Upload
others
View
9
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
SENGKETA WANPRESTASI PERJANJIAN HUTANG PIUTANG DALAM
KELUARGA ANTARA ORANG TUA DAN ANAK
(STUDI KASUS PUTUSAN NOMOR 1/PDT.G/2017/PN.GARUT)
Adhi Rangga Sofyan Ananta
Mahasiswa Magister Kenotariatan Universitas Sebelas Maret
Email: [email protected]
Burhanudin Harahap
Dosen Magister Kenotariatan Universitas Sebelas Maret
Email: [email protected]
Yudho Taruno Muryanto
Dosen Magister Kenotariatan Universitas Sebelas Maret
Email: [email protected]
Abstract
Agreement is an deal made by one person against another person that gives rise to rights and
obligations. Legal actions in this study related to debt agreements in the family scope. The
method used in this study is normative. One form of problems in this research is about not
fulfilling the obligation to pay debts because this is related to the rights and obligations of
someone in the agreement. If there is a problem like this submitted to the court, the judge in this
case judges from the legal facts that occur by considering various aspects in deciding the matter.
With the occurrence of the problem of not paying debts within the family scope, it is hoped that
this problem can be resolved through a peaceful way so that the problem will not be resolved in
court.
Keywords: Agreement, breach the promise, Judge
A. Pendahuluan
Perjanjian merupakan suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau
dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. 1 Perjanjian harus
memenuhi syarat sahnya perjanjian, sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 1320 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata, yaitu sepakat mereka yang mengikatkan dirinya,
kecakapan untuk membuat suatu perikatan, suatu hal tertentu, dan suatu sebab yang halal.
Dengan terpenuhinya empat syarat sahnya perjanjian, maka secara hukum adalah mengikat
bagi para pihak yang membuatnya.
Perjanjian merupakan sumber terpenting yang melahirkan perikatan. Memang perikatan
itu paling banyak lahir dari perjanjian, tetapi ada juga perikatan yang lahir dari undang-
undang. 2 Eksistensi perjanjian sebagai salah satu sumber perikatan dapat kita temui
landasannya pada ketentuan Pasal 1233 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang
menyatakan bahwa: “Tiap-tiap perikatan dilahirkan, baik karena perjanjian baik karena
undang-undang”.3 Ketentuan tersebut dipertegas lagi dengan rumusan ketentuan Pasal 1313
1 Wirjono Prodjodikoro, 2000, Azas-Azas Hukum Perjanjian, Bandung: Mandar Maju, hal. 4. 2 R. Subekti, 1979, Hukum Perjanjian, Jakarta: Intermasa, hal. 1. 3 Pasal 1233 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
2
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang menyatakan bahwa: “Suatu perjanjian adalah
suatu perbuatan di mana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain
atau lebih”.4 Setiap perjanjian yang melahirkan suatu perikatan diantara kedua belah pihak
adalah mengikat bagi kedua belah pihak yang membuat perjanjian, hal ini berdasarkan atas
ketentuan hukum yang berlaku di dalam Pasal 1338 (1) Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata yang berbunyi “Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-
undang bagi mereka yang membuatnya”.5
Apabila para pihak telah ada kata sepakat maka terbentuklah suatu perjanjian hutang
piutang. Dengan adanya kesepakatan atau persetujuan tersebut mengakibatkan ikatan hukum
bagi para pihak. Umumnya ikatan hukum yang diakibatkan persetujuan adalah saling
memberatkan atau merupakan pembebanan kepada para pihak yang terkait. Hal tersebut
mengakibatkan timbulnya hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian pinjam meminjam
ini. Hak dan kewajiban tersebut harus dilakukan oleh para pihak dengan baik sesuai dengan
kesepakatan yang telah terjadi.6
Kegiatan pinjam-meminjam uang telah dilakukan sejak lama dalam kehidupan
bermasyarakat yang telah mengenal uang sebagai alat utama dalam pembayaran. Dapat
diketahui bahwa hampir semua masyarakat telah menjadikan pinjam meminjam uang
sebagai sesuatu yang sangat diperlukan untuk mendukung perkembangan kegiatan
ekonominya dan untuk meningkatkan taraf kehidupannya. Dengan kompleksitas tersebut
pinjam meminjam dapat terjadi dalam lingkup keluarga seperti dalam kasus Putusan Nomor
1/Pdt.G/2017/Pn.Garut yakni hutang piutang dimana suatu keluarga melakukan perjanjian
hutang piutang yang dituangkan dalam perjajian tertulis, Bahwa yang menjadi permasalahan
antara Para Penggugat dan Para Tergugat dalam gugatannya adalah hutang piutang yang
terjadi tahun 2001 dimana Para Tergugat telah meminjam uang kepada Para Penggugat
sebesar Rp. 41.500.000 (empat puluh satu juta lima ratus ribu rupiah). Para Penggugat
mendalilkan bahwa Para Tergugat telah melakukan wanprestasi dengan tidak melunasi
hutangnya serta tidak menyerahkan sertifikat SHM No. 1437, Desa Kota Kulon sebagai
jaminan hutang tersebut sehingga akibatnya telah menimbulkan kerugian yang sangat besar
bagi Para Penggugat.
Pada dasarnya suatu perjanjian akan berlangsung dengan baik jika para pihak yang
melakukan perjanjian tersebut dilandasi oleh iktikad baik (good faith), namun jika iktikad
baik itu tidak dilaksanakan maka akan rentan terhadap sengketa yang terjadi. Dari
permasalahan tersebut penulis tertarik untuk membahas mengenai Wanprestasi Perjanjian
Hutang Piutang Dalam Keluarga Antara Orang Tua Dan Anak (Studi Kasus Putusan Nomor
1/Pdt.G/2017/Pn.Garut). Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan diatas,
maka rumusan masalah yang akan diteliti yaitu apakah perbuatan yang dilakukan Tergugat
dalam Putusan Nomor 1/Pdt.G/2017/Pn.Garut dapat diklasifikasikan sebagai perbuatan
wanprestasi dan bagaimana pertimbangan hakim terhadap sengketa wanprestasi dalam
Putusan Nomor 1/Pdt.G/2017/Pn.Garut.
4 Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. 5 Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. 6 Taufik Siregar, Isnaini, dan Jandrias Tarigan, Tinjauan Yuridis terhadap Hubungan Hukum Karena Wanprestasi di
dalam Hutang Piutang (Studi Putusan Pengadilan Negeri Lubuk Pakam No.05/Pdt.G/2007/PN.LP), Jurnal Ilmiah
Penegakan Hukum, Volume 1, Nomor 2, Desember 2014, hal. 191.
3
B. Metode Penelitian
Dalam arti kata yang sesungguhnya, maka metode adalah cara atau jalan. Sehubungan
dengan upaya ilmiah, maka metode menyangkut masalah cara kerja, yaitu cara kerja untuk
memahami obyek yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan.7 Menurut Peter Mahmud
Marzuki segala penelitian yang berkaitan dengan hukum (Legal Research atau
Rechtsonderzoek) adalah selalu Normatif. 8 Dalam penelitian hukum terdapat beberapa
pendekatan yang dapat digunakan untuk mendapatkan informasi dari berbagai aspek guna
menjawab isu hukum yang diteliti, adapun beberapa pendekatan yang dimaksud yaitu:
pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan kasus (case approach),
pendekatan historis (historical approach), pendekatan perbandingan (comparative
approach), dan pendekatan konseptual (conceptual approach). Berkenaan dengan penulisan
hukum ini penulis menggunakan 2 (dua) pendekatan yang relevan dengan permasalahan
yang diteliti, yaitu pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan
konseptual (conceptual approach) karena pendekatan ini dianggap relevan dengan penelitian
hukum yang dikaji oleh penulis.
C. Hasil Penelitian dan Pembahasan
1. Klasifikasi Wanprestasi terhadap Perbuatan Hukum Tergugat
Pasal 1233 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyebutkan sumber perikatan
adalah perjanjian dan undang-undang. Perikatan adalah suatu hubungan hukum di
bidang hukum kekayaan dimana satu pihak berhak menuntut suatu prestasi dan pihak
lainnya berkewajiban untuk melaksanakan suatu prestasi. Sedangkan perjanjian
menurut Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata adalah suatu perbuatan
dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.
Definisi ini mendapat kritik dari Prof. R. Subekti, karena hanya meliputi perjanjian
sepihak padahal perjanjian pada umumnya bersifat timbal balik, seperti perjanjian jual
beli, perjanjian sewa menyewa, perjanjian tukar menukar dan sebagainya. Sedangkan
perikatan yang lahir dari undang-undang terdiri atas perikatan yang lahir dari undang-
undang saja dan perikatan yang lahir dari undang-undang yang berhubungan dengan
perbuatan manusia. Perikatan yang lahir dari undang-undang yang berhubungan dengan
perbuatan manusia dapat dibagi atas perikatan yang halal dan perikatan yang tidak
halal, yaitu perbuatan melawan hukum.9
Perjanjian dalam hutang piutang adalah suatu perbuatan yang mana para pihaknya
adalah yang bersedia dan sepakat mengikatkan dirinya dalam suatu perjanjian dalam
rangka untuk melaksanakan perjanjian hutang piutang. Dalam Pasal 1320 KUHPeradata
menentukan adanya 4 (empat) syarat sahnya suatu perjanjian, yakni:
1. Adanya kata sepakat bagi mereka yang mengikatkan dirinya;
2. Kecakapan para pihak untuk membuat suatu perikatan;
3. Suatu hal tertentu; dan
4. Suatu sebab (causa) yang halal.10
7 Soejono dan Abdurrahman, 1999, Metode penelitian: Suatu Pemikiran dan Penerapan, Jakarta: Rineka Cipta, hal. 44. 8 Peter Mahmud Marzuki, 2013 Penelitian Hukum, edisi Revisi, Jakarta: Kencana Prenada Media Groub, hal. 83. 9 R. Subekti, 2008, Hukum Perjanjian, Jakarta: PT. Intermasa, hal. 42. 10 Subekti dan Tjitrosudibio, 2003, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta: Pradnya Paramita, hal. 330.
4
Persyaratan tersebut diatas berkenan baik mengenai subjek maupun objek
perjanjian. Persyaratan yang ke-1 dan ke-2 berkenan dengan subjek perjanjian atau
syarat subjektif. Persyaratan yang ke-3 dan ke-4 berkenan dengan objek perjanjian atau
syarat objektif. Pembedaan kedua persyaratan tersebut dikaitkan pula dengan masalah
batal demi hukumnya (nieteg atau null and ab initio) dan dapat dibatalkannya
(vernietigbaar) suatu perjanjian. Apabila syarat objektif dalam perjanjian tidak
terpenuhi maka perjanjian tersebut batal demi hukum atau perjanjian yang sejak semula
sudah batal, hukum menganggap perjanjian tersebut tidak pernah ada. Apabila syarat
subjektif tidak terpenuhi maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan atau sepanjang
perjanjian tersebut belum atau tidak dibatalkan pengadilan, maka perjanjian yang
bersangkutan masih terus berlaku.11
Di dalam kenyataan sulit untuk menentukan pada saat debitur dikatakan tidak
memenuhi perikatan, karena sering kali ketika mengadakan perjanjian pihak-pihak tidak
menentukan waktu untuk melaksanakan perjanjian tersebut. Bahkan di dalam perikatan
di mana waktu untuk melaksanakan prestasi itupun ditentukan, cidera janji tidak terjadi
dengan sendirinya. Yang mudah untuk menentukan saat debitur tidak memenuhi
perikatan ialah pada apabila orang itu melakukan perbuatan yang dilarang tersebut
maka ia tidak memenuhi perikatan.
Akibat yang sangat penting dari tidak dipenuhinya perikatan ialah bahwa kreditur
dapat minta ganti rugi atas ongkos, rugi dan bunga yang dideritanya. Untuk adanya
kewajiban ganti rugi bagi debitur, maka undang-undang menentukan bahwa debitur
harus terlebih dahulu dinyatakan berada dalam keadaan lalai (ingebrekestelling).
Apabila debitur tidak memenuhi perikatannya (wanprestasi) ataupun pada
perikatan-perikatan di mana pernyataan lalai tidak disampaikan kepada debitur, maka
debitur dikatakan tidak memenuhi perikatan. Hak-hak kreditur adalah sebagai berikut:
a. Hak menuntut pemenuhan perikatan (nakomen);
b. Hak menuntut pemutusan perikatan atau apabila perikatan itu bersifat timbal
balik, menuntut pembatalan perikatan (ontbinding);
c. Hak menuntut ganti rugi (schadevergoeding);
d. Hak menuntut pemenuhan perikatan dengan ganti rugi;
e. Hak menuntut pemutusan atau pembatalan perikatan dengan ganti rugi.
Berkaitan dengan hutang piutang menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, yaitu:
uang yang dipinjamkan dari orang lain.12 Sedangkan piutang mempunyai arti uang yang
dipinjamkan (dapat ditagih dari orang lain).
Hutang adalah kewajiban yang dinyatakan atau tidak dapat dinyatakan dalam
jumlah uang baik yang secara langsung maupun yang akan timbul di kemudian hari,
yang timbul karena perjanjian atau undang-undang dan yang wajib dipenuhi oleh
debitur dan apabila tidak dipenuhi hak kepada kreditur untuk mendapat pemenuhannya
dari harta kekayaan debitur. Piutang adalah tagihan (klaim) kreditur kepada debitur atas
uang, barang atau jasa yang ditentukan dan bila debitur tidak mampu memenuhi maka
kreditur berhak untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan debitur. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa yang termasuk dalam bentuk akta di bawah tangan
salah satunya adalah perjanjian hutang piutang di manahanya dibuat oleh pihak yang
11 Gunawan Widjaja, 2003, Seri Pemahaman Perseroan Terbatas: 150 Tanya Jawab tentang Perseroan Terbatas,
Jakarta: Forum Sahabat, hal. 68. 12 Poerwardaminto, 2003, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, hal. 1136.
5
berkepentingan tanpa bantuan seorang pejabat umum yang berwenang seperti Notaris
atau Pejabat Pembuat Akta Tanah yang selanjutnya disebut PPAT.
Perjanjian hutang piutang di bawah tangan adalah perjanjian yang dibuat oleh para
pihak sendiri tanpa ada bantuan dari pejabat umum. Dimana para pihak tersebut tertarik
untuk melakukan perjanjian hutang piutang di bawah tangan disebabkan karena praktis,
ekonomis, perlu uang cepat, dan tanpa perlu pejabat yang berwenang. Para pihak telah
terikat dengan apa yang menjadi isi dari perjanjian yang telah mereka sepakati dan yang
telah ditandatangani, karena dengan ditandatanganinya suatu perjanjian artinya para
pihak telah menyetujui isi dan mentaati serta melaksanakan apa yang tercantum dalam
perjanjian tersebut yang sesuai dengan Pasal 1338 KUHPerdata yang menyatakan
bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-Undang bagi
mereka yang membuatnya.
Berkaitan dengan sengketa wanprestasi dalam Putusan ini diajukan oleh Penggugat
yang bernama Dra. Yani Suryani (Penggugat I) dan Handoyo Adianto (Penggugat II)
selanjutnya disebut Para Penggugat melawan Tergugat yang bernama Siti Rokayah
(Tergugat I) dan Asep Ruhendi (Tergugat II) selanjutnya disebut sebagai Para Tergugat.
Bentuk wanprestasi dalam putusan ini yang diajukan oleh Para Penggugat dengan
alasan :
Bahwa pada tanggal 23 Januari 2001, Para Tergugat datang ke rumah Para
Penggugat untuk meminta bantuan pinjaman uang karena Para Tergugat
memiliki hutang di bank senilai Rp. 40.274.904,- (empat puluh juta dua ratus
tujuh puluh empat ribu sembilan ratus empat rupiah). Maksud tujuan Para
Tergugat adalah meminta tolong kepada Penggugat I dan Penggugat I meminta
tolong kepada Penggugat II (selaku suami Penggugat I) agar membantu
kesulitan dan permasalahan yang dihadapi Para Tergugat, dan dihadapan Para
Penggugat Tergugat II berjanji akan segera melunasi dalam jangka waktu 2
(dua) tahun dengan menjual aset-aset miliknya yang ada yaitu rumah tinggalnya
yang terletak di Jalan Ciledug No. 196, Rt 001, Rw 015 Kelurahan Kota Kulon,
Kecamatan Garut Kota, Garut sebagaimana tercantum dalam SHM No. 1437,
Desa Kota Kulon sebagai jaminan pelunasan pinjaman hutang nantinya yang
dibuat dalam perjanjian hutang piutang pada tanggal pada tanggal 06 Februari
2001.
Bahwa selanjutnya pada tanggal 1 Februari 2001, Penggugat II telah
memberikan sejumlah uang sebesar Rp. 21.500.000,- (dua puluh satu juta lima
ratus ribu rupiah) lewat transfer Bank dan sebesar Rp. 20.00.000,- (dua puluh
juta rupiah) diberikan secara cash/tunai dan disepakati pinjaman uang sebesar
Rp. 41.500.000,- (empat puluh satu juta lima ratus ribu rupiah).
Bahwa setelah Para Tergugat menerima pemberian uang dari Para Penggugat
guna penyelesaian permasalahan mereka dengan pihak Bank, namun ditunggu-
tunggu kurang lebih 3 (tiga) minggu, ternyata tidak ada pemberitahuan akan
penyelesaian permasalahan dari Para Tergugat, bahkan SHM No. 1473, Desa
Kota Kulon, yang akan diberikan kepada Para Penggugat sebagai jaminan
pelunasan hutang tidak pula terealisasikan.
Bahwa sebelum Para Penggugat mengajukan gugatan ini, Para Penggugat telah
menanyakan kepada Para Tergugat untuk penyelesaian hutang mereka berikut
6
menanyakan SHM No. 1437 Desa Kota Kulon sebagai jaminan pelunasan
hutang, namun ternyata Para Tergugat tidak menyerahkan sertifikat tersebut.
Bahwa oleh karena penyerahan SHM No. 1437 Desa Kota Kulon dan
penyelesaian hutang antara Para Tergugat dengan Para Penggugat belum juga
terlaksana, maka pada tanggal 08 Oktober 2016, Tergugat I telah membuat
Surat Pengakuan Hutang sebagaimana yang diperjanjikan sebelumnya.
Bahwa akibat perbuatan wanprestasi yang dilakukan oleh Para Tergugat telah
menimbulkan kerugian bagi Para Penggugat.
Berdasarkan wujud wanprestasi yang didalilkan oleh Para Penggugat dalam
gugatannya perbuatan Para Tergugat harus memenuhi salah satu unsur dalam
wanprestasi bahwa tidak dipenuhinya janji dapat terjadi baik karena disengaja maupun
tidak disengaja. Seorang debitur dikatakan lalai, apabila ia tidak memenuhi
kewajibannya atau terlambat memenuhinya tetapi tidak seperti yang telah
diperjanjikan. 13 Wujud dari tidak memenuhi perikatan itu ada 3 (tiga) macam yang
termuat dalam Pasal 1243 KUHPerdata, yaitu:
a. Debitur sama sekali tidak memenuhi perikatan;
b. Debitur terlambat memenuhi perikatan;
c. Debitur keliru atau tidak pantas memenuhi perikatan.14
Dalam kasus gugatan tersebut Perbuatan Para Tergugat yang didalilkan oleh Para
Penggugat dalam hal ini memenuhi salah satu unsut wanprestasi dalam Pasal 1243
KUHPerdata yaitu “Debitur sama sekali tidak memenuhi perikatan”. Bentuk
wanprestasi tersebut dibuktikan dalam dalil gugatan yang berbunyi: Bahwa Para
Tergugat memiliki hutang kepada Para Penggugat senilai Rp. 41.500.000,00 (empat
puluh satu juta lima ratus ribu rupiah) dengan jaminan SHM No. 1437, Desa Kota
Kulon tetapi Tergugat I tidak menyerahkan sertifikat tersebut sehingga akibatnya telah
menimbulkan kerugian yang sangat besar bagi Para Penggugat. Dengan berdasar pada
ketentuan Pasal 1236 KUH Perdata, pihak yang telah merasa dirugikan dengan adanya
perjanjian hutang piutang karena pihak yang lain telah ingkar prestasi atau wanpretasi,
maka pihak yang merasa dirugikan dapat menuntut pertanggungjawaban atas
perbuatnnya dengan memberikan ganti biaya dan kerugian. Untuk menuntut tanggung
jawab hukum dapat dilakukan melalui lembaga litigasi atau melalui non litigasi.
Langkah penyelesaian yang dapat ditempuh oleh para pihak yang bersengketa
dalam perjanjian hutang piutang ini apabila terdapat salah satu pihak melakukan
wanprestasi, maka terdapat beberapa langkah untuk memperoleh tanggung jawab dari
pihak yang melakukan wanprestasi atas perjanjian hutang piutang:
Pertama, Yang harus ditempuh karena masalah mengenai wanprestasi hutang
piutang dalam lingkup keluarga ini merupakan masalah yang menyangkut dengan
hubungan kekeluargaan, maka alangkah baiknya dilakukan penyelesaian secara
kekeluargaan terlebih dahulu, agar pihak yang wanprestasi tersebut dapat memenuhi
kewajibannya kembali sesuai yang diperjanjikan.
Kedua, Apabila dengan kekeluargaan pihak yang wanprestasi tersebut tetap tidak
mau memenuhi kewajibannya maka pihak yang dirugikan dapat mengajukan gugatan di
13 Jon Hendri dan Khoiri, Tinjauan Yuridis terhadap Wanprestasi dalam Hal Hutang Piutang, Jurnal Cendekia
Hukum Volume 3, Nomor 2, Maret 2018, hal. 117. 14 Sedyo Prayogo, Penerapan Batas-Batas Wanprestasi dan Perbuatan Melawan Hukum dalam Perjanjian, Jurnal
Pembaharuan Hukum Volume III, Nomor 2, Mei-Agustus 2016, hal. 283.
7
Pengadilan Negeri setempat. Karena untuk menyatakan salah satu pihak wanprestasi
harus dengan putusan Pengadilan Negeri yang berkekuatan hukum tetap. Sehingga
dengan adanya putusan yang menyatakan bahwa salah satu pihak telah wanprestasi
tersebut, maka pihak tersebut dihukum untuk memenuhi kewajibannya sesuai yang
diperjanjikan apabila perlu diwajibkan untuk membayar ganti kerugian pula. Hakim
dalam memutus perkara mengenai penyelesaian perkara wanprestasi dalam perjanjian
hutang piutang, untuk menyatakan bahwa salah satu pihak telah wanprestasi dengan
berdasar pada ketentuan yang mengatur mengenai wanprestasi serta tanggung jawab
hukumnya sebagaimana yang diatur dalam undang-undang yang berlaku.
2. Pertimbangan Hakim dalam Memutuskan Sengketa Wanprestasi
Negara Republik Indonesia sebagai negara hukum yang menganut sistem hukum
“civil law” (Eropa Kontinental), yang di warisi dari pemerintah kolonial Belanda
semenjak ratusan tahun yang lalu. Dalam sistem Civil Law, hukum tertulis merupakan
sumber hukum. Dengan sistem ini mempengaruhi corak berpikir hakim Indonesia
dalam memeriksa dan memutus perkara.15
Asas negara tersebut menempatkan unsur “moralitas”, yakni “atas berkat rahmat
Allah” dan “Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai unsur utama. Tak terkecuali lembaga
kehakiman sebagai salah satu lembaga negara yang senantiasa dituntut untuk
menegakkan hukum yang seadil-adilnya, demi kepastian dan ketertiban hukum bagi
masyarakat. Untuk mewujudkan penegakan hukum yang dicita-citakan itu, maka hakim
dalam memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara dilindungi dan diberi
kekuasaan yang merdeka dan bebas oleh negara dari berbagai intervensi dari pihak
manapun dan dalam bentuk apapun, sebagai jaminan ketidakberpihakan hakim kecuali
terhadap hukum dan keadilan demi terselenggaranya negara hukum Republik Indonesia.
Karena itu, dalam mewujudkan suatu kepastian dan ketertiban hukum bagi masyarakat,
hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan
yang hidup dalam masyarakat.16
Dalam penegakan hukum ada tiga unsur yang selalu berkaitan dan haruslah
diperhatikan, karena satu sama lainnya harus berimbang, yaitu keadilan, kepastian
hukum, dan kemanfaatan.17
Hakim dalam menyelesaikan perkara perdata di pengadilan mempunyai tugas untuk
menemukan hukum yang tepat.18 Hakim dalam menemukan hukum tidak cukup hanya
mencari dalam undang-undang saja, sebab kemungkinan undang-undang tidak
mengatur secara jelas dan lengkap sehingga hakim harus menggali nilai-nilai hukum
yang hidup dalam masyarakat.19
Atas dasar itu, maka hakim dalam memeriksa, mengadili, dan memutus dituntut
harus berdasarkan atas fakta hukum di persidangan, norma atau kaidah-kaidah hukum,
moral hukum, dan doktrin hukum sebagai pertimbangan putusannya terhadap suatu
15 Josef M Monteiro, Putusan Hakim dalam Penegakan Hukum di Indonesia, Jurnal Hukum Pro Justisia, Volume 25,
Nomor 2, April 2007, hal. 134. 16 Pasal 28 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman. 17 Edi Rosadi, Putusan Hakim yang Berkeadilan, Jurnal Badamai Law, Volume 1, Nomor 1, April 2016, hal. 382. 18 Bambang Sutiyoso, Implementasi Gugatan Legal Standing dan Class Action dalam Praktik Peradilan di Indonesia,
Jurnal Hukum Ius Quia Iustum, Volume 26, Nomor 11, Mei 2004, hal. 77. 19 Busyro Muqaddas, Mengkritik Asas-Asas Hukum Acara Perdata, Jurnal Hukum Ius Quia Iustum, Volume 20,
Nomor 9, Juni 2002, hal. 21.
8
perkara, demi tegaknya keadilan, kepastian, dan ketertiban hukum, yang merupakan
tujuan utama hukum itu sendiri.20
Putusan adalah produk dari pemeriksaan perkara yang dilakukan oleh hakim.
Berdasarkan Pasal 178 HIR/189 RBG, setelah pemeriksaan selesai, maka hakim karena
jabatannya harus melakukan musyawarah untuk mengambil putusan yang akan
dijatuhkan. Pemeriksaan dianggap telah selesai apabila telah melalui tahap jawaban dari
tergugat, replik dari penggugat, duplik.21
Pertimbangan hakim merupakan salah satu aspek terpenting dalam menentukan
terwujudnya nilai dari suatu putusan hakim yang mengandung keadilan (ex aquo et
bono) dan mengandung kepastian hukum, di samping itu juga mengandung manfaat
bagi para pihak yang bersangkutan sehingga pertimbangan hakim ini harus disikapi
dengan teliti, baik, dan cermat. Apabila pertimbangan hakim tidak teliti, baik, dan
cermat, maka putusan hakim yang berasal dari pertimbangan hakim tersebut akan
dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi Mahkamah Agung.22
Berbicara tentang hakim dan putusan hakim di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari
pembicaraan tentang keadilan dan kepastian hukum. Hal ini disebabkan kedua kata
tersebut merupakan unsur yang esensial dalam hukum termasuk putusan hakim. Grustav
Radbruch mengemukakan bahwa ada tiga nilai dasar yang harus terdapat dalam hukum,
yakni keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum.23 Sesuai dengan Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 5 Ayat (1) yaitu hakim dan
hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa
keadilan yang hidup dalam masyarakat.24 Pertimbangan hakim dalam memutus suatu
perkara harus benar-benar memiliki kepastian hukum demi terwujudnya keadilan.
Masyarakat membutuhkan suatu keadilan dari aturan hukum yang dibentuk dari suatu
penetapan hakim tersebut.
Hakim dalam menyelesaikan konflik yang dihadapkan kepadanya harus secara
obyektif berdasarkan hukum yang berlaku, maka dalam proses pengambilan keputusan,
para hakim harus mandiri dan bebas dari pengaruh pihak manapun termasuk dari
eksekutif. Dalam pengambilan keputusan, para hakim hanya terikat pada fakta-fakta
yang relevan dan kaidah hukum yang menjadi atau dijadikan landasan hukum
keputusannya. Tetapi penentuan fakta-fakta yang termasuk fakta-fakta yang relevan dan
pilihan kaidah hukum yang mana yang akan dijadikan landasan untuk menyelesaikan
kasus yang dihadapinya diputuskan oleh hakim yang bersangkutan sendiri.25
Dalam pemeriksaan suatu perkara juga memerlukan adanya pembuktian, dimana
hasil dari pembuktian itu akan digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam memutus
perkara pembuktian merupakan tahap yang paling penting dalam pemeriksaan di
persidangan. Pembuktian bertujuan untuk memperoleh kepastian bahwa suatu peristiwa
20 A Salman Maggalatung, Hubungan Antara Fakta, Norma, Moral dan Doktrin Hukum dalam Pertimbangan
Putusan Hakim, Jurnal Cita Hukum, Volume II, Nomor 2, Desember 2014, hal. 186. 21 Khairul Aswadi, Ratio Decidendi Hakim dalam Memutus Perkara Wanprestasi (Studi Kasus Putusan Nomor:
107/PDT.G/2017/PN.MTR), Jurnal Unizar Law Review, Volume 1, Nomor 1, Juni 2018, hal. 84-85. 22 Mukti Arto, 2004, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hal. 140. 23 Satjipto Rahardjo, 2007, Hati Nurani Hakim dan Putusannya: Suatu Pendekatan dari Perspektif Ilmu Hukum
Perilaku (Behavioral Jurisprudence) Kasus Hakim Bismar Siregar, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, hal. 44. 24 Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman. 25 Firman Floranta Adonara, Prinsip Kebebasan Hakim dalam Memutus Perkara Sebagai Amanat Konstitusi, Jurnal
Konstitusi, Volume 12, Nomor 2, Juni 2015, hal. 218-219.
9
atau fakta yang diajukan itu benar-benar terjadi, guna mendapatkan putusan hakim yang
benar dan adil. Hakim tidak dapat menjatuhkan suatu putusan sebelum nyata baginya
bahwa peristiwa atau fakta tersebut benar-benar terjadi, yakni dibuktikan kebenaranya,
sehingga nampak adanya hubungan hukum antara para pihak.
Dalam memberikan pertimbangan seorang hakim harus terlepas dari campur tangan
oleh pihak manapun yang berusaha mempengaruhi putusan yang akan dihasilkan oleh
hakim dan obyektif terhadap perkara yang diperiksa. Hal ini untuk menjaga eksistensi
lembaga peradilan dan hakim itu sendiri.
Perkara wanprestasi terhadap suatu perjanjian hutang piutang yang diajukan oleh
Para Penggugat dijadikan sebagai pertimbangan hukum yang diambil oleh hakim
berdasarkan pada kesimpulan pembuktian yang telah diperoleh Hakim, yaitu antara
lain:
Bahwa yang menjadi permasalahan antara Para Penggugat dan Para Tergugat
dalam gugatannya adalah hutang piutang yang terjadi tahun 2001 dimana Para
Tergugat telah meminjam uang kepada Para Penggugat sebesar Rp.
41.500.000,- (empat puluh satu juta lima ratus ribu rupiah).
Bahwa Para Tergugat dalam bantahannya mengatakan hanya menerima uang
dari Para Penggugat sebesar Rp. 21.500.000,- (dua puluh satu juta lima ratus
ribu rupiah) dan bukan sebesar Rp. 41.500.000,- (empat puluh satu juta lima
ratus ribu rupiah). Sebagaimana bukti transferan dari Para Penggugat sebesar
Rp. 21.500.000,- (dua puluh satu juta lima ratus ribu rupiah) ke rekening BCA
atas nama Tergugat II. Sehingga Surat Perjanjian Hutang yang dibuat oleh
Tergugat I, Tergugat II dan Penggugat I tidak sesuai dengan dengan apa yang di
perjanjikan karena Para Tergugat pada tanggal 06 Februari 2001 tidak pernah
menerima uang sebesar Rp. 20.000.000,- (dua puluh juta rupiah) sebagai uang
sisa yang belum dibayar. Hal ini sejalan dengan keterangan saksi Eep Rusdiana,
Dedi Herman, Ai Ruchyati, Lilis Sumiarsih yang menerangkan bahwa Tergugat
II menerangkan kepada saksi bahwa ia hanya meminjam uang sebesar Rp.
21.500.000,- (dua puluh satu juta lima ratus ribu rupiah).
Bahwa Para Tergugat membantah dalil gugatan Para Penggugat yang
menyatakan bahwa Para Tergugat menerima pemberian uang dari Para
Penggugat guna penyelesaian permasalahan mereka di Bank, namun ditunggu-
tunggu lebih dari 3 (tiga) minggu, ternyata tidak ada pemberitahuan akan
penyelesaian permasalahan dari Para Tergugat, bahkan SHM No. 1437, Desa
Kota Kulon, yang akan diberikan kepada Para Penggugat sebagai jaminan
pelunasan hutang tidak terealisasikan, terhadap hal ini Para Tergugat dalam
jawabannya menyatakan bahwa SHM No. 1437, Desa Kota Kulon atas nama
Ny. Siti Rokayah, dijadikan jaminan apabila Para Penggugat mampu menolong
Para Tergugat melunasi hutang Tergugat II ke Bank BRI yaitu sebesar Rp.
40.274.904,- (empat puluh juta dua ratus tujuh puluh empat sembilan ratus
empat rupiah), bahwa kemudian Para Penggugat hanya memberikan uang
sebesar Rp. 21.500.000,- (dua puluh satu juta lima ratus ribu rupiah). Sehingga
hutang Tergugat II kepada Bank BRI tidak terbayar lunas, kemudian sertifikat
tersebut baru dapat diambil dari bank BRI pada tanggal 06 Mei 2004 setelah
dilunasi oleh Lilis Suminarsih (anak dari Tergugat I dan kakak kandung dari
10
Penggugat I dan Tergugat II) sebagai bukti keterangan saksi dari Lilis
Suminarsih.
Bahwa Para Penggugat dalam bukti surat yang diajukan dipersidangan yaitu
telah mentransfer uang sejumlah Rp. 21.500.000,- (dua puluh satu juta lima
ratus ribu rupiah) ke rekening Tergugat II, hal ini juga diperkuat dengan bukti
yang diajukan oleh Para Tergugat yaitu bukti print out buku tabungan Tergugat
II, dan sisanya Rp. 20.000.000,- (dua puluh juta rupiah) menurut dalil Para
Penggugat diserahkan secara cash/tunai dengan bukti dan didukung oleh
keterangan saksi Achmad Ruspianto, bahwa setelah Majelis meneliti bukti
terkait dengan uang proyek karena Penggugat II mempunyai proyek pembuatan
tanki, namun apakah uang tersebut berasal dari uang cash/tunai yang diserahkan
oleh Para Penggugat kepada Para Tergugat sebagaimana yang didalilkan oleh
Para Penggugat.
Bahwa Tergugat II telah dengan tegas mengakui dalam jawaban duplik, saksi-
saksi yang diajukan serta diperkuat dengan bukti print out buku tabungan
Tergugat II bahwa Tergugat II telah menerima uang sejumlah Rp. 21.500.000,-
(dua puluh satu juta lima ratus ribu rupiah) yang ditransfer oleh Para Penggugat
ke rekening Tergugat II, hal ini menurut Majelis tetap harus dibayar oleh
Tergugat II karena sepanjang yang diakui oleh Tergugat II dan sebagaimana
bukti yang telah diajukan ke persidangan, yang pada prinsipnya hutang adalah
tetap hutang dan harus dibayar oleh Tergugat II sejumlah Rp. 21.500.000,- (dua
puluh satu juta lima ratus ribu rupiah).
Bahwa dalam surat pengakuan hutang piutang antara Tergugat I, Tergugat II
dan Penggugat I namun dalam gugatan perkara a quo diajukan oleh Penggugat I
dan Penggugat II sebagaimana eksepsi Para Tergugat I bahwa Penggugat II
tidak mempunyai hubungan hukum dalam perjanjian ini, hal ini telah dibantah
oleh Para Penggugat dalam repliknya menyatakan bahwa pinjaman uang antara
Para Tergugat dan Penggugat I yang uangnya berasal dari Penggugat II (suami
Penggugat I) terhadap hal ini Majelis berpendapat bahwa perjanjian hanya
berlaku bagi pihak-pihak yang membuat, apabila Penggugat II merasa uang
yang diberikan pinjaman tersebut adalah uang dari Penggugat II mengapa
Penggugat II tidak masuk sebagai pihak dalam perjanjian hutang piutang
tersebut.
Bahwa perjanjian pengakuan hutang yang ditandatangani oleh Tergugat I,
Tergugat II dan Penggugat I, tidak ada saksi dan tidak diatas materai terhadap
hal ini Majelis berpendapat bahwa akta yang dibuat dibawah tangan
sebagaimana ketentuan Pasal 1874 KUHPerdata harus dibubuhi dengan suatu
pernyataan yang bertanggal dari seorang notaris atau pejabat yang berwenang
dan dilegalisasi namun tidak ada hal tersebut sehingga kekuatan pembuktiannya
secara formil sangat lemah.
Bahwa berdasarkan Surat Pengakuan Hutang tanggal 08 Oktober 2016 yang di
dalilkan oleh Para Penggugat bahwa Tergugat I telah menandatangani Surat
Pengakuan Hutang tersebut adalah batal demi hukum karena Surat Pengakuan
Hutang tersebut ditandatangani oleh Tergugat I manakala Tergugat I sedang
dalam keadaan sakit sedangkan Pihak Tergugat II dan Pihak Penggugat II tidak
ikut menandatangani sehingga hakim menilai bahwa Surat Pengakuan Hutang
11
yang di buat tanggal 08 Oktober 2016 penuh dengan rekayasa dan tipu daya
sehingga sangat beralasan hukum apabila Surat Pengakuan Hutang Tersebut
dinyatakan batal demi hukum.
Bahwa berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan diatas maka hutang piutang
yang terjadi antara Para Tergugat dan Para Penggugat pada tanggal 6 Februari
didasarkan adanya perjanjian antara Tergugat I, Tergugat II dan Penggugat II
dan surat pengakuan hutang tanggal 8 Oktober 2016 tidak memenuhi syarat-
syarat sah perjanjian sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1320 KUHPerdata
sehingga menurut Majelis perjanjian tersebut batal demi hukum.
Bahwa dalam perkara ini yang digugat oleh Para Penggugat adalah Tergugat I
yang merupakan Ibu kandung dari Penggugat I yang secara nyata dan tegas
telah diakui kebenarannya oleh masing-masing pihak selama proses
persidangan perkara ini, yang artinya Ibu mertua dari Penggugat II.
Bahwa menurut norma yang hidup dalam masyarakat indonesia baik norma
yang karena sumbernya seperti norma agama, kesopanan, kesusilaan dan
hukum maupun norma yang berdasarkan daya mengikatnya antara lain cara,
kebiasaan, tata kelakuan dan adat istiadat bahwa seorang anak harus
menghormati dan berbakti kepada orangtuanya.
Berdasarkan pertimbangan hakim diatas penulis menyimpulkan bahwa perbuatan
Para Penggugat dalam hal ini tidak dapat membuktikan bahwa perbuatan yang
dilakukan oleh Para Tergugat termasuk perbuatan wanprestasi terhadap perjanjian
hutang piutang yang isi perjanjian hutang piutang tersebut didalilkan oleh Para
Penggugat bahwa hutang yang dipinjam oleh Para Tergugat sebesar Rp. 41.500.000,-
(empat puluh satu juta lima ratus ribu rupiah) namun yang diterima oleh Para Tergugat
sebesar Rp. 21.500.000,- (dua puluh satu juta lima ratus ribu rupiah). Namun dalam
pembuktian Para Penggugat tidak bisa membuktikan bahwa uang sisa sebesar Rp.
20.000.000,- (dua puluh juta rupiah) telah dibayar cash/tunai oleh Para Penggugat.
Walaupun dalam perjanjian hutang piutang yang dibuat oleh Para Penggugat dan Para
Tergugat dituliskan Rp. 41.500.000,- (empat puluh satu juta lima ratus ribu rupiah)
tetapi yang diterima oleh Para Tergugat bukan sebesar yang diperjanjikan sehingga
perbuatan Para Tergugat tidak dapat diklasifikasikan sebagai perbuatan wanprestasi
karena unsur dalam Pasal 1320 KUHPerdata persyaratan ke-3 dan ke-4 mengenai unsur
suatu hal tertentu dan suatu sebab (causa) mengenai perjanjian hutang piutang ini
dinyatakan batal demi hukum yang unsur obyektif nya tidak terpenuhi. Dalam hal ini
perbuatan Para Tergugat walaupun dalam perjanjian hutang piutang dinyatakan batal
demi hukum namun Para Tergugat tetap dinyatakan berhutang sebesar yang dipinjam
dari Para Penggugat sebesar Rp. 21.500.000,- (dua puluh satu juta lima ratus ribu
rupiah) dan harus membayar sejumlah yang dipinjam dari Para Penggugat.
D. Penutup
1. Kesimpulan
a. Perbuatan Tergugat dalam putusan tersebut yang didalilkan oleh Para Penggugat
karena Para Tergugat berhutang uang sebesar Rp. 41.500.000,- (empat puluh satu
juta lima ratus ribu rupiah) yang belum dikembalikan serta jaminan hutang berupa
Sertifikat Hak Milik Nomor 1437 yang tidak diserahkan kepada Para Penggugat.
Hal tersebut menjadi dasar bagi Para Penggugat bahwa perbuatan Para Tergugat
12
dapat diklasifikasikan melakukan perbuatan wanprestasi jika tidak memenuhi
perikatan yaitu debitur sama sekali tidak memenuhi perikatan, debitur terlambat
memenuhi perikatan, debitur keliru atau tidak pantas memenuhi perikatan.
b. Pertimbangan hakim merupakan salah satu aspek terpenting dalam menentukan
terwujudnya nilai dari suatu putusan hakim yang mengandung keadilan dan
mengandung kepastian hukum, di samping itu juga mengandung manfaat bagi para
pihak yang bersangkutan. Pertimbangan hakim dalam putusan tersebut perbuatan
Para Tergugat tidak dapat diklasifikasikan melanggar perbuatan wanprestasi karena
perjanjian tersebut dinyatakan batal demi hukum oleh Majelis Hakim karena jumlah
hutang yang ditulis dalam perjanjian dengan yang diterima oleh Para Tergugat tidak
sama. Walaupun tidak dapat diklasifikasikan sebagai perbuatan wanprestasi namun
Para Tergugat tetap wajib untuk mengembalikan sejumlah hutang yang telah
diterima oleh Para Tergugat.
2. Saran
Hendaknya perjanjian dalam hutang piutang itu dijalankan sebagaimana mestinya
karena perjanjian ini dibuat berdasarkan kehendak para pihak dan dijadikan sebagai
undang-undang bagi yang membuatnya. Selain dalam putusan tersebut perjanjian
hutang piutang ini dalam lingkup keluarga yang dibuat antara ibu dengan anaknya.
Sehingga sudah sepatutnya bahwa kewajiban seorang anak apabila orang tua meminta
bantuan maka sebagai seorang anak kita membantu permasalahannya.
13
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Gunawan Widjaja, 2003, Seri Pemahaman Perseroan Terbatas: 150 Tanya Jawab tentang
Perseroan Terbatas, Jakarta: Forum Sahabat.
Mukti Arto, 2004, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Peter Mahmud Marzuki, 2013, Penelitian Hukum, edisi Revisi, Jakarta: Kencana Prenada Media
Groub.
Poerwardaminto, 2003, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka.
R. Subekti, 1979, Hukum Perjanjian, Jakarta: Intermasa.
................., 2008, Hukum Perjanjian, Jakarta: PT. Intermasa.
Satjipto Rahardjo, 2007, Hati Nurani Hakim dan Putusannya: Suatu Pendekatan dari Perspektif
Ilmu Hukum Perilaku (Behavioral Jurisprudence) Kasus Hakim Bismar Siregar, Bandung:
PT Citra Aditya Bakti.
Soejono dan Abdurrahman, 1999, Metode penelitian: Suatu Pemikiran dan Penerapan, Jakarta:
Rineka Cipta.
Subekti dan Tjitrosudibio, 2003, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta: Pradnya
Paramita.
Wirjono Prodjodikoro, 2000, Azas-Azas Hukum Perjanjian, Bandung: Mandar Maju.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.
JURNAL
A Salman Maggalatung, Hubungan Antara Fakta, Norma, Moral dan Doktrin Hukum dalam
Pertimbangan Putusan Hakim, Jurnal Cita Hukum, Volume II, Nomor 2, Desember 2014.
Bambang Sutiyoso, Implementasi Gugatan Legal Standing dan Class Action dalam Praktik
Peradilan di Indonesia, Jurnal Hukum Ius Quia Iustum, Volume 26, Nomor 11, Mei 2004.
Busyro Muqaddas, Mengkritik Asas-Asas Hukum Acara Perdata, Jurnal Hukum Ius Quia
Iustum, Volume 20, Nomor 9, Juni 2002.
Edi Rosadi, Putusan Hakim yang Berkeadilan, Jurnal Badamai Law, Volume 1, Nomor 1, April
2016.
Firman Floranta Adonara, Prinsip Kebebasan Hakim dalam Memutus Perkara Sebagai Amanat
Konstitusi, Jurnal Konstitusi, Volume 12, Nomor 2, Juni 2015.
Jon Hendri dan Khoiri, Tinjauan Yuridis terhadap Wanprestasi dalam Hal Hutang Piutang,
Jurnal Cendekia Hukum Volume 3, Nomor 2, Maret 2018.
Josef M Monteiro, Putusan Hakim dalam Penegakan Hukum di Indonesia, Jurnal Hukum Pro
Justisia, Volume 25, Nomor 2, April 2007.
Khairul Aswadi, Ratio Decidendi Hakim dalam Memutus Perkara Wanprestasi (Studi Kasus
Putusan Nomor: 107/PDT.G/2017/PN.MTR), Jurnal Unizar Law Review, Volume 1,
Nomor 1, Juni 2018
14
Sedyo Prayogo, Penerapan Batas-Batas Wanprestasi dan Perbuatan Melawan Hukum
dalam Perjanjian, Jurnal Pembaharuan Hukum, Volume III, Nomor 2, Mei-
Agustus 2016.
Taufik Siregar, Isnaini, dan Jandrias Tarigan, Tinjauan Yuridis terhadap Hubungan Hukum
Karena Wanprestasi di dalam Hutang Piutang (Studi Putusan Pengadilan Negeri Lubuk
Pakam No.05/Pdt.G/2007/PN.LP), Jurnal Ilmiah Penegakan Hukum, Volume 1, Nomor 2,
Desember 2014.