Sekilas tentang kabupaten wondama.pdf

Embed Size (px)

Citation preview

  • Sekilas tentang kabupaten wondama

    A. Latar Belakang Kajian Merupakan suatu hal penting melakukan kajian menyeluruh dan mendalam tentang bentuk kehidupan masyarakat adat. Sistem pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam yang hidup dan dipraktekan oleh komunitas adat di kampung, menjadi salah satunya. Wilayah kampung yang merupakan satuan pemukiman terkecil masyarakat, menjadi sasaran pendekatan kajian. Karena perubahan-perubahan besar yang diakibatkan oleh situasi politik dan ekonomi daerah, memiliki implikasi langsung dan besar terhadap kerentanan dan kemampuan adaptasi (penyesuaian) mereka. Terasa cukup sulit, bila mengharuskan warga kampung melakukan persiapan (mitigasi) dan penyesuaian (adaptasi) berkenaan dengan perubahan-perubahan yang terjadi. Apalagi memaksa mereka menerima perubahan-perubahan yang disodorkan oleh pihak luar. Resistensi diri dalam bentuk penolokan dan menerima mentah-mentah sesuatu dari luar, sudah tentu akan terjadi. Dan bila ini terjadi, maka tata kehidupan masyarakat tentu akan terganggu. Ketidaksamaan tata nilai dan norma yang mereka miliki dengan yang bersumber dari luar, merupakan salah satu penyebab utamanya. Sadar ataupun tidak, cara berpikir dan bertindak hati-hati harus mengemuka. Karena kehidupan masyarakat kampung dengan lingkungan alamnya, telah menjadi kesatuan tunggal yang tak bisa dipisahkan. Rusaknya akar budaya dan tujuan hidup warga kampung, berdampak pada lahirnya bentuk-bentuk pemanfaatan sumberdaya alam yang eksploitatif dan rawan konflik. Begitu juga rusaknya alam, berpengaruh langsung terhadap eksistensi mereka. Kepemilikan hak adat atas tanah dan sumberdaya alam memiliki hubungan sebab akibat dengan identitas diri warga adat di kampung. Karena dari hak kepemilikan adat, maka silsilah keturunan dan struktur kekerabatan mereka bisa ditelusuri.

  • Pengetahuan (tata cara dan pola) dan teknologi hidup (perlengkapan) yang mereka miliki, bersumber dari bagaimana memperlakukan alam dan memetik pelajaran darinya. Tidak hanya itu, kepercayaan yang menjadi pedoman hidup mereka, diperoleh dari kesesuaian hidup mereka tinggal lama berdampingan dengan alam. Kondisi di atas menandakan bahwa alam memiliki arti vital bagi keberadaan dan kelangsungan hidup warga adat di kampung. Mengkaji tata aturan pengelolaan dan pemanfaatan warga kampung dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam, adalah menelaah apa sesungguhnya kehidupan orang kampung dan tujuan-tujuan hidupnya. Atau dengan kata lain hubungan interaksi (saling mempengaruhi) antara manusia dengan alam sebagai satu entitas kehidupan. Sebab kearifan tidak hanya berdasar pada pengetahuan dan teknologi yang digunakan saja. Tetapi lebih dari itu adalah menyangkut kepercayaan hidup mereka (keyakinan yang telah melembaga). Kearifan lokal warga adat dalam konteks tkehidupan sosial memiliki dimensi ikatan dan relasi sosial antar warga. Ia mengatur bagaimana bentuk dan teknik komunikasi antara pemilik dan pemanfaat sumberdaya alam. Penghormatan terhadap seseorang di kampung tidak terlepas dari bagaimana orang itu memiliki pengetahuan yang lebih tentang tata cara pemanfaatan. Tata aturan tentang apa yang boleh dan tidak boleh dalam memanfaatkan potensi alam. Bentuk penghargaan dan penghormatan warga kepada kemampuan alam menyediakan dan melayani kehidupannya, adalah aspek penting yang harus dipahami sebagai kearifan lokal. Sekali lagi, apa yang boleh dan tidak boleh, apa yang pantas dan tidak pantas, adalah sistem nilai yang mereka percayai dalam mengelola dan memanfaatkan sumberdaya alam untuk pemenuhan kebutuhan hidup. Sehingga menjadi benar, bila dikatakan, bahwa kearifan masyarakat dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam adalah bentuk

    lain dari kepercayaan lokal (asli) masyarakat dalam berelasi dan berkomunikasi dengan

    alam sekitarnya dan antar sesama mereka sebagai warga kampung.

  • Berkaitan dengan hal di atas, kebijakan pengelolaan sumberdaya alam dari pemerintah (negara) yang menggunakan jargon-jargon pembangunan, harus memahami kearifan lokal sebagai identitas diri masyarakat adat. Olehnya identitas ini menjadi aspek penting yang tidak boleh dinafikan keberadaannya. Termasuk program implementasi REDD+ pun, harus mengakui keberadaan warga kampung, berikut menghormati kepercayaannya dalam meng-ekonomi-kan (cara pandang dan cara memperlakukan) potensi-potensi alam untuk tujuan kelangsungan hidup mereka. Menghormati keberadaan masyarakat adat yang dimaksud di sini adalah memberikan mereka kesempatan dan ruang yang cukup. Tidak boleh ada tekanan dan rayuan, agar mereka menyatakan secara jujur apa yang menjadi kebutuhan hidupnya. Menerima mereka sebagai kesatuan tunggal dengan sumberdaya alam miliknya. Melakukan upaya-upaya peningkatan kapasitas mereka berdasarkan potensi-potensi lokal (kebudayaan dan sumberdaya alam) dengan cara dan tujuan yang benar. Perlu digaris bawahi, bahwa kajian ini lebih difokuskan pada cara pandang masyakat, nilai-nilai adat (kepercayaan), dan tata aturan lokal dalam pengelolaan sumberdaya alam. Dan bukan pada praktek dan teknik pemanfaatan (penggunaan teknologi dan tata cara pemanfaatan) semata. Masyarakat kampung Ambumi, Nanimori, Simyei, dan Dusner, memang tidak bisa dikategorikan masih murni menerapkan aturan-aturan adat dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam. Kebudayaan mereka telah lama mengalami percampuran (asimilasi) dengan unsur-unsur kebudayaan lain dari luar. Tetapi ini tidak bisa dijadikan alasan untuk mengatakan mereka bukan masyarakat adat. Karena mereka masih memiliki unsur-unsur utama yang dikategorikan sebagai masyarakat adat: Memiliki bahasa asli, memiliki wilayah adat, memiliki tata aturan adat yang hidup, memiliki anggota/komunitas, dan kelembagaan adat. B. Tujuan Kajian Kajian kearifan masyarakat adat dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam di kampung Ambumi, Nanimori, dan Simyei, dilakukan dengan tujuan:

  • 1. Mengetahui pengetahuan dan teknologi yang digunakan dalam pemanfaatan sumberdaya alam 2. Mengetahui tata aturan dan nilai-nilai adat masyarakat yang menjadi pedoman dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam 3. Perpektif dan orientasi masyarakat dalam memandang dan memperlakukan sumberdaya alam yang dimiliki 4. Konflik dan penyelesaian konflik lokal dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam. Termasuk perubahan-perubahan dari luar yang berimplikasi terhadap kehidupan masyarakat dan potensi-potensi alam yang dimilikinya.

    C. Metodologi Kajian ini dilakukan dengan menggunakan metode kualitatif. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik wawancara mendalam (Indeep Interview) dan pengamatan langsung (Partisipatory Observer) terhadap aktifitas-aktifitas masyarakat berhubungan dengan pengelolaan sumberdaya alam di kampung. Sasaran wawancara adalah aparat pemerintah kampung, tokoh adat dan tokoh masyarakat, dan perempuan. Teknik pendekatan untuk menghimpun data dan informasi dari responden dilakukan lewat pertemuan kampung. Wawancara sambil lalu juga dilakukan di sela-sela waktu istirahat masyarakat (dilakukan pada sore dan malam hari). Sedangkan obeservasi dilakukan pada aktifitas produksi, seperti menokok sagu, memancing ikan, dan penanganan hasil yang dijadikan sebagai bahan pangan. Dalam penulisan laporan kajian, data dan informasi hasil kajian disajikan secara deskripsi analisis dengan membuat klasifikasi dalam bentuk naratif dan tabelisasi. Kegiatan kajian ini dilakukan pada selama empat hari (tanggal 20 s/d 24 Juli 2012) di kampung Ambumi, Nanimori, Simyei, dan Dusner. Masyarakat kampung Dusner dijadikan sebagai bagian penting untuk melakukan perbandingan, berhubungan dengan kebenaran data dan informasi yang diperoleh pada ketiga kampung sasaran.

  • Bagian KEDUA

    GAMBARAN UMUM WILAYAH dan MASYARAKAT

    A. Kondisi Wilayah

    A1. Geografi

  • Letak geografi kampung Ambumi berada pada posisi 0251.782 Lintang Selatan dan 13427.453 Bujur Timur, kampung Nanimori pada posisi 0250.159 Lintang Selatan dan 13426.567 Bujur Timur, kampung Simyei pada posisi 0243.971 Lintang Selatan dan 13420.344 Bujur Timur, dan kampung Dusner pada posisi 0242.511 Lintang Selatan dan 13423.419 Bujur Timur.1 Keempat kampung berada di sebelah Barat kota kabupaten Wasior. Kampung Ambumi dan Dusner adalah kampung pesisir yang berada di tepi pantai. Kampung Nanimori tergolong kampung pesisir, tetapi untuk menjangkaunya harus masuk melalui sungai ke darat (sungai ini mengalami pendangkalan sesuai pasang surut laut) sejauh kurang 500 meter. Sedangkan kampung Simyei adalah kampung di daerah pegunungan (pedalaman) dengan jarak tempuh dari kampung Dusner sejauh lebih 14 Kilometer. A2. Topografi dan Iklim Hanya kampung Simyei yang memiliki wilayah dengan topografi berbukit-bukit dengan perbukitan paling tinggi lebih dari 300 meter di atas permukaan laut. Ketiga kampung lainnya memiliki wilayah yang landai dengan rata-rata ketinggian 15 metar sampai lebih dari 20 meter di atas permukaan laut. Keempat kampung masuk dalam klasifikasi wilayah yang memiliki tingkat kelerengan