10
Sekilas Mengenal Sejarah Berdirinya Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat merupakan kerajaan penerus dinasti Mataram. Sejak hancurnya kerajaan Mataram Kartasura akibat pemberontakan orang-orang Cina yang dipimpin oleh Raden Mas Garendi (Sunan Kuning), Paku Buwono II segera memerintahkan para pejabat istananya untuk segera mencari lokasi yang dianggap baik untuk kemudian didirikan keraton yang baru, sebab keraton Kartasura sudah dianggap sudah tidak layak dan suci lagi untuk ditempati. Dalam kepercayaan orang Jawa tradisional, untuk membangun sebuah keraton pun tidak sembarang memilih tempat. Ada banyak aspek yang bisa dijadikan bahan pertimbangan untuk pemilihan tempat. Salah satunya melalui petunjuk gaib. Petunjuk gaib adalah petunjuk yang diperoleh dari Yang Maha Kuasa atau petunjuk dari para leluhur yang dilakukan dengan laku tertentu, seperti dengan laku tirakat, bersemedi, berpuasa, pantang, dan sebagainya. Maka, Paku Buwono II pun mengutus Pangeran Wijil, seorang pujangga keraton dari Kadilangu untuk mencari lokasi yang tepat untuk dijadikan ibu kota negara. Mula-mula ia menemukan dua daerah yang dirasa cocok untuk membangun kerajaan yang baru, daerah itu adalah Tolowangi (Kadipolo) dan Sonosewu (sebelah barat Desa Bekonang), yang mayoritas ああああああああああ

Sekilas Mengenal Sejarah Berdirinya Keraton Kasunanan Surakarta

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Sekilas Mengenal Sejarah Berdirinya Keraton Kasunanan Surakarta

Sekilas Mengenal Sejarah Berdirinya Keraton Kasunanan Surakarta

Hadiningrat

Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat merupakan kerajaan penerus dinasti

Mataram. Sejak hancurnya kerajaan Mataram Kartasura akibat pemberontakan orang-orang

Cina yang dipimpin oleh Raden Mas Garendi (Sunan Kuning), Paku Buwono II segera

memerintahkan para pejabat istananya untuk segera mencari lokasi yang dianggap baik

untuk kemudian didirikan keraton yang baru, sebab keraton Kartasura sudah dianggap

sudah tidak layak dan suci lagi untuk ditempati.

Dalam kepercayaan orang Jawa tradisional, untuk membangun sebuah keraton pun

tidak sembarang memilih tempat. Ada banyak aspek yang bisa dijadikan bahan

pertimbangan untuk pemilihan tempat. Salah satunya melalui petunjuk gaib. Petunjuk gaib

adalah petunjuk yang diperoleh dari Yang Maha Kuasa atau petunjuk dari para leluhur yang

dilakukan dengan laku tertentu, seperti dengan laku tirakat, bersemedi, berpuasa, pantang,

dan sebagainya.

Maka, Paku Buwono II pun mengutus Pangeran Wijil, seorang pujangga keraton

dari Kadilangu untuk mencari lokasi yang tepat untuk dijadikan ibu kota negara. Mula-

mula ia menemukan dua daerah yang dirasa cocok untuk membangun kerajaan yang baru,

daerah itu adalah Tolowangi (Kadipolo) dan Sonosewu (sebelah barat Desa Bekonang),

yang mayoritas penduduknya adalah Budhis, padahal Sunan adalah raja Mataram bergelar

Sayidin Panatagama Kalifatullah yang beragama Islam. Kedua daerah itu dirasa cukup ideal

untuk nantinya dibangun sebuah keraton.

Patih dan Mayor Hohendorff setuju jika pembangunan keraton didirikan di

Kadipolo, tetapi para ahli nujum kurang setuju sebab walaupun kerajaan nanti dapat adil,

makmur, namun cepat rusak, banyak perang saudara. Sedangkan Sonosewu, meskipun

daerahnya rata tetapi Raden Tumenggung Honggowongso merasa jika tempat itu kurang

cocok, sebab kerajaan akan berumur pendek, banyak perang besar, dan rakyat akan kembali

ke zaman Budha. Menurut petunjuk gaib tersebut, ke dua daerah itu tidak cocok dengan

apa yang diharapkan oleh raja, dari Sonosewu Pangeran Wijil kembali ke barat meneruskan

ありがとうございます

Page 2: Sekilas Mengenal Sejarah Berdirinya Keraton Kasunanan Surakarta

usahanya untuk mencari daerah yang cocok. Selain kedua tempat tersebut, lokasi alternatif

lainnya adalah Desa Sala. Menurut Tumenggung Honggowongso, meski daerahnya berupa

rawa, tetapi sangat baik untuk pusat kerajaan sebab nantinya akan menjadi kerajaan besar,

panjang umur, aman, dan makmur, tidak ada perang, berwibawa. Tetapi Mayor Hohendorff

tidak menyetujuinya karena daerahnya tidak rata, penuh rawa serta dekat dengan sungai.

Dari ketiga lokasi tersebut, akhirnya disepakati bersama untuk memilih Desa Sala.

Tetapi raja dalam hal ini masih kurang yakin untuk memutuskan memilih Desa Sala.

Akhirnya, Paku Buwono II mengirimkan lagi empat pejabat istananya untuk meneliti lebih

lanjut, mereka adalah Pangeran Wijil, Kyai Kalipah Buyut, Mas Pengulu Fakih Ibrahim,

dan Tumenggung Tirtawiguna.

Segeralah mereka menjelajah kawasan timur Kartasura tersebut. Dalam

perjalanannya, mereka menjumpai sebidang tanah yang baik dan berbau harum (wangi)

yang terletak di timur laut Desa Sala. Maka, desa tersebut kemudian dinamai Desa

Talawangi (sekarang menjadi kampung Yasadipuran dan Wirapaten). Setelah tanah tersebut

diukur untuk membuat pancangan bangunan istana, ternyata kurang luas. Maka selanjutnya

para utusan melakukan semedi (bermati raga) beberapa hari di tepian kedhung kol (rawa)

untuk meminta petunjuk dari Yang Maha Kuasa.

Akhirnya, Pangeran Wijjil menerima petunjuk gaib, bahwa memang sudah menjadi

kodrat Tuhan, Desa Sala akan menjadi negara besar. Untuk meneruskan petunjuk itu,

Pangeran Wijil menemui Ki Gedhe Sala untuk mengetahui sejarah dan asal-usul

keberadaan Desa Sala. Ia adalah seorang bekel, dan kediamannya berada di sebuah gubug

di tengah-tengah pepohonan Sala (menurut H Helne, dalam bukunya De Nuttige Planten

Van Ned-Indie, disebut-sebut menyerupai pohon Pinus). Akhirnya, daerah berawa itu

dipilih untuk bisa didirikan sebuah keraton penerus Keraton Kartasura yang dibakar habis

oleh pemberontakan Sunan Kuning.

Menurut penuturan Kyai Bekel Sala, pada masa kerajaan Pajang, seorang putera

Tumenggung Mayang yang bernama Raden Pabelan telah dibunuh. Ia dibunuh karena

tertangkap basah masuk ke dalam keraton secara sembunyi-sembunyi dan ketahuan bemain

asmara dengan puteri sekar kedhaton Ratu Emas, putera Sultan Hadiwijaya. Selanjutnya,

ありがとうございます

Page 3: Sekilas Mengenal Sejarah Berdirinya Keraton Kasunanan Surakarta

mayat Raden Pabelan dihanyutkan ke sungai Laweyan (Sungai Braja) dan terdampar di

sebelah timur Desa Sala.

Pada suatu malam Bekel Kyai Sala pergi ke sungai dan tiba-tiba melihat mayat Jaka

Pabelan terapung di tepi sungai. Ia mencoba untuk mendorong mayat itu kembali ke tengah

aliran sungai agar kembali terhanyut. Tetapi, keesokan harinya mayat itu kembali lagi ke

tepi sungai. Bekel Kyai Sala pun berusaha untuk kembali mendorong mayat itu ke tengah

aliran sungai, tetapi mayat itu selalu kembali ke tepi sungai hingga tiga kali. Akhirnya,

Bekel Kyai Sala mendapat wangsit agar mayat Jaka Pabelan dimakamkan di tempat itu,

tepatnya di sebelah narat Desa Sala, sebab di belakang tempat itu di kemudian hari akan

berubah menjadi sebuah kerajaan besar dan sejahtera. Karena Bekel Kyai Sala itu tidak

tahu nama mayat itu, sehingga ia menyebutnya sebagai Kyai Bathang.

Setelah mengetahui sejarahnya, keempat abdi tersebut segera mengunjungi makam

Kyai Bathang. Kawasan pemakaman tersebut merupakan tempat yang indah, tetapi terdapat

rawa yang lebar dan dalam. Situasi ini kemudian segera dilaporkan kepada Sunan.

Selanjutnya, Sunan memanggil Tohjaya dan Kyai Yosodipura serta Raden Tumenggung

Padmanagara untuk dimintai pertimbangan dan saran. Sebelum memberikan

pertimbangannya, mereka meninjau lokasi terlebih dahulu dan menemukan sumber mata air

di rawa itu (tirta kamandanu). Dengan demikian telah mantap pendirian mereka untuk

memilih Desa Sala sebagai tempat pembangunan keraton yang baru.

Setelah tempat itu dipilih dan disetujui oleh Kanjeng Sunan Paku Buwono II dan

para nayaka-nya, pembangunan pun segera dimulai. Sunan segera memerintahkan kepada

para adipati mancanegaranya untuk menyerahkan balok-balok kayu sesuai dengan

kemampuan masing-masing yang akan digunakan untuk menutup rawa-rawa tersebut

sekaligus menyumbat mata air yang ada. Dalam pengerjaannya, terjadi berbagai halangan

dan misteri. Kesulitan tersebut didapat karena daerah yang akan didirikan sebuah keraton

itu merupakan daerah rawa-rawa. Mereka menghadapi kesulitan dalam mengeringkan rawa

dan tidak dapat ditutupnya beberapa sumber mata air, terutama yang ada di Kedung

Lumbu. Untuk itu, dilakukanlah berbagai ritual dengan tujuan menutup sumber-sumber

mata air itu.

ありがとうございます

Page 4: Sekilas Mengenal Sejarah Berdirinya Keraton Kasunanan Surakarta

Berbagai sesaji dan mantra-mantra dipersembahkan oleh Pangeran Wijil, Kyai

Kalipah Buyut dan Kyai Pengulu Pekik Ibrahim tetapi tetap gagal. Bahkan, dari sumber

mata air itu justru muncul ikan-ikan yang biasa hidup di laut. Melihat hal ini, Pangeran

Wijil dan Kyai Yasadipura memutuskan untuk bertapa tepat di sebelah selatan kedhungkol.

Sesudah tujuh hari tujuh malam, terus bertapa tanpa makan dan minum, akhirnya mereka

mendapat petunjuk gaib, tepatnya pada suatu malam Anggoro Kasih (Selasa Kliwon) 29

Sapar 1669 S (±1744 M).

Petunjuk gaib itu mengatakan, bahwa sumber mata air itu tidak bisa kering karena

merupakan tembusan Samudera Selatan. Jika ingin mengeringkan rawa itu, perlu kiranya

ditutup dengan Gong Kyai Sekar Delima, daun lumbu, serta kepala penari (tledek).

Kemudian, Sunan pun, mengambil kesimpulan bahwa wangsit tersebut merupakan sebuah

perlambang. Oleh sebab itu perlu untuk dicari penafsiran maknanya. Gong adalah simbol

bibir atau sumber suara. Secara utuh Kyai Sekar Delima maksudnya melalui bibir yang

menceritakan asal mulanya Desa Sala, yakni Kyai Gedhe Sala. Tledek adalah nama lain

dari ringgit yang berarti uang. Dengan demikian maksud wangsit tersebut adalah bahwa

Kyai Gedhe Sala menghendaki uang sebagai ganti rugi atas tanah hak miliknya yang akan

digunakan untuk pendirian keraton. Maka, Sunan segera memberikan uang sejumlah

10.000 ringgit kepada Kyai Gedhe Sala sebagai konsesi atas penyerahan tanah di kawasan

Desa Sala. Setelah itu, sumber mata air itu pun berhasil ditutup oleh Kyai Gedhe Sala.

Setelah rawa itu kering, Sunan segera memerintahkan untuk mengukur tanah yang

akan dijadikan istana. Tugas pengukuran diserahkan kepada Patih Adipati Pringgalaya

dengan disaksikan Mayor van Hohendorff, Kyyai Tumenggung Honggowongso, dan Kyai

Tumenggung Tirtawiguna. Pengukuran terhadap lurusnya keraton sejajar dengan keraton

Kartasura dilakukan oleh Pangeran Wijil dan Kyai Kalipah Buyut. Sedangkan pengukuran

dari segi estetik atau keindahan keraton (adu manisnya) diserahkan kepada Kyai

Yasadipura dan Kyai Tohjaya.

Setelah rancangan selesai dibuat, Sunan segera memerintahkan untuk mengambil

tanah dari Desa Talawangi dan Sanasewu untuk mempertinggi Desa Sala. Pembangunan

istana tahap awal pun berhasil diselesaikan, walaupun pagar yang mengelilingi keraton,

sementara masih terbuat dari bethek (anyaman bambu).

ありがとうございます

Page 5: Sekilas Mengenal Sejarah Berdirinya Keraton Kasunanan Surakarta

Setahun kemudian keraton pun berhasil didirikan, dan ditandai dengan candra

sengkala: Sirnaning Resi Rasa Tunggal atau juga sengkalan swarga sapta hamayang

bawana, yang sama-sama menunjukkan tahun 1670 S (1745 M). Maka, meski bangunan

keraton masih belum sempurna, pada hari Rebo Pahing 17 Februari 1745, Kerajaan

Mataram dipindahkan dari Kartasura ke Sala. Paku Buwono II pun meninggalkan keraton

lama menuju ke keraton yang baru dengan disertai iring-iringan dengan upacara kebesaran

dan menggunakan ketentuan sangat (± pukul 10.00) setelah mendapat persetujuan dari

Gubernur Jenderal William van Imhoff.

Setibanya di Keraton Sala, bangsal Pangrawit yang diangkut dari Kartasura segera

ditempatkan di Siti-Hinggil. Begitu turun dari Kereta Kencana Garuda, Sunan Paku

Buwono II menggunakan bangsal Pangrawit yang telah ditempatkan di Siti-Hinggil untuk

sinewoko (bersidang) untuk pertama kalinya di keraton yang baru tersebut. Maka sejak itu,

nama desa Sala pun ditarik kembali dan ditetapkan sebagai negara yang besar yang diberi

nama Surakarta Hadiningrat.

Pembangunan keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat kemudian diteruskan oleh

Paku Buwono III. Pada tahun 1697 S (1772 M), bangunan pendopo diganti dengan

bangunan yang baru dan bekas bangunannya diberikan kepada Sri Mangkunegoro.

Kemudian pada tahun 1802 M, sebelah utara Dalem Ageng Probosuyoso diberi tambahan

bangunan baru oleh Paku Buwono IV dan diberi nama Dalem Ler untuk kepentingan

bersemedi. Di kala Pendopo Ageng ditambah lebarnya dan ditambah dengan soko rowo

pada tahun 1812 M, lantai pendopo diambil sebagian tanahnya untuk diganti dengan tanah

yang berasal dari Tolowangi (Kadipolo) untuk diambil pengaruh msitisnya. Tolowangi

semula pernah dipilih untuk pertama sebagai daerah yang cocok untuk membangun

keraton. Penggantian tanah tersebut dimulai pada hari Rebo Pahing bertepatan dengan

pindahnya keraton dari Kartasura ke Surakarta. Mengingat kebutuhan keraton untuk

menerima tamu-tamu agung, pada tahun 1823 M, Paku Buwono V menambah bangunan

baru dan diberi nama Sasono Hondrowino. Semula lebih dikenal dengan nama Sasono Ijo,

karena warna catnya serba hijau.

Pembangunan pun terus dilanjutkan. Paku Buwono VI, sebelum terlibat dalam

peperangan Pangeran Diponegoro, pada tahun 1824 M masih sempat menyelenggarakan

ありがとうございます

Page 6: Sekilas Mengenal Sejarah Berdirinya Keraton Kasunanan Surakarta

sedikit perubahan pada nDalem Ageng Probosuyoso. Gebyog (papan) patang-aring-nya

dibuka dan dipasang di sisi barat membukur ke selatan dan utara, sehingga seakan-akan

dapat mengubah kiblat bagnunan ke arah timur. Dalam kepercayaan orang Jawa, kiblat

bangunan itu sangatlah penting dan biasa digunakan untuk mencari keselamatan dan

terhindar dari mara bahaya serta sesuatu yang buruk.

Pembangunan bangunan keraton sempat sedikit terhenti pada masa setelah Paku

Buwono VI dibuang ke Ambon hingga paku Buwono VIII karena singkatnya masa

berkuasanya di keraton Surakarta. Pembangunan baru dimulai lagi oleh Paku Buwono IX.

Pada tahun 1880 M bagian luar Pendopo Sasonosewoko yang dinamakan Paningrat, tiang-

tiangnya diganti dengan tiang besi.

Pembangunan yang lebih pesat dan lebih besar dilakukan pada zaman Kanjeng

Sunan Paku Buwono X berkuasa. Selama menduduki tahta kerajaan Paku Buwono X

berkesempatan untuk memperindah wajah bangunan Paningrat dan Sasono Hondrowino.

Lantainya diganti dengan marmer putih dan dilaksanakan pada tahun 1832 S. Untuk

menyesuaikan dengan situasi pada tahun 1842 S Masjid Pudiyosono dipindahkan ke

sebelah barat Bandengan. Sedang nDalem Pakubuwanan yang letaknya di selatan

Probosuyoso sete;ah diperindah wajahnya pada tahun 1845 S namanya diganti dengan

sasono Dayinto.

Pada tahun 1857 S, beliau membangun Keraton Kulon untuk kepentingan pribadi.

Dua mata air yang merupakan sisa beberapa mata air dari rawa Sala di lingkungan Kedung

Lumbu yang terkenal sangat angker itu dan kini terdapat di halaman belakang nDalem

Mloyokusuman. Satu diantaranya digunakan untuk sumur dan yang lainnya merupakan

kolam kecil yang ditutup trali besi.

Daftar Pustaka:

Gunawan, Restu dkk. 1999. Sejarah Kerajaan Tradisional Surakarta. Jakarta: Departemen

Pendidikan dan Kebudayaan RI.

id.wikipedia.org

Kompas, (surat kabar) “Ranggawarsita: Usia Keraton Tidak akan Mencapai 250 Tahun”, 3

Februari 1985.

ありがとうございます

Page 7: Sekilas Mengenal Sejarah Berdirinya Keraton Kasunanan Surakarta

Suara Merdeka, (surat kabar) “240 Tahun Keraton Surakarta Hadiningrat, Petunjuk Gaib

Menuntun Pangeran Wijil ke Daerah Bakal Keraton”, 15 Februari 1985.

ありがとうございます