15
Serambi Rumah dan Hotel di Hindia-Belanda dalam Konsep Denotasi dan Konotasi Roland Barthes Achmad Sunjayadi Pendahuluan Serambi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008) merupakan beranda atau selasar yang agak panjang, bersambung dengan induk rumah. Biasanya terletak lebih rendah daripada induk rumah. Sedangkan beranda merupakan ruang beratap terbuka yang tidak berdinding di bagian samping atau depan rumah, biasanya dipakai untuk tempat duduk santai sambil makan angin. Kata beranda berasal dari veranda atau verandah yang diambil dari bahasa Portugis varanda. Secara etimologi kata ini diperkenalkan dari India yang merupakan kombinasi antara kata bahar yang berarti di luar dan andar yang artinya di dalam. Bentuk kombinasi bahar-andar atau baharanda mengalami proses anglisasi menjadi veranda yang berarti sebuah ruangan baik di dalam maupun di luar. Serambi merupakan bagian dari bangunan di Hindia-Belanda yang mendapatkan pengaruh budaya. Dalam perkembangannya serambi di rumah-rumah di Hindia-Belanda pada awalnya memiliki fungsi tertentu yang sifatnya domestik. Kelak, serambi juga digunakan oleh hotel-hotel sebagai salah satu fasilitas yang dinikmati oleh publik. Dalam artikel ini dibahas perkembangan fungsi dan berbagai kegiatan di serambi dari masa VOC hingga Hindia-Belanda berdasarkan pengaruh budaya Indis terhadap fungsi bangunan yang dikaitkan dengan konsep denotasi dan konotasi Roland Barthes dengan menitikberatkan pada fungsi pada salah satu bagian bangunan rumah yaitu serambi. Makna serambi atau beranda rumah di Hindia-Belanda berdasarkan konsep denotasi dan konotasi Roland Barthes Pada awalnya (sekitar abad 17) bentuk rumah-rumah yang dibangun dan ditinggali oleh orang- orang Belanda di Hindia-Belanda serupa dengan rumah-rumah di Belanda. Terutama rumah- rumah yang berada dalam benteng di Batavia, maupun di kota-kota lainnya. Bangunan rumah

Serambi Rumah dan Hotel di Hindia-Belanda dalam Konsep ...kampungbetawi.com/wp-content/uploads/2013/09/makalah-Achmad... · Serambi Rumah dan Hotel di Hindia-Belanda dalam Konsep

Embed Size (px)

Citation preview

Serambi Rumah dan Hotel di Hindia-Belanda

dalam Konsep Denotasi dan Konotasi Roland Barthes

Achmad Sunjayadi

Pendahuluan

Serambi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008) merupakan beranda atau selasar

yang agak panjang, bersambung dengan induk rumah. Biasanya terletak lebih rendah daripada

induk rumah. Sedangkan beranda merupakan ruang beratap terbuka yang tidak berdinding di

bagian samping atau depan rumah, biasanya dipakai untuk tempat duduk santai sambil makan

angin.

Kata beranda berasal dari veranda atau verandah yang diambil dari bahasa Portugis

varanda. Secara etimologi kata ini diperkenalkan dari India yang merupakan kombinasi antara

kata bahar yang berarti di luar dan andar yang artinya di dalam. Bentuk kombinasi bahar-andar

atau baharanda mengalami proses anglisasi menjadi veranda yang berarti sebuah ruangan baik

di dalam maupun di luar.

Serambi merupakan bagian dari bangunan di Hindia-Belanda yang mendapatkan

pengaruh budaya. Dalam perkembangannya serambi di rumah-rumah di Hindia-Belanda pada

awalnya memiliki fungsi tertentu yang sifatnya domestik. Kelak, serambi juga digunakan oleh

hotel-hotel sebagai salah satu fasilitas yang dinikmati oleh publik.

Dalam artikel ini dibahas perkembangan fungsi dan berbagai kegiatan di serambi dari

masa VOC hingga Hindia-Belanda berdasarkan pengaruh budaya Indis terhadap fungsi bangunan

yang dikaitkan dengan konsep denotasi dan konotasi Roland Barthes dengan menitikberatkan

pada fungsi pada salah satu bagian bangunan rumah yaitu serambi.

Makna serambi atau beranda rumah di Hindia-Belanda berdasarkan konsep denotasi dan

konotasi Roland Barthes

Pada awalnya (sekitar abad 17) bentuk rumah-rumah yang dibangun dan ditinggali oleh orang-

orang Belanda di Hindia-Belanda serupa dengan rumah-rumah di Belanda. Terutama rumah-

rumah yang berada dalam benteng di Batavia, maupun di kota-kota lainnya. Bangunan rumah

tersebut berupa bangunan berlantai satu atau dua dengan dinding samping yang menempel

dengan bangunan di sebelahnya.

Pada masa itu di Batavia ada peraturan bangunan yang mewajibkan penggunaan bata

untuk bangunan di dalam kota karena bahaya kebakaran (Blackburn 2011: 23). Rumah-rumah

yang terbuat dari batu tersebut tidak semua memiliki serambi. Apabila kita melihat denah rumah

di dalam kastil Batavia sekitar 1698 (gambar 1) dan foto rumah di Spinhuisgracht Batavia

(sekarang Jalan Petak Asem dan Tiang Bendera II) terlihat tidak adanya serambi (gambar 2).

Gambar 1. Denah dua rumah untuk Opperkoopman di Kastil Batavia sekitar 1698 ( sumber:

www.atlasmutualheritage.nl)

Bila melihat denah rumah di atas yang berbentuk segi empat, mengacu pada McLuhan

(1994 [1964]), dapat dikatakan merupakan rumah pada masyarakat modern karena masyarakat

modern adalah masyarakat yang stabil, berbeda dengan masyarakat nomaden (Dant 1999: 62).

Gambar 2. Rumah Oud Hollands di Spinhuisgracht Batavia sekitar 1920-an (Koleksi KITLV)

Tidak banyak rumah batu pada masa VOC yang memiliki serambi. Apalagi jika rumah

tersebut tidak memiliki halaman. Namun, apabila sebuah rumah memiliki serambi maka tempat

itu merupakan tempat yang paling digemari oleh penduduk Batavia pada masa VOC. Di tempat

inilah kebanyakan warga Eropa maupun penduduk pribumi bersantai, melewatkan waktu

senggang mereka. Apalagi orang Eropa menyukai area terbuka di depan rumah. Demikian pula

halnya dengan para mardijker, warga etnis Asia lain serta para pelancong yang baru tiba dengan

kapal (Soekiman 2000:141; Niemeijer 2005: 168; Blackburn 2011:23).

Menurut Niemeijer kata ‘serambi’ lebih sering muncul dalam dokumen-dokumen notaris

dibandingkan ‘veranda’ (beranda). Hal ini mungkin disebabkan karena penamaan yang lebih

baru (Niemeijer 2005:375). Sementara itu Mingaars (2005:612) memberikan gambaran

serambi/beranda sebagai berikut:

Rumah-rumah kuno Indis biasanya memiliki atap yang ditopang dengan pilar-pilar. Bagian

beratap antara pilar dan dinding disebut serambi depan, serambi samping dan belakang. Luasnya

tergantung dari rumahnya tetapi setiap rumah memiliki sebuah serambi depan. Bagian ini

merupakan tempat orang di kursi malas, berlindung dari matahari, menerima tamu.

Aktivitas yang dilakukan orang di serambi adalah duduk-duduk santai sambil mengobrol

berbagai hal dan persoalan, memperbincangkan beraneka peristiwa atau menggunjingkan

berbagai kelakuan orang dan sahabat. Mereka yang berjalan-jalan di Batavia pada malam hari

pada masa itu, pasti melewati sejumlah serambi yang penuh sesak dengan orang yang sibuk

berceloteh (Niemeijer 2005:168 ). Seperti pengalaman Joan Bitter yang baru datang dari Belanda

pada 1675. Pada suatu malam tahun 1683 ia berkesempatan pergi menjenguk anak-anaknya di

malam hari, dia harus ‘melewati’ begitu banyak orang yang duduk atau berseliweran di serambi

dan jalan (Blusse 1997 : 160)

Pada masa VOC serambi merupakan ‘pos ronda’ ideal, lokasi yang strategis untuk tempat

pengamatan karena selain letaknya yang bersinggungan langsung dengan derap kehidupan di

jalan umum juga membatasi ranah kehidupan pribadi. Serambi juga merupakan tempat untuk

dapat duduk santai di luar, apalagi rumah-rumah batu pada masa itu letaknya in de rij (berderet)

dan tidak memiliki halaman (lihat gbr. 2). Sehingga tempat masuk utama ke dalam rumah-rumah

Batavia melalui serambi yang biasanya merupakan emperan sempit memanjang, sambung

menyambung di depan dereten rumah. Biasanya di atas emperan dibuat atap sederhana yang

ditopang tiang-tiang kayu dan ada juga yang dilengkapi dengan pagar kayu sederhana. Emperan

yang agak besar dengan mudah menjadi serambi depan rumah (voorgalerij) yang cukup luas

untuk menampung orang banyak (Soekiman 2000:141; Niemeijer 2005:168)

Serambi yang agak sempit pun dapat dijadikan tempat untuk bercengkrama. Para pria

asyik mengisap pipa, menenggak arak atau segelas anggur dari Tanjung Harapan. Sedangkan

para wanita sibuk menikmati teh sambil mencicipi kue-kue kering lalu mengunyah sirih dan

pinang untuk menyegarkan mulut (Niemeijer 2005:169)

Untuk serambi yang agak luas (besar) biasanya menjadi tempat duduk untuk para tamu

karena mengacu kepada kebiasaan di Timur, para tamu jarang sekali diperbolehkan masuk ke

dalam rumah. F de Haan dalam Oud Batavia (1922) mengatakan bahwa serambi dengan berbagai

kegiatannya berasal dari gaya hidup khas Holland (Belanda).

Memang pembagian ruang di banyak rumah, khususnya di Batavia mungkin merupakan

ciri khas Belanda tetapi serambi beserta berbagai aktivitasnya merupakan ciri khas Asia. Di

kebanyakan rumah warga Cina juga ada serambi yang juga berfungsi sebagai tempat bersantai.

Dalam daftar warisan warga Cina ditemukan pula barang-barang yang lazim dipakai untuk

menghias serambi seperti kandang burung, aneka guci dan bangku-bangku bambu (Niemeijer

2005:169).

Barang-barang lainnya yang juga menghiasi serambi rumah-rumah warga Cina adalah

lukisan, lampu gantung, hiasan dinding (lihat gambar 3). Barang-barang yang masuk dalam

daftar warisan tersebut menurut Kopytoff (1986) memiliki biografi. Barang-barang yang masuk

daftar warisan tersebut mungkin saja berasal dari nenek moyang mereka di daratan Cina yang

awalnya memiliki fungsi sebagai perabot rumah tangga biasa (bangku, guci) lalu benda-benda itu

dibawa ke Nusantara menjadi benda yang diwariskan turun-menurun dan sangat bernilai serta

memiliki makna bagi keluarga tersebut. Sehingga dapat dikatakan tidak hanya manusia yang

memiliki kehidupan sosial, benda pun memiliki kehidupan sosial (Woodward 2007:103).

Gambar 3. Rumah warga Cina di Molenvliet West Batavia (Jl. Hayam Wuruk-Gajah Mada)

sekitar 1860-1865 (sumber: koleksi KITLV)

Meskipun sebagai salah satu pusat tempat kehidupan sosial, serambi merupakan tempat

pribadi (domestik) yang tidak dapat dimasuki begitu saja. Apabila seorang tetangga mengumbar

lelucon atau penghinaan yang keterlaluan, seringkali yang merasa tersinggung berteriak dari

serambinya, menantang si pembual lancang itu berkelahi di jalan karena berkelahi di serambi

dianggap sebagai pelanggaran yang jauh lebih berat ketimbang berkelahi di jalan (Niemeijer

2005: 169)

Bila pada sore dan malam hari, para pria mendominasi serambi maka pada siang hari,

biasanya para wanita lah yang banyak beraktivitas di serambi. Para nyonya kulit putih, nyonya

indo dan para wanita pribumi menghabiskan waktu dengan duduk santai di bawah atap serambi.

Di sini dapat dikatakan serambi menjadi tempat gender space (ruang gender) berdasarkan time

(waktu). Dari tempat yang strategis itu mereka dapat mengawasi para budak dengan lebih ketat

sambil mengobrol dengan tetangga. Oleh karena itu tidak mengherankan jika orang yang baru

pertama kali menginjakkan kaki di Batavia pada masa itu dan berjalan melewati deretan rumah

sering berkata dalam hati betapa para nyonya di Batavia tidak punya kegiatan lain selain sibuk

mengawasi dan memerintah para budak (Niemeijer 2005:170)

Mengenai para wanita yang melakukan kegiatan di serambi, Nicolaus de Graaf

bergumam ‘mereka [para wanita] menuntut agar dilayani seperti puteri-puteri raja dan beberapa

yang memiliki banyak budak mengharuskan budak-budak itu menjaga serta melayani mereka

sepanjang siang dan malam bagaikan anjing’ (Warnsinck 1930:13)

Sementara itu rumah-rumah yang berada di luar benteng berbeda. Rumah-rumah tersebut

lebih besar dan memiliki halaman atau kebun yang luas. Sebelum VOC bubar pada 1799,

memang banyak warga intramuros (benteng) yang pindah ke wilayah yang ketika itu masih

termasuk ommelanden yaitu Molenvliet, Noordwijk, Rijswijk bahkan sampai ke Weltevreden.

Penyebab perpindahan itu adalah kondisi intramuros yang buruk dan menyebarnya epidemi

malaria, tifus dan disentri.1 Rumah-rumah yang mereka tinggali dikenal dengan landhuis. Kita

mengenalnya dengan istilah pesanggrahan. Apabila kita perhatikan gambar-gambar, foto-foto

pada masa itu atau jika bangunan-bangunan itu masih ada hingga kini akan jelas terlihat

perbedaannya antara bangunan dalam benteng dan di luar benteng.

Gaya bangunan landhuizen yang terletak di luar benteng berbentuk campuran yaitu tipe

rumah Belanda dengan rumah pribumi Jawa. Gaya bangunan campuran itu dikenal dengan gaya

Indis (Soekiman 2000:137). Gaya bangunan landhuis bersifat simetris dengan ruang tengah

sebagai pusat kegiatan dan beratap cungkup (Sachari 2007:91)

Gambar 4. Landhuis Kampung Makassar sekitar tahun 1930-an (sumber: koleksi KIT Amsterdam)

Dalam konteks orang-orang Belanda yang datang ke Nusantara, awalnya mereka membangun

dengan orientasi budaya Belanda. Bahkan pada bangunan-bangunan tertentu corak bangunannya

mirip dengan rumah para pedagang kaya di kota-kota di Belanda seperti Baarn atau Hilversum

(Soekiman 2000:137). Lalu mereka membangun rumah dengan menyesuaikan sesuai dengan

1 Untuk gambaran tentang kesehatan di Batavia pada abad ke-18 lihat P.H. van den Brug Malaria en malaise; de

VOC in Batavia in de achttiende eeuw (Amsterdam: de Bataafse Leeuw, 1994)

iklim tropis di Nusantara. Menurut Amos Rapaport dalam House and Culture (1969:61) iklim,

konstruksi dan bahan adalah faktor modifikasi sekunder dalam menentukan bentuk yang

membatasi pilihan. Namun, faktor penentu utama dalam membangun sebuah rumah adalah

budaya membangun rumah (Dant 1999:64)

Seperti halnya serambi rumah warga Cina, pada serambi landhuis, terutama rumah-rumah

di perkebunan ditemukan pula berbagai barang dan perabotan. Seperti kursi malas, meja, pot

bunga, kandang burung dan hiasan-hiasan dinding lainnya (lihat gambar 5).

Adanya bermacam-macam aktivitas dan benda dan perabotan di serambi dapat dikatakan

bahwa salah satu bagian dari bangunan rumah (di sini serambi) berisi aturan dan konvensi dari

budaya tertentu demikian pula dengan manusia dan benda-benda yang dimiliki ternyata memiliki

biografi (benda warisan). Aturannya adalah serambi merupakan tempat bersantai, bukan tempat

untuk makan dan pada masa VOC terdapat konvensi bahwa pada sore dan malam hari serambi

digunakan oleh para pria dan pada siang hari digunakan oleh wanita yang juga berfungsi sebagai

pos pengawas untuk mengawasi para budak mereka.

Gambar 5. Serambi/beranda di sebuah rumah perkebunan sekitar 1870-1900 (sumber: Koleksi KIT Amsterdam)

Serambi yang dalam bangunan rumah berada di bagian depan, mengacu pada konsep

Goffman (1969) tentang wilayah ‘depan’ dan ‘belakang’ mengilustrasikan suatu divergensi

mendasar dalam aktivitas sosial-spasial. Ruang bagian depan merupakan tempat di mana kita

seolah-olah berada dalam pertunjukan ‘di atas panggung’ publik segala aktivitas yang dibuat-

buat, formal dan dapat diterima secara sosial (Barker 2009:308). Mungkin, pengecualian

aktivitas di serambi pada masa VOC di mana cacian dan makian serta pertengkaran kerap terjadi.

Demikian halnya dengan benda-benda yang dipajang dan ditampilkan di serambi oleh

pemiliknya yang dapat menggambarkan identitas status pemiliknya. Hal tersebut dapat kita lihat

dari sekitar 200 foto mulai akhir abad ke-19 hingga pertengahan abad ke-20 (koleksi KITLV)

yang menggunakan serambi (depan) di Hindia sebagai obyek atau latar belakang.

Serambi di rumah dapat dianalisis dengan menggunakan konsep denotasi dan konotasi

dari Roland Barthes. Konsep denotasi adalah memaknai sesuatu yang sudah dikenal secara

umum. Sedangkan konotasi merupakan pengembangan makna. Makna tersebut adalah makna

baru yang diberikan oleh pemakai tanda sesuai dengan keinginan, latar belakang pengetahuan,

atau konvensi baru yang ada dalam masyarakat (Hoed 2007:12)

Mengacu pada konsep denotasi Roland Barthes, maka serambi dapat dijelaskan sebagai

sebuah ruangan terbuka yang terletak di bagian depan rumah sebagai tempat bersantai, tempat

untuk menerima tamu. Apabila mengacu pada konsep konotasi Barthes, maka serambi dapat

memiliki makna lain yaitu sebagai tempat ‘pengintaian’, tempat untuk mengamati. Letak serambi

yang strategis membuat serambi tidak hanya sebagai tempat bersantai keluarga. Serambi juga

digunakan sebagai semacam pos pengawasan kehidupan sosial (kontrol sosial). Bahkan pada

masa lalu serambi merupakan tempat bagi mereka sambil mengunyah sirih dan pinang, sibuk

berceloteh, bergunjing bahkan mengumbar caci-maki. Makna konotasi lain dari serambi adalah

sebagai tempat untuk menunjukkan siapa sebenarnya pemilik rumah tersebut (status sosial). Ini

dikaitkan dengan benda-benda yang diletakkan di serambi.

Makna serambi atau beranda hotel di Hindia-Belanda

Selain mendapati beranda atau serambi yang terletak di rumah-rumah tinggal, kelak orang juga

menjumpai serambi di hotel-hotel. Hal ini disebabkan beberapa bangunan hotel yang sebelumnya

berfungsi sebagai rumah atau tempat tinggal. Misalnya pada 1840 di sebuah rumah tertua di

Rijswijk dibuat sebuah hotel, Hotel der Nederlanden oleh J.P.Faes. Dahulu rumah itu merupakan

tempat tinggal Raffles, pada 1846 memiliki nama ‘Palace Royale’ disamping juga menyandang

nama Hotel Amsterdam dan pada 1856 diberi nama Java Hotel (Kelling 1929:741)

Gambar 6. Hotel des Indes sekitar 1880 (koleksi KITLV Leiden)

Beberapa bangunan yang pada periode berikutnya berfungsi sebagai hotel pada awalnya

merupakan bangunan yang berfungsi sebagai tempat tinggal milik pribadi. Seperti Hotel Ernst di

Batavia yang dibangun pada 1745-1767. Lalu difungsikan sebagai hotel tahun 1860 dengan

memakai nama Ernst yang mengacu pada pemiliknya yaitu Moeder (Ibu) Ernst. Pada 1890, nama

hotel tersebut diganti menjadi Hotel Wisse (Merilles 2000:116). Demikian pula dengan Hotel der

Nederlanden di Rijswijk (Jalan Veteran) yang dibangun tahun 1794 dan merupakan rumah

pribadi milik Pieter Tency yang kemudian dijual kepada salah seorang anggota Raad van Indië

(Dewan Hindia), W.H. van Ijsseldijk. Selanjutnya rumah itu dibeli oleh Raffles pada 1811 lalu

kembali dijual kepada pemerintah Hindia-Belanda pada 1816. Pemilik selanjutnya, Johannes

Petrus Faes mengubah bangunan tersebut menjadi Hotel Place Royale pada 1840. Baru pada

1846 bangunan tersebut menyandang nama Hotel der Nederlanden (Merilles 2000:130). Di

sinilah terjadi transformasi fungsi bangunan yang awalnya dimaksudkan sebagai tempat tinggal

rumah menjadi hotel. Bangunan rumah direnovasi dan diperbaharui menjadi bangunan hotel

(Dant 1999: 67)

Gambar 7. Hotel der Nederlanden sekitar 1860-1872 (sumber: koleksi KITLV)

Kesan mengenai fungsi serambi di hotel diungkapkan oleh Charles Walter Kinloch alias

Bengal Civilian yang mengunjungi Jawa pada 1852, memberikan kesannya tentang beranda. Ia

melihat seorang pria duduk di beranda hotel pada tengah hari dengan mengenakan pakaian sore

(Kinloch 1987:37)

Pelancong lainnya yaitu Justus van Maurik dari Amsterdam (1897:167) yang menginap di

sebuah hotel di Hindia-Belanda pada akhir abad ke-19 menuliskan kesannya mengenai serambi:

Kamar-kamar untuk menginap sebagian besar berada di bangunan panjang, bangunan samping

rendah yang bersisian di bawah satu atap, yang terletak di sisi bangunan utama, terkadang dibatasi

dengan dinding rendah dari potongan kayu kecil yang membuat kita tak dapat melihat orang lain di

sebelah, tapi dapat mendengar apa pun. Beranda atau serambi depan di ruang tamu dan ruang

duduk penginapan itu dilengkapi dengan beberapa kursi malas, sebuah meja kecil dan lampu

gantung. Ketika kita melihat antara jam lima dan enam sore di sepanjang beranda, jika hotel penuh

dapat dilihat ‘pameran’ bermacam-macam kaki telanjang keluar dari celana-celana tidur para pria

yang menginap. Mereka duduk berbaring di kursi malam/malas, sampai salah satu dari mereka

menarik diri, mengenakan sandal dan berjalan menuju kamar mandi.

Dari gambaran van Maurik mengenai perabotan yang ada di serambi hotel yaitu kursi

malas, meja kecil, dan lampu gantung, kita mengetahui adanya kesamaan dengan perabotan di

serambi rumah. Berbeda dengan fungsi perabotan di serambi rumah yang mungkin ingin

menunjukkan identitas pemilik rumah, perabotan di serambi hotel lebih pada fungsi untuk

bersantai.

Kesan mengenai serambi juga diperoleh oleh Augusta de Wit. Ketika itu ia menginap di

sebuah hotel di Batavia. Ia menulis bahwa beranda merupakan tempat yang baik di hotel untuk

berlindung dari panas siang hari. Ia pun dapat bercakap-cakap dengan orang pribumi sambil

minum es jeruk (1987:18)

Kesan lain mengenai serambi depan diberikan oleh Alleta Jacobs. Ia menulis

pengalamannya pada 1913 di Batavia. Ketika ia tiba di Batavia, ia menginap di sebuah hotel.

Berikut kesannya:

Biarkan aku bercerita dulu, bagaimana kami tinggal di Batavia karena kehidupan hotel di sini

dalam banyak sudut pandang berbeda dengan di Eropa. Kami duduk berdua di rumah kecil yang

disebut pavilyun. Di dalamnya kami memiliki kamar tidur besar, sejuk yang termasuk juga kamar

bagian dalam dan serambi depan. Dari serambi depan kami memiliki pemandangan luas

menghadap Koningsplein. Jangan kira lapangan ini dapat dibandingkan dengan lapangan di

Amsterdam. Di sini, sebuah lapangan hijau yang dapat dikatakan luas dengan sapi-sapi dan

binatang lainnya. Di seberangnya terdapat jalan kerikil yang ramai dan lebar, yang memisahkan

kami dengan lapangan itu, penduduk Batavia berbaris di depan mata kami. Dengan tenang kami

duduk di atas kursi malas di serambi depan, kami punya cukup waktu untuk berfikir dan dengan

cara yang mudah mempelajari kehidupan di sini.” (1913:.416-423)

Gambar 8. Serambi di hotel Des Indes Batavia 1910 sumber: koleksi KIT Amsterdam

Berkaitan dengan serambi, salah satu aktivitas yang dilakukan di serambi terutama

serambi hotel adalah tidur siang. Aktivitas yang tidak dilakukan di serambi rumah pada masa

VOC.

Salah seorang pelancong asal Belanda Justus van Maurik (1897) menceritakan

pendapatnya mengenai tidur siang usai menikmati rijsttafel di hotel: ‘Usai rijsttafel, tidur siang.

Sesuatu yang nyaman bagi mereka yang dapat memanfaatkannya!’ (Maurik 1897: 8). Tidur

siang dilakukan oleh para tamu hotel di serambi hotel. Maurik yang juga melakukan aktivitas itu

memberikan kesannya: ‘…dan kelambanan yang nyaman menyergapku, membuatku terkenang

pada tidur siang di kursi hotel di bawah serambi.’ (Maurik 1897:156).

Aktivitas tidur siang berlangsung hingga pukul empat sore. Maurik menceritakan situasi

‘ramai’ suatu siang dari kamarnya. Orang-orang berbaris sambil terburu-buru dengan handuk dan

sandal ke kamar mandi. Mereka berjalan melewati jendela kamar Maurik. Setelah itu para tamu

duduk lagi di serambi sambil menikmati teh pada pukul lima.

Pengalaman tidur siang serupa diceritakan pula oleh Augusta de Wit. Setelah menikmati

hidangan rijsttafel, para tamu meninggalkan meja makan. Dia diberitahu oleh salah seorang

pelayan bahwa waktunya untuk tidur siang. Menurut de Wit tidur siang merupakan sesuatu yang

baru bagi para pendatang baru di Hindia-Belanda (Wit 1987:24-25)

Eliza Scidmore, pelancong perempuan dari Amerika (1984:30) dan Jan Poortenaar

(1989:35), seorang seniman sekaligus pelancong dari Belanda juga menceritakan kebiasaan tidur

siang di serambi hotel. Sama halnya dengan Maurik, menurut Scidmore tidur siang berlangsung

hingga empat sore setelah menikmati rijsttafel. Setelah tidur siang, mandi dan minum teh untuk

menyegarkan diri. Sementara Poortenaar menggambarkan situasi selama tidur siang. Para pria

mengenakan piyama dan duduk di kursi goyang.

Seperti halnya serambi rumah, serambi hotel juga kerap menjadi obyek atau latar

belakang foto antara lain Hotel Malga Cirebon, Hotel Wisse Batavia, Hotel Des Indes Batavia,

Hotel Berestein Madiun, Hotel Morbeck Pasuruan, Hotel Bali Denpasar (koleksi KITLV) serta

untuk obyek kartu pos antara lain serambi Grand Hotel Selabatoe Sukabumi, Grand Hotel Java

Batavia, Hotel Des Indes Batavia, Hotel Slier Solo, Hotel Marinus Jansen Malang, Hotel

Centrum Fort de Kock, Hotel Du Pavillon Semarang, Hotel Banjarmasin (Haks 2004)

Makna serambi di hotel mengacu pada konsep denotasi dan konotasi Barthes dapat

dikatakan hampir sama dengan makna serambi di rumah. Makna denotasi dari serambi di hotel

adalah sebuah ruangan terbuka yang terletak di bagian depan bangunan (hotel), seperti halnya

serambi di rumah juga sebagai tempat bersantai. Serambi di hotel mendapatkan makna konotasi

sebagai salah satu fasilitas yang ditawarkan oleh hotel kepada para tamu (turis) yaitu sebagai

tempat menikmati tidur siang, khususnya seusai menyantap rijsttafel. Setelah menyegarkan diri

(mandi) para tamu dapat menikmati kopi atau teh di serambi. Para tamu (turis) yang sudah cukup

lama tinggal di suatu hotel dapat pula ‘mengintai’, mengawasi para tamu yang baru datang. Serta

menikmati kebingungan para tamu baru tersebut dengan fasilitas hotel seperti kamar mandi dan

suara hewan kecil, seperti tokek, cicak.

Penutup

Fungsi serambi di rumah tinggal di Batavia pada masa kolonial merupakan tempat bersantai

melewati waktu senggang dengan memperbincangkan berbagai hal. Selain sebagai tempat

bersantai serambi juga digunakan sebagai semacam pos pengawasan kehidupan sosial (kontrol

sosial). Meskipun sebagai pusat bagi kehidupan sosial, pada masa VOC dan Hindia-Belanda

tempat ini merupakan tempat pribadi (domestik) yang tidak dapat dimasuki begitu saja

Bila pada sore dan malam hari, para pria mendominasi serambi maka pada siang hari,

biasanya para wanita lah yang banyak beraktivitas di serambi. Para nyonya kulit putih, nyonya

indo dan para wanita pribumi menghabiskan waktu dengan duduk santai di bawah atap serambi.

Di sini tidak ada pembedaan gender dalam memanfaatkan serambi di rumah. Pembedaan hanya

pada waktu.

Serambi mengalami transformasi dari yang fungsinya untuk privat (pribadi) menjadi

salah satu fasilitas hotel yang dapat dinikmati oleh umum. Pada beberapa hotel, serambi diberi

sekat-sekat untuk memisahkan antara satu kamar dengan kamar lainnya atau serambi yang

berada di bagian denpan hotel.

Fungsi serambi di hotel di Batavia pada masa kolonial juga sebagai tempat bersantai

tetapi dikaitkan dengan salah satu fasilitas hotel yaitu tempat beristirahat pada siang hari (tidur

siang) sesudah menikmati hidangan rijsttafel. Dari sudut pandang gender, dibandingkan dengan

serambi di rumah, tidak ada pembedaan waktu antara pria dan wanita dalam memanfaatkan

serambi hotel. Mereka sama-sama dapat menikmati tidur siang di serambi hotel hingga waktu

mandi sore tiba.

Serambi pada rumah tinggal dan hotel mengacu pada konsep denotasi dan konotasi

Barthes memiliki makna yang hampir sama. Makna sebagai tempat bersantai dan pos

pengawasan juga dimiliki oleh serambi pada rumah tinggal maupun serambi hotel.

Perbedaannya, serambi di rumah tinggal dihiasi dengan perabot dan benda-benda yang

menunjukkan identitas pemiliknya, sedangkan serambi di hotel lebih pada fungsi sebagai tempat

beristirahat.

Pada masa kini hotel yang memiliki serambi hanya ditemukan di hotel-hotel untuk

liburan (berbentuk cottage) atau hotel kelas melati. Biasanya hotel-hotel berbintang di kota besar

tidak memiliki serambi. Hotel-hotel tersebut memiliki balkon dan jika kita perhatikan para tamu

hotel jarang memanfaatkan balkon tersebut untuk tidur siang seperti pada masa Hindia-Belanda.

Daftar Pustaka

Barker, Chris. (2009). Cultural Studies. Teori dan Praktik. Yogyakarta: Kreasi Wacana

Blackburn, Susan.(2011). Jakarta :Sejarah 400 tahun. Depok: Masup Jakarta

Blusse, Leonard. (1997). Bitters Bruid. Een koloniaal huwelijksdrama in de gouden eeuw.

Amsterdam: Balans

Brug, P.H. van den. (1994). Malaria en malaise; de VOC in Batavia in de achttiende eeuw.

Amsterdam: de Bataafse Leeuw

Dant, Tim (1999). Material Culture in The Social World . Buckingham-Philadelphia: Open

University Press

Haan, F. de (1922). Oud Batavia: Gedenkboek uitgegeven door het Bataviaasch Genootschap

van Kunsten en Wetenschappen naar aanleiding van het driehonderdjarig bestaan der

stad in 1919. Batavia; Kolff

Haks, Leo dan Steven Wachlin (2004) Indonesia 500 Early Postcards. Singapura: Archipelago

Hodder, Ian (1994) “The Interpretation of Documents and Material Culture” dalam N.K.Denzin

dan Y.S.Lincoln (eds) Handbook of Qualitative Research, hal. 393-402. London: Sage.

Hoed, Benny H. (2007) Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya. Depok: Fakultas Ilmu

Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia

Jacobs, Alleta (1913) Reisbrieven uit Afrika en Azie, benevens eenige brieven uit Zweden en

Noorwegen. Tweede deel, Almelo: Hilarius

Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008). Pusat Bahasa Edisi keempat. Jakarta: Gramedia

Maurik, Justus van. (1897). Indrukken van een totok. Amsterdam: van Holkema & Warendorf.

Merilles, Scott. (2000). Batavia in Nineteenth Century Photographs. Singapore: Archipelago

Press

Mingaars, Peter (ed.) (2005). Indische lexicon: Indische woorden in de Nederlandse literatuur.

Amsterdam: Hes & De Graaf

Niemeijer, Hendrik E. (2005). Batavia: een koloniale samenleving in de zeventiende eeuw.

Amsterdam: Balans

Poortenaar, Jan (1988). An Artist in Java and other island of Indonesia. Singapore: Oxford

University Press

Sachari, Agus. (2007). Budaya Visual Indonesia. Membaca Makna Perkembangan Gaya Visual

Karya Desain di Indonesia abad ke-20. Jakarta: Erlangga

Soekiman, Djoko. (2000). Kebudayaan Indis dan Gaya Hidup Masyarakat Pendukungnya di

Jawa .Abad XVIII-Medio Abad XX. Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya

Warnsinck, J.C.M. (ed). (1930). Reisen van Nicolaus de Graaff. Gedaan naar alle gewesten des

Werelds Beginnende 1639 tot 1687 incluis - Oost Indise Spiegel . s’Gravenhage

Wit, Augusta de. (1987). Java: Facts and Fancies. [cetakan pertama 1905]. Singapura: Oxford

University Press.

Woodward, Ian. (2007). Understanding Material Culture. London: Sage Publication

www.atlasmutualheritage.nl diakses 22 Oktober 2012

www.kitlv.nl diakses 24 Oktober 2012