Click here to load reader
Upload
cherieiesa-rifiranda
View
47
Download
3
Embed Size (px)
Citation preview
REFARAT
SYNDROMA GUILLAIN - BARRE
PEMBIMBING :
dr. Ayub L. Pattinama, Sp.S
DISUSUN OLEH :
Bob Fernando Maruba Sihombing
06-101
KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT SARAF
PERIODE 3 DESEMBER 2012 – 5 JANUARI 2013
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA
JAKARTA
2012
PENDAHULUAN
Sindroma Guillain - Barre (SGB) atau secara klinis sering disebut ”Poli
Radikulo Neuropati Inflamasi Akut” (PIA) adalah suatu penyakit yang menyerang
radiks saraf baik ventral maupun dorsal yang bersifat akut dan mengakibatkan
kelumpuhan yang gejalanya dimulai dari tungkai bagian bawah dan meluas sampai
tubuh dan otot-otot wajah.(1,6)
SGB dapat terjadi diseluruh dunia dan menyerang semua usia dan ras. SGB
jarang terjadi pada anak-anak, khususnya selama 2 tahun pertama kehidupan dan
setelah umur tersebut frekuensinya cenderung meningkat. Frekuensi puncak pada
usia dewasa muda. SGB tampil sebagai salah satu penyebab kelumpuhan yang utama
di negara maju atau berkembang seperti Indonesia.
Sekitar 70 % - 80 % dari kasus SGB terjadi setelah penderita mengalami
penyakit panas yang biasanya dari infeksi saluran nafas atas. Dan insidensinya
meningkat dengan tingginya infeksi Cytomegalo virus.(7)
Walaupun sindroma ini merupakan penyakit yang sebagian besar dapat
mengalami kesembuhan fungsional yang sempurna, tetapi tidak jarang terjadi
kematian karena perjalanan penyakitnya yang akut dan meluas ke bagian atas tubuh
sehingga menimbulkan kegagalan pernafasan. Untuk itu pengawasan yang ketat dan
penanganan yang baik pada penderita SGB sangat diperlukan untuk memperkecil
angka kematiannya dan mengurangi gejala sisa defisit neurologisnya.
E T I O L O G I
Penyebab dari SGB ini bisa dikatakan idiopatik atau disebabkan oleh infeksi
virus. Tetapi yang dianut sekarang ialah bahwa penyakit SGB ini disebabkan oleh
proses autoimun.(7)
Keadaan dan penyakit-penyakit yang dapat dihubungkan dengan penyakit
SGB ini adalah :(2,7)
* Infeksi Virus
1
Oleh Cytomegalo virus, Ebstein Barr virus
* Infeksi Bakteri
Seperti Campilobacter typhoid jejuni, Mycoplasma pneumonie.
* Pembedahan
* Penyakit Sistemik
Seperti keganasan, SLE, transplantasi ginjal, tiroiditis dan penyakit
addison.
* Pasca vaksinasi
PATOGENESIS (5,7)
Mekanisme pemicu terjadinya perubahan ( demielinisasi akut pada radiks
saraf ) pada SGB belum dapat diketahui dengan pasti. Mekanisme pemicu yang
dianggap paling mungkin dan paling sering terjadi adalah infeksi virus. Sebenarnya
semua virus yang terkait dengan SGB bersifat neurotropik dan dianggap bahwa
invasi langsung pada sel-sel schwann dapat mengakibatkan kerusakan mielin.
Diantara mulainya ISPA sampai timbulnya gejala kelumpuhan, terdapat masa bebas
gejala penyakit kira-kira selama 3 - 4 minggu.
Demielinisasi saraf tepi pada SGB dipengaruhi pula oleh faktor imunologi
yang meliputi respon imunitas seluler dan humoral yang dipicu oleh inveksi virus
( ISPA ) sebelumnya. Pada beberapa kasus, tubuh pasien membentuk antibodi
terhadap glikoprotein mielin atau ganglion. Adapula yang membentuk sel T terhadap
protein dasar mielin.
Bila proses penyakit berat, demielinisasi segmental tersebut akan
menyebabkan rusaknya akson. Keadaan ini diperberat dengan adanya infiltrasi
limfosit, makrofag dari pembuluh darah perifer yang menghasilkan sitokin
(sitotoksik) sehingga merusak sel schwann atau mielin. Jika sudah terjadi kerusakan
pada akson dan sel saraf sudah mati maka sel tersebut tidak dapat beregenerasi.
GAMBARAN KLINIK (3,7)
2
Kelainan Motorik
Manifestasi utama adalah kelemahan otot-otot tubuh yang berkembang
secara simetris atau tidak simetris sepanjang waktu dalam beberapa hari atau
minggu. Umumnya kelemahan dimulai dari tungkai bawah lalu meluas ke tubuh,
otot-otot interkostal, leher dan otot-otot wajah atau kranial yang terkena
belakangan (Paralisis Ascendens). Biasanya yang mengalami kelemahan adalah
otot-otot pada bagian proksimal dibandingkan bagian distal.
Kelemahan otot dapat berkembang sangat cepat sehingga atrofi otot tidak
terjadi. Tonus otot menurun, refleks-refleks tendon menurun atau hilang, tidak
terdapat refleks patologik. Refleks kulit superfisial masih tetap ada atau sedikit
mengalami penurunan.
Bila kelemahan meluas sampai mengenai saraf otak, maka terjadi
kelemahan otot-otot kranial yang memperlihatkan gejala disfagi, disartri, facial
plegi, diplopia. Bila kelemahan memberat dapat terjadi kelumpuhan motorik total
sehingga menyebabkan gagal nafas dan kematian.
Kelainan Sensorik
Adanya parestesi (kesemutan) pada bagian distal anggota tubuh bawah yang
dapat terjadi bersamaan dengan kelemahan otot. Sebagian besar kesemutan ini
didapat kaki dan kemudian baru tangan.
Kadang-kadang terdapat penurunan rasa raba dan nyeri pada distribusi
”glove” dan ”stocking”.
Rasa nyeri biasanya jarang dan muncul belakangan.
Nyeri dapat terlokalisasi pada punggung, paha bagian posterior dan bahu.
Nyeri mungkin diperkirakan sebagai akibat dari inflamasi dan edema atau
karena mionekrosis, karena serum kreatin kinase sering meningkat pada
penderita yang mengalami nyeri berat.
Kram otot dan otot sering lembek bila diraba.
3
Kelainan Otonom
Gejala yang timbul mempunyai bentuk sesuai dengan saraf otonom yang
rusak, dapat berupa penurunan fungsi simpatis atau parasimpatis atau
menunjukan salah satu fungsi yang berlebihan. Gangguan yang tampak berupa :
Sinus takhikardia bahkan sampai terjadi aritmia jantung.
Postural Hipotensi ( Merupakan gejala pokok ).
Penurunan tekanan sistolik pada pembuluh darah.
Karena hilangnya sistem simpatik pada refleks pembuluh darah atau
gangguan sistem aferen dari arteriol baroreseptor.
Gejala Hipertensi.
Diduga ada kaitannya dengan peningkatan aktivitas renin - angiostensin.
Inkontinensia urine atau Retensio urine.
Gangguan fungsi kandung kencing mungkin oleh karena gangguan pada otot
sfingter, tetapi sangat jarang dan bersifat sementara.
Hilangnya fungsi kelenjar keringat.
Flushing pada wajah ( kemerahan ).
DIAGNOSIS SINDROMA GUILLIAN – BARRE (7)
Untuk membuat diagnosis SGB digunakan kriteria yang paling umum dipakai
yaitu kriteria dari ”National Institute of Neurological and Communicative Disorder
and Stroke (NINCDS )” yaitu :
I. Ciri-ciri yang perlu untuk diagnosis
A. Terjadinya kelemahan yang progresif dan menyangkut lebih dari satu anggota
gerak. Kelemahan bisa hanya berupa paresis ringan pada kedua tungkai, dengan
atau tanpa ataksia ringan sampai lumpuh total pada keempat otot ekstremitas,
otot tubuh, otot bulbar, otot wajah dan opthalmoplegia eksterna.
B. Arefleksia.
4
Biasanya terjadi arefleksia bagian distal dengan hiporefleksia proksimal.
II. Ciri-ciri yang secara kuat menyokong diagnosis SGB
A. Ciri-ciri klinis
1. Progresivitas
Gejala kelumpuhan otot meluas secara cepat tapi terhenti dalam 4 minggu.
2. Simetris
3. Gangguan sensorik hanya ringan
4. Ikut terkenanya saraf otak
Saraf otak VII terkena sekitar 50 % dan sering bilateral
5. Penyembuhan
Biasanya mulai 2 - 4 minggu sesudah terhentinya progresi dari
kelumpuhan.
6. Gangguan saraf otonom
Takikardia dan aritmia, hipotensi postural, hipertensi dan gejala gangguan
vasomotor.
7. Tidak ada febris
Pada awal kelumpuhan pasien sudah tidak panas lagi.
Ciri-ciri lain :
1. Waktu mulai lumpuh masih ada febris
2. Adanya gangguan sensorik disertai nyeri
3. Sesudah 4 minggu masih terus bertambah kelumpuhannya
4. Tidak memburuk terus tapi juga tidak timbul kesembuhan
5. Bisa terdapat kelumpuhan kandung kencing sementara atau tidak terganggu
6. Ikut terkenanya saraf pusat
B. Ciri-ciri kelainan cairan cerebrospinal yang sangat memperkuat diagnosis
5
1. Jumlah protein dalam cairan cerebrospinal meningkat sesudah minggu
pertama dari timbulnya gejala.
2. Jumlah sel tidak melebihi 10/mm3
Ciri-ciri lain :
1. Jumlah protein tidak meningkat 1 - 2 minggu sesudah timbul kelemahan
otot.
2. Jumlah sel 11 - 50 sel mononuklear/mm3
C. Ciri-ciri pemeriksaan elektrodiagnostik yang sangat menyokong diagnosis SGB
Perlambatan konduksi saraf atau bahkan blok.
III. Ciri-ciri yang membuat diagnosis meragukan
1. Kelemahan yang tetap asimetrik
2. Tetap adanya gangguan miksi dan defekasi
3. Adanya gangguan miksi dan defekasi sejak awal
4. Jumlah sel dalam cairan serebrospinal > 50/mm3
5. Adanya sel PMN dalam cairan serebrospinal
6. Adanya batas gangguan sensibilitas yang jelas
IV. Tanda-tanda yang menentang diagnosis SGB
1. Adanya anamnesis penggunaan senyawa hexacarbon, misalnya ”glue
sniffing”.
2. Adanya metabolisme porphyrin abnormal seperti ”acute intermittent
porphyria”.
3. Riwayat diphteri yang baru, dengan ataupun tanpa myocarditis.
4. Tanda-tanda keracunan timah, ditandai dengan adanya kelemahan ekstremitas
atas dengan wrist drop.
5. Hanya didapat gangguan sensorik saja.
6
6. Adanya kepastian diagnosis lain seperti poliomielitis, botulime, polineuropati
toksik.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Cairan Cerebrospinal
Terlihat adanya ”Albumino-Cytologic Dissociation” yaitu dimana terjadi
kenaikan kadar protein yang tinggi tanpa disertai kenaikan jumlah sel. Gamma
globulin juga meningkat.
Pemeriksaan EMG
Terdapat konduksi saraf menurun, Latensi memanjang, F-respon menurun.
Tes fungsi respirasi
DIAGNOSIS BANDING
Poliomielitis
Perbedaannya dengan SGB adalah pada poliomielitis tidak didahului oleh ISPA,
bersifat akut dan menyerang dengan cepat, kelumpuhannya unilateral, asimetris,
pada pemeriksaan cairan cerebrospinal terdapat pleositosis, kesembuhan tidak
total dan prognosisnya lebih buruk dibandingkan dengan SGB.
Botulisme
Neuropati akibat keracunan logam
T E R A P I(2,7)
Terapi umum meliputi pengawasan dan penanganan terhadap penyulit-penyulit :
Gagal Nafas
Gunakan ventilator
Atasi hipoksia dengan pemberian Oksigen
Memberikan ventilasi untuk membuang CO2 nya
Hipotensi
7
Atasi dengan pemberian cairan
Hipertensi
Bila ringan cukup dengan pemberian diuretik ringan
Bila tinggi dan menetap dipakai Natrium nitropusid injeksi IV
Gunakan agonis beta adrenergik ( propanolol )
Aritmia
Anti aritmia ( mexiletine HCl )
Pemacu jantung (digitalis)
Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit
NaCl 0,9 IV dengan 5% - 10% dextrose
Potasium 100 mmol/hari
Pemberian kalori 1500 - 2000 kalori/hari
Retensio urin dan inkontinensia urin
Kateterisasi
Immunoterapi
Dengan tujuan untuk mengurangi beratnya penyakit dan mempercepat
kesembuhan ditunjukkan melalui sistem imunitas.
Kortikosteroid
Pemakaian kortikosteroid pada SGB dengan tujuan sebagai anti inflamasi,
melalui kemampuan imunologik, efek pada metabolisme. Pengobatan ini
hanya bersifat paliatif.
Plasmaferesis (Plasma exchange)
Suatu metode untuk memisahkan komponen darah dengan menggunakan
mesin sehingga plasma dipisahkan dari sel drah merahnya, lalu plasma
dibuang dan sel darah merahnya dicampurkan dengan larutan koloid
8
pengganti yaitu albumin 4 % dalam larutan salin, lalu dimasukkan kembali
kedalam tubuh. Efek yang diperlihatkan berdasarkan pada pengeluaran faktor
autoantibodi yang beredar.
Imunoglobulin intravena
Telah dilaporkan memberikan perbaikan terhadap penderita SGB tanpa
mengalami efek samping. Dosis yang paling sering digunakan ialah 0,4
gr/KgbBB/hari selama 5 sampai 7 hari.(4)
Obat Sitotoksik
Obat-obat yang pernah dianjurkan adalah 6 mercaptopurin (6-MP), azathioprine
dan cyclophasphamid.
P R O G N O S I S
Sebagian besar penderita SGB umumnya mengalami penyembuhan yang
sempurna atau hampir sempurna dengan sisa defisit motorik yang ringan.
Angka kematian pada SGB sekitar 5% - 10% pada stadium awal.
Dengan sistem pengobatan yang baik dan adanya alat bantu nafas yang canggih
angka kematian dapat ditekan sampai 0%.
Kekambuhan terjadi pada 3% penderita.
DAFTAR PUSTAKA
1. Adam RD, Victor M. Principles of Neurology, 5th edition. Mc Graw-Hill Inc,
New York. 1993 : 1126 - 1130.
9
2. Asbury AK. Guillain-Barre Syndrome : Historical Aspects. Ann Neurol. 1990 :
27 (s) : S2 - S6.
3. Duss Peter. Sindrom Guillain-Barre dalam Diagnosis Topis Neurologi, Anatomy,
Fisiologi, Tanda, Gejala, Edisi ke 2, Cetakan I. EGC, Jakarta, 1996 : 51.
4. Fudiarto G. Pengobatan Sindroma Guillain-Barre Syndroma dengan Gamma
Globulin. Pengalaman di Surabaya, Surabaya, Januari 1994.
5. Lidsay KW. Guillain-Barre Syndrome dalam Neurology and Neurosurgery
Illustrated. 3th ed : 1997: 58, 164, 419, 420, 422, 424-425.
6. Mardjono Mahar, Sidharta Priguna. Sindroma Guillain-Barre : Neurologi Klinis
Dasar, Cetakan ke 8. Dian Rakyat, Jakarta, 2000 :42, 87,176,421.
7. Parry GJ. Diagnosis of Guillain-Barre Syndrome. In. Parry GJ. Guillain-Barre
Syndrome. Thieme Medical Publishers Inc, New York. 1993 : 113 - 129.
10