII

HIPOTESIS AKHIR

SIRS

Page 15: sgd skenario 4

BAB IX

MEKANISME DIAGNOSIS

Page 16: sgd skenario 4

BAB X

STRATEGI MENYELESAIKAN MASALAH

Page 17: sgd skenario 4

BAB XI

PROGNOSIS DAN KOMPLIKASI

Page 18: sgd skenario 4

Daftar Pustaka

Pada tahun 1992 , American College of Chest Physicians ( ACCP ) dan Society of Critical Care Medicine ( SCCM ) memperkenalkan definisi sindrom respon inflamasi sistemik ( SIRS ) , sepsis , sepsis berat , syok septik , dan beberapa organ sindrom disfungsi ( MODS ) . [ 1 ] ide di balik mendefinisikan SIRS adalah untuk menentukan respons klinis terhadap penghinaan nonspesifik baik infeksi atau noninfectious asal . SIRS didefinisikan sebagai 2 atau lebih dari variabel-variabel berikut (lihat Penyajian dan hasil pemeriksaan ) :

Demam lebih dari 38 ° C ( 100,4 ° F ) atau kurang dari 36 ° C ( 96,8 ° F )

Denyut jantung lebih dari 90 denyut per menit

Tingkat pernapasan lebih dari 20 napas per menit atau arteri ketegangan karbon dioksida ( PaCO2 ) kurang dari 32mm Hg

Jumlah sel darah putih yang abnormal ( > 12.000 / uL atau < 4.000 / uL atau > 10 % belum menghasilkan [ Band ] bentuk )

SIRS tidak spesifik dan dapat disebabkan oleh iskemia , peradangan, trauma , infeksi , atau beberapa penghinaan gabungan . Dengan demikian , SIRS tidak selalu terkait dengan infeksi . ( Lihat Patofisiologi dan Etiologi . )

Diagram Venn menunjukkan tumpang tindih infeksi , bactere

Diagram Venn menunjukkan tumpang tindih infeksi , bakteremia , sepsis , sindrom respon inflamasi sistemik ( SIRS ) , dan disfungsi multiorgan .

Bakteremia, sepsis , dan syok septik

Infeksi didefinisikan sebagai " fenomena mikroba ditandai dengan respon inflamasi terhadap mikroorganisme atau invasi jaringan biasanya steril oleh organisme tersebut . "

Bakteremia adalah adanya bakteri di dalam aliran darah , namun kondisi ini tidak selalu menyebabkan SIRS atau sepsis . Sepsis adalah respon sistemik terhadap infeksi dan didefinisikan sebagai adanya SIRS selain infeksi didokumentasikan atau diduga . Sepsis berat memenuhi kriteria tersebut dan berhubungan dengan disfungsi organ , hipoperfusi , atau hipotensi . ( Lihat Etiologi , Pengobatan , dan Obat . )

Sepsis - diinduksi hipotensi didefinisikan sebagai " adanya tekanan darah sistolik kurang dari 90 mm Hg atau penurunan lebih dari 40 mm Hg dari baseline dalam

Page 19: sgd skenario 4

ketiadaan penyebab lain dari hipotensi . " Pasien memenuhi kriteria untuk syok septik jika mereka memiliki hipotensi persisten dan kelainan perfusi meskipun resusitasi cairan yang adekuat . MODS adalah keadaan derangements fisiologis di mana fungsi organ tidak mampu mempertahankan homeostasis . ( Lihat Patofisiologi . )

Meskipun tidak diterima secara universal istilah , SIRS parah dan SIRS syok adalah istilah yang beberapa penulis telah mengusulkan . Istilah-istilah ini menunjukkan disfungsi organ atau hipotensi refrakter terkait dengan proses iskemik atau inflamasi daripada etiologi infeksi .

komplikasi

Komplikasi bervariasi berdasarkan etiologi yang mendasari . Profilaksis rutin , termasuk trombosis vena ( DVT ) dan stres ulkus profilaksis , harus dimulai saat ada indikasi klinis . Antibiotik jangka panjang , ketika terindikasi secara klinis , harus spektrum sesempit mungkin untuk membatasi potensi superinfeksi ( disarankan oleh demam baru , perubahan dalam sel darah putih [ WBC ] menghitung, atau pemburukan klinis ) . Kateter pembuluh darah yang tidak perlu dan Foley kateter harus dihapus sesegera mungkin . ( Lihat Prognosis , Treatment , dan Obat . )

Potensi komplikasi meliputi :

Kegagalan pernapasan, sindrom gangguan pernapasan akut ( ARDS ) , dan pneumonia nosokomial

gagal ginjal

Gastrointestinal ( GI ) perdarahan dan stres gastritis

anemia

DVT

Intravena kateter terkait bakteremia

kelainan elektrolit

hiperglikemia

Disseminated intravascular coagulation ( DIC )

pasien pendidikan

Pendidikan idealnya harus menargetkan keluarga pasien . Anggota keluarga perlu memahami sifat fluida respon kekebalan dan bahwa SIRS merupakan pertanda potensi sindrom lebih mengerikan lainnya .

Page 20: sgd skenario 4

Patofisiologi

Systemic inflammatory response syndrome (SIRS), independent of the etiology, has the same pathophysiologic properties, with minor differences in inciting cascades. Many consider the syndrome a self-defense mechanism. Inflammation is the body's response to nonspecific insults that arise from chemical, traumatic, or infectious stimuli. The inflammatory cascade is a complex process that involves humoral and cellular responses, complement, and cytokine cascades. Bone best summarized the relationship between these complex interactions and SIRS as the following 3-stage process.

Stage I

Following an insult, local cytokine is produced with the goal of inciting an inflammatory response, thereby promoting wound repair and recruitment of the reticular endothelial system

Stage II

Small quantities of local cytokines are released into the circulation to improve the local response. This leads to growth factor stimulation and the recruitment of macrophages and platelets. This acute phase response is typically well controlled by a decrease in the proinflammatory mediators and by the release of endogenous antagonists; the goal is homeostasis.

Stage III

If homeostasis is not restored, a significant systemic reaction occurs. The cytokine release leads to destruction rather than protection. A consequence of this is the activation of numerous humoral cascades and the activation of the reticular endothelial system and subsequent loss of circulatory integrity. This leads to end-organ dysfunction.

Multihit theory

Bone also endorsed a multihit theory behind the progression of SIRS to organ dysfunction and possibly multiple organ dysfunction syndrome (MODS). In this theory, the event that initiates the SIRS cascade primes the pump. With each additional event, an altered or exaggerated response occurs, leading to progressive illness. The key to preventing the multiple hits is adequate identification of the cause of SIRS and appropriate resuscitation and therapy.

Inflammatory cascade

Trauma, inflammation, or infection leads to the activation of the inflammatory cascade. When SIRS is mediated by an infectious insult, the inflammatory cascade is often initiated by endotoxin or exotoxin. Tissue macrophages, monocytes, mast cells, platelets, and endothelial cells are able to produce a multitude of cytokines. The cytokines tissue necrosis factor-a (TNF-a) and interleukin-1 (IL-1) are released first and initiate several cascades.

The release of IL-1 and TNF-a (or the presence of endotoxin or exotoxin) leads to cleavage of the nuclear factor-kB (NF-kB) inhibitor. Once the inhibitor is removed, NF-kB is able to initiate the production of messenger ribonucleic acid (mRNA), which induces the production other proinflammatory cytokines.

IL-6, IL-8, and interferon gamma are the primary proinflammatory mediators induced by NF-kB. In vitro research suggests that glucocorticoids may function by inhibiting NF-kB. TNF-a and IL-1 have been shown to be released in large quantities within 1 hour of an insult and have both local and systemic effects. In vitro studies have shown that these 2 cytokines given

Page 21: sgd skenario 4

individually produce no significant hemodynamic response but that they cause severe lung injury and hypotension when given together. TNF-a and IL-1 are responsible for fever and the release of stress hormones (norepinephrine, vasopressin, activation of the renin-angiotensin-aldosterone system).

Other cytokines, especially IL-6, stimulate the release of acute-phase reactants such as C-reactive protein (CRP) and procalcitonin. Of note, infection has been shown to induce a greater release of TNF-a—thus inducing a greater release of IL-6 and IL-8—than trauma does. This is suggested to be the reason higher fever is associated with infection rather than trauma.

The proinflammatory interleukins either function directly on tissue or work via secondary mediators to activate the coagulation cascade and the complement cascade and the release of nitric oxide, platelet-activating factor, prostaglandins, and leukotrienes.

Numerous proinflammatory polypeptides are found within the complement cascade. Protein complements C3a and C5a have been the most studied and are felt to contribute directly to the release of additional cytokines and to cause vasodilatation and increasing vascular permeability. Prostaglandins and leukotrienes incite endothelial damage, leading to multiorgan failure.

Polymorphonuclear cells (PMNs) from critically ill patients with SIRS have been shown to be more resistant to activation than PMNs from healthy donors, but, when stimulated, demonstrate an exaggerated microbicidal response. This may represent an autoprotective mechanism in which the PMNs in the already inflamed host may avoid excessive inflammation, thus reducing the risk of further host cell injury and death.[2]

Coagulation

The correlation between inflammation and coagulation is critical to understanding the potential progression of SIRS. IL-1 and TNF-a directly affect endothelial surfaces, leading to the expression of tissue factor. Tissue factor initiates the production of thrombin, thereby promoting coagulation, and is a proinflammatory mediator itself. Fibrinolysis is impaired by IL-1 and TNF-a via production of plasminogen activator inhibitor-1. Proinflammatory cytokines also disrupt the naturally occurring anti-inflammatory mediators antithrombin and activated protein-C (APC).

If unchecked, this coagulation cascade leads to complications of microvascular thrombosis, including organ dysfunction. The complement system also plays a role in the coagulation cascade. Infection-related procoagulant activity is generally more severe than that produced by trauma.

SIRS versus CARS

The cumulative effect of this inflammatory cascade is an unbalanced state with inflammation and coagulation dominating. To counteract the acute inflammatory response, the body is equipped to reverse this process via counter inflammatory response syndrome (CARS). IL-4 and IL-10 are cytokines responsible for decreasing the production of TNF-a, IL-1, IL-6, and IL-8.

The acute phase response also produces antagonists to TNF-a and IL-1 receptors. These antagonists either bind the cytokine, and thereby inactivate it, or block the receptors. Comorbidities and other factors can influence a patient's ability to respond appropriately.

Page 22: sgd skenario 4

The balance of SIRS and CARS determines a patient's prognosis after an insult. Some researchers believe that, because of CARS, many of the new medications meant to inhibit the proinflammatory mediators may lead to deleterious immunosuppression.

Etiologi sindrom respon inflamasi sistemik ( SIRS ) luas dan mencakup kondisi menular dan tidak menular , prosedur bedah , trauma , obat-obatan , dan terapi .

Berikut ini adalah daftar sebagian dari penyebab infeksi SIRS :

sepsis bakteri

Membakar infeksi luka

candidiasis

selulitis

kolesistitis

Pneumonia komunitas - diperoleh [ 3 ]

Infeksi kaki diabetik

api luka

endokarditis infektif

influensa

Infeksi intraabdominal - Misalnya , diverticulitis , radang usus buntu

gangren gas

radang selaput

pneumonia nosokomial

kolitis pseudomembran

pielonefritis

septic arthritis

Toxic shock syndrome

Infeksi saluran kemih (pria dan wanita )

Berikut ini adalah sebagian daftar penyebab menular dari SIRS :

Mesenterika iskemia akut

insufisiensi adrenal

Page 23: sgd skenario 4

gangguan autoimun

luka bakar

aspirasi kimia

sirosis

vaskulitis kulit

dehidrasi

reaksi obat

cedera listrik

eritema multiforme

syok hemoragik

keganasan hematologi

perforasi usus

Efek samping obat - Misalnya , dari teofilin

infark miokard

Pankreatitis [ 4 ]

penyitaan

Penyalahgunaan zat - Stimulan seperti kokain dan amfetamin

prosedur bedah

Nekrolisis epidermal toksik

reaksi transfusi

Perdarahan saluran cerna atas

Vaskulitis

Epid

Kejadian di Amerika Serikat

Kejadian sebenarnya dari sindrom respon inflamasi sistemik ( SIRS ) tidak diketahui . Namun, karena kriteria SIRS yang spesifik dan terjadi pada pasien yang datang dengan kondisi mulai dari influenza runtuh kardiovaskular yang terkait dengan pankreatitis berat , [ 4 ] angka kejadian seperti itu perlu dikelompokkan berdasarkan tingkat keparahan SIRS .

Page 24: sgd skenario 4

Rangel - Fausto et al menerbitkan sebuah survei calon pasien dirawat di pusat perawatan tersier yang mengungkapkan 68 % dari penerimaan rumah sakit untuk unit yang disurvei memenuhi kriteria SIRS . [ 5 ] Insiden SIRS meningkat sebagai tingkat unit ketajaman meningkat . Perkembangan berikut pasien dengan SIRS tercatat : 26 % dikembangkan sepsis , 18 % mengembangkan sepsis berat , dan 4 % dikembangkan syok septik dalam waktu 28 hari dari penerimaan .

Pittet et al melakukan survei rumah sakit SIRS yang mengungkapkan keseluruhan kejadian di rumah sakit dari 542 episode per 1000 hari di rumah sakit . [ 6 ] Sebagai perbandingan , kejadian di unit perawatan intensif ( ICU ) adalah 840 episode per 1000 hari di rumah sakit .

Etiologi pasien yang dirawat dengan sepsis berat dari departemen darurat komunitas dievaluasi oleh Heffner et al , yang menetapkan bahwa 55 % dari pasien memiliki budaya negatif dan bahwa 18 % didiagnosis dengan penyebab menular yang menyerupai sepsis ( SIRS ) . Banyak etiologi menular diperlukan terapi mendesak alternatif penyakit tertentu (misalnya, emboli paru , infark miokard , pankreatitis ) . Dari pasien SIRS tanpa infeksi , karakteristik klinis yang mirip dengan yang dengan kultur positif . [ 7 ]

Kohort lain dari pasien menunjukkan bahwa 62 % dari pasien yang disajikan ke gawat darurat dengan SIRS mengalami infeksi telah dikonfirmasi , sedangkan 38 % tidak. Dalam kohort pasien yang sama , 38 % dari pasien yang terinfeksi tidak hadir dengan SIRS . [ 8 ]

Namun , Angus et al menemukan kejadian SIRS berat yang berhubungan dengan infeksi menjadi 3 kasus per 1.000 penduduk , atau 2,26 kasus per 100 buangan rumah sakit . [ 9 ] Kejadian nyata SIRS , oleh karena itu, harus jauh lebih tinggi dan cenderung tergantung agak pada kekakuan dengan yang definisinya diterapkan .

kejadian Internasional

Tidak ada perbedaan dalam frekuensi SIRS ada berdasarkan geografi dunia .

Demografi yang berhubungan dengan seks

Risiko kematian berdasarkan jenis kelamin dari SIRS parah tidak diketahui . Wanita cenderung memiliki peradangan kurang dari tingkat yang sama dari rangsangan proinflamasi karena aspek mitigasi estrogen . Tingkat kematian di antara wanita dengan sepsis berat adalah mirip dengan pria yang 10 tahun lebih muda , namun , apakah efek perlindungan ini berlaku untuk wanita dengan tidak menular SIRS tidak diketahui .

Demografi berkaitan dengan usia

Page 25: sgd skenario 4

Ekstrem usia ( muda dan tua ) dan komorbiditas bersamaan mungkin negatif mempengaruhi hasil SIRS . Kaum muda mungkin dapat me-mount respon inflamasi yang lebih subur untuk tantangan dari orang tua dan belum mungkin dapat lebih baik mengubah keadaan inflamasi (melalui counter sindrom respon inflamasi [ MOBIL ] ) . Kaum muda memiliki hasil yang lebih baik untuk diagnosis setara.

Diagnosis

Riwayat

Menentukan apakah infeksi berasal dari komunitas atau nosokomial, dan apakah pasien immunocompromise. Beberapa tanda terjadinya sepsis meliputi:

Demam atau tanda yang tidak terjelaskan disertai keganasan atau instrumentasi

Hipotensi, oliguria, atau anuria

Takipnea atau hiperpnea, hipotermia tanpa penyebab yang jelas

Perdarahan

Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik diperlukan untuk mencari lokasi dan penyebab infeksi dan inflamasi yang terjadi, misalnya pada dugaan infeksi pelvis, dilakukan pemeriksaan rektum, pelvis, dan genital.

Laboratorium

Hitung darah lengkap, dengan hitung diferensial, urinalisis, gambaran koagulasi, urea darah, nitrogen, kreatinin, elektrolit, uji fungsi hati, kadar asam laktat, gas darah arteri, elektrokardiogram, dan rontgen dada. Biakan darah, sputum, urin, dan tempat lain yang terinfeksi harus dilakukan.

Temuan awal lain: Leukositosis dengan shift kiri, trombositopenia, hiperbilirubinemia, dan proteinuria. Dapat terjadi leukopenia. Adanya hiperventilasi menimbulkan alkalosis respiratorik. Penderita diabetes dapat mengalami hiperglikemia. Lipida serum meningkat.

Selanjutnya, trombositopenia memburuk disertai perpanjangan waktu trombin, penurunan fibrinogen, dan keberadaan D-dimer yang menunjukkan DIC. Azotemia dan hiperbilirubinemia lebih dominan. Aminotransferase meningkat. Bila otot pernapasan lelah, terjadi akumulasi laktat serum. Asidosis metabolik terjadi setelah alkalosis respiratorik. Hiperglikemia diabetik dapat menimbulkan ketoasidosis yang memperburuk hipotensi.

(Hermawan, 2007).

Penatalaksanaan

Tiga prioritas utama dalam penatalaksanaan sepsis:

Stabilisasi pasien langsung

Page 26: sgd skenario 4

Pasien dengan sepsis berat harus dimasukkan dalam ICU. Tanda vital pasien harus dipantau. Pertahankan curah jantung dan ventilasi yang memadai dengan obat. Pertimbangkan dialisis untuk membantu fungsi ginjal. Pertahankan tekanan darah arteri pada pasien hipotensif dengan obat vasoaktif, misal dopamin, dobutamin, dan norepinefrin.

Darah harus cepat dibersihkan dari mikroorganisme

Perlu segera perawatan empirik dengan antimikrobial, yang jika diberikan secara dini dapat menurunkan perkembangan syok dan angka mortalitas. Setelah sampel didapatkan dari pasien, diperlukan regimen antimikrobial dengan spektrum aktivitas luas. Bila telah ditemukan penyebab pasti, maka antimikrobial diganti sesuai dengan agen penyebab sepsis tersebut (Hermawan, 2007).

Sebelum ada hasil kultur darah, diberikan kombinasi antibiotik yang kuat, misalnya antara golongan penisilin/penicillinase—resistant penicillin dengan gentamisin.

Golongan penicillin

- Procain penicillin 50.000 IU/kgBB/hari im, dibagi dua dosis

- Ampicillin 4-6 x 1 gram/hari iv selama 7-10 hari

Golongan penicillinase—resistant penicillin

- Kloksasilin (Cloxacillin Orbenin) 4×1 gram/hari iv selama 7-10 hari sering dikombinasikan dengan ampisilin), dalam hal ini masing-masing dosis obat diturunkan setengahnya, atau menggunakan preparat kombinasi yang sudah ada (Ampiclox 4 x 1 gram/hari iv).

- Metisilin 4-6 x 1 gram/hari iv selama 7-14 hari.

Gentamycin

Garamycin, 5 mg/kgBB/hari dibagi tiga dosis im selama 7 hari, hati-hati terhadap efek nefrotoksiknya.

Bila hasil kultur dan resistensi darah telah ada, pengobatan disesuaikan. Beberapa bakteri gram negatif yang sering menyebabkan sepsis dan antibiotik yang dianjurkan:

Bakteri Antibiotik Dosis

Escherichia coli Ampisilin/sefalotin - Sefalotin: 1-2 gram tiap 4-6 jam, biasanya dilarutkan dalam 50-100 ml cairan, diberikan per drip dalam 20-30 menit untuk menghindari flebitis.- Kloramfenikol: 6 x 0,5 g/hari iv- Klindamisin: 4 x 0,5 g/hari iv

Klebsiella, Enterobacter

Gentamisin

Proteus mirabilis Ampisilin/sefalotin

Pr. rettgeri, Pr. morgagni, Pr. vulgaris

Gentamisin

Mima-Herellea Gentamisin

Pseudomonas Gentamisin

Bacteroides Kloramfenikol/klindamisin

(Purwadianto dan Sampurna, 2000).

Page 27: sgd skenario 4

Fokus infeksi awal harus diobati

Hilangkan benda asing. Salurkan eksudat purulen, khususnya untuk infeksi anaerobik. Angkat organ yang terinfeksi, hilangkan atau potong jaringan yang gangren (Hermawan, 2007).

Penatalaksanaan Syok Septik

Penatalaksanaan hipotensi dan syok septik merupakan tindakan resusitasi yang perlu dilakukan sesegera mungkin. Resusitasi dilakukan secara intensif dalam 6 jam pertama, dimulai sejak pasien tiba di unit gawat darurat. Tindakan mencakup airway: a) breathing; b) circulation; c) oksigenasi, terapi cairan, vasopresor/inotropik, dan transfusi bila diperlukan. Pemantauan dengan kateter vena sentral sebaiknya dilakukan untuk mencapai tekanan vena sentral (CVP) 8-12 mmHg, tekanan arteri rata-rata (MAP)>65 mmHg dan produksi urin >0,5 ml/kgBB/jam.

Oksigenasi

Hipoksemia dan hipoksia pada sepsis dapat terjadi sebagai akibat disfungsi atau kegagalan sistem respirasi karena gangguan ventilasi maupun perfusi. Transpor oksigen ke jaringan juga dapat terganggu akibat keadaan hipovolemik dan disfungsi miokard menyebabkan penurunan curah jantung. Kadar hemoglobin yang rendah akibat perdarahan menyebabkan daya angkut oleh eritrosit menurun. Transpor oksigen ke jaringan dipengaruhi juga oleh gangguan perfusi akibat disfungsi vaskuler, mikrotrombus dan gangguan penggunaan oksigen oleh jaringan yang mengalami iskemia.

Oksigenasi bertujuan mengatasi hipoksia dengan upaya meningkatkan saturasi oksigen di darah, meningkatkan transpor oksigen dan memperbaiki utilisasi oksigen di jaringan.

Terapi cairan

Hipovolemia pada sepsis perlu segera diatasi dengan pemberian cairan baik kristaloid maupun koloid. Volume cairan yang diberikan perlu dimonitor kecukupannya agar tidak kurang ataupun berlebih. Secara klinis respon terhadap pemberian cairan dapat terlihat dari peningkatan tekanan darah, penurunan ferkuensi jantung, kecukupan isi nadi, perabaan kulit dan ekstremitas, produksi urin, dan membaiknya penurunan kesadaran. Perlu diperhatikan tanda kelebihan cairan berupa peningkatan tekanan vena jugular, ronki, gallop S3, dan penurunan saturasi oksigen.

Pada keadaan serum albumin yang rendah (< 2 g/dl) disertai tekanan hidrostatik melebihi tekanan onkotik plasma, koreksi albumin perlu diberikan. Transfusi eritrosit (PRC) perlu diberikan pada keadaan perdarahan aktif, atau bila kadar Hb rendah pada keadaan tertentu misalnya iskemia miokardial dan renjatan septik. Kadar Hb yang akan dicapai pada sepsis dipertahankan pada 8-10 g/dl.

Vasopresor dan inotropik

Vasopresor sebaiknya diberikan setelah keadaan hipovolemik teratasi dengan pemberian cairan secara adekuat, tetapi pasien masih mengalami hipotensi. Terapi vasopresor diberikan mulai dosis rendah secara titrasi untuk mencapai MAP 60 mmHg, atau tekanan sistolik 90 mmHg. Untuk vasopresor dapat digunakan dopamin dengan dosis >8 mcg/kg/menit, norepinefrin 0,03-1,5 mcg/kg/menit, fenileferin 0,5-8 mcg/kg/menit atau epinefrin 0,1-0,5 mcg/kg/menit. Inotropik yang dapat digunakan adalah dobutamin dosis 2-28 mcg/kg/menit,

Page 28: sgd skenario 4

dopamin 3-8 mc/kg/menit, epinefrin 0,1-0,5 mcg/kg/menit atau inhibitor fosfodiesterase (amrinon dan milrinon).

Bikarbonat

Secara empirik, bikarbonat dapat diberikan bila pH <7,2 atau serum bikarbonat <9 meq/l, dengan disertai upaya untuk memperbaiki keadaan hemodinamik.

Disfungsi renal

Sebagai terapi pengganti gagal ginjal akut dapat dilakukan hemodialisis maupun hemofiltrasi kontinu (continuous hemofiltration). Pada hemodialisis digunakan gradien tekanan osmotik dalam filtrasi substansi plasma, sedangkan pada hemofiltrasi digunakan gradien tekanan hidrostatik. Hemofiltrasi dilakukan kontinu selama perawatan, sedangkan bila kondisi telah stabil dapat dilakukan hemodialisis.

Nutrisi

Pada sepsis kecukupan nutrisi berupa kalori, protein, asam lemak, cairan, vitamin dan mineral perlu diberikan sedini mungkin, diutamakan pemberian secara enteral dan bila tidak memungkinkan beru diberikan secara parenteral.

Kortikosteroid

Saat ini terapi kortikosteroid diberikan hanya pada indikasi insufisiensi adrenal, dan diberikan secara empirik bila terdapat dugaan keadaan tersebut. Hidrokortison dengan dosis 50mg bolus intravena 4 kali selama 7 hari pada pasien renjatan septik menunjukkan penurunan mortalitas dibanding kontrol.

(Chen dan Pohan, 2007).

Daftar Pustaka

Chen K dan Pohan H.T. 2007. Penatalaksanaan Syok Septik dalam Sudoyo, Aru W. Setiyohadi, Bambang. Alwi, Idrus. Simadibrata K, Marcellus. Setiati, Siti. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Pp: 187-9

Hermawan A.G. 2007. Sepsis daalam Sudoyo, Aru W. Setiyohadi, Bambang. Alwi, Idrus. Simadibrata K, Marcellus. Setiati, Siti. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Pp: 1840-3

Purwadianto A dan Sampurna B. 2000. Kedaruratan Medik Edisi Revisi. Jakarta: Bina Aksara. Pp: 55-6

ocw.usu.ac.id/.../gis_20102011_slide_pankreatitis.pdf

http://erni-jasmita.blogspot.com/2012/04/jenis-jenis-shock.html

http://www.scribd.com/doc/109978904/PEMERIKSAAN-FISIK-SYOK#download